Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN

"TERMOREGULASI"
Dosen pengampuh: Mirtaati Na’ima, S.Si., M.Sc.

Disusun Oleh :

Nama : Fera Rahmawati

NIM : 2008086008

Kelas : Pendidikan Biologi 4A

Kelompok : 3 (Tiga)

Asprak : 1. Athiqotul Mizza

2. Erni Sulistiawati

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UIN WALISONGO SEMARANG

TAHUN 2022
ACARA KE-5

TERMOREGULASI

(Jum'at, 1 April 2022)

A. TUJUAN

1. Mengetahui pengaruh kenaikan suhu lingkungan terhadap suhu tubuh hewan poikiloterm

2. Mengetahui pengaruh penurunan suhu lingkungan terhadap suhu tubuh hewan


poikiloterm

B. DASAR TEORI

Setiap makhluk hidup mempunyai ciri-ciri antara lain bergerak, bernafas, makan, dan
berkembang biak. Ciri-ciri tersebut nampak karena ada sistem yang bekerja yang terjadi di
dalam tubuh makhluk hidup. Banyak sekali faktor dari luar tubuh yang bisa mempengaruhi
kondisi normal tubuh makhlukk hidup. Oleh karena itu setiap tubuh makhluk hidup akan
selalu menjaga kondisi homeostasis tubuhnya dengan berbagai macam cara, tergantung pada
jenis hewan dan lingkungan habitatnya. Sistem tubuh hewan akan bekerja untuk menjaga
kondisi homeostasisnya agar tetap dapat bertahan hidup.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kondisi homeostasis pada tubuh


satunya yaitu kerja dari tubuh, misal jalan, lari, dan loncat-loncat yang bisamempengaruhi
sistem respirasi, thermoregulasi dan sistem sirkulasi hewan. Kondisi homeostasis tubuh
hewan dapat dicapai dengan cara beradaptasi terhadap lingkungan. Homeostasis pada
umumnya merujuk pada ketahanan atau mekanisme pengaturan lingkungan kesetimbangan
dinamis dalam (badan organisme) yang konstan. Homeostasis merupakan salah satu konsep
yang paling penting dalam biologi sel.

Sedangkan thermoregulasi adalah kemampuan makhluk hidup untuk mempertahankan


panas tubuhnya sebagai bagian dari proses homeostasis. Keseimbangan antara kehilangan
panas dan produksi panas tubuh yang tujuannya adalah untuk mengontrol lingkungan suhu
netral dan meminimalkan energi (Lestari et al., 2014).

Berdasarkan kemampuannya untuk mempertahankan suhu tubuh, hewan dapat


diklasifikasikan menjadi dua yaitu : a. Hewan homoiterm Suhu tubuh hewan selalu konstan,
tidak berubah walaupun suhu lingkungannya berubah. b. Hewan poikiloterm Suhu tubuh
hewan yang selalu berubah seiring dengan berubahnya suhu lingkungan sekitarnya. ( Tim
Fisiologi Veteriner Unv. Brawijaya, 2010)
Dengan mengacu pada suatu variabel lingkungan tertentu, organisme dapat
dikelompokkan sebagai regulator (pengatur), yang mempertahankan lingkungan internal
yang mendekati konstan di atas kisaran kondisi eksternal, atau konformer (penyesuai), yang
membiarkan lingkungan internalnya bervariasi mengikuti variasi eksternal (Yustina dan
Darmadi, 2017). Oleh karena itu, berdasarkan pengaturan suhu tubuh, organisme dibedakan
menjadi thermoregulator dan thermoconformer.

