Anda di halaman 1dari 20

A.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
hukum yang akan dibentuk. Politik hukum itu tidak bersifat permanen atau jangka panjang dan
ada yang bersifat periodik. Posisi politik hukum nasional yang akan, sedang, dan telah
diberlakukan di wilayah yuridiksi Republik Indonesia sangat penting karena hal itu akan
dijadikan sebagai pedoman dasar dalam proses penentuan nilai-nilai,penetapan, pembentukan,
dan pengembangan hukum di Indonesia. Artinya, baik secara normatif maupun praktis-
fungsional, penyelenggara Negara harus menjadikan politik hukum nasional sebagai acuan
pertama dan utama dalam proses-proses diatas.
Dalam hal ini terbentuknya suatu peraturan perundang- undangan di Indonesia tidak
terlepas dari peran politik, dapat dikatakan setiap peraturan perundang-undangan memilki
politik hukumnya sendiri atau arah kebijakannya sendiri, demi tercapainya cita cita negara.
Pada hakikatnya dalam pembentukan suatu Peraturan Perundang-undang di Indonesia,
seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dibutuhkan suatu politik hukum, yang
mana dalam pembentukan peraturan tersebut memilki arah kebijakan yang jelas dan terarah
sesuai dengan porsinya dan bertujuan untuk mencapai cita- cita negara. Cita-cita negara
tersebut meliputi keamanan publik negara manapun hal ini terkait langsung dengan masalah
hukum, politik, sosial, hak asasi manusia dan pembangunan.
Sejarah penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2013 pada tanggal 12 Juli
2017 dilatari klaim pemerintah yang merasa UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi
Kemasyarakatan tidak efektif mencegah Ormas yang bertentangan dengan Pancasila.
Sebelum Perppu ini berlaku dalam hal pembubaran organisasi kemasyarakatan
dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang diajukan oleh Kejaksaan dan melalui beberapa
tahapan yaitu dari tahap peringatan tertulis sampai pencabutan surat keterangan terdaftar atau
pencabutan status badan hukum yang mana diatur dalam Pasal 70-78 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tetapi berbeda hal dalam Perppu Nomor
2 Tahun 2017 Pasal 80A yang mengatur bahwa dalam pencabutan surat keterangan terdaftar
oleh Mentri sekaligus dinyatakan bubar.
Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang didasarkan atas Perppu No. 2
Tahun 2017 yang saat ini sudah sah menjadi UU No. 16 Tahun 2017 tentang Ormas sudah sah
konstitusional. Keabsahan pembubaran tersebut didasarkan atas adanya landasan yuridis
mengenai pelarangan Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-
0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. SK
pencabutan status badan hukum HTI merupakan tindak lanjut atas Perppu No. 2 Tahun
2017. Dalam keterangannya Direktur Dirjen Administrasi Hukum Umum Kementerian
Hukum dan HAM (Dirjen AHU Kemenkumham), Freddy Harris, menjelaskan bahwa
Kemenkumham memiliki kewenangan legal administratif dalam aturan pengesahan
perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan (Ormas). Maka dengan adanya pencabutan SK
Badan Hukum HTI maka Ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Perppu No. 2 Tahun
2017 Pasal 80 A. menurutnya jika ada pihak-pihak yang yang keberatan dengan keputusan ini
dipersilahkan untuk mengambil upaya hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan HTI yang secara resmi sudah dibubarkan atau dicabut status badan hukumnya oleh
pemerintah menggugat surat pembubaran Kemenkumham itu ke Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN). Proses peradilan di PTUN menjadi satu-satunya upaya hukum HTI dalam
rangka memperjuangkan eksistensinya. Hal itu terjadi lantaran DPR mengesahkan Perppu
Ormas menjadi UU No. 2 tahun 2017 tentang Ormas pada 24 Oktober 2017. Pengesahan
Perppu menjadi UU tersebut membuat judicial review HTI terhadap Perppu ormas yang
menjadi objek permohonan tidak ada, dan pokok permohonan kehilangan objek.
Maka gugatan HTI di PTUN menjadi satu-satunya langkah yang harus ditempuh untuk
membatalkan SK pembubaran HTI oleh Kemenkumham. Dalam gugatannya, HTI meminta
SK Nomor AHU-30.A.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan ditunda pelaksanaannya
hingga ada kekuatan hukum yang mengikat.
