Anda di halaman 1dari 36

AKUNTANSI FORENSIK

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah

“Fraud and Forensic Audit”

DOSEN PENGAMPU

Dr. Muhammad Nuryatno, CA, Ak

Disusun Oleh :

Astri Aviriani H (023001805004)

Putri Rahmawati (023001805006)

Jihan Bella A (023001805012)

PROGRAM STUDI SARJANA AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam
cipataan-Nya. Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Habibillah
Muhammad Saw yang telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama
yang sempunya dengan bahasa yang sangat indah. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih
kepada Dr. Muhammad Nuryatno, CA, Ak selaku dosen mata kuliah Farud and Forensic
Audit.

Penulis disini akhirnya dapat merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan
makalah yang kami beri judul “Akuntansi Forensik” sebagai tugas mata kuliah Fraud and
Forensic Audit. Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kesalahan dan kekeliruan, baik yang berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan
teknik pengetikan, walaupun demikian, inilah usaha maksimal kami selaku para penulis
usahakan.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
hingga terselesaikannya makalah ini. Dan penulis memahami jika makalah ini tentu jauh dari
kesempurnaan maka kritik dan saran sangat kami butuhkan guna memperbaiki karya- karya
kami dilain waktu.

Jakarta, Juni 2021

Penulis
Daftar Isi
KATA PENGANTAR..............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................5
1.1 Latar Belakang....................................................................................................................5
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................................................7
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................8
2.1 Prinsip-Prinsip Umum Etika Bisnis...................................................................................8
2.1.1 Prinsip Otonomi..................................................................................................................8
2.1.2 Prinsip Kejujuran...............................................................................................................9
2.1.3 Prinsip Keadilan...............................................................................................................10
2.1.4 Prinsip Saling Menguntungkan.......................................................................................10
2.1.5 Prinsip Integritas Moral...................................................................................................11
2.2 Etos Bisnis................................................................................................................................11
2.3 Relativitas Moral dalam Bisnis...............................................................................................12
2.4 Pendekatan Stakeholder..........................................................................................................12
2.5 Hak Pekerja.............................................................................................................................14
2.5.1 Macam-Macam Hak Pekerja...........................................................................................14
2.5.1.1 Hak atas Pekerjaan.........................................................................................................14
2.5.1.2 Hak atas Upah yang Adil................................................................................................15
2.5.1.3 Hak untuk Berserikat dan Berkumpul...........................................................................17
2.5.1.4 Hak Perlindungan keamanan dan Kesehatan...............................................................18
2.5.1.5 Hak untuk Diproses Hukum secara Sah........................................................................19
2.5.1.6 Hak untuk Diperlakukan Secara Sama..........................................................................19
2.5.1.7 Hak atas Rahasia Pribadi...............................................................................................19
2.5.1.8 Hak atas Kebebasan Suara Hati.....................................................................................20
2.6 Whistle Blowing.......................................................................................................................20
2.6.1 Dua Macam Whistle Blowing...........................................................................................20
2.6.1.1 Whistle Blowing Internal................................................................................................20
2.6.1.2 Whistle Blowing Eksternal.............................................................................................21
2.7 Perlindungan Bisnis dan Konsumen......................................................................................22
2.8 Hubungan Produsen dan Konsumen.....................................................................................24
2.9 Gerakan Konsumen.................................................................................................................27
2.10 Konsumen adalah Raja?.......................................................................................................31
2.11 Kasus......................................................................................................................................33
BAB III PENUTUP................................................................................................................37
3.1 Kesimpulan........................................................................................................................37
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti luas, termasuk
auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam atau di luar
pengadilan, di sektor publik maupun privat. Akuntansi forensik memiliki sifat “problem-
based” dan lebih menekankan pada keanehan ( exeption, oddities, irregularities ) dan pola
tindakan ( product of conduct ) pada laporan keuangan. Akuntansi forensik juga lebih
menekankan tinjauan analitis dan teknik wawancara mendalam pada prosedur utamanya
sehingga diharapkan dapat mendeteksi adanya atau timbulnya fraud. Dengan begitu
akuntansi forensik diharapkan menjadi solusi permasalahan fraud yang saat ini banyak
ditemukan.

Di Indonesia kasus akuntansi forensik di sektor publiklebih menonjol dibandingkan


di sektor swasta.Kasus-kasus dalam akuntansi forensik pada umumnya berhubungan
dengan kerugian, baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Dalam sektor publik,
konteks kerugian yang dimaksud dalam akuntansi forensik adalahkerugian negara atau
kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana umum dan / atau tindak
pidana khusus, seperti tindak pidana korupsi. Dalam sektor swasta, konteks kerugian yang
dimaksud adalah penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum dalam ranah perdata dan/atau wanprestasi dari suatu
perjanjian.

Akuntansi forensik terdiri dari audit investigatif dan akuntansi kerugian. Berbicara
mengenai audit investigatif, jikadari suatu audit umum ( general audit atau opinion audit)
auditor memperoleh temuan audit atau ada tuduhan (allegation) dari pihak lain atau ada
keluhan (complaint), auditor bersikap reaktif( segera bereaksi ). Namun, dalam suatu
audit secara umum maupun audit secara khusus untuk mendeteksi fraud (kecurangan), si
auditor (internal maupun eksternal) secara proaktif( lebih keras dalam bereaksi )berupaya
melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem pengendalian internal, terutama yang
berkenaan dengan perlindungan terhadap aset (safeguarding off asset), yang rawan akan
terjadinya fraud. Kedua kondisi tersebut menjelaskan perbedaan sikap auditor dalam
menghadapi indikasi adanya fraud. Sikap reaktif auditor akan membawa auditor pada
prediksi adanya suatu fraud. Atas dasar predikasi tersebut, auditor investigatif akan
melakukan audit investigatif untuk menemukan temuan/bukti audit dan membuktikan
adaatau tidaknya fraud.Temuan/bukti audit yang menunjukkan/membuktikan adanya
suatu fraud akan menjadi dasar perhitungan akuntansi kerugian.

