Anda di halaman 1dari 301

Prof. DR. Rachmat Syafe'i, MA.

ILMUUSHUL FIQIH

Untuk UIN, STAIN, PTAIS

Kata Sambutan Oleh:


Prof. DR. Juhaya S. Praja

1
Prof. DR. Rachmat Syafe'i, MA.

UNTUK UIN, STAIN, PTAIS

Kata Sambutan Oleh:

Prof. DR. Juhaya S. Praja

Guru Besar UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Penerbit PUSTAKA SETIA Bandung


Syafe’i, Rackmat
ILMU USHUL FIQIH/Penyusun: Prof. DR. Rachmat Syafe’i, M.A.;
Editor: Drs. Maman Abd. Djaliel. — Cet. Iil --
Bandung: Pustaka Setia, 2007.
356 him. ; 14,5 x 21 cm

Untuk UIN

Program SI (Strata Satu)

ISBN 9 7 9 - 7 3 0 - 0 8 5 - 4

Copy Right © 1998 CV PUSTAKA SETIA


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa
izin tertulis dari Penerbit.
Hak penulis dilindungi undang-undang.
All right reserved
Rencana Kuli :Dharma-1
Khat Arab/Kaligrafi : Drs. Maman Abd. Djaliel
Setting, Layout, Montase : Tim Redaksi Pustaka Setia
Cetakan III :Maret, 2007
Diterbitkan oleh : CV PUSTAKA SETIAJl. BKR (Lingkar
Selatan) No. 162-164 Telp. : (022) 5210588 -
5224105 M, Faks.: (022)5224105 • BANDUNG
40253
(Anggota IKAPI Cabang Jabar)

3
KATA SAMBUTAN
MEMAHAMI KEHENDAK ALLAH DAN RASUL
Oleh: Prof. Dr. Juliaya S. Praja

Al-Quran dan hadis yang sampai kepada kita masih otentik dan orisinil.
Orisinilitas dan otentisitas didukung oleh penggunaan bahasa aslinya, yakni bahasa
Arab karena Al-Quran dan hadis merupakan dua dalil hukum, yakni petunjuk-petunjuk
adanya hukum. Untuk mengetahui hukum-hukum tidak cukup hanya dengan adanya
petunjuk, melainkan perlu cara khusus untuk mengetahui atau memahaminya dari
petunjuk-petunjuk itu. Cara khusus itulah yang kita sebut metode. Ilmu untuk
mengetahui cara itu disebut metologi. Metologi untuk memahami hukum Islam dari
petunjuk-petunjuknya itu disebut Ilmu Ushul Fiqih. Ilmu inilah yang ditulis oleh
seorang yang terpelajar, Dr. H. Rachmat Syafe’i Lc., M.A. Karya beliau itu, kini telah
ada di tangan para pembaca yang budiman.
Buku ini mengantarkan para pengkaji ilmu ushul fiqih untuk mengawali diri
meniti karir sebagai mujtahid, atau sebagai peminat studi ilmu ushul fiqih. Buku ini
menyajikan jalan yang mesti dilalui oleh mereka yang berminat menjadi pakar hukum
Islam. Buku ini terdiri dari enam bab, yaitu:
I. Pendahuluan yang menjelaskan ushul fiqih dan sejarah perkembangannya.
II.Sumber hukum, yakni Al-Quran, Sunnah, Ijma’, dan Qiyas atau analogi.
III. Metode Ijtihad yang meliputi penjelasan tentang ijtihad, ihtishan, al-maslahahal-
mursalah, al-ishtihab, al-’urf, al-dzari’ah, madzhab shahabi, sya’man qablana.
IV. Qaidah-qaidah ushuliyah, lafadz dan dalalahnya, ta’wil, khash, ‘amm, amar,
nahyi, muthlaq, muqayyad, manthuq, dan mafhum.
V. Ta’arud al-adillah, yakni pertentangan dalil-dalil dan cara penyelesaiannya serta
menjelaskan nash dan tarjih.
VI. Qaidah-qaidah fiqih dan cabang-cabangnya.
VII. Unsur-unsur hukum yang meliputi konsep-konsep hakim, mukallaf, perbuatan
hukum, dan hukum itu sendiri.
Jika memahami dan menguasai dengan baik ketujuh bab di atas, pembaca akan
mudah untuk memahami hukum-hukum Allah dan Rasul-
Nya. Perlu dicatat, bahwa bab-bab di atas memberikan petunjuk cara
memahami hukum dari Al-Quran dan Sunnah melalui dua pendekatan.
Perlumu, pendekatan kebahasaan. Pendekatan ini menuntut para pengkaji
ushul fiqih menguasai bahasa Arab dengan segala tata bahasa dan tradisi-
tradisinya. seperti penguasaan dan pemahaman atas sya'ir- sya'ir zaman
jahiIiyah. Ilmu nahwu. ilmu sharaf. ilmu balaghah. dan sebagainya. Penguasaan
bidang ini sangat diperlukan untuk memahami bentuk-bentuk kata dan kalimat
yang digunakan dalam Al-Quran dan Sunnah. Bagian ini dijelaskan dalam buku
ini secara khusus pada bab IV. Kelemahan penguasaan bagian ini
mengakibatkan kekeliruan dalam penetapan dan pengambilan hukum, seperti
yang dijelaskan pada Bab VI dan VII.
Kedua, pendekatan maknawi. Pendekatan ini menuntut para pengkaji ushul
fiqih menggunakan kemampuan penalarannya dalam berpikir abstraktifdan
kontemplatif. Bagian ini dijelaskan pada Bab III. Kelemahan dalam hal ini
mengakibatkan kelemahan dalam memahami konsep-konsep hukum Islam dan
mengembangkan hukum Islam.
Secara garis besar, buku ini memuat tiga pokok bahasan utama. Pertama,
pembahasan tentang konsep-konsep hukum Islam dan istilah- istilah teknis atau
terminologi baku dalam bidang ini. Kedua, pembahasan tentang metode ilmu
ushul fiqih yang merupakan penjelasan tentang konsep-konsep hukum Islam.
Ketiga, pembahasan tentang cara memahami hukum dengan pendekatan bahasa
dan logikanya. Logika bahasa tersebut mempengaruhi proses pembentukan
kaidah-kaidah hukum yang dilahirkan.
Semoga buku ini menjadi obor penerang jalan untuk menaburkan
kebajikan di dunia dan menuainya di akhirat.

5
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Salawat serta salam semoga
dilimpahkan kepada Rasulullah SAW. Penulis bersyukur kepada Ilahi Rabi yang
telah memberikan hidayah serta taufik-Nya kepada penulis sehingga buku yang
Ilmu Ushul Fiqih dapat terselesaikan.
Materi buku ini telah disesuaikan dengan Silabi/Kurikulum Nasional UIN,
Program SI (Strata Satu) yang dikeluarkan oleh Ditjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam, Departemen Agama RI, Jakarta.
Dengan diterbitkannya buku ini diharapkan para mahasiswa dapat memahami
secara mendalam tentang hal-hal yang berkaitan dengan materi yang dikaji dalam
Ushul Fiqih.
Kami menyadari bahwa dalam buku ini masih terdapat kekurangan dan
kekhilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar, penulis
mengharapkan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan buku ini pada
terbitan selanjutnya.
Kepada penerbit PUSTAKA SETIA yang telah bersedia menerbitkan
buku ini dan juga kepada semua pihak yang telah memberikan saran dan
kritik konstruktif demi sempurnanya buku ini, kami ucapkan banyak terima
kasih.
Semoga buku ini benar-benar bermanfaat bagi para mahasiswa dan
masyarakat pada umumnya.
Amin, Ya Rabbil 'alamin.

Bandung, Juni 19 9 9 M
Rabiul Awwal 1420 H
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................. 7
DAFTAR ISI .............................................................................. 9
BAB I ...................................................................................... 17
PENDAHULUAN.................................................................... 17
A. USHUL FIQIH
1. Pengertian Ushul Ficjih..................................................... 17
2. Objek Kajian Ushul Fiqih ................................................. 23
3. Perbedaan Ushul Fiqihdengan Fiqih ................................. 24
4. Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqih......................................... 24
5. Sumber pengambilan Ushul Fiqih..................................... 25
B. SEJARAH PERKEMBANGAN
1. Pendahuluan ...................................................................... 26
2. Pembukuan Ushul Fiqih .................................................... 27
3. Tahapan-Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih ................. 30
4. Pengaruh Manthiq Aristo dalam PerkembanganUshul
Fiqih 40
5. Peranan Ushul Fiqihdalam Pengembangan Fiqih Islam 42
6. Aliran-Aliran Ushul Fiqih ................................................. 45
BAB II : SUMBER HUKUM
A. AL-QURAN
1. Pengertian Al-Quran.......................................................... 49
2. Kehujjahan Al-Quran menurut Pandangan Ulama Imam Mazhab 51
Pandangan Imam Abu ................................................... ................................ ................................ 2.1
Hanifah51
2.2 .................................................................................................................... Pandangan Imam
Malik .................................................................................. 51
2.3. ................................................................................................................... Pandangan Asy-
Syafi’i................................................................................. 52
2.4. ................................................................................................................... Pandangan Imam
Ahmad Ibnu Hambal ......................................................... 53
3. Petunjuk (Dilalah) Al-Quran ............................................. 54
3.1 .................................................................................................................... Nash yangqatlvi
dilalah-nya.......................................................................... 56
3.2 .................................................................................................................... Nash yang zhanni
dilalah-nya.......................................................................... 56
4. Sikap Para Ulama ketika Zhaliir avat Al-Quran berhadapan
dengan Sunah ..................................................................... 57
B. SUNAH
1. Pengertian Sunah .............................................................. 59

7
2. Kehujjahan Sunah dan Pandangan Ulama Mcidzhabterhadap
Hadis Ahad........................................................................ 60
Kehujjahan
2.1 .................................................................................................................... Hadis
Ahad ................................................................................... 62
2.2 Persyaratan Hadis Ahadyang disepakati Para Imam Madzhab 62
2.2.1 MadzhubHanafy .................................... 62
2.2.2 MadzhabMai iky .................................... 63
2.2.3 MadzhabSyafi'yi ..................................... 64
2.2.4 Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan Kedudukan
Hadis Ahad dengan Qiyas ............... 64
3. Petunjuk Di Ialah Sunah......................................... 65
4. Kedudukan Sunah terhadap Al-Quran ..................... 65
4.1 Sunah sebagai Ta'kid (Penguat) Al-Quran ....... 65
4.2 Sunah sebagai Penjelas Al-Quran .................... 66
4.3 Sunah sebagai Musyar’i (Pembuat Svarrat) ..... 67
C. IJMA’
1. Pengertian Ijma' ..................................................... 68
1.1 Menurut Bahasa ........................................... 68
1.2 Menurut Istilah Ulama Ushul ......................... 69
2. Syarat-Syarat Ijma' ................................................. 70
2.1 Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid ........... 70
2.2 Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid ...... 70
2.3 Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW .. 71
2.4 Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi ................... 71
2.5 Kesepakatan Mereka Harus Berhubungan dengan Syari'at 71
3. Macam-Macam Ijma' .............................................. 72
3.1 Ijma ' Sharih..................................................... 72
3.2 Ijma' Sukuti ...................................................... 72
4. Kehujjahan Ijma' menurut Pandangan Para Ulama ... 73
4.1 Kehujjahan Ijma ’Sharih................................... 73
4.1.1 Dalil-dalil yang Dikeluarkan oleh Jumhur 74
4.1.2 Dalil-dalil yang Dikeluarkan Nidzam dan Para
Pengikutnya........................................... 79
4.2 Kehujjahan Ijma' Sukuti.................................... 80
4.3 Kemungkinan adany a Ijma ’ ........................... 81
5. Maksud Ijma'dalam Kitab-Kitab Fiqih .................... 85
D. QIYAS
1. Pengertian Qiyas .................................................... 86
2. Operasional Qiyas .................................................. 87
3. Rukun Qiyas........................................................... 87
4. QiyasSebagai Sandaran Ijma'................................... 88
5. Kehujjahan Qiyasdan Pendapat Para Ulama ............ 88
5.1 Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode
Pengambilan Hukum........................................ 91
5.2 Perbedaan Pendapat tentang 'Illat di Kalangan Jumhur
dan Pengaruhnya..........................................................94
BAB III : METODE IJTIHAD
A. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad dan Perkembangannya ........................... 97
2. Dasar Hukum Ijtihad......................................................... 101
3. Macam-Macam Ijtihad...................................................... 103
4. Syarat-Syarat Ijtihad.......................................................... 104
5. Objek Ijtihad...................................................................... 106
6. Hukum Melakukan Ijtihad ................................................ 107
7. Tingkatan Mujtahid ........................................................... 108
8. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad ............................. 109
B. ISTIHSAN
1. Pengertian dan Hakikat Istihsan........................................ 111
2. Kehujjahan Istihsan danPandangan Para Ulama ........... 112
2.1 .................................................................................................................... Ulama Hanafiyah
....................................................................................... 112
2.2 .................................................................................................................... Ulama Malikiyah
......................................................................................... 112
2.3 .................................................................................................................... UlamaAl-Hanabilali
......................................................................................... 112
2.4 .................................................................................................................... UlamaAsy-Syafi’iyah
......................................................................................... 112
3. Pengaruh Istihsan dalam Masalah Fiqih............................ 113
3.1 Lelaki yang
Menghadap Perempuan dalam shalat 113
3.2 ....................................................................................................... Zakat Seluruh Harta Tanpa
Niat .............................................................................. 114
C. AL-MASLAHAH AL-MURSALAH
1. Pengertian al-Maslahah ...................................................... 117
1.1. ...................................................................................................... Menurut Bahasa 117
1.2. Pengertian dan Peristilahan al-Mashlahah al-Mursalah 118
2. Obj ek al-Mashlahah al-Mursalah....................................... 121
3. Posisi Para Ulama dalam al-Mashlahah al-Mursalah 122
3.1. Penerimaan Imam
Malik dan Pandangan Para Ulama . 122
3.2. Posisi Imam Abu Hanifah terhadapal-Maslahah al-Mursalah 123
D. ISTISHHAB
1. Pengertian Istishhab........................................................... 125

9
2. Kehujjahan Istishhab ......................................................... 126
3. Pendapat Ulama tentang Istishhab..................................... 127
E. URF
1. Pengertian ‘urf .................................................................. 128
2. Macam-macam 'urf ........................................................... 128
3. Hukum 'urf........................................................................ 129
3.1................................ ................................ ........................ ‘UrfSahih dan
Pandangan Para Ulama ........................................ 129
3.2................................ ................................ ........................ ’Urf Fasid 130
4. Kehujjahan ‘urf.................................................... 131
F. DZARI’AH
1. Pengertian Dzari 'ah .............................................. 132
2. S add Dzari ’ah ....................................................... 132
3. Macam-Macam Dzari 'ah....................................... 133
3.1. ................................ ................................ ............. Dzari 'ahdari Segi Kualitas
Kemafsadatannya .............................................. 133
3.2. Dzari’ahdari Segi
Kemafsadatan yang Ditimbulkan .... 135
4. Keh ujj ahan Dzari 'ah........................................... 136
5. Fath Adz- Dzari 'ah............................................. 139
G. MADZHABSHAHABY
1. Keadaan Para Sahabat Setelah Rasulullah Wafat .. 141
2. Kehujjahan Madzhab Shahabydan Pandangan Para Ulama 141
H. SYARI’AT SEBELUM KITA (SYAR’U MAN QABLANA)
I. Hukum Syari'at Sebelum Kita .............................. 143
2. Pendapat Para Ulama tentang Syari'at Sebelum Kita 144
BAB IV : QAIDAH-QAIDAH USHULIYYAH
A. QAIDAH USHULIYYAH
1. Pengertian Qaidah Ushuliyyah ................................. 147
2. Urgensi Qaidah Ushuliyyah ..................................... 147
3. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah ....................... 147
B. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmaldan Mubayyan.......................... 150
2. Tinjauan Lafazhdari Segi Kejelasannya ............... 151
2.1 Pembagian lafazhdari segi kejelasannya Menurut Ulama Hanafiyah 151
2.1.1 Zhahir.................................................... 151
2.1.2 Nash...................................................... 153
2.1.3 Mufassar ................................................ 155
2.1.4 Muhkam........................................... 157
2.2 Kegunaan Pembagian Lafazhmenurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap Penetapan Hadis ................... 158
2.2.1 Pertentangan Antara Zhahir dan Nash *158
2.2.2 Pertentangan Antara Nash dan Muhkam 160
2.2.3 Pertetangan Antara Nash dan Mufassar 161
2.2.4 Pertetangan Antara Mufassar dan Muhkam 161
2.3 Tingkatan Kejelasannya Lafazhmenurut Mutakallimin (Syafi’iyah) 162
3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya.................. 164
3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasannya Hanafiyah 164
3.1.1 ......................................................................................................... Khafi 164
3.1.2 ......................................................................................................... Musykil 165
3.1.3 ......................................................................................................... Mujmal 166
3.1.4 ......................................................................................................... Mutasyabih 166
3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Ketidakjelasannya menurut Ulama
Mutakallimin ............................................................. 167
C. TAKWIL (MUAWWAL)
1. Pengertian Takwil (Muawwal) .......................................... 169
1.1 ....................................................................................................... Menurut Etomologi 169
1.2 .................................................................................................................... Menurut Terminologi
......................................................................................... 170
2. Objek Ta/cwil .................................................................... 172
3. Dalil-Dalil Penunjang Takwil.......................................... 173
3.1 Dalil Penunjang Takwil
Tidak Disyaratkan Qath ’i 174
3.2 ........................................................................................................... Takwil itu Dihasilkan dari
Perubahan Makna Bukan Perubahan Lafazh............ 174
4. Landasan Takwil................................................................ 175
5. Syarat-Syarat Takwil dan Beberapa Contohnya ............. 176
5.1 Lafazh yang Ditakwil Harus Betul-Betul Memenuhi kriteria dan Masuk dalam
Kajiannya .................................................................. 176
5.2 Takwil itu Harus Didasarkan dalil Shahih yang Bisa Menguatkan Takwil 177
5.2.1 Takwil Berdasarkan
Dalil adalah Maslahat 177
5.2.2 Mentakhsis Keadaan Umum dengan Kemaslahatan 179
5.3 Lafazh Mencakup Arti yang Dihasilkan Melalui Takwil menurut Bahasa 181
5.4 Takwil Tidak Boleh Bertentangan dengan Nash yang Qath’i Karena Nash
Tersebut Bagian dari Aturan Syara’ yang Umum .... 181
5.5 Arti dari Penakwilan Nash Harus Lebih Kuat dari Arti Zhahir, yakni Dikuatkan
dengan Dalil ................................................ 182
6. Takwil Ba’id....................................................................... 184
D. KHAS
1. Pengertian Lafazh Khas h................................................... 187
2. Hukum Lafazh Khash...................................................... 187
3. Perbedaan Pendapat Akibat Ke-c/ath 7-an Lafazh Khash 190
4. Macam-Macam Lafazh Khash ......................................... 192

11
E. ‘AMM
1. Pengertian Lafazh ‘Amm................................................. 193
2. Di Ialah Lafazh ‘Amm ........................................................ 194
A. AMR
1. Pengertian Amr................................................................ 200
2. Bentuk-bentuk Amr dan Hakikatnya............................... 201
3. Keadaan Amr Bila Disertai Qarinah................................ 201
4. Perintah Setelah Adanya Kejadian ................................. 202
5. Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus-menerus ....... 203
6. Amr Tidak Menuntut agar Dilaksanakan secara Langsung ..205
B. NAHYI
1. Pengertian Ncihyi............................................................. 207
2. Hakikat Shigat Nahyi........................................................ 207
3. Nahyi Mengharuskan Meninggalkan Secara Langsung 208
4. Kaitan Nahyi dengan Fasad dan Buthlan.......................... 208
4.1 Ihwal Nahyi.............................................................. 209
4.2 Pengertian Sah, Batal, dan Fasad............................. 209
5. Pendapat Ulama Ushul tentang Tuntutan Nahyi dalam
Kaitannya dengan Fasad dan Buthlan......................... 210
C. MUTLAQ MUQAYYAD
D. Pengertian Mutlaqdan Muqayyad..................................... 212
2. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad ......................... 212
3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad............................... 213
4. Hal-Hal yang diperselisihkan dalam Mutlaq dan
Muqayyad213
I. MANTUQ DAN MAFHUM
1. Pengertian Mantuqdan Mafhum ................................... 215
2. Dilalah Mafhum................................................................ 216
3. Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Mukhalafah 217
4. Macam-macam Mafhum Mukhalafah ............................... 220
4.1 Mafhum Sifat ................................................................ 220
4 . 2 Mafhum Syarat, Adad, dan Ghayah ........................... 222

BAB V
TA’ARUDL AL-ADILLAH
A. TA’ARUDL AL-ADILLAH DAN CARA PENYELESAIANNYA
1. Pengertian Ta’arudlal-adillah........................................... 225
2. Cara Menyelesaikan Ta 'arudl al-adillah.......................... 226
2.1 Menurut Hanafiyah .................................................. 227
2.2 Menurut Malikiyah, Syafi’iyah, dan Zhahiriyyah .. 229
B. NASAKH
1. Pengertian nasakh............................................................ 231
2. Rukun Nasakh ................................................................. 232
3. Hikmah Naskh.................................................................. 232
4. Perbedaan Nasakh dengan Takhsis .................................. 233
5. Pendapat Para Ulama tentang Nasakh.............................. 234
6. Syarat-Syarat Nasakh....................................................... 236
7. Macam-Macam Nasakh.................................................... 239
8. Cara mengetahui Nasakh dan Mansukh ............................ 241
C. TARJIH
1. Pengertian Tarjih.............................................................. 242
2. Cara Pen-tar/7/i-an .......................................................... 243
2.1 Tarjih bain an-Nushush ............................................... 343
2.1.1 Dari segi sanad.............................................. 243
2.1.2 Dari segi matan ............................................. 244
2.1.3 Dari segi hukum atau kandungan Hukum 245
2.1.4 Tarjih dengan Menggunakan Faktor (Dalil) Lain
di Luar Nash................................................... 247
2.2 Tarjih bain al-Aqyisah ................................................. 247
2.1.5 Dari Segi Hukum Ashl.................................. 248
2.1.6 Dari Segi Hukum Cabang ............................. 248
2.1.7 Dari Segi‘Iliat ................................................ 248
2.1.6.1 Pen-Tarjih-an Dari Segi ara Penetapan
‘Illat .................................................... 248
2.2.3.1 Pen-Tarjih-an dari Segi “Illat............ 249
2.2.3.3 Pen-Tarjih-an Qiyas Melalui Faktor Luar 249
BAB VI : QAIDAH-QAIDAH FIQIH
A. QAIDAH FIQIH
1. Definisi Qaidah Fiqih ...................................................... 251
2. Perbedaan Qaidah Fiqihdengan Dhabith Fiqih .................. 253
3. Perbedaan antara Qaidah Fiqihdengan Ashal.................... 254
4. Perbedaan antara Qawaid Ushuliyyahdengan Qaidah Fiqih 254
5. Kedudukan dan Urgensi Qaidah Fiqih ............................. 255
6. Sejarah Ilmu Qaidah Fiqih................................................ 257
6.1 Fase Pertama............................................................. 257
6.2 Fase Kedua ............................................................... 263
6.3 Fase Ketiga ............................................................... 265
7. Kitab-Kitab Standar Qaidah FiqihTiap Madzhab Fiqih 266
8. Jumlah Qaidah Fiqih......................................................... 268
B. AL-QAWAID AI^ASASIYYAH DAN CABANG-CABANG YANG
BERKAITAN DENGANNYA
Pengertian, Sumber, Cabang, dan Aplikasi Qaidah-Qaidah Assasiyyah 270
BAB VII: HUKUM SYARA’DAN UNSUR-UNSURNYA
A. HUKUM

13
1. Pengertian Hukum ......................................................... 295
2. Pembagian Hukum ........................................................ 296
2 . 1 Hukum Taklifi............................................................ 296
2.1.1 Pengertian Hukum Taklifi ............................. 296
2.1.2 Bentuk-Bentuk Hukum Taklif......................... 297
2.1.3 Hukum-Hukum menurut Fuqaha ................... 302
2 . 1 . 3 . 1 Wajib................................................ 302
2.1.3.2 Mandud ............................................. 306
2 . 1 . 3 . 3 Haram ................................................ 307
2 . 1 . 3 . 4 Makruh............................................... 308
2.1.3.1 Mubah .......................................... 309
2 . 2 Hukum Wadh 'i.......................................................... 312
2.3 Perbedaan Antara Hukum Taklif dan Hukum Wadh’i...316
B. MAHKUM F IH/MA H KU M BIH (OBJEK DAN PERISTIWA HUKUM)
1. Pengertian Mahkum Fih.................................................... ]J\1
2. Syarat-Syarat Mahkum Fih .............................................. 320
2.2 Al-Masyaqqah............................................................. 326
2.2 Pembagian Kemampuan menurut Ulama Hanafiyah 330
3. Macam-macam Mahkum Fih ........................................... 331
C. MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)
1. Pengertian Mahkum Alaih ................................................ 334
2. Taklif ............................................................................. 335
2.1 Dasar Taklif............................................................... 335
2.2 Syarat-syarat taklif .................................................... 336
3. Ahliyyah ........................................................................ 339
3 . 1 Pengertian Ahliyyah................................................... 339
3 . 2 Pembagian Ahliyyah ................................................... 339
3.2.1 AhliyahAda’ .................................................... 340
3.2.2 Ahliyah Al-Wajib ........................................... 341
3.3 Halangan Ahliyyah .................................................... 343
D. HAKIM (PEMBUAT HUKUM/ALLAH SWT)
1. Pengertian Hakim............................................................ 345
1.1 Sebelum Muhammad SAW diangkat Sebagai Rasul 349
1.2 Setelah diangkatnya Muhammad SAW. Sebagai Rasul
dan Menyebarkan Dakwah Islam ............................ 349
3 Tahsin dan Takbih ............................................................ 349
4 Kemampuan Akal Mengetahui Syari’at ......................... 350
DAFTAR PUSTAKA ........................................................... 355
BAB 1
PENDAHULUAN

A. USHUL FIQIH
1. Pengertian Ushul Fiqih
Untuk mengetahui makna dari kata Ushul Fiqh dapat dilihat dari dua aspek:
Ushul Fiqihkata majemuk (marakkah), dan Ushul Fiqih sebagai istilah ilmiah.
Dari aspek pertama, Ushul Fiqihberasal dari dua kata, yaitu kata ushulbentuk
jamak dari ashldan kata fiqih,yang masing-masing memiliki pengertian yang luas.
Ashlsecara etimologi diartikan sebagai “fondasi sesuatu, baik yang bersifat materi
ataupun bukan”.
Adapun menurut istilah, ashlmempunyai beberapa arti berikut ini:
1. Dalil,yakni landasan hukum, sepertipernyataan paraulamaushul
Fiqihbahwa ashldari wajibnya shalat lima waktu adalah firman Allah SWT. dan
Sunah Rasul.
2. Qa’idah,yaitu dasar atau fondasisesuatii^seperti sabdaNabi
Muhammad SAW. :

Artinya:
“Islam itu didirikan atas lima ushul (dasar atau
fondasi). ”

3. Rajih,yaitu yang terkuat, seperti dalam ungkapan para ahli ushul fiqih:

Artinya:
"Yang terkuat dari (kandungan) suatu hukum adalah arti hakikatnya. "
Maksudnya, yang menjadi patokan dari setiap perkataan adalah makna
hakikat dari perkataan tersebut.
4. Mustashhab yaitumemberlakukan hukum yang sudah ada sejak

semula selama tidak ada dalil yang mengubahnya. Misalnya, seseorang


yang hilang, apakah ia tetap mendapatkan haknya seperti warisan atau
ikatan perkawinannya? Orang tersebut harus dinyatakan masih hidup

15
sebelum ada berita tentang kematiannya. la tetap terpelihara haknya
seperti tetap mendapatkan waris, begitu juga ikatan perkawinannya
dianggap tetap.
5. Far 'u (cabang), seperti perkataan ulama ushul:

Artinya:
"'Anak adalah cabang dari ayah. "(Al-Ghazali, 1: 5)
Dari kelima pengertian ashl di atas, yang biasa digunakan adalah dalil,
yakni dalil-dalil fiqih.
Adapun fiqh, secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan
membutuhkan pengerahan potensi akal. Pengertian tersebut dapat ditemukan
dalam Al-Quran, yakni dalam surat Thaha (20): 27-28, An- Nisa(4): 78, Hud
(11): 91. Dan terdapat pula dalam hadis, seperti sabda Rasulullah SAW. :

Artinya:
"'Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi seseorang, Dia akan memberikan
pemahamat. agama (yang mendalam) kepadanya. ”
(H.R. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad Ibnu Hanbal. Tirmidzi,
dan Ibnu Majali)
Adapun pengertian fiqih secara terminologi, pada mulanya diartikan
sebagai pengetahuan keagamaan yang mencakup seluruh ajaran agama, baik
berupa akidah (ushuliah)maupun amaliah (furu'ah).Ini berarti fiqih sama dengan
pengertian svari 'ah Islamiyah.Pada perkembangan selanjutnya, fiqih merupakan
bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan tentang hukum syariah
Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan
berakal sehat (mukailaf)dan diambil dari dalil yang terinci.
Untuk lebih jelasnya tentang definisi fiqih secara terminologi dapat
dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:
Artinya:
"Ilmu tentang hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh
melalui dalil-dalilnya yang terperinci. ”
Sementara itu, ulama lain mengemukakan bahwa fiqih adalah:

Artinya:
"Himpunan hukum syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari
dalil-dalilnya yang terperinci. ”
Definisi pertama menunjukkan bahwa fiqih dipandang sebagai ilmu yang
berusaha menjelaskan hukum. Sedangkan definisi kedua menunjukkan fiqih
dipandang sebagai hukum. Hal ini terjadi karena adanyakemiripan antara fiqih
sebagai ilmu dan fiqih sebagai hukum.Ketika fiqih didefinisikan sebagai ilmu,
diungkapkan secara deskriptif. Manakala didefinisikan sebagai hukum dinyatakan
secara dreskriptif.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa objek kajian fiqih ialah hukum perbuatan
mukallaf, yakni halal, haram, wajib, mandub, makruh, dan mubah beserta dalil-dalil
yang mendasari ketentuan hukum tersebut.
Pada umumnya, dalam memberikan pengertian fiqih, ulama menekankan bahwa
fiqih adalah hukum syari’atyang diambil dari dalilnya. Namun, menarik untuk
diperhatikan adalah pernyataan Imam Haramain dan Al-Amidi yang menegaskan
bahwa fiqih adalah pengetahuan hukum syara' melalui penalaran (nuclzar dan istidlal).
Pengetahuan hukum yang tidak melalui ijtihad (kajian), tetapi yang bersifat daruri,
seperti shalat lima waktu itu wajib, zinah itu haram, dan sebagainya. Setiap masalah
yang qath’i bukan merupakan bahasan fiqih. (Al-Mahalli: 3)
Pada perkembangan selanjutnya, istilah fiqih sering dirangkaikan dengan Al-Islami
sehingga terangkai Al-fiqh Al-Islami. Dan Al-Jfiqh AI-Islami sering diterjemahkan pada
hukum Islam. Istilah lain yang digunakan untuk istilah ini adalah Asy-Syari 'ah Al-
Islamiyah dan Al-Hukm Al-Islami.
Setelah dijelaskan pengertian ushul dan fiqih, baik menurut bahasa maupun istilah
maka di sini dikemukakan pengertian Ushul Fiqih yang menjadi pokok bahasan pada
bab ini. Para ahli hukum Islam, dalam memberikan definisi Ushul Fiqih.beraneka ragam,
ada yang menekankan pada fungsi Ushul Fiqihitu sendiri, dan ada pula yang
menekankan pada hakikatnya. Namun, pada prinsipnya sama, yaitu ilmu pengetahuan
yang objeknya dalil hukum syara' secara global dengan semua seluk beluknya.

17
Menurut Al-Baidhawi dari kalangan ulama Syafi’iyah (juz I: 16) bahwa yang
dimaksud
dengan Ushul
Fiqihitu adalah:

Artinya:
"Ilmu pengetahuan tentang dalilfiqih secara global, metode
penggunaan

dalil tersebut, dan keadaan (persyaratan) orang yang menggunakannya. ” Selain


itu, Ibnu Al-Subki (juz 1: 25) mendefinisikan Ushul Fiqihsebagai:

Artinya:
“Himpunan dalil fiqih secara global. ”
Jumhur ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya sebagai berikut:

Artinya:
“Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian syara ’
dari dalil-dalilnya. ”
Pendapat ini dikemukakan oleh Syaikh Muhammad Al-Khudhary Beik,
seorang guru besar Universitas Al-Azhar Kairo. Adapun Kamaluddin Ibnu
Humamdari kalangan ulama Hanafiyah mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai:

Artinya:
""""" Pengetahuantentang kaidah-kaidah yang dapat mencapai kemampuan dalam
penggalian fiqih. "
Sementara itu, Abui Wahab Khalaf, seorang guru besar hukum di Universitas Kairo
Mesir menyatakan:

Artinya:
“Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum
syara’ mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil- dalil yang terperinci atau
kumpulan kaidah-kaidah dan metode penelitian hukum syara’ mengenai perbuatan
manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci. ” (Abdul Wahab Khalaf: 12)
Dari pengertian Ushul Fiqihdi atas, terdapat penekanan yang berbeda. Menurut
ulama Syafi’iyyah, objek kajian para ulama ushul adalah dalil-dalil yang bersifat ijmali
(global); bagaimana cara menqistinbath hukum; syarat orang yang menggali hukum
atau syarat- syarat seorang mujtahid. Hal itu berbeda dengan definisi yang
dikemukakan oleh jumhur ulama. Mereka menekankan pada operasional atau fungsi
Ushul Fiqihitu sendiri, yaitu bagaimana menggunakan kaidah- kaidah Ushul Fiqih
dalam menggali hukum syara’.
Dengan demikian, Ushul fiqih adalah ilmu pengetahuan yang objeknya dalil
hukum atau sumber hukum dengan semua seluk-beluknya, dan metode penggaliannya.
Metode tersebut harus ditempuh oleh ahli
hukum Islam dalam mengeluarkan hukum dari dalil-dalilnya. Seluk-beluk tersebut
antara lain menertibkan dalil-dalil dan menilai kekuatan dalil- dalil tersebut.
Pada masa kini istinbath hukum yang lebih relevan adalah istinbath dengan maksud
syariah (ruh hukum), bahkan cenderung menggunakan kaidah fiqiyah seperti yang
dilakukan oleh para perumus kompilasi hukum Islam di Indonesia. Dalam
merumuskannya, tampaknya mereka mengacu pada kaidah-kaidah fiqhiyah yang
dijadikan suatu kerangka teori.
1. Objek Kajian Uslhul Fiqih
Dari definisi Ushul Fiqih di atas, terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian
Ushul Fiqih secara garis besarnya ada tiga:
1. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.

19
2. Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
3. Persyaratan orang yang berwewenang melakukanistinbathdengan
semua permasalahannya.
Sementara itu. MuhammadAL-Juhaili merinci objek kajian Ushul Fiqih sebagai
berikut:
1. Sumber-sumber hukum syara', baik yang disepakati seperti Al- Quran dan Sunah,
maupun yang diperselisihkan, seperti istihsan dan mashiahah mursaiah.
2. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang
melakukan ijtihad.
3. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir. ayat
dengan ayat atau sunah dengan sunah, dan lain-lain baik dengan jalan
pengompromian (Al-jam'u' wa At-taufiq) menguatkan salah satu (tarjih).
pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-
dalilain)
4. Pembahasan hukum syara' yang meliputi syarat-syarat dan macam- macamnya.
baik yang bersifat tuntutan, larangan, pilihan atau keringanan (rukhsah). Juga
dibahas tentang hukum, hakim. mahkum alaih (orang yang dibebani), dan lain-lain.
5. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan digunakan dalam mengistinbath hukum dan
cara menggunakannya.(Al-Ghazali: 7. Al-Amidi. 1 : 9. Asy-Syaukani:5, Al-
Juhaili : 23)
3. Perbedaan Ushul Fiqih dlengan Fiqih
Dari keterangan di atas, dapat terlihat dengan jelas bahwa UshulFiqih merupakan
timbangan atau ketentuan untuk istinbat hukumk dan objeknya selalu dalil hukum.
sementara objekfigihnya selalu perbuatan mukallaf yang diberi status hukumnya.
Walaupun ada titik kesamaan, yaitu keduanya merujukpadadalilnamun konsentrasinya
berbeda, yaitu ushul fiqih memandang dalil dari sisi cara penunjukan atas suatii
ketentuan hukum, sedangkan fiqih memandang dalil hanya sebagai rujukannya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa dalil sebagai pohon yang dapat
melahirkan buah sedangkan fiqih sebagai buah yang lahir dari pohon tersebut.
Setelah diketahui pengertian ushuldan fiqih,perlu diketahui bagaimana para ulama
mendefinisikan Ushul Fiqih sebagai salah satu bidang ilmu. Ada dua pengertian yang
dikemukakan oleh para ulama.

4. Tujuan dan Fungsi Ushul Fiqih


Para ulama ushul menyepakati bahwa Ushul Fiqih merupakan salah satu sarana
untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah
SWT. dan Rasul-Nya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, mifamalah,
‘uqubah, maupun akhlak. Dengan kata lain, Ushul Fiqih bukanlah sebagai tujuan
melainkan hanya sebagai sarana.
Oleh karena itu. secara rinci Ushul Fiqihberfungsi sebagai berikut:
1. Memberikan pengeriian dasar lemang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama
mujtahid dalam menggali hukum.
2. Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid. agar mampu
menggali hukum syara' secara tepat, sedangkan bagi orang awam supay a iebiii
mantap daiam mengikuti pendapat yang dikemukakan oleh para mujtahid setelah
mengetahui cara yang mereka gunakan untuk berijtihad.
3. Memberi bekal untuk menentukan hukum melalui berbagai metode yang
dikerbangkan oleh para mujtahid, sehingga dapat memecahkan berbagai persoalan
baru.
4. Memelihara agama dari peny impangan dan penyalahgunaan dalil. Dengan
berpedoman pada Ushul fiqih,hukum yang dihasilkan melalui ijtihad tetap diakui
syara’.
5. Menyusun kaidah-kaidah umum (asas hukum) yang dapat dipakai untuk
menetapkan berbagai persoalan dan fenomena sosial yang terus berkembang di
masyarakat.
6. Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang
mereka gunakan. Dengan demikian, para peminat hukum Islam (yang belum
mampu berijtihad) dapat memilih pendapat mereka yang terkuat disertai alasan-
alasan yang tepat.

5. Sumber Pengambilan Ushul Fiqih


Dari definisi (pengertian) Ushul Fiqh di atas, dapat disimpulkan bahwa sumber
pengambilan Ushul Fiqih itu berasal dari:
1. Ilmu Kalam (theologi)
2. Ilmu Bahasa Arab
3. Tuiuan syara’ (maqashid Asy-syari ’ah)
Hal itu disebabkan bahwa sumber hukum (dalil hukum) yang merupakan objek
bahasan Ushul Fiqihdiyakini dari Allah SWT. berbentuk Al-Quran dan Sunah.
Pembuat hukum adalah Allah, tiada hukum kecuali dari Allah SWT. Hal tersebut
merupakan bahasan ilmu kalam.
Ushul Fiqihjuga membahas dalalah lafaz. Penggunaan lafazhruang lingkup lafazh,
seperti ‘amm dan khash, dan sebagainya. Ini berarti berkaitan dengan ilmu bahasa Arab.
Selanjutnya, pengetahuan hukum tidak terlepas dari tujuan hukum (maqashid Asy-Syari
’ah) dan hakikat hukum. Pengetahuan tentang ini diperlukan agar mampu menetapkan
hukum yang tepat dan mengandung kemashlahatan. (Asy-Syaukani : 5)

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan arti ushuldan fiqih,baik secara etimologi maupun terminologi!
2. Jelaskan pengertian Ushul Fiqih,baik menurut bahasa, maupun istilah!
Apakah perbedaan definisi Ushul fiqihyang dikemukan oleh ulama Syafi’iyah
dan jumhur?

21
3. Tulis landasan (dalil) terhadap pengertian yang dikemukakan oleh para ulama!
4. Jelaskan Objek kajian Ushul Fiqihdan objek kajian Fiqih!
Bagaimana persamaan dan perbedaan objek kajian antara Ushul Fiqihdengan
Fiqih!
5. Bagaimana fungsi dan tujuan Ushul Fiqih?
6. Jelaskan sumber pengambilan (istimdad) Ushul Fiqih?
7. Mengapa mujtahid dianggap salah satu kajian Ushul Fiqih?

B. SEJARAH PERKEMBANGAN USHUL FIQH

1. Pendahuluan
Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam Islam, Ilmu Ushul Fiqih tumbuh
dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunah. Dengan kata lain,
Ushul Fiqih tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak
zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih,seperti
ijtihad, qiyas, nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.
Kasus yang umum dikemukakan mengenai ijtihad adalah penggunaan ijtihad
yang dilakukan oleh Mu’adz Ibnu Jabal (Abu Daud, IX, 509). Sebagai konsekuensi dari
ijtihad ini adalah qiyas,karena penerapan ijtihad dalam persoalan-persoalan yang
bersipatjuz’iyah harus dengan qiyas(Ar-Rahman Asy-Sya’idi : 16). Contoh qiyasyang
dapat dikemukakan adalah ucapan Ali dan Abd. Ar-Rahman Ibnu Auf mengenai
hukuman peminum khamar yang berbunyi:

Artinya:
“Bila seseorang meminum khamar, ia akan mengigau. Bila mengigau, ia akan menuduh orang
berbuat zina, sedangkan had (hukuman) bagi orang yang menuduh itu 80 dera. ” (Asy-
Syaukani, VII : 125)
Adapun pemahaman tentang takhsis dapat dilihat dalam cara Abdullah bin
Mas’ud ketika menetapkan iddah wanita hamil. Dia menetapkan bahwa batas iddah-nya
berakhir ketika ia melahirkan. Pendapat tersebut didasarkan pada ayat 4 dan 6 surat Al-
Thalaq.
Menurutnya, ayat ini turun sesudah turunnya ayat tentang iddah yang ada pada surat AI-
Baqarah ayat 228. Dari kasus tersebut terkandung pemahaman ushul. bahwa nash yang
datang kemudian dapat me-nasakh atau men-takhsis yang datang terdahulu. (Abu Zahrah
: 11)
Pada masa tabi'in, cara meng-istinbath hukum semakin berkembang. Di antara
mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyasdi samping berpegang
pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi'in inilah mulai tampak perbedaan-
perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan metode yang
digunakan oleh para ulama ketika itu. (Abu Zahrah : 12)
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi'in atau pada
masa Al- ’Aiminat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh metode
qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan orang-orang
Madinah. Menurutnya, amalan mereka lebih dapat dipercaya daripada hadis Ahad. (Abu
Zahrah : 12)
Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat,
tabi'in dan sesudahnya, pemikiran hukum Islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri.
2. Pembukuan Ushul Fiqih
Salah satu pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqihadalah perkembangan
wilayah Islam yang semakin meluas, sehingga tidak jarang menyebabkan timbulnya
berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para ulama
Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang sudah dibukukan untuk
dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum. (Abdul Aziz AI-Sa'idi: 1 7)
Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya ushul fiqih.ulama-ulama terdahulu telah
membuat teori-teori ushul yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing. Tak
heran jika pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang pertama
menysun kaidah-kaidah ushul fiqih.
Golongan llanafiyah misalnya, mengklaim bahwa yang pertama- pertama
menyusun ilmu Ushul Fiqihialah Abu Hanifah, Abu Yusuf dan
Muhammad Ibnu Ali Al-Hasan. Alasan mereka balnva Abu Ilanifah merupakan orang
yang pertama menjelaskan metode istinbath dalam bukunya Ar-Rci 'y. Dan Abu Yusuf
adalah orang yang pertama menyusun Ushul Fiqihdalam Madzhab Hanafi, demikian pula
Muhammad Ibnu Al-Hasan telah menyusun kitab Ushul Fiqihsebelum Asy-Syafi'i,
bahkan Asy-Syafi’i berguru kepadanya. (Sulaiman: 60 - 61)
Akan tetapi, pernyataan di atas mendapatkan kritikan dari Musthafa Abdul Ar-
Raziq. Dia berkata bahwa jika dianggap benar Abu Yusuf dan Muhammad Ibnu Hasan
mempunyai kitab Ushul Fiqih,hal itu tidak lain hanyalah berdasarkan kitab yang
mendukung metode istihsan Hanafiyah yang sangat ditentang oleh para ahli hadis. Dan
kalaupun Abu Yusuf diakui sebagai orang pertama yang berbicara Ushul Fiqih,tidaklah
salah jika dikatakan bahwa Asy-Syafi'i juga merupakan orang yang pertama
menyusunnya menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri yang mengandung kaidah-kaidah
untuk rujukan setiap orang yang meng-istinbath hukum. (Sulaiman : 16)
Golongan Malikiyah juga mengklaim bahwa Imam Malik adalah orang pertama

23
yang berbicara tentang Ushul Fiqih.Namun, mereka tidak mengklaim bahwa Imam
Malik sebagai orang pertama yang menyusun kitab Ushul Fiqh. Pengakuan bahwa Malik
sebagai perintis Ushul Fiqh,menurut Abd. Wahab Ibrahim Sulaiman dapat saja diterima.
(Sulaiman: 62)
Begitu pula, Syi’ah Imamivah yang mengklaim bahwa orang pertama yang
menyusun kitab Ushul Fiqihadalah Muhammad Al-Baqir Ibnu Ali Ibnu Zain Al-Abidin,
kemudian diteruskan oleh putranya Al- Imam Abu Abdillah Ja'far Ash-Shadiq.
Pernyataan ini diungkapkan oleh As'ad Haidar, bahwa Imam Baqir adalah peletak dasar
dan perintis Ushul Fiqih.Dan orang pertama yang menyusunnya adalah Al-Hisyam Ibnu
Al-Hakam yang menulis kitab Al-Ahfadz, di dalamnya terdapat uraian sangat penting
dalam ilmu Ushul. Pendapat tersebut, diperjelas lagi oleh Yunus Ibnu Ar-Rahman yang
menulis kitab Al-lkhtilafAl-Hadis wa Masailah yang menguraikan pertentangan antara dua
hadis dan masalah perpaduan serta pen-tarjih-nya. Setelah itu, berkembanglah Ushul
Fiqih dengan luas. (Sulaiman: 63)
Golongan Syafi’iyah pun mengklaim bahwa Imam Syafr i-lah orang pertama
yang menyusun kitab Ushul Fiqih.Hal ini diungkapkan oleh Al- Allamah Jamal Ad-Din
Abd Ar-Rahman Ibnu Hasan Al-Asnawi.
Menurutnya, “Tidakdiperselisihkan lagi. Imam Syafi'i adalah tokoh besar
yangpertama-tama menyusun kitab dalam ilmu ini, yaitu kitab yang tidak asing
lagi dan yang sampai kepada kita sekarang, yakni kitab Al-Risalah”. (Sulaiman :
64).
Kalau dikembalikan pada sejarah, yang pertama berbicara tentang Ushul
Fiqihsebelum dibukukannya adalah para sahabat dan tabi'in. Hal ini tidak
diperselisihkan lagi. Namun, yang diperselisihkan adalah orang yang mula-mula
mengarang kitab Ushul Fiqihsebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum
dan mencakup segala aspeknya. Untuk itu, kita perlu mengetahui terlebih dahulu teori-
teori penulisan dalam ilmu Ushul Fiqih.Secara garis besar, ada dua teori penulisan yang
dikenal, yakni:
Pertama, merumuskan kaidah-kaidah fiqiyahbagi setiap bab dalam bab-bab fiqih
dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu' atas kaidah-kaidah tersebut.
Misalnya, kaidah-kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-kaidah perburuhan.
Kemudian menetapkan batasan-batasannya dan menjelaskan cara-cara
mengaplikasikannya dalam kaidah-kaidah itu. Teori inilah yang ditempuh oleh
golongan Hanafi dan merekalah yang merintisnya.
Kedua, Merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk
meng-istinbat hukum dari sumber hukum syar'i tanpa terikat oleh pendapat seorang
faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan. Cara
inilah yang ditempuh Al- Syafi'i aaiam kitabnya Ar-Risaiah, suatu kitab yang tersusun
secara sempurna dalam bidang ilmu ushul dan independen. Kitab semacam ini belum
pernah ada sebelumnya, menurut ijma' uiama dan caiaian sejarah. (Sulaiman: 64)
Dalam mengomentari kedudukan Asy-Syafi'i sebagai penulis pertama kitab Ushul
Fiqih,berdasarkan teori kedua di atas. Jalaluddin As-Suyuti berkata, “Disepakati bahwa
Asy-Syafi'i adalah peletak batu pertama pada ilmu Ushul Fiqh. Dia orang yang pertama-
tama berbicara tentang itu dan menulisnya secara tersendiri. Adapun Malik dalam Al-
Muwatha (hanya) menunjukkan sebagian kaidah-kaidahnya, demikian pula ulama-ulama
lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad Al-Hasan.(AI-Hawji, II : 404).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab Ar-
Risalahmerupakan kitab yang pertama-tama tersusun secara sempurna dalam ilmu
Ushul Fiqih. Kitab ini tersusun dengan metode tersendiri, objek pembahasan dan
permasalahannya juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqih manapun.
3.Tahapan-Tahapan Perkembangan Ushul Fiqih
Secara garis besarnya, perkembangan Ushul F i q h dapat dibagi dalam tiga tahap,
yaitu: tahap awal (abad 3 H); tahap perkembangan, (abad 4 H.) dan tahap
penyempurnaan (abad 5 H ). Masing-masing tahapan akan diuraikan di bawah ini.
3.1. Tahap Awal (abad 3 H)
Pada abad 3 H, di bawah pemerintahan Abbasyiah wilayah islam semakin meluas
ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasyiah yang berkuasa dalam abad ini adalah:
Al-Ma'mun (w. 218 H). Al-Mu'tashim (w. 227 H). Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-
Mutawakkil (w. 247 H). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah di
kalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemerintahan khalifah Ar-Rasvid.
Kebangkitan pemikiran pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat
penerjemahan di kalangan ilmuwan muslim. Buku-buku Filsafat Yunani diterjemahkan
dalam bahasa Arab dan kemudian diberikan penjelasan (syarah). (Ibrahim Hasan. II:
347). Di samping itu, ilmu-ilmu keagamaan juga berkembang dan semakin meluas
objek pembahasannya. Hampir dapat dikatakan bahwa tidak ada ilmu keislaman yang
berkembang sesudah Abbasyiah, kecuali yang teiah dirintis atau diletakkan dasar-
dasarnya pada zaman dinasti Abbasyiah ini. (Ahmad Amin, II : 13).
Salah satu hasil dari kebangkitan berpikir dan semangat keilmuan Islam ketika itu
adalah berkembangnya bidang fiqih, yang pada gilirannya mendorong untuk
disusunnya metode berpikir fiqih yang disebut Ushul Fiqih.
Seperti telah dikemukakan. kitab Ushul Fiqih yang pertama-tama tersusun secara
utuh dan terpjsah dari kitab-kitab fiqih ialah Ar-Risalah,. karangan Asy-Syafi'i. Kitab ini
dinilai para ulama sebagai kitab yang bernilai tinggi. Ar-Razi berkata, "K_dudukan
Asy-Syafi’i dalam ilmu Ushul Fiqihsetingkat dengan kedudukan Aristo dalam ilmu
manthiq dan kedudukan Al-Khalil lbnu Ahmad dalam ilmu 'Arud. Ulama sebelum Asy-
Syafi'i berbicara tentang masalah-masalah ushul fiqh dan menjadikannya pegangan,
tetapi mereka belum memperoleh kaidah-kaidah umum yang menjadi rujukan dalam
mengetahui dali-dalil syari'at dan cara memegangi serta me-tarjih-kannya: maka
datanglah Al-Syafi'i menvusun ilmu Ushul Fiqihyang merupakan kaidah-kaidah umum
(qanun kulliy) dan dijadikan rujukan untuk mengetahui tingkatan-tingkatan dalil Svari".
Kalaupun ada orang yang menyusun kitab ilmu Ushul Fiqih sesudah Asy-Syatr, mereka
tetap bergantung pada Asy-Syafi’i. karena Asy-Syafi’i-lah yang membuka jalan untuk
pertama kalinya (Ahmad Amin, II : 227-229).

25
Selain kitab Ar-Risalah, pada abad 3 H. telah tersusun pula sejumlah kitab Ushul
Fiqihlainnya. Isa Ibnu Iban (w. 221 H/835 M.) menulis kitab ItshatAl-Oiyas. KhabarAl-
Wahici IjtihadAr-Ra’y, Ibrahim Ibnu Syiyar Al-Nazhzham (w. 221 H/835 M) menulis
kitab An-Nakl; Daud Ibnu Ali Ibnu Daud Azh-Zhahiri (w. 270 H/883 M) menulis kitab
Al-Ijma’, Al-Ibthal At-Taqlid. Ibthal Al-Oiyas, Al-Khabar Al-Mujib li Al- ’IIni, Al-Hujjal, Al-
Khushush wa Al- ’Umum, Al-Mufassar w a Al- Mujmal, dan juga kitab Al-Ushul. Dalam kitab
Al-Ushul ini, Azh-Zhahiri menyatakan tidak perlu menetapkan hukum atas dasar
qiyasdan istihsan. Selain itu, Muhammad Ibnu Daud Ibnu Ali Ibnu Al-Khalf Azh-Zhahiri
(w. 297 H/909 M), juga menulis kitab Al-Ushulfi Ma rifat Al Ushul, dan masih banyak lagi
kitab-kitab ushul fiqih yang ditulis oleh ulama-ulama lainnya. (Sulaiman : 98-100)
Namun, perlu diketahui pada umumnya kitab-kitab ushul fiqihyang ada pada abad
3 I I ini tidak mencerminkan pemikiran-pemikiran ushul fiqihyang utuh dan mencakup
segala aspeknya, kecual i kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah-lah yang
mencakup permasalahan- permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat perhatian para
fuqaha pada zaman itu.
Di samping itu. pemikiran ushul iyah yang telah ada, kebanyakan termuat dalam
kitab-kitab fiqih,dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu
mengklaim bahwa imam madzhab--nya sebagai perintis pertama ilmu asmu fiqihtersebut.
Goiongan fviaiikiyah contohnya, mengklaim Iman Madzhabr.ya sebagai perintis
pertama ushul fiqih dikarenakan Imam Malik telah menyinggung sebagian kaidah-kaidah
ushuliyah dalam kitabnya Al-Muwaththa. Ketika ia ditanya tentang kemungkinan adanya
dua hadis sahih yang berlawanan yang datang dari Rasulullah pada saat yang sama.
Malik menolaknya dengan tegas, karena
ia berprinsip bahwa kebenaran itu hanya terdapat dalam satu hadis saja. (Hasan Al-
Hawji : 335)
Hal lain yang dapat dicatat, pada abad ini ialah lahirnya ulama- ulama besar yang
meletakkan dasar berdirinya madzhab-madzhabfiqih. Para pengikut mereka semakin
menunjukkan perbedaan dalam mengungkapkan pemikiran ushul fiqihdari para
imamnya. Asy-Syafi'i misalnya, tidak menerima cara penggunaan istihsan yang
masyhur di kalangan I Ianafiyah, sebaliknya Hanafiyah tidak menggunakan cara-cara
pengambilan hukum berdasarkan hadis-hadis yang dipegang oleh Asy- Syafi'i.
Sementara itu, kaum Ahl Al-hadis pada umumnya dan kaum zharivah pengikut Daud
Azh-Zhahiri pada khususnya, tidak menyetujui metode-metode dari kedua golongan
tersebut, namun golongan terakhir mempunyai metode tersendiri dalam qiyasdan
ta’wil.(Sulaiman : 102- 103).
Perbedaan-perbedaan pendapat dan metode yang dimiliki oleh masing-masing
aliran yang disertai dengan sikap saling mengeritik antara satu terhadap lainnya
merupakan salah satu pendorong semangat pengkajian ilmiah yang penuh antusias di
kalangan ulama pada abad 3H ini. Semangat pengkajian ini berianjut terus dan semakin
berkembang pada abad 4 H.
3.2. Tuhap Perkembangan (Abad 4 H)
Abad 4 H. merupakan abad permulaan kelemahan dinasti Abbasyiah dalam
bidang politik. Pada abad ini dinasti Abbasiyah terpecah- pecah menjadi daulah-daulah
kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan
bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat keilmuan di kalangan
para ulama ketika itu. Bahkan ada yang mengatakan bahwa perkembangan ilmu
keislaman pada abad 4 H ini jauh lebih maju dibandingkan dengan masa- masa
sebelumnya. Hal ini antara lain disebabkan masing-masing penguasa daulah-daulah
kecil itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak kaum inteiektuai,
sekaiigus menjadi kebanggaan mereka. Juga disebabkan terjadinya desentralisasi
ekonomi yang membawa daulah- daulah kecil itu semakin makmur dan menopang
perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya. (Ahmad Amin, 11:1)
Khusus di bidang pemikiran fiqihIslam, abad 4 H. ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri' Islam. Pemikiran liberal Islam berdasarkan
ijtihad muthlaqberhenti pada abad ini. Mereka menganggap para ulama terdahulu
mereka suci dari kesalahan sehingga seorang faqihtidak mau lagi mengeluarkan
pemikirannya yang khas, terkecuali dalam hal-hal kecil saja. Akibatnya, aliran-aliran
fiqih yang ada semakin mantap eksistensinya, apalagi disertai oleh fanatisme di
kalangan penganutnya. Hal ini ditandai dengan adanya kewajiban menganut suatu
madzhab tertentu dan larangan melakukan perpindahan madzhab sewaktu-waktu.(Ahniad
Amin : 54-56).
Namun demikian, keterkaitan pada imam-imam terdahulu tidak dapat dikatakan
taqlid,karena masing-masing pengikut madzhab yang ada tetap mengadakan kegiatan
ilmiah guna menyempurnakan apa yang dirintis oleh para pendahulunya. Usaha mereka
antara lain: (Lihat Sulaiman, 1983 : 106).
1. Memperjelas 'ilat- 'ilat hukum yang di-istinbath-kan oleh para imam mereka; mereka
itulah yang disebut 'ulama takhrij;
2. Men-tarjih-kan pendapat-pendapat yang berbeda dalam madzhab. baik dari segi
riwayat dan dirayah;
3. Setiap golongan mendukung madzhab-nya sendiri dan men-tarjih-kannya dalam
berbagai masalah khilafiyah. Mereka menyusun kitab Al-Khilaf, yang di dalamnya
diungkapkan masalah-masalah yang diperselisihkan, dan men-tarjih-kan pendapat
atau pendirian madzhab yang dianutnya.
Akan tetapi, tidak bisa diingkari bahwa pintu ijtihad pada periode ini telah
tertutup. Akibatnya bagi perkembangan fiqih Islam adalah sebagai berikut: (Sulaiman :
1983 : 106-107).
a. Kegiatan para ulama terbatas dalam menyampaikan apa yang telah ada, mereka
cenderung hanya men-syarah-kan kitab-kitab terdahulu atau memahami dan
meringkasnya;
b. Menghimpun masalah-masalah furu' yang sekian banyaknya dalam uraian yang
singkat;
c. Memperbanyak pengandaian-pengandaian dalam beberapa masalah.
Keadaan tersebut, sangat jauh berbeda di bidang ushul fiqih. Terhentinya
ijtihad dalam fiqih dan adanya usaha-usaha untuk meneliti pendapat-pendapat para

27
ulama-ulama terdahulu dan men-tarjih-kannya justru memainkan peranan yang sangat
besar dalam bidang Ushul Fiqih.
Hal ini karena dalam meneliti dan men-takhrijpendapat para ulama terdahulu, diperlukan
penelusuran sampai pada akar-akarnya dan pengevaluasian kaidah-kaidah ushul yang
menjadi dasarnya. Dengan demikian, semakin berkembanglah ilmu ushul yang menjadi
dasarnya dan dengan sendirinya Ushul Fiqihpun semakin berkembang, apalagi masing-
masing madzhab menyusun kitab Ushul Fiqih.
Dalam mengomentari perkembangan fiqih Islam pada abad 4 H. ini, Muhammad
Al-Khudari Beik menyatakan, "Usaha mereka untuk menjelaskan ilat-ilat hukum yang
di-istinbath-kan oleh para imamnya tidak dapat diwujudkan jika ternyata dari sekian
banyak hukum yang diperoleh dari para imam mereka tidak mempunyai Illat, dan para
ulama berbeda pula dalam menentukan atau men-takhrij-kan ilat ini. Kejelasan illat
membuka pintu untuk berfatwa dalam hal yang tidak ada nash-nya dari para imam yang
bersangkutan. Apabila ilatyang menjadi dasar nash-nya telah diketahui, mereka
(pengikut-pengikutnya) dapat mewujudkan apa yang disebutnya sebagai ushul yang di
jadikan dasar oleh para imam mereka di dalam meng-istinbath hukum.” (Al-Khudari
Beik : 284)
Tampaknya para fuqaha memperoleh lapangan baru untuk ber-ijtihaddalam
UshulFiqh daripada ber-ijtihaddalam bidang fiqih. Mereka melakukan pemikiran yang
mandiri dan liberal, serta mempunyai ciri khas dan keorsinilan yang belum pernah
dimiliki sebelum mereka. Hal yang turut membantu ialah kecenderungan mereka
terhadap ilmu aqliyah, antara lain filsafat, sehingga turut mewarnai metode berpikir
Islam ketika itu. (Abu Zahrah : 17-18).
Dengan kata lain, terhentinya ijtihad mutlak bagi kebanyakan ulama ketika itu
tidaklah mengendorkan perkembangan ilmu Ushul Fiqih,bahkan timbul usaha untuk
meneliti dan melakukan studi mendalam di bidang ilmu Ushul Fiqih.Meskipun tidak
melakukan istinbath hukum yang bertentangan dengan madzhab-nya, mereka dapat
menemukan argumen- argumen yang dapat menguatkan pendirian madzhab-nya itu
dalam ushul fiqih.Oleh karena itu, secara material diperlukan semacam ukuran untuk
memperbandingkan pandangan-pandangan yang berbeda-beda yang pada masa itu
menjadi perdebatan sengit, maka jadilah Ushul Fiqihsebagai alat tahkim dalam
memecahkan perselisihan-perselisihan.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqihdalam abad 4 H. ini, yaitu
munculnya kitab-kitab Ushul Fiqih yang merupakan hasil karva dari para ulama fiqih.
Kitab-kitab yang paling terkenal di antaranya ialah:
a. Kitab UshulAl-Kharkhi, ditulis oleh Abu Al-Hasan Ubadillah Ibnu Al-Husain Ibnu
Dilal Dalaham Al-Kharkhi. (w. 340 H.) Kitab ini bercorak Hanafiyah. memuat 39
kaidah-kaidah ushul fiqih.Salah satu kaidah yang menurut sebagian ulama
menunjukkan kefanatikan penulisnya terhadap madzab-nya, ialah kaidah yang
berbunyi. “Pada dasarnya setiap ayat yang bertentangan dengan perkataan
sahabat-sahabat kami mengandung arti nasakh atau tarjih, sehingga harus di-
takwil-kanuntuk menyesuaikannya”. Jelas sekali bahwa perkataan ini
menunjukkan sikap lebih mementingkan perkataan imam-imamnya daripada teks
ayat dan sunah. (Sulaiman : 122).
b. Kitab Al-Fushul fi Al-UshuL ditulis oleh Ahmad Ibnu Ali Abu Bakar Ar-Razim
yang juga dikenal dengan Al-Jashshash (305- 370 H.). Kitab ini juga bercorak
Hanafiyah dan banyak mengeritik isi kitab Ar-Risalah, terutama dalam masalah Al-
Bayan dan istihsan (Abd. Al-Wahab Ibrahim Sulaiman, 1983 : 14-48)
c. Kitab Bayan Kasf Al-Alafazh, ditulis oleh Abu Muhammad Badr Ad-Din Mahmud
Ibnu Ziyad Al-Lamisy Al-Hanafi. Kitab ini di- tahqiqoleh Dr. Muhammad Hasan
Musthafa Asy-Syalabv. Ia mengatakan bahwa kitab tersebut merupakan kamus
yang menerangkan arti lafazh dan arti definisi-definisi yang sangat dibutuhkan
oleh para Qadi dan Mufti. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ta'rif dan tidak
tersusun berdasarkan abjad, tetapi dengan cara antara lain menurut kaitan
pengertian kata-katanya, misalnya kata Al-Kull, Al-Ba'cl, dan Al-Juz’u. (Sulaiman :
159)
Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai ciri khas
perkembangan ilmu Ushul Fiqihpada abad 4 H., yaitu munculnya kitab-kitab Ushul
Fiqihyang membahas masalah ushul fiqih secara utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti
yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas kitab-kitab tertentu,
hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam
masalah itu, (Sulaiman : 162)
Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda
dengan kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih
sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab Al-Fushulfi Al-Ushul, karya Abu Bakar
Ar-Razi. Hal ini juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul
fiqihpada awal abad 4 H ini. (Sulaiman: 162)
Dalam abad 4 H, ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang
bercorak filsafat, khususnya metode berpikir menurut ilmu Manthiq dalam ilmu Ushul
Fiqih.Hal ini terlihat dalam masalah mencari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam
ilmu UshulFiqh Al-hududmerupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam
perkembangan (kitab-kitab) sebelumnya. Akibat dari pengaruh ini sekurang-
sekurangnya ada dua, yakni:
a. Ketergantungan penulis dalam bidang ushul fiqihpada pola acuan dan kriteria
manthiq dalam menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah. Hal ini membuka jalan
bagi mereka untuk melakukan kriteria dan keabsahan berpendapat, yang pada
gilirannya mendorong pertumbuhan ilmu Ushul Fiqihselanjutnya;
b. Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru yang independen
dalam memberikan definsi dan pengertian terhadap peristilahan-peristilahan yang
khusus dipakai dalam ilmu ushul fiqih(Sulaiman: 164)

3.3. Tahap Penyempurnaan (Ahad 5-6 H.)


Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah
kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak

29
lagi terpusat di Bagdad, tetapi juga di kota- kota, seperti Cairo, Bukhara. Gahznah, dan
Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari para sultan, raja-raja penguasa
daulah- daulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban. (Ibrahim Hasan: 5)
Salah satu dampak dari perkembangan itu ialah kemajuan di bidang ilmu Ushul
Fiqihyang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk
mendalaminya; antara lain Al-Baqilani, Al-Qahdhi Abd. Al Jabar, Abd Al-Wahab Al-
Baghdadi, Abu Zayd Ad-Dabusy, Abu Husain Al-Bashri. Imam Al-Haramain, Abd Al-
Malik Al-Juwaini, Abu Hamid Ai-Giiazaii, dan iain-iain. Mereka itulah pelopor
keilmuan isiam di zaman itu. Para pengkaji ilmu keislaman di kemudian hari mengikuti
metode dan jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu Ushul
Fiqihyang tidak ada bandingannya dalam penulisan dan pengkajian keislaman. Itulah
sebabnya pada zaman itu, generasi Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan
minatnya pada produk- produk Ushul Fiqihdan menjadikannya sebagai sumber
pemikiran. (Sulaiman: 168).
Kitab-kitab ushul fiqihyang ditulis pada zaman ini, di samping mencerminkan
adanya kitab Ushul Fiqihbagi masing-masing madzhab--nya, juga menunjukkan adanya
dua aliran ushul fiqih,yakni aliran Hanaflyah yang dikenal sebagai aliran fuqaha dan
aliran mutakallimin. Ulama yang terkenal di kalangan Hanafiyah ialah: Abu Zayd Ad-
Dabusy dan Abu Husain Ali Ibnu Al-Husain Al-Bazdawi. sedangkan yang terkenal dari
aliran mutakallimin adalah: Iman Al-Haramain, penulis Al-Burhan, Al-Ghazali, penulis
Al-Mustasyfa, keduanya dari golongan Asv'ariyah, dan Al-Qadhi Abd Al-Jabar, penulis
kitab Al-’Ahd, Abu Al-Hasan AI- Bishri penulis kitab Al-Mu 'tamad, keduanya dari
golongan Mu'tazilah. (Ibnu Khaldun : 455-456)
Dalam sejarah perkembangan ilmu Ushul Fiqih,pada abad 5 dan 6 H. ini
merupakan periode penulisan kitab Ushul Fiqihterpesat, yang di antaranya terdapat
kitab-kitab yang menjadi kitab standar dalam pengkajian iltnu ushul fiqihselanjutnya.
Kitab-kitab ushul fiqihyang paling penting, antara lain sebagai berikut:
a. Kitab Al-Mughnifi Al-Abwab Al- ’Adi wa At-Tawhid. ditulis oleh Al-Qadhi Abd. Al-
Jabbar (w. 415 H./1024 M.). Penulis kitab ini juga penulis kitab Al-Ahdyang oleh
Ibnu Khaldun dianggap sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul
fiqih.Dalam kitab Al-Mughni, Abd Al-Jabbartidak saja menulis kaidah-kaidah fiqih,
tetapi juga kaidah-kaidah ilmu kalam yang bercorak Mu'tazilah. Baginya ilmu
kalam dan Ilmu Ushul tiqili saling menyempurnakan antara satu dengan yang
lainnya. (Sulaiman: 200). Untuk diketahui, aliran Mu’tazilah merupakan aliran
yang berpikir rasional maka tercermin pula dalam metode ilmiah dan disertai
dengan argumen- argumen yang logis.
b. Kitab Al-Mu'amad fi Al-Ushul Fiqh, ditulis oleh Abu Al-Husain Al-Bashri (w. 436
H./1044 M.). yang juga beraliran Mu'tazilah. Kitab ini adalah karya yang paling
sempurna dan menjadi sumberutama bagi para ulama Mu’tazilah pada umumnya,
bahkan dinilai sebagai salah satu dari empat standar kitab ushul fiqih,yang
dijadikan rujukan oleh umumnya pengkaji ilmu Ushul Fiqih sesudahnya. Meskipun
ia penganut aliran Mu'tazilah dan pernah berguru pada Abd. Al-Jabbar, ia sering
tidak sependapat dengan gurunya. Ia berbeda pendapat dengan Abd. Al-Jabbar
antara lain dalam masalah Ijza’ Al-Ibadat (kesempurnaan ibadah), dan soal umum
yang diiringi dengan qayd (sifat). Dia juga mengkeritik pengertian Al-bayan yang
diberikan Asy-Syafi’i (Sulaiman : 246- 247)

c. Kitab Al-Iddaf fi Ushul Al-Fiqh, ditulis Abu Ai-Qadhi Abu Muhammad Ya'la
Muhammad Al-Husain Ibnu Muhammad Ibnu Khaif Al- Farra (w. 458/1065 M.),
yang dianggap sebagai ulama besar madzhab pada abad 5 H. Pengaruhnya di
kalangan Hambali sangat besar dan berlanjut sampai ke generasi sunni
sesudahnya, khususnya kaum Hambali. melalui berbagai karangan tentang Al-
Quran, akidah, fikih dan ushul fiqih.Juga terpengaruh oleh kitab Al-Fushul karya
Abu Bakar Al-Jashshash dalam masalah Al-Bayan dan macam-macamnya, dan
kitab Al-Mu’tamad karya Abu Al- Husain Al-Bashri dalam corak pemikiran
Mu'tazilah (Sulaiman : 286), Abu Ya’la di bidang Ushul Fiqihtergolong pada
aliran mutakallimin dan mengikuti metode mereka dalam menguraikan ushul
fiqihberbagai masalah furu' dalam fiqih. Ia berpendapat bahwa seorang yang
mendalami ushul fiqih,mestilah mempelajari terlebih dahulu soal-soal furu'
sehingga dapat mantap dalam memahami maksud istidlal dari kaidah-kaidah
ushul. (Sulaiman : 276)

d. Kitab Al-Burhanfi UshulAl-Fiqh. ditulis oleh Abu Al-Ma'ali Abd. Al-Malik Ibnu
Abdillah Ibnu Yusuf Al-.luwaini Imam Ai-Haramain (w. 478 H/l 094 M.). Kitab
ini juga dinilai sebagai salah satu kitab standar Ushul Fiqih.Ibnu Khaldun menilai
kitab Ushul Fiqihyang terbaik dari kalangan mutakallimin, di samping kitab Al-
Mustasyfa yangdituiis oleh Abu Hamid Al-Ghazali. Kitab Al-'Ahdyangditulis oleh
Abd. Al-Jabbar. dan kitab Al-Mu’tamad oleh Al-Husen Al- Bashri (Ibnu Khaldun:
455). Dalam kitab ini, Al-Juwaini menunjukkan keorisinilan dan kebebasan cara
berpikir sehingga dalam berbagai hal. ia berbeda pendapat dengan Asy-Syafi'i,
Al- Aslvari, dan Al-Baqilani (Sulaiman : 311). Meskipun kitab ini merupakan
kebanggaan aliran Asy-Syafi'i, ulama-ulama terkemuka dan madzhab Malikiyah
menaruh perhatian dan membuat syara h untuknya, antara lain: Abu Abdillah Al-
Maziri (w. 536 H./l 141 M.). Abu Al-Hasan. Ali Ibnu Ismail Al Ayyari (w. 616
H./l219 M.), dan Ash-Shaf Abu Yahya. Hal ini mungkin disebabkan adanya
kemiripan pendapat dengan pendapat Imam Malik dalam masalah istihsan dan
maslahah mursalah. (Sulaiman: 317-318)
e. Kitab Al-Mustashfa min Ilm Al-Ushul, ditulis oleh Abu Hamid Al-Ghazali (w. 505
H./1111 M.), yangjuga dikenal sebagai hujjah AI-lslam. Al-Ghazali telah berguru
kepada Imam Al-Haramain, dan pernah memimpin madrasah Nizhamiyah. Ia
terkenal sebagai ulama yang mendalami fiqih, filsafat, dan tasawuf sekaligus.
Kitabnya Al-Mustashfa, menurut Ibnu Khaldun, adalah kitab terakhir dari seluruh
kitab standar Ushul Fiqih.Hasil-hasil Ijtihad Al-Ghazal i yang terpenting dalam Al-
Mustashfa antara lain adalah penolakannya terhadap hadis mursal; dalam hal ini, ia

31
berbeda pendapat dengan Malik dan Abu Hanifah. Ia juga menolak pendapat
bahwa fatwa-fatwa sahabat dapat dijadikan hujjah jika sahabat lainnya
mendiamkannya. Menurut Al-Ghazali fatwa itu tidak dapat menjadi hujjah
sebelum yakin bahwa diamnya sahabat itu menyetujui fatwa itu. la juga tidak
sependapat dengan Asy-Syafi'i dalam taqlidkepada sahabat. Menurut Al-Ghazali.
para sahabat sering salah dan lupa, dan tidak ada hujjah yang mutawatir tentang
kesucian mereka; mereka pun sering berbeda pendapat sebagai bukti bahwa
mereka tidak ma'shum. Dan juga para sahabat itu membolehkan adanya ijtihad
lain yang berbeda dengan ijtihad mereka. (Abd. Al-Wahab Ibrahim Sulaiman,
1983 : 345-355). Menurut Al-Ghazali, setiap mujtahid memiliki nilai kebenaran
pada pendapatnya masing-masing. Ia tidak setuju pada pendapat bahwa hanya
satu di antara semua ijtihad yang benar, sedangkan yang lainnya salah.
Demikianlah dalam abad 5 dan 6 H. tampil fuqaha yangmemiiiki pemikiran-
pemikiran yangorisinil dan liberalyang ditandai dengan timbulnya perbedaan-
perbedaan pendapat dalam masalah-masalah tertentu. Dalam abad ini pula kita
melihat aktivitas ulama mutakallimin, baik ‘Asy’ariyah maupun Mu'tazilah yang
memberi perhatian terhadap penulisan kitab-kitab ushul fiqih. Di samping itu,
kilab-kitab Ushul Fiqihdalam periode ini telah terpengaruh oleh corak pemikiran
Kalamiyah, Filsafat, dan Manthiqiyah. Pengaruh metode manthiq dalam ushul
fiqihdalam abad 5 dan 6 H. akan diuraikan dalam bagian berikut ini.