Namun hasil putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta
mengesahkan pembubaran HTI. Majelis hakim menganggap SK Kemenkumham tentang
pembubaran HTI sesuai dengan aturan. Gugatan tersebut ditolak karena adanya bukti-bukti
yang menyatakan HTI tidak sepaham dengan Pancasila. Badan hukum perkumpulan Hizbut
Tahrir Indonesia tanggal 19 Juli 2017 batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat dengan segala akibat hukumnya. idak terima dengan putusan itu, perkumpulan HTI
mengajukan banding. Alhasil, pembubaran HTI oleh menteri Hukum dan HAM (Menkumham)
sah. Menurut majelis hakim tindakan Kemenkumham tidak bertentangan dengan asas
contrarius actus karena Menkumham berwenang menerbitkan keputusan TUN tentang
pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI. Majelis juga menyatakan fakta hasil
pembuktian perkumpulan HTI terbukti. HTI terbukti ingin mengganti Pancasila, UUD 1945,
serta mengubah NKRI menjadi Negara khilafah.
Menanggapi putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Jakarta
yang menolak permohonan banding HTI. Ismail Yusanto selaku juru bicara HTI menuturkan
akan menempuh proses hukum kasasi. Menurutnya, pengajuan kasasi ini merupakan bentuk
perlawanan atas ketidakadilan yang menimpa HTI sehingga perlu untuk melakukan kasasi.
Sedangkan proses pendaftaran kasasi di Mahkamah Agung dilakukan oleh Yusril Ihza
Mahendra. Yusril berharap semua pihak menghormati proses hukum yang tengah berlangsung.
Namun langkah hukum ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengajukan kasasi
ke Mahkamah Agung (MA) tidak membuahkan hasil. MA menolak kasasi yang diajukan
oleh HTI. Putusan itu terkait pencabutan status badan hukum HTI oleh pemerintah.
Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 27 K/TUN2019, MA menolak
permohonan kasasi dari pemohon kasasi Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Dalam pertimbangan putusan, MA menyebutkan bahwa HTI telah melakukan kegiatan yang
mengembangkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, oleh karenanya sudah cukup
alasan hukum untuk memberikan sanksi administratif terhadap HTI sebagaimana yang telah
diatur dalam Undang-Undang.
MA juga menegaskan penerbitan keputusan tata usaha Negara objek sengketa tidak
mengandung cacat yuridis dari segi kewenangan, prosedur maupun subtansi serta tidak
bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang baik, oleh karenanya gugatan
HTI harus ditolak.
Dengan demikian Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-
30.AH.01.08/2017 tentang Pencabutan Status Badan Hukum HTI tetap berlaku dan
pembubaran Ormas HTI telah sah dilakukan oleh Kemenkumham. Sebab HTI terbukti telah
menyebarluaskan paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang atau PERPPU No. 2 Tahun 2017
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan telah diajukan Pemerintah dan telah ditandatangani oleh presiden Republik
Indonesia Ir. H. Joko Widodo pada tanggal 10 Juli 2017. Lahirnya Perppu ini bukanlah
merupakan hal yang baru dalam konteks bernegara. Sejak dikeluarkannya Perppu No. 2 Tahun
2017 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang No 17 tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan saat ini menjadi issue publik yang banyak diperbincangkan di dunia media
sosial, surat kabar, media massa, artikel-artikel, dan lain sebagainya banyak menimbulkan
pendapat pro dan kontra ditengah masyarakat Indonesia. Bahkan banyak tulisan pendek
yang berupa artikel kecil terkait Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang No 13 Tahun 2107 Tentang Organisasi Kemasyarakatan ini.
Dosen Hukum Negara Universitas Indonesia Prof. Dr. Satya Arinanto, SH.,MH
Mengatakan bahwa Perppu No 2 Tahun 2017 ini lebih demokratis dibandingkan dengan
Undang- Undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat karena terbentuk melalui
berbagai proses pembentukan perundang-undangan. Melalui Perppu No 2 Tahun 2017 ini
prosedur tata cara pembubaran ormas menjadi berubah. Dalam pembubaran ormas di Undang-
Undang No
17 Tahun 2013 proses pembubaran ormas harus menempuh jalan pengadilan untuk
membuktikan ormas ini bersalah dan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
kalau sudah memiliki kekuatan hukum yang tetap baru bisa dibubarkan, dan sekarang dengan
Perppu No 2 Tahun 2017 sebaliknya ormas bisa langsung dibubarkan oleh pemerintah dengan
mencabut status hukum pada ormas tersebut dan bubar.
