Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH

MATERIALITAS AUDIT DAN RISIKO AUDIT

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Auditing I

Dosen Pengampu :

Drs. Ec. H. Akhmad Sayudi, M.Si, Ak, CA


Dra. Rasidah, M.Si, Ak, CA, CPA

DISUSUN OLEH KELOMPOK 9

Shalsafira Rizkya Nugraha (1910313220055)

Muhammad Irfan Ardana (1910313210002)

Vincent Chinua Soetanto (1910313210010)

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

AKUNTANSI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
memberikan rahmat-Nya berupa kesehatan dan pengetahuan kepada kami
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Auditing I dengan judul
“Materialitas Audit dan Risiko Audit” ini dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan kali ini kami ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Orang tua yang telah memberikan dukungan kepada kami.


2. Bapak Drs. Ec. H. Akhmad Sayudi, M.Si, Ak, CA dan ibu Dra. Rasidah, M.Si,
Ak, CA, CPA. selaku dosen mata kuliah Auditing I.
3. Teman-teman yang telah aktif berpartisipasi dalam memberikan bantuan baik
berupa tenaga maupun pikiran demi terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki kekurangan, sehingga kami
bermaksud meminta kritik dan saran dari pembaca agar makalah-makalah
selanjutnya dapat menjadi lebih baik lagi. Kemudian kami berharap agar makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Terima Kasih.

Banjarmasin, 21 Februari
2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Materialitas.........................................................................................................3
2.1.1 Materialitas Dalam Konteks Audit.................................................................3
2.1.2 Tahapan Dalam Penerapan Materialitas.........................................................4
2.2 Materialitas Untuk Laporan Keuangan Secara Keseluruhan.............................5
2.2.1 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Kebijakan Awal Materialitas...........6
2.2.2 Penggunaan Tolok Ukur Dalam Menentukan Materialitas Untuk..................9
Laporan Keuangan Secara Keseluruhan..................................................................9
 Contoh Pendoman Penentuan Materialitas.....................................................10
 Penerapan Materialitas Pada PT ABC............................................................11
2.3 Menentukan Materialitas Pelaksanaan.............................................................12
2.3.1 Contoh Pengalokasian...................................................................................14
2.4 Memperkirakan Kesalahan Penyajian Dan Membandingkan Dengan............17
Kebijakan Awal......................................................................................................17
2.5 Risiko Audit.....................................................................................................18
2.6 Komponen-Komponen Model Risiko Audit....................................................19
2.7 Menetapkan Risiko Audit Bisa Diterima.........................................................20
2.8 Menilai Risiko Inheren.....................................................................................22
2.8.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Inheren.................................22
2.8.2 Menetapkan Risiko Inheren.......................................................................25
2.9 Hubungan Antara Risiko Dengan Bukti Dan Faktor-Faktor Yang..................26
Mempengaruhi Risiko............................................................................................26
2.9.1 Risiko Audit Per Segmen..........................................................................27
2.9.2 Mengaitkan Materialitas Pelaksanaan (Kesalahan Penyajian Bisa...........28
Ditoleransi) Dan Risiko Dengan Tujuan Audit Atas Saldo...............................28

ii
2.9.3 Keterbatasan Pengukuran..........................................................................28
2.9.4 Hubungan Antara Risiko dan Materialitas Dengan Bukti Audit...............29
2.9.5 Merevisi Penilaian Risiko dan Bukti.........................................................30
2.10 Risiko Signifikan............................................................................................31
BAB III..................................................................................................................33
3.1 Kesimpulan......................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas materialitas dalam


konteks penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka
pelaporan keuangan mungkin membahas materialitas dengan menggunakan
istilah yang berbeda-beda, kerangka tersebut secara umum menjelaskan
bahwa kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila
kesalahan penyajian tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan
dapat mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan
keuangan oleh pengguna laporan keuangan tersebut.

Auditor menerima suatu tingkat risiko atau ketidakpastian dalam


pelaksanaan fungsi pengauditan. Auditor yang efektif mengakui tentang
adanya risiko dan mengelola risiko tersebut dengan cara yang tepat. Risiko
audit adalah ukuran tentang seberapa besar auditor bersedian untuk menerima
bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalahan penyajian material
setelah audit selesai dikerjakan dan memberinya pendapat wajar tanpa
pengecualian. Apabila auditor memutuskan uintuk menurunkan risiko audit,
hal itu berarti bahwa auditor ingin lebih pasti bahwa laporan keuangan tidak
mengandung kesalahan penyajian material.

1
2

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Materialitas dalam Konteks Audit?


2. Bagaimana Penerapan Materialitas pada suatu entitas?
3. Apa yang dimaksud dengan Risiko Audit?
4. Apa komponen-komponen Risiko Audit?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui mengenai Materialitas dalam Konteks Audit


2. Mengetahui bagaimana penerapan Materialitas pada suatu entitas
3. Mengetahui mengenai Risiko Audit
4. Mengetahui berbagai komponen pada Risiko Audit
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Materialitas
2.1.1 Materialitas Dalam Konteks Audit
Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas materialitas dalam
konteks penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka
pelaporan keuangan mungkin membahas materialitas dengan menggunakan
istilah yang berbeda-beda, kerangka tersebut secara umum menjelaskan
bahwa:

 Kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila


kesalahan penyajian tersebut, secara individual atau agregat,
diperkirakan dapat mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil
berdasarkan laporan keuangan oleh pengguna laporan keuangan
tersebut.
 Pertimbangan tentang meteralitas dibuat dengan memperhitungkan
berbagai kondisi yang melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran atau
sifat kesalahan penyajian, atau kombinasi keduanya; dan
 Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pengguna laporan
keuangan didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan
yang umum diperlukan oleh pengguna laporan keuangan sebagai satu
grup. Kemungkinan dampak kesalahan penyajian terhadap pengguna
laporan keuangan individual tertentu, yang kebutuhannya beragam, tidak
dipertimbangkan.

Pembahasan tersebut diatas, jika ada dalam kerangka pelaporan keuangan


yang berlaku, menyediakan kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan
meterialitas untuk audit. Kerangka pelaporan keuangan yang berlaku tidak
mencakup pembahasan tentang konsep materialitas, maka karateristik-
karateristik seperti diuraikan di atas dapat dijadikan sebagai kerangka acuan
bagi auditor dalam menentukan materialitas.

Konsep materialis diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan


pelaksanaan audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian

3
4

yang teridentifikasi dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak


dikoreksi, jika ada, terhadap laporan keuangan dan pada saat merumuskan
opini dalam laporam auditor.

Penentuan materialis oleh auditor membutuhkan pertimbangan


professional, dan dipengaruhi oleh pengguna laporan keuangan. Dalam
konteks ini, adalah masuk akal bagi auditor untuk mengasumsikan bahwa
pengguna laporan keuangan:

(a) Memiliki suatu pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis dan


ekonomi serta akutansi dan kemauan untuk mempelajari informasi yang
ada dalam laporan keuangan dengan cermat;
(b) Memahami bahwa laporan keuangan disusun; disajikan dan diaudit
berdasarkan tingkat materialitas tertentu;
(c) Mengakui adanya ketidakpastian bawaan dalam pengukuran suatu jumlah
yang ditentukan berdasarkan penggunaan estimasi; pertimbangan dan
penyeimbangan masa depan; dan
(d) Membuat keputusan ekonomi yang masuk akal berdasarkan informasi
dalam laporan keuangan.