4. Pengaruh Manthiq Aristodalam Perkembangan Ushul Fiqih


Pada dasarnya, ushul fiqihmerupakan metode pembahasan bagi seorang faqih atau
menjadi manthiq bagi segenap permasalahannya. Secara luas dapat diartikan bahwa
ushul fiqihadalah kaidah-kaidah berpikir yang menurut pikiran faqihbebas dari kekeliruan
untuk dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum-hukum (Ali Sami An-Nasyr: 65).
Jika benar bahwa ushul fiqihitu adalah logika bagi faqih.maka yang perlu
dipermasalahkan apakah ia terpengaruh dari manthiq atau filsafat- filsafat logika, yang
juga merupakan kaidah berpikir bagi para filosof?
Seperti diketahui bahwa ushul fiqih mengalami perkembangan pesat setelah
dibukukan. Namun, merupakan suatu kekeliruan jika dikatakan bahwa perkembangan
itu disebabkan oleh pengaruh asing, yakni filsafat Aristo, khususnya manthiq yang pada
saat itu sudah diterjemahkan dalam bahasa Arab. Memang dalam menyusun kitab Ar-
Risalah. Asy- Syafi'i menempuh metode deduktif filsafat, yaitu menyusun kaidah-kaidah
kulliyah yang dapat diaplikasikan dalam masalah-masalah juzi’yah. Dengan demikian,
ada yang mengira bahwa Asy-Syafi'i terpengaruh oleh pemikiran filsafat, khususnya
metode manthiq dalam penulisan kitabnya itu. Alasan mereka adalah bahwa manthiq
telah dikenal oleh Islam sebelum masa Asy-Syafi'i, dan dia sendiri mengerti bahasa
Yunani dan ternyata metode qiyasnya mirip dengan metode tamsil Aristo (Ali Sami Al-
Nasyr : 668-669.) Namun demikian, alasan-alasan itu kurang kuat, karena Asy- Syafi’i
ternyata sangat membenci manthiq Aristo. (As-Sami An-Nasy, 1978 : 70). Dengan
demikian, hal tersebut tidak menjadikan Asy-Syafi’i terpengaruh oleh logika Aristo.
Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, metode ilmiah yang
dikembangkan oleh Asy-Syafi'i banyak menarik minat ulama-ulama ushul
fiqihsesudahnya, baik dari kalangan fuqaha maupun dari kalangan mutakallimin. Seperti
telah disebutkan di atas, para ulama mutakallimin adalah Al-Qadlu Al-Jabbardan Al-
Husaini Al-Bashri, keduanya dari aliran mu'tazilah; Abu Hasan Al-'Asy'ari, Abu Ma'ali
Al Juwaini, dan Abu
Hamid Al-Ghazali, ketiganya dari aliran 'Asy'ariyah. Mereka inilah yang mewarnai
ushul fiqih dengan corak pemikiran kalam, dengan menggunakan dalil-dalil pikiran
yang bersifat teoretis. Di antara mereka, orang yang pertama memasukkan metode
manthiq dalam pemikiran ushul fiqh adalah Abu Al-Ma'ali Al Juwaini meskipun masih
sangat terbatas. (As-Sami An-Nasyr: 73)
Ulama yang dianggap menerima pengaruh manthiq secara sungguh-sungguh ialah
Al-Ghazali karena secara mencolok ia mengemukakan teori- teori manthiq sebagai
mukaddimah kitabnya Al-Mustashfa. Di dalamnya, ia menegaskan barang siapa yang
tidak menguasai manthiq Aristo, maka ilmunya tidak dapat dipastikan kebenarannya.
Atas dasar inilah, Al- Ghazali menilai manthiq Aristo sebagai salah satu syarat ijtihad
dan merupakan fardukifayah bagi umat Islam. Hal ini membawa Al-Ghazali pada posisi
yang bertentangan dengan para fuqaha Islam ketika itu. (Ali Sami An-Nasyr : 74)
Suatu hal yang patut dicatat bahwa masuknya pengaruh manthiq Aristo ke dalam
ushul fiqih, yang dimulai semenjak imam Al-Haramain (Al-Juawaini) atau setidak-
tidaknya oleh Al-Ghazali, ternyata merupakan suatu bukti bahwa pengaruh itu masuk
dalam ushul fiqh melalui para ulama mutakallimin ‘Asy’ariyah, bukan dari kalangan
Mu'tazilah. (Ali- Sami An-Nasyr : 79-80).
Pengaruh manthiq dalam ushul fiqih,yang terjadi sejak akhir abad 5 H ini banyak
mendapat tantangan dari para ulama yang hidup semasanya dan sesudahnya. Ulama
yang paling terkenal menentangnya ialah Ibnu Ash-Shalah dan Ibnu Taimiyah. Ibnu
Ash-Shalah (w. 643 H./1245M.) membantah keras Al-Ghazali yang berpendapat bahwa
barang siapa yang tidak menguasai manthiq maka pada dasarnya ilmunya tidak diyakini
kebenarannya. Ibnu Ash-Shalah berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, dan lain-lain,
dapat mencapai tingkat keyakinan padahal tidak seorang pun di antara mereka yang
mengetahui manthiq”. Ketika Ibnu Ash-Shalah ditanya apakah para sahabat, tabi’in,
dan mujtahid salaf membolehkan mempelajari manthiq? Ia menjawab, "Manthiq ialah
suatu jalan masuk ke kesesatan, sedangkan masuk ke dalam kesesatan adalah sesat.
Mempelajarinya bukanlah hal yang dibolehkan oleh syari’at dan tidak seorang pun dari
para sahabat tabi’in, dan mujtahid salaf yang membolehkannya. (Ali-Sami An-Nasy:
144-155).
Tantangan yang sama dilontarkan oleh Ibnu Taimiyah (w. 728 H./ 1327) dalam
bukunya Ar-Radd ‘ala Al-Manthiqiyah.la menyalahkan orang yang menganggap ilmu
yang diperoleh dengan akal (dalam hal ini manthiq) sebagai bagian dari ilmu kenabian
(keagamaan), selain ilmu akliyah yang pernah diajarkan oleh nabi sendiri dalam bentuk
pemahaman dan praktek, la menyatakan bahwa orang yang beranggapan demikian telah
dimasuki pengaruh dari luar dan hawa nafsu yang merusak. (Ibnu Taimiyah: 371-372)

33
5. Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fikih Islam
Perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai target yang hendak dicapai oleh ilmu
ushul fiqihdalam pengembangan fiqih Islam. Dengan demikian, seorang seorang faqih
atau seorang peneliti yang menggeluti dan mendalami bidang studi Fikih Islam tidak
merasa terikat atau terhambat dengan adanya kaidah-kaidah ushulliyyah itu, melainkan
sebaliknya, mereka memerlukan kaidah-kaidah tersebut dan menganggapnya sebagai
suatu jalan yang harus ditempuh sebagaimana para mujtahid terdahulu telah
menempuhnya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa pendahulu dalam bidang ushul fiqih ini
harus diikuti secara mutlak, karena kaidah ushul fiqih itu ada yang telah mapan dan
mantap dan ada yang belum mapan. Ilmu pengetahuan akan berkembang terus menuju
kesempurnaannya.
Dapat dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih
merupakan salah satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara' dan menjabarkannya
pada kehidupan sosial yang berubah-ubah itu. Kegiatan tersebut dimulai pada abad
ketiga hijriyyah. Ushul fiqih itu terus berkembang menuju kesempurnaannya hingga
puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriyyah. Abad tersebut
merupakan abad keemasan penulisan ilmu ushul fiqih karena banyak para ulama
memusatkan perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab
ushul fiqih yang menjadi standar dan rujukan untuk perkembangan ushul fiqih
selanjutnya. (As-Sa'di: 24-28)
Target yang hendak dicapai oleh ilmu ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan
seseorang untuk mengetahui hukum syara’ yang bersifat furu’ dan kemampuannya untuk
mengetahui metode istinbath hukum dari dalil- dalilnya dengan jalan yang benar.
Dengan demikian, orang yang meng-istinbath hukum dapat terhindar dari kekeliruan.
Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih berarti,
seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
Target studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia
hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang mempelajari
Fiqih Islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui metode ijtihad imam
madzhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjihdan men-takhrij
pendapat imam madzhab tersebut. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar,
kecuali dengan diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah dengan metode istinbath. (Al-
Amidi, I : I)
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dikodifikasikannya, dan
ditetapkannya kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid terhadap kaidah itu
untuk keperluan instinbath hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi'in. Kalau kita
perhatikan sejarah At-TasyriAl-Islami dan mengikuti perkembangan fiqih Islam serta
periode-periode yang dilaluinya, kita dapati bahwa setelah madzhabfiqih terbentuk,
hukum-hukum fiqih hanya terbukukan pada berbagai kitab- kitab madzhab. Dan setelah
banyak ulama yang berpendapat bahwa mulai tahun 400 H. pintu ijtihad tertutup, fiqih
Islam hanya terbatas pada pendapat para imam dan pendapat mereka yang tertulis
dalam kitab-kitab fiqih tanpa ada yang berusaha untuk mengeluarkan hukum dari dalil-
dalilnya. (Umar Abdullah, 1959:23) Ketika para ulama melihat orang- orang yang
bukan ahli ijtihad tetap ber-ijtihad, sehingga hasil ijtihadnya sesat dan menyesatkan,
maka para ulama mengambil sikap memilih sesuatu yang lebih ringan mudaratnya,
vakni menutup pintu ijtihad. (Umar Abdullah: 23). Mereka mengatakan bahwa pintu
ijtihad tertutup supaya jalan menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu untuk
main-main dalam hukum syara' dapat dihindari.
Dengan demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqih sebagaimana telah
dijelaskan di atas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang
lalu, dan manusia sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang teguh
pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam kitab-kitab madzhabfiqih. hal ini berarti-
dari ilmu ushul fiqih tidak tercapai. Dengan demikian, apa perlunya mempelajari ushul
fiqih dan apa faedah mendalaminya?
Sesungguhnya pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu
adalah tidak berdasar pada dalil syara'. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena
pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan di atas. Dengan demikian, bagi
seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk
melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa ijtihad itu
mempunyai masa atau kurun tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya
sudah berakhir. Demikian juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad
itu dilarang sama sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa
kembali lagi sebagaimana di masa Aimmat Al- Mujtahidin selama ada orang yang ahli
dalam ber-ijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat ber-ijtihad.
Segi lain bagi orang yang hendak mendalami fiqih Islam adalah kebutuhan pada
ilmu ushul fiqih selalu ada. Hal ini karena mujtahid madzhab yang tidak sampai ke
tingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih.
Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhab-nya tidak
mungkin dapat melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan
kaidah-kaidahnya. Demikian pula bagi ulama yang hendak men-tarjih pendapat imam
madzhab-nya, ia pun memerlukan ilmu ushul fiqih sebab tanpa mengetahui ilmu
tersebut, ia tidak mungkin dapat men- tarjih dengan baik dan benar. Lebih dari itu dapat
dikatakan bahwa penguasaan ilmu ushul fiqih serta penyerapannya yang mendalam
sangat membantu seseorang dalam mengadakan perbandingan suatu masalah di antara
berbagai madzhab.
Dengan demikian, peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam dapat
dikatakan sebagai penolong faqihdalam mengeluarkan hukum-hukum syara' dari dalil-
dalilnya. Dan bisa juga dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan
sebagai pengembangan pemikiran fiqih Islam dan sebagai penyaring pemikiran-
pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini. Ibnu Khaldun dalam kitabnya
Muqaddamah berkata, “Sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari'ah yang
termulia, tertinggi nilainya, dan terbanyak kaidahnya.” (Ibnu Khaldun : 0452)
Berdasarkan hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai
ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki oleh setiap faqih dan dipandang sebagai

35
ilmu syari'ah yang terpenting dan tertinggi nilainya.
Perlu diingat pula bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu
dalam rangka menjaga keutuhan dalalahlafazh yang terdapat dalam nash syara terutama
dalam Al-Quran. Dan mereka dengan ushul fiqih mencoba mengungkapkan maksud
pembuat hukum (Allah) atau murad Asy-syari

6. Aliran-Aliran Uslul Fiqih


Dalam sejarah perkembangan Ushul Fiqih,dikenal dua aliran, yang terjadi antara
lain akibat adanya perbedaan dalam membangun teori ushul fiqihuntuk menggali hukum
Islam.
Aliran pertama disebut aliran Syafi’iyah dan jumhur mutakallimin (ahli kalam).
Aliran ini membangun ushul Fiqihsecara teoretis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-
masalah cabang keagamaan. Begitu pula dalam menetapkan kaidah, aliran ini
menggunakan alasan yang kuat, baik dari dalil naqli maupun aqli, tanpa dipengaruhi
masalah furu’ dan mazhab, sehingga adakalanya kaidah tersebut sesuai dengan masalah
furu' dan adakalanya tidak sesuai. Selain itu, setiap pemasalahan yang didukung naqli
dapat dijadikan kaidah.
Namun, pada kenyataannya di kalangan Syafi’iyah sendiri terjadi pertentangan,
misalnya Al-Amidi yang mengajukan kekhujjahan ijma' Sukuti, padahal Imam Syafi’i
sendiri tidak mengakuinya. Padahal ijma' yang diakui secara mutlak oleh Imam Syafi'i
adalah ijma' di kalangan sahabat saja secara jelas. Pendapat Al-Amidi tersebut
sebenarnya merupakan salah satu konsekuensi dari usahanya bersama Al-Qarafi (tokoh
Ushul FiqihMalikiyah) untuk menyatukan dua aliran ushul fiqih.
Sebagai akibat dari perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoretis, aliran
ini seringtidak bisa menyentuh permasahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini
sangat dominan, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu baik dan
dapat dicapai akal atau tidak), dan taqbih(menganggap sesuatu itu buruk dan dapat
dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya berkaitan dengan pembahasan
tentang hakim (pembuat hukum svara') yang berkaitan pula dengan masalah aqidah.
Selain itu, aliran ini seringkali terjebak terhadap masalah yang tidak mungkin terjadi
dan terhadap kema'shuman Rasulullah SAW.
Kitab standar aliran ini antara lain: Ar-Risalah (Imam Asy-Syafi'i), Al-
Mu'tamad(Abu Al-Husain Muhammad ibnu 'Ali Al-Bashri), Al-Burhan fi UshulFiqh
(Imam Al-Haramain Al-Juwaini), Al-Mankhul min Ta 'liqal Al-Ushul, Shifa Al-Ghalil fi
Bayan Asy-Syabah wa Al-Mukhil wa Masalik At-Ta’Iil, AI-Mushfa fi ilmi Al-Ushul(ketiganya
karangan Imam Abu Hamid Al-Ghazali)
Aliran kedua dikenai dengan istiiaii aiiran fuqaha yangdianut oien para ulama
mazhab Hanafi. Dinamakan mazhab fuqaha, karena dalam menyusun teorinya aliran
ini, banyak dipengarui oleh furu’ yang ada dalam mazhab mereka.
Dan aliran ini berusaha untuk menerapkan kaidah-kadiah yang mereka susun
terhadap furu'. Apabila sulit untuk diterapkan, mereka mengubah atau membuat kaidah
baru supaya bisa diterapkan pada masalah furu’ tersebut.
Di antara kitab-kitab standar dalam aliran fuqaha ini antara lain: Kitab Al-Ushul
(Imam Abu Hasan Al-Karkhi), Kitab Al-Ushul (Abu Bakar Al-Jashshash), UshulAl-
Sarakhsi (Imam Al-Sarakhsi), Ta'sisAn- Nazhar (Imam Abu Zaid Al-Dabusi), dan Al-
Kusyaf Al-Asrar (Imam Al-BazdaWi). (Ad-Dimasyqi: 42-43).
Sedangkan kitab-kitab Ushul yang menggabungkan kedua teori di atas antara
lain:
1. At-Tahrir, disusun oleh Kamal Ad-Din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi (W.861 H.)
2. Tanqih Al-Ushul, disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah (w. 747 H). Kitab ini merupakan
rangkuman dari tiga kitab ushul fiqih,yaitu: Kasf Al-Asrar (Imam Ai-Bazdawi), Al-
Mahshul(Faqih Ad-Din Ar-Razi Asy-Syafi’i), dan Mukhtashar Ibnu Al-Hajib (Ibnu
Al- Hajib Al-Maliki)
3. Jam’u Al-Jawami, disusun oleh Taj Ad-Din Abd Al-Wahab As- Subki Asy-Syafi’i
(w. 771 H.)
4. Musallam Ats-Tsubul, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd Al- Syakur(w. 1 1 1 9 H).
(Ad-Dimasyqi:42-43)
Pada abad 8 muncul Imam Asy-Syatibhi (w.790 H.) yang menyusun kitab Al-
Muwafaqat fi Al-Ushul Asy-Syari ‘ah. Pembahasan ushul fiqih yang dikemukakan dalam
kitab tersebut berhasil memberikan corak baru, sehingga para ulama ushul menganggap
sebagai kitab ushul fiqih kontemporer yang komprehensif dan akomodatif untuk zaman
sekarang.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan secara singkat awal pemulaan adanya ilmu ushul fiqih!
2. Bagaimanakah perkembangan Ushl Fiqih pada masa sahabat dan tabi’in?
3. Jelaskan corak perbedaan pemahaman pada masa setelah tabi ‘in?
4. Sebutkan beberapa faktor yang mendorong para ulama untuk membukukukan
Ilmu Ushul Fiqih?
5. Mengapa tiap mazhab fiqih mengklaim bahwa mazhab dialah yang pertama kali
membukukan ilmu Ushul Fiqih?
6. Bagaimanakah peranan Imam Syafi’i dalam penyusunan buku Ushul Fiqih?
7. Siapakah yang mengklaim bahwa golongan syi’ah yang pertama- tama menyusun
Ushul Fiqih?
8. Bagaimanakah perkembangan Ushul Fiqihpada abad 5 H.?
9. Sebutkan beberapa kitab Ushul Fiqihyang disusun pada abad 3 H?
10. Adakah pengaruh pemikiran Aristo terhadap Ushul Fiqih?Jelaskan!

37
BAB II

SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM

A. AL-QURAN SEBAGAI SUMBER HUKUM

1. Pengertian Al-Quran
Menurut sebagian besar ulama, kata Al-Quran berdasarkan segi bahasa
merupakan bentuk mashdar dari kata qara 'a, yang bisa dimasukkan pada wajan fu’lan,
yang berarti bacaan atau apa yang tertulis padanya, maqru’, seperti terdapat dalam
surat Al-Qiyamah (75): 17-18:

Artinya:
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu
pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya
itu. ”
(QS. Al-Qiyamah : 17 - 18)
Adapun definisi Al-Quran secara terminologi, menurut sebagian besar ulama
Ushul Fiqih adalah sebagai berikut:
Artinya:
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. dalam bahasa Arab yang
dinukilkan kepada generasi sesudahnya secara mutawatir, membacanya merupakan ibadah,
tertulis dalam mushaf; dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas. ”
Dari definisi di atas, para ulama ushul fiqih menyimpulkan beberapa ciri khas Al-
Quran, antara lain sebagai berikut: (Asy-Syaukani : 26-27)
1. Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada
Muhammad SAW. Dengan demikian, apabila bukan kalam Allah dan tidak
diturunkan kepada Muhammad SAW., tidak dinamakan Al-Quran, seperti Zabur,
Taurat, dan Injil. Ketiga kitab ter;ebut memang termasuk di antara kalam Allah,
tetapi bukan diturunkan kepada Muhammad SAW., sehingga tidak dapat disebut
Al-Quran.
2 Bahasa Al-Quran adalah bahasa Arab Quraisy. Seperti ditunjukkan dalam
beberapa ayat Al-Quran, antara lain: Asy-Syu’ara (26) : 192-195; Yusuf (12) : 2; Az-
Zumar (39) : 28; An-Nahl (16): 103; dan Ibrahim (14): 4. Maka para ulama sepakat
para ulama bahwa penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak dinamakan Ai-
Qur’an serta tidak bernilai ibadah membacanya. Dan tidak sah shalat dengan
hanya membaca tafsir atau terjemahan Al-Quran, Sekalipun ulama Hanafiyyah
membolehkan shalat dengan bahasa Parsi, tetapi kebolehan ini hanya bersifat
rukhshah (keringanan hukum).
3 Al-Quran itu dinukilkan kepada beberapa generasi sesudahnya secara mutawatir
(dituturkan oleh orang banyak kepada orang banyak sampai sekarang. Mereka itu
tidak mungkin sepakat untuk berdusta), tanpa perubahan dan penggantian satu
kata pun. (Al- Bukhari : 24)
4 Membaca setiap kata dalam Al-Quran itu mendapatkan pahala dari Allah, baik
bacaan itu berasal dari hapalan sendiri maupun dibaca langsung dari mushhaf Al-
Quran.
5. Al-Quran dimulai dari surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat
An-Nas. 'l ata urutan surat yang terdapat dalam An-Quran, disusun sesuai dengan
petunjuk Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad SAW., tidak
boleh diubah dan diganti letaknya. Dengan demikian, doa-doa yang biasanya
ditambahkan di akhir Al-Quran, tidak termasuk Al-Quran.

2. Kehujjahan Al-Qur’an Menurut Pandangan Ulama Imam


Mazhab.

39
2.1 Pandangan Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah sependapat dengan jumhur ulama bahwa Al- Quran
merupakan sumber hukum Islam. Namun, menurut sebagian besar ulama. Imam Abu
Hanifah berbeda pendapat dengan jumhur ulama, mengenai Al-Quran itu mencakup
lafazh dan maknanya atau maknanya saja.
Di antara dalil yang menunjukkan pendapat Imam Abu Hanifah bahwa Al-Quran
hanya maknanya saja adalah ia membolehkan shalat dengan menggunakan bahasa
selain Arab, misalnya dengan bahasa Parsi walaupun tidak dalam keadaan madarat.
Padahal menurut Imam Syafi’i sekalipun seseorang itu bodoh tidak dibolehkan
membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa selain Arab.
2.2 Pandangan Imam Malik
Menurut Imam Malik, hakikat Al-Quran adalah kalam Allah yang lafazh dan
maknanya dan Allah SWT. la bukan makhluk karena kalam Allah termasuk sifat Allah.
Sesuatu yang termasuk sifat Allah tidak dikatakan makhluk, bahkan dia memberikan
predikat kafir zindiq terhadap orang yang menyatakan bahwa Al-Q)uran itu makhluk.
Imam Malik juga sangat keberatan untuk menafsirkan Al-Quran secara murni tanpa
memakai atsar, sehingga beliau berkata, “Seandainya aku mempunyai wewenang untuk
membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murni), maka
akan kupenggal leher orang itu.”
Dengan demikian, dalam hal ini Imam Malik mengikuti ulama salaf (sahabat dan
tabi’in) yang membatasi pembahasan Al-Quran sesempit mungkin karena mereka
khawatir melakukan kebohongan terhadap Allah SWf. Maka tidak heran kaiau
kitabnya, Ai-Muwathlha dan Ai-
Mudawwanah sarat dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Dan Malik pun mengikuti jejak
mereka dalam cara menggunakan ra’yu.
Berdasarkan ayat 7 surat Ali-Imran, petunjuk lafazh yang terdapat dalam Al-Quran
terbagi dalam dua macam, yaitu muhkamat dan mutasyabihat, Ayat-ayat muhkamat adalah
ayat yang terang dan tegas maksudnya serta dapat dipahami dengan mudah, sedangkan
ayat-ayat mustasyahihat ialah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian yang
tidak dapat ditentukan artinya, kecuali setelah diselidiki secara mendalam.
Muhkamat terbagi dalam dua bagian, yaitu lafazh dan nash. Imam Malik
menyepakati pendapat ulama-ulama lain bahwa lafazh nash itu adalah lafazh yang
menunjukkan makna yang jelas dan tegas (quth’i) yang secara pasti tidak memiliki
makna lain, sedangkan lafazh zhahir adalah lafazh yang menunjukkan makna jelas,
namun masih mempunyai kemungkinan makna lain. Menurut Imam Malik, keduanya
dapat dijadikan hujjah, hanya saja lafazh nash didahulukan daripada lafazh zhahir.
Menurut Imam Malik, dilalah nash termasuk qath'i, sedangkan dilalah zhahir termasul
zhanni, sehingga biia terjadi pertentangan antara keduanya, maka yang didahulukan
adalah dilalah nash. Yang perlu diingat adalah makna zhahir di sini adalah makna zhahir
menurut pengertian Imam Malik.
2.3. Pandangan Imam Asy-Syafi’i
Imam As-Syafi'i, sebagaimana para ulama lainnya, menetapkan bahwa Al-Quran
merupakan sumber hukum Islam yang paling pokok, bahkan beliau berpendapat.
“Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama manapun, kecuali petunjuknya
terdapat dalam Al-Quran.” (Asy- Syafi’i, 1309:20). Oleh karena itu. Imam Asy-Syafi’i
senantiasa mencantumkan nash-nash Al-Quran setiap k a l i mengeluarkan pendapatnya,
sesuai metode yang digunakannya, yakni deduktif.
Namun, Asy-Syafi'i menganggap bahwa Al-Quran tidak bisa dilepaskan dari As-
Sunah, karena kaitan antara keduanya sangat erat sekali. Kalau para ulama lain
menganggap bahwa sumber hukum Islam yang pertama itu Al-Quran kemudian As-
Sunah, maka Imam Asy-Syafi’i berpendapat bahwa sumber hukum Islam pertama itu
Al-Quran dan As- Sunah, sehingga seakan-akan beliau menganggap keduanya berada
pada satu martabat.
Sebenarnya. Imam Asy-Syafi'i pada beberapa tulisannya yang lain tidak
menganggap bahwa Al-Quran dan Sunah berada dalam satu martabat, namun
kedudukan As-Sunah itu adalah setelah Al-Quran. Tapi Asy-Syafi’i menganggap
bahwa keduanya berasal dari Allah SWT. Meskipun mengakui bahwa di antara
keduany a terdapat perbedaan cara memperolehnya. Dan menurutnya As-Sunah
merupakan penjelas berbagai keterangan yang bersifat umum yang ada dalam Al-
Quran.
Kemudian Asy-Syafi'i menganggap Al-Quran itu seluruhnya berbahasa Arab, dan
ia menentang mereka yang beranggapan bahwa dalam Al-Quran terdapat bahasa' Ajam
(luar Arab), di antara pendapatnya adalah firman Allah SWT. :

Artinya:
"Dan begitulah Kami turunkan Al-Quran berbahasa arab. ”
Dengan demikian, tak heran bila Imam Asy-Syafi’i dalam berbagai pendapatnya
sangat mementingkan penggunaan bahasa Arab, misalkan dalam shalat. nikah, dan
ibadah-ibadah lainnya. Dan beliau pun mengharuskan penguasaan bahasa Arab bagi
mereka yang ingin memahami dan meng-istinbath hukum dari Al-Quran. (Abu Zahrah :
191- 197)

2.4. Pandangan Imam Ahmad Ibnu HambaI


Al-Quran merupakan sumber dan tiangnya syari'at Islam, yang di dalamnya
terdapat berbagai kaidah yang tidak akan berubah dengan perubahan zaman dan tempat.
Al-Quran juga mengandung hukum-hukum global dan penjelasan mengenai akidah
yang benar, di samping sebagai hujjah untuk tetap berdirinya agama Islam.
Ahmad Ibnu Hambal, sebagaimana para ulama lainnya berpendapat bahwa Al-
Quian itu sebagai sumber pokok Islam, kemudian disusul oleh As-Sunah. Namun,

41
seperti halnya Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad memandang bahwa As-Sunah
mempunyai kedudukan yang kuat di samping Al-Quran, sehingga tidak jarang beliau
menyebutkan bahwa sumber hukum itu adalah nash, tanpa menyebutkan Al-Quran
dahulu
atau As-Sunah dahulu, tetapi yang dimaksud nash tersebut adalah Al- Quran dan As-
Sunah.
Dalam penafsiran terhadap Al-Quran. Imam Ahmad betul-betul mementingkan
penafsiran yang datangnya dari As-Sunah (Nabi Muhammad SAW.), dan sikapnya
dapat diklasifikasikan menjadi tiga:
a. Sesungguhnya zhahir Al-Quran tidak mendahulukan As-Sunah.
b. Rasulullah SAW. saja yang berhak menafsirkan Al-Quran, maka tidak ada
seorang pun yang berhak menafsirkan atau menakwilkan Al-Quran, karena As-
Sunah telah cukup menafsirkan dan menjelaskannya.
c. Jika tidak ditemukan penafsiran yang berasal dari Nabi, penafsiran para
sahabatlah yang dipakai, karena merekalah yang menyaksikan turunnya Al-Quran
dan mendengarkan takWil. Dan mereka pula yang lebih mengetahui As-Sunah,
yang mereka gunakan sebagai penafsir Al-Quran.
Menurut Ibnu Taimiyah, Al-Quran itu tidak ditafsirkan, kecuali dengan atsar,
namun dalam beberapa pendapatnya, ia menjelaskan kembali bahwajika tidak
ditemukan dalam hadis Nabi dan qaul sahabat, diambil dari penafsiran para tabi’in.
(Abu Zahrah : 242-247)
3. Petunjuk (Dilalah) Al-Quran
Kaum muslimin sepakat bahwa Al-Quran merupakan sumber hukum syara'.
Mereka pun sepakat bahwa semua ayat Al-Quran dari segi wurud(kedatangan) dan
tsubut(penetapannya) adalah qath'i.Hal ini karena semua ayatnya sampai kepada kita
dengan jalan mutawatir. Kalaupun ada sebagian sahabat yang mencantumkan beberapa
kata pada mushaf-nya, yang tidak ada pada qira'ah mutawatir, hal itu hanya merupakan
penjelasan dan penafsiran terhadap Al-Quran yang didengar dari Nabi SAW. atau hasil
ijtihad mereka dengan jalan membawa nash mutlaqpada muqayyaddan hanya untuk
dirinya sendiri. Hanya saja para pembahas berikutnya menduga bahwa hal tersebut
termasuk qira'atgair mutawatiryang periwayatannya tersendiri. Di antara para sahabat
yang mencantumkan beberapa kata pada mushafnyaitu adalah Abdullah Ibnu Mas'ud, ia
mencantumkan kata mutatabi'atinpada ayat 89 surat Al- Ma'idahsehingga ayat tersebut
pada mushaf-nyatertulis:
dan kata dzi ar-rahmi Al-muharramipada ayat 233, surat Al-
Baqarah sehingga ayat itu tertulis:

Ubay Ibnu Ka’ab


mencantumkan kata min Al-ummi pada ayat 12 surat An-Nisa, sehingga ayat tersebut
tertulis pada mushaf--nya:

(Muhammad Al-Makdur, 1976 : 104).


Namun, perlu ditegaskan bahwa hal tersebut tidak didapati dalam mushaf
Utsmani yang kita pakai sekarang ini.
Dengan demikian, penambahan kata pada sebagian ayat Al-Quran seperti di atas
tidak dapat dikatakan sebagai Al-Quran; dan orang yang mengingkarinya pun tidak
dihukumi sebagai orang kufur. Demikian pula, kata-kata yang merupakan penambah
itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk istinbath hukum, kecuali menurut golongan
Hanafiyah. Hal ini berakibat pada perbedaan pendapat antara Jumhur ulama dengan
ulama Hanafiyah dalam beberapa masalah, yang antara lain sebagai berikut:
a. Hanafiyah mensyaratkan puasa kifarat sumpah dilakukan terus menerus, karena
mereka berpegang kepada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan selain ulama
Hanafiyah tidak mensyaratkannya, (Al- Ghazali, 1968:229)
b. Hanafiyah melarang memotong tangan kiri pencuri yang mencuri untuk ketiga
kalinya, karena yang dimaksudkan dengan pemotongan tangan pada ayat 38 surat
Al-Maidah adalah tangan kanan pencuri.

43
Pendapat mereka bersumber pada qira’ah Ibnu Mas’ud, sedangkan menurut para
ulama selain Hanafiyah, pencuri yang mencuri ketiga kalinya itu harus dipotong
tangan kirinya,
c. Hanafiyah berpendapat bahwa kewajiban memberi nafkah kepada kerabat zawil
Arhani itu hanyalah kepada zawil arham yang muhrim, sedangkan menurut jumhur
ulama, zawil arham yang wajib diberi nafkah tidak terikat dengan muhrim-nya saja,
baik muhrim ataupun bukan, mereka tetap diberi nafkah. ( A l i Hasaballah, 1968 :
259)
Adapun ditinjau dari segi dilalah-nya, ayat-ayat Al-Quran itu dapat dibagi dalam
dua bagian:
3.1. Nash yang qath ’i dilalali-nya
Yaitu nash yang tegas dan jelas maknanya, tidak bisa di-takwil, tidak mempunyai
makna yang lain, dan tidak tergantung pada hal-hal lain di luar nash itu sendiri. Contoh
yang dapat dikemukakan di sini, adalah ayat yang menetapkan kadar pembagian waris,
pengharaman riba, pengharaman daging babi, hukuman had zina sebanyak seratus kali
dera, dan sebagainya. Ayat-ayat yang menyangkut hal-hal tersebut, maknanya jelas dan
tegas dan menunjukkan arti dan maksud tertentu, dan dalam memahaminya tidak
memerlukan ijtihad. (Abdul Wahab Khalaf, 1972:35)
3.2. Nash yang zhanni dilalah-nya
Yaitu nash yang menunjukkan suatu makna yang dapat di-takwil atau nash yang
mempunyai makna lebih dari satu, baik karena lafazhnya musytarak (homonim) ataupun
karena susunan kata-katanya dapat dipahami dengan berbagai cara, seperti dilalah
isyarat-nya, iqtidha-nya, dan sebagainya.
Para ulama, selain berbeda pendapat tentang nash Al-Quran mengenai penetapan
yang qath’idan zhanni dilalah, juga berbeda pendapat mengenai jumlah ayat yang
termasuk qath ’i atau zhanni dilalah.
Imam Asy-Syatibi menegaskan bahwa wujud dalil syara’ yang dengan sendirinya
dapat menunjukkan dilalah yang qath’i itu tidak ada atau sangat jarang. Dalil syara’
yang qath ’i tsubut pun untuk menghasilkan dilalah yang qath’i masih bergantung pada
premis-premis yang seluruh atau sebagiannya zhanni. Dalil-dalil syara’ yang bergantung
pada dalil yang zhanni menjadi zhanni pula. (Asy-Syatibi, 1975,1:35).
Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi adalah:
a. Proses penggunaan bahasa dan berbagai persoalanIlmu Nahwu.
b. Keterbatasan dari lsyiirak.
c. Keterbatasan dari majaz.
d. Proses penggunaan secara syara’ atau tradisi.
e. Persoalan penggunaan dhamir.
f. Adanya lakhshish terhadap lafazh 'amm.
g. Adanya taqyidterhadap lafazh muthlaq.
h. Keterbebasan dari nasikh.
i. Kejelasan taqdimdan la ’khir.
j. Ketiadaan pertentangan dengan pemikiran yang logis.
Mengingat dalil syara' yang dapat menunjukkan dilalah yang qath'i hanya terwujud
dengan sepuluh premis di atas, maka menemukan dalil yang seperti itu hampir tidak
mungkin. Andaikata ada, jumlahnya pun sangat sedikit. (Asy-Syatibi, 1975, 1:36).
Pandangan seperti ini juga dikemukakan oleh Al-Asnawi dalam kitabnya Nihayah As-
Sul. Ia menyatakan bahwa redaksi As-Sunnah Al-Mutawatirah, seperti halnya Al-Quran
adalah qath'i, sedangkan dilalah-nya zharmi karena berkaitan dengan: Al-Ihtimalatu Al-
Asyrah (Al-Asnawi, t.t: 125). Agaknya, yang dimaksud dengan Al-Ihtimalatu Al-Asyrah
sama dengan sepuluh premis yang dikemukakan Asy-Syatibi.
Selanjutnya, Asy-Syatibi mengajukan suatu pandangan tentang upaya mencari
qath'i dilalah, yaitu melalui istiqra'. Menurutnya, dalil- dalil syar'i yang dapat diandalkan
qath'i dilalah-nya adalah yang dihasilkan melalui proses istiqradari seluruh nash syara'.
Dalil yang dihasilkan melalui proses ini disebut syabihu hi Al-mutawatiri Al- ma'nawy,
karena ditunjang oleh makna berbagai nash yang menunjuk pada satu pengertian atau
keputusan. (Asy-Syatibi, 1975 : 1 : 36).
Konsep Asy-Syatibi tentang maqashidAs-Syari'ah dirumuskannya berdasarkan
metode istiqra ini, sehingga mempunyai landasan yang qath 'i. Oieh sebab itu, di tempat
iain ia menjeiaskan bahwa daiii zhaimidiiaiah bisa menjadi qath'i dilalah apabila
maknanya sesuai dengan makna yang terkandung pada dalil yang qath'idilalah-nya (Asy-
Syatibi. 1975. I l l : 16).
4. Sikap Para Ulama ketika Zahir Al-Quran Berhadapan dengan Sunah
Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena
adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang
men-takhshish keumuman dilalahAl- Quran. Dalam hal ini, para ulama berbeda
pandangan. Imam Asy-Syafi’i, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat
bahwa pemahaman Al-Quran itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam
Sunah, karena Sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Quran, dan juga
sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga artinya men jadi jelas.
Contohnya sangat banyak, dan para ulama pun bila tidak menemukan penasiran dari Al-
Quran itu sendiri akan mencari penafsirannya dari Sunah.
Dengan demikian, semua lafazh ’ammyang ada dalam Al-Quran jika sudah ada
keterangan dalam hadis, meskipun menyalahi zahir ayat tersebut, harus di-takhsish
dengan sunah.
Adapun Abu Hanifah dan beberapa ulama lain berpendapat bahwa lafazh umum
yang ada dalam Al-Quran itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap
keumumannya. Jika ada sunnah yang mutawatir atau yang masyhur, sunah tersebut yang
bisa men-takhshish-nya.. Namun jika sunahnya tidak mutawatir, Al-Quran dipahami
berdasarkan keumumannya karena Al-Quran itu qath'ike-takhsis-annya. Menurutnya,
hadis Ahad tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Quran karena tidak sahih untuk dinisbatkan
kepada Nabi.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish
sunah terhadap Al-Quran terbagi dua:

45
a. As-Sunah sebagai hakim terhadap Al-Quran, yakni As-Sunah sebagai tafsir dan
penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al- Quran. As-Sunah dianggap
sebagai kunci untuk memahami Al- Quran yang tidak mungkin dilepaskan dalam
memahami Al-Quran;
b. Al-Quran sebagai hakim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika
bertentangan dengan Al-Quran, termasuk di dalamnya khabar Ahad.
Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalahAl- Quran, juga terjadi
pada golongan Sunni dan Syi'i. Kaum Sunni memahami dilalah Al-Quran melalui
sunah. Jika tidak ditemukan dalam sunah, mereka memahaminya melalui ilmu bahasa
Arab dan Ilmu syari’at dengan mengambil maqashiddan tujuan disyariatkannya ayat
tersebut. Sedangkan golongan Syi'i(Imamiyah) berpendapat bahwatidak
seorang pun yang mampu memahami Al-Quran selain Imam mereka yang dua belas.
Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam
memahami Al-Quran, sedangkan selain mereka tidak ada yang mampu mencapainya.
Selain itu, mereka juga dianggap ma'shum, terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II :
59-60)

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian Al-Quran dari segi bahasa dan istilah yang telah disepakati
oleh ulama Ushul Fiqih!
2. Bolehkah shalat dengan menggunakan terjemah atau tafsir Al-Quran!
3. Apakah semua ulama sepakat terhadap kehujjahan Al-Quran, Jelaskan dan
berikan dalil dari masing-masing ulama!
4. Jelaskan tentang dilalah qath ’i dan zhanni dalam Al-Quran!
5. Apakah semua ayat yang ada dalam Al-Quran itu muhkaml Jelaskan pendapat
Imam Malik tentang ayat-ayat yang muhkamatl
6. Apakah yang dimaksud Al-Qira’atghairu Al-mutawatir?
7. Berikan beberapa contoh ayat yang diberi tambahan oleh para sahabat!
8. Jelaskan maksud istiqra,menurut Asy-Syatibhi!
9. Bagaimana sikap para ulama bila zahir Al-Quran berhadapan dengan Sunah?
10. Bagaimana perbedaan antara kaum Syi’i dan Sunni dalam memahami dilalah Al-
Quran?
B. SUNAH
1. Pengertian Sunah
Arti sunah dari segi bahasa adalah jalan yang biasa dilalui atau suatu cara yang
senantiasa dilakukan, tanpa mempermasalahkan, apakah cara tersebut baik atau buruk.
Arti tersebut bisa ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:

Artinya:
“Barang siapa yang membiasakan sesuatu yang baik di dalam Islam, maka ia menerima
pahalanya dan pahala orang-orang sesudahnya yang mengamalkannya. ”
(H.R. Muslim) (Al-Khatib: 17) Secara terminologi, pengertian sunah bisa dilihat
dari tigadisiplinilmu;
1. Ilmu Hadis, para ahli hadis mengidentikkan sunah dengan hadis, yaitu segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW., baik perkataan,
perbuatan, maupun ketetapannya.
2. Ilmu Ushul Fiqh, menurut ulama ahli Ushul Fiqh, sunah adalah segala yang
diriwayatkan dari Nabi SAW. berupa perbuatan, perkataan, dan ketetapan yang
berkaitan dengan hukum.”
3. Ilmu Fiqih,pengertian sunah menurut ahli fiqih hampir sama dengan pengertian
yang dikemukakan oleh para ahli Ushul Fiqh. Akan tetapi, istilah sunnah dalam
fiqih juga dimaksudkan sebagai salah satu hukum taklifi, yang berarti suatu
perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila dikerjakan dan tidak berdosa
apabila ditinggalkan.
2. Kehujjahan Sunah dan Pandangan Ulama Mazhab terhadap
Hadis Ahad
Para ulama sepakat bahwa hadis sahih itu merupakan sumber hukum, namun
mereka berbeda pendapat dalam menilai kesahihan suatu hadis.
Kebanyakan ulama hadis menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, hadis itu
terbagi dalam mutawatir dan ahad, sedangkan hadis ahad itu terbagi lagi menjadi tiga
bagian, yaitu masyhur, ‘aziz, dan gharib. Namun menurut Hanafiyah, hadis itu terbagi tiga
bagian, yaitu: mutawatir, mashyur, dan ahad.
Semua ulama telah menyepakati kehujjahan hadis Mutawatir, namun mereka
berbeda pendapat dalam menghukumi hadis ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan dari
Rasulullah SAW. oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat
mutawatir.

2.1 Kehujjahan Hadis Ahad

47
Para ulama telah sepakat tentang kehujjahan hadis ahad jika benar
dan yakin berasal dari Rasulullah SAW. dan telah disepakati oleh para sahabat,
tabi'in, dan para ulama selelahnya.
Pernyataan di atas telah disepakati oleh para ulama dari semua golongan, kecuali
golongan Mu'tazilah. Pendapat kaum Mu'tazilah tersebut bisa dipandang sebagai pendapat
yang keliru, karena mereka telah mengingkari berbagai ketetapan yang berkembang dan
sesuai dengan Al-Quran. Mereka juga telah mengingkari kesepakatan para sahabat dan
para ulama yang menerima hadis ahad dan mengamalkannya apabila benar-benar
datang dari Rasulullah.
Alasan golongan yang tidak menerima hadis ahad karena, menurut mereka, para
sahabat juga tidak menerimanya. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh Malik bin
Syihabdari Qubaidah bin Dzu’aib, bahwa seorang nenek mendatangi Abu Bakar dan
berkata. “Sesungguhnya aku mempunyai hak atas harta putra dari putri anakku yang
telah meninggal.” Abu Bakar berkata, ’Apakah Engkau mempunyai dasar dari Al-
Quran dan telah diamalkan dalam sunah Rasul? Kembalilah, sehingga orang yang
lainnya pun meminta.” Maka orang yang lainnya pun meminta. Kemudian Mugirah bin
Syu'bah berkata, ‘‘Sesungguhnya Rasulullah telah memberinya seperenam.” Abu Bakar
berkata, '‘Apakah Engkau memiliki saksi yang lain?” “Ya, Muhammad bin Musallamah
Al-Anshary.” Kemudian Abu Bakar mendatanginya uan iapun berkata sesuai dengan
yang dikatakan oleh Mugirah. Setelah Muhammad bin Musallamah Al- Anshary
membenarkannya, maka Abu Bakar pun memberikan kepada nenek tersebut
seperenam.”
Menurut mereka hadis tersebut menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak menerima
hadis ahad, vakni dan Mugirah bin Syu’bah, kecuali setelah mengeceknya kepada
Muhammad bin Musallamah.
Sebagai jawaban terhadap argumen di atas, pada kenyataannya para ulama
menggunakan hadis ahad dalam menetapkan berbagai hukum dan fatwa, dan
membatalkan berbagai macam hukum apabila bertentangan dengan hadis ahad.
Seandainya ada di antara mereka yang tidak mengamalkan sebagian hadis ahad, mereka
tidak bisa mengklaim secara keseluruhan. Selain itu, penyebab mereka tidak
mengamalkan hadis ahad semata-mata karena kehati-hatian mer-ka saja supaya tidak
menyalahi Al-Quran dan Sunah. Sebagai contoh. Abu Bakar tidak ragu lagi untuk
melaksanakan hadis yang dibawa oleh Mugirah setelah diperkuat oleh Muhammad bin
Musallamah.
2.2 Persyaratan Hadis Ahad yang Disepakati Para Imam Madzhab
Para Imam Madzhab telah sepakat tentang keharusan mengamalkan hadis
ahad dengan syarat berikut:
1. Perawi hadis sudah mencapai usia balig dan berakal.
2. Perawi harus muslim, karena bila tidak muslim, tidak bisa dipercaya hadis
tersebut benar-benar dari Rasulullah.
3. Perawi haruslah orang yang adil, yakni orang yang senantiasa bertakwa dan
menjaga dari perbuatan-perbuatan tercela.
4. Perawi harus betul-betul dhabit terhadap yang diriwayatkannva. dengan
mendengar dari Rasulullah, memahami kandungannya, dan benar-benar
menghapalnya.
Persyaratan di atas disepakati oleh para Imam madzhab, namun di antara para
Imam madzhab ada yang memberikan persyaratan-persyaratan tambahan lainnya.
2.1 Madzhab Imam Hanafi
Menurut ulama Hanafiyah, hadis ahad dapat diterima apabila memenuhi tiga
persyaratan lain selain persyaratan d’ atas:
1. Perbuatan perawi tidak menyalahi riwayatnya itu. Berdasarkan
hal ini, ulama Hanafiyah tidak membasuh bejana yang dijilat anjing sebanyak
tujuh kali seperti yang ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairah yang berbunyi:

Artinya:
"Sucinya wadah salah satu di antara kamu jika dijilat anjing, dengan
mencucinya tujuh kali dan salah satunya dengan tanah.
Mereka membasuhnya sebanyak tiga kali sebab Abu Hurairah (perawi) sendiri
hanya membasuhnya liga kaii, sedangkan jumhur tetap membasuhnya
sebanyak tujuh kali. Demikian pula masalah wali dalam nikah.
b. Riwayat itu (kandungan hadis) bukan hal yang umum terjadi dan layak diketahui
oleh setiap orang, seperti menyentuh kemaluan karena hal yang demikian
diketahui dan diriwayatkan oleh orang banyak. Dengan demikian, hadis
mengenai hal tersebut dipandang syaz (ganjil). Oleh sebab itu, menurut ulama
Hanafiyah menyentuh kemaluan (zakar) tidak membatalkan wudhu. Selain itu,
mengeraskan membaca bismillah pada surat AI-Fatihah ketika shalat dan
mengangkat tangan ketika ruku' dalam shalat tidak diharuskan.
c. Riwayat hadis itu tidak menyalahi qiyasselama perawinya tidak faqih.Di antara
para perawi yang tidak faqih menurut mereka adalah Abu Hurairah, Salman Al-
Farisi, dan Anas Ibnu Malik. Oleh sebab itu, mereka menolak hadis riwayat Abu
Hurairah yang berbunyi:

49
Karena hadis ini bertentangan dengan prinsip qiyas,yaitu jaminan (ganti rugi)
harus sejenis atau sama barangnya.

2.2.2 Mazhab Imam Maliki


Malikiah menerima hadis Ahad selama tidak bertentangan dengan amalan ulama
Madinah. Karena menurut Imam Malik, amalan ulama Madinah merupakan riwayat
dari Rasulullah SA\V. Riwayat jamaah dari jamaah lebih utama daripada riwayat satu
orang dari satu orang (hadis ahad). Berdasarkan hal itu, mereka tidak menerima khiyar
majlis, karena bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di Madinah.
2.2.3 Mazhab Imam Syafi’i
Madzhab Asy-Syafi’i dalam menerima hadis ahad mensyaratkan empat syarat:
1. Perawinya tsiqatdan terkenal shidiq.
2. Perawinya cerdik dan memahami isi hadis yang diriwayatkannya.
3. Periwayatannya dengan riwayat bi al-lafzi, bukan riwayat bi al-makna.
4. Periwayatannya tidak menyalahi hadis ahl al-Ilmi (Al-Amidi, I 1968: 178)
Kalau kita perhatikan, persyaratan Asy-Syafi’i tersebut sebenarnya hanya
merupakan persyaratan kesahihan suatu hadis pada umumnya, yaitu sahih sanad dan
muttasil. Oleh sebab itu Asy-Syafi’i menerima hadis ahad, apabila sanadnya sahih dan
bersambung, tanpa mensyaratkan syarat lain, seperti ulama di atas. Hadis mursal tidak
diterima, kecuali ada beberapa syarat tertentu.
Ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam menerima hadis ahad tidak
mensyaratkan sesuatu pun, kecuali harus sahih sanad-nya seperti Asy-Syafi’i. Bahkan ia
menerima hadis mursal, namun lebih mendahulukan fatwa sahabat daripada hadis da’if
(Ibnu Qadamah, I : 281 dan Ibnu Qayyim, I : 30)
2.2.4 Sebab-sebab Perbedaan Pendapat dan Kedudukan Hadis Ahad dengan Qiyas
Penyebab perbedaan pendapat mengenai hadis ahad, di antaranya adalah
perbedaan dalam menentukan persyaratan perawi hadis. Adapun tentang persyaratan
perawi yang dapat diterima riwayatnya, ada yang disepakati dan ada yang
diperselisihkan oleh para ulama. Di antara persyaratan yang diperselisihkan oleh para
ulama adalah ma'ruf dan majhul perawi.
Yang ma 'ruf pun terbagi dua: Pertama, yang ahli di bidang fiqih; kedua, yang tidak
ahli di bidang fiqih. Hadis riwayat pertama dapat dijadikan hujjah dan didahulukan bila
bertentangan dengan qiyas,kecuali menurut pendapat Imam Malik, yang mendahulukan
qiyasdaripada hadis ahad. Sedangkan hadis riwayat kedua (yang tidak faqih) menurut
jumhur ulama, masih tetap dapat diterima, baik hadis itu sejalan dengan qiyas maupun
menyalahi qiyas.Akan tetapi, menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hadis riwayat kedua ini
tidak dapat diterima. (Al-Bukhari, 1: 377)
Sehubungan dengan masalah ini, Abu Hasan Al-Basari lebih jauh menjelaskan
bahwa hadis ahad yang bertentangan dengan qiyasitu, apabila illat yang ada dalam
qiyasitu mansusah (diperkuat) dengan nash qath’i,maka mereka sepakat tentang wajibnya
mengamalkan qiyas tersebut, karena nash atas illat tersebut bagaikan nash atas
hukumnya. Sedangkan apabila illat-nya itu mansusah dengan nash zhanni, maka mereka
sepakat, wajib mengamalkan hadis ahad, sebab hadis itu secara tegas (sarih)
menunjukkan suatu hukum (Al-Basari, II, 1983 : 263)
Menurut jumhur ulama hadis, Asy-Syafi’i dan Al-Karakhi, kefakihan seorang
rawi tidaklah menjadi syarat dalam mendahulukan hadis pada qiyas.
Adapun perawi majhul apabila diriwayatkan oleh ulama salaf dan mereka
menguatkan atas kesahihan hadisnya, maka ia dipandang sebagai perawi yang ma 'ruf
dan hadisnya dapat diterima. Sebaliknya, apabila tidak, hadisnya tertolak.
3. Dilalah (Petunjuk) Sunah
Ditinjau dari segi petunjuknya (dilalah), hadis sama dengan Al- Quran, yaitu bisa
qath ’iah dilalah dan bisa zhanniyah dilalah. Demikian juga dari segi tsubut, ada yang
qat’idan ada yang zhanni. Kebanyakan ulama menyepakati pembagian tersebut, namun
dalam aplikasinya berbeda-beda.
Dalam kaitannya antara nisbat As-Sunah terhadap Al-Quran, para ulama telah
sepakat bahwa As-Sunah berfungsi menjelaskan apa yang terdapat dalam Al-Quran dan
juga sebagai penguat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kedudukan As-
Sunah terhadap Al-Quran apabila As-Sunah itu tidak sejalan dengan zhahir ayat Al-
Quran.
4. Kedudukan Sunah terhadap AI-Quran
Sunah merupakan sumber kedua setelah Al-Quran. Karena Sunah merupakan
penjelas dari Al-Quran, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang
menjelaskan. Namun demikian, kedudukan Sunah terhadap Al-Quran sekurang-
kurangnya ada tiga hal berikut ini.
4.1 Sunah sebagai ta'kid (penguat) Al-Ouran
Hukum Islam disandarkan kepada dua sumber, yaitu Al-Quran dan Sunah. Tidak
heran kalau banyak sekali sunah yang menerangkan tentang kewajiban shalat, zakat,
puasa, larangan musyrik, dan lain-lain.
4.2 Sunah sebagai penjelas Al-Quran
Sunah adalah penjelas (.bayanutasyri') sesuai dengan firman Allah
surat An-NahI ayat 44:

51
Artinya:
Telah Kami turunkan kitab kepadamu untuk memberikan penjelasan
tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka berfikir.
(QS. An-Nahl : 44)
Diakui bahwa sebagian umat Islam tidak mau menerima Sunah, Padahal
dari mana mereka mengetahui bahwa shalat Zhuhur itu empat raka’at, Magrib
tiga raka’at, dan sebagainya kalau bukan dari sunah.
Maka jelaslah bahwa sunah itu berperan penting dalam menjelaskan
Maksud-maksud yang terkandung dalam Al-Quran, sehingga dapat meng-
hilangkan kekeliruan dalam memahami Al-Quran.
Penjelasan sunah terhadap Al-Quran dapat dikategorikan menjadi 'iga
bagian:
1. Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam Al-
Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat dan ketentuan-
ketentuan shalat lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh sunah sebagaimana
sabda Rasulullah SAW. :

Artinya:
“Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat saya shalat. ”
2. Penguat secara mutlaq,Sunah merupakan penguat terhadap dalil-dalil umum yang ada
dalam Al-Quran.
3. Sunah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Al-Quran yang masih umum.
4.Sebagai Musyar ’i (Pembuat Syari ’at)
Sunah tidak diragukan lagi merupakan pembuat syari'at dari yang
tidak ada dalam Al-Quran, misalnya diwajibkannya zakat fitrah,
disunahkan aqiqah, dan lain-lain. Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat:
1. Sunah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Al-Quran.
2. Sunah tidak memuat hal-hal baru yang tidak dalam Al-Quran, tetapi
hanya memuat hal-hal yang ada landasannya dalam Al-Quran.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan pengertian sunah menurut ulama hadis, ushul
dan ahli fiqih!
2. Apakah yang dimaksud dangan hadis sahih? Jelaskan!
3. Jelaskan sikap para ulama terhadap hadis ahad, dan bagaimanakah persyaratannya
menurut kesepakatan mereka agar hadis ahad dapat diterima?
4. Jelaskan alasan orang-orang yang tidak menerima hadis ahad beserta dalil yang
digunakannya!
5. Bagaimanakah persyaratan hadis Ahad yang dapat diterima sebagai dalil menurut
Imam Hanafi?
6. Jelaskan tentang ma 'ruf dan majhul perawi, serta pengaruhnya terhadap
penerimaan sebuah hadis!
7. Jelaskan yang dimaksud dengan zhanni Al-wurud wa Al-dilalah!
8. Apa yang Anda ketahui tentang kedudukan sunah terhadap Al- Quran?
9. Ditinjau dari segi apakah, As-Sunah dikategorikan sebagai penjelas Al-Quran?
Jelaskan!
10. Bagaimanakah pendapat Anda terhadap orang yang mengingkari Sunah?

C . IJMA’
1. Pengertian Ijma
1.1 Menurut Bahasa
Definisi Ijma ’ menurut bahasa terbagi dalam dua arti:

1. Bermaksud atau berniat, sebagaimana firman Allah dalam Al- Quran surat
Yunusayat 71:

Artinya:
“Dan bacakanlah kepada mereka berita tentang Nuh di waktu dia berkata kepada

53
kaumnya, "Hai kaumku, jika terasa berat bagimu tinggal (bersamaku) dan
peringatanku (kepadamu) dengan ayat-ayat Allah, maka kepada Allah-lah aku
bertawakal, karena itu billatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-
sekutumu (untuk membinasakannya). Kemudian janganlah keputusanmu itu
dirahasiakan. Lalu lakukanlah terhadap diriku, dan janganlah kamu memberi tangguh
kepadaku. ”
(QS. Yunus : 71)
Maksudnya, semua pengikut Nabi Nuh dan teman-temannya harus mengikuti
jalan yang beliau tempuh. Dan hadis Rasulullah SAW. yang artinya, “Barang
siapa yang belum berniat untuk berpuasa sebelum fajar, maka puasanya tidak sah. ”
2. Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber- ijma’bila mereka
bersepakat terhadap sesuatu. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surat
Yusuf ayat 15, yang menerangkan keadaan saudara-saudara Yusuf a.s. :

Artinya:
“Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu
mereka memasukkan dia), dan (di waktu dia sudah ada di dalam sumur) Kami wahyukan
kepada Yusuf, “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan
mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi. ”
(QS. Yusuf: 15) yakni mereka
bersepakat terhadap rencana tersebut.
Adapun perbedaan antara kedua arti di atas adalah: yang pertama bisa dilakukan
oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua
orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
1.2 Ijma’ Menurut Istilah Ulama Ushul
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma' menurut istilah,
di antaranya:
1. Pengarang kitab Fushulul Bada'i berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan
semua mujtahid dari ijma' umat Muhammad SAW. dalam suatu masa setelah
beliau wafat terhadap hukum syara’.
2. Pengarang kitab Tahrir, Al-Kamal bin Hamam berpendapat bahwa ijma' adalah
kesepakatan mujtahid suatu masa dari ijma’ Muhammad SAW. terhadap masalah
syara’. (Al-Ghifari)
2. Syarat-Syarat Ijma ’
Dari definisi ijma' di atas dapat diketahui bahwa ijma' itu bisa terjadi bila
memenuhi kriteria-krieriadi bawah ini.
2.1 Yang Bersepakat adalah Para Mujtahid
Para ulama berselisih faham tentang istilah mujtahid, secara umum, mujtahid itu
diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum
dari dalil-dalil syara’. Dalam kitab Jam 'ul Jawami disebutkan bahwa yang dimaksud
mujtahid adalah orang yang faqih.Dalam Sulam Ushuliyin kata mujtahid diganti dengan
istilah ulama ijma’, sebagaimana menurut pandangan Ibnu Hazm dalam Hikam.
Selain pendapat di atas, ada juga yang memandang mujtahid sebagai ahlu ahli wal
aqdi, dan istilah ini sesuai dengan pendapat Al- Wadih dalam kitab Isbat bahwa mujtahid
yang diterima fatwanya adalah ahlu Al-halli wal aqdi.
Beberapa pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang
dimaksud mujtahid adalah orang Islam yang balig, berakal, mempunyai sifat terpuji dan
mampu meng-istinbath hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma ’, begitu pula penolakan mereka.
Karena mereka tidak ahli dalam menelaah hukum- hukum syara ’.
Maka, apabila dalam suatu masa tidak ada seorang pun yang mencapai derajat
mujtahid, tidak akan terjadi ijma ’. Meskipun ada, tetapi hanya satu orang, itu pun tidak
bisa dikatakan ijma’, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Dengan demikian, suatu kesepakatan bisa dikatakan ijma ’ bila dilakukan oleh tiga
orang atau lebih. Adapun kesepakatan yang dilakukan oleh dua orang, para ulama
berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa hal itu tidak bisa dikatakan ijma ’.
Akan tetapi, menurut jumhur ulama, hal itu termasuk ijma', karena mewakili
kesepakatan seluruh mujtahid yang ada pada masa itu.
2.2. Yang Bersepakat adalah Seluruh Mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka
menurut Jumhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup
keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma ’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian
besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma termasuk pula kesepakatan
sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah
mencakup hukum keseluruhan.
Sebagian ulama yang lain berpandangan bahwa kesepakatan sebagian besar
mujtahid itu adalah hujjah, meskipun tidak dikategorikan sebagai ijma'. Karena
kesepakatan sebagian besar mereka menunjukkan adanya kesepakatan terhadap dalil
sahih yang mereka jadikan landasan penetapan hukum. Dan jarang terjadi, kelompok
kecil yang tidak sepakat, dapat mengalahkan kelompok besar.
2.3 Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW.
Para ulama berbeda pendapat tentang arti umat Muhammad SAW. Ada yang
berpendapat bahwa yang dimaksud umat Muhammad SAW. adalah orang-orang

55
mukallaf dari golongan ahlAl-halli waAl-aqdi,ada juga yang berpendapat bahwa mereka
adalah orang-orang mukalaf dari golongan Muhammad. Namun yang jelas, arti mukalaf
adalah muslim, berakal, dan telah baligh.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW.
tidak bisa dikatakan ijma ’. Hal itu menunjukan adanya umat para Nabi iain yang ber-
ijma '. Adapun ijma' umat Nabi Muhammad SAW', tersebut telah dijamin bahwa mereka
tidak mungkin ber-ijma' untuk melakukan suatu kesalahan.
2.4 Dilakukan Setelah Wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap
sebagai syari'at.
2.5 Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya
dengan syari'at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram, dan lain-lain.
Hal itu sesuai dengan pendapat Imam Al-Gazali yang menyatakan bahwa
kesepakatan tersebut dikhususkan pada masalah-masalah agama, juga sesuai dengan
pendapat Al-Juwaini dalam kitab Al-Warakat. Safiudin dalam Oawaidul usul, Kamal bin
Hamal dalam kitab Tahrir, dan lain- lain.
Adapun mengenai masa atau zaman, para ulama ada yang memasukkannya
sebagai syarat ijma'. Sedang Al-Athar dalam kitab Hasiyah Jam 'ulJawami' mengartikan
zaman dalam definisi ijma ’di atas dengan zaman mana saja.
3. Macam-Macam Ijma'
Macam-macam Ijma' bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
3.1 Ijma’Sharih
Maksudnya, semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing,
kemudian menyepakati salah satunya.
Hal itu bisa terjadi bila semua mujtahid berkumpul di suatu tempat, kemudian
masing-masing mengeluarkan pendapat terhadap masalah yang ingin diketahui
ketetapan hukumnya. Setelah itu, mereka menyepakati salah satu dari berbagai
pendapat yang mereka keluarkan tersebut.
Selain itu. bisa juga pada suatu masa timbul suatu kejadian, kemudian seorang
mujtahid memberikan fatwa tentang kejadian itu. Mujtahid kedua berfatwa seperti
fatwanya mujtahid pertama. Dan mujtahid ketiga mengamalkan apa yang telah
difatwakan tersebut, begitu seterusnya sehingga semua mujtahid menyepakati pendapat
tersebut.
3.2 Ijma’ Sukuti
Adalah pendapat sebagian ulama tentang suatu masalah yang diketahui oleh para
mujtahid lainnya, tapi mereka diam, tidak menyepakati ataupun menolak pendapat
tersebut secara jelas. Ijma' sukuti dikatakan sah bila memenuhi beberapa kriteria di
bawah ini:
1. Diamnya para mujtahid itu betul-betul tidak menunjukkan adanya kesepakatan
atau penoiakan. Biia terdapat tanda-tanda yang menunjukkan adanya kesepakatan
yang dilakukan oleh sebagian mujtahid, maka tidak dikatakan ijma’ sukuti,
melainkan ijma’ sharih. Begitu pula bila terdapat tanda-tanda penolakan yang
dikemukakan oieii sebagian mujtahid, itupun buk in ijma ’.
2. Keadaan diamnya para mujtahid itu cukup lama, yang bisa dipakai untuk
memikirkan permasalahannya, dan biasanya dipandang cukup untuk
mengemukakan pendapatnya. Namun, perlu diingat bahwa tidak mungkin
menentukan lamanya waktu bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwanya,
karena setiap mujtahid memerlukan waktu yang berbeda, cepat atau lambat, dalam
mengeluarkan fatwanya.
3. Permasalahan yang difatwakan oleh mujtahid tersebut adalah permasalahan ijtihadi,
yang bersumberkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Adapun tentang permasalahan
yang tidak boleh di-ijtihadi, atau yang bersumberkan dalil-dalil qath ’i, apabila
seorang mujtahid mengeluarkan pendapat tanpa didasari dalil yang kuat,
sedangkan yang lainnya diam, hal itu tidak bisa disebut ijma'. Karena diamnya
mereka tidak bisa dikatakan menyepakati, melainkan meremehkan pemberi fatwa
tersebut karena ilmunya masih dangkal.

4. Kehujjahan Ijma’ menurut Pandangan Para Ulama


Ada beberapa permasalahan yang berkaitan dengan kehuijjahan ijma', misalnya,
apakah ijma’ itu hujjah syar’i? Apakah ijma’ itu merupakan landasan ushul fiqihatau
bukan? Bolehkah kita menafikan atau mengingkari ijma?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, para ulama berbeda pendapat.
Al-Bardawi berpendapat bahwa orang-orang Hawa tidak menjadikan ijma ’ itu sebagai
hujjah, bahkan dalam syarah-nya dia mengatakan bahwa ijma’ itu bukan hujjah secara
mutlak.
Menurut Al-Amidi, para ulama telah sepakat mengenai ijma’ sebagai hujjah yang
wajib diamalkan. Pendapat tersebut bertentangan dengan Syi’ah Khawarij dan Nizam
dari golongan Mu’tazilah.
Al-Hajib berkata bahwa ijma' itu hujjah tanpa menanggapi pendapat Nizam,
Khawarij, dan Syi’ah. Adapun Ar-Rahawi berpendapat bahwa ijma’ itu pada dasarnya
adalah hujjah. Sedangkan dalam kitab Qawa ’idul Ushuldan Ma ’aqidid Ushul dikatakan
bahwa ijma' itu hujjah pada setiap masa. Namun, pendapat itu ditentang oleh Daud yang
mengatakan bahwa ijma' itu hanya terjadi pada masa shahabat.
Kehujjahan ijma’ juga berkaitan erat dengan jenis ijma' itu merupakan sendiri,
yaitu sharih dan sukuti, agar lebih jelas maka pendapat mereka tentang ijma’ akan ditinjau
berdasarkan pembagian ijma’ itu sendiri:

4.1 Kehujjahan Ijma’Sharih


Jumhur telah sepakat bahwa ijma’ sharih itu merupakan hujjah

57
secara qath’i,wajib mengamalkannya dan haram menentangnya. Bila sudah terjadi ijma’
pada suatu permasalahan maka ia menjadi hukum qath’i yang tidak boleh ditentang, dan
menjadi masalah yang tidak boleh di-ijtihadi lagi.
Ibrahim An-Nidzam, sebagian dari golongan syi'ah dan khawarij, berkata bahwa
ijma' itu tidak termasuk hujjah.
4.1.1Dalil-dalil yang dikeluarkan oleh Jumhur
Jumhur mengeluarkan beberapa dalil untuk memperkuat pendapat mereka tentang
kehujjahan ijma ’, antara lain:
Pertama, firman
Allah SWT. dalam
surat An-Nisa ayat
115:

Artinya:
“Barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali. ”
(QS. An-Nisa : 1 1 5 )
Kehujjahan dalil dari ayat di atas adalah ancaman Allah SWT. terhadap mereka
yang tidak mengikuti jalannya orang-orang mukmin. Disebutkan bahwa mereka akan
dimasukkan ke neraka Jahannam dan akan mendapat tempat kepibali yang buruk. Hal
itu menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang tidak beriman itu
adalah bathil dan haram diikuti. Sebaliknya, jalan yang ditempuh oleh orang-orang
mukmin adalah hak dan wajib diikuti.
Dalil yang digunakan oleh jumhur di atas dibantah kehujjahannya dalam ijma’.
bahwa yang dimaksud jalannya orang-orang mukmin di atas adalah para pengikut
Rasulullah SAW., penolongnya dan penjaga dari musuh-musuhnya, bukan legalisasi
hukum terhadap kesepakatan ulama mujtahid. Maka maksud ayat di atas, sesuai dengan
yang ada dalam kitab Al-Burhan, adalah, “Sesungguhnya orang-orang yang memusuhi
Rasulullah SAW., dan para penentang jalan orang-orang beriman yang menolong
Rasulnya dan menjaga dari musuhnya, mereka akan dibiarkan oleh Allah mengikuti
hawa nafsunya, dan akan disiksa di akhirat dengan dimasukkan dalam neraka Jahannam
dan ditempatkan pada tempat yang hina.
Itulah arti tekstual ayat, yang sesuai dengan Asbab Nuzul-nya, bahwa ayat itu turun
berkaitan dengan Bashir bin Ubairiq yang masuk Islam, tetapi kemudian ia mencuri.
Nabi memerintahkan untuk memotong tangannya, tetapi ia bisa kabur ke Mekah dengan
memanfaatkan kelengahan orang-orang beriman. Di Mekah, ia juga berusaha untuk
mencuri sebuah rumah dengan cara melubangi dindingnya, dan ia pun mati dalam
keadaan kafir.
Sehubungan dengan hal itu, pada firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa : 48,
disebutkan:

Artinya:
“Sesungguhnya Allah SWT. tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia akan mengampuni
dosa selain itu (syirik) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. ”
(QS. An-Nisa : 48) Dengan
demikian, jelaslah bahwa ayat di atas bukan dalil tentang ijma
Pengarang At-Tahrir berkata bahwa “As-Subki pernah berkata, Imam Syafi’i
meng-istinbath hukum dari dalil di atas dan menyatakan bahwa dalil itu menunjukan
kehujjahan ijma’,

Artinya:
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu umat (umat Islam) umat yang adil dan

59
pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia. ”
(QS. Al-Baqarah : 143)
Ayat tersebut dikemukakan oleh Al-Amidi. Kehujjahan dari ayat tersebut adalah
keadilan mereka (para mujtahid)yang menjadi hujjah bagi manusia untuk menerima
pendapat mereka. Seperti halnya menjadikan Rasul sebagai hujjah dengan menerima
sabdanya. Dengan mengartikan seperti itu, jelas bahwa pendapat mereka merupakan
hujjah bagi yang lainnya.
Muslim Al-Tsubut berpendapat bahwa keadilan itu tidak mesti menghilangkan
kesalahan yang bisa dikategorikan sebagai perbuatan maksiat. Namun, yang mesti
ditekankan dari ayat tersebut adalah keutamaan ijma' terdahulu.
Ketiga,firman Allah SWT. dalam Surat Ali-Imranayat 110:

Artinya:
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruf dan mencegah dari yang mungkar. ”
(QS. Ali Imran : 110)
Menurut Pemberi Syarah kitab Al-Baidawi bahwa Allah SWT. memberitahukan
keutamaan mereka dengan menggunakan isim tafdil. Karena arti khair itu sama
dengan tafdil. Hal itu menunjukkan bahwa kesepakatan merekajuga merupakan haq.
Kalau tidak menunjukan haq, mereka pasti akan memerintahkan berbuat kejelekan
dan melarang berbuat baik. Bila perbuatan mereka seperti itu berarti sama sekali
tidak ada unsur kebaikannya bahkan menyalahi nash.
Keempat, firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 103, yang dikemukakan oleh
Amidi:

Artinya:
“Dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai...”
(QS. Ali-Imran : 103)
Kehujjahan ayat tersebut bahwa Allah SWT. melarang untuk berpecah belah.
Sedangkan menentang ijma’ adalah salah satu bentuk perpecahan, sehinggajelas
sekali bahwa hal itu dilarang. Dengan demikian, ijma' itu merupakan hujjah
sebagaimana larangan untuk mengingkarinya.

Kelima, firman Allah SWT., Surat An-Nisa’ ayat 59:

Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di
antara kamu ...”
(QS. An-Nisa: 59)
Kehujjahan ayat di atas adalah bahwa adanya pertentangan merupakan syarat
dikembalikannya permasalahan kepada Allah dan Rasul- Nya. Dengan demikian,
syarat tersebut tidak akan ada bila telah terjadi kesepakatan terhadap hukum yang
diambil dari Kitab dan Sunah. Oleh sebab itu, tidak diragukan lagi bahwa ijma' itu
merupakan hujjah.
Keenam, Hadis-hadis yang menunjukkan terjaganya ijma’ Islam dari kesalahan bila
bersepakat dalam suatu perkara, di antaranya hadis-hadis di bawah ini yang artinya:
□ “Kekuatan Allah berada padajamaah, barang siapa menguatkannya, maka ia telah
menyempitkan dirinya dari neraka. ”
□ “Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkannya ijma' pada kesesatan. ”
□ “Tidak akan berkumpul ijma' pada hal yang salah.”
□ “Tidak akan melihat kaum mukmin kepada kebaikan, kecuali Allah pun menganggapnya
baik. ”
Semua hadis di atas diriwayatkan oleh para perawi tsiqat,meskipun ada sebagian
yang merupakan hadis ahad, namun bisa dikategorikan hadis mutawatir, yakni menjaga
ijma’ Islam dari kesalahan. Sedangkan mutawatir ma ’nawy pada hakikatnya sama
dengan mutawatir lafdzi.

61
Menurut Al-Amidi, “Berhujjah dengan ayat-ayat di atas kalau hanya bersifat
zhanni maka tidak akan berfaedah terhadap yang qath'i. Barang siapa yang
beranggapan bahwa perkara yang qath’i dapat diberi hujjah dengan dalil zhanni, maka
ia telah keliru, karena tidak sampai kepada yang diharapkan. Maka dalil-dalil di atas
cocok bagi mereka yang menganggap bahwa ijma' itu zhanni.
4.1. 2 Dalil-Dalil yang dikeluarkan Nidzam dan para pengikutnya
Ibrahim bin Nidzam, penentang adanya ijma’. dan para pengikutnya,
memberikan dalil-dalil sebagai berikut:
Pertama, firman Allah SWT., dalam surat An-Nisa : 59 :

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul- (Nya), dan ulil amri di
antara kamu ... "
(QS. An-Nisa : 59)
Sesungguhnya Aliah SWT. memerintahkan untuk mengembalikan segala bentuk
pertentangan kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang dimaksud mengembalikan kepada
Allah adalah kembali kepada Al-Quran, sedangkan yang dimaksud mengembalikan
kepada Rasul adalah mengembalikan kepada diri Rasulullah sewaktu beliau masih
hidup dan kepada Sunnah kalau beliau sudah wafat. Allah SWT. tidak memerintahkan
untuk mengembalikan kepada ijma' mujtahidin. Hal itu menunjukkan bahwa ijma'
mereka tidak berarti apa-apa dan tidak bisa disebut hujjah.
Keterangan di atas dijawab jumhur, bahwa ayat tersebut adalah hujjah bagi
kamu semua (penentang ijma') bukanlah hujjah untuk kita. Ayat di atas telah
mewajibkan untuk mengembalikan berbagai ikhtilaf (pertentangan) kepada Allah dan
Sunah Rasul. Adapun hujjah ijma ’dari pertentangan yang terjadi di antara kita wajib
dikembalikan kepada Al- Quran dan sunah Rasul. Mengamalkan perintah ayat di atas
menunjukkan bahwa ijma' itu hujjah. Berdasarkan ayat tersebut juga kita bisa
mengatakan bahwa ijma' adalah hujjah.
Kedua, sesungguhnya Nabi Muhammad SAW. ketika bertanya kepada Mu'adz bin
Jabal tentang dalil yang akan dijadikan sandarannya, tidak
disebutkan adanya ijma 'dan Rasul telah menyepakatinya. Kalau ijma' sebagai hujjah
maka harus ada ketetapan hukumnya dari Rasul, mengapa Rasul tidak menetapkan
adanya ijma
Dalil yang kedua itu, tidak diragukan lagi kelemahannya. Rasul tidak menetapkan
adanya ijma' pada Mifadz karena beliau hanya menetapkan dalil-dalil yang bisa
dijadikan hujjah pada masa itu. Sedangkan ijma' tidak dianggap hujjah pada masa Rasul
karena semua permasalahan dikembalikan pada Rasulullah.
Kalau ditelaah secara teliti, dari kedua golongan yang bertentangan tentang
kehujjahan ijma’ tersebut, tidak ada yang dapat dipegang landasan hukumnya. Namun,
yang dianggap paling betul adalah dalil yang mewajibkan kepada kita untuk berpegang
pada ijma' dan melarang untuk mengingkarinya.
4.2 Kehujjahan Ijma’Sukuti
Ijma' sukuti telah dipertentangkan kehujjahannya di kalangan para ulama.
Sebagian dari mereka tidak memandang ijma’ sukuti sebagai hujjah, bahkan tidak
menyatakan sebagai ijma.Di antara mereka adalah pengikut Maliki dan Imam Syafi’i
yang menyebutkan hal tersebut dalam berbagai pendapatnya.
Mereka berargumen bahwa diamnya sebagian mujtahid itu mungkin saja
menyepakati sebagian atau bisa juga tidak sama sekali. Misalnya karena tidak
melakukan ijtihad pada satu masalah atau takut mengemukakan pendapatnya sehingga
kesepakatan mereka terhadap mujtahid lainyatidak bisa ditetapkan apakah hal itu qath’i
atau zhanni. Jika demikian adanya, tidak bisa dikatakan adanya kesepakatan dari
seluruh mujtahid. Berarti tidak bisa dikatakan ijma’ataupun dijadikan sebagai hujjah.
Sebagian besar golongan Hanafi dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan
bahwa ijma' sukuti merupakan hujjah yang qath’iseperti halnya ijma’sharih. Alasan
mereka adalah diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan sepakat ataupun tidaknya
terhadap pendapat yang di- kemukakan oleh sebagian mujtahid lainnya, bila memenuhi
persyaratan adanya ijma' sukuti, bisa dikatakan sebagai dalil tentang kesepakatan
mereka sehingga bisa dikatakan sebagai ijma karena kesepakatan mereka terhadap
hukum. Dengan demikian, bisa juga dikatakan sebagai hujah yang qath'ikarena
alasannyajuga menunjukkan adanya ijma'yang tidak bisa dibedakan dengan
ijma’sharih.
Al-Kurhi dari golongan Hanafi dan Al-Amidi dari golongan Syafi'i menyatakan
bahwa ijma' sukuti adalah hujjah yang bersifat zhanni. Pendapat merekalah yang kita
anggap lebih baik. Karena diamnya sebagian mujtahid untuk menyatakan pendapatnya
kalau memenuhi syarat ijma’ sukuti tidak bisa dikatakan sebagai kesepakatan terhadap
para mujtahid lainnya. Tetapi boleh dinyatakan diamnya mereka itu antara menyepakati
dan tidak. Sikap tersebut sebagaimana telah dilakukan oleh kaum ulama salaf. Mereka
tidak melarang untuk menyatakan haq meskipun tidak mampu melaksanakan dan ada
sebagian yang mengingkarinya.
Contohnya, ketika Mu’adz bin Jabal melaporkan pada Umar bin Khaththab
bahwa la bermaksud menghukum wanita hamil yang melakukan zinah, ia berkata,
“Seandainya Allah menjadikan kepada kamu keselamatan pada punggungnya
(perempuan), maka kamu tidak akan menjadikan bayi perempuan itu jalan
keselamatan”, maka Umar berkata: “kalau bukan Mu'adz (yang berkata) maka Umar
akan memarahinya”.

