Anda di halaman 1dari 5

FIQIH PENGAWASAN PARTISIPATIF

Oleh: Muchtar Taufiq


(Ketua Bawaslu Kota Jakarta Selatan/Koordiv Pengawasan dan Hubungan Antar Lembaga)

Pengawasan Pemilu merupakan sebuah keniscayaan dalam setiap kontestasi demokrasi di


Indonesia. Tanpa sebuah pengawasan tentunya kualitas Pemilu/pemilihan tidak bisa dipertanggung
jawabkan bahkan akan menghasilkan kualitas yang buruk. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang
Pemilu maupun pemilihan, di mana skema pengawasan semakin diperkuat melalui berbagai aturan main
baik dalam perspektif hukum Pemilu maupun aturan teknis lainnya.
Namun tidak cukup pengawasan dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, pemerintah maupun peserta
Pemilu itu sendiri, harus didorong oleh seluruh lapisan masyarakat terutama pemilih (yang memiliki hak
suara). Tentunya kita pun tidak bisa mengabaikan stakeholder sebagai penyambung lidah masyarakat baik
dalam bentuk komunitas, organisasi kepemudaan, organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan
maupun kalangan akademisi yang sudah banyak bersentuhan dengan lembaga pengawas di tingkat
kabupaten/kota sampai dengan tingkat kelurahan.
Di sisi lain dalam UU Tentang Pemilu disebutkan bahwa Pemilu merupakan sarana perwujudan
kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Ini artinya tujuan penyelenggaraan
Pemilu menegakkan kemaslahatan sesuai dengan tujuan syari’at Islam (maqoshid as-syari’ah). Walau
demikian, partisipasi dalam Pemilu merupakan hak warga negara yang dijamin oleh konstitusi, bukan suatu
kewajiban. Pasal 28D UUD RI Tahun 1945 menyatakan “setiap warga negara berhak memperoleh
kesempatan yang sama dalam pemerintahan”1.
Partisipasi dalam pemerintahan tidak berarti mencalonkan diri semata, khususnya partisipasi dalam
Pemilu. Pada tahun 2018 lalu Bawaslu RI menerbitkan 6 buku “Serial Pengawasan Partisipatif” menurut
perspektif 6 agama yang diakui oleh negara yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Dalam perspektif agama Islam buku pengawasan Pemilu partisipatif dengan judul “Tausyiah Pemilu
Berkah” itu Islam harus hadir dalam menegakkan kebenaran dan keadilan serta menyelesaikan masalah
yang ada di tengah masyarakat.
Hal ini sesuai dengan maksud dan hikmah diturunkannya Islam (hikmatut tasyri’) yakni pertama,
untuk mengenal Allah SWT (ma’rifatullah) dan mengesakan-Nya (tauhid); Kedua, menjalankan segenap
ritual dan ibadah kepada Allah Swt sebagai manisfestasi rasa syukur kepada-Nya; Ketiga, untuk
mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran) serta
menghiasi hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia (tasawuf); dan Keempat, untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (mu’amalah) di antara sesama manusia.

Untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan kedamaian menuju kesejahteraan masyarakat itu
berlandaskan pada doktrin agama itu sendiri. Islam mengajarkan umatnya untuk berpegang teguh pada
nilai-nilai tawasuth (moderat), samuh (toleran), tawazun (harmonis berimbang), dan i’tidal (lurus-
konsisten). Nilai-nilai inilah yang menjadikan umat Islam, terutama para ulamanya, selalu hadir dalam
menciptakan kemaslahatan. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 143 yang artinya
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.”

Kemaslahatan sebagai tujuan syariat tidak akan terwujud tanpa ada ketaatan dan pelaksanaan dari
manusia sebagai obyek syariat. Pelaksanaan tersebut memerlukan motivasi yang mendorong manusia
untuk taat sekaligus menjadi kendali bagi manusia agar tidak melakukan pelanggaran. Islam membagi 3
(tiga) macam kendali (wazi’): Pertama, kendali agama (wazi’ dini) yang berbasis pada keimanan dan
ketaqwaan. Kendali ini lahir dari nurani yang paling dalam. Kedua, kendali kekuasaan (wazi’ sulthani)
yaitu kendali yang lahir dari rasa takut pada ancaman hukuman duniawi yang dilaksanakan oleh
penguasa/penegak hukum. Ketiga, kendali alamiah (wazi’ hayati) yaitu kendali yang lahir dari tabiat
normal manusia.2
Maslahat sebagai lawan kata madarat menurut kaidah fiqih bahwa ‫ َزا ُل‬33ُ‫ َر ُر ي‬33‫الض‬
َ yang berarti
kemudharatan (harus) dihilangkan. Izzuddin Ibn Abd al-Salam mengatakan bahwa tujuan syariah itu
adalah untuk meraih kemaslahatan (kemanfaatan) dan menolak kemafsadatan (kerusakan). Dengan kata
lain, kaidah tersebut di atas kembali kepada tujuan untuk merealisasikan maqashid al-syari’ah (tujuan-
tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum) dengan menolak yang mafsadah (rusak), dengan
cara menghilangkan kemudharatan (bahaya) atau setidaknya meringankannya. 3 Kaidah tersebut di atas

