Anda di halaman 1dari 34

PENGANTAR AKUNTANSI FORENSIK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Audit Investigasi dan Akuntansi Forensik

Dosen pengampu:
Reskino, S.E., M.Si., Ph.D., Ak., CA., CMA., CERA., CBV., CDMS.

Disusun oleh:
Kelompok 1
Sarah Aulia Ariyanto 11190820000017
Saniatri Maulida 11190820000026
Faurelya Almira Rahma 11190820000073

PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah Audit Investigasi
dan Akuntansi Forensik yang berjudul “Pengantar Akuntansi Forensik” ini dengan baik.
Tidak lupa kami haturkan sholawat dan salam kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW.
yang telah membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman terang benderang.
Kami juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Reskino, S.E., M. Si., Ph.D., Ak.,
CA., CMA., CERA., CBV., CDMS selaku dosen pengampu mata kuliah Audit Investigasi
dan Akuntansi Forensik dan tidak lupa kepada semua pihak yang secara langsung maupun
tidak langsung telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Berkat dorongan serta
bantuan mereka kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami sadar bahwa makalah yang kami buat ini masih banyak kekurangannya, maka
dari itu kami meminta maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan. Kami sangat memerlukan kritik dan saran dari para pembaca untuk membantu
kesempurnaan makalah ini. kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita terutama mengenai koperasi syariah. Semoga
makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 05 Maret 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................... i


DAFTAR ISI ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................................... 2
BAB II.................................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN .................................................................................................................. 3
2.1 Pengertian Akuntansi Forensik ............................................................................ 3
2.2 Ruang Lingkup Akuntansi Forensik .................................................................... 4
2.2.1 Praktik di Sektor Swasta ................................................................................... 4
2.2.2 Aset Recovery .................................................................................................. 6
2.2.3 Expert Witness ................................................................................................. 8
2.2.4 Praktik di Sektor Pemerintah ............................................................................ 8
2.2.5 Akuntansi Forensik di Sektor Publik dan Swasta .............................................. 9
2.3 Atribut Akuntansi Forensik ................................................................................. 9
2.3.1 Karakteristik Seorang Pemeriksa Fraud .......................................................... 11
2.3.2 Kualitas Akuntan Forensik............................................................................ 122
2.4 Kode Etik Akuntansi Forensik ........................................................................... 13
2.5 Standar Audit Akuntansi forensik ................................................................... 188
2.5.1 Standar Audit Investigasi .............................................................................. 188
2.5.2 Standar Umum dan Khusus Akuntansi Forensik ......................................... 1919
2.6 Standar Pemeriksaan Keuangan Pemerintah .................................................. 233
2.7 Case Study ........................................................................................................ 2828
BAB III ............................................................................................................................ 300
PENUTUP ....................................................................................................................... 300
3.1 Kesimpulan........................................................................................................ 300
3.2 Saran.................................................................................................................. 300
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 311

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Seiring perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks, berkembang pula praktik
kejahatan dalam bentuk kecurangan (fraud) ekonomi. Jenis fraud yang terjadi pada
berbagai negara bisa berbeda, karena dalam hal ini praktik fraud antara lain dipengaruhi
kondisi hukum di negara yang bersangkutan. Pada negaranegara maju dengan kehidupan
ekonomi yang stabil, praktik fraud cenderung memiliki modus yang sedikit dilakukan.
Adapun pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, praktik fraud cenderung
memiliki modus banyak untuk dilakukan. Fraud dapat terjadi pada sektor swasta maupun
sektor publik.
Akuntan forensik memiliki peran yang efektif dalam menyelidiki tindak kejahatan.
Akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk
auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan
(Tuanakotta, 2010:4). Akuntansi forensik dahulu digunakan untuk pembagian warisan
atau mengungkap kasus pembunuhan. Hal ini yang menjadi dasar pemakaian istilah
akuntansi dan bukan audit. Secara tegas yang membedakan antara keduanya, misalnya
dalam tindak pidana korupsi menghitung besarnya kerugian keuangan negara masuk ke
wilayah akuntansi.
Audit investigatif merupakan audit dengan menggunakan unsur-unsur layaknya
penyidik yang harus memahami akuntansi (untuk mereview laporan keuangan), audit
(untuk membuktikan adanya penyimpangan) dan hukum (teknik-teknik ligitasi) selain itu
dibutuhkan kemampuan personal auditor dalam mengumpulkan bukti-bukti (Kabid
Investigasi BPKP DIY).
Dengan semakin dilibatkannya akuntan forensik dalam kegiatan-kegiatan financial
perusahaan bersama shareholders dan lembaga pemerintahan untuk mencegah terjadinya
fraud dan kecurangan di dalam praktik akuntansi. Dengan demikian akuntansi forensik
sangat berperan dalam pencegah dan pendeteksi terjadinya fraud di setiap kegiatan
financial serta melakukan tindakan represif (Ramaswamy, 2007).

1|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu akuntansi forensik ?
2. Apa saja ruang lingkup akuntansi forensik ?
3. Apa saja atribut akuntansi forensik ?
4. Apa saja kode etik akuntansi forensik ?
5. Apa saja standar audit investigasi dan akuntansi forensik ?
6. Apa saja Standar Pemeriksaan Keuangan Negara ?

1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari akuntansi forensik
2. Mengetahui ruang lingkup akuntansi forensik
3. Mengetahui atribut akuntansi forensik
4. Mengetahui kode etik akuntansi forensik
5. Mengetahui standar audit investigasi dan akuntansi forensik
6. Mengetahui Standar Pemeriksaan Keuangan Negara

2|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Akuntansi Forensik


Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk
auditing pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar pengadilan
(Tuanakotta, 2010: 4). Akuntansi forensik menurut D. Larry Crumbey dalam Tuanakotta
(2010: 5) mengemukakan bahwa secara sederhana akuntansi forensik dapat dikatakan
sebagai akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum, atau akuntansi yang tahan uji dalam
kancah perseteruan selama proses pengadilan, atau dalam proses peninjauan yudisial, atau
tinjauan administratif. Definisi dari Crumbey menekankan bahwa ukuran dari akuntansi
forensik adalah ketentuan hukum dan perundang-undangan, berbeda dari akuntansi yang
sesuai dengan GAAP (Generally Accepted Accounting Principles).
Berdasarkan pengertian akuntansi forensik dari berbagai sumber di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin ilmu akuntansi
dalam penyelesaian masalah hukum baik di dalam dan di luar pengadilan.
Akuntansi forensik pada awalnya adalah perpaduan paling sederhana antara akuntansi
dan hukum (misalnya dalam pembagian harta gono-gini). Dalam kasus yang lebih pelik,
ada satu bidang tambahan yaitu audit sehingga model akuntansi forensiknya
direpresentasikan dalam tiga bidang. (Tuanakotta, 2010: 19).

Selain itu ada cara lain dalam melihat akuntansi forensik menurut Tuanakotta dalam
bukunya yang berjudul Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif yaitu dengan
menggunakan Segitiga Akuntansi Forensik.

3|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


Pada sektor publik maupun swasta akuntansi forensik berurusan dengan kerugian.
Pada sektor publik negara mengalami kerugian negara dan kerugian keuangan negara.
Sementara itu pada sektor swasta kerugian juga terjadi akibat adanya ingkar janji dalam
suatu perikatan. Titik pertama dalam segitiga adalah kerugian. Adapun perbuatan
melawan hukum menjadi titik kedua. Tanpa adanya perbuatan melawan hukum, tidak ada
yang dapat dituntut untuk mengganti kerugian. Titik ketiganya adalah hubungan
kausalitas antara kerugian dan perbuatan melawan hukum. Hubungan kausalitas antara
kerugian dan perbuatan melawan hukum merupakan ranahnya para ahli dan praktisi
hukum dalam menghitung besarnya kerugian dan mengumpulkan barang bukti. Jadi,
Segitiga Akuntansi Forensik juga merupakan model yang mengaitkan disiplin hukum,
akuntansi dan auditing.