63
Begitu pula ketika seorang perempuan berkata kepada Umar bin Khaththab,
bahwa ia mendengar kaum muslimin tidak boleh memberikan mahar pada perempuan
melebihi empat ratus dirham dan mengharuskan agar memasukkan selebihnya kepada
baitul mal. la berkata, “Tidakkah Allah pernah berfirman:

Artinya:
“Apakah Umar melarangnya? " Beliau berkata, "perempuan tersebut benar dan Umar salah. "
Dan masih banyak contoh-contoh lainnya yang dapat diketahui dengan menelaah
kehidupan mereka. Bila diamnya sebagian mujtahid tidak bisa dikatakan sebagai
ketetapan qath'i, tetapi zhanni. maka kehujjahan ijma' sukuti tidak bisa dikatakan qath ’i,
melainkan zhanni.
4.3 Kemungkinan adanya ijma’
Para ulama berbeda pendapat tentang kemungkinan adanya ijma' dan kewajiban
melaksanakannya. Jumhur berkata. “Ijma'itu bisa terjadi bahkan telah terlaksana”.
Sedangkan pengikut Nizam dan golongan Syi'ah menyatakan, ijma' itu tidak mungkin
terjadi, dengan mengemukakan beberapa argumen, antara lain:
Pertama, sesungguhnya ijma' yang dimaksudkan oleh jumhur tetntang
diharuskannya adanya kesepakatan semua mujtahid pada suatu masa sehingga harus
memenuhi dua kriteria berikut:
1. Mengetahui karakter setiap mujtahid yang dikategorikan mampu untuk
mengadakan ijma’.
2. Mengetahui pendapat masing-masing mujtahid tentang permasalahan tersebut.
Kedua hal itu tidak mungkin dapat terlaksana menurut kebiasaan. Kesulitan
pertama adalah tidak adanya standar yang pasti untuk menyatakan seseorang
disebut mujtahid ataupun bukan. Kesulitan kedua, sesungguhnya para mujtahid itu
tidak berada pada suatu tempat, tetapi tersebar di berbagai daerah atau kota.
Karena itu. tidaklah mungkin untuk mengumpulkan mereka pada suatu tempat
dan mengetahui masing-masing pendapat mereka sehingga tidak mungkin untuk
menyatakan pendapat terbaik di antara mereka.
Kedua, ijma' itu harus bersandarkan kepada dalil, baik yang qath'i ataupun yang
zhanni. Bila berlandaskan pada dalil yang qath'i,maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu
tidak membutuhkan ijma'. Sebaliknya bila didasarkan pada dalil yang zhanni. dapat
dipastikan para ulama akan berbeda pendapat karena masing-masing mujtahid akan
mengeluarkan pendapatnya dengan kemampuan berpikir dan daya nalar mereka,
disertai berbagai dalil yang menguatkan pendapat mereka.
Itulah beberapa alasan terpenting yang dikemukakan oleh mereka yang
mengingkari adanya ijma'. Adapun mereka yang mengakui adanya ijma', memberikan
argumen dengan mengemukakan beberapa contoh ijma' yang telah dilakukan oleh para
mujtahid dari golongan sahabat, seperti nenek mendapat seperenam dari harta waris,
tidak sahnya perempuan muslim menikah dengan nonmuslim, dan lain-lain.
Menurut mereka, itulah dalil yang jelas menunjukkan adanya ijma' dengan
perbuatan, sekaligus sebagai petunjuk adanya ijma'. Mereka tidak menjawab berbagai
argumen yang dikemukakan oieii para penoiak ijma secara mendetail, tetapi merasa
cukup dengan menjawab, "Sesungguhnya hal itu merupakan perumpamaan dan
keraguan terhadap perkara yang sudah qath'i,maka janganlah menerimanya dan
berpaling padanya.”
Metode seperti itu menghilangkan kemurnian dan menyalahi kebenaran, karena
kemurnian itu mesti melihat argumen para penolak, menolak argumen yang tidak
sesuai dengan kebenaran serta mengakui dalil-dalil yang sesuai dengan kebenaran.
Kalau kita lihat argumen yang dikemukakan oleh para penolak ijma', yaitu dalil
mereka nomor dua yang menyatakan bahwa ijma'itu harus berdasarkan pada dalil yang
qath'iataupun dalil yang zhanni,dan seterusnya, tidaklah sesuai dengan kenyataan dan
kebenaran. Sesungguhnya adanya dalil itu tidak bisa menghilangkan adanya ijma',
karena meskipun suatu dalil dikatakan qath'i.dalil tersebut belum tentu diketahui oleh
semua orang. Terkadang dalam suatu masalah terdapat dalil yang qath'i.tetapi tidak
diketahui masyarakat bany ak. Seperti yang terjadi pada masa Umar bin Khaththab,
ketika itu beliau melarang masyarakat untuk memberikan mahar melebihi 400 dirham,
dan memerintahkan supaya menyerahkan selebihnya dari jumlah tersebut kepada
baitul mal.Padahal pendapatnya itu bertentangan dengan nash yang membolehkan
perbuatan tersebut. Sehingga salah seorang perempuan memperingatkan Umar,
"Bagaimana ini, Allah telah memberikan kepada kita, sementara Umar melarangnya?
Umar berkata. "Kapan Allah memberikannya? la membacakan ayat:

maka Umar pun mencabut kembali perintahny a.


Adapun jika dalam suatu permasalahan terdapat dalil qath’idan semua manusia
mengetahuinya maka tidaklah berarti ijma'itu tidak bermanfaat, tetapi sebaliknya
sangatlah berfaedah sebagai penguat dalil dan mencegah adany a perbedaan pendapat
tentang hukum yang berkaitan dengan dalil tersebut.
Kalau dalam suatu permasalahan terdapat dalil yang zhanniseperti dengan
qiyasdan hadis ahad,tidaklah mustahil untuk mengadakan ijma' karena beberapa dalil
yang zhanniakan menjadi lebih jelas ketetapan hukumnya dan menghilangkan
pertentangan serta perbedaan pendapat.
Misalnya, terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah yang mengungguli sahabat-
sahabat lainnya, kemudian ijma' menyepakatinya tanpa
kecuali. Di antara qiyas yang mereka gunakan adalah Rasulullah senantiasa
mengangkat dia sebagai imam ketika tidak ada Rasul (udzur), sehingga mereka berkata

65
Rasulullah saja telah rela kepada Abu Bakar terhadap perkara agama, mengapa kita
tidak merelakannya terhadap permasalahan dunia.
Argumen pertama mereka yang mengingkari ijma' bisa dianggap betul dan
rasional, namun tidak bisa digeneralisasikan pada semua zaman, melainkan hanya
sesuai untuk beberapa zaman saja. Misalnya pada masa salaf yang terdiri atas dua masa
yang istimewa. Yang pertama, masanya Abu Bakar dan Umar, Kedua, masa Utsman
dan generasi sesudahnya sampai terjadinya penyebaran para ulama.
Pada masa pertama, pemerintahan umat Islam adalah satu. Para mujtahid dapat
diketahui dan dikenal karenajumlah mereka sedikit dan tinggal di satu negara, yaitu
Madinah. Merekajuga mampu mengetahui beberapa pendapat yang berada di luar
Madinah. Maka sangatlah mudah untuk mengetahui jati diri mereka dan untuk meminta
pendapat mereka ketika dibutuhkan, khususnya pada zaman Umar bin Khaththab.
Karena pada masa itu para mujtahid dilarang meninggalkan Madinah, kecuali pada saat
madarat.
Pada masa ini para penentang ijma' tidak mungkin mengingkari keberadaannya,
karena setiap ulama tidak pernah mengemukakan pendapat, kecuali pendapat tersebut
diketahui oleh mujtahid lainnya. Bahkan, mereka diundang bermusyawarah untuk
membicarakan berbagai hal (ketetapan) yang tidak terdapat dalam nash. Dengan
demikian, ketetapan yang dihasilkan mereka menjadi sumber hukum yang diamalkan
dan ditaati oleh kaum muslimin. Di antaranya ijma’ mereka terhadap kekhalifahan Abu
Bakar setelah wafatnya Rasulullah SAW.
Pada masa kedua, yaitu zaman Khalifah Utsman bin Affan dan generasi
setelahnya, ijma’cukup sulit terjadi apalagi setelah adanya fitnah yang berakhir dengan
kematian Utsman. Di antara penyebabnya adalah menyebarnya para mujtahid di daerah-
daerah taklukan umat Islam. Karena banyaknya jumlah mereka yang menyebar
sehingga sangat sulit untuk mengetahui keadaan mereka dan pendapat-pendapat
mereka. Selain itu, adanya pergolakan politik dan gejolak lainnya yang menyebabkan
terbaginya umat Islam golongan Khawarij, Syiah, dan Jumhuratau lebih dikenal dengan
sebutan ahli sunah. Itulah di antara beberapa sebabyang menyulitkan adanya ijma' di
kalangan kaum muslimin terhadap permasalahan-permasalahan yang membutuhkan
ketetapan hukum. Padahal sangat banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada
masa itu yang memungkinkan terjadinya perbedaan di antara mereka. Namun, karena
sulitnya berkomunikasi antara mereka, tidaklah mudah untuk menetapkan adanya ijma'
pada masa itu.
Walaupun begitu, ijma' yang terjadi pada masa itu merupakan hujjah yang wajib
diamalkan, karena keumuman dalil yang menunjukkan kehujjahan ijma' pada setiap
masa.

5. Maksud Ijma' dalam Kitab-Kitab Fiqih


Sebagaimana telah kita ketahui, yang dimaksud ijma' menurut syara' itu antara
lain adanya kesepakatan dari semua mujtahid yang hidup dalam satu masa tentang
ketetapan hukum syara'. Dengan demikian, apabila jumhur ulama menetapkan
kesepakatan yang dilakukan oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak termasuk
ketetapan hukum dan tidak dikatakan ijma'.
Di antara mereka ada yang berpendapat tentang kehujjahan ijma' sukuti, tetapi
tidak sedikit yang menentang, ituiah ketetapan uiania usnui dalam kitab-kitab mereka
dengan disertai dalil-dalilnya yang kuat. Apakah hal itu harus dijadikan landasan ketika
berijtihad dalam suatu masalah?
Menurut orang-orang yang selalu mengikuti beberapa permasalahan, hasil ijma'
itu adakalanya bersumberkan dari sebagian besar para mujtahid, tetapi ada juga yang
berasal dari kesepakatan imam madzhab dan terkadang pula berupa ijma'sukuti yang
banyak ditemukan pada fiqihnya madzhab Imam Hanafi. Di antara mereka ada yang
berkata bahwa hukum ini telah disepakati oleh Fulan bin Fulan dari golongan mujtahid
yang tidak diingkari oleh semuanya. Hal itu menurut mereka termasuk ijma'.
Dengan demikian, sulit sekali untuk menemukan ijma'dalam kitab- kitab fiqih
yang betul-betul memenuhi persyaratan ijma' yang akan dijadikan dalil hukum.
Maka tidaklah sah untuk menggantungkan diri kepada kitab-kitab Fiqih yang di
dalamnya terdapat kata ijma', karena ijma'tersebut mungkin saja hanya kesepakatan para
ulama yang ada pada suatu madzhab yang ditulis oleh pengarang kitab.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian ijma'baik secara bahasa maupun istilah!
2. Ada berapakah syarat ijma' itu, jelaskan!
3. Mengapa yang bersepakat dalam ijma'harus para mujtahid?
4. Apakah kesepakatan para ilmuwan tentang penemuan suatu ilmu yang
berhubungan dengan alam bisa disebut ijma’?
5. Bedakan antara ijma' sukuti dan ijma ’ sharih!
6. Jelaskan kehujjahan ijma'!
7. Sebutkan dua dalil yang dikemukakan oleh jumhur tentang kehujjahan ijma'!
8. Mengapa Nizham tidak mengakui kehujjahan ijma'?
9. Apakah ijma' itu mungkin terjadi pada setiap zaman, jelaskan!
10. Apakah sama istilah ijma' dalam istilah Ushul Fiqih dengan yang ada dalam
Kitab-kitab? Jelaskan dengan singkat!

D. QIYAS
1. Pengertian Qiyas
Qiyasmenurut bahasa ialah pengukuran sesuatu dengan yang lainnya atau
penyamaan sesuatu dengan yang sejenisnya. Ulama ushul fiqih memberikan definisi
yang berbeda-beda bergantung pada pandangan mereka terhadap kedudukan qiyasdalam
istinbath hukum. Dalam hal ini. mereka terbagi dalam dua golongan berikut ini.
Golongan pertama, menyatakan bahwa qiyasmerupakan ciptaan manusia, yakni
pandangan mujtahid. Sebaliknya, menurut golongan kedua, qiyasmerupakan ciptaan syari’.

67
yakni merupakan dalil hukum yang berdiri sendiri atau merupakan hujjat ilahiyah yang
dibuat Syari' sebagai alat untuk mengetahui suatu hukum. Qiyas ini tetap ada, baik
dirancang oleh para mujtahid ataupun tidak. (Abdul Hakim, 1986: 22- 24)
Bertitik tolak pada pandangan masing-masing ulama tersebut maka mereka
memberikan definisi qiyassebagai berikut:
1. Shadr Asy-Syari’at menyatakan bahwa qiyasadalah pemindahan hukum yang
terdapat pada ashl kepada furu' atas dasar illat yang tidak dapat diketahui dengan
logika bahasa.
2. Al-Human menyatakan bahwa qiyasadalah persamaan hukum suatu kasus dengan
kasus lainnya karena kesamaan illat hukumnya yang tidak dapat diketahui melalui
pemahaman bahasa secara murni.
Sebenarnya, masih banyak definisi lainnya yang dibuat oleh para ulama, namun
secara umum qiyasadalah suatu proses penyingkapan kesamaan hukum suatu kasus
yang tidak disebutkan dalam suatu nash, dengan suatu hukum yang disebutkan dalam
nash karena adanya kesamaan dalam illat-nya.

2. Operasional Qiyas
Operasional penggunaan qiyasdimulai dengan mengeluarkan hukum yang terdapat
pada kasus yang memiliki nash. Cara ini memerlukan kerja nalar yang luar biasa dan
tidak cukup hanya dengan pemahaman makna lafazh saja. Selanjutnya, mujtahid
mencari dan meneliti ada tidaknya illat tersebut pada kasus yang tidak ada nash-nya.
Apabila ternyata ada illat itu, faqihmenggunakan ketentuan hukum pada kedua kasus itu
berdasarkan keadaan illat. Dengan demikian, yang dicari mujtahid di sini adalah illat
hukum yang terdapat pada nash (hukum pokok).
Selanjutnya, jika illat tersebut ternyata betul-betul terdapat pada kasus-kasus lain,
yang tampak bagi mujtahid adalah bahwa ketentuan hukum pada kasus-kasus itu adalah
satu, yaitu ketentuan hukum yang terdapat pada nash (makhshus alaihj menjalar pada
kasus-kasus lain yang tidak ada nash-nya.

3. Rukun Qiyas
Dari pengertian qiyasyang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa unsur
pokok (rukun) qiyasterdiri atas empat unsur yang berikut:
1. Ashl (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nash-nya yang
dijadikan tempat meng-ty/ym-kan. Ini berdasarkan pengertian ashl menurut
fuqaha. Sedangkan ashl menurut hukum teolog adalah suatu nash syara' yang
menunjukkan ketentuan hukum, dengan kata lain, suatu nash yang menjadi dasar
hukum. Ashl itu disebut juga maqis alaih (yangdijadikan tempat meng-g/ym-kan),
mahmul alaih (tempat membandingkan), atau musyahhah hih (tempat
menyerupakan).
2. Far'u (cabang) yaitu peristiwa yang tidak ada nash-nya. Far'u itulah yang
dikehendaki untuk disamakan hukumnya dengan ashl. Ia disebut juga maqis(yang
dianalogikan) dan musyahhah (yang diserupakan)
3. Hukum Ashl, yaitu hukum syara',yang ditetapkanoleh suatu nash;
4. Illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada ashl.Dengan adanya
sifat itulah, ashl mempunyai suatu hukum. Dandengan sifat itu
pula, terdapat cabang, sehingga hukum cabang itu disamakanlah dengan hukum
ashl.
4. Qiyas sebagai Sandaran Ijma ’
Para ulama berbeda pendapat tentang qiyasapabila dijadikan sandaran ijma’. Di
antara mereka ada yang mengatakan bahwa qiyasitu tidak sah dijadikan dasar
ijmaDengan argumen bahwa ijma' itu qath'i, sedangkan dalil qiyasadalah zhanni. Menurut
kaidah, yang qath’iitu tidak sah didasarkan pada yang zhanni.
Para ulama yang menyatakan bahwa qiyas sah dijadikan sandaran ijma',
berargumen bahwa hal itu telah sesuai dengan pendapat sebagian besar ulama. Juga
dikarenakan qiyasitu termasuk salah satu dalil syara maka sah dijadikan landasan ijma ’
sebagaimana dalil-dalil syara' lainnya.
Para sahabat setelah wafatnya Nabi besar Muhammad SAW. berbeda pendapat
tentang siapa yang akan dijadikan penggantinya sebagai khalifah. Kemudian mereka
memilih Abu Bakar As-Siddiq, karena ketika beliau sakit keras, Rasulullah senantiasa
mewakilkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat.
Penunjukan Abu Bakar sebagai imam di-qiyas-kan pada penunjukan beliau
sebagai khalifah dan hal itu disepakati oleh semua sahabat. Dengan demikian, jelaslah
bahwa qiyas merupakan landasan hukum bagi ijma'. Adapun mereka yang menyatakan
ijma' itu adalah dalil qath'i, sedangkan qiyasadalah dalil zhanni tidak bisa diterima, karena
khabar ahad juga termasuk zhanni, tetapi para ulama menyatakan sah dijadikan sandaran
ijma'. Qiyasyang tadinya berupa dalil zhanni, setelahnya ada ijma’ maka akan jadi qath'i
karena berubah dari pendapat individu menjadi pendapat jamaah.
5. Kehujjahan Qiyas dan Pendapat para Ulama
Telah terjadi perbedaan pendapat dalam berhujjah dengan qiyas. ada yang
membolehkannya, ada yang melarangnya, di antara contohnya adalah kifarat bagi yang
berbuka puasa dengan sengaja di bulan Ramadhan.
Bagi mereka yang sengaja berbuka pada bulan Ramadhan, apakah diwajibkan
kifarat sebagaimana diwajibkan kifarat bagi yang sengaja berbuka puasa dengan jima’?
Menurut pendapat Malik, Abu Hanifah dan para penganut keduanya, Tsauri, serta
sebagian jemaah, bahwa perbuatan tersebut wajib diganti dengan qadha dan kifarat,
berdasarkan hadis Rasulullah SAW. :

69
Artinya:
“Telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. ia berkata, “Celakalah
aku, ya Rasulullah. ” Rasulullah bersabda, “Celaka kenapa? ” “Aku telah
bersetubuh dengan istriku pada bulan Ramadhan ”. Rasulullah bersabda, “Apakah
kamu memiliki sesuatu untuk memerdekaan abid? ” ia menjawab, “tidak. ” Nabi
bertanya lagi, “Mampukah kamu untuk berpuasa dua bulan berturut-turut? ” Dia
menjawab, “ tidak ”. Nabi bersabda lagi, “Apakah kamu mempunyai sesuatu untuk
disedekahkan kepada orang miskin? Dia menjawab, “tidak, ” Kemudian dia duduk,
lalu Nabi memberikan kepadanya karung yang di dalamnya terdapat kurma,
“Bersedekahlah kamu dengan ini! ”. Dia bertanya,“Apakah aku harus
menyedekahkan kepada orang yang lebih miskin dariku, padahal tidak satu
keluargapun di kampungku yang lebih membutuhkan dari keluargaku. ” Nabi
tertawa dan berkata,“Pergilah dan berilah keluargamu dengan makanan tersebut. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka berhujjah dengan meng-qiyas-kan makan dan minum dengan jima’.
Adapun illat-nya menurut mereka adalah merusak kesucian bulan Ramadhan.
Adapun golongan Zahir tidak mewaj ibkan kifarat kepada orang yang puasanya
batal disebabkan makan dan minum dengan sengaja. Mereka berpendapat bahwa
hadis tersebut menerangkan tentang ijma' pada bulan Ramadhan, bukan
menerangkan setiap yang membatalkan puasa.
Golongan Syafi’i dan Hambali sependapat dengan pendapat Zahir di atas,
yakni tidak adanya kifarat. Hal itu tidak berarti mereka itu tidak menggunakan
qiyas,tetapi berpandangan bahwa illat seperti itu tidak
cocok. Menurut pendapat mereka, hadis tersebut hanya cocok untuk jima', tidak untuk
selainnya.
Untuk lebih jelasnya, Imam Syafi’i telah membahasnya dalam kitab Al- Umm;
’’Tidak waj ib berkifarat bagi mereka yang sengaja berbuka puasa selain karena dengan
ber-jima baik itu minum, makan, dan sebagainya. Adapun kepada sebagian orang yang
berpendapat bahwa wajib kifarat bila mereka berbuka dengan minum, makan, dan
sebagainya, Syafi’i menjawabnya, “Sunah hanya menerangkan tentang jima’, maka dari
siapakah sumbernya yang mengatakan bahwa membatalkan puasa dengan makan dan
mimun wajib kifarat? Mereka menjawab, “Kami berpendapat demikian dengan meng-
gzyos-kan kepada jima’. Imam Safi’i bertanya kembali, “Apakah sama antara makan
dan minum dengan jima' sehingga boleh men-gzj’o.s-kannya? Mereka menjawab, “Ya!
karena sama-sama diharamkan dan membatalkan puasa. Dikatakan kepada mereka,
“Apakah setiap yang membatalkan puasa diharuskan menggantinya dengan kifarat?
Mereka jawab, “Ya”. Kemudian dikatakan kepada mereka, “Bagaimana dengan orang
yang minum obat? Jawabnya, “Tidak ada kifarat dalam hal seperti itu, karena hal itu
tidak menyegarkan badan. Imam Syafi’i berkata, “Kalian meng-qiyas-kan makan
kepada jima’ yang diharamkan berbuka dengannya, tetapi tidak ineng-qiyas-kannya
pada minum obat dengan alasan bahwa hal itu tidak menyegarkan badan. Kalau begitu,
maka memakan sedikit dari buah-buahan tidaklah membatalkan dan tidak wajib kifarat.
Karena tidak menyegarkan badan. Bila kita kembali kepada pembahasan fiqih jelaslah
bahwa jima’ itu mengurangi kekuatan badan, yakni mengeluarkan sesuatu yang
melemahkan badan, dan bukan memasukkan sesuatu, bagaimana kalian meng-ty/yav-
kan sesuatu yang menambah kekuatan badan dengan sesuatu yang mengurangi
kekuatan badan, bahkan jima ’ itu tidaklah membuat kenyang, tetapi membuat lapar.
Jadi, qiyasseperti dianggap tidak sah.

5.1. Kehujjahan Qiyas dalam Hukum dan Perbedaan Metode

71
Pengambilan Hukum
Masalah ini termasuk hal yang tidak boleh dikesampingkan dalam pembahasan
qiyas. Dan tidak berarti bahwa untuk menghindari berhujjah dapat dilakukan dengan
qiyas. Sebenarnya, para pembicara setiap menyampaikan hukum dengan metode
qiyasharus menyebutkan pula orang yang tidak berhujjah dengan qiyasdan
mengembalikkan semua pada hukum.
Dalam beberapa keadaan terjadi, dua kubu dalam penentuan hukum, yang
berbeda dalam metode untuk mencapai ketetapan hukum tersebut. Orang-orang yang
menganut adanya qiyasmenetapkan hukum dengan qiyas.Sedangkan mereka yang tidak
mengakui adanya qiyas ternyata menggunakan ketetapan hukum yang sama, tetapi
dengan metode yang berbeda. Berikut ini akan diterangkan beberapa permasalahan
untuk lebih memperjelas hal tersebut.
Ibnu Hazm berkata, ’’Merekatelah berhujjah dengan firman Allah SWT. Surat
An-Nur ayat:

Artinya:
“Mereka yang telah menuduh wanita-wanita yang sudah menikah (berbuat zina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka dengan 80 kali
dera dan janganlah kamu terima persaksian mereka selamanya. ”
(QS. An-Nur : 4)
Nash tersebut menerangkan tentang hukuman dera bagi mereka yang menuduh
zina kepada wanita-wanita yang sudah berkeluarga. Dan hukuman tersebut diberikan
juga kepada orang yang menuduh laki-laki berzina. Metode seperti itu adalah qiyas.
Abu Muhammad berkata, “Kami mewajibkan untuk mendera penuduh laki-laki
berzina sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran dan Sunah. Jika tidak terdapat nash
yang jelas, maka kami, tidak menetapkan melalui metode qiyas.Seandainya kami
menggunakan metode qiyas-pun
maka hasilnya tidak sama dengan mereka. Dan di bawah ini kami terangkan
bagaimana metode kami:
Firman Allah SWT. dalam surat An-Nur ayat 4, tersebut adalah umum. Tidak
boleh A\-takhsish kecuali harus dengan nash atau ijma' Mungkin maksud Allah adalah
wanita-wanita yang sudah menikah atau laki-laki yang sudah menikah. Hal seperti itu
tidaklah termasuk munkar dalam bahasa dimana Al-Quran diturunkan, Allah
berfirman dalam surat An-Naba ayat 14:

Artinya:
“Dan Kami turunkan dari awan air yang banyak tercurah. ”
Yang dimaksud mu’shirat dalam ayat di atas adalah ashhab.
Maka maksud Al-muhsonat dalam surat An-Nur tersebut adalah furuj- furujyang sudah
menikah. Padahal kamu semua mengartikannya sebagai wanita yang sudah menikah.
Dan kami memperkuat pendapat tersebut dengan dalil yang jelas.
Sesungguhnya furuj itu lebih umum daripada wanita. Dan dimaklumi bahwa
furuj adalah alat penghubung antara seorang laki-laki dengan perempuan, dengan
menjelaskan firman Allah SWT. dalam surat Al-Mu ’minim ayat 5-6:

73
Artinya:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri- istri mereka atau budak
yang mereka miliki, maka sesunggunya mereka dalam hal ini tiada tercela. ”
pada ayat lain yaitu surat An-Nur: 31, Allah berfirman:

Artinya:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka
dan memelihara kemaluan mereka ...
Dengan ayat-ayat di atas sahlah bahwa ayat tersebut sebagai perintah untuk mendera
laki-laki yang mukhsan dengan dalil-dalil Al-Quran.
Dengan demikian, maka dapatlah dilihat bahwa hukuman mendera untuk orang
yang menuduh berzina kepada yang sudah menikah adalah melalui dua metode yang
berbeda.
1.1. Perbedaan Pendapat tentang Illat di kalangan Jumhur dan Pengaruhnya
Telah dibahas perbedaan pendapat antara penerima dan penolak qiyas,yang telah
menghasilkan beberapa faedah. Sekarang akan dibahas mengenai Jumhur yang
mengakui adanya qiyas dan to 7/7. Di kalangan jumhur sendiri, sebenarnya terjadi
perbedaan pendapat yang cukup sengit dalam sebagian hukum. Perbedaan pendapat di
kalangan.mereka terutama berkaitan dengan illat, yang mempunyai faedah yang banyak.
Hal itu telah menghasilkan perbedaan sangat besar dalam masalah furu'. Mungkin j uga
perbedaan tersebut yang mendorong para penolak qiyasuntuk tidak mengakui adanya
qiyas,sebagaimana telah dijelaskan.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskanlah pengertian qiyasmenurut para ulama ushul!
2. Ada berapakah rukun qiyasitu, jelaskan satu per satu!
3. Bisakah qiyasdianggap sebagai sumber hukum yang qath 'i?
4. Terangkan dengan singkat tentang operasional qiyasbeserta contohnya!
5. Bisakah qiyasdijadikan sandaran ijma’? Jelaskan!
6. Jelaskan secara singkat pendapat para ulama tentang kehujjahan qiyas!
7. Mengapa Imam Syafi’i mengakui keberadaan qiyas?
8. Jelaskan alasan para ulama yang menolak qiyas?
9. Berikan contoh hukum yang berdasarkan qiyas?
10. Mengapa perbedaan tentang illat sangat berpengaruh terhadap furu'?

75
BAB III
METODE IJTIHAD

A. IJTIHAD
1.Pengertian Ijtihad dan Perkembangannya
Secara etimologi, ijtihad diambil dari kata al-jahd atau al-juhd, yang berarti al-
masyaqat(kesulitan dan kesusahan) dan ath-thaqat (kesanggupan dan kemampuan).
Dalam Al-Quran disebutkan:

Artinya:
... Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain
kesanggupan. ”
(Q.S. At-Taubah : 79)
Kata al-jahdbeserta seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan
lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian inilah,
Nabi mengungkapkan kata-kata

Artinya:
'Bacalah salawat padaku dan bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. ”
Artinya:
"Pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa. ”

"A'isyah mengatakan bahwa Rasulullah SAW. bersungguh-sungguh dalam beribadah pada


sepuluh hari terakhir (bulan puasa) yang berbeda dengan hari yang lainnya. ”
Demikian pula pada jihad (perang) yang derivasinya sama dengan ijtihad mengandung
arti sungguh-sungguh dan tidak disenangi.
Ijtihad adalah masdar dari fiil madzi ijtahada. Penambahan hamzah dan ta' pada
kata ja-ha-da menjadi ijtahada pada wajan if-ta- a’-la berarti, “usaha itu lebih sungguh-
sungguh”. Seperti halnya ka-sa- ba menjadi iktasaba, yang berarti “usaha lebih kuat dan
sungguh- sungguh.” Oleh sebab itu, ijtihad berarti usaha keras atau pengerahan dava
upaya (istifragh al-wus ' atau badzl al-wus ’). Dengan demikian, ijtihad berarti usaha
maksimal untuk mendapatkan atau memperoleh sesuatu. Sebaliknya, suatu usaha
yang dilakukan tidak maksimal dan tidak menggunakan daya upaya yang keras tidak
disebut ijtihad, melainkan daya nalar biasa, ar-ra’y atau at-tafkir.
Dalam istilah fuqaha(para pakar hukum Islam), pada umumnya, ijtihad
dibicarakan dalam buku ushul fiqih.Pembicaraan? ya sering dikaitkan dengan hadis
yang menjelaskan Mu’adz ibnu Jabal ketika diutus ke Yaman. Pada hadis tersebut,
terdapat kata-kata ajtahidu ra’yu.
Adapun definisi ijtihad secara terminologi cukup beragam dikemukakan oleh
ulama ushul fiqih.Namun secara umum adalah sebagai berikut:

Artinya:
"Aktivitas untuk memperoleh pengetahuan (istinbath) hukum syara’ dari dalil terperinci dalam

77
syari 'at.”
Dengan kata lain, ijtihad adalah pengerahan segala kesanggupan seorang faqih
(pakar liqih Islam) untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum sesuatu melalui
dalil syara' (agama). Dalam istilah inilah, ijtihad lebih banyak dikenal dan digunakan
bahkan banyak para fuqahayang menegaskan bahwa ijtihad itu bisa dilakukan di
bidang fiqih.
Pendapat fuqahadan ulama ushul tersebut diperkuat oleh At- Taftazani dan Ar-
Ruhawi. Kedua ulama tersebut mengatakan bahwa ijtihad tidak dilakukan dalam
masalah qath 'iyat dan masalah ushul addin(akidah) yang wajib dipegang secara
mantap. Selain itu. mayoritas ulama ushul fiqihtidak memasukkan masalah akidah pada
lapangan ijtihad, bahkan mereka melarang untuk ber-ijtihad pada masalah tersebut.
Mereka juga beranggapan bahwa orang yang keliru dan salah dalam ijtihad pada
masalah akidah dipandang kafir atau fasik.
Imam Malik termasuk ulama yang berpandangan seperti itu. Dia berpendapat
bahwa akidah bukan masalah ijtihadiyah dan dia juga menolak pembahasan ayat-ayat
mutasyabihat. Dalam hal ini, ia berpegang teguh pada zhahir Al-Quran atau As-Sunnah
serta mengimani hal-hal yang ghaib tanpa pembahasan yang mendalam. Ia
berpendapat balnva kebenaran mujtahid dalam hal ini adalah satu. Namun, minoritas
ulama ushul, seperti Al-Kamal Ibnu Al-Hummam dan Ibnu Taimiyyah mengakui
adanya ijtihad dalam akidah.
Sehubungan dengan hal tersebut, kenyataan menunjukkan bahwaijtihad
diberlakukan dalam berbagai bidang, yakni mencakup akidah, mu'amalah (fiqih), dan
falsafat. Akan tetapi, yang menjadi permasalahan di sini adalah mengenai kedudukan
hasil ijtihad. Persoalan tersebut berawal dari pandangan mereka tentang ruang lingkup
qath 'i tidaknya suatu dalil. Ulama ushul memandang dalil-dalil yang berkaitan
dengan akidah termasuk dalil qath 'i. sehingga di bidang ini tidak dilakukan ijtihad.
Mereka mengatakan bahwa kebenaran mujtahid di bidang ilmu kalam hanya satu.
Sebaliknya, golongan mutakalimin memandang bahwa di bidang ilmu kalam itu
terdapat hal-hal yang zhaniyat, karena ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan
persoalan tersebut adalah ayat-ayat mutasyahihat. Oleh karena itu, dalam
menyelesaikan persoalan tersebut diperlukan ijtihad. Bahkan, mereka menyatakan
bahwa setiap mujtahid itu benar. Kalaupun melakukan kekeliruan, ia tetap
mendapatkan pahala. Namun, pendapat tersebut ditolak oleh ulama ushul. Sekalipun
sama-sama menyatakan bahwa setiap mujtahid itu benar, namun kebenaran di sini
terbatas dalam bidang fiqih.
Menurut Harun Nasution, arti ijtihad seperti yang telah dikemukakan di atas
adalah ijtihad dalam arti sempit. Dalam arti luas, menurutnya, ijtihad juga berlaku pada
bidang politik, akidah, tasawuf, dan falsafat.
Telah kita ketahui bahwa ijtihad telah berkembang sejak zaman Rasul.
Sepanjang fiqih mengandung “pengertian tentang hukum syara' yang berkaitan dengan
perbuatan mukallaf, maka ijtihad akan terus berkembang. Perkembangan itu berkaitan
dengan perbuatan manusia yang selalu berubah-ubah, baik bentuk maupun macamnya.
Dalam hubungan inilah, Asy-Syahrastani mengatakan bahwa kejadian-kejadian, dan
kasus-kasus dalam peribadatan dan muamalah (tindakan manusia) termasuk yang tidak
dapat dihitung. Secara pasti dapat diketahui bahwa tidak setiap kasus ada nash-nya.
Apabila nash-nya sudah berakhir, sedangkan kejadian-kejadiannya berlangsung terus
tanpa terbatas; dan tatkala sesuatu yang terbatas tidak mungkin dapat mengikuti sesuatu
yang tidak terbatas, maka qiyaswajib dipakai sehingga setiap kasus ada ijtihad
mengenainya.
Dalam masalah fiqih, ijtihad hi Ar-ra 'yu telah ada sejak zaman Rasulullah SAW.
Beliau sendiri memberi izin kepada Mu'adz Ibnu Jabal untuk ber-ijtihad ketika Muadz
diutus ke Yaman. Umar Ibnu Al- Khaththab sering menggunakan ijtihad bi al ra’yu
apabila ia tidak menemukan ketentuan hukum dalam Al-Quran dan As-Sunah.
Demikian pula para sahabat lainnya dan para tabi’in sehingga pada perkembangan
selanjutnya muncul dua golongan yang dikenal dengan golongan ahlar-ra'yu sebagai
bandingan golongan ahli hadis. Umar Ibnu Khaththab dipandang sebagai pemuka ahl
ar-ra’yu.
Demikianlah penggunaan ra’yu terus berlangsung secara alami. Pada zaman
Imam Syafi’i, cara penggunaan ra’yu itu disistematiskan sehingga ada kerangka acuan
yang jelas, seperti apa yang dikenal dengan metode al-qiyas (analogi). Imam Syafi’i
yang mula-mula meletakkan persyaratan qiyasyang valid sehingga qiyasitu dapat
dijadikan alat penggalian hukum yang sahih.
Setelah Rasulullah wafat dan meninggalkan risalah Islamiyyah yang sempurna,
kewajiban berdakwah berpindah pada sahabat. Mereka melaksanakan kewajiban itu
dengan memperluas wilayah kekuasaan Islam dengan berbagai peperangan. Mereka
berhasil menaklukan Persia, Syam, Mesir, dan Afrika Utara. Akibat perluasan wilayah
itu, terjadilah akulturasi bangsa dan kebudayaan sehingga muncul berbagai masalah
baru yang memerlukan pemecahan. Keadaan seperti itu mendorong pemuka sahabat
untuk ber-ijtihad.
Upaya pencarian ketentuan hukum tertentu terhadap masalah-masalah baru itu
dilakukan pemuka sahabat dengan berbagai tahapan. Pertama- tama, mereka berusaha
mencari hukum itu dari Al-Quran dan apabila hukum itu telah ditemukannya, maka
berpegang teguh pada hukum tersebut, walaupun sebelumnya mereka berbeda
pendapat. Selanjutnya, apabila masalah itu tidak ditemukan dalam Al-Quran, mereka
mencarinya dalam Al-Hadis dengan cara menggali hadis dan menanyakan hadis yang
berkenaan dengan masalah yang tengah dihadapinya kepada para sahabat. Apabila
masalah itu tidak ditemukan dalam hadis tersebut, mereka baru melakukan ijtihad.

2. Dasar Hukum Ijtihad


Ijithad bisa dipandang sebagai salah satu metode untuk menggali sumber hukum
Islam. Yang menjadi landasan dibolehkannya ijtihad banyak sekali, baik melalui
pernyataan yang jelas maupun berdasarkan isyarat, di antaranya:

79
Artinya:
“Sesungguhnya kami turunkan kitab kepadamu secara hak, agar dapat menghukumi di
antara manusia dengan apa yang Allah mengetahui kepadamu."
Dalam ayat tersebut terdapat penetapan ijitihad berdasarkan qiyas.

Artinya:
“Sesungguhnya pada hal itu terdapat tanda-tanda bagi orang- orang yang berpikir. ”
2. Adanya keterangan dari sunah, yang membolehkan berijtihad, di antaranya:
Hadis yang diriwayatkan oleh Umar:

Artinya:
“Jika seorang hakim menghukumi sesuatu, dan benar, maka ia mendapat dua, dan bila
salah maka ia mendapat satu pahala. ’’
Dan hadis Mu’adz Ibnu Jabal ketika Rasulullah SAW. mengutusnya ke Yaman
untuk menjadi hakim di Yaman.
Artinya:
“Rasulullah SAW. bertanya, “Dengan apa kamu menghukumi? ” Ia menjawab,
’’Dengan apa yang ada dalam kitab Allah. Bertanya Rasulullah, ’’Jika kamu tidak
mendapatkan dalam kitab Allah? ” Dia menjawab: ”Aku memutuskan dengan apa yang
diputuskan Rasulullah ”. Rasul bertanya lagi, ”,Jika tidak mendapatkan dalam ketetapan
Rasulullah? ” Berkata Mu ’adz, 'Aku berijtihad dengan pendapatku. ’’Rasulullah
bersabda, ”Aku bersyukur kepada Allah yang telah menyepkati utusan dari Rasulul-Nya.

Dan hal itu telah diikuti oleh para sahabat setelah Nabi wafat. Mereka selalu
berijtihad jika menemukan suatu masalah baru yang tidak terdapat dalam AL-Qur’an
dan Sunnah Rasul.
Macam-macam Ijtihad
Di kalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam
Syafi’i menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia
tidak mengakui ra'yu yang didasarkan pada istihsan atau maslahah mursalah. Sementara
itu, para ulama lainnya
memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup
ra’yu, qiyas, dan akal. (DaWalibi : 37)
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para
sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid,
atau setidak-tidaknya mendekati syari'at, tanpa melihat apakah hal itu ada dasarnya atau
tidak (Al-Khadry : 126). Berdasarkan pendapat tersebut, Dr. Dawalibi membagi ijtihad
menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab
Al-Muwafaqat, yaitu:
a. Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara ’ dari nash.

81
b. Ijtihad Al-qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-
Quran dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
c. Ijtihad al-istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam
Al-Quran dan As-Sunah dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Pembagian di atas masih belum sempurna, seperti yang diungkapkan oleh
Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alasan, di antaranya
jami ’ wal mani. Menurutnya, ijtihad itu dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1. Ijtihadal-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak
menggunakan dalil syara'. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti
kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek
bila tidak disertai penjelasan, dan lain-lain.
2. Ijtihad syari', yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian
ini adalah ijma’, qiyas, istihsan. Istishlah, ‘urf, istishhab, dan lain-lain.
4. Syarat-Syarat Ijtihad
Ulama ushul berbeda pendapat dalam menetapkansyarat-syarat
ijtihad atau syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujtahid (orang yang
melakukan ijtihad). Secara umum, pendapat mereka tentang persyaratan seorang
mujtahid dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran,
baik menurut bahasa maupun syari'ah. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus
menghapalnya, melainkan cukup mengetahui letak-letaknya saja, sehingga
memudahkan baginya apabila ia membutuhkan. Imam Ghazali, Ibnu Arabi, dan
Ar-Razi membatasi ayat-ayat hukum tersebut sebanyak lima ratus ayat.
b. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa
maupun syari'at. Akan tetapi, tidak disyaratkan harus menghapalnya, melainkan
cukup mengetahui letak-letaknya secara pasti, untuk memudahkannya jika ia
membutuhkannya. Ibnu Arabi membatasinya sebanyak 3000 hadis. Menurut Ibnu
Hanbal, dasar ilmu yang berkailan dengan hadis Nabi berjumlah sekitar 1.200
hadis. Oleh karena itu. pembatasan tersebut dinilai tidak tepat karena hadis-hadis
hukum itu tersebar dalam berbagai kitab yang berbeda-beda.
Menurut Asy-Svaukani. seorang mujtahid harus mengetahui kitab-kitab yang
menghimpun hadis dan bisa membukanya dengan cepat, misalnya dengan
menggunakan kamus hadis. Seiain itu, ia pun harus mengetahui persambungan
sanad dalam hadis. (Asy- Syaukani: 221)
Sedangkan menurut At-Taftaji, sebaiknya mujtahid mengambil referensi
dari kitab-kitab yang sudah mashyur kesahihannya, seperti Bukhari, Muslim,
Baghawi, dan lain-lain. (Taftazi. 11 : 117)
c. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum, namun tidak disyaratkan harus menghapalnya. Di
antara kitab-kitab yang bisa dijadikan rujukan dalam nasakh dan mansukh adalah
kitab karangan Ibnu Khujaimah. Abi Ja'far An-Nuhas, Ibnu Jauzi, Ibnu Hajm, dan
lain-lain.
d. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ijma’ ulama, sehingga
ijtihad-nya tidak bertentangan dengan ijma '. Kitab yang bisa djadikan rujukan di
antaranya Kitab Maratibu al-Ijma' (Ibn Hajm).
e.
Mengetahui qiyasdan berbagai persyaratannya serta meng-istinbat-
nva, karena qiyasmerupakan kaidah dalam berijtihad.
f. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan
dengan bahasa, serta berbagai problematikanya. Hal ini antara lain
karena Al-Quran dan As-Sunah ditulis dengan bahasa Arab. Namun, tidak
disyaratkan untuk betul-betul menguasainya atau menjadi ahlinya, melainkan
sekurang-kurangnya mengetahui maksud yang dikandung dari Al-Quran atau
Al-Hadis. (Al-Amidi: 140)
g. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqihyang merupakan fondasi dari ijtihad. Bahkan,
menurut Fakhru Ar-Razi. ilmu yang paling penting dalam ber-ijtihad adalah
ilmu Ushul Fiqih.
h. Mengetahui maqashidu Asy-Syari’ah (tujuan syari'at) secara umum, karena
bagaimanapun juga syari'at itu berkaitan dengan maqashidu Asy-Syari 'ah atau
rahasia disyari'atkannya suatu hukum. Sebaiknya, mengambil rujukan pada
isitihsan, maslahah mursalah. urf, dan sebagainya yang menggunakan maqashidu
Asy- Syari’ah sebagai standarnya.
Maksud dari maqashidu al-Syari’ah, antara lain menjaga kemaslahatan
manusia dan menjauhkan dari kemadaratan. Namun, standarnya adalah syara’,
bukan kehendak manusia, karena manusia tidak jarang menganggap yang hak
menjadi tidak hak dan sebaiiknya.
5. Objek Ijtihad
Menurut Al-Ghazali, objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak
memiliki dalil yangqathi’.Dari pendapatnya itu, diketahui ada permasalahan yang
tidak bisa dijadikan objek ijtihad.
Dengan demikian, syari'at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad terbagi dalam
dua bagian:
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum-
hukum yang telah dimaklumi sebagai landasan pokok Islam, yang berdasarkan
pada dalil-dalil yang qathi’,seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat, puasa,
ibadah haji, atau haramnya melakukan zina, mencuri, dan-lain-lain. Semua itu
telah ditetapkan hukumnya di dalam Al-Quran dan As-Sunah.
Kewajiban shalat dan zakat berdasarkan firman Allah SWT.

83
Artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat ... "
(QS. An-Nur - 56)
Ayat tersebut tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad untuk mengetahui maksud
shalat.
2. Syari'at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad, yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-
dalil yang bersifat zhanni. baik maksudnya, petunjuknya, ataupun eksistensinya
(tsubut), serta hukum-hukum yang belum ada nash-nya dan ijma’ para ulama.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih zhanni. hadis ahad misalnya,
maka yang menjadi lapangan ijtihad di antaranya adalah meneliti bagaimana
sanadnya, derajat para perawinya, dan lain-lain.
Dan nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan
ijtihad, antara lain bagaimana maksud dari nash tersebut, misalnya dengan
memakai kaidah ‘am, khas, mutlacj muqayyad,dan lain-lain.
Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash- nya, maka yang
menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang
bersumber dari akal, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan lain-lain
Namun, permasalahan ini banyak diperdebatkan di kalangan para ulama.

6. Hukum Melakukan Ijtihad


Menurut para ulama, bagi seseorang yang sudah memenuhi persyaratan ijtihad di
atas, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijtihad,
yaitu:
a. Orang tersebut dihukumi fardu ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang
menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihad-nya dan tidak boleh taqlid
kepada orang lain. Karena hukum ijithad itu sama dengan hukum Allah terhadap
permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah,
b. Juga dihukumi fardu 'ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada
hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan
dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian
tersebut.
c.Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi
syarat sebagai seorang mujtahid.
d.Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yangbaru, baik ditanya
ataupun tidak.
e.Dihukumi haram apabila bar-ijtihad terhadap permasalahan yangsudah ditetapkan
secara qalthi'sehingga hasil ijltihad-nya itu bertentangan dengan dalil syara ’.
7. TingkatanMujtahid
Dalam membicarakan masalah tingkatan ijtihad, tidak terlepas dari perbedaan
pendapat di kalangan para ulama ushul tentang telah tertutupnya menurut pintu ijithad.
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada
pemikiran bahwa mujtahid mutlaqitu sudah tidak ada lagi dan yang ada sekarang
hanyalah mujtahid muqayyad.Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai
dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan
antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad,dan mujtahid muntasib yang semuanya
berbeda.
Adapun tingkatan para mujtahid, menurut para ulama, di antaranya menurut Imam
Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan:
1. Mujtahid mustaqil
Adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat
sendiri, dia menyusun flqih-nya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada.
Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
2.Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil
Adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqil, namun dia tidak
menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya, tetapi mengikuti metode salah satu imam
madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai mnthlaq muntasib, tidak mustaqil.tetapi juga
tidak terikat, karena dia tidak dikategorikan taqlidkepada imamnya, melainkan
mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Di antaranya Abu Yusuf dan
Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
3. Mujtahid Muqayyad/ Mujtahid Takhrij
Adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi
kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak
boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Di antaranya Hasan
bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki,
serta Al- Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi'i.
4. Mujtahid Tarjih
Adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij. tetapi
menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmit'. mujtahid ini sangat faqih, hapal
kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya,
dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain.
Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui
kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Di antaranya. Ai-Qaduri dan
pengarang kitab AI- Hidayah dalam madzhab Hanafi.
5. Mujtahid Fatwa
Adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab,
mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia
masih lemah dalam menetapkan suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah
dalam menetapkan qiyas.
Menurut Imam Nawawi, "Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung
kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang

85
yang ada dalam madzhab tersebut."
8. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada abad 4 Hijriyah, Daulah Islam iyah terbagi-bagi kepada beberapa negara. Hal
itu menyebabkan lemahnya kekuatan umat Islam, karena hubungan di antara negara-
negara tersebut menjadi terputus. Selain itu, perkembangan keilmuan dan kebebasan
berpikir pun menjadi lemah. Hal itu menyebabkan timbulnya sikap loyal (ta'asuh) dan
fanatik yang sangat berlebihan para ulama pada saat itu terhadap madzhab mereka dan
menjadikan mereka kurang percaya diri terhadap kemampuan mereka sendiri. Selain
itu, di antara mereka pun sering terjadi perdebatan dan Perpecahan sehingga
menyebabkan tidak tuntasnya berbagai permasalahan yang dihadapkan kepada mereka,
dan mereka disibukkan dengan upaya menyusun berbagai kitab madzhab, bahkan
merasa cukup dengan membuat berbagai ringkasan dari kitab-kitab imam madzhab
mereka. Dan yang lebih parah lagi, mereka terlalu khawatir menyalahi berbagai
ketetapan yang telah ditetapkan oleh Imam madzhab. Semua itu menyebabkan mereka
berpendirian bahwa pintu ijtihad telah tertutup, dan merasa bahwa mereka bukan ahli
ijtihad. (Al-Khudri: 319, As-Subki : 119).
Kalau dicermati secara saksama, pendapat mereka tentang tertutupnya pintu
ijtihad tiada lain karena dipengaruhi oleh perkembangan politik pada masa itu, dan
adanya perasaan bahwa ijtihad tidak diperlukan lagi, baik karena ketidakmampuan
mereka ataupun karena mereka merasa sudah cukup dengan ijtihad yang telah dilakukan
oleh para ulama terdahulu. Padahal kalau dikembalikan kepada syari'at Islam, tidak ada
satu dalil pun yang menyatakan bahwa pintu ijtihad itu telah tertutup. Pernyataan bahwa
pintu ijtihad telah tertutup hanya didasarkan pada kepicikan cara berpikir mereka.
Para ulama dari golongan syi'ah berpendapat bahwa pernyataan tentang
tertutupnya pintu ijtihad dan adanya pembatasan dalam berpikir pada abad keempat
adalah kesalahan besar. Padahal tiga abad sebelumnya pintu ijtihad selalu terbuka, yang
menyebabkan berkembangnya keilmuan dan semakin menyebarkan syari’at. (Hasyim:
359). Dengan demikian, di kalangan Syi’ah, pintu ijtihad selalu terbuka bagi mereka
yang ahli.
Memang demikianlah seharusnya, tidak ada alasan untuk membatasi pemikiran
untuk ber-ijtihad, apalagi perkembangan zaman yang semakin pesat, sehingga seringkali
menimbulkan permasalahan baru yang sangat memerlukan ijtihad untuk pemecahannya.
Menurut Imam Suyuthi, sebenarnya para ulama dari setiap madzhab telah sepakat
bahwa ijtihad itu hukumnya wajib dan taqlid adalah perbuatan tercela. Mereka pun
melarang umat Islam untuk taqlid buta kepada pendapat mereka tanpa berpikir dan
menyelidiki terlebih dahulu terhadap apa-apa yang telah difatwakan.
Menurut Al-Baghawi dan Asy-Syahrastani. dihukumi dosa jika tidak ada seorang
pun dari kaum muslimin yang mempelajari fatwa para ulama terdahulu. Hal itu
dianggap meremehkan hukum syara ’. di samping semakin berkembangnya
permasalahan yang tidak sama dengan waktu- waktu tertentu, yang sudah pasti
memerlukan ijtihad untuk memecahkannya.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian ijtihad, baik secara etimologi maupun terminologi!
2. Sebutkan dasar hukum ijtihad!
3. Kapan istilah ijtihad dikenal di dunia Islam?
4. Ada berapa macamkah ijtihad itu? Jelaskan!
5. Bolehkah setiap orang melakukan ijtihad, apa sajakah syarat - syarat ijtihad itu?
6. Lapangan mana sajakah yang boleh di-ijtihad-i?
7. Bolehkah seseorang melakukan ijtihad, apakah hukumnya ber- ijtihad bagi orang
yang sudah memenuhi syarat-syarat ijtihad?
8. Ada berapakah tingkatan mujtahid? Jelaskan!
9. Mengapa ada segolongan ulama yang menyatakan bahwa ijtihad telah tertutup?
10. Berikan contoh masalah yang merupakan hasil ijtihad dari seorang
mujtahidmuthlaqyang masih dilakukan umat Islam masa sekarang!

B. ISTIHSAN
1. Pengertian dan Hakikat Istihsan
Secara harfiyah, istihsan diartikan meminta berbuat kebaikan, yakni
menghitung-hitung sesuatu dan menganggapnya kebaikan. (Kamus Lisan
al-Arab)
Menurut Istilah ulama ushul, istishan adalah sebagai berikut ini.
1. Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Mustashfa juz I : 137, "Istihsan adalah
semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.”
2. Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, "Istihsan adalah suatu keadilan
terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil tertentu dari Al-Quran
dan As-Sunah.”
3. Abu Ishaq Asy-Syatibi dalam madzhab Al-Maliki berkata, "Istihsan adalah
pengambilan suatu kemaslahahan yang bersifat juz’i dalam menanggapi dalil
yang bersifat global.”
4. Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, "Istihsan adalah perbuatan adil terhadap
suatu permasalahan hukum dengan
memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang
membutuhkan keadilan.”
5. Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Definisi yang lebih baik adalah menurut Al-
Hasan Al-Kurkhi di atas.”
6. Sebagian ulama yang lainnya mengatakan bahwa istihsan adalah perbuatan adil
dalam hukum yang menggunakan dalil adat untuk kemaslahatan manusia, dan
lain-lain.
2. Kehujjahan Istihsan dan Pandangan Para Ulama
2.1 Ulama Hanafiyah

87
Abu Zahrah berpendapat bahwa Abu Hanifah banyak sekali menggunakan
istihsan. Begitu pula dalam keterangan yang ditulis dalam beberapa kitab Ushul yang
menyebutkan bahwa Hanafiyah mengakui adanya istihsan. Bahkan, dalam beberapa
kitab fiqhnya banyak sekali terdapat permasalahan yang menyangkut istihsan.
2.2 Ulama Malikiyah
Asy- Syatibi berkata bahwa sesungguhnya istihsan itu dianggap dalil yang kuat
dalam hukum sebagaimana pendapat Imam Maliki dan Imam Abu Hanifah. Begitu pula
menurut Abu Zahrah, bahwa Imam Malik sering berfatwa dengan menggunakan
istihsan.
2.3 Ulama Hanabilah
Dalam beberapa kitab Ushul disebutkan bahwa golongan Hanabilah mengakui
adanya istihsan, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Amudi dan Ibnu Hazib. Akan
tetapi, Al-Jalal al-Mahalli dalam kitab Syarh Al- Jam ’Al-Jawami ’ mengatakan bahwa
istihsan itu diakui oleh Abu Hanifah, namun ulama yang lain mengingkarinya termasuk
di dalamnya golongan Hanabilah.
2.4 Ulama Syafi’iyah
Golongan Al Syafi’i secara mashyur tidak mengakui adanya istihsan, dan mereka
betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbat hukum dan tidak
menggunakannya sebagai dalil. Bahkan, Imam Syafi’ i berkata “Barang siapa yang
menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syari’at.” Beliau juga berkata, “Segala
urusan itu telah diatur oleh Allah SWT., setidaknya ada yang menyerupainya sehingga
diboleh- kan menggunakan qiyas, namun tidak dibolehkan menggunakan istihsan.
Di bawah ini akan diberikan beberapa contoh tentang pengaruh Istihsan dalam
masalah Fiqih;
3. 1 Lelaki yang Menghadap Perempuan dalam Shalat
Berdasarkan sunah, para ulama sepakat bahwa apabila laki-laki dan perempuan
melakukan shalat berjama’ah, maka perempuan berada di barisan belakang laki-laki.
Tetapi mereka berbeda pendapat, mengenai seorang perempuan yang melaksanakan
shalat berjama’ah berada tepat pada barisan laki-laki atau laki-laki yang melaksanakan
shalat berjama’ah tepat berada pada barisan perempuan.
1. Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya berpendapat, bahwa
dianggap rusak shalat seorang laki-laki yang menghadap (berada di belakang)
perempuan, dan tidak dianggap rusak shalat perempuan yang menghadap (berada
di belakang) laki-laki. Dalam kitab Bidayah Al-Mubtadi (255:1), ia mengatakan
bahwa apabila di hadapan laki-laki itu terdapat seorang perempuan dan keduanya
sama-sama dalam satu shalat, maka shalat laki-laki itu adalah fasad (rusak) jika ia
bertekad/niat menjadikannya (perempuan) sebagai imam.
2. Imam yang tiga (Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad), berpendapat bahwa shalat
tersebut adalah makruh, namun shalat salah satu di antara mereka, baik laki-laki
maupun perempuan tidaklah rusak. Dalam Syarh Al-Kabir (333:1) dinyatakan
bahwa shalat seorang laki-laki yang berada di antara barisan perempuan dan atau
sebaliknya adalah makruh. Dan dalam kitab Al-Hasysyiyat dipertegas bahwa baik
laki-laki yang menghadap (di belakang) perempuan maupun perempuan yang
menghadap (di belakang) laki- laki adalah makruh.
3. Dalam kitab Al-Umm (150:1), Imam Asy-Syafi’i menyatakan bahwa apabila
seseorang bermakmum kepada seorang laki-laki dan kepada seorang perempuan,
sedangkan perempuan tersebut berdiri di belakang imam, dan laki-laki berada di
belakang perempuan atau perempuan tersebut berdiri di samping imam, kemudian
laki-laki itu bermakmum kepadanya dan ia berada di samping perempuan tersebut
maka shalat bagi perempuan, laki- laki, dan imam tersebut adalah makruh, namun
shalat salah satu di antara mereka tidak rusak.
4. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni(150:1), berpendapat
bahwa jika terdapat seorang perempuan yang melaksanakan shalat pada barisan
laki-laki, maka shalatnya itu adalah makruh, namun tidak menjadikannya batal.
Di antara argumen yang dikemukakan oleh para para ulama di atas adalah
sebagai berikut:
a. Landasan madzhab Hanafi atas pendapat mereka mengenai rusaknya shalat
seorang laki yang berhadapan dengan perempuan adalah istihsan.Alasan
istihsanitu berdasarkan perintah dari Rasulullah untuk mendahulukan laki-laki
dan mengakhirkan perempuan dalam shalat. karena apabila laki-laki diakhirkan
atau shalatnya menghadap kepada perempuan, maka ia dianggap tertinggal shalat
fardu dan shalatnya pun menjadi rusak. Perintah yang dimaksud adalah sabda
Rasulullah SAW. yang berbunyi, “Akhirkanlah mereka (perempuan) seperti
halnya Allah inengakhirkannya ”.
b. Alasan ulama yang menyatakan shalatnya makruhadalah mereka menganalogikan
keadaan shalat dengan sesuatu yangterjadi di luar shalat, maka shalatnya tidaklah
batal menurut ijma'.Hal tersebut didasari oleh praktek yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW. yaitu ketika Rasulullah sedang melaksanakan shalat, sementara
'Aisyah tertidur di hadapannya.
c. Dalam kitab Al-Umm(150-151), Asy-Syafi'i mengatakan bahwa sesungguhny a
apa yang aku katakan ini di informasikan pula oleh Ibnu 'Uyainah kepadaku dari
Zuhri dari “Urwah dari 'Aisyah ia berkata, "Ketika Rasulullah sedang
melaksanakan shalat malam, sedang aku berbaring antara beliau dan arah kiblat
seperti berbaringnya jenazah. Asy-Syafi’i berkata, “Jika seorang perempuan y
ang berada di hadapannya tidak merusak laki-laki yang sedang shalat, maka
perempuan tersebut, baik di kanan atau kiri laki-laki itu tidak merusak shalat
laki-laki itu", (lihat Al-Mughni. hal 150, jilid II).
3.2 Zakat Seluruh Harta Tanpa Niat
Para ulama sepakat bahwa tidak diperbolehkan melaksanakan zakat tanpa
dibarengi oleh niat untuk memisahkan ukuran yang wajib dizakati.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai kepada siapa sebenarnya
diwajibkannya zakat atau bersedekah seluruh hartanya bila tidak disertai
niat. Apakah kewajiban zakatnya menjadi gugur atau tetap berada pada

89
tanggung jawabnya?
a. Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa kewajiban tersebut tidak gugur. Dalam
kitab Al-Majnni '(191:6) dikatakan bahwa jika seseorang menyedekahkan
(menzakatkan) seluruh hartanya dengan tidak disertai niat zakat, maka zakat
tersebut tidak gugur.
b. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni (377: 2), mengatakan bahwa walaupun
hukum seseorang menyedekahkan semua hartanya itu adalah sunah, tetapi jika ia
tidak berniat zakat, maka ia tetap tidak mendapatkan pahala zakat.
c. Abu Hanifah dan rekan-rekannya berpendapat bahwa zakat tersebut adalah gugur.
Ia menyatakan dalam kitab Al-Hidayah (493:1) bahwa barang siapa yang berzakat
dengan seluruh hartanya, tetapi ia tidak menyertainya dengan niat zakat maka
gugurlah kewajibannya.
Di antara argumen yang dikemukakan oleh mereka adalah:
a. Alasan mereka yang mengatakan bahwa kewajiban zakat itu tidak gugur karena
orang tersebut belum berniat dengan apa yang disedekahkannya itu untuk
membayar hal yang wajib/fardu. Maka zakatnya tidak gugur. Mereka
menganalogikan hal tersebut pada shalat, yaitu jika seseorang melakukan shalat
seperti apa yang ia kehendaki dan ia tidak berniat shalat fardhu atas shalatnya itu
maka shalatnya tidaklah gugur sebelum ia melakukan shalat tersebut dengan niat
shalat fardhu. Sedekah tersebut bisa jatuh pada fardhu juga sunah. Oleh karena
itu. niatnya harus ditentukan.
b. Asy-Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm( 1 8 : 2 ) , mengatakan bahwa apabila dalam
bersedekah itu tidak ditentukan fardu dan sunahnya, maka sebenarnya Allah
SWT. itu sangat mengetahui akan hal itu.
c. Dalam kitab Al-Majmu' ( 1 9 1 : 6 ) , An-Nawaw i mengatakan bahwa perbuatan
tersebut tidak murni sebagai fardu dan juga tidak sah, seperti halnya shalat.
d. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mugni (377:2) berpendapat bah
wa menyedekahkan (zakat) semua harta dengan tidak disertai niat zakat adalah
tidak sah, karena tidak disertai dengan niat fardu.
Perbuatan tersebut juga tidak mendapatkan pahala. Hal tersebut sama halnya
apabila seseorang melakukan shalat 100 (seratus) raka’attanpa menentukan niat
bahwa shalat tersebut adalah shalat fardu atau shalat sunat,
e. Alasan golongan Hanafi mengenai gugurnya kewajiban itu adalah istihsan.
Pengarang kitab al- 'Inayah (126 :5) berpendapat bahwa berdasarkan
qiyas,kewajiban tersebut tidak gugur, karena sunah dan fardu keduanya
merupakan syari'at. Oleh karena itu, harus ditentukan seperti dalam shalat.
Alasan menurut dalil istihsan tentang zakat tersebut adalah setelah jelasnya
kewajiban tentang bagian dari seluruh hartanya, yaitu 4/10. dan ukuran tersebut
merupakan ketentuan dari keseluruhan. Apabila sesuatu telah ditentukan, maka tidak
perlu penentuan lagi, karena adanya fardu itu telah membayar keseluruhan dan
penentuan kefarduan itu sendiri untuk mempersempit antara bagian yang harus
dilaksanakan dengan bagian yang lainnya.

SOAL LATIHAN
1. jelaskan Pengertian istihsan secara harliyah!
2. Bagaimanakah pendapat Imam Al-Ghazali dan Abu Ishaq Asy- Syatibi tentang
Istihsan!
3. Jelaskan kehujjahan istihsan menurut pendapat ulama Hanafiyah dan Al-
Hanabilah!
4. Apakah Imam Syafi7i menerima istihsan? Jelaskan!
5. Adakah perbedaan pendapat antara Al-Hanabilah dan Asy- Syafriyah dalam
memandang kehujjahan iistihsan?
6. Sejauh manakah pengaruh istihsan terhadap masalah fiqih?
7. Bagaimanakah pengaruh Istihsan dalam masalah fiqih?
8. Mengapa laki-laki tidak boleh bermakmum di belakang perempuan? Jelaskan
alasannya menurut Imam Asy-Syafi'i!
9. Bagaimanakah pendapat para ulama tentang menzakatkan tanpa niat melalui
metode istihsan?
10. Berikan contoh istihsan menurut Anda yang terjadi di masyarakat sekarang ini!

91
A. AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH
1. Pengertian A l-Maslah ah A l-Mursalah
1.1 Menurut Bahasa
Dari segi bahasa, kata al-maslahah adalah seperti lafazh al- manfa 'at. baik artinya
ataupun wajan-nya (timbangan kata), yaitu kalimat mashdar yang sama artinya dengan
kalimat ash-Shalah, seperti halnya lafazh al-manfa’at sama artinya dengan al-naf’u.
Bisa juga dikatakan bahwa al-mashlahah itu merupakan bentuk tunggal (mufrad)
dari kata al-mashalih. Pengarang Kamus Lisan Al- ’Arah menjelaskan dua arti, yaitu al-
mashlahah yang berarti al-shalah dan al-mashlahah yang berarti bentuk tunggal dari al-
mashalih. Semuanya mengandung arti adanya manfaat baik secara asal maupun melalui
suatu proses, seperti menghasilkan kenikmatan dan faedah, ataupun pencegahan dan
penjagaan, seperti menjauhi kemadaratan dan penyakit. Semua itu bisa dikatakan
mashlahah.
Manfaat yang dimaksud oleh pembuat hukum syara' (Allah) adalah sifat menjaga
agama, jiwa, akal, keturunan, dan hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara
Pencipta dan makhluk-Nya.
Manfaat itu adalah kenikmatan atau sesuatu yang akan mengantarkan kepada
kenikmatan. Dengan kata lain, tahshil al-ibcja. Maksud tahsil adalah penghimpunan
kenikmatan secara langsung, sedangkan yang dimaksud dengan ibqa adalah penjagaan
terhadap kenikmatan tersebut dengan cara menjaganya dari kemadaratan dan sebab-
sebabnya.
Dengan demikian, al-Maslahah al-Mursalah adalah suatu kemasalahatan yang tidak
mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian
yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang
menentukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang
sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan
kemadaratan atau untuk menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan
al-Mashlahah al-Mursalah. Tujuan utama ul-MasIahah al -Mursalah adalah kemaslahatan;
yakni memelihara dari kemadaratan dan men jaga kemanfaatannya.
Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara’ Memutlakkannya bahwa di
dalamnya tidak terdapat kaidah syara’ yang wenjadi penguatnya ataupun pembatalnya.
1.2 Pengertian dan Peristilahan AI-Mashlahah Al-Mursalah
Menurut para ulama ushul, sebagian ulama menggunakan istilah al-maslahah
al-mursalahitu dengan kata al-Munasib al-Mursal. " Ada pula yang menggunakan
al-istishlahdan ada pula yang menggunakan istilah al-istidlalal-mwsal.Istilah-istilah
tersebut walaupun tampak sama memiliki satu tujuan, masing-masing mempunyai
tinjauan yang berbeda- beda. Setiap hukum yang didirikan atas dasar
mashlahatdapat ditinjau dari tiga segi yaitu:
a. Melihat mashlahahyang terdapat pada kasus yang dipersoalkan. Misalnya
pembuatan akte nikah sebagai pelengkap administrasi akad nikah di
masasekarang. Akle nikah tersebut memiliki kemaslahatan. Akan tetapi,
kemaslahatan tersebut tidak didasarkan pada dalil yang menunjukkan
pentingnya pembuatan akte nikah tersebut. Kemaslahatan ditinjau dari sisi ini
disebut al-maslahah al-mursalah(maslahah yang terlepas dari dalil khusus),
tetapi sejalan dengan petunjuk-petunjuk umum syari’at Islam.
b. Melihat sifat yang sesuai dengan tujuan syara’ (al-washf al- munasib)yang
mengharuskan adanya suatu ketentuan hukum agar tercipta suatu
kemaslahatan. Misalnya surat akte nikah tersebut mengandung sifat yang
sesuai dengan tujuan syara’, antara lain untuk menjaga status keturunan. Akan
tetapi, sifat kesesuaian ini tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Oleh karena itu,
dari sisi ini ia disebut al-munasib Al-mursal(kesesuaian dengan tujuan syara'
yang terlepas dari dalil syara' yang khusus).
c. Melihat proses penetapan hukum terhadap suatu maslahah yang ditunjukkan
oleh dalil khusus. Dalam hal ini adalah penetapan suatu kasus bahwa hal itu
diakui sah oleh salah satu bagian tujuan syara’. Proses seperti ini disebut
istishlah(menggali dan menetapkan suatu maslahah).
Apabila hukum itu ditinjau dari segi yang pertama, maka dipakai ' istilah al-
Mashlahah al-Mursalah.Istilah ini yang paling terkenal. Bila ditinjau dari segi yang
kedua, dipakai istilah al-munasib al-mursal.Istilah tersebut digunakan oleh Ibnu Haj
ib dan Baidawi (Al-Qadhi Al-Baidhawi : 135). Untuk segi yang ketiga dipakai istilah
al-istishlah,yang dipakai Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustasyfa(Al-Ghazali : 3 1 1 ) ,
atau dipakai
istilah al-lsti'dal al-mursal, seperti yang dipakai Al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafagat
(Al-Muwafaqat, Juz I : 39).
Walaupun para ulama berbeda-beda dalam memandang al- Mashlahah al-
Mursalah, hakikatnya adalah satu, yaitu setiap manfaat yang di dalamnya terdapat
tujuan syara' secara umum, namun tidak terdapat dalil yang secara khusus menerima
atau menolaknya. Di bawah ini akan dibahas beberapa pandangan para ulama tentang
hakikat dan pengertian al-Mashlahah al-Mursalah.
Menurut Abu Nur Zuhair, al-Mashlahah al-Mursalah adalah suatu sifat yang
sesuai dengan hukum, tetapi belum tentu diakui atau tidaknya oleh syara'. (Muhammad
Abu Nur Zuhair. IV : 185)
Abu Zahrah mendefinisikannya dengan suatu maslahah yang sesuai dengan
maksud-maksud pembuat hukum (Allah) secara umum, tetapi tidak ada dasar yang
secara khusus menjadi bukti diakui atau tidaknya. (Abu Zahrah : 221)
Al-Ghazali menyatakan, setiap maslahah yang kembali kepada pemeliharaan
maksud syara' yang diketahui dari Al-Quran, As-Sunah dan Ijma', tetapi tidak
dipandang dari ketiga dasar tersebut sccara khusus dan tidak juga melalui metode qiyas,
maka dipakai al-maslahah al- mursalah. Jika memakai qiyas,harus ada dalil asal (magis
alaih). Cara mengetahui maslahah yang sesuai dengan tujuan itu adalah dari beberapa
dalil yang tidak terbatas, baik dari Al-Quran, sunah, qarinah-qarinah maupun dari
isyarat-isyarat. Oleh sebab itu, cara penggalian maslahah seperti itu disebut al-
maslahah al-mursalah (Al-Ghazali: 310). Artinya, terlepas dari-dalil secara khusus,
tetapi termasuk pada petunjuk umum dari beberapa dalil syara’.