2.1.2 Tahapan Dalam Penerapan Materialitas

Konsep materialitas diterapkan oleh auditor pada tahap perencanaan dan


pelaksanaan audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan penyajian
yang tidak dikoreksi; jika ada, terhadap laporan keuangan dan pada saat
merumuskan opini dalam laporan auditor. Sebagaimana diterapkan dalam
standar audit (SA 320. A1) “……Materialitas dan risiko audit perlu
dipertimbangkan sepanjang pelaksanaan audit, khususunya pada saat:

(a) Mengidentifikasi dan menilai kesalahan penyajian material;


(b) Menentukan sifat, saat; dan luas prosedur audit selanjutnya; dan
(c) Mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi; jika
ada; terhadap laporan keuangan dan dalam merumuskan opini dalam
laporan auditor,”
5

Auditor biasanya melakukan lima langkah dalam menerapkan materialitas


seperti Nampak pada Gambar 7-1 di halaman berikur ini.

2.2 Materialitas Untuk Laporan Keuangan Secara Keseluruhan


Standart auditing (SA 320. A1) menyatakan bahawa “pada saat
menetapkan strategi audit secara keseluruhan, auditor harus menentukan
materialitas untuk laporan keuangan secara keseluruhan. Hal ini disebut
pertimbangan awal materialitas. Disebut demikian karena meskipun opini
ditetapkan secara profesional;, namun hal itu bisa berubah ketika pengauditan
sedang berlangsung. Kebijakan awal ini harus didokumentasikan dalam file
audit.

Jika dalam kondisi spesifik entitas, terdapat satu atau lebih golongan
transaksi, saldo akun, atau pengungkapan tertentu yang mengandung
kesalahan penyajian yang jumlahnya lebih rendah daripada materialitas
6

laporan keuangan secara keseluruhan diperkirakan secara masuk akal akan


mempengaruhi keputusan ekonomi yang dibuat oleh para pengguna
berdasarkan laporan keuangan tersebut, maka auditor harus menetapkan
materialitas yang akan diterapkan terhadap gologan transaksi, saldo akun atau
pengungkapan tertentu tersebut.

Auditor menetapkan pertimbangan awal materialitas untuk membantu


dalam perencanaan pengumpulan bukti yang tepat. Pengalaman auditor akan
sangat berpengaruh pada penentuan jumlah yang dipandang material sesuai
dengan keadaan yang dihadapi.

Selama audit berlangsung, auditor sering mengubah kebijakan awal


materialitas. Hal ini kita sebut kebijakan tentang materialitas revision.
Auditor perlu melakukan revisi karena adanya perubahan dalam salah satu
faktor yang digunakan dalam menetapkan kebijakan awal; dan hal itu
berpengaruh terhadap kebijakan awal yang diputuskan auditor yang bisa
menjadi terlalu besar atau terlalu kecil. Standar auditing (SA 320.12)
menyatakan bahwa auditor harus merevisi materialitas untuk laporan
keuangan secara kesuluruhan (dan, jika berlaku, materialitas untuk golongan
transaksi, saldo akun atau pengungkapan tertentu) pada saat auditor
menyadari adanya informasi selama audit yang mungkin saja menyebabkan
auditor menentukan jumlah materialitas yang berbeda dari jumlah materialitas
yang pertama kali diterapkan.

2.2.1 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Pada Kebijakan Awal Materialitas

Ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada kebijakan awal materialitas


yang diterapkan auditor untuk laporan keuangan yang akan di auditnya.
Beberapa faktor terpenting adalah:

 Konsep Materialitas adalah Relatif Bukan Absolut

Sejumlah kesalahan penyajian bisa material (mempengaruhi


keputusan) bagi sebuah perusahaan kecil, tetapi jumlah sekian tidak
7

material bagi perusahaan lain yang lebih besar. Oleh karena itu, tidaklah
mungkin untuk membuat suatu pedoman jumlah rupiah untuk
menetapkan kebijakan awal materialitas yang akan berlaku umum bagi
semua klien audit. Sebagai contoh, total kesalahan penyajian sebesar
Rp1.000.000,00 akan dipandang sangat material bagi perusahaan X yang
memiliki total aset sebesar Rp60.000.000.000,00 dan laba bersih kurang
dari Rp5.000.000.000,00. Jumlah yang sama tidak dipandang material
bagi perusahaan multinasional Y yang memiliki laba bersih puluhan
trilyun rupiah.

 Diperlukan Dasar Tertentu untuk Mengevaluasi Materialitas

Mengingat bahwa materialitas bersifat relatif, maka diperlukan


suatu dasar untuk menetapkan apakah kesalahan penyajian dipandang
material. Laba bersih sebelum pajak sering digunakan sebagai dasar
utama untuk menentukan apa yang material bagi perusahaan yang
berorientasi laba, karena laba bersih sebelum pajak merupakan hal yang
penting bagi para pengguna laporan. Beberapa kantor akuntan
menggunakan lebih dari satu dasar untuk menilai materialitas, karena
laba bersih sering berfluktuasi secara signifikan dari tahun ke tahun
sehingga bukan dasar yang stabil, atau apabila klien bukan merupakan
perusahaan yang berorientasi mencari laba. Dasar lain yang lazim
digunakan adalah penjualan bersih, laba kotor, atau total aset. Setelah
menetapkan dasar utama, auditor harus menetapkan juga apakah
kesalahan penyajian bisa secara material mempengaruhi kewajaran dasar
yang lain seperti misalnya, aset lancer, aset tetap, kewajiban lancar,
ekualitas pemilik. Standar auditing mewajibkan auditor untuk
mendokumentasikan dasar yang digunakan untukmenetapkan kebijakan
awal materialitas dalam kertas kerja audit.

Sebagai contoh, untuk suatu perusahaan tertentu, auditor


menetapkan bahwa suatu perusahaan tertentu, auditor menetapkan bahwa
suatu kesalahan penyajian dari laba sebelum pajak yang besarnya
Rp10.000.000,00 atau lebih dipandang material, tetapi untuk aset lancar,
8

kesalahan penyajian dipandang material bila berjumlah Rp25.000.000,00


atau lebih. Dalam situasi demikian, tidaklah tepat bagi auditor untuk
menggunakan kebijakan awal materialitas sebesar Rp25.000.000,00
untuk laba sebelum pajak dan sekaligus juga untuk aset lancar. Auditor
harus merencanakan untuk menemukan semua kesalahan penyajian yang
berpengaruh terhadap laba bersih sebelum sebelum pajak yang lebih
besar dari kebijakan awal tentang materialitas (lebih besar dari
Rp10.000.000,00). Mengingat bahwa hampir semua kesalahan penyajian
berpengaruh baik terhadap laba bersih maupun terhadap neraca, maka
auditor menggunakan tingkat materialitas awal utama sebesar
Rp10.000.000,00 untuk sebagian besar pengujian yang akan dilakukan.
Kesalahan penyajian lain yang akan mempengaruhi aset lancar adalah
kesalahan klasifikasi dalam akun-akun neraca, seperti misalnya salah
mengklasifikasi dalam akun-akun neraca, seperti misalnya salah
mengklasifikasikan aset jangka panjang menjadi aset lancar. Oleh karena
itu, selain membuat kebijakan awal meterialitas utama sebesar
Rp10.000.000,00, auditor juga perlu merencanakan audit dengan
kebijakan awal untuk materialitas sebesar Rp25.000.000,00 untuk salah
klasifikasi dalam aset lancar.