Dalam jumpa pers Pemerintah, yang diwakili oleh menkopolhukam Jenderal (Purn)
Wiranto menjelaskan bahwa saat ini Negara sedang dalam kondisi darurat Ormas dan banyak
ancaman kepada Negara terhadap ormas-ormas yang mengkampanyekan ideologi-ideologi
yang anti dengan pancasila dan anti demokrasi dengan ideologi yang dianut. Sementara itu
Undang- Undang No 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak sepenuhnya
memberikan payung hukum yang kuat bagi pemerintah untuk bertindak tegas terhadap ormas-
ormas yang menyimpang dari cita-cita dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Hadirnya Perppu ini mengindikasikan adanya satu hal yang cukup menjadi
perhatiankhususnya pada dinamika organisasi kemasyarakatan. Stigma negatif pemerintah
terhadap perkembangan paham paham radikalisme, separatisme dan intoleran yang terjadi pada
setiap organisasi masyarakat yang bertentangan dengan ideologi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yaitu pancasila. Banyak pendapat Pro dan Kontra dari berbagai kalangan akademisi,
praktisi atau para pengamat hukum tata negara mengatakan bahwa Perppu ini diterbitkan untuk
melindungi rumah Indonesia untuk menjalankan mandat dari Undang- undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang dimana substansi materinya adalah melindungi segenap
tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, segala bentuk perbedaan dan
menjaga ketertiban umum serta menjaga nilai-nilai yang terkandung didalam butir pancasila.
Ada pula yang memberikan pendapat bahwa perppu ini di nilai sebagai bentuk otoriter
pemerintah yang akan memberangus kehidupan berbangsa dan bernegara, karena banyak pasal-
pasal yang dihilangkan.
Dengan diterbitkannya Perppu ini oleh Presiden dan akan diserahkan kepada DPR
untuk disidangkan, karena kondisi hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan akan tidak
terjangkaunya waktu yang ditentukan untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang baru
sehingga pemerintah dengan lekas dan cepat membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (PERPPU) sebagai jalan alternatif yang efektif. Dengan alasan-alasan tersebut
telah menjadikan pemerintah sebagai Legal Act atau bisa dikatakan sebagai “Political Actor”.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Philipe Nonet berikut ini :
“As political actor it assumes responsibility for deciding what ends are to be prsued and
what resources it is prepared to commit ini dealing with problems such as pollution control or
discrimination in employment”. These decisions expres and impose a political power,
howevernrestrained and sublimated it may be. But government must then proceedas legal
actor”
Melihat dari substansi isi Perppu No. 2 Tahun 2017 ini merupakan kelanjutan
bentuk peraturan baru yang dibentuk pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang No. 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Perppu ini memberikan suatu deskripsi dan
penjabaran tentang tata cara berorganisasi, mekanisme penyelesaian pelanggaran ormas, dan
sanksi yang diberikan kepada setiap organisasi yang melanggar ketentuan Undang-undang.
Dalam pasal per-pasal dan ayat per-ayat Perppu tersebut memberikan penjelasan mengenai
norma-norma pengertian dan penjelasan bahwa setiap organisasi yang terbentuk dimasyarakat
harus patuh dan tunduk kepada pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perppu No. 2 Tahun 2017 ini menegaskan dan bersifat proaktif kepada ormas-ormas yang
menyimpang, menganut, mengembangkan dan mengajarkan faham-faham yang bertentangan
dengan pancasila dan UUD Negara RI tahun 1945. Menyangkut hal itu, Perppu ini
terdiri dari 9 perubahan atas UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Masyarakat. Dari
pokok- pokok materi/isi perubahan yang diatur dalam Perppu No. 2 Tahun 2017 ini adalah
Pasal 1, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 80 ditambahi butir (a), BAB XVII
ditambahi huruf A menjadi BAB XVIIA, Pasal 82 disisipkan 1 pasal yakni Pasal 82A, Pasal 83
disisipkan 1 pasal yakni Pasal 83A, dan terdapat ketentuan 18 pasal yang dihapuskan oleh
Pemerintah yaitu pasal 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73,74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, dan
Pasal 81.