93
Dari pernyataan Al-Ghazali tersebut dapat disimpulkan bahwa al- maslahah al-
mursalah (istishlah) menurut pandangannya adalah suatu metode istidlal (mencari dalil)
dari nash syara' yang tidak merupakan dalil tambahan terhadap nash syara’, tetapi ia
tidak keluar dari nash syara' Menurut pandangannya, ia merupakan hujjah
gath'iyyatselama mengandung arti pemeliharaan maksud syara' , walaupun dalam
Penerapannya zhanni.
Lebih jauh Al-Ghazali menegaskan apabila kita menafsirkan maslahah dengan
pemeliharaan maksud syara' maka tidak ada jalan bagi kita untuk berselisih dalam
mengikutinya, bahkan wajib meyakini bahwamaslahah seperti itu adalah hujjah agama.
Sekiranya dikatakan ada perbedaan pendapat dalam hal itu. perbedaan tersebut hanya
merupakan pertentangan antara satu maslahah dengan maslahah lainnya atau per-
tentangan tujuan syara' dengan yang lainnya. Dalam hal ini. kita wajib men-tarjih yang
lebih kuat. (Al-Ghazali:310)
Asy-Syatibi, salah seorang ulama madzhab Maliki mengatakan bahwa al-
Mashlahah al-Mursalah adalah setiap prinsip syara' yang tidak disertai bukti nash khusus,
namun sesuai dengan tindakan syara' serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara'.
Maka prinsip tersebut adalah sah sebagai dasar hukum dan dapat dijadikan rujukan
sepanjang ia telah menjadi prinsip dan digunakan syara' yang qath ’i. Dari pengertian
yang dikemukakan Al-Syatibi tersebut bisa diambil kesimpulan bahwa:
a. Al-maslahah Al-mursalah menurut Asy-Syatibi adalah suatu maslahah yang tidak
ada nash tertentu, tetapi sesuai dengan tindakan syara'.
b. Kesesuaian maslahah dengan syara’ tidak diketahui dari satu dalil dan tidak dari
nash yang khusus, melainkan dari beberapa dalil dan nash secara keseluruhan
yang menghasilkan hukum qath'i walaupun secara bagian-bagiannya tidak
menunjukkan qath ’i.
Setelah dikemukakan beberapa pengertian al-mashlahah menurut beberapa ulama
ushul, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat al- maslahah dalam syari'at Islam adalah
setiap manfa'at yang tidak didasarkan pada nash khusus yang menunjukkan mu'tabar
(diakui) atau tidaknya manfa'at itu.
Adapun al-Mashlahah al-Mursalah menurut Imam Malik sebagaimana hasil analisis
Al-Syatibi adalah suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip, dan dalil-dalil
syara’, yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyat
(primer) maupun hajjiyat (sekunder). (Al-I’tisham,juz II: 1229)
Penjelasan definisi-definisi di atas, juga menunjukkan bahwa tidak semua yang
mengandung unsur manfaat bisa dikatakan maslahah mur salah, j ika tidak temasuk pada
maqashid asy-syari 'ah.
Kita juga tidak bisa mengatakan bahwa at- Mashlahah i >l-Mursalah adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh seorang Imam dalam kekuasaannya, seperti keputusan
seorang imam untuk memerdekakan hamba sahaya, membunuhnya, dan membebaninya
tebusan dengan harta. Kebijakan-kebijakan tersebut telah tercantum dalam nash Al-
Quran dan As-Sunah.
Tidak juga dikatakan al-Mashlahah al-Mursalah bila ada dua kemaslahatan yang
saling bertentangan dan masing-masing mempunyai penguat atau pembatal. Hal
tersebut tidak masuk dalam kategori jauh dari penguat dan pembatal.
Selain itu, juga tidak termasuk al-Mashlahah al-Mursalah segala kemaslahatan yang
bertentangan dengan nash atau qiyas yang sahih, baik pertentangannya secara umum
maupun mutlaq. Karena semua pertentangan terhadap keduanya terdapat penguat untuk
membatalkannya, maka tidak sah untuk dikatakan mursal.
Namun demikian, al-Mashlahah al-Mursalah itu jangan dipahami tidak memiliki
dalil untuk dijadikan sandarannya atau jauh dari dalil- dalil pembatalnya. Tapi harus
dipahami bahwa al-maslahah al-mursalah berdasarkan pada dalil yang terdapat pada
syara", namun tidak dikhususkan terhadap al-mashiahah al-mursalah ini. Bisa dikatakan
melalui metode yang jauh, seperti penjagaan terhadap roh, akal dan keturunan.
Di antara contoh yang dapat dikatakan al-mashlahah al-mursalah adalah
kemaslahatan daulah Islam dalam penjagaan harta penduduk oleh tentara ketika
membutuhkannya, atau ketika adanya musuh, juga ketika tidak sedikitpun harta yang
dimiliki oleh negara karena dibelanjakan untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.
Kemaslahatan seperti itu tidak ada penguatnya dan tidak pula ada dalil yang
membatalkannya, namun termasuk salah satu dari maksud ketentuan syariat, yakni
menjaga agama.
2. Objek Al-Mashlahah Al-Mitrsalali
Dengan memperhatikan beberapa penjelasan di atas dapat diketahui bahwa
lapangan al-Mashlahah al-Mursalah selain yang berlandaskan Pada hukum syara' secara
umum, juga harus diperhatikan adat dan hubungan antara satu manusia dengan yang
lain. Lapangan tersebut merupakan pilihan utama untuk mencapai kemaslahatan.
Dengan demikian, segi ibadah tidak termasuk dalam lapangan tersebut.
Yang dimaksud segi peribadatan adalah segala sesuatu yang tidak memberi
kesempatan kepda akal untuk mencari kemaslahatan juznya dari setiap hukum yang ada
di dalamnya. Di antaranya, ketentuan syari’at tentang ukuran had kifarat. ketentuan
waris, ketentuan jumlah bulan dalam jddah wanita yang ditinggal mati suaminya atau
yang diceraikan. Dan segala sesuatu yang telah ditetapkan ukurannya dan disyari'atkan
berdasarkan kemaslahatan yang berasal dari syara’ itu sendiri.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa al-Mashlahah al-Mursalah itu difokuskan
terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash;baik dalam Al-Quran maupun As-
Sunah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu i 'tibar.
Juga difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma' atau qiyasyang
berhubungan dengan kejadian tersebut.
3. Posisi Para Ulama dalam Al-Mashlahah Al-Mursalah
3.1 Penerimaan Imam Malik dan Pandangan Para Ulama
Sebagaimana telah di jelaskan bahwa masalah istishlah merupakan permasalahan
yang menjadi bahan perdebatan di kaiangan para ulama. Berdasarkan pendapat yang
lebih kuat, dinyatakan bahwa tidak sah mengambil masalah yang menggunakan al-
Mashlahah al-Mursalah karena tidak ada dalil yang mengisyaratkannya.

95
Di antara para ulama, tidak ada seorang pun yang menyangkal pendapat di atas,
kecuali Imam Malik. Di bawah ini akan diterangkan pendapat beberapa orang ulama
dalam kitab Ushul tentang al-Mashlahah al-Mursalalr.
1. Al-Amidi berkata dalam kitab Al-lhkam,IV : 140, “Para ulama dari golongan
Syafi’i, Hanafi dan lain-lain telah sepakat untuk tidak berpegang kepada istishlah,
kecuali Imam Malik, dan dia pun tidak sependapat dengan para pengikutnya. Para
ulama tersebut sepakat untuk tidak memakai istishlah dalam setiap kemaslahahan,
kecuali dalam kemaslahatan yang penting dan khusus secara qath'i. Mereka tidak
menggunakannya dalam kemaslahatan yang tidak penting, tidak berlaku umum,
serta tidak kuat.
2. Menurut Ibnu Hajib, sesuatu yang tidak ada dalilnya itu disebut rnursal. Akan
tetapi kalau gharib atau ada pembatalnya maka dalil itu tertolak secara sepakat.
Adapun bila dalilnya sesuai, maka Imam Al-Ghazali memakainya, dia
menerimanya dari Asy-Syafi’i dan Malik. Namun, yang lebih utama adalah
menolaknya.
3. Imam Asy-Syatibi berkata dalam kitab Al-Istifham,II : 1 1 1 - 1 1 2 :
Pendapat tentang adanya maslahah mursalahitu telali diperdebatkan di kalangan
para ulama, yang dapat dibagi dalam empat pendapat:
a. Al-Qadhi dan beberapa ahli menolaknya dan menganggapnya sebagai
sesuatu yang tidak ada dasarnya.
b. Imam Malik menganggapnya ada dan memakainya secara mutlak.
c. Imam Asy-Syafi’i dan para pembesar golongan Hanatiyah memakai al-
Mashlahah al-Mursalahdalam permasalahan yang tidak dijumpai dasar
hukumnya yang sahih. Namun mereka mensyaratkan dasar hukum yang
mendekati hukum yang sahih. Hal itu senada dengan pendapat Al-JuWaini.
d. Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa bila kecocokannya itu ada dalam tahap
tahsinatau tajayun(perbaikan), tidaklah dipakai sampai ada dalil yang lebih
jelas. Adapun bila berada pada martabat penting boleh memakainya, tetapi
harus memenuhi beberapa syarat. Dia pun berkata, jangan sampai para
mujtahidmenjauhi untuk melaksanakannya. Namun pendapatnya berbeda-
beda tentang derajat pertengahan: yakni martabat kebutuhan. Dalam kitab
Al-Mustasyfa.dia menolaknya, namun dalam kitab Syafa’u al-Ghalil,dia
menerimanya (Al-Mustasyfa, 1: 141)
Dengan melihat beberapa pendapat ulama di atas jelaslah bahwa hanya Imam
Malik yang menerima istishlahsecara mutlak.

3.2 Posisi Imam Abu Hanifah terhadap Al-Maslahah Al-Mursalah


Abdul Wahaf Khalaf berkata dalam kitab Mashadiru At-Tasyri' Al-Islamy hal 89:
“Pendapat yang mashyuryang tertulis dalam berbagai kitab adalah Abu Hanifah tidak
memakai istishlah dan tidak menganggapnya sebagai dalil syara'. Hal itu didasarkan
pada berbagai tinjauan:
1. Para ahli fiqih Irak dalam muqaddimahnya berkata bahwa hukum syara' itu
mengandung maksud kemaslahatan, sehingga perlu mencari berbagai alasan
untuk mencapai kemaslahatan tersebut. Mereka menggunakan akal dan roh
nashsehingga banyak sekali membuat takwil-takwil yang sesuai dengan akal
mereka dengan maksud untuk mencari kemaslahatan. Pendapat yang lebih jauh
lagi bahwa para pemimpin fiqih Iraq tidak menggunakan istishlah. seperti
Ibrahim An-Nakha’i, dia tidak menggunakan istishlah,tetapi
senantiasa berhujjah untuk kemaslahatan. Mereka termasuk yan» mendahulukan
qivas dan menjaga kemaslahatan.
2. Mereka hanya memakai istihsan dan tidak menggunakan istishlah dan menganggap
bahwa istishlah itu bagian dari istihsan yang bersandarkan pada adat,
kepentingan, dan kemaslahatan. Namun, bila mereka dikatakan berhujjah dengan
istishlah mereka tidak mengakuinya dan hanya menganggap bahwa mereka telah
berdalil dengan istihsan dan 'urf.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui balnva para ulama telah mengeluarkan
berbagai istinbath hukum dengan cara istishlah yang sama artinya dengan istihsan
menurut Imam Abu Hanifah.
Adapun penggunaan 'urfkhususnya di kalangan Hanaflyyah lebih luas dibanding
istishlah terhadap hal-hal yang tidak ada nash-nya. Hal itu tentunya bebas bagi tiap-tiap
daerah dalam kehidupannya dengan maksud untuk mencapai kemaslahatan hidup
mereka. Tak heran kalau banyak hukum yang didasarkan pada ‘urf menurut Hanafiyah
sebenarnya sama dengan istishlah menurut ulama lainnya.

SOAL LATIHAN
1. Uraikan arti al-maslahah baik secara harfiyah maupun istilah!
2. Sebutkan istilah lain yang dikemukakan oleh para ulama Ushul terhadap istilah al-
Mashlahah al-Mursalah berikut penjelasannya!
3. Apakah perbedaan antara al-mashlahah al-mursalah dengan al- munasib al-mursal ?
4. Jelaskan pandangan Asy-Syatibi tentangal-mushlcihuhal-mursolahl
5. Jelaskan pandangan Imam Malik tentang al-Mashlahah al-Mursalah!
6. Mengapa Imam Abu Hanifah tidak menerima al-Mashlahah al-Mursalah sebagai
dalil?
7. Adakah perbedaan menurut Imam Abu Hanifah antara ‘Urf dan al-Mashlahah al-
Mursulah?
8. Coba Anda jelaskan tentang lapangan al-Mashlahah at-Mursalah. dan berikan
contohnya!
9. Berikan salah satu contoh dalam kehidupan di masyarakat yangbisa dikatakan
sebagai al-Mashlahah al-Mursalah!

97
D. ISTISHHAB SEBAGAI DALIL
1. Pengertian 1stishhab.
Istishhabsecara harfiyah adalah mengakui adanya hubungan perkawinan.
Sedangkan menurut Ulama Ushuladalah menetapkan sesuatu menurut keadaan
sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan,
atau menjadikan hukum yang telah ditetapkan pada masa lampau secara kekal
menurut keadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukkan perubahannya.

Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak
atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nyadalam Al-Quran dan As-
Sunah. juga tidak ditemukan dalil syara' yang mengitlak-kan hukumnya, maka
hukumnya adalah boleh, berdasarkan kaidah:

Artinya:
"Pangkal sesuatu itu adalah kebolehan.
Yaitu suatu keadaan, pada saat Allah SWT. menciptakan segala sesuatu
yang ada di bumi secara keseluruhan. Maka selama tidak terdapat dalil yang
menunjukkan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan segala sesuatu itu
dihukumi dengan sifat asalnya.

Dan apabila seorang mujtahidditany a tentang hukum binatang, benda-


benda, tumbuh-tumbuhan, makanan dan minuman, atau suatu amal yang
hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara' maka hukumnya adalah
boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapat dalil yang
menunjukkan atas kebolehannya. Dengan demikian, pangkal sesuatu itu adalah
boleh. Allah telah berfirman dalam kitab Al-Quran:

Artinya:
Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu. ”
(QS. Ai-Baqaran : 29)
Dan Allah SWT. juga telah menjelaskan dalam beberapa ayat lainnya, bahwa
Dia telah menaklukkan segala yang ada di langit dan di bumi untuk manusia. Dengan
kata lain, segala sesuatu yang ada di bumi itu tidak akan dijadikan dan ditaklukan,
kecuali dibolehkan bagi manusia. Seandainya hal itu terlarang bagi mereka, niscaya
semuanya diciptakan bukan untuk mereka.

2. Kehujjahan Istishhah
Istishhab adalah akhir dalil syara' yang dijadikan tempat kembali bagi para
mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama ushul
berkata, “Sesungguhnya Istishhab adalah akhir tempat beredarnya fatwa". Yaitu
mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selama tidak
terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dalam pengambilan dalil yang telah
menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan untuk
mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolaan atas
kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukkan adanya
keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka
dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa
mengetahui ketiadaanya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat
dalil yang menunjukkan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya,
tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka
kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan
tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan
dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula
halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja,
dianggap tetap ada sampai ada' ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang
telah dibebaskan dari orang yang terkena tuntutan utang piutang atau ketetapan apa
saja, dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya, asal
sesuatu itu adalah ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai
terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishhabjuga telah di jadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain
sebagai berikut. “Asai sesuatu adaiah ketetapan yangada
menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai
dengan kaidah:

Artinya:
“Asal segala sesuatu itu adalah kebolehan. ”
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishhab bisa dijadikan dalil hukum

99
karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishhab itu tiada
lain adalah menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
3. Pendapat Ulama tentang Istishhab
Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa Istishhab merupakan hujjah untuk
mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka.
Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Istishhab merupakan ketetapan sesuatu,
yang telah ada menurut keadaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang
berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah
dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yang tidak diketahui tempat
tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan
dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan
kematiannya.
Istishhab-lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak
dugaan kematiannya serta warisan harta bendanya juga perceraian pernikahannya.
Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup
yang ditetapkan menurut Istishhab itu adalah hidup yang didasarkan pengakuan.

SOAL LATIHAN

1.Jelaskan pengertian istishhab, baik secara harfiyah maupun menurut istilah syara’!
2. Sebutkan dasar hukum dibolehkannya istishhab!
3. Bagaimana sikap seorang muslim jika menemukan suatu benda yang belum jelas
hukumnya? Jelaskan!
4. Jelaskan kehujjahan istishhab untuk dijadikan sebagai dalil!
5. Bagaimana pendapat Imam Hanafi tentang istishhab?
6. Bagaimanakah sikap yang harus diambil seorang hakim terhadap orang hilang, yang
belum jelas apakah dia sudah mati atau belum?
7. Bagaimana pendapat Anda tentang istishhab?
8. Jelaskan hubungan antara ishtishhab dan kaidah:

9.Berikan contoh hukum yang sudah berkembang di masyarakat yang didasarkan pada
ishtishhab!
10.Jelaskan perbedaan antara ishtishhab dengan ishtihsan!

E. ‘URF
1. Pengertian ‘urf
Arti ‘urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
melaksanakannya atau meninggalkannya. Di kalangan masyarakat, urf ini sering
disebut sebagai adat.
Pengertian di atas, juga sama dengan pengertian menurut istilah ahli syara ’. Di
antara contoh 'urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian di antara
manusia tentangjual beli tanpa mengucapkan shigat. Sedangkan contoh ‘urf yang
bersifat ucapan adalah adanya pengertian tentang kemutlakan lafal al-walad atas
anak laki-laki bukan perempuan, dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh al-lahm
yang bermakna daging atas as-samak yang bermakna ikan tawar.
Dengan demikian, 'urf itu mencakup sikap saling pengertian di antara manusia
atas perbedaan tingkatan di antara mereka, baik keumumannya ataupun
kekhususannya. Maka 'urf berbeda dengan ijma karena Ijma’ merupakan tradisi dari
kesepakatan para mujtahidin secara khusus.
2. Macam-macam ‘urf
'Urfterdiri dari dua macam, yaitu ‘urf sahih dan 'urf fasid (rusak). 'Urf sahih
adalah sesuatu yang telah saling dikenal oleh manusia dan
tidak bertentangan dengan dalil syara'. tidak menghalalkan yang haram dan
juga tidak membatalkan yang wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara
manusia tentang kontrak borongan, pembagian maskaw in(mahar) yang didahulukan
dan yang diakhirkan. Begitu juga bahwa istri tidak boleh menyerahkan dirinya
kepada suaminya sebelumia menerima sebagian dari maharnya. Juga tentang sesuatu
yang telah diberikan oleh pelamar (calon suami) kepada calon istri, berupa perhiasan,
pakaian, atau apa saja, dianggap sebagai hadiah dan bukan merupakan sebagian dari
mahar.
Adapun 'urffasid, yaitu sesuatu yang telah saling dikenal manusia, tetapi
bertentangan dengan syara’, atau menghalalkan yang haram dan membatalkan yang
Wajib. Seperti adanya saling pengertian di antara manusia tentang beberapa
perbuatan munkar dalam upacara kelahiran anak, juga tentang memakan barang
riba dan kontrak judi.

3. Hukum ‘urf
3.1 ‘Urf Sahih dan Pandangan Para Ulama
Telah disepakati bahwa 'urf sahih itu harus dipelihara dalam pembentukan
hukum dan pengadilan. Maka seorang mujtahid diharuskan untuk memeliharanya
ketika ia menetapkan hukum. Begitu juga seorang Qadhi(hakim) harus
memeliharanya ketika sedang mengadili. Sesuatu yang telah saling dikenal manusia
meskipun tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu tidak bertentangan
dengan syara' harus dipelihara.
Dan syari' pun telah memelihara ‘urf bangsa Arab yang sahih dalam
membentuk hukum, maka difardukanlah dial(denda) atas perempuan yang berakal,
disyaratkan kafa'ah (kesesuaian) dalam hal perkawinan, dan diperhitungkan pula
adanya 'ashahah (ahli waris yang bukan penerima pembagian pasti dalam hal

101
kematian dan pembagian harta pusaka).
Di antara para ulama ada yang berkata, “Adat adalah syariat yang dikukuhkan
sebagai hukum”. Begitu juga 'urf menurut syara' mendapat pengakuan hukum. Imam
Malik mendasarkan sebagian besar hukumnya Pada perbuatan penduduk Madinah.
Abu Hanifah bersama murid- muridnya berbeda pendapat dalam beberapa hukum
dengan dasar atas - Perbuatan 'urf mereka. Sedangkan Imam Syafi'i ketika sudah
berada di
Mesir, mengubah sebagian pendapatnya tentang hukum yang telah dikeluarkannya
ketika beliau berada di Bagdad. Hal ini karena perbedaan ‘urf maka tak heran kalau
beliau mempunyai dua mazhab, madzhab qadim(terdahulu/pertama) dan madzhab jadid
(baru).
Begitu pula dalam Fiqih Hanafiyah, banyak hukum-hukum yang berdasarkan atas
'urf di antaranya apabila berselisih antara dua orang terdakwa dan tidak terdapat saksi
bagi salah satunya, maka pendapat yang dibenarkan (dimenangkan) adalah pendapat
orang yang disaksikan 'urf. Apabila suami istri tidak sepakat atas mahar yang muqaddam
(terdahulu) atau yang mu’akhar (terakhir) maka hukumnya adalah 'urf. Barang siapa
bersumpah tidak akan makan daging, kemudian ia makan ikan tawar, maka tidak berarti
bahwa ia melanggar sumpahnya menurut dasar 'urf
Pendapat yang dinukil itu adalah sah apabila telah menjadi 'urf Jadi, syarat sah
akad itu apabila ketentuan tentang hal itu terdapat dalam syara’, atau apabila dituntut
oleh akad atau apabila berjalan padanya 'urf Al-Marhum Ibnu Abidin telah menyusun
Risalah yang ia namakan "Menyebarkan 'urf di antara hukum-hukum yang dibentuk ber-
dasarkan 'urf'. Di antara ungkapannya yang terkenal, ”Apa-apa yang dimengerti secara
‘urf adalah seperti yang diisyaratkan menurut syara'dan apa-apa yang telah tetap
menurut 'urf adalah seperti yang telah ditetapkan menurut nash”.
1.1 Hukum ‘Urf Fasid
Adapun 'urf yang rusak, tidak diharuskan untuk memeliharanya, karena
memeliharanya itu berarti menentang dalil syara' atau membatalkan dalil syara Apabila
manusia telah saling mengerti akad- akad yang rusak, seperti akad riba atau akad gharar
atau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi 'urf ini tidak mempunyai pengaruh
dalam membolehkannya.
Dalam Undang-Undang positif' manusia, ‘urf yang bertentangan dengan undang-
undang umum tidak diakui, tetapi dalam contoh akad ini bisa ditinjau dari segi lain,
yaitu apakah akad tersebut dianggap darurat atau sesuai dengan hajat manusia?
Artinya, apabila akad tersebut membatalkan, maka berarti menipu peraturan kehidupan
mereka atau mereka akan memperoleh kesulitan. Jika hal itu termasuk darurat atau
kebutuhan mereka, akad itu diperbolehkan, karena dalam keadaan darurat dibolehkan
melakukan hal-hal yang telah diharamkan, sedang hajat itu bisa menduduki tempat
kedudukan darurat. Namun, jika tidak termasuk darurat atau kebutuhan mereka, maka
dihukumi dengan batalnya akad tersebut dan berdasarkan hal ini maka ‘urf tidak diakui.
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf itu dapat berubah menurut perubahan zaman
dan perubahan asalnya. Karena itu, para Fuqaha berkata, “Perselisihan itu adalah
perselisihan masa dan zaman, bukan perselisihan hujjah dan bukti”.

4. Kehujjahan ‘urf
'urfmenurut penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada
umumnya, ‘urf ditujukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan ‘urf dikhususkan lafal yang
‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak. Karena ‘urf pula terkadang qiyasitu
ditinggalkan. Karena itu, sah mengadakan kontrak borongan apabila 'urfsudah terbiasa
dalam hal inisekalipun tidak sah menurut qiyas,karena kontrak tersebut adalah kontrak
atas perkara yang ma'dum (tiada).

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan Pengertian ‘urf baik secara harfiyah maupun menurut istilah syara" !
2. Apakah persamaan dan perbedaan antara ‘urf dan adat!
3. Berikan dua contoh ‘urf yang berkembang di masyarakat Indonesia!
4. Jelaskan macam-macam ‘urf!
5. Berikan contoh dari ‘urf fasid, dan jelaskan mengapa hal itu dinamakan ‘urffasid?
6. Bolehkah mengamalkan ‘urffasid, jelaskan!
7. Apakah menurut Anda ‘urf bisa dijadikan hujjah, sertakan pula pendapat para
ulama untuk memperkuat pendapat Anda!
8. Bagaimanakah pendapat Imam Hanafi tentang ‘urf?
9. Jelaskan ungkapan “Apa-apa yang dimengerti secara ‘urf adalah seperti yang
diisyaratkan menurut syara ’!
10. Bagaimanakah pendapat Anda apakah acara selamatan yang bisa dilakukan oleh
sebagian umat Islam Indonesia, seperti tingkeban atau babarit (upacara bulan
ketujuh dari kehamilan) bisa dikatakan ‘urf'? Mengapa?

E. DZARI’AH
1. Pengertian Dzari'ah
Pengertian dzari 'ah ditinjau dari segi bahasa adalah ' jalan menuju sesuatu”.
Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa pada
perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, pendapat tersebut
ditentang oleh para ulama ushul lainnya, di antaranya Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah yang
menyatakan bahwa dzari 'ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi
ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau dzari’ah itu dibagi
menjadi dua, yaitu sadd Adz-dzari’ah (yang dilarang), dan fath Adz-dzari ’ah (yang
dianjurkan).

2. Sadd Adz-Dzari’ah
Pengertian sadd Adz-dzari 'ah. menurut Imam Asy-Syatibi adalah:

103
Artinya:
“Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan menuju pada suatu
kerusakan (kemafsadatan). ”
(Asy-Syatibi, IV : 198)
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa sadd Adz-dzari 'ah adalah
perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan,
tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat, namun sebelum haul
(genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari
kewaj iban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa- apa) dalam
syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahatan. Akan tetapi,
bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka
hukumnya dilarang. Hal itu didasarkan pada pertimbangan, bahwa hukum zakat adalah
wajib, sedangkan hibbah adalah sunah.
Menurut Imam Asy-Syatibi, ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu
dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinya boleh dilakukan itu mengandung kerusakan
b. Kemafsadatan lebih kuat daripada kemashlahatan;
c. Perbuatan yang dibolehkan syara' mengandung lebih banyak unsur
kemafsadatannya.
3 Macam-Macam Dzari’ah
Para ulama membagi dzari ’ah berdasarkan dua segi: segi kualitas kemafsadatan,
dan segi jenis kemafsadatan.
3.1 Dzari’ah dari Segi Kualitas Kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, dari segi ini dzari’ah terbagi dalam empat macam:
a. Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan yang pasti. Misalnya
menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang
menyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikenai
hukuman karena melakukan perbuatan tersebut dengan disengaja.
b. Perbuatan yang boleh dilakukan karena jarang mengandung kemafsadatan,
misalnya menjual makanan yang biasanya tidak mengandung kemafsadatan.
c. Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa kemafsadatan.
Seperti menjual senjata pada musuh, yang dimungkinkan akan digunakan untuk
membunuh.
d. Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena mengandung kemaslahatan,
tetapi memungkinkan terjadinya kemafsadatan, seperti baiy al-ajal (jual beli
dengan harga yang lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan). Contohnya:
A membeli kendaraan dari B secara kredit seharga 20 juta. Kemudian A menjual
kembali kendaraan tersebut kepada B seharga 10 juta secara tunai, sehingga
seakan-akan A menjual barang fiktif, sementara B tinggal menunggu saja
pembayaran dari kredit mobil tersebut, meskipun mobilnya telah jadi miliknya
kembali. Jual beli ini cenderung pada riba.
Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah baiy al-ajal
dilarang atau dibolehkan. Menurut Imam Syafi'i dan Abu Hanifah, jual beli tersebut
dibolehkan karena syarat dan rukun dalam
Jual beli sudah terpenuhi. Selain itu, dugaan (zhann al-mujarrad)tidak bisa dijadikan
dasar keharaman jual beli tersebut. Oleh karena itu. bentuk dzari 'ahtersebut
dibolehkan.
Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih memperhatikan akibat yang
ditimbulkan oleh praktek jual beli tersebut, yakni menimbulkan riba. Dengan demikian,
dzari’ahseperti itu tidak dibolehkan.
Ada tiga alasan yang dikemukakan oleh Imam Malik dan Imam Ahmad Ibnu
Hambal dalam mengemukakan pendapatnya:
a. Dalambaiy' al-ajalperlu diperhatikan tujuannya atau akibatnya, yang membawa
kepada perbuatan yang mengandung unsur riba, meskipun sifatnya sebatas praduga
yang berat (galabah azh- zhami),karena syara' sendiri banyak sekali menentukan hukum
berdasarkan praduga yang berat, di samping perlunya sikap hati- hati (ihtiyat). Dengan
demikian, suatu perbuatan yang diduga akan membawa pada kemafsadatanbisa
dijadikan dasar untuk melarang suatu perbuatan, seperti baiy al-ajal,berdasarkan
kaidah:

Artinya:
"Menolak segala bentuk kemafsadatan lebih didahulukan daripada mengambil
kemaslahatan. ”
b.Dalam kasus bay al-ajalterdapat dua dasar yang bertentangan,antara sahnya jual beli
karena ada syarat dan rukun, dengan menjaga-seseorang dari kemadaratan. Dalam hal
ini. Imam Malik dan Ahmad Ibnu Hambal lebih menguatkan pemeliharaan keselamatan
dari kemadaratan, karena bentuk jual beli tersebut jelas-jelas membawa pada
kemafsadatan.
c.Dalam nashbanyak sekali larangan terhadap perbuatan-perbuatanyang pada dasarnya
dibolehkan, tetapi karena menjaga dari kemafasdatansehingga dilarang, seperti hadis
yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang laki-laki tidak boleh
bergaul dengan wanita yang bukan muhrim, dan wanita dilarang bepergian lebih dari
tiga hari tanpa muhrim atau mahramnya, dan lain-lain.
Perbuatan-perbuatan yang dilarang itu sebenarnya berdasarkan praduga semata-

105
mata, tetapi Rasulullah SAW. melarangnya, karena perbuatan itu banyak membawa
kepada kemafsadatan.
3.2 Dzari ’ah dari Segi Kemafsadatan yang Ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai
berikut:
a. Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan, seperti meminum minuman
keras yang mengakibatkan mabuk, sedangkan mabuk adalah perbuatan yang
mafsadat.
b. Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan tetapi dijadikan
sebagai jalan untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja
maupun tidak, seperti seorang laki- laki menikahi perempuan yang ditalak tiga
dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah
at- tahlil).
Menurut Ibnu Qayyim, kedua bagian di atas terbagi lagi dalam:
1. Kemaslahatan suatu perbuatan lebih kuat dari kemafsadatan-nya
2. Kemafsadatan suatu perbuatan lebih kuat daripada kemanfaatannya;
Kedua pembagian inipun, menurutnya dibagi lagi menjadi empat bentuk:
a. Sengaja melakukan perbuatan yang mafsadat, seperti minum arak, perbuatan ini
dilarang syara'.
b. Perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau dianjurkan, tetapi dijadikan jalan
untuk melakukan suatu perbuatan yang haram, baik disengaja maupun tidak,
seperti seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan agar
wanita itu bisa kembali kepada suaminya yang pertama (nikah al-tahlil).
c. Perbuatan yang hukumnya boleh dan pelakunya tidak bertujuan
untuk melakukan suatu kemafsadatan, tetapi berakibat timbulnya suatu
kemafsadatan, seperti mencaci maki persembahan orang musyrik yang
mengakibatkan orang musyrik juga akan mencaci maki Allah.
d. Suatu pekerjaan yang pada dasarnya dibolehkan tetapi adakalanya
menimbulkan kemafsadatan, seperti melihat wanita yang dipinang. Menurut Ibnu
Qayyim, kemaslahatannya lebih besar, maka hukumnya dibolehkan sesuai
kebutuhan.
4. Kehujjahan Sadd Adz.-Dzari 'ah
Di kalangan ulama ushul terjadi perbedaan pendapat dalam
menetapkan kehujjahan sadd adz-dzari'ah sebagai dalil syara’. Ulama
Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya sebagai salah satu
dalil syara’.
Alasan mereka antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An ’am : 108:
Artinya:
"Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa
pengetahuan.
(QS. Al-An’Am : 108)

2. Hadis Rasulullah SAW. antara lain:

Artinya:
Sesungguhnya sebesar-besar dosa besar adalah seseorang melaknat kedua
orang tuanya. Lalu Rasulullah SAW. ditanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana
mungkin seseorang akan melaknat Ibu dan bapaknya. Rasulullah SAW.
menjawab, “Seseorang yang mencaci-maki ayah orang lain, maka ayahnya
juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang mencaci maki ibu orang lain,
maka orang lain pun akan mencaci ibunya.
(H.R. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima sadd al-dzari

107
’ahdalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam masalah-masalah
lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila dalam keadaan uzur, misalnya
seorang musafir atau yang sakit diboleh- kan meninggalkan shalat Jum’at dan
dibolehkan menggantinya dengan shalat dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus
dilakukan secara diam- diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat
Jum’at.
Menurut Husain Hamid, salah seorang guru besar Ushul Fiqih Fakultas
Hukum Universitas Kairo, Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima sadd al-
dzari'ah apabila kemafsadatan yang akan muncul benar-benar akan terjadi atau
sekurang-kurangnya kemungkinan besar (galabah adz-zhann) akan terjadi.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan oleh Para ulama
ushul:
a. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Contohnya, seorang laki-laki
yangmenikah dengan perempuan yang sudah ditalak tiga oleh suaminya
dengan tujuan agar perempuan itu bisa kembali pada suaminya yang pertama.
Perbuatan ini dilarang karena motivasinya tidak dibenarkan syara’.
Dari segi dampaknya (akibat), misalnya seorang muslim mencaci maka
sesembahan orang, sehingga orang musyrik tersebut akan mencaci maki Allah.
Oleh karena itu, perbuatan seperti itu dilarang.
Perbedaan pendapat antara Syafiiyah dan Hanafiyah di satu pihak dengan
Malikiyah dan Hanabilah di pihak lain dalam berhujjah dengan saddal-dzari’ah
adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah,
dalam suatu transaksi, yang dilihat adalah akad yang disepakati oleh orang yang
bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat dan rukun maka akad transaksi tersebut
dianggap sah. Adapun masalah niat diserahkan kepada Allah SWT. Menurut
mereka, selama tidak ada indikasi-indikasi yang menunjukkan niat dari perilaku
maka berlaku kaidah:

Artinya:
“Patokan dasar dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak Allah adalah niat,
sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak hamba adalah lafalnya. ”
Akan tetapi, jika tujuan orang yang berakad dapat ditangkap dari beberapa indikator
yang ada, maka berlaku kaidah:

Artinya:
“Yang menjadi patokan dasar dalam perikatan-perikatan adalah niat dan makna,
bukan lafazh dan bentuk formal (ucapan). ”
(Al-Qarafi, II :32)
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi ukuran adalah
niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan
niatnya maka sah. Namun, apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya, tetapi
tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan tujuan tersebut,
maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan antara Allah dan pelaku,
karena yang paling mengetahui niat seseorang hanyalah Allah saja. Apabila ada
indikator yang menunjukkan niatnya, dan niat itu tidak bertentangan dengan tujuan
syara’, maka akadnya sah. Namun apabila niatnya bententangan dengan syara’, maka
perbuatannya dianggap fasid(rusak), namun tidak ada efek hukumnya. (Aj-Jauziyyah,
111: 114, 119 dan IV: 400)
Golongan Zhahiriyyah tidak mengakui kehujjahan sadd adz- dzari’ah sebagai
salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Hal itu sesuai dengan prinsip
mereka yang hanya menggunakan nash secara harfiyah saja dan tidak menerima
campur tangan logika dalam masalah hukum.(Ibnu Hazm, IV : 745 - 757)
5. Fath Adz-Dzari'ah
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyyah dan Imam Al-Qarafi, mengatakan bahwa dzari'ah
itu adakalanya dilarang yang disebut sadd adz-dzari ’ah, dan adakalanya dianjurkan
bahkan diwajibkan yang disebut fath adz- dzari'ah. Misalnya meninggalkan segala
aktivitas untuk melaksanakan shalat jum’at yang hukumnya wajib.
Pendapat tersebut dibantah oleh Wahbah Al-Juhaili yang menyatakan bahwa
perbuatan seperti di atas tidak termasuk kepada dzari 'ah, tetapi dikategorikan sebagai
muqaddimah(pendahuluan) dari suatu pekerjaan. Apabila hendak melakukan suatu
perbuatan yang hukumnya wajib, maka berbagai upaya dalam rangka melaksanakan
kewajiban tersebut hukumnya wajib. Sesuai dengan kaidah:

109
Artinya:
Apabila suatu perbuatan bergantung pada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain itu
pun wajib. ”
Begitu pula segala jalan yang menuju kepada sesuatu yang haram, maka
sesuatu itu pun haram, sesuai dengan kaidah:

Artinya:
“Segala jalan yang menuju terciptanya suatu pekerjaan yang haram, maka jalan itu pun
diharamkan. ”
Misalnya, seorang laki-laki haram berkhalawat dengan wanita yang bukan muhrim
atau melihat auratnya, karena hal itu akan membawa perbuatan haram yaitu zina.
Menurut jumhur, melihat aurat dan berkhalawat dengan wanita yang bukan muhrim
itu disebut pendahuluan kepada yang haram (muqaddimah al-hurmah).
Para ulama telah sepakat tentang adanya hukum pendahuluan tersebut, tetapi
mereka tidak sepakat dalam menerimanya sebagai dzari’ah. Ulama Malikiyah dan
Hanabilah dapat menerima sebagai fath adz- dzari’ah, sedangkan ulama Syafi’iyah,
Hanafiyah, dan sebagian Malikiyyah menyebutnya sebagai muqaddimah,tidak
termasuk sebagai kaidah dzari'ah. Namun, mereka sepakat bahwa hal itu bisa
dijadikan sebagai hujjah dalam menetapkan hukum. (Aj-Juhaili: 874)

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian dzari’ah, baik secara etimologi maupun terminologi!
2. Apakah yang dimaksud dengan sadd adz-dzari’ah dan berikan contohnya!
3. Apa yang Anda ketahui tentang dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan-nya?
4. Terangkan tentang dzari ’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkannya!
5. Bisakah dzari ’ah dijadikan salah satu metode ijtihad? Jelaskan!
6. Bagaimanakah pendapat Imam Malik tentang bai’y al-ajal?
7. Bagaimanakah pandangan Imam Syafi’i tentang saddadz-dzari ’ah?
8. Apa yang Anda ketahui tentang galabah al-zhann?
9. Jelaskan tentang fath adz- dzari'ah!
10. Jelaskan bagaimana pandangan Ibnu Qayyim dan Wahbah Aj-Juhaili tentang
fulli udz- dzuri'ah!
11. Berilah contoh penetapan hukum aktual melalui pendekatan teori
sadd udz-dzuri'ah?
G. MADZHABSHAHABY
1.Keadaan Paru Sahabat Setelah Rasulullah Wafat
Setelah Rasulullah SAW. wafat, tampillah para sahabat yang telah
memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada
umat Islam dan membentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama
bergaul dengan Rasulullah SAW. dan telah memahami Al-Quran serta hukum-
hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang
bermacam-macam. Para niufti dari kalangan tabi'in dan tabi'it-tabi'in telah
memperhatikan periwayatan dan pentakwian fatwa-fatwa mereka. Di antara
mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul, sehingga
fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang
disamakan dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan suatu
permaslahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada qiyas.kecuali kalau
hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
2. Kehujjahan Madzhab Shahaby dan Pandangan paru Ulama
Dari uraian di atas, tidak diragukan lagi bahwa pendapat para sahabat
dianggap sebagai hujjah bagi umat Islam, terutama dalam hal- hal yang tidak
bisa dijangkau akal. Karena pendapat mereka bersumber langsung dari
Rasulullah SAW, seperti ucapan Aisyah: "Tidaklah berdiam kandungan itu
dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat
mengubah bayangan alat tenun".
Keterangan di atas tidaklah sah untuk dijadikan lapangan ijtihad dan
pendapat, namun karena sumbernya benar-benar dari Rasulullah SAW ; . maka
dianggap sebagai sunah meskipun pada /alurnya merupakan ucapan sahabat.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lain bisa
dijadikan hujjah oleh umat Islam. Hal ini karena kesepakatan mereka terhadap
hukum sangat berdekatan dengan zaman Rasulullah SAW.
Mereka juga mengetahui tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian- kejadian
lain yang bersumber dari dalil-dalil yang qath'i.Seperti kesepakatan mereka atas
pembagian waris untuk nenek yang mendapat bagian seperenam. Ketentuan
tersebut wajib diikuti karena, tidak diketahui adanya perselisihan dari Umat
Islam.
Adanya perselisihan biasanya terjadi pada ucapan sahabat yang keluar
dari pendapatnya sendiri sebelum ada kesepakatan dari sahabat yang lain. Abu
Hanifah menyetujui pernyataan tersebut dan berkata, “Apabila saya tidak
mendapatkan hukum dalam Al-Quran dan Sunah, saya mengambil pendapat
para sahabat yang saya kehendaki dan saya meninggalkan pendapat orang yang
tidak saya kehendaki. Namun, saya tidak keluar dari pendapat mereka yang
sesuai dengan yang lainnya.
Dengan demikian, Abu Hanifah tidak memandang bahwa pendapat
seorang sahabat itu sebagai hujjah karena dia bisa mengambil pendapat mereka

111
yang dia kehendaki, namun dia tidak memperkenankan untuk menentang
pendapat-pendapat mereka secara keseluruhan. Dia tidak memperkenankan
adanya qiyasterhadap suatu peristiwa, bahkan dia mengambil cara nasakh
(menghapus/menghilangkan) terhadap berbagai pendapat yang terjadi di antara
mereka.
Menurut Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai
hukum suatu kejadian sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma' di
antara keduanya. Maka kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan
berarti telah keluar dari ijma mereka.
Sedangkan Imam Syafi'i berpendapat bahwa pendapat orang tertentu di
kalangan sahabat tidak dipandang sebagai hujjah, bahkan beliau
memperkenankan untuk menentang pendapat mereka secara keseluruhan dan
melakukan ijtihad untuk mengistinbat pendapat lain. Dengan alasan bahwa
pendapat mereka adalah pendapat ijtihadi secara perseorangan dari orang yang
tidak ma'sum(tidak terjaga dari dosa).
Selain itu. para sahabat juga dibolehkan menentang sahabat lainnya-
Dengan demikian, para mujtahid juga dibolehkan menentang pendapat mereka.
Maka tidaklah aneh jika Imam Syati i melarang untuk menetapkan hukum atau
memberi fatwa, kecuali dari Kitab dan Sunnah atau dari pendapat yang
disepakati oleh para ulama dan tidak terdapat perselisihan di antara mereka, atau
menggunakan qiyaspada sebagiannya.

SOAL LATIHAN

1. Siapa sajakah yang dimaksud sahabat Nabi? Jelaskan!


2. Bagaimana keadaan para sahabat setelah wafatnya Rasulullah SAW.?
3. Apakah yang Anda ketahui tentang madzhab shahabv?
4. Apakah semua perbuatan para sahabat harus diikuti oleh umat Islam?
Mengapa?
5. Berikan contoh perbuatan yang berasal dari madzhab shahabv'.'
6. Jelaskan sikap para tabi'in terhadap madzhab shahaby?
7. Jelaskan kehujjahan madzhab shahaby?
8. Bagaimanakah sikap seorang mujtahidjika ada seorang sahabat yang
mengeluarkan pendapat, tapi berbeda dengan pendapat sahabat-sahabat
yang lain?
9. Jelaskan pendapat para ulama tentang kehujjahan madzhab Sahabyl
10. Bagaimana pandangan Imam Syafi'i tentang madzhab sahabyl
H. SYARI'AT SEBELUM KITA (SYAR’U MAN QABLANA)

1. Hukum Syari'at Sebelum Kita


Jika Al-Quran atau Sunah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang
telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasul, kemudian
nashtersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka,
maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita.
Dengan kata lain, wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT. dalam surat
Al-Baqarah : 183,

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman telah diwajibkan pada kamu semua berpuasa
sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kamu. ”
(QS. Al-Baqarah : 183)
Sebaliknya, bila dikisahkan suatu syariat yang telah ditetapkan kepada
orang-orang terdahulu, namun hukum tersebut telah dihapus untuk kita, para
ulama sepakat bahwa hukum tersebut tidak disyariatkan kepada kita, seperti
syariat Nabi Musa bahwa seseorang yang telah berbuat dosa tidak akan
diampuni dosanya, kecuali dengan membunuh dirinya. Dan jika ada najis yang
menempel pada tubuh, tidak akan suci kecuali dengan memotong anggota badan
tersebut, dan lain sebagainya.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syariat Sebelum Kita
Telah diterangkan di atas bahwa syariat terdahulu yang jelas dalilnya,
baik berupa penetapan atau penghapusan telah disepakati para ulama. Namun
yang diperselisihkan adalah apabila pada syariat terdahulu tidak terdapat dalil
yang menunjukkan bahwa hal itu diwajibkan pada kita sebagaimana diwajibkan
pada mereka. Dengan kata lain, apakah dalil tersebut sudah dihapus atau
dihilangkan untuk kita? Seperti firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidahayat:
32 :

113
Artinya:
"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil bahwa barang siapa
membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
(membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka
seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. ”
(QS. Al-Maidah : 3 2 )
Jumhur ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, dan
Syafi’iyah berpendapat bahwa hukum tersebut disyariatkan juga pada
kita dan kita berkewajiban mengikuti dan menerapkannya selama
hukum tersebut telah diceritakan kepada kita serta tidak terdapat
hukum yang me-nasakh-nya. Alasannya, mereka menganggap bahwa hal
itu termasuk di antara hukum -hukum Tuhan yang telah disyariatkan
melalui para Rasul- Nya dan diceritakan kepada kita. Maka orang-
orang Mukallaf wajib mengikutinya. Lebih jauh. Ulama Hanafiyah
mengambil dalil bahwa ya ng dinamakan pembunuhan itu adalah umum
dan tidak memandang apakah yang dibunuh itu muslim atau kafir
dzimmi, laki-laki ataupun perempuan, berdasarkan kemutlakan firman
Allah SWT.

Sebagian ulama mengatakan bahwa syariat kita itu me -nasakh atau


menghapus syariat terdahulu, kecuali apabila dalam syariat terdapat
sesuatu yang menetapkannya. Namun, pendapat yang benar adalah
pendapat pertama karena syariat kita hanya me-nasakh syariat terdahulu
yang bertentangan dengan syariat kita saja.
SOAL LATIHAN
1. Jelaskan apakah yang dimaksud dengan syariat sebelum kita?
2. Bagimanakah hukum mengamalkan syariat sebelum kita?
3. Apakah semua syariat yang diperintahkan kepada para Nabi sebelum
Nabi Muhammad SAW. wajib diamalkan? Jelaskan!
4. Berikan contoh syariat sebelum kita yang wajib untuk diamalkan,
beserta dalilnya dari Al-Quran?
5. Berikan pula contoh syariat sebelumyang tidak diwajibkan untuk
diamalkan oleh umat Nabi Muhammad SAW!
6.Bagaimana pendapat para ulama tentang syariat sebelum kita yang tidak
didapatkan dalilnya? Jelaskan!
7. Jelaskan pendapat sebagian ulama, bahwa syariat Nabi Muhammad SAW. me-
nasakh syariat sebelum kita?
8.Apakah Imam Abu Hanifah setuju terhadap alasan sebagian ulama tersebut?
Jelaskan!
9.Apakah dalam ibadah haji terdapat syariat-syariat sebelum kita? Jelaskan!
10.Bagaimana pendapat Anda tentang syariat sebelum kita?

115
BAB IV
QAIDAH-QAIDAH USHULIYYAH

A. QAIDAH USHULIYYAH
1. Pengertian Qaidah Ushuliyyah
Dalil syara’ itu adayang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kullidan
mujmal)dan ada yang hanya ditujukan bagi suatu hukum tertentu dari suatu cabang
hukum tertentu pula. Dalil yang bersifat menyeluruh itu disebut pula qaidah
ushuliyyah.Dari pengertian Ushul Fiqihyang telah dikemukakan di atas terkandung
maksud bahwa objek bahasan Ushul Fiqihantara lain adalah qaidah penggalian hukum
dari sumbernya. Dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah
sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan
dengan ketemuan dalalah lafazhatau kebahasaan.

2. Urgensi Qaidah Ushuliyyah


Seperti disebutkan di atas, bahwa qaidah ushuliyyahitu berkaitan dengan bahasa.
Dalam pada itu, sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa. Oleh karena itu,
qaidah ushuliyyahberfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang
terdapat dalam bahasa (wahyu) itu. Menguasai qaidah ushuliyyahdapat mempermudah
faqihuntuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya.
Dalam hal ini, qaidah fujhiyahpun berfungsi sama dengan qaidah
ushuliyyah.Oleh karena itu. terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah
ushuliyyahdan qaidah fiqhiyah.
Perbedaan qaidah ushuliyyahdengan qaidah fiqhiyyahakandijelaskan pada
pembahasan qaidah fiqhiyyahpada bab VI.
3. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
Untuk mengenal qaidah ushuliyyah lebih jauh, di bawah ini disebutkan beberapa
qaidah ushuliyyah:

Artinya:
“Yang dipandang dasar (titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan
sebab khusus (latar belakang kejadian). ”
b. Kaidah:

Artinya:
“Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka
didahulukan dalil yang melarang
c. Kaidah:

Artinya:
“Makna implisit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit. ”
d. Kaidah:

Artinya:
“Lafazh nakirah dalam kalimat negatif (nafi) mengandung pengertian umum. ”

Artinya:
"Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir. "
f. Kaidah:

Artinya:
"Petun juk perintah (amr) menunjukkan wajib. ”
g. Kaidah:

117
Artinya:
"Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nva. "
h. Kaidah:

Artinya:
”Datalah lafazh mutlak dibawa pada datalah lafazh muqayvad.”

i. Kaidah:

Artinya:
"Perinlah terhadap sesuatu berarti larangan alas kcha/ikaimva.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian qaidah ushuliyvah!
2. Bagaimana hubungan qaidah ushiilivyah dengan qaidah fiqhiyyah?
3. Bagaimana peran dan urgensi qaidah ushul iwahdalam
pengembangan hukum Islam?
4. Bagaimana hubungan dalil juz'i dengan dalil kuili?
5. Sebutkan tiga qaidah ushuliyyah ? Jelaskan!

B. LAFAZH DAN DALALAHNYA


1. Pengertian Mujnud dan Muhayyan
Untuk menggali hukum terutama hukum syariah, tidak terlepas dari
pembahasan kebahasaan karena hampir delapan puluh persen penggalian
hukum syari'ah menyangkut lafazh. Sebenarnya, lafazh-lafazh yang
menunjukkan hukum harus jelas dan tegas supaya tidak membingungkan
para pelaku hukum. Namun dalam kenyataannya, petunjuk (dilalah) lafazh-
lafuzh yang terdapat dalam nash syara' itu beraneka ragam. Bahkan, ada
yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang mempunyai makna tertentu, dan tidak mempunyai
kemungkinan makna lain disebut muhayyan atau nash. Bila mempunyai dua
makna atau lebih tanpa dapat diketahui makna yang lebih kuat disebut
mujmal. Namun, bila diketahui makna yang lebih tegai, dari makna yang
ada disebut zhahir. Dengan demikian, yang disebut mujmal adalah suatu
lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentui ,n makna
yang dikehendaki, baik melalui bahasa naupun menurut kebiasaan
pemakaiannya (Al-Ghazali: 145).
Sifat ke-mujmal-an itu bisa terjadi pada kosa-kata (mufradat), seperti
lafazh quru' bisa berarti suci dan haid, bisa juga terjadi pada kata majemuk
(murakab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-Baqarah (2) :
237, yang bisa berarti suami atau wali. Demikian pula sifat ke-mujmal-m\
bisa terdapat di dalam kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti
menghadap dan membelakangi. Dan bisa juga terjadi
pada huiuf seperti pada n cut a taf bhaberarti memulai dan menvainbungkan (dan).
Hukum melaksanakan lafazh mujmalbergantung kepada bayan atau penjelasan.
Untuk mengungkapkan lafazh tersebut dapat digunakan beverapa teoriyang telah
diungkapkan oleh para ulama terdahulu. Demikian juga er apa e eiapa teori ulama
tentang tingkat kejelasan lafazh dan cara memadukan antaratingkatan-tingkatan
jelastidaknya suatu lafaz. Hal tersebut akan diuraikan lebih lanjut.
2. Tingkatan Lafazh dari Segi Kejelasannya
Pendapat dalam mengatasi tingkatan dilalahlajuz lafazh dari segi kejelasan. Dalam hal
ini, dapat dibagi dalam dua kelompok. Golongan pertama, yaitu golongan Hanafiyah
yang membagi lafich dari segi kejelasan terhadap makna dalam empat bagian, yaitu:
zhahir, nash, mufassat,dan muhkam.Sedangkan dari ketidakjelasannya mereka
membagimenjadi empatpula, yaitu: khafi, musykil, mujmal, dan mutasyabbih.
golongan kedua, yaitu jumhur dari kalanganmutakalimin, dipelopori oleh Asy-Syafi’I,
yang membagi lafazh dari segi kejelasannya menjadi dua, yaitu mur dan hash.Kedua
bentuk lafazh ini disebut kalam mubayyan. Sedangkan dan segi ketidakjelasan dibagi
menjadi dua macam yaitu mujmal dan mutasyabih. (Muhammad Adib Salih, 1984, I :
140 -141)
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, golongan Hanafiyah membagi lafazh menjadi
empat macam. Disini akan dijelaskan di sini akan dijelaskan secara terperinci disertai
contoh-contoh sebut mengenai macam-macam lafazh tersebut. Secara garis besarnya,
pembagianmenurut lafadz menurut golonganHanafiyyah, dilihat dari peringkat
kejelasan lafazh itu, dimulai dari jelasnya yang sederhana (zhahir), cukup jelas (nash),
sanga jelas (mufassar), dan super jelas (muhkam).
Mbagian lafazh itu sebenarnya dilihat dari segi mungkin atau tidaknya ditakwil atau
dinasakh. Untuk jelasnya perhatikan berikut ini.

119
2.1 pembagian Lafazh dari Segi Kejelasannya menurut Ulama Hanafiyah
2.1.1Zhahir
Al-Bazdawi memberikan definisi zhahir sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu nama bagi sehtnih perkataan yang jelas maksudnya bagi pendengar,
melaini bentuk lafazli itu sendiri. "
(Bazdawi, 1307 H. I : 46).
Definisi yang lebih jelas adalah yang dikemukakan oleh Al-Sarakhsi:

Artinya:
"Sesuatu yang dapat diketahui maksudnya dari pendengaran itu sendiri tanpa
harus dipikirkan lebih dahulu. ”
(As-Sarakhsi. 1372, I : 164 )
Dari definisi tersebut tampak jelas bahwa untuk memahami
zhahiritu tidak bergantung pada petunjuk lain, tetapi bisa diambil
langsung dari rumusan lafazhitu sendiri. Akan tetapi lafazhitu tetap
mempunyai kemungkinan iain.
Atas dasar definisi-definisi tersebut, Muhammad Adib Salih
menyimpulkan bahwa zhahirituadalah:
Artinya:
"Suatu lafazh yang menunjukkan suatu makna dengan rumusan lafazh itu
sendiri tanpa menunggu i/arinah yang ada di luar lafazh itu sendiri, namun
mempunyai kemungkinan ditakhsis. ditakwil, dan dinasakh. "
(Muhammad Adib Salih, 1984. I : 143)
Contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah
antara lain:

Artinya:
"Dan Allah lelah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba"
Ayat tersebut petunjuknya jelas, yaitu mengenai halalnya jual
beli dan haramnya riba. Petunjuk tersebut diambil dari lafazh itu
sendiri tanpa memerlukan qarincihlain. Masing-masing dari lafazh al-
bay' dan ar-riba merupakan lafazh'amm yang mempunyai kemungkinan
di-takhsis.
Kedudukan lafazh zhahir adalah wajib diamalkannya sesuai
petunjuk lafazh itu sendiri, sepanjang tidak ada dalil yang men-takhsis-
nya, men-/afot'/7-nya atau me-imakh-nya.
2.1.2 Nasli
Menurut bahasa, A :'ash adalah raf ’a asy-syai’ atau munculnya
segalasesuatu yang tampak. Oleh sebab itu. dalam mimbar nash ini
sering disebut manashahal, sedangkan menurut istilah antara lain dapat
dikemukakan di sini menurut:
a.Ad-Dabusi:

121
Artinya:
Suatu lafazh yang maknanya lebih jelas daripada zhahiirbila ia dibandingkan dengan lafazh
zhahir
b.Al-Bazdawi

Artinya:
lafazh yang lebih jelas maknanya daripada makna lafaz zhahir
yang diambil dari si pembicaranya bukan dari rumusan bahasa
itu sendiri. ”

Daridefinisi tersebut dapat disimpulkan bahwa nash mempunyai


tambahan kejelasan. Tambahan kejelasan tersebut tidak diambil
dari rumusan bahasanya, melainkan timbu1 dari pembicara
sendiri yang bisa diketahui dengan qarinah.
Atas dasar uraian tersebut, Muhammad Adib Salih
berkesimpulan bahwa yang dimaksud nash itu adalah:
Artinya:
"Nash adalah suatu lafazh yang menunjukkan hukum dengan jelas, yang diambil
menurut alur pembicaraan, namun ia mempunyai kemungkinan ditakshish dan
ditakwil yang kemungkinannya lebih lemah daripada kemungkinan yang
terdapat dari lafazh zhahir. Selain itu, ia dapat dinasakh pada zaman risalah
(zaman Rasul). "
Sebagai contoh adalah ayat Al-Quran, seperti yang dijadikan contoh dari
lafazh zhahir.

Dilalah nashdari ayat tersebut adalah tidak adanya persamaan hukum


antara jual beli dan riba.
Pengertiannya diambil dari susunan kalimat yang menjelaskan hukum. Di
sini nashlebih memberi kejelasan daripada zhahir(halalnya jual beli dan
haramnya riba) karena maknanya diambil dari pembicaraan bukan dari
rumusan bahasa.

Kedudukan (Hukum) Lafazh Nash


Hukum lafazh nashsama dengan hukum lafazh zhahir,vaitu waj ib
diamalkan petunjuknya atau dilalah-nya sepanjang tidak ada dalil yang
menakwilkan. mentakhsis atau menasakhnya. Perbedaan antara zhahir dan
nashadalah kemungkinan takwil. takhsis,atau nasakhpada lafazh nashlebih jauh
dari kemungkinan yang terdapat pada lafazh zhahir. Oleh sebab itu, apabila
terjadi pertentangan antara lafazh zhahirdengan lafazh nash, maka lafazh
nashlebih didahulukan pemakaiannya dan wajib membawa lafazh zhahirpada
lafazh Nash.

2.1.3 Mufassar
Mufassaradalah lafazhyang menunjukkan suatu hukum dengan petunjuk
yang tegas dan jelas, sehingga petunjuknya itu tidak mungkin ditakwil atau
ditakhsis, namun pada masa Rasulullah masih bisa dinasakh.
As-Sarakhsi memberikan definisi mufassardengan ungkapan sebagai
berikut: (As-Sarakhsi, 1372 H. 1 : 165).

123
Artinya:
"Suatu nama untuk sesuatu yang terbuka dan dapat diketahui maksudnya dengan jelas serta
tidak ada kemungkinan ditakwil. ”
Atas dasar definsi tersebut maka kejelasan petunjuk mufassar lebih tinggi
daripada petunjuk zhahir dan nash. Hal ini karena pada petunjuk zhahir dan nash masih
terdapat kemungkinan ditakwil atau ditaksis, sedangkan pada lafazh mufassar
kemungkinan tersebut sama sekali tidak ada. Sebagai contoh firman Allah SWT. :

Artinya:
"Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu
semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang her takwai. ”
(QS. At-Taubah : 36)
Lafazh musyrikin pada ayat tersebut pada mulanya dapat di taksis, namun dengan
adanya lafazh kaafalan kemungkinan itu menjadi tidak ada.
Hukum Mufassar
Dilalah mufassar wajib diamalkan secara qath'i, sepanjang tidak ada dalil yang me-
nasakh-nya. Lafazh mufassar tidak mungkin
dipalingkan artinya dari zhahir-nya, karena tidak mungkin di- lakwildan ditakhsis,
melainkan hanya bisa di-nasakh atau diubah apabila ada dalil yang
mengubahnya.
Dengan demikian, dilalah mufassar lebih kuat daripada dilalah zhahir dan
dilalah nash. Oleh sebab itu, apabila terjadi pertentangan antara dilalah mufassar
dengan dilalah nash dan zhahir maka dilalah mufassar harus didahulukan.

2.1.4 Muhkam
Muhkam adalah suatu lafazh yang menunjukkan makna dengan dilalah tegas
dan jelas serta qath’i,dan tidak mempunyai kemungkinan di-takwil, di-takhsis dan
di nasakh meskipun pada masa Nabi, lebih-lebih pada masa setelah Nabi.
Misalnya firman Allah SWT. :

Artinya:
“Dan Allah Maha Mengetahui terhadap segala sesuatu. ”
Pengertian ayat tersebut sangatjelas dan tegas dan tidak mungkin diubah.
Muhkammenurut bahasa diambil dari kata ahkama,yang berarti atqana,yaitu
pasti dan tegas. Sedangkan menurut istilah adalah sebagaimana yang
dikemukakan As-
Sarakhsi:

Artinya:
Muhkam itu menalak adanya penakwilan dan adanya nasakh. ”
Lafazh Muhkamapabila lafazhnya khash.tidak bisa di-takwildengan arti lain. Dan
apabila kfazh-nya ‘amm, tidak bisa di-takhsisdengan makna

125
khash, karena maknanya sudah jelas dan tegas, tidak mempunyai kemungkinan-
kemungkinan lain. Contoh: Firman Allah SWT. tentang haramnya menikahi janda
Rasulullah.
Sehubungan dengan lafazh muhkam itu tidak bisa di-nashakh, maka muhkam itu
terbagi kepada dua, ada muhkam dzat dan muhkam ghair dzat. Karena terkadang nasakh
itu bisa dari nash itu sendiri atau dari luar nash.
Hukum Muhkam
Dilalah muhkam wajib diamalkan secara qath'i, tidak boleh dipalingkan dari
maksud asalnya dan tidak boleh dihapus. Oleh sebab itu, dilalah muhkam lebih kuat
daripada seluruh macam dilalah yang disebut di atas. Dengan sendirinya, apabila terjadi
pertentangan dengan macam dalil di atas, maka yang harus didahulukan adalah dilalah
muhkam.
2.2 Kegunaan Pembagian Lafazh Menurut Kejelasannya dan Pengaruhnya
terhadap Penetapan Hukum
Sebagaimana telah dijelaskan di muka bahwa lafazh menurut kejelasan adalah
bertingkat-tingkat. Macam-macam tingkatan lafazh ini mempunyai faedah dan
pengaruh dalam menggali dan menetapkan hukum. Kegunaan dan pengaruh tersebut
dapat dirasakan apabila terjadi pertentangan antara petunjuk macam-macam lafazh
tersebut.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari contoh-contoh di bawah ini.
2.2.1 Pertentangan antara zhahir dan nash
Misalnya tentang halalnya menikahi wanita tanpa dibatasi jumlahnya yang
bertentangan dengan halalnya menikahi wanita itu dengan dibatasi empat orang saja.
Contohnya firman Allah SWT., surat An-Nisa:

Artinya:
"dan dihalalkan bagi kamu apa yang dibelakang (selain) demikian itu bahwa kamu
mencari dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina ... “
(QS. An-Nisa’ : 24)
bertentangan dengan An-Nisa ayat 3:
Artinya:
“Dan jika kamu tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim (perempuan),
maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, empat. Maka
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka (hendaklah cukup satu saja, atau
kawinilah budak-budak yang kamu miliki ... “
(QS. An-Nisa’ : 3)
Ayat pertama menunjukkan halalnya menikahi wanita yang halal tanpa dibatasi
jumlahnya. Dilalah tersebut termasuk zhahir. Berdasarkan dilalah ini, seorang laki-laki
boleh mengawini wanita lebih dari empat. Sedangkan ayat kedua termasuk dilalah
nash. Ayat kedua ini menunjukkan halalnya menikahi wanita itu dibatasi empat,
sehingga menikahi wanita lebih dari empat itu adalah haram.
Dengan demikian, terjadi pertentangan antara ayat pertama dan kedua, yaitu ayat
yang pertama boleh menikahi wanita lebih dari empat, sedangkan ayat yang kedua
tidak boleh lebih dari empat. Dalam hal ini,
dilalah yang diambil adalah yang kedua, sebab dilalah yang kedua itu dilalah nash, dan
dilalah nash lebih kuat dari pada dilalah zhahir.

2.2.2 Pertentangan antara Muhkam dengan Nash.


Contoh yang bisa dikemukakan di sini adalah surat An-Nisa : 3 :

bertentangan dengan surat Al-Ahjab ayat 53:

127
Arlinya:
"dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya
sesudah ia wafat selama-lamanya ...
(QS. Al-Ahzab : 53)
Ayat pertama termasuk dilalah nash, secara dilalah nash ayat ini menunjukkan
dibolehkannya mengawini wanita mana saja termasukjanda Rasulullah dengan syarat
tidak melebihi empat. Ayat kedua dilalah-nyamuhkam, ayat ini mengharamkan
mengawini janda Rasulullah. Dengan
demikian, kedua ayat tersebut ta ’arud(pertentangan), maka harus diambi 1
dilalahayat yang kedua, karena dilalahayat ini muhkam.

2.2.3 Pertentangan antara Nash dengan Mufassar


Sebagian ushuliyyin memberikan contoh tentang dua hadis mengenai
wudunya orang yang sedang mustahadah(keluar darah haid karena penyakit).
Hadis pertama yang diriwayatkan dari 'Aisyah. ia berkata, “Fatimah binti
Abu Hubaisv datang kepada Rasulullah dan ia berkata, “Sesungguhnya aku
ini dalam keadaan mustahadah.sehingga aku tidak bisa bersuci, apakah aku
harus meninggalkan shalat?” Rasulullah menjawab, 'tidak, karena
mustahadahbukan darah haid. Jauhilah shalat pada waktu haidmu, kemudian
mandilah dan berwudulah untuk setiap shalat, dan shalatlah sekalipun dalam
keadaan mustahadah. ” (As-Syaukani, I : 299).
Dalam riwayat lain memakai ungkapan, “berwudulah tiap waktu
shalat.” (Az-Zayla’i, 1,1.1. : 125).
Hadis riwayat pertama menunjukkan bahwa seorang wanita
mustahadahwajib berwudu untuk setiap shalat. Dengan demikian, tidak sah
shalatnya lebih dari satu shalat dengan satu wudu sungguhpun pada waktu
yang sama.
Sedangkan hadis riwayat kedua, menunjukkan bahwa wajibnya
berwudu itu untuk waktu seluruh shalat. Atas dasar ini, boleh shalat untuk
beberapa kali, dengan satu wudu selama waktu untuk melakukan shalat itu
masih ada.
Pertentangan riwayat pertama dan kedua ini dari segi lafazhdapat
dikatakan antara Nashdan Mufassar.Hadis riwayat pertama berbentuk
Nash,sedangkan hadis riwayat yang kedua berbentuk Mufassar.Oleh sebab itu
dalam hal ini harus mendahulukan hadis kedua, karena termasuk Mufassar.

2.2.4 Pertentangan antara Mufassar dengan Muhkam


Pertentangan tersebut seperti ayat 2 surat Al-Thalaq:

Artinya:
"..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.. ”
(QS. Ath-Thalaq : 2)

bertentangan dengan ayat 4 surat An-Nur:

Artinya:
dan janganlah kamu terima persaksian mereka buat selama-lamanya.. “
(QS. An-Nur : 4)
Ayat pertama termasuk mufassar. Ayat ini menunjukkan diterimanya kesaksian yang
adil dari siapa saja. Ayat yang kedua termasuk muhkam. Ayat ini menunjukkan tidak
bisa diterima kesaksian orang yang menuduh zina (qadzaf), sungguhpun ia bertobat.
Dalam hal ini menurut sebagian ulama digunakan petunjuk ayat yang kedua.
2.3 Tingkatan-Tingkatan Kejelasan Lafazh menurut Mutakalimin (Syafi’iyyah)
Menurut mutakalimin, kejelasan lafazh terbagi dua, yaitu zhahir dan nash.
Namun, Imam Syafi ’ i sendiri tidak membedakan antara zhahir dengan nash. Baginya
zhahir dan nash ini adalah dua nama (lafazh) untuk satu arti, seperti yang dikemukakan
Abu Al-Hasan Al-Basri:

129
Artinya:
"Nash menurut batasan Imam Syafi'i culalah suatu khithab yang dapat diketahui
hukum yang dimaksudnya, haik diketahuinya itu dengan sendirinya atau melalui
yang lain. Dan mujmal menurutnya disebut juga nash. "
(Muhammad Adib Salih, I. 1982 : 198-199).
Pada perkembangan selanjutnya, setelah Imam Asy-Syafi’i. nash
dan zhahir ini dibedakan pengertian masing-masingnva. vaitu:

Artinya:
"Nash adalah suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan ditakwil.
sedangkan zhahir mempunyai kemungkinan untuk ditakwil. "
AI-Gazali juga membedakan definisi nash itu dengan ungkapan:

Artinya:
Suatu lafazh yang sama sekali tidak mempunyai kemungkinan ditakwil, baik
takwil dekat maupun takwil jauh. ’’
Pada kesempatan lain, ia mengungkapkan:
Artinya:
“Lafazh yang tidak mungkin ditakwil, yang diterima serta muncul dari dalil. Adapun
kemungkinan yang didukung dengan dalil maka lafazh itu tidak keluar dari lafazh nash. ”
(Al-Gazali, I, 1322 H, : 385-386).
Dilalah nash wajib diamalkan secara pasti dan tidak boleh menyimpang dari
dilalah nash tersebut, kecuali apabila ada nasakh. Sedangkan hukum dilalah zhahir wajib
diamalkan dan tidak boleh ditinggalkan kecuali ada dalil yang memalingkannya.
3. Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan.
Dalam hal ini ulama hanafiyah membagi ketidakjelasan lafazh menjadi empat
macam tingkatan, yaitu: khafi, musykil, mujmal, mutasyabih.
Sedangkan ulama Al-Syafi’iyyah (Mutakalimin) membaginya menjadi dua
bagian, yaitu mujmal dan mutasyabih. Untuk lebih terperinci akan penulis kemukakan
pengertian masing-masing tingkatan mubham tersebut.
3.1 Tingkatan Lafazh menurut Ketidakjelasan menurut Hanafiyah
3.1.1 Khafi
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau tersembunyi, sedangkan
menurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh Ad-Dabusi adalah suatu lafazh yang
maknanya menjadi tidak jelas karena hal baru yang ada di luar lafazh itu sendiri,
sehingga arti lafazh itu perlu diteliti dengan cermat dan mendalam.
Adib Salih memberikan penjelasan bahwa, khafi adalah suatu lafazh zhahir yang
jelas maknanya, tetapi lafazh itu sendiri menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang
mengubahnya, sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan
penelitian yang mendalam (Muhammad Adib Salih, 1982 : 230). Tegasnya lafazh zahir
itu menjadi khafa bila diterapkan pada masalah lain.
Dengan demikian munculnya lafazh khafa adalah, akibat peng-
aplikasian suatu keputusan hukum yang diambil dari lafazh zahir pada masalah yang
dihadapi dan benar-benar terjadi, di mana masalah tersebut tidak persis sama
dengan apa yang terdapat pada lafazh itu. Oleh sebab itu, untuk menghilangkannya
perlu diadakan ijtihad. Sebagai contoh yang berhubungan dengan masalah tersebut
adalah pengertian lafazh As- sariqpada ayat:

131
Pada mulanya lafazh As-sariq itu tegas, yaitu orang yang mengambil harta
berharga milik orang lain secara diam-diam untuk dimiliki, pada tempat yang
terpelihara. Akan tetapi, apabila pengertian ini diterapkan pada masalah lain yang
sama, seperti pencopet, pencuri barang-barang dalam kuburan, korupsi, maka lafazh
itu sendiri menjadi tidak tegas.

3.1.2 Musykil
Musykil menurut bahasa ialah sulit, atau sesuatu yang tidak jelas perbedaannya,
sedangkan menurut istilah seperti pendapat As-Sarakhsi ialah, suatu lafazh yang
tidak jelas artinya dan untuk mengetahuinya diperlukan dalil atau qarinah.(As-
Sarakhsi, I, 1372 H : 168).
Muhammad Adib Salih menyimpulkan bahwa yang dimaksud musykil adalah
suatu lafazh yang tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga
untuk mengetahui maksudnya diperlukan adanya qarinahyang dapat menjelaskan
kerumitan itu, dengan jalan pembahasan yang mendalam. (Muhammad Adib Salih.
1982.1 : 254)
Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa perbedaan antara khafi dan
musykil itu terletak pada dzatiah lafazh itu sendiri. Oleh sebab itu, musykil lebih
tinggi kadar kemubhamannya daripada khafi.
Sebagai contoh lafazh musykil yang dapat dikemukakan di sini adalah kata-
kata an-na pada surat Al-Baqarah : 223.

mala.
Dari sini timbul kemusykilan, untuk menentukan makna yang lebih cocok dari ketiga
makna tersebut. Para ulama dalam memahami ayat tersebut, ada yang mengambil
pengertian kaifa. sepeiti Ibnu Abbas dan Ikrimah dan lain-lain. Mereka mengartikan
ayat itu adalah boleh menggauli isteri bagaimana maunya, kecuali pada dubur dan di
waktu haid. Ada yang mengartikan, selagi ia menghendakinya.
2.1.1 Mujmal
Mujmal dalam bahasa adalah global atau tidak terperinci. Menurut istilah adalah
lafazli yang tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penafsiran dari pembuat
mujmal (Syair) (As-Sarakhsi. 1. 1372 II : 168)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa mujmal itu adalah suatu lafazh jang
dzatiahnya khafi, tidak bisa dipahami maksudnya, kecuali bila ada penjelasan dari syara'
baik ketidakjelasannya itu akibat peralihan lafazh dari makna yang jelas pada makna
khusus yang dikehendaki syara' ataupun karena sinonim lafazh itu sendiri ataupun
karena lafazh itu ganjil artinya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa mujmal lebih tinggi kadar khafa-nya
daripada musykil, sebab penjelasan mujmal diperoleh dari syara' bukan hasil ijtihad.
Contohnya lafazh shalat. menurut bahasa berarti doa. tetapi menurut istilah syara' adalah
ibadah khusus yang segala sesuatunya dijelaskan oleh Rasulullah.
Dari aspek keharusan adanya penjelasan dari syara' tentang lafazh mujmal itu
timbul masalah, yaitu sejauh manakah penjelasan syara' itu. Sunnah dapat memberikan
penjelasan mujmal sepanjang tidak ada penjelasan nashAl-Quran. Oleh sebab itu untuk
mencari penjelasan mujmal terlebih dahulu harus melihat nash Al-Quran.
2.1.2 Mutasyabih
Mutasyabih menurut bahasa adalah sesuatu yang mempunyai kemiripan dan atau
simpang siur. Menurut istilah, berdasarkan pendapat sebagian ulama adalah suatu lafazh
yang maknanya tidak jelas dan juga tidak ada penjelasan dari syara. baik A!-Quran
maupun Sunah, sehingga lidak bisa dikeiaiuii oieii semua orang, kecuaii orang-orang
yang mendaiani ilmu pengetahuannya (Asy-Syarakhsi, 1. 1372 II. : 169).
Sebagian lain mendefinikan bahwa mutasyabihadalah suatu lafazh
yang mempunyai baberapa kemungkinan artinya dan simpang siur
antara dua arti atau lebih.
Para ulama sepakat bahwa dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat
mutasyabih.namun mereka berbeda pendapat mengenai tempat-
tempatnya.
Menurut Ibnu Hazm. tidak ada ayat -ayat mutasyabihdalam Al-
Quran. kecuali pada dua tempat. Pertama, huruf hija’iyyah pada awal
surat. Kedua. Qasatn Allah. Misalnya:

(Ibnu Hazm. 1347 H. I. : 48).


Menurut ulama lainnya, tempat ayat -ayat mutasyabihitu selain yang
disebut Ibnu Hazm juga meliputi ayat-ayat yang mempunyai makna
yang berkaitan dengan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya.
Sekalipun para ulama menyadari bahwa mereka tidak mungkin
mengetahui makna ayat mutasyabihdengan pasti, mereka tetap berusaha
dan meneliti secara cermat dan mendalam untuk mencoba mencari
maknanya.

133
3.2 Pembagian Lafazh Ditinjau dari Segi Ketidakjelasannya menurut
Ulama Mutakallimin
Golongan Mutakallimin (Syall'iyyah) tidak memiliki peryataan yang
tegas dalam membagi lafazhditinjau dari segi ketidakjelasannya. Namun,
dapat disimpulkan bahwa mereka membagi lafazhini dalam dua bagian.
yaitu Mujmaldan Mutasyabih.Mereka pun berbeda -beda dalam
memberikan definisi masing-masing kedua istilah tersebut, namun
secara umum dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
mujmaladalah suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud,
tetapi petunjuknya
tidak jelas.

