Anda di halaman 1dari 26

BAB III

TERJADINYA KONTRAK

A. TITIK TAUT TERJADINYA KONTRAK.


Jika terjadi persesuaian atau bertemu kehendak bebas para pihak, maka
pada saat itulah terjadnya titik taut kontrak artinya dalam keadaan dan situasi yang
bagaimana titik taut tersebut dapat tercapai. Dalam praktek Kontrak titik taut
tersebut dapat tercapai yang sebelumnya dilakukan berbagai macam negosiasi atau
perundingan, tapi dalam Kontrak Baku titik taut akan terjadi setelah salah satu
pihak setuju dengan isi klausul yang tersebut dalam kontrak tersebut.
Saat atau momentum terjadinya titik taut Kontrak ini telah mengalami
perkembangan jika dikaitkan dengan kemajuan Teknologi Informasi (TI). Yang
sekarang ini suatu transaksi atau negosiasi dapat dilakukan via internet113
(misalnya dengan istilah belanja online)114 atau perundingan dengan teleconfrence,
bahkan penandatanganan perjanjian dapat dilakukan secara digital115 dan para

113
Transaksi bisnis melalui system elektronik (electronic commerce)
dapat diartikan sebagai berikut :
a. Electronic Commerce is a dynamic set of technologies, and business that link
enterprises, and communities through electronic transactions and the
electronic exchange of goods, services, and informatoins (David Baum,
Business Links, Oracle Magazines, No. 3, Vol. XIII, May/June, 1999, hal. 36 –
44).
b. Electronic Commerce is an emerging concept that describes the buying and
selling of products, services and information via computer network, including
the internet (E. Turban., E. Mclean, J. Wetherbe, Information Technology For
Management, 2nd edition, John Wiley and Sons, 1999, hal. 211.
c. The conduct of commerce of goods and services, with the assistance of
telecommunications and telecommunications – based tools (Roger Clark,
Electronic Commerce, Definitions, 1999/2000. http :
//www.anu.edu.au/people/Roger.Clarke/EC/ECDefns. html.)
114
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, disebutkan bahwa permasalahan yang
lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik untuk
kegiatan perdagangan melalui system elektronik (electronic commerce) telah
menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional..
115
Pasal 1 angka 12 dan 13 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008
tersebut menegaskan bahwa yang dimaksud dengan :
1. Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi
Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi
Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi autentifikasi.
2. Penanda Tangan adalah subjek Hukum yang terasosiasi atau terkait dengan
Tanda Tangan Elektronik.

Page - 94 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
pihak tidak pernah secara fisik. Perkembangan seperti itu telah diantisipasi dengan
telah diterbitkannya tentang Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik, dan hasil negosiasi tersebut sebagai
Dokumen Elektronik, ontohnya seperti tersebut dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2)
menegaskan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau
hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah, alat bukti tersebut
merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
Meskipun teori yang konvensional tentang terjadinya titik taut Kontrak
seperti Teori Ucapan, Teori Pengiriman, Teori Diketahuinya Penawaran Disetujui,
Teori Penerimaan, Teori Sepatutnya Offerte Disetujui, masih tetap dipergunakan,
tapi sesuai dengan perkembangan zaman maka teori-teori semacam ini harus
diberikan tafsir baru.
Adanya Konsensus diantara para pihak merupakan saat atau momentum
ataupun titik taut terjadinya Kontrak (Pasal 1320 KUHPerdata). Secara sederhana
hal tersebut dapat terjadi dalam bentuk ucapan ataupun gerakan tangan atau badan
yang menyiratkan suatu bentuk konsensus116.

116
-Keharusan tercapainya kesepakatan (agreement) pada para pihak yang
berkontrak bukan hanya monopoli persyaratan ketentuan hukum Indonesia, tapi
juga merupakan persyaratan yang berlaku secara universal dalam ketentuan hukum
Negara-negara lain. Kesepakatan, yang merupakan pertemuan antara penawaran
(offer) pihak yang mengajukan penawaran (offeror) dan penerimaan (acceptance)
oleh pihak yang menjadi tujuan penawaran (offeree) merupakan dasar dari
timbulnya kewajiban di saru sisi dan hak di sisi lain yang harus dipenuhi oleh para
pihak yang berkontrak.
-Berbeda dengan Pasal 1320 KUHPerdata yang meletakkan agreement (yang
sebenarnya merupakan hasil pertemuan antara offer dan acceptance) sebagai salah
satu dari 4 (empat) syarat fundamental pembuatan kontrak yang sah, Common Law
tidak langsung meletakkan agreement sebagai salah satu dasar yang harus dipenuhi
dalam penciptaan kontrak yang benar. Common Law lebih meletakkan unsure-
unsur dari terjadinya agreement tersebut (offer dan acceptance) sebagai persyaratan
pembentukan kontrak yang sah. Walaupun tata cara peletakkannya berbeda, akan
tetapi artinya tetap sama; pertemuan antara penawaran dan penerimaan akan tetap
menghasilkan kesepakatan seperti yang dimaksudkan sebagai salah satu syarat dari
sahnya suatu kontrak yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Ricardo
Simanjuntak. op cit., hal. 124 – 125.

Page - 95 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Terjadinya Konsensus tersebut dapat ditinjau dari beberpa teori, antara
lain117 :
1. Teori Pernyataan (Uitingstheorie).
Menurut teori pernyataan, kesepakatan (toesteming) terjadi pada saat pihak
yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu.
Jadi, dilihat dari pihak yang menerima, yaitu pada saat baru menjatuhkan
ballpoint untuk menyatakan menerima, kesepakatan sudah terjadi. Kelemahan
teori ini adalah sangat teoretis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara
otomatis.
2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie).
Menurut teori pengiriman, kesepakatan terjadi apabila pihak yang menerima
penawaran mengirimkan telegram. Kritik terhadap teori ini, bagaimana hal itu
bisa diketahui. Bisa saja, walau sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak
yang menawarkan. Teori ini juga sangat teoretis, dianggap terjadinya
kesepakatan secara otomatis.
3. Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Teori pengetahuan berpendapat bahwa kesepakatan terjadi apabila pihak yang
menawarkan mengetahui adanya acceptatie (penerimaan), tetapi penerimaan itu
belum diterimanya (tidak diketahui secara langsung). Kritik terhadap teori ini,
bagaimana ia mengetahuinya isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.
4. Teori Penerimaan (Ontvangstheorie)
Menurut teori penerimaan bahwa toesteming terjadi pada saat pihak yang
menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

B. BENTUK-BENTUK KONTRAK
Menurut George Whitecross Patton118 alat bukti dapat berupa oral (words
spoken by a witness in court) dan documentary (the production of a admissible
documents) atau material (the production of a physical res other than a

117
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan Bagian B, Seksi
Hukum Perdata, Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1980, hal.
20-21; Sudikno Mertokusumo, Rangkuman Kuliah Hukum Perdata, Fakultas
Pascasarjana Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, 1987, hal. 15 dalam Salim
H.S., op cit., hal. 40 -41..
118
George Whitecross Patton, A Text-Book of Jurisprudence,
Oxford at the Clarendon Press, second edition, 1953, hal. 481.

Page - 96 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
document). Alat bukti yang sah atau diterima dalam suatu perkara (perdata), pada
dasarnya terdiri dari ucapan dalam bentuk keterangan saksi-saksi, pengakuan,
sumpah dan tertulis dapat berupa tulisan-tulisan yang mempunyai nilai pembuktian.
Dalam perkembangan alat bukti sekarang ini (untuk perkara pidana juga perdata)
telah pula diterima alat bukti elektronis atau yang terekam atau yang disimpan
secara elektronis sebagai alat bukti yang sah dalam persidangan pengadilan.
Bahwa kontrak dibuat dengan maksud sebagai alat bukti untuk para pihak,
dan pihak lainnya, sehingga jikalau terjadi sengketa, maka kontrak tersebut sebagai
alat bukti yang akan menjadi patokan untuk menyelesaikan sengketa yang
bersangkutan.
Kontrak sebagai alat bukti, harus sesuai dengan bentuk-bentuk Kontrak
merupakan formalitas tertentu dari Kontrak, baik yang lisan maupun yang tertulis
mempunyai bentuk atau tata cara yang disepakati sebelumnya atau berdasarkan
hukum atau kebiasaan setempat.