Kebijakan terhadap proses dan awal pembentukan perppu tentang ormas ini
menimbulkan banyak pertanyaan yang sifatnya kotroversial dari beberapa pakar politik dan
para pakar hukum yang mencermati sikap presiden dalam menangani dan menyelesaikan
kasus- kasus penodaan, kekerasan, yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat yang saat
ini menjadi perhatian dan target pemerintah dalam membenahi dan menata organisasi
masayarakat. Hal ini sangat menunjukan bahwa Pemerintah sebagai penyelenggara roda
pemerintahan telah bertindak cepat dalam mengambil suatu tindakan yang sangat cepat.
Mahfud MD mengemukakan tentang hal tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban
untuk melihat hubungan antara hukum dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan
politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum, Kedua, pandangan yang melihat bahwa
politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat
dengan kepentingan dan konfigurasi politik, dan ketiga pandangan yang melihat bahwa
hukum dan politik merupakan dua elemen subsistem kemasyarakatan yang seimbang, karena
walaupun hukum merupakan produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas
politik maka politikpun harus tunduk pada hukum.
Ketiga macam jawaban di atas adalah bangunan teori yang dibangun berdasarkan
realitas relasi antara dua sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD
menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir
merupakan cerminan konfigurasi politik. Dalam hubungan tarik menarik antara hukum dan
politik maka sesungguhnya politik mempunyai energi yang cukup kuat untuk mempengaruhi
hukum. Untuk itu perlu dikaji suatu tulisan dengan judul “Aspek Pengubah Hukum dari
Aspek Politik”.

Itok Dwi Kurniawan, “Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Kewarganegaraan
Liberal Dan Kewarganegaraan Republik.” Global Citizen Universitas Slamet Riyadi, VI, 2, h. 4.

Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Erfandi, “Konstitusionalitas Pembubaran HTI dan Perlawanannya di PTUN”, Alinea.id, diakses dari
http//www.alinea.id/kolom/konstitusionalitas-pembubaran-hti-dan-perlawanannya-di-ptun.
2. Rumusan Masalah
a) Apakah politik dapat mengubah hukum?

b) Bagimana politik dalam mengubah hukum?

c) Bagaimanakah politik hukum pembubaran organisasi kemasyarakatan dalam Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017?

3. Metode Penelitian
Metode pendekatan berguna untuk mendekati obyek dari penelitian atau dalam
mengumpulkan data yang diperlukan. Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu pendekatan yang berpegang dari
segi-segi yuridis/hukum atau peraturan-peraturannya dalam mencari dan mengumpulkan data.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder ini
diperoleh melalui studi kepustakaan.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 1.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2010. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: RajaGrafindo
Persada, halaman 2.

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2004, hlm. 118.
4. Landasan Teori
Teori Politik Hukum
Demokrasi yang ada saat ini adalah hasil proses politik dengan konfigurasi politik yang ada.
Konfigurasi politik suatu Negara melahirkan karakter produk hukum tertentu dinegara
tersebut. Didalam Negara yang konfigurasi politiknya demokratis maka produk hukumnya
akan berkarakter responsive. Hipotesa ini berlaku untuk hukum-hukum publik yang
mengatur hubungan kekuasaan atau hukum- hukum tentang politik. Sedangkan untuk
hukum-hukum privat, meskipun hipotesis tersebut benar berlaku, namun sentuhannya tidak
terlalu kuat.