Artinya:
“Suatu lafazh yang menunjukkan makna yang dimaksud secara jelas. ”
Dengan demikian makna yang dimaksud lafazh itu memerlukan penjelasan,
seperti:

Lafazh shalat dan zakat di sini adalah mujmal sehingga memerlukan penjabaran yang
lebih jelas. Sebagian mereka ada yang menyamakan lafazh Mutasyabih dengan mujmal,
yaitu suatu lafazh yang tidak jelas maknanya. Dan ada pula yang membedakan antara
mujmal dan Mua'wwal. Hanya saja perbedaan antara mujmal dengan mu’awwal terletak
pada kuat (rajih) dan lemah (marjuh) makna yang dimaksud. Makna yang dimaksud
pada lafazh muawwal adalah lemah (marjuh), sedangkan makna yang terdapat pada
lafazh mujmal adalah kuat (rajih). (Al-Asnawi, 1 : 6 1 )
Berdasarkan keterangan ini, maka makna yang terdapat dalam lafazh mutasyabih
adalah lemah (marjuh). Al-Asnawi menegaskan bahwa lafazh mutsayabih itu tidak
mempunyai makna yang kuat. Dari aspek ini, lafazh mutsayabih sama dengan
mu’awwal atau mempunyai makna yang sama dari berbagai makna, sehingga dari
aspek ini ia termasuk lafazh mujmal. Oleh karena itu, mutasyabih lebih umum dari
lafazh mujmal dan mu ’awwal.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian mujmal dan mubayyan! Beri contoh-contohnya!
2. Jelaskan pengertian zhahir dan mu 'awwal!Beri contoh-contohnya!
3. Bagaimana dasar pemikiran yang dipakai para ulama ushul dalam membagi
dilalah lafazh?
4. Terangkan pembagian tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya menurut
ulama Hanafiyyah!
5. Terangkan pembagian tingkatan dilalah lafazh dari segi kejelasannya menurut
ulama Syafi’iyyali!
6. Terangkan pembagian tingkatan dilalah lafazh dari segi ketidakjelasannya
menurut ulama Hanafiyyah!
7. Terangkan pembagian tingkatan dilalah lafazh dari segi ketidakjelasannya
menurut ulama Syafi’iyyah!
8. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara lafazh musykil dengan lafazh mujmal\
9. Bagaimana hukum menempatkan dilalah lafazh mujmal, zhahir, nash, mufassar, dan
muhkam?
10. Jelaskan kegunaan dan fungsi pembagian lafazh dari sisi kejelasan!
11. Sebutkan macam-macam mujmal.Bericontoh masing-masingnya!
12. Jelaskan persamaan dan perbedaan antara ulama Hanafiyah dengan jumhur ulama
(mutakalimin) tentang lafazh mujmal\
13. Jelaskan pengertian lafazh mutasyabih menurut ulama Hanafiyyah dan ulama
syafi’iyyah!
14. Adakah lafazh mutasyabih dalam nash hukum? Mengapa?
15. Bagaimana pendapat ibnu Hazm tentang lafazh mutasyabih?

C. TAKWIL (MUAWWAL)
1. Pengertian Takwil (Muawwal)
1.1 Menurut Etimologi

Secara etimologi, takwil dirujuk dari kata

yang berarti At-Tafsir, Al-Marja Al-Mashir. Demikian pendapat Abu Ubaidah Ma’mar bin
Al-Matsani dan keterangan yang dikemukakan oleh Abu Ja’far Al-Thabary (Adib
Shalih, 1984 : 356).
Pengertian ini diambil dari hadis:

Artinya:
Barang siapa yang puasa sepanjang masa, maka berarti ia tidak puasa dan tidak ada
balasannya. ”

135
Artinya:
“ ... yang demikian itu, lebih utama dan lebih baik akibatnya. ”
(QS. An-Nisa : 57)
Dengan demikian, dari sudut bahasa, takwil mengandung arti At- Tafsir
(penjelasan, uraian) atau Al-Marja’, Al-Mashir (kembali, tempat kembali) atau Al-
Jaza' (balasan yang kembali kepadanya).
1.2 Menurut Terminologi
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan takwil secara terminologi.
Para ulama salaf mendefinisikan takwil antara lain sebagai berikut:
a. Imam Al-Ghazali dalam kitab Al-Mustashfa (Al-Ghazali. 1973:128)

Artinya:
“Sesungguhnya takwil itu merupakan ungkapan tentang pengambilan makna
dari lafazh yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan
arti yang lebih kuat dari makna yang ditunjukkan oleh lafazh zhahir. ”

b. Imam Al-Amudi dalam kitab Al-Mustashfa:

Artinya:
"Membawa makna lafazh zhahir yang mempunyai ihtimal (probabilitas) kepada
makna lain yang didukung dalil. ”
Kaum muhaditsin mendefinisikan takwil yaitu sejalan dengan definisi yang
dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqih, yaitu:
a. Menurut Wahab Khalaf:

Artinya:
"Memalingkan lafazh dari zhahirnya, karena ada dalil. ”
b. Menurut Abu Zarhah: (Abu Zarhah : 130):

Artinya:
“Takwil adalah mengeluarkan lafazh dari artinya yang zhahir kepada makna lain,
tetapi bukan zhahir-nya. ”
Apabila diteliti secara saksama pengertian takwil menurut bahasa 'ebih umum
daripada pengertian khas, amm, atau mutlaqkarena lafazh-lufazh tersebut
menunjukkan arti yang dimaksud dan dianggap dalil qath’i. Selain itu, khas
memindahkan arti hakiki pada majazi, sedangkan ‘amm Memindahkan arti yang
zhahir dengan dalil. Begitu pula mutlaq Memindahkan arti dan memperluas jenisnya
dengan cara membatasi dan Mempersempit arti berdasarkan dalil.
Penyebab adanya penakwilan terhadap lafazh-lafazh yang artinya dianggap kuat di
antaranya karena arti zhahir-nya tidak sesuai dengan arti yang hakiki, sehingga dalil hasil
takwil yang tidak kuat menjadi kuat. Dengan kata lain, mengutamakan makna dari hasil
prasangka yang sesuai dengan maksud syara
2. Objek Takwil
Kajian takwil, sebagaimana ijtihad dengan ra'yu, tidak menyangkut nash-nashyang
qath'i, baik secara khusus maupun umum, yang merupakan landasan kaidah-kaidah
syara' yang bersifat umum atau kaidah-kaidah fiqih yang berguna untuk menentukan
ketetapan hukum permasalahan furu’, sehingga para imam dapat menerima dan
mengamalkannya. Selain itu, takwil juga tidak menyangkut hukum-hukum agama
penting lainnya yang mudah ataupun sulit untuk dipahami yang merupakan dasar-dasar
syari’at. Juga tidak mencakup peraturan-peraturan syari’at yang bersifat umum, di
antaranya bahan-bahan yang memerlukan penafsiran dan pematokan hukum, karena
maksud syara’ harus diterangkan dengan jelas dan digambarkan secara qath’iagar

137
terhindar dari munculnya arti spekillatif.
Adapun kajian takwil kebanyakan adalah furu’ sebagaimana pendapat Imam Asy-
Syaukani. Selain itu juga hal-hal yang jelas dan nash yang merupakan kajian takwil juga.
Itu semua merupakan kajian takwil secara global dan terbatas bila belum ada
penafsiran dari syari’at secara menyeluruh. Sedangkan muzmal yang ditafsirkan dengan
dalil qath ’i tidak termasuk kajian takwil.
Takwiljuga tidak membahas lafazh-lafazh yang musytarak, karena lafazh musytarak
merupakan suatu lafazh yang ditetapkan untuk dua arti atau lebih yang dilakukan
dengan sengaja berdasarkan hakikatnya. Maka ketika dimutlakkan, setiap arti akan
diseleksi sesuai dengan konteks kalimat sebelum dan sesudahnya sehingga timbullah
arti yang dimaksud syara'. yang bukan berasal dari makna hakiki, melainkan arti biasa
yang diperkuat dalil. Bahkan, semua artinya mempunyai derajat yang sama. Namun,
salah satunya akan menjadi tentu jika sesuai dengan dalil. Hal itu hanya bisa disebut
takwil secara bahasa saja.
Takwil semakin berkembang pembahasannya, sehingga menurut Hanafi mencakup
nash dan zahir.
jf. Dalil-dalil Penunjang Takwil
Takwil pada dasarnya mencakup arti yang lemah yang memerlukan dalil untuk
memperkuat praduga hasil takwil tersebut, sehingga arti yang tadinya lemah akan
menjadi kuat karena sesuai dengan kemaslahatan umum dan dugaan para mujtahid.
Dengan demikian, dalil penunjang takwil harus lebih kuat daripada dalil
penunjang arti secara bahasa. Atau dalilnya harus lebih kuat dari dalil-dalil yang
menunjukkan bahwa dilaksanakan ataupun tidak. nash tersebut sama saja. Dengan cara
seperti itu, hasil penakwiian akan lebih kuat dan menjadi takwil yang sahih.
Dalil yang dipakai untuk menguatkan takwil juga disyaratkan harus sesuai dengan
ketentuan syara’, di antaranya, dalil yang memberikan batasan yang terlalu luas
terhadap maksud syara atau yang memperluas arti hacjiqiyang dikandung dalam
maksud syara
Semua dalil tersebut harus sesuai dengan syara' dan dianggap hujjah dalam
syara’. Bisa juga dianggap sebagai i’tibar yang sesuai dengan Al-Quran, seperti ijma
atau bersumberkan dari roh nash dan hikmah nash. Atau mungkin juga yang diambil
dari perkembangan pemahaman terhadap nash yang sesuai dengan kemaslahatan yang
umum, kemudian dikuatkan dengan pendapat para sahabat, tabi’in, dan tabiit tahi’in
Secara ringkas, dalil-dalil yang dipakai dalam takwil adalah sebagai berikut:
a. Nash yang diambil dari Al-Quran dan As-Sunah.
b. Ijma'.
c. Kaidah-kaidah umum syariat yang diambil dariAl-Qurandan
Sunah.
d. Kaidah-kaidah fikih yang menetapkan bahwa pembentuk syariat
memperhatikan hal-hal yang bersifat juz 'i tanpa batas, yang diterima dan
diamalkan oleh para imam dan menjadi dasar adanya perbedaan dalam berijtihad
dengan rayu.
e. Hakikat kemaslahatan umum.
f. Adat yang diucapkan dan diamalkan
g. Hikmah syariat atau tujuan syariat itu sendiri, yang terkadang berupa maksud
yang berhubungan dengan kemasyarakatan, perekonomian, politik, dan akhlak.
h. Qiyas.
i. Akal yang merupakan sumber perbincangan segala sesuatu, yang menurut kaum
ushuliyyin lebih dikenal dengan istilah takwil qarib,
j. Kecenderungan memperluas pematokan hukum untuk berbagai
tujuan dan merupakan dasar umum dalam pembinaan syari'at yang bersifat
ijtihady. atau ijtihad dengan ra'yu. Juga merupakan tujuan yang dianggap berlaku
sebagaimana pendapat Imam Asy-Syatiby, "Asal pandangan melalui
kecenderungan adalah istilah lain dari maksud yang dikehendaki syariat,
sebagaimana telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu”.
Dari cabang-cabang di atas muncullah cabang-cabang lainnya, seperti sadduddara'i
dan istihsan yang keduanya merupakan kajian dalam ijtihad dengan ra'yu.
Rusaknya penakwilan biasanya berawal dari mendatangkan sesuatu yang tidak
perlu atau menyalahi salah satu pembentuk syariat kaidah- kaidah umum hukum,
hukum-hukum yang bersumber dari dalil yang qath'i, dan melakukan takwil bai'd yang
dilarang. Dengan kata lain, jangan sampai melakukan ijtihad dengan takwil dan
menyimpang dari kaidah-kaidah dasar di atas

3.1 Dalil Penun jang lakwil tidak disyaratkan Qath’i


Sudah jelas bahwa takwil itu perubahan arti untuk membatasi maksud syara
dengan dalil sahih, baik yang qath'i maupun yangzhanni. Maka hikmah syariat' yang
bersifat zhanni bisa dipakai dalil dalam ia ’wil, di antaranya juga khabar Ahaddan Qiyas.
3.2 Takwil itu Dihasilkan dari Perubahan Makna bukan Perubahan Lafazh
Jika suatu syariat memakai bahasa untuk mengungkapkan maksudnya, dasar
umum yang dipakainya adalah yang sesuai dengan bunyi bahasa yang mempunyai
kajian khusus. Setiap nash dalam syari at atau undang-undang harus dipahami
berdasarkan hakikat maknanya yang mutlak yang berasal dari bahasa itu sendiri.
Sebagai cabang pemahaman, barang siapa berpegang teguh kepada suatu dasar,
tidak diminta untuk menegakkan arti dalil sesuai dengan pemahaman nash. atau
membatasinya sesuai dengan maksud syariat, karena orang yang berpegang teguh
kepada dasar tidak dimintai dalil-
Dengan demikian, setiap mujtahidd i haruskan untuk berpegang teguh pada arti
zahir yang kuat dan tidak boleh mengamalkan berdasarkan arti lainnya yang dipandang
lemah, meskipun sama-sama benar, selama tidak ada dalil lain yang kuat dan sahih.
4. Lamhisun Takwil
Pada mulanya takwilitu tidak ada dan tidak terbentuk, kecuali dengan dalil.
Kemudian dari ide dasar tersebut, muncul beberapa masalah juz’i,antara lain kewajiban
untuk mengamalkan setiap petunjuk yang berasal dari arti nashsecara zahirdan semua
dalil dianggap hujjahkarena kejelasan dan keberadaannya, sehingga, lafazh

139
mutlaqberlaku sesuai kemutlakannya dan tidak diikat, kccuali dengan dalil.
Lafazhumum berlaku sesuai keumumannya dan tidak di-takhsish,kecuali dengan dalil.
Adapun lafazhyang khasdiamalkan berdasarkan hakikat artinya dan tidak boleh
mengubah arti kalimat majazi,kecuali dengan dalil. Sementara takwilitu menyalahi
landasan asal tersebut.
Maka landasan umum takwiladalah mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya
dan mengambil ketetapan hukumnya. Sesungguhnya takwilitu mencakup berbagai
kemungkinan yang berasal dari akal, bukan bersumber dari bahasa. Karena takwilitu
mengubah arti sesuai dengan kebutuhan bahasa, takwilitu tidak akan ada kecuali
dengan dalil.
Al-Quran dalam penjelasannya mengikuti perkembangan bahasa dan teksnya,
begitu pula sunah dan setiap perundang-undangan yang ditulis dengan bahasa Arab.
Oleh karena itu. Imam Syafi'i r.a. berpendapat bahwa di antara penyebab
timbulnya perbedaan pendapat di kalangan umat islam adalah kecerobohan dalam
memahami teks dari berbagai nash.Kemudian mereka membuat penakwilan tanpa
menggunakan dalil-dalil yang sahih, bahkan mereka mencoba mengadopsi hukum-
hukum yang berasal dari filsafat Yunani, seperti Aritoteles, dan sebagainya, mereka
berkata, ’'Manusia itu tidak akan bodoh dan saling berbeda pendapat kalau tidak
meninggalkan ucapan-ucapan orang Arab dan mengikuti Aristoteles".
Ada tiga ketentuan umum yang dapat dijadikan pegangan agar terhindar dari
kesalahan dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-istinbat hukum dari nashdengan
menggunakan takwil:
a. Jika arti nashitu sudah tentu mengandung hukum, jelas dan
dalalahnya qath’i, maka tidak boleh ditakwilkan dengan akal.
b. Jika arti nash yang zahir itu berarti umum, atau berarti zhanni yang tidak pasti,
wajib mengamalkan sesuai maknanya, karena kejelasan arti dan keberadaannya.
Jangan sampai diterangkan dengan berbagai kemungkinan yang tidak berdasarkan
pada dalil.
c. Dibolehkan mengubah arti dari yang zahir kepada arti lain sepanjang berdasar
pada dalil, bahkan diwajibkan untuk mengompromikan berbagai nash yang saling
bertentangan.
5. Syarat-syarat Takwil dan Beberapa Contohnya.
Dasar umum yang ditetapkan para ulama untuk menetapkan adanya takwil berasal
dari teks bahasa dan uslub-uslubnya, yang menjaga agar ijtihad dengan ra 'yu tidak
menjadi sesat. Para ulamajuga mewajibkan agar mengamalkan syariat sesuai dengan
zahir ayat sehingga terdapat isyarat untuk menggunakan takwil. Sesungguhnya syarat-
syarat takwil itu diambil dari teks pembinaan syariat yang ada dan maksud syara'.
Telah diterangkan di atas bahwa sumber syariat membutuhkan teks sebagai
penjabaran nash, roh, dan dasar umum syariat.
Persyaratan takwil bergantung pula kepada makna teks agar ketetapan nash dan
makna zhahir-nya tidak bertentangan dengan roh umum suatu syariat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa makna syariat yang berhubungan
dengan takwil, berkaitan erat dengan taksis, taqyid, perubahan ke arti tnajazi, dan
pengompromian antara nash-nash yang zhahirnya saling bertentangan. Semuanya
sesuai dengan dalil sahih yang kuat, dan tidak hanya berdasarkan pada pemahaman arti
saja, tetapi juga makna rohnya.
Kesimpulannya, takwil itu erat kaitannya dengan maksud syariat yang berasal
dari nash, bukan hanya dengan dalilnya itu sendiri. Hal itu juga termasuk salah satu
metode ijtihad dengan ra ’yu, yaitu membatasi arti yang dimaksud dengan dalil. Agar
lebih jelas, di bawah ini akan diterangkan persyaratan taqwil tersebut:
5.1 Lafazh yang ditakwil, harus betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam
kajiannya
Telah diterangkan bahwa dalil-dalil yang telah ditafsirkan dan ditetapkan
ketentuan hukumnya tidak bisa di-takwil. Namun, menurut Hanafiyah, takwilitu boleh
sekalipun pada nash yang zahir dan semua dalil yang berhubungan dengan syariat
Islam.
Adapun dasar-dasar umum syari'at adalah sumber takwil. karena
banyak nash yang arti zhahir-nya mengandung makna juz’i.
5.2 Takwil itu harus berdasarkan dalil sahih yang bisa menguatkan takwil
Contoh takwil dari nash yang di dalamnya terdapat pertentangan
antara zahir nash yang mengandung arti juz'i dengan dasar umum
syariat. adalah hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW.
bersabda.

Artinya:
"Sesungguhnya jenazah itu disiksa oleh tangisan keluarganya.
"

Siti Aisyah menolak hadis tersebut karena menurutnya hal itu


bertentangan dengan dasar umum syariat yang ada dalam Al -Ouran.
yaitu firman Allah SWT. :

Sebagian mujtahid menakwilkan kemutlakan hadis tersebut, ke-


mudian mereka menaqyiddengan jenazah ketika masa hidupnya.
Maka maksud ayat tersebut menjadi tidak bertentangan setelah
ditaqyid. Pengrompromian ini dilakukan dengan mengamalkan dua
nash secara bersamaan. Metode seperti itulah yang dianggap terbaik

141
dari pada mencela salah satunya.
Dengan contoh di atas, dapat diketahui bahwa takwil itu ada
karena adanya pertentangan dalam nash yang artinya zahir.

5.2.1 Takwil Berdasarkan Dalil adalah Maslahat


Yang dimaksud maslahat di sini bukan berarti bahwa hikmah
syariat itu harus nash tertentu, tetapi dalil yang menaksis dalil umum,
atau mengistitsna dari landasan umum, baik secara khas ataupun amm.
Dengan cara seperti itu, dalil yang keluar dari landasan umum
melalui takhsis, menyalahi hukum yang umum atau keadaan umum.
Sebagaimana diketahui bahwa takhsis merupakan salah satu bagian
dari takwil, bahkan yang paling banyak dipakai. Contohnya
firman Allah SWT. :

Artinya:
“Para ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh... ”
Dari zahir ayat tersebut dapat d i paham i bahwa menyusui adalah kewajiban
seorang ibu, dan kata al-walidatu itu lafazh-nya umum yang mencakup setiap ibu.
Imam Maliki menaksis keumumannya dengan perbuatan adat (urf amaly). Dia
berpandangan bahwa seorang ibu diharuskan menyusui anaknya karena
kesempurnaan derajatnya, maka bila seorang ibu sakit sehingga tidak bisa menyusui
anaknya, ia tidak diwajibkan menyusui anaknya karena menjaga dari kemadaratan.
Dan menjaga kemashlahatan adalah maslahat. Hal itu bisa juga disebut
kemaslahatan individu.
Pengubahan arti yang dilakukan Imam Malik terhadap lafazh al- walidatu dari
artinya yang zahir membawa lafazh umum kepada yang khusus dengan
menggunakan dalil urf amaly, sehingga yang tadinya umum menjadi khusus. Dia
menolak bahwa perempuan yang sakit wajib menyusui anaknya. Maka arti ayat
menjadi:
“Dan ibu-ibu yang tidak sakit untuk menyusui anak-anak mereka sesuai kebiasaan adat,
maka mereka menyusui anak-anak mereka. ”
Sebenarnya taksis pada permasalahan seperti itu bukanlah kemashlahatan
dengan zatnya, tetapi dengan dali-dalil yang berasal dari dasar-dasar umum syari’at,
seperti dari sabda Rasulullah SAW. :

Tanpa diragukan lagi bahwa kemadaratan yang betul-betul beia


harus dijaga dengan cara menghalangi penyebabnya. Dan hal
itu

143
bagaimanapun juga bergantung pada keumumam hadis tersebut. Jika
menggunakan taksisdengan dalil kemaslahatan, maka selesailah pertentangan
antara masalah juz 'idengan dasar umum syariat.
Telah dikatakan juga bahwa permasalahan cabang ( j u z 'i’yat)dalam syari
'atharus sesuai dengan ketentuan umum syari at.Dengan demikian, ketentuan
kaidah umum, yakni kebebasan mengadakan perubahan dapat dipakai dalam
setiap keadaan, kecuali kalau muncul kemadaratan oleh kejahatan lain,
sehingga tidak bertentangan dengan dasar umum yang qath'i.Dan diputuskan
untuk menghilangkan kemadaratan yang lebih besar daripada menyalahi hak
atau kebolehan umum. Dengan demikian, sempurnalah pengompromian antara
juz'iyotdan dalil umum syari'at. karena tidak muncul pertentangan lagi dalam
syari atIslam. Hal di atas sebenarnya dapat diterapkan bila menyangkut
kemaslahatan individu, yakni semata-mata untuk menjaga pandangan dalam
pembinaan syari 'at Islam. Untuk memperkuat pendapat di atas tentang kebaikan
yang saling berkaitan dalam syari'atIslam, sebenarnya mencakup kemaslahatan
individu dan umum, keduanya sama saja dalam menuju tujuan pembinaan
syari'at.Sedangkan menaksis dengan kemaslahatan umum lebih utama, yang
contoh-contohnya dari ijtihad para sahabat, tabi’in dan orang-orang setelahnya
telah kita jelaskan.
Golongan Hambali memperluas pelaksanaan taksisumum, di antaranya
dalam masalah penetapan harga ketika negara sedang dalam krisis karena
takwilseperti itu berlandaskan pada kemaslahatan umum.
Mentaksis Keadaan Umum dengan Kemaslahatan
5.2.2
Yang dimaksud keadaan umum adalah kemerdekaan umum, atau dasar
kebolehan yang berdasarkan firman Allah dalam Al-Quran:

Artinya:
"Dia-lah yang telah menjadikan untuk kamu semua apa-apa yang ada bumi. "(QS.
AI-Baqarah : 29)
Di antara kemerdekaan umum adalah kemerdekaan berjual beli dan hak
memiliki terhadap barang.
Kemerdekaan hak memiliki terhadap barang adalah sesuatu yang sangat
mendasar bagi manusia, dengan mengutamakan persamaan, karena hal itu
termasuk perbuatan yang dibolehkan.
Itulah sebabnyaNabi Muhammad SAW. mengkhususkan kemerdekaan
umum tersebut dalam inua 'malah. Juga dikuatkan dengan finnan Allah SWT.:

145
Artinya:
‘'Kecuali kamu semua melakukan jual beli di antara kamu berdasarkan kerelaan dari
kamu semua. ”
(QS. An-Nisa : 29)
Rasulullah melarang talaaa as-si/’a atau perdagangan yang diadakan
untuk kaum badaWi, karenajual beli semacam itu dikategorikan jual beli yang
menggambarkan adanya penghinaan terhadap makanan yang sangat penting
bagi manusia.
Taksis seperti itu adalah berdasarkan kemaslahatan umum, begitu puia
larangan jual beli garar dan jual yang mengandung riba, karena di dalamnya
terdapat pengikisan keadilan dan terdapat unsur memakan harta manusia
secara batil, yakni kaidah yang menghilangkan keridaan.
Keadaan umum adalah asas dalam ber-muamalat sampai ada dalil yang
melarangnya. Kaidah fiqih yang berkaitan dengan itu adalah:

Yang perlu diingat, sebuah larangan harus berdasarkan dalil, meskipun


terkadang (larangan tersebut) berupa keadaan umum sebagaimana telah kita
sebutkan tadi. Dan dalil seperti itu bisa disebut taksis atau takwil.
5.3 Lafazh mencakup arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa
Penakwilan menurut bahasa dilakukan dengan cara tekstual,
kontekstual atau majaz. Bisa juga mencakup asas yang berasal dari
pemakaian yang sudah dikenal atau adat syara'
Adat syara' telah banyak menaksis dalil-dalil umum pada sebagian besar
nash. sehingga para ulama Ushuliyyin berkata. “Tidak ada sesuatu yang umum,
kecuali telah ditaksis. Hal itu menunjukkan bahwa adat syara' telah banyak
menaksis sebagian besar dalil yang umum, sehingga taksis tersebut menjadi
sunah dalam syari'at. Hal itu cukup menunjukkan bahwa bagian ini sah
menjadi bagian takwil.
Di samping itu, kebolehan asasi dan keadaan umum telah menaksis
sebagian besar hukum-hukum yang bersifat juz'idengan berdasarkan
kemaslahatan dan kebutuhan akan keadilan, juga dengan mengompromikan
antara hukum syara ' yang juz'i dengan landasan umum.
Semua itu tetap berlangsung sesuai penempatan syara' itu sendiri
sebagaimana telah dibahas tadi, yang menunjukkan bahwa takwil sahih
membutuhkan keadilan dengan sendirinya. Apalagi kalau yang mewajibkan
adanya takwil itu adalah adany a pertentangan antara yang juz'i dengan yang
kuili.
Begitu pula men-taqyid yang mutlaqdengan muqayyadtelah menjadi adat
syara’ dan bahasa pun tidak menentangnya, misalnya sunah telah men-
taqyidwasiat yang ada dalam Al-Quran dengan sepertiga.
Namun, jika pembuat syari’at menetapkan istilah khusus dalam istilah
syari'at, istilah khusus haruslah didahulukan dari arti bahasa kalau keduanya
bertentangan, sebagai realisasi terhadap maksud pembuat syari’at dari segi
artinya. Dengan demikian lafazh pembuat syari’at itu berdasarkan pemahaman
maksudnya sesuai dengan kebiasaan dalam penggunaannya.
5.4 Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, karena nash
tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum Takwiladalah metode ijtihad yang
bersifat zhanni,sedangkan zhanni tidak akan kuat melawan yang
qath'i.Contohnya menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Ouran dengan
mengubah arti yang zhahir
menjadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan
kejelasan ayat yang qath ’iyang menjadikan kisah tersebut sebagai kejadian
sejarah yang nyata.
5.5 Arti dari penakwilan nasli harus lebih kuat dari arti zhahir,
yakni dikuatkan dengan dalil
Hal itu telah dijelaskan ketika memberikan contoh tentang pertentangan
antara juz'idan dasar umum. Nash yang berarti juz’i dikompromikan artinya
dengan dasar umum, yaitu dengan cara men- taqyid-nyadan dasar umum itu
merupakan dalil yang lebih kuat. Telah dijelaskan juga beberapa contoh tentang
men-tor/v/c/hak kekuasaan atas harta tanpa memadaratkan tetangga, dengan
mengamalkan dasar umum, yakni sabda Nabi Muhammad SAW. :

Artinya:
"Tidak mudarat dan tidak memadaratkan. ”
Hal tersebut merupakan kemaslahatan individu, sedangkan penakwilan
berdasarkan kemaslahatan umum yang dijadikan dalil adalah lebih kuat dari
pada zahir lafazh.
Begitu pula pertentangan antara zahirdengan nash. Tidak diragukan lagi
bahwa nash itu menaksis yang zahirkarena nash lebih kuat dan lebih jelas.

147
Selain itu. ucapan juga membutuhkan arti asli, maka nash harus diutamakan.
Juga penakwilan yang berdasarkan hikmah pembinaan syarfat. Ha! itu
merupakan roh nash yang menguatkan dan merupakan tujuan pokoknya. Tidak
diragukan lagi bahwa maksud disyari’atkannya sesuatu itu lebih kuat daripada
zahir lafazh-nya.
Begitu pula pertentangan-pertentangan arti yang diambil dari nash melalui
metode pengambilan dalil. Di sana terdapat beberapa metode untuk
menunjukkan nash pada artinya, yaitu:
• Arti yang didapat melalui metode iharah nash.adalah yang terkuat dari segi huj
jali
• Arti yang didapat melalui metode isyarah nash.
• Arti yang didapat melalui metode maksudnya (fahwu). Di kalangan
ulama ushul lebih dikenal dengan istilah dilalah nash.
• Arti yang didapat melalui metode iqtidhayaitu arti yang mewajibkan
untuk memperkirakannya dalam ucapan supaya artinya sah menurut
syara
Apabila terjadi pertentangan di antara keempat pernyataan di atas,
ibarat nash harus didahulukan dari isyarah nash. Keduanya didahulukan
dari metode maksudnya (fahwu) dan kemudian yang terakhir adalah
metode muqtadha.
Sebagai acuan dalam menentukan kekuatannya adalah sejauh mana
kejelasan maksud syara' dalam setiap dilalahnya.
Takwil itu terkadang tidak membutuhkan dalil sebagaimana telah
jelaskan tadi, tetapi dimungkinkan berdasarkan pada pemahaman yang
dangkal, akal, dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama
Ushul dengan istilah takwil qaribyang cukup memakai dalil yang terendah.
Misalnya firman Allah SWT. :

Artinya:
... apabila kamu hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku ..."
(QS. Al-Maidali : 6)

Arti zhahirdari ayat tadi adalah mengharuskan berwudu setelah


melaksanakan shalat. Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan
dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudu terlebih
dahulu. Dan syarat itu harus didahulukan, baik menurut akal ataupun
syara' agar shalatnya sah. Untuk itu. lafazh al-qiyamudalam firman Allah
ta'aladi atas harus ditakwilkan. Kemudian diubah dari artinya yang
hakiki kepada artinya yang majazi yaitu al-'ajmu(bermaksud) mendirikan,
bukan

149
mendirikan dengan sendirinya. Dengan demikian, arti ayat
tersebut akan menjadi sah dengan kalimat:

Itulah beberapa persyaratan takwiljika persyaratan tersebut tidak terpenuhi


dinamakan takwil ba’id.
6. Takwil Bu’id
Sebagaimana dikatakan di atas, bahwa jika persyaratan tak dapat dipenuhi
dalam suatu penakwilan, maka takwil tersebut dinamakan takwil ba’id.Juga jika ada
penyimpangan dari persyaratan tadi maka takwil seperti itu tertolak.
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang keberadaan takwil ba’idtersebut.
Mereka berbeda pendapat dalam penetapannya, ada yang berpendapat bahwa
sebagian takwilitu ba 'id,tetapi sebagian lagi menilai bahwa takwil seperti itu (yang
dikatakan ba’id oleh yang lain) dikatakan qarib dan sahih.
Misalnya tentang kifarat khuntsa(banci) ketika melanggar sumpah:

Artinya:
“...maka kifarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang
miskin ...”
(QS. Al-Maidah : 89)
Zahir nashmenyatakan harus memberi makan dalam jumlah yang khusus, yaitu
sepuluh orang miskin. Karena 'adadadalah lafazhkhusus yang memaidahkan pada
qath’isecara ijma’.
Namun, golongan hanafy menakwil lafazh 'as\\irah pada arti \anu
tidak tercakup di dalam kata tersebut, yakni sepuluh makanan atau
ukuran sepuluh makanan bagi orang-orang miskin. Menurut pendapat
mereka lafazh 'usyuruh itu bukan dikhususkan kepada jumlah (fakir),
namun merupakan ukuran yang wajib (dikeluarkan) dari makanan untuk
sepuluh orang miskin. Dengan penakwilan seperti itu. menurut Abu
Hanifah dibolehkan untuk memberikan makanan kepada sepuluh oran g
miskin atau kepada satu orang miskin dengan sepuluh makanan, karena
ukuran itu satu untuk dua keadaan. Menurut mereka, takwil seperti itu
didasarkan pada maksud kebutuhan mendesak yang merupakan hikmah
di syari'atkannya nash.
Namun, penakwilan di atas dianggap takwil ha iddan dinyatakan
batil menurut Imam Syali'i. karena lafazh 'asyarah adalah \afazhkhusus
yang menunjukkan arti qath 'i. sehingga tidak membutuhkan penakw
ilan.
Dan hikmah syari'atnya bukanlah seperti pendapat mereka, tetapi
pembagian ukuran harta yang wajib dikeluarkan sesuai jumlahnya,
supaya manfaatnya dirasakan umum.
Selain itu, penakw ilan mereka juga membutuhkan idhajat kalimat
sebagai tambahan nash, sehingga ayat tersebut menjadi:

Sebagai batasan wajib, padahal idhajatseperti itu mennyalahi ashal.


Jadi, kecacatan takwil di atas disebabkan dua perkara:

a. Meremehkan 'adad, lafazh khusus yang jelas menunjukkan arti


yang qath'i maka haruslah menjaga arti yang qath'i tersebut dan tidak
meremehkannya,

b.Penambahan kalimat terhadap nash adalah menyalahi ashal.

Jelaslah bahwa penakwilan seperti itu dinamakan takwil ba" id.


karena keluar dari persyaratan takwil yang sah.
Kesimpulannya, kajian ijtihad dengan ra'yudalam takwil. harus
sesuai dengan persyaratannya, tidak hanya sebatas pengambilan
istinbath berdasarkan akal semata-mata, melainkan yang berlandaskan
pada bahasa yang mampu menghasilkan arti yang tercakup dalam arti
lafazh tersebut.
Dan diusahakan melalui berbagai cara yang didasarkan pada dalil melalui
metode perluasan bahasa yang dikenal dengan istilah majazi. Setelah itu,

151
menjelaskan keterkaitan dan qarinah yang mencegah datangnya makna ashal.
Selain itu. bisa juga dengan mendasarkan pada pengenalan syari'at dan adatnya.
Istinbath dengan takwil bisa juga didasarkan pada pemahaman syari’at
yang telah ditentukan oleh dasar umum, nash-nash lain, ketetapan yang
berdasarkan ijma’. pengompromian antara hukum-hukum syari’at secara
keseluruhan baik juz’i, kul/i. nash. ruh. dan maqasid-nya. '
Telah dijelaskan tadi, bahwa peranan takwil yang asasi adalah
mengompromikan nash-nash yang saling bertentangan di bawah naungan iradat
pembuat syara’ yang telah mengatur hukum-hukum semasa lalu. Takwil juga
dibuat untuk menjelaskan dan membukakan peraturan tersebut dengan
berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan di atas, dan mengikuti persyaratan
yang mengandung landasan yang ilmiah.
Hal itu merupakan salah satu keutamaan dari pengembangan hakikat nash
dalam penetapannya berdasarkan hikmat pembinaan syari’at yang merupakan
tujuan disyaratkannya nash dan sebagai pernyataan terhadap keleluasaan
tujuannya, karena hal itu mengambarkan keadilan sebagaimana telah kita bahas.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian takwil baik secara bahasa maupun istilah!
2. Apa yang Anda ketahui tentang objek takwil. Jelaskan!
3. Jelaskan dalil-dalil penguat takwil dan berikan contohnya!
4. Apakah dalil penguat takwil diharuskan qath 'i. jelaskan!
5. Jelaskan maksud dari ungkapan balvwa takwil dihasilkan dari perubahan
makna bukan perubahan lafazh!
6. Apakah yang dimaksud dengan landasan takwil. Jelaskan!
7. Sebutkan persyaratan dari takwil'!
8. Berikan contoh hukum yang dihasilkan melalui takwil berikut dalil
pengambilannya!
9. Bagaimana pandangan para ulama tentang takwil ha id.jelaskan!
10. Bisakah mengambil istinbath melaui takwil didasarkan pada ijma',jelaskan!

D. KHASH
1. Pengertian Khash
Para ulama ushul berbeda pendapat dalam memberikan definisi khash.
Namun, pada hakikatnya definisi tersebut mempunyai pengertian yang sama.
Definisi yang dapat dikemukan di sini, antara lain:

Artinya:
"Suatu lafazh yang dipasangkan pada satu arti yang sudah diketahui (ma'lum) dan
manunggal. "
Dan menurut Al-Bazdawi, definisi khash adalah:

Artinya:
“Setiap lafaz yang yang dipasangkan pada satu arti yang menyendiri, dan terhindar
dari makna lain yang (musytarak). "
Dengan definisi di atas, ia mengeluarkan lafazh mutlaqdan musytarak dari
bagian lafazh khash. dan bukan pula bagian dari lafazh 'amm. Pendapat ini
dipegang pula oleh sebagian ulama Syaff iyah.
Cara penunjukan lafazh atas satu arti ini bisa dalam berbagai bentuk,
yaitu bentuk genius, seperti lafazh insanun dipasangkan pada hewan yang
berpikir, atau berbentuk spesies (nau'un), seperti kata laki- laki dan wanita,
atau berbentuk individual yang berbeda-beda tetapi terbatas, seperti bilangan
angka-angka (3, 5, 100. dan seterusnya).
2. Hukum Lafazh Khash
Lafazh yang terdapat pada nash syara’ menunjukkan satu makna tertentu
dengan pasti selama tidak ada dalil yang mengubah maknanya
itu. Dengan demikian, apabila ada suatu kemungkinan arti lain yang tidak
berdasar pada dalil, maka ke-qath’ian dilalah-nyatidak terpengaruhi.
Oleh karena itu, apabila lafazh khashdikemukakan dalam bentuk mutlaq,
tanpa batasan apapun, maka lafazhitu memberi faedah ketetapan hukum secara
mutlaq, selama tidak ada dalil yang membatasinya. Dan bila lafazhitu
dikemukakan dalam bentuk perintah, maka ia memberikan faedah berupa
hukum wajib bagi yang diperintahkan (ma’mur bih), selama tidak ada dalil
yang memalingkannya pada makna yang lain. Demikian juga apabila lafazhitu
dikemukakan dalam bentuk larangan (nahy), ia memberikan faidah berupa
hukum haram terhadap hal yang dilarang itu, selama tidak ada
qarinah(indikasi) yang memalingkannya dari hal itu.
Atas dasar itu, maka kata salasatinpada firman Allah SWT. yang
berbunyi:

153
mengandung pengertian khash,yang tidak mungkin mengandung arti kurang
atau atau lebih dari makna yang dikehendaki oleh lafazhitu sendiri, yaitu tiga.
Oleh karena itu, dilalah makna-nyaadalah qatiyah.
Demikian juga kata nisfupada firman Allah yang berbunyi...

mengandung arti khashyang kandungannya tidak mungkin berarti selain arti


tertentu yang ditunjukkan lafazh-nya itu sendiri, yaitu setengah.
Kedua contoh di atas, termasuk lafazh-lafazh khash, sehingga
kehujjahannya terdapat pada arti yang diperuntukkan baginya yang bersifat
qat'iyah,karena tidak ada dalil yang memalingkan dari masalah haqiqi-nya (al-
wad’ al-Haqiqi).Selain itu, juga lafaz nardalam firman Allah SWT. yang
berbunyi:

adalah lafazh khash yang sudah dikenal yang berarti api (an-nar) yang
sebenarnya, dan mengandaikan bahwa makna yang dimaksud bukanlah
makna itu. tanpa adanya dalil, maka yang demikian itu tidak
berpengaruh sedikitpun terhadap ke-qath'i-an makna yang termaksud
dalam lafazh tersebut.
Terhadap kemungkinan adanya takwil dalam lafazh khash. para
pengikut mazhab Hanafi telah memalingkan arti lafazh khash tersebut dari
maknanya yang haqiqi dalam beberapa nash karena adanya qarinah yang
mengharuskan pemalingan artinya yang hakiki, dan karena adanya
maksud untuk memberi makna ya ng lain melalui maksud yang
terkandung dalam dalil tersebut. Lafazh syat. dalam sabda Rasulullah
SAW. yang berbunyi:

merupakan lafazli khash. Para ulama Hanafiyah menakwilkannva dengan


arti yang iebiii umum yang mencakup ani s vai itu sendiri berikut
harganya.
Berdasarkan itu. maka hadits tersebut memberikan arti khusus
dalam menentukan Hishah yang dikenai zakat dari empat puluh kambing,
yaitu satu ekor kambing, tidak kurang dan tidak lebih. (Salam Madkur.
i976 :203).

Perbedaan Pendapat Akibat Keqath ia n Dilalali Khash


Para ulama sepakat bahwa dilalah lafazh khash adalah qath’i. Namun,
mereka berbeda pendapat dalam sifat kc-qath 7-annya itu. apakah lafazh
khash yang dipandang qath 'i dilalah-nva itu sudah jelas dengan
sendirinya, sehingga tidak mempunyai kemungkinan penjelasan lain
atau Perubahan makna, ataukah sekalipun lafazh khash itu qath i dilalah-
nya. tetapi kemungkinan mempunyai perubahan dan penjelasan yang
lain.
Golongan Hanafiyah mengambil pendapat pertama. Mereka
menyatakan. "Sesungguhnya lafazh khash sepanjang telah memililki arti
secara tersendiri, berarti ia sudah jelas dan tegas dengan ketentuan
lafazh- lafazhitu sendiri. Seandainya lafazh khashitu masih mempunyai
kemungkinan perubahan dengan penjelasan yang lain, pasti keadaan
penjelasannya itu menetapkan yang sudah tetap atau menolak yang sudah
tertolak. Sedangkan keduanya ini tidak bisa diterima. (Al -Bazdawi, 1308
: I, 9).
Dari sikapnya ini dapat ditarik kesimpulan pokok, yaitu:
a. Mereka menetapkan bahwa lafazh khashitu tidak memerlukan
penjelasan lain, sehingga dalam mengambil hukum dari satu dilalah
khash.mereka tidak mengambil hadis-hadis yang berhubungan
dengan penjelasan lafazh khashsebagai pembantu untuk pen
jelasannya. Karena menurut mereka, dilalalah kliashasitu tidak
memerlukan penjelasan lain. (M. Abu Zahrah. tt.: Abu Hanifah:
261)
b. Karena mereka menyatakan bahwa lafazh khashAl-Quran itu qath'i
dilalah-nya dan tidak memerlukan penjelasan (hayau),maka setiap
perubahan luikum dengan nashyang lain dipandang sebagai
penghapusan hukum, bukan penjelasan. Oleh sebab itu. nasikh
(penghapus hukum) harus sama kekuatan dilalah-nya dengan nash
yang dihapus dilalah-nya (mansukh).
Dengan demikian, apabila tidak sama kekuatan dilalah-nya, maka
tidak bisa diterima. Konsekuensinya lafazh khashyang qath’iitu tidak bisa
dihapus (dittasakh) dengan hadis ahad.
Golongan Jumhur Ulama, antara lain, Sati'iyyah dan Malikiyyah
mengambil pendapat yang menyatakan bahwa sekalipun lafazh khashitu
dilalah-nya qath'i.namun tetap mempunyai kemungkinan perubahan makna
soai wadita-nva (asai pemasangannya): sehingga apabiia terdapat
nashyang mengubah dilalah khashitu. maka ia dipandang sebagai

155
penjelasan terhadap lafazh kh'-diitu. Dari sikap ini terdapat dua
kesimpulan yang berbeda dengan pendapat pertama, yaitu:
a. Nash khashmenerima penjelasan dan perubahan (gol: 11)
b. l.afaz!] khashAl-Quran menurut pandangannya tetap menerima
penjelasan dan perubahan. Maka ia dipandang sebagai htfiizh
innjmal.Oleh sebab itu, lafazh khashmungkin saja be-ubnh melalui
penjelasan; sungguhpun penjelasan itu kekuatan dilalah-nyadari segi
tsnhiillebih rendah dari kekuatan khashitu sendiri, seperti hadis ahad
Perbedaan pendapat para ulama tentang kedudukan dilalah khash
tersebut berpengaruh terhadap beberapa masalah fiqih. misalnya,
pengertian ruku' pada ayat:

Artinya:
"Ruku'lah bersama orang-orang yang ruku'
Ulama Hanafiyah memandang bahwa ruku' dalam shalat itu se -
bagaimana lafazh khash untuk suatu perbuatan yang ma'lum; yaitu
condong dan berdiri tegak. Mereka menyatakan sesungguhnya ruku'
yang diperintahkan pada ayat itu dan merupakan bagian fardu shalat
adalah condong dan berdiri tegak tanpa tuma 'ninah.
Adapun hadis yang memerintahkan keharusan tuma 'ninah adalah:

Artinya:
Berdirilah dan shalallah karena engkau belum shalat. "
Tuma ninah itu bukan syarat sali shalat. Menurut mereka, seandainya
tuma ninah itu syarat sah shalat, berarti merupakan penambahan atas
lafazhkhash Al-Ouran yang jelas. Dengan sendiriny a, hal itu
termasuk Penambahan khabar ahad. Dan berarti sebagai nasakh.
sedangkan nasikh (penghapus) harus sama kekuatan dilalah-nya dari
segi wurud dengan Monsukh-nya. Padahal hadis ahad tersebut tidak
sama dengan kekuatan ashAl-Quran yang qath'i.sehingga mereka
tidak mensyaratkan tuma' ninah sebagai syarat ruku . Dengan kata
lain, mereka tidak Menjadikan tuma ninah sebagai fardu. Tegasny a,
yang fardu itu rukunnya. Bukan tuma'ninah-nya. (Abdul Aziz Bukhari.
1308, I : 8 1 )
Golongan Syah iyah memandang bahwa lafazh khash itu mempunyai
kemungkinan adanya penjelasan atau perubahan, maka dari segi ini
mereka memandang lafazh khash itu sebagai lafazh mujmal. Oleh sebab
itu. mereka menerima kemungkinan adanya penambahan atas lafazh khash yang
terdapat dalam Al-Quran dengan hadis ahad yang merupakan penjelasannya.
Maka menurut golongan ini. tuma 'ninahyang diisyaratkan oleh hadis tersebut
merupakan penjelasan terhadap ayat Al-Quran dan termasuk fardu dalam ruku'.

4. Macam-Macam Lafazh Kliasli


Lafazh khashitu bentuknya banyak, sesuai dengan keadaan dan sifat yang
dipakai pada lafazhitu sendiri, la kadang-kadang berbentuk mutlaqtanpa dibatasi
oleh suatu syarat atau qayyidapapun, kadang- kadang berbentuk muqayyad,vakni
dibatasi oleh qayyicl.kadang-kadang berbentuk amr(perintah), dan kadang-
kadang berbentuk nahy(larangan).
Dengan demikian, macam-macam lafazh khashmencakup: mutlaq, muqayyad.
amr.dan nahyi.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan definisi khashmenurut para ulama ushul.dan terangkan
maksudnya!
2. Bisakah lafazh khashdijadikan hujjah dalam syari'at Islam?
3. Berikan contoh satu ayat yang di dalamnya mengandung lafazh khashdan
jelaskan!
4. Tuliskan sebuah hadis yang di dalamnya mengandung kalimat khash'?
5. Jelaskan sikap golongan 1 lanafiah terhadap lafazhh khash
6. Mungkinkah suatu lafazhyang mengandung lafazh khash mengandung
perubahan makna? Jelaskan pandangan ulama jumhur!
7. Mengapa golongan Hanafiyah tidak menganggap bahwa tuma'ninahitu
merupakan bagian dari rukun shalat?
8. Bagaimanakah alasan ulama Syafi'iyah yang menganggap bahwa
tuma'ninahsebagai salah satu rukun shalat?
9. Apakah perbedaan antara khashdengan muqayad?
10. Sebutkan macam-macam lafazh khash!

157
E.'AMM
1. Pengertian Lafazh 'Amm
Pembahasan lafazh'amin dalam ilmu Ushul Fiqih mempunyai
kedudukan tersendiri, karena lafazh amm mempunyai tingkat yang luas
serta menjadi ajang perdebatan pendapat ulama dalam menetapkan
hukum. Di lain pihak, sumber hukum Islam pun. Al -Quran dan Sunah,
dalam banyak hal memakai lafazh umum yang bersifat universal.
Lafazh 'amm ialah suatu lufazh yang menunjukkan satu makna yang
mencakup seluruh satuan yang tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Para ulama Ushul Fiqih memberikan definisi ‘amm antara lain sebagai
berikut:
1. Menurut ulama Hanafiyah:

Artinya:
"Setiap lafazh yang mencakup banyak, baik secara lafazh maupun mukna. "
(Al-Bazdawi:131) 1:33). 2.
Menurut ulama Syafi'iyah, di antaranya Al-Ghazali:

Artiny a:
Satu lafazh yang dari satu segi sulit menunjukkun dua
makna atau lebih. "
Artinya:
"Lafazh yang mencakup semua yang cocok untuk lafazh tersebut dengan satu
kata. ”

2. Dilalah lafazh ‘A nun


Para ulama sepakat bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah (indikasi) yang
menunjukkan penolakan adanya takhsis adalah qath’i dilalah. Mereka pun sepakat
bahwa lafazh ‘amm yang disertai qarinah yang menunjukkan bahwa yang
dimaksudnya itu khusus, mempunyai dilalah yang khusus pula. Yang menjadi
perdebatan pendapat di sini ialah lafazh ‘amm yang mutlaqtanpa disertai suatu
qarinahyang menolak kemungkinan adanya takhsis, atau tetap berlaku umum yang
mencakup satuan-satuannya.
Menurut Hanafiyah dilalah ‘amm itu qath’i.yang dimaksud qath ’i. menurut
Hanafiyah iaiah:

Artinya:
"Tidak mencakup suatu kandungan, yang menimbulkan suatu dalil ”
Namun, bukan berarti tidak adr. kemungkinan taksissama sekali. Oleh karena
itu, untuk menetapkan ke-c/athi-an lafazh 'amm,pada mulanya tidak boleh di-
taksissebab apabila pada awalnya sudah dimasuki takhsis, maka dilalah-nya
zhar.ni.
Mereka beralasan, “Sesungguhnya suatu lafazhapabila dipasangkan (di-
wadha’-kan)pada suatu makna, maka makna itu berketetapan yang pasti, sampai
ada dalil yang mengubahnya, lebih tegas lagi mereka mengatakan:

159
Artinya:
“Sesungguhnya lafazh ‘amm merupakan suatu hakikat, karena kosong dari segala
yang menunjukkan satu (makna khusus). Dan suatu lafazh. jika dalam keadaan
mutlak, maka menunjukkan pada maknanya yang hakiki, yakni mutlak. Begitu pula
lafazh 'amm yang mutlak duri suatu indikasi tentung kekhususannya menunjukkan
pada makna umum, dan tidaklah berubah dari maknanya yung hakiki, kecuali
dengun dulil ”
Menurut Jumhur ulama, (Malikiyah, Syatl'iyyah. dan Hanabilah),
dilalah 'ammadalah zhunni.Mereka beralasan, dilalah ‘ummitu termasuk
bagian dilalah zuhir,yang mempunyai kemungkinan A\-taksis.Dan
kemungkinan ini pada lufazh 'ammbanyak sekali. Selama kemungkinan
tetap ada, maka tidak dapat dibenarkan menyatakan bahwa dilalah-nyu
qath'i.Sehubungan dengan hal itu. Ibnu Abbas berkata:

Artinya:
“Dalam Al-Quran semua lafazh umum itu ada taksisnya, kecuali firman Allah SWT., ”Dan
Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu ”
Oleh karena itu. mereka mengeluarkan suatu kaidah yang berbunyi:
Artinya:
"Tidaklah ada (lafazh) yang umum kecuali sudah ditaksis. ”
Ulama Hanafiyah membantah alasan Jumhur, “Kemungkinan itu tidak dapat
dibenarkan, sebab timbulnya dari ucapan pembicara (mutakallimin), bukan dari dalil”.
Dari kedua sikap ulama tersebut, timbul masalah lain yang menjadi prinsip bagi
mereka masing-masing. Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar pada
perbedaan pendapat di antara mereka dalam beberapa masalah, yaitu antara lain:
a. Apakah boleh lafazh ‘amm yang qcilh'i tsubut di-takhsis oleh dalil zhanni?
b. Apabila ada suatu nash yang menggunakan lafazh ‘amm di suatu tempat dan di
tempat lain menggunakan lafazh khash, yang satu sama lainnya saling
bertentangan. Apakah hal ini bisa dikatakan sebagai ta'arud (saling bertentangan) ?
Pada masalah pertama; menurut Asy-Syafi’iah dan Ahmad. apabila pertentangan
antara lafazh khash yang terdapat pada khabar ahad dengan lafazh ‘amm Al-Quran, maka
khabar ahad itu dapat men-takhsis lafazh ‘amm Al-Quran. Sekalipun lafazh ‘amm Al-
Quran itu qath’i subut- nya, dilalali-nya zhanni. Sebaliknya, khash khabar ahad
sungguhpun zhanni subut-nya, tetapi qath’i dilalah-nya. Menurut pendapat ini, As-Sunah
dipandang sebagai penjelasan terhadap Al-Quran, walaupun khabar ahad.
Menurut Hanafiyah khabar ahad tidak dapat men-taksis Al-Quran, kecuali lafazh
‘amm Al-Quran itu sebelumnya telah terkena taksis. Mereka memandang bahwa dilalah
‘amm itu qath’i, seperti yang telah diuraikan di muka, dan takhsis bukanlah merupakan
suatu penjelasan, melainkan pembatalan pemakaian sebagian satuan lafazh ‘amm.
Mereka menetapkan
bahwa pada lafazh ‘amm itu, kehendak makna umumnya jelas, tegas dan tidak
memerlukan penjelasan. Oleh sebab itu, Hanafiyah tidak mewajibkan tertib dalam
berwudhu, karena ayat mengenai wudhu, yaitu surat AI- Maidah ayat 6 sudah cukup
jelas dan tegas tidak memerintahkan tertibnya berwudhu. Sedangkan Jumhur ulama
mewajibkan tertib dalam berwudhu karena berdasar hadis yang berbunyi:

Artinya:
“Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tempatnya (tertib
pelaksanaannya), maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tangannya. ”

161
Hadis ini menunjukkan keharusan tertib dalam berwudhu. Hanafiyah memandang
tertib itu hanya sunah mu’akkadah saja (Abu Zahrah: 159).
Lain halnya Imam Malik, sungguhpun memandang bahwa lafazh ‘amm Al-Quran
adalah zhanni, ia tidak selamanya menjadikan khabar Ahad dapat men-takshis lafazh
‘amm Al-Quran. Ia kadang-kadang berpegang pada lafazh ‘amm Al-Quran dan
meninggalkan khabar ahad, namun kadang-kadang men-taksis lafazh ‘amm Al-Quran
dengan khabar ahad.
Misalnya firman Allah SWT. :

Artinya:
“Dan Allah menghalalkan (menikah) selain itu (yang telah disebut). ” Di-takhshish
dengan hadis:

Artinya:
“Wanita yang dilarang dinikahi, adalah bibinya, baik dari pihak ayah maupun ibu. ”
Menurut Imam Malik, kliabar ahad yang yang dapat men-taksis lafazh ‘amm
Al-Quran ialah khabar ahad yang didukung oleh perbuatan penduduk Madinah atau
dengan qiyas.
Di antara masalah furu’ yang diperselisihkan akibat perbedaan prinsip di atas
ialah halal tidaknya memakan binatang hasil sembelihan tanpa memakai bismillah.
Menurut Hanafiyah sembelihan tanpa disertai dengan ucapan bismillah tidak
halal dimakan, mereka berpegang pada ayat:

Artinya:
“Janganlah kamu semua makan (binatang sembelihan) yang belum disebut bismillah
terhadap binatang tersebut (ketika disembelih), karena itu adalah perbuatan dosa. ”
(Al-An’am : 121)
Mereka tidak mau men-taksis-nya dengan hadis Rasul yang berbunyi:
Artinya:
“Seorang muslim menyembelih dengan menyebut bismillah, sebutlah (ucapkanlah
bismillah) atau tidak. ”
(H.R. Abu Dawud) Sebab hadis ini
zhanni wurudnya sekalipun qath’i dilalah-nya.

163
Adapun masalah yang kedua, yaitu: ta arudu al-'am wa al-khash (pertentangan
antara ‘amm dan khash). Menurut Hanafiyah, apabila lafaz ‘amm dan khash itu
berbarengan waktu turunnya, maka lafazh khash dapat men-taksis lafazh ‘amm. Dan
apabila berbeda waktu, maka berlaku konsep nasakh mansukh.
Menurut Jumhur, hal tersebut tidak bisa dikatakan ta ’arud, sebab fungsi lafazh
khash di sini sebagai penjelasan terhadap 'amm, seperti nisab zakat hasil bumi. Menurut
Jumhur ulama, nisab zakat hasil bumi adalah lima ausaq, berdasarkan atas hadis.

Artinya"
“Tidak ada zakat bagi yang kurang dari lima ausaq.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini dijadikan pen-taksisterhadap hadis:

Artinya:
Zakat hasil bumi yang diairi sumber air atau air hujan adalah 10%, sedangkan
zakat yang diairi irigasi adalah 5% . "
(H.R. Al-Bukhari dan Ashhabu Sunan)
Menurut Hanafiyah, zakat hasil bumi diwajibkan tanpa harus ada nisab, baik sedikit
ataupun banyak, tetap wajib dizakati. Mereka berpegang
pada hadis yang kedua yang bersifat ‘amm.Sedangkan pada hadis yang khusus,
yaitu hadis pertama, mereka menakwilkannya, dan menyatakan bahwa hadis
tersebut berlaku pada zakat perdagangan. Mereka berpendapat bahwa lima
ausaqitu senilai dengan dua ratus dirham (Asy- Syaukani, 111 : 3)

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian lafazh ‘amm?
2. Jelaskan, kapan suatu lafazhbisa dikatakan ‘ammdan bedakan dengan
muthlaql
3. Apakah para ulama sepakat tentang dilalah lafazh ‘amm?
4. Berikah contoh dua ayat yang di dalamnya mengandung kalimat ‘amm,dan
jelaskan?
5. Berikan contoh lafaz ‘ammyang ada dalam hadis!
6. Bagaimanakah pendapat golongan Hanafi tentang ‘amm?
7. Apakah jumhur ulama sependapat dengan dolongan Hanafi tentang ‘amm?
8. Bolehkan lafazh ‘ammyang qath’idi-taksisdengan dalil yang zhanni,terangkan!
9. Bolehkah seorang muslim memakan daging hewan yang disembelih tanpa
menyebut bismillah terlebih dahulu? Jelaskan berdasarkan pendapat
kedua golongan!
10. Jelaskan maksud dari kaidah:

F. AMR (PERINTAH)
1. Pengertian Amr
Menurut Jumhur ulama Ushul,definisi amradalah lafazhyang menunjukkan
tuntutan dari atasan kepada bawahannya untuk mengerjakan suatu pekerjaan.
Definisi di atas tidak hanya ditujukan pada lafazhyang memakai
sighat amr,tetapi ditujukan pula pada semua kalimat yang mengandung
perintah, karena kalimat perintah tersebut terkadang menggunakan kalimat
majazi (samar).
Namun, yang paling penting dalam amr adalah bahwa kalimat tersebut
mengandung unsur tuntutan untuk mengerjakan sesuatu.
2. Bentuk-bentuk Ani r dan Hakikatnya
Para ulama ushul telah menyepakati bahwa bentuk amr ini digunakan untuk
berbagai macam arti. Al-Amidi menyebutkan sebanyak 15 macam makna. (Al-
Amidi. 1968.11:9). Sedangkan Al-Mahalli dalam Syara h Jamu ' AI-.Jawami'
menyebutkan sebanyak 26 makna. Demikian pula mereka sepakat bahwa bentuk
amr secara hakikat digunakan untuk thalab (tuntutan). Namun, mereka berbeda

165
pendapat mengenai thatab ini. Apakah dengan sendirinya menunjukkan wajib
ataukah diperlukan adanya qarinah.
Menurut jumhur ulama, amr itu secara hakikat menunjukkan wajib dan
tidak bisa berpaling pada arti lain, kecuali bila ada qarinah.Pendapat ini
dipegang oleh Al-Amidi, Asy-Syafi'i. para fuqahu.kaum mutakallimin. seperti Al-
Husen Al-Basari. dan Al-Juba'i (Al-Amidi. 1968 :92).
Golongan kedua, yaitu madzhab Abu Hasyim dan sekelompok ulama
mutakallimin dari kalangan Mu tazilali meny atakan bahwa hakikat amr itu adalah
nadb.
Golongan ketiga berpendapat bahwa amr itu musytarak antara wajib dan
nadb. pendapat ini dipengaruhi oleh Abu Mansur Al-Maturidi.
Pendapat keempat, Qadi Abu Bakar. Al-Cihazali. dan lain-lain,
menyatakan bahwa amr itu maknanya bergantung pada dalil yang menunjukkan
maksudnya.

Keadaan Amr Bila lidak Disertai Qarinah


Makna hakiki amr yang diperselisihkan di atas ialah apabila amr >tu tidak
disertai suatu qarinah.Golongan Zahirivah. antara lain Ibnu Hazm berpendapat
bahwa amr yang terdapat dalam Al-Quran. sungguhpun disertai qarinahtetap
menunjukkan wajib, kecuali kalau ada flashlain atau ijma' yang memalingkan
pengertian amr dari wajib. Sedapkanjumhur ulama berpendapat bahwa tidak
adanya qarinahmenunjukkan wiijub. Sebaliknya, adanya suatu qarinahsudah
cukup dapat mengubah hakikat arti amr itu.
Dari kedua sikap ulama di atas, ada dampak luas pada penetapan
hukum. Contoh yang dapat dikemukakan di sini ialah masalah pencatatan dan
persaksian dalam utang piutang. Menurut Zahiriyah.pencatatan dan persaksian
dalam utang piutang ini adalah wajib, berdasarkan ayat 282, Al-Baqarah.
Bentuk amrpada ayat tersebut, menunjukkan wajib dan tidak bisa menyimpang
dari arti zahirkecuali dengan nashatau ijma’ (Ibnu Hazm : 80)
Menurut jumhur ulama, amrpada ayat tersebut adalah nadh. Alasannya,
mayoritas kaum muslimin dalam melakukan jual beli yang tidak kontan itu
tidak dicatat dan dipersaksikan. Oleh karena itu, dipandang ijma'di kalangan
kaum muslimin, bahwa amrpada ayat tersebut bukan untuk menunjukkan wujub.
Bagi ulama yang berpendapat bahwa amritu pada prinsipnya menunjukkan
wajib dan tidak bisa berubah, kecuali ada qarinah.mereka sendiri sebenarnya
berbeda pendapat dalam menentukan sesuatu yang dipandang sebagai
qarinah.Perbedaan tersebut otomatis berpengaruh pada penetapan hukum.
Misalnya, masalahmut'ahbagi wanita yang telah dicerai.
Menurut Asy-Syafi'iyah. Hanafiyah, dan Hanabilah. mut'ahtersebut adalah
wajib dengan mendasarkan pada muthlaq amr.Demikian pula menurut pendapat
Ibnu Umardari kalangan sahabat. Sa’id Ibnu Al- Musayyaab, A'tai, dan
Mutjahiddari kalangan tabi'in.
4. Perintah Setelali Adanya Kejadian
Para ulama telah sepakat tentang amrterhadap sesuatu dari yang tidak ada
sebelumnya. Namun mereka berbeda pendapat tentang hukum amryang ada
setelah adanya larangan atau setelah timbulnya kejadian. Dalam hal itu para
ulama terbagi pada tiga golongan:
1. Menunjukkan mubah,karena amryang belum ada sebelumnya secara
bahasajuga menunjukkan wajib. Namun jika adanya setelah kejadian maka
dianggap qarinahyang menunjukkan mubah, kecuali kalau ada dalil yang
menunjukkan wajib. Alasannya karena para ulama ushul telah
memakainya untuk arti mubah. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan.
2. Menunjukkan wajib, karena suatu kalimat yang menggunakan kata amritu
menunjukkan wajib. Selain itu, tidak boleh dipisahkan antara amryang
berkaitan dalam rangka menetapkan hukum syara atau amryang ada
setelah adanya larangan.
3. Perintah setelah adanya kejadian telah menghilangkan kejadian tersebut.
Adapun hukumnya bergantung pada ashlsebelum adanva kejadian,
apakah wajib, sunah, atau mubah.
Pendapat yang terakhir dianggap paling kuat, karena disebutkan dalam
Al-Quran. di antaranya firman Allah SWT., dalam surat At-Taubah
ayat 5:

Artinya:
"Apabila telah berakhir bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik. "
(QS. At-Taubah : 5)
Dalam ayat tersebut, diharamkan berperang pada bulan haram. Namun,
setelah itu ada perintah untuk berperang, maka kembalilah hukum asal
perang tersebut, yaitu menunjukkan wajib.
5. Amr Tidak Menuntut Dilaksanakan Terus-menerus
Telah dibahas di atas, bahwa shigat amrmenunjukkan adanya tuntutan
mengerjakan sesuatu pada masa yang akan datang. Apakah amr berdasarkan
konteks bahasanya membutuhkan kesinambungan atau tidak? Dalam hal ini
terbagi dalam dua pendapat:
1. Menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dan berulang- ulang
selama masih hidup.
2. Hal itu tidak menunjukkan kepada mutlak, tetapi menunjukkan sekali saja,
karena hakikat dari perintah itu adalah pemenuhan tuntutan.

167
Perlu diingat bahwa apabila perintah tersebut tidak mungkin
dilaksanakan, kecuali satu kali, maka yang sekali itu merupakan hal pokok
dalam melaksanakan hakikat perintah. Namun, yang sekali bukan berarti
P e tunjuk dari shighat amar, melainkan untuk melaksanakan hakikat dari amr
tersebut.
Di antara argumen yang dikemukakan oleh golongan pertama:
1. Pemahaman para ahli bahasa dari hadis Rasulullah SAW. bahwa Aqra
Ibnu Habis bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang salah satu isi
khotbahnya, “Sesungguhnya Allah SWT. telah mewajibkan kepada kami semua
untuk melaksanakan haji, maka tunaikanlah oleh kamu semua ibadah haji Dia
bertanya kepada Rasulullah SAW. “Apakahpada tiap-tiap tahun, Ya
Rasulullah? ” Rasulullah diam, sehingga ia mengulangi pertanyaannya
sampai tiga kali. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda, “Jika aku katakan
wajib maka kamu semua tidak mungkin mampu melaksanakannya, haji itu adalah
sekali, adapun selebihnya adalah sunah. ”
Hadis itu menunjukkan keharusan untuk terus-menerus dalam
melaksanakan amr. Namun karena yang bertanya itu adalah ahli bahasa,
sehingga jika tidak memahaminya sebagai keharusan melaksanakan haji
berulang kali, ia tidak mungkin bertanya.
Namun, hal itu dibantah oleh golongan kedua, bahwa adanya
pengulangan pertanyaan itu karena dia menyangka bahwa haji itu seperti
ibadah-ibadah lainnya yang memerlukan pengulangan, itu sebabnya
dijelaskan oleh Rasulullah SAW. bahwa haj i itu hanya diwajibkan sekali
saja.
2. Amr itu seperti nahi, yang mengharuskan pengekangan untuk tidak
melaksanakan sesuatu secara terus-menerus.
3. Amr mengandung makna perwujudan sesuatu yang posistif, yakni
mewujudkan suatu pekerjaan pada waktu yang akan datang, yang
sebelumnya tidak ada. Hal itu bisa terpenuhi dengan sekali melaksanakan,
namun harus diulangi sebagai perwujudan melaksanakan kewajiban.
Hal itu tidak berbeda dengan nahyi yang mengadung makna peniadaan
sesuatu yang negatif, yaitu mengekang dan menghindari dari larangan. Hal itu
tentu saja memerlukan waktu yang panjang dan terus- menerus.
Adapun argumen yang dikemukakan oleh golongan kedua adalah sebagai
berikut:
Sesungguhnya hakikat tuntutan itu tidak bisa dipahami dengan
sekali atau berulang-ulang. Hal itu telah disepakati oleh ahli bahasa Namun,
adanya pengulangan itu didasarkan pada berulangnya perintah dan sighal
amr.atau adanya illat yang mengharuskan untuk diulangi.
Jadi, adanya pengulangan dalam amr itu apabila adanya qarinah, seperti
firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarahayat 185:
Artinya:
“Barang siapa di antara kamu yang menyaksikan bulan maka berpuasalah.”
Berdasarkan dalil di atas, puasa wajib dilaksanakan berulang-ulang seiring dengan
datangnya bulan yang berulang-ulang pula.
Pendapat yang dipandang sahih adalah yang kedua. Karena hakikat
melaksanakan perintah itu adalah sekali dan itu dipandang cukup, kecuali
kalau ada qarinahyang menujukkan keharusan untuk melaksanakannya
berulang-ulang.
6. Amr Tidak Menuntut agar Dilaksanakan secara Langsung
Sesungguhnnya amr tidak menuntut untuk dilaksanakan secara langsung
atau ditunda-tunda, berdasarkan ketentuan-ketentuan di bawah ini:
1. Pelaksanaan dengan segera atau menunda-nunda adalah tambahan dari
shigat amr yang mutlak menurut bahasa.
2. Sesungguhnya yang dituntut oleh amr itu pelaksanaannya, tidak
memandang apakah dilaksanakan secara langsung atau ditunda- tunda.
3. Jika amr diiringi qarinahyang menuntut agar dilaksanakan secara
langsung, maka harus dilaksanakan secara langsung berdasarkan ijma’.
4. Bila amr itu dibatasi oleh waktu maka habislah perintah tersebut
bila habis waktunya, seperti ibadah puasa.
5. Bila amr itu memerlukan pelaksanaan secara langsung maka harus
dilaksanakan secara langsung, seperti menolong yang kebakaran atau
orang tenggelam
6. Bersegera dalam melaksanakan amradalah sunah, seperti firman Allah
SWT. dalam surat A1-Baqarah: 148.

Artinya:
"Berlomba-lomba kamu semua dalam kebaikan (yakni bersegeralah)."
(QS. Al-Baqarah : 148)

SOAL LATIHAN
1. Jeaskan pengertian amr,baik dari segi bahasa maupun istilah!

169
2. Apa yang Anda ketahui tentang bentuk-bentuk amr,jelaskan!
3. Bagaimanakah pengaruh qarinahterhadap amr?
4. Apakah setiap amrmengandung arti wajib? Jelaskan!
5. Berikan contoh ayat yang mengandung amrwajib!
6. Apakh amrbisa berarti anjuran? Berikan contohnya!
7. Jelaskan apakah amritu harus dilaksanakan secara berulang-ulang,
ataukah cukup sekali saja!
8. Mengapa ibadah haji hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup?
9. Jika ada kalimat yar.g menunjukkan amr, apakah mengharuskan agar
dilaksanakan secara langsung atau bisa ditunda?
10. Jelaskan kalimat amrdalam ayat di bawah ini:

G. NAHYI (LARANGAN)
1.Pengertian Nahyi
Menurut ulama ushul, definisi nahyi adalah kebalikan dari amr, yakni
lafazh yang menunjukkan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu (tuntutan
yang mesti dikerjakan) dari atasan kepada bawahan.
Namun, para ulama ushul sepakat bahwa nahyi itu seperti juga amr dapat
digunakan dalam berbagai arti.
2. Makna Shighat Nahyi
Para ulama ushul sepakat bahwa hakikat dalalah nahyi adalah untuk
menuntut meninggalkan sesuatu, tidak bisa beralih makna, kecuali bila ada
suatu qarinah(Abd. Aziz Al-Bukhari: 256). Namun, mereka berbeda
pendapat tentang hakikat tuntutan untuk meninggalkan larangan tersebut,
apakah hakikatnya untuk tahrim, karahah, atau untuk keduanya:
a. Menurut jumhur, hakikatnya itu untuk tahrim, bukan karahah. Tidak
bisa menunjukkan makna lain, kecuali dengan qarinah.
b. Menurut pendapat kedua, nahyi yang tidak disertai qarinah
menunjukkan karahah.
c. Menurut pendapat ketiga, musytarak antara tahrim dan karahah, baik
isytirak lafazhi maupun isyitrak maknawi.
d. Hakikat tuntutan nahyi itu tasawuf. (Al-Amidi. 1968, II : 32)
Dari keempat pendapat di atas, yang dipandang kuat adalah pendapat
Jumhur. Hal itu disimpulkan dari keumumam shigat-shigat nahyi, juga
didasarkan pada argumen-argumen di bawah ini:
a. Akal yang sehat bisa menunjukkan bahwa larangan itu menunjukkan
pada haram.
b. Para ulama salaf memakai nahyi dalil untuk menunjukkan haram. Dan
hal itu telah disepakati sejak zaman para sahabat, tabi'in. dan para
pengikut mereka.
c.
Firman Allah Swt. dalam surat Al-Hasyr : 7,

"Dan apa-apa yang Rasul datangkan (perintahkan) kepada kamu semua


taatilah, dan apa-apa yang dilarang kepada kamu semua jauhilah. "
(QS. Al-Hasyr; 7)
3. Nahyi menuntut untuk Meninggalkan secara Langsung
Sesungguhnya nahyiitu menuntut untuk meninggalkan apa yang dilarang
sebagaimana disebutkan dalam firman Aliah SWT. surat Al- An'amayat 1 5 1 :

Artinya:
"Janganlah kamu semua membunuh seorang jiwa yang diharamkan Allah, kecuali
dengan hak"
(QS. Al-An’am : 151)
Dengan kata lain, janganlah kamu semua menyebabkan seseorang
terbunuh, kata “terbunuh” adalah bentuk nakirah dalam keadaan nahyi. Hal itu
sangat umum dan menunjukkan siapa saja yang terbunuh, kapan saja dan
dilakukan terus menerus, kecuali jika ada dalil yang men-taksis
keumumannya, seperti membunuh dengan hak.
Dengan demikian, jelaslah bahwa larangan itu membutuhkan pelaksanaan
secara langsung dan terus menerus, karena pelaksanaan secara terus-menerus
dan langsung termasuk dilalah nahyi
Hal itu merupakan ijma’dari ulama, masa sahabat dan tabi’n. Mereka
menetapkan bahwa nahyiitu menuntut agar meninggalkanyang dilarang secara
langsung dan terus menerus.