Page - 97 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Secara umum Kontrak dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
tertulis dan lisan119. Kontrak tertulis dibuat dengan menggunakan media tulisan
yang lazim digunakan dalam komunikasi antar sesama manusia. Dan kontrak

119
Kontrak (lisan atau tertulis) dimaksudkan sebagai alat bukti untuk para
pihak yang bersangkutan atau pihak lain yang berkepentingan. Dalam kaitan sangat
menarik pendapat dari M. Yahya Harahap, saya kutipkan sebagai berikut “Hukum
Pembuktian (law of evidence) dalam berperkara merupakan bagian yang sangat
kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena
pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekontruksi kejadian atau
peristiwa masa lalu (past even) sebagai suatu kebenaran (truth). Meskipun
kebenbaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata, bukan
kebenaran yang bersifat absolute (ultimate truth), tetapi bersifat kebenaran
relative atau bahkan cukup bersifat kemungkinan (probable), namun untuk
mencari kebenaran yang demikian pun, tetap menghadapi kesulitan (John J.
Cound, cs. Civil Procedure : Case & Material, West Publishing, St. Paul Minn,
1985, hal. 867). Kesulitan menemukan dan mewujudkan kebenaran, terutama
disebabkan beberapa factor :
 Pertama, faktor sistem adversial (adversial system). Sistem ini mengharuskan
memberi hak yang sama kepada para pihak yang berperkara untuk saling
mengajukan kebenaran masing-masing, serta mempunyai hak untuk saling
membantah kebenaran yang diajukan pihak lawan sesuai dengan proses
adversial (adversial proccedimg).
 Kedua, pada prinsipnya, kedudukan hakim dalam proses pembuktian sesuai
dengan sistem adversial adalah lemah dan pasif. Tidak aktif mencari dan
menemukan kebenaran di luar apa yang diajukan dan disampaikan para
pihak dalam persidangan. Kedudukan hakim dalam proses perdata seseuai
sistem adversial atau kontetiosa tidak boleh melangkah kea rah sistem
inkuisitorial (inquisitorial system). Hakim perdata dalam menjalankan fungsi
kebenaran, dihalangi oleh berbagai tembok pembatasan. Misalnya tidak bebas
memiluh sesuatu apabila hakim dihadapkan dengan alat bukti yang sempurna
dan mengikat (akta otentik, pengakuan atau sumpah). Dalam hal itu,
sekalipun kebenarannya diragukan, hakim tidak mempunyai kebebasan untuk
menilainya (Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987,
hal. 9).
 Ketiga, mencari dan menemukan kebenaran semakin lemah dan sulit,
disebabkan fakta dan bukti yang diajukan para pihak tidak dianalisis dan
dinilai oleh ahli (not analyzed and appraised by experts)
Terkadang bukti keterangan yang disampaikan saksi penuh emosi atau
prasangka (hunch) yang berlebihan. Bahkan dalam kenyataan, kebenaran yang
dikemukakan dalam alat bukti, sering mengandung dan melekat unsur :
1) dugaan dan prasangka,
2) faktor kebohongan, dan
3) unsur kepalsuan.
Akibat keadaan ini, dalam putusan yang dijatuhkan hakim tidak terkandung
kebenaran hakiki, tetapi kebenaran yang mengandung prasangka, kebohongan
dan kepalsuan“. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika,
Jakarta, 2006, hal. 496 – 497.

Page - 98 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
tertulis hanya didasarkan pada kesepakatan lisan. Dalam kontrak seperti ini
kejujuran para pihak sangat diutamakan, baik dalam pelaksanaannya ataupun ketika
terjadi sengketa.
Kontrak dalam bentuk tertulis dapat dibedakan dari segi atau tata cara
pembuatannya, yaitu :
1. Dibuat di bawah tangan, artinya Kontrak dibuat oleh para pihak sendiri.
2. Dibuat di hadapan Notaris (atau dengan akta Notaris), artinya para pihak datang
ke hadapan Notaris, agar keinginannya dituangkan ke dalam bentuk akta
Notaris.
Untuk Kontrak atau perjanjian yang dibuat dibawah tangan atau sering
disebut juga sebagai akta di bawah tangan, untuk Kontrak seperti ini dapat
dilakukan 2 (dua) tindakan, yaitu :
1. -Kontrak atau perjanjian dibawah tangan yang dilegalisasi, - artinya Kontrak
dibuat oleh para pihak sendiri, kemudian dibawa ke hadapan Notaris, dan oleh
Notaris yang bersangkutan akan dibacakan dan dijelaskan kepada pihak tersebut,
selanjutnya para pihak menandatanganinya di hadapan Notaris. Setelah selesai
ditandatangani, maka Notaris akan mencatat/membukukan Legalisasi tersebut
dan ditandatangani oleh Notaris yang bersangkutan.
-Fungsi Legalisasi ini hanya untuk membenarkan bahwa Kontrak tersebut telah
dijelaskan/dibacakan dan ditandatangani di hadapan Notaris. Jika ada pihak
yang ingin mengingkarinya atau Kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan hal
tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, dan substansi Kontrak ditentukan
oleh para pihak sendiri. Dan Notaris tidak terlibat apapun di dalamnya.
2. -Kontrak atau perjanjian dibawah tangan yang dibukukan (waarkmerking), -
artinya Kontrak dibuat oleh para pihak sendiri, dan dibaca, ditandatangani oleh
para pihak sendiri tidak di hadapan Notaris. Kemudian oleh para pihak Kontrak
tersebut dibawa kepada Notaris untuk dibukukan dan ditandatangani dan
distempel oleh Notaris.
-Fungsi waarkmerking ini hanya untuk mencatatkan saja, dengan maksud bahwa
Kontrak yang dimaksud memang pernah dibuat oleh para pihak yang dicatatkan
kepada Notaris. Jika ada pihak yang ingin mengingkarinya (misalnya
tandatangannya) atau Kontrak tersebut tidak dapat dilaksanakan hal tersebut
menjadi urusan para pihak sendiri, dan substansi Kontrak ditentukan oleh para
pihak sendiri. Dan Notaris tidak terlibat apapun di dalamnya.

Page - 99 -
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Dalam Hukum (Acara) Perdata. alat bukti yang sah atau yang diakui oleh
hukum, terdiri dari120 :
a. bukti tulisan;
b. bukti dengan saksi-saksi;
c. persangkaan-persangkaan;
d. pengakuan;
e. sumpah.
Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik
maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan121. Tulisan-tulisan otentik berupa
akta otentik, yang dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan oleh undang-undang,
dibuat di hadapan pejabat-pejabat (pegawai umum) yang diberi wewenang dan di
tempat dimana akta tersebut dibuat122. Akta otentik tidak saja dapat dibuat oleh
Notaris, tapi juga oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) 123. Pejabat Lelang
dan Pegawai Kantor Catatan Sipil. Tulisan dibawah tangan atau disebut juga akta
dibawah tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang,
tanpa perantara atau tidak di hadapan Pejabat Umum yang berwenang124. Baik
akta otentik maupun akta di bawah tangan dibuat dengan tujuan untuk
dipergunakan sebagai alat bukti. Dalam kenyataan ada tulisan yang dibuat tidak
dengan tujuan sebagai alat bukti, tapi dapat dipergunakan sebagai alat bukti, jika
hal seperti ini terjadi agar mempunyai nilai pembuktian harus dikaitkan atau
didukung dengan alat bukti yang lainnya. Perbedaan yang penting antara kedua
jenis akta tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik mempunyai