Kemampuan dalam pengaturan termoregulasi ini hanya berlaku bagi hewan endotermik,
khususnya mamalia dan unggas. Amfibia dan reptilia umunya adalah hewan ektotermik
dengan laju metabolisme yang relatif rendah yang hanya sedikit berpengaruh pada suhu
tubuh normal (Yustina dan Darmadi, 2017). Pentingnya kemampuan dalam pengaturan suhu
tubuh seperti yang diutarakan oleh Lestari et al. (2014) yaitu untuk meminimalkan
penggunaan energi. Meskipun begitu, hewan konformer memiliki mekanisme sendiri dalam
mengatur suhu tubuhnya guna mempertahankan keberlangsungan hidunya, yaitu dengan
adaptasi perilaku (Yustina dan Darmadi, 2017). Meskipun memiliki cara yang berbeda dalam
pengaturan suhu tubuh, keduanya sama-sama bertujuan dalam mencapai kondisi seimbang
guna menunjang kelangsungan hidupnya. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah dalam
surah Al-Mulk ayat 3 yang berbunyi:

‫ط ْو ٍر‬ َ َ‫ار ِجعِ ْالب‬


ُ ُ‫ص َۙ َز ه َْل ت َٰزى ِم ْن ف‬ ٍ ۗ ‫الزحْ مٰ ِن ِم ْن ت َٰف ُو‬
ْ َ‫ت ف‬ َّ ‫ق‬ِ ‫ت ِطبَاقً ۗا َما ت َٰزى فِ ْي خ َْل‬
ٍ ‫سمٰ ٰو‬ ْ ‫الَّذ‬
َ َ‫ِي َخلَق‬
َ ‫س ْب َع‬

Artinya: “Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat
pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa Allah Yang Maha Pemurah telah
menciptakan sesuatu secara seimbang, tidak ada satu pun yang luput dari perhatian Allah
sehingga menjadi tidak seimbang. Seperti pada pengaturan suhu tubuh hewan regulator mau
pun konformer, keduanya berupaya dalam mencapai tujuan yaitu keseimbangan. Oleh karena
itu, praktikum ini penting untuk dilakukan sehingga kita dapat memahami terkait dengan
pengaturan dan perubahan suhu tubuh pada hewan serta diharapkan dengan adanya
praktikum termoregulasi merupakan wujud kita dalam mengkaji dan mempelajari
penciptaan-Nya serta dapat menambah keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah SWT.

C. METODE

1. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah: Bak plastik, Serok ikan, Gelas
beaker 2 L, 1 L, dan 250 mL, Timbangan analitik, Spidol besar, Kertas label,
Thermometer 2 buah, Hand counter, Papan tripleks ukuran 7x20 cm, Statif, Benang
kasur, dan Karet gelang
Sedangkan bahan yang diperlukan yaitu: Ikan mas/nila ukuran 7cm atau lebih,
Kodok (Bufo), Air panas, dan Es batu

2. Cara Kerja

 Thermoregulasi pada Amphibi (Kodok)

 Thermoregulasi pada Pisces (Ikan)


D. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil

 Tabel 1. Hasil Pengamatan Pada Amphibi (Kodok)

No. Jenis perlakuan (ukur) Hasil

1. Pengukuran suhu ruang 29 °C

2. Pengukuran suhu air es 28°C

3. Pengukuran suhu tubuh kodok 31 °C

 Tabel 2. Hasil Pengamatan Pada Pisces (Ikan)

No Perlakuan Menit 1 Menit 2 Menit 3

1. Air biasa + ikan (I) 129x (30 °C)

Air biasa + ikan + Air biasa (II) 129x (30 °C) 126x (30 °C) 113x (30 °C)

Air biasa + ikan + Air biasa (III) 111x (30°C) 129x (30 °C) 135x (30 °C)

2. Air biasa + ikan (I) 105x (30 °C)

Air biasa + ikan + Air Es (II) 94x (28 °C) 73x (28°C) 87x (28 °C)

Air biasa + ikan + Air Es (III) 94x (22 °C) 121x (22 ° C) 129x (22 °C)

3. Air biasa + ikan (I) 110x (30°C)

Air biasa + ikan + Air panas (II) 90x (32°C) 110x (32 °C) 130x (32°C)

Air biasa + ikan + Air panas (III) 90x (36°C) 100x (36°C) 130x (36 °C)

2. Pembahasan

Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan


suhu internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir. Proses yang terjadi pada
hewan untuk mengatur suhu tubuhnya agar tetap konstan dinamis. Mekanisme
Termoregulasi terjadi dengan mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan
pelepasan panas (Campbell, 2004).
Termoregulasi adalah proses fisiologis yang merupakan kegiatan integrasi dan
koordinas yang digunakan secara aktif untuk mempertahankan suhu inti tubuh melawan
perubahan suhu lingkungan yang dingin atau panas (Myers, 1984).