171
4. Kaitan Nahyi dengan Fasad dan Buthlan
Ulama ushulberbeda pendapat tentang tuntutan nahyidalam kaitannya
dengan fasaddan buthlan.Apakah sesuatu yang dituntut itu menunjukkan
fasadatau buthlan, atau keduanya secara sekaligus.
Sebelum menjelaskan pendapat para ulama tentang hal tersebut,
terlebih dahulu akan dijelaskan dua hal penting yang berkaitan dengan
masalah nahyi.yaitu: hal ihwal nahyi.dan makna sah, fasaddan buthlan.
4 . 1 Ihwal Nahyi
Para ulama ushul dalam menjelaskan hal ihwal nahyi menempuh berbagai
jalan. Namun, pada garis besarnya, hal ihwal nahyi dapat dikelompokkan pada
empat macam:
1. Nahyi itu berada secara muthlaq. yakni tanpa ada qarinahyang menunjukkan
sesuatu yang dilarang. Bentuk ini ada dua macam. Pertama larangan yang
bersifat perbuatan indrawi. seperti puasa, shalat dan sebagainya. Kedua
adalah tindakan syara'.
2. Para ulama memberikan penjelasan lebih rinci bahwayang
dimaksud dengan perbuatan indrawi ialah suatu perbuatan yang dapat
diketahui secara indrawiyang wujudnya tidak bergantung pada syara Sedangkan
yang dimaksud dengan tindakan syara' ialah segala perbuatan yang wujudnya
bergantung pada svara'. seperti puasa dan shalat tidak mungkin dikatakan sah
sebagai ibadah, kecuali dengan penetapan dari syara'. Demikian pula masalah
jual beli tidak akan sah, kecuali bila sesuai dengan ketentuan svara'(Abdul Aziz
Al-Bukhari. 1307 H. I : 257)
3.Nahyi itu kembali kepada dzatiyah perbuatan, seperti larangan
jual beli hashal (jual beli y ang penentuan barangnya dengan jalan
melempar batu kerikil, pada masa sekarang bisa berbentuk koin).
4.Nahyi yang melekat pada sesuatu yang dilarang, bukanpada
pokokny a, seperti jual beli riba dan larangan puasa pada hari raya
5. Nahyi kembali kepada silat y ang berkaitan dengan suatu perbuatan,
tetapi perbuatan itu bisa terpisah dari perbuatan yang lainnya, seperti
larangan shalat di tempat hasil rampasan dan larangan jual beli di waktu
shalat Jum'at.
4.2 Pengertian Sah, Batal, dan Fasad
Menurut fuqaha.sah dalam ibadah artiny a sesuatu perbuatan itu telah gugur
karena telah dilakukan. Menurut ulama mutakallimin,sah berarti perbuatan yang
telah dilakukan itu sesuai dengan perintah syara',baik dalam keadaan wajib
qhada.maupun tidak. Misalnya seseorang yangtelah shalat menduga bahwa ia
shalat dalam keadaan suci, padahal
tidak. Shalat tersebut menurut ulama mutakallimin tetap sah meskipun ia tetap
wajib mengulanginya (mengqadanya).Akan tetapi, menurut fuqahashalat tersebut
tidak menggugurkan qada.
Arti sah dalam mu'amalah adalah keadaan suatu akad menjadi sebab
adanya sesuatu yang dituntut syara'. seperti jual beli yang sah berakibat sahnya
pemindahan hak milik dan pernikahan yang sah berakibat halalnya bergaul
suami istri dan si istri berhak atas mahar.
Arti batal dalam ibadah ialah tidak gugurnya suatu perbuatan yang
diwajibkan. Sedangkan arti batal dalam mu'ammalah ialah suatu perbuatan yang
dilakukan dengan menyalahi hukum dan keluar dari hal yang dapat
mengakibatkan hukum, seperti menikahi wanita yang diharamkan.
Adapun arti Fasad. menurut jumhur sama dengan batal.
4.3 Pendapat Ulama Usliul tentang Tuntutan Nahyi, dalam
kaitannya dengam Fasad dan Buthlan
Para ulama ushuliyyinberbeda pendapat dalam menentukan tuntutan nahyi
yang berbentuk empat hal tersebut. Pada bentuk pertama, yakni nahyi yang
muthlaq, para ulama sepakat bahwa nahyi di sini menunjukkan buruknya
perbuatan yang dilarang itu. Apabila perbuatan yang dilarang itu termasuk
indrawi, seperti zina maka larangannya menunjukkan fasad dan batal. Sedangkan
apabila yang dilarang itu termasuk pada at-tasarufat Asy-syar 'iyah. mereka
berbeda pendapat. Menurut Asy-Syafi 'iyah dan sebagian ulama mutakallimin.
nahyi itu menunjukkan buruknya perbuatan yang dilarang. Menurut Hanafiyah.
Al-Ghazali, dan Al-Qafal, nahyi seperti ini tidak menunjukkan batalnya
perbuatan yang dilarang. Sedangkan menurut golongan ketiga, yang dinisbatkan
oleh Asy-Syaukani kepada Abu Al-Husen Al-Basri, Al- Ghazali dan Ar-Razi,
nahyi itu menunjukkan fasad dalam ibadah dan tidak fasad dalam mu'amalah.
Pada bentuk kedua, yakni bentuk nahyi yang kembali kepada yang
dilarang, menurut jumhur ulama, sama dengan nahyi bentuk pertama, yaitu
menunjukkan fasad atau batalnya perbuatan yang dilarang.
Pada nahyi yang ketiga, menurut jumhur ulama sama dengan yang
pertama, yakni menunjukkan fasad dan batalnya perbuatan yang dilarang itu,
baik zatnya maupun sifatny a. Menurut Hanafiyah. nahyiseperti ini.
hanya menunjukkan fasad sifatnya saja, sedangkan pokok perbuatannya
tetap tnasyru'. Oleh sebab itu. menurutnya apabila sifat itu diperbaiki
maka perbuatan itu menjadi sah. Menurut Hanafiyah fasad itu berbeda
dengan batal, seperti yang telah dikemukakan di atas.
Selanjutnya, ulama Hanafiyah beralasan, seandainya kita katakan
bahwa perbuatan itu fasad secara muthlaqberarti kita menyamakan hakikat
yang mengandung fasad dengan yang tidak mengandung fasad. Sebaliknya,
apabila kita katakan bahwa perbuatan itu sah secara muthlai/ berarti kita
menyamakan antara hakikat yang tidak mengandung fasad pada zatnya dan
sifatnya dengan hakikat yang mengandung fasad pada sifatnya saja. Oleh
karena itu. di sini perlu dibedakan.
Bentuk nahyi yang keempat, menurut Jumhur, tidak menunjukkan

173
fasad dan batal, melainkan perbuatan yang dilarang itu tetap sah. hanya
saja orang yang melakukan itu berdosa. Menurut Zahiriyah, semua bentuk
nahvi yang telah diuraikan di muka menunjukkan fasad. Ai-Amidi
menjelaskan bahwa pendapat seperti ini dipengaruhi oleh Malik dan
Ahmad Ibnu Hambal (Al -Amidi, 1968, II : 33).

SOAL LATIHAN
1. Jelaskanlah pengertian nahyi. baik dari segi bahasa maupun menurut
pendapat para ulama!
2. Berikan contoh dari shigat nahyi dan apa maksudnya?
3. Sebutkan salah satu ayat yang menunjukkan keharusan umat Islam
untuk meninggalkan larangan Allah!
4. Apakah setiap shigat nahyimenunjukkan haram?
5. Berikan contoh ayat yang mengandung nahyi dan menunjukan haram!
6. Sebutkan salah satu hadis Nabi yang di dalamnya terdapat nahyidan
menunjukkan makruh!
7. Jelaskan yang dimaksud dengan fasaddan buthlan?
8. Bagaimana kaitan antara nahyi. fasad.dan buthlan?
9.Jelaskan pendapat ulama ushultentang nahyi muthlaq?
10.Apakah tuntutan dalam nahyiitu mencakup zat dan sifat yang
dilarang?

H. MUTLAQ DAN MUQAYYAD

1. Pengertian Mutlaq dan Muqayyad


Para ulama ushul memberikan definisi mutlaq dengan berbagai definisi.
Namun semuanya bertemu pada suatu pengertian bahwa yang dimaksud
dengan muthlaq ialah suatu lafazh yang menunjukkan hakikat sesuatu tanpa
pembatasan yang dapat mempersempit keluasan artinya. Misalnya, kata
raqabahyang terdapat pada firman Allah SWT.

Lafazh tersebut termasuk mutlaqkarena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.


Pula para ulama memberikan definisi muqayyaddengan berbagai definisi.
Namun, semuanya bertemu pada satu pengertian, yaitu suatu lafazh yang
menunjukkan hakikat sesuatu yang dibatasi dengan suatu pembatasan yang
mempersempit keluasan artinya.
Misalnya, kata raqabahdisifati dengan kata mu’minah pada ayat:
2. Bentuk-bentuk Mutlaq dan Muqayyad
Kaidah lafazh mutlaqdan Muqayyaddapat dibagi dalam lima bentuk:
1. Suatu lafazhdipakai dengan mutlaqpada suatu nash.sedangkan pada nashlain
digunakan dengan muqayyad;keadaan ithlaqdan taqyid-nya bergantung pada
sebab hukum.
2. Lafazh mutlaqdan muqayyadberlaku sama pada hukum dan sebabnya.
3. Lafazh mutlaqdan muqayyadyang berlaku pada nashitu berbeda, baik dalam
hukumnya ataupun sebab hukumnya.
4. Muthlaq dan muqayyadberbeda dalam hukumnya, sedangkan sebab
hukumnya sama.
5. Mutlaqdan muqayyadsama dalam hukumnya, tetapi berbeda dalam
sebabnya.

3. Hukum Lafazh Mutlaq dan Muqayyad


Pada prinsipnya para ulama sepakat bahwa hukum lafazh mutlaq itu wajib
diamalkan kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasi
kemutlakannya. Begitu juga hukum lafazh muqayyaditu beraku pada
kemuqoyyadannya. Yang menjadi persoalan di sini adalah mutlaqdan
muqayyadyang terbentuk pada lima bentuk tersebut, ada yang disepakati dan ada
yang diperselisihkan. Yang disepakati ialah:
a. Hukum dan sebabnya sama. Di sini para ulama sepakat bahwa wajibnya
membawa lafazh mutlaqkepada muqayyad.
b. Hukum dan sebabnya berbeda. Dalam hal ini, para ulama sepakat
wajibnya memberlakukan masing-masing lafazh.yakni mutlaqtetap pada
kemutlakannya dan muqayyadtetap pada kemuqayyadannya.
c. Hukumnya berbeda sedangkan sebabnya sama. Pada bentuk ini. para
ulama sepakat pula bahwa tidak boleh membawa lafazh mutlaqkepada
muqayyad,masing-masing tetap berlaku pada kemutlakannya dan
kemuqayyadannya.
4.Hal-Hal yang Diperselisihkan dalam Mutlaq dan Muqayyad
a.Kemuthlaqan dan kemuqayyadanterdapat pada sebab hukum. Namun, masalah
(maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari kalangan
Syafi'iyah, Malikiyah,dan Hanafiyah.dalam masalah ini wajib membawa
mutlaqkepada muqayyad.
Oleh sebab itu. mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba

175
sahaya. Sedangkan ulama Hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafazh
mutlaqpada muqayyad.Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewaijbkan zakat
fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b. Mutlaqdan muqayyadterdapat pada nash yang sama hukumnya, namun
sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan.
Menurut Ulama Hanafiyah tidak boleh membawa mutlaq padamuqayyad,
melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh sebab
itu, ulama Hanafiyah. pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba
mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama harus membawa
mutlaqkepada muqayyadsecara mutlaq.Nanuni menurut sebagian ulama
Syaff iyah, mutlaqdibawa pada muqayyad apabila ada illat hukum yang
sama, yakni dengan jalan qiyas. (Al- Amidi. 1968 : II : 112)

Alasan Masing-masing Golongan


1. Alasan Hanafiyah
Merupakan suatu prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafazh atas
semua hukum yang dibawa saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh
muthlaqtetap pada kemuthlaqaimyadan lafazh muqayyadtetap pada
kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah yang berdiri sendiri.
Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pada mutlaqtanpa
dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari perintah
syara'. Berdasarkan pada ini, lafazh muthlaqtidak bisa dibawa pada
muqayyad.kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum,
yakni sekiranya mengamalkan salah satunya membawa pada tanaqud
(saling bertentangan). (Al-Bazdawy, 1307, II : 290)

2. Alasan Jumhur
Al-Quran itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan antara satu ayat
dengan ayat lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu kata dalam Al-
Quran yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap
tempat yang terdapat kata itu. (Asy-Syafi'i). Alasan kedua, muqayyaditu
harus menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafazh
mutlaq.Sebab mutlaqitu kedudukannya bisa dikatakan sebagai orang diam,
yang tidak menyebut qayyid.Di sini ia tidak menunjukkan adanya qayyid,
dan tidak pula menolaknya, sedangkan muqayyidsebagai orang yang
berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid.Di sini tampak jelas adanya
kewajiban memakai qayyidketika adanya dan menolaknya apabila tidak
adanya. Sehingga kedudukannya sebagai penafsir. Oleh sebab itu, ia lebih
baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan maksud mutlaq.(Al-Amidi,
1968, II : 112).

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian mutlaq dan muqayyad!
2. Ada berapakah bentuk mutlaq dan muqayyaditu, jelaskan berikut contohnya!
3. Berikan contoh lafazh mutlaqyang terdapat dalam hadis!
4. Bagaimana hukum menggunakan mutlaq dan muqayyad?
5. Bagaimana perbedaan pendapat antara Jumhur dan Golongan Hanafiyah tentang
membawa mutlaqpada muqayyad?
6. Apabila kemutlaqan dan kemuqayyadansuatu lafazh terdapat pada sebab hukumnya,
bagaimana solusinya menurut jumhur ulama?
7. Bagaimanakah pendapat imam Abu Hanifah tentang mutlaqdan muqayyadpada
nash yang sama hukumnya? Jelaskan alasannya?
8. Bagaimana sikap Anda terhadap dua golongan ulama di atas, berikan argumen
secarajelas!
9. Berikan contoh lafazh mutlaqyang terdapat dalam hadis!
10. Kapan suatu lafazh mutlaqdibawa pada muqayyad?

I. MANTUQ DAN MAFHUM


1. Pengertian Mantuq dan Mafhum
Suatu lafazh bila ditinjau dari cara menunjukkan suatu makna, menurut Hanafiy ah
terbagi dalam empat bagian, yaitu ibarat nash, isyarat nash,dilalah nash.dan iqtida' nash.
Sedangkan menurut Syafi’iyah terbagi dalam mantuqdan mafhum.
Dilalah mantuqialah petunjuk lafazh pada hukum yang disebut oleh lafazh itu
sendiri. Dilalah mantuqseperti ini mencakup tiga dilalah yang dipakai dalam istilah
Hanafiyah, yaitu ibarat, isyarat,dan iqtida nash.
Dilalah mafhum ialah petunjuk lafazh pada suatu hukum yang tidak disebutkan oleh
lafazh itu sendiri, melainkan datang dari pemahaman. Dilalah mafhum tersebut dalam
istilah Hanafiyah disebut dilalah nash.
Dari definisi mantuqdan mafhum di atas dapat disimpulkan bahwa mantuqdan
mafhum ini termasuk madhul. bukan dilalah. Selanjutnya, mafhum terbagi menjadi mafhum
muwafaqahdan mafhum mukhalafah.
2. Dillalah Mahfum
Dilalah mafhumini terbagi menjadi dua macam, yaitu mafhum
muwafaqahdan mafhum mukhalafah.
Mafhum muwafaqahdalam istilah ulama Hanafiyah disebut juga dilalah
nash.yaitu suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang
tertulis pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum
yang tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada
persamaan dalam maknanya. Hal ini dapat diketahui dengan pengertian bahasa,
tanpa memerlukan pembahasan yang mendalam ataupun ijtihad. Disebut
mafhum muwafaqahkarena hukum yang tidak tertulis sesuai dengan hukum yang
tertulis.

177
Mafhum muwafawahdikenal pula dengan nama fahwa al-khitab dan lahmal-
khitab,sebagaimana dikemukakan oleh ulama Zaidiyyah. Ibnu As-Subki
membedakan pengertian antara keduanya, yang pertama dimaksudkan untuk
masalah tak tertulis, yang hukumnya lebih utama dan lebih sesuai daripada
hukum bagi masalah tertulis, sedangkan yang terakhir dimaksudkan untuk
masalah yang sama tingkat hukumny a dengan masalah lain yang tidak tertulis.
Perbedaan ini disepakati oleh Asy- Syaukani.
Al-Mawardi dan Ar-Rifyam menjelaskan bahwa perbedaan antara Fahwa
al-Khiatabdan Lahu al-Khitabdapat dilihat dari dua segi Pertama, fahwa al-
khitabadalah suatu petunjuk yang ditekankan oleh lafazh. sedangkan lahu al-
khitabadalah suatu petunjuk yang terpancar dari lafazh.Kedua, fahwa al-
khitabadalah suatu lafazhyang menunjukkan suatu petunjuk lebih jelas daripada
ungkapan lafazhitu sendiri, sedangkan lahu al-khitabadalah suatu lafazhyang
menunjukkan pada suatu petunjuk yang sama dengan ungkapan lafazhitu
sendiri. (Asy-S'yaukani. 1937: 178)
Mafhum al-mukhalafahadalah petunjuk lafazhyang menunjukkan bahwa
hukum yang lahir dari lafazhitu berlaku bagi masalah yang tidak disebutkan
dalam lafazhitu, yang hukumnya bertentangan dengan hukum yang lahir dari
mantuq-nya. karena tidak adanya batasan (kayd) yang berpengaruh dalam
hukum. (Lihat Ibnu Al Hajib jilid 11 hal. 172, Al-Amidi jilid II : 99, Al-
Mahalli. 1 : 245 dan Zakiyuddm Sya’ban : 43).
Mafhum mukhalafahdisebut juga dalil khilab.Suatu dilalah dinamakan
mafhum mukhalafahkarena hukum yang disebutkan berbeda dengan hukum
yang tidak disebut. Dinamai dalil khitah, karena dalil hukumnya diambil
dari jenis khitah-nya atau karena khitahnya sendiri menunjukkan atas
lnikum itu. (Asy-Syaukani, 1933 1799). Ulama Hanafiyah menamakan
dalil khitah dengan nama al-makhsus hi zikri. Mereka memandang bahwa
berpegang pada dalil ini termasuk fasid (Al- Bazdawi. 1308 H.,11. 375).

3. Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Mukhalafah


Ulama Hanafiyah tidak memandang mafhum mukhalafah sebagai salah
satu metode penafsiran nash-nash syara'. Tegasnya menurut mereka,
mafhum mukhalafah itu bukan suatu metode untuk penetapan hukum.
Alasan mereka adalah sebagai berikut:
1. Sesungguhnya banyak nash syara ' yang apabila diambil mafhum
mukhalafahnya akan rusak pengertiannya, antara lain seperti avat:
Apabila ayat tersebut diambil mafhum mukhalafahnya akan
mempunyai arti bahwa berbuat zalim diharamkan hanya pada empat
bulan tersebut saja, sedangkan di luar itu tidak haram. Padahal
berbuat zalim itu diharamkan pada tiap saat.
2. Sifat-sifat yang terdapat pada nash syara'. dalam banyak hal bukan
untuk pembatasan hukum, melainkan untuk targib dan larhih. Misalnya
ayat:

Sifat anak tiri pada ayat tersebut, adalah anak tiri yang ada dalam
pemeliharaan. Apabila diambil mafhum mukhalafah-nya, hal itu berarti
mengawini anak tiri yang di luar pemeliharaan adalah halal. Padahal
syara' tetap mengharamkan.
3. Seandainya mafhum mukhalafahnya itu dapat dijadikan hujjah syara’ maka
suatu nash yang telah menyebut suatu sifat tidak perlu lagi disebut nash
yang menerangkan hukum kebalikan hukum dari sifat tersebut. Pada
kenyataannya penyebutan seperti itu banyak ditemukan. Misalnya ayat:

179
Menurut jumhur ushuliyyin, mafhum mukhalafah dapat dijadikan sebagai hujjah
syara'. Alasannya antara lain:
1. Berdasarkan logika, setiap syarat atau sifat tidak mungkin
dicantumkan tanpa tujuan dan sebab. Sebabnya itu tidak lain ada lah
untuk qayyid (pembatasan) hukum selama tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa dicantumkannya suatu sifat itu untuk targib,
tarhib, dan tanfir:
2. Sikap Rasulullah yang tidak menyalahkan Umar Ibnu Khathab dalam
memahami mafhum mukhalafah dari ayat 101 An-Nisa'. Namun.
Rasulullah menjelaskan bahwa qasar shalat dalamperjalanan
dibolehkan sekalipun dalam keadaan aman.

Ulama yang memakai mafhum mukhalafah sebagai hujjah menyebutkan


beberapa syarat, yaitu:
1. Mafhum mukha/afah-nya itu tidak bertentangan dengan dalil yang lebih
kuat, seperti mantuqatau majhum muwafaqah.
2. Qayidatau pembatasan yang terdapat pada suatu nash tidak berfungsi
yang lain, seperti:

3. Tidak ada dalil khusus yang membatalkan mafhum mukhalafah itu,


seperti ayat:
Mafhum mukhalafahnya, laki-laki tidak wajib diqisas apabila ia
membunuh wanita, dibatalkan dengan ayat 45 surat Al-Ma idah, dan
hadis.(Abu Zahrah : 152)

181
4. Macam-Macam Mafhum Mukluilafah
Apabila qayid dalam luikum mantuqberlaku pada mafhum mukhalafah maka
mafhum nmkhalafah ini bisa terdiri atas bermacam- macam qayid.Al-Amidi
menghitung jumlah mafhum itu sebanyak sepeuluh macam, yaitu: mafhum sifat,
mafhum Illat, mafhum syarat, mafhum a'dad. mafhum gayah. mafhum laqab, mafhum hasr,
mafhum hal, mafhum zaman, dan mafhum makna. Asy-Syaukani juga menyebutkan
mafhum mukhalafah seperti itu, namun ia memasukkan ketiga mafhum yang disebut
terakhir pada mafhum sifat. (Asy-Syaukani, 1973: 181-183).
4.1 Mafhum Sifat
Mafhum sifat ialah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menunjukkan
berlakunya kebaikan hukum terhadap yang tidak disebutkan, karena tidak
terdapat sifat yang menjadi qayidpada lafazh tersebut, seperti sabda Nabi:

Hadis ini secara mantuq-nya menunjukkan wajibnya zakat dalam kambing yang
saa ’imah. Dan secara mafhum mukhalfah-nya menunjukkan tidak ada kewajiban
zakat pada kambing yang ma 'lufah (diberi makan).
Hal ini karena tidak ada sifat yang digembalakan secara bebas (sa'un) yang
menjadi qayidwajibnya zakat menurut mantuq-nya. Yang dimaksud sifat di sini
adalah mutlaq sifat, baik sifat
menurut ilmu nahwu seperti:

atau mudlaf seperti:


Pendapat Para Ulama tentang Mafhum Sifat
Sikap ulama terhadap kehujjahan mafhum sifat dibagi menjadi tiga pendapat:
1. Mafhum sifat dapat dijadikan sebagai hujjah. Ia dipandang sebagai salah satu cara
untuk menggali hukum. Apabila suatu hukum dikaitkan dengan suatu sifat
maka hukum itu tidak ada apabila sifatnya tidak ada. Pendapat ini dipegang
oleh Malik. Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Al-Asy'ary. dan segolongan dari
kalangan mutakallimin (Al-Amidi, 1968. I l l : 103, Asy-Syaukani, 1973, 168)
Alasan mereka adalah sebagai berikut:
a. Para ahli bahasa memakai mafhum sifat.
b. Dicantumkannya suatu sifat dan pembatasan suatu kalimat pasti
mempunyai kegunaan. Untuk lebih jelasnya perhatikan dalil-dalil berikut
ini:
Pertama: Sabda Nabi yang berbunyi:

Abu Ubadah mendefinisikan hadis tersebut, bahwa Rasulullah dengan hadis ini
bermaksud menjelaskan orang yang tidak mampu membayar suatu kewajiban
(utang) tidak boleh dihukum dan dipenjarakan.
Pemahaman seperti ini, juga dipakai oieii ahii bahasa yang iain seperti
Imamnya, Syafi’i dan Al-Usmu’i.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa para ahli bahasa memakai
mafhum sifat.
Kedua, nash syara’ baik Al-Quran ataupun Sunah memakai salah satu qayyid dari
berbagai quyyid, seperti: qayyid sifat lainnya mesti mengandung faedah; seperti
untuk penguat dan penekanan atau untuk menjelaskan kebiasaan umum.
Apabila hendak menafsirkan nash syara’ atau hendak menerapkan nash syara
terhadap suatu kasus maka harus membahas kegunaan atau faedah pencantuman
qayyidpada suatu nash. Sehingga faedah tersebut tidak jelas, maka
qayid(pembatasan) itu hanya untuk men-taqyidhukum yang
mengandung silatnya itu. Dalam hal ini seandainya pada taqyiddengan
sifat menunjukkan tidak adanya hukum dari dalil lain, maka pasti
pencantuman sifat yang menjadi qayyidhukum pada suatu nashtidak ada
faidahnya.
2. Mafhum sifatitu tidak dapat dijadikan hujjahkarena bukan merupakan suatu
metode untuk menetapkan hukum. Apabila suatu hukum dibatasi dengan
sifat tidak berarti bahwa hukum itu hilang dengan hilangnya sifat tersebut.
Apabila ternyata ada suatu hukum yang bertentangan dengan hukum yang
dibatasi dengan sifat, hal ini tidak berarti hukum itu diambil dari

183
mafhumsifatnya karena ada dalil lain. Pendapat ini dipegang oleh golongan
Hanafiyah. Malikiyah. Al-Ghazali, dan Al-Amidi dari golongan
SvatViyyah (Al-Amidi. 1968. III : 103)
Demikian pula pendapat syi'ah Imamiyahdan Zaidiyyuh.dan sebagian ahli
bahasa, seperti Al-Ahjasdan Ibnu Pars. Mafhum mukhalafah yang lainnya, seperti
mafhum i'Hat, mafhum hal. mafhum zaman,dan mafhum maknapada hakikatnya
dapat dikatakan sama dengan mafhum sifat,dari segi bisa tidaknya dijadikan
hujjah syara' . Lain halnya dengan mafhum /agah,ulama sepakat bahwa mafhum
tagabmi tidak bisa dijadikan hujjah kecuali tagab-nya dari isim sifat,bukan isim
jamid. Karena, pencantuman tagabpada suatu kalimat tidak mempunyai arti
pembatasan makna melalui tagabitu sendiri.
Demikian pula halnya mafhum hasyrtidak diperselisihkan tentang
kchujjahannya. Sebab pada hakikatnya, ia bukan mafhum,melainkan termasuk
mantug.Di mana adawat(alat) hasrbisa dipasangkan.
4.2 Mafhum Syarat, Adad, dan Ghayah
Seperti telah dijelaskan di muka bahwa ulama yang memakai mafhum
mukhalafahmemberikan beberapa syarat, antara lain bahwa pembatasan atau
gayyidyang terdapat pada suatu lafazhharus berfungsi. Oleh karena itu. mafhum
mukhalafahyang gayid-nya berfungsi seperti mafhum syarat, mafhum "adad,dan
mafhum ghayahdapat dijadikan hujjah syara' . Mereka beralasan dengan alasan
yang sama dengan alasan kehujjahan mafhum mukhalafahdari sifat. Sedangkan
ulama yang tidak memandang mafhum mukhalafahsebagai hujjah syara' tetap
berpendapat bahwa ketiga macam mafhum mukhalafahtersebut tidak dapat
dijadikan hujjah svara' .

SOAL LATIHAN
I. Jelaskan pengertian mantuqdan mafhum!
2. Bagaimanakah persamaan antara mantuqdan mafhum!
3 Berikan contoh hukum berdasarkan mantuq!
4 Berikan contoh hukum yang dihasilkan melalui mafhumdari hadis!
5. lerbagi kepada berapa bagiankah mafhumitu? Jelaskan!
6. Apakah para ulama membedakan antara fahwa al-khitahdan lahn
al- khitah?
7. Kapan mafhum mukhalafahdapat dijadikan hujjah syara' menurut jumhur
UshuliWin?
8. Jelaskan macam-macam mafhum!
9. Apakah yang dimaksud mafhumsifat menurut Asy-Syaukani? Jelaskan
apa yang dimaksud mafhum syarat, adad,dan ghavah!
BAB V
TAARUD AL-ADHILLAH, NASKH,

DAN TARJIH

1. TA’ARUDL AL-ADILLAH DAN CARA PENYELESAIANNYA


l. Pengertian Ta 'rud al-adillah
Kata ta 'rud,secara etimologi berarti pertentangan, sedangkan al-
adillahadalah bentuk jamak dari kata dalil, yang berarti alasan, argumen, dan
dalil.
Adapun secara terminologi, para ulama memiliki berbagai pendapat
tentang definisi ta 'rudal-adillah.di antaranya:
a. Menurut Imam Asy-Syaukani, ta 'rudal-adillahadalah suatu dalil yang
menentukan hukum tertentu terhadap suatu persoalan, sedangkan dalil
lain menentukan hukum yang berbeda dengan dalil itu. (Asy-Syaukani :
242)
b. Menurut Kamal Ibnu Al-Humam dan At-Taftazani, ta 'rudal-adillah
adalah pertentangan antara dua alil yang tidak mungkin untuk
dikompromikan antara keduanya (At-Taftazai : 103)
c. Ali Hasaballah berpendapat bahwa ta'rud al-adillahadalah terjadinya
pertentangan hukum yang dikandung satu dalil dengan hukum yang
dikandung dalam dalil lainnya dan kedua dalil tersebut berada dalam satu
derajat. (Ali Hasaballah : 334)
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa persoalanta'rud al-adillah dibahas
oleh para ulama ketika ada pertentangan antara dua dalil, atau antara satu dalil
dengan dalil lainnya secarazhahirpada derajat yang sama.
Maksud dari satu derajat adalah antara ayat dengan ayat atau antara
suratdengan surat. Seperti dalam masalah riba'. Rasulullah SAW. bersabda:

kalangan para ulama adalah dua macam. Kedua cara tersebut didasarkan pada
pendapat yang dikemukakan oleh Hanafiyah dan Syafi'iyah.
2.1 Menurut Hanafiyah
Para ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa metode yang
harus digunakan dalam menyelesaikan antara dua dalil yang bertentangan

185
adalah sebagai berikut:
1.Nasakli
Nasakhadalah membatalkan dalil yang sudah ada dengan didasarkan pada
dalil yang datang kemudian yang mengandung hukum yangberbeda. Seorang
mujtahid harus melacak sejarah kedua dalil tersebut dan kemudian mengambil
dalil yang datang kemudian. Misalnya, tentang iddahwanita hamil, yakni antara
surat At-Thalaq ayat, (65) : 4, yang menyatakan bahim iddah wanita hamil
sampai melahirkan,dengan surat Al-Baqarah,ayat 234, yang menyatakan bahwa
iddah keniatian suami 4 bulansepuluh hari.Menurut jumhur ulama, Ibnu Masud
meriwayatkan bahwa ayat pertama datang kemudian, sehingga ditetapkan
iddahwanita hamil adalah sampai melahirkan.

2. Tarjih
Tar j ih adalah menguatkan salah satu dalil dari dua dalil yang bertentangan
berdasarkan beberapa indikasi yang mendukung ketetapan tersebut. Apabila
dua dalil yang bertentangan sulit untuk dilacak sejarahnya, maka bisa
menggunakan tarjih dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendukung
dalil-dalil tersebut. Untuk melakukan tarjih. dapat dilihat dari tiga sisi:
a. Petunjuk terhadap kandungan lafazh suatu nash.Misalnya menguatkan
nashyang hukumnya pasti (muhkam)dan tidak bisa dihapus, daripada
nashyang hukumnya pasti namun bisa diubah (mufassar)
b. Dari segi yang dikandungnya. Misalnya menguatkan dalil yang
mengandung hukum haram dari dalil yang mengandung hukum boleh.
c. Dari segi keadilan periwayatan suatu hadis.

3. Al-Jam' Wa At-Tauficj
Yaitu mengompromikan dalil-dalil yang bertentangan setelah
Artinya
“Tidak ada riba kecuali riba nasi’ah (riba yang muncul dari utang piutang). "
(U.R. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadis di atas menyatakan bahwa tidak ada bentuk riba’ selain riba
nasi'selalupadahal ada hadis lainnya tentang larangan melakukan riba fadl,
seperti diterangkan dalam hadis:

Artinya:
"Jangan kamu jual gandum dengan gandum kecuali dalam jumlah yang sama ”
(H.R. Al-Bukhari. Muslim, dan Ahmad Ibn Hambal)
Antara hadis yang pertama dan kedua terjadi pertentangan dalam
hukumnya. Hadis pertama membolehkan riba fadldan hadis kedua
mengharamkannya. Wahbah Al-Juahili berpendapat bahwa pertentangan
antara dua dalil atau dua hukum yang terkandung dalam dua buah dalil
bergantung pada pandangan dan kemampuan para mujtahiddalam memahami,
menganalisis, serta sejauh mana kekuatan logika mereka. Dengan kata lain,
pertentangan tersebut bukanlah pertentangan yang aktual. Ia beralasan bahwa
tidaklah mungkin Allah SWT. atau Rasul- Nya menurunkan aturan yang saling
bertentangan antara satu dalil dengan dalil yang lain.
Begitu pun Imam Asy-Syatibi berpendapat bahwa pertentangan antara
dua dalil adalah pertentangan yang bersifat semu, yang bisa terjadi baik pada
dalil yang qathi' (dianggap pasti kebenarannya) maupun pada dalil yang
zhanni(kebenaran dianggap relatif), selama berada dalam satu tingkatan atau
derajat. Apabila pertentangan terjadi pada dua dalil yang kualitasnya berbeda,
maka diambil dalil yang lebih kuat kualitasnya, misalnya antara Al-Quran
dengan hadis Ahad, maka yang diambil adalah Al-Quran.
2. Cara Menyelesaikan Ta’rudal-Adillah
Cara penyelesaian ta’rud al-adillah,yang dikenal masyhur di
mengumpulkan keduanya, berdasarkan kaidah, "Mengamalkan kedua dalil lebih
baik daripada meninggalkan atau mengabaikan dalil yang lain". Misalnya firman
Allah SWT. dalam surat Al-Maidah ayat 3:

Artinya:
"Diharamkan bagi kamu bangkai dan darah.... ”
(QS. Al-Maidah : 3)
Ayat di atas tidak menjelaskan tentang jenis darah dan tidak membedakan
antara darah yang mengalir dengan darah yang sudah beku. Kemudian ada
ayat lain dalam surat Al-An ’amayat 145:

Artinya:

187
“ ...kecuali (yang diharamkan itu) bangkai dan darah yang mengalir... ”
(QS. Al-An’Am : 145)
Pengompromian dari kedua ayat tersebut bahwa darah yang dilarang adalah
darah yang mengalir.

4. Tasaqut Ad-Dalilain
Tasaqut Ad-Dalilain adalah menggugurkan kedua dalil yang
bertentangan dan mencari yang lebih rendah. Mal ini ditempuh apabila tidak
bisa menggunakan ketiga cara di atas. Misalnya ada pertentangan antara dua
ayat, sedangkan ketiga cara di atas tidak bisa dipakai, maka langkah yang
harus ditempuh adalah mengambil keterangan yang lebih
rendah dari Al-Quran. yaitu Sunah. Apabila masih tetap bertentangan, maka
diambil metode qiyas(analogi). Namun menurut ulama Hanafiyah, seorang
mujtahid hanya boleh mengambil dalil yang lebih rendah apabila telah
menggunakan ketiga cara tersebut. Dan penggunaan metode penyelesaian ta
'rudal-adillah harus dilakukan secara berurutan.
2.2 Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah
Cara penyelesaian Ta’rud al-adillah, menurut Syafi’iyah. Malikiyah, dan
Zhahiriyah adalah berikut ini.
7. Jamu ' wa al-TauJiq
Menurut Syafi’iyah, Malikiyah, dan Zhahiriyah, cara pertama
untuk menyelesaikan dua dalil yang bertentangan adalahdengan
mengompromikan kedua dalil tersebut. Alasan mereka adalah kaidah
menyatakan, “Mengamalkan kedua dalil lebih baik daripada meninggalkan
atau mengabaikan dalil yang lain”. Cara yang digunakan untuk
mengompromikan kedua dalil tersebut menurut mereka ada tiga:
a. Membagi kedua hukum yang bertentangan.
b. Memilih suatu salah satu hukum. Misalnya ada hadis di bawah ini:

Tidak (sempurna)shalat bagi tetangga mesjid kecuali di mesjid. '' (HR. Abu
Dawud dan Ahmad Ibn Hambal)
Kata "la” dalam hadis tersebut, menurut ulama ushul fiqhmempunyai
banyak arti, bisa berarti "tidak sah", "tidak sempurna”, dan "tidak utama”,
Seorang mujtahid boleh memilih salah satunya
2. Tarjih
Apabila cara pertama tidak bisa digunakan, maka menggunakan tarjih,
yakni menguatkan salah satu dalil.

3. Nasakh
Apabila cara kedua (tarjih) tidak bisa digunakan maka dapat menggunakan
cara ketiga, atau nasakh, yakni membatalkan salah satu hukum yang dikandung
dalam kedua dalil tersebut dengan syarat harus diketahui dahulu, mana dalil
yang pertama dan mana dalil yang datang kemudian.
4. Tatsaqut al-dalilain
Cara keempat yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila cara
pertama, kedua, dan ketiga tidak bisa ditempuh, menurut golongan ini adalah
Tatsaqut ad-dalilain, yakni meninggalkan kedua dalil tersebut dan berijtihad
dengan dalil yang kualitasnya lebih rendah. Keempat cara di atas harus
ditempuh secara berurutan.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan ta’rul al-adilah menurut etimologi!
2. Bagaimanakah definisi ta’rul al-adilah menurut Imam Asy- Syaukani?
3. Apakah persamaan dan perbedaan antara definisi ta'rulad-adilah yang
dikemukakan oleh Kamal Ibn 1 lumam dengan Ali Hasaballah!
4. Berikan contoh t a ’ r u l ad-adilah, dan bagaimana cara penyelesaiannya?
5. Bolehkah mempertentangkan dua dalil yangtidak sama kualitasnya?
Jelaskan!
6. Sebutkan urutan yang harus ditempuh oleh seorang mujtahid apabila
mendapat ta’arudl ad-adilah menurut golongan Hanafiyah?
7. Apakah perbedaan cara menyelesaikan ta’rul al-adilah antara,golongan
Hanafiyah dengan Syafi’iyah, Malikiyah. dan Hanabilah?
8. Kapan seorang mujtahid dapat menggunakan metode tarjih, dan
bagaimanakah caranya?
9. Dalam Islam darah yang seperti apakah yang diharamkan itu,
bagaimanakah cara menetapkannya?
10. Apakah yang dimaksud dengan tatsakut al-dalilairi?

2. NASAKH
1. Pengertian Nasakh
Dari segi bahasa (lugah) nasakh bisa diartikan sebagai pembatalan
atau penghapusan, misalnya dalam kalimat:

189
Artinya:
“Angin telah menghapus jejak suatu kaum. ”
Sedangkan definisi nasakh menurut ulama Ushul Fiqih.yang masyhur
ada dua, yaitu:

Artinya:
“Penjelasan berakhirnya masa berlaku suatu hukum melalui dalil syari; yang
datang kemudian. "

Artinya:
Pembatalan hukum syara' yang ditetapkan terdahulu dari
orang Mukallaf dengan hukum syara’ yang sama yang datang
kemudian. ”

Dari kedua definisi tersebut, para ahli ushul fiqihmenyatakan bahwa nasakh itu
bisa dibenarkan bila memenuhi kriteria berikut ini: (Tajuddi : 50)
a. Pembatalan itu harus dilakukan melalui tuntutan syara' yang mengandung
hukum dari Allah dan Rasul-Nya, yang disebut nasikh (yang menghapus).
Maka habisnya masa berlaku hukum yang disebabkan wafatnya seseorang
tidak dinamakan nasakh.
b. Yang dibatalkan adalah syara’ yang disebut mansukh (yang dihapus).
c. Nasikh harus datang kemudian (terakhir) dari mansukh. Dengan demikian,
istitsna (pengecualian) tidak disebut nasakh.
1. Rukuni Nasakh
Rukun nasakh itu ada empat, yaitu:
a. Adat an-nasakh, yaitu pernyataan menunjukkan adanya pembatalan
hukum yang telah ada.
b.Nasikh,adalah dalil yang kemudian yang menghapus hukumyangtelah
ada. Pada hakikatnya nasikh itu berasal dari Allah ta’ala, karena Dia-lah yang
membuat hukum dan Dia pulalah yang menghapuskannya.
a. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, dihapuskan,ataudipindahkan.
b. Mansukh 'anhu, yaitu orang yang dibebani hukum.

2. Hikmah Nasakh
Telah disepakati oleh ulama Ushul Fiqih,bahwa disyari’atkannya berbagai
hukum kepada manusia bertujuan untuk memelihara kemaslahatan umat
manusia, baik di dunia maupun di akhirat, selain tuntutan dari Allah agar
hamba-Nya mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Berkaitan dengan itu, Syar’i (Allah SWT.) senantiasa memperhatikan dan
mempertimbangkan kondisi yang ada di masyarakat. Terjadinya perubahan
hukum yang diberlakukan kepada manusia tiada lain berdasarkan kondisi yang
terjadi dan supaya kemaslahatan tetap terjamin. Akan tetapi, tidak berarti
bahwa Syari’ tidak mengetahui kejadian yang akan terjadi, justru di sinilah
kelebihan Islam, yakni menetapkan hukum secara berangsur-angsur. Oleh
karena itu, persoalan nasakh itu hanya berlaku pada masa Rasulullah masih
hidup, makna setelah Rasulullah SAW. itu wafat, tidak ada lagi nasakh.
Menurut Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi. di antara hikmah adanya
konsep nasakhadalah berkaitan dengan pemeliharaan kemaslahatan umat
manusia, sekaligus menunjukkan fleksibilitas hukum Islam dan adanya tahapan
dalam penetapan hukum Islam. Bila tahapan berlakunya suatu hukum telah
selesai menurut kehendak Syari’ maka datang tahapan berikutnya, sehingga
kemaslahatan manusia tetap terpelihara. ( Al-Buthi: 223-226)
4. Perbedaan Nasakh dengan Taksis
Nasakhdan taksismemiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya antara
lain, terletak pada fungsiny a, yakni untuk membatasi kandungan suatu hukum.
Keduanya berfungsi untuk mengkhususkan sebagian kandungan dari suatu
lafazh. Hanya saja, taksislebih khusus pada pembatasan berlakunya hukum yang
umum, sedangkan nasakh menekankan pembatasan suatu hukum pada masa
tertentu.
Adapun perbedaan di antara keduanya adalah; taksismerupakan penjelasan
mengenai kandungan suatu hukum yang umum menjadi berlaku khusus sesuai
dengan lafazh yang dikhususkan tersebut. Sedangkan nasakhmenghapus atau
membatalkan semua kandungan hukum yang ada dalam suatu nashdan yang
sebelumnya telah berlaku. (Al-Bukhari : 876)
Penjelasan yang lebih rinci dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang
perbedaan di antara keduanya: (Al-Ghazali: 71, Al-Amidi : 165)
a. Taksisbisa dilakukan terhadap lafazh yang belakangan dan bisa
pula terhadap lafazh yang datang beriringan (datang belakangan).
Sedangkan nasakh muthlaqhanya bisa dilakukan melalui lafazh yang datang
kemudian
b. Taksisbisa dilakukan baik dengan dalil naqlimaupun dengan dalil
aqli, sedangkan nasakhhanya bisa dilakukan dengan dalil naqli saja.

191
c. Taksistidak berlaku pada perintah (amr)yang mengandung satu
perintah saja, seperti "Berilah si fulan”, sedangkan nasakhbisa dilakukan
pada kasus seperti itu.
d. Lafazh yang umum tetap ada sesuai keumumannya walaupun
setelah di-taksis. sedangkan lafazh yang telah di-nasakh tidak berlaku
lagi.
e. Dibolehkan men-takhsih lafazh yang qath'idengan qiyas, hadis
ahad, dan dalil-dalil syara' lainnya (pendapat ini masih
diperselishkan di kalangan para ulama). Sedangkan dalam nasakh
tidak boleh men-takhsish suatu lafazh yang qath'i, kecuali dengan
lafazh yang qath'i pula.

5. Pendapat Para Ulama tentang Nasakh


Jumhur ulama berpendapat bahwa nasakh itu boleh saja, dan telah
terjadi. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah SWT. surati/.
Daqarahayat 106:

Artinya:
"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepada-
Nya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengan-
Nya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Mahakuasa atas segala
sesuatu. "
(QS. Al Baqarah : 106)
Jumhur ulama pun beralasan dengan firman Allah SWT., surat A n-
Nahl(16)ayat 101:

Artinya:
“Allah menghapus apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia
kehendaki) dan di sisi-Nyalah terdapat Umm al-Kitab (Lauh Mahfuz) ■ "
(QS. An-Nahl : 101 )
Menurut jumhur ulama. Allah berkuasa untuk melakukan apa saja yang
sesuai dengan kehendak-Nya. tanpa terikat dengan maksud dan tujuan. Maka
sangat wajar bila Allah mengganti suatu hukum dengan hukum lainnya, yang
menurut-Nya lebih baik.
Selain itu, menurut jumhur sudah banyak sekali kasus yang berkaitan
dengan nasakh,,seperti nasakli terhadap syari’at sebelum datang Islam;
pemindahan kiblat dari baitul AI-Maqdis ke Ka’bah: pembatalan puasa
Asyura diganti dengan Ramadhan, dan lain-lain.
Pendapat jumhur tersebut dibantah oleh Abu Muslim Al-Ashfahani
(mufassir). Menurutnya, apabila nasakh diakui keberadaannya berarti terdapat
perbedaan kemaslahatan sesuai dengan penggantian zaman, memungkinkan
dibolehkannya seseorang untuk mengganti keimanannya sesuai dengan
kondisi zaman. Hal itu sangat mustahil diterima akal. Selain itu, adanya
nasakh berarti menafikan pengetahuan Allah SWT. terhadap kemashlahatan
suatu zaman, sehingga Dia harus mengganti dengan hukum yang lain.
Keadaan seperti itu sangat mustahil bagi Allah dan sia-sia saja. Padahal
Allah sendiri telah berfirman dalam surat Fushilat, 41: 42:

Artinya:
Tidak datang kepadanya (Al-Ouran) kebatilan, baik dari depan maupun dari
belakangnya "
(QS. Fushilat: 42).
Menurutnya, ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam Al-Quran tidak
terdapat “pembatalan”. Jika nasakh diartikan sebagai pembatalan, maka tidak
akan terdapat dalam Al-Quran. (Al-Amidi: 169. Ats-Tsubut: 38)
Mufassir dan pembaharu Islam, Muhammad Abduh berpendapat bahwa
nasakhlebih tepat diartikan sebagai penggantian, pengalihan (pemindahan) ayat
hukum di tempat ayat hukum lainnya, yakni penggantian atau pemindahan
suatu wadah ke wadah yang lain” (Rida: 415 - 416)
Menanggapi pendapat tersebut, menurut Quraish Shihab pengertian
tersebut membawa pada kesimpulan bahwa semua ayat Al-Quran akan tetap
berlaku dan tidak ada yang bertentangan satu sama lain. Hanya saja, terjadi
penggantian hukum pada masyarakat tertentu karena adanya kondisi yang
berbeda, namun tetap berlaku bagi masyarakat yang kondisinya sama seperti

193
kondisi ketika ayat tersebut diberlakukan. (Shihab : 147 - 148)
6. Syarat-syarat Nasakh
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa jumhur mengakui keberadaan
nasakh dalam Al-Qur'an. namun harus memenuhi beberapa persyaratan. Syarat-
syarat tersebut ada yang disepakati dan ada yang tidak. Di antara syarat-syarat
yang disepakati antara lain:
a. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
b. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
c. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu
pemberlakuan hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa,
tidak berarti dinasakh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
d. Tuntutan yang mengandung nasakh harus datang kemudian.

Adapun persyaratan yang diperselisihkan, antara lain:


1. Alasan yang dikemukakan oleh Mu’tazilah dan sebagian Hanafiyah
yang menyatakan bahwa hukum yang dinasakh itu pernah dilaksanakan,
atau syara’ telah memberi kesempatan untuk melaksanakan hukum
tersebut, yang menunjukkan bahwa hukum itu baik. Atau setidak-tidaknya
menunjukkan bahwa hukum tersebut bernilai bila diaktifkan dengan
kondisi tertentu. Dan bila nilai kebaikannya sudah tidak ada, barulah
diganti dengan hukum yang lebih baik. Sebaliknya, apabila belum sempat
dilaksanakan, berarti hukum tersebut buruk, dan hal itu mustahil bahwa
syaari'berbuat sesuatu yang sia-sia.
Jumhur membantah pendapat di atas dengan alasan:
a. Kebaikan suatu hukum itu tidak hanya dinilai dari akibat perbuatan
tersebut. Namun, ada yang lebih penting dari itu, yaitu kepatuhan
kepada Allah SWT. untuk melakukan syari’at yang dibebankan
syara’ kepada seseorang hamba. Oleh karena itu tidak perlu hukum
yang dinasakh itu harus pernah dilakukan oleh mukallaf, karena bisa
jadi kalau hukum tersebut tetap dilakukan akan berdampak lain bagi
kelompok tertentu. Tetapi sikap seorang mukallaf cukup dengan
keyakinan untuk patuh melaksanakan perintah-Nya.
b. Secara fakta, telah banyak sekali hukum yang dinasakh sebelum
dilaksanakan, seperti perintah shalat pada waktu Isra Mi’raj Nabi
yang mula-mula diperintahkan 50 kali, tetapi belum sempat perintah
tersebut dilaksanakan sudah dinasakh dengan 5 kali saja.
2. Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah berpendapat bahwa disyaratkan
hukum yang dinasakh itu haruslah ditujukan untuk sesuatu yang baik yang
diterima akal pembatalannya. Syarat tersebut tidak terima Jumhur dengan
alasan bahwa baik dan buruknya suatu perbuatan itu ditentukan oleh syara’
bukan oleh akal.
3. Sebagian ulama Ushul Fiqihmensyaratkan adanya pengganti terhadap
hukum yang dibatalkan. Mereka beralasan dengan firman Allah dalam
surat Al-Baqarah, 2: 106 (di atas). Jumhur membantah, bahwa Allah tidak
wajib menggantinya, dan cukup banyak hukum yang dibatalkan, namun
tidak ada penggantinya, seperti hukum memberi sedekah bagi mereka yang
ingin melakukan pembicaraan dengan Rasul (dalam surat Al-Mujadilah,
58: 12), yang dinasakh dengan dengan firman-Nya pada surat Al-
Mujadilah, 58: 13), sedangkan penggantinya tidak ada.
Sebagian ahli Ushul dari golongan Hanafiyah mensyaratkan bahwa apabila
akan menasakh terhadap nashAl-Quran atau hadis yang mutawatir, maka
nasikh harus yang sederajat, tidak boleh dengan yang kualitasnya lebih
rendah, seperti menasakh hadis mutawatir dengan hadis ahad. Alasan
mereka antara lain sebuah hadis yang diriwayatkan dari Umar Ibnu Al-
Khaththab:

Artinya:
"Kami tidak akan meninggalkan hukum Tuhan kami dan hukum Rasul kami
hanya karena ucapan seseorang wanita yang kami sendiri tidak tahu apakah ia
benar atau tidak... ”
(H.R. Abu Dawud dan Ahmad Ibn Hambal)
Jumhur dan Abu Daud Azh-Zhahiri tidak menerima syarat tersebut
dengan alasan bahwa ada hadis ahad yang diriwayatkan oleh Tirmidzi,
yakni:

Artinya:
“ Tidak ada wasiat bagi ahli waris. ”
Hadis Ahad tersebut telah inenasakh firman Allah SWT. dalam surat Al-
Baqarah ayat 180.
5. Menurut Imam Syafi’i, Al-Quran tidak bisa dinasakh, kecuali dengan Al-

195
Quran, dan hadis mutawatir juga tidak dinasakh. kecuali harus dengan
hadis yang mutawatir pula. Hal itu dibantah oleh juinhur bahwa Al-
Quran bisa dinasakh dengan Hadis mutawatir dan Hadis Mutawatir pun
bisa dinasakh dengan Al-Quran
6. Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa teks ayat tidak boleh dihapus
jika hukumnya tetap berlaku, karena hukum itu melekat pada teksnya.
Akan tetapi, menurut jumhur hal itu boleh saja, baik teksnya telah
dihapus dan hukumnya ada atau sebaliknya teksnya ada, tetapi hukumnya
tidak berlaku. Jumhur memberikan contoh
tentang hukum rajam bagi laki-laki tua mukhsan (beristri) dan bagi wanita
tua mukhsanah, padahal tidak didapatkan teksnya dalam Al-Quran.
7. Menurut jumhur. qiyastidak bisa menjadi nasikh maupun mansukh. Sebaliknya,
Tajudin, ahli Ushul Fiqih dari kalangan Syafi'iyah berpendapat bahwa
qiyasbisa menasakh Al-Quran, karena qiyas itu berasal dari nash. Namun,
dia tidak memberikan contohnya.
8. Menurut jumhur ijma tidak boleh menjadi nasikh ataupun mansukh.
dengan alasan bahwa ijma itu baru bisa dianggap sah apabila tidak
bertentangan dengan nasakh. Sedangkan bila ijma' di-mansukh berarti
membatalkan landasan ijma" itu sendiri. Namun, menurut Imam Al-
Bazdawi, salah seorang ahli ushul Hanafiyah, ijma' itu boleh dinasakh
dengan ijma lainnya yang datang kemudian.
9. Sebagian ulama Ushul yang tidak dikenal identitasnya menyatakan bahwa
hukum yang diambil berdasarkan mafhum suatu nash. maka nash-nya juga
mansukh. karena mafhum itu terkait dengan nash. Jumhur mengemukakan
rincian yang jelas tentang masalah ini. yaitu:
a. Dibolehkan menasakh mafhum al-muwafaqah atau mafhum al-mukhalafah
sekaligus dengan nash-nya,.
b. Dibolehkan menasakh mafhum nnikhalafah dan nash-nya tetap;
c. Tidak diterima menasakh nasli, tetapi mafhum mukhalafah- nya tidak.
Begitu pula tidak dibolehkan menasakh nash dan menetapkan mafhum
al-mukhalafah.
d. Menurut pendapat terkuat di kalangan ulama ushul. tidak boleh dan
tidak terjadi menasakh mafhum muwafaqahsedangkan nashnya tetap
utuh.
7. Macam-Macam Nasakh
Para ulama yang mengakui keberadaan nasakh. membagi nasakh toenjadi
beberapa macam, di antaranya:
a. Nasakh yang tidak ada gantiny a: seperti nasakh terhadap keharusan
memberikan sedekah kepada orang miskin bagi mereka yang akan
berbicara dengan Nabi.
b. Nasakhyang ada penggantinya, namun penggantinya tersebut
adakalanya lebih ringan dan adakalanya lebih berat; Seperti pembatalan
shalat sebanyak 50 kali, diganti dengan lima kali saja.
c. Nasakhbacaan (teks) dari suatu ayat, namun hukumnya tetap
berlaku, seperti hukum rajam bagi laki-laki dan perempuan tua yang telah
menikah:
d. Nasakhhukum ayat, namun teksnya masih ada. seperti nasakh
terhadap keharusan memberikan sedekah kepada bagi orang miskin bagi
mereka yang akan berbicara dengan Nabi.
e. Nasakhhukum dan bacaan ayat sekaligus, seperti haramnya
menikahi saudara sesusu itu dengan batasan 10 kali. (H.R. Bukhari dan
Muslim dari ‘Aisyah). Hukum dan bacaan teks tersebut telah dihapus.
f. Terjadinya penambahan hukum dari hukum yang pertama. Menurut Ulama
Hanafiyah. hukum penambahan tersebut bersifat nasakh. Jumhur ulama
lebih memerinci hukum tambahan ini:
1. Apabila hukum tambahan tidak terkait dengan hukum yang
ditambah, tidak dinamakan nasakh. karena keduanya terpisah, seperti
penambahan kewajiban shalat pada ayat yang menerangkan
kewajiban zakat, maka perintah shalat tidak berpengaruh kepada
zakat.
2. Apabila hukum yang A\-nasakh berkaitan dengan hukum yang
ditambah, maka tambahan itu dinamakan nasakh. Seperti penambahan
rakaat pada shalat subuh yang dua rakaat, berarti mengubah esensi
dari shalat itu sendiri.
3. Apabila penambahan itu mempengaruhi bilangan, tetapi tidak
mempengaruhi esensi hukum semula. Misalnya hukuman dera bagi
orang yang menuduh orang lain berbuat zina, yaitu 80 dera,
ditambah 20 pukulan. Terhadap hukuman tersebut terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama ushul Menurut Jumhur tidak dinamakan
nasakh. karena esensinya masih te fap. Akan tetapi, menurut
Hanafiyah. temasuk nasakh, karena hukum asainya teiaii berubah.
g. Pengurangan terhadap hukum ibadah yang telah disyariatkan. Menurut
kesepakatan para ulama dikatakan nasakh. tetapi mereka tidak memberikan
contohnya.
8.Cara Mengetahui Nasikh dan Mansukh
Untuk mengetahui atau melacak tentang nasikh dan mansukh, antara lain
melalui hal-hal di bawah ini: a Penjelasan langsung dari Rasulullah SAW.
5. Dalam suatu nasakh, terkadang terdapat keterangan yang menya
takan bahwa salah satu nash diturunkan terlebih dahulu. Misalnya hadis
Rasulullah SAW. tentang ziarah kubur:

197
Artinya:
"Dahulu saya melayang kamu untuk menziarahi kubur, tetapi kini ziarahlah. ”
(H.R. Muslim)
c. Berdasarkan keterangan dari periwayat hadis, yang menyatakan
satu hadis dikeluarkan tahun sekian dan hadits lain dikeluarkan tahun
sekian (Abdul Syakur, 11 : 161. At-Taftazani. II : 103. Al- Bukhari, III:
1198).

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian nasakhsecara harfiyahdan berikan contoh kalimatnya!
2. Tulis dua definisi menurut syari’at yang masyhurdi kalangan ulama ushul!
3. Sebutkan rukun nasakh!
4. Bagaimanakah hikmah adanya nasakhbagi kaum muslimin?
5. Apakah para ulama sepakat terhadap keberadaan nasakh'? Terangkan!
6. Ada berapakah syarat-syarat nasakhyang disepakati oleh para ulama?
7. Jelaskan persyaratan nasakhyang tidak disepakati di kalangan para
ulama
8. Ada berapa macamkah nasakhitu? Jelaskan!
9. Bagaimanakah cara mengetahui nasikhdan mansukh?
10. Tulis ayat atau hadis yang menurut sebagian besar ulama telah di-
mansukh!

C. TARJIH
1. Pengertian Tarjih
Secara etimologi, tarjihberarti “menguatkan”, sedangkan secara
terminologi, ada dua definisi yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqih.
a. Menurut Ulama Hanafiyah:

Artinya:
“Memunculkan adanya tambahan bobot pada salah satu dari dua dalil yang
sama (sederajat), dengan tambahan yang tidak berdiri sendiri. ”
Menurut golongan ini, dalil yang bertentangan harus sederajat
dalam kualitasnya, seperti pertentangan ayat dengan ayat. Dalil
tambahan yang menjadi pendukungnya harus berkaitan dengan salah
satu dalil yang didukungnya.
b. Menurut Jumhur Ulama

Artinya"
"Mengucilkan salah satu dalil yang zhanni dari yang lainnya untuk diamalkan
(diterapkan) berdasarkan dalil tersebut. "
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada
pemasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan
yang c/ath 'i. Juga tidak termasuk antara yang qath'i dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus
diamalkan, sebaliknya dalil yang marjiih (dilemahkan) tidak perlu
diamalkan. Di antara alasannya, para sahabat dalam banyak kasus telah
melakukan pen-tarjih-an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para
sahabat lebih menguatkan hadis yang dikeluarkan oleh Siti 'Aisyah
tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu antara alat vital lelaki
dan alat vital perempuan (H.R. Muslim dan Turmudzi), daripada hadis
yang diterima dari Abu Hurairah. “Air itu berasal dari air". (H.R. Ahmad
Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban).
2. Cara Pen-tarjih-an
Menurut para ulama Ushul. cukup banyak metode yang bisa di gunakan
untuk men-tarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin
dilakukan melalui cara at-jam’u bainaat-ataufiq dan nasakh.
Namun cara pen-tarjih-an tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok
besar, yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush dan (2) at-Tarjih baina al-qiyas,
yaitu menguatkan salah satu qiyas(analogi yang bertentangan).
2.1 Tarjih bain an-Nushush
Tarjih baina an-Nushush. terbagi menjadi beberapa bagian, berikut
ini.

2.1.1 Dari segi sanad

199
Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pen-tarjih-an dapat dilakukan
melalui 42 cara, di antaranya dikelompokkan dalam bagian berikut:
a. Menguatkan salah satu nash dan segi sanadnya
Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadis.
Menurut Jumhur, hadis y ang banyak peraw inya di -tarjih-kan dari
yang sedikit, karena kemungkinan terjadinya kesalahan dalamperiwayatan
sangat kecil.
Tetapi Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Abu Hasan Al-Karkhi menolak
pendapat jumhur tersebut. Mereka semua berasal dari golongan madzab
Hanafi. Menurut mereka banyaknya perawi tidak bisa men-tarjihhadis lain
yang lebih sedikit perawinya, kecuali kalau lebih dari tiga orang perawi
(Hadist Mashyur). Mereka menganalogikan kepada kasus persaksian yang
bertentangan, bahwa hakim tidak boleh memutuskan suatu perkara atas
dasar persaksian yang lebih banyak orangnya.
Jumhur juga berpendapat bahwa pen-tarjih-an boleh dilakukan
berdasarkan kualitas peraw i. misalnya hadis yang perawi yang lebih
dhabit(kuat hapalan) dikuatkan dari hadis yang perawinya tidak dhabit.Dan
dibolehkan pula men-tarjihhadis berdasarkan pada cara penerimaan hadis,
misalnya hadis yang diterima dan dipelihara melalui hapalan perawi lebih
diutamakan daripada hadis yang diterima peraw i melalui tulisan.
b. Pen-tarjih-andengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu menguatkan hadis mutawatir daripada hadis masyhur atau
menguatkan hadis masyhur dari pada hadis ahad. Bisa juga dengan
melihat persambungan sanadnya. misalnya hadis yang sampai kepada
Rasul di-rajih daripada hadis yang tidak sampai ke Rasul.
c. Pen-tarjih-anmelaui cara menerima hadis dari rasul
Yaitu me-rajih-kan hadis yang diterima dan dipelihara melalui hapalan
perawi dari hadis yang diterima perawi melalui tulisan. Dikuatkan hadis
yang memakai lafazh langsung dari Rasulullah SAW. seperti lafal
naha(melarang) atau antara(memerintah) daripada riwayat yang lain.
Begitu pula hadis ahad yang matannya tidak menyangkut orang banyak
didahulukan dari hadis Ahad matannya mengandung orang banyak. Hal itu
didasarkan pada kesangsian Ulama Ushul, bahwa tidak mungkin hadis
yang menyangkut orang banyak memiliki perawi sedikit.

2.1.2 Dari segi matan


Maksud dari matan adalah teks ayat, hadis atau ijma'. Menurut
Al-Amidi ada 51 cara dalam pen-tarjih-andari segi matan, antara lain:
a. Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang
mengandung perintah, karena menolak kemadaratan lebih utama
daripada mengambil manfaat.
b. Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang
mengandung kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus
melaksanakan yang hukumnya boleh.
c. Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna
majazi- nya.
d. Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum.
e. Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks
umum yang telah di-taksis.
f. Teks yang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang
sifatnya perbuatan.
g. Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar,
karena muhkam lebih pasti dibanding mufassar.
h. Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang bersifat
sindirian.
2.1.3 Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum
Cara pen-tarjih-an melalui metode ini, menurut Al-Amidi ada 11
cara, sedangkan menurut Asy-Syaukani ada sembilan cara, yaitu:
a. Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari
teks yang membolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

Artinya:
"Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang
haram lebih dominan
( H . R . Baihaqi)
Namun, menurut Al-Ghazali, kedua hukum itu digugurkan saja. Dengan
alasan bahwa kualitas keduanya adalah sama. Teks
yang membolehkan didukung oleh hukum asal pada sesuatu, yaitu boleh.
Sedang hukum yang dilarang itu menggiring seseorang untuk hati-hati.
Dengan demikian, kualitas keduanya sama. (Al-Ghazali- 46)
b. Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang teks yang
bersifat menetapkan, dengan teks yang meniadakan. Misalnya hadis dari
Ibnu Abbas. yang menyatakan bahwa Rasulullah SAW. mengawini
Maimunah ketika sedang ihram (H.R. Bukhari dan Muslim). Sedang
dalam riwayat lain dinyatakan bahwa Rasulullah SAW. mengawini
Maimunnah tidak dalam keadaan ihram. (I I.R. Imam Malik)

201
Dalam kasus tersebut, menurut Imam Syafi’i teks yang bersifat
meniadakan lebih didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan.
Jadi, hadis yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak dalam keadaan
ihram diutamakan.
Adapun menurut jumhur, teks yang menetapkan lebih diutamakan
dari teks yang meniadakan, karena teks yang bersifat menetapkan
memberi informasi tambahan.
Sedangkan Imam Ghazali berpendapat bahwa hukum kedua hadis
tersebut digugurkan. Hal itu dimungkinkan keduanya benar dan keduanya
salah. Oleh karena itu, perlu dicari indikasi lainnya.
c. Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks
yang lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih
adalah yang pertama, menghindarkan terpidana dari pada hukuman.
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW.:

Artinya:
“Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud apabila terdapat keraguan. ”
(H.R. Al-Baihaqi)
d. Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan daripada teks
yang di dalamnya mengandung hukuman berat. Syari’at Islam
didasarkan pada keringanan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam
surat Al-Baqarah, 2 : 185:

Artinya:
"Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu."
(Al-Baqarah : 185)
2.1.4 Tarjih Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash
Menurut Al-Amidi ada lima belas cara pen-tarjih-andengan menggunakan
faktor lain di luar nash, namun Imam Asy-Syaukani meringkasnya menjadi
sepuluh cara, di antaranya:
a. Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil
Al-Quran. Sunah, Ijma’. Oiyas, dan lain-lain.
b. Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah,
karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya Al- Quran dan
penafsirannya. Selain itu. ada anjuran untuk mengikuti mereka.
c. Menguatkan dalil yang menyebutnya Illat(motivasi) hukumnya dari suatu
nashserta dalil yang mengandung asbab an-nuzulatau asbab al-wuruddari
pada dalil y ang tidak memuat hal tersebut.
d. Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada
dalil yang tidak menuntut demikian.
e. Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari
perawinya daripada dalil yang tidak demikian.
2.2 Tarjih bain al-Aqyisah
Wahab Al-Zuhaili mengelompokkan tujuh belas cara pen-tarjih-an
dalam persoalan qiyasyang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani ke dalam
empat kelompok.
2.2.1Dari Segi Hukum Ashl
Pen-larjih-an qiyasdari segi hukum asal, menurut Imam Asy- Syaukani bisa
menggunakan enam belas cara, di antaranya:
a. Menguatkan qiyasyang hukum asalnya qath 'i dari yang zhanni.
b. Menguatkan qiyasyang landasan dalilnya ijma dari qiyasyang landasan
dalilnya nash, sebab nash itu bisa di-taksis, di-takwil, dan A\-nasakh,
sedangkan ijma tidak. Tetapi cara ini dibantah oleh Al-Juwaini yang
didukung oleh ulama Syafiiyah dan Imam Al- Baidhawi. Ia berpendapat
bahwa ada kemungkinan bahwa qiyas yang didasarkan pada qiyaslebih kuat
dari ijma, karena ijma sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian, ijma
bisa dianggap sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan dari
asalnya.
c. Menguatkan qiyasyang didukung dalil yang khusus.
d. Menguatkan qiyasyang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyasdari yang tidak.
e. Menguatkan qiyasyang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh.
f. Menguatkan qiyasyang hukum asalnya bersifat khusus.
2.2.2 Dari Segi Hukum Cabang
a. Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum
asalnya
b. Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath'ii dari yang
hanya diketahui secara zhanni
c. Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika
nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara
tafshil.

203
2.2.3 Dari Segi lllat
Pen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu dari segi cara
penetapan Illat dan dari segi sifat illat itu sendiri
2.2.3.1 Pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat. antara lain:
a. Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati se
bagai illat dari yang tidak demikian.
b. Menguatkan Illatyang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim
(pengujian, analisis, dan pemilahan illat)yang dilakukan para mujtahiddari
illatyang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara
illatdengan hukum.
c. Menguatkanillatyang di dalamnya terdapat isyarat nashdari
illatyang ditetapkan melalui munasabah(keserasian), karena isyarat
nashlebih baik daripada dugaan seorang mujtahid.

2.2.3.2 Pen-tarjih-an dari sifat illat, antara lain:


a. Menguatkanillatyang bisa diukur daripada yang relatif.
b. Menguatkanillatyang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum
lain dari pada yang terbatas pada satu hukum saja.
c. Menguatkanillatyang berkaitan dengan masalah yang penting
daripada yang bersifat hajjiyat(penunjang). Dan dikuatkan illat yang
berkaitan dengan kemaslahatan yang bersifat hajjiyatdaripada yang bersifat
tahsiniyyat(pelengkap).
d. Menguatkan illatyang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada
illatyang bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

2.2.4 Pen-tarjih-an Qiyas Melalui Faktor Luar


Per-tarjih-andengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:
a. Menguatkan qiyasyang didukung lebih dari satu illat.
b. Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang
mengakui bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil)
c. Menguatkan illatyang bisa berlaku untuk seluruh furu' daripada yang hanya
berlaku untuk sebagian furu' saja.
d. Menguatkan qiyasyang didukung lebih dari satu dalil.

SOAL LATIHAN
1 Jelaskan pengertian tarjihbaik secara ctimoiogi maupun
terminologi!
2. Secara umum ada berapa carakah pen-tarjih-an? Sebutkan!
3. Apakah yang dimaksud dengan tarjih bain an-Nushush?
4. Menurut Imam Asy-Syaukani, ada berapa carakah pen-tarjih-
an dari segi sanad? Sebutkan lima cara!
5. Menurut pen-tarjih-an dari segi matan, yang mana yang harus
didahulukan, teks yang mufassar atau yang muhkam?
6. Sebutkan 3 cara pen-tarjih-an dari segi hukum atau
kandungan teks, menurut Asy-Syaukani!
7. Apa yang dimaksud dengan pen-tarjih-an dengan
menggunakan dalil lain di luar nash?
8. Jelaskan secara ringkas tarjih bain al-Aqyisah!
9. Ada berapa macamkah pen-tarjih-an dari segi hukum ashl?
Jelaskan!
10.Berikan contoh suatu ketetapan hukum dari hasil pen-tarjih-an,
beserta dalilnya!

205
BAB VI
QAIDAH QAIDAH FIQH

A. QAIDAH FIQM
l. Definisi Qaida h Fiqh
Secara etimologi, arti qaidah adalah al-asas(dasar), yaitu yang menjadi
dasar berdirinya sesuatu. Bisa juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan
fondasinya (pokoknya).(Al-Asfahani: 409, Az-Jaidy : 171)
Adapun menurut istilah atau termonologi. ulama ushul membuat
beberapa definisi, sebagaimana ditulis dalam beberapa kitab di bawah ini:
1. Dalam kitab At-Ta’rifat:

Artinya:
"Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian-bagiannya (juz-
juznya). "
At-Ta'rifat: 171)
2. Dalam kitab Syarah Jamu ' al-Jawami'

Artinya:
"Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang
berbagai hukum dan bagian-bagiannya. "
(Al-Mahalli: 21)
3. Dalam kitab At-Talwih ‘ala At-Tawdih:

Artinya:
"Hukum universal (kulli) yang bersesuaian dengan bagiannya, dan bisa
diketahui hukumnya. ”
(At-Taftajani, I : 20)

4. Dalam kitab Al-Ashbah wa An-Nadzair:

Artinya:
“Ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian- bagiannya serta
bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut. ”
(Al-Subki: 1)

5. Dalam kitab Syarh Mukhtashar al-Raudah ft Ushul Fiqh:

Artinya:
"Ketentuan universal yang bisa menemukan bagian-bagiannya melalui
penalaran. ”
(At- Taufi Al-Hambali,H : 95)
Bila beberapa del m isi di atas diteliti secara saksama, sebenarnya
antara satu dan lainnya berdekatan dan tidak ditemukan perbedaan
mendasar yang menyebabkan adanya perbedaan esensi yang dimaksud.
Namun demikian, kita harus berhati-hati dalam menyikapi berbagai
definisi yang dikemukakan para fuqaha, misalnva yang meny atakan
bahwa qaidah adalah. "Sesuatu yang masih umum yang mencakup
sejumlah bagian-bagiannya, yang kata-kata di dalamny a bisa
mengandung arti lain. Dengan kata lain, definisi tersebut mengandun g
arti bahwa qaidah fiqih itu mengandung berbagai macam pengecualian
yang menjadi lawannya (Lihat Oawaidftqhivah, hlm 2 : 95). Padahal qaidah
fiqih itu lebih umum daripada kii/liah (sesuatu yang mencakup bagian-
bagian di bawahnya) dan dari aktsariah (kebanyakannya).
Kita pun jangan terjebak pada suatu definisi yang mengekang atau
terlalu memperlebar pembicaraan, sehingga menyulitkan kita untuk
menyesuaikan definisi tersebut dengan b agian-bagianny a. Definisi yang

207
baik adalah yang bisa mencakup berbagai macam cabang fiqih di
bawahnya.

2.Perbedaan Qaidah fiqih dan Dhabit Fiqih


Ibnu Nujaim berpendapat bahwa perbedaan antara qaidah dan dhabit
adalah, "Qaidah itu menghimpun berbagai macam cabang dari berbagai
jenis masalah hukum, sedangkan dhabit hanya mencakup pada satu jenis
masalah saja. Menurutnya, itulah pengertian qaidahdan dhahit yang asli. "
(Al-Ashbah \va -An-Nadzair : 192)
Menurut Abdurrahman Al-Bannany Al-Malikv. qaidah tidak
dikhususkan pada suatu bab. berbeda dengan dhabit (Al-Bannay. II :
210). Pendapat seperti itu. juga dikemukan oleh As -Subki dan Al-Jalal
As-Suyuti.
Berdasarkan pendapat para ulama tersebut, bisa disimpulkan bahwa
Perbedaan pokok antara kedua istilah tersebut lebih berkaitan dengan
masalah pengungkapan saja.
3.Perbedaan Qaidah dan Ashal
Ashal bisa diartikan sebagai tempat paling rendah dari sesuatu.
Misalnya, seseorang duduk di dasar (kaki) gunung atau di fondasi se -
bilah gedung: atau seseorang melepaskan akar sebuah pohon, dan banyak
lagi contoh lainnya. Maka bisa dikatakan bahwa ashal setiap benda ada -
lah yang menjadi sandaran adanya benda lersebut. (LihatAl-Jubaidi, Ta'jul Urus
min jawahiril Qomus).
Adapun arti asha! menurut istilah, antara lain sebagai berikut:
1. Tempat bersandarnya sesuatu, arti sesuai dengan arti menurut bahasa
(Mania Khosrun, I : 21-22. Al-Khafaji : 33).
2. Dalil. Seperti dikatakan: “Ashal masalah berada dalam Al-Quran dan
Sunah". Maksudnya, dalil masalah tersebut. Definisi ini, biasanya sesuai
yang dimaksud dari Ushul Ficjih (lihat Syarhal- Kaukabu al-Munir, I : 39).
2. Rcijih (yang diunggulkan). Seperti ucapan para ulama, "Landasan pada
pembicaraan adalah arti sebenarnya bukan majaz". dan “Ashal itu tetap
bagaimanapun adanya” (Al-Kaukib al-IMunir, 1 : 39-40).
3. Qaidah yang terus berkembang. Seperti ucapan, "pada dasarnya memakan
bangkai itu tidak sesuai dengan ashal (menyalahi dasar atau keadaan yang
berkembang).
4. Qaidah yang global (kulli) (Syarah Al-Kaukib Al-Mimir : 40)
5. Rujukan dalam penyandaran qiyas, lawan kata cabang (furu') dalam qiyas.
Sebenarnya, definisi lainnya masih banyak yang bisa didapatkan dalam
kitab-kitab fiqih. Akan tetapi, kebanyakan para ulama ushul menganggap bahwa
dalil dianggap definisi paling tepat untuk ashal, sedangkan menurut ulama
qaidahfiqhiyaharti as hiadalah Ar-rAjih (yang diunggulkan).
Jelaslah bahwa ashal itu lebih umum daripada qaidahdan dhabit (definisi);
karena ashal mencakup segala sesuatu yang disandarkan padanya berbagai
masalah fiqih. baik dari satu bab atau berbagai macam. Pernyataan tersebut
terdapat pula dalam Syarh Al-Jam 'u Al-Kabir. Dan penjelasan y ang lebih lengkap
bisa dibaca dalam kitab At-Tahrir karangan Al-I lasiri.
4. Perbedaan antara Qawaid Usludiyyalt dan Qaitlah tiqih
Perbedaan pokok antara qawaid ushuliyyah dan qaidah fiqih adalah sebagai
berikut:
1. Objek qaw aid ushuliyyah adalah dalil hukum, sedangkan qaidah
fiqihadalah perbuatan mukallaf
2.Ketentuan qawaid ushuliyyahberlaku bagi seluruh juziyyah.sedangkan
qaidah fiqihberlaku pada sebagian besar (aghlah) juziyyah.
3.Qawaid ushuliyyah,sebagai saran istinbathhukum, sedangkan
qawaidJ'iqihsebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan
luikum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih.
4.Qawaid ushuliyyahbisa bersifat prediktif, sedangkan qawaid fiqih bersifat
wujud setelah ketentuan furu'.
5.Qawaid ushuliyyahbersifat kebahasaan dan qaidah fiqihbersifat ukuran.

