Makalah H. Nana
Makalah H. Nana
PARASITOLOGI 1
HYMENOLEPIS NANA
DOSEN PENGAMPU
Akhamad Mubarok, S.Tr.A.K., M.Imun
Oleh:
Indah Lestari (110220005)
Segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya yang berupa iman
dan kesehatan akhirnya kami dapat menyelesaikan makalah dengan
judul”HYMENOLEPIS NANA”. Makalah ini berisi pembahasan tentang definisi.
Morfologi, siklus hidup, gejala klinis, diagnosa laboratorium, pengobatan dan
pencegahan dari H. nana. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banya terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini menjadi yang lebuh baik lagi. Semoga makalah ini dapat
berguna dan memberikan manfaat bagi setiap pihak terutama mereka para pembaca.
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit cacingan sering terjadi di daerah tropis dan subtropis di negara
berkembang. Tersebar luas di semua daerah pedesaan maupun perkotaan dengan
prevalensi yang tinggi dan memberikan dampak yang besar terhadap kualitas
sumber daya manusia. Cacingan merupakan penyakit endemik dan kronik yang
diakibatkan oleh cacing parasit yang cenderung tidak mematikan namun
menggerogoti kesehatan tubuh manusia, sehingga berakibat menurunnya kondisi
gizi dan kesehatan masyarakat (Rabidhamadi, Istiana and Muthmainah, 2017).
Penyakit infeksi kecacingan adalah penyakit yang penularannya melalui
makanan atau kulit dengan tanah sebagai media penularannya sehingga lazim juga
disebut penyakit cacing yang ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminth)
(Anorital, 2014). Infeksi cacingan menyerang semua golongan umur, jenis kelamin,
namun paling sering ditemukan pada anak usia prasekolah dan sekolah dasar (usia
5-10 tahun).Infeksi cacingan dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
kebersihan pribadi yang kurang, mengkonsumsi makanan yang diduga
terkontaminasi oleh telur cacing, tingkat pengetahuan dan tingkat ekonomi yang
masih rendah (Rabidhamadi, Istiana and Muthmainah, 2017).
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari H. nana?
2. Bagaimana morfologi dari H. nana?
3. Bagaimana sikus hidup dari H. nana?
4. Apa saja gejala klinis dan diagnosa laboratoirum dari infeksi H. nana?
5. Apa saja pengobatan untuk infeksi H. nana?
6. Bagimana pencegahan terhadap infeksi H. nana?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi H. nana
2. Untuk mengetahui morfologi dari H. nana
3. Untuk mengetahui siklus hidup dari H. nana
4. Untuk mengetahui gejala klinis dan diagnosa laboratorium dari infeksi H. nana
1
5. Untuk mengetahui pengobatan dari infeksi H. nana
6. Untuk mengetahui pencegahan dari infeksi H. nana
1.4 Manfaat
Dengan dibuatnya makalah ini, diharapkan mahasiswa menjadi lebih
paham mengenai Hymenolepis hana.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Hymenolepis nana
1.2 Definisis
Hymenolepis nana merupakan cacing pita yang umum ditemukan pada
tikus. Cacing ini mempunyai nilai prevalensi paling tinggi diantara cacing parasit
lain yang ditemukan, yaitu sebesar 35,29%. Hymenolepiasis adalah nama penyakit
yang disebabkan oleh cacing Hymenolepis nana (Purwaningsih, 2013).
Hymenolepis nana merupakan salah satu spesies cacing pita yang memiliki ukuran
relatif kecil sehingga sering disebut sebagai cacing pita kerdil. Spesies ini
menyebabkan penyakit hymenolepiasis nana. Keberadaan binatang kelompok
rodentia menjadi faktor pendukung penyebaran dan penularan cacing pita ini.
Siklus hidup cacing pita ini membutuhkan keberadaan tikus sebagai salah satu host
definitif selain manusia sendiri. Populasi binatang tikus yang relatif banyak
menjadi masalah tersendiri dalam pengendalian penyebaran cacing ini di
masyarakat, terlebih binatang tikus yang umumnya mencari makanan dari sisa
kehidupan manusia juga bahan pangan dalam simpanan. Binatang rodent yang
relatif sulit diprediksi kehadirannya ini akan menyebarkan telur cacing dari
kotorannya yang berserakan di mana-mana dan dapat mengkontaminasi makanan
dan atau bahan pangan yang ada di dalam rumah (Sumanto, 2014).
