Anda di halaman 1dari 8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kelestarian Hasil


Salah satu elemen yang paling penting dalam pengelolaan hutan adalah konsep
kelestarian hasil hutan (sustained yield forestry). Definisi kelestarian hasil hutan telah
mengalami perkembangan dan bervariasi dari negara yang satu ke negara lain. Pada
mulanya suatu hutan dianggap dimanfaatkan secara lestari bila tebangan tahunan atau
periodik tidak mengurangi kapasitas hasil dan bila setelah penebangan dilakukan di
seluruh kawasan hutan, potensi tegakan di lapangan tidak berkurang dibanding
dengan sebelum dilakukan penebangan (Simon 2000).
Menurut SCHULER (1984) diacu dalam Simon (2000) bahwa kelestarian hasil
hutan dititikberatkan pada hasil kayu yang hampir sama dari tahun ke tahun. Namun
menurut Hartig (1975) diacu dalam Simon (2000) menulis suatu instruksi untuk
pengaturan hutan bahwa untuk hutan negara, kayu yang boleh ditebang dari hutan
tidak boleh melebihi ketentuan pengelolaan yang baik dengan hasil permanen.
Sedangkan COTTA (1812) diacu dalam Simon (2000) mendefinisikan kelestarian
hasil hutan dengan ciri-ciri tercapainya hasil yang tertinggi, dengan biaya yang
terendah, dan mencukupi kebutuhan masyarakat.
Konsep kelestarian hasil hutan sekarang pada umumnya dianggap mempunyai
hubungan dengan lingkup yang lebih luas, menurut aspek ekologi maupun sosial
ekonomi suatu wilayah (Simon 2000).

2.2 Konsep Hutan Normal


Hutan normal dapat didefinisikan sebagai hutan yang dapat mencapai dan
menjaga ” derajat kesempurnaan” hutan untuk memenuhi ketentuan sesuai dengan
tujuan pengelolaan (OSMASTON 1968, diacu dalam Simon 2000). Secara ideal
hutan normal merupakan tebangan dengan persebaran kelas umur yang merata dan
riap yang maksimal. Tebangan tahunan atau periodik pada hakekatnya harus sama
dengan riap untuk jangka waktu yang bersangkutan. Dengan demikian hasil kayu
4

yang maksimal dapat diperoleh sepanjang waktu tanpa membahayakan hasil di masa
yang akan datang, dan oleh karena itu kelestarian hasil hutan dapat dipertahankan.

2.3 Kelas Perusahaan


Kelas perusahaan adalah nama dari suatu kesatuan pengusahaan hutan yang
diambil dari salah satu dari tiga kemungkinan yang dapat dipilih, yaitu : nama jenis
pohon atau hasil hutan utama lainnya yang diambil atau diusahakan, tujuan
penggunaan kayu yang dijadikan hasil utama atau sistem silvikultur utama yang
dipergunakan dalam suatu kesatuan pengusahaan dan diatur kelestarian hasilnya
(Suhendang et al. 2005).
KPH Bojonegoro ditetapkan sebagai kelas perusahaan Tebang Habis Jati,
dengan demikian setiap usaha penebangan habis harus selalu diikuti dengan usaha
penanaman kembali / permudaan. Oleh sebab itu, agar selalu diusahakan penanaman
kembali dengan menggunakan jenis tanaman pokok kelas perusahaan, yaitu jenis jati
dengan menggunakan bibit yang berkualitas tinggi (Perum Perhutani 2001). Untuk
tanah-tanah kosong yang kurang / tidak baik untuk jati dapat ditanami dengan jenis
lain yang sesuai untuk tempat tersebut. Pada lahan yang ditanami jenis kayu lain
setelah kondisi tanah meningkat lebih baik, maka tanaman kayu lain diganti dan
ditanami dengan jenis sesuai kelas perusahaannya.

2.4 Pembedaan Kelas Hutan


Kelas hutan adalah penggolongan kawasan hutan ke dalam kelas-kelas
berdasarkan aspek dan tujuan tertentu. Aspek yang digunakan dalam pembagian/
penggolongan kawasan hutan adalah kondisi fisik kawasan, kesesuaian lahan,
lingkungan dan vegetasi. Tujuan penggolongan kawsan hutan ke dalam kelas-kelas
hutan adalah untuk menentukan tindakan silvikultur yang perlu dilakukan pada tiap
kelas hutan (Perum Perhutani 1992).
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan No.
143/Kpts/Dj/I/1974 pengaturan kelestarian hutan memerlukan pemisahan hutan ke
dalam kelas hutan berdasarkan tujuan pengusahaannnya, yaitu bukan untuk produksi
5