Dalam praktikum ini hewan yang kita gunakan yaitu hewan dari kelas Amphibi dan
pisces. Pada praktikum Thermoregulasi Amphibi (kodok) yaitu dengan mengukur suhu
ruang kosong pada gelas beaker, suhu pada gelas beaker yang di tambah air es, dan suhu
tubuh kodok. Dan hasil yang didapatkan yaitu pada pengukuran suhu ruang kosong
didapatkan suhu 29 °C, pada air es yaitu 28 °C, dan suhu tubuh kodok yaitu 31°C.

Selanjutnya untuk praktikum Thermoregulasi pada pisces yaitu dengan menyiapkan


3 buah gelas beaker ukuran 250 ml dan masinng - masing gelas diisi dengan air biasa dan
ikan. Berdasarkan hasil yang didapat berikut penjelasan dari masing-masing data. Pada
gelas 1, 2, dan 3 dengan suhu 30°C didapatkan hasil hitung dari operkulum pada ikan
selama 1 menit yaitu pada gelas beaker 1 sebanyak 129 kali, pada gelas beaker 2
sebanyak 105 kali, dan pada gelas beaker 3 sebanyak 110 kali.

Setelah itu pada gelas beaker 1 ditambah dengan 100 ml air biasa dengan suhu
30°C, dan dilakukan perhitungan operkulum sebanyak 3 kali per 1 menit, pada menit
pertama bergerak sebanyak 129 kali, menit ke 2 sebanyak 126 kali, dan dimenit ke 3
sebanyak 113 kali. Lalu pada gelas beaker 2 ditambah 100 ml air es dengan suhu 28 °C
dan dilakukan perhitungan operkulum sebanyak 3 kali per 1 menit, pada menit 1bergerak
sebanyak 94 kali, pada menit 2 sebanyak 73 kali, dan pada menit 3 sebanyak 87 kali.
Dan pada gelas beaker 3 ditambah dengan 100 ml air panas dengan suhu 32 °C dan
dilakukan perhitungan operkulum sebanyak 3 kali per 1 menit, pada menit 1 bergerak
sebanyak 90 kal, pada menit 2 sebanyak 110 kali, dan pada menit 3 sebanyak 130.

Lalu dilakukan pengulangan perlakuan yaitu pada gelas beaker 1 ditambah lagi
dengan 100 ml air biasa dengan suhu 30°C dan dilakukan perhitungan operkulum
sebanyak 3 kali per 1 menit, pada menit 1 bergerak sebanyak 111 kali, pada menit 2
sebanyak 129 kali, dan pada menit 3 sebanyak 135 kali. Lalu pada gelas beaker 2
ditambah lagi dengan 100 ml air es dengan suhu 22 °C dan dilakukan perhitungan
operkulum sebanyak 3 kali per 1 menitmenit, pada menit 1bergerak sebanyak 94 kali,
pada menit 2 bergerak 121 kali, dan pada menit 3 bergerak 129 kali. Dan pada gelas
beaker 3 ditambah lagi dengan 100 ml air panas dengan suhu 36 °C dan dilakukan
perhitungan operkulum sebanyak 3 kali per 1 menit, pada menit 1bergerak sebanyak 90
kali, pada menit 2 sebanyak 100 kali, dan pad menit ke 3 sebanyak 130 kali.