120
Pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285 – 305 Rbg, S. 1867 nomor
29, Pasal 1867 – 1894 B.W. Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik
Indonesia, dengan Putusan tanggal 10 April 1957, nomor 213 K/Sip/1955, bahwa
penglihatan hakim dalam persidangan atas alat bukti tersebut, adalah merupakan
pengetahuan hakim sendiri yang merupakan usaha pembuktian. M. Ali
Boediarto, Kompilasi Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung, Hukum
Acara Perdata Setengah Abad, Swa Justitia, Jakarta, 2005. hal. 157.
121
Pasal 1867 KUHPerdata.
122
Pasal 1868 KUHPerdata.
123
Akta PPAT dikategorikan sebagai akta otentik, meskipun sampai
saat ini belum ada perintah undang-undang yang mengatur mengenai Akta PPAT.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, putusan tanggal 22 Maret
1972, nomor 937 K/Sip/1970, bahwa akta jual beli tanah yang dilaksanakan di
hadapan PPAT dianggap sebagai bukti surat yang mempunyai kekuatan bukti
sempurna, M. Ali Boediarto, op cit, hal. 146.
124
Pasal 1874 KUHPerdata.

Page - 100
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
pembuktian yang sempurna. Kesempurnaan akta Notaris sebagai alat bukti, maka
akta tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, selain
yang tertulis dalam akta tersebut. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan
pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari
salah satu pihak125, jika para pihak mengakuinya, maka akta dibawah tangan
tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna sebagaimana akta
otentik126, jika ada salah satu pihak tidak mengakuinya, beban pembuktian
diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut, dan penilaian
penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim127. Baik alat bukti akta
di bawah tangan maupun akta otentik keduanya harus memenuhi rumusan
mengenai sahnya suatu perjanjian berdasarkan Pasal 1320 BW, dan secara materil
mengikat para pihak yang membuatnya (Pasal 1338 BW) sebagai suatu perjanjian
yang harus ditepati oleh para pihak (pacta sunt servanda).

125
Sebagai contoh Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
nomor 775 K/Sip/1971, tanggal 6 Oktober 1971, menegaskan bahwa surat (surat
jual beli) yang diajukan dalam persidangan , kemudian disangkal oleh pihak lawan,
dan tidak dikuatkan dengan alat bukti lainnya, maka surat (jual beli tanah) tersebut
dinilai sebagai alat bukti yang lemah dan belum sempurna. M. Ali Boediarto, op
cit., hal. 145.
126
Pasal 1875 KUHPerdata.
127
Peradilan Perdata di Indonesia menganut sistem hukum pembuktian
berdasar pada asas negatif wettelijk bewijsleer. Hal ini terlihat dalam Pasal 249 jo
298 H.I.R. dan tidak memakai sistem vrij bewijsleer yang menitikberatkan pada
keyakinan hakim belaka. Hal ini dilarang oleh undang-undang (Putusan
Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 583 K/Sip/1970, tanggal 10
Pebruari1971), M. Ali Boediarto, op cit., hal. 136.

Page - 101
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Tabel : Akta Dibawah Tangan dan Akta Notaris

Keterangan Akta Dibawah Tangan Akta Notaris

Bentuk Dibuat dalam bentuk yang Dibuat dalam bentuk yang


tidak ditentukan oleh undang- sudah ditentukan oleh
undang, tanpa perantara atau undang-undang (Pasal 38
tidak di hadapan Pejabat UUJN), dibuat di hadapan
Umum yang berwenang. pejabat-pejabat (pegawai
umum) yang diberi wewenang
dan di tempat dimana akta
tersebut dibuat.

Kekuatan/ -Mempunyai kekuatan pem- Mempunyai pembuktian yang


nilai buktian sepanjang para pihak sempurna. Kesempurnaan akta
pembuktian mengakuinya atau tidak ada Notaris sebagai alat bukti,
penyangkalan dari salah satu maka akta tersebut harus
pihak dilihat apa adanya, tidak perlu
-Jika ada salah satu pihak tidak dinilai atau ditafsirkan lain,
mengakuinya, beban selain yang tertulis dalam akta
pembuktian diserahkan tersebut.
kepada pihak yang
menyangkal akta tersebut,
dan penilaian pe-nyangkalan
atas bukti tersebut diserahkan
kepada hakim

C. KONTRAK DENGAN SYARAT BAKU


Pada dasarnya Kontrak dibuat merupakan implementasi dari asas
kebebasan berkontrak di antara dua pihak, para pihak yang membuat kontrak
mempunyai kedudukan yang seimbang untuk mencapai kesepakatan yang
diperlukan sehingga Kontrak dapat berjalan sesuai keinginan para pihak.
Perkembangan selanjutnya dalam pembuatan Kontrak telah mengalami
pembatasan-pembatasan dari Negara dan juga berdasarkan putusan pengadilan,
yang bermaksud agar kebebasan berkontrak tidak disalahgunakan sebagai
perbuatan para pihak yang tanpa batas. Pembatasan berkontrak ini mempunyai
peneguhan setelah diperkenalkannya Perjanjian Baku ("standardized agreement",
"standardized contract", "standard contract", dan "contract of adhesion"),
sehingga bagi pihak lainnya kebebasan berkontrak yang tinggal hanyalah berupa

Page - 102
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
pilihan antara menerima atau menolak (take it or leave it) syarat-syarat perjanjian
baku yang disodorkan kepada oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya.
Perjanjian Baku ini hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada
pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan.
Dalam Perjanjian baku ini yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah
dibakukan oleh salah satu pihak dan pihak yang lain pada dasarnya tidak
mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan, yang belum
dibakukan/ditentukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis,
harga, jumlah, wama, tempat, waktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari
obyek yang diperjanjikan. Perjanjian Baku ini untuk kepentingan praktis dalam
dunia bisnis, sehingga dapat memperlancar transansaksi dalam dunia bisnis.
Perjanjian Baku merupakan perjanjian yang didalamnya berisikan syarat-
syarat umum tertentu yang ditetapkan secara baku - pada umumnya - oleh salah
satu pihak saja dan pihak lainnya tinggal harus menyetujui saja secara
keseluruhan128. Dalam praktek bisnis terlihat, bahwa, pada umumnya, pembuatan
kontrak baku hanya akan dilakukan, jika muncul urgensi tanggapan atas
kepentingan-kepentingan pelaku usaha di bawah ini, yaitu129 :
a. pelaku usaha harus mampu menghadapi kegiatan transaksional dalam frekuensi
tinggi;
b. demi persaingan bisnis, dalam tiap kegiatan transaksional pelaku usaha harus
mampu memberikan pelayanan secara efisien dan efektif kepada konsumen;
c. demi efisiensi pendistribusian hasil produksi, maka seluruh atau sebagian
tertentu dari syarat-syarat dalam tiap transaksi - karena ketentuan-ketentuan
dalam KUH. Perdata maupun KUH. Dagang hanya bersifat umum - harus telah
dipersiapkan lebih dahulu oleh pelaku usaha secara tertulis, agar segera dapat
diketahui oleh konsumen. mengingat ketentuan;
d. untuk mengimbangi tingginya frekuensi kegiatan transaksional, pelaku usaha
harus menyediakan naskah dan/atau persyaratan kontrak, secara massal dan
uniform untuk semua transaksi yang sama, dengan tanpa memperhatikan
kondisi dan/atau kebutuhan dari masing-masing konsumen;

128
N.E. Algra & H.R.W. Gokkel; - dkk, op cit., 17-18.
129
Paulus J. Soepratignja, Teknik Pembuatan Akta Kontrak, Universitas
Atmajaya, Yogyakarta, 2007, hal. 146.