a. Teori Ilmu Politik
Ilmu politik menurut Miriam Budiardjo adalah Bermacam-macam kegiatan dalam
suatu system politik (atau Negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan
dari system itu. Pengambilan keputusan (decision making) mengenai apakah yang
menjadi tujuan dari system politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan
penyusunan skala prioritas dari tujuan yang telah dipilih. Untuk melaksanakan tujuan
itu perlu ditentukan kebijakan umum (public policies) yang menyangkut pengaturan
dan pembagian (distribution) atau alokasi dari sumber-sumber yang ada, untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan itu perlu dimiliki kekuasaan (power), kewenangan
(authority) yang akan dipakai baik membina kerjasama baik untuk meyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses politik ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat
persuasi (meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan. Tanpa unsur paksaan kebijakan-
kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan
juga politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk sekumpulan partai politik
dan kegiatan orang individu. Ilmu politik mengkaji dan mempelajari “politik” dan
seperti yang disebutkan politik menyangkut system politik Negara, pengambilan
keputusan, kebijakan umum (public policy) atau kebijakan (policy), kekuasaan (power),
dan kewenangan (authority), dan pembagian (distribution) atau alokasi (allocation).
Definisi ilmu politik akan banyak tergantung dari hal mana yang menjadi sorotan atau
menjadi perhatian dari seorang pakar ilmu politik.
b. Teori Ilmu Hukum
Secara definisi Ilmu hukum membicarakan dan menyangkut segala hal yang
berhubungan dengan hukum. Demikian luasnya dalam mengkaji ilmu ini bahkan banyak
pendapat mengatakan bahwa batasan-batasannya tidak bisa ditentukan, dalam Bahasa
inggris disebut Jurisprudence.
Beberapa pakar hukum juga berpendapat bahwa ilmu hukum adalah ilmu yang
mempelajari rumusan tentang hukum yang dapat mencakup dari segala segi hukum
yang luas itu memang tidak mungkin dibuat. Sebab suatu definisi tentunya memerlukan
berbagai persyaratan seperti jumlah kata- kata yang digunakan sedapat mungkin
tidak terlalu banyak dan mudah dipahami, singkat dan jelas. Hukum yang banyak seginya
tidak dapat mungkin dituangkan ke dalam beberapa kalimat saja, oleh karena itu definisi
tersebut tidak sempurna.
c. Pengertian Politik Hukum
Hal yang menarik terkait dengan dibuatnya sebuah perundang-undangan tidak
lepas dari konfigurasi politik yang berimplikasi pada politik hukum dan lahirnya
peraturan.
Menurut Prof. Mahfud MD, Politik Hukum adalah “Legal Policy” atau arah hukum
yang diberlakukan oleh Negara untuk mencapai tujuan Negara yang bentuknya berupa
pembuatan hukum baru dan mengganti hukum yang lama. Dalam penafsiran seperti ini
hukum harus berpijak pada tujuan Negara dan system yang berlaku di Negara yang
bersangkutan. Secara otentik dokumen tujuan Negara dari sistem yang berlaku di
Indonesia adalah Naskah Pembukaan UUD 1945, khususnya pancasila yang melahirkan
kaidah-kaidah penuntutan hukum.
Ilmu politik hukum itu membedah semua unsur dalam sistem yang unsur-unsur
utamanya oleh Friedman dikelompokkan menjadi 3 unsur besar yaitu materi hukum,
struktur hukum, dan budaya hukum. Dalam hal ini ilmu politik hukum bukan hanya
mencakup politik hukum dalam arti sebagai arah resmi Negara untuk memberlakukan
atau tidak memberlakukan hukum guna mencapai tujuan Negara, melainkan juga
mencakup latar belakang dan lingkungan yang mempengaruhi serta berbagai persoalan
yang dihadapi dalam upaya menegakkannya.

Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia cet. II (Jakarta : LP3ES, Tahun 2001), hlm. 9
PEMBAHASAN

A. Politik sebagai pengubah hukum

Sebelum kita mencari tahu bagaimana politik dapat mengubah hukum terlebih
dahulu kita harus mengatahui Hubungan antara hukum dan politik. Hubungan antara
hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai
hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik
dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka
tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik
masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif yang
memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tidak relevan
lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena
pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem
pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945
diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum
(rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada
negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik,
dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel
terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel
berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik
yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa
kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang
imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi
dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang
sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan
aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
Undang-Undang.
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul
penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik
menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu
dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya
terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh
kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi,
penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan-
politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu
saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.
Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is
a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari
mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan
mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum.
Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak
lain dari produk politik atau kekuasaan.
Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan
forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil
sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh
penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk
mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini
merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-
aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa
hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.
Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain
merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari
keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk
menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis
dan tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan
untuk manusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum
itu sendiri sebenarnya terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction),
kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignty).
Pandangan Realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai
perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya  selalu dipengaruhi
oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam
kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem
kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan
pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum
dan politk yang lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya
peraturan hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak
mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang
seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak
produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang
kekuasaan.
Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia,
bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan,
kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam
pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan
karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan
menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula
dukungan kekuasaan yang diperlukan.
Jika hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah
ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari
pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting
digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu
disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain yang
harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa pengabdian
terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.
Pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan.
Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber
lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, inteligensia, dan
moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena biasanya
kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk
ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik
buruknya sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut
digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya
untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih
dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib
dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.
Moh. Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri
kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya
selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan
khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan
kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada
kelompok yang ditundukkan, keempat kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang
memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai
elite penguasa dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan
mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi
perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan
melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang
konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif
(populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka
produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif/elitis). Perubahan konfigurasi politik
dari ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan
melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter
akan melahirkan produk hukum yang konservatif. Dalam era reformasi saat ini, konfigurasi
politik demokratis, dengan ditandai banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan
berbagai elemen masyarakat dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi
politik demokratis yang sedang maraknya saat ini, agar tidak kebabalasan maka perlu di
ingat tentang tujuan politik nasional Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan bangsa
Indonesia yang telah berhasil merebut kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD
1945 untuk mengisi kemerdekaan tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.
B. Politik Dalam Mengubah hokum
Ada beberapa sub unsur yang yang terkandung dalam politk sebagai pengubah
hukum antara lain:
1. Pengaruh Partai Politik dalam mengubah hukum
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun
kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum,
namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum
mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang
berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk
hukum.    

Dari kenyataan ini di sadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata process dan kata institutions,
dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh
itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi
politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi
politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan
politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum
(pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang
kekuasaan.
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan
politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik
secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang
vacum tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik
hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-kekuatan politik
dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal
(institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara
seperti Presiden, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari
infrastruktur politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan
politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang
geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances,
seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika
diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan
negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga
negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya
berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem
yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap
lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang
rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Negara demokrasi, partai politik merupakan hal yang sangat penting dalam
penyelenggaraan negara, sebab melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan
untuk memilih presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik
merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara untuk
mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang paling ampuh
dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian pentingnya
keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya pemeo dalam
masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja dengan kolam yang tidak
ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat
dipengaruhi oleh masyarakat yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu
dianggap sebagai salah satu atribut dari negara modern, sebab partai politik itu sangat
diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat eksistensi
partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur aspirasi rakyat, juga
merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang
duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu
tempatnya seseorang atau sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam
sebuah negara. Menurut Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science,
sebagaimana yang dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah
sekelompok orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar
dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam
jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu
pertama ikut serta dalam pelaksanaan pemerintahan secara sah melalui pemilihan umum
dengan merebut suara terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive)
untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih lanjut
dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian integral dalam proses
guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum. Partai politik yang
memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan memperkuat posisi elite dalam
menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih lanjut yakni mengawasi kebijakan
umum pemerintah.
Konteks Indonesia, peran partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih
dahulu harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang
Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-
undang bersama DPR”. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945
yang berbunyi tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR.
Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif
mempunyai peran seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang
mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada. Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa
tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk undang-
undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan dalam
pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan
Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan negara dan pengelolaan keuangan negara
serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan
persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban
keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan hal-hal yang ditugaskan
oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui
bahwa tugas dan wewenang itu seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting
dalam melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga
berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan
tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.
C. Politik Hukum Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU)
No. 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan

Cita hukum pancasila sebagai kaidah penuntun dapat diawali dengan pembentukan
regulasi yang berdasarkan asas-asas pancasila sebagai alat pembaharuan dan cerminan
masyarakat. Politik hukum dalam arti sempit sering diartikan Legal Policy. Politik hukum
dalam arti Legal Policy merupakan garis resmi Negara tentang hukum yang akan
diberlakukan dan tak akan diberlakukan (membuat yang baru dan mengganti yang lama),
untuk mencapai tujuan Negara, dan disini peran hukum untuk mencapai tujuan Negara45.