Istilah lainnya yang berkenaan dengan akuntansi forensik adalah akuntansi kerugian.
Perbedaan antara akuntansi kerugian dan audit investigatif adalah segala
sesuatuyangberhubungandenganhitung-menghitungmasukkewilayah akuntansi, sementara
untuk memastikan kebenaran atau kewajaran apa yang dilaporkan masuk ke wilayah
audit. Misalnya dalam tindak pidana korupsi, menghitung besarnya kerugian keuangan
negaraadalah masuk ke dalam wilayahakuntansi.Sedangkan mencari tahu siapa pelaku
tindak pidanakorupsi; bagaimana tindak pidana korupsi dilakukan; serta kapan, dimana,
dan mengapa tindak pidana korupsi dilakukan adalah masuk ke wilayah audit (khususnya
auditinvestigative).

Akuntansi forensik tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai dengan Generally
Accepted Accounting Principles (GAAP), melainkan apa yang menurut hukum atau
ketentuan perundang-undangan berlaku. Perihal mengenai perbuatan melawan hukum dan
hubungan kausalitas ( antara perbuatan melawan hukum dan kerugian ) adalah ranahnya
para ahli dan praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para
akuntan forensik.Dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan
hubungan kausalitas, akuntan forensik dapat membantu ahli dan praktisi hukum.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka perumusan masalah sebagai
berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan Akuntansi Forensik?


2. Apakah yang dimaksud dengan Akuntansi Forensik Sektor Publik?
3. Bagaimana Model-model Akuntansi Forensik ?
4. Apa yang dimaksud dengan FOSA dan COSA ?
5. Bagaimana praktik Akuntansi Forensik di sector swasta ?
6. Bagaimana praktik Akuntansi Forensik di sector public ?
7. Apa saja Kode Etik Akuntansi Forensik ?
8. Apa saja standar Audit Investigatif ?

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka tujuan makalah ini
adalah :
1. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Akuntansi
Forensik .
2. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Akuntansi
Forensik Sektor Publik.
3. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Model-model Akuntansi
Forensik.
4. Makalah ini bertujuan untuk mengtahui apa yang dimaksud dengan FOSA dan
COSA.
5. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Praktik Akuntansi Forensik
di Sektor Swasta.
6. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Praktik Akuntansi Forensik
di Sektor Publik.
7. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja Standar Akuntansi Forensik.
8. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui apa saja Standar Audit Investigatif.

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Akuntansi Forensik

Akuntansi Forensik adalah tindakan menentukan, mencatat, menganalisis,


mengklasifikasikan, melaporkan, dan mengkonfirmasikan ke data keuangan historis
atau aktivitas akuntansi lainnya untuk penyelesaian sengketa hukum saat ini atau di
masa mendatang. Akuntansi forensik adalah penerapan disiplin akuntansi dalam arti
luas, termasuk auditing, pada masalah hukum untuk penyelesaian hukum di dalam
atau di luar pengadilan, di sektor publik maupun privat.

Akuntan forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan


(litigation). Disamping tugas akuntan forensik untuk memberikan pendapat hukum
dalam pengadilan ada juga peran akuntan forensik dalam bidang hukum diluar
pengadilan (non litigation) misalnya dalam membantu merumuskan alternatif
penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya
menghitung dampak.

D. Larry Crumbley, editor in-chief dari Journal of Forensic Accounting


menulis "Simply put, some forensic accounting is legal accuret accounting. That is,
accounting that is sustainable in some adversial proceeding or within some judicial or
administrative review"(secara sederhana dapat dikatakan, akuntansi forensik adalah
akuntansi yang akurat untuk tujuan hukum. Atau, akuntansi yang tahan uji dalam
kancah perseteruan selama proses pengadilan. atau dalam proses peninjauan yudisial
atau tinjauan administratif).

Definisi Crumbley ingin menekankan bahwa akuntansi forensik tidak identik,


bahkan tidak berurusan dengan akuntansi yang sesuai dengan generally accepted
acconting principles (GAAP). Ukurannya bukan GAAP, melainkan apa yang menurut
hukum atau ketentuan perundangan-undangan adalah akurat. Crumbley dengan tepat
melihat potensi untuk perseteruan di antara pihak-pihak yang berseberangan
kepentingan. Demi keadilan, harus ada akuntansi yang akurat untuk proses hukum
yang bersifat adversarial, atau proses hukum yang mengandung perseteruan.
2.2 Akuntansi atau Audit Forensik

Di Amerika Serikat pada mulanya akuntansi forensik digunakan untuk menentukan


pembagian warisan atau mengungkapkan motif pembunuhan. Misalnya, pembunuhan istri
oleh suami untuk mendapatkan hak waris atau kalim asuransi, atau pembunuhan oleh mitra
dagang untuk menguasai perusahaan.

Bermula dari penerapan akuntansi untuk memecahkan persoalan hukum, maka istilah
yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Sekarang pun sekedar
akuntansinya masih terlihat, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam konteks
keuangan negara maupun di antara pihak-pihak dalam sengketa perdata.

Ada yang menggunakan istilah audit forensik (forensic audit) untuk kegiatan audit
investigative. Dalam ranga sertifikasi, istilah yang digunakan adalah auditor forensic dan
bukan akuntan forensik. Pertimbangannya adalah anggota profesi ini bukan hanya akuntan.

Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) di Amerika Serikat juga menyebut


anggotanya sebagai pemeriksa fraud bersertifikat atau Certified Fraud Examiners (CFE).

2.3 Akuntansi Forensik Sektor Publik

Di Indonesia kasus akuntansi forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan


di sektor swasta. Kasus-kasus dalam akuntansi forensik pada umumnya berhubungan dengan
kerugian, baik di sektor publik maupun di sektor swasta. Dalam sektor publik, konteks
kerugian yang dimaksud dalam akuntansi forensik adalah kerugian negara atau kerugian
keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana umum dan / atau tindak pidana khusus,
seperti tindak pidana korupsi. Dalam sektor swasta, konteks kerugian yang dimaksud adalah
penggantian biaya, kerugian, dan bunga yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum
dalam ranah perdata dan/atau wanprestasi dari suatu perjanjian.
2.4 Model – Model Akuntansi Forensik

Menurut Theodorus M. Tuanakotta, Model Akuntansi Forensik bisa terdiri dari berbagai
macam tergantung situasi dan kondisi yang dihadapi.Akuntansi forensik pada awalnya adalah
perpaduan yang sederhana antara akuntansi dan hukum. Contoh penggunaan akuntansi
forensik dalam pembagian harta warisan. Disini terlihat unsur akuntansinya, unsur hitung-
menghitung besarnya harta yang akan diterima oleh ahli waris. Segi hukumnya dapat
diselesaikan di dalam atau di luar pengadilan, secara litigasi atau non litigasi.