Page - 103
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
e. persyaratan kontrak yang dibuat secara massal dan uniform itu, secara efektif
harus dapat memberi jaminan atas kekuatan dan kepastian hukum bagi pelaku
usaha sendiri serta bagi konsumen.
Dalam transaksi bisnis dengan memakai akta kontrak baku, sangat terbuka
kemungkinan bagi pihak pelaku usaha untuk melakukan pembatasan atau
penghapusan tanggungjawab. Dalam arti, bahwa pelaku usaha dapat menetapkan
sendiri ketentuan-ketentuan tentang pengalihan tanggungjawab dan/atau risiko, dari
pihak pelaku usaha (exonerant) kepada pihak lainnya, dalam sebagian dari beberapa
syarat baku yang ditetapkan sepihak itu. Syarat semacam itu dalam hukum disebut
dengan istilah exonerate clause (syarat eksonerasi), yaitu syarat dalam suatu
perjanjian di mana satu pihak membebaskan diri dari tanggungjawab yang
dibebankan kepadanya oleh regelend recht130 atau disebut juga sebagai exclusion
clause atau exemption claus131. Adalah klausul yang bertujuan untuk
membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak terhadap gugatan
pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan tidak atau tidak dengan semestinya
melaksanakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut132 :
Mengenai kontrak baku ini, saat ini tidak hanya dibuat secara tertulis
sebagaimana yang telah kita ketahui, dalam kontrak elektronik (digital electronic)
yang digunakan dalam e-commerce dapat dipergunakan kontrak baku.
Johannes Gunawan, menguraikan Kontrak Elektronik (digital contract)

130
N.E. Algra & H.R.W. Gokkel; - dkk, op cit., 129.
131
Berhubung kontrak baku dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan,
serta disebarluaskan secara sepihak oleh salah satu pihak, sedangkan pihak
lainnya hanya dapat menerima atau menolak (take it or leave it), tidak
mengherankan bila kontrak baku acapkali mengandung klausul baku yang
berisi ketentuan dan persyaratan yang :
a. mengurangi atau menghapuskan tanggungjawab pembuat kontrak atas
akibat hukum tertentu, misalnya ganti rugi akibat wanprestasi.
b. Membatasi atau menghapuskan kewajiban tertentu pembuat kontrak;
c. Menciptakan kewajiban tertentu yang kemudian dibebankan kepada pihak
lain, misalnya menciptakan kewajiban memberi ganti rugi kepada pihak
ketiga yang terbukti mengalami kerugian.
Klausula baku yang berisi ketentuan dan persyaratan sebagaimana
disebutkan di atas, dikenal sebagai klausula eksonerasi (exoneration clause) atau
klausula eksemsi (exemption clause), Johannes Gunawan, Reorientasi Hukum
Kontrak di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22 – No. 6 – Tahun 2003,
hal. 45.
132
Sutan Remy Sjahdeini, op. cit, hal. 75.

Page - 104
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
sebagai berikut133 :
Perkembangan mutakhir mengenai bentuk kontrak baku adalah berupa
kontrak elektronik atau digital contract. Kontrak elektronik adalah kontrak baku
yang dirancang, dibuat, ditetapkan, digandakan, dan disebarluaskan secara
digital melalui situs di internet (web site) secara sepihak oleh pembuat kontrak
(dalam hal ini pelaku usaha), untuk ditutup secara digital pula oleh penutup
kontrak (dalam hal ini konsumen).
Sebagai kontrak baku, d dalam kontrak elektronik selain terkandung
cirri-ciri kontrak baku sebagaimana dikemukakan di atas, terkandung pula cirri-
ciri khas kontrak elektronik sebagai berikut :
a. kontrak elektronik dapat terjadi secara jarak jauh, bahkan
melampui batas-batas Negara melalui internet.
b. Para pihak dalam kontrak elektronik pada umumnya tidak pernah
bertatap muka (faceless nature), bahkan mungkin tidak pernah
bertemu.
Kontrak elektronik dapat digunakan dalam transaski bidang barang
(barang bergerak, barang tetap dan barang tak bertubuh), maupun bidang jasa
(jasa komersial dan jasa professional). Di dalam berbagai jenis transaksi
tersebut, terdapat transaksi yang sepenuhnya dapat dilakukan secara elektronik
atau secara digital, misalnya jasa informasi yang baik penutupan kontrak
maupun penyerahannya (delivery) dapat dilakukan secara elektronik. Di
samping itu, terdapat transaksi yang tidak sepenuhnya dapat dilakukan secara
elektronik, misalnya transaksi barang bergerak maupun barang tetap, yang
penutupan kontraknya dapat dilakukan secara elektronik namun penyerahan
barangnya tetap harus dilakukan secara fisik.
Kontrak elektronik dapat ditutup oleh para pihak yang berdomisili di
luar batas Negara pembuat kontrak elektronik. Bahkan dapat terjadi hubungan
transaksional yang kompleks, misalnya konsumen berdomisili di Indonesia;
pelaku usaha berada di Inggris; bank pembayar adalah bank Belanda; dan
barak objek transaksi berada di Australia, sehingga menimbulkan persoalan
tentang hukum yang menguasai kontrak elektronik tersebut. Dalam kondisi
demikian pilihan hukum (choice of law) yang akan mengatur kontrak tersebut
merupakan condition sine qua non.
Sebagai bentuk kontrak yang belum pernah digunakan di dalam sejarah
manusia (unprecedented), penggunaan kontrak elektronik hingga saat ini masih
menimbulkan berbagai persoalan hukum, antara laian :
a. Pengamanan secara hukum bagi para pihak yang terlibat dalam
transaksi yang dilakukan secara elektronik, misalnya mengenai
penggunaan tanda tangan digital (digital signature) sebagai
substitusi tanda tangan manual, yang masih belum sepenuhnya
dapat menumbuhkan kepercayaan kepada semua pihak yang
berkepentingan,
b. Kecakapan para pihak untuk menutup kontrak elektronik
(contractual capacity) yang pada umumnya sukar dideteksi
berhubung kontrak tersebut bersifat nir tatap muka (faceless
nature).
Sehubungan dengan uraian di atas, berdasarkan hukum kontrak yang
sekarang berlaku di Indonesia (sambil menunggu hukum kontrak
133
Johannes Gunawan, loc cit., hal. 46 – 47.

Page - 105
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
elektronik Indonesia), pembuat kontrak harus melakukan hal-hal
sebagai berikut :
a. Pastikan ketentuan dan persyaratan transaksi sungguh dimengerti
dan dapat diakses dengan mudah oleh penutup kontrak;
b. Penutup kontrak diwajibkan membaca ketentuan dan persyaratan
transaksi sebelum menyatakan persetujuannya;
c. Cantumkan informasi lengkap tentang pembuat kontrak;
d. Cantumkan rincian pembayaran, misalnya jenis mata uang, biaya
pengiriman, bea cukai, biaya asuransi, dan tata cara pembayaran.
e. Uraikan prosedur pembentukkan kontrak, misalnya bagaimana
cara menyatakan offer and acceptance,
f. Beritahukan tata cara dan waktu pengiriman barang dan atau/jasa.
g. Informasikan tentang barang dan/atau jasa terlarang;
h. Cantumkan limitation of liability dan exemption clause;
i. Cantumkan peringatan tentang hak cipta dan merek dagang;
j. Uraikan privacy policy pembuat kontrak tentang data personal dan
data kartu kredit;
k. Nyatakan pilihan hukum (choice of law) yang dilakukan oleh
pembuat kontrak dan pilihan forum (choice of forum) dalam
penyelesaian sengketa.\;
l. Nyatakan bahwa pembuat kontrak dapat mengubah harga serta
ketentuan dan persyaratan, sehingga pembuat kontrak wajib
mencantumkan tanggal terakhir website tersebut diperbaharui.

