Anda di halaman 1dari 3

KASUS BANK EXIM DAN KERUGIAN KARENA TRANSAKSI

DERIVATIF

Beberapa bank juga pernah terbelit persoalan transaksi derivatif ini. Yang terbesar dan
menghebohkan adalah skandal transaksi valuta asing yang melibatkan Bank Exim pada 1998.
Bank itu limbung setelah mengalami kerugian akibat transaksi hingga 6,64 triliun rupiah.

Sebelum kekalahan itu terbongkar, Bank Exim memang dikenal banyak mengambil
keuntungan dari perbedaan suku bunga antara suku bunga rupiah dengan bunga pergerakan
kurs. Polanya, bank itu meminjam dana dalam bentuk dolar Amerika tanpa di-hedging
(lindung nilai). Dana itu lalu dipinjamkan kembali dalam bentuk rupiah dengan bunga cukup
tinggi di pasar uang antar bank.

Katakanlah pergerakan kurs berkisar 5-6 persen (saat sebelum krismon 1998), dan sementara
suku bunga rupiah bergerak pada kisaran 17 persen, maka Bank Exim akan menanggung
selisih bunga hingga 12 persen. Mei 1997, bank itu kembali melakukan pola yang sama
dengan mengikat kontrak forward sebesar 2.725 rupiah untuk 1 dollar AS.

Nilainya mencapai 2,16 miliar dollar AS atau 15 kali lipat melampaui ketentuan yang
dibolehkan otoritas moneter. Mengantongi ekuitas 1,5 triliun rupiah, dengan ketentuan itu
Bank Exim sebetulnya hanya bisa melakukan transaksi derivatif sekitar 350 miliar rupiah.

Singkat cerita dengan kontrak itu, berarti Bank Exim akan menyerahkan dolarnya (short
position) dengan harga yang sudah dipatok rata-rata 2.725 rupiah. Dua bulan kemudian badai
krismon menghantam Indonesia dan berujung pada melambungnya nilai dolar. Hingga
Agustus 1997, bank itu sebetulnya sudah berpotensi rugi 150 miliar namun belum dilakukan
langkah pencegahan. Juga tidak melakukan lindung nilai.

Puncaknya terjadi pada Desember, ketika harga dolar sudah mencapai 3.191 rupiah. Saat itu
potensi kerugian Bank Exim sudah menggelembung hingga 6,64 triliun rupiah. Kasus itu
terbongkar setelah ada dalam laporan keuangannya kepada Bank Indonesia, neraca Bank
Exim terlihat bersih. Padahal dalam off balance sheet atau neraca yang tidak dilaporkan,
keuangan Bank Exim tidak mencantumkan kewajiban membayar 2,16 miliar dolar AS.

Skandal menghebohkan di ujung 1998 itu belakangan menyeret Hedi Rahadi Salmun,
Direktur Sindikasi dan Jasa Keuangan Bank Exim dan Saleh Azis, Kepala Biro pengelolaan
Dana Bank Exim ke sel tahanan. Bank Exim kemudian dilebur ke dalam Bank Mandiri,
bersama antara lain Bank Bumi Daya.

Dalam kasus yang merebak dimasyarakat masyarakat tentu masih ingat permainan valas
Bank Exim yang merugikan negara mencapai lebih dari Rp20 Trilyun. Yang diketahui
masyarakat saat ini seperti yang disiarkan oleh pers adalah adanya dua tersangka dan
perkaranya sudah dilimpahkan oleh kepolisian ke kejaksaan tetapi sampai ini belum
dilimpahkan ke pengadilan. Tuduhannya adalah pelanggaran atas pelaporan yang tidak benar
oleh bank yang bersangkutan atas permainan valas.

Kalau masalah ini dilimpahkan ke pengadilan masalahnya akan cukup menarik dan penting
dalam rangka pemberantasan total KKN pada Bank BUMN tersebut, oleh karena masih
banyak hal-hal yang masih misteri disekitar kasus tersebut.
Bank lain yang juga pernah kolaps akibat transaksi derivatif adalah Bank Duta. Pada kuartal
terakhir 1990, bank itu terhuyung-huyung karena kalah bermain valas sebesar 417 dollar AS.
Sama dengan Bank Duta saat itu mengikat transaksinya melalui delapan bank. Salah satunya
melalui National Bank of Kuwait cabang Singapura.