 Faktor Kualitatif Juga Mempengaruhi Materialitas

Jenis-jenis kesalahan penyajian tertentu seringkali lebih berpengaruh


terhadap penggunaan laporan keuangan daripada lainnya, walaupun
jumlah rupiahnya sama. Sebagai contoh:

o Kesalahan penyajian yang menyangkut kecurangan (fraud) dipandang


lebih serius daripada kekeliruan tidak disengaja walaupun jumlah
rupiahnya sama, karena kecurangan mencerminkan ketidakjujuran dan
keandalan manajemen atau orang-orang lain yang terlibat. Sebagai
contoh, sebagian besar pengguna laporan keuangan memandang
kesalahan penyajian disengaja atas persediaan adalah lebih penting
dari pada kekeliruan penulisan persediaan adalah lebih penting dari
9

pada kekeliruan penulisan persediaan yang tidak disengaja, walaupun


jumlah rupiahnya sama.
o Kesalahan penyajian yang jumlah rupiahnya kecil bisa menjadi
material apabila terkait dengan kewajiban kontraktual. Sebagai
contoh, misalkan modal kerja bersih yang tercantum dalam laporan
keuangan beberapa puluh ribu rupiah diatas jumlah minimum yang
disyaratkan dalam perjanjian utang. Apabila modal kerja bersih yang
benar lebih kecil dari jumlah minimum yang disyaratkan, maka
pengklasifikasian utang menjadi utang lancar dan utang jangka
panjang akan terpengaruh secara material.
o Kesalahan penyajian yang keliatannya tidak material, bisa menjadi
material apabila kesalahan penyajian terseut memengaruhi tren laba.
Sebagai conoh, apabila laba bersih selama 5 Tahun telah meningkat 3
persen per tahun, tetapi laba tahun ini turun dengan 1 persen, maka
perubahan tersebut bisa menjadi material. Demikian pula, kesalahan
penyajian yang sebetulnya mengakibatkan rugi tetapi dilaporkan
segigga menjadi laba perlu menjadi perhatikan auditor.

2.2.2 Penggunaan Tolok Ukur Dalam Menentukan Materialitas Untuk


Laporan Keuangan Secara Keseluruhan
Penentuan materialis membutuhkan penggunaan pertimbangan
professional sebagai langkah awal dalam menentukan materialis untuk
laporan keuangan secara keseluruhan, persentase tertentu seringkali
diterapkan pada suatu tolok ukur yang telah dipilih. Faktor-faktor yang dapat
memengaruhi proses identifikasi suatu tolok ukur yang tepat mencakup:

 Unsur-unsur laporan keuangan (sebagai contoh , asset, liabilitas, ekuitas,


pendapatan, beban);
 Apakah terdapat unsur-unsur yang menjadi perhatian khusus para
pengguna laporan keungan suatu entitas tertentu ( sebagai contoh, untuk
tujuan pengevaluasian kinerja keuangan, pengguna laporan keuangan
cenderung akan fokus pada laba, pendapatan maupun asset bersih);
10

 Sifat entitas, posisi entitas dalam siklus hidupnya, dan indrusti serta
lingkungan ekonimi yang di dalamnya entitas tersebut beroperasi
 Struktur kepemilikan dan pendanaan entitas(sebagai contoh, jika
pendanaan sebuah entitas hanya dari utang dan bukan dari ekuitas, maka
pengguna laporan keuangan akan lebih menekankan pada asset dan klaim
atas asset asset tersebut daripada pendapatan entitas);dan
 Fluktusi relative tolok ukur tersebut.

 Contoh Pendoman Penentuan Materialitas

Standar akuntansi dan standar auditing tidak memberikan pedoman khusus


tentang materilitas bagi para praktisi. Hal tersebut disebabkan karena ada
kekhawatiran bahwa pedoman tersebut akan diterapkan tanpa
mempertimbakan berbagai kompeksitas yang akan mempengaruhi
keputusan akhir auditor.
11

 Penerapan Materialitas Pada PT ABC

Dengan menggunakan contoh pedoman pada Gambar di atas marilah kita


terapkan pedoman tersebut pada PT ABC. Penjabaran pedoman akan
menjadi sebagai berikut:
12

Kebijakan Awal Tentang Materialitas (Dibulatkan)


Minimun Maksimum
Persentase Jml. Rupiah Persentase Jml.Rupiah
Laba dari operasi 3 Rp.221.000 6 Rp.442.000
Aset lancer 3 1.531.000 6 3.062.000
Total asset 1 614.000 3 1.841.000
Kewajiban lancar 3 396.000 6 793.000

Apabila auditor yang mengaudit PT ABS berpendapat bahwa pedoman


masuk akal, maka tahap pertama yang harus dilakukannya adalah menilai
apakah terdapat factor kualitatif yang signifikan mempengaruhi kebijakan
materialitas. Seandainya tidak terdapat factor kualitatif, apabila pada akhir
audit, auditor berkesimpulan bahwa total kesalahan penyajian laba operasi
sebelum pajak lenih kecil daripada Rp.221.000,00 maka laporan akan
dipotong wajar. Apabila total kesalahan penyajian melebihi Rp.442.000,00,
maka laporan tidak akan dipandang wajar. Apabila kesalahan penyajian
berada di antara Rp.221,000,00 dan Rp442.000.00,00, diperlukan kebijakan
lebih cermat atas semua fakta yang ada. Selanjutnya auditor menerapkan
proses yang sama untuk ketiga dasar yang lain.

2.3 Menentukan Materialitas Pelaksanaan

Standar auditing (SA 320.9) merumuskan materialitas pelaksanaan sebagai


berikut :

Materialitas pelaksanaan (Performance materiality) adalah suatu jumlah


yang ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang rendah daripada materialitas
untuk laporan keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat
rendah yang semestinya kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak
dikoreksi dan yang tidak terdeteksi yang secara agregat melebihi materialitas
pelaksanaan dapat ditetapkan oleh auditor pada jumlah yang lebih rendah
daripada materialitas golongan transaksi, saldo akun atau pengungkapan
tertentu.
13

Penentuan materialitas pelaksanaan (tahap 2 dalam Gambar 7-1 di atas)


diperlukan karena auditor mengumpulkan bukti per segmen bukan untuk
laporan keuangan secara keseluruhan, dan tingkat materialitas pelaksanaan
membantu mereka dalam menentukan bukti audit yang tepat yang harus
dikumpulkan. Materialitas pelaksanaan berhubungan terbaik dengan jumlah
bukti yong harus dikumpulkan auditor. Sebagai contoh, untuk suatu piutang
usaha bersaldo Rp.1.000.000,00, auditor harus mengumpulkan bukti yang
lebih banyak apabila kesalahan penyajian sebesar Rp.50.00,00 dipandang
material daripada apabila kesalahan penyajian sebesar Rp.300.000,00
dipandang material. Namun demikian, apabila auditor menerapkan tingkat
materialitas yang sama pada setiap segmen dari suatu audit yang diterapkan
atas laporan keuangan secara keseluruhan.