1
Bawaslu RI, Serial Buku Pengawasan Partisipatif: Tausyiah Pemilu Berkah; 2018
2
Bawaslu RI, Serial Buku Pengawasan Partisipatif: Tausyiah Pemilu Berkah; 2018. Hal: 11-12.
3
Dr. H. Mif Rohim, MA, Qowa’id Fiqhiyyah: Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum; 2019. Tebuireng, Jombang. Hal. 101-
102
selaras dengan QS. Al-A’raf ayat 56 yang artinya “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka
bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya.”
Berdasarkan ketetapan para fuqaha (para ahli fiqih), apabila seseorang menimbulkan bahaya yang
nyata pada hak orang lain dan memungkinkan ditempuh langkah-langkah pencegahan untuk menepis
bahaya tersebut maka orang tersebut dapat dipaksa untuk mengambil langkah-langkah pencegahan untuk
mencegah hal tersebut, namun dia tidak dapat dipaksa untuk melenyapkannya. Akan tetapi, jika langkah
menepis bahaya tersebut sudah tidak memungkinkan, sementara hal itu menyangkut manfaat-manfaat yang
pada dasarnya merupakan keniscayaan, misalnya penutupan akses matahari dan udara secara total bagi
pihak tetangga, maka ia dapat dipaksa untuk melenyapkan hal yang menyebabkan bahaya tersebut.4
Menolak kemafsadatan (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik kemaslahatan (manfaat).
Qoidah (aturan) ini diucapkan dalam bahasa lain Ad-daf’u aula minal jalbi (menolak kemungkinan buruk
lebih di dahulukan dari pada menarik kebaikan). Jika dilihat dalam ilmu Ushul Fiqih ada sumber hukum
berupa syaddud daro'i (preventif) menjaga kemungkinan terjadinya keburukan/kecurangan walaupun
belum terjadi.
Dalam ushul fiqih Saddu Dzaro'i pengertiannya yaitu masalah-masalah yang dzohir-nya
(terang/jelas) boleh ibahah (boleh berbuat atau tidak berbuat), tetapi ditakutkan masuk ke perbuatan
terlarang maka dibuatlah sebuah aturan. Pembahasan ini tidak ada dalam kitab-kitab Ushul fiqih yang lain
kecuali dalam kitab Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul karangan Imam Asyaukani, kitab
Qowaidul Ahkam fi Ishlahil Anam karya Sulthonul Ulama Izzuddin Bin Abdissalam dan Qowaid
Fiqihiyyah Al-Asybah wa Nadhoir Imam Suyuthi yang menggunakan istilah lain idza ta'arodho
mafsadatun wa maslahatun qudima daf'ul mafsadati gholiban (jika ada konflik antara kejahatan dan
manfaat, kejahatan akan ditolak sepenuhnya).
Penolakan atas sesuatu yang madarat juga terdapat dalam kaidah ushul fiqih yang merupakan
salahsatu cabang dari kaidah ‫ض َر ُر يُ َزا ُل‬
َ ‫ ال‬yakni; ‫ح‬ َ ‫ب ا ْل َم‬
ِ ِ‫ال‬3‫ص‬ ِ ‫س ِد ُمقَ َّد ٌم َعلَى َج ْل‬
ِ ‫“ د َْر ُء ا ْل َمفَا‬Upaya menolak kerusakan
harus didahulukan daripada upaya mengambil kemaslahatan” . Penjelasan dari kaidah ini bahwa; 5