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada praktikum ini, menunjukkan bahwa suhu
lingkungan itu sangat berpengaruh pada suhu tubuh dan perilaku pada Kodok dan ikan.
Karena kodok dan ikan merupakan hewan berdarah dingin (poikiloterm), yang mana
memiliki suhu tubuh yang berubah sesuai dengan lingkungan.
Organisme dikelompokkan menjadi 2 berdaskan kemampuannya dalam meregulasi
suhu tubuh yaitu poikiloterm dan homokioterm. Pernyataan ini sesuai dengan Yustina
dan Darmadi (2017) dengan mengacu pada suatu variabel lingkungan tertentu, organisme
dapat dikelompokkan sebagai regulator (pengatur), yang mempertahankan lingkungan
internal yang mendekati konstan di atas kisaran kondisi eksternal, atau konformer
(penyesuai), yang membiarkan lingkungan internalnya bervariasi mengikuti variasi
eksternal. Hewan berdarah dingin (poikiloterm) di antaranya yaitu avertebrata, dan
sebagian vertebrata (amphibi, reptile, dan pisces). Menurut Taylor et al., (2020) sebagai
ektoterm, amfibi sensitif terhadap efek suhu lingkungan, terutama mengingat bahwa
lingkungan mereka (dan dengan demikian, suhu tubuh) biasanya mengalami fluktuasi
termal yang dramatis setiap hari, musiman, dan stokastik. Dengan demikian, plastisitas
perilaku dan kemampuan untuk bergerak mencari habitat yang sesuai secara termal
adalah strategi penting yang digunakan untuk menyangga fluktuasi iklim.

Seperti halnya organisme ektotermik, suhu tubuh amfibi dan pisces sangat
bergantung pada kondisi termal ambient yang lazim, yang dieksplorasi terutama melalui
penyesuaian perilaku. Laju metabolismenya jauh lebih rendah daripada vertebrata
endotermik berukuran serupa. Seperti halnya organisme ektotermik lainnya, metabolisme
amfibi dan pisces biasanya meningkat dengan suhu tubuh untuk kisaran suhu dalam batas
toleransi termal mereka. Di luar batas tersebut, erosi fungsional akan terjadi dan
mengganggu hubungan antara fungsi fisiologis dan suhu (Andrade, 2016).

Kisaran suhu optimum bagi amfibia sangat bervariasi seiring dengan variasi spesies.
Amfibia menghasilkan panas sangat sedikit, dan sebagian besar dari mereka kehilangan
panas dengan sangat cepat melalui evaporasi dari permukaan tubuhnya, sehingga hewan
tersebut sangat sulit untuk mengontrol suhu tubuh. Akan tetapi, adaptasi perilaku
memungkinkan amfibia untuk mempertahankan suhu tubuhnya di dalam suatu kisaran
yang memuaskan selama sebagian besar waktu, misalnya dengan cara berpindah ke
lokasi di mana panas matahari tersedia atau ke dalam air. Ketika sekelilingnya terlalu
panas, hewan akan mencari lingkungan yang lebih sejuk, seperti daerah teduh. Beberapa
amfibia seperti bullfrog, dapat memvariasikan jumlah mukus yang disekresikan dari
permukaannya, yang merupakan suatu respons fisiologis yang mengatur pendinginan
melalui evaporasi (Yustina dan Darmadi, 2017).

Hewan Poikiloterm meskipun bergantung pada suhu lingkungan, tetapi sebenarnya


masih menghasilkan panas secara internal. Menurut Andrade, (2016) kesalahpahaman
yang relatif sering tentang atribut organisme ektotermik adalah keyakinan salah bahwa
mereka tidak menghasilkan panas. Dengan kata lain, hanya endoterm sejati yang mampu
melakukan termogenesis. Faktanya, selama organisme hidup dan energi diubah dari satu
bentuk ke bentuk lainnya, sebagian energi ini akan hilang sebagai panas. Oleh karena itu,
amfibi dan reptil menghasilkan panas sepanjang waktu, tetapi karena tingkat metabolisme
mereka biasanya lebih rendah daripada endotermik, jumlah panas yang diturunkan secara
metabolik, dalam banyak kasus, dapat diabaikan untuk pengaturan suhu tubuh mereka.
Artinya, dalam kondisi biasa, suhu tubuh amfibi dan pisces adalah sebagian besar
ditentukan oleh ketersediaan relung termal di lingkungan.

