Anda di halaman 1dari 6

Lahan Basah

Menurut Konvensi Ramsar, sebutan lahan basah (wetland) mencakup beraneka ekosistem
pedalaman, pantai dan laut yang memiliki sejumlah tampakan yang sama. Tampakan yang
sama dari semua lahan basah ialah daerah-daerah alami atau buatan berair yang bersifat
tetap atau berkala, dengan air tenang (stagnant, static) atau mengalir, dan bersifat tawar,
payau atau asin. Lahan basah mencakup lahan gambut, dataran banjir, hamparan lumpur
lepas pantai (mudfat), estuari, kawasan mangrove, air laut yang kedalamannya (depth)
sewaktu surut tidak lebih daripada 6 m, dan lahan basah buatan seperti waduk, sawah dan
tambak (Notohanagoro, 2006).

Menurut Poniman dkk (2006), wilayah lahan basah memiliki beberapa karakteristik yang
unik yaitu:
1. merupakan dataran rendah yang membentang sepanjang pesisir,
2. merupakan wilayah yang mempunyai elevasi rendah,
3. beberapa tempat dipengaruhi oleh pasang surut untuk di wilayah dekat dengan
pantai,
4. dipengaruhi oleh musim yang terletak jauh dari pantai,
5. Sebagian besar wilayah ini tertutupi dengan gambut.

Faktor-faktor yang mempengaruhi ekologi lahan basah antara lain faktor klimatik (iklim),
fisiografik, edafik, dan biotik.

Faktor Iklim dalam Ekologi Lahan Basah


Iklim dapat mempengaruhi fungsionalitas, distribusi, dimensi, dan bentuk sistem estuari
dan pesisir. Perubahan iklim dapat berdampak pada sistem pesisir dan estuari meliputi
percepatan naiknya permukaan laut, bertambahnya temperatur, berubahnya distribusi hujan
dan masuknya air tawar, frekuensi serta intensitas badai, kesemuanya itu bekerja dalam
jangkauan skala temporal dan spasial. Efek perubahan iklim dapat semakin kuat ketika
terjadi interaksi dengan aktifitas manusia di wilayah pesisir (Day et al, 2008).

Berbeda dengan wilayah pesisir dan estuari, di ekosistem air tawar faktor iklim belum
banyak diketahui dampaknya. Efek iklim yang diketahui berdampak pada ekosistem air

1
tawar antara lain dalam hal presipitasi dan evaporasi. Presipitasi dan evaporasi ini
berdampak pada ketersediaan air di ekosistem tersebut. Pada ekosistem air tawar dengan
empat musim misalnya, pada musim gugur kolam air akan terisi sebagian dengan hujan
yang sedikit, saat musim semi kolam akan terisi penuh dan saat musim dingin kolam
tersebut akan membeku (Brooks, 2009).

Salah satu contoh perubahan iklim berdampak pada kenaikan permukaan laut adalah kasus
di Florida Selatan. Sejak sekitar tahun 1930 ketinggian permukaan air laut relatif mulai
naik. Sejak saat itu ketinggian permukaan air laut di Florida Selatan bertambah sekitar 23
cm. Maka dapat diperkirakan laju kenaikan permukaan air laut di Florida Selatan adalah
sekitar 30 cm per abad. Kenaikan permukaan laut ini dapat berdampak sangat besar pada
pembentukan ulang geomorfologi, pola sirkulasi, pola salinitas, dan proses ekologi selama
abad ke 21 (Davis et al, 2005).

Eustatic sea level relative (ESLR) telah naik selama abad ke-20 sampai sekitar 15-20 cm.
Kebanyakan model iklim memprediksi bahwa ESLR di abad ke-21 akan naik sekitar 20-60
cm, namun kejadian baru-baru ini menunjukkan bahwa ESLR akan naik sampai 1 m.
ESLR akan lebih tinggi di area-area tertentu seperti wilayah pesisir dan estuari. Naiknya
ESLR dapat menyebabkan perubahan yang signifikan pada geomorfologi di ekosistem
pesisir, merusak kadar salinitas di estuari, dan hilangnya asosiasi lahan basah diseluruh
dunia. Tabel berikut menunjukkan kejadian perubahan dalam skala waktu pada ekosistem
lahan basah menurut Day (2008)

2
Tingginya rasio dari penurunan tanah juga berperan dalam tingginya ESLR, biasanya
terjadi di delta dikarenakan pemadatan, penggabungan, dan sedimen yang mengering. Di
delta Missisippi, kenaikan ELSR-nya mencapai 10 mm/tahun. Delta sungai Nil kenaikan
ELSR-nya 5 mm/tahun. Sedangkan di delta Rhone dan Ebro kenaikan ESLR-nya antara 2-
6mm/tahun. Manusia juga berperan dalam mempercepat laju kenaikan ESLR dengan
drainase dan pengambilan air, minyak, dan gas (Day, 2008).