dan untuk produksi. Kelas hutan bukan untuk produksi adalah kawasan hutan yang
karena berbagai-bagai sebab tidak dapat disediakan untuk penghasilan kayu dan/atau
hasil hutan lainnya, yang terdiri dari TBP (tak baik untuk penghasilan), LDTI
(lapangan dengan tujuan istimewa), SA/HW (suaka alam/hutan wisata), dan hutan
lindung. Kelas hutan untuk produksi merupakan lapangan-lapangan untuk
menghasilkan kayu dan/atau hasil hutan lainnya, yang terdiri dari kawasan untuk
produksi kayu jati dan bukan untuk produksi kayu jati. Kawasan yang baik untuk
produksi kayu jati, dibagi atas kawasan baik untuk perusahaan tebang habis dan tidak
baik untuk perusahaan tebang habis (TBPTH), sedangkan kawasan yang bukan untuk
produksi kayu jati, dibagi lagi atas kawasan tak baik untuk jati, tanaman jenis kayu
lain (TJKL), dan hutan lindung terbatas (HLT).
Kawasan yang baik untuk perusahaan tebang habis, dibagi ke dalam kawasan
produktif dan tidak produktif. Kawasan ditumbuhi dengan hutan jati produktif dibagi
lagi dalam kelas-kelas hutan yang didasarkan atas umur (kelas umur) dan keadaan
hutannya. Kelas umur I s/d XII (KU I s/d XII) yaitu semua hutan tanaman jati yang
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu dipisah-pisahkan ke dalam 12 kelas umur.
Masing-masing meliputi 10 tahun, sehingga hutan-hutan yang pada permulaan jangka
perusahaan berumur 1 sampai 10 tahun, dimasukkan ke dalam kelas umur ke I, hutan-
hutan yang berumur 11 s/d 20 tahun tergolong ke dalam kelas umur ke II, dst. Kelas
hutan masak tebang (MT) adalah tegakan-tegakan yang berumur 120 tahun atau lebih
dan baik, termasuk ke dalam ”masak tebang” (lengkapnya : sudah masak untuk
ditebang = sudah waktunya boleh ditebang). Batas umur tertinggi untuk kelas hutan
ini tidak ada dan keadaan hutan ini, demikian baiknya, hingga penebangannya dapat
ditunda dalam waktu yang agak lama dengan tidak menimbulkan kerugian apa-apa.
Untuk keperluan penetapan bonita, umurnya ditetapkan 120 tahun. Jika batang dan
tajuk pohon-pohon mempunyai banyak cacat-cacat itu seharusnya dimasukkan ke
dalam kelas hutan miskin riap. Kelas hutan miskin riap (MR) adalah semua hutan jati
yang berdasarkan keadaannya tidak memuaskan, yaitu tidak ada harapan mempunyai
riap yang cukup, dimasukkan ke dalam kelas hutan ”miskin riap”. Hutan-hutan
6

semacam itu perlu secepat mungkin ditebang habis dan diganti dengan tanaman jati
yang baru (Perum Perhutani 1974).
Kawasan yang termasuk kawasan tidak produktif, yaitu : lapangan tebang habis
jangka lampau (LTJL), tanah kosong (TK), hutan kayu lain (terdiri dari TKLdan
HAKL), dan hutan jati bertumbuhan kurang (terdiri dari TJBK dan HAJBK).

2.5 Bentuk Tebangan


Bentuk tebangan di dalam kelas perusahaan tebang habis jati, terdiri dari
tebangan A (tebangan habis biasa), tebangan B (tebangan habis lain), tebangan C
(tebangan habis hutan yang dihapuskan), tebangan D (tebangan lain), dan tebangan E
(tebangan penjarangan). Tebangan A adalah penebangan habis hutan produktif, yang
dibedakan atas A.1. Lelesan bidang tebang habis tahun lampau, A.2. Tebang habis
biasa pada jangka berjalan, yaitu penebangan habis pada kelas hutan produktif baik
kayu pokok maupun kayu lain dalam jangka berjalan, A.3. Tebang habis biasa pada
jangka berikut, yaitu lapangan-lapangan yang akan ditebang dalam jangka perusahaan
yang akan datang, A.4. Tebang jalur, yaitu tebang habis terbatas pada areal yang tidak
baik untuk tebang habis. Tujuan diadakannya bentuk tebangan A.1 dan A.3 adalah
untuk mempermudah pendaftaran rencana tanaman dan teresan di dalam jangka
perusahaan yang berjalan, sehingga dapat diketahui rencana penanaman pada
lapangan-lapangan yang ditebang habis dalam jangka berjalan (A.2). Lapangan yang
direncanakan diteres pada akhir jangka (khusus kelas perusahaan jati) diketahui akan
ditebang dalam jangka perusahaan yang berikutnya (A.3).
Tebangan B adalah penebangan habis dari kelas hutan tidak produktif yaitu
tanah kosong (TK) dan hutan bertumbuhan kurang (BK). Tebangan C yaitu
penebangan pada lapangan-lapangan yang pada permulaan jangka perusahaan telah
dihapuskan, juga dari lapangan-lapangan yang direncanakan pasti akan dihapus
dalam jangka berjalan. Bentuk tebangan ini meliputi bidang-bidang yang sesudah
ditebang tidak akan ditanami lagi.
Tebangan D terdiri dari D.1. tebangan pembersihan atau tebang limbah, adalah
penebangan pohon-pohon yang merana, condong dan rebah yang berada di hutan
7