5. Kedudukan dan Urgensi Qaidah Fiqih


Qaidah fiqihadalah salah satu cabang dari ilmu syari'at. Tak heran
kalau ulama mazhab yang empat sangat menjunjung tinggi ilmu ini. Di
bawah ini akan diterangkan beberapa alasan yang mendukung pandangan
di atas, antara lain:
a. Imam Sarkhasi berkata dalam kitab Khitamu Bu 'dul Fusuli.“Siapa saja
yang menghukumi suatu masalah cabang dengan ashldan ia benar-
benar memahaminya maka akan mudah baginya untuk mengambil
kesimpulannya."
b. Imam Al-Mardinami berkata dalam kitab Al-Mu'ukil."Barang siapa
yang menghukumi ashaldengan sebenarnya, ia akan bisa
mengeluarkan hukum sesuai dengan keinginannya, baik berdasarkan
pandangannya ataupun vanu berlaw anan."
c. Ilmuwan Ibnu Nujen berkata. "Sebenarnya qaidah fiqihitu merupakan
usliul fiqih.namun kemudian derajatnya meningkat kepada derajat
ijtihadmeskipun dalam berfatwa." (Al-Asbah wa An-Nuzhuir : 10).
d. Pendapat Imam Al-Qaratl dalam permasalahan ini sangat bagus,
sebagaimana teks di bawah ini. "Qaidah ini sangat penting dalam
tiqih dan besar sekali manfaatnya. Mereka yang betul -betul
menelaahnya akan menjadi seorang fuqihdan mendapatkan
kemuliaan, serta akan mendapatkan rahasia-rahasia fiqih. Ilmu ini
juga akan memudahkan dalam memberikan fatwa. Dan barang siapa
yang memutuskan suatu cabang permasalahan hanya bersandarkan
pada juziyyahsaja dan tidak memperhatikan kulliayah, dipastikan

209
cabang tersebutkan bertentangan dengan cabang-cabang yang lain,
sehingga menimbulkan kebingungan dan menyempitkan dirinya. Dan
barang siapa yang berhujjah dengan hanya menghapal juziyyah saja,
hujjahnya itu tidak akan ada batasnya, serta akan menghabiskan
umurnya tanpa bisa mencapai cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang
memperdalam fiqih melalui qaidah-qaidah fiqih tidak harus
menghapalkan berbagai macam juz fiqih. karena telah tercakup
dalam kulliyah. Selain itu. ia pun dapat menyatakan berbagai macam
perpecahan dan pertentangan. Dengan demikian, ia bisa menjawab
berbagai macam permasalahan yang rumit dalam waktu singkat, dan
lapanglah dadanya karena dapat menemukan pemecahan berbagai
permasalahan yang diinginkannya." (Al-Faruq, I : 3). Qaidah
fiqihiyyah merupakan petunjuk arah bagi penggali hukum.
Sebenarnya masih banyak pendapat para ulama lainnya, namun
pendapat mereka dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Dengan menggunakan hukum ashal serta berbagai cabangnya,
seseorang betul-betul dapat mendalami fiqih dan menjadikannya
mampu untuk menganalisis berbagai masalah.
b. Dengan mempelajarinya, hal itu akan membantu penghapalan dan
penetapan berbagai masalah yang berdekatan, dan mampu mencapai
ketetapan hukum tanpa merasa lelah dan memerlukan waktu yang
panjang. Hal itu, sesuai dengan fungsi qaidahyaitu untuk
menghadirkan berbagai macam hukum.
c. Kebutuhan para penggali hukum fiqih untuk menghapal qaidah,
dewasa ini semakin mendesak. Hal itu antara lain, karena semakin
kompleksny a berbagai masalah dalam kehidupan.
d. Kurangnya perhatian terhadap qaidah fiqih, menurut Muhammad
Ath-Thahir ‘ Asyura, termasuk di antara penyebab terbelakangnya
fiqih. sebagaimana pendapatnya. 'Tidak adanya perhatian terhadap
ashal. atau kurangnya upaya untuk mengumpulkan berbagai
pandangan dan qaidah untuk menetapkan suatu cabang, kemudian
menyatukan keduanya, menyebabkan berhentinya usaha
mengeluarkan berbagai cabang lainnya, bahkan cabang tersebut
seakan-akan telah menjadi qaidah".
6. Sejarah Ilmu QoidahFiqh
Suatu hai yang agak ganjil, dalam tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih
Islam, bahwa sejarah dan fungsi qaidah fiqih tidak mendapatkan perhatian
yang memadai, sekalipun qaidah fiqih memiliki fungsi yang penting bagi
pembinaan hukum Islam.
Sejarah perkembangan qaidah fiqih dapat dibagi menjadi tiga fase,
yaitu: Fase kemunculan dan berdirinya; fase perkembangan dan
pembukuannya; dan fase kemajuan dan sistematikanya.
6.1 Fase pertama
Adalah fase kemunculan dan berdirinya qaidah fiqih, dimulai dari
zaman Rasulullah hingga akhir abad III H./IX M.
Jika qaidah fiqih didefinisikan sebagai suatu ketentuan hukum yang
dapat mencakup berbagai masalah furu’, maka banyak hadis yang dapat
dikategorikan sebagai qaidah fiqih. Sesuai dengan pembatasan itu, bahkan
terdapat hadis yang dapat diberlakukan sebagai qaidah-qaidah fiqih tanpa
ada perubahan, seperti hadis:

Artinya:
“Orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggung jawab atas risikonya. ”
Oleh karena itu, masa kelahiran qaidah-kadiah fiqih dapat dikatakan telah
dimulai sejak zaman Rasulullah SAW. Hadis-hadis lain yang dapat
dijadikan sebagai qaidah-qaidah, di antaranya:

Artinya:
''Tidak mudarat dan tidak memadaratkan.

Artinya:
"Bukti dinyatakan dari penggugat dan sumpah bagi yang inkar (tergugat),” Ketika
Ibnu Taimiyah mengomentari sebuah hadis:

Artinya:
“Sesuatu yang banyaknya dapat memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram. ”
Ia menegaskan bahwa dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW. membuat
dhabitfiqih tentang keharaman setiap yang memabukkan, yakni setiap
yang mematikan akal dan memabukkan tanpa membedakan macamnya,
baik berupa makanan, ataupun minuman tetap diharamkan. (Lihat

211
Majmu Fatawa XXVIII : 342).
Seperti halnya hadis, terdapat beberapa atsarsahabat yang dapat
dikategorikan sebagai qaidah fiqih. Salah satunya perkataan Umar bi n
Khaththab r.a.

Artinya:
“Putusnya hak bergantung pada syarat yang diperbuat. ”
(Sahih Bukhari.svarah Al-Kirmani, XIX : 111); dan perkataan:

Artinya:
“Orang yang menanggung suatu harta benda maka ia memperoleh keuntungannya. ”
(Akhbar al-Oudhat. 11:319).
Qaidah ini semakna dengan qaidah berikut:

Artinya:
"Orangyang menikmati hasil sesuatu bertanggungjawab atas risikonya. ” j-jal
yang sama terlihat dari salah satu pernyataan Ibnu Abbas:

Artinya:
“Segala sesuatu dalam Al-Quran yang menggunakan kata au (atau) berarti
menunjukkan untuk memilih. Dan segala sesuatu yang menggunakan apabila kamu
tidak menemukan berarti hukumnya harus berurutan. "
Di kalangan tabi'in, salah satu pernyataan Qadhi Syuraih:
Artinya:
“Sesuatu yang disyaratkan atas dirinya secara taat, tanpa
terpaksa, maka sesuatu itu mengikat atas dirinya. ”
Demikian pula pernyataan Al-I .ays Ibnu Sa’ad:

Artinya
'Barang siapa yang melakukan pengakuan sesuatu untuk Kami, maka Kami
mengikatnya. ”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa qaidah fiqih yang telah lahir di masa
Rasulullah tumbuh pada masa sahabat dan tabi’in, sekalipun, dalam bentuk yang
sederhana dan terbatas.
Dalam perkembangan selanjutnya, qaidah fiqih semakin bertambah dan
berkembang. Akan tetapi, qaidah-qaidah fiqih tersebut berserakan dalam berbagai
kitab fiqih. Dalam kitab Al-Kharaj, karya Abu Yusuf (w 182 H./798 M.), dijumpai
berbagai qaidah fiqih. Di antaranya adalah qaidah yang menyatakan:

Artinya:
"Hukuman ta’zir diserahkan pada pemimpin (pengurus), bergantung pada besar kecilnya
pelanggaran. ”
(Al-Kharaj : 180) Qaidah ini dikeluarkan sehubungam dengan adanya silang pendapat
di kalangan ulama mengenai batas maksimal hukuman
ta ’zir.
Dalam kitab Al-Umm, terdapat pernyataan Asy-Syafi’i yang dapat dikategorikan
sebagai qaidah fiqih, seperti:

213
Artinya:
“Kedudukan pemimpin atas rakyat sama dengan kedudukan wali atas anak yatim. ”
Pernyataan tersebut sejajar dengan qaidah fiqih:

Artinya
“Tindakanpemimpin terhadap rakyat bergantung pada kemaslahatan.”
(Al-Asybah wa An-Nadzairdan Majallah Al-Ahkam AI-Adlivah), QV dan pasal
58)
Dalam kitab yang ditulis oleh Abu Yusuf di atas, yaitu Al -Kharaj
(183) dijumpai ungkapan:

Ungkapan tersebut sepadan dengan pernyataan As-Shadr Asy-Svahid. dalam


Syarh Adab AI-Oadlhi ( I I : 292)

Artinya:
Pengakuan itu sebagai hujjah yang efektif untuk diri yang melakukan Pengakuan.

Dalam Majallah Al-Ahkam Ail-Adliyah,pada pasal 79. kedua ungkapan di atas
terangkum dalam qaidah fiqih yang berbunyi:
Artinya:
"Seseorang itu terbebani oleh pengakuannya. ”
Hal itu menunjukkan proses perkembangan suatu qaidah fiqjh Qaidah
fiqih dalam rumusan perundang-undangan sangat singkat dan menyentuh jiwa
hukum yang hidup di masa kini.
Dalam kitab Al-Umm,terdapat ketentuan furu’yang disertai ushul- nya. Pada
umumnya, ushul-nyaitu merupakan dhawabith ficjhiyyah bukan qaidah fiqih.
Selain itu, dijumpai pula qaidah fiqihnya, seperti:

Artinya:
“Keringanan itu tidak bisa melewati batas. "(Al-Umm, l : 80)
Dalam Majallah Al-Ahkam Al-Ad/iyyah,pasal 15, qaidah tersebut dirumuskan:

Artinya:
"Sesuatu yang berbeda dengan ketentuan umum muka tidak bisa dijadikan sandaran
qiyas. ”
Contoh lainnya:

Artinya:
''Keringanan (rukhshah) menurut kami beradu padu
ketaatun. Sedang-

215
kan dalam kemaksiatan tidak ada keringanan
(rukhshah). ” Dirumuskan:
Qaidah fiqih dan dhabith fiqih
terdapat dalam berbagai kitab fiqih abad 2 dan 3
Hijriyyah, terutama kitab dalam berbagai raj,
Al-ashl, dan Al-Umm. Kitab-kitab tersebut merupakan bahan pokok atau sumber
perumusan qaidah-qaidah pada masa-masa berikutnya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa hingga abad 3 H, qaidah fiqih belum merupakan disiplin Ilmu
tersendiri.
6.2 Fase Kedua, Masa Perkembangan dan Pembukuan Qaidah
Fiqih
Fase kedua dimulai pada Abad 4 H./10 M. sampai lahirnya kompilasi hukum
Islam pada masa Turki Ustmani atau abad 13 H./19 H. Dalam tarikh tasri', masa ini
termasuk masataqlid. Pada masa ini, kitab- kitab fiqih sangat banyak. Masing-masing
madzhab fiqih memiliki kitab pegangan tertentu. Ketika itu, para ulama tampaknya
puas dengan kitab fiqih yang ada dan melimpah-ruah. Masa ini merupakan masa
kejayaan fiqih.
Dalam banyak hal, keadaan seperti itu menyebabkan para ulama tidak melakukan
ijtihad mutlak. Mereka merasa lebih tertarik untuk membuat qaidah-kadiah ushul; atau
menulis ushul fiqh, termasuk merumuskan qaidah fiqih.
Dengan demikian, sekalipun ijtihad tidak berlangsung dengan gencar, pada masa
ini terjadi peningkatan dalam penulisan ushul fiqih dan qaidah fiqih. Oleh karena itu,
masa-masa ini dapat dikatakan sebagai masa keemasan penulisan ushul fiqh dan qaidah
fiqih. Pada masa ini, fuqaha mulai menyusun fiqih dalam bentuk baru; kini, tulisan
mereka terangkum dalam tema-tema semisal Al-Qawaid wa Ad-Dawabith, Al- Furuq,
Al-Asbah wa An-Nazhair, dan sebagainya. Cara penulisan pada periode ini berbeda
dengan periode sebelumnya, karena penulisan pada periode ini dimulai dengan
pernyataan umum (qaidah-qaidah) kemudian diikuti dengan penulisan furu’,
sebagaimana terlihat dari kitab yangditulis oleh Jalai al Din al-Suyuthi, Al-Asbah wa
An-Nazha’ir.
Masa keemasan dari pembukuan qaidah-qaidah fiqih terjadi pada abad 8
H. Pada abad ini, banyak lahir kitab qaidah. terutama di kalangan ulama
Syafi’iyah. Qaidah-qaidah fiqih tersebut, kemudian, disempurnakan secara
sistematis pada abad 9 H. Hal ini terlihat jelas dari kitab Al-Asybcth wa An-
Nazhair karya Ibnu Mulaqqin (723-804 H./1323-1402 M.), atau kitab Al-
Qawaid karya Abu Bakr Al-Hishai (752-829 H./ 1351-1425 M.). Akhirnya,
puncak keemasan pembukuan qaidah fiqih terjadi pada abad 10 H., yang
ditandai oleh kelahiran kitab al-Ashbah wa An-Nazhair karya Jalai Ad-Din Asy-
Suyuthi; kitab qaidah fiqih yang terbaik, yang sedang kita bahas.
Pada fase kedua ini. penulisan qaidah fiqih dimulai oleh Al-Karakhi dan
Ad-Dabusi dari kalangan ulama Hanafiyah. Pada fase ini, umumnya ulama
menulis qaidah fiqih dengan cara mengutip dan menghimpun qaidah-kadiah
yang terdapat pada kitab-kitab fiqih masing-masing madzhab. Selain itu,
mereka pun melakukannya dengan jalan mencantumkan qaidah-qaidah fiqih
dalam kitab fiqih, yaitu ketika mereka mencari illatdan men-tarjih suatu
pendapat. Sebagai contoh, ketika Al- Juwaini (w. 478 H./1085 M.)
menjelaskan bahwa pelaksanaan shalat bergantung pada kemampuan
seseorang, ia mencantumkan qaidah:

Artinya:
“Sesuatu yang bisa dilakukan tak bisa gugur karena ada yang tidak dapat dilakukan.

Pada perkembangan selanjutnya, qaidah tersebut berbunyi:

Artinya:
“Sesuatu yang mudah dilakukan tidak gugur dengan adanya yang sulit dilakukan. "
Contoh lain terlihat pada kitab Badai Al-Shana’i, karya Al-Kasani Al
Hanafi (w.587 H./l 191 M.), yang mencoba menghubungkan furu’dengan
ushul-nya. Demikian pula An-Nawawi (w. 676 H./l277 M.), dalam kitab
/ll-Majmu ' (1:222. 246, 252. 253. dan 257). melakukan hal yang sama; ia
sering menghubungkan ketetapan hukum berbagai masalah dengan qaidah
fiqih:

217
Artinya:
“Suatu keyakinan tidak hilang dengan adanya keraguan. "
Dalam pada itu, Ibnu Taimiyyah (XXI: 475 dan 503), melakukan hal yang
sama dengan menggunakan qaidah:

Artinya:
“Hukumyang ditetapkan berdasarkan illat bisa hilang (berubah) dengan
hilangnya illat.”
Adapun Ibnu Al-Qayvim, dalam kitab I’lam Al-Muwaqi’in(11:161).
melakukannya dengan menggunakan qaidah:

Artinya:
'Sesuatu yang diharamkan karena saddAdz-dzari 'ah dapat
dibolehkan karena adanya maslahat yang lebih kuat. "

Qaidah-qaidah fiqih yang dikemukakan oleh para ulama di atas,


menunjukkan bahwa qaidah-qaidah fiqih. baik yang tercantum di dalam
kitab fiqih maupun yang telah dibukukan dalam kitab qaidah, sangat
berperan dalam pembinaan hukum Islam.
Fase Ketiga, Fase Kemajuan dan Sistematisasi Qaidah Fiqih Fase ini
dimulai dengan kelahiran Majallah Al-Ahkam AI-Adliyyah
(Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Usmani). Kompilasi ini pada dasarnya
merupakan hasil usaha para ulama Turki di zaman Sultan ‘Abd Al-Aziz Klian
Al-Utsmani, yang ditetapkan pada tanggal 26 Sya’ban 1292 H./28 September
1875 M. Ia merupakan ensiklopedi fiqih Islam dalam bidang mu’amalah dan
hukum acara peradilan yang terdiri atas 1851 pasal. Kitab tersebut disusun
dengan bahasa perundang-undangan. Dalam majalah tersebut, tidak semua
pasal berupa qaidah fiqih, tetapi terdapat pula qaidah ushul. Di antara qaidah
fiqih adalah:
1. pasal 12:
Artinya:
"Ashal dalam suatu perkataan adalah makna hakikat. ”
2. pasal 13:

Artinya:
"Petunjuk lafazh tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna
eksplisit. ”
3. pasal 14:

Artinya:
“Tidak dibenarkan berijtihad ketika ada nash (qath 'i). ”
7. Kitab-Kitab Standar Qaidah Fiqih pada Mazhab Fiqih
7.1 MadzabHanafi
1. Ushulu al-Jami ’ al-Kabir,karangan Malik al-Mu’adzam 'Isa Al-
Ayubi (623 H.)
2. Al-Asybah wa-An-Nadzair. karangan Ibnu Nujaim (970 H.)
3. Al-Faraid Al-Bahiyah fi Al-Oawaid wa Al-Fawaid AI-Fiqhiyah, karangan
Hamzah Al-Husaini (1305 H.)
4. Svarh Qawaid AI-Fiqhiyah, yakni syarh dari qawaid "Al- Majallah” karangan
Ahmad Az-Zarqa (1357 H.)
5. Qawaidu al-Fiqhiyah.karangan ‘Amim Al-lhsan Al-Banjaladisi Al-
Mujaddidi.
7.2 Madzhab Maliki
1. Al-Furuq,karangan Abu Abbas Al-Qarafi. (758)
2. Al-Qawaid.karangan Abdullah Al-Muqaara (758 H.)
3. AI-Kulliahfi Al-Fiqh.karangan Ibnu Gazi (901 H. )
4. Idahu Al-Masalik ila Qawaidi Al-Imam Malik,karangan Al- Insyarisi (914 H.)
5. Al-Is afbi Alh-Thalib Mukhtashar Syarh A l-Minliaj Al-MwUakhab 'ala Qawaidi
al-Madzhab.karangan Al-Qasim At-TaWani.
7.3 Madzhab Asy-Syafi ’i
1. Al-Majmu’ Al-Mudzahhab ji Qawai di Al-Madzhab.karangan Al-'Alai (761 H.)
2. Al-Asybah wa An-Nadzar.karangan Tajuddin As-Subki (771 H.)
3. Al-Mantsur fi Al-Oawaid,karangan Imam Zarkasyi (794 H.)

219
4. Al-Oawaid.karangan Taqiyuddin Al-Hissani (829 H.)
5. Al-Asybah wa- An-Nadzair,karangan Imam As-Suyuti (911 H.)
7.4 Madzhab Hambati
1. Al-Qawaid An-Nuraniah Al-Fiqhivah.karangan Ibnu Taimiyah
(728 H)
2. Al-Qawaid Al-Fiqhiyah.karangan Ibnu Qadi Al-Jabali (771)
3. Al-Oawaid,karangan Ibnu Rajab(795 H.)
4. Al-Qawaid A 1-KuUiah wa Adh-Dhawabil Al-Fiqhiyyah.karangan Ibnu Abdul
Uadi (909 II.)
Al-Oawaid wa Al-Ushul Al-Jami'ah.karangan Abdurrahman As- Sa'di (1378
H.)
Itulah beberapa kitab dalam ilmu terkenal yang membahas qaidah- qaidah
dan definisi-definisi dalam berbagai tinjauan dan rujukan, serta Penggunaan
istilah yang berbeda-beda.
Pembahasan tentang kitab-kitab tersebut sebenarnya masih sangat sedikit,
karena masih banyak kitab karangan para ulama yang sampai sekarang belum
ada yang mampu menandinginya, di antaranya: HawasyiAl-Qawaid Al-Fiqhiyah,
karangan Muhibbudin Ahmad bin Nashrullah Al-Hambali (844 H.) yang telah
disalin oleh Yunus bin Mansur Al-Buhuti dalam kitabnya Kasysyafual-Qcma’i
‘an MatnuAl- 'Ina\ Al-Qawaidfi Al-Furu’ Asy-Syafi 'iyah. karangan Muhammad bin
Ibrahim Al-Jajarmi As-Sahlaki (613). yang merupakan kitab pedoman orang-
orang dahulu, dan Asna A!-Maqashidfi Tahriri Al-Qawaid, karangan Muhammad
bin Muhammad AI-'Aijari Asy-Syafi'i (808 H.)
Itulah bahasan pengarang tentang kitab-kitab yang membahas ilmu, dan
masih banyak lagi yang lainnya kalau diteliti lebih lanjut.
fi. Jumlalt Qaidah Fiqih
T idaklah mudah untuk menentukan jumlah qaidah fiqih yang ada dalam
madzhab-madzhab fiqih. Namun, ada cara yang paling mudah, yaitu dengan
meneliti qaidah-qaidah fiqih yang ada dalam kitab-kitab tertentu, seperti dalam
kitab Al-Qawaid karangan Al-MuqarriAl-Maliki dan kitab Al-Istigna fi Al- Farqi \va
Al-Istitsna. karangan Badruddin Al-Bakri Asy-Syafi’i.
Di bawah ini merupakan jumlah qaidah fiqih yang terdapat dalam
beberapa ktab:
1. Dalam kitab Risalah, Imam A-Kurkhi dicantumkan 36 qaidah.
2. Imam Abu Jaid Ad-Dabusyi, dalam kitab Ta’sisu An-Nadzar mencantumkan
86 qaidah.
3. Syaikh Amim Al-lhsan dalam Kitab OawaiduAl-Fiqh menuliskan 426
qaidah.
4. Imam Al-Muqarri dalam pembukaan kitab Al-Oawaid berkata. "Saya
bermaksud mengumpulkan 1.200 qaidah".
5. Asy-Syarisyi dalam kitabnya Idalnil Malik, mendapatkan 118 qaidah
6. Imam Ibnu Rajab dalam kitabnya Al-Qawaid menyandarkan pada 160
qaidah.
Begitulah kira-kira yang dapat diketahui tentang jumlah qaidah dalam
setiap kitab. Memang tidak diragukan lagi bahwa semakin banyak sebuah kitab
memuat qaidah fiqih, semakin menambah pentingnya kitab tersebut, meskipun
tidak mempengaruhi metodenya.
Akan tetapi, sebaiknya kita harus memperhatikan hal-hal penting di bawah ini:
“Dalam menghitung jumlah qaidah sebaiknya memperhatikan maksud dari
pengarang itu sendiri, karena apabila seorang ulama yang menyatakan bahwa ia
menulis sekian qaidah fiqih, belum tentu menurut lainnya, semua qaidah termasuk
qaidah-qaidah fiqih”.
Oleh karena itu. dalam membahas jumlah qaidah ini diperlukan kehati-hatian,
karena definisi itu tidak bisa dijadikan batasan. Maka sangat mungkin batasan tiap-tiap
judul dan definisinya akan dimasukkan kepada qaidah fiqih, kalau terlalu panjang
membicarakan tentang istilah-itilah qaidah fiqih.
Sesungguhnya qaidah-qaidah yang dimuat dalam kitab-kitab khusus qaidah fiqh,
tidak bisa dimuat semuanya dalam kitab-kitab fiqih. Karena mereka hanya menulis
qaidah-qaidah yang mereka butuhkan saja. Di bawah ini dijelaskan beberapa kitab fiqih
yang memuat qaidah-qaidah fiqih:
1. Kitab Al-Mabsuth, karangan Imam Syarkhasi terdapat 1000 qaidah beserta yang
diulang.
2. Kitab Syarh As-Sair AI-Kabir, karangan Imam Syarkhasi memuat 200 qaidah.
3. Imam Al-Marginani dalam kitab Al-Hidayah memuat 400 qaidah.
4. Imam Al-Husairi dalam dua syarh-nya, AI-Wujir dan At-Tahrir, memuat lebih dari
400 qaidah. Dalam pembahasannya, qaidah tersebut ditempatkan di tengah atau
dipakai sebagai alasan terhadap bahasannya.
5. Imam Al-Mansur Al-Bahuti, dalam kitabnya Kasysyafu At-Qana' memuat kira-kira
300 qaidah.
Itulah qaidah-qaidah fiqih yang tersebar dalam berbagai macam kitab yang ditulis
di tengah-tengah pembahasan mereka.

SOAL LATIHAN
1 . Sebutkan pengertian qaidah fiqihyang dikemukakan oleh para ulama, minimal
tiga!
2 . Adakah perbedaan antara qaidah fiqihdengan dhabith? Jelaskan!
3. Bisakah qaidah fiqihdisebut Ushul? Mengapa?
4. Bagaimanakah kedudukan dan urgensi qaidah fiqihbagi umat Islam?
5. Jelaskan pendapat Imam Syarkhasi tentang qaidah fiqih!
6. Bagaimana perkembangan qaidah fiqih ? Jelaskan fase-fasenya!
7. Jelaskan kitab-kitab yang berkembang pada fase II perkembangan qaidah
fiqih!

221
8. Siapakah ulama yang dianggap sangat berjasa dalam pengembangan
qaidah fiqih,sebutkan beserta karyanya!
9. Sebutkan kitab-kitab yang digunakan pada tiap madzhab fiqih, masing-
masing dua kitab!
10. Bagaimana peranan Qaidah Fiqihiyyahdalam pengembangan hukum Islam?
Jelaskan!

2. AL-QAWAID AL-ASSASIYYAH DAN QAIDAH-QAIDAH YANG


BERKAITAN DENGANNYA
1. Pendahuluan
Maksud dari Al-qawaid Al-asasiyyah adalah qaidah-qaidahyang dipegang
oleh para imam mazhab. Qaidahtersebut terdiri atas dua bagian; qaidah-qaidah
assasiyahdan qaidah-qaidah ghair assasiyah.Di dalam sejumlah kitab Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah dari berbagai kalangan madzhab disebutkan bahwa kaidah-
kaidah fiqhiyyah assasiyyahitu ada lima. Kelima qaidah ini disebut qaidah
fiqhiyyahyang pokok. Semua ulama merujukan semua masalah fiqih pada
kelima kaidah pokok tersebut.
Di dalam kitab Al- Faraid A 1-Bahiyyah Nazham Al-qawaid Al-
fiqhiyyah,karya Sayyid Abu Bakar Al-AhdaL dari kalangan Ulama Syafi’iyyah
disebutkan:
223
Artinya:
“Fikih itu didasarkan pada lima asas, yaitu nilai segala sesuatu bergantung pada niat.
Selanjutnya keyakinan tidak bisa hilang dengan keraguan. Dengarlah apa yang
dikatakan itu. Kesulitan bisa menarik kemudahan, ini merupakan qaidah yang ketiga.
Maka jadikanlah dengan waspada dan hati-hati. Keempat, adalah apa yang disebut
kemadaratan harus dihilangkan. Kemadaratan tersebut harus tidak mengandung
tipuan. Qaidah yang kelima, katakanlah adat itu dapat dijadikan patokan hukum.
Kelima qaidah tersebut, semuanya sangat jelas dan meyakinkan. Bahkan, sebagian
ulama mengembalikan fiqih kepada satu qaidah yang lengkap, yaitu menarik maslahat
dan menolak mafsadat yang jelek sebagai tolok ukur. "
Nazham tersebut menunjukkan bahwa qaidah asasiyyahitu hanya ada lima, bahkan bisa
dikatakan hanya satu qaidah, yaitu:

Artinya:
“Menarik maslahat dan menolak mafsadat. ”
Sebagaimana yang dipegang oleh Izzuddin Ibnu Abd As-Salam.
Zainuddin Al-Abid Ad-Din Ibnu Ibrahim, yang dikenal nama Ibni Nujaim (w.970
H/l 562 M.) dari kalangan madzhabHanafiyyah menyusun 19 qaidahdalam kitab Al-
Asbah wa An-Nazhair.Ia menyebu enam qaidahfiqhiyyah assasiyyah.Lima qaidahsama
dengan qaidaf yang disebut Sayyid Abu Bakar Al-Ahdal, dan satu qaidahlainny£
berbunyi:

Artinya:
''Tiadapahala, kecuali dengan niat. "
Sebenarnya, qaidahini merupakan bagian atau dapat dimasukkan kepada
qaidah.

Artinya:
“Setiap pekerjaan itu bergantung pada maksudnya. ”
Dengan demikian qaidah assasiyyah tetap hanya lima qaidah, sebagaimana
yang ditegaskan oleh Abdurrahman Ibnu Abu Bakar As-Sayuti (w. 911 H/l 503 M)
dari kalangan ulama Syafi’iyyah dalam kitabnya Al- Asbah wa An-Nazhair, yaitu:

Artinya:
“Setiap pekerjaan itu bergantung pada maksudnya. ”

Artinya:
“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan. ”

Artinya:
‘Suatu kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. ”

Artinya:
Kemadaratan itu dihilangkan. "

Artinya:
"Suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. "
Dari qaidah-qaidahyang lima tersebut, para ulama menyusun qaidah-
qaidahlainnya yang disebut furu'(cabang).

2. Pengertian, Sumber, Cabang, dan Aflikasi Kaidah-kaidah Assasiyyah.

QaidahPertama:

225
1. Pengertian
Maksud dari qaidahini adalah setiap perkara bergantung pada tujuannya.
Dengan kata lain, bahwa setiap mukallaf dan berbagai bentuknya serta
hubungannya, baik dalam ucapannya, perbuatan, dan lain sebagainya
bergantung pada niatnya. Dengan kata lain, niat dan motif yang terkandung
dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan suatu perbuatan menjadi
kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang ia dilakukan.

2. Sumber Pengambilan
Sumber pengambilan qaidahini, antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:

Artinya:
“Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus. ”
(QS. Al-Bayyinah : 5)
2. Firman Allah SWT. dalam surat Ali Imran ayat1 4 5 ;

Artinya:
"Barang siapa menghendaki pahala dunia Kami berikan pahala itu dan
barang siapa menghendaki pahala akhirat Kami berikan kepadanya pahala
itu. Dan Kami akan memberikan balasan kepada orang-orang yang
bersyukur. ”
(QS. Ali-Imran : 145)
3. Hadis yang diriwayatkan Bukhari:

Artinya:
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya
bagi seseorang hanyalah apa yang ia niati. ”
(HR. Bukhari)
4. Hadis yang diriwayatkan Anas Ibnu Malik:

Artinya:
"Tidak ada (pahala) bagi perbuatan yang tidak disertai niat. ”
(HR. Anas bin Malik)
5. Hadis y an u diriwayatkan Ibnu Majali dan Abu Hurairah:

Artinya:
"Sesungguhnya manusia itu dibangkitkan menurut niatnya. "
(HR. Ibnu Majah dan Abu Hurairah)
6. Hadis riwayat At-Thabrani dari ShaPan Ibnu Said:

Artinya:

227
"Niat seseorang itu lebih baik daripada perbuatannya. '
(HR. Thabrani)

C. Cabang-cabangnya
Beberapa qaidahcabang yang bersumber dari qaidahitu, antara
lain:
1. Qaidah
'T

Artinya"
"Suatu amal yang tidak disyaratkan untuk dijelaskan, baik secara glabal atau
terperinci, bila dipastikan dan ternyata salah, maka kesalahannya tidak
membahayakan (tidak membatalkan). ”
2. Qaidah

Artinya:
"Suatu amal yang disyaratkan penjelasannya, maka kesalahannya
membatalkan perbuatan tersebut. ”
3. Qaidah

■ Artinya:
"Suatu amal yang harus dijelaskan secara global dan tidak disyaratkan secara
terperinci, karena apabila disebutkan secara terperinci dan ternyata salah
maka kesalahannya membahayakan. "
4. Qaidah

229
Artinya:
"Niat dalam sumpah mengkhususkan lafazh umum, dan tidakpulamenjadikan
umum pada lafazh yang khusus. "
5. Qoidah

Artinya:
"Maksud dari suatu lafazh adalah menurut niat orang yang mengucapkannya,
kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan hakim. Dalam
keadaan demikian maksud lafazh menurut niat hakim. ”
6. Qaidah

Artinya:
"Yang dimaksud dalam akad adalah maksud atau makna bukan lafazh atau
bentuk-bentuk perkataan. "
Selain itu, ada pula qaidah-qaidahyang dikeluarkan oleh mazhab- mazhab
fiqih:
a. Qoidah dari Hanafiyah

Artinya:
"Pengkhususannya yang umum dengan disertai niat
dapat dite-

231
rima secara hukum berdasarkan agama dan bukan berdasarkan peradilan. "
b. Qaidah
dimSyafi’iyah:

Artinya:
“Niat dalam
bersumpah
mengkhususkan
lafazh yang bersifat umum dan tidak mengumumkan lafazh yang bersifat khusus.
"
c. Qoidah dari Malikiyah dan Hanabilah:

Artinya:
“Sesungguhnya niat dapat mengumumkan yang khusus dan mengkhususkan yang
umum. "

D. Contoh Aplikasi
Di antara contoh aplikasi yang sesuai dengan qaidah-qaidahdi atas adalah:
1. Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, maka bila
seorang muslim berniat melaksanakan shalat Maghrib 4 rakaat, tetapi ia
tetap dalam melaksanakan tiga rakaat, maka shalatnya tetap saja sah.
2. Seseorang yang akan melaksanakan shalat Zhuhur, tapi niatnya menunaikan
shalat Ashar, maka shalatnya tidak sah.
3.Seseorang bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang, dan maksudnya
dengan Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad saja.
A. Pengertian
Arti dari qaidahtersebut adalah keyakinan itu tidak bisa hilang dengan
keraguan. Qoidah ini, kalau diteliti secara seksama erat kaitannya dengan
masalah aqidah dan persoalan-persoalan dalil hukum dalam syari'at Islam.
Namun demikian, suatu yang diyakini keberadaannya tidak bisa hilang,
kecuali berdasarkan dalil argumen yang pasti (qath’i),bukan semata-mata oleh
argumen yang hanya bernilai saksi/tidak qath ’i
B. Sumber qaidah
Qoidah ini dibangun berdasarkan tiga sumber, yaitu Al-Quran, As-Sunah
dan akal, antara lain sebagai berikut:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Yunus, ayat 36:

Artinya:
“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja.
Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai
kebenaran. ”
(QS. Yunus : 36)
2. Hadis riwayat Muslim:

233
Artinya:
"Apabila seseorang di antara kamu mendapatkan sesuatu di dalam perutnya
kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka
janganlah keluar masjid sehingga mendapatkan baunya. ”
(HR. Muslim)
3. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim:

Artinya:
'Nabi mendapat pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh sesuatu
dalam shalatnya. Nabi bersabda, "Janganlah ia pergi sehingga benar-benar
mendengar suara atau mendapatkan baunya. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hadis
riwayat
Turmudzi:

Artinya: Artinya:
"Apabila seseorang ragu-ragu di dalam shalatnya, tidak "Apabila
tahu sudah berapa rakaatkah shalatnya, tiga ataukah seseorang, ragu-
empat, maka buanglah keraguan tersebut danragu di dalam
berpeganglah kepada yang meyakinkan. ” shalatnya, tidak
(HR.Tirmidzi) tahu sudah
5. Menurut logika berapa rakaatkah
“Keyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab shalatnya, tiga
di dalam keyakinan terdapat keputusan (hukum) yangataukah empat,
pasti yang tidak hilang oleh keraguan. ” maka buanglah
keraguan tersebut
C. Qaidah-Qaidah Cabang
dan berpeganglah
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukkan kepada yang
qaidahcabang dari qaidahini, ada yang berpendapat tujuh meyakinkan. ”
qaidahcabang, ada pula yang berpendapat lebih dari tujuh.
Dalam buku ini akan ditulis qaidah cabang menurut As- (HR. Tirmidzi)
Suyuthi, yaitu:
5. Menurut
1 . Qaidah:
logika
“Keyakinan adalah lebih kuat daripada keraguan, sebab di dalam keyakinan terdapat
keputusan (hukum) yang pasti yang tidak hilang oleh keraguan. ”

C. Qaidah-Qaidah Cabang
Para ulama berbeda pendapat dalam mengemukkan qaidahcabang dari
qaidahini, ada yang berpendapat tujuh qaidahcabang, ada pula yang berpendapat
lebih dari tujuh. Dalam buku ini akan ditulis qaidah cabang menurut As-
Suyuthi, yaitu:
1. Qoidah:
Artinya:
' Asal itu tetap sebagaimana
semula, bagaimanapun keberadaannya.
2. Qaidah.

235
Artinya:
"Asal itu bebas dari tanggungan. ”
3. Qoidah.

Artinya:
“Asal itu tidak ada. ”
4. Qoidah.

Artinya:
"Asal dalam setiap kejadian, dilihat dari waktunya yang terdekat. "
5. Qoidah.

Artinya:
"Asal dari sesuatu itu adalah kebolehan. ”
6. Qaidah:

Artinya:
"Asal dari dalam kemubahan adalah keharaman. "
7. Qaidah.

artinya:
"Asal dari ucapan adalah hakikat ucapan tersebut. ”

D. Contoh aplikasinya
Di antara contoh aplikasi dari qaidahini, antara lain:
1. Apabila seorang sedang melakukan shalat Ashar.kemudian dia
ragu apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat maka ambillah yang
lebih yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam disunahkan
sujudsahwidua kali.
2. Seorang musafir yang membaca takhiratul Ihram (bermakmum)
di bekakang orang yang tidak diketahui apakah dia seorang musafir atau
bukan, maka qasharnya tidak memenuhi syarat.
3. Seorang yang dalam perjalanan, kemudian ragu apakah sudah
sampai di negerinya atau belum, maka tidak boleh mengambil rukhshah.

A. Pengertian
Arti dari qaidahini adalah suatu kesusahan mengharuskan adanya
kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung kesusahan dalam
pelaksanaannya atau memadaratkan dalam pelaksanaannya, baik kepada badan,
jiwa, ataupun harta seorang mukallaf, diringankan sehingga tidak
memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam Islam dikenal dengan istilah
rukhsah.
Hal itu antara lain karena kemampuan seorang mukallaf itu terbatas.
Kesulitan yang dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf,
menurut Asy-Asyatibhi antara lain sebagai berikut:
1. Karena khawatir akan terputusnya ibadah dan khawatir akan adanya
kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya, maupun kedudukannya.
2. Ada rasa takut akan terkuranginya kegiatan-kegiatan sosial yang

237
T

berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Karena hubungan


tersebut dalam Islam bisa dikategorikan sebagai ibadah juga.

g. Sumber Qaidah
Sumber pengambilan qaidahini, antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al -Baqarah ayat 185:

Artinya:
"Allah SWT, menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. ”
(QS. Al-Baqarah : 185)
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al -Hajj ayat 78:

Artinya:
"Dan Dia tidak menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. ”
(QS. Al-Hajj : 78)
3. Hadis yang diterima dari Abu Hurairah:
Artinya:
"Agama itu memudahkan, agama yang disenangi oleh Allah SWT.
adalah agama yang benar dan mudah. ”
( H R . Bukhari)
4. Hadis yang diterima dari Ibnu Abbas:

Artinya:
"Aku diutus oleh Tuhan dengan membawa agama yang penuh kecenderungan
dan toleransi. ”
( H R . Ahmad dari Ibnu Abbas)

C. Cabang-Cabang
1. Qoidah

Artinya:
' 'Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya
jika suatu perkara itu luas, maka hukumnya menjadi sempit"
2. Qoidah'.

Artinya:
"Semua yang melampaui batas, maka hukumnya berbalik kepada kebalikannya.

Artinya:
"Rukhsah-rukhsah itu tidak boleh dihubungkan dengan kemaksiatan. ”
4. Qoidah:

Artinya:
Rukhsah itu tidak dapat disangkutpautkan dengan keraguan. "
D. Contoh Aplikasi
Di antara contoh aplikasi dari qaidahini adalah:
1. Bolehnya buka puasa ketika bepergian atau ketika sakit.
2. Dibolehkan tidak ada ijab qabul dalam jual barang-barang yang tidak
berharga.
3. Tidak ada kelonggaran untuk melaksanakan maksiyat apapun
alasannya, tapi diharuskan untuk menghindarinya.

Kaidah Keempat

A. Pengertian
Arti qaidahini adalah suatu kerusakan atau kemafsadatan itu
dihilangkan. Dengan kata lain qaidahini menunjukkan bahwa berbuat
kerusakan itu tidak dibolehkan dalam agama Islam. Adapun yang berkaitan
dengan ketentuan Allah, sehingga kerusakan itu menimpa seseorang.

241
kedudukannya menjadi lain, bahkan bisa dianggap sebagai bagian dari
keimanan terhadap qadha dan qadarnya Allah SWT., karena segala sesuatu
menjadi boleh bagi Allah SWT. Dan dari-Nya-lah kemanfaatan.

B. Sumber Qaidah
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat 23 1:

Artinya:
"Janganlah kamu rujuk mereka untuk memadaratkan.... ”
(QS. Al-Baqarah : 231)

2. Firman Allah SWT. dalam surat An-Nisa, 4: 12

Artinya:
" . . . sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutang
olehnya dengan tidak memberi mudharat. ”
(QS. An-Nisa : 12)

3. Fladis yang diriwayatkan Imam Malik:

Artinya:
"Tidak boleh memadaratkan dan dimadaratkan. barang
siapa
yang memadaratkan maka Allah SWT. akan memadaratkannya, dan siapa saja
yang menyusahkan, maka Allah akan menyusahkannya. ”
(HR. Imam Malik)
4. I ladis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:

Artinya:
" Barang siapa yang memadaratkan (orang lain), maka Allah akan
memadaratkannya, dan barang siapa yang menyusahkan (orang lain) maka
Allah akan menyusahkannya. ”
(HR. Bukhari dan Muslim)
5. I ladis riwayat Imam Turmudzi:

Artinya:
"Di antara kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan apa yang tidak
bermanfaat. ”
(HR. Tirmidzi)

C. Cabang-cabangQaidah
Di antara cabang qaidahini yang dikemukakan oleh para ulama, antara
lain:
1. Qoidah

Artinya:
"Kemadaratcm membolehkan yang madarat (dilarang). ”
2. Qaidah

243
Artinya:
“Apa-apa yang dibolehkan karena madarat diperkirakan sewajarnya, atau
menurut batasan ukuran kebutuhan minimal. ”
3. Qaidah:

Artinya:
"Kemadaratan tidak bisa hilang dengan kemadaratan lain. "
4. Qaidah:

Artinya:
“ Jika ada dua kemadaratan yang bertentangan, maka diambil ke madarat an
yang paling besar. "
5. Qaidah.

Artinya:
"Menolak kemafsadatan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. ”
Artinya:
“Kebutuhan itu menempati kemadaratan baik secara umum maupun khusus. ”

D. Contoh Aplikasi Qaidah


1. Dibolehkannya memakan daging babi ketika sedang kelaparan
2. Ketika memakan makanan yang dibolehkan karena madarat, tidak boleh sampai
kenyang, tapi sekadarnya saja.
3. Tidak boleh membunuh anaknya karena alasan kesulitan ekonomi, dan lain-lain.

QaidahKelima
A. Pengertian
Artinya suatu kebiasaan bisa dijadikan patokan hukum. Kebiasaan dalam istilah
hukum sering disebut sebagai urfatau adat.Meskipun banyak ulama yang membedakan
di antara keduanya. Namun, menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adatatau urfbisa
diterima jika memenuhi syarat-syarat beikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at;
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan menghilangkan kemaslahatan;
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim;
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdlah-;
5. Urftersebut sudah memasyarakat ketika akanditetapkanhukumnya;
6. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan dengan jelas (A. Jazuli dan
1 Nural Aen: 145)

B. Sumber Qaidah
Qoidahdiambil dari beberapa sumber, antara lain:
1. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Hajj ayat 78

Artinya:
"Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. ”
(QS. Al-Hajj : 78)
2. Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Al-Bajjar, dan Ibnu Mas’ud:

245
Artinya:
"Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka menurut Allah pun
digolongkan sebagai perkara yang baik, dan apa saja
yang dipandang buruk oleh orang Islam, maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang buruk. ”
(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari
Ibnu Mas’ud)

C. Cabang-cabang Qaidah
Adapun cabang-cabang qaidahyang diungkapkan oleh para ulama antara
lain:
1. Qaidah.

Artinya:
"Tidak diingkari perubahan hukum disebabkan perubahan zaman dan tempat.

2. Qaidah.

Artinya:
"Yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat.

3. Oaidalr.

Artinya:
"Yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalui nash. ”
E. Contoh Aplikasi
Di antara contoh aflikasi qaidahini, antara lain:
1. Menjual buah di pohon adalah tidak boleh menurut qiyas karena
tidakjelasjumlahnya, tapi karena sudah menjadi kebiasaan (adat) maka ulama
membolehkannya.
2. Mereka yang mengajarkan Al-Quran dibolehkan menerima gaji, hal itu antara lain
agar Al-Quran tetap eksis di kalangan umat Islam.
3. Orang-orang Minangkabau memiliki adat, adat basandi syara’ dan syara basandi
adat, sehingga menetapkan bahwa seorang penghulu diharuskan memiliki sifat-
sifat Rasulullah SAW.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan yang dimaksud dengan qaidah al-asas!
2. Apakah para ulama sepakat tentang jumlah qaidah al-asas? Jelaskan!
3. Apa yang dimaksud dengan al-umur bimaqashidiha?
4. Bolehkah seseorang berniat shalat Magrib empat raka’at? Jelaskan
5. Bolehkah membunuh anak karena takut tidak bisa menafkahi? Berikan qaidah
fiqhya!
6. Sebutkan sumber hukum dari al- ‘adat muhakkah!
7. Sebutkan lima cabang dari al-yaqinu layuza/u b i Asy-Syakki!
8. Apa yang dimaksud dengan al-Masyaqqatu tajlibu At-Taisir!
9. Sebutkan cabang dari qaidah al- 'Adatu muhakkatun!
10. Berikan contoh aplikasi dari qaidah Adh-dhararuyujalu!

247
BAB VII HUKUM SYARA’ DAN UNSUR-UNSURNYA

A. HUKUM
1. Pengertian Hukum
Mayoritas ulama ushul mendefinisikan hukum sebagai berikut:

Artinya:
''Kalam Allah yang menyangkut perbuatan orang dewasa dan berakal sehat, haik
bersifat imperatif, fakultatif atau menempatkan sesuatu sebagai sebab, syarat,
dan penghalang. "
Yang dimaksud khithab Allahdalam definisi tersebut adalah semua
bentuk dalil, baik Al-Quran, As-Sunah maupun yang lainnya, seperti
ijma'dan qiyas.Namun, para ulama ushul kontemporer, seperti Ali
Hasaballah dan Abd. Wahab Khalaf berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan dalil di sini hanya Al-Quran dan As-Sunah. Adapun ijma' dan
qiyas hanya sebagai metode menyingkapkan hukum dari Al-Quran dan
Sunah tersebut. Dengan demikian, sesuatu yang disandarkan pada kedua
dalil tersebut tidak semestinya disebut sebagai sumber hukum.
Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah
perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat
meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti gibah
(menggunjing) dan namimah(mengadu-domba).
Yang dimaksud dengan imperatif (iqtidha) adalah tuntutan untuk melakukan
sesuatu, yakni memerintah atau tuntutan untuk meninggalkannya yakni melarang, baik
tuntutan itu bersifat memaksa maupun tidak Sedangkan yang dimaksud tahyir
(fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan sesuatu atau meninggalkannya
dengan posisi yang sama.
Dan yang dimaksud wadh’i (mendudukkan sesuatu) adalah memposisikan
sesuatu sebagai penghubung hukum, baik berbentuk sebab, syarat, maupun penghalang.
Definisi hukum tersebut merupakan definisi hukum sebagai kaidah, yakni
patokan perilaku manusia.
2. Pembagian Hukum
Bertitik tolak pada definisi hukum di atas, maka hukum menurut ulama
ushulterbagi dalam dua bagian, yaitu hukum taklif]idan hukum wadh 'i,
2.1 Hukum Taklifi
2.1.1 Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifiadalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan.
1. Contoh firman Allah SWT. yang bersifat menuntut untuk
melakukan perbuatan:

Artinya:
"Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat dan taatilah Rasul, supaya kamu diberi
rahmat. ”
(QS. An-Nur : 56)
2. Contoh firman Allah yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:

Artinya:
"Janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan jalan batil. "
(QS. Al-Baqarah : 188) 3. Contoh
firman Allah SWT. yang bersifat memilih (fakultatif)-.

249
Artinya:
“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. ”
(QS. Al-Baqarah : 1 87)

2.1.2 Bentuk-Bentuk Hukum Taklifi


Terdapat dua golongan ulama dalam menjelaskan bentuk-bentuk
hukum taklifi: Pertama,bentuk-bentuk Inikum taklifmenurut Jumhur Ulama
Ushul Fiqh/Mutakallimin.Menurut mereka bentuk-bentuk hukum tersebut
ada lima macam, yaitu ijab. nadb. ibahah, karahan, dan tahrim.
Kedua,bentuk-bentuk hukum taklifi, seperti iftirad, ijab. nabd. ibahah.
tarahah tanzhiliyah karahah tahrimiyyah, dan tahrim. bentuk Pertama
a. Ijab
Yaitu tuntutan Syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu
dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang
meninggalkannya dikenai sanksi. Misalnya, dalam surat
An-Nur : 56

Artinya:
"Dan dirikanlah shalat dan tunaikan zakat..."
(QS. An-Nur: 56)
Dalam ayat ini, Allah menggunakan lafazh amr. yang menurut para ahli
Ushul Fiqh melahirkan ijab, yaitu kewaiiban mendirikan shalat dan membayar
zakat. Apabila kewajiban ini dikaitkan dengan perbuatan orang mukallaf. maka
disebut dengan wujub. sedangkan perbuatan yang dituntut itu (yaitu
mendirikan shalat dan membayar zakat), disebut dengan wajib. Oleh sebab itu.
istilah ijah. menurut ulama Ushul Fiqih, terkait dengan khithab (tuntutan) Allah,
yaitu ayat di atas, sedangkan wujub merupakan akibat dari khithab tersebut dan
wajib adalah perbuatan yang dituntut oleh khithab Allah.
b. Nailb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat
memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk
meninggalkannya. Orang yang meninggalkannya tidak dikenai hukuman. Yang
dituntut untuk dikerjakan itu disebut maudub, sedangkan akibat dari tuntutan
itu disebut nadb. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah: 282, Allah SWT.
berfirman:

Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah
tidak secara

251
tunai untuk w aktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya
(OS. Al-Baqarah : 282 )
Lafalfaktububu (maka tuliskanlah olehmu), dalam avat itu pada
dasarnya mengandung perintah ( w u j u b ) . tetapi terdapat indikasi vanii
memalingkan perintah itu kepada nadh yang terdapat dalam kelanjutan
dari ayat tersebut (AI-Baqarah : 283):

Artinya:
"Akan tetapi. apahila sebagian kamit mempercayai sebagian
yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya ... "
(OS. Al-Baqarah : 283)

Tuntutan wujubdalam ayat itu. berubah menjadi nadh. Indikasi


yang membawa perubahan ini adalah lanjutan ayal, yaitu Allah menva -
takan jika ada sikap saling mempercayai, maka penulisan utan g
tersebut tidak begitu penting. Tuntutan Allah seperti mi disebut dengan
nadh. sedangkan perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan itu. yaitu
menuliskan utang-piutang disebut mauduh. dan akibat dan tuntutan
Allah di atas disebut nadh.

c. Ibahah
\aitu khithab Allah yang bersilat lakultatil. mengandung pilihan
antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab
.Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih
itu disebut mubah Misalnya, firman Allah dalam surat Al-Maiilah 2

Artinya:
Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka
bolehlah hniu berburu. "(OS. Al-Maidah : 2)

Ayat ini juga menggunakan lafal amr(perintah) yang mengandung


ibahah (boleh), karena ada indikasi yang memalingkannya kepada hukum
boleh. Khithabseperti inidisebut ibahah,dan akibat dari khithabini juga
disebut dengan ibahah.sedangkan perbuatan yang boleh dipilih itu
disebut mubah.
d. Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi
tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa .
Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk
ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Akibat dan tuntutan seperti ini
disebut juiia karahah. karahuliini merupakan kebalikan dari nadh.Misalnya
hadist Nabi Muhammad SAW :

Artinya.
"Perbuatan halal yang paling dibenci. Allah adalah talak.
(H.R. Abu Daud. Ibn Majali. Al-Baihaqi dan Hakim)
Khithabhadis ini disebut karahahdan akibat dari khithabini disebut
juga dengan karahah.sedangkan perbuatan yang dikenai khithabitu disebut
makruh.

c. Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan
tuntutan yang memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan
perbuatan y ang dituntut itu disebut dengan haram.Misalnya, firman
Allah dalam surat Al-An 'am: 151)

Artinya:
Jangan kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah ...
(OS. AI-An'am : 151)
Khithab(ayat) ini disebut dengan tahrim.akibat dari tuntutan ini
disebut luirmah.dan perbuatan yangdituntut untuk ditinggalkan, yaitu
membunuh jiwa seseorang, disebut dengan haram.
Perbedaan istilah-istilah yang dikemukakan para ahli Ushul Fiqih
dalam hukum taklifiini, seperti untuk yang sifatnya perintah ada tiga
istilah, yaitu ijab, wujub.dan wajib,dan lainnya, disebabkan perbedaan sisi
pandang pada persoalan tersebut. Apabila khithab(ayat) tersebut dilihat

253
dari sisi Allah sebagai Penuntut, maka ayat yang mewajibkan shalat dan
zakat itu disebut ijab.Apabila ayat itu dilihat dari sisi mukallaf yang
dituntut untuk melaksanakannya, maka tuntutan shalat dan zakat itu di -
sebut wujub.Sedangkan istilah wajib,merupakan sifat dari perbuatan
mukallafyangdituntut Allah. Namun demikian, istilah-istilah tersebut
(wujub. wajib, tahrim. hurmah. haram,dan sebagainya). merupakan tuntutan
Syar'i (Allah dan Rasul-Nva).

Kedua,bentuk-bentuk hukum taklifimenurut ulama Hanafiyy ah:


a. Iftiradh
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallafyang bersifat memaksa dengan
berdasarkan dalil yang qath'i.Misalnya, tuntutan untuk melaksanakan
shalat dan membayar zakat. Ayat dan hadis yang menganduns tuntutan
mendirikan shalat dan membayar zakat sifatnya adalah qath'i.
b. Ijab
Yaitu tuntutan Allah yang bersifat memaksa kepada mukallafuntuk
melaksanakan suatu perbuatan, tetapi melalui dalil yang bersifat zhanni
(relatif benar). Misalnya, kewajiban membayar zakat fitrah, membaca ol-
Fatihalidalam shalat. dan ibadah kurban. Perbuatan -perbuatan seperti ini
menurut ulama Hanafiyah. tuntutannya bersifat Ijabdan wajib
dilaksanakan. tetapi kewajibannya didasarkan atas tuntutan yang zhanni.
c. Nadb
Maksudnya sama dengan nadbyang dikemukakan Jumhur ulama
UshlulFiqih mutakallimin.
d. Ihahah
Juga sama dengan yang dikemukakan Jumhur ulama
UshulFiqihmutakallimin.
e. Karahah Tanzihiyyah
Yaitu tuntutan Allah kepada mukallafuntuk meninggalkan suatu
pekerjaan, tetapi tuntutannya tidak bersifat memaksa. Misalnya, larang -
an berpuasa pada hari Jum'at. Karahah tanzihiyyah di kalangan Hanafiyyah,
sama pengertiannya dengan karahah di kalangan Jumhur ulama
UshullFiqih/ mutakallimin.
f. Karahah Tahrimiyyah
Yaitu tuntutan kepada mukallaf Allah untuk meninggalkan suatu
perbuatan dengan cara memaksa, tetapi didasarkan kepada dalil yang
zhanni. Apabila pekerjaan yang dituntut untuk ditinggalkan, maka ia
dikenakan hukuman. Hukum ini sama saja dengan haram yang dikemuka -
kan Jumhur ulamaUshlulFiqih/mutakallimin.
g. Tahrim
Yaitu tuntutan kepada mukallaf untuk meninggalkan suatu pekerjaan
secara memaksa dan didasarkan pada dalil yang qath’i. Misalnya,
larangan membunuh orang (Q.S. Al-lsra : 23 di atas) dan berbuat zina.
(Q.S. Al-Nur : 2).
Perbedaan pembagian hukum taklif antara Jumhur ulama
UshulFiqih/Mutakallimin dengan ulama Hanafiyyah tersebut bertolak dari
sisi kekuatan dalil.
Hukum-Hukum Menurut Fuqaha
2. 1. 3
Seperti telah diterangkan di atas, bahwa hukum -hukum menurut
fuqahaadalah dampak dari tuntutan khithabtasyri' seperti w ajib, haram,
makruh, sunah, dan mandub.
2.1.3.1 Wajib
Para ulama Ushul Fiqhmengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa
dibagi dari berbagai segi, yaitu:
1. Dilihat dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib al muthlaqdan wajib
al-mu'aqqat.
a. Wajib al-muthlaqadalah sesuatu yang dituntut Syari untuk dilaksanakan
oleh mukallaf tanpa ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat
sebagai hukuman bagi orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa
mengaitkan dengan waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu. maka kafarat-nva boleh
dibayar kapan saja.
Adapun wajib al-mu'aqqat adalah kewajiban yang harus dilaksanakan orang
mukallaf pada waktu-waktu tertentu. seperti shalat dan puasa Ramadhan. Shalat wajib
(Subuh. Zhuhur. 'Ashar, Maghrib dan ‘Isya’) harus dikerjakan pada waktunya,
demikian juga puasa Ramadhan. Waktu di sini merupakan bagian dari kewajiban itu
sendiri, sehingga apabila belum masuk waktunya, kewajiban itu belum ada. Wajib al-
mu'aqqat terbagi lagi dalam tiga macam, yaitu:
□ Wajib muwassa (kewajiban yang mempunyai batas waktu yang lapang)
Yaitu kewajiban yang ditentukan waktunya, tetapi waktunya ini cukup lapang,
sehingga dalam waktu itu bisa juga dikerjakan amalan yang sejenis. Misalnya.
waktu-waktu yang ditentukan untuk melaksanakan shalat. Ketika masuknya
waktu shalat Zhuhur. seseorang bisa melaksanakan shalat Zhuhur dan shalat
sunat.
□ Wajib mudhayyaq(kewajiban yang mempunyai batas waktu yang sempit)
Yaitu kewajiban yang waktunya secara khusus diperuntukkan pada suatu amalan,
dan waktunya itu tidak bisa digunakan untuk kewajiban lain. Seperti puasa
Ramadhan, harus dilaksanakan sebulan penuh, sehingga tidak bisa diselingi
dengan puasa sunah atau mengganti puasa yang tertinggal.
□ Wajib dzu asy-syibhain
Yaitu kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak bisa digunakan
untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Misalnya, waktu haji itu cukup

255
lapang dan seseorang bisa melaksanakan beberapa
amalan haji pada waktu itu berkali -kali, tetapi yang diperhitungkan syara'
hanya satu amalan saja. Orang bisa berulang-ulang melaksanakan amalan
haji, tetapi amalan yang berulang itu tidaklah diperhitungkan syara'
sebagai suatu kewajiban. Akan tetapi, ulama Syafi'iyyah berpendapat
bahwa waktu untuk ibadah haji, termasuk dalam waktu Wajib al-mulhlaq.
karena seseorang boleh melaksanakan ibadah haji itu kapan saja ia mau
selama ia hidup, b. Dalam persoalan wajib al-mu'aqqat para ulama UshulFiqh
juga mengemukakan bahasan tentang persoalan 'ada. i'adah, dan qadha',
yang ketiganya terkait erat dengan pelaksanaan amalan yang berstatus
wajib al-mu'aqqat.
□ 'Ada ’. menurut Ibnu Al-Hajib. adalah melaksanakan suatu
amalan untuk pertama kalinya pada waktu yang ditentukan
syara'. Apabila amalan yang dikerjakan pada waktunya,
bukan untuk pertama kalinya, maka hal itu tidak
dinamakan dengan ‘ada'.
□ I'adah, adalah suatu amalan yang dikerjakan untuk kedua
kalinya pada waktu yang telah ditentukan, karena amalan
yang dikerjakan pertama kali tidak sah atau mengandung
uzur.
□ Qadha. adalah suatu amalan yang dikerjakan di luar waktu
yang telah ditentukan dan sifatnya sebagai pengganti.
Apabila suatu amalan wajib tidak dilaksanakan, baik
secara disengaja atau tidak, dan mempunyai kemungkinan
untuk dikerjakan (seperti sakit atau bepergian), atau tidak
mungkin dikerjakan, seperti puasa bagi wanita haid. maka
seluruh amalan tersebut wajib dikerjakan pada waktu lain.
Mengerjakan amalan-amalan yang bukan dalam waktunya,
disebut qadha.
2. Dilihat dari segi ukuran yang diwajibkan, hukum wajib terbagi
menjadi dua. yaitu wajib al-muhaddad dan wajib ghairu muhaddad.
a. Wajib al-muhaddadadalah suatu kewajiban yang ditentukan ukurannya oleh
syara' dengan ukuran tertentu. Misalnya, jumlah harta yang wajib
dizakatkan dan jumlah rakaat dalam shalat. Jumlah dan ukuran ini tidak
boleh diubah, ditambah, atau dikurangi.
b. Wajib ghairu al-muhaddad adalah kewajiban yang tidak ditentukan syara’
ukuran dan jumlahnya, tetapi diserahkan kepada para ulama dan pemimpin
umat untuk menentukannya. Misalnya, penentuan hukuman dalam jarimah
ta'zir (tindak pidana di luar hudud dan qishash)yang diserahkan kepada para
qadhi(hakim). Dalam penentuan hukuman ini. para hakim harus berorientasi
pada tercapainya tujuan syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukuman dan
bersifat adil.
3. Dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban, hukum wajib dibagi kepada wajib

257
al- 'aini dan wajib al-kifa 'i.
a. Wajib al- aini adalah kewajiban yang ditujukankepada
setiap pribadi orang mukallaf. Misalnya, kewajiban melaksanakan shalat bagi
setiap orang mukallaf.
b. Wajib al-kifa’i adalah kewajiban yang ditujukankepada
seluruh orang mukallaf tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian dari
mereka, maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakannya. Misalnya,
pelaksanaan shalat jenazah, melaksanakan amr ma’rif nahyi munkar, dan
menjawab salam ketika berkumpul bersama orang banyak.
Akan tetapi, wajib al-kifa'i bisa berubah menjadi wajib al- 'aini apabila yang
bertanggung jawab dalam kewajiban tersebut hanya satu orang. Misalnya, menolong
orang yang tenggelam di laut atau sungai merupakan wajib al-kifa'i, karena semua orang
yang menyaksikannya wajib menolongnya. Akan tetapi, jika dari sejumlah orang yang
menyaksikan peristiwa itu hanya satu orang yang pandai berenang, maka, wajib al-kifa 'i
yang dikenakan kepada sejumlah orang itu berubah menjadi wajib al- 'anu bagi orang
yang pandai berenang tersebut.
4. Dilihat dari segi kandungan perintah, para ulama Ushul Fiqih membagi wajib wajib al-
mu 'ayyan dan wajib al-mukhayyar.
a. Wajib al-mu'ayyan adalah kewajiban yang terkait dengan sesuatu
yangdiperintahkan, seperti shalat, puasa, dan harga barang dalam jual-beli.
Shalat dan puasa pekerjaan yang pada dirinya adalah wajib, dan harga
barang yang dibeli itu juga wajib ada dan wajib diserahkan.
b. Wajib al-mukhayyar adalah suatu kewajiban tertentu yang bisa dipilih orang
mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surat Al-Ma'idah : 89. mengemukakan
bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas, memberi makan fakir miskin,
memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak.

2.1.3.1 Mandub

Para ulama Ushul Fiqihmembagi mandub menjadi tiga macam,


yaitu:
1. Sunah al-Mu‘akkadah (sunah yang sangat dianjurkan).
Yaitu pekerjaan yang apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila
ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi yang meninggalkannya mendapat celaan.
Di antaranya adalah shalat-shalat sunah sebelum dan sesudah mengerjakan shalat
lima waktu (shalat fardhu'), seperti shalat sunah dua rakaat sebelum subuh, dua
rakaat sebelum dan setelah Zhuhur. dan berkumur-kumur waktu berwudhu",
adzan, berjama'ah, dan lain-lain.
Tolok ukur sunnah al-mu'akkadah adalah bahwa pekerjaan itu tidak pernah
ditinggalkan Rasulullah SAW., kecuali sekali-sekali saja dalam rangka
menunjukkan bahwa perbuatan itu tidak diwajibkan. Menurut Imam Muhammad
Abu Zahrah. pekerjaan sunah seperti ini berfungsi sebagai pendahuluan suatu
pekerjaan yang wajib. Sedangkan Imam Asy-Syathibi. mengatakan bahwa
mandub itu apabila ditinjau secara umum, merupakan pelayan dan pendahuluan
dari yang wajib.
2. Sunah ghairu al-Mu 'akkadah (sunah biasa)
Yaitu perbuatan yang apabila dikerjakan mendapat pahala apabiladitinggalkan
tidak berdosa dan tidak pula mendapat celaan dari
Syar'i. seperti bersedekah, shalat sunah dhuha dan puasa setiap hari
Senin dan Kamis. Pekeriaan seperti ini. menurut para ulama fiqh,
disyari'atkan, tetapi tidak senantiasa dikerjakan Rasululah SAW.
Sunah seperti ini disebut juga dengan istilah mushtahahatau nafilah.
3. Sunah aiZa 'idah(sunah yang bersifat tambahan)
Yaitu suatu pekerjaan untuk mengikuti apa yang dilakukan
Rasulullah SAW., sehingga apabila dikerjakan diberi pahala dan
apabila tidak dikerjakan tidak berdosa dan tidak pula dicela.
Pekerjaan-pekerjaan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-
tanduk Rasulullah SAW. sebagai manusia biasa, seperti cara tidur,
cara makan, dan cara berpakaian. Apabila hal-hal seperti ini
dilakukan seorang Muslim dengan niat mengikuti apa yang
dilakukan Rasulullah SAW'., maka disebut sunah za 'idah.
Haram
2.1.3.3
Haram dapat dibagi menjadi haram lidzalihidan haram ghairihi. Apabila
keharaman terkait dengan esensi perbuatan haram itu sendiri, maka
disebut dengan haram li dzatih.Dan apabila terkait dengan sesuatu yang di
luar esensi yang diharamkan, tetapi berbentuk kemafsadatan,maka
disebut haram li ghairih.
1. Haram li dzatihi
Yaitu suatu keharaman langsung dan sejak semula ditentukan Syar'i
tentang keharamannya. Misalnya, memakan bangkai, babi, berjudi,
meminum minuman keras, berzina, membunuh dan memakan harta
anak yatim. Keharaman dalam contoh ini adalah keharaman pada zat
(esensi) pekerjaan itu sendiri. Akibatnya, apabila, melakukan suatu
transaksi dengan sesuatu yang haram li dzatihiini, hukumnya menjadi
batal, dan tidak ada akibat hukumnya. Misalnya, sese orang berzina
dengan seorang wanita, lalu lahir anak dari hubu ngan tersebut. Anak
itu tidak bisa dinasabkan kepada lelaki yang menanamkan bibit pada
wanita tersebut. Demikian |uga halnya memperjual-belikan benda-
benda yang haram li dzatih. traksaksinya tidak sah dan tidak ada
akibat hukumnya.
2.Haram li ghairih
Yaitu sesuatu yang pada mulanya disyariatkan, tetapi dibarengi oleh

259
sesuatu yang bersifat mudarat bagi manusia, maka keharamannya adalah
disebabkan adanya mudarat tersebut. Misalnya, melaksanakan shalat dengan
pakaian hasil ghashab (mengambil barang orang lain tanpa izin), melakukan
transaksi jual beli ketika suara-adzan shalat Jum'at telah berkumandang pernikahan
tahalal, puasa di Hari Raya Idul Fitri.
Shalat tersebut pada dasarnya disyariatkan. tetapi karena dilaksanakan
dengan memakai pakaian hasil ghashab, atau puasa itu dilaksanakan pada waktu
terlarang, maka shalat atau puasa itu menjadi haram. Jual beli pada dasarnya
dibolehkan, tetapi ketika dilaksanakan pada waktu adzan shalat Jum'at
berkumandang, maka jual belinya menjadi haram. Dengan demikian, haram
lighairih pada awalnya perbuatan yang dilakukan itu disvari'atkan atau dibolehkan.
tetapi karena dibarengi oleh sesuatu yang bersifat mudarat atau mafsadat dalam
pandangan syara', maka perbuatan itu menjadi haram.
Dalam menentukan hukum bagi perbuatan haram lighairih tersebut, apakah
batal atau fasad. terdapat perbedaan pendapat ulama Ushul Fiqih.Ulama Hanafiyah
berpendapat, karena keharamannya bukan pada zatnya, tetapi disebabkan faktor
luar, maka menurut mereka hukumnya fasid, bukan batal. Oleh sebab itu. akad
tersebut boleh dilakukan, tetapi tidak sah. Agar akad tersebut menjadi sah. maka
faktor-faktor luar yang menyebabkan keharaman itu harus disingkirkan.
Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara haram lidzalih
dengan haram lighairih dari segi akibatnya, yaitu sama-sama haram. Dalam kasus
di atas, shalat dengan pakaian hasil ghashab. shalatny a batal: puasa di hari
'IdulFithri. hukumnya batal, dan jual beli ketika adzan hari Jum'at berkumandang,
hukumnya batal.