Sampai sekarang hanya ada beberapa fakta empiris yang menyatakan bahwa frekuensi
badai tropis dan angin topan akan meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur
permukaan laut, walaupun masih banyak diperdebatkan. Gelombang badai akan
menghantam wilayah yang lebih jauh dari laut akibat naiknya ESLR. Badai berdampak
pada ekogeomorfologi lahan basah di wilayah pesisir pada alur dan skala yang berbeda.
Dari sudut pandang fisik dan geomorfologi, angin dan ombak dapat menyebabkan
pergerakan barrier pulau, erosi di dataran tinggi dan lahan basah, dan juga menghancurkan
vegetasi di lahan basah. Sedimen di subtidal dan intertidal juga dapat berkurang sehingga
secara lokal dapat menambah kedalaman. Kebanyakan komponen penyusun ekosistem
lahan basah di wilayah pesisir terbentuk oleh badai. Badai dapat menyebabkan efek baik
langsung maupun tak langsung dan berdampak menguntungkan ataupun merugikan. Badai
dapat menyebabkan kematian banyak organisme di lahan basah, menyebabkan aliran
polutan masuk atau keluar dari ekosistem lahan basah, dapat menyebabkan perubahan
terhadap produktivitas ekosistem lahan basah, dan dapat mengubah status suksesi di
ekosistem tersebut (Day, 2008).

Faktor Fisiografik
Pada skala besar, ekogeomorfologi ekosistem lahan basah dihasilkan dari interaksi proses
geofisik dengan proses-proses ekologi pada habitat lokal yang juga dapat mengendalikan
pertumbuhan dan zonasi tumbuhan. Gradien dalam proses geofisik pada wilayah pesisir
menghasilkan variasi aliran energi dan siklus-siklus biogeokimia pada lahan basah estuari.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan situasi yang beragam dari ekosistem yang berbeda dalam
hal zonasi tanaman, biomassa, produktivitas, biogeokimia, dan siklus nutrisi serta bahan
organik dengan perairan pesisir (Day, 2008).

3
Faktor Edafik
Banyak literatur mengenai penelitian di lahan basah mengenai bagaimana pembagian daur
hidrologi berdampak pada struktur dan fungsi dari suatu lahan basah (Fraser, 2005). Di
ekosistem mangrove dekat pesisir misalnya, seluruh proses ekologi secara hidrology
dikendalikan oleh aliran air tawar dari darat menuju wilayah mangrove tesebut yang akan
secara langsung berinteraksi dengan air asin. Aliran air tawar dari darat dapat
mempengaruhi ekosistem estuari mangrove dalam hal hidrologi, salinitas, dan suplai fosfor
(Davis, 2005). Sedangkan di ekosistem air tawar sementara (ephemeral freshwater system),
hidrologi khususnya hidroperiodisasi dan hidroregim (pola temporal dari banjir) adalah
faktor abiotik yang sangat besar pengaruhnya (Brooks, 2008). Sedangkan menurut Day
(2008), naiknya permukaan air laut dapat meningkatkan frekuensi terjadinya badai, badai
ini akan secara langsung atau tak langsung berpengaruh terhadap ekosistem lahan basah,
terutama daerah pesisir.

Tumbuhan di lahan basah dapat mentolerir penggenangan secara periodik, namun bibit
tanaman belum dapat mentolerir penggenangan yang terlalu tinggi dan lama. Secara umum
biomassa, pertumbuhan, dan tingkat kelulusan hidup tanaman bergantung pada variasi
kedalaman penggenangan. Semakin dalam penggenangan, tidak hanya biomassa tanaman
yang berkurang namun juga tingkat kelulusan hidupnyapun juga berkurang (Fraser, 2005).

Faktor Biotik
Menurut Poniman (2006), lahan basah di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi enam
tipe lahan basah berdasarkan karakteristik sistem lahan, yaitu:
 Rawa pasang surut (Tidal swamps)
 Rawa musiman (Seasonal swamps)
 Dataran Aluvial (Alluvial plains)
 Sabuk meander (Meander belts)
 Rawa gambut dan marshes (peat swamps and marshes)
 Dataran banjir

Lahan basah pasang surut dalam tinjauan biologis adalah lahan yang secara utama
ditumbuhi tumbuhan mangrove. Lahan ini berada dekat muara sungai dan daerah pasang

4
surut sepanjang pantai. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur atau berpasir (Mangkoedihardjo, 2005).