alam, yang terdapat pada lapangan untuk tebang habis, maupun pada lapangan yang
tidak baik untuk tebang habis; D.2. tebangan tak tersangka, adalah penebangan yang
berasal dari lapangan-lapangan yang mengalami kerusakan akibat angin, bencana
alam atau akan dibuat jalan dan sebagainya, baik di dalam kawasan hutan maupun di
pekarangan dinas TPK atau tanah perusahaan; D.3. Tebangan pilih ialah penebangan
eksploitasi yang dilakukan secara selektif pada lapangan-lapangan yang tidak baik
untuk tebang habis. Sedangkan tebangan E ialah penebangan yang berasal dari
pemeliharaaan hutan-hutan yang dilakukan dengan jalan penjarangan. Hasil yang
diperoleh dari tebang penjarangan diartikan pula sebagai hasil pendahuluan .

2.6 Daur
Daur adalah jangka waktu antara saat penanaman hutan sampai dengan saat
pemungutan hasil akhir atau tebangan habis. Menurut Simon (2000) daur atau rotasi
adalah suatu periode dalam tahun yang diperlukan untuk menanam dan memelihara
suatu jenis pohon sampai mencapai umur yang dianggap masak untuk keperluan
tertentu. Istilah daur sebenarnya hanya dipakai untuk pengelolaan hutan tanaman
sama umur. Daur dibedakan menurut jangka waktu (lamanya) sebagai berikut :
Daur pendek : kurang dari 15 tahun
Daur menengah : 15 – 35 tahun
Daur panjang : > 40 tahun
Pada dasarnya daur yang digunakan adalah daur ekonomis/finansial karena
lebih sesuai dengan tujuan perusahaan. Dalam menetapkan daur juga
mempertimbangkan berbagai aspek lain sesuai kondisi sosial ekonomi daerah, tingkat
kerawanan sosial dan sebagainya. Pedoman umum daur kayu kelas perusahaan jati
adalah 40 – 80 tahun (Perum Perhutani 1992).
Timbulnya istilah daur tidak terlepas dari konsep hutan normal. Pada mulanya,
maksud konsep hutan normal adalah untuk menyajikan suatu patokan sebagai
pembanding keadaan hutan yang ada di lapangan untuk kepentingan pengelolaan
hutan berdasarkan azas kelestarian (MEYER et al. 1961 diacu dalam Simon 2000).
Idealnya, setiap tegakan dalam suatu hutan normal akan ditebang pada umur tertentu,
8

yaitu umur daur. Oleh karena itu penentuan panjang daur merupakan salah satu
keputusan kunci dalam pengelolaan hutan tanaman sama umur.
Adapun pertimbangan KPH Bojonegoro menggunakan daur 60 tahun dan umur
tebang minimum (UTM) 50 tahun adalah dengan memperhatikan struktur kelas hutan
produktif yang ada, kurang menguntungkan menggunakan daur lama (70 tahun dan
80 tahun); serta memperhatikan azas kelestarian hutan dan azas kelangsungan
produksi.

2.7 Pengaturan Hasil


Pengaturan hasil merupakan upaya untuk mengatur pemungutan hasil (panenan)
agar jumlah hasil yang dipungut setiap periode kurang lebih sama dan dapat
diusahakan meningkat secara berkesinambungan. Pengaturan hasil berintikan
penentuan etat. Etat didefinisikan sebagai besarnya porsi luas atau massa kayu atau
jumlah batang yang boleh dipungut setiap tahun selama jangka pengusahaan yang
menjamin kelestarian produksi dan sumberdaya (Departemen Kehutanan dan
Perkebunan Republik Indonesia 1999).
Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penetapan etat tebangan, antara
lain : etat volume tidak dibenarkan melebihi pertumbuhan tegakan (riap),
pemanfaatan semua jenis kayu komersial secara optimal, menjamin kelestarian
produksi dan kelestarian hutan, memperhatikan kebijaksanaan pemerintah di bidang
pengusahaan hutan, menjamin fungsi perlindungan hutan. Faktor yang mempengaruhi
etat tebangan, antara lain : sistem silvikultur yang digunakan, rotasi tebangan yang
digunakan, diameter minimum yang diijinkan untuk ditebang, luas areal berhutan
yang dapat dilakukan penebangan, massa tegakan, jenis pohon.
Pada dasarnya metode yang digunakan di dalam pengaturan hasil adalah metode
kombinasi etat luas dan etat volume berdasarkan SK Dirjen Kehutanan No.
143/Kpts/Dj/I/1974.
a) Penentuan Etat

Etat luas =

Keterangan : L = luas jenis kayu pokok yang dihasilkan dalam ha


9

D = daur (tahun)

Etat massa =

Keterangan : = massa kayu tegakan kelas umur pada UTR


= massa kayu hutan miskin riap
b) Umur Tebang Rata-rata (UTR) adalah umur rata-rata kelas perusahaan
ditambah setengah daur dari kelas perusahaan/bagian hutan yamg bersangkutan.
Cara perhitungan ini didasarkan pada anggapan bahwa rata-rata dari kelas hutan
yang ada akan mencapai umur tebang setelah jangka waktu setengah daur.

UTR = ū + ½ d
Keterangan : UTR = umur tebang rata-rata
d = daur
ū = umur rata-rata yang dihitung dengan rumus :

ū=

= luas areal tanaman ke-i


= umur tengah tanaman ke-i
i =1, 2, 3, …. Sampai tanaman terakhir dalam kelas
umur bersangkutan.
c) Pengujian Jangka Waktu Penebangan (cutting time test)
Hasil perhitungan etat tersebut perlu diuji. “ Cutting time test” adalah pengujian
terhadap kelestarian produksi selama daur berdasarkan luas tegakan produksi yang
ada serta berdasarkan potensi produksi dari masing-masing petak/anak petak.
Bilamana dalam pengujian kumulatif tahun-tahun penebangan selama daur dianggap
ada perbedaan nyata dengan daur yang telah ditetapkan, maka etat massa yang telah
didapat pada perhitungan pertama dikoreksi menjadi etat massa untuk diuji lagi pada
“cutting time test” berikutnya masih memberikan perbedaan lebih dari dua tahun, etat
yang telah dikoreksi kembali berturut-turut sampai perbedaan akhirnya maksimum 2
tahun.
10

2.8 Jangka Benah


Jangka benah ialah apabila kelas umur (KU), umur pada saat ditebang di bawah
umur tebang minimum yang telah ditetapkan. Jangka benah dilaksanakan agar setiap
kelas umur (KU), umur pada saat ditebang mencapai umur tebang minimum (Perum
Perhutani 2001). Dalam konsep kelestarian, jangka benah dilakukan untuk
membenahi kepincangan-kepincangan agar hutan dapat normal kembali.

2.9 Pengamanan Hutan


Pengamanan hutan bertujuan untuk mencegah terjadinya penyerobotan tanah
hutan, penebangan liar, penggembalaan liar, dan kebakaran hutan. Pengamanan hutan
guna menanggulangi adanya perambahan hutan dan pencurian hasil hutan dilakukan
secara rutin, khusus maupun terpadu dengan titik berat mencegah segala bentuk
pelanggaran yang berupa penebangan liar, perambah kawasan, dan perladangan
berpindah; pengangkutan, peredaran, penyelundupan, dan pencurian hasil hutan;
industri penggergajian kayu liar, kayu tebangan liar yang dilindungi oleh dokumen
sah, pemberian izin pengolahan kayu dan areal hutan yang tidak melalui prosedur,
pemilik modal yang membiayai usaha penebangan liar, serta penadah/pembeli kayu
liar. Perubahan potensi hutan akibat gangguan keamanan dan bencana alam antara
lain : pencurian, angin, kebakaran, tanaman gagal, dan hama penyakit (Departemen
Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia 1999).
Faktor utama yang menyebabkan timbulnya kemunduran potensi hutan jati di
Jawa adalah adanya kemiskinan di daerah pedesaan karena menurunnya rata-rata
pemilikan lahan pertanian dan meningkatnya angkatan kerja, sehingga menyebabkan
terjadinya tanaman gagal, penggembalaan ternak yang berlebihan di lahan hutan, dan
pencurian kayu (Simon 2000).

Anda mungkin juga menyukai