Dalam kasus yang lebih rumit, ada satu bidang tambahan (di samping Akuntansi dan
Hukum). Bidang tambahan ini adalah audit, sehingga model akuntansi forensiknya
dipresentasikan dalam tiga bidang.

Bagan 1.3

Diagram Akuntansi Forensik

AKUNTANSI

HUKUM AUDITING

Dalam suatu audit secara umum maupun audit yang khusus untuk mendeteksi fraud,
auditor (internal maupun eksternal) secara proaktif berupaya melihat kelemahan-kelemahan
dalam sistem pengendalian intern, terutama yang berkenaan dengan perlindungan terhadap
asset (safeguarding of asset) yang rawan akan terjadinya fraud (kecurangan). Kalau dari suatu
audit umum (general audit atau opinion audit) diperoleh temuan audit, atau ada tuduhan
(allegation) dari pihak lain, atau ada keluhan (complaint), auditor bersikap reaktif, yaitu
dengan menanggapi temuan, tuduhan dan keluhan tersebut.
Dalam Bagan 1.4 digambarkan dua bagian dari suatu fraud audit; yang bersifat proaktif
dan investigatif. Audit investigatif dimulai pada bagian kedua dari audit fraud yang bersifat
reaktif, yakni sesudah ditemukannya indikasi awal adanya fraud. Audit investigatif
merupakan bagian dan titik awal dari akuntansi forensik.
Bagan 1.4
Diagram Akuntansi Forensik

Akuntansi Forensik
Jenis Penugasan Fraud Audit
Proaktif Investigatif
A H
K U
Sumber Risk Temuan audit U K
Informasi
Assessment Tuduhan Temuan Audit N U
Keluhan T M
Tip A
S
I
Output Identifikasi Indikasi awal Bukti ada/tidaknya
potensi adanya fraud pelanggaran
fraud

Dari Bagan 1.4 di atas terlihat proses audit investigatif, akuntansi dan hukum. Bagan
ini merupakan pengembangan dari Bagan 1.3. bagan ini dapat dikembangkan lebih lanjut
dengan memasukkan unsur tindak pidana, misalnya tindak pidana korupsi (tipikor). Dengan
memasukan tipikor maka unsur akuntansinya adalah perhitungan kerugian keuangan negara
dan proses pengadilan tipikor.
Bagan 1.5

Diagram Akuntansi Forensik Tipikor

Dalam Bagan 1.5 ada kotak kecil dengan judul “ Besarnya Kerugian”. Dalam dunia nyata,
kotak kecil ini bisa terdiri atas tiga atau bahkan mungkin empat tahap. Seperti dijelaskan di
atas, penyelesaian sengketa dapat dilakukan di bawah berbagai ketentuan perundang-
undangan, seperti Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Administratif dan Arbitrase serta
Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Bagan 1.6
Diagram Akuntansi Forensik

Akuntansi Forensik
Jenis Fraud Audit
Penugasan
Proaktif Investigatif
A Hukum:
K - Pidana
Sumber Risk Temuan audit - Perdata
U - Administratif
Informasi
Assessment Tuduhan Temuan Audit N - Arbitrase
dan alternatif
Keluhan T penyelesaian
Tip sengketa
A
S
I
Output Identifikasi Indikasi awal Bukti
potensi adanya fraud ada/tidaknya
fraud pelanggaran

Model di atas akan bertambah rumit kalua kejahatannya adalah lintas negara, seperti
koruptor Indonesia yang melarikan diri ke luar negeri dan “mencuci uang” nya juga ke luar
negeri. Bidang hukumnya akan lebih luas lagi dengan konvensi dan traktat internasioanl yang
meliputi ekstradisi dan mutual legal assistance (MLA).

Bagan 1.7
Diagram Akuntansi Forensik

Akuntansi Forensik
Jenis Fraud Audit
Penugasan
Proaktif Investigatif
A Hukum:
K - Pidana
Sumber Risk Temuan audit - Perdata
U - Administrative
Informasi
Assessment Tuduhan Temuan Audit N - Arbitrase dan
alternatif
Keluhan T penyelesaian
Tip sengketa
A - Ekstradisi dan
S MLA

I
Output Identifikasi Indikasi awal Bukti
potensi adanya fraud ada/tidaknya
fraud pelanggaran
2.5 Segitiga Akuntansi Forensik
Cara lain melihat akuntansi forensik adalah dengan menggunakan apa yang penulis
istilahkan sebagai Segitiga Akuntansi Forensik.

Bagan 1.8

Segitiga Akuntansi Forensik

Perbuatan Melawan Hukum

Kerugian Hubungan Kausalitas

Konsep yang digunakan dalam Segitiga Akuntansi Forensik ini adalah konsep hukum
yang paling penting dalam menetapkan ada atau tidaknya kerugian, dan kalau ada bagaimana
konsep perhitungannya.

Di sektor publik maupun swasta, akuntansi forensik berurusan dengan kerugian. Di


sektor publik ada kerugian negara dan kerugian keuangan negara. Di sektor swasta juga ada
kerugian yang timbul karena cidera janji dalam suatu perikatan. Kerugian adalah titik
pertama dalam Segitiga Akuntansi Forensik.

Titik kedua dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah perbuatan melawan hukum.
Tanpa perbutatan melawana hukum, tidak ada yang dapat dituntut untuk mengganti
kerugian,. Itulah sebabnya dalam berbagai bencana yang jelas-jelas ada kerugian bagi para
korban.