2.2 Ruang Lingkup Akuntansi Forensik


2.2.1 Praktik di Sektor Swasta
Bologna dan Lindquist perintis mengenai akuntansi forensik dalam Tuanakotta
(2010: 84) menekankan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yaitu:
fraud auditing, forensik accounting, investigative support, dan valuation analysis.
Litigation support merupakan istilah dalam akuntansi forensik bersifat dukungan
untuk kegiatan ligitasi. Akuntansi forensik dimulai sesudah ditemukan indikasi
awal adanya fraud. Audit investigasi merupakan bagian awal dari akuntasi
forensik. Adapun valuation analysis berhubungan dengan akuntansi atau unsur
perhitungan. Misalnya dalam menghitung kerugian negara karena tindakan
korupsi.
Jasa-jasa forensik di sektor swasta: Fraud & finansial Investigations, Analytic
& Forensic Technology, Fraud Risk Management, FCPA Reviews and
Investigations, Anti Money Laundering Services, Whistleblower Hotline,

4|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


Litigations Support, Intelectual Property Protection, Client Training, dan
Business Intelligence Services.
Beberapa contoh jasa yang diberikan oleh Akuntan forensic:
a. Analytic & Forensic Technology
Ini adalah jasa-jasa yang dikenal sebagai computer forensic, seperti data
imaging (termasuk memulihkan kembali data computer yang hilang atau
dihilangkan) dan data mining. Beberapa perangkat lunak ini dilindungi hak
cipta seperti DTect.
b. Fraud Risk Management
Jasa ini serupa dengan FOSA dan COSA yang dijelaskan dalam Bab 1.
Beberapa peralatan analisisnya terdiri atas perangkat lunak yang dilindungi
hak cipta, seperti Tip-Offs Anonymous, DTermine, dan DTect.
c. FCPA Reviews and Investigations
FCPA adalah Undang-undang di Amerika Serikat yang memberikan sanksi
hukum kepada entitas tertentu atau pelakunya (agent) yang menyuap pejabat
atau penyelenggara Negara di luar wilayah Amerika Serikat. FCPA Reviews
serupa dengan FOSA, tetapi orientasinya adalah pada potensi pelanggaran
terhadap FCPA. FCPS investigations merupakan jasa investigasi ketika
pelanggaran terhadap FCPA sudah terjadi.
d. Anti Money Laundering Services
Jasa yang diberikan kantor akuntan ini serupa dengan FOSA, tetapi
orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap undang-undang
pemberantasan pencucian uang.
e. Whistleblower Hotline
Banyak fraud terungkap karena Whistleblower memberikan informasi (tip-
off) secara diam-diam atau tersembunyi (anonymous) tenang fraud yang
sudah atau sedang berlangsung. Kantor Akuntan ini menggunakan perangkat
yang lunak yang dilindungi hak cipta (Tip-offAnonymous).
f. Business Intelligence Services
Istilah Intelligence memberi kesan bahwa kantor akuntan memberikan jasa
mata-mata atau melakukan pekerjaan detektif. Hal yang dilakukan adalah
pemeriksaan latar belakang (background check) seseorang atau suatu entitas.
Jasa ini diperlukan oleh perusahaan yang akan melakukan akuisisi, merger

5|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


atau menanamkan uangnya pada perusahaan lain. Ini adalah bagian dari jasa
yang dikenal sebagai due diligence. Jasa intelligence juga bermanfaat dalam
menciptakan kesadaran mengenai siapa pelanggan perusahaan. Jasa
intelligence juga berguna dalam rangka merekrut orang untuk jabatan yang
memerlukan kejujuran dan integritas.

2.2.2 Aset Recovery


Asset recovery adalah upaya pemulihan kerugian dengan cara menemukan dan
menguasai kembali aset yang dijarah, misalnya dalam kasus korupsi,
penggelapan, dan pencucian uang (money launder). Berdasarkan Asset Recovery
Handbook yang diterbitkan oleh Stolen Asset Recovery (StAR), World Bank,
tahapan dalam pelaksanaan Asset Recovery adalah sebagai berikut.
1) Pengumpulan Bukti dan Penelusuran Aset
Brun, et. al. (2011: 41) Untuk memperoleh bukti tersebut pemeriksa harus
mengidentifikasi dan menelusuri aset atau “follow the money” sampai
diperoleh hubungan antara aset tersebut dengan tindakan kriminal yang
dimaksud atau sampai dengan lokasi aset yang dimaksud dapat ditentukan.
Teknik-teknik yang dapat digunakan dalam pengumpulan bukti dan
penelusuran aset antara lain:
a. merencanakan tindakan investigatif,
b. membuat profil subjek,
c. mendapatkan bukti keuangan dan bukti-bukti lain,
d. mengorganisasikan data: membuat profil keuangan,
e. menganalisis data: membandingkan aliran kas dengan profil rekening,
f. melaksanakan kerja sama internasional.
2) Pengamanan Aset
Pengamanan aset diwujudkan dengan sebuah tindakan pemblokiran yang
menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2006 adalah pembekuan
sementara harta kekayaan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau
pemeriksaan di sidang pengadilan dengan tujuan untuk mencegah dialihkan
atau di pindah tangan kan agar orang tertentu atau semua orang tidak
berurusan dengan harta kekayaan yang telah diperoleh, atau mungkin telah
diperoleh dari dilakukannya tindak pidana tersebut.

6|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


3) Proses Peradilan
Proses terpenting dalam tahapan peradilan ini adalah pengumpulan bukti yang
dilaksanakan melalui penyitaan. Definisi penyitaan menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
Pasal 1 ayat (16) adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih
dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak
bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam
penyidikan, penuntutan dan peradilan.
4) Pelaksanaan Putusan
Pada saat proses peradilan telah menghasilkan putusan yang
menginstruksikan perampasan aset maka berbagai langkah harus ditempuh
untuk melaksanakan putusan tersebut. Namun, mengingat tindakan pidana
saat ini sudah merambah ke dunia internasional maka semakin mudah bagi
pelaku tindak pidana untuk menyembunyikan dan melarikan harta hasil tindak
pidananya ke luar negeri. Untuk itulah diperlukan kerja sama internasional
dalam pelaksanaan program pengembalian aset tindak pidana.
5) Pengembalian Aset
Menurut Yanuar (2007: 206), mekanisme atau prosedur yang dapat diterapkan
untuk proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi dapat berupa: (i)
pengembalian aset melalui perampasan jalur pidana, (ii) pengembalian aset
melalui perampasan jalur perdata, (iii) pengembalian aset melalui jalur
administrasi atau politik. Dalam proses pengembalian aset hasil tindak pidana
korupsi yang dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dan KPK sebagai aparat
berwenang dalam penegakan hukum juga mengenal dua mekanisme
pengembalian aset, yaitu; (i) pengembalian aset melalui perampasan aset
tanpa pemidanaan, serta (ii) pengembalian aset secara sukarela. Untuk
mengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, KPK diberikan wewenang
sebatas pengembalian aset dengan jalur pidana dan penyerahan secara
sukarela, apabila diharuskan menempuh jalur di luar pidana maka kejaksaan
selaku pengacara negara menerapkan mekanisme selanjutnya, baik secara
perdata maupun mekanisme jalur administratif dan politik.

7|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


2.2.3 Expert Witness
Pemberian jasa forensik berupa penampilan Ahli (Expert witness) di
pengadilan Negara-negara Anglo Saxon begitu lazim sehigga seorang praktisi
menulis bahwa secara teknis, “akuntasi forensik ” berarti menyiapkan seorang
akuntan menjadi saksi ahli dalam ligitasi, sebagai bagian dari tim penuntut umum
,atau pembela dalam perkara yang berkenaan dengan fraud. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya istilah “akuntasi forensik” bermakna sama dengan
prosedur akuntansi investigatif.
Masalah utama dalam jasa expert witness adalah pengujian kompetensi. Untuk
itu, dikenal dua metode, yaitu Daubert test dan Frye test. Daubert test adalah
pemenuhan kondisi-kondisi yang meliputi;
 teknik atau teori sudah diuji secara ilmiah,
 teknik atau teori sudah dipublikasi dalam majalah ilmiah dimana sesama rekan
dapat menelaahnya (peer-reviewed scient ific journal)
 tingkat kesalahan dalam menerapkan teknik tersebut dapat ditaksir dengan
memadai atau diketahui,
 teknik atau teori sudah diterima dalam masyarakat atau asosiasi ilmuwan
terkait.
Adapun Frye test adalah hanya mensyaratkan bahwa keterangan saksi ahli
didasarkan pada prinsip atau metode yang sudah diterima oleh masyarakat atau
asosiasi ilmuwan terkait.
Masalah yang timbul dalam penggunaan akuntan forensik sebagai ahli di
persidangan, khususnya dalam tindak pidana korupsi, adalah kompetensi dan
independensi. Masalah kompetensi dan independensi sering dipertanyakan tim
pembela atau pengacara terhadap akuntan forensik yang membantu penuntut
umum. Sebaliknya, tidak ada pertanyaan mengenai kompetensi dan independensi
akuntan forensik yang membantu tim pembela (pengacara).

2.2.4 Praktek di Sektor Pemerintah


Forensik pada sektor publik di Indonesia lebih menonjol daripada akuntansi
forensik pada sektor swasta. Secara umum akuntansi forensik pada kedua sektor
tidak berbeda, hanya terdapat perbedaan pada tahap-tahap dari seluruh rangkaian
akuntansi forensik terbagi-bagi pada berbagai lembaga seperti lembaga
8|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK
pemeriksaan keuangan negara, lembaga pengawasan internal pemerintahan,
lembaga pengadilan, dan berbagai lembaga LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) yang berfungsi sebagai pressure group.

2.2.5 Akuntansi Forensik di Sektor Publik (pemerintah) dan Swasta


Di sektor publik (pemerintahan), praktik akuntan forensik serupa dengan apa
yang digambakan pada sektor swasta. Perbedaannya adalah bahwa tahap-tahap
dalam seluruh rangkaian akuntasi forensik terbagi-bagi diantara berbagai
lembaga. Dimensi yang membedakan akuntansi forensik di sektor publik dan
swasta: Landasan penugasan, Imbalan, Hukum, Ukuran Keberhasilan,
Pembuktian, Teknik audit investigatif, Akuntansi.

2.3 Atribut Akuntansi Forensik


Howard R. Davia, memberi 5 nasihat kepada auditor pemula dalam melakukan
investigasi terhadap fraud, sebagai berikut:
1. Hindari pengumpulan fakta serta data yang berlebihan secara premature,

9|K EL OMP OK 1 – P EN GAN TAR AKUN TAN SI F OR EN SIK


Perlunya dilakukan identifikasi terlebih dahulu siapa pelaku atau yang mempunyai
potensi menjadi pelaku . Pikirkan pada siapa atau kemungkinan pelaku tersebut, tidak
perlu terlalu berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan karena banyak auditor
berkutat pada pengumpulan fakta dan temuan, tetapi tidak menjawab pertanyaan yang
paling penting : Who did it ? Ada kalanya kebiasaan penyembunyian nama pelaku
didorong oleh keinginan untuk “memperhalus” pengungkapan sesuatu yang
kelihatannya kurang elok. Dalam bahasa Inggris, penghalusan ini disebut euphemism.
2. Seorang fraud auditor harus mampu membuktikan niat dari pelaku yang melakukan
kecurangan. Banyak kasus kecurangan kandas karena gagal membuktikan niat
kejahatan, terutama di sidang pengadilan. Hal ini disebabkan karena penyidik dan
saksi ahli (akuntan forensik) gagal membuktikan niat melakukan kejahatan atau
pelanggaran. Menurut Davia, tujuan proses pengadilan adalah menilai orang, bukan
mendengar celotehan yang berkepanjangan tentang kejahatannya.
3. Seorang auditor forensik harus berpikir kreatif, berpikir seperti pelaku fraud jangan di
tebak.
Yaitu dapat berpikir layaknya seorang pelaku fraud agar dapat mengantisipasi
langkah-langkah yang akan diambil pelaku fraud jika mereka mengetahui bahwa
tindakan mereka telah tercium atau terungkap.
Dalam proses audit investagatif, keadaan dapat berubah dengan cepat, misalnya, bukti
dan barang bukti disembunyikan atau dihancurkan atau pelaku bersembunyi atau
melarikan diri. Dalam kondisi seperti tersebut auditor forensik harus berpikir kreatif
dalam menggunakan prosedur, kombinasi prosedur atau alternatif prosedur untuk
mengumpulkan bukti. Seorang auditor forensik harus dapat berpikir layaknya seorang
pelaku fraud agar dapat mengantisipasi langkah-langkah yang akan diambil pelaku
fraud jika mereka mengetahui bahwa tindakan mereka telah tercium atau terungkap.
Seorang auditor forensik juga tidak gampang ditebak dalam melakukan proses audit
investigatif, agar tidak dengan mudah dapat diantisipasi oleh pelaku fraud.
4. Seorang auditor harus tahu bahwa banyak kecurangan dilakukan dengan
persekongkolan (collusion, conspiracy). Dua macam persengkongkolan:
- Bersifat sukarela, mempunyai niat jahat (ordinary conspiracy),
- Pelakunya tidak menyadari bahwa keluguannya dimanfaatkan (pseudo
conspiracy).

10 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
5. Dapat memilih startegi untuk menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif.
Auditor harus mengenali pola fraud yang dilakukan oleh pelaku, pendeteksiandan
pengumpulan bukti terhadap fraud yang dilakukan dalam pembukuan

2.3.1 Karakteristik Seorang Pemeriksa Fraud


Association of Certified Fraud Exeminers (ACFE) menjelaskan karakteristik
pemeriksa fraud yang harus memiliki kemampuan yang unik. Disamping keahlian
teknis, pemeriksa fraud yang sukses mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-
fakta dari berbagai saksi secara adil (fair), tidak memihak, sahih (mengikuti
perundang-undangan) dan akurat, serta mampu melaporkan fakta-fakta yang
dikumpukan dan kemudian melaporkannya dengan akurat dan lengkap. Sehingga
dapat dikatakan pemeriksa fraud adalah orang yang memiliki gabungan keahlian dari
pengacara, akuntan, kriminolog dan detektif atau investigator.
Menurut Allan Pinkerton menyebutkan kualitas yang harus dimiliki oleh
seorang detektif, hati-hati (tidak gegabah), menjaga kerahasiaan pekerjaannya, kreatif
dalam menemukan hal-hal baru, pantang menyerah, berani, dan di atas segala-galanya
adalah jujur.
Disamping itu, detektif harus juga memiliki kemampuan dalam pendekatan
dengan manusia dan ketangguhan mencari informasi seluas-luasnya yang
memungkinkannya menerapkan kemahirannya sebagai detektif dengan segera dan
secara efektif.
Kemampuan berinteraksi dengan manusia amat menentukan. Sikap pemeriksa
terhadap orang lain memengaruhi sikap orang lain tersebut keapadanya. Sikap yang
bermusuhan akan menimbulkan rasa was-was dalam diri responden, yang kemudian
menyebabkan mereka bersikap menarik diri dan menjaga jarak. Selanjutnya Art
Buckwalter mengatakan, rahasia menjadi private investigator adalah menjadi sosok
yang disukai orang lain. Pemeriksa yang menyesatkan orang lain seringkali
menyesatkan diri sendiri.
Pemeriksa fraud harus mempunyai kemampuan teknis untuk mengerti konsep
– konsep keuangan dan kemampuan untuk menarik kesimpulan terhadapnya. Ciri
yang unik dari kasus – kasus fraud, yakni berbeda dengan kejahatan tradisional atas
harta benda, adalah identitas pelakunya biasanya diketahui. Dalam kasus-kasus fraud,

11 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
issue-nya bukanlah penentuan identitas pelakunya, namun apakah perbuatannya dapat
dianggap merupakan fraud.
1. Pemeriksa fraud harus memiliki kemampuan yang unik. Kemampuan untuk
memastikan kebenaran dari fakta yang dkumpulkan dan kemudian melaporkan
fakta-fakta itu secara akurat dan tepat.
2. Memiliki kepribadian yang menarik dan mampu memotivasi orang lain untuk
membantunya.
3. Memiliki kemampuan teknis untuk mengerti konsep-konsep keuangan dan
mampu manarik kesimpulan

2.3.2 Kualitas Akuntan Forensik


Menurut Robert J. Lindquist menyatakan bahwa kualitas yang harus dimiliki
oleh akuntan forensik sebagai berikut :
1. Kreatif
Dalam hal ini kreatif diartikan sebagai kemampuan untuk melihat sesuatu secara
berbeda dari orang lain. Suatu hal yang normal bagi orang lain belum tentu
dianggap normal oleh akuntan forensik.
2. Rasa ingin tahu
Keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian
peristiwa dan situasi.
3. Tidak menyerah
Kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah)
tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
4. Akal sehat
Kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
menyebutnya perspektif anak jalanan yang mengerti betul kerasnya kehidupan.
5. Business sense
Kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan dan
bukan hanya sekedar memahami bagaimana transaksi dicatat.
6. Percaya diri
Kemampuan untuk mempercayai diri dan temuannya sehingga dapat bertahan di
bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan
pembela).

12 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
2.4 Kode Etik Akuntansi Forensik
Kode etik berisi nilai-nilai luhur yang amat penting bagi eksistensi profesi. Profesi
bisa eksis karena ada integritas (sikap jujur walaupun tidak diketahui orang lain), rasa
hormat dan kehormatan, dan nilai-nilai luhur lainnya yang menciptakan rasa percaya dari
pengguna dan stakeholders lainnya.
Seorang ahli hukum berkebangsaan Inggris, Lord (John Fletcher) Moulton membedakan
tiga wilayah tingkat manusia yaitu :
1. Wilayah hukum positif, di mana orang patuh karena ada hukum dan hukuman untuk
ketidakpatuhan.
2. Wilayah kebebasan memilih, di mana orang mempunyai kebebasan penuh untuk
menentukan sikapnya.
3. Wilayah yang ketiga merupakan wilayah yang berada di tengah-tengah kedua wilayah
yang telah disebutkan sebelumnya atau disebut Lord Moulton sebagai
kesopansantunan.

Menurut Moulton, yang menentukan kebesaran suatu bangsa adalah berapa besarnya
kepatuhan bangsa itu akan hal-hal yang tidak dapat dipaksakan kepadanya (namun
mengandung nilai-nilai yang luhur) atau dengan kata lain kebesaran suatu bangsa
ditentukan oleh kepatuhannya akan ethics.
Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan sesamanya, dengan
pemakai jasanya dan stakeholder lainnya, dan dengan masyarakat luas. Kode etik adalah
sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas menyatakan apa yang
benar dan baik dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional. Tujuan kode etik
agar profesionalisme memberikan jasa sebaik-baiknya kepada pemakai jasa atau
nasabahnya. Adanya kode etik akan melindungi perbuatan yang tidak profesional. Dalam
menjalankan profesinya seorang akuntan forensik harus memperhatikan kode etik,
diantaranya:
1. Tanggung Jawab Profesi
Setiap anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan professional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Anggota mempunyai tanggung jawab
kepada semua pemakai jasa professional mereka. Anggota juga bertanggung jawab
untuk memelihara kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi

13 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
dalam mengatur dirinya sendiri. Setiap anggota harus menunjukan komitmen terhadap
profesionalisme dan ketekunan dalam pelaksanaan tugasnya.
2. Kepentingan Publik
Publik dari profesi akuntan yang terdiri dari klien, pemberi kredit, pemerintah,
pemberi kerja, pegawai, investor, dunia bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya
bergantung kepada objektivitas dan integritas akuntan dalam memelihara berjalannya
fungsi bisnis secara tertib. Hal ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap
kepentingan publik. Ketergantungan ini juga mempengaruhi kesejahteraan ekonomi
masyarakat dan Negara. Akuntan juga tidak diperkenankan untuk melakukan tindakan
yang bersifat illegal atau melangar etika, atau segenap tindakan yang menimbulkan
adanya konflik kepentingan. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk
membuat pemakai jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat
prestasi tertinggi.
3. Integritas
Integritas merupakan hal yang melandasi kepercayaan publik dan menjadi patokan
bagi anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan
seseorang bersikap jujur, dan berterus terang tanpa mengorbankan rahasia penerima
jasa. Kepercayaan publik tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi.
4. Objektivitas
Suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota. Prinsip
objektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak, tidak berprasangka,
serta bebas dari benturan kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain.
5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional
Setiap anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa professional dengan
sebaik baiknya sesuai dengan kemampuannya. Anggota harus memperoleh bukti atau
dokumentasi lain yang dapat mendukung pendapat yang diberikan. Tidak boleh
menyatakan pendapat bahwa seseorang atau pihak-pihak tertentu “bersalah” atau
“tidak bersalah”.
6. Kerahasiaan
Setiap anggota tidak boleh mengungkapkan informasi yang bersifat rahasia yang
diperoleh dari hasil audit tanpa melalui otorisasi dari pihak-pihak yang berwenang.
Kerahasiaan berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi
jasa berakhir.

14 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
7. Perilaku Profesional
Setiap anggota berkewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat
mendiskreditkan profesi sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada penerima
jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan masyarakat umum.
Setiap anggota harus mengungkapkan seluruh hal yang material yang diperoleh dari
hasil audit. Apabila informasi tersebut tidak diungkapkan akan menimbulkan distory
terhadap fakta yang ada.
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa professionalnya sesuai dengan standar teknis
dam standar profesionalnya yang relevan. Sesuai dengan keahliannya dengan berhati-
hati, anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima
jasa selama penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar profesianal yang harus ditaati anggota adalah standar yang
dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional Feferation of Accountants,
badan pengatur, dan pengaturan perundang-undangan yang relevan.

Berikut adalah contoh suatu kode etik yang dalam hal ini berlaku di dalam KPK/
Komisi Pemberantasan Korupsi (sebagian dari kode etik) :
(1) Nilai-nilai dasar pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dilaksanakan dalam
bentuk sikap, tindakan, dan perilaku Pimpinan KPK.
(2) Pimpinan KPK wajib menjaga kewenangan luar bisa yang dimilikinya demi martabat
KPK dan martabat pimpinan KPK dengan perilaku, tindakan, sikap, dan ucapan
sebagaimana dirumuskan dalam Kode Etik.
(3) Kode Etik diterapkan tanpa toleransi sedikit pun atas penyimpangannya
(zerotolerance) dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
(4) Perubahan atas Kode Etik Pimpinan KPK menurut keputusan ini akan segera
dilakukan berdasarkan tanggapan dan masukan dari masyarakat yang ditetapkan oleh
Pimpinan KPK.

15 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
BAB IV
KODE ETIK
Pasal 5
(1) Nilai-nilai dasar pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilaksanakan
dalam bentuk sikap, tindakan, perilaku, dan ucapan Pimpinan KPK.
(2) Pimpinan KPK wajib menjaga kewenangan luar biasa yang dimilikinya demi martabat
KPK dan mart abat Pimpinan KPK dengan perilaku, t indakan, sikap, dan
ucapan sebagaimana dirumuskan dalam Kode Etik.
(3) Kode Et ik dit erapkan t anpa t oleransi sedikit pun at as penyimpangannya
(zerotolerance), dan mengandung sanksi tegas bagi mereka yang melanggarnya.
(4) P er ubahan at as Ko de Et ik p imp ina n KP K me nur ut keput usan ini akan
seger a dilakukan berdasarkan tanggapan dan masukan dari masyarakat dan
ditetapkan olehPimpinan KPK.

Pasal 6
(1) Pimpinan KPK berkewajiban:
a. Melaksanakan ibadah dan ajaran agama yang diyakininya;
b. Taat terhadap aturan hukum dan etika;
c. Menggunakan sumber daya publik secara efisien, efektif, dan tepat;
d. Tegas dalam menerapkan prinsip, nilai dan keputusan yang telah disepakati;
e. Menarik garis tegas tentang apa yang patut, layak, dan pantas dilakukan,
denganapa yang tidak patut, tidak layak, dan tidak pantas dilakukan;
f. .tampil ketika keputusan sulit diambil;
g. Tidak berpihak dalam melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenangnya;
h. Berani menghadapi dan menerima konsekuensi keputusan;
i. Tidak berhenti belajar dan mendengar;
j. Mampu bertindak tegas tanpa beban;
k. Meningkatkan kinerja yang berkualitas;
l. Menanggalkan kebiasaan kelembagaan masa lalu yang negatif;
m. Menghilangkan sifat arogansi individu dan sektoral;
n. Mengidentifikasi setiap benturan kepentingan yang timbul atau kemungkinan
benturan kepentingan yang akan timbul dan memberitahukan kepada pimpinan
lainnya sesegera mungkin;

16 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
o. Memberikan komitmen dan loyalitas kepada kpk di atas komitmen dan loyalitas
kepada teman sejawat;
p. Mengenyampingkan kepentingan pribadi atau golongan demi tercapainya tujuan
yang ditetapkan bersama;
q. Menahan diri terhadap godaan yang berpotensi memengaruhi substansi keputusan;
r. Memberitahukan kepada pimpinan lainnya mengenai pertemuan dengan pihak lain
yang akan dan telah dilaksanakan, baik sendiri ataupun bersama, baik dalam
hubungan dengan tugas maupun tidak;
s. Menolah dibayari makan, biaya akomodasi, dan bentuk kesenangan
(entertainment) lainnya oleh atau dari siapa pun;
t. Independensi dalam penampilan fisik antara lain diwujudkan dalam bentuk tidak
menunjukkan kedekatan dengan siapa pun di depan publik;
u. Membatasi pertemuan di ruang publik seperti di hotel, restoran, atau lobi kantor,
atau hotel, atau di ruang publik lainnya;
v. Memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai keluarga, kawan, dan pihak-
pihak lain yang secara intensif masih berkomunikasi.

(2) Pimpinan KPK dilarang:


a. Menggunakan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi atau golongan;
b. Menerima imbalan yang bernilai uang untuk kegiatan yang berkaitan dengan fungsi
KPK;
c. Meminta kepada atau menerima bantuan dari siapa pun dalam bentuk apa pun yang
memiliki potensi benturan kepentingan dengan KPK;
d. Bermain golf dengan pihak atau pihak-pihak yang secara langsung atau tidak
langsung berpotensi menimbulkan benturan kepentingan sekecil apa pun.

(3) Pimpinan yang berhenti atau diberhentikan berkewajiban:


a. Wajib mengembalikan setiap dokumen atau bahan-bahan yang berkaitan dengan
kerja KPK;
b. Tidak mengungkapkan kepada publik atau menggunakan informasi rahasia yang
didapatkan sebagai konsekuensi pelaksanaan tugas selama menjadi pimpinan KPK,
baik secara langsung maupun tidak langsung.

17 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
Terdapat dua hal yang menarik dari Kode Etik di atas yaitu pimpinan KPK
menetapkan kode etik bagi mereka sendiri yakni pimpinan KPK memulai dari diri
mereka sendiri dan bukan dari karyawan mereka dan yang kedua adalah kode etik
tersebut sejalan dengan temuan IRS terhadap orang Amerika yang berlatar belakang
etnis Asia.
Dalam pelaksanaan kode etik, tidak cukup hanya dengan memiliki dokumen
mengenai Standar dan Kode Etik, diperlukan pula penegakan yang tegas dan
konsisten sehingga kredibilitas profesi tidak diragukan. Mempunyai dokumen
mengenai Standar dan Kode Etik sendiri hanya merupakan langkah awal yang baik
untuk memulai pelaksanaan kode etik tersebut.

2.5 Standar Audit Akuntansi forensik


2.5.1 Standar Audit Investigasi
Menurut Herlambang (2011) audit investigasi yaitu suatu bentuk audit atau
pemeriksaan yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengungkap kecurangan
atau kejahatan dengan menggunakan pendekatan, prosedur atau teknik-teknik
yang umumnya digunakan dalam suatu penyelidikan atau penyidikan terhadap
suatu kejahatan. Dalam audit investigasi, ketentuan yang harus ditaati sangat luas,
tidak hanya kebijakan manajemen, auditor investigasi sampai dengan hukum
formal, hukum material dan lain-lain. Untuk itu, audit investigasi tidak hanya
cukup untuk menguasai bidang ekonomi, tetapi juga mengerti tentang hukum
yang berlaku.
Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Oleh karena itu, dalam
pekerjaan audit, para auditor ingin menegaskan adanya standar tersebut. Dengan
standar ini pihak yang diaudit, pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-
pihak lain dapat mengukur mutu kerja si auditor.
K.H. Spencer Pickett and Jennifer Picket, merumuskan beberapa standar untuk
melakukan investigasi terhadap fraud. Konteks yang mereka rujuk adalah
investigasi atas fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan. Standar
tersebut adalah :
1. Seluruh investigasi harus dilandasi praktik terbaik yang diakui. Dalam hal
ini tersirat dua hal. Pertama, adanya upaya membandingkan antara praktik-
praktik yang ada dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya

18 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
ini disebut benchmarking. Kedua, upaya benchmarking dilakukan terus-
menerus untuk melakukan solusi terbaik.
2. Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian, sehingga bukti-bukti
tadi dapat diterima di pengadilan.
3. Pastikan seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, dan
diindeks dan jejak audit tersedia. Ini diperlukan sebagai referensi apabila
ada penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi
sudah dilakukan dengan benar dan membantu perusahaan dalam upaya
perbaikan cara-cara investigasi.
4. Pastikan bahwa para investigator mengerti hak-hak asasi pegawai dan
senantiasa menghormatinya. Jika investigasi dilakukan dengan cara
melanggar hak asasi pegawai, yang bersangkutan dapat menuntut
perusahaan dan investigatornya, sehingga bukti yang sudah terkumpul akan
menjadi sia-sia.
5. Beban pembuktian ada pada yang “menduga” pegawainya melakukan
kecurangan, dan pada penuntut umum yang mendakwa pegawai tersebut,
baik dalam kasus hukum administrative maupun hukum pidana.
6. Cakup seluruh substansi investigasi dan “kuasi” seluruh target yang sangat
kritis ditinjau dari segi waktu. Investigator harus menentukan cakupan
investigasinya. Untuk memperkecil peluang pelaku menghancurkan atau
menghilangkan bukti.
7. Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk pencatatan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak
ketiga, pengamanan mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara
atau protocol, dokumentasi dan penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi,
kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai laporan.

2.5.2 Standar Umum dan Khusus Akuntansi Forensik


Independensi: Akuntan Forensik Harus Independen dalam Melaksanakan
Tugas
Garis Pertanggungjawaban:
0.1 Untuk kegiatan internal lembaganya, akuntan forensik harus cukup
independen dalam melaksanakan tugasnya. Ia bertanggung jawab langsung

19 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
ke Dewan Komisaris klau penugasan diberikan oleh lembaganya, atau
kepada penegak hukum dan/atau regulator, jika penugasannya datang dari
luar lembaga.
0.2 Dalam hal akuntan forensik tersebut independen (misalnya kalau ia partner
kantor akuntan publik), ia menyampaikan laporannya kepada (atau
counterpart-nya adalah) seorang eksekutif senior yang kedudukannya lebih
tinggi dari orang yang diduga melakukan fraud. Alternatifnya ialah,
akuntansi forensik menyampaikan laporannya kepada (atau counterpart-nya
adalah) Dewan Komisaris.
0.3 Dalam hal akuntan forensik tersebut independen dan penugasan diterimanya
dari lembaga penegak hukum atau pengadilan, pihak yang menerima
laporannya atau counterpart-nya harus ditegaskan dalam kontrak.
Objektivitas: Akuntan forensik harus objektif (tidak berpihak) dalam
melaksanakan telaah akuntansi forensiknya.
Kemahiran profesional: Akuntansi forensik harus dilaksanakan dengan
kemahiran dan kehati-hatian profesional.
210 Sumber Dasar Manusia
Semua sumber daya manusia yang melaksanakan akuntansi forensik harus
mempunyai kemahiran teknis, pendidikan, dan pengalaman yang memadai
sesuai dengan tugas yang diserahkan kepadanya.
220 Pengetahuan, Pengalaman, keahlian, dan Disiplin
Akuntansi forensik harus memiliki atau menggunakan sumber daya
manusia yang memiliki pengetahuan, pengalaman, keahlian, dan disiplin
untuk melaksanakan tugasnya dengan baik.
230 Supervisi
Dalam hal ada lebih dari satu akuntan forensik dalam suatu penugasan,
salah seorang diantara mereka berfungsi sebagai “in-charge” yang
bertanggung jawab dalam mengarahkan penugasan dan memastikan bahwa
rencana kerja dilaksanakan sebagaimana harusnya dan didokumentasikan
dengan baik.
240 Kepatuhan terhadap Standar Prilaku

20 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
Akuntan forensik harus mematuhi standar perilaku profesional terbaik yang
diharapkan dari akuntan, auditor, rekan dari profesi hukum baik tim
pembela maupun jaksa penuntut umum, dan regulator.
250 Hubungan Manusia
260 Komunikasi
Akuntan forensik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang sangat
baik (excellent) ketika ia mengomunikasikan temuannya secara (a) lisan,
kepada pemberi penugasan, atau dalam memberikan keterangan ahli di
pengadilan; dan (b) secara tertulis, dalam bentuk laporan kemajuan
(progress report), laporan khusus, dan laporan akhir baik kepada pemberi
tugas, penegak hukum atau pengadilan.

270 Pendidikan Berkelanjutan


Akuntan forensik harus senantiasa mempertahankan dan meningkatkan
kompetensi teknisnya dengan mengikuti pendidikan berkelanjutan.
280 Kehati-hatian Profesional
Akuntan forensik harus melaksanakan kehati-hatian profesionalnya dalam
melaksanakan tugasnya.
Lingkup Penugasan
Akuntan forensik harus memahami dengan baik penugasan yang diterimanya. la
harus mengkaji penugasan itu dengan teliti untuk menentukan apakah penugasan
dapat diterima secara profesional, dan apakah ia mempunyai keahlian yang
diperlukan atau dapat memperoleh sumber daya yang mempunyai keahlian
tersebut. Lingkup penugasan ini dicantumkan dalam kontrak.
310 Keandalan Informasi:
Akuntan forensik harus menelaah sistem yang menghasilkan informasi
yang akan dipergunakannya, untuk memastikan keandalan (reliability) dan
integritas dari informasi tersebut, dan keamanan serta pengamanan
informasi tersebut.
320 Kepatuhan terhadap Kebijakan, Rencana, Prosedur, dan Ketentuan
Perundang- undangan:
Akuntan forensik harus menelaah sistem yang dikembangkan untuk
memastikan terlaksananya kepatuhan terhadap kebijakan, rencana dan

21 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
prosedur yang berlaku di lembaga tersebut, dan kepatuhan terhadap
ketentuan perundang-undangan.
330 Pengamanan Aset:
Akuntan forensik harus menelaah cara-cara pengamanan aset, termasuk
manajemen risiko atas aset tersebut.
340 Penggunaan Sumber Daya secara Efisien dan Ekonomis:
Akuntan forensik harus menilai apakah sumber daya di lembaga tersebut
dipakai secara efisien, efektif, dan ekonomis, termasuk sikap kehati-hatian
manajemen dalam mengelola sumber daya itu.
350 Penggunaan Sumber Daya secara Efisien dan Ekonomis:
Akuntan forensik harus menelaah kegiatan (operasi), program dan proyek
untuk memastikan apakah pelaksanaan dan hasilnya sesuai dengan tujuan
dan sasaran.
Pelaksanaan Tugas Telaahan:
Pelaksanaan tugas akuntansi forensik harus meliputi (1) perumusan mengenai apa
masalahnya, evaluasi atas masalah itu, dan perencanaan pekerjaan, (2)
pengumpulan bukti, (3) penilaian bukti, dan (4) mengomunikasikan hasil
penugasan.
410 Perumusan Masalah dan Evaluasinya:
Dalam tahap ini, akuntan forensik yang dibantu oleh mereka yang punya
keahlian dalam masalah yang dihadapi, mengumpulkan sebanyak mungkin
fakta dan peristiwa mengenai situasi yang mempunyai potensi fraud secara
informal. Ini meliputi (1) penentuan bagaiaman potensi terjadinya masalah
diketahui dan (2) bagaimana masalah itu dikomunikasikan, dan dugaan di
mana serta kapan hal itu terjadi. (Catatan: akuntan forensik tidak melakukan
penugasan yang sifatnya mengada-ada. Ia membuat prediction atau rekaan
mengenai masalah yang dihadapi. Harus ada alasan bagi akuntan forensik
melibatkan diri dalam suatu masalah).
420 Perencanaan:
Berdasarkan prediction dalam butir 410, perumusan masalahnya dipertajam,
dan rencana dibuat. Dalam rencana ditentukan tujuan dan sasaran dari
penugasan ini. Juga dibuat rencana mengenai jumlah dan jenis keahlian
yang diutuhkan, sedapat mungkin dengan mengidentifikasi orangnya.

22 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
Rencana harus fleksibel, dengan cepat jadwal diubah apabila situasi di
lapangan berubah.
430 Pengumpulan Bukti:
Akuntan forensik bersama timnya melakukan apa yang direncanakan (butir
420) untuk mengumpulkan bukti berkenaan dengan fraud.
440 Evaluasi Bukti:
Akuntan forensik bersama timnya harus menganalisis dan
menginterpretasikan bukti-bukti yang dikumpulkan (butir 430). Tentukan
apakah masih ada data yang harus dikumpulkan, atau ada data yang harus
ditindaklanjuti untuk mencapai kesimpulan yang benar.
450 Komunikasi Hasil Penugasan:
Akuntan forensik bersama timnya harus meringkas evaluasi atas bukti-bukti
yang dikumpulkan (butir 440) ke dalam laporan. Laporan berisi fakta dan
kesimpulan. Akuntan forensik harus mempunyai kemampuan menyajikan
laporan secara lisan.

2.6 Standar Pemeriksaan Keuangan Pemerintah


Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan
Peraturan Perundang Undangan: Kecurangan (Fraud); dan Ketidakpatutan
(Abuse)
16) Apabila ketentuan peraturan perundang-undangan mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap tujuan pemeriksaan, pemeriksa harus merancang metodologi dan
prosedur pemeriksaan sedemikian rupa sehingga dapat mendeteksi penyimpangan yang
dapat membawa pengaruh signifikan terhadap tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus
menentukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mempunyai pengaruh
signifikan terhadap tujuan pemeriksaan, dan harus memperhitungkan risiko bahwa
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, dan kecurangan maupun
penyalahgunaan wewenang dapat terjadi. Berdasarkan penilaian risiko tersebut,
pemeriksa harus merancang dan melaksanakan prosedur yang dapat memberikan
keyakinan yang memadai mengenai hal-hal yang menyangkut penyimpangan dari
ketentuan peraturan perundang-undangan, serta ketidakpatutan. Untuk itu pemeriksa juga
harus menyiapkan dokumentasi pemeriksaan mengenal penilaian risiko tersebut.

23 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
17) Tidak praktis bagi pemeriksa untuk menetapkan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan berpengaruh signifikan terhadap tujuan pemeriksaan. Hal ini
disebabkan program pemerintah sangat dipengaruhi oleh berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan dan tujuan pemeriksaan sangat beragam. Walaupun begitu
pemeriksa dapat menggunakan pendekatan berikut ini.
a. Ubah setiap tujuan pemeriksaan menjadi beberapa pertanyaan tentang aspek tertentu
dari program yang diperiksa (tujuan, pengendalian intern, kegiatan, operasi, output,
outcome sebagaimana dimuat dalam paragraf 10).
b. Identifikasikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait langsung dengan
aspek tertentu yang menjadi bahan pertanyaan tadi.
c. Tentukan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang secara
signifikan dapat memengaruhi jawaban pemeriksa atas pertanyaan tadi. Jika benar
maka ketentuan peraturan perundang undangan tersebut mungkin signifikan bagi
tujuan pemeriksaan
18) Pemeriksa dapat mengandalkan pekerjaan penasihat hukum dalam hal:
(1) menentukan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh
signifikan terhadap tujuan pemeriksaan,
(2) merancang pengujian untuk menilai kepatuhan terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan
(3) mengevaluasi hasil pengujian tersebut, pemeriksa juga dapat mengandalkan hasil
kerja penasihat hukum, apabila tujuan pemeriksaan mensyaratkan adanya
pengujian untuk menilai kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan. Dalam keadaan tertentu, pemeriksa juga dapat memperoleh informasi
mengenai masalah kepatuhan dari pihak lain, seperti aparat yang melakukan
investigasi, organisasi pemeriksa atau entitas pemerintah lain yang memberikan
bantuan kepada entitas yang diperiksa, atau pihak yang berwenang.
19) Dalam merencanakan pengujian untuk menilai kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, pemeriksa harus menilai risiko kemungkinan terjadinya
penyimpangan. Risiko tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti rumitnya
ketentuan peraturan perundang undangan atau karena ketentuan peraturan perundang-
undangan masih baru. Penilaian pemeriksa terhadap risiko tersebut mencakup
pertimbangan apakah entitas mempunyai sistem pengendalian yang efektif untuk
mencegah atau mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-

24 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
undangan. Apabila pemeriksa memperoleh bukti yang cukup mengenai efektivitas
pengendalian tersebut, maka pemeriksa dapat mengurangi luasnya pengujian atas
kepatuhan.
20) Dalam merencanakan pemeriksaan, pemeriksa harus mempertimbangkan risiko
terjadinya kecurangan (fraud 5) yang secara signifikan dapat memengaruhi tujuan
pemeriksaan. Pemeriksa harus mendiskusikan risiko terjadinya kecurangan yang potensial,
dengan memperhatikan faktor faktor terjadinya kecurangan seperti keinginan atau tekanan
yang dialami seseorang untuk melakukan kecurangan, kesempatan yang memungkinkan
terjadinya kecurangan, dan alasan atau sifat seseorang yang dapat menyebabkan
dilakukannya kecurangan. Pemeriksa harus mengumpulkan dan menilai informasi untuk
mengidentifikasi risiko terjadinya kecurangan yang mungkin relevan dengan tujuan
pemeriksaan atau memengaruhi hasil pemeriksaan. Misalnya, untuk memperoleh
informasi mengenai faktor-faktor terjadinya kecurangan tersebut, pemeriksa dapat
berdiskusi dengan pegawai entitas yang diperiksa atau dengan cara lainnya sehingga
pemeriksa dapat menentukan kerawanan terjadinya kecurangan, kemampuan pengendalian
intern untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya kecurangan, atau risiko bahwa pegawai
entitas yang diperiksa dapat mengabaikan pengendalian intern yang ada. Pemeriksa harus
menggunakan skeptisme profesional dalam menilai risiko tersebut untuk menentukan
faktor-faktor atau risiko-risiko yang secara signifikan dapat memengaruhi pekerjaan
pemeriksa apabila kecurangan terjadi atau mungkin telah terjadi.
21) Ketika pemeriksa mengidentifikasi faktor-faktor atau risiko-risiko kecurangan yang
secara signifikan dapat memengaruhi tujuan atau hasil pemeriksaan, pemeriksa harus
merespons masalah tersebut dengan merancang prosedur untuk bisa memberikan
keyakinan yang memadai bahwa kecurangan tersebut dapat dideteksi. Pemeriksa harus
mempersiapkan dokumentasi pemeriksaan terkait dengan pengidentifikasian, penilaian,
dan analisis terhadap risiko terjadinya kecurangan. Pemeriksa juga harus waspada bahwa
menilai risiko terjadinya kecurangan adalah suatu proses yang terus-menerus selama
pelaksanaan pemeriksaan dan berkaitan tidak hanya dengan perencanaan pemeriksaan,
tetapi juga dengan evaluasi atas bukti-bukti yang diperoleh selama pelaksanaan
pemeriksaan.
Fraud adalah satu jenis tindakan melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk
memperoleh sesuatu dengan cara manual

25 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
22) Pemeriksa harus waspada terhadap situasi atau transaksi-transaksi yang berindikasi
kecurangan. Apabila terdapat informasi yang menjadi perhatian pemeriksa (melalui
prosedur pemeriksaan, pengaduan yang diterima mengenai terjadinya kecurangan, atau
cara-cara yang lain) dalam mengidentifikasikan bahwa kecurangan telah terjadi, maka
pemeriksa harus mempertimbangkan apakah kecurangan tersebut. secara signifikan
mempengaruhi tujuan pemeriksaannya. Apabila ternyata kecurangan tersebut secara
signifikan mempengaruhi tujuan pemeriksaannya, maka pemeriksa harus memperluas
seperlunya langkah-langkah dan prosedur pemeriksaan untuk: (1) menentukan apakah
kecurangan mungkin telah terjadi, dan (2) apabila memang telah terjadi apakah hal
tersebut mempengaruhi tujuan pemeriksaan
23) Pelatihan, pengalaman, dan pemahaman pemeriksa terhadap program yang diperiksa
dapat memberikan suatu dasar bagi pemeriksa untuk lebih waspada bahwa beberapa
tindakan yang menjadi perhatiannya bisa merupakan indikasi adanya kecurangan.
Suatu tindakan bisa dikategorikan sebagai kecurangan atau tidak harus ditetapkan
melalui suatu sistem peradilan dan hal ini di luar keahlian dan tanggung jawab
profesional pemeriksa. Walaupun demikian, pemeriksa tetap bertanggung jawab untuk
selalu waspada terhadap kelemahan-kelemahan yang memungkinkan terjadinya
kecurangan yang berkaitan dengan area yang diperiksa, sehingga pemeriksa bisa
mengidentifikasikan indikasi-indikasi baliwa kecurangan telah terjadi. Dalam beberapa
hal, kondisi-kondisi berikut ini bisa mengindikasikan risiko terjadinya kecurangan:
a. Lemahnya manajemen yang tidak bisa menerapkan pengendalian intern yang ada
atau tidak bisa mengawasi proses pengendalian
b. Pemisahan tugas yang tidak jelas, terutama yang berkaitan dengan tugas tugas
pengendalian dan pengamanan sumber daya
c. Transaksi-transaksi yang tidak lazim dan tanpa penjelasan yang memuaskan
d. Kasus dimana pegawai cenderung menolak liburan atau menolak promosi
e. Dokumen-dokumennya hilang atau tidak jelas, atau manajemen selalu. menunda
memberikan informasi tanpa alasan yang jelas
f. Informasi yang salah atau membingungkan. Warung Babe Semua penjual
g. Pengalaman pemeriksaan atau investigasi yang lalu dengan temuan mengenai
kegiatan-kegiatan yang perlu dipertanyakan atau bersifat kriminal
24) Ketidakpatutan berbeda dengan kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan
peraturan perundang-undangan. Apabila ketidakpatutan terjadi, maka mungkin saja

26 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
tidak ada hukum, atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilanggar.
Dalam hal ini ketidakpatutan adalah perbuatan yang jauh berada di luar pikiran yang
masuk akal atau di luar praktik-praktik yang lazim. Pemeriksa harus waspada terhadap
situasi atau transaksi yang dapat mengindikasikan terjadinya ketidakpatutan. Apabila
informasi yang diperoleh pemeriksa (melalui prosedur pemeriksaan, pengaduan yang
diterima mengenai terjadinya kecurangan, atau cara-cara yang lain) mengindikasikan
telah terjadi ketidakpatutan, pemeriksa harus mempertimbangkan apakah
ketidakpatutan tersebut secara signifikan mempengaruhi hasil pemeriksaannya atau
tidak. Apabila indikasi terjadinya ketidakpatutan memang ada dan akan mempengaruhi
hasil pemeriksaan secara signifikan, pemeriksa harus memperluas langkah dan
prosedur pemeriksaan, untuk: (1) menentukan apakah ketidakpatutan memang benar-
benar terjadi, dan (2) apabila memang benar-benar terjadi, maka pemeriksa harus
menentukan pengaruhnya terhadap hasil pemeriksaan. Walaupun demikian, karena
penentuan bahwa telah terjadinya ketidakpatutan itu bersifat subyektif, pemeriksa
tidak diharapkan untuk memberikan keyakinan yang memadai dalam mendeteksi
adanya ketidakpatutan. Pemeriksa harus mempertimbangkan faktor kuantitatif dan
kualitatif dalam membuat pertimbangan mengenai signifikan atau tidaknya
ketidakpatutan yang mungkin terjadi, dan apakah pemeriksa perlu untuk memperluas
langkah dan prosedur pemeriksaan
25) Pemeriksa harus menggunakan pertimbangan profesionalnya dalam menelusuri
indikasi adanya kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-
perundangan atau ketidakpatutan, tanpa mencampuri proses investigasi atau proses
hukum selanjutnya, atau kedua-duanya. Dalam kondisi tertentu, kebijakan, ketentuan
peraturan perundang-undangan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan indikasi
terjadinya kecurangan, penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-
perundangan, atau ketidakpatutan kepada pihak yang berwenang sebelum memperluas
langkah dan prosedur pemeriksaan. Pemeriksa perlu memperhatikan prosedur yang
berlaku di BPK untuk melaksanakan pelaporan kepada pihak yang berwenang ini.
Pemeriksa dapat juga diminta untuk meninggalkan atau menunda pekerjaan
pemeriksaan berikutnya atau sebagian pekerjaan pemeriksaannya agar tidak
mengganggu investigasi.
26) Suatu pemeriksaan yang dilaksanakan sesuai Standar Pemeriksaan ini akan
memberikan keyakinan yang memadai bahwa telah dilakukan deteksi atas

27 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan atau kecurangan yang
secara signifikan dapat memengaruhi hasil pemeriksaan. Meskipun demikian, hal ini
tidak menjamin ditemukannya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-
undangan atau kecurangan. Sebaliknya, dalam hal pemeriksa tidak menemukan
penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-perundangan atau kecurangan
selama pemeriksaan, tidak berarti bahwa kinerja pemeriksa tidak memadai, selama
pemeriksaan dilaksanakan sesuai dengan Standar Pemeriksaan ini.
* Sebagai contoh dalam suatu pemeriksaan kinerja atas efisiensi manajemen dalam
menggunakan dana untuk pemeliharaan gedung, pemeriksa menemukan terjadinya
abuse apabila renovasi yang dilaksanakan atas ruang kerja seorang pejabat tinggi
melampaui kepatutan yang seharusnya. Dalam hal ini pemeriksa mungkin tidak
melihat biaya renovasi secara kuantitatif sebagai faktor yang memengaruhi hasil
pemeriksaannya, tetapi pemeriksa mungkin lebih melihat faktor kualitatif yang
memengaruhi tujuan pemeriksaan

2.7 Case Study


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebelumnya sudah pernah mengalami kasus pelanggaran kode etik yang dilakukan
anggota Polri yang diperbantukan ke lembaga antirasuah tersebut. Kasus yang menimpa
Stepanus adalah kasus kedua yang terjadi di bawah pimpinan KPK periode ini.
Stepanus bersama Wali Kota Tanjungbalai, M. Syahrial (MS) dan Maskur Husain
(MH) selaku pengacara telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap oleh
penyelenggara negara terkait penanganan perkara Wali Kota Tanjungbalai, Sumatra
Utara, tahun 2020-2021.
Ketua KPK Firli Bahuri saat jumpa pers, di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (22/4)
malam, meminta maaf atas tindakan yang dilakukan oleh Stepanus yang berasal dari Polri
tersebut. "KPK memohon maaf, kami menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh
dan segenap anak bangsa karena ada cedera kejadian seperti ini, tetapi kami ingin katakan
komitmen KPK tidak pernah bergeser dan tidak menolerir segala bentuk penyimpangan,"
ujar Firli pula.
KPK, kata dia, akan menindak tegas segala bentuk penyimpadilakukanngan yang
oleh oknum pegawai. "Selama kami menjadi Pimpinan KPK setidaknya sudah dua orang
anggota Polri yang dilakukan penindakan tegas oleh KPK. Yang pertama adalah saudara

28 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
YAN terkait dengan kasus Bakamla beberapa waktu lalu yang sekarang sudah memasuki
persidangan, dan ini adalah yang kedua. Kami tegaskan kembali jangan juga akan
melaporkan dugaan pelanggaran kode etik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37B
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 bahwa pelanggaran kode etik dilakukan
pemeriksaan penyelesaian oleh Dewan Pengawas pernah ada keraguan kepada KPK,
KPK tetap berkomitmen zero tolerance atas penyimpangan," katanya lagi. "Selain
penanganan tindak pidana tersebut, KPKKPK," ujarnya.
Stepanus bersama Maskur sepakat untuk membuat komitmen dengan Syahrial terkait
penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai untuk tidak ditindaklanjuti
oleh KPK, dengan menyiapkan uang sebesar Rp 1,5 miliar. "MS menyetujui permintaan
SRP dan MH tersebut dengan mentransfer uang secara bertahap sebanyak 59 kali melalui
rekening bank milik RA (Riefka Amalia/swasta) teman dari saudara SRP dan juga MS
memberikan uang secara tunai kepada SRP hingga total uang yang telah diterima SRP
sebesar Rp 1,3 miliar," kata Firli.
Ia menyatakan pembukaan rekening bank oleh Stepanus dengan menggunakan nama
Riefka dimaksud telah disiapkan sejak bulan Juli 2020 atas inisiatif Maskur. "Setelah
uang diterima, SRP kembali menegaskan kepada MS dengan jaminan kepastian bahwa
penyelidikan dugaan korupsi di Pemerintah Kota Tanjungbalai tidak akan ditindaklanjuti
oleh KPK," ungkap Firli.
Kemudian, dari uang yang telah diterima oleh Stepanus dari Syahrial, kata Firli, lalu
diberikan kepada Maskur sebesar Rp 325 juta dan Rp 200 juta.
Sumber: Republika, 23 April 2021

29 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Akuntansi forensik merupakan penerapan disiplin ilmu akuntansi dalam penyelesaian
masalah hukum baik di dalam dan di luar pengadilan. Ruang lingkup yang terdapat pada
akuntansi forensik ini meliputi praktik di sektor swasta, aset recovery, expert witness,
praktik disektor pemerintah, dan akuntansi forensik di sektor publik dan swasta.
Seorang Akuntan forensik mempunya beberapa atribut yang harus mereka miliki,
yaitu menghindari pengumpulan fakta dan data yang berlebihan secara prematur, fraud
auditor harus mampu membuktikan "niat pelaku melakukan kecurangan", seorang auditor
harus kreatif,berpikir seperti pelaku fraud, jangan dapat ditebak, auditor harus tahu bahwa
banyak kecurangan dilakukan dengan persekongkolan dan dalam memilih strategi untuk
menemukan kecurangan dalam investigasi proaktif. Akuntan forensik juga harus memiliki
kode etik profesi yang harus diterapkan agar profesionalisme memberikan jasa sebaik-
baiknya kepada pemakai jasa/ nasabahnya.
Terdapat juga standar audit yang digunakan sebagai ukuran mutu agar pihak yang
diaudit, pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur mutu
kerja seorang auditor. Standar audit yang digunakan adalah standar akuntansi forensik,
standar audit investigasi, dan standar pemeriksaan keuangan negara.

3.2 Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat membantu pihak-pihak yang
terkait agar dapat lebih memahami bagaimana audit investigasi dalam akuntansi forensik,
dan dapat membuktikan kecurangan-kecurangan yang benar-benar terjadi dengan.
mengumpulkan bukti bukti kemudian ditindaklanjuti dengan proses penindakan hukum.

30 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K
DAFTAR PUSTAKA

Tuannakota, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif, Edisi 2. Jakarta
: Salemba Empat.
Ramaswamy, V. 2007. New Frontiers: Training Forensic Accountants Within The
Accounting Program. Journal of College Teaching & Learning,4 (9): 31-38.
Rezkisari, Indira. 2021. Stepanus, Anggota Polri Kedua yang Langgar Kode Etik KPK.
https://www.republika.co.id/berita/qrzv5m328/stepanus-anggota-polri-kedua-yang-langgar-
kode-etik-kpk, diakses pada 6 Maret pukul 15.06.

31 | K E L O M P O K 1 – P E N G A N T A R A K U N T A N S I F O R E N S I K

Anda mungkin juga menyukai