Dalam pembahasan di bawah ini, proses penetuan materialitas


pelaksanaan kita sebut sebagai proses pengalokasian pertimbangan awal
tentang materialitas ke segmen-segmen. Banyak praktisi mengalokasikan
materialitas ke akun-akun neraca dan bukannya ke akun-akun laba-rugi,
karena kebanyakan kesalahan penyajian rugi-laba memiliki dampak yang
sama terhadap neraca sebagai akibat pelaksanaan metoda akuntansi
berpasangan.

Seperti telah disebutkan di atas, penentuan materialitas pelaksanaan


didasarkan pada pertimbangan professional dan mencerminkan jumlah
kesalahan penyajian yang diinginkan auditor dapat diterima pada suatu
segmen tertentu. Sebagai contoh, apabila dari total pertimbangan awal tentang
materialitas sebesar Rp.2.000.000,00, auditor memutuskan untuk
mengalokasikan Rp.1.000.000,00 ke piutang usaha, maka hal ini berarti
bahwa auditor menginginkan untuk memandang piutang tidak lebih dari
Rp.1.000.000,00, Angka inilah yang kita sebut dengan materialitas
pelaksanaan.

Auditor menghadapi tiga masalah dalam mengalokasikan materialitas ke


akun-akun neraca:
14

1. Auditor menduga akun-akun tertentu memiliki lebih banyak kesalahan


penyajian dari pada lainnya
2. Baik lebih saji maupun kurang saji harus dipertimbangkan.
3. Biaya audit terkait mempengaruhi pengalokasian.

Ketiga kesulitan di atas telah dipertimbangkan dalam pengalokasian pada


Gambar7-3 di bawah ini. Perlu diingat bahwa pada akhir audit, auditor harus
menggabungkan semua kesalahan penyajian sesungguhnya dan taksiran
kesalahan penyajian dan membandingkannya dengan kebijakan wal
materialitas. Dalam meentukan tingkat materialitas pelaksanaan, auditor
berusaha untuk melakukan audit seefesien mungkin.

2.3.1 Contoh Pengalokasian

Gambar 7-3 melukiskan pendekatan pengalokasian yang dilakukan oleh


seorang auditor senior, dalam pengauditan atas PT ABC, Gambar ini
meringkas neraca, menggabungkan akun-akun tertentu, dan menunjukan
pengalokasian total materialitas sejumlah Rp.442.000,00 (6% dari laba
operasi) Dalam melakukan pengalokasian, auditor menggunakan
15

pertimbangan tertentu karena ada dua ketentuan yang ditetapkan oleh Kantor
Akuntan “Santoso & Rekan”, yaitu:

 Kesalahan penyajian untuk setiap akun tibak boleh lebih besar dari 60%
dari kebijakan awal (60% dari Rp.442.00,00 = Rp265.000,00 dibulatkan)
 Jumlah total seluruh kesalahan penyajian bisa ditoleransi tidak boleh lebih
besar dari dua kali kebijakan awal materialitas (2 x
Rp.442.000,00=Rp.884.000,00)

Ketentuan pertama dimaksudkan agar auditor tidak mengalokasikan


seluruh total kesalahan penyajian ke satu akun. Misalkan apabila seluruh
kebijakan awal kesalahan penyajian sebesar Rp442.000,00 dialokasikan ke
akun piutang usaha, maka hal itu tdak dapat diterima karena tidak memberi
kemungkinan adanya kesalahan penyajian pada akun yang lain.

Ketentuan kedua dibuat karena dua alasan yaitu:

 Kecil kemungkinan bahwa seluruh akun akan berisi kesalahan penyajian


sebesar jumlah kesalahan penyajian yang bisa diterima. Sebagai contoh,
apabila akun aser lain-lain mendapat alokasi kesalahan penyajian bisa
diterima sebesar Rp.100.00,00
 Tetapi tidak dijumpai kesalahan penyajian ketika audit sudah dilakukan
terhadap akun-akun tersebut. Hal ini berarti bahwa auditor bisa
mengalokasikan kesalahan penyajian bisa diterima sebesar nol atau
sejumlah kecil kesalahan penyajian untuk akun aset lain-lain. Dalam
praktik sangat sering auditor menemukan kesalahan penyajian yang lebih
kecil dari jumlah kesalahan penyajian bisa diterima.
 Sejumlah akun mempunyai kemungkinan besar akan mengandung lebih
saji, dan sejumlah akun lain mempunai kemungkinan besar untuk kurang
saji, akibatnya jumlah bersih-nya kemungkinan bisa lebih kecil dari
kebijakan awal.

Dalam pengalokasian materialitas, auditor menaruh perhatikan besar atau


pengaruh kesalahan penyajian tiap-tiap akun neraca terhadapt laba operasi.
16

Suatu lebih saji dari suatu akun aset akan mempunyai pengaruh yang sama
terhadap laporan laba-rugi,

Gambar 7-3 di atas juga memuat pertimbangan (dasar pikiran) yang


digunakan yang digunakan auditor dalam memutuskan kesalahan penyajian
bisa ditoleransi untuk setiap akun. Sebagai contoh, auditor memutuskan
bahwa tidak perlu mengalokasikan kesalahan penyajian bisa ditoleransi untuk
utang wesel, walaupun saldo akun tersebut hamper sama besarnya dengan
persediaan. Seandainya ia mengalokasikan masing-masing Rp.132.500,00
untuk kesua kaun tersebut (persediaan dan utang wesel), maka ini berarti
diperlukan lebih banyak bukti untuk persediaan, tetapi konfirmasi untuk saldo
utang wesel masih tetap diperlukan. Oleh karena itu akan lebih efisien apabila
mengalokasikan Rp.265.000,00 ke persediaan dan tidak mengalokasikan
apapun ke utang wesel. Demikian pula, auditor mengalokasikan Rp60.000,00
ke akun aset lain-lain dan utang gaji dan utang P.Ph karyawan yang mendapat
alokasi besar dibandingkan dengan saldo akun-akun tersebut. Auditor
melakukan hal tersebut karena dia yakin bahwa akun-akun tersebut. Auditor
melakukan hal tersebut karena dia yakin bahwa akun-akun tersebut bisa
diverifikasi dalam rentang Rp.60.000,00 hanya dengan menggunakan
prosedur analitis yang biayanya murah. Apabila kesalahan penyajian bisa
ditoleransi ditetapkan rendah, auditor harus menggunakan prosedur audit
yang lebih mahal seperti misalnya memeriksa dokumen dan konfirmasi

Dalam praktik, seringkali tidak mudah untuk memprediksi di muka akun


mana yang paling mungkin mengandung kesalahan penyajian, dan apakah
kesalahan penyajian dan apakah kesalahan penyajianya berupa lebih saji atau
kurang saji. Selain itu, biaya audit untuk akun yang berbeda seringkali tidak
bsa ditemukan. Itulah sebabnya pengalokasian kebijakan awal materialitas ke
akun-akun merupakan pertimbangan professional yang sulot. Ini pula
sebabnya, banyak kantor akuntan yang membuat pedoman yang kaku dan
metoda yang sophisticated untuk melaksanakannya. Pedoman tersebut juga
membantu memastikan auditor mendokumentasikan dengan baik jumlah
kesalahan penyajian bisa ditoleransi serta dasar yang digunakan untuk
menetukan jumlah tersebut dalam kertas kerja.
17

Sebagai Kesimpulan, tujuan pengalokasian kebijakan awal materialitas ke


akun-akun neraca adalah untuk membantu auditor dalam menentukan bukti
yang tepat yang harus diperoleh untuk setiap akun dalam neraca dan laporan
laba-rugi. Dalam pengalokasian diupayakan untuk meminimalkan biaya audit
tanpa mengorbankan kualitas audit. Bagaimanapun pengalokasian dilakukan,
ketika audit sudah selesai, auditor harus yakin bahwa keseluruhan kesalahan
penyajian dalam semua akun adalah lebih kecil atau sama dengan kebijakan
awal materialitas yang telah direvisi.