Sebagai bagian dari syarat-syarat baku, begitu pula syarat eksonerasi tidak
boleh ditetapkan secara menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 1335 dan
Pasal 1337 KUH. Perdata. Dalam arti tidak ditetapkan jika undang-undang secara
tegas telah melarang, tidak mengandung causa yang bertentangan dengan
kesusilaan atau ketertiban umum.
Secara yuridis, syarat-syarat baku adalah merupakan pelengkap dari
ketentuan regelend recht atau aanvullend recht (hukum pelengkap) yang diatur
dalam undang-undang, demikian berdasar ketentuan Pasal 1338 KUH. Perdata.
Melalui ketentuan pasal tersebut terbuka kemungkinan bagi pembuat perjanjian
untuk melakukan pengingkaran terhadap ketentuan hukum yang bersifat mengatur
(regelend recht). Orang boleh menetapkan sendiri ketentuan-ketentuan lain
daripada ketentuan hukum yang termuat dalam undang-undang, yang akan berlaku
mengikat dalam perjanjian yang mereka buat. Seturut dengan kebebasan mana,
penetapan syarat-syarat baku telah diambil dalam makna tersebut. Dengan
demikian, secara yuridis, penetapan syarat-syarat baku dalam suatu perjanjian,
dapat dikatakan tidak dapat tidak dibenarkan134.

134
Paulus J. Soepratignja, op cit., hal. 149.

Page - 106
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Bahwa penerapan klausula eksonerasi tersebut bukan kebebasan tanpa
batas, ada batas-batas tertentu yang harus diperhatikan atau ada larangan-larangan
tertentu yang harus diperhatikan. Oleh karena itu untuk dapat sedikit mengurangi
dampak tersebut, diberlakukanlah ketentuan-ketentuan yang lebih khusus,
sebagaimana yang termuat dalam UU Larangan Monopoli. Terutama ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Bab III dan Bab IV undang-undang tersebut. Misalnya
saja ketentuan Pasal 15 ayat (3) yang berbunyi sebagai berikut :
"Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian mengenai harga atau potongan
harga tertentu atas barang atau jasa, yang memuat persyaratan bahwa pelaku usaha
yang menerima barang atau jasa dari pelaku usaha pemasok :
a. harus bersedia membeli barang dan atau jasa lain dari pelaku usaha pemasok;
atau
b. tidak akan membeli barang dan atau jasa yang sama atau sejenis dari pelaku
usaha lain yang menjadi pesaing dari pelaku usaha pemasok."
Contoh lainnya sebagaimana tersebut dalam Pasal 18 Undang-undang
nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Konsumen) mengatur
tentang larangan penggunaan klausul baku dalam perjanjian sebagai berikut :
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausul baku pada setiap
dokumen/atau perjanjian, apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggungjawab pelaku usaha.
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang
yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen.
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan
sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran.
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen.
f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau
mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual-beli jasa.
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

Page - 107
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lajutan yang dibut sepihak
oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang
dibelinya.
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk
pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang
yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausul baku yang letak atau bentuknya
sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya
sulit dimengerti.
3. Setiap klausul baku yang telah ditetap oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(2) dinyatakan batal demi hukum.
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausul baku yang bertentangan dengan
undang-undang ini.
Bahwa klausul Eksonerasi tersebut dengan alasan dan pertimbangan
tertentu dapat dibatalkan oleh pengadilan sebagaimana tersebut dalam135 putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor : 551/Pdt.G/2000/ PN Jkt.Pst, pada tanggal
26 Juni 2001, yang didukung pada tingkat banding Pengadilan Tinggi (Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 115/Pdt/2002/PT. OKI tanggal 22 Agustus
2002 ) dan Kasasi Mahkamah Agung (Putusan Mahkamah Agung No. 1264
K/Pdt/2003 tanggal 14 Mi 2005.) yang membatalkan klausul eksemsi (exemption
clause) yang isinya membebaskan tanggung jawab dari tergugat selaku pengelola
parkir dalam hal terjadinya sesuatu terhadap objek yang diparkirkan tersebut, yang
antara lain dikutip debagai berikut
 Menimbang, bahwa selanjutnya yang menjadi persoalan
sekarang, bagaimana dengan klausul atau ketentuan yang tertera
dalam karcis parkir maupun papan yang terpancang di depan
pintu masuk area parkir, yang berbunyi :
 Pihak pengelola (parkir) tidak bertanggungjawab atas segala
kehilangan, kerusakan, kecelakaan atas kenderaan ataupun kehi-
langan barang-barang yang terdapat di dalam kenderaan dan atau
yang menimpa orang yang menggunakan area parkir pihak penge-

135
Ricardo Simanjutntak, op cit., hal. 161 – 163.

Page - 108
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
lola (parkir).
 Demikian pula dengan ketentuan Pasal 36 ayat 2 Peraturan
Daerah khusus DKI No.5/1999 tentang Perparkiran;
 Menimbang, bahwa terhadap klausul tersebut menurut hemat
majelis pada hakekatnya merupakan perjanjian yang
kesepakatannya bercacat hukum karena timbul dari
ketidakbebasan pihak yang menerima kalusul sebab manakala
pengendara mobil memasuki areal parkir, ia tidak punya pilihan
lain selain memilih parkir disitu sehingga dapat dikatakan
kesepakatan tersebut berat sebelah, artinya kesepakatan itu
diterima seolah-olah dalam keadaan terpaksa oleh pihak
pengendara;.
Pertimbangan hukum majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
secara tegas memberikan dukungan terhadap perlindungan pihak-pihak yang
kebebasannya dalam berkontrak telah hilang akibat tindakan undue influence yang
dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, yaitu pengelola parkir tersebut. Penegasan
tersebut dijelaskan majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya yang
menyatakan bahwa ketidakbebasan konsumen pengguna lahan parkir tersebut
terjadi ketika konsumen tersebut tidak mempunyai pilihan lain selain harus tunduk
pada kemauan dari pengelola parkir terhadap penggunaan satu-satunya lahan parkir
yang disediakan pada kompleks perparkiran Pusat Perbelanjaan Cempaka Mas.
Terlihat bahwa pertimbangan hukum tidak membahas adanya paksaan
fisik yang menimbulkan ketakutan ataupun tekanan pada mitra pihak berkontrak
untuk harus menyetujui rancangan kontrak yang disodorkan, akan tetapi lebih pada
penyalahgunaan keadaan yang dilakukan oleh pihak pengelola sebagai satu-satunya
pengelola parkir terhadap satu-satunya lahan parkir yang tersedia pada area pusat
perbelanjaan tersebut. Terhadap hal tersebut pada pertimbangan hukum pada
halaman 34 dari putusannya, majelis hakim selanjutnya berpendapat bahwa
pengelola parkir juga telah menunjukkan fungsi objektifnya sebagai pemberi
keamanan dan keselamatan pada kendaraan-kendaraan bermotor yang diparkirkan
di area parkir yang dikelolanya, baik dari sistem keamanan yang terpasang melalui
tiket masuk dan keluar serta penggunaan nama "Secure Parking". Dari penjelasan
tersebut di atas, terlihat perkembangan sikap dari pengadilan Indonesia dalam
menjaga kebebasan dan kemandirian dari masing-masing pihak dalam berkontrak,

Page - 109
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
sebagai suatu syarat yang harus dipenuhi dalam menghasilkan suatu kontrak yang
sah seperti yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.