hendaknya seseorang lebih mengutamakan menolak kerusakan dibandingkan meraih kemaslahatan. Itu
artinya apabila dalam suatu perkara terjadi pertentangan antara menolak kerusakan dan mengambil
kemaslahatan, maka yang lebih utama adalah menolak kerusakan. Jadi jika kerusakan suatu perkara itu
tidak dihilangkan atau ditolak, maka dikhawatirkan akan timbul kerusakan atau bahaya yang lebih besar.
Maka konsepsi di atas selaras dalam hal Pengawasan Pemilu sesuai dengan Undang-Undang No. 7
Tahun 2017, Bagian Ketiga dinyatakan bahwa dalam melaksanakan Tugas, Wewenang dan Kewajiban,
Paragraf 1 (satu), pasal 93 huruf (b), pasal 94 ayat (1) Bawaslu Bertugas. Pasal 97 huruf (a), pasal 98 ayat
(1) Bawaslu Provinsi Berugas. Pasal 101 huruf (a), pasal 102 ayat (1) Bawaslu Kabupaten/Kota Bertugas.
Pasal 105 huruf (a) Panwaslu Kecamatan Bertugas, pasal 106 huruf (e) Panwaslu Kecamatan Berwenang.
Pasal 109 huruf (b) Panwaslu Kelurahan/Desa Berwenag Untuk melakukan Pencegahan sebelum
mengambil Penindakan6. Maka sangat jelas bahwa, Tugas dan Wewenag Bawaslu di setiap tingkatan hal
yang paling pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pencegahan sebelum mengambil penindakan

4
Nashr Muhammad dan Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah; 2013. Jakarta: AMZAH. cet. III: Hal. 19.
5
Dr. H. Mif Rohim, MA, Qowa’id Fiqhiyyah: Inspirasi Dan Dasar Penetapan Hukum; 2019. Tebuireng, Jombang. Hal. 116-
117
6
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20017 Tentang Pemilu
di setiap tahapan pengawasan Pemilu, dan jika pencegahan juga diabaikan maka harus menegakkan
penindakan dengan tegas sesuai peraturan perundang-undangan.
Bentuk-bentuk pencegahan yang dilakukan Bawaslu bisa dilakukan dalam bentuk sosialisasi
perundang-undangan maupun aturan main teknis lainnya baik dalam bentuk Forum Group Discusion
(FGD), Seminar, melalui tatap muka, webinar, dengan mengundang semua stakeholder pemangku
kepentingan, peserta Pemilu tentunya dan masyarakat (pemilih). Bisa juga dengan sosialisasi melalui
agitasi dan propoganda (agitprop) dalam bentuk spanduk, pamplet, stiker dan banner. Atau media sosial
yang seperti instagram, youtube, facebook dll.
Adapun teknis pencegahan lain yang dilakukan pengawas Pemilu dilapangan di setiap tahapan
Pemilu/pemilihan yakni dengan mencegah terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh peserta Pemilu baik
oleh tim kampaye, partisipan, pengurus Parpol maupun masyarakat sebagai pemilih yang dikarenakan
ketidtahuannya akan aturan teknis yang ada. Maka ketika pengawas mendapati pelanggaran, segera
mencegahnya. Apabila setelah dilakukan pencegahan oleh pengawas di lapangan tidak juga diindahkan
dalam artian mengabaikan peringatan/pencegahan pengawas, maka wajib mengambil tindakan tegas sesuai
peraturan yang berlaku dalam UU Pemilu/pemilihan. Hal demikian sebagai langkah terakhir yang akan
dilakukan oleh semua pengawas di lapangan.
Dapat disimpulkan bahwa pengawasan dalam Pemilu/pemilihan selaras dengan konsep kaidah fiqih
dan ushul fiqih di atas dengan mengutamakan mencegah kerusakan, menghilangkan bahaya ketimbang
mengambil manfaat. Proses pemilu yang syarat dengan politik uang sebagai alat untuk meraup dukungan
suara sebayak-banyaknya bagi Paslon/calon terhadap pemilih. Meski di satu sisi bisa
menguntungkan/bermanfaat bagi masyarakat (pemilih) yang tarap ekonomi rendah, namun di sisi lain
sangat berbahaya akan dampak yang ditimbulkan. Istilah “tidak ada makan siang gratis” secara psikologis
dengan hitungan tematis ekonomis akan terkalkulasi oleh peserta Pemilu/pemilihan yang nanti duduk di
suatu jabatan, dengan modal yang mereka sudah keluarkan tersebut harus kembali berlipat ganda dengan
cara apapun termasuk korupsi.
Islam melarang keras praktek politik uang semacam itu. Dalam Al-quran Surah Al-Baqarah Ayat
188 Allah berfirman “Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu
dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.7”
Selain Al-Quran, Rasulullah SAW juga mengecam keras tindakan tercela ini. Kecaman atas praktik
suap (polik uang) ini dimaknai oleh para ulama sebagai sebuah larangan sebagaimana dalam hadis berikut:
“Dari Abdullah bin Amr, ia berkata bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang melakukan penyuapan
dan yang menerima suap,” (HR Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Praktik suap ini tidak
hanya melibatkan penerima dan pemberi suap. Praktik ini juga memasukkan di dalamnya pihak perantara
keduanya. Artinya pihak ketiga yang menjadi perantara juga termasuk orang yang mendapat kecaman8.