2.4 Memperkirakan Kesalahan Penyajian Dan Membandingkan Dengan


Kebijakan Awal
Pada saat auditor melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit,
auditor mendokumentasikan semua kesalahan penyajian yang ditemukannya.
Kesalahan penyajian dalam suatu akun bisa terdiri dari dua tipe, yaitu:
kesalahan diketahui (known misstatement) dan kesalahan penyajian
diperkirakan (likely misstatement). Sebagai contoh, misalkan auditor
menemukan 6 kesalahan penyajian yang dibuat klien dalam suatu sampel
yang terdiri dari 200 dalam pengujian harga perolehan perediaan. Auditor
menggunakan temuan kesalahan penyajian ini untuk menaksir total perkiraan
kesalahan penyajian dalam persediaan. Jumlah total ini disebut suatu
“proyeksi” atau “ekstrapolasi” karna yang diaudit hanya suatu sampel, tidak
keseluruhan populasi.

 Contoh Perbandingan Antara Perkiraan Total Kesalahan Penyajian


dengan Pertimbangan Awal Materialitas

Akun Materialitas Jumlah Perkiraan Kesalahan Penyajian


Kesalahan Penyajian Kesalahan Total
Pelaksanaan
diketahui dan Sampling
Proyeksi langsung
Kas Rp 4.000 Rp 2.000 Rp TBD Rp 2.000
Piutang usaha 20.000 12.000 6.000 18.000
Persediaan 36.000 31.500 15.750 47.250
Total Perkiraan
18

Jumlah Kesalahan Rp 45.500 Rp. 16.800 Rp 62.300


penyajian
Rp 50.000
Kebijakan Awal
Materialitas
Keterangan: TBD = Tidak bisa diterapkan Kas audit 100%

`Tabel tersebut menunjukkan bahwa total estimasi taksiran kesalahan


penyajian sebesar Rp 62.300 adalah lebih besar dari kebijakan awal
materialitas yang besarnya Rp 50.000. Berhubung gabungan taksiran
kesalahan penyajian lebih besar dari kebijakan awal, maka laporan keuangan
tidak dapat diterima.

Untuk memberi contoh perhitungan, misalkan dalam mengaudit


persediaan, auditor menemukan lebih saji (bersih) Rp3.500,00 dalam suatu
sampel yang besarnya Rp50.000,00 dari total populasi Rp450.000,00.
Kesalahan penyajian Rp3.500,00 adalah kesalahan penyajian diketahui.
Untuk menghitung taksiran perkiraan kesalahan penyajian untuk total
populasi Rp450.000,00, auditor membuat proyeksi langsung dari kesalahan
penyajian diketahui dari sampel ke populasi dan menambahkan satu taksiran
untuk kesalahan sampling. Perhitungan proyeksi langsung taksiran
kesalahan penyajian.

Kesalahan penyajian bersih dalam sampel ( Rp 3.500)


x Total nilai populasi
Total sampel (Rp50.000)
(Rp450.000)

= Proyeksi langsung taksiran kesalahan penyajian (Rp31.500)

2.5 Risiko Audit

Auditor menerima suatu tingkat risiko atau ketidakpastian dalam


pelaksanaan fungsi pengauditan. Auditor yang efektif mengakui tentang
adanya risiko dan mengelola risiko tersebut dengan cara yang tepat.
19

 Model Risiko Audit untuk Perencanaan

Risiko kesalahan penyajian material didefinisikan dalam standar


audit (SA 200.13. (n)) sebagai: Risiko bahwa laporan keuangan
mengandung kesalahan penyajian material sebelum audit dilakukan.
Risiko kesalahan penyajian material dapat terjadi 2 tingkat :

1. Tingkat laporan keuangan secara keseluruhan; dan


2. Tingkat asersi untuk golongan transaksi, saldo, akun, dan
pengungkapan

Model risiko audit membantu auditor dalam menentukan berapa banyak


dan jenis bukti apa yang harus dikumpulkan pada setiap siklus. Model
risiko audit biasanya dinyatakan sebagai berikut.

AR
AR = IR x CR x DR Atau DR =
IR x CR

Keterangan:

AR = Risiko Audit

IR = Risiko Inheren

CR = Risiko Pengendalian

DR = Risiko Deteksi

2.6 Komponen-Komponen Model Risiko Audit

 Risiko Deteksi

Risiko deteksi adalah risiko yang timbul karena bukti audit tidak berhasil
mendeteksi kesalahan penyajian yang bisa ditoleransi (atau disebut juga
materialitas pelaksanaan). Ada dua hal yang perlu diketahui tentang risiko
deteksi, yaitu:
20

a) Risiko deteksi merupakan dependen dari tiga faktor lain yang tercakup
dalam model. Risiko ini akan berubah hanya apabila auditor mengubah
salah satu (atau lebih) faktor lain dalam model risiko.
b) Risiko deteksi menentukan jumlah bukti substantif yang direncanakan
akan dikumpulkan auditor yang berkebalikan dengan ukuran risiko
deteksi. Apabila risiko deteksi berkurang, auditor harus mengumpulkan
bukti yang lebih banyak untuk mencapai risiko deteksi yang telah
berkurang tersebut.

 Risiko Inheren

Risiko inheren adalah penilaian auditor mengenai kemungkinan adanya


kesalahan penyajian material yang disebabkan karena kekeliruan atau
kecurangan sebelum mempertimbangkan efektivitas pengendalian internal.
Apabila auditor berkesimpulan bahwa kemungkinan besar terdapat
kesalahan penyajian, maka auditor akan berkesimpulan bahwa risiko
inherennya tinggi. Risiko inheren yang tinggi, selain akan meningkatkan
bukti yang harus dikumpulkan, juga menuntut digunakannya staf audit yang
lebih berpengalaman, dan review terhadap pengujian audit lebih cermat.

 Risiko Pengendalian

Risiko pengendalian mengukur penilaian auditor tentang apakah kesalahan


penyajian yang melebihi jumlah kesalahan penyajian bisa ditoleransi pada
suatu segmen akan dapat dicegah atau dideteksi secara tepat waktu oleh
sistem pengendalian internal klien. Auditor pada umumnya memilih untuk
lebih mengandalkan pada pengendalian yang efektif, terutama apabila
pengolahan transaksi sehari-hari dilakukan dengan menggunakan prosedur
otomatis.

 Risiko Audit
21

Risiko audit adalah ukuran tentang seberapa besar auditor bersedia untuk
menerima bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalahan
penyajian material setelah audit selesai dikerjakan dan memberinya
pendapat wajar tanpa pengecualian. Apabila auditor memutuskan uintuk
menurunkan risiko audit, hal itu berarti bahwa auditor ingin lebih pasti
bahwa laporan keuangan tidak mengandung kesalahan penyajian material.

2.7 Menetapkan Risiko Audit Bisa Diterima

Auditor harus memutuskan risiko audit yang bisa diterima untuk suatu
audit, terutama pada tahap perencanaan audit. Pertama-tama auditor harus
menetapkan risiko penugasan dan selanjutnya menggunakan risiko penugasan
untuk menetapkan risiko audit.