Hymenolepiasis dapat ditemukan di seluruh dunia di wilayah tropis dan
subtropis; yaitu di Asia, Eropa Selatan dan Timur, Amerika Tengah dan Selatan,
dan Afrika. Bersifat kosmopolit dengan insiden bervariasi antara kurang dari 1%
sampai dengan 25%, umumnya terdapat di wilayah dengan tingkat sosio-ekonomi
rendah dan hygiene-sanitasi yang buruk. Di daerah yang beriklim sedang dengan
kondisi sanitasi yang buruk prevalens penyakit dapat setara dengan daerah yang
beriklim subtropis dan tropis (Anorital, 2014).
Infeksi pada manusia kebanyakan terjadi secara langsung dari tangan ke
mulut. Hal ini sering terjadi pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah. Kontaminasi
dengan tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu
disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari
3
tempat buang air atau langsung dari anus ke mulut. Kebersihan perorangan
terutama pada keluarga besar dan panti asuhan harus diutamakan (Widiastuti et al.,
2016).
1.3 Morfologi
4
Ovarium satu buah letaknya di bagian tengah berbentuk bilobus. Pada proglotid
gravid, uterus berbentuk kantung tak teratur berisi banyak telur yang telah dibuahi.
Uterus yang berbentuk kantung ini bahkan melebar selebar proglotid sehingga
terkesan seluruh area proglotid berisi penuh telur. Lubang genital sebagai saluran
pengeluaran telur cacing sudah mulai tampak pada proglotid mature. Telur cacing
spesies ini berbentuk bulat lonjong dengan ukuran kurang lebih 30 x 47 mikron.
Dinding telurnya relatif tipis, sedangkan pada bagian kutub telur tampak menebal.
Dari kedua kutub telur yang menebal tersebut tampak keluar 4 – 8 filamen. Filamen
ini biasanya tampak seperti helai rambut atau garis tak beratur memanjang. Pada
bagian dalam telur terdapat onkosfera yang berisi embrio. Embrio ini di dalamnya
mengandung 6 buah kait yang dinamakan embrio heksakan (Sumanto, 2014).
5
2.4 Siklus hidup
6
2.5 Gejala klinis dan diagnosa laboratorium
Parasit ini umumnya tidak menimbulkan gejala. Jumlah cacing dalam
jumlah besar pada mukosa usus akan dapat menyebabkan iritasi mukosa usus.
Kelainan yang timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit
dari cacing yang masuk peredaran darah. Pada anak kecil dengan infeksi berat,
dapat menimbulkan keluhan pada organ saraf, sakit perut yang dapat diikuti atau
tanpa diare, kejang-kejang, sukar tidur dan pusing (Sumanto, 2014).
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur H. nana dalam sampel tinja
penderita. Keraguan terhadap penemuan telur H. nana dengan H. diminuta pada
spesimen tinja dapat dipastikan berdasarkan perbedaan ukuran telur. Telur H. nana
lebih kecil dibandingkan dengan telur H. diminuta. Sebaiknya identifikasi
dilakukan pada tinja yang segar atau yang diawetkan dengan formalin karena telur
akan lebih terlihat. Cacing dewasa dan proglotid biasanya jarang ditemukan di
dalam tinja (Anorital, 2014).
2.6 Pengobatan
Untuk pengobatan cacing pita diberikan niklosamid atau prazikuantel.
Niklosamid merupakan salah satu obat pilihan untuk infeksi cacing cestode paa
manusia. Di negara Italia pemberian niklosamid dosis tunggal selama 8 hari dapat
menghilangkan infeksi Hymenolepis nana. Prazikuantel adalah obat cacing yang
berspektrum luas terhadap trematoda dan cestoda baik untuk manusia maupun
hewan. Dalam konsentrasi efektif rendah, prazikuantel akan meningkatkan
aktivitas muskulus yang diikuti kontraksi dan paralisis spastik sehingga
menyebabkan lepasnya cacing dari hospes. Obat ini paling sering digunakan karena
efisiensi dalam memberantas infeksi Hymenolepis nana dan dalam dosis tunggal
memiliki khasiat kesembuhan sampai 96% (Anorital, 2014).
2.7 Pencegahan
Pencegahan terhadap aspek personal hygiene adalah:
1. Mencuci tangan dengan sabun setelah keluar dari kamar kecil dan sebelum
menjamah makanan.
2. Mengkonsumsi air minum yang sudah dimasak (mendidih) atau air kemasan
yang dikonsumsi terkemas dalam kondisi yang baik.
7
3. Menjaga kebersihan tangan dengan menggunting kuku secara teratur.
Pencegahan terhadap aspek sanitasi lingkungan adalah:
1. Pembuangan kotoran manusia yang memenuhi syarat. Tinja yang dibuang
terisolir dengan baik, dan tidak mengeluarkan bau.
2. Penggunaan air minum dari sumber air bersih yang sanitair.
3. Bagi para pengusaha makanan (restoran, katering) menerapkan aturan yang ketat
dalam hal makanan matang dari pencemaran dan gangguan tikus, karena tikus yang
terinfeksi H. nana dapat mencemari makanan dengan kotoran mereka.
4. Membuang kotoran, air kotor dan sampah organik secara baik dengan tidak
membuangnya secara sembarangan agar tidak menjadi sumber perkembang biakan
tikus.
5. Pengendalian dan pengawasan tikus di lingkungan perumahan. Konstruksi rumah
dibuat agar tikus tidak mudah masuk dan bersarang dalam rumah (Anorital, 2014).
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hymenolepis nana merupakan salah satu spesies cacing pita yang memiliki
ukuran relatif kecil sehingga sering disebut sebagai cacing pita kerdil. Spesies ini
menyebabkan penyakit hymenolepiasis nana. Infeksi pada manusia kebanyakan
terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Hal ini sering terjadi pada anak-anak
umur 15 tahun ke bawah. Kontaminasi dengan tinja tikus perlu mendapat perhatian.
Infeksi pada manusia selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda
yang terkena tanah, dari tempat buang air atau langsung dari anus kemulut.
Telur cacing spesies ini berbentuk bulat lonjong dengan ukuran kurang lebih
30 x 47 mikron. Dinding telurnya relatif tipis, sedangkan pada bagian kutub telur
tampak menebal. Cacing dewasa berada di usus halus. Diagnosa dilakukan dengan
pemeriksaan tinja. Pengobatannya dengan niklosamid atau prazikuantel.
Pencegahan dilakukan dengan menjaga kebersihan baik diri sendiri atau kebersihan
lingkungan.
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan untuk itu,
kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat diperlukan bagi penulis agar
dapat membuat makalah menjadi lebih baik lagi.
9
DAFTAR PUSTAKA
Anorital (2014) ‘Kajian Penyakit Kecacingan Hymenolepis Nana’, Jurnal
Biotek Medisiana Indonesia, 3(2), pp. 37–47.
Purwaningsih, K. D. dan E. (2013) ‘CACING PARASIT PADA TIKUS DI
PERKEBUNAN KARET DI DESA BOGOREJO, KECAMATAN
GEDONGTATAAN, KABUPATEN PESAWARAN, LAMPUNG DAN
TINJAUAN ZOONOSISNYA’, Zoo Indonesia, 22(2), pp. 1–7.
Rabidhamadi, H. S., Istiana and Muthmainah, N. (2017) ‘HUBUNGAN
POLA ASUHAN IBU DENGAN KEJADIAN CACINGAN PADA MURID SDN
KUIN SELATAN 5 BANJARMASIN’, Berkala Kedokteran, 13(1), pp. 81–90.
Sumanto, D. (2014) PARASITOLOGI KESEHATAN MASYARAKAT.
Edited by H. Wartomo. Semarang: Yoga Pratama Semarang.
Widiastuti, D. et al. (2016) ‘INFEKSI CACING Hymenolepis nana DAN
Hymenolepis diminuta PADA TIKUS KABUPATEN BANYUMAS’, Vektora,
8(2), pp. 81–90.
10