7
https://nasional.okezone.com/read/2019/02/01/337/2012613/islam-melarang-keras-politik-uang-begini-penjelasannya, diakses
pada tanggal 21 November 2021, pkl. 01.30
8
ibid
Pemberian apapun dalam bentuk politik uang adalah tidak sah dan termasuk kategori risywah
(suap). Mengapa demikian? Sebab di balik pemberian oleh peserta Pemilu itu terkandung maksud
terselubung yang jelas-jelas serupa praktik menyuap agar seseorang memilih dirinya. Pemberian tak lagi
murni pemberian melainkan ada unsur mempengaruhi pilihan politik.
Politik pada dasarnya sangat mulia sebagai perantara bagi tujuan terselenggaranya masyarakat yang
adil, aman dan sejahtera. Karena hanya sebagai perantara (wasîlah), bukan tujuan akhir (ghâyah), politik
seyogianya tak perlu dikultuskan, dilakukan secara membabibuta, hingga mengorbankan tujuan mulia dari
politik itu sendiri.
Aturan perundang-undangan maupun aturan teknis lainnya mengenai Pemilu khususnya
pengawasan, sama sekali tidak ada pertentangan dengan syariat Islam bahkan saling melengkapi satu sama
lain. Sehingga Illat atau dasar hukum ashal (segala keselamatan syara' yang bergantung dengannya, segala
perintah dan segala kerusakan, yang bergantung dengannya segala larangan) sebagai dasar kaidah fiqih
dalam konteks pengawasan Pemilu sangat kaya bila disingkronisasi kedalam khazanah ilmu fiqih.
Maka sudah jelas bahwa pengawasan yang harus mengedepankan pencegahan sudah menjadi
tanggung jawab kita sebagai umat islam yang manyoritas di negeri tercinta ini. Bahkan agama-agama lain
pun sangat bersepakat akan konsepsi ini dikarenakan semua ajaran agama pada dasarnya menyerukan
kepada kebaikan, kemaslahatan dan kedamaian bukan perpecahan, kerusakan dan keburukan. Tidak ada
satu agama pun yang menyerukan sebaliknya.
Cukup sudah argumentasi dalil sebagai dasar pengawasan dalam perspektif kaidah fiqih kali ini,
mudah-mudahan hal ini bisa menjawab berbagai pertanyaan, tantangan dan sikap apriori akan pentingnya
masyarakat melakukan pengawasan Pemilu di setiap kontestasi perhelatan demokrasi di negara tercinta ini.
Sehingga tidak lagi ada perdebatan yang berarti akan hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dan
umat beragama dalam melakukan partisipasi pengawasan Pemilu.
Pada akhirnya partisipasi dalam Pemilu/pemilihan menjadi keniscayaan jika kita memahami secara
benar akan pentingnya eksistensi kita sebagai manusia sekaligus warga negara indonesia yang beragama.
Sekali lagi penulis tegaskan bahwa subtansi Pemilu berkualitas sebagai wujud dari demokrasi pancasila
adalah melakukan pengawasan di setiap tahapan Pemilu/pemilihan agar terwujud keadilan sosial bagi
setiap warga negara yang pastinya beragama.
Mudah-mudahan ulasan kali ini bisa memberikan perspektif lain dalam khazanah kepemiluan
dalam perspektif kaidah fiqih, khususnya untuk penyelenggara Pemilu, pemerintah, peserta Pemilu dan
bahkan seluruh lapisan masyarakat sebagai pemilik saham yang sesungguhnya di negara kesatuan republik
indonesia yang kita cintai. Dan saya pribadi memohon saran, kritik dan koreksi bila dalam penulisan dan
pembahasan ini masih ada yang belum pas dan tidak sesuai. Wallahu a’lam bish-shawab.

Anda mungkin juga menyukai