Analisis Kasus

Karena transaksi derivatif merupakan transaksi yang menjual prospek kepada masyarakat jika
tidak dapat memenuhi nilai yang didapat masyarakat saat itu juga maka bank Exim harus
memenuhinya bahkan sampai menderita membuat negara mengalami kerugian sebesar Rp20
milyar.

Permainan valas dibatasi oleh ketentuan NOP sebesar 25 % dari modalnya, mengapa dalam
permainan valas ini sangat jauh melebihi (LEBIH DARI 1000 % dari ketentuan yang
diperkenankan) dari ketentuan Bank Indonesia dan tidak terdekteksi oleh Direksi dan internal
auditornya termasuk pula team BPKP yang secara permanent bermarkas pada bank tersebut.
Terbongkarnya kasus ini sebenarnya adalah laporan dari pejabat yang sekarang menjadi
tersangka kepada Dirut yang baru. Disini bisa menimbulkan tanda tanya, mengapa semua
pejabat tersebut bisa “kecolongan” dan tertidur lelap atas kasus tersebut. Mungkin sikap KKn
dan korupsi membuat banyak pejabat dan pemilik perusahaan mau menutupi dan tidak
mengakui hal tersebut, yang penting dirinya dulu yang kaya baru mengurusi hal lain.

Dalam salah satu ketentuan Bank Indonesia mengenai traksaksi derivatif ini telah diatur:
Penanggung jawab traksaksi tersebut ada pada Direksi,ada aturan main yang yang jelas serta
sistem reportingnya. Disitu juga dijelaskan sistem auditnya. Yang menjadi pertanyaan disini
mengapa Direksi terutama Direktur utamanya yang juga membawahi Divisi Pengawasannya,
Direktur Bidang Luar Negeri yang membawahi divisi yang melaksanakan transaksi derivatif
dan direktur yang membidangi sistem dan administrasi termasuk juga eselon dibawahnya bisa
begitu saja melepas tanggung jawabnya. Dari kasus derivatif ini terkesan sangat kuat
lumpuhnya sistem administrasi , reporting dan pengawasan. Mengapa hal yang sedemikian
sampai terjadi suatu hal yang sulit dipercaya tetapi itulah adanya.

Kasus derivatif ini sendiri kemudian ikut ‘melilit‘ bank-bank yang memasarkan produk
derivatif tersebut. Mengapa demikian? Karena bank lokal pun melakukan kontrak dengan
bank asing. Dollar yang mereka beli dari nasabah melalui kontrak, langsung ‘dioper‘ lagi
dengan kontrak kepada bank asing. Ketika nasabah gagal memenuhi kontraknya, bank lokal
pun ‘kalang-kabut‘ karena tetap harus memenuhi kontrak dollar mereka ke bank asing.

Transaksi derivatif lindung nilai dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multifinance atau


pembiayaan. Dengan melakukan transaksi lindung nilai tapi tidak melibatkan diri pada
investasi yang bersifat spekulatif.

Kepentingan lindung nilai sangat dibutuhkan pada perusahaan pembiayaan. Perusahaan


pembiayaan menutupi kebutuhan funding dengan menggunakan pinjaman dollar sehingga
membutuhkan lindung nilai atas fasilitas tersebut. Transaksi derivatif yang dilakukan sangat
normal karena multifinance juga menggunakan fasilitas hedging
Dalam perusahaan juga ada manajemen risiko yang memiliki tujuan yaitu untuk mengurangi
risiko yang dihadapi oleh suatu perusahaan dan untuk meminimalkan kerugian keuangan
(financial losses) yang mungkin timbul akibat suatu transaksi bisnis. Jika dikaitkan dengan
contoh di atas, maka bisa dikatakan bahwa bank Exim tersebut seharusnya berusaha
meminimalkan kerugian akibat fluktuasi kurs dengan membeli forward. Kerugian maksimal
yang mungkin ditanggung oleh pengusaha tersebut adalah sejumlah harga forwardnya yaitu
dalam situasi kurs Rupiah menguat.

Pertanyaan:

Apa yang seharusnya dilakukan Bank Exim? Bagaimana manajemen risiko yang sebaiknya
dilakukan?

Anda mungkin juga menyukai