2.1.3.2 Makruh
Ulama Hanafiyyah. membagi makruh dalam dua bentuk, yaitu makruh Tanzih dan
makruh tahrim.
1. Makruh tanzih
Yaitu sesuatu yang dituntut Syar i untuk ditinggalkan, tetapi dengan tuntutan yang
tidak pasti. Makruh tanzih dalam istilah ulama
Hanafiyyah ini sama dengan pengertian makruh di kalangan Jumhur ulama.
Misalnya, memakan daging kuda yang dikemukakan di atas.
2. Makruh Tahrim
Yaitu tuntutan Syar’i untuk meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu
melalui cara yang pasti, tetapi didasarkan kepada dalil yang zhanni. Seperti
larangan memakai sutera dan perhiasan emas bagi kaum lelaki, sebagaimana
terdapat dalam sabda Rasulullah SAW. :
Keduanya ini (emas dan sutra) haram bagi umatku yang laki-laki dan halal bagi wanita.
(H.R. Abu Daud, An-Nasai’, Ibn Majah dan Ahmad ibn Hanbal)

2.1.3.5 Mubah
A. Pembagian mubah menurut ulama Ushul Fiqhdilihat dari segi keterkaitannya
dengan mudarat dan manfaat, yaitu:
1. Mubah yang apabila dilakukan atau tidak dilakukan, tidak mengandung mudarat,
seperti makan, minum, berpakaian dan berburu.
2. Mubah yang apabila dilakukan mukallaf tidak ada mudaratnya, sedangkan
perbuatan itu sendiri pada dasarnya diharamkan. Mubah seperti ini di antaranya,
melakukan sesuatu dalam keadaan darurat atau terpaksa, seperti makan daging
babi, karena tidak ada makanan lagi yang mesti dimakan dan apabila daging babi
itu tidak dimakan, maka seseorang bisa meninggal dunia. Oleh sebab itu, dalam
kondisi seperti ini makan daging babi untuk sekadar mempertahankan nyawa
termasuk mubah. Atau sesuatu yang pada dasarnya wajib dilaksanakan, tetapi
karena darurat, maka boleh ditinggalkan, seperti berbuka puasa bagi orang hamil,
musafir dan ibu yang menyusui anaknya.
3. Sesuatu yang pada dasarnya bersifat madarat dan tidak boleh dilakukan menurut
syara’, tetapi Allah memaafkan pelakunya, sehingga perbuatan itu menjadi
mubah. Contoh untuk kategori ini banyak sekali, yaitu mengerjakan pekerjaan
haram sebelum Islam, seperti mengawini bekas istri ayah (ibu tiri) dan mengawini
dua orang wanita yang bersaudara sekaligus. Kemudian datang syari’at Islam
yang mengharamkan perbuatan tersebut, dan menyatakan

261
bahwa orang yang telah melakukannya sebelum Islam
dimaafkan. Dalam kaitan dengan ini Allah berfirman:

Artinya:
"...terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu
amat keji dan dibenci Allah ... “
(Q.S. An-Nisa’ : 22).
Ketika Islam datang ada juga contoh mubahseperti ini, yaitu meminum
minuman keras dan beristri lebih dari empat orang. Kedua perbuatan ini pada masa
awal Islam masih dibolehkan, kemudian turun ayat yang mengharamkannya. Apa
yang telah dilakukan umat Islam sebelum turunnya ayat yang melarang perbuatan
tersebut, termasuk dalam hukum ma’fu ‘anhuatau mubah.Akan tetapi, ma’fu
‘anhutersebut, menurut sebagian ulama ushul fiqhmerupakan bagian tersendiri dari
hukum mubah.
B. Pembagian Mubah menurut Asy-Syathibi
Imam Abi Ishaq Asy-Syatibi, mengemukakan pembagian mubah dari sisi lain,
yaitu dari segi statusnya yang bersifat juz'idan kulli:
1. Mubah bi al-Juz'i al-mathlub bi al-kulli ‘ala jihat ar-rujub,
Artinya, hukum mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib, apabila
dilihat dari keseluruhan atau kepentingan umat secara keseluruhan. Misalnya,
makan, minum dan berpakaian. Pada dasarnya pekeriaan seperti ini hukumnya
hanya mubah, sehingga seorang mukallafboleh memilih untuk melakukan atau
tidak melakukan pada waktu atau kondisi tertentu. Akan tetapi, apabna
seseorang meninggalkan makan, minum dan berpakaian sama sekali (secara
kulli),maka pekerjaan tersebut menjadi wajib baginya, bukan mubah lagi.
2. Mubah bi al-juz li al-mathlub bi al-kulli 'ala jihat al-mandub. Artinya, hukum mubah
secara juz’iberubah menjadi mandub, apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya, dalam
masalah makan dan minum melebihi kebutuhan. Sekalipun hukum makan dan
minum merupakan hukum mubah dan boleh dipilih mukallaf pada waktu dan
kondisi tertentu, apabila ditinggalkan bisa menjurus kepada hukum makruh, maka
ketika itu makan dan minum menjadi sunah baginya. Karena, perbuatan
meninggalkan makan dan minum, sekalipun tidak sampai membawa kematian,
hukumnya adalah makruh. Oleh sebab itu, makan dan minum dalam keadaan
seperti ini berubah menjadi mandub (dianjurkan), bukan mubah lagi. Hal ini
sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. yang mengatakan: "Apabila dilapangkan
Allah bagimu, kamu harus berlapang- lapang, karena Allah sangat ingin melihat pengaruh
nikmat yang Dia berikan pada hamba-Nya.
(H.R. Muslim, At-Tirmidzi dan Ahmad ibn Hanbal).
Maksudnya, jika seseorang memiliki kelebihan harta, makan dan minum
bukan lagi sekedar kenyang saja, tetapi juga harus memperhatikan kualitas dan
kuantitas makan dan minumnya. Hukum inilah yang dimaksudkan dengan mandub
sekalipun pada asalnya adalah mubah.
3. Mubah bial-juz 'i al-muharramah bi al-kulli, artinya, mubah yang secara juz 7 bisa
diharamkan apabila dilihat dari segi kulli. Misalnya, mencela anak dan senantiasa
makan dengan makanan yang lezat-lezat. Pada dasarnya kedua perbuatan ini
hukumnya adalah mubah apabila sesuai dengan waktu dan kondisinya. Akan
tetapi, hukum mubah ini bisa berubah menjadi haram, apabila pekerjaan tersebut
membawa kemudaratan, seperti makan tanpa mempertimbangkan kondisi fisik
dan kesehatan, atau mencela anak yang berakibat kepada kerusakan mental anak.
Dalam kasus seperti ini. hukum mubah berubah menjadi haram.
4. Mubah bi al juz ‘i al-makruh bi al-kulli. Artinya, hukum mubah bisa berubah menjadi
makruh, apabila dilihat dari akibat negatif perbuatan itu secara kulli, seperti
bernyanyi. Bernyanyi pada waktu dan kondisi tertentu adalah mubah. Akan tetapi,
apabila bernyanyi itu berketerusan sehingga bisa meninggalkan pekerjaan yang
lebih bermanfaat atau menurunkan nilai sopan santun dan etika seseorang, maka
hukum bernyanyi itu berubah dari mubah menjadi makruh.
Setelah mengemukakan bahasan empat macam hukum mubah di atas, Asy-
Syathibi, lebih lanjut mengatakan bahwa hukum mubah itu berlaku hanyalah dari segi
juz ’i-nya, sedangkan apabila sudah menyangkut permasalahan secara kulli
(menyeluruh), maka hukumnya terkait dengan faktor ke-mafsadat-an dan ke-
maslahatan-nya. Perbedaan itu berawal dari sisi kekuatan dalil hukum itu sendiri.
2.2 Hukum Wadh’i
Hukum wadl'i adalah firman Allah SWT. yang menuntut untuk menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah
menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab,
atau syarat, atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Di dalam ilmu hukum ia

263
disebut pertimbangan hukum.
I. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:

Artinya:
"Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir. ”
(QS. Al-Isra : 78)
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
2. Contoh firman Allah yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:

Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”
(OS. An-Nisa : 6)
Ayat tersebut menunjukkan kedewasaan anak yatim menjadi syarat hilangnya
perwalian atas dirinya.
3.Contoh khithab Allah yang menjadikan sesuatu sebagai penghalang:

Artinya:
“Pembunuh tidak mendapat waris. ”
Hadis tersebut menunjukkan bahwa pembunuhan sebagai penghalang untuk
mendapatkan warisan.
Dari pengertian hukum wadh ’i tersebut ditunjukkan bahwa macam- macam
hukum wadh ’i, yaitu sebab, syarat, mani' (penghalang).
1. Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang
lain Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah
adalah suatu sifat yang dijadikan syari’ sebagai tanda adanya hukum. Pengertian ini
menunjukkan bahwa sebab sama dengan Illat, walaupun sebenarnya ada perbedaan
antara sebab dengan Mal tersebut.
Dengan demikian, terlihat keterkaitan hukum wadh'i (dalam hal ini adalah sebab)
dengan hukum taklif sekalipun keberadaan hukum wadh 'i itu tidak menyentuh esensi
hukum taklifi. Hukum wadh 'i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi.
Akan tetapi, para ulama Ushul Ficjh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari
nash, bukan buatan manusia.
2. Syara’
Yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syara’. tetapi keberadaan hukum syara"
bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, hukum Pun tidak ada, tetapi, adanya
syarat tidak mengharuskan adanya hukum
syara'. Oleh sebab itu, suatu hukum taklifi tidak dapat diterapkan, kecuali bila
telah memenuhi syarat yang telah ditetapkan syara'. Misalnya, wudhu’ adalah
salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu'.
Akan tetapi, apabila seseorang berwudhu', ia tidak harus melaksanakan shalat.
Contoh lain adalah saksi dalam pernikahan. Keberadaan saksi itu adalah salah
satu syarat sahnya nikah, sehingga pernikahan tanpa saksi adalah tidak sah:
Akan tetapi, kesaksian itu sendiri bukanlah merupakan unsur dari nikah, karena
ia berada di luar esensi nikah itu sendiri. Apabila saksi tidak ada maka hukum
nikah pun tidak ada, tetapi adanya saksi tidak mengharuskan adanya
pernikahan.
3.. Mani' (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau tidak
ada sebab. Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan
menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah
wafat, istri dan anak mendapatkan pembagian warisan dari harta suami atau
ayah yang wafat, sesuai dengan pembagian masing-masing. Akan tetapi, hak
mewarisi ini bisa terhalang apabila anak atau istri yang membunuh suami atau
ayah yang wafat tersebut. (H.R. Bukhari dan Muslim). Perbuatan membunuh itu
merupakan mani' (penghalang) untuk mendapatkan pembagian warisan dari
orang yang dibunuh. Di sisi lain, adanya pembunuhan menyebabkan
dilaksanakan hukuman qishashbagi pelaku pembunuhan. Akan tetapi, dalam
hubungan ayah dan anak atau istri dengan suami dalam kasus pembunuhan di
atas, maka hubungan keturunan (perkawinan) menjadi penghalang
dilaksanakannya hukuman qishash.
Keterkaitan antara sebab, syarat, dan mani ’ sangat erat. Penghalang itu ada
bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat. Syari menetapkan
bahwa suatu hukum yang akan dikerjakan adalah hukum yang ada sebabny a,
memenuhi syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang (mani') dalam
melaksanakannya. Sebaliknya, hukum tidak ada. apabila sebab dan syarat-
syaratnya tidak ada. atau adanya halangan untuk mengerjakannya. Misalnya,
shalat Zhuhur wajib dikerjakan apabila telah tergelincir matahari (sebab) dan
leiaii berwudhu' (syarat). Tetapi, Karena orang yang akan mengerjakan itu

265
sedang haid (mani'), maka shalat Zhuhur itu tidak sah dikerjakan. Demikian juga
halnya, apabila syarat terpenuhi (telah berwudhu'). tetapi penyebab wajibnya
shalat Zhuhur belum muncul (matahari belum tergelincir), maka shalat pun
belum wajib. Meskipun,telah terpenuhinya sebab dan syarat, tetapi ada mani
yaitu haid, maka shalat Zhuhur pun tidak bisa dikerjakan.
4. Shihhah
Yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara', yaitu terpenuhinya
sebab, syara/ dan tidak ada mani'.Misalnya, mengerjakan shalat Zhuluir setelah
tergelicir matahari (sebab) dan telah berwudhu' (syarat), dan tidak ada halangan
bagi orang yang mengerjakannya (tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam
contoh ini. pekerjaan yang dilaksanakan itu hukumnya sah. Oleh sebab itu,
apabila sebab tidak ada dan syaratnya tidak terpenuhi, maka shalat itu tidak
sah, sekalipun mani '-nya tidak ada.
5. Bathil
Yaitu terlepasnya hukum syara' dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak
ada akibat hukum yang ditimbulkannya. Misalnya, memperjualbelikan
minuman keras. Akad ini dipandang batal, karena minuman keras tidak bernilai
harta dalam pandangan syara'.
Di samping batal, ulama Hanafiyyah juga mengemukakan hukum lain
yang berdekatan dengan batal, yaitu fasid. Menurut mereka, fasid adalah
terjadinya suatu kerusakan dalam unsur-unsur akad.
Jumhur ulama Ushul Fiqih/mutakallimin berpendirian bahwa antara batal
dan fasid adalah dua istilah dengan pengertian yang sama, yaitu sama-sama
tidak sah.
6. ‘Azimah dan Rukhshah
'Azimah adalah hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada seluruh
hamba-Nya sejak semula. Artinya, belum ada hukum sebelum hukum itu
disyariatkan Allah, sehingga sejak disyariatkannya seluruh mukallaf wajib
mengikutinya, imam Ai-Baidiiawi (ahli Ushul Fiqih Syafi'iyyah), mengatakan
bahwa 'azimah itu adalah hukum yang ditetapkan tidak berbeda dengan dalil
yang ditetapkan karena ada uzur.” Misalnya, jumlah rakaat shalat dzuhur adalah
empat rakaat. Jumlah raka'at ini ditetapkan Allah sejak semula, sebelumnya
tidak ada hukum lain yang menetapkan jumlah rakaat shalat dzuhur. Hukum
tentang rakaat shalat dzuhur adalah empat rakaat disebut dengan 'azimah.
Apabila ada dalil lain yang menunjukkan bahwa orang-orang tertentu boleh
mengerjakan shalat dzuhur dua rakaat, seperti orang musafir, maka
hukum itu disebut rukhsah.Dengan demikian, para ahliUshul Fiqih
mendefinisikan rukhsahdengan hukum yang ditetapkan berbeda dengan
dalil yang ada karena ada uzur:
2.3 Perbedaan Hukum Taklif dengan Hukm Wadh’i
Ada beberapa perbedaan antara hukum al-taklifdengan hukum al-
wadh'iyang dapat disimpulkan dari pembagian hukum di atas. Perbedaan
dimaksud, antara lain adalah:
1. Dalam hukm al-taklifterkandung tuntutan untuk melaksanakan,
meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam
hukm al-wadh'ihal ini tidak ada. melainkan mengandung keterkaitan
antara dua persoalan, sehingga salah satu di antara keduanya bisa
dijadikan sebab, pengihalang,atau syarat.
2. Hukum al-taklifmerupakan tuntutan langsung pada mukallafuntuk
dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat
atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al-wadh 'itidak dimaksudkan
agar langsung dilakukan mukallaf.Hukum al-wadh'iditentukan Syari'
agar dapat dilaksanakan hukum al-taklif.Misalnya, zakat itu
hukumnya wajib (hukum al-laklif).Akan tetapi, kewajiban ini tidak
bisa dilaksanakan apabila harta tersebut tidak mencapai ukuran satu
nishabdan belum haul.Ukuran satu nishab merupakan penyebab
(hukum al-wadh'i)wajib zakat dan haulmerupakan sy arat (hukum al-wadh
'i)wajib zakat.
3. Hukum al-taklifharus sesuai dengan kemampuan mukallafuntuk
melaksanakan atau meninggalkannya, karena dalam hukum al-laklif
tidak boleh ada kesulitan (masyaqqah)dan kesempitan (haraj)yang
tidak mungkin dipikul oleh mukallaf.Sedangkan dalam hukum al-
wadh’ihal seperti ini tidak dipersoalkan, karena masvaqqahdan
harajdaiam hukum al-wadh'i adakalanya dapat dipikul mukallaf
(seperti menghadirkan saksi sebagai syarat dalam pernikahan), dan
adakalanya di luar kemampuan mukallaf (seperti tergelincirnya
matahari bagi wajibnya shalat Zhuhur).
4. Hukum al-laklif'ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orangyang telah
baligh dan berakal: sedangkan hukum al-wadh’iditujukan kepada
manusia mana saja, baik telah mukallaf.maupun belum, seperti anak
kecil dan orang gila.

SOAL LATIHAN
]. Jelaskan pengertian hukum menurut mayoritas ulama ushul!
2. Berbagi kepada berapa bagiankah hukum itu? Sebutkan!
3. Berikan contoh ayat Al-Qur'an yang bersifat menuntuuntuk
berbuat!
4. Sebutkan pembagian hukum taklifmenurut jumhur ulamushul!
5. Bedakan antara mubahdan ibahah!
6. Jelaskan pembagian hukum taklifmenurut ulama Hanafiyah!
7. Jelaskan pembagian wajib menurut fuqahaditinjau dari segi ukuran

267
yang diwajibkan!
8. Jelaskan yang dimaksud dengan sunah zaiclahdan berikan contohnya!
9. Terbagi menjadi berapa macamkah hukum wadh’iitu? Jelaskan!
1 0. Jelaskan perbedaan antara hukum taklifdan hukum wadh’i ?

B. MAHKUM BIH DAN MAHKUM FIH (OBJEKDAN


PERISTIWA HUKUM)

1. Pengertian Mahkum Fih/Mahkum Bih


Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, seba -
gian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih.karena di dalam
perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun
yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum
bih,karena perbuatan mukallafitu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat
yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama Ushul Fiqih.yang dimaksud dengan mahkum /ih adalah
objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallafyang terkait dengan
perintah syari' (Allah dan Rasul-Nya). baik yang bersifat tuntutan
mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang
bersifat syarat, sebab, halangan, azimah. rukhsah, sahserta batal.(Al- Bardisi: II:
148)
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar'i itu ada
objeknya, yakni perbuatan mukallaf.Dan terhadap perbuatan mukallaf
tersebut ditetapkanlah suatu hukum, misalnya:

Artinya:
"Dirikanlah shalat ... ”
(QS. Al-Baqarah : 43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf,yakni tuntutan untuk
mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b. Firman Allah SWT. dalam surat Al-An'am : 151
Artinya:
"Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar... ”
(QS. Al-An'am : 151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang
mukallafyaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh
tanpa haq itu hukumnya haram.
c. Firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah : 5-6

Artinya:
"Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku ...
(QS. Al-Maidah : 5-6)
Dari kandungan ayat di atas, dapat diketahui bahwa wudhu meru-
pakan salah satu perbuatan orang mukallaf.yang termasuk salah satu
syarat sahnya shalat.
d. Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya:
"Pembunuh tidak mewarisi. "
(II.R. Abu Dawud. Imam Malik, dan Ahmad Ibn Hanbal)
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab
seseorang tidak mendapat harta waris adalah pembunuhan. Dengan
demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang
menjadi penghalang (mani)untuk menerima waris.
Dengan beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum
itu adalah perbuatan mukallaf.Berdasarkan hal itu, ulama Ushul

269
Fiqihmenetapkan kaidah "Tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan
terhadap perbuatan. “ Kaidah tersebut teiah disepakati objek sebagian besar
ulama ushul.Di antara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam
syara' tercakup hukum wajib ataupun sunah, maka perintahnya pasti jelas,
yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunah
tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adany
a perbuatan.
Begitu pula hukum syara' yang berkaitan dengan haram dan makruh
keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak
melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.
Namun menurut mayoritas golongan mu'tazilah.bahwa objek
hukum yang terkait dengan larangan, baik yang hukumnya haram ataupun
makruh bukanlah perbuatan, namun terjadi semata-mata karena tidak adanya
perbuatan. Dan hal itu merupakan kemampuan seorang mukallaf untuk tidak
mengerjakan perbuatan tersebut.
Pendapat seperti itu dinilai tidak tepat menurut jumhur, karena tidak
adanya perbuatan tidak berarti seseorang tidak mampu melakukannya. Dengan
demikian, tidak berkaitan dengan pujian ataupun pahala. Maka tidak ada
bedanya dengan ketiadaan sesuatu yang merupakan hasil dari sebelum adanya
keinginan untuk mengerjakannya. Maka otomatis tidak ada nilai tuntutan di
dalamnya.

2. Syarat-syarat Mahkum Bill


Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu
taklif(pembebanan hukum), yaitu:
a. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya
dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang
mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan shalat misalnya,
sebelum dia tahu persis, rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Quran, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat:
"Dirikanlah shalat!" Perintah shalat dalam Al-Quran ternyata masih global,
maka Rasulullah SAW. menjelaskannya sekaligus memberikan contoh,
sebagaimana sabdanya, “Shalatlah sebagaimana aku shalat." Begitu pula
perintah-perintah syara' lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebagainya.
Tuntutan untuk melaksanakannya dianggap tidak sah sebelum diketahui
syarat- syarat, rukun, waktu, dan sebagainya.
b. Mukallaf harus mengetahui sumber taklif Seseorang harus mengetahui bahwa
tuntutan itu dari Allah SWT. sehingga ia melaksanakannya berdasarkan
ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya, hal
itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hukum positif, yakni tidak
ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya
peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan
dalam pelaksanaannya sesuai tuntutan syara. Adapun yang dimaksud
dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang
dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan
kemampun melaksanakannya. Hal itu telah direalisasikan di dunia Islam.
Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya, dan diperkirakan mampu
mengetahui hukum syara; baik dengan cara mempelajari melalui akalnya
sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah bisa
dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari'at. Namun
tidaklah diterima suatu halangan dengan alasan karena kebodohan, sesuai
dengan pendapat para fuqaha: "Tidaklah diterima di dunia Islam, udzur
(halangan) yang disebabkan oleh kebodohan”.
Dan di antara sebab adanya pernyataan dimungkinkan mengetahui
hukum, karena apabila disyaratkan sorang mukallaf harus mengetahui tuntutan
yang dibebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu tidak
akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang berhalangan karena tidak
mengetahui hukum svara’. Dan kita pun sering menemukan dalam perundang-
perundangan manusia, bahwa hukum itu dinyatakan telah diketahui manusia,
apabila telah disebarluaskan secara wajar,
c. Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Berkaitan
dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk
dikerjakan atau ditinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik
berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh yang
mustahil berdasarkan zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan
larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu, yang bersamaan. Sedangkan contoh
kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah sesuatu yang bisa
digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan,
misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap, atau mengangkat gunung, dan
lain-lain.
Di antara dalil yang dikemukakan oleh jumhur ulama adalah: (I) Adanya
firman Allah SWT. bahwa Allah SWT. tidak menuntut suatu perbuatan sesuai
dengan kemampuannya (2) Kalau tuntutan yang mustahil itu dianggap sah maka
harus dilaksanakan. Padahal tidak mungkin berkumpul antara suatu kemustahilan
dengan adanya perbuatan. Selain itu, apabila tuntutan dinyatakan dengan sesuatu
yang mustahil, maka berarti perintah Allah itu tidaklah berguna. Hal itu tidak
mungkin.
Mayoritas Asy’ariyah. menyatakan kebolehan menuntut dengan sesuatu
yang mustahil. Mereka mengemukakan dua alasan: (1) Seandainya tidak sah
tuntutan dengan sesuatu yang tidak kuat untuk dilaksanakan, tentu tidak ada
tuntutan. Padahal itu sudah terjadi dalam syara. Seperti taklifberiman untuk
orang yang ingkar dan taklifAbu Jahai (orang kafir) untuk beriman dan
menyatakan bahwa rasul itu benar. Dalam kasus ini menurut mereka, Allah

271
sudah mengetahui bahwa mereka tidak akan beriman, dan Abu Jahal tidak akan
pernah menyatakan beriman dan membenarkan Rasul. Bila Allah tidak
mengetahu berarti Dia bodoh, padahal hal itu mustahil.
Jawaban untuk dalil pertama adalah hal itu bukanlah yang bisa
dipertentangkan. Perbuatan maksiat itu tidak berarti tidak adanya iman, karena
antara iman dan kemaksiatan bisa berkumpul. Sedangkan jawaban untuk dalil
yang kedua, bahwa Abu Jahal itu diperintahkan beriman kepada Rasulullah
yang mungkin dalam hatinya mengakui, namun Allah sangat mengetahui bahwa
dia tidak akan beriman, sebagaimana Allah pun mengetahui orang-orang yang
maksiat. Sebenarnya, ada tuntutan yang disepakati kebolehannya oleh para
ulama, yaitu tuntutan yang dikaitkan dengan ilmu Allah, seperti perintah iman
bagi orang kafir, padahal dia sudah mengetahui bahwa mereka tidak beriman,
namun seandainya beriman pun, tidaklah berarti bahwa Allah itu bodoh.
Al-Amidi sependapat dengan golongan yang menyatakan bahwa tuntutan
dengan hal yang mustahil itu tidak boleh berdasarkan pada tuntutannya itu
sendiri seperti tuntutan yang bertentangan, namun selain itu boleh saja. Imam
Ghazali sendiri cenderung memilih pendapat tersebut.
Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tuntutan dengan
sesuatu yang mustahil, selain yang berkaitan dengan ilmu Allah tidaklah terjadi
dalam sy ari'at. Namun, terjadi perbedaan tentang bolehnya tuntutan dengan
sesuatu yang mustahil, yang sebenarnya masalah teori saja. Al-Amidi
berpendapat bahwa para ulama telah sepakat tentang bolehnya tuntutan yang
berkaitan dengan ilmu Allah terhadap sesuatu yang mustahil menurut akal,
seperti perintah beriman kepada orang kafir. Meskipun hal itu bertentangan
dengan mereka yang memiliki dua Tuhan.
Kedua, para ulama ushul fiqihmenyatakan tidak sah hukumnya seseorang
melakukan perbuatan yang di-taklif-kan untuk dan atas nama orang lain. Oleh
karena itu. seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat
untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya.
Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan
oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasihati dan amar ma’rufnahyi
munkar.
Hadis-hadis yang menyatakan demikian antara lain hadis yang diiriwayatkan oleh
ibnu Abas, "Tidak boleh shalat seseorang untuk orang lain, begitu pula tidak boleh berpuasa
untuk orang lain” Dan Aisyah berkata. "Janganlah kamu shalat untuk menggantikan orang
yang telah mati, namun beri makanlah kepada mereka (pahalanya). Kecuali haji yang
dibolehkan menurut jumhur ulama dengan syarat-syarat tertentu. Namun hal itu tidak
dibolehkan oleh Imam Malik. Golongan Asy-'ari berpendapat bahwa dibolehkannya
menggantikan kewajiban orang lain yang berhubungan dengan badan adalah
berlawanan dengan pendapat Mu'tazilah, seperti dibolehkannya melaksanakan haji
untuk orang lain. Bahkan, golongan Syafi'i, Al-Auja'i dan Hambali membolehkan wali
menggantikan puasa untuk orang yang sudah meninggal. Di antara alasan mereka
adalah:

Artinya:
“Siapa yang meninggal dunia dan ia berutang puasa, maka walinya berkewajiban mengerjakan
puasa itu.
(HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad Ibn Hambal)
Akan tetapi. Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafi’i, menyatakan bahwa puasa
itu tidak boleh diwakilkan.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan
dengan fitrah manusia, seperti gembira, marah, takut, dan sebagainya karena hal itu
berada di luar kendali manusia. Hal itu bisa dikaitkan dengan kecintaan seorang suami
kepada istrinya yang satu dibandingkan kepada istri-istrinya yang lain. Dalam hal ini
Rasulullah bersabda, "Ya Allah ini adalah bagianku, makajangan paksakan dengan apa yang
Engkau miliki, namun tidak aku miliki. ”
Dengan demikian, walaupun ada tuntutan nash yang berkaitan dengan hal
tersebut, maka nash itu dipalingkan dari makna zahirnya
kepada sebab dan akibatnya. Seperti hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa tidaklah
beriman seseorang sehingga dia lebih mencintai Rasulullah SAW. daripada dirinya,
orang tuanya, anaknya dan seluruh manusia”. Maksud cinta di atas, bukanlah cinta yang
sesungguhnya. namun berhubungan dengan ketaatan.
Keempat, tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah
ibadah dan bersuci untuk shalat. Dalam hal ini. terdapat perbedaan pendapat ulama
Ushul Fiqih, yatu permasalahan, apakah orang kafir dibenani taklif untuk melaksanakan
hukum syara' sekalipun dalam masalah keimanan mereka dibebani taklif ?
Tidaklah diperselisihkan bahwa orang kafir diserukan untuk beriman,
bermuamalah. dan diberi hukuman, karena Rasulullah SAW. itu diutus semua manusia.
Adapun peraturan hukum syara. hak dengan aqidah, harta, utang dan tanggung jawab
adalah berkaitan dengan masalah hukum positif, tetapi hal itu menjadi bahan
perdebatan di kalangan para ulama. Apakah mereka dituntut untuk melaksanakan
terhadap perkara yang tidak mereka yakini bahwa hal itu harus dilakukan oleh mereka?
Dalam hal ini ada golongan:
a. Menurut jumhur Asyariyah. Mu’tajilah. dan orang-orang Iraq, bahwa sampainya
syarat-syarat bukanlah syarat dalam tuntutan, tidak pula disyaratkan dalam
tuntutan dengan tindakan, yakni syarat itu dihasilkan ketika dilaksanakannya
tuntutan. Maka orang kafir jelas diharuskan untuk melaksanakan tuntutan dan
mendapat siksa bila tidak melaksanakan tuntutan tersebut.
b. Golongan Jumhur Hanafi dan Abu Hamid Al-Asfarayini dari mazhab Syafi'i
berpendapat bahwa terpenuhinya syarat syara’ merupakan syarat dalam tuntutan.
c. Dan golongan lain yang merupakan pecahan dari pendapat kedua, berpendapat

273
bahwa orang-orang kafir dituntut dalam hal larangan tetapi tidak dalam perintah.
Karena larangan itu identik dengan hukuman.
Alasan jumhur ulama bahwa orang kafir itu tetap terkena tuntutan meskipun tidak
beriman, adalah sebagai berikut:
1. Adanya perintah Allah secara umum seperti, "Hai manusia beribadahlah
kepada Tuhan kamu semua! ”
2. Adanya janji mendapatkan siksa bagi orang-orang yang meninggalkan
shalat, seperti firman Allah "Kenapakamu semua berada di neraka Saqar?
Mereka menjawab, ” kami semua bukan dari golongan orang yang suka
melaksanakan shalat, dan memberi makan kepada fakir miskin. ”
3. Secara rasional bisa dikatakan kepada orang kafir: “Diwajibkan kepada
kamu shalat yang syarat sahnya adalah iman, maka diwajibkan kepadamu
untuk beriman” Tuntutan seperti itu dibolehkan secara akal. Selain itu,
orang kafir pun dihukum karena zina, maka perintah pun bisa diqiyaskan.
Alasan Ulama Hanafiyah:
1. Kalau orang kafir dituntut untuk melaksanakan ibadah maka kekufuran
mereka dianggap sah, atau bisa mengerjakan karena terpenuhi syarat,
padahal kafir itu tidak memenuhi syarat dan dilarang. Jumhur menjawab,
bahwa kekafirannya itu bukan penguat dalam melaksanakan ibadah, tetapi
ia harus beriman terlebih dahulu Seperti orang yang haid dan batal wudu,
maka ia harus mandi wudhu terlebih dahulu.
2. Kalau mereka terkena taklif, maka harus dihukum jika masuk Islam,
padahal menyalahi kesepakatan ulama. Jumhur menyatakan bahwa tidak
adanya hukuman bagi mereka itu berdasarkan nash yakni firman Allah
SWT., “Jika mereka mengakhiri kekafiran mereka, maka diampuni dosa mereka
yang terdahulu ”
Sementara itu, golongan yang memisahkan antara perintah dan larangan
berpendapat bahwa yang dituntut kepada orang kafir itu hanya larangan saja, yakni
meninggalkan yang dilarang. Hal itu sangat mungkin terjadi bagi orang kafir.
Pernyataan tersebut dibantah oleh jumhur ulama, bahwa kekufuran itu dilarang dan
harus ditinggalkan sebagaimana perintah suatu perbuatan. Dan perlu diingat, bahwa hal
itu berhubungan dengan pahala, sehingga tidak bisa mereka peroleh, kecuali setelah
mereka beriman. Maka meninggalkan larangan itu sebenarnya juga merupakan
perbuatan, yakni menahan diri, yang berarti pula perbuatan menahan diri.
Sedangkan alasan mereka bahwa orang kafir itu tidak terkena .tuntutan perintah,
karena bila shalat misalnya diwaj ibkan kepada mereka.
tentu mereka harus melaksanakannya. Padahal shalatnya itu tidak sah dan tidak
mungkin syariat menuntut sesuatu yang rusak (tidak sah). Dan terbukti pula, mereka
tidak diwajibkan qada setelah beriman. Jawaban jumhur, bahwa adanya tuntutan
perintah kepada orang kafir bukanlah pada waktu ia kafir, tetapi pada sat ia telah Islam
Nabi Muhammad SAW. bersabda, "Islam itu mewajibkan yang ada sebelumnya dan
mengharuskan mengqada terhadap apa yang dituntut kepadanya, namun dinyatakan
gugur sebagai penggembira bagi mereka (orang kafir)
Menurut Imam Asy-Syaukani, yang paling benar adalah pendapat Jumhur. Pada
kenyataannya sebagian besar ulama menyatakan bahwa orang kafir tidak terkena
tuntutan karena kekufurannya. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang siksaan
yang mereka peroleh di akhirat. Menurut pendapat jumhur, mereka akan mendapat dua
siksa, yaitu siksa karena tidak beriman dan siksaan karena tidak melaksanakan syari'at.
Namun, menurut golongan Hanafi mereka hanya akan menerima satu siksaan saja,
yakni siksa karena tidak beriman.
Perbedaan pendapat antara dua golongan di atas, antara Jumhur ulama dan
golongan Hanafi, menimbulkan beberapa hal, di antaranya:
a. Menurut golongan jumhur, orang kafir terkena hukum dalam pernikahan seperti
cerai, kifarat dzihar, dan sebagainva. Namun, golongan Hanafi berpendapat
sebaliknya, bahwa meeka tidak terkena hukuman tersebut, karena mereka bukan
ahlinya,
b. Bolehkah seorang kafir yang sedang junub memasuki mesjid ataukah tidak dan
sebagainva.
2.1 A l-Masyaqqah
Telah dibahas di atas, bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilaksanakan.
Bagaimana bila ada tuntutan yang susah dilaksanakan? Masalah itu sebenarnya masih
berkaitan dengan taklifyang mustahil dilaksanakan.
Disepakati bahwa hidup adalah usaha jihad. Di dalam mencapai suatu cita-cita
sangat bergantung kepada adanya kesungguhan dan kuatnya keinginan. Begitu pula
dalam merealisasikan syari'at tidaklah terlepas dari rintangan dalam pelaksanaannya.
Untuk itu, akan dijelaskan maksud dari masyaqqah(halangan) serta pembagiannya:
Masyaqqahitu terbagi dalam dua bagian:
a. Masyaqqah mu ’tadah, adalah kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa
menimbulkan bahaya bagi dirinya. Kesulitan seperti itu tidak bisa dijadikan alasan
untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap perbuatan itu tidak mungkin terlepas
dari kesulitan dalam melaksanakannya. Bahkan definisi taklif adalah permintaan
untuk merealisikan sesuatu yang di dalamnya terdapat kesulitan. Namun tidak
berarti bahwa tujuan syari’at mengatasi kesulitan. Tujuan utama syari’at adalah
kemaslahatan dan ketertiban. Seperti diwajibkannya shalat bukan dimaksudkan
agar badan capai dan membebani pikiran. Tapi bertujuan untuk melatih diri
supaya bisa khusuk dalam menghamba kepada Allah, bahkan lebih jauh lagi
supaya bisa mencegah diri dari perbuatan keji dan munkar.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan untuk mengutamakan untuk
menghilangkan kesulitan atau mencari-cari sesuatu yang lebih sulit, dengan
sangkaan bahwa semakin sulit suatu taklif semakin banyak pahalanya. Sangkaan
semacam itu bertentangan dengan maksud syara’. Maka bila ada orang yang
sengaja meninggalkan jalan yang biasa ia gunakan untuk pergi ke mesjid
misalnya, dan memilih jalan yang penuh dengan rintangan ia tidak dapat
dibenarkan.

275
Dalam sebuah atsar dinyatakan bahwa keutamaan rumah yang dekat dengan
masjid dibanding yang jauh, seperti lebih utamanya orang yang berperang dengan
yang duduk (tidak berperang).
b. Masyaqqah ghairu mu’tadah, (kesulitan yang tidak wajar), adalah suatu
kesulitan/kesusahan yang di luar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan
akan merusak jiwanya bila dipaksakan. Hal itu terjadi, biasanya apabila melebih-
lebihkan perbuatan yang sebenarnya bermanafaat.
Taklif seperti itu mungkin bisa menurut akal, namun tidak ada dalam
syari’at. Allah tidaklah menuntut kepada manusia untuk melakukan perbuatan
yang menyebabkan kesusahan dan kemadaratan. Misalnya, puasa terus-menerus
dan mewajibkan diri untuk selalu bangun malam.
Alasan yang dikemukakan oleh ulama Ushul Fiqihdalam hal ini adalah:
1. Ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang menghilangkan kesulitan dan
kesempitan dalam syara’, seperti:
a. Dalam surat Al-Hajj : 78

Artinya:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan ... ”
(QS. Al-Hajj : 78)

b. Surat An-Nisa : 28

Artinya:
“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan
bersifat lemah. ”
(QS. An-Nisa : 28)

c. Surat Al-Baqarah : 185


Artinya:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran, bagimu ...”
(QS. Al-Baqarah : 185)
2. Dalam hadis Rasulullah SAW. sangat banyak yang menunjukkan bahwa syari’at
Islam tidak membebani seseorang dengan berbagai kesulitan dan kesempitan. Misalnya
sabda Rasulullah SAW.

Artinya:
“Sesungguhnya aku orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah, tetapi saya
berpuasa, berbuka, shalat, tidur, dan kawin. Siapa yang benci terhadap Sunahku maka ia
bukanlah dari golonganku. ”
(H.R. Al-Bukhari, Muslim dan An-Nasai’ dari Anas Ibn Malik)
Selain itu, ada hadis lain yang menyatakan:

Artinya:
'Ambillah olehmu amalan-amalan yang mampu kamu kerjakan. " (H.R. Al-Bukhari,
Muslim, Imam Malik, Abu Dawud, An-Nasai dan At-Tirmidzi, dari ‘Aisyah)
Apabila dalam suatu amalan terdapat kesulitan untuk mengerjakannya, maka

277
Allah SWT. pun memberikan keringanan
dengan cara yang oleh para ahli Ushul Fiqh disebut rukhsah.
Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW. bersabda:

Artinya:
"Sesungguhnya Allah menyukai untuk mendatangkan rukhsah-Nya, sebagaimana Ia
mendatangkan azimah-Nya. ”
(HR. Ah mad Ibn Hambal dan Al-Baihaqi dari Abdullah
Ibn Umar) Adanya rukhsah (keringanan) dalam hukum syara’, seperti
dibolehkannya menjama’ dan mengqasar shalat, dan lain-lain, menunjukkan
bahwa syariaat tidak menginginkan kesusahan bagi manusia.
Adapun yang dimaksud adanya pahala bagi mereka yang berusaha sekuat
tenaga dalam melaksanakan ibadah, tidak termasuk pada kesulitan yang
dimaksud di sini. Hal itu merupakan fadilah amal, atau berhubungan dengan
kesabaran yang akan memperbanyak pahala. Seperti pahala orang yang berjihad
akan lebih besar daripada orang yang menghindari jihad.
3. Adanya ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa tidak ada tuntutan syara' yang
menyebabkan kesulitan. Jelas sekali, menunjukkan tidak adanya maksud
syari’at untuk menjadikan manusia berada dalam kesulitan.
2.2 Pembagian Kemampuan menurut Ulama Hanafiyah
Menurut Ulama Hanafiyah, kemampuan adalah terjaganya alat (sarana) untuk
melakukan sesuatu serta sahnya syarat. Maksudnya adalah adanya perantara untuk
melakukan tuntutan tersebut, seperti sehat,

279
adanya air, dan lain-lain. Kemampuan tersebut menurut mereka terbagi dalam dua
bagian: mutlaqdan kesempurnaan.
a. Mutlaq.adalah kemampuan yang mungkin, yaitu adanya sarana untuk
melaksanakan kewajiban, baik berupa harta ataupun yang lainnya. Oleh karena
itu, air mutlak diperlukan untuk berwudu, atau adanya kemampuan mutlak
diperlukan kalau akan melaksanakan ibadah haji, dan sebagainya.
Tidaklah disyaratkan keberadaan syarat itu harus sesuai dengan keadaan
wajib, seperti saksi waktu pernikahan tidak disyaratkan harus terus menyaksikan
pernikahan tersebut. Dan tidak pula gugur kewajiban haji, jika seseorang telah
mampu, tetapi tidak melaksanakan sampai hartanyanya habis, dan sebagainya.
b. Sempurna, adalah kemampuan yang memudahkan, yakni adanya faktor yang
memudahkan dalam pelaksanaan kewajiban. Memang benar, kewajiban sangat
bergantung pada syarat ini, sehingga seakan-akan dapat mengubah sesuatu yang
sulit kepada sesuatu yang mudah. Hal itu, biasanya terjadi pada tuntutan yang
berkaitan dengan harta, bukan dengan badan. Seperti kewajiban zakat, yang
merupakan keiebihan dari harta. Di dalamnya disyaratkan harus bertemu satu
tahun (haul). Dimaksudkan, antara lain supaya modal dari harta tidak habis,
meskipun bisa saja diwajibkan sebelum setahun. Oleh karena itu. kewajiban zakat
itu ada, selama adanya harta.
Berdasarkan kemudahan tersebut, kewajiban zakat akan gugur dengan
sendirinya bila harta rusak atau mempunyai utang. Karena bila dipaksakan maka
kemudahan tersebut akan berubah menjadi kesulitan.

J. Macam-Macam Mahkum fih


Para ulama Ushul Fiqh membagi mahkuh fih dari dua segi, yaitu: dari segi
keberadaannya secara material dan syara7, serta dari segi hak yang terdapat dalam
perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri atas:
a. Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan
yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan
minum adalah perbuatan mukallaf. tetapi perbuatan makan itu tidak terkaitdengan
hukum syara'.
a. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’,
seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab
adanya hukum syara', yaitu hudud dan qishah.
b. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila
memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
c. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara' serta mengakibatkan adanya
hukum syara" yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Perbuatan
seperti ini secara material ada dan diakui oleh syara’. Apabila memenuhi rukun
dan syaratnya, perbuatan itu mengakibatkan munculnya hukum syara'yang lain,
yaitu halalnya berhubungan suami istri, kewajiban nafkah, dan kewajiban mahar
dalam perkawinan; berpindahnya hak milik dalam jual beli: dan berhaknya
seseorang menafkahkan milik orang lain; serta berhaknya pihak lain untuk
menerima upah dalam akad sewa menyewa.
Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi
dalam empat bentuk, yaitu;
a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan
kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan
melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini.
Hak sifatnya semata- mata hak Allah ini. menurut ulama Ushul Fiqihada delapan
macam:
1. Ibadah Mahdah (murni), seperti iman dan rukun Islam yang lima.
2. Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,
seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan
kewajiban itu berlaku untuk semua orang, termasuk anak kecil/orang gila
yang belum/ tidak mampu bertindak hukum.
3. Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang
dikeluarkan dari bumi.
4. Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak
bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
5. Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana, seperti hukuman
berbuat zina (dera atau rajam), hukuman pencurian (potong tangan),
hukuman qadzaf (dera 80 kali), dan hukuman-hukuman terhadap tindak
pidana ta 'zir.
6. Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris atau
wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
7. Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat
dzihar, kafarat sumpah, kafarat orang yang melakukan senggama di siang
hari bulan Ramadhan, dan berbagai diyat lainnya.
8. Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima
harta terpendam dan harta rampasan perang.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi
harta seseorang yang dirusak, hak-hak kepemilikan, dan hak-hak pemanfaatan
hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digugurkan oleh pemiliknya.
c. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya
lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf(menuduh orang lain
berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak
Allah, dan dari sisi menghilangkan malu dari orang yang dituduh, hak ini
termasuk hak pribadi (hamba Allah). Akan tetapi, menurut ulama UshulFiqih, hak
Allah lebih dominan dalam masalah ini.
d. Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih
dominan, seperti dalam masalah qishash. Hak Allah dalam qishali tersebut
berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah

281
seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah
menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi, karena
dalam pelaksanaan qishash itu sepenuhnya diserahkan kepada ahli waris terbunuh
dan mereka berhak untuk menggugurkan hukuman tersebut, maka hak hamba
Allah dianggap lebih dominan dalam hal ini.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian mahkum fih, dan apa bedanya dengan mahkum bih!
2. Sebutkan dua contoh mahkum fih yang berkaitan dengan larangan dan kewajiban!
3. Apakah tidak melakukan sesuatu karena ada larangan dikategorikan sebagai
perbuatan?
4. Ada berapakah syarat-syarat mahfumfih sebutkan!
5. Mengapa jumhur berpendapat tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang
mustahil?
6. Bolehkah seseorang menggantikan taklif terhadap orang lain?
7. Sebutkan macam-macam masyaqqah!
8. Ada berapa macamkah kemampuan menurut ulama Hanafiyah? Sebutkan!
9. Jelaskan macam-macam mahkum fih secara global!
10. Berikan contoh mahkum fih yang di dalamnya terdapat kompromi antara hak Allah
dan hak hamba!

A. MAHKUM ALAIH (SUBJEK HUKUM)


1. Pengertian Mahkum Alaih
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa mahkum alaih adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitab Allah ta'ala, yang disebut mukallaf.
Dari segi bahasa, mukallaf diartikan sebagai orang yang dibebani hukum,
sedangkan dalam isitilah ushul fiqih, mukallaf disebut juga mahkum alaih (subjek
hukum). Mukallaf adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak hukum, baik
yang berhubungan dengan perintah Allah maupun dengan larangan-Nya. Semua
tindakan hukum yang dilakukan mukallaf akan diminta pertanggungjawabannya, baik di
dunia maupun di akhirat, la akan mendapatkan pahala atau imbalan bila mengerjakan
perintah Allah, dan sebaliknya, bila mengerjakan larangan- Nya akan mendapat siksa
atau risiko dosa karena melanggar aturan-Nya. di samping tidak memenuhi
kewajibannya.
2. Taklif
2.1 Dasar Taklif
Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah dianggap
mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian besar
ulama Ushul Fiqihberpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bisa
dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang
ditujukan kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidak
bisa memahami taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya). Termasuk ke dalam
golongan ini, adalah orang dalam keadaan tidur, mabuk, dan lupa, karena dalam
keadaan tidak sadar (hilang akal). Sebagaimana sabda Rasulullah SAW. :

Artinya:
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun, anak
kecil sampai baligh, dan orang gila sampai ia sembuh. ”
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari
Aisyah dan Ali Ibnu Abi Thalib)

Rasulullah SAW. pun menegaskan dalam hadis lainnya:

Artinya:
" Umatku tidak dibebani hukum apabila mereka terlupa, tersalah, dan dalam keadaan terpaksa.

(HR. Ibnu Majali dan Thabrani)
Dengan demikian, jelaslah bahwa taklif hanya diperuntukkan bagi orang yang dianggap
cakap dan mampu untuk melakukan tindakan hukum.

2.2 Syarat-Syarat Taklif


Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif apabila
telah memenuhi dua syarat, yaitu: a. Orang itu telah mampu memahami khithab Syar

283
’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam AI-Quran dan Sunnah, baik secara langsung
maupun melalui orang lain.
Hal itu, karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami
khithab syar 'i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu taklif.
Kemampuan untuk memahami taklif tidak bisa dicapai, kecuali melalui akal
manusia, karena hanya akallah yang bisa mengetahui taklif itu harus dilaksanakan atau
ditinggalkan. Akan tetapi, telah dimaklumi bahwa akal adalah sesuatu yang abstrak dan
sulit diukur, dan dipastikan berbeda antara satu orang dengan yang lainnya, maka
syara’ menentukan patokan dasar lain sebagai indikasi yang konkret (jelas) dalam
menentukan seseorang telah berakal atau belum. Indikasi konkret itu adalah balighnya
seseorang. Penentu bahwa seseorang telah baligh itu ditandai dengan keluarnya haid
pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria melaui mimpi yang pertama
kali, atau telah sempurna berumur lima belas tahun. Seperti ditegaskan dengan firman
Allah SWT. dalam surat An-Nur : 59)

Artinya:

Apabila anakmu sampai umur baligh, maka hendaklah mereka minta izin, seperti
orang-orang yang sebelum mereka minta izin... ”
(QS. An-Nur : 59)
Ayat di atas, dapat dianggap sebagi syarat pertama taklif, bahwa anak kecil,
orang gila, orang lupa, orang terpaksa, orang tidur, dan orang bersalah
(khaththa), tidak dikenakan taklif karena keadaan mereka dianggap tidak atau
belum memahami dalil syara sesuai dengan sabda Rasuullah SAW. :
285
Artinya:
“Diangkat pembebanan hukum dari tiga (jenis orang); orang tidur sampai ia bangun,
anak kecil sampai balig, dan oran gila sampai ia sembuh. "
(HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah dan Daru Quthni dari Aisyah dan
Ali Ibnu Abi Thalib)
Namun, dalam syarat pertama ini bukan tidak terdapat permasalahan, karena
dalam beberapa hal, anak kecil dan orang gila pun dikenakan beberapa kewajiban,
seperti membayar zakat dari hartanya. Untuk menghindari adanya
kesalahpahaman, Imam Al-Ghazali, Al-Amidi, dan Imam Asy-Syaukani
menjelaskan bahwa anak kecil dan orang gila memang dikenakan kewajiban
membayar zakat, baik zakat mal maupun zakat fitrah, nafkah diri mereka dan ganti
rugi (dhaman) akibat perbuatan mereka bila merusak atau menghilangkan harta
orang lain. Untuk itu, diambil dari harta, mereka sendiri. Akan tetapi, kewajiban
tersebut tidak berkaitan dengan perbuatan anak kecil dan orang gila tersebut, tetapi
berkaitan dengan harta. Oleh karena itu, dalam kasus tersebut yang bertindak
membayarkan kewajiban zakat pada mereka; mengambilkan nafkah untuk diri
mereka dan ganti rugi yang disebabkan kelalaian mereka adalah wali mereka
masing-masing. Seluruh pengeluaran itu diambilkan wali dari harta mereka.
Dengan demikian, seluruh kewajiban berkaitan dengan harta anak kecil dan orang
gila tersebut, bukan dengan diri mereka.(Ibnu Hajib: 46, Al-Amidi: 137, Asy-
Syaukani: 11 dan Asy-Syarakhi: 340)
b. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut
dengan ahliyah.
Dengan demikian, seluruh perbuatan orang yang belum atau tidak mampu
bertindak hukum, belum atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Maka anak kecil
yang belum baligh, yang dianggap belum mampu bertindak hukum, tidak
dikenakan tuntutan syara'. Begitu pula orang gila, karena kecakapannya untuk
bertindak
hukumnya hilang. Selain itu, orang yang pailit dan yang berada di
bawah pengampunan (hajr), dalam masalah harta, dianggap tidak mampu
bertindak hukum, karena kecakapan bertindak hukum mereka dalam masalah
harta dianggap hilang.
3. Ahliyah
3.1 Pengertian ahliyyah
Secara harfiyah (etimologi), ahliyyahberarti kecakapan menangani suatu urusan”.
Misalnya orang yang memiliki kemampuan dalam suatu bidang, maka ia dianggap ahli
untuk menangani bidang tersebut.
Adapun arti ahliyyah secara terminologi, menurut para ahli ushul fiqih, antara
sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang dijadikan ukuran oleh syari' untuk menentukan
seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara. ”
(Al-Bukhari : II: 1357)
Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa ahliyyah adalah sifat yang
menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan akalnya, sehingga seluruh
tindakannya dapat dinilai oleh syara’. Orang yang telah mempunyai sifat tersebut
dianggap telah sah melakukan suatu tidakan hukum, seperti transaksi yang bersifat
menerima hak dari orang lain. Dengan demikian, jual belinya, hibbahnya, dan lain-lain
dianggap sah. la juga telah dianggap mampu untuk menerima tanggung-jawab, seperti
nikah, nafkah, dan menjadi saksi.
Kemampuan untuk bertindak hukum tidak datang kepada seseorang secara
sekaligus, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu, sesuai dengan perkembangan
jasmani dan akalnya. Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqih,membagi ahliyyah tersebut
sesuai dengan tahapan-tahapan perkembangan jasmani dan akalnya.
3.2 Pembagian Ahliyyah
Menurut para ulama ushul fiqih, ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, yaitu: (Ibnu
Amir, II: 164)
3.2.1 AhIiyyah ada’
Yaitu sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Apabila perbuatannya sesuai dengan tuntutan syara’, ia
dianggap telah memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya, bila
melanggar tuntutan syara’, maka ia dianggap berdosa dan akan mendapatkan siksa.
Dengan kata lain, ia dianggap telah cakap untuk menerima hak dan kewajiban.
Menurut kesepakatan ulama ushul fiqih,yang menjadi ukuran dalam menentukan

287
apakah seseorang telah memiliki ahliyyah ada ’ adalah 'aqil, baligh dan cerdas.
Kesepakatan mereka itu didasarkan para firman Allah dalam surat An-Nisa : 6:

Artinya:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup untuk menikah. Kemudian jika menurut
pendapatmu mereka cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya... ”
(QS. An-Nisa : 6)
Kalimat “cukup umur” dalam ayat di atas, menurut ulama ushul fiqih,antara lain
ditunjukkan bahwa seseorang telah bermimpi dengan mengeluarkan mani untuk pria
dan telah keluar haid untuk wanita. Orang seperti itulah yang dianggap cakap untuk
melakukan tindakan hukum sehingga seluruh perintah dan larangan syara’ dapat ia
pikirkan dengan sebaik-baiknya dan dan dapat ia laksanakan dengan benar. Apabila ia
tidak melaksanakan perintah dan melanggar larangan, maka ia harus bertanggung
jawab, baik di dunia maupun di akhirat.
5.2.2 Ahliyyah Al-Wajib
Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya,
tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Misalnya, ia telah berhak untuk
menerima hibbah. Dan apabila harta bendanya dirusak orang lain, ia pun dianggap
mampu untuk menerima ganti rugi. Selain itu, ia juga dianggap mampu untuk
menerima harta waris dari keluarganya.
Namun demikian, ia dianggap belum mampu untuk dibebani kewajiban-
kewajiban syara’, seperti shalat, puasa, dan haji, dan lain-lain. Maka walaupun ia
mengerjakan amalan-amalan tersebut, statusnya sekadar pendidikan bukan kewajiban.
Menurut ulama ushul fiqih,ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah al-
wujub adalah sifat kemanusiaannya yang tidak dibatasi oleh umur, baligh, kecerdasan,
dan lain-lain. Sifat ini telah dimiliki seseorang semenjak dilahirkan sampai meninggal
dunia dan akan hilang dari seseorang apabila orang yang bersangkutan meninggal
dunia. Berdasarkan ahliyyah wujub, anak yang baru lahir berhak menerima wasiat, dan
berhak pula untuk menerima pembagian warisan. Akan tetapi, harta tersebut tidak boleh
dikelola sendiri, tetapi harus dikelola oleh wali atau washi (orang yang diberi wasiat
memelihara hartanya), karena anak tersebut dianggap belum mampu untuk memberikan
hak atau menunaikan kewajiban.
Para ulama ushul fiqh juga membagi ahliyyah al-wujub menjadi dua bagian (Al-
Taftazani: 152, Al-Baidhawi: 306, Al-Ghazali: 84, Musthafa As-Sibai’: 106)
1. Ahliyyah al-wujub al-naqishah
Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin). Janin sudah
dianggap memiliki ahliyyah al-wujub, tetapi belum sempurna. Hak-hak yang harus ia
terima belum dapat menjadi miliknya, sebelum ia lahir ke dunia dengan selamat
walaupun hanya untuk sesaat. Dan apabila telah lahir, maka hak-hak yang ia terima
dapat menjadi miliknya.
Para ulama ushul fiqhsepakat bahwa ada empat hak bagi seorang janin, yaitu:
a. Hak keturunan dari ayahnya,
b. Hak warisan dari pewarisnya yang meninggal dunia. Dalam kaitan ini, bagian
harta yang harus dia terima diperkirakan dari jumlah

289
terbesar yang akan ia terima, karena jika seorang laki-laki, maka bagiannya lebih
besar dari seorang wanita, apabila ternyata janin itu wanita, maka kelebihan
warisan yang disisakan itu dikembalikan kepada ahlil waris lain.
c. Wasiat yang ditujukan kepadanya.
d. Harta wakaf yang ditujukan kepadanya.
Para ulama fiqihmenetapkan bahwa wasiat dan wakaf merupakan transaksi
sepihak; dalam arti pihak yang menerima wasiat atau wakaf tidak harus menyatakan
persetujuannya untuk sahnya akad tersebut. Dengan demikian, penerima wasiat dan
wakaf tidak perlu menyatakan penerimaannya. Dalam hal ini. w asiat atau wakaf yang
diperuntukkan kepada janin, secara otomatis menjadi milik janin tersebut.

2. Ahliyah Al-Wujub Al-Kamilah


Yaitu kecakapan menerima hak bagi seorang anak yang telah lahir ke dunia
sampai dinyatakan balig dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang
giia.
Dalam status ahliyyah al-wujub (baik yang sempurna ataupun tidak), seseorang
tidak dibebani tuntutan syara', baik bersifat ibadah mahdlah, seperti shalat dan puasa,
maupun yang sifatnya tindakan- tindakan hukum duniawi, seperti transaksi yang
bersifat pemindahan hak milik.
Namun demikian, menurut kesepakatan ulama ushul, apabila mereka melakukan
tindakan hukum yang bersifat merugikan orang lain, maka orang yang telah berstatus
ahliyyah al-ada ataupun ahliyyah al-wajib al-kamilah, wajib
mempertanggungjawabkannya. Maka wajib memberikan ganti rugi dari hartanya
sendiri, apabila tindakannya berkaitan dengan harta. Dan pengadilan berhak untuk
memerintahkan wali atau washi anak kecil yang masih dalam ahliyah al-wajih, untuk
mengeluarkan ganti rugi terhadap harta orang lain yang dirusak dari harta anak itu
sendiri.
Akan tetapi, apabila tindakannya berkaitan dengan hal-hal yang bersifat fisik
rohani, seperti melukai seseorang dan bahkan membunuhnya, maka tindakan hukum
anak kecil yang memiliki ahliyah al-wajib al- kamilah belum dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum, karena ia dianggap belum cakap untuk
bertindak hukum. Maka hukuman terhadap
pembunuhan yang ia lakukan tidak dengan qishash, tetapi dianggap sebagai melukai
atau pembunuhan semisengaja; yang hukumnya dikenakan diyat.
Adapun bagi orang yang telah berstatus ahliyyah al-ada,apabila melakukan
tindakan hukum yang merugikan harta, fisik, atau nyawa orang lain, ia bertanggung
jawab penuh untuk menerima hukuman apapun bentuknya yang diputuskan syara'atau
pengadilan. Misalnya, ia wajib membayar ganti rugi terhadap harta orang lain yang
dirusaknya. Dan ia pun harus Al-qishashapabila melakukan tindakan melukai orang
lain dan pembunuhan.
3.3 Halangan ahliyyah
Sebagaimana telah dibahas di atas, bahwa penentuan mampu atau tidaknya
seseorang dalam bertindak hukum dilihat dari segi akalnya. Akan tetapi, para ulama
sepakat bahwa berdasarkan hukum biologis, akal seseorang bisa berubah, kurang,
bahkan hilang. Akibatnya, mereka dianggap tidak mampu lagi dalam bertindak hukum.
Berdasarkan inilah, ulama ushul fiqihmenyatakan bahwa kecakapan bertindak hukum
seseorang bisa berubah disebabkan hal-hal berikut:
a. Awaridh as-samawiyah, yaitu halangan yang datangnya Allah bukan disebabkan
perbuatan manusia, seperti gila, dungu, perbudakan, mardh maut(sakit yang
berlanjut dengan kematian), dan lupa.
b. Awaridh al-muktasabah,maksudnya halangan yang disebabkan perbuatan
manusia, seperti mabuk, terpaksa, bersalah, berada di bawah pengampunan dan
bodoh.
Kedua bentuk halangan tersebut sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakan
hukumnya, yakni adakalanya bersifat menghilangkan sama sekali, mengurangi atau
mengubahnya. Oleh karena itu. mereka membagi halangan bertindak hukum itu dilihat
dari segi objek-objeknya dalam tiga bentuk: (Al-Bannani: 1, 72, Zhahir: 170, Al-
Anshari: 166) a. ' Halangan yang bisa menyebabkan kecakapan seseorang bertindak
hukum secara sempurna (ahliyah al-'ada) hilang sama sekali, seperti gila, tidur, lupa,
dan terpaksa. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah SAW:

Artinya:
"Diangkatkan (pembebanan hukum) dari umatku yang tersalah, terlupa, dan terpaksa. ”
(HR. Ibnu Majali dan Thabrani)
b. Halangan yang dapat mengurangi ahliyyah al- 'ada. seperti orang dungu. Orang
seperti ini,ahliyyah al-ada-nya tidak hilang sama sekali, tetapi bisa membatasi

291
sifat kecakapannya dalam bertindak hukum. Maka tindakan hukum yang sifatnya
bemanfaat untuk dirinya dinyatakan sah, namun yang merugikan dirinya
dianggap batal.
c. Halangan yang sifatnya dapat mengubah tindakan hukum seseorang, seperti
orang yang berutang, pailit, di bawah pengampunan, orang yang lalai, dan
bodoh. Sifat-sifat tersebut, sebenarnya tidak mengubah ahliyyah al-ada' seseorang,
tetapi beberapa tindakan hukumnya yang berkaitan dengan masalah harta
dibatasi. Hal itu dimaksudkan untuk kemaslahatan dirinya dan hak-hak orang
yang membayar utang.

SOAL LATIHAN
1. Jelaskan pengertian mahkum alaih !
2. Apakah yang menjadi dasar adanya taklif!
3. Tuliskan dua hadis yang menurut para ulama ushul sebagai dasar taklif!
4. Kapankah seseorang bisa dikenakan taklif, sebutkan syarat-syarat taklif!
5. Jelaskan pengertian Ahliyyah !
6. Uraikan pembagian Ahliyyah secara global!
7. Sebutkan hak anak yang masih ada dalam kandungan ibunya!
8. Apakah hukuman atas pembunuhan yang dilakukan oleh oleh anak yang belum
baligh?
9. Ada berapa macamkah halangan dalam Ahliyyah?
10. Apakah orang dungu dimintai pertanggungjawaban atas semua tindakan
hukumnya?
D. HAKIM (PEMBUAT HUKUM / ALLAH)
1. Pengertian Hakim
Bila ditinjau dari segi bahasa, hakim mempunyai dua arti, yaitu: Pertama:

Artinya:
'Pembuat hukum, yang menetapkan, memunculkan sumber hukum.
” Kedua:

Artinya:
"Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan
menyingkapkan. ”
Hakim termasuk persoalan yang cukup penting dalam Ushul Fiqih, sebab berkaitan
dengan pembuat hukum dalam syari’at Islam, atau pembentuk hukum syara’, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya. Dalam ilmu ushul
fiqih,hakim juga disebut dengan syar ’i.
Disepakati bahwa wahyu merupakan sumber syari’at. Adapun sebelum datangnya
wahyu, para ulama memperselisihkan peranan akal dalam menentukan baik buruknya
sesuatu, sehingga orang yang berbuat baik diberi pahala dan orang yang berbuat buruk
dikenakan sanksi.
Dari pengertian pertama tentang hakim di atas, dapat diketahui bahwa hakim
adalah Allah SWT. Dia-lah pembuat hukum dan satu- satunya sumber hukum yang
dititahkan kepada seluruh mukallaf. Dalam Islam, tidak ada syari’at, kecuali dari Allah
SWT. baik yang berkaitan dengan hukum-hukum taklif (wajib, sunah, haram, makruh,
dan mubah),

293
maupun yang berkaitan dengan hukum wadhi’ (sebab, syarat, halangan, sah, batal,
fasid, azimah, dan rukhsah). Menurut kesepakatan para ulama, semua hukum di atas
bersumber dari Allah SWT. melalui Nabi Muhammad SAW., maupun hasil ijtihad
para mujtahid melalui berbagai teori istinbath, teperti qiyas, Ijma’, dan metode
istinbathlainnya untuk menyingkap hukum yang datang dari Allah SWT. Dalam hal
ini, para ulama ushul fiqhmenetapkan kaidah:

Artinya:
“Tidak ada hukum kecuali bersumber dari Allah. ”
Dari pemahaman kaidah tersebut para ulama ushul fiqih mendefinisikan hukum
sebagai titah Allah SWT. yang berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, baik
berupa tuntutan, pemilihan, maupun wadhi ’.
Di antara alasan para ulama ushul fiqih untuk mendukung pernyataan di atas,
adalah sebagai berikut:
1. Surat Al-An’am : 57

Artinya:
"Menetapkan hukum itu hanya Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya, dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik. ”
(QS. Al-An’am : 57)
2. Surat Al-Maidah : 49

Artinya:
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah,... ”
(QS. Al-Maidah :49)
3. Surat Al-Maidah : 44
Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa-apa yang diturunkan
Allah, maka mereka adalah orang-orang yang kafir. ”
(QS. Al-Maidah : 44)
4. Di akhir ayat 45 surat Al-Maidah, Allah berfirman:

Artinya:
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim. ”
(QS. Al-Maidah : 45)
5. Keharusan untuk merujuk kepada Al-Quran dan Sunah apabila terjadi
perbedaan pendapat.

295
Artinya:
“Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah
kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah), jika kamu beriman kepada Allah
dan Hari Kiamat. ”
(QS. An-Nisa : 59)
6. Keharusan untuk menggunakan hukum Allah SWT. dalam surat An-Nisa : 65,
Allah berfirman:

Artinya:
“Maka demi Tuhan-Mu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. ”
(QS. An-Nisa : 65)
Sedangkan dari pengertian kedua tentang hakim di atas, ulama Ushul
Fiqihmembedakannya sebagai berikut: (Asy-Syaukani: 7)
1.1 Sebelum Muhammad SAW. Diangkat sebagai Rasul
Para ulama ushulfiqihberbeda-beda pendapat tentang siapa yang menemukan,
memperkenalkan, dan menjelaskan hukum sebelum diutusnya Muhammad sebagai
Rasul. Sebagian ulama Ushul Fiqihdari golongan Ahlussunnah wal Jamaah berpendapat
bahwa pada saat itu tidak ada hakim dan hukum syara', sementara akal tidak mampu
mencapainya. Oleh sebab itu, hakim adalah Allah SWT. dan yang menyingkap hukum
dari hakim itu adalah syara ’, namun syara ’ belum ada.
Golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa yang men jadi hakim pada saat Nabi
Muhammad belum diangkat menjadi rasul adalah Allah SWT. namun akal pun sudah
mampu untuk menemukan hukum-hukum Allah SWT. dan menyingkap serta
menjelaskannya sebelum datangnya syara'.
Di kalangan para ulama ushul tiqih, persoalan yang cukup rumit tersebut dikenal
dengan istilah “At-tahsin wa al-taqbih ", yakni pernyataan bahwa sesuatu itu baik atau
buruk.
1.2 Setelah Diangkatnya Muhammad Sebagai Rasul dan Menyebarnya dakwah Islam.
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa hakim adalah syari’at yang turun dari Allah
SWT. yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Apa yang telah dihalalkan oleh Allah
hukumnya adalah halal, begitu pula apa yang diharamkan-Nya hukumnya haram. Juga
disepakati bahwa apa-apa yang dihalalkan itu disebut hasan (baik), di dalamnya terdapat
kemaslahatan bagi manusia. Sedangkan segala sesuatu yang diharamkan Allah disebut
qabih(buruk), yang di dalamnya terdapat kemadaratan atau kerusakan bagi manusia.
2. Tahsin dan Taqbih
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh ulama ushul fiqh tentang hasandan
qabih.
a. Al-Husnu adalah segala perbuatan yang dianggap sesuai dengan tabiat manusia,
misalnya tentang rasa manis dan menolong orang yang celaka. Sedangkan
qabihadalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan sifat tabiat manusia,
misalnya menyakiti orang lain.
b. Al-Husnu. diartikan sebagai sifat yang sempurna, misalnya kemuliaan dan
pengetahuan. Sebaliknya, qabihdiartikan sebagai sifat jelek, yakni kekurangan
dalam diri seseorang, seperti bodoh,
kikir. Kedua pengertian tentang hasandan qabihtersebut telah disepakati oleh
para ulama bahwa hal itu hanya bisa dicapai oleh akal.
c. Al-Husnu, adalah sesuatu yang boleh dikerjakan oleh manusia, sedangkan
qabih.merupakan segala perbuatan yang tidak boleh dikerjakan oleh manusia.
Hal itu disepakati oleh para ulama dalam hal yang tidak bisa dicapai oleh akal.
d. Al-Husnu, diartikan sebagai pekerjaan yang bila dikerjakan akan mendapat pujian
di dunia dan pahala dari Allah SWT. kelak di akhirat. Sebaliknya qabihadalah
perbuatan yang akan mendapat cercaan dari manusia bila dikerjakan, seperti
maksiat, mencuri, dan lain-lain.

297
Pengertian yang diperselisihkan oleh para ulama adalah nomor tiga dan empat,
yakni tentang mungkin tidaknya dicapai oleh akal. Menurut Asy-‘ariyah, pengertian
nomor tiga dan empat hanya bisa ditentukan oleh syara'. Baik dan buruknya bukanlah
terdapat pada zatnya, tetapi pada sifatnya yang nisbi (relatif).
Pendapat di atas bertentangan dengan golongan mu 'tazilah yang menyatakan
bahwa hasandan qabihdapat diketahui dan ditentukan oleh akal, tampa memerlukan
pemberitahuan dari syara’. Menurut mereka sebagian yang baik atau yang buruk itu
terletak pada zatnya, dan sebagian lainnya terdapat di antara manfaat, mudarat, baik
dan buruk.
3. Kemampuan akal mengetahui syari 'at
Para ulama terbagi kepada tiga golongan dalam menentukan kemampuan akal
untuk menentukan hukum sebelum turunnya syariat:
1. Menurut ahlusunnah waljamaah, akal tidak memiliki kemampuan
untuk menentukan hukum, sebelum turunnya syari'at. Akal hanya bisa
menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan Al-Quran dan Rasul, serta
kitab-kitab samawi lainnya. Pendapat mereka didasarkan pada firman Allah
SWT. Surat Al-lsra : 15

Artinya:
"Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus rasul. "
(QS. Al-Isra’ : 15)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah sekali-kali tidak akan mengazab
seseorang yang belum sampai kepadanya seseorang utusan (rasul) yang
membawa risalah Ilahi. Selain ayat tersebut, Allah pun berfirman dalam surat
An-Nisa : 165

Artinya:
"Agar tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah diutusnya rasul-
rasul itu. ”
(QS. An-Nisa : 165)
Dengan mengemukakan nash di atas, menurut ahlussunnahwaal- jama'ah, akal
tidak bisa dijadikan standar untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan.
Dengan demikian, maka Allah tidak berkewajiban menietapakan suatu
kebaikan yang dipandang baik oleh akal, atau menetapkan keburukan suatu
perbuatan yang dipandang buruk menurut akai, karena Allah mempunyai
kehendak yang mutlak. Dan berkuasa untuk menetapkan perbuatan yang tidak
bermanfaat sekalipun. Namun, menurut penelitian, semua perintah Allah pasti
mengandung suatu manfaat, sedangkan larangannya mengandung kemadaratan.
2. Mu’tazilah berpendapat bahwa akal bisa menentukan baik- buruknya suatu
pekerjaan sebelum datangnya syara meskipun tanpa perantara kitab samawi dan
rasul. Baik dan buruk itu ditentukan oleh zatnya, sehingga akal bisa
menentukan syari'at. Alasan mereka sebenarnya sama dengan ayat yang
dikemukakan oleh ahlussunnah wa aljamaah, vaitu dalam surat Al-isra ayat 17,
hanya
mereka mengartikan rasul pada ayat tersebut dengan arti akal, sehingga arti
keseluruhan dari ayat tersebut adalah:
"Kami tidak akan mengazab seseorang sampai Kami berikan akal padanya"
Menurut mereka, sebagian perbuatan dan perkataan itu sudah semestinya
dilakukan manusia, seperti beriman dan selalu berbuat baik. Dan orang yang
melakukannya berhak mendapat pujian, karena keimanan dan perbuatan baik itu
merupakan hal yang baik pada zatnya. Sebaliknya, akal akan menolak perbuatan
yang buruk pada zatnya, seperti berdusta, kafir, dan berbuat sesuatu yang tidak
benar. Perbuatan tersebut akan mendapat celaan dari manusia, dan sedikitpun
tidak ada alasan untuk mengerjakannya.
Menurut kaum mu’tazilah, prinsip yang dipakai dalam menentukan sesuatu
itu baik ataupun buruk adalah akal manusia, bukan syara’. Dengan demikian,
sebelum datangnya rasul pun, manusia telah dikenakan kewajiban melakukan
perbuatan yang menurut akal mereka baik dan untuk itu mereka akan diberi
imbalan. Selain itu, mereka pun dituntut untuk meninggalkan perbuatan yang
jelek menurut akal mereka, dan bila dikerjakan mereka akan mendapat hukuman.
Golongan mu'tazilah juga berpendapat bahwa syari’at yang ditetapkan
kepada manusia merupakan sesuatu yang dapat dicapai dengan akal, yakni bisa
ditelusuri bahwa di dalamnya ada unsur manfaat atau madarat. Dengan demikian,
sesuatu yang baik menurut akal adalah baik menurut syara; dan manusia dituntut
untuk mengerjakannya. Sebaliknya, sesuatu yangjeiek menurut akai adalah jelek
menurut syara", dan manusia dilarang mengerjakannya.
3. Golongan Maturidiyah berusaha menengahi kedua pendapat di atas.
Mereka berpendapat bahwa perkataan atau perbuatan ituadakalanya baik atau
buruk pada zatnya. Syara’ menyuruh untuk mengerjakan perbuatan atau perkataan
yang baik pada zatnya dan meiarang meiaksanakan perbuatan yangjeiek pada
zatnya. Adapun terhadap perkataan dan perbuatan yang kebaikan dan
keburukannya tidak pada zatnya, syara memiliki wewenang untuk
menetapkannya.

299
Lebih jauh Maturidiyah berpendapat bahwa suatu kebaikan atau kejelekan
yang didasarkan pada akai tidak wajib dikerjakan
ataupun ditinggalkan. Seandainya dikerjakan pun tidak akan mendapat pahala
kalau semata-mata hanya berdasarkan pada akal saja. Begitu pula sebaliknya, bila
mengerjakan suatu perbuatan yang dipandang buruk semata-mata oleh akal, tidak
akan mendapatkan hukuman. Menurut mereka, akal itu tidak berdiri sendiri,
namun harus dibarengi dengan nash. Dengan kata lain, walaupun akal mampu
mengetahui bahwa suatu perbuatan itu baik ataupun buruk, namun adanya
pemberitaan dari kitab samawi atau penerangan dari rasul menetapkan keharusan
untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitupun halnya dengan masalah
imbalan dan hukuman.
Maka Allah tidak wajib memerintahkan kepada manusia untuk mengerjakan
perkataan ataupun perbuatan yang baik menurut akal. Dan sebaliknya, Allah pun
tidak wajib untuk memerintahkan manusia meninggalkan perbuatan yang buruk
menurut akal.
Implikasi dari perbedaan pendapat mengenai peranan akal tersebut,
berkaitan pula dengan posisi akal dalam ijtihad, apakah akal bisa menjadi salah
satu sumber hukum Islam? Menurut ahlussunnah wa al-jamaah dan maturidiyah,
akal tidak dapat secara berdiri sendiri menjadi sumber hukum Islam. Namun
diakui, bahwa akal berperan penting dalam menangkap maksud-maksud syara’
untuk menetapkan suatu hukum, tetapi bukan menentukan hukum. Sebagaimana
pendapat Abu Zahrah, bahwa seluruh produk fiqih adalah hasil daya nalar
manusia yang tidak habis-habisnya sampai sekarang. Akan tetapi, daya nalar
tersebut tidak terlepas sama sekali, karena harus bersandar pada nash.
Mu’tazilah dan Syi 'ah Jafariyah, berpendapat bahwa akal merupakan sumber
hukum ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunah.

SOAL LATIHAN
I . Jelaskan pengertian hakim !
2. Mengapa hakim dianggap masalah yang cukup penting?
3. Sebutkan dalil yang menyatakan bahwa tiada hukum kecuali hukum
Allah!
4. Siapa yang dimaksud hakim, sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul?
5. Bagaimana pengertian Tahsin dan Takbih menurut ulama Ushul?
6. Bagaimana pendapat golongan mu’tazilah tentang hasan dan qabih?
7. Bagaimanakah pendapat jumhur tentang kemampuan akal dalammengetahui
syari’at?
8. Sebutkan dua dalil yang dikemukakan oleh jumhur dalam mendukung pendapat
nomor tujuh di atas?
9. Apa alasan mu’tazilah sehingga berpendapat bahwa akal mampu;
mengetahui seluruh syari’at?
10. Bagaimanakah posisi akal dalam berijtihad?

301
DAFTAR PUSTAKA

Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Mushthafafi Ilm Al-Ushul.Beirut: Dar Al- Kutub Al-
Ilmiyah.
A1-Alamah Al-Bannani, Hasyiah Al-Bannai 'ala Syarh Al-Mahalli ala Matn Jam’u al-
Jawami’,Beirut: Dar Al-Fikr, 1983.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Al-UshulA1-Fiqh Kairo: Dar Al-Qalam, 1978 Ibn Al-
Hajib, Mukhtashar Al-Muntaha, Mesir: Al-Mathbaah Al-Amirah, jilidi 1326.
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Cairo: Dar Al-Fikr Al-Arobi, t.t. Ad-Dawalibi,
Muhammad Ma’ruf, Al-Madkhal ila Ilm ' Ushul al-Fiqh, Damaskus: J am i’ah
Damaskus, 1378 H/1959 M.
\li Hasaballah, Ushillat-Tasyri’Al-Islami, Kairo: Dar Al-Ma’arit, 1976. \bu Ishaq
Asy-Syatibhi, Al-Muwafaqatfi Ushul Asy-Syari 'ah,Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1973. on
Hazm Al-Andalusi, Al-Ihkamfi UshulAl-Ahkam, jilid VI. Al-Asnawi, Jalaluddin
Abd. Al-Rahim Al-Asnawi, Nihayahal-Sul Syarh Minhaj Al-Wushul, Kairo:
Muhammad Ali Subaih, t.t.
Al-Sarakhisyi, Abu Bsakar, Ushul Asy-Syarakhsyi, Dar Al-Ma’arif, Beirut, 1971
Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad Ibn Hazm, Al-Muhalla, Kairo: Mathba'at Al- Sa'adat,
tanpa tahun Al-Amidi, Sayf Ad-Din Abi Al-Hasan ‘Ali, Al-Ahkmafi Ushul Al-
Ahkam, Muassasah Al-Halabi, Cairo:, 1967 Al-Mahalli, Jalai Syam Ad-Din,
Syarh ‘ala Matn Jam’ Al-Jawami’, Musthafa Al-Babi Al-Halabi, Mesir. 1937
Ar-Razi, Fakhr Ar-Din, Al-Mahshul fi ilm Ushul Al-Fiqh, Beirut: Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, 1988.
Al-Subki, Taj Ad-Din Abd Ad-Wahab, Jam ’u Al-Jawami ’, Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyyah, t.t.
Kabir,jlvicoh . mu».
Al-Thufi, Al-Hambali, Syarh Mukhtashar Ar-Raudah
Al-Marwiji, A]-Imam Al-Lais. Jawahir Al-Madiyah
Al-Raghib Al-Ashfahani, Al-Husain ibn Muhammad. Al-Mufrodat fi Gharib Al-
Qur’an,Mesir: Mushthafa Al-Babi Al-Halabi
Ibnu Al-Hajib, Mukhtashar Al-Muntaha,Mesir: Al-Maktabah Al- miriyyah, 1328 H.
Abdul Mujib, Al-Qowaidu Al-Fiqhiyyah,Yogyakarta: Nur Cahaya, 1980
Al-Fayruzzabadi, Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Luma 'j) Ushul Al-
Fiqh,Tasikmalaya: Kairo, 1.1.
Al-Subki, Taj Ad-Din abdul wahab, Asy-Asybah wa an-Nazhair,Mesir: Markaz
Buhuts Al-Ilmi
Ibnu Al-Hajib, Mukhtashar Al-Muntaha,Mesir: Al-Maktabah Al- Amirivyah, 1328
H.
Al-Bardisi, Muhammad Zakariya, Ushul A!-Fiqh,Mesir: Dar Al-Nahdah AI-
‘Arobiyah, 1969.
Al-Baidhawi, Minhaj Al-Wushul “///« Al-Ushul, Mesir: Al-Maktabah Al-
Tijariyah Al-kurba, 1326 H
Al-Haj. Ibn Amir, At-Takrir wa At-Tahir,Mesir: Al-Mathba’ah Al- Amiriyah, 13 16
H.

303
TENTANG PENULIS
Prof. DR. H.Rachmat Syaf'i lahir di Limbangan Garut pada tanggal
3 Januari 1952 dari ibu Hj. Siti Maesyaroh dan ayah HQ, Zakaria.
Menamatkan Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Garut tahun 1965,
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama.(SLTP) Garut tahun l963, M A
AIN tahun 1969 UIN Sunan Gunung Jati Bandung tahun 1972, Al-
Azhar Kairo tahun 1973-1980, Cairo University (Jami'ah AI-
Qahirah) dan Darul Ulum Jurusan Syari'ah Islamiyah tahun 1977-
1979.
Sempat mengikuti kursus International language Institut (IL1) Kairo dan
International Idiom Course (IIC) Kairo. Gelar Sarjana (SI) diperoleh di AI-Azhar
tahun 1974 dan Sunan Gunung Jati Bandung tahun 1984, gelar Master-(S2)
diperoleh di UIN Syarif Hidayatullah (Shyahida) Jakarta tahun 1988 dan Doktor
(S3) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1992.
Bekeija sebagai Dosen di UIN Surtan Gunung Jati Bandung tahun 1985
sampai sekarang dan menjabat Ketua Bidang Kajian Hukum Islam di Pusat
Pengkajian Islam dan Pranata (PPEP) UIN Sunan Gunung Jati Bandung,Di
samping berbagai perguruan, antara lain Dosen di (UNISBA) mulai tahun
1980 sampai sekarang Dosen STIA AI-Musaddadiyah tahun 199f Fakultas. Syari'ah
IALM Pondok Pesantr tahun 1992 sampai sekarang, Dosen STIA i AI-Falah 1994,
Dosen UIK Bogor tahun 1985 SGD dan Dosen Pasca Sarjana Dm u Hukum sebagai
Kasubag Pendidikan dan Pelatih Jurusan PP Fakultas Syari'ah Tahun 1984-19
1985. Sejak tahun 1995 menjadi pengasuh Pondok Pesantren Al-irisan Cibiru hilir-
Cileunyi, Bandung. Tahun 1999 diangkat menjadi Asisten Direktur Pasca Saijana
UIN Sunan Gunung Jati Bandung, juga Ketua MUI Jabar Bidang Pengkajian dan
PengembanganTahun2000.

ISBN 979-730-085-4

Anda mungkin juga menyukai