2.7.1 Dampak Risiko Penugasan Terhadap Risiko Audit Bisa diterima

Risiko penugasan adalah risiko yang harus ditanggung auditor atau kantor
akuntan setelah suatu audit diselesaikan, walaupun laporan audit yang dibuat
sudah benar. Risiko penugasan berkaitan erat dengan risiko bisnis klien.
Sebagai contoh, apabila klien dinyatakan bangkrut oleh pengadilan setelah
perusahaan tersebut diaudit, kemungkinan besar kantor akuntan akan dituntut,
meskipun audit yang dilakukan auditor telah dilaksanakan dengan baik.

2.7.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Audit Bisa Diterima


Ada tiga faktor yang mempengaruhi risiko penugasan dan yang
selanjutnya berpengaruh pula pada risiko audit, yaitu
a) Seberapa Jauh Pengguna Eksteren Mengandalkan Laporan Keuangan
Auditan
b) Kemungkinan Klien mengalami kesulitan keuangan setelah laporan audit
diterbitkan
c) Integritas Manajemen.

2.7.3 Membuat Keputusan tentang risiko audit bisa diterima


22

Untuk menetapkan risiko audit bisa diterima, pertama-tama auditor harus


menilai setiap faktor yang mempengaruhi risiko audit bisa diterima. Risiko
audit biasanya dinyatakan dengan istilah tinggi, medium, dan rendah. Risiko
audit yang rendah mengandung arti bahwa klien sangat berisiko yang
membutuhkan bukti lebih banyak, menggunakan lebih banyak staf audit
berpengalaman, dan/atau review atas kerja audit yang lebih mendalam.
Setelah audit berjalan, auditor akan mendapat informasi lebih banyak tentang
klien, dan risiko audit bisa diterima dan bisa dimodifikasi.

2.8 Menilai Risiko Inheren

Dimasukkannya risiko inheren ke dalam model risiko audit merupakan


konsep paling penting dalam pengauditan. Yang dimana auditor harus
berusaha memprediksi dimana kesalahan penyajian paling mungkin dan mana
yang paling kecil kemungkinannya dalam laporan keuangan.

2.8.1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Risiko Inheren


1. Sifat Bisnis Klien
Risiko inheren untuk akun tertentu dipengaruhi oleh sifat bisnis klien.
Risiko inheren berbeda-beda antara perusahaan yang satu dengan
23

perusahaan lainnya, untuk akun seperti persediaan,piutang usaha, dan asset


tetap. Sifat bisnis klien tidak mempunyai dampak atau kecil dampaknya
terhadap risiko inheren untuk akun seperti kas, utang wesel, dan utang
hipotik.

2. Hasil Audit Periode Sebelumnya


Kesalahan penyajian yang ditemukan dalam audit tahun sebelumnya
memilki kemungkinan besar untuk terjadi lagi dalam audit tahun ini,
karena banyak tipe kesalahan penyajian yang sifatnya sistemik, dan
organisasi seringkali terlambat melakukan perubahan untuk meniadakan
kesalahan penyajian seperti itu. Oleh karena itu, auditor akan dipandang
lalai jika hasil audit tahun lalu diabaikan pada saat ia mengembangkan
program audit untuk tahun ini.

3. Penugasan Baru atau Penugasan Ulangan


Audit mendapat pengalaman dan pengetahuan tentang kemungkinan
terjadinya kesalahan penyajian setelah mengaudit klien selama beberapa
tahun. Apabila tidak ada hasil audit tahun lalu, sebagian besar auditor akan
menilai risiko inheren yang tinggi pada audit yang pertama kali dilakukan
dibandingkan dengan penugasan ulangan yang pada waktu lalu tidak
ditemukan kesalahan penyajian material.

4. Pihak-pihak yang Berelasi


Contoh transaksi dengan pihak-pihak yang berelasi (related parties) adalah
transaksi antara perusahaan induk dengan perusahaan anak, dan antara
manajemen dengan entitas perusahaan. Karena transaksi seperti ini tidak
terjadi antara 2 pihak yang independent yang melakukan tawar menawar
secara bebas, maka terdapat kemungkinan besar bahwa transaksi demikian
direkayasa yang menyebabkan naiknya risiko inheren

5. Transaksi-transaksi Non-Rutin
24

Transaksi-transaksi yang tidak biasa terjadi pada perusahaan klien


mempunyai kemungkinan besar dicatat secara salah dibandingkan dengan
transaksi rutin, karena klien tidak berpengalaman dalam mencatatnya.

6. Pertimbangan Yang Diperlukan untuk Mencatat Saldo Akun dan Transaksi


Dengan Benar
Banyak saldo akun seperti misalnya investasi tertentu yang dicatat atas
nilai wajar, cadangan kerugian piutang, keusangan persediaan, kewajiban
untuk pembayaran garansi dan reserve untuk kerugian utang bank,
memerlukan estimasi dan sarat dengan pertimbangan manajemen. Karena
hal-hal tersebut membutuhkan pertimbangan tertentu, maka kemungkinan
kesalahan penyajiannya cukup tinggi dan akibatnya auditor biasanya
menetapkan risiko inheren yang tinggi.

7. Pembentuk Populasi
Terkadang unsur individual tertentu yang membentuk populasi juga
berpengaruh terhadap ekspetasi auditor tentang kesalahan material.
Auditor biasanya akan menggunakan risiko inheren yang lebih tinggi
untuk piutang usaha apabila sebagian besar tagihan telah lewat waktu
dibandingkan dengan apabila sebagian besar belum jatuh tempo. Contoh
unsur-unsur yang membutuhkan risiko inheren yang lebih tinggi seperti
transaksi dengan perusahaan afiliasi, piutang kepada jajaran pimpinan
perusahaan, dan piutang yang belum tertagih selama berbulan-bulan.

8. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecurangan Pelaporan Keuangan


dan Penyalahgunaan Aset
Dari segi konsep maupun praktik, sulit untuk memisahkan antara factor
risiko kecurangan menjadi risiko audit bisa diterima, risiko inheren, atau
risiko pengendalian. Untuk memenuhi persyaratan standar auditing, bagi
auditor lebih penting menilai risiko dan menanggapinya daripada sekedar
menggolongkan risiko menjadi jenis risiko tertentu. Maka banyak kantor
akuntan menilai risiko kecurangan terpisah dari penilaian atas komponen-
25

komponen risiko audit. Risiko kecurangan dapat dinilai untuk audit


sebagai keseluruhan atau per siklus dan tujuan. Contoh, insentif yang besar
untuk merangsang manajemen agar bekerja keras untuk mencapai target
pendapatan yang tinggi bisa berpengaruh terhadap keseluruhan audit,
sedangkan kerentanan terhadap pencurian persediaan hanya akan
berpengaruh terhadap akun persediaan. Untuk risiko kecurangan pelaporan
keuangan dan risiko penyalahgunaan asset, auditor focus pada bidang-
bidang yang beresiko kecurangan tinggi dan merancang prosedur audit
atau mengubah keseluruhan tindakan audit untuk menanggapi risiko
tersebut. Tanggapan khusus terhadap risiko kecurangan yang
teridentifikasi bisa berupa revisi atas penetapan risiko diteksi bisa diterima,
risiko inheren, dan risiko pengendalian.