Banyak ragam hewan hidup dalam rawa mangrove. Oleh karena rawa mangrove secara
konstan mendapat nutrient melalui aliran air permukaan dan pasang surut laut maka
terdapat banyak kehidupan mulai dari bakteri, protozoa, cacing, barnacles (Ballanus spp.),
oyster (Crassostrea spp.), dan invertebrate. Organisme-organisme tersebut merupakan
bagian dari mata rantai makanan ikan dan udang, burung, dan juga buaya
(Mangkoedihardjo, 2005).

Lahan basah non-pasang surut secara biologis terutama ditumbuhi rumput yang adaptif
terhadap air tawar dan bergaram laut. Yang membedakan antara lahan basah pasang surut
dan non-pasang surut, secara biologis adalah tumbuhan Cattail (Typha latifolia) merupakan
rumput khas lahan basah non-pasang surut. Sedangkan lahan berawa campuran antara air
tawar dan air laut mempunyai kandungan tinggi nutrient sehingga dapat dikatakan sebagai
salah satu ekosistem paling produktif di dunia. Lahan ini dapat menjaga kesinambungan
beragam kehidupan komunitas tumbuhan yang mendukung berbagai kehidupan konsumen.
Lahan itu menjadi tempat perkembangbiakan ikan, udang, mamalia dan burung
(Mangkoedihardjo, 2005).

Vegetasi pada lahan basah khususnya daerah pesisir berperan penting dalam
penanggulangan naiknya ESLR (Eustatic sea level relative). Pada dasarnya lahan basah
pesisir dapat selamat dari kenaikan ESLR selama lahan basah tersebut mengalami
kenaikan tanah yang sebanding dengan kenaikan ESLR. Kenaikan tanah pada lahan basah
dapat disebabkan oleh penambahan sedimen anorganik atau organik ke tanah di lahan
basah tersebut. sedimen anorganik datang dari laut maupun darat, sedangkan sedimen
organik datang dari penambatan sekaligus pengelolahan bahan-bahan organik oleh vegetasi
di lahan basah itu (Day, 2008). Di Florida Selatan contohnya, mangrove di daerah tersebut
berpotensi menaikkan ketinggian tanah sebanyak 2-6 mm/tahun. Rasio tersebut dapat
dipengaruhi oleh bencana alam (topan, badai), dan keterbatasan nutrisi yang menyebabkan
lamanya pembentukan lapisan sedimen organik (Davis, 2005).

5
DAFTAR PUSTAKA

Brooks, Robert T. 2009. Potential Impact of Global Climate Change on the Hydrology and
Ecology of Ephemeral Freshwater System of the Forest of the northeastern
United States. Climatic Change (2009) 95: 469–483

Davis, Steve M, et al. 2005. A Conceptual Model of Ecological Interactions in the


Mangrove Estuaries of the Florida Everglades. WETLANDS, Vol.25, No.4,
December 2005, pp.832–842

Day, John W, et al. 2008. Consequences of Climate Change on the Ecogeomorphology of


Coastal Wetlands. Estuaries and Coasts (2008) 31:477–491

Fraser, Lauchlan H, et al. 2005. A Comparative Assessement Of Seedling Survival and


Biomass Accumulation For Fourteen Wetland Plant Spesies Grown Under
Minor Water-Depth Differences. WETLANDS, Vol.25, No.3, September 2005,
pp. 520–530

Mangkoedihardjo, Sarwoko. 2005. Perencanaan Tata Ruang Fitostruktur Wilayah Pesisir


Sebagai Penyangga Perencanaan Tata Ruang Wilayah Daratan: Sebuah Kajian
Dengan Pendekatan Energi, Ekosistem, dan Ekologi. Seminar Nasional Inovasi
Praktek Penataan Ruang Dalam Desentralisasi Pembangunan ITS Surabaya, 22
September 2005

Notohanagoro, Tejuyowono. 2006. Perspektif Pengembangan Lahan Basah: Maslahat dan


Mudarat. Repro: Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada

Poniman, Aris, dkk. 2006. Penyediaan Informasi Spasial Lahan Basah Untuk Mendukung
Pembangunan Nasional. Forum Geografi, Vol. 20, No. 2, Desember 2006: 120-
134

Anda mungkin juga menyukai