D. PENAFSIRAN KONTRAK
Ketika sebuah kontrak telah sempurna, artinya aspek formal dan materil
telah dipenuhi, dan berjalankan sebagaimana yang diharapkan oleh para pihak,
maka terkadang dalam menimbulkan permasalahan, yang berkaitan dengan
swegala hal yang tersebut dalam kontrak yang bersangkutan, misalnya mengenai
kata atau kalimat atau istilah yang dipergunakan. Jika hal ini terjadi, maka
teerhadap kontrak tersebut dilakukan penafsiran atau interpretasi. Masalah
penafsiran perjanjian termasuk salah satu hal yang penting dalam setiap perjanjian,
baik pada saat pembuatan perjanjian maupun pada waktu penerapannya dikemudian
hari.
Kontrak tertulis tersebut sebagai suatu komunikasi yang mengatur hak
dan kewajiban para pihak. Karena itu, sejalan dengan maksud dan tujuan Kontrak,
maka kata ataupun kalimat yang artinya jelas dan dan tegas serta ada keharusan
untuk mempergunakan kata-kata yang tepat, (istilah atau kalimat yang berpotensi
mempunyai pengertian multitafsir), kontrak telah menyediakan tempat khusus
mengenai penjelasan pengertian dari kata-kata, frase yang mempunyai arti ganda
tersebut, yaitu dalam klausula definisi, juga yang mempunyai pengertian yang
mudah untuk membantu dan upaya penerjemahannya.
Menurut Dharma Pratap136 interpretasi merupakan penjelasan setiap
istilah dari suatu perjanjian apabila terdapat pengertian ganda atau tidak jelas dan
para pihak memberikan pengertian yang berbeda terhadap istilah yang sama atau
tidak dapat memberikan arti apapun terhadap istilah tersebut. Tujuan utama
interpretasi adalah menjelaskan maksud sebenarnya dari para pihak atau
merupakan suatu kewajiban memberikan penjelasan mengenai maksud para pihak
seperti dinyatakan dalam kata-kata yang digunakan oleh para pihak dilihat dari
keadaan-keadaan yang mengelilinginya.

136
Dikutip dari Yudha Bakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Kontruksi
Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 19 – 20, berasal dari Dharma Pratap,
Interpretation of Treaties, yang dikutip oleh Agrawalla, S.K., Essays on the Law
of Treaties, Orient Longman, New Delhi, 1972, him. 44 dan dikutip juga oleh
Budiono K., Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina 1969
tentang Parjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986, him. 24.

Page - 110
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Dengan demikian arti penafsiran dapat disimpulkan sebagai suatu kegiatan
dalam usaha memberikan penjelasan atau pengertian atas kata atau istilah yang
kurang jelas maksudnya sehingga orang lain dapat memahaminya. Tujuannya tidak
lain adalah mencari serta menemukan sesuatu hal yang menjadi maksud para
pembuatnya. Dengan melakukan kegiatan menggali ini barulah dapat diketahui
maksud para pihak pada saat membuat perjanjian. Kegiatan penafsiran itu baru
dilakukan apabila para peserta perjanjian tidak mempunyai persamaan pendapat
atau mernpunyai pengertian yang berbeda terhadap istilah atau kata yang sama
yang dicantumkan dalam suatu perjanjian. Apabila arti perjanjian itu sudah jelas,
ketentuan-ketentuan dalam perjanjian harus dilaksanakan dan tidak boleh
ditafsirkan. Penafsiran merupakan proses yang kedua, kegiatan itu baru dijalankan
setelah tidak ada kemungkinan lain untuk mendapatkan pengertian yang sama
tentang apa yang sesungguhnya dimaksud oleh perjanjian137.
Perbedaan pendapat dalam penafsiran suatu perjanjian bukanlah suatu ha!
yang jarang terjadi. Timbulnya hal seperti itu pada umumnya disebabkan adanya
berbagai macam pertimbangan yang telah mempengaruhi semua pihak pada waktu
melakukan penafsiran perjanjian itu, misalnya faktor politik, kebudayaan,
pandangan hidup, kepentingan nasional. Semua pertimbangan itu telah membawa
para pihak pada suatu pendapat yang saling berbeda sehingga tidak ada lagi titik
temu dalam melaksanakan isi perjanjian138.
Dalam berbagai kepustakaan Ilmu Hukum secara umum dikenal berbagai
macam Penafsiran antara lain :
1. Menafsirkan undang-undang menurut arti perkataan (istilah) atau biasa
disebut penafsiran gramatikal139.
Antara bahasa dengan hukum terdapat hubungan yang erat sekali. Bahasa
merupakan alat satu-satunya yang dipakai pembuat undang-undang untuk
menyatakan kehendaknya. Karena itu, pembuat undang-undang yang ingin
menyatakan kehendaknya secara jelas harus memilih kata-kata yang tepat.

137
Yudha Bakti Ardhiwisastra, ibid.
138
Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Alumni,
Bandung, 1976, hal. 10 – 11.
139
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Ichtiar Baru, Jakarta,
1959, hal. 248. van Apeldorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta,
1982, hal. 401. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hal. 100. Yudha Bakti Ardhiwisastra, op cit, hal. 9.

Page - 111
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Kata-kata itu harus singkat, jelas dan tidak bisa ditafsirkan secara berlainan.
Adakalanya pembuat undang-undang tidak mampu memakai kata-kata yang
tepat. Daiam hal ini hakim wajib mencari arti kata yang dimaksud yang lazim
dipakai dalam percakapan sehari-hari, dan hakim dapat menggunakan kamus
bahasa atau meminta penjelasan dari ahli bahasa.
2. Menafsirkan undang-undang menurut sejarah atau penafsiran historis140.
Setiap ketentuan perundang-undangan mempunyai sejarahnya. Dari
sejarah peraturan perundang-undangan hakim dapat mengetahui maksud
pembuatnya. Terdapat dua macam penafsiran sejarah, yaitu penafsiran menurut
sejarah dan sejarah penetapan sesuatu ketentuan perundang-undangan.
3. Menafsirkan undang-undang menurut sistem yang ada di dalam hukum atau
biasa disebut dengan penafsiran sistematik141.
Perundang-undangan suatu negara merupakan kesatuan, artinya tidak
sebuah pun dari peraturan tersebut dapat ditafsirkan seolah-olah ia berdiri
sendiri. Pada penafsiran peraturan perundang-undangan selalu harus diingat
hubungannya dengan peraturan perundangan lainnya. Penafsiran sistematis
tersebut dapat menyebabkan, kata-kata dalam undang-undang diberi pengertian
yang lebih luas atau yang lebih sempit daripada pengertiannya dalam kaidah
bahasa yang biasa. Hal yang pertarfia disebut penafsiran meluaskan dan yang
kedua disebut penafsiran menyempitkan.
4. Menafsirkan undang-undang menurut cara tertentu sehingga undang-undang
itu dapat dijalankan sesuai dengan keadaan sekarang yang ada di dalam
masyarakat, atau biasa disebut dengan penafsiran sosiologis atau penafsiran
teleologis142.
Setiap penafsiran undang-undang yang dimulai dengan penafsiran
gramatikal harus diakhiri dengan penafsiran sosiologis. Apabila tidak
demikian, keputusan yang dibuat tidak sesuai dengan keadaan yang benar-
benar hidup dalam masyarakat. Karena itu, setiap peraturan hukum mempunyai
suatu tujuan sosial, yaitu membawa kepastian hukum dalam pergaulan antara

140
Utrecht, op cit., hal. 254. van Apeldorn, op cit. hal. 40 2 – 403. Yudha
Bakti Ardhiwisastra, op cit, hal. 10.
141
van Apeldorn, ibid., Yudha Bakti Ardhiwisastra, ibid.
142
Utrecht, op cit., hal. 262 -263. Yudha Bakti Ardhiwisastra, op cit,
hal.11

Page - 112
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
anggota masyarakat. Hakim wajib mencari tujuan sosial baru dari peraturan
yang bersangkutan. Apabila hakim mencarinya, masuklah ia ke dalam
lapangan pelajaran sosiologi. Melalui penafsiran sosiologi hakim dapat
menyelesaikan adanya perbedaan atau kesenjangan antara sifat positif dari
hukum (rechtspositiviteif) dengan kenyataan hukum (rechtswerkelijkheid),
sehingga penafsiran sosiologis atau teologis menjadi sangat penting.
5. Penafsiran otentik atau penafsiran secara resmi143.
Adakalanya pembuat undang-undang itu sendiri memberikan tafsiran
tentang arti atau istilah yang digunakan-nya di dalam perundangan yang
dibuatnya. Tafsiran ini dinamakan tafsiran otentik atau tafsiran resmi. Di sini
hakim tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari
apa yang telah ditentukan pengertian-nya di dalam undang-undang itu sendiri.
6. Penafsiran Interdisipliner144.;
Penafsiran jenis ini biasa dilakukan daiam suatu analisis masalah yang
menyangkut berbagai disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika lebih dari
satu cabang ilmu hukum. Misalnya adanya keterkaitan asas-asas hukum dari
satu cabang ilmu hukum, misalnya hukum perdata dengan asas-asas hukum
publik.
7. Penafsiran Multidisipliner145.;
Berbeda dengan penafsiran interdisipliner yang masih berada dalam
rumpun disiplin ilmu yang bersangkutan, dalam penafsiran multidisipliner
seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu
lainnya di luar ilmu hukum. Dengan lain perkataan, di sini hakim
membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.
Mengenai penafsiran ini di atur dalam Pasal 1342 KUHPerdata ditegaskan
bahwa jika kata-kata suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk
menyimpang daripadanya dengan jalan penfasiran. Arti dari pasal ini bahwa, suatu
kontrak harus dibuat dalam bahasa yang jelas, tegas dan dimengerti oleh para pihak
sendiri dan pihak lain yang berkepentingan, sehingga tidak perlu ditafsirkan lain,
selaian yang tersebut dalam kontrak itu sendiri.
Dalam Pasal 1343-1350 KUH Perdata telah menentukan langkah untuk

143
Utrecht, ibid, hal. 264. Yudha Bakti Ardhiwisastra, ibid.
144
Yudha Bakti Ardhiwisastra, ibid., hal. 12.
145
Yudha Bakti Ardhiwisastra, ibid.

Page - 113
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
menerjemahkan dan menafsirkan ketentuan-ketentuan yang dapat diperdebatkan,
yaitu146 :
1. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
persetujuan tersebut, daripada memegang teguh kata-kata menurut huruf.
2. Jika suatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan,
daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat persetujuan.
4. Apa yang meragu-ragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi
kebiasaan dalam negeri atau ditempat persetujuan tersebut telah dibuat,
5. Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara
diam-diam dimasukkan kedalam persetujuan, meskipun tidak dengan tegas
dinyatakan.
6. Semua janji yang dibuat dalam suatu persetujuan, harus diartikan dalam
hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka persetujuan
seluruhnya.
7. Jika ada keragu-raguan, maka suatu persetujuan harus ditafsirkan atas kerugian
orang yang telah meminta diperjanjikannya suatu hal untuk keuntungan orang
yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
8. Meskipun bagaimana luasnya kata-kata dalam suatu kontrak, namun
persetujuan itu hanya meliputi hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh
kedua belah pihak sewaktu membuat persetujuan.

146
Ricardo Simanjuntak, op cit., hal. 85 – 86.

Page - 114
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
Ketentuam dalam Pasal 1343-1350 KUH dapat disebut sebagai sepuluh
prinsip interpretasi kontrak, diuraikan sebagai berikut147 :
a. Jika kata-kata dalam kontrak jelas, tidak diperkenankan menyimpanginya
dengan jalan interpretasi. Semacam doktrin pengertian jelas atau plain
meaning rules (vide Pasal 1342 BW).
b. Jika kata-kata suatu kontrak mengandung multi interpretasi, maka maksud para
pihak lebih diutamakan daripada kata dalam kontrak (vide Pasal 1343 BW);
c. Jika suatu kontrak dapat diberi dua makna, maka dipilih makna yang
memungkinkan untuk dilaksanakan (vide Pasal 1344 BW).
d. Jika dalam suatu kontrak bermakna ganda, maka harus dipilih makna yang
paling sesuai dengan sifat kontraknya (vide Pasal 1345 BW);
e. Jika perikatan yang mempunyai dua makna, maka pengertiannya harus
disesuaikan menurut kebiasaan setempat (vide Pasal 1346 BW);
f. Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap
telah termasuk dalam kontrak, walaupun tidak ditegaskan dalam kontrak (vide
pasal 1347 BW);
g. Antara satu klausul dengan klausul lainnya dalam suatu kontrak harus diartikan
dalam hubungannya satu sama lain (interpretasi komprehensif – menyeluruh) –
(vide pasal 1348 BW).
h. Jika ada keragu-raguan harus ditafsirkan atas kerugian orang yang minta
diperjanjikan sesuatu untuk dirinya, semacam doktrin contra proferentem
(vide Pasal 1349 BW)’
i. Jika kata-kata yang digunakan untuk menyusun suatu kontrak mempunyai
makna yang meluas, maka harus diinterpretasi sebatas hal-hal yang nyata-
nyata dimaksudkan para pihak pada saat membuat kontrak (vide pasal 1350
BW).
j. Jika dalam suatu kontrak terhadap penegasan tentang suatu hal, tidaklah
mengurangi atau membatasi daya berlaku kontrak terhadap hal-hal lain yang
tidak ditegaskan dalam kontrak tersebut (vide Pasal 1351 BW).
Dalam hukum Anglo-Amerika terhadap interpretasi dikenal pula aturan-
aturan yang harus diperhatikan dalam melakukan suatu interpretasi terhadap

147
Agus Yudha Hernoko. op cit., hal. 209 – 210.

Page - 115
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
undang-undang atau kontrak, antara lain148 :
1. Perjanjian tertulis akan ditafsirkan gramatikal. Aturan ini berkaitan dengan
plain meaning rule, artinya kata-kata yang jelas dalam perjanjian tidak boleh
disimpangi melalui interpretasi.
2. Hakim akan cenderung menafsirkan suatu klausula sedemikian rupa sehingga
paling tidak mempunyai suatu efek.
3. Hakim akan menilai seluruh dokumen yang bersangkutan, jadi harus
melakukan penafsiran sistematis.
4. Hakim akan selalu cenderung melakukan penafsiran restriktif sedemikian rupa
sehingga kata-kata umum yang disertai contoh yang spesifik akan diberinya
arti yang cocok dengan contoh-contoh diberikan.
5. Sifat restriktif juga terdapat dalam aturan yang menentukan bahwa klausula
yang tegas dalam kontrak dapat mencegah hakim untuk menerima implied
term. Aturan ini berlandasan pada pemikiran bahwa para pihak yang telah
mengatur hal tertentu, haruslah dianggap telah mengatur secara lengkap,
sehingga tidak ada peluang untuk menafsirkan adanya implied term (pengertian
secara tidak langsung).
6. Juga suatu padanan yang murni dalam penafsiran a contrario dapat ditemukan
dalam hukum Anglo-Amerika. Misalnya, apa yang dinamakan distinction yang
dibuat oleh hakim untuk meniadakan pengaruh precedent. Dapat dianggap
sebagai suatu penafsiran a contrario.
Dalam Hukum International dikenal ada 3 (tiga) aliran mengenai
interpretasi terhadap suatu perjanjian (internasional), yaitu149 :
a. Intection-School atau Restrictive Interpretation;
Aliran ini berpendapat pada kehendak para pembuat perjanjian terlepas dari
teks perjanjian. Aiiran ini menggunakan secara luas pekerjaan pendahuluan
(travaux preparatorie) dan bukti-bukti lain yang meng-gambarkan kehendak
para pihak.

148
Djasadin Saragih, Sekilas Perbadingan Hukum Kontrak Civil Law
dan Common Law, Makalah Workshop Comparative Law, Elips Projects –
Fakultas Hukum Unair Surabaya, 4 Desember, 1993. hal. 13 – 14.
149
Mieke Komar, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina 1969
Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Makalah Fakultas Hukum Universitas
Padjadjaran, Bandung 1981, hal. 2.