Titik ketiga dalam Segitiga Akuntansi Forensik adalah adanya keterkaitan antara
kerugian dan perbuatan melawan hukum atau ada hubungan kausalitas antara kerugian dan
perubatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum dan hubungan kausalitas adalah
ranahnya para ahli dan praktisi hukum. Perhitungan besarnya kerugian adalah ranahnya para
akuntan forensik, dalam mengumpulkan bukti dan barang bukti untuk menetapkan adanya
hubungan kausalitas, akuntansi forensik dapat membanty ahli dan praktisi hukum.

2.6 FOSA dan COSA


Bagian ini membahas komponen pertama dari fraud audit, yakni fraud audit yang
proaktif. Berbagai istilah dipakai untuk fraud audit yang proaktif. Ada yang menggunakan
kajian sistem, karena dalam fraud audit ini dilakukan kajian sistem yang bertujuan
mengidentifikasikan potensi-potensi atau risiko terjadinya fraud.

Dalam teknologi informasi, kajian atas sistem untuk mengetahui kelemahan dalam
sistem disebut systems audit. Penulis menggunakan istilah ini juga, dengan penjelasan
mengenai orientasi atau tujuannya, yakni mengidentifikasikan risiko terjadinya fraud dengan
mengusulkan istilah fraud-oriented systems audit (FOSA).

Istilah fraud dalam FOSA digunakan dalam arti seluas-luasnya; seperti yang
digunakan the Association of Certified Fraud Examiners dalam fraud tree-nya. Untuk kajian
sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi fraid secara umum. Sedangkan, Istilah
COSA digunakan untuk kajian sistem yang bertujuan untuk mengidentifikasi potensi kasus
korupsi secara spesifikasi.

FOSA dapat dilakukan oleh organisasi itu sendiri. Pada perusahaan swasta, FOSA
dikerjakan oleh auditor internal, auditor internal dan bagian hukum atau unit di bagian
direktur kepatuhan, atau unit lainnya yang ditunjuak komite audit.
2.7 Sistematik FOSA atau COSA

Bagan 1.9
Sistematik FOSA

Langkah pertama adalah mengumpulkan materi untuk menilai adanya potensi atau risiko
fraud dalam sistem dari entitas yang dikaji. Dalam Langkah ini ada berbagai peralatan FOSA
yang dapat dipergunakan, antara lain berikut ini.

1. Memahami entitas dengan baik. Dalam buku teks auditing, konsep ini dikenal sebagai
understanding client’s business and industry.
2. Segitiga fraud (fraud triangle).
3. Wawancara, bukan interogasi.
4. Kuesioner, ditindaklanjuti dengan substiansiasi. Tidak jarang entitas meminta
pelaksanaan FOSA dilakukan melalui kuesioner atau pelaksanaan FOSA memandang
perlu menggunakan kuesioner. Sesudah entitas mengembalikan kuesioner yang
diisinya, pelaksana FOSA wajib memastikan bahwa jawaban atas kuesioner tersebut
memang benar. Proses mengecek kebenaran jawaban kuesioner ini disebut
substansiasi (substantiation).
5. Obeservasi lapangan. Wawancara dan kuesioner merupakan peralatan pengumpulan
materi yang penting. Namun, tidak kalah pentingnya apabila pelaksana FOSA bisa
menyaksikan sendiri apa yang terjadi di lapangan. Dengan melakukan observasi di
lapangan, pelaksana bisa melihat bagaimana entitas memberikan pelayanan kepada
publik, apakah suap terjadi dalam pemberian pelayanan ini, apakah ada prosedur
tambahan (yang tidak ada dalam Buku Petunjuk atau jawaban kuesioner), dan
seterusnya.
6. Sampling dan timing. Kedatangan pelaksana FOSA di lapangan sangat boleh jadi
sudah ditunggu-tunggu oleh entitas. Entitas dapat “mengatur” apa yang boleh ada di
lapangan, siapa yang boleh hadir, dan lain-lain. Unsur pendadakan (surprise element)
sering kali merupakan kunci sukses pelaksanan FOSA. Sampling dan timing ini dapat
membantu.
7. Titik lemah dalam sistem pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa
sering kali merupakan kegiatan yang paling banyak menghabiskan anggaran di sektor
publik. Oleh karena itu, melihat titik-titik lemah dalam proses ini sangatlah penting.
8. Profiling
9. Analisis data (data analytics)
Potensi atau risiko fraud dalam sistem dari entitas yang bersangkutan dapat dilihat pada :

1. Kelemahan sistem dan kepatuhan. Istilah yang dipakai untuk sistem bisa
bermacam-macam. Ada yang menggunakan istilah sistem pengendalian intern
(internal control system); ada yang melihatnya dari segi yang lebih luas, termasuk
budaya perusahaan dan pemaksaanya (enforcement) dan menyebutkan lingkup
pengendalian intern (internal control environment). Bahkan ada yang menggunakan
istilah yang lebih canggih yakni governance.
Pelaksanaan FOSA berupaya melihat kelemahan dan sistem atau lingkup
pengendalian intern atau kelemahan dalam governance yang membuka peluang atau
dilihat sebagai peluang (perceived opportunity) untuk melakukan fraud. Perceived
opportunity ini merupakan satu dari tiga sisi dalam fraud triangle.
Sistemnya secara teoritis bisa kuat, namun kalua terjaid banyak ketidakpatuhan tanpa
pelaksanaan sanksi, ini pun merupakan perceived opportunity dalam pandangan calon
pelaku fraud. Data historis seperti laporan audit internal maupun eksternal yang
menemukan indikasi fraud tanpa ada tindak lanjut dari pimpinan merupakan petunjuk
tentang budaya yang lemah dari entitas tersebut.