Politik hukum merupakan alat atau sarana dana langkah yang dapat digunakan oleh
pemerintah untuk menciptakan system hukum nasional46.
Pijakan dasar dalam politik hukum adalah cita-cita bangsa dan tujuan Negara
Indonesia yang berdasarkan pancasila. Hukum sebagai produk politik sehingga setiap
karakter produk hukum akan ditentukan dan diwarnai dengan perimbangan kekuatan atau
konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini merupakan suatu fakta dimana setiap
produk hukum adalah suatu Pengambilan suatu keputusan (decision making) yakni
keputusan politik sehingga dilihat bahwa hukum adalah kristalisasi dari setiap pemikiran
politik yang berinteraksi diantara kalangan pejabat ataupun politisi.
Dalam sejarah pembentukan perppu di Indonesia dari tujuh presiden yang
menggunakan kewenangan untuk membuat dan membentuk perppu pada umummnya
menunjukan kriteria- kriteria antara lain; bersifat mendesak karena keterbatasan waktu,
mengandung unsur terjadinya krisis, adanya kekosongan hukum. Adanya aturan yang
tidak memadai sehingga butuh penyempurnaan, serta penundaan pemberlakuan suatu
ketentuan undang-undang. Kriteria tersebut tidak bersifat kumulatif dalam proses
pembentukan perppu no. 2 Tahun 2017 ini dapat dikatakan dan melihat dengan kondisi
Negara yang mungkin masih dalam situasi yang kondusif dalam konteks berorganisasi
dan bermasyarakat. Dalam konteks ini pemerintah mengabaikan aspek-aspek yang menjadi
asas pembentuk peraturan perundang-undangan dengan proses yang sah secara hukum.
Penafsiran kegentingan yang memaksa dalam perppu pada umumnya menjadi hak dan
subjektifitas presiden dan ini yang menjadi persoalan bagi DPR dalam menentukan
parameter untuk menafsirkannya. Bahkan, dari beberapa perppu tidak memenuhi unsur
kemendesakan akan kebutuhan hukum47. Terbitnya Perppu No 2 Tahun 2017 Tentang
Perubahan Atas Undang-undang no 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi
Kemasyarakatan secara tidak langsung memberikan banyak opini dan pertanyaan ataupun
pernyataan tentang apakah Perppu No. 2 Tahun 2017 diterbitkan untuk membubarkan HTI
yang dianggap pemerintah menyimpang dalam asas dan tujuan berdirinya di Indonesia?.
Pembubaran Hizbut Tahir Indonesia (HTI) yang semakin didekatkan dengan perbincangan-
perbincangan pembubaran dengan Perppu tersebut dikalangan pemerintah ataupun di ruang
masyarakat tentu menjadi sesuatu yang dianggap sangat mengkhawatirkan bagi seluruh
organisasi masyarakat di Indonesia. Sebab, melihat substansi pasal perpasal perubahan
dari isi perppu ini bersifat multitafsir, yakni target dan tujuannya tidak hanya menyasar
kepada kelompok-kelompok yang bertentangan dengan pancasila seperti faham
radikalisme, terorisme dan marxisisme, tetapi juga dapat menyasar kepada kelompok-
kelompok organisasi masyarakat yang lain dengan tujuan-tujuan yang baik dalam
kehidupan bermasyarakat karena pemerintah dapat membubarkannya dengan sepihak dan
dengan berbagai alasan menjadi dasar pembubarannya.
Selain itu konfigurasi politik ini juga terlihat pada lanjutan sidang yang akan
dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menyetujui dan atau menolak
perppu ini. Dengan dua pilihan menyetujui ataupun menolak perppu ini merupakan
bagian yang tidak bisa terpisahkan dalam hubungannya dengan politik hukum suatu
kebijakan dua lembaga dengan tugas dan wewenang yang berbeda.