Page - 116
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
b. Textual-School;
Aliran ini berpendapat bahwa terhadap naskah perjanjian hendaknya diberikan
arti yang iazim diberikan dan terbaca dari kata-kata itu. Jadi menurut aiiran ini
unsur terpenting adalah teks perjanjian itu, kemudian kehendak dari para pihak
pembuat perjanjian serta objek dan tujuan dari perjanjian itu.
c. Teleological-School atau Extensive Interpretation atau Liberal Interpretation;
Aliran ini menitikberatkan pada interpretasi dengan meli-hat pada objek dan
tujuan umum dari perjanjian itu yang berdiri sendiri teriepas dari kehendak
semula para pembuat perjanjian. Dalam hal ini teks suatu perjanjian dapat
diartikan secara luas dan ditambah pengertiannya selama masih sesuai atau
sejalan dengan tujuan umum tersebut dan dapat berbeda dengan kehendak
semua dari pihaK pembuat perjanjian.
J.G. Starke menyebutkan adanya prinsip-prinsip umum tentang
Penafsiran, dapat dikelompokan, sebagai berikut150 :
a. Gramatical Interpretation and the intention of the parties. Dalam hal ini
pertama harus dilihat kata-kata atau susunan kata-kata yang harus diartikan
sesuai dengan artinya yang biasa dan wajar kemudian dilihat maksud para
pihak pada saat instrumen dibuat.
b. Object and Context of Treaty. Apabila kata atau susunan kata meragukan para
konstruksinya harus dikaitkan dengan tujuan umum dari perjanjian tersebut.
Konteks demikian tidak dipelajari atas seluruh perjanjian tetapi cukup bagian-
bagian tertentu dari kata atau susunan kata yang meragukan itu.
c. Reasonableness and Consistency. Yang dimaksud dengan kepatutan dan
kesesuaian adalah bahwa perjanjian harus ditafsirkan dengan mengutamakan
arti yang wajar dari kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan keselarasan
kata-kata dan kalimat dengan memperhatikan keselarasan dengan bagian-
bagian lainnya dari perjanjian tersebut. Di sini juga akan berlaku adagium "lex
specialis derogat lex generalis" kecuali apabila ketentuan umum perjanjian
secara jelas mengesampingkan ketentuan khusus tersebut.
d. The Principle of Effectiveness; Prinsip keefektifan ini terutama ditandaskan
oleh Mahkamah bahwa merupakan suatu syarat apabila perjanjian harus

150
J.G. Starke, An Introduction tu International Law, 8th ed, Butterworh,
London, 1984, hal. 510 – 513.

Page - 117
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
ditafsirkan secara keseluruhan yang akan menjadikan perjanjian itu paling
efektif dan bermanfaat. Dengan lain perkataan me-mungkinkan ketentuan-
ketentuan perjanjian memberikan pengaruh yang semestinya.
e. Resource to Extrinsic Materials; Penggunaan bahan-bahan yang ekstrinsik
dimaksudkan bahwa biasanya pengadilan yang melakukan penafsiran dibatasi
pada isi perjanjian tersebut atau pada apa yang tercantum di dalam perjanjian
itu. Tindakan lain dapat dipertimbangkan asalkan tidak menimbulkan
pertentangan dengan;
1) Sejarah masa lampau dan kebiasaan-kebiasaan sejarah yang relevan
dengan perjanjian,
2) Karya persiapan (travaux preparatoires) seperti preliminary draft, catatan
diskusi-diskusi pada konferensi, draft amandemen dan sebagainya,
3) Interpretasi protokol-protokol, resolusi-resolusi dan laporan-laporan
Komite yang mencantumkan penafsiran,
4) Perjanjian yang dibuat kemudian oleh para pihak mengenai penafsiran
perjanjian atau penerapan ketentuan-ketentuannya,
5) Perjanjian-perjanjian lainnya apabila terdapat ke-ragu-raguan.
Langkah dan cara penafsiran sebagaimana diuraikan di atas, merupakan
pedoman yang oleh undang-undang dapat digunakan oleh para pihak yang
berkontrak dalam mencari ketegasan dari suatu kalimat ataupun klausula perjanjian
yang bersifat intepretatif. Bila para pihak tidak menemukan kesepakatan dalam
memahami arti dari perjanjian tersebut sehingga menimbulkan konflik yang harus
diselesaikan di depan pengadilan, hakim pun tetap menggunakan pedoman tersebut
di atas dalam upaya mencari pengertian yang sebenarnya dari kalimat ataupun
kesepakatan yang menimbulkan pengertian yang berbeda bagi para pihak tersebut.

E.BAHASA HUKUM KONTRAK.


Secara umum Kontrak yang dibuat (lisan atau tertulis) menggunakan
bahasa yang dimengerti oleh para pihak, baik bahasa internasional, bahasa nasional
ataupun bahasa daerah. Bahwa yang dimaksud dengan Bahasa (Hukum) Kontrak
merupakan bahasa yang biasa dipergunakan (nasional, internasional atau daerah)
sesuai dengan tata kaidah bahasa yang bersangkutan yang mengikat (daya ikat)
para pihak yang bertransaksi dan dapat dieksekusi.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, komunikasi yang jelas dengan bahasa

Page - 118
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA
yang mudah dimengerti merupakan salah satu prinsip yang sangat penting diingat
dalam perancangan suatu kontrak yang baik dan aman. Kalimat yang berbelit-belit
ataupun penggunaan terminologi-terminologi yang tidak jelas dan bias, akan sangat
membuat suatu kontrak rentan dengan konflik.
Bahasa yang paling aman bagi para pihak yang berkontrak adalah bahasa
yang paling dimengertinya. Artinya, bila para pihak yang berkontrak tersebut
adalah orang Indonesia, seharusnyalah kontrak tersebut dirancang dalam bahasa
Indonesia, karena bahasa Indonesialah bahasa yang paling mudah untuk
dipahaminya. Penggunaan bahasa Inggris pun ataupun bahas lainnya sesuatu yang
harus dilakukan menurut pcrsetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau
undang-undang.
Dalam kontrak terkadang tidak hanya dibuat dalam satu bahasa tertentu,
tapi juga dapat dibuat atau diterjemahkan ke dalam bahas-bahasa yang dimengerti
oleh pihak, misalnya kontrak yang multilateral yang diikuti oleh negara-negara
yang mempunyai bahasa sendiri-sendiri, maka bisa saja Kontrak dibuat atau
diterjemahkan ke dalam bahasa yang dikehendaki oleh para pihak.
Jika hal tersebut dilakukan, maka pada akhir Kontrak harus disebutkan
bahwa jika terjadi perselisihan, misalnya mengenai istilah (hukum) tertentu ataupun
istilah lainnya, maka harus ditentukan akan dikembalikan kepada Kontrak yang
dibuat dalam bahasa tertentu yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak
tersebut.
Dalam kaitan ini harus harus dibedakan antara bahasa yang dipergunakan
dalam kontrak, dengan kontrak yang diterjemahkan dari bahasa tersebut, dalam
kaitannya jika terjadi sengketa. Jika ada persetujuan bahasa yang dipergunakan
adalah bahasa tertentu (misalnya bahasa Inggris), kemudian diterjemahkan kedalam
bahasa lain yang dikehendaki oleh para pihak, maka jika terjadi sengketa, maka
penyelesaiannya harus berdasarkan kepada bahasa yang telah disepakati tersebut
(misalnya bahasa Inggris). Atau Kontrak dapat dibuat dalam 2 (dua)/lebih bahasa
yang dikehendaki oleh para pihak yang keduanya mempunyai kekuatan yang sama.
Jika ini dilakukan maka harus persesuaian pemahaman/pengertian dengan substansi
kontrak tersebut.

--------------------------------

Page - 119
Dr. HABIB ADJIE,SH,MH - MAGISTER ILMU HUKUM- UNNAR SURABAYA

Anda mungkin juga menyukai