2. Entitas sering kali menyajikan pihak-pihak yang disebutnya stakeholders (pemangku


kepentingan). Tidak jarang, yang disebut oleh entitas sebagai pemangku kepentingan,
sebenarnya adalah benalu untuk entitas itu. Dalam ilmu ekonomi, mereka dikenal
sebagai rent seekers. Mereka mungkin pemasok barang dan jasa satu-satunya dalam
jenis barang atau jasa yang diperlukan entitas itu.
Itulah sebabnya kita perlu mengetahui titik-titik lemah dalam sistem pengadaan
barang dan jasa entitas yang bersangkuta. Dari observasi dan bertanya (inquiry),
pelaksana FOSA bisa mengetahui siapa saja pemasok ini dan berapa lama mereka
“berkiprah” di entitas itu. Daftar ini sering kali serupa dengan daftar sponsor dari
berbagai kegiatan social dan keagamaan yang dilakukan entitas. Kesamaan ini bisa
merupakan petunjuk tentang rent seekers.
Dari mana pelaksanaan FOSA mendapatkan informasinya? Ada beberapa sumber
informasi, seperti :

1. Entitas yang bersangkutan seharusnya merupakan sumber penting. Sekalipun


infromasi ini cenderung bersifat normative dengan merujuk ke peraturan perundang-
undangan dan peraturan internal yang disebutkan entitas tersebut, sudah tidak berlaku.
Ini merupakan petunjuk penting tentang lemahnya sistem entitas tersebut. Dalam
setiap organisasi ada “organisasi informal yang tersembunyi” (hidden informal
organization) dan pemimpin informal (informal leaders) yang berpotensi menjadi
sumber informasi penting.
2. Pressure groups atau grup penekan seperti media dan LSM merupakan sumber
informasi penting. Media cetak maupun elektronik sering kali menyajika pelaporan
investigatif (investigative reporting) yang tajam dan terpercaya.
3. Whistleblowers merupakan sumber yang memberikan warna lain dalam
pengumpulan materi untuk mengidentifikasikan potensi dan risiko fraud. Tidak
selamanya whistle-blowers ini mempunyai niat baik. Mereka mungkin anggota
“barisan sakit hati” dalam entitas tersebut. Mereka bisa terdiri atas pensiunan
penyelenggara negara, pejabat atau pegawai yang masih berdinas aktif, para pemasok
barang dan jasa yang dikorbankan untuk memenuhi ketentuan formal tender dan
sebagainya.
4. Masyarakat, sering kali berani melaporkan ketidakberesan dalam suatu entitas,
apalagi kalua mereka merupakan pihak yang menerima pelayanan tidak baik dari
entitas itu.
5. Google atau search engine lainnya. Banyak informasi di Google mengandung unsur
“kejutan”. Contoh : pejabat atau penyelenggara negara yang sudah atau akan
menduduki jawabatan penting pada saat ini. Ia mungkin mempunyai masa lalu yang
sudah dilupakan atau terlupakan orang banyak, misalnya sebagai koruptor atau
pejabata kejaksaan yang sering memberikan SP3 atau hakim yang memberikan vonis
bebas kepada koruptor kakap dan lain-lain.
Pelaksanaan FOSA bisa dan seharusnya memanfaatkan data historis yang memberi
petunjuk tentang titik-titik rawan fraud di entitas tersebut.

1. Di sektor publik, misalnya ada kajian-kajian seperti survei integritas atau COSA yang
dilakukan KPK di berbagai entitas atau lembaga.
2. Mungkin di masa lalu sudah ada perkara pengadilan, atau kasus yang masih berjalan,
atau kasus yang ditutup atau di SP3-kan karena berbagai alasan.
3. Kajian tentang persepsi korupsi
4. Bank Dunia (World Bank) mendokumentasikan praktik-praktik korupsi di berbagai
negara, termasuk Indonesia. Beberapa bagian dari terbitan tersebut (The many Faces
of Corruption) memberikan petunjuk mengenai praktik-praktik korupsi di sektor
publik yang merupakan referensi historis (kalau kasus itu terjadi di Indonesia) atau
referensi oembanding (kalau kasus itu terjadid di negara lain).

Langkah kedua dalam FOSA adalah menganalisis dan menyimpulkan berbagai informasi
yang diperoleh dalam langkah pertama. Pelaksana FOSA menggabungkan berbagai analisis
tentang potensi atau risiko fraud yang satu sama lain mungkin tidak sejalan dan ada
kesenjangan. Pelaksana FOSA melakukan analisis kesenjangan untuk mengetahui mengapa
satu analisis berbeda dari analisis yang lain, termasuk tanggapan yang diberikan entitas
terhadap kesimpulan sementara.

Analisis dalam langkah kedua, dan khususnya analisis kesenjangan, mendorong


terjadinya proses check and recheck pada akhir langkah kedua. Hal ini terlihat dari lingkaran
umpan balik (feedback loop).

Setelah pelaksana FOSA puas dengan gabungan dari berbagai analisis itu, ia
memberikan kesimpulan atau penilaian mengenai risiko atau potensi fraud (assessment of
potential fraud or risk of fraud). Kesimpulan mengenai potensi risiko dalam langkah ketiga
lazimnya diikuti dengan rekomendasi seperti terlihat dalam kajian sistem oleh KPK.
2.8 Praktik di Sektor Swasta
G. Jack Bologna dan Robert J. Lindquist merupakan dua penulis perintis mengenai
akuntansi forensik mengemukakan beberapa istilah dalam perbendaharaan akuntansi, yakni:
fraud auditing, forensic accounting, investigative accounting, litigation support, dan
valuation analysis. Menurut mereka, istilah-istilah tersebut tidak didefinisikan secara jelas.

Mereka menambahkan bahwa, dalam penggunaan sehari-hari litigation support


merupakan istilah yang paling luas dan mencakup keempat istilah lainnya. Dalam makna ini
segala sesuatu yang dilakukan dalam akuntansi forensik, bersifat dukungan untuk kegiatan
litigasi (litigation support).

Bologna dan Lindquist melanjutkan, bahwa para akuntan tradisional masih ingin
membedakan pengertian fraud auditing dan forensic accounting. Menurut kelompok akuntan
ini, fraud auditing berurusan dengan pendekatan dan metodologi yang bersifat proaktif untuk
meneliti fraud; artinya, audit ini ditujukan kepada pencarian bukti terjadinya fraud. Tentunya
bukti di sini adalah bukti yang akan dipakai di pengadilan. Sedangkan akuntatan forensik
baru dipanggil ketika bukti-bukti terkumpul atau ketika kecurigaan (suspicion) naik ke
permukaan melalui tuduhan (allegation), keluhan (complaint), temuan (discovery), atau tip-
off dari whistleblower.

Bologna dan Lindquist tidak menyentuh istilah valuation analysis. Analisis ini
berhubungan dengan akuntansi atau unsur hitung-hitungan. Pihak-pihak yang bersengketa
dalam urusan bisnis dapat meminta satu pihak membeli seluruh saham pihak lainnya atau
mereka dapat menyepakati bahwa pembeli akhirnya adalah penawar yang mengajukan harga
tertinggi. Ini adalah valuation analysis.

Brosur dari salah satu kantor akuntan peringkat teratas (the Big Four) yang beroperasi di
Asia Tenggara memerinci forensic services (jasa-jasa di bidang forensik).
Tabel 3.1

Deloitte-Forensic Services

No Forensic Services Jasa-Jasa di Bidang Forensik


1. Fraud & Financial Investigations Investigasi keuangan dan fraud

2. Analytic & Forensic Techonology Teknologi analitik dan forensik


3. Fraud Risk Management Manajemen risiko terhadap fraud
4. FCPA Reviews and Investigations FCPA-review dan investigasi

5. Anti Money Laundering Services Jasa pencegahan pencucian uang

6. Whistleblower Hotline Whistleblower hotline


7. Litigation Support Dukungan dalam litigasi

8. Intellectual Property Protection Perlindungan hak intelektual


9. Client Training Peltihan bagi klien di bidang forensik

10. Business Intelligence Services Jasa inteligen bisnis

Berikut ini adalah penjelasan singkat dari beberapa jasa forensik dalam Tabel 3.1

1. Analytical&Forensic Techonolgy – ini adalah jasa-jasa yang dikenal sebagai


computer forensics, seperti data imaging (termasuk memulihkan kembali data
computer yang hilang atau dihilangkan) dan data mining. Beberapa perangkat lunak
ini dilindungi hak cipta, seperti DTect.
2. Fraud Risk Management-Serupa dengan FOSA dan COSA. Beberapa peralatan
analisisnya terdiri atas perangkat lunak ini dilindungi hak cipta, seperti Tips-Offs
Anonymous “DTermine” dan “DTect”.
3. FCPA Reviewa and Investigations-FCPA adalah undang-undang di Amerika Serikat
yang memberikan sanksi hukum kepada entitas tertentu atau pelakunya (agent) yang
menyuap pejabat atau penyelenggara negara di luar wilayah Amerika Serikat yang
memberikan sanksi hukum kepada entitas tertentu atau pelakunya (agent) yang
menyuap pejabat atau penyelenggara negara di luar wilayah AS. FCPA Reviews
serupa dengan FOSA, namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap
FCPA, FCPA Investigatuions merupakan jasa investigasi ketika pelanggaran terhadap
FCPA sudah terjadi.
4. Anti Money Laundering Services-Money Laundering (pencucian uang) dan anti
money laundering. Jasa yang diberikan kantor akuntan ini serupa dengan FOSA,
namun orientasinya adalah pada potensi pelanggaran terhadap undang-undang
pemberantasan pencucian uang.
5. Whistleblower Hotline-Whistleblower. Banyak fraud terungkap karena whistleblower
memberikan informasi (tip-off) secara diam-diam atau tersembunyi (anonymous)
tentang fraud yang sudah atau sedang berlangsung. Kantor akuntan ini menggunakan
perangkat lunak yang dilindungi hak cipta (Tip-Offs Anonymous).
6. Business Intelligence Services-Istilah intelligence memberi kesan bahwa kantor
akuntan memberikan jasa mata-mata atau melakukan pekerjaan detektif. Hal yang
dilakukan adalah pemeriksaan latar belakang (background check) seseorang atau
suatu entitas. Jasa ini diperlakukan oleh perusahaan yang akan melakukan akuisisi,
merger atau menanamkan uangnya pada perusahaan lain; ini adalah bagian dari jasa
yang dikenal sebagai due diligence. Jasa intelligence juga bermanfaat dalam
menciptkan kesadaran mengenai siapa pelanggan kita dan juga berguna dalam rangka
merekrut orang untuk jabatan yang memerlukan kejujuran dan integritas.

2.9 Praktik di Sektor Publik


Di sektor publik (pemerintahan), praktik akuntan forensik serupa dengan sektor
swasta. Perbedaanya adalah bahwa tahap-tahap dalam seluruh rangkaian akuntansi forensik
terbagi-bagi di antara berbagai lembaga. Ada lembaga yang melakukan pemeriksaan
keuangan negara, ada beberapa lembaga yang merupakan bagian dari pengawasan internal
pemerintahan, ada lembaga-lembaga pengadilan, ada lembaga yang menunjang kegiatan
memerangi kejahatan pada umumnya dan korupsi khususnya (seperti PPATK), dan lembaga-
lembaga lainnya seperti KPK. Juga ada LSM yang berfungsi sebagai pressure group.

Masing-masing lembaga tersebut mempunyai mandat dan wewenang yang diatur


dalam konstitusi, undang-undang atau ketentuan lainnya. Mandat dan wewenang ini akan
mewarnai lingkup akuntansi forensik yang diterapkan.

Disamping itu keadaan politik dan macam-macam kondisi lain akan memengaruhi
lingkup akuntansi forensik yang diterapkan, termasuk pendekatan hukum dan nonhukum. Hal
ini dapat dilihat dalam penangan kasus-kasus korupsi atau dugaan korupsi mantan-mantan
kleptocrat dunia.

2.10 Akuntansi Forensik di Sektor Publik dan Swasta

Untuk Indonesia, akuntansi forensik di sektor publik jauh lebih dominan dibandingkan
dengan akuntansi forensik di sektor swasta.

Tabel 3.2

Akuntansi Forensik di Sektor Publik dan Swasta

Dimensi Sektor Publik Sektor Swasta


Landasan Penugasan Amanat undang-undang Penugasan tertulis secara
spesifik
Imbalan Lazimnya tanpa imbalan Fee dan biaya
Hukum Pidana umum dan khusus, Perdata, arbitrase,
hukum adminitrasi negara adminitratif aturan intern
perusahaan
Ukuran Keberhasilan Memenangkan perkara Memulihkan kerugiaan
pidana dan memulihkan
kerugian
Pembuktian Dapat melibatkan instansi Bukti intern dengan bukti
lain di luar lembaga yang ekstern yang lebih terbatas
bersangkutan
Teknik Audit Investigatif Sangat bervariasi karena Relatif lebih sedikit
kewenangan yang relatif dibandingkan di sektor
besar publik. Kreativitas dalam
pendekatan sangat
menentukan
Akuntansi Tekanan pada kerugian Penilaian bisnis
negara dan kerugian
keuangan negara

2.11 Kualitas Akuntan Forensik


Robert J. Lindquist membagikan kuesioner kepada staf Peat Marwick Lindquist Holmes.
D antara yang diajukannya terdapat pertanyaan: kualitas apa saja yang harus dimiliki seorang
akuntan forensik? Penjelasannya pun beraneka ragam, antara lain:

1. Kreatif-kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi yang
normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu
merupakan situasi bisnis yang normal.
2. Rasa ingin tahu-keinginan untuk menemukan apa yang sebenarnya terjadi dalam
rangkaian peristiwa dan situasi.
3. Jangan menyerah-kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta
(seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen atau informasi sulit diperoleh.
4. Akal sehat-kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang
betul-betul disebut, perspektif anak jalanan yang mengerti kerasnya kehidupan.
5. Kemampuan akal bisnis untuk memahami bagaimana sesungguhnya bisnis berjalan,
dan bukan memahami bagaimana transaksi yang dicatat.
6. Percaya diri-kemampuan untuk memercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat
bertahan di bawah pemeriksaan silang (pertanyaan silang dari penuntut umum dan
pembela).

2.12 Independen, Objektif dan Skeptis

Tiga sikap dan tindak-pikir yang selalu harus melekat pada diri seorang auditor, yakni
independen, objektif, dan skeptis. Ketiga sikap dan tindak pikir juga tidak dapat dipisahkan
dari pekerjaan akuntansi forensic

Lampiran B bab ini menyajikan contoh dari dua dokter forensik yang sangat tenar di
Amerika Serikat. Mereka sama-sama memiliki banyak pengalaman. Mereka berhadapan
sebagai Ahli dalam situasi yang berseberangan. Yang satu mewakili negara atau jaksa
penuntut umum, yang lainnya duduk dalam tim pembela.

Dokter forensik yang membantu jaksa penuntut umum, melakukan autopsi. Dokter
forensik yang membantu tim pembela menggunakan potongan tubuh yang disimpan sesudah
dokter pertama melakukan autopsi. Sepintas, dokter pertama memiliki keuntungan; ia dapat
mengamati mayat dalam keadaan utuh, mengautopsinya, dan mengamati jazad yang terurai.
Dokter kedua hanya dapat mengamati jazad yang sudah terurai dan yang diawetkan.
Pendapat mereka berbeda.

2.13 Kode Etik Akuntan Forensik

Para akuntan dan praktik hukum mengenal kode etik, Kode etik merupakan bagian
dari kehidupan berprofesi. Kode etik mengatur hubungan antara anggota profesi dengan
sesamanya, dengan pemakai jasanya dan pemangku kepentingan lainnya, dan dengan
masyarakat luas.
Kode etik berisi nilai-nilai luhur (virtues) yang sangat penting bagi eksistensi profesi.
Profesi bisa eksis karena integritas (sikap juiur, walaupun tidak diketahui orang lain), rasa
hormat dan kehormatan (respect dan honor), dan nilai-nilai luhur lainnya yang menciptakan
rasa percaya (trust) dari pengguna dan stakeholders lainnya.

Seorang ahli hukum berkebangsaan Inggris, Lord (John Fletcher) Moulton


membedakan tiga wilayah tingkah laku manusia Pertama, wilavah hukum positif di mana
orang patuh karena ada hukum dan adanya hukuman untuk yang tidak patuh. Kedua, di sisi
ekstrim lainnya ada wilayah kebebasan memilih (free choice), di mana orang memiliki
kebebasan penuh untuk menentukan sikapnya, misalnya kebebasan beragama atau tidak
beragama. Wilayah ketiga berada di tengah-tengah kedua wilayah tadi. Hal yang ketiga ini,
Lord Moulton disebut kesopan-santunan.

Lord Moulton menyebutnya sebagai kesopan-santunan, kita istilahkan ethics. Ia


menjelaskan manners ini sebagai kepatuhan atas sesuatu yang tidak dapat dipaksakan kepada
seseorang, yang tentunya berbeda dari kepatuhan kita kepada hukum positif.

Menurut Moulton, suatu bangsa yang besar tidak diukur dari berapa besar kebebasan
mutlak yang dipunyainya. la juga tidak ditentukan oleh beberapa patuhnya bangsa itu kepada
hukum dan ketentuan ketentuan-undangan. Hal yang menentukan kebesaran suatu bangsa
adalah seberapa besarnya kepatuhannya akan hal-hal yang tidak dapat dipaksakan kepadanya
(namun mengandung nilai-nilai yang luhur). Dengan perkataan lain, kebesaran suatu bangsa
ditentukan oleh kepatuhannya akan ethics.

Pembaca sudah banyak mengetahui "kode etik" dari berbagai organisasi profesional
seperti Ikatan Akuntan Indonesia, Institut Akuntan Publik Indonesia, Ikatan Dokter
Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia, dan lain-lain. Kode etik pimpinan KPK (Kotak
4.3) memang bukan contoh kode etik akuntan forensic. Namun, perumusannya sangat
relevan untuk mengatur perilaku akuntan forensik. Kode etik pimpinan KPK juga akan
digunakan sebagai latar belakang dua kasus yang akan dibahas di bagian berikut.
2.14 Standar Akuntansi Forensik

Contoh lengkap standar umum dan khusus untuk Akuntan Forensik dapat dilihat pada
kotak 4.11.Standar ini merupakan ringkasan, dan di sana-sini saduran, dari buku William T.
Thornhill, Forensic Accounting How to Investigate Financial Fraud.

Ini hanyalah sebuah contoh yang disajikan sebagai referensi untuk menyusun standar
audit investigatif. Oleh karena itu, sebelum mempergunakannya, kita harus memahami
lingkup penugasan yang luas, yang diperinci oleh Thornhill bentuk standar. Kita dapat
mengubahnya sesuai dengan standar yang selama ini dipraktikkan IAPI.

Thornhill juga tidakmencantumkan standar pelaporan, secara terpisah. la


menggabungkannya dalam Standar Pelaksanaan (lihat butir 450). Sama seperti komentar
sebelumnya, kita dapat mengubahnya dan membuat standar pelaporan sesuai dengan standar
yang selama ini dipraktikkan LAPI.
2.15 Standar Audit Investigatif

Akuntan publik memiliki Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP). SPAP memuat
standa-standar audit, atestasi, pengendalian mutu, dan lain-lain. Namun, SPAP tidak secara
khusus mengatur audit investigatif atau fraud audit. Situasi ini sebenarnya rawan, karena
para praktisi melakukan audit investigatif atau fraud audit tanpa standar.

Secara sederhana, standar adalah ukuran mutu. Oleh karena itu, dalam pekerjaan
audit, para auditor ingin menegaskan adanya standar tersebut. Dengan standar ini pihak yang
diaudit (auditee), pihak yang memakai laporan audit, dan pihak-pihak lain dapat mengukur
kerja sama si auditor. Hal yang sama juga ingin dicapai oleh investigator dan forensic
accountant .

KH. Spencer Pickett dan Jennifer Pickett merumuskan beberapa standar untuk
melakukan investigasi terhadap penipuan. Konteks yang mereka rujuk adalah investigasi atas
fraud yang dilakukan oleh pegawai di perusahaan.

 Standar 1
Seluruh investigasi harus dilandasi praktik-praktik terbaik yang diakui (accepted best
practice). praktik terbaik yang sering dipakai dalam penetapan standar. Dalam istilah ini
tersirat dua hal. Pertama, adanya upaya membandingkan antara praktik-praktik yang ada
dengan merujuk kepada yang terbaik pada saat itu. Upaya ini disebut benchmarking. Kedua,
upaya benchmarking dilakukan terus-menerus untuk mencari solusi terbaik.

Asosiasi profesi lazimnya memberikan wadah untuk diskusi, pertukaran pengalaman,


publikasi dan hal-hal semacam ini sehingga para investigator mengenal praktik-praktik
terbaik. Di samping itu, akuntansi forensik dapat memanfaatkan seminar, publikasi, dan
bahan-bahan penelitian dari profesi lain seperti ahli hukum, ahli kriminologi, ahli
viktimologi, dan lain-lain.

 Standar 2
Kumpulkan bukti-bukti dengan prinsip kehati-hatian sehingga bukti-bukti tadi dapat
diterima di pengadilan. Dalam bab lain akan dibahas istilah yang dipakai dalam hukum acara
pidana, yakni bukti, barang bukti, dan alat bukti. Konsep hukum ini berbeda dengan konsep
bukti dalam auditing

 Standar 3
Memastikan bahwa seluruh dokumentasi dalam keadaan aman, terlindungi, dan
diindeks; dan jejak audit tersedia. Dokumentasi ini diperlukan sebagai referensi apabila ada
penyelidikan di kemudian hari untuk memastikan bahwa investigasi sudah dilakukan dengan
benar. Referensi ini juga membantu perusahaan dalam upaya perbaikan cara-cara investigasi
sehingga praktik terbaik yang dijelaskan di atas dapat dilaksanakan.

 Standar 4
Pastikan bahwa para investigator memahami hak-hak asasi karyawan dan
menghormatinya. Jika investigasi dilakukan dengan cara yang melanggar hak asasi pegawai,
yang bersangkutan dapat menuntut perusahaan dan ivestigatornya. Bukti-bukti yang sudah
dikumpulkan dengan waktu dan biaya yang banyak, menjadi sia-sia.

 Standar 5
Beban pembuktian ada pada yang "menduga" pegawainya melakukan penipuan, dan
pada pengguna umum yang mendakwa pegawai tersebut, baik dalam kasus hukum
administratif maupun kasus pidana. Dalam kasus pidana di Amerika Serikat, beban
pembuktian ini harus melampaui keraguan atau "melampaui keraguan yang layak".

Di Indonesia ada tindak pidana di mana beban pembuktian terbalik dimungkinkan.


Untuk tindak pidana, jaksa penuntut umum harus mengajukan sedikitnya dua alat bukti yang
memberikan keyakinan kepada hakim. Beban pembuktian dan alat bukti dibahas dalam bab
lain.

 Standar 6
Cakup seluruh substansi investigasi dan "kuasai" seluruh target yang sangat kritis
ditiniau dari segi waktu. Dalam melakukan investigasi, kita menghadapi keterbatasan waktu.
Dalam menghormati asas praduga tidak bersalah, hak dan kebebasan seseorang harus tidak.

Hal ini membuka peluang untuk menghancurkan atau menghilangkan bukti:


menghancurkan, menghilangkan, atau menyembunyikan barang bukti; menghapus jejak
(termasuk membunuh saksi pelapor atau orang yang memiliki potensi menjadi saksi yang
memberatkannya). Oleh karena itu, sejak memulai investigasinya, penyidik harus
menentukan cakupan investigasinya.

 Standar 7
Liput seluruh tahapan kunci dalam proses investigasi, termasuk perencanaan,
pengumpulan bukti dan barang bukti, wawancara, kontak dengan pihak ketiga, pengamanan
mengenai hal-hal yang bersifat rahasia, ikuti tata cara atau protokol, dokumentasi dan
penyelenggaraan catatan, keterlibatan polisi, kewajiban hukum, dan persyaratan mengenai
pelaporan.

Di Indonesia kita melihat pentingnya keterlibatan polisi, jaksa, pengadilan (dalam


mendapatkan izin), imigrasi (untuk mencegah pelarian ke luar negeri), Menteri Keuangan
(misalnya untuk izin pemeriksaan tindak pidana perpajakan) dan instansi lain.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anda mungkin juga menyukai