E. KESIMPULAN

Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa:

Termoregulasi adalah suatu mekanisme makhluk hidup untuk mempertahankan suhu


internal agar berada di dalam kisaran yang dapat ditolelir. Proses yang terjadi pada hewan
untuk mengatur suhu tubuhnya agar tetap konstan dinamis. Mekanisme Termoregulasi terjadi
dengan mengatur keseimbangan antara perolehan panas dengan pelepasan.

Berdasarkan hasil yang didapatkan pada praktikum ini, menunjukkan bahwa suhu
lingkungan itu sangat berpengaruh pada suhu tubuh dan perilaku pada Kodok dan ikan.
Karena kodok dan ikan merupakan hewan berdarah dingin (poikiloterm), yang mana
memiliki suhu tubuh yang berubah sesuai dengan lingkungan.

Hewan Poikiloterm meskipun bergantung pada suhu lingkungan, tetapi sebenarnya


masih menghasilkan panas secara internal

F. DAFTAR PUSTAKA

Campbell, N. A. 2004. Biologi. Edisi kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga

De Andrade, D. V. 2016. Temperature effects on the metabolism of amphibians and reptiles:


Caveats and recommendations. Amphibian and Reptile Adaptations to the Environment.
Taylor & Francis.

Dewi, N. L. P. G. P., Yuni, L. P. E. K., & Suaskara, I. B. M. 2020. Aktivitas harian kadal
Eutropis multifasciata pada habitat kebun di dataran rendah di Desa Peguyangan,
Denpasar , Bali. Bali: Jurnal Biologi Udayana, 24(2).

Isnaeni, Wiwi. 2006. Fisiologi Hewan. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Lestari, S. A., Septiwi, C., & Iswati, N. 2014. Pengaruh perawatan metode
kanguru/kangaroo mother care terhadap stabilitas suhu tubuh bayi berat lahir rendah
di ruang peristi RSUD Kebumen. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 10(3).

Merta, I. W., Syachruddin, A. R., Bachtiar, I., & Kusmiyati. 2016. Perbandingan antara
frekwensi denyut jantung katak (Rana sp.) dengan frekwensi denyut jantung mencit
(Mus musculus) berdasarkan ruang jantung. Biota, 1(3).
Mokhatla, M., Measey, J., & Smit, B. 2019. The role of ambient temperature and body mass
on body temperature, standard metabolic rate and evaporative water loss in southern
African anurans of different habitat specialisation .

Mota-Rojas, D., Titto, C. G., Orihuela, A., Martínez-Burnes, J., Gómez-Prado, J.,
TorresBernal, F., Flores-Padilla, K., Carvajal-de la Fuente, V., & Wang, D. 2021.
Physiological and behavioral mechanisms of thermoregulation in mammals. Animals,
11(6).

Qisthon, A., & Suharyati, S. 2007. Pengaruh naungan terhadap respons termoregulasi dan
produktivitas kambing peranakan ettawa. Majalah Ilmiah Peternakan, 10(1).

Swenson, GM. 1997. Dules Physiology or Domestic Animals. Publishing Co. Inc : USA.

Taylor, E. N., Diele‐Viegas, L. M., Gangloff, E. J., Hall, J. M., Halpern, B., Massey, M. D.,
Rödder, D., Rollilnson, N., Spears, S., Sun, B-j., & Telemeco, R. S. 2020. The thermal
ecology and physiology of reptiles and amphibians: A user’s guide. Journal of
Experimental Zoology Part A: Ecological and Integrative Physiology.

Tracy, C. R., Christian, K. A., & Tracy, C. R. (2010). Not just small, wet, and cold: effects of
body size and skin resistance on thermoregulation and arboreality of frogs. Ecology,
91(5).

Yustina, & Darmadi. (2017). Buku Ajar Fisiologi Hewan. Riau: rogram Studi Pendidikan
Biologi FKIP Universitas Riau
LAMPIRAN

 Gambar Praktikum Thermoregulasi pada Kodok

 Gambar Praktikum Thermoregulasi Ikan


 Lapsem Thermoregulasi kelompok 3

Anda mungkin juga menyukai