2.8.2 Menetapkan Risiko Inheren


Auditor harus mengevaluasi informasi-informasi yang mempengaruhi
risiko inheren dan menetapkan tingkat risiko inheren untuk setiap siklus, dan
untuk setiap tujuan audit. Dalam standar audit (SA 200. A38) disebutkan
bahwa risiko inheren dapat lebih tinggi untuk beberapa asersi dan golongan
transaksi, saldo akun, serta pengungkapan tertentu. Sebagai contoh, risiko
bawaan mungkin lebih tinggi untuk perhitungan yang kompleks atau untuk
akun yang terdiri angka yang berasal dari estimasi signifikan. Kondisi
eksternal yang menimbulkan risiko bisnis juga dapat memengaruhi risiko
bawaan. Faktor dalam entitas dan lingkungannya yang berhubungan dengan
sebagian atau semua golongan transaksi, saldo akun, atau pengungkapan
dapat memengaruhi risiko bawaan yang berkaitan dengan asersi tertentu.
Meskipun organisasi profesi tidak menetapkan risiko inheren, namun auditor
biasanya konservatif dalam menetapkannya.
26

2.9 Hubungan Antara Risiko Dengan Bukti Dan Faktor-Faktor Yang


Mempengaruhi Risiko

Gambar Hubungan Antara Faktor-faktor yang Mempengaruhi Risiko


dengan Risiko dan Risiko dengan Bukti Direncanakan

Gambar diatas menggambarkan factor-faktor yang menentukan masing-


masing risiko, pengaruh dari ketiga komponen risiko terhadap penentuan
risiko deteksi direncanakan, dan hubungan antara keempat risiko terhadap
bukti audit direncanakan. Tanda “L” pada gambar menunjukkan hubungan
langsung (atau sejalan) antara suatu komponen risiko dengan risiko deteksi
direncanakan atau bukti yang direncanakan. “K” menunjukkan hubungan
berkebalikan.
27

Auditor menanggapi risiko terutama dengan mengubah luasnya pengujian


dan jenis prosedur audit, termasuk pula dengan memadukan hal-hal tak
terduga dalam prosedur audit yang digunakan. Selain dengan memodifikasi
bukti audit, ada dua cara lain yang dapat diubah auditor untuk menanggapi
untuk menanggapi risiko.

1. Penugasan Mungkin Membutuhkan Staf Yang Lebih Berpengalaman


Untuk klien dengan risiko audit bisa diterima yang rendah, diperlukan staf
yang lebih berpengalaman dengan penekanan pada pentingnya skeptisisme
professional. Begitu pula apabila suatu bidang audit, seperti misalnya
persediaan, memiliki risiko inheren yang tinggi, maka bidang audit
tersebut sebaiknya ditangani oleh staf yang berpengalaman dalam audit
persediaan.
2. Penugasan Harus Di Review Lebih Cermat
Apabila risiko audit bisa diterima rendah, diperlukan review yang lebih
cermat dan seksama, termasuk dengan review oleh orang yang tidak
terlibat dalam penugasan. Apabila risiko kesalahan penyajian material
(perpaduan antara risiko inheren dan risiko pengendalian) tinggi untuk
akun-akun tertentu, reviewer selayaknya memberi waktu lebih banyak
untuk memastikan bahwa bukti sudah tepat dan dievaluasi dengan benar.

2.9.1 Risiko Audit Per Segmen


Risiko inheren dan risiko pengendalian tidak ditetapkan untuk audit
sebagai keseluruhan, melainkan ditetapkan untuk setiap siklus, setiap akun
dalam suatu siklus, bahkan kadang-kadang untuk setiap tujuan audit pada
suatu akun. Untuk audit yang sama, risiko yang ditetapkan bisa berbeda-beda
antara siklus yang satu dengan siklus yang lain, antara akun yang satu dengan
akun yang lain, dan antara tujuan yang satu dengan tujuan yang lain. Faktor-
faktor yang mempengaruhi risiko inheren seperti misalnya kerentanan
terhadap penyalahgunaan asset dan transaksi rutin juga bisa berbeda antara
28

akun yang satu dengan akun lainnya. Oleh sebab itu, merupakan hal yang
normal apabila risiko inheren berbeda untuk berbagai akun pada audit yang
sama.
Risiko audit bisa diterima biasanya ditetapkan oleh auditor pada tahap
perencanaan dan tidak berubah untuk setiap siklus dan akun. Sejumlah
auditor menggunakan risiko audit bisa diterima yang sama untuk semua
segmen berdasarkan keyakinan bahwa pada akhir audit, pengguna laporan
keuangan akan mempunyai tingkat keyakinan yang sama untuk semua
segmen laporan keuangan. Auditor yang lain menggunakan tingkat keyakinan
yang berbeda untuk segmen yang berbeda berdasarkan keyakinan bahwa
pengguna laporan keuangan mungkin akan lebih berkepentingan pada saldo
akun-akun tertentu.
Risiko deteksi direncanakan dan bukti audit yang diperlukan bisa berbeda-
beda untuk setiap siklus, setiap akun atau setiap tujuan. Karena keadaan
setiap penugasan berbeda-beda, banyaknya dan sifat bukti yang diperlukan
akan sangat tergantung pada keadaan yang unik dari setiap audit.

2.9.2 Mengaitkan Materialitas Pelaksanaan (Kesalahan Penyajian Bisa


Ditoleransi) Dan Risiko Dengan Tujuan Audit Atas Saldo
Meskipun dalam praktek lazim untuk menetapkan risiko inheren dan risiko
pengendalian untuk setiap tujuan audit saldo akun, namun tidak lazim untuk
mengalokasikan materialitas pada tujuan-tujuan tersebut. Auditor akan lebih
efektif untuk menggunakan risiko yang berbeda-beda untuk tujuan yang
berbeda, dan biasanya tidaklah sulit untuk menghubungkan risiko dengan satu
atau dua tujuan.

2.9.3 Keterbatasan Pengukuran


Salah satu keterbatasan paling besar dalam penerapan model risiko audit
adalah adanya kesulitan dalam pengukuran komponen-komponen dalam
model. Untuk mengatasi masalah pengukuran tersebut, banyak auditor yang
menggunakan pengukuran subyektif yang dinyatakan dalam istilah seperti
29

rendah, medium, dan tinggi. Seperti table dibawah ini, auditor bisa
menggunakan informasi tersebut untuk menetapkan jumlah dan jenis bukti
yang tepat yang harus dikumpulkan.
Tabel Hubungan antara Risiko dengan Bukti

Situasi Risiko Risiko Risiko Risiko Jumlah


Audit Inheren Pengendalian Deteksi Bukti
Bisa Diperlukan
Diterima
1 Tinggi Rendah Rendah Tinggi Rendah
2 Rendah Rendah Rendah Medium Medium
3 Rendah Tinggi Tinggi Rendah Tinggi
4 Medium Medium Medium Medium Medium
5 Tinggi Rendah Medium Medium Medium

Sebagai contoh, dalam situasi 1, auditor telah memutuskan suatu risiko


audit bisa diterima yang tinggi untuk suatu akun atau tujuan. Auditor telah
menyimpulkan suatu risiko kesalahan penyajian yang rendah dalam laporan
keuangan dan pengendalian internalnya efektif. Maka akibatnya hanya sedikit
bukti audit yang dibutuhkan. Sedangkan pada Situasi 3 menggambarkan
situasi yang berlawanan. Apabila risiko inheren dan risiko pengendalian
tinggi dan auditor menghendaki risiko audit bisa diterima yang rendah, maka
dibutuhkan bukti yang banyak sekali. Metode pengukuran yang digunakan
auditor sangat teliti agar dapat mengukur secara kuantitatif dengan akurat
perpaduan bukti-bukti tersebut. Oleh karena itu, para auditor biasanya
cenderung untuk secara subyektif mengevaluasi apakah bukti yang tepat dan
cukup telah direncanakan untuk memenuhi risiko deteksi direncanakan
rendah, medium, atau tinggi.