Dapat kita lihat dengan seksama secara menyeluruh point konsideran dalam
pertimbangan lahirnya perppu ini adalah “Bahwa Negara berkewajiban melindungi
kedaulatan NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun
1945; Pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi kemasyarakatan yang
didasarkan pada pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 merupakan perbuatan yang
sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang
etnis, agama, dan kebangsaan pelakunya; Terdapat organisaasi masyarakat tertentu yang
kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyrakatan sesuai dengan anggaran
dasar organisasi kemasyarakatan yang telah terdaftar dan telah disahkan pemerintah dan
bahkan secara factual terbukti ada asas organisasi kemasyarakatan dan kegiatannya
bertentangan dengan pancasila dan UUD NRI Tahun 1945; dan yang terakhir bahwa
Undang-undang no. 13 tahun 2017 Tentang Organisasi Kemasyarakatan asas “Contrarius
Actus” sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadapa organisasi
kemasyarkatan yan menganut, mengembangkan dan menyebarkan ajaran atau faham yang
bertentangan dengan pancasila dan Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 Dengan
pertimbangan dan penjelasan lahirnya Perppu tersebut, situasi ini mengindikasikan bahwa
pemerintah dengan tegas memiliki suatu kekuasaan yang sangat luar biasa dalam
pengambilan keputusan tanpa melalui suatu proses hukum yang baik dalam suatu Negara
yang berdasarkan atas hukum yang sebagaimana acuan bangsa dan Negara Indonesia
dalam tertib berhukum sesuai dengan pasal 1 Ayat 3 UUD NRI Tahun 1945 “Negara
Indonesia adalah Negara hukum”48.
C. Penutup
Dari kesimpulan dan hasil dari penelitian ilmiah yang telah penulis temukan dalam
politik hukum Pembentukan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 bahwa Perppu ini masih
sangat jauh dari parameter unsur-unsur dan aspek dalam proses pembentukan Perppu oleh
Presiden. Kewenangan presiden dalam pembentukan perppu merupakan kewenangan
derivatif yang bersumber dari kewenangan legislatif. Presiden seharusnya hanya
menjalankan kewenangan eksekutif, namun dalam keadaan darurat yang mendesak akan
terjadinya kekosongan hukum presiden dapat mengambil langkah untuk membuat perppu
yang mensyaratkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa.
Kewenangan Presiden dalam membentuk dan menetapkan Perppu Nomor 2
tahun 2017 merupakan salah satu kewenangan subjektifitas Presiden untuk menentukan
arah kebijakan Negara terhadap prinsip-prinsip dan tujuan Negara yang diamanatkan oleh
konstitusi. Penafsiran asas hal ikhwal kegentingan yang memaksa, penetapan Perppu No. 2
Tahun 2017 Tentang Perubahan UU Nomor 17 Tahun 2013
Tentang Organisasi Kemasyarakatan dapat dikonsepsikan untuk membangun
persepsi dalam menjaga stabilitas keamanan, stabilitas politik, dan stabilitas hukum dalam
mengatur dan mengelola problematika ormas yang dihadapi Negara dewasa ini. Perppu
tersebut difungsikan untuk meminimalisir kekuatan- kekuatan yang melatar belakangi
berbagai ideologi kepentingan organisasi masyarakat pada kelompok-kelompok tertentu
yang menyimpang dengan ideologi Negara seperti organisasi yang tujuan dan anggaran
dasar dari organisasi tersebut bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.
Perppu ini juga menjadi salah satu tools (alat pemukul) bagi pemerintah yang hendak
membubarkan organisasi masyarakat lokal ataupun internasional yang bertentangan dengan
ideologi Negara Kesatuan Republik
Indonesia yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Adapun saran penulis atas permasalahan- permasalahan tersebut di atas yaitu
sebagai berikut:
1. Dalam membentuk Perppu seyogyanya Presiden harus memperhatikan dan
menganalisa dengan baik terkait dengan unsur hal ikhwal kegentingan yang memaksa
sebagai dasar dikeluarkannya perppu secara objektif sehingga tidak ada yang dirugikan
melalui kepentingan politik ataupun yang menyangkut persoalan Hak Asasi Manusia
(HAM).
2. Dalam memberikan persetujuan dan keputusan terhadap Perppu yang
telah dibentuk oleh presiden, sebaiknya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memiliki
kewenangan menolak atau menerima Perppu dapat melakukan kajian yang mendalam
kepada Perppu tersebut sehingga hasilnya dapat diharapkan untuk membawa keadilan dan
kemanfaatan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai