Anda di halaman 1dari 8

Muhammad Ibnu Qasim Sang Penakluk India

Oleh : Ahmad Roja'i (2106101020052)

Abstrak

Muhammad ibn Qâsim was a military commander of the Umayyad dynasty who had great
success in conquering India. He ruled Sind as deputy Caliph al-Wâlid I in 711-715 AD When he
entered the territory of India the people were in turmoil. Among the elite of society there is
competition for power, while the condition of society in general is filled with religious conflicts
and social inequality. Prior to the conquest under the leadership of Ibn Qasim several attempts
had been made to conquer Indian territory by earlier Islamic leaders, but all failed. Ibn Qasim
managed the government fairly and wisely, and built a commendable administration.

Muhammad ibn Qâsim adalah seorang komandan militer Dinasti Umayyah yang memperoleh
kesuksesan besar dalam menaklukkan India. Ia memerintah Sind sebagai wakil Khalifah al-Wâlid
I pada tahun 711-715 M. Ketika ia memasuki wilayah India masyarakatnya sedang diliputi
kekacauan. Di kalangan elite masyarakat terjadi persaingan kekuasaan, sedangkan kondisi
masyarakat pada umumnya diliputi pertentangan agama dan ketimpangan sosial. Sebelum
penaklukkan di bawah pimpinan Ibn Qâsim telah diupayakan beberapa kali penaklukkan ke
wilayah India oleh para pemimpin Islam terdahulu, namun semuanya gagal. Ibn Qâsim
mengelola pemerintahan dengan adil dan bijaksana, serta membangun administrasi terpuji.

Latar Belakang

Salah satu peristiwa dalam sejarah Islam periode klasik yang menjadi perhatian penting para
sejarawan adalah munculnya Dinasti Umayyah dalam panggung pemerintahan Islam. Pasalnya,
masa pemerintahan dinasti ini dikenal sebagai suatu episode dalam sejarah Islam ketika
perhatian tertumpah pada kerajaan. Hal ini berarti semangat untuk memimpin dan berkuasa
sudah mulai muncul dalam diri para khalifahnya. Oleh karena itu, perluasan wilayah menjadi
wujud dari keinginan yang berkobar dalam jiwa khalifah untuk mendatangkan kehebatan bagi
negara dalam pandangan para khalifah yang berkuasa pada masa itu. 1

Serangkaian perluasan wilayah yang dilakukan oleh umat Islam pada masa ini tidak semata-
mata dilihat sebagai tindakan politik guna melebarkan sayap kekuasaan, tetapi juga sebagai
upaya jihad dalam rangka menyebarkan agama Islam. Mereka berpendapat bahwa telah
menjadi tugas mereka untuk memerangi golongan-golongan di luar lingkungan kaum Muslim,
1
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam II, terj. Mukhtar Yahya dkk. (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1992), hlm. 140-141.
terutama para penganut kepercayaan syirik, yang menghalang-halangi sampainya ajaran Islam
kepada rakyat yang telah lama menantikannya. 2

Keberhasilan Dinasti Umayyah dalam melakukan perluasan wilayah ini jauh melampaui
Imperium Romawi pada puncak kejayaannya. Kesuksesan tersebut diikuti oleh keberhasilan
perjuangan bagi penyebaran syariat Islam, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam
bidang politik dan ekonomi. Adapun puncak ekspansi Islam terjadi pada masa pemerintahan al-
Walîd ibn ‘Abdul Malik tatkala wilayah kekuasaannya bertambah luas baik di barat maupun di
timur. Pada saat itu peta Islam paling luas dalam sejarah ekspansi Islam yang meliputi tiga
benua, yaitu Asia, Afrika, dan Eropa. Kejayaan tersebut tidak terlepas dari peranan para
jenderal terkemuka pada awal abad VIII M, seperti Mûsâ ibn Nusair, Thâriq ibn Ziyâd, Hajjâj ibn
Yûsuf, Qutaybah ibn Muslim, dan Muhammad ibn Qâsim.

Ekspedisi ke India dilakukan setelah terjadinya drama pembajakan di dekat Debal (Karachi
sekarang). Pada suatu waktu terjadi gangguan terhadap orang-orang Islam oleh para perompak
India di bawah tanggung jawab Raja Dahir. Hajjâj mengirim surat protes keras kepada Dahir
agar menghukum para pembajak. Akan tetapi, Dahir menolak dengan alasan laut itu wilayah
internasional dan ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menghukum mereka.Oleh karena itu,
Hajjâj mempersiapkan invasi besar-besaran ke India. Sebelum terjadinya ekspedisi ke wilayah
ini oleh Muhammad ibn Qâsim, sebenarnya telah diupayakan beberapa kali ekspedisi oleh para
pemimpin Islam terdahulu, namun semuanya mengalami kegagalan.

Ibn Qâsim dikirim Hajjâj untuk memimpin penaklukkan ketika usianya baru tujuh belas tahun.
Saat itu kondisi India sedang rapuh baik di bidang politik maupun sosial. Ia berangkat melalui
Siraj dan Mekran menuju Debal pada tahun 708 M. Pasukan Ibn Qâsim tiba di Debal pada 711
M dan berhasil menaklukkannya setelah pengepungan selama beberapa hari. Ia tidak pernah
membunuh orang-orang Sind yang tidak bersalah, kecuali di medan perang 3. Dalam waktu yang
relatif singkat yaitu empat tahun lebih, Ibn Qâsim berhasil menaklukkan dan menguasai wilayah
India bagian barat laut. Dengan demikian, agama Islam tertanam di anak-benua India untuk
yang pertama kalinya.Sebagai seorang penakluk, Ibn Qâsim tidak hanya disukai oleh masyarakat
India, tetapi ia juga dicintai oleh mereka. Pemerintahannya yang adil dan bijaksana, pembaruan
dalam bidang pertanian, dan kebijaksanaan kebudayaan, membuatnya dengan cepat disayangi
oleh rakyat, baik yang Muslim maupun non Muslim. Ia memperlakukan penduduk di wilayah
taklukkannya dengan baik dan membangun struktur administrasi yang terpuji. Kehidupan dan
harta benda masyarakat taklukkan sangat aman di bawah pemerintahannya. Ibn Qâsim juga
mempunyai rasa hormat besar terhadap agama-agama lain. Orang-orang miskin di wilayah ini
sangat menyukai kebijakannya dan banyak dari mereka yang kemudian memeluk Islam.Dari
2
Siti Maryam (ed.) dkk., Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern (Yogyakarta: LESFI, 2009), hlm. 67.

3
M. Abdul Karim, Sejarah Islam di India (Yogyakarta: Bunga Grafies Production, 2003), hlm. 10.
penjelasan di atas penulis memandang bahwa kajian terhadap peranan Ibn Qâsim dalam
melakukan islamisasi di India menarik dan penting untuk diteliti.

Pembahasan

 Kondisi India Sebelum Ekspedisi Muhammad Ibnu Qasim


Peradaban di India dimulai secara kasar pada sekitar 6000-5000 tahun SM.Adalah
ditandai dengan datangnya bangsa Dravida dari Asia Barat. Mereka datang ke India
dengan membawa kepercayaan bahwa ihwal ketuhanan itu abstrak.Selama ratusan
tahun bangsa Dravida menguasai India, termasuk kepercayaannya tadi sampai akhirnya
pada 4000 tahun SM, mereka memiliki teman baru dari bangsa dan budaya lain. Teman
baru tersebut tiba di India dengan membawa kepercayaan yang berbeda sama sekali
dengan mereka.
Teman baru ini tidak menaruh kepercayaan terhadap tuhan yang abstrak, tetapi yang
ada justru sebaliknya, Tuhan itu konkret seperti api, matahari, pohon, angin, dan
semacamnya. Kemudian karena mereka hidup dan tinggal di ruang sosial yang sama,
kontestasipun pecah. Dipicu dengan adanya perbedaan kepercayaan, mereka dan
teman baru itu terlibat pertentangan yang tidak sederhana, mulai dari rebutan pengikut
sampai kekuasaan.
Singkat cerita, karena bangsa yang baru datang di muka memiliki kekuatan sedikit lebih
kuat ketimbang bangsa Dravida, maka bangsa Dravida harus menelan kekalahannya.
Tidak sedikit pengikut kepercayaan bangsa Dravida berbelok arah dan memilih untuk
mengikut kepercayaan si tamu. Ada banyak faktor tentu di dalamnya, baik itu ekonomi
atau pun akal sehat. Yang jelas pertentangan ini memuncak pada lahirnya Kasta Sudra
dengan ketuhanan abstrak sebagai kepercayaan yang melekat dalam diri mereka. Tamu
yang berhasil menggeser bangsa Dravida sebagai pribumi ini tidak lain adalah bangsa
Arya dari Persia.
Bangsa Arya ini menaruh kepercayaan pada api, matahari, pohon, angin, dan
semacamnya. Jadi, bagi mereka dalam entitas-entitas tersebut ada ruh luhur yang
bersemayam, sehingga patut dan penting untuk disembah. Dalam upacara
penyembahan, tidak jarang masyarakat Arya ini menjadikan manusia sebagai tumbal.
Anggapannya sebagai ganti atas sesuatu atau pemicu dari permohonan tertentu. Model
kepercayaan seperti inilah yang banyak menyebar sejak tahun 4000 SM, menggeser
kepercaayan rominan sebelumnya yang lebih kepada ketuhanan abstrak.
Seiring bergantinya musim, bergesernya gaya hidup masyarakat, dan pola interaksi
antarsesama penganut kepercayaan, pada 599 SM bumi India kembali dihibur dengan
datangnya kepercayaan baru yang boleh dikata lebih terstruktur. Yaitu kepercayaan
Jaina yang dipelopori oleh seseorang bernama Mahawir. Kepercayaan ini aau agama
lebih mudahnya menawarkan beberapa prinsip penting bagi pemeluknya yakni
pentingnya sebuah perenungan dan meninggalkan kemewahan.
Dari aras sumber pengetahuan, agama Jaina tidak memilikinya melainkan Mahawir itu
sendiri. Kitab Suci ia tidak mempunyainya. Ajaran pokoknya adalah ahimsa (tidak hasad)
dan sasarannya semua makhluk. Boleh disebut sebagai agama universal. Seturut
semakin muncul dan mapannya beberapa kepercayaan di India, agama Jaina pada
akhirnya melebur untuk tidak menyebut dileburkan dengan agama Hindu. Banyaknya
kesamaan di antara keduanya merupakan salah satu hal yang paling bertanggung jawab
atas itu sampai akhirnya lahirlah agama Budha pada 557 SM sebagai respons atas ajaran
Hindu yang itu juga berarti Jaina.
Agama Budha lahir dari rahim seorang yang lahir di Kapilabstu, Kaki Gunung Himalaya.
Namanya Gautama atau Sidharta Gautama populernya. Agama Budha lebih fokus pada
prinsip toleran, dermawan, berpikir positif, sabar yang sadar, pekerjaan yang sesuai
passion, dan sebentuk penyerahan kepada Yang Maha Ada.4
Berhenti sejenak di sini, berpijak pada asumsi bahwa bagaimana kebiasaan masyarakat
di daerah tertentu adalah cermin dari kecenderungan nenek moyang mereka di masa
lalu, situasi politik, selera, dan sebagainya, maka sebelum membahas kecenderungan
masyarakat muslim di India adalah penting untuk melihat semua yang ada di India
terlebih dulu. Beberapa bagian selepas ini akan mencoba melakukan pekerjaan
tersebut.
India merupakan sebuah wilayah yang terletak di Kawasan Asia Selatan yang dimana
perekonomian mereka berdasarkan pada kombinasi antara penanaman hasil padi-
padian diladang yang berpetak yang kebanyakan teririgasi dan di bajak dengan
mengunakan sapi jantan,kerbau, domba, kambing dan keledai. Situasi India secara
kurtural saat Islam masuk sebenarnya sedang berada Budha, serta munculnya berbagai
induk politik dan politik, yakti antara kasta Brahmanik-hinduisme dan keyakinan Budha
serta munculnya berbagai elit politik, teritama dominannya elit Rajput dengan elit-elit
politik Hindu. Dalam kondisi demikian, pemerintahan lokal mengambil peran yang lebih
dominan dalam penerapkan pengaruhnya terhadap rakyatnya. Tidak hanya sebatas itu,
berbagai kewenangan yang berlebihan dalam mengunakan kekuasaannya pun hampir
mudah ditemukan di setiap wilayah.
Gambaran umum tentang masyarakat India saat Islam memasuki wilayah ini,
menunjukkan indikasi yang sangat sulit bagi proses islamisasi. Ini menunjukkan bahwa
betapa kuatnya pengaruh dan dominasi Kultural yang telah di bentuk oleh pendahulu
dan pengguasanya dalam menciptakan idiologi keagamaan dan sentimen kulturalnya.

4
Abdul Manan Talib, Bangladeshe Islam (Dhaka: Adhunik Prokashani, 1980), 48-49, lihat, K. Ali, History of India, Pakistan, and
Bangladest (Dhaka: Ali Publication, 1980), 3-8
Ada lima hal penting yang menjadi ciri khas masyarakat India yang menolak sesuatu dari
luar, yakni bahasa, agama, tradisi, dan kebencian terhadap orang asing, panatisme dan
keangkuhan budayanya. Seperti diketahui bahwa sejak tahun 6000 Sebelum Masehi
ajaran Agama Hindu dengan aturan-aturan kastanya sudah banyak di gunakan
ditenggah masyarakat India. Tidak lama setelah berkembangnya Agama Hindu, di India
pun muncul ajaran baru yang di bawah oleh Sudarta Gautama seorang raja Kapihuvastu
pada tahun 500 sebelum Masehi. Ajaran ini di kenal dengan nama Budha.
Melihat dekatnya, letak antara India dan Persia tidak mustahil jika dikatakan bahwa di
India banyak orang Persia yang hidup dan menetap dan mengembara di India oleh
karena itu di Bombay dapat di temukan komunitas masyarakat yang menganut Agama
Zoroaster.
Tahun-tahun menjelang masuknya Islam, Agama Hindu adalah Agama yang paling
penting dan banyak di anut oleh rakyat India. Hamper semua raja yang sedang berkuasa
menganut Agama Hindu. Tekanan yang besar dari kelompok Kasta Brahmana terhadap
penganut Agama Budha menyebabkan kelompok mereka mengharapkan datangnya
kekuatan lain yang bisa memberi perlindungan dan menghindari kekejaman penguasa
Hindu. Disisi lain di antara penganut Agama Hindu terjadi perebutan kekuasaan. Konflik
Hindu dan Buhda secara umum tampak jelas dalam persaingan perdagangan. Kelompok
hindu cenderung lebih senang untuk memonopoli, sedangkan Budha lebih giat dalam
memperoleh keuntungan. Karena kelompok budha lebih banyak terkalahkan dalam
persaingan, akhirnya mereka lebih terbuka untuk menerima Islam. Oleh karena itu,
mayoritas muslim India berasal dari orang-orang Budha yang pernah tertekan dan
tersisihkan oleh dominasi kekuasaan Hindu.

 Masuknua Isalam di India Pada Masa Muhammad Ibnu Qasim


Awal masuknya Islam ke India bisa di klasifikasikan menjadi dua jalur ; yaitu, jalur formal
dan jalur Informal. Secara formal proses awal Islamisasi di India terbagi menjadi empat
tahap. Tahap pertama, pada zaman Nabi Muhammad, Islam menyebar melalui media
pedagangan dan hanya sebagian kecil masyarakat India yang mendapatkan pengaruh
ajaran Islam. Tahap berikutnya, pada masa Umayyah, Islam dibawa pasukan Islam di
bawah pimpinan Muhammad bin Qasim dengan cara penetration pacifique dan berhasil
membangun pranata sosial yang harmonis dan mulai terjalin asimilasi peradaban antara
arab dengan India. Tahap ketiga semasa dinasti Ghazni, Islam menyebar melalui
penaklukan-penaklukan terutama dipimpin oleh sultan Mahmud dengan berbagai motif.
Ia melakukan tujuh belas kali penaklukan dan semuanya berhasil dimenangkan. Tahap
keempat, semasa Dinasti Ghuri (Muhammad Ghuri), Islam mulai berkuasa secara
permanen.
Selain secara formal melalui aktivitas penaklukan dan ekspansi, Islamisasi yang terjadi di
India juga dilakukan melalui jalur informal. Ada tigacara masuknya Islam ke India secara
Informal yaitu perdagangan, perkawinan dan peranan sufi atau alim ulama, Pertama,
jalur Perdagangan. Jauh sebelum Yunani mengenal India (utusan) orang-orang arab
sudah memiliki hubungan yang erat dengan dunia timur. Melalui media perdagangan
mereka singgah ke pelbuhan India dengan membawa produk dari Asia Tengah, Afrika,
bahkan dari Eropa. Kemudian mereka menukar dengan komoditi-komoditi Timur di
bandar-bandar tersebut.
Melalui perdagangan hubungan Arab India menjadi harmonis. Penaklukan Muhammad
bin Qasim di India (Sind dan Mutan) menyebabkan semakin banyak orang-orang Arab
yang menetap di sana dan melakukan perdagangan dengan orang-orang pribumi.
Menurut keterangan Varthema dan Barbosa yang mengunjngi India Timur (Bangladesh)
pad awal abad ke XVI M bahwa mereka banyak menemukan pemukiman para
pedagangan Arab dan Persia. Hal ini mengindikasikan adanya hubungan dengan Arab
sejak sebelum terjadi penaklukan.
Kedua, peranan Alim Ulama dan Sufi. Sejak pertama kali Islam masuk, ajaran Islam
dibaw oleh para Ulama , Sufi dan pasukan –pasukan Islam dari Arab, Yaman, Persia,
Turki dan Asia Tengah. Pengaruh Islam sangat Besarterhadap kehidupan masyarakat.
Peranan ulama dan sufi dalam menyiarkan agama Islam di tanah India sangat besar yang
ditunjukan dengan banyaknya jumlah mereka yang datang ke India. Mereka ternasuk
golongan pertama yang menyebarkan agama Islam sebelum Islam masuk ke India secara
formal. Ketika pemerintah Islam berkuasa di India peran mereka tidak berkurang bahkan
semakin besar memjukan agama Islam di negeri itu.
Ketiga, lewat saluran Perkawinan. Para ahli sejarah menentukan bahwa kaum muslim
yang datang ke India, di samping membawa agama Islam, juga mempunyai kecakapn
ilmu pengetahuan pengobat yang mereka miliki. Dari aktivitas ini banyak penduduk
India yang tertarik kepada agama Islam dan banyak juga yang akhirnya menjalih
hubungan perkawinan antara orang islam dengan penduduk setempat.
Bagian tersesar orang-orang India yang masuk aga ma Islam berasal dari kalangan umat
Budha dan orang-orang Hindu kelas bawah yang bagi mereka kesederhanaan,
persamaan, persaudaraan dalam agama, dan sistem sosial Islam sangat menarik bagi
penyelamat dari penderitaan dan tirani oleh golongan Brahmana. Meskipun demikian,
tidak sedikit juga orang-orang Hindu dari kelas atas yang masuk Islam terutama melalui
perkawianan dengan muslim
 Dampak Islamisasi oleh Muhammad Ibnu Qasim di India
Dalam bidang Ilmu pengetahuan, hubungan Islam dengan India terjalin dengan baik dan
menjadi pertukaran budaya antara keduanya, banyak buku India yang diterjemahkan
kedalam bahasa Arab pada abad ke-8. Begitu pula dengan bidang seni dan bangunan.
Bangunan-bangunan yang didirikan oleh para Sultan India antara lain, Istana Kerajaan,
Benteng, Mesjid, tugu orang-orang besar, perlindungan bagi orang-orang miskin. Dalam
rancangan bangunannya, merupakan campuran gaya Syiria, Bizantium, Mesir, dan Iran,
sedangkan detailnya Hindu, Jaina atau Budha. Perpaduan antara gaya Islam dan Hindu
tersebut menghasilkan evolusi gaya yang kadang-kadang disebut Indo-Muslim,
Arsitektur Indo-Muslim adalah arsitektur Muslim yang menampilkan detail sifat-sifat
tertentu dari seni bangunan Hindu. Semakin banyak ahli muslim yang memasuki India,
maka pengaruh Hindu semakin berkurang sedikit demi sedikit.
Bahasa juga merupakan salah satu aspek yang berubah, pada zaman Dinasti Ghaznawi
dan Ghuri, para sultan berbahasa Turki di Istana, sedangkan di kantor berbahasa Persi.
Para tentara muslim , ketika berbelanja kepasar mengalami kesulitan berkomunikasi
sengan masyarakat yang memakai bahasa parkit dan sansakerta, dan akhirnya
menghasilkan bahasa baru yaitu Urdu sedangkan pengaruh bahasa sansakerta
melahirkan bahasa Bangla.

Kesimpulan

Dari seluruh penjabaran diatas dapat disimpulkan beberapa poin. Pertama, ketika Islam datang
bersama pasukan Ibn Qâsim, kondisi masyarakat India sedang diselimuti kekacauan. Di
kalangan elite masyarakat terjadi persaingan kekuasaan dan ketidakstabilan politik. Sementara
kondisi sosial rakyat pada umumnya diliputi pertentangan antar agama, tekanan golongan atas,
dan kurangnya perhatian penguasa terhadap kesejahteraan rakyat. Negara menjadi tidak aman
dan rakyat menderita. Rakyat telah lama mengharapkan adanya kekuatan yang dapat
membantu mereka lepas dari ketertindasan. Di tengah-tengah situasi seperti itu Islam datang
membawa harapan baru bagi perbaikan kehidupan mereka, sehingga banyak rakyat yang
mendukung invasi Ibn Qâsim.

Kedua, meskipun datangnya Islam melalui invasi, namun tidak penuh dengan kekerasan dan
tindakan-tindakan pemaksaan agama terhadap penduduk lokal. Selama memerintah di India,
Ibn Qâsim membangun sistem administrasi dan pengambilan kebijakan yang didasari oleh
semangat persaudaraan, menjunjung toleransi, dan persamaan hak. Dalam beberapa hal ia
menerapkan sistem sebagaimana yang diterapkan Dinasti Umayyah dan di sisi lain ia melakukan
perbaikan, serta mempertahankan eksistensi administrasi India yang telah berlangsung.
Penduduk lokal diperlakukan sama dengan orang Arab, tidak dibeda-bedakan secara hukum
dan keadilan. Ia melakukan akomodasi politik dengan tokoh masyarakat setempat yang
berpengaruh. Kebijakannya dilandasi dengan melihat kondisi masyarakat pada waktu itu,
sehingga efektif dalam rangka mewujudkan ketertiban negara.

Ketiga, Ibn Qâsim sukses memainkan perannya baik sebagai seorang komandan militer maupun
pemimpin daerah. Perilaku dan kebijakannya menginspirasi banyak kalangan untuk menirunya
dan menarik banyak pihak memeluk Islam. Pada masanya toleransi agama dijunjung tinggi,
kesejahteraan rakyat menjadi prioritas, dan kehidupan harmonis menjadi tujuan. Oleh karena
itu, tidak mengherankan jika pengaruhnya sangat jauh dirasakan pada masa-masa setelahnya,
bahkan hingga sekarang. Keberhasilan invasi Ibn Qâsim menjadikan kontrol wilayah Sind berada
di tangan penguasa Arab yang dapat mewujudkan keamanan di berbagai daerah. Dengan
adanya jaminan keamanan maka hubungan India dengan wilayah internasional terbuka
kembali. Terjadi gelombang perpindahan penduduk dari dan ke wilayah ini. Penaklukan ini juga
memberi jalan bagi kelanjutan perdagangan dan pertukaran budaya, serta ilmu pengetahuan
yang bermanfaat untuk kemajuan Bangsa Arab dan India.

Daftar Pustaka

Abdullah, Taufik (ed.) dkk. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam II. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002.

Arnold, Thomas. W. Sejarah Dakwah Islam. Terj. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya, 1979.
Edyar, Busman (ed.) dkk. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka Asatruss, 2009.

Karim, M. Abdul. “Kontribusi Muhammad Bin Qasim dalam Penaklukan Sind (Deskripsi Historis
711-715)” dalam Thaqafiyyat: Jurnal Bahasa, Peradaban, dan Informasi Islam. Fakultas Adab,
IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Vol. 2. No. 2 Juli-Desember, 2001.

Anda mungkin juga menyukai