2.9.4 Hubungan Antara Risiko dan Materialitas Dengan Bukti Audit


Konsep materialitas dan risiko dalam pengauditan berhubungan erat satu
sama lain dan tidak bisa dipisahkan. Risiko adalah pengukuran
ketidakpastian, sedangkan materialitas adalah pengukuran besarnya atau
30

ukurannya. Namun apabila keduanya digabungkan akan mengukur besaran


ketidakpastian dari suatu jumlah tertentu.

Gambar Hubungan antara Kesalahan Penyajian Bisa Ditoleransi


dan Risiko dengan Bukti Direncanakan

Berdasarkan gambar tersebut, terlihat bahwa kesalahan penyajian bisa


ditoleransi tidak mempengaruhi satu pun dari keempat risiko, dan risiko tidak
mempunyai pengaruh terhadap kesalahan penyajian bisa ditoleransi, namun
secara bersama-sama keduanya menentukan bukti yang direncanakan.
31

2.9.5 Merevisi Penilaian Risiko dan Bukti


Model risiko audit utamanya merupakan model perencanaan dan oleh
karena itu kegunaanya terbatas dalam mengevaluasi hasil. SA 315. 31
menyatakan bahwa penilaian risiko auditor atas risiko kesalahan penyajian
material dapat berubah selama pelaksanaan audit, sejalan dengan
diperolehnya bukti audit tambahan. Dalam kondisi ketika auditor memperoleh
bukti audit dari pelaksanaan prosedur audit lanjutan, atau ketika informasi
baru diperoleh, yang kedua bukti tersebut tidak konsisten dengan bukti audit
awal yang menjadi landasan penilaian, auditor harus merevisi penilaian
tersebut, dan oleh karena itu, memodifikasi prosedur audit lanjutan yang
direncanakan sebelumnya.
Audit harus cermat dalam memutuskan, berdasarkan bukti yang
terkumpul, apakah penetapan awal risiko pengendalian dan risiko inheren
telah dilakukan terlalu rendah, atau risiko audit bisa diterima telah ditetapkan
terlalu tinggi.. Dalam situasi demikian, auditor dapat melakukan 2 tahap
pendekatan yaitu :
1. Auditor harus merevisi penetapan awal risiko. Merupakan Tindakan
gegabah untuk membiarkan penetapan awal tidak diubah, padahal auditor
tahu bahwa penetapan tersebut tidak tepat.
2. Auditor harus mempertimbangkan pengaruh revisi terhadap bukti yang
diperlukan, tanpa menggunakan model risiko audit. Apabila risiko hasil
revisi digunakan dalam model risiko audit untuk menentukan risiko
deteksi yang telah direvisi, dikhawatirkan tidak terjadi penambahan bukti
yang mencukupi. Oleh karena itu, akan lebih baik apabila auditor
mengevaluasi dengan cermat implikasi dari revisi atas risiko dan
memodifikasi bukti dengan tepat, diluar penggunaan model risiko audit.

2.10 Risiko Signifikan

Risiko signifikan adalah suatu risiko kesalahan penyajian material yang


diidentifikasi dan dinilai yang , dalam pertimbangan auditor, memerlukan
pertimbangan audit khusus (SA 315. 4 (e)). Risiko signifikan sering berkaitan
32

dengan transaksi non-rutin yang signifikan atau hal-hal yang perlu


dipertimbangkan. Hal-hal yang memerlukan pertimbangan mencakup
penyusunan estimasi akuntansi yang didalamnya terkandung ketidakpastian
pengukuran yang signifikan. Kecil kemungkinannya transaksi rutin dan
nonkompleks yang harus melalui suatu pengolahan sistematis mengakibatkan
timbulnya risiko signifikan.

Risiko kesalahan penyajian material mungkin lebih besar untuk transaksi


nonrutin yang signifikan yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :

 Intervensi manajemen yang lebih besar dalam menentukan perlakuan


akuntansi
 Intervensi manual yang lebih besar dalam pengumpulan dan pengolahan
data
 Perhitungan atau prinsip akuntansi yang kompleks
 Sifat transaksi nonrutin yang dapat menyebabkan kesulitan bagi entitas
untuk mengimplementasikan pengendalian yang efektif terhadap risiko

Dalam melakukan pertimbangan atas penentuan suatu risiko sebagai risiko


yang signifikan, auditor harus mempertimbangkan paling tidak hal-hal
sebagai berikut :

1. Apakah risiko tersebut merupakan suatu risiko kecurangan


2. Apakah risiko tersebut terkait dengan pengembangan terkini yang
signifikan dalam bidang ekonomi, akuntansi, atau lainnya, dan oleh karena
itu, membutuhkan perhatian spesifik
3. Kompleksitas transaksi
4. Apakah risiko tersebut melibatkan transaksi signifikan dengan pihak
berelasi
5. Derajat subyektivitas dalam pengukuran informasi keuangan yang
berkaitan risiko, terutama pengukuran yang melibatkan ketidakpastian
pengukuran yang luas
6. Apakah risiko tersebut melibatkan transaksi signifikan yang terjadi di luar
kegiatan-kegiatan bisnis normal entitas, atau yang tampaknya tidak biasa.
33

Jika auditor telah menentukan bahwa terdapat suatu risiko signifikan,


auditor harus memperoleh suatu pemahaman tentang pengendalian entitas,
termasuk aktivitas pengendalian yang relevan dengan risiko tersebut.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas materialitas dalam


konteks penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka
pelaporan keuangan mungkin membahas materialitas dengan menggunakan
istilah yang berbeda-beda, kerangka tersebut secara umum menjelaskan
bahwa kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila
kesalahan penyajian tersebut, secara individual atau agregat, diperkirakan
dapat mempengaruhi keputusan ekonomi yang diambil berdasarkan laporan
keuangan oleh pengguna laporan keuangan tersebut.

Auditor menerima suatu tingkat risiko atau ketidakpastian dalam


pelaksanaan fungsi pengauditan. Auditor yang efektif mengakui tentang
adanya risiko dan mengelola risiko tersebut dengan cara yang tepat. Risiko
audit adalah ukuran tentang seberapa besar auditor bersedian untuk menerima
bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalahan penyajian material
setelah audit selesai dikerjakan dan memberinya pendapat wajar tanpa
pengecualian. Apabila auditor memutuskan uintuk menurunkan risiko audit,
hal itu berarti bahwa auditor ingin lebih pasti bahwa laporan keuangan tidak
mengandung kesalahan penyajian material.

34
DAFTAR PUSTAKA

Jusup, Haryono. 2014. AUDITING (Pengauditan Berbasis ISA):edisi 2.


Yogyakarta: Bagian Penerbitan Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN

35

Anda mungkin juga menyukai