Anda di halaman 1dari 418

LAPORAN FARMASI KLINIK

PRAKTIK KERJA PROFESI


APOTEKER
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL
ANWAR JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 2
MALANG

Disusun Oleh :

Mahasiswa Program Studi Profesi Apoteker Periode 102


(9 Februari 2016 – 11 April 2016)
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga
2016
LEMBAR PENGESAHAN

LAPORAN FARMASI KLINIK


PRAKTIK KERJA PROFESI
APOTEKER
DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH Dr. SAIFUL ANWAR
JALAN JAKSA AGUNG SUPRAPTO NO. 2 MALANG

Laporan ini disusun sebagai salah satu tugas struktural Mahasiswa


Praktik Kerja Profesi Apoteker Universitas Airlangga Periode 102
(9 Februari 2016 – 11 April 2016)

Disetujui oleh :

Kepala Instalasi Farmasi RSUD Dr. Saiful Anwar NIP. 19680301 199603 2 002

Dra. Arofa Idha, M.Farm-Klin., Apt.


ii
Koordinator PKPA Rumah Sakit

Drs. Didik Hasmono, M.S., Apt. NIP. 19580911


198601 1 001

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya kepada
penulis, sehingga Praktik Kerja Profesi Apoteker yang dilaksanakan di RSUD Dr. Saiful
Anwar Malang dapat terlaksana dengan baik.
Terlaksananya Praktik Kerja Profesi Apoteker ini tidak lepas dari kesempatan,
bantuan, bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:
1. Dr. Restu Kurnia Tjahjani, M.Kes. selaku Direktur RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang yang telah memberikan izin dan kesempatan kepada penulis untuk bisa
belajar serta memperoleh pengalaman selama menjalankan Praktik Kerja Profesi
Apoteker di RSUD Dr. Saiful Anwar Malang.
2. Dra. Arofa Idha, M.Farm.Klin., Apt., selaku Kepala Instalasi Farmasi di RSUD Dr.
Saiful Anwar Malang, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada kami
selama Praktik Kerja Profesi Apoteker.
3. Drs. Agus Sunarko, M.Farm Klin., Apt., Drs. Bambang Sidharta., M.S., Apt., Drs.
Irfan Affandi, Apt., Lisa Ristiyani, S.Farm., Apt., yang telah dengan sabar
memberikan waktu, arahan, pembelajaran dan berbagi pengalaman kepada penulis.
4. Seluruh staff dan karyawan instalasi farmasi maupun unit pelayanan farmasi yang
telah membantu kami selama pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker.
5. Orangtua dan saudara penulis atas doa dan dukungan yang telah diberikan selama
menjalankan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.
6. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu atas bantuan dan
dukungan yang diberikan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
pelaksanaan Praktik Kerja Profesi Apoteker ini.
Kami berharap semoga di waktu mendatang, pengetahuan dan pengalaman yang
telah kami peroleh selama Praktik Kerja Profesi Apoteker di RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang, dapat bermanfaat dan menjadi modal awal bagi kami dalam menjalankan tugas
sebagai seorang Apoteker untuk melayani masyarakat khususnya di bidang kesehatan.

Malang, April 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN PENGESAHAN..................................................................... ii
KATA PENGANTAR................................................................................. iii
DAFTAR ISI................................................................................................ iv

1. LAPORAN STUDI KASUS


1.1 StudiPenggunaanObatpadaPasien CKD Stage V disertai
NSTE-ACS, Anemia Renal, danRiwayat DM Tipe II serta
Hipertensi ..................................................................................... 1
1.2 StudiPenggunaanObatpada Ileus Paralitikpost-Appendyctomi.... 43
1.3 StudiPenggunaanObatpadaPasien HIV Stage III disertai TB Paru,
Moniliasis, danGiziBuruk............................................................. 78
1.4 StudiPenggunaanObatpadaPasienChoriocarcinoma Vagina
MetastaseParuon Kemoterapi Seri VI .......................................... 115
1.5 StudiPenggunaanObatPadaPasiendengan CVA-ICH disertai
SAH, IVH, dan HT Stage II ......................................................... 150
1.6 StudiPenggunaanObatpadaPasien Multiple Abses Pyogenic DD
Amoebiasisdisertai Cholecystitis danEfusi Pleura ....................... 185
1.7 StudiPenggunaanObatpadaPasienSindromaNefrotikdisertai
Severe Hipoalbuminemia, Edema Anasarka, dam Renal Azotemia,
Haematuria, dan Dyspepsia Syndrome......................................... 214
1.8 StudiPenggunaanObatpadaPasienDistres Naps ok. RDS Grade
III disertai Edema Paru, Twin to Twin Transfussion Syndrome
( Resipien ), danEarly Onset Sepsis ............................................. 257
1.9 StudiPenggunaanObatpadaPasiendengan HT, DM Tipe II,
Dyspepsia Syndrome, dan Post-Syncope ..................................... 288
1.10 StudiPenggunaanObatpadaPasienAbdominal Pain
disertaiPeritonitis, Ileus Paralitik, Anemia Normokromik-
Normositer, Mild Hipokalemia, danLeukositosis......................... 324

i
2. LAPORAN TUTORIAL
2.1 IRNA-1 : Chronic Kidney Disease ............................ 370
2.2 IRNA-II : CederaKepala ............................................ 377
2.3 IRNA –III : Pre-Eklampsia ........................................... 382
2.4 IRNA-IV : Status Epileptikus ...................................... 393
2.5 IRNA-I-Kegawatan : CVA........................................................... 404

v
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Chronic Kidney Disease


1.1.1 Definisi
Chronic Kidney Disease didefinisikan sebagai kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
ditentukan dengan adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan GFR (Glomerulus Filtration Rate). CKD juga dapat didefenisikan
2
penurunan GFR sampai kurang 60 mL/min/1,73 m dari luas permukaan tubuh

selama lebih dari 3 bulan. CKD merupakan hasil dari progresivitas penurunan
fungsi ginjal oleh karena penurunan jumlah nefron yang berfungsi pada ginjal
(Fauci et al, 2011).

1.1.2 Klasifikasi
CKD diklasifikasikan menjadi 5 stadium dengan tujuan untuk mengetahui
tahap kerusakan yang dialami.
Tabel 1.1 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (K/DOQI, 2002)
Stadium Deskripsi GFR (mL/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan eGFR >90
normal atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60 – 89
eGFR ringan
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan 30 – 59
eGFR sedang
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan 15 – 29
eGFR berat
5 Kerusakan ginjal tingkat akhir (gagal <15 atau dialisis
ginjal)

1
1.1.3 Etiologi
Faktor risiko yang dapat menyebabkan CKD dapat dibagi dalam 3 kategori
antara lain :
Tabel 1.2 Faktor risiko CKD (Fauci et al, 2011)

Kategori Contoh
Usia, penurunan massa ginjal, berat lahir
rendah, ras, riwayat keluarga pernah
Faktor kerentanan
mengalami CKD, rendahnya penghasilan dan
pendidikan, inflamasi sistemik, dislipidemia.
Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
autoimun, Polycystic Kidney Disease, toksisitas
Faktor inisiasi
obat, abnormalitas saluran kemih (infeksi,
obstruksi, adanya batu
Hiperglikemia (pada pasien diabetes mellitus
Faktor progresif yang kontrol gulanya buruk), hipertensi
(kenaikan tekanan darah), proteinuria, merokok

1.1.4 Epidemiologi
PGK merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kejadian dan prevalensi yang meningkat, munculnya komplikasi, serta
membutuhkan biaya yang tinggi (Levey et. al., 2009). PGK merupakan
keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal menuju tahap terminal. (NICE Clinical Guidelines,
2014). Sistem Data Renal US mencatat bahwa pada tahun 2010 terdapat
1.876.000 orang yang menderita PGK dan meningkat pada tahun 2011
menjadi 1.926.000 orang. Menurut data dari PERNEFRI dalam Indonesian
Renal Registry tahun 2014 didapatkan 2.471 kasus PGK di Jawa Timur dari
total 12.770 kasus PGK di Indonesia.

1.1.5 Patofisiologi
Berbagai faktor etiologi Chronic Kidney Disease menyebabkan
kerusakan ginjal dengan berbagai cara yang menyebabkan berbagai perubahan
morfologi glomerulus, tergantung pada diagnosa awal glomerulonefritis.
Perkembangan kerusakan ginjal utamanya melalui 3 jalur yaitu kerusakan massa
nefron, hipertensi intraglomerulus dan proteinuria. Paparan initiation factors
menghasilkan kerusakan massa nefron. Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal

2
akan dikompensasi dengan hipertrofi nefron yang selanjutnya menjadi maladaptif
dan berkembang menjadi hipertensi glomerulus (Joy et al., 2008).
Hipertensi glomerulus secara tak langsung ditimbulkan oleh AT II yang
merupakan vasokonstriktor kuat arteriol aferen dan eferen. Efek AT II lebih kuat
pada arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini
memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria.
Protein yang berada di tubulus renalis akan menimbulkan peningkatan produksi
sitokin peradangan dan vasoaktif pada membran apikal tubulus proksimal,
sehingga akan menimbulkan kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Adanya
proteinuria dapat mempercepat progresifitas kerusakan nefron (Joy et al., 2008).
Adanya peningkatan aktivitas Renin Angiotensin Aldosteron (RAA)
intrarenal juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis,
dan progresivitas penurunan fungsi nefron. Efek angiotensiogen II (AT) lebih kuat
pada arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini
memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria.
Protein yang berada di tubulus renalis akan meningkatkan produksi sitokin
peradangan dan vasoaktif pada membran apikal tubulus proksimal, sehingga akan
menimbulkan kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Beberapa hal yang berperan
terhadap progresivitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dan
dislipidemia (Joy et al., 2008).
1.1.6 Gejala klinis
1. Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh
2. Gangguan pada muskuloskeletal dan mineral (osteodistrofi renal,
osteomalasia, osteoporosis).
3. Gangguan kardiovaskular dan pulmonar (hipertensi, CHF/Congestive
Heart Failure, oedema pulmoner, dispnea).
4. Gangguan saraf (lemas, gangguan tidur, neuropati, gangguan mental,
kejang, koma).
5. Gangguan saluran cerna (anoreksia, mual-muntah, gastroenteritis, ulkus
peptikum, perdarahan saluran cerna).
6. Gangguan dermatologi (pucat, hiperpigmentasi, pruritus).
7. Gangguan hematologi (anemia) (Joachim, 2006).

3
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan produksi dan kandungan urin tidak
normal. Pada CKD, terjadi proteinuria akibat permeabilitas kapiler glomerulus
meningkat sehingga protein ditemukan dalam urin. Selain itu terjadi uremia akibat
penumpukan metabolisme protein dalam darah karena tidak dapat diekskresi.
Kondisi uremia terlihat dari kadar BUN dan kreatinin serum tinggi. Kadar normal
BUN 10-20 mg/dl dan SCr rata-rata 0,5-1,2 mg/dl (Pagana et al, 2015).
Pada pasien CKD stadium 1 dan 2 umumnya tidak menunjukkan gejala.
Gejala minimal muncul selama stadium 3 dan 4 misalnya peningkatan tekanan
darah, lemah, nafas pendek. Gejala yang umum pada stadium 5 antara lain gatal,
sensasi pengecap yang tidak enak, mual, muntah dan perdarahan (Joy et al, 2008).
1.1.7 Komplikasi
a. Gangguan Keseimbangan Natrium dan Air
Ketidakseimbangan natrium dan air terjadi apabila klirens kreatinin
mengalami penurunan sampai dibawah 25ml/ menit. Hal ini menyebabkan
hilangnya kemampuan ginjal untuk menyesuaikan perubahan natrium dan
air yang masuk (Krauss & Hak, 2000). Mekanisme penurunan ekskresi
natrium pada CKD adalah penurunan laju filtrasi natrium oleh glomerulus,
peningkatan reabsorpsi natrium oleh tubular, atau keduanya (NKF, 2002).
b. Gangguan Keseimbangan Kalium
Konsentrasi kalium biasanya dapat dijaga untuk berada pada kisaran
normal sampai pasien mengalami GGT (Gagal Ginjal Terminal) atau GFR
< 20 ml/menit. Kenaikan sekresi kalium yang signifikan oleh usus besar
mempunyai kontribusi pada penjagaan keseimbangan kalium (Hudson,
2011).
c. Asidosis Metabolik
Abnormalitas asam basa ini sering dijumpai pada pasien CKD dengan
GFR <30ml/menit. Asidosis metabolik mempunyai kontribusi terhadap
kerusakan tulang, menurunkan kontraktilitas jantung, stimulasi
katabolisme protein, dan meningkatkan iritabilitas vaskular (Hudson,
2011).

4
d. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah defisiensi
eritropoetin. Faktor lainnya adalah kehilangan darah, kekurangan zat besi,
asam folat dan vitamin B12, osteotis fibrosa, infeksi sistemik dan
peradangan, keracunan aluminium dan hipersplenisme. Anemia mulai
terjadi apabila GFR menurun dibawah 50 ml/menit dan konsentrasi
hematokrit mencapai 30% saat GFR mencapai 20-30 ml/menit (Hudson,
2011).
e. Hipertensi
Penyebab hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik adalah karena
ekspansi volume ekstrasel, abnormalitas sistem renin angiotensin (Hudson,
2011). Hipertensi meningkat linear dengan menurunnya fungsi ginjal, dan
sebagian besar pasien dengan gagal ginjal kronik disertai dengan tekanan
darah tinggi sehingga kontrol terhadap tekanan darah yang adekuat harus
menjadi perhatian utama dalam managemen pasien PGK (Ekart et al.,
2011). Target tekanan darah yang direkomendasikan oleh NKF-K/DOQI
saat predialisis yaitu <140/90 mmHg dan saat pascadialisis yaitu <130/80
mmHg, dan menurut JNC 7 target tekanan darah yaitu <130/80 mmHg.
Menurut JNC 8 target tekanan darah pada pasien CKD (> 18 tahun) yaitu
140/90 mmHg dan pada pasien CKD yang geriatri (> 60 tahun) 150/90
mmHg. Pada penelitian yang dilakukan di Eropa, sebanyak 55 % pasien
hemodialisis memiliki tekanan darah sistol predialisis >140 mmHg
(Robinson et al., 2012) yang menunjukkan susahnya pengendalian tekanan
darah pada pasien hemodialisis. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan progresifitas penyakit pada kardiovaskular yang
mempengaruhi mortalitas pada pasien HD (Agarwal and Sinha, 2009).
f. Abnormalitas Kalsium dan Fosfat
Apabila klirens kreatinin di bawah 5-15 mL/menit, ke mampuan ginjal
untuk mensekresi fosfat mengalami kegagalan. Sejumlah abormalitas
skeletal, menunjukkan osteodistrofi ginjal yang disebabkan oleh
perubahan metabolisme kalsium dan fosfat (Hudson, 2011).

5
1.1.8 Penatalaksanaan Terapi
Terapi farmakologi pada CKD antara lain (NKF, 2002; Hudson,
2011):
a. Pengendalian Penyakit Dasar
Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi
mutlak harus dilakukan. Termasuk di sini yaitu pengendalian tekanan
darah, regulasi gula darah pada pasien DM, koreksi ji ka ada obstruksi
saluran kencing, serta pengobatan ISK (Agarwal and Andersen, 2005).
Farmakoterapi untuk menurunkan tekanan darah mungkin menimbulkan
masalah baru pada pasien HD, seperti hipotensi intradialitik dan
trombosis vaskular (Ekart et al., 2011). Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain gagal jantung kongestif, stroke perdarahan, hipertrofi ventrikel
kiri, dan aterosklerosis (Singapuri and Janice, 2010) sehingga pemilihan
obat antihipertensi sebaiknya melihat pada komorbid pasien,
farmakokinetik dan efek hemodinamik. Beberapa obat antihipertensi
yang diresepkan pada pasien HD antara lain diuretik kuat, Angiotensin II
Receptor Blocker (ARB), Calcium Channel Blocker (CCB), β-bloker, α-1
bloker, α-2 agonis, vasodilator (Joel et al., 2013), dan Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) (Manley et al., 2003).
b. Terapi Gangguan Cairan dan Elektrolit
Target terapi menjaga kadar Natrium 135-145 mEq/ L sehingga
dapat menurunkan resiko terjadinya hipertensi karena overload cairan.
Diuretik biasanya dibutuhkan untuk mencegah edema dan gejala terkait
overload cairan. Loop diuretik dapat meningkatkan volume urin dan
ekskresi natrium sampai pada CKD stage 4. Terapi definitif kondisi
hiperkalemi berat pada ESRD adalah hemodialisis. Sebelum didialisis
terapi smentara hiperkalemi yaitu kalsium karbonat, atau insulin dan
glukosa. Loop diuretik kurang efektif sebagai terapi hiperkalemi pada
ESRD.
c. Terapi Hipertensi
Berikut adalah pengaruh obat-obat antihipertensi terhadap aliran darah
ginjal dan laju glomerulus ginjal:

6
Tabel 1.3 Efek antihipertensi terhadap renal blood flow dan glomerular filtration
rate (Joy et. al., 2008)

Pengendalian tekanan darah pasien chronic kidney disease dengan hipertensi


cukup sulit sehingga antihipertensi yang digunakan terdiri dari 2 macam atau
lebih antihipertensi (Agarwal and Andersen, 2005). Antihipertensi pada pasien
chronic kidney disease yang direkomendasikan oleh JNC 8 adalah ACEI dan
ARB.
d. Terapi Asidosis Metabolik
Target terapi untuk asidosis metabolik yaitu pH normal (7,35-7,45)
dan menjaga kadar bikarbonat pada rentang normal (22-2 6 mEq/L). Pada
pasien yang akan menjalani hemodialisis maka sebelum dialisis
bikarbobat harus di atas 22 mEq/L. Pada pasien CKD stage 4 dan 5
penggunaan garam pembasa seperti natrium bikarbonat sangat dianjurkan
untuk pemulihan kadar bikarbonat. Dosis basa yang dibutuhkan untuk
penggantian bikarbonat yaitu perkalian volume distribusii bikarbonat (0,5
L/Kg) dengan berat badan pasien dan defisit serum bikarbonat (Hudson,
2011). Pengobatan dengan intravena natrium bikarbonat hanya dilakukan
pada kondisi asidosis berat.
e. Terapi Anemia
Tujuan terapi anemia yaitu meningkatkan kapasitas pembawaan

7
oksigen sehingga dapat menurunkan kondisi dyspnea, orthopnea, dan
lemah seta untuk mencegah terjadinya LVH (Left Ventricukar
Hyperthropy) jangka panjang dan mortalitas kardiov askular. Target
hemoglobin pada managemen terapi anemia untuk CKD stage 5 yang
menjalani hemodialisis yaitu 11-12 g/dL. Terapi farmakologi pasien
anemia pada CKD yaitu Erythropoietic-Stimulating Agent (ESA) yang
dapat menstimulasi diferensiasi stem sel progenitor eritoid dan
meningkatkan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke aliran darah
dimana akan terjadi maturasi menjadi eritrosit (Hudson, 2011).
f. Terapi Hiperfosfatemi
Berdasarkan K/DOQI kadar fosfat dalam darah untuk pasien CKD
stage 5 yaitu 3,5-5,5 mg/dL dan untuk kalsium yaitu 8,4-9,5 mg/dL.terapi
farmakologi untuk kondisi hiperfosfatemi yaitu kalsium karbonat yang
merupakan fosfat binder pada makanan (Hudson, 2011).

1.2 NSTEACS (Non ST-Elevation Acute Coronary Syndrome)


1.2.1 Definisi
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan istilah untuk gejala klinis yang
berhubungan dengan iskemik miokardial akut yang dihasilkan dari
ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan oksigen miokardial akibat
adanya penurunan aliran darah koroner (Amsterdam et al, 2014).
1.2.2 Etiologi
Penyebab terjadinya SKA yaitu erosi atau rupturnya plak aterosklerosis
serta dengan adanya aktivasi serta agregasi platelet dan faktor pembekuan darah
sehingga terbentuk clot (Spinler, 2008).
Terbentuknya aterosklerosis dimulai dari disfungsi endotel dan dengan
adanya kadar kolesterol yang tinggi dalam darah sehingga membentuk fatty streak
pada arteri koroner yang dengan cepat akan membentuk plak aterosklerosis.
Selain itu, inflamasi juga berperan pada pembentukan, progresifitas dan
komplikasi dari penyakit ini. Faktor yang berpengaruh dalam perkembangan
aterosklerosis yaitu hipertensi, umur, gender, merokok, diabetes mellitus, obesitas
dan hiperlipidemia (Spinler, 2008).

8
1.2.3 Epidemiologi
Angka mortalitas penyakit kardiovaskular (KV) di Indonesia mengalami
peningkatan setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004 dibandingkan
sebelumnya hanya sekitar 5 % pada tahun 1975. Data terakhir dari National Heart
Survey , menunjukkan bahwa penyakit serebrokardiovaskular merupakan
penyebab utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun di tiga
daerah di provinsi Jakarta menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab utama
kematian di Jakarta. Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome (JAC)
dari tahun 2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA, dimana
sebanyak 654 orang mengalami STEMI (Dharma, Juzar, et al., 2012). Angka
mortalitas penyakit kardiovaskular (KV) di Indonesia mengalami peningkatan
setiap tahunnya, mencapai angka 30% pada tahun 2004. Data terakhir dari
National Heart Survey, menunjukkan bahwa penyakit serebrokardiovaskular
merupakan penyebab utama kematian di Indonesia. Studi kohort selama 13 tahun
di tiga daerah di provinsi Jakarta menunjukkan bahwa PJK merupakan penyebab
utama kematian di Jakarta. Data registri dari Jakarta Acute Coronary Syndrome
(JAC) dari tahun 2008-2009 mencatat sebanyak 2013 orang menderita SKA,
dimana sebanyak 654 orang mengalami STEMI (Dharma, Juzar, et al., 2012).
1.2.4 Patofisiologi
Terjadinya SKA yaitu karena adanya penyempitan pada arteri koroner
sehingga menyebabkan menurunnya aliran darah di miokardial. Penyempitan ini
disebabkan oleh adanya trombus yang berkembang dari plak aterosklerosis. Pada
Gambar 1.1 dijelaskan bahwa proses aterogenesis dari no (1) yaitu arteri normal
yang kemudian mengalami disfungsi endotel dan menyebabkan peningkatan
permeabilitas endotel sehingga LDL akan masuk ke tunika intima arteri. LDL
akan mengalami oksidasi yang akan memicu respon inflamasi dan menghasilkan
sitokin proinflamasi yang menyebabkan ekspresi molekul adhesi. Molekul adhesi
sel tersebut akan menarik monosit dan limfosit T ke dalam tunika intima. Monosit
berdiferensiasi menjadi makrofag dan berikatan dengan LDL teroksidasi sehingga
terbentuk sel busa. Proses selanjutnya adalah pembentukan matriks ekstraseluler
dengan migrasi dan proliferasi sel otot polos serta sintesis kolagen oleh otot polos
yang menyebabkan pembentukan fibrofatty, karena adanya respon inflamasi

9
menyebabkan progresifitas menjadi meningkat. Perkembangan ini menyebabkan
penipisan kapsul fibrosa menyebabkan kerusakan plak yang akan mengaktivasi
trombosit dan faktor koagulasi sehingga terbentuklah trombus. Pembentukan
trombus inilah yang menimbulkan gejala klinis SKA (Amsterdam, 2014).

Gambar 1.1 Proses Pembentukan Aterosklerosis (Amsterdam, 2014)

1.2.5 Manifestasi Klinis


Gejala yang paling umum adalah rasa sakit seperti tekanan pada dada, dapat
muncul pada lengan, rahang atau leher. Rasa sakit dapat berlangsung sedikitnya
20 menit hingga lebih dari 30 menit (Aaronson, 1999). Gejala lain yang muncul
seperti mual, muntah, diaforesis, nafas pendek dan merasa lemah (Spinler, 2008).
1.2.6 Manajemen Terapi
a. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi dapat dengan memodifikasi faktor risiko yang dapat
diubah seperti menghentikan kebiasaan merokok, mengatur pola makan dengan
diet rendah lemak dan kolesterol, olahraga secara teratur serta terapi
revaskularisasi dengan percutaneous coronary intervention (PCI) atau coronary
artery bypass graft (CABG) (Spinler, 2008).
b.Terapi Farmakologi
Pada penatalaksaan awal pada terapi farmakologi diberikan morfin,
oksigen, nitrat dan aspirin (MONA). Morfin digunakan sebagai analgesik, oksigen
sebagai terapi hipoksia, nitrat sebagai vasodilator, dan aspirin sebagai antiplatelet.
Selain itu, dapat diberi terapi obat yang lain seperti antitrombotik, antiaritmia, dan
lain sebagainya (Amsterdam et al, 2014).

1
Gambar 1.2 Algoritma terapi NSTEMI (Amsterdam, 2014)

Berdasarkan Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Saiful Anwar,


penatalaksanaan NSTEMI sama dengan angina pektoris tidak stabil resiko sedang
atau tinggi. Penderita NSTEMI memerlukan perawatan di unit perawatan intensif
dengan monitoring ketat sampai 24 jam bebas nyeri dan penyulit lainnya.
1. Perawatan umum :
 Tirah baring dan dipasang monitor EKG
 Diberikan oksigen 2-4 L/m bila penderita mengalami sianosis atau
depresi nafas.
 Dipasang pulse oxymetry untuk memastikan saturasi oksigen arterial
cukup (SaO2 > 90%)
 Dipasang akses intravena dengan cairan Dekstrose 5% atau NaCl 0,9%
 Berikan penenang ringan misalnya diazepam
 Berikan makanan lunak dengan porsi kecil
 Mengendalikan faktor risiko dan faktor pencetus.

1
2. Terapi farmakologis
a. Aspirin
Dosis awal 162-325 mg sebaiknya dikunyah baru ditelan, dilanjutkan
dengan 75-160 mg sekali sehari. Penderita yang kontra indikasi
terhadap aspirin dapat diberikan ticlopidin atau clopidogrel.
b. Nitrat
Diberikan sublingual. Apabila angina tidak dapat di atasi nitrat dapat
diberikan secara intravena
Nitrogliserin: 5-200 ug/menit
Isosorbid dinitrat: mulai 1 mg/jam
c. Penyekat beta
Apabila tidak ada kontra indikasi penyekat beta harus diberikan
d. Antagonis kalsium
Dapat diberikan bersama dengan penyekat beta atau sebagai pengganti
penyekat beta apabila penderita kontra indikasi terhadap penyekat beta.
e. Heparin
Diberikan pada penderita dengan resiko sedang dan tinggi.
 Heparin konvensional (unfractionated) : bolus 60-70 U/kgBB
intravena, diikuti pemberian secara drip intravena 12-15
U/kgBB/jam (maksimum 1000 U/jam). Dosis dititrasi untuk
mencapai aPTT 1,5 sampai 2 kali kontrol. Heparin dihentikan
setelah 5 hari.
 Heparin Berat Molekul Rendah (Low Molecular Weight Heparin
/LMWH):
Enoxaparin diberikan 1 mg/kgBB secara subkutan, tiap 12 jam.
Dalteparin diberikan 120 IU/kgBB subkutan tiap 12 jam.
Heparin berat molekul rendah mempunyai keuntungan oleh karena
pemberian lebih mudah, tidak memerlukan monitor aPTT, hasil
yang didapat konsisten dengan dosis yang diberikan.
f. Antagonis reseptor GP IIb/IIIa
Diberikan hanya pada penderita dengan resiko tinggi atau penderita
yang akan dilakukan tindakan intervensi koroner

1
 Abciximab: 0,25 mg/kg bolus dilanjutkan 0,125 ug/kg/menit
(maksimum 10 g/menit) untuk 12 sampai 14 jam.
 Eptifibatide: 180 ug/kg bolus dilanjutkan 2,0 ug/kg/menit selama
72 sampai 96 jam.
 Tirofiban : 0,4 ug/kg/menit selama 30 menit dilanjutkan dengan
0,1 ug/kg/menit selama 48 sampai 96 jam.
g. Statin

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Demografi Pasien

Nama Ny. S MRS/KRS 10-02-16/20-02-16


Umur/BB/TB 52th/50kg/149cm IRNA/RUANG 1/24A
ID Pasien 1127XXXX Dokter dr. Sp.PD-KGH
Status JKN Farmasi DTH, S. Farm, Apt
Alamat Malang
Keluhan: Alergi: Riwayat Pengobatan:
Nyeri dada kiri menjalar ke Makanan (-) Pasien tidak menggunakan
punggung Obat (-) obat
Riwayat Penyakit Saat Ini:
NSTEACS, CKD St.V, DM tipe
II, HT st. II
Masalah Medis/Diagnosa Masalah Farmasi
1 Atypical chest pain 1 Pasien tidak menggunakan obat
Chronic Kidney Disease Stage V Ada faktor penghambat
2 2 kepatuhan terkait pemahaman
obat/penyakit
3 Anemia
4 Heart Failure
5 DM tipe 2
Riwayat Kesehatan: DM tipe II, HT st. II
Operasi: (-)
Riwayat Kebiasaan: Kepatuhan:
Keluarga: (-)
- DM Pasien mempunyai riwayat penyakit DM dan
- HT HT namun tidak menggunakan obat.
Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
10/2/2016 Pasien diterima di IGD dengan keluhan nyeri dada 3 hari sebelum MRS,
hilang timbul dalam waktu > 30 menit, sejak 6 jam SMRS nyeri terus
sampai tembus punggung menjalar ke lengan kiri, mual, muntah,sesak,
keringat dingin . Kemudian pasien dipindahkan ke CVCU. Pasien menolak
dilaksanakan hemodialisa

1
Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
11/2/2016 KU lemah sesak mulai berkurang,
12/2/2016 KU lemah, mual, sesak, sudah tidak sakit dada
13/2/2016 Pasien dipindahkan ke Runga 24A, KU lemah, sesak
14/2/2016 KU lemah, sesak
15/2/2016 KU lemah, sesak
16/2/2016 KU lemah, sesak, nyeri pada pinggang dan dada, posisi tidur dan berbaring
secara kontinyu
17/2/2016 KU lemah, sesak
18/2/2016 KU lemah, pasien menjalani double lumen, pasien muntah hitam
19/2/2016 KU lemah, nyeri perut, tidak bisa BAB
20/2/2016 Pasien menjalani hemodialisa, KU lemah, nyeri perut, pasien mengeluh
lapar, sakit kepala, apneu, tekanan darah dan heart rate tidak teraba.
Meninggal karena cardiac arrest

1
2.2 Data Klinik

Nilai Tanggal Komentar dan Alasan


Parameter
Normal 10/2 11/2 12/2 13/2 14/2 15/2 16/2 17/2 18/2 19/2 20/2
Suhu 36-37 36,3 36,2 Pada saat awal MRS

C o pasien datang dengan


Nadi 80-85 62 72 78 118 30 keluhan nyeri dada kiri
110 98 80 70 79
x
/m yang menjalar ke
RR 20 x/m 28 23 22 21 21 24 22 18 punggung disertai
TD 120/80 mual, muntah, keringat
110/70 84/60 123/62 110/60 120/80 98/62 137/64 168/70 120/80 120/80 90/60
mmHg dingin dan sesak.
Lemah + + + + + + + + + + +
Nyeri dada + Tekanan darah pasien
Mual + normal dan cenderung
Muntah + rendah namun sempat
Keringat tinggi pada beberapa
+
dingin hari
Nyeri ulu +
hati
Sesak ++ + + + + + + + + + +

1
2.3 Data Laboratorium

Jenis Tanggal Komentar/Alasan


Data Laboratorium
Pemeriksaan
10/2 14/2 17/2 18/2(1) 18/2(3) 18/2(4)

WBC (4 – 10 x
11,44 7,94 12,17 7,16 7,06
103/µL)
Pasien mengalami anemia dengan penurunan
PLT (150-450 x
193 170 202 77 189 kadar hemoglobin < 10 g/dl. Anemia merupakan
103/µL)
komplikasi dari CKD. Anemia memiliki ciri
HCT (42-52 %) 19,9 17 25,8 26,4 22,1 22,1
penurunan Hb, HCT dan RBC. Anemia akan
Darah Lengkap
HGB (13-17 mg/dL) 6,1 5,2 8,4 9 7,5 7,5 mengganggu sistem pertukaran oksigen dan
karbondioksida karena jumlah sel darah merah
MCV (80 – 100 fL) 86,9 86,7 77,4 77 77
yang berkurang (Maakaron,et.al., 2013).
MCH (28– 34 pg/sel) 26,9 26,5 26,4 26,1 26,1

MCHC (32 – 36 g/dL) 30,7 30,6 34,1 33,9 33,9

1
Jenis
Data Lab 11/2 14/2 17/2 18/2(1) 18/2(2) 18/2(3) 19/2 Komentar/Alasan
Pemeriksaan

K (3,5-5,1 Hiperkalemia dapat terjadi


5,84 5,74 6,45 3,72 4,32 4,33
mmol/L) pada pasien PGK karena
Na (136-145 ginjal yang tidak mampu
135 131 130 135 133 132
mmol/L) mengekskresi kalium.
Serum Elektrolit Cl (98-107 Hiperkalemia ringan muncul
118 115 112 107 107 108
mmol/L) ketika LFG < 20 mL/menit
per 1,73 m2 body surface
area. Hiperkalemia dapat
Ca (7,6-11,0
6,6 menyebabkan disaritmia yang
mmol/L)
serius dan juga henti jantung
(Hudson, 2011).
Data Lab 10/2 14/2 17/2 18/2(1) 18/2(2) 18/2(3) 18/2(4) Fungsi ginjal pasien tampak
Ureum (10- mengalami penurunan/
193,8 273,6 323,4 143,2 144,1 184,2 184,2
20 mg/dL) kerusakan ditunjukkan
Faal ginjal
dengan data serum kreatinin
SCr (0,5-
10,79 13,44 16,83 7,92 10,13 10,33 10,33 dan BUN di atas normal.
1,5)
(Arora, 2014)

1
Tanggal Komentar/alasan
Jenis Pemeriksaan Data Lab
11/2 18/2(1) 18/2(3) 18/2(4)

GD sewaktu Walaupun memiliki riwayat penyakit DM


45 98 98
Metabolisme (<200 mg/dL) tipe II, gula darah pasien selama MRS
Karbohidrat GDP (<126 normal bahkan cenderung rendah.
117
mg/dL)
HbA1c (≤ 6%) 5,8%
Data Lab 10/2 17/2 18/2(1) 19/2
Albumin (3,4 –
3,85 3,01 3,67 2,55
Faal Hati 4,8 g/dL) Saat awal MRS, albumin pasien normal
SGOT (5 – 35 namun rendah pada tanggal 17/2 dan 19/2
33
U/L)
SGPT (5-35 U/L) 47

1
Jenis
Data Lab 14/2 Komentar/alasan
Pemeriksaan
Deskripsi Kuning keruh
Spec. gravity (1,001-
1,02 Adanya protein yang terdapat dalam urin (proteinuria,
1,035)
albuminuria, mikroalbuminuria) merupakan salah satu
pH (4,5-8,5) 8
Urinalisis penanda adanya kerusakan pada ginjal (Mason and Assimon,
Leukosit Terlacak
2013).
Nitrit -
Protein/albumin (negatif) 3+ Adanya leukosituria (pyuria) dan bakteriuria mengindikasikan
bahwa adanya infeksi pada saluran kemih (Pagana et. al.,
Glukosa (negatif) -
2015).
Keton (negatif) -
Bilirubin (negatif) -
Urobilinogen (negatif) -
Darah
Sedimen
Eritrosit 2,41
Leukosit 8,5
Epitel 0,7
Silinder -
Kristal Triple phosphate

Bakteri 1282,8 x 103/ml

2
Jenis pemeriksaan Data Lab Tanggal Komentar/alasan
10/2 Asidosis metabolik dapat terjadi karena
pH darah (7,35-7,45) 7,2 berkurangnya kemampuan untuk
Analisa Gas Darah pCO2 (35-45 mmHg) 22,7 mensekresikan asam dan membentuk dapar
pO2 (75-100 mmHg) 119,1 pada pasien PGK. Pada penyakit ginjal kronik
HCO3 (21 - 28 mmol/L) 8,9 yang parah, bikarbonat yang telah difiltrasi
akan diperoleh kembali, namun kemampuan
SatO2 (95-99% O2) 94,6 ginjal untuk mensistesis amonia terganggu
(Hudson, 2011).
Jenis pemeriksaan Data Lab 11/2 Komentar/alasan
Kolesterol total (< 200 mg/dL) 123 Dislipidemia merupakan faktor progresif pada
pasien CKD. Peningkatan LDL, kolesterol total,
Trigliserida (35 - 135 mg/dL) 117
apolipoprotein B serta penurunan HDL dapat
LDL (<130 mg/dL) 64 terjadi pada pasien dengan kerusakan ginjal
Profil Lemak
(Mason and Assimon, 2013).

HDL (30 – 70 mg/dL) 43 Pada pasien ini, profil lemak menunjukkan hasil
normal

2
Jenis Komentar/alasan
Data Lab 10/2 10/2 11/2 13/2 18/2(3) 18/2(4) 19/2
pemeriksaan
Fe (35 – 150 µg/dL) 17 43 43 38  Kadar asam urat pasien mengalami
peningkatan (> 7 mg/dL untuk
TIBC (260 – 445
µg/dL) 174 138 138 146 perempuan) merupakan tanda adanya
gagal ginjal (Devkota et al, 2014).
Saturasi transferin
31% 31% 26% Hiperurisemia dapat terjadi karena
(20 – 50%)
berkurangnya kemampuan untuk
Ferritin (10-150 mensekresikan asam urat pada pasien
10.919 2.692 2.692 1.546
mcg/L)
PGK (Mason and Assimon, 2013).
Troponin (0-0,4
2,90 0,2
ng/mL)
 Marker biokimia (troponin dan CKMB)
Lain-lain
CK MB (<24 U/L) 30 29 pada kematian sel miokardial sangat
penting sebagai konfirmasi diagnosis
Asam laktat (0,6-2,2 SKA. Meningkatnya troponin dan
0,9
mmol/L) CKMB dalam darah mengikuti
CK NAC (24-170 perkembangan dari oklusi arteri
120 koroner hingga kematian sel (Jaffe,
U/L)
2002).

 Inflamasi kronik sering terjadi pada


pasien gagal ginjal kronik dan lebih
dari 50-70% dapat mengalami
Asam urat peningkatan kadar feritin. Sehingga
7,5 5,7 6,6
(2,7 – 7,3 mg/dL) kemungkinan keadaan yang sering
terjadi pada gagal ginjal kronik adalah
hiperferitinemia (Senol et al, 2008).
Selain itu, iron overload didapat dari
riwayat transfusi PRC (PERNEFRI,
2011)

2
2.4 Profil Pengobatan Pasien

Tanggal Pemberian Obat


No. Nama Obat Rute Regimen Dosis 10/2 11/2 12/2 13/2 14/2 15/2 16/2 17/2 18/2 19/2 20/2
1 O2 Nasal 2-10 lpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
2 NS 0,9% IV 500 mL/24 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
3 Transfusi PRC IV 1 fl/ hari √ √
4 Deferiprone PO 3 x 500 mg √ √ √ √ √
5 Furosemide IV 1 x 20 mg √ √
6 Amlodipin PO 1 x 5 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
7 Omeprazol IV 1 x 40 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √
8 Lansoprazol IV 6 mg/jam √ √ √
9 Metoklopramid IV 1 x 30 mg √
10 Ranitidin IV 1 x 50 mg √
11 ASA PO 1 x 80 mg √
12 Clopidogrel PO 1 x 75 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √
13 ISDN PO 3 x5 mg √ √ √
14 Amiodaron IV 1 x 100 mg √
15 Simvastatin PO 1 x 20 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √
16 Ca polystyrene PO 3x5g √ √ √ √ √ √ √ √
sulphonate
17 Actrapid SC 10 IU √
18 Dextrose 40 IV 2 fl √
19 Ca gluconas IV 1x1g √
20 Laxadine PO 1x1C √ √ √ √ √ √ √ √
21 Allopurinol PO 1 x 100 mg √ √ √ √ √ √ √
22 Tramadol IV 1 x 100 mg √
23 Diazepam PO 1 x 2 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

2
2.5 Analisa Terapi

Tanggal Tujuan
Nama Obat Rute Dosis Monitoring Komentar dan Alasan
Pemberian penggunaan
10-20 Feb Oksigen Nasal 2-10 tpm Terapi hipoksia Monitor efektivitas: Pada saat awal MRS, pasien mengeluh
2016 (sesak) Sesak berkurang/ sesak sehingga diberikan terapi oksigen
tidak sesak untuk mengatasi hipoksia. Serta rehidrasi
10-20 Feb NS 0,9% IV 100 ml/24 jam Rehidrasi cairan Monitor efektivitas: cairan untuk perbaikan kondisi umum
2016 500 ml/24 jam Kondisi umum pasien yang lemah.
membaik

10-20 Feb Omeprazole IV 1 x 40 mg Menekan sekresi Monitor ESO: Keuntungan PPI dalam manajemen stress
2016 asam lambung Konstipasi ulcer yaitu mempunyai mula kerja cepat,
(golongan proton durasi kerja lama dan efek toleransi
pump inhibitor) Monitor efektivitas: minimal (Spirt et. al., 2006).
Mual dan muntah ↓ Lansoprazol lebih efektif dalam
18-20 Feb Lansoprazole IVFD 6 mg/jam Menekan sekresi
mensupresi asam lambung dibanding
2016 asam lambung
omeprazol (Sagar et. al., 1998)
(golongan proton
Pasien mengeluh mual dan muntah serta
pump inhibitor)
mengalami hematemesis sehingga terapi
sudah sesuai
10 Feb Metoklopramid IV 1 x 30 mg Antiemetik Monitor efektivitas: Metoklopramid merupakan antiemetik
2016 Mual dan muntah ↓ yang bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamin di saraf pusat dan perifer (Tatro,
2003).
Pasien mengeluh mual dan muntah
sehingga terapi sudah sesuai

2
10 Feb Ranitidin IV 1 x 50 mg Menekan sekresi Monitor efektivitas: Ranitidin (H2RAs) untuk manajemen
2016 asam lambung Mual dan muntah ↓ stress ulcer bekerja dengan cara memblok
reseptor histamin (H2) secara reversible
dan kompetitif sehingga sekresi asam
lambung dapat ditekan (Mohebbi et. al.,
2009)
10 Feb ASA PO 1 x 80 mg Antiplatelet Monitor ESO: GI Kombinasi terapi antiplatelet ASA-
2016 bleeding klopidogrel dapat meningkatkan
(hematemesis, efektivitas dalam menurunkan komplikasi
10-18 Feb Clopidogrel PO 1 x 75 mg Antiplatelet
melena) tromboemboli. Kombinasi ini juga dapat
2016
Monitor efektivitas: meningkatkan risiko GI bleeding (Payne
Tidak terjadi et al, 2002)
serangan ulang

10-18 Feb Simvastatin PO 1 x 20 mg Pleiotropik Monitor Pada pasien dengan gagal jantung
2016 (perbaikan efektivitas: Tidak kongestif, statin dapat memperlambat
disfungsi ada serangan ulang, progresifitas dari aterosklerosis. Statin
endotel, plak stabil/tidak menjadi drug of choice efektif dalam
stabilisasi plak terjadi ruptur menurunkan kolesterol total dan LDL-C,
aterosklerosi, LDL < 70 mg/dL biasanya meningkatkan HDL-C, serta
perbaiki proses memiliki keamanan dan efikasi yang baik
koagulasi) Monitor ESO: (Opie, 2013).
Rhabdomyolisis
yang dipresipitasi
oleh interaksi
dengan amlodipin

2
10-13 Feb ISDN PO 3 x 5 mg Vasodilator Monitoring Aksi langsung nitrat pada sirkulasi koroner
2016 efektivitas: TD berupa dilatasi arteri koroner intramural,
140/90 mmHg dilatasi arteri koroner, dilatasi aliran kolateral
(target TD pada dan menurunkan spasme (Talbert, 2008).
ISDN oral ditujukan untuk profilaksis
pasien CKD
terjadinya angina yang penggunaan dalam
menurut JNC 8,
jangka waktu panjang (White, 2013).
2014) dan nyeri dada
Monitoring ESO:
Hipotensi

10 Feb Amiodaron IV 1 x 100 mg Antiaritmia Monitoring Pada saat awal MRS pasien mengalami
2016 efektivitas: Irama aritmia sehingga diberikan amiodaron IV.
jantung teratur

11-18 Feb Ca polystyrene PO 3x5g Terapi Monitoring Polystyrene sulfonat merupakan resin
2016 sulphonate hiperkalemia efektivitas terapi: penukar ion kalium pada kondisi
Target kadar hiperkalemia yang membentuk kompleks
kalium: 3,5-5,5 kalium polistiren sulfonat yang dapat
mmol/L dieksresi melalui feses (drugbank.ca,
2015)
Monitoring ESO
11 Feb Ca gluconas IV 1x1g Cardioprotective Insulin: Memproteksi miokardium dari efek
2016 Kadar gula darah 70- toksik kalium, tidak memiliki efek
130 mg/dL terhadap kadar kalium (Joyce et. al.,
(preprandial) dan 2006)
11 Feb Insulin regular SC 1 x 10IU Manajemen <180 mg/dL Insulin bekerja dengan cara menggeser
2016 hiperkalemia (postprandial) kalium keluar dari plasma menuju ke
11 Feb Dextrose 40 IV 2 flask Mencegah menurut NKF dalam sel. Sedangkan glukosa berfungsi
2016 hipoglikemia K/DOQI (2007) sebagai pencegahan hipoglikemi akibat
pemberian insulin (Joyce et al, 2006)

2
10 Feb Furosemid IV 1 x 20 mg Antihipertensi Monitoring Dosis untuk pasien CKD dengan CrCl <
2016 Terapi udem efektivitas: 30 mL/menit adalah 40-80 mg p.o. 1x1
paru TD 140/90 mmHg dengan titrasi pekanan meningkat 25% -
5 ampul (JNC 8, 2014) 50% tergantung respon dan volume
17 Feb dimasukkan cairan ekstrasel (K/DOQI Guideline,
2016 IVFD ke dalam 100 Heart rate: 2007). Dalam Lacy et al. (2009) dosis
mL NaCl 80x/menit furosemide i.v. adalah 20 – 40 mg /dosis,
0,9% interval dosis 6-12 jam.
Monitoring ESO:
11-20 Feb Amlodipin PO 1 x 5 mg Antihipertensi Pada penderita SKA tanpa komplikasi
Hipokalemi
2016 gagal jantung, penggunaan CCB akan
menyebabkan vasodilatasi koroner
sehingga menyebabkan penurunan
kontraktilitas, kebutuhan oksigen
miokardial, dan tekanan arterial (Selwyn,
2005).
15 dan 16 Transfusi PRC IV 1 fl/hari Antianemia Monitoring Transfusi darah pada pasien CKD sedapat
Feb 2016 efektivitas: mungkin dihindari, hanya diberikan pada
Hb :10-12 g/dL keadaan khusus, salah satunya pada
TSAT: >20% pasien dengan Hb <8 g/dL dengan
Ferritin : 100 diukur gangguan kardiovaskular yang nyata.
tiap 2-3 bulan Target Hb dengan transfusi yaitu 7-9 g/dL
(PERNEFRI, 2011)

16-20 Feb Deferiprone PO 3 x 500 mg Terapi pada Deferiprone merupakan chelator besi
2016 kondisi iron yang dapat mengikat ion Fe3+ membentuk
overload kompleks deferipron:Fe yang stabil dan
dapat dieliminasi melalui urin
(drugbank.ca)

2
10-20 Feb Diazepam PO 1 x 2 mg Anti anxietas Monitoring ESO: Sebagai anti-ansietas golongan
2016 Adanya depresi benzodiazepine yang bekerja dengan cara
pernafasan potensiasi aksi GABA (Tatro, 2003)
19 Feb Tramadol IV 1 x 100 mg Analgesik opioid Monitoring Bekerja dengan cara beriatan dengan
2016 efektivitas: reseptor opioid dan menghambat reuptake
Skala nyeri norepinephrine dan serotonin (Tatro,
2003).
Pasien mendapat terapi analgesik
disebabkan nyeri setelah pemasangan
double lumen

13-19 Feb Allopurinol PO 1 x 100 mg Terapi Monitoring Bekerja dengan cara menghambat xantin
2016 hiperurisemia efektivitas: oksidase yang merupakan enzim yang
Kadar asam urat mengkonversi hipoxantin menjadi xantin
< 7 mg/dL dan xantin menjadi asam urat.
Dari data lab, asam urat pasien sebesar
7,5 (normal pasien perempuan: < 7
mg/dL)

10-17 Feb Laxadin Syr PO 1x1C Terapi laksansia Monitoring Menghindari mengejan terlalu keras
2016 efektivitas: ketika defekasi yang mengakibatkan
Frekuensi BAB 2-3 bertambahnya beban kerja jantung
kali sehari

2
2.6 Drug Related Problems

Masalah:
1. Indikasi 4. Interval pemberian 9. Efek samping obat
a. Tidak ada indikasi 5. Cara/waktu pemberian 10. Kompatibilitas obat
b. Ada indikasi tidak ada terapi 6. Rute pemberian 11. Ketersediaan/kegagalan mendapat
c. Kontraindikasi 7. Lama pemberian obat
2. Pemilihan obat 8. Interaksi obat 12. Kepatuhan
3. Dosis obat a. Obat 13. Stabilitas sediaan injeksi
a. Kelebihan (over dosis) b. Makanan/minuman 14. Sterilitas sediaan injeksi
a. Kurang (under dosis) c. Hasil laboratorium 15. Duplikasi terapi

Jenis DRP Analisa Penyelesaian


Data lab kadar albumin pada 17-Feb:
3,01 dan 19-Feb: 2,55 *Asupan protein, monitoring BUN, Albumin
Ada indikasi tidak ada terapi
Kadar albumin <3,4 tetapi tidak
mendapat terapi albumin
*Monitoring tanda-tanda infeksi (suhu tubuh, WBC)
Ada indikasi tidak ada terapi Pasien mengalami bakteriuria
*Konfirmasi ke dokter tentang perlunya terapi antiinfeksi
Data lab tgl 10-Feb *Konfirmasi ke dokter terkait perlunya terapi Na bicarbonat
pH darah=7,2 ; HCO3 = 8,9 ; pCO2= *Dosis Na Bicarbonate yang disarankan NKF K/DOQI adalah
Ada indikasi tidak ada terapi
22,7 menandakan pasien mengalami 2-4 tablet 650 mg (8 mEq natrium dan 8 mEq bicarbonat) per
asidosis metabolik hari dibagi menjadi 2-3 dosis
*Konfirmasi ke dokter terkait pemberian EPO pada pasien
Tidak ada terapi antianemia setelah
setelah pemberian PRC.
Ada indikasi tidak ada terapi pemberian PRC padahal Hb pasien 9
*Dosis EPO yang disarankan NKF K/DOQI adalah 80-120
mg/dL
IU/kgBB (SC)
Dosis Obat Kelebihan (over Penggunaan allopurinol 1 x 100 mg tiap
Dosis allopurinol seharusnya 100 mg per 48 jam (alternate
dosis) hari dengan kadar asam urat pasien 7,5
day)
mg/dL

2
2.7 Konseling

Sasaran Isi konseling


Pasien  Memberikan informai terkait obat-obat yang didapat selama
MRS meliputi nama, tujuan penggunaan, cara pemakaian
 Menjelaskan efek samping yang mungkin terjadi
 Memberikan penjelasan untuk rutin meminum obat yang
diberikan sesuai dengan aturan pakainya.
Dokter  Melakukan pemantauan terhadap perkembangan terapi yang
diberikan dan kondisi pasien
Perawat  Melakukan pemantauan terhadap perkembangan kondisi pasien
tiap harinya
 Memberi penjelasan terkait administrasi obat pada pasien

1
BAB III
PEMBAHASAN

Ny. S, usia 52 tahun, masuk rumah sakit (MRS) dengan keluhan nyeri
dada hilang timbul yang menjalar ke lengan kiri dan tembus punggung sejak 3
hari yang lalu. Nyeri dada yang dirasakan selama >30 menit, dan selama 6 jam
sebelum MRS nyeri berlangsung terus-menerus. Selain itu, pasien mengalami
sesak, mual, muntah dan berkeringat dingin. Keluhan sesak dan nyeri dada pasien
merupakan kondisi pertama yang ditangani ketika di IGD dengan pemberian
oksigen 10 lpm rute nasal serta ISDN oral . Berdasarkan hasil observasi, dokter
jaga kardio di IGD mendiagnosa pasien mengalami Non ST-Elevation Acute
Coronary Syndrome (NSTEACS) dikarenakan hasil rekam EKG pasien
menunjukan tidak adanya elevasi segmen ST. Pasien dirawat di ruang
kegawatdaruratan jantung (CVCU) kemudian dipindahkan ke ruang 24A setelah
kondisinya agak membaik. Sindrom Koroner Akut (SKA/ACS) merupakan istilah
untuk gejala klinis yang berhubungan dengan iskemik miokardial akut yang
dihasilkan dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan oksigen
miokardial akibat adanya penurunan aliran darah koroner (Amsterdam et al,
2014). Disamping NSTEACS, pasien juga mengalami penyakit gagal ginjal
kronik (Chronic Kidney Disease / CKD) stage 5 dikarenakan perhitungan estimasi
nilai GFR pasien menggunakan rumus Cockroft-Gault <15 ml/menit yaitu 5,2
ml/menit serta pasien sudah disarankan menjalani hemodialisa namun pasien
menolak. CKD didefinisikan sebagai kerusakan ginjal selama ≥ 3 bulan yang
dilihat dari abnormalitas struktur dan fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan
GFR, dan dimanifestasikan dengan: kelainan patologis, atau petanda kerusakan
ginjal, termasuk kelainan dalam darah, urine, atau studi pencitraan serta ditandai
dengan GFR <60 mL/menit/1,73 m2 selama ≥3 bulan, dengan atau tanpa
kerusakan ginjal (NKF, 2002). Pasien juga diketahui memiliki riwayat hipertensi
stage 2 dan diabetes melitus tipe 2, namun pasien tidak menggunakan obat.
Pada saat awal MRS, pasien mengeluh sesak sehingga diberikan terapi
oksigen untuk mengatasi hipoksia serta rehidrasi cairan untuk perbaikan kondisi
umum pasien yang lemah serta risiko kehilangan cairan dan elektrolit karena

3
pasien mengalami muntah. Monitoring efektivitas terapi dilihat dari penurunan
sesak dan membaiknya kondisi umum pasien.
Pasien juga mengalami hiperasiditas seperti mual dan muntah yang
dapat disebabkan karena stress ulcer dan tingginya kadar ureum. Pada hari
pertama pasien diberikan ranitidin dan metoklopramid. Metoklopramid
merupakan agen antiemetik yang bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
di saraf pusat dan perifer (Tatro, 2003). Ranitidin (H2RAs) sebagai terapi
manajemen stress ulcer bekerja dengan cara memblok reseptor histamine (H 2)
secara reversible dan kompetitif sehingga sekresi asam lambung dapat ditekan
(Mohebbi et. al., 2009). Kemudian untuk hari selanjutnya diberikan omeprazole
yang merupakan golongan Proton Pump Inhibitor (PPI). Keuntungan PPI
dalam manajemen stress ulcer yaitu mempunyai mula kerja cepat, durasi kerja
lama dan efek toleransi minimal (Spirt et. al., 2006). Pada tanggal 18/2 pasien
mengalami muntah hitam, sehingga penggunaan omeprazole dihentikan dan
diganti dengan lansoprazole yang lebih efektif dalam mensupresi asam lambung
dibanding omeprazole (Sagar et. al., 1998). Monitoring efektivitas terapi dilihat
dari penurunan kejadian mual dan muntah yang dialami pasien.
Kombinasi terapi antiplatelet ASA-klopidogrel diberikan untuk
mengatasi sindrom koroner akut yang diderita pasien (NSTEACS), dimana
kombinasi ini dapat meningkatkan efektivitas dalam menurunkan komplikasi
tromboemboli. Kombinasi ini juga dapat meningkatkan risiko GI bleeding
sehingga perlu dimonitoring efek sampingnya (Payne et al, 2002). Monitoring
efektivitas terapi dilihat dari tidak terjadinya serangan berulang pada pasien.
Pada pasien dengan gagal jantung kongestif, statin dapat memperlambat
progresifitas dari aterosklerosis. Statin menjadi drug of choice efektif dalam
menurunkan kolesterol total dan LDL-C, biasanya meningkatkan HDL-C, serta
memiliki keamanan dan efikasi yang baik (Opie, 2013). Dislipidemia
merupakan faktor progresif pada pasien CKD dimana dapat terjadi peningkatan
LDL, kolesterol total, apolipoprotein B serta penurunan HDL (Mason and
Assimon, 2013). Pada pasien ini, profil lemak menunjukkan hasil normal
namun tetap diberikan statin karena efek pleiotropiknya (perbaikan disfungsi
endotel, stabilisasi plak aterosklerosis, dan memperbaiki proses koagulasi).

3
Monitoring efektivitas terapi dilihat dari tidak adanya serangan ulang, plak
stabil/tidak terjadi ruptur, LDL < 70 mg/dL serta monitoring efek samping
rhabdomyolisis yang dapat dipresipitasi oleh interaksi dengan amlodipin
(Medscape, 2016).
Untuk pengatasan nyeri dada, diberikan vasodilator nitrat yaitu ISDN.
Aksi langsung nitrat pada sirkulasi koroner berupa dilatasi arteri koroner
intramural, dilatasi arteri koroner, dilatasi aliran kolateral dan menurunkan
spasme (Talbert, 2008). ISDN oral ditujukan untuk profilaksis terjadinya angina
yang penggunaan dalam jangka waktu panjang (White, 2013). Monitoring
efektivitas terapi dilihat dari TD 140/90 mmHg (target TD pada pasien CKD
menurut JNC 8, 2014) dan nyeri dada serta monitoring efek samping yaitu
hipotensi. Disamping itu, pada saat awal MRS pasien mengalami aritmia
sehingga diberikan terapi amiodaron. Monitoring efektivitas terapi dilihat dari
irama jantung yang kembali normal/teratur.
Pasien mengalami hiperkalemia karena ginjal yang tidak mampu
mengekskresi kalium. Hiperkalemia ringan muncul ketika GFR < 20 mL/menit
per 1,73 m2 body surface area. Hiperkalemia dapat menyebabkan disaritmia
yang serius dan juga henti jantung (Hudson, 2011). Pasien mendapatkan Ca
polystyrene sulphonate, Ca gluconas, Actrapid, dan Dextrose 40 untuk
mengatasi hiperkalemia. Ca polystyrene sulfonat merupakan resin penukar ion
kalium pada kondisi hiperkalemia yang membentuk kompleks potassium
polystyrene sulfonate yang dapat dieksresi melalui feses (Drugbank.ca, 2015).
Ca gluconas memproteksi miokardium dari efek toksik kalium, namun tidak
memiliki efek terhadap kadar kalium (Joyce et. al., 2006). Insulin bekerja
dengan cara menggeser kalium keluar dari plasma menuju ke dalam sel atau
meningkatkan uptake kalium ke dalam sel. Sedangkan glukosa berfungsi
sebagai pencegahan hipoglikemi akibat pemberian insulin (Joyce et al, 2006).
Monitoring efektivitas terapi dilihat dari target kadar kalium sebesar 3,5-5,5
mmol/L dan monitoring efek samping insulin dipantau dari kadar gula darah
70-130 mg/dL (preprandial) dan <180 mg/dL (postprandial) (NKF K/DOQI,
2007).

3
Furosemid yang termasuk golongan diuretik loop diberikan pada pasien
saat awal MRS karena pasien mengalami udema paru yang ditandai dengan
sesak napas. Selain itu furosemid juga diberikan pada tanggal 17/2 karena TD
pasien melebihi target terapi (140/90) yaitu 168/70 mmHg. Dosis untuk pasien
CKD dengan CrCl < 30 mL/menit adalah 40-80 mg p.o. 1x1 dengan titrasi
pekanan meningkat 25% - 50% tergantung respon dan volume cairan ekstrasel
(K/DOQI Guideline, 2007). Dalam Lacy et al. (2009) dosis furosemide i.v.
adalah 20 – 40 mg /dosis, interval dosis 6-12 jam. Anti hipertensi lain yang
diberikan pada pasien adalah amlodipin yang merupakan golongan Calcium
Channel Blocker (CCB). Pada penderita SKA tanpa komplikasi gagal jantung,
penggunaan CCB akan menyebabkan vasodilatasi koroner sehingga
menyebabkan penurunan kontraktilitas, kebutuhan oksigen miokardial, dan
tekanan arterial (Selwyn, 2005). Monitoring efektivitas terapi dilihat dari TD
140/90 mmHg (JNC 8, 2014) dan denyut jantung sebanyak 80x/menit serta
monitoring efek samping furosemid yaitu hipokalemia.
Disamping itu, pasien mengalami anemia yang merupakan komplikasi dari
CKD ditandai dengan adanya penurunan Hb (< 10 g/dl), Hct dan RBC. Kadar Hb
pasien pada tanggal 14/2 adalah 5,2 sehingga diberikan transfusi PRC pada
tanggan 15/2 dan 16/2. Adanya anemia akan mengganggu sistem pertukaran
oksigen dan karbondioksida karena jumlah sel darah merah yang berkurang
(Maakaron,et.al., 2013). Transfusi darah pada pasien CKD sedapat mungkin
dihindari, hanya diberikan pada keadaan khusus, salah satunya pada pasien
dengan Hb <8 g/dL dengan gangguan kardiovaskular yang nyata. Target Hb
dengan transfusi yaitu 7-9 g/dL kemudian dilanjutkan dengan penggunaan
eritropoetin dengan target Hb 10-12 g/dL (PERNEFRI, 2011).
Inflamasi kronik sering terjadi pada pasien gagal ginjal kronik dan lebih
dari 50-70% dapat mengalami peningkatan kadar ferritin sehingga kemungkinan
keadaan yang sering terjadi pada gagal ginjal kronik adalah hiperferritinemia
(Senol et al, 2008). Selain itu, iron overload didapat dari riwayat transfusi PRC
(PERNEFRI, 2011). Pasien mengalami hiperferritinemia dengan kadar ferritin
pada tanggal 13/2 sebesar 10.919 mcg/L. Pasien mendapat terapi deferiprone yang
merupakan chelator besi yang dapat mengikat ion Fe3+ membentuk kompleks

3
deferipron:Fe yang stabil dan dapat dieliminasi melalui urin (drugbank.ca).
Monitoring efektivitas terapi dilihat dari persentase TSAT sebesar >20% dan
kadar ferritin sebesar 100 mcg/L yang diukur tiap 2-3 bulan.
Diazepam diberikan sebagai penenang ringan pada pasien dengan sindrom
koroner akut sesuai Pedoman Diagnosis dan Terapi RSUD Dr. Saiful Anwar.
Diazepam merupakan anti-ansietas golongan benzodiazepine yang bekerja dengan
cara potensiasi aksi GABA (Tatro, 2003).
Pasien mendapat terapi analgesik tramadol disebabkan nyeri setelah
pemasangan double lumen. Tramadol merupakan analgesik opioid yang bekerja
dengan cara berikatan dengan reseptor opioid dan menghambat reuptake
norepinephrine dan serotonin (Tatro, 2003). Monitoring efektivitas terapi dilihat
dari penurunan skala nyeri dan monitoring efek sampingnya dipantau dari adanya
kejadian depresi pernafasan.
Kadar asam urat pasien mengalami peningkatan (> 7 mg/dL untuk
perempuan) yaitu sebesar 7,5 mg/dL merupakan salah satu pertanda adanya gagal
ginjal (Devkota et al, 2014). Hiperurisemia dapat terjadi karena berkurangnya
kemampuan untuk mengekresikan asam urat pada pasien CKD (Mason and
Assimon, 2013). Pasien diberi allopurinol yang bekerja dengan cara menghambat
xantin oksidase yang merupakan enzim yang mengkonversi hipoxantin menjadi
xantin dan menjadi asam urat. Monitoring efektivitas terapi dilihat dari kadar
asam urat pasien (< 7 mg/dL untuk perempuan).
Laxadine syrup yang mengandung phenolphtalein, paraffin Liquidum dan
glycerin diberikan pada pasien untuk menghindari mengejan terlalu keras ketika
defekasi yang mengakibatkan bertambahnya beban kerja jantung.
Data laboratorium pasien menunjukkan adanya abnormalitas,
diantaranya fungsi ginjal pasien tampak mengalami penurunan/kerusakan yang
dapat ditunjukkan dengan data serum kreatinin dan BUN di atas normal.
(Arora, 2014)
Adanya protein yang terdapat dalam urin (proteinuria, albuminuria,
mikroalbuminuria) merupakan salah satu penanda adanya kerusakan pada ginjal
(Mason and Assimon, 2013). Hipoalbumin merupakan akibat dari adanya
protein (albumin) yang lolos terekskresi melalui urin (proteinuria). Adanya

3
leukosituria (pyuria) dan bakteriuria juga mengindikasikan bahwa adanya
infeksi pada saluran kemih (Pagana et. al., 2015).
Pada pemeriksaan Blood Gas Analysis (BGA) diperoleh pCO2 ↓, p O2 ↑,
HCO3 ↓ menunjukkan asidosis metabolik. Asidosis metabolik dapat terjadi
karena berkurangnya kemampuan untuk mensekresikan asam dan membentuk
dapar pada pasien PGK. Pada penyakit ginjal kronik yang parah, bikarbonat
yang telah difiltrasi akan diperoleh kembali, namun kemampuan ginjal untuk
mensistesis amonia terganggu (Hudson, 2011).
Marker biokimia (troponin dan CKMB) pada kematian sel miokardial
sangat penting sebagai konfirmasi diagnosis sindrom koroner akut.
Meningkatnya troponin dan CKMB dalam darah mengikuti perkembangan dari
oklusi arteri koroner hingga kematian sel (Jaffe, 2002).
Pada kasus pasien ini, terdapat beberapa Drug Related Problems (DRP),
diantaranya adalah:
1. Kadar albumin <3,5 g/dL yaitu pada 17/2 sebesar 3,01 g/dL dan 19/2 sebesar
2,55 g/dL tetapi tidak mendapat terapi albumin karena restriksi BPJS yang
hanya mulai memberikan terapi albumin jika kadar albumin <2,5 g/dL.
Namun kadar albumin pasien sudah berada dibawah nilai normal sehingga
perlu segera dilakukan penanganan dengan cara memperhatikan asupan
protein dan memonitoring BUN selama belum diberikan terapi albumin.
2. Pasien mengalami bakteriuria yang ditandai dengan tingginya jumlah bakteri
dalam urine sebesar 1282,8 x 103/ml. Perlu dilakukan monitoring tanda-tanda
infeksi (suhu tubuh, WBC) dan konfirmasi kepada dokter tentang perlunya
terapi antiinfeksi.
3. Pasien mengalami asidosis metabolik ditandai dengan ↑pH darah=7,2 ;
↓HCO3= 8,9 ; ↓pCO2= 22,7 pada 10/2. Perlu dilakukan konfirmasi kepada
dokter terkait perlunya terapi Na bikarbonat. Dosis Na bikarbonat yang
disarankan NKF K/DOQI adalah 2-4 tablet 650 mg (8 mEq natrium dan 8
mEq bikarbonat) per hari dibagi menjadi 2-3 dosis.
4. Tidak adanya terapi antianemia lanjutan setelah pemberian PRC padahal Hb
pasien sudah mencapai 9 mg/dL Perlu dilakukan konfirmasi kepada dokter

3
terkait pemberian terapi eritropoetin pada pasien setelah pemberian PRC.
Dosis EPO yang disarankan NKF K/DOQI adalah 80-120 IU/kgBB (SC).
5. Penggunaan allopurinol 1x100 mg tiap hari dengan kadar asam urat pasien
7,5 mg/dL dimana allopurinol seharusnya diberikan 100 mg per 48 jam
(alternate day) pada pasien dengan gangguan ginjal.

3
BAB IV
KESIMPULAN

Pasien didiagnosa CKD stage V dan NTEACS dengan problem medik


anemia renal, hipoalbumin, hiperkalemia, asidosis metabolik, hematemesis, iron
overload, dan bakteriuri. Keadaan terakhir pasien meninggal dengan sebab
kematian cardiac arrest.
Penanganan CKD Stage V dengan anemia telah sesuai dengan guideline
PERNEFRI 2011, penanganan NSTEACS sesuai dengan ESC 2015.

3
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Aaronson, P.,I., Ward, J.,P.,T., Wiener, C.,M., Schulman, S.,P., Gill, J.,S.,1999.
The Cardiovascular at A Glance, London: Blackwell Science Ltd.
Agarwal and Andersen, 2005. Management of hypertension in hemodialysis
patients. International Society for Hemodialisis, p.241-248
Agarwal, Rajiv and Sinha, Arjun D. 2009. Cardiovascular Protection with
Antihypertensive Drug in Dialysis Patients: Systematic Review and
Meta-Analysis. Hypertension: Journal of The American Heart
Association, Vol. 53 p. 860-866.
Amsterdam, Ezra A., et. Al., 2014. 2014 ACC/AHA guideline for the
management of patients with non–ST-elevation acute coronary
syndromes: a report of the American College of Cardiology/ American
Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation.
2014;130:e344–e426.
Arora et al, 2014. Chronic Kidney Disease. Diakses melalui www.medscape.com
pada tgl 26 Maret 2016
Devkota, et.al., 2014. Hyperuremia. Diakses melalui www.medscape.com pada
tanggal 15 Juni 2015.
Dharma, S., Juzar, D. A., Firdaus, I., Soerianata, S., Wardeh, A. J., & Jukema, J.
W. (2012). Acute myocardial infarction system of care in the third
world. Netherlands Heart Journal, 20(6), 254–259.
Ekart, Robert, Bevc, Sebastjan and Hojs, Radovan. 2011. Blood Pressure and
Hemodialysis. In: Penido, Maria Goretti (Ed). Special Problems in
Hemodialysis Patients. Rijeka: Intech
Fauci et al, 2011. Harrison’s: Principles of Internal Medicine 17th Edition. The
McGraw-Hill Companies, Inc.
Hudson, J. Q., 2011. Chronic Kidney Disease: Management of Complications. In:
J.T. Dipiro, R. L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B. G. Wells, and L.M.
Posey (Eds.). Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th Ed.,
New York: McGraw Hill Companies

3
Jaffe, Allan S. and Wayne L. miller., 2002. Acute Myocardial Infrction, In :
Michael H. Crawford, MD (Ed), Current Diagnosis & Treatment in
Cardiology, 2 nd, p, 39-54, McGraw-Hill
Joachim, H., 2006. Renal Disease. McPhee, S.J., Ganong, W.F., Phatophysiology
of disease: an introduction to clinical medicine 5th edition. McGraw-Hill
Companies, Inc.
Joy, M.S., Kshirsagar, A., and Franceschini, N., 2008. Chronic Kidney Disease :
Progression- Modifying therapies. In : Dipiro, T.J., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy : A
phatophysiologic approach, 7 th edition, New York : McGraw-Hill
Companies, Inc., p 745.
Joyce C., Hollander-rodriguez.,M.,D., James F.,C., 2006. Hyperkalemia diakses
dari www.aagp.org/afp pada 27 Maret 2016
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, N.P., Lance, L.L. (Ed.), 2009. Drug
Information Handbook 18th edition. APhA : Lexi-Comp.
Levey, A.S., Stevens, L. A., and Stoycheff, N., 2009. Staging and
Management of Chronic Kidney Disease. In: National Kidney
Foundation (Eds.). Kidney Disease, Ed. 5th, pp. 436-445.
Maakaron, et.al., 2013. Anemia. Diakses melalui www.medscape.com pada
tanggal 27 Maret 2016
Manley, Harold J., Drayer, Debra K. and Muther, Richard S. 2003. Medication-
Related Problem Type and Appereance Rate in Ambulatory
Hemodialysis Patients. BMC Nephrology, Vol. 4 No. 10.
Mason, D.L. dan Assimon, M.M., 2009. Chronic Kidney Disease, dalam: Koda
Kimble, M.A. (Ed.), Applied Therapeutics The Clinical Use of Drugs.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadephia, hal. 764–775.
Mohebbi L., Hesch K., 2009. Stress ulcer prophylaxis in the intensive care unit,
diakses dari www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/article pada 27 Maret 2016
National Kidney Foundation, 2002. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for
Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification.
Am J Kidney Dis Vol.39:1–266

4
National Kidney Foundation, 2007. K/DOQI Clinical Practice Guidelines and
Clinical Practice Recommendations for Diabetes and Chronic Kidney
Disease. Am J Kidney Dis Vol.49 (2 suppl 2): S12-S154
National Institute for Health and Care Excellence, 2014. Chronic Kidney
Disease: Early Identification and Management of Chronic Kidney
Disease in Adults in Primary and Secondary Care. NICE Clinical
Guideline, pp. 9-23.
Opie, L.,H., Horowitz, J.,D., 2013. Nitrates and Newer Antianginals, In: Opie,
L.,H., Gersh, B.,J.,2013. Drugs for The Heart, Ed 8th, USA: Elsevier Inc
Pagana, K., D., Pagana T., J., Pagana T.,N., 2015. Partial Thromboplastin Time,
Activated Diagnostic and Laboratory Test Reference, p. 693, USA:
Elsevier
Payne DA., Hayes PD., Jones CI., Belham P., Naylor AR., Goodall AH., 2002.
Combined therapy with clopidogrel and aspirin significantly increases
the bleeding time through a synergistic antiplatelet action.
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12042732 pada 27 Maret 2016
Pedoman Penggunaan Antibiotika RSUD Dr. Saiful Anwar Malang Tahun 2012. .
Perhimpunan Nefrologi Indonesia, 2011. Konsensus Manajemen Anemia pada
Penyakit Ginjal Kronik
Robinson, Bruce M, Tong, Lin, Zhang, Jinyao, Wolfe, Robert A., Goodkin, David
A., Greenwood, Roger N., Kerr, Peter G., Morgenstern, Hal, Li, Yun,
Pisoni, Ronald L., Saran, Rajiv, Tentori, Francesca, Akizawa, Tadao,
Fukuhara, Shunichi and Port, Friedrich K. 2012. Blood Pressure Levels
and Mortality Risk among Hemodialysis Patients in the Dialysis
Outcomes and Practice Patterns Study. Kidney International, Vol.82. p.
570-580.
Sagar, M., Janczwska, Sjostdet S., Hammarlund B., Iwarzon M., Seensalu R.,
1998. Comparison of the effect of lansoprazol and omeprazole on
intragastric acidity ang GER in patients with GERD, Diakses dari
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/9930385 pada 27 Maret 2016
Senol E., Ersoy A., et al.208. Oxydative stress and ferritin levels in hemodialysis
patients. Nephrol Dial Transplant 2008:23: 665-672

4
Singapuri, M. Salman, MD and Lea, Janice P., MD, MSc. 2010. Management of
Hypertension in the End-Stage Renal Disease Patient. JCOM, Vol. 17
No.2, p. 87-94.
Spirt MJ, Stanley S. Update on stress ulcer prophylaxis in critically ill patients.
Crit Care Nurse. 206:26(1):18-20. 2-28.
Tatro, D., S., 2003. A to Z Drug Facts, Facts and Comparison
White, H.,D., and Opie, L.,H., 2013 Nitrates, In: L.,H., Opie and B.,J., Gersh
(Eds), Drugs for The Heart, Ed. 8th, USA: Elsevier Inc.
Wong, Eric, 2012. Chronic Kidney Disease [Online]. Diakses dari
http://www.pathophys.org/ckd/ pada tanggal 29 Februari 2016.

4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Ileus Paralitik


1.1.1. Definisi
Ileus paralitik adalah keadaan dimana usus gagal atau tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini
bukan suatu penyakit primer usus melainkan akibat dari penyakit primer, tindakan
(operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin, dan obat-obatan yang
dapat mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Ileus paralitik hampir selalu
dijumpai pada pasien pasca operasi abdomen dan berlangsung sekitar 24-72 jam
pasca operasi(Schaffner et al., 1995).

1.1.2 Epidemiologi
Total angka kejadian dari obstruksi usus yang disebabkan oleh mekanik
dan non mekanik mencapai 1 kasus diantara 1000 orang. Ileus akibat meconium
tercatat 9-33% dari obstruksi ileus pada kelahiran baru(Schaffner et al, 1995).

1.1.3 Klasifikasi
Terdapat dua jenis ileus yaitu ileus obstruksi dan ileus paralitik.Ileus
obstruksi merupakan gangguan pasase isi usus secara normal ke rektum karena
hambatan ekstrinsik atau intrinsik, baik pada usus kecil maupun usus besar.
Sedangkan ileus paralitik tampak terjadi penghambatan aktivitas usus kecil
(Livingstone, 1990).

4
Tabel 1.1 Klasifikasi Ileus (Livingstone, 1990)
No Tanda Obstruktif Paralitik
1 Inspeksi(melihat dan mengevaluasi pasien secara
Kontur dan
visual dan merupakan metode tertua yang distensi hebat
gerakan usus
digunakan untuk mengkaji/menilai pasien).
2 Auskultasi(menyentuh atau merasakan dengan Suara usus
tangan, adalah langkah kedua pada pemeriksaan meningkat,
suara usus hilang
pasien dan digunakan untuk menambah data yang
telah diperoleh melalui inspeksi sebelumnya). nada tinggi
3 Palpasi

(1. Palpasi ringan : perawat memberikan tekanan


dapat ditemukan
perlahan, lembut dan hati2, sedalam kira2 1 cm tidak ada massa
massa atau hernia

2. Palpasi dalam : untuk memeriksa kondisi


organ, penekanan sedalam 2-4 cm).

1.1.4 Etiologi
 Trauma abdomen atau kerusakan organ abdomen (lambung, usus halus,
pankreas, kolon, hepar, limpa, ginjal) yang disebabkan oleh trauma
tembus, biasanya tikaman atau tembakan; atau trauma tumpul akibat
kecelakaan mobil, pukulan langsung atau jatuh (Schuffer et al, 1993).
 Pembedahan perut, yaitu tindakan pembedahan yang dilakukan di daerah
perut untuk melakukan diagnosa atau mengobati suatu penyakit. Tindakan
ini menggunakan berbagai macam teknik tergantung organ perut mana
yang akan dibedah, seperti kolon, liver, atau ginjal, dan lainnya. Hampir
seluruh tindakan ini biasanya memerlukan sayatan besar untuk merobek
perut dan biasa disebut bedah pembukaan abdomen atau laparotomi, yang
termasuk sebagai salah satu operasi besar dan akan memerlukan periode
pemulihan dan istirahat yang panjang(Schuffer et al, 1993).
 Serum elektrolit abnormalitas (terutama hypokalemia). Gerakan peristaltik
merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik
diatur oleh neuron inhibitory dan neuron exitatory dari sistim enteric motor
neuron. Kontraksi otot polos usus ini dipengaruhi dan dimodulasi oleh
berbagai faktor seperti sistim saraf simpatik – parasimpatik,
neurotransmiter (adrenergik, kolinergik, serotonergik,dopaminergik,
hormon intestinal, keseimbangan elektrolit dan sebagainya(Schuffer et al,
1993).

4
 Infeksi/inflamasi atau iritasi seperti intrathorak, intrapelvic, rongga perut,
iskemia usus, cedera tulang(Schuffer et al, 1993).
 Akibat pengobatan menggunakan narkotik, antikolonergik, katekolamin,
fenotiasin, dan antihistamin (Schuffer et al, 1993).

1.1.5 Patofisiologi
Ileus paralitik merupakan manifestasi dari terangsangnya sistem saraf
simpatis dimana dapat menghambat aktivitas dalam traktus gastrointestinal,
menimbulkan banyak efek yang berlawanan dengan yang ditimbulkan oleh
sistem parasimpatis. Perubahan patofisiologi utama pada obstruksi usus adalah
lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dan gas
akibat peningkatan tekanan intralumen yang menurunkan pengaliran air dan
natrium dari lumen ke darah. Penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena
adanya daya mekanik yang mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan
penyempitan lumen usus.Terjadinya gangguan absorpsi tersebut dapat
menyebabkan penimbunan intralumen dengan cepat (Jumhana, 2011)

1.1.6 Gejala klinis


Gejala klinis ileus paralitik menurut Schufferet al. Tahun 1993 adalah
sebagai berikut:
 Perut kembung (abdominal distention) yang tidak disertai nyeri kolik
abdomen yang paroksimal
 Anoreksia
 Mual dan muntah
 Konstipasi
 Bising usus yang lemah dan jarang bahkan dapat tidak terdengar sama
sekali.
 Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan
adalah gambaran peritonitis.
 Biasanya berak disertai darah

4
1.1.7 Algoritma Terapi

Gambar 1.1 Algoritma Ileus Paralitik (Cagir, et al, 2015)

4
1.1.8 Manajemen Terapi
Manajemen Terapi awalpada penderita ileus paralitik menurut Zoe dan
Anna tahun 2014, adalah bersifat konservatif dan berfokus pada:
a. Analgesik. Penggunaan analgesik sebaiknya menghindari penggunaan
analgesikgolongan opioid, karena efek sampingnya yang antara lain
dapat menurunkan motilitas usus dan juga dapat menyebabkan
konstipasi sehingga dapat memperburuk kondisi pasien yang
mengalami gangguan saluran pencernaan
b. Antiemetik.
c. NBM (Nil By Mouth yaitu pasien tidak diperbolehkan untuk makan
atau minum melalui peroral) untukrest bowel.
d. Cairan IV dan monitoring keseimbangan cairan.
e. Pemasangan Nasogastric tube (tabung yang dimasukkan melalui
hidung kemudian melewati esophagus hingga mencapai lambung)
dilakukan apabila pasien mengalami muntah ( Zoe and Anna, 2014).

4
Gambar 1.2 Manajemen Terapi Ileus Paralitik (Zoe and Anna, 2014)

4
1.1.8.1 Sebelum operasi
Pasien dipuasakan dan dilakukan pemasangan NGT, disertai dengan
resusistasi cairan dan elektrolit.Defisit cairan dapat dikoreksi dengan NaCl
fisiologis atau ringer laktat.Foley kateter dipasang untuk menilai kecukupan
urin.Jika terjadi dehidrasi berat atau pada pasien dengan problem cardiovaskular,
dilakukan pemasangan CVP.Jika urin pasca rehidrasi telah mencapai normal,
maka segera lakukan pemberian KCl, karena rehidrasi dalam jumlah banyak dapat
menyebabkan hipokalemia.Jika keputusan operasi telah dibuat, maka pemberian
analgetik dapat dilakukan.Antibiotik spektrum luas juga harus diberikan
(Sudiyatmo, 2013).

1.1.8.2Setelah Operasi
Indikasi operasi adalah pasien dengan ileus obstruksi usus total, atau
obstruksi yang disertai adanya tanda-tanda strangulasi, atau pasien dengan
obstruksi simpel yang tidak mengalami resolusi setelah 24-48 jam pemasangan
NGT dan rehidrasi.Semua sepakat bahwa pasien ileus obstruksi yang disertai
dengan gejala peritonitis harus dilakukan operasi emergensi.Waktu optimal untuk
operasi adalah segera setelah resusistasi cairan dan elektrolit selesai dilakukan.
Tipe insisi tergantung dari penyebab obstruksi atau adanya scar bekas operasi
sebelumnya. Pada saat eksplorasi; cara mudah untuk menemukan area obstruksi
adalah dengan mengidentifikasi usus yang kolaps dan ditelusuri ke arah proksimal
sampai pada area obstruksi dan bagian proksimal yang mengalami distensi. Pada
adhesi dilakukan adhesiolisis, pada usus yang ganggren dilakukan reseksi, tumor
direseksi dan benda asing dikeluarkan (Sudiyatmo, 2013).

4
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS

Inisial Pasien: An. GA Berat Badan: 25 Kg


Umur : 10 tahun Tinggi Badan: 135 cm
Alamat :Malang Tgl MRS : 26/01/2015

 Keluhan utama:Tidak bisa BAB, muntah dan demam.


 Keluhan tambahan:Pasien tidak bisa BAB sejak kurang lebih dua minggu
disertai perut kembung dan muntah.
 Diagnosis : Ileus paralitik + post appendectomy.
 Catatan : Tanggal 05/01/2016 pasien post appendectomy di RS Trenggalek.
 Riwayat Penyakit :-
 Riwayat Pengobatan :Dari RS Trenggalek: Kaen 3B, Claneksi 3x1 gram,
Santagesik 3x1 ampul, Ranitidin 2x50 mg.
Alergi : -
Kepatuhan + Obat Tradisional -
patuh
Merokok - Alkohol -

5
Catatan perkembangan pasien
Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
26/01/2016 Pasien mengeluh tidak bisa BAB sejak dua minggu disertai mual,
muntah dan kembung.
27/01/2016 Pasien belum bisa BAB dan BAK. Kembung pasien sudah tidak ada
tetapi pasien mengalami demam.
28/01/2016 Pasien bisa BAK tetapi belum bisa BAB. Pasien sudah tidak demam
tetapi timbul nyeri pada perut.
29/01/2016 Pasien bisa BAK. Pasien mengalami demam, muntah dan perut
kembung. Pasien juga dinyatakan mengalami kekurangan gizi.
30/01/2016 Pasien sudah tidak mengeluh kembung. Pasien bisa BAK tetapi
pasien terlihat lemas.
31/01/2016 Pasien masih belum bisa BAB dan keluhan kembung pasien sudah
tidak ada.
01/02/2016 Pasien bisa BAB sedikit dan BAK. Pasien tidak mengalami
kembung tetapi pasien muntah.
02/02/2016 Pasien bisa BAB tanpa ada keluhan mual dan kembung.
03/02/2016 Pasien bisa BAK tetapi mengalami kembung.
04/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK. Pasien mengalami muntah.
05/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK. Pasien mengalami kembung dan nyeri
perut. Pasien juga mengalami kejang sebanyak dua kali dan pasien
dibawa ke PICU.
06/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK. Pasien sudah tidak kejang tetapi pasien
mengalami sesak.
07/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK.
08/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK.
09/02/2016 Pasien bisa BAB dan BAK.
10/02/2016 Pasien bisa BAK dan mengalami keluhan nyeri perut.
11/02/2016 Pasien bisa BAK dan mengalami keluhan nyeri perut.
12/02/2016 Pasien bisa BAK.
13/02/2016 Pasien bisa BAK.
14/02/2016 Pasien bisa BAK.
15/02/2016 Pasien bisa BAK.
16/02/2016 Pasien bisa BAK dan BAB.
17/02/2016 Pasien bisa BAK dan BAB.
18/02/2016 Pasien mengalami demam.
19/02/2016 Pasien bisa BAK dan BAB.
20/02/2016 Pasien mengeluh sedikit nyeri pada perut.

5
DOKUMEN FARMASI PASIEN

IRNA/Ruangan :Bedah/15

No RM : 1127xxx Diagnosa : Ileus paralitik + post appendectomy


Nama/Umur : An. GA /10 th Alasan MRS:Pasien tidak bisa BAB sejak kurang lebih dua minggu disertai perut kembung
BB/TB/LPT :25 kg/135 cm dan muntah
Alamat : Malang Riwayat penyakit : -
Riwayat alergi : -

Tanggal Pemberian Obat


No Nama Obat Rute Dosis 26/ 27/ 28/ 29/ 30/ 31/ 01/ 02/ 03/ 04/ 05/ 06/ 07/ 08/ 09/ 10/ 11/ 12/ 13/ 14/ 15/ 16/ 17/ 18/ 19/ 20/
01 01 01 01 01 01 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02
D5 ½ NS IVFD 1500 cc/ 24
1. v v v v
jam
D5 ½ NS : Kaen IVFD 1:1/ 24 jam
2. v v
Mg3
D5 ½ NS : NS 3% IVFD 500 cc : 50
3. v v
cc/24 jam
4. NaCl 3% IVFD 300 cc/ 24 jam v
5. Aminofusin L600 IVFD 400 cc/ 24 jam v v v V v v v
6. Aminofluid IVFD 500 cc/ 24 jam v V
7. Kaen Mg3 IVFD 500 cc/24 jam v v
Ca Gluconas + IVFD 20 cc dalam
8. v v
Kaen Mg3 500 cc
9. Albumin 25% IVFD 100 cc v v
10. PRC IVFD 200 cc v v
11. KCl 7,4% IVFD 16 cc v
12. Lipid IVFD 120 cc/ 24 jam v v
13. MgSO4 IM 2 cc v v v v v v v v v v
14. Zinc PO 1x20 mg v v v v v v v v v

5
Tanggal Pemberian Obat
No Nama Obat Rute Dosis 26/ 27/ 28/ 29/ 30/ 31/ 01/ 02/ 03/ 04/ 05/ 06/ 07/ 08/ 09/ 10/ 11/ 12/ 13/ 14/ 15/ 16/ 17/ 18/ 19/ 20/
01 01 01 01 01 01 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02 02
1. Ceftriaxone IV 2x1 g v v v v v v v v v v
Metronidazole IV 3x300 mg v v v v v V v
(500 (500 (500 (500 (500 (500 (500
2. v v v v v v mg) mg) mg) mg) mg) mg) mg)

Meropenem IV 3x1 g v v v V
(500 (500 (500 (500
3. v v v v v mg) mg) mg) mg)

Cefixime (100 mg/5 PO 2x1 cth


4. v v v v
ml)
Metamizole IV 4x250 mg v v v v v v v v
(200 (200 (500 (500 (500 (500 (500 (500
5. v v v v v v mg) mg) mg) mg) mg) mg) mg) mg)

Paracetamol sirup PO 3x2 cth


6. v v v
(120 mg/5 ml)
7. Metoclopramide IV 3x5 mg v v v v v v v v v
(4 mg) (4 mg) (4 mg)
8. Ranitidin IV 2x25 mg v v v v v v v v v v v v v v v v v v
Sucralfate (500 PO 3x1 cth
9. v v v v
mg/5 ml)
Vitamin A (6000 PO 1x1 bungkus
µl)
Vitamin B komplek
10.
Vitamin C (100 v v v v v v v v v v v v v v v
mg)
Vitamin E (100 µl)
Asam folat (10 mg)
11. Diazepam IV 8 mg v

5
DATA KLINIK

Tanggal
Gejala 26 27/ 28 29/ 30/ 31/ 01/ 02/ 03/ 04/ 05/ 06/ 07/ 08/ 09/ 10/ 11/ 12/ 13/ 14/ 15/ 16/ 17/ 18/ 19/ 20/
/1 1 /1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2

BAB + + + + + + + + + + + +

Demam + + + + + +

Kejang +

Kembung + + + + + +

Lemah +

Mual +

Muntah + + + +
Nyeri
+ + + + + +
perut

Sesak +

Suhu -
Normal 37,
36 36,1 37,6 37,1 37,4 36,7 36,4 36,7 36,4 36,4 36 - - 36 36,2 36 36,7 36,6 37,1 36 36,4 37 36,9 36,4
: 36- 5
37

Nadi 80- -
85 95 102 108 90 91 96 125 105 100 100 - - - 116 100 90 94 96 84 86 86 120 97 102 85
x/menit

5
DATA LABORATORIUM

NORMAL
PARAMETER 26/01 27/01 28/01 31/01 02/02 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02 10/02 11/02 13/02 15/02 18/02
VALUE
DARAH LENGKAP
4,91.1
Eritrosit 4,0-5,5.106/µl 4,44.106 3,64.106 3.87.106 4,45.106 3,53.106 3,58.106 3,26.106 4,75.106
06
10,29.
Leukosit 4,3-10,3.103 /µl 6,59.103 9,27.103 7,82.103 11,58.103 15,58. 103 7,99.103
103
Hb 13,4-17,7 g/dl 9,90 8,10 8,40 9,90 8,00 8,10 11,40 12,70 12,20
Hematokrit 40-47% 31,00 25,20 26,80 20,20 24,70 25,00 35,20 38,90 37,20
608.1
Trombosit 142-424.103/µl 317. 103 236.103 287. 103 747. 103 680.103 534.103 434.103 262.103
03
FH
PTT 9-11,3 detik 18,30 12
APTT 24,6-30,6 detik 36,40 29,60
KIMIA DARAH
GDA <200 mg/dl 123 95 109 85 92 85
Ureum 16,6-48,5 mg/dl 41,10 14,30 12,5 16,70
Kreatinin <1,2 mg/dl 0,56 0,27 0,26 0,24
SGOT 11-41 U/l 16 23
SGPT 10-41 U/l 15 15
Albumin 3,5-5,0 g/dl 3,34 2,27 3,48 4,24 3,45 3,25 2,25 2,69 2,90 3,85
SERUM ELEKTROLIT
Natrium 135-145 mmol/l 116 121 121 129 125 122 119 129 123 131 125 132 129
Kalium 3,5-5,0 mmol/l 2,55 1,86 1,98 2,69 3,26 3,33 2,98 2,95 3,52 3,65 3,10 3,29 2,72
Klorida 98-106 mmol/l 67 81 82 95 85 88 89 92 88 97 100 97 95
Kalsium 7,6-11,0 mmol/l 7,4 7,1 8,5 9,3 9,6 8,6 7,9 7,6 8,1
Fosfor 2,5-7,0 mmol/l 2,9 2,3

5
NORMAL
PARAMETER 26/01 27/01 28/01 31/01 02/02 04/02 05/02 06/02 07/02 08/02 10/02 11/02 13/02 15/02 18/02
VALUE
URINALISIS
Penampakan Keruh, kuning Jernih, kuning
Spec. Gravity 1,001-1,030 1,010 1,015
pH 5,0-8,0 ≥9,0 7,5
Leukosit 0-5/lpb Neg trace
Nitrit neg Neg neg
Protein/albumin neg (0-trace) +2 neg
Glukosa neg Neg neg
Keton neg Neg neg
Urobilinogen neg Neg neg
Bilirubin neg Neg neg
Darah/RBC neg
Sedimen
Eritrosit 0-2/lpb 172,3 100,4
Leukosit 0-5/lpb 9,3
Epitel 0-2/lpb 8,4 0,5
Silinder neg Neg neg
Kristal neg
Bakteri ≤23.103 µl 4,8.103 14,1.103
BGA
Suhu 37 37
Hb 9,5 11,9
pH 7,35-7,45 7,37 7,55
pCO2 35-45 48,8 26,5
pO2 80-100 161,7 67,9
HCO3 21-28 28,3 23,5
Saturasi O2 >95% 97,9 95,2
Base excess (-)3-(+)3 2,8 0,9
Komentar :Pada awal MRS pasien mengalami tidak bisa BAB selama 2 minggu disertai kembung, muntah dan demam. Menurut Binfar
tentang Pedoman Interpretasi Data Klinik pada tahun 2011 bahwa adanya infeksi harus memenuhi dua diantara kondisi berikut yaitu :

5
peningkatan suhu, peningkatan leukosit (WBC), peningkatan RR, dan peningkatan nadi. Pada kasus tersebut pasien telah menunjukan
bahwa adanya infeksi.

ANALISA TERAPI
Terapi Cairan
Tanggal
Regimen Indikasi Pada Pemantauan
Pemberian Obat Rute Komentar dan Alasan
Dosis Pasien Kefarmasian
Obat
26/01/16; D5 ½ NS IVFD 1500cc Pasien mengalami Kadar serum Manajemen terapi dari pasien Ileus Paralitik
09,15,16/02/1 mal nutrisi elektrolit dan adalah dengan pemberian cairan melalui rute
/24 jam
6 sehingga Berat badan IV karena jika diberikan intake secara oral
membutuhkan pasien akan tertunda karena adanya obstruksi dan
27,29/01/16 D5 ½ NS : Kaen IVFD 1:1/ 24 jam cairan parenteral adanya inflamasi yang mengakibatkan susah
Mg3 sebagai nutrisi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan
14,15/02/16 D5 ½ NS : NS 3% IVFD 500 cc: 50 cc pengganti. memonitoringnya (Zoe dan Anna, 2014)
/24 jam Pasien juga
27/01/16 NaCl 3% IVFD 300cc/24 jam mengalami
Nutrisi parenteral diberikan sebagai
ketidakseim-
28,29,31/01/1 Aminofusin L600 IVFD 400cc/24 jam dukungan nutrisi bagi pasienyang tidak dapat
bangan elektrolit
6; mengkonsumsi atau menyerap sejumlah
02,03,07,08/0 makanan secara adekuat. Kebutuhan cairan
2/16 dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu umur,
BB, suhu tubuh, dan lingkungan serta
01,02/02/16 Aminofluid IVFD 500cc/24 jam keadaan hidrasi pasien(Hendarto, 2002)
03,11/02/16 Kaen Mg3 IVFD 500cc/24jam
09-17/02/16 MgSO4 IM 2 cc
29/01/16 KCl 7,4% IVFD 16 cc
29/01/16; Ca Gluconas + IVFD 20cc dalam
03/02/16 Kaen Mg3 500cc

5
Antibiotik
Tinjauan dosis
Regimen pada Pediatri Indikasi Pemantauan
Tanggal Obat Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Dosis Pada Pasien Kefarmasian
Obat
27/01/16 – Ceftriaxone IV 2x1g 50-75mg/kg/hari Antibiotika Kadar Antibiotika secara intravena
05/02/16 terbagi tiap 12 untuk Leukosit, atau subkutan diperlukan
jamselama 7-14 hari, mengatasi suhu tubuh, untuk pediatri yang
maksimal: 2 infeksi RR, HR mengalami ruptur
gram/hari apendisitis sebagai
pencegahan abses intra
28/01/16 – Metronidazole IV 3 x 300 22,5-40mg/kg/hari
abdominal paska operasi
mg terbagi dalam 3
02/02/16 appendectomy (Kara et al.,
dosis. Maksimal: 1,5
2015). Ceftriaxone
gram/hari
merupakan antibiotika
3x500 spektrum luas yang
mg
digunakan untuk anak
dengan infeksi intra
abdominal dan digunakan
dengan metronidazole
sebagai antibiotik paska
operasi appendisitis
(Armstrong, 2010; Peter et
al., 2008).
08/02/16 – Meropenem IV 3x1g 60mg/kg terbagi tiap Meropenem merupakan
16/02/16 8 jam. Maksimal: 1 antibiotik spektrum luas
gram/dosis yang digunakan pada anak
dengan infeksi komplikasi
5
intra abdominal (Armstrong,
2010).
17/02/16 – Cefixime PO 2 x 100 8 mg/kg/hari dalam Cefixime digunakan untuk
mg/5ml dosis perhari atau mengatasi infeksi yang
20/02/16
terbagi tiap 12 jam disebabkan oleh
enterobakteria (Lacy et al.,
2009).

5
Analgesik dan Antipiretik
Tanggal Obat Rute Regimen Tinjauan dosis Indikasi Pada Pasien Pemantauan Komentar dan Alasan
Pemberian Dosis pada pediatri Kefarmasian
Obat
27,29/01/16; Metamizole IV 4x250 mg 0,5mg/kg/hari Untuk mengurangi Suhu Tubuh Manajemen terapi untuk
02-05/02/16 nyeri yang dialami dan Skala pasien Ileus Paralitik
oleh pasien dan Nyeri adalah dengan pemberian
4x200 mg menurunkan suhu Analgesik dan menghindari
09-10/02/16 tubuh pasien yang analgesik dari golongan
tinggi opioid (Zoe dan Anna,
4x500 mg 2014)

11-14/02/16;
16-17/2/16

17,18,20/02/16 Paracetamol sirup PO 120 mg/5 160mg/5ml


ml

Antimual dan muntah


Tanggal Tinjauan dosis pada
Regimen Indikasi Pada Pemantauan Komentar dan
Pemberia Obat Rute pediatric
Dosis Pasien Kefarmasian Alasan
n Obat
26, 27, Metoclopramide IV 3 x 5mg; 0,1-2 mg/kg Mengatasi mual Mual Pasien mengeluh
29/01/16; diberikan 6 - 8 jam mual dan muntah
3 x 4 mg
8,9,11 / Metoklopramid
02/16 dan merupakan
dopamine
3,4,5/ 02/16
antagonis yang

6
dapat mengatasi
Mual dan muntah
(FDA, 2009).

6
Stress Ulcer
Tanggal Tinjauan
Regimen Indikasi Pemantauan
Pemberia Obat Rute dosis pada Komentar dan Alasan
Dosis Pada Pasien Kefarmasian
n Obat Pediatri
26/01/16 – Ranitidin IV 2 x 25 mg 4-8mg/kg Mengatasi Nyeri Pasien mengeluh mual yang
05/02/16; selama 12 nyeri uluh merupakan indikasi adanya
jam hati stress ulcer sehingga
8-11, 14,
diberikan ranitidin sebagai
16, (stress ulcer)
drug ofchoice (Zeitoun et al.,
17/02/16
2011). Ranitidin adalah
inhibitor kompetitif
histamine di reseptor H2 sel
parietal sehingga
menurunkan sekresi asam
lambung pada siang hari dan
kondisi nocturnal basal dan
juga ketika adanya stimulasi
makanan, insulin, histamine,
pentagastrin (McEvoy,
2011).
28/01/16 Sucralfate PO 3 x 1 cth 40- Stress ulcer Nyeri Sukralfat melindungi mukosa
dan 80mg/kg/hari GI dari asam lambung.
30/01/16 terbagi tiap 6 Mekanismenya membentuk
jam atau 0,5- kompleks ulser adheren
1 g tiap 6 dengan eksudat protein
jam seperti albumin dan
fibrinogen pada sisi ulser dan

6
melindunginya dari serangan
asam, membentuk barier
viskos pada permukaan
mukosa di lambung dan
duodenum, serta
menghambat aktivitas pepsin
dan membentuk ikatan garam
dengan empedu (Hasanah,
2007).

6
Suplemen
Tanggal
Regimen Indikasi Pada Pemantauan
Pemberian Obat Rute Komentar dan Alasan
Dosis Pasien Kefarmasian
Obat

Vitamin A, Vitamin Mengatasi Multivitamin diberikan untuk


kekurangan Tanda-tanda
B komplek, Vitamin meningkatkan daya tahan tubuh dan
6-20/02/16 PO 1x1 vitamin klinis (lemah,
C, Vitamin E, Asam membantu memenuhi nutrisi (Zelman dan
lemas)
folat Ward, 2015).

Difisiensi zinc dan Berat Badan Gejala dari defisiensi zinc antara lain
6-8, 15-20 1 x 20 terapi pasien dan kehilangan nafsu makan, penurunan berat
Zinc PO
/02/16 mg penyembuhan post luka post badan, penyembuhan bekas luka yang
appendectomy appendectomy buruk (Bradburry, 2006)

Albumin
Tanggal Tinjauan dosis
Regimen Indikasi Pada Pemantauan
Pemberia Obat Rute pada pediatric Komentar dan Alasan
Dosis Pasien Kefarmasian
n Obat
Pemberian albumin dapat
meningkatkan tekanan
29/01/16 onkotik intravaskular dan
500- Kadar albumin
dan Albumin 25% IVFD 100 cc Difisiensi albumin menyebabkan mobilisasi
1000mg/kg dalam darah
02/02/16 cairan dari interstisial ke
celah intravaskular (Lacy
et al., 2009).

6
Lipid
Tanggal
Regimen Indikasi Pada Pemantauan
Pemberian Obat Rute Komentar dan Alasan
Dosis Pasien Kefarmasian
Obat
Tanda-tanda
Pemberian lipid harus diperhatikan karena
7,8/02/16 Lipid IVFD 120 cc Defisiensi lipid klinis (lemas,
sering terjadi reaksi penolakan.
lemah)

PRC
Tanggal
Regimen Indikasi Pada Pemantauan
Pemberia Obat Rute Komentar dan Alasan
Dosis Pasien Kefarmasian
n Obat
29/01/16; PRC IVFD 200 cc Pasien Kadar Transfusi PRC diberikan untuk pasien
09/02/16 mengalami Hemoglobin anemia yang tidak disertai penurunan
anemia volume darah.
(kekurangan
darah)

6
ASUHAN KEFARMASIAN
1. Masalah aktual & potensial terkait obat 5. Pemilihan obat
2. Masalah obat jangka panjang 6. Penghentian obat
3. Pemantauan efek obat 7. Efek samping obat
4. Kepatuhan penderita 8. Interaksi
Obat Uraian Masalah Tindakan(Usulan pada klinisi, perawat, pasien)

Metamizole merupakan analgesik antipiretik yang lebih Rekomendasi pemberian metamizol sebaiknya bukan 500
poten dari parasetamol. Dosis pemberiannya harus benar mg tetapi 250 mg, karena melebihi dosis lazim maksimal
dipantau agar tidak terjadi rebound nyeri dan demam.Efek yang dianjurkan untuk anak berumur 10 tahun dengan berat
Metamizole
samping pemberiannya berupa agranulositosis, anemia badan 25 kg (Lacy et al, 2009).
aplastik dan perdarahan saluran cerna. Dosis terapeutik 10
mg/kgBB/kali tiap 6-8 jam.

O2 nasal diperlukan untuk pasien saat pasien mengalami Rekomendasi pemberian O2 nasal untuk mengatasi sesak.
O2 nasal
keluhan sesak

Sucralfate diberikan untuk mengatasi stress ulcer pasien Rekomendasi untuk tidak memberikan sucralfate tetapi
Sucralfate sedangkan ranitidine juga diberikan pada pasien untuk cukup diberikan ranitidine terlebih dahulu untuk stress
indikasi yang sama. ulcer pasien.

Paracetamol tidak diberikan pada pasien saat suhu tubuh Rekomendasi untuk memberikan paracetamol sebagai
Paracetamol
pasien mencapai 37,60C. antipiretik untuk mengatasi demam pasien.

6
MONITORING
Parameter Tujuan
Serum elektrolit Mengetahui efektivitas terapiInfus aminofluid, D5
(Normal : Natrium  1/2 NS, NS 3%, KaenMg3, Ca gluconas,
135-145 mmol/L ; Aminofusin, dan KCl 4%
Pottasium  3,5-5,0
mmol/L ; Chlorida  98-
106 mmol/L ; Calsium 
7,6-11,0 mmol/L)
Berat Badan Mengetahui efektivitas terapi Lipid dan MgSO4,
Zinc, dan pemberian multivitamin (Vit A, B
complex, C, E dan asam folat) karena pasien
mengalami mal nutrisi
Albumin ( Normal : 3,5- Mengetahui efektivitas terapi Albumin 25% karena
5,0 g/dl) pasien mengalami hipoalbumin
Hemoglobin, Hematokrit, Mengetahui efektivitas terapi Infus PRC karena
RBC (Normal Hb : 11,4- pasien mengalami anemia
15,1% ; Hematokrit : 35,0-
50,0%)
Leukosit (Normal : 4,7- Mengetahui efektivitas terapi antibiotika Cefixime,
11,3) Ceftriaxone, Metronidazole dan meropenem
Lama penggunaan Untuk penggunaan antibiotika 7-10 hari
antibiotika
Nyeri lambung Mengetahui efektivitas terapi Ranitidin dan
Sucralfate
Nyeri post op Mengetahui efektivitas terapi metamizol dan
dilanjutkan dengan pemberian terapi paracetamol
Kejang Mengetahui efektivitas terapi Diazepam

67
KONSELING
Materi Konseling Konseling

Informasi kepada perawat: Albumin digunakan dalam 4 jam setelah vial


dibuka dan buang sisa yang tidak digunakan.
Injeksi albumin
Albumin 25% diberikan 2-3 ml/menit pada pasien
dengan hipoproteinemia. Simpan pada suhu 300C
(Lacy et al., 2009).

Informasi kepada perawat: Rekonstitusi 1 gram serbuk ceftriaxone dalam vial


dapat dilakukan dengan 9,6 ml WFI, NS, D5W,
Injeksi ceftriaxone
atau D10W (Lacy et al., 2009). Simpan pada suhu
>250C dan terlindung dari cahaya. Obat yang
sudah dilarutkan sebaiknya segera digunakan.
Larutan ini boleh disimpan maksimum 8 jam pada
suhu < 250C atau 7 hari didalam lemari es (Lacy et
al., 2009).

Informasi kepada perawat: Pemberian diazepam dapat melalui secara IV dan


IM namun untuk secara IV infus kontinu tidak
Injeksi diazepam
direkomendasikan karena presipitasi cairan IV dan
absorpsi obat dalam kantong infus dan tube.
Simpan pada suhu 20-250C dan terlindung dari
cahaya (Lacy et al., 2009).

Informasi kepada perawat: Dosis rendah metoclopramide dapat diberikan


tanpa dilarutkan selama lebih dari 1-2 menit; dosis
Injeksi metoclopramide
yang lebih tinggi dapat diberikan secara iv
intermiten selama lebih dari 15 menit. Injeksi
metoclopramide termasuk fotosensitif dan harus
terlindung dari cahaya selama penyimpanan di
suhu ruang (Lacy et al., 2009).

68
Informasi kepada perawat: Diberikan secara infus kontinu selamalebih dari
satu jam. Simpan di suhu 15-300C dan terlindung
Injeksi metronidazole
dari cahaya. Terlalu lama terpapar cahaya akan
menyebabkan perubahan warna produk menjadi
gelap (Lacy et al., 2009).

Informasi kepada perawat: Dilarutkan dengan 20 mL WFI atau NS. Diberikan


IV bolus selama lebih dari 3-5 menit atau
Injeksi meropenem
diberikan secara infus selama lebih dari 15-30
menit. Simpan pada suhu ruang 20-250C. Sedian
rekonstitusi stabil 2 jam pada suhu kamar dan 12
jam pada suhu lemari pendingin (Lacy et al.,
2009).
Informasi kepada perawat: Dilarutkan 0,5 mg/ml dan diberikan secara IV
bolus selama 5-7 ml/menit (15-20 menit). Simpan
Injeksi ranitidine
pada suhu 4-300C dan terlindung dari cahaya.
Larutan jernih, tidak berwarna hingga kekuningan.
Vial yang telah dicampur dengan NS atau D5W
stabil selama 48 jam pada suhu ruang (Lacy et al.,
2009).

Informasi kepada pasien: Diminum setelah makan untuk mengatasi infeksi


pada pasien. Kocok dahulu sebelum diminum dan
Cefixime sirup
aturan minumnya 2x 1 cth, Efek samping yang
mungkin terjadi adalah diare, nyeri abdominal
atau mual. Untuk sediaan sirup kering setelah
ditambahkan air, akan stabil selama 7 hari pada
suhu kamar atau lemari es (Lacy et al., 2009).

Informasi kepada pasien: Aturan minum 3 x 2 cth dan diminum setelah


makan untuk menurunkan demam pasien,
Paracetamol sirup
paracetamol sirup dapat dihentikan bila pasien
tidak demam. Efek samping yang mungkin terjadi
dalam penggunaan jangka panjang dan dosis

69
tinggi adalah gangguan hepar (Lacy et al., 2009).

Informasi kepada pasien: Diminum sebelum makan untuk mengatasi nyeri


pada perut pasien. Kocok dahulu sebelum
Sucralfate sirup
diminum. Efek samping yang mungkin timbul
adalah konstipasi (Lacy et al., 2009).

Informasi kepada pasien: Aturan minum 1x 1 dan diminum setelah makan


sebagai tambahan vitamin pasien.
Multivitamin serbuk (puyer)

70
BAB III
PEMBAHASAN

Ileus paralitik merupakan penyebab utama obstruksi intestinal pada bayi


dan anak. Beberapa penyebab ileus paralitik diantaranya bakteri atau virus yang
menyebabkan infeksi intestinal (gastroenteritis); gangguan keseimbangan
elektrolit atau mineral seperti penurunan kadar kalium); komplikasi dari operasi
abdominal; penurunan suplai darah ke intestinal (iskemik menterik); infeksi dalam
abdomen seperti apendisitis; penyakit pada ginjal atau paru; penggunaan obat
tertentu khususnya narkotika (Lehrer et al., 2014). Ileus paralitik bukan
merupakan penyakit primer melainkan komplikasi dari penyakit primer yaitu
apendisitis(Henneman dan Wolfe, 2009). Apendisitis merupakan inflamasi atau
adanya infeksi pada apendiks. Metode yang dilakukan untuk pengilangan
apendiks yang telah terinfeksi tersebut adalah dengan melakukan appendectomy.
Appendectomydilakukan pada pasien dengan gejala nyeri abdominal persisten,
demam, atau peritonitis. Appendicitis dapat menyebabkan suatu komplikasi yang
berupa ileus paralitik(Henneman dan Wolfe, 2009).
Pasien dengan ileus paralitik mengalami gejala nyeri abdominal ringan dan
perut yang terasa kembung. Selain itu, gejala lain yang dialami pasien adalah
mual, muntah dan kehilangan nafsu makan. Pasien dapat atau kesulitan untuk
flatus dan buang air besar (Cagir et al., 2015). Faktor risiko terjadinya ileus
paralitik diantaranya adalah geriatri, paska operasi abdominal atau memiliki
gangguan pskiatri sejak lama (Cagir et al., 2015).
Anak GA berumur 10 tahun dengan berat badan 25 kg, tinggi badan 135 cm,
MRS di RSUD Saiful Anwar tanggal 26 Januari 2016 dengan keluhan tidak bisa
BAB kurang lebih dua minggu disertai perut kembung dan mengalami muntah.
Pada tanggal 5 Januari 2016 pasien melakukan appendectomy di RS Trenggalek.
Pasien MRS dengan diagnosis Ileus paralitikpost appendectomy. Terapi dari RS
Trenggalek adalah KaEn 3B, Claneksi 3 x 1 gram, Santagesik 3 x 1 ampul,
Ranitidin 2 x 50 mg.

Pada hari pertama MRS pasien mendapatkan terapi cairan DS ½ NS


dengan dosis 1500 cc selama 24 jam untuk menjaga keseimbangan

71
hemodinamikakarena pasien mengalami muntah, pada hari ke-2 cairan diberikan
D5 ½ NS dengan KaEn Mg 3 dan juga diberikan NaCl 3% selama 24 jam secara
IV drip untuk penjagaan nutrisi dan keseimbangan elektrolit dikarenakan kadar
serum elektrolit pasien yang dibawah nilai normal yaitu Natrium: 121, Kalium:
1,86, Klorida: 81.Pasien juga diberikan aminofluid L 600 sebanyak 400 cc selama
24 jam secara IV drip pada hari ke-3, 4, 6, 8, 9. Pada hari ke-7 dan 8 diberikan
aminofusin secara IV drip selama 24 jam. Pasien diberikan tambahan berupa
nutrisi parenteral karenapada pasien ileus paralitik terjadi gangguan keseimbangan
elektrolitdan inadekuat intake oral (Cagir et al., 2015).
Selain itu, pasien mendapat KCL 7,4% sejumlah 16 cc yang ditambahkan
dengan WFI 34 cc dan Ca glukonas 20 cc dalam Kaen MgSO 4 500 cc sebagai
koreksi serum elektrolit pasien karena kadar elektrolit cenderung dibawah nilai
normal dimana Natrium: 121, Kalium: 1,98, Klorida: 82, Kalsium: 7,1. Pemberian
resusitasi cairan harus selalu dipantau kadar serum elektrolit.Manajemen terapi
dari pasien ileus paralitik adalah dengan pemberian cairan melalui rute IV karena
jika diberikan intake secara oral akan tertunda karena adanya obstruksi dan
adanya inflamasi yang mengakibatkan susah untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
dan memonitoringnya (Zoe dan Anna, 2014). Nutrisi parenteral diberikan sebagai
dukungan nutrisi bagi pasienyang tidak dapat mengkonsumsi atau menyerap
sejumlah makanan secara adekuat. Kebutuhan cairan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, yaitu umur, BB, suhu tubuh, dan lingkungan serta keadaan hidrasi pasien
(Hendarto, 2002). Menurut guideline tersebut terapi cairan yang diberikan kepada
pasien telah sesuai. Pemantauan outcome terapi nutrisi parenteral dapat dilihat
melalui peningkatan berat badan pasien, sedangkan pemberian resusitasi cairan
selalu dipantau kadar serum elektrolit.
Pasien diindikasikan mengalami infeksi yang dapat dilihat berdasarkan
data laboratorium yang menunjukkan peningkatan nilai leukosit. Menurut Binfar
tentang Pedoman Interpretasi Data Klinik pada tahun 2011 bahwa adanya infeksi
harus memenuhi dua diantara kondisi berikut yaitu: peningkatan suhu,
peningkatan leukosit (WBC), peningkatan RR, dan peningkatan nadi. Antibiotika
secara intravena atau subkutan diperlukan untuk pediatri yang mengalami ruptur
apendisitis sebagai pencegahan abses intra abdominal paska operasi

72
appendectomy (Kara et al., 2015). Oleh karena itu, pasien diberikan
antibiotikaceftriaxone pada hari ke-2 sampai hari ke-10, namun pada hari ke- 3
diberikan kombinasi metronidazole. Ceftriaxone merupakan antibiotika
berspektrum luas golongan sefalosporin generasi ketigayang digunakan untuk
anak dengan infeksi intra abdominal dan digunakan dengan metronidazole sebagai
antibiotik paska operasi appendisitis (Armstrong, 2010; Peter et al., 2008).
Pemberian ceftriaxone direkomendasikan untuk pasien anak dengan dosis 50-75
mg/kg/hari terbagi dalam 12-24 jam dengan dosis maksimal 2 gram per hari.
Pemberian antibiotika golongan sefalosporin dikombinasi dengan metronidazole
untuk mengatasi bakteri anaerobik (Solomkin et al., 2010).Pada hari ke- 13
sampai hari ke- 21 antibiotik diganti dengan meropenem dengan dosis 1 gram
sebanyak sehari 3 kali secara IV kemudian mengalami penurunan dosis yang
semula 1 gram menjadi 500 mg hal ini dapat dikarenakan untuk mengurangi risiko
terjadinya efek samping obat. Meropenem termasuk antibiotika spektrum luas
yang dapat digunakan untuk anak (Armstrong, 2010).
Pemberian antibiotika secara IV pada pasien dihentikan dan diganti
cefixime yang rute pemberiannya secara peroral dengan dosis 100 mg/ 5 ml,
diminum sebanyak sehari 2 kali 1 sendok teh pada hari ke – 22 sampai 25.
Cefixime digunakan untuk mengatasi infeksi yang disebabkan oleh enterobakteria
(Lacy et al., 2009).Menurut pedoman pelayanan kefarmasian untuk terapi
antibiotika tahun 2011, penggantian rute antibiotika yang semula intravena
menjadi peroral dapat dilakukan apabila setelah 24-48 jam kondisi klinis pasien
membaik, tidak ada gangguan fungsi pencernaan (muntah, diare berat, gangguan
menelan, malabsorpsi), kesadaran baik, tidak demam (suhu >36 dan <380C).
Berdasarkan literatur tersebut, maka pemberian terapi antibiotik telah sesuai.
Pemantauan outcome terapi antibiotik adalah dengan suhu tubuh, nilai leukosit,
nilai RR, dan nilai nadi berada dalam nilai normal.
Pasien mendapatkan terapi metamizolesebagai analgesik untuk mengatasi
nyeri yang dirasakan pasien dan parasetamol sebagai antipiretik karena pasien
sempat mengalami demam. Manajemen terapi untuk pasien ileus paralitik adalah
dengan pemberian analgesik dan menghindari analgesik dari golongan opioid,
karena efek sampingnya yang antara lain dapat menurunkan motilitas usus dan

73
juga dapat menyebabkan konstipasi sehingga dapat memperburuk kondisi pasien
yang mengalami gangguan saluran pencernaan (Zoe dan Anna, 2014).
Berdasarkan literatur, karena pasien tidak mendapatkan terapi analgesik opioid
maka terapi analgesik dan antipiretik yang digunakan telah sesuai. Pemantauan
outcome terapi dari analgesik dan antipiretik adalah dengan memantau skala nyeri
dan suhu tubuh dari pasien.

Pasien juga mengalami mual, muntah, serta nyeri perut sehingga diberikan
antiemetik yaitu metoklopramid dengan dosis 10 mg diberikan sebanyak tiga kali
dalam sehari. Selain muntah pasien juga mengalami nyeri perut sehingga
diberikan ranitidine dosis 25 mg diberikan sehari sebanyak dua kali, pada hari
pertama hingga hari ke-11 dan pada hari ke-3 hingga hari ke-6 ranitidin dengan
dikombinasi dengan sukralfat. Pasien yang mengeluh mual dan muntah dapat
diberikan metoklopramid yang merupakan dopamine antagonis yang dapat
mengatasi mual dan muntah (FDA, 2009). Selain itu, pasien yang mengeluh mual
merupakan indikasi adanya stress ulcer sehingga diberikan ranitidin sebagai drug
ofchoice (Zeitoun et al., 2011). Ranitidin adalah inhibitor kompetitif histamine di
reseptor H2 sel parietal sehingga menurunkan sekresi asam lambung pada siang
hari dan kondisi nocturnal basal dan juga ketika adanya stimulasi makanan,
insulin, histamine, pentagastrin (McEvoy, 2011).Sukralfat melindungi mukosa GI
dari asam lambung. Mekanismenya membentuk kompleks ulser adheren dengan
eksudat protein seperti albumin dan fibrinogen pada sisi ulser dan melindunginya
dari serangan asam, membentuk barier viskos pada permukaan mukosa di
lambung dan duodenum, serta menghambat aktivitas pepsin dan membentuk
ikatan garam dengan empedu (Hasanah, 2007).
Pasien sempat mengalami kejang pada tanggal 5 Februari 2016 sehingga
pasien diberikan terapi diazepam secara IV. Dosis diazepam yang diberikan 8
mg.Pasien pediatri dengan kejang dapat diberikan terapi diazepam 0,3 mg/kgBB
secara IV (Deliana, 2002), sehingga terapi yang diberikan pada pasien telah sesuai
dengan tatalaksana kejang pada anak.
Pasien mengalami malnutrisi sehingga membutuhkan tambahan
multivitamin. Mulai hari ke-12 pasien mendapatkan mutivitamin untuk membantu
meningkatkan daya tahan tubuh dan membantu memenuhi nutrisi dalam tubuh

74
(Zelman dan Ward, 2015). Suplemen lain yang diterima pasien mulai hari ke 12
adalah zinc. Menurut WHO tahun 2013 tentang manajemen mal nutrisi akut atau
berat pada bayi dan anak, WHO merekomendasikan pemberian zinc selain terapi
cairan untuk rehidrasi pada pasien pediatri yang mal nutrisi dengan dosis 10-20
mg per hari, sehingga terapi yang diberikan kepada pasien telah sesuai.

Pasien mengalami defisiensi protein serta albuminsehingga pasien


mendapatkan terapi untuk meningkatkan nilai albumin dan lipid pada pasien.
Pasien mendaptkan terapi lipid 20% pada hari ke-13 dan 14 serta albumin 25%.
Pemberian lipid diperlukan sebagai nutrisi parenteral pada pasien dan pemberian
albumin dapat meningkatkan tekanan onkotik intravaskular dan menyebabkan
mobilisasi cairan dari interstisial ke celah intravaskular (Lacy et al., 2009).Pasien
juga mengalami anemia yang ditunjukkan oleh nilai Hb pasien hanya 8,10
sehingga pasien mendapat terapi PRC. Transfusi PRC diberikan untuk pasien
anemia yang tidak disertai penurunan volume darah, sehingga terapi tersebut telah
sesuai.

75
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Pengobatan atau pemberian terapi yang dilakukan pada pasien diatas telah
sesuai dengan guideline NHS Guideline tahun 2014. Kondisi pasien pada
akhir pengamatan menurun dan mengakibatkan pasien meninggal dunia
pada tanggal 21 Februari2016.

76
DAFTAR PUSTAKA

Armstrong, C. 2010. Updated Guideline on Diagnosis and Treatment of Intra-


abdominal Infection. Am Fam Physician. Vol 82(6), p. 697.
Bradburry, Sarah, 2006. Wound healing: is oral zinc supplementation
beneficial?.Wounds UK. Vol. 2 No. 1, p. 54-61
Cagir, B., Talavera, F., Katz, J. 2015. Postoperative Ileus.
Deliana, Melda, 2002. Tata Laksana Kejang Demam pada Anak. Sari Pediatri,
Vol. 4, No. 2, September 2002: 59 - 62
Depkes RI, 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan.Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan.
Hasanah, N.A., 2007. Evaluasi Penggunaan Obat Antipeptik Ulser Pada Penderita
Rawat Tinggal Di Rumah Sakit Advent Bandung.
Hendarto, Aryo, 2002. Aspek Praktis Nutrisi Parenteral Pada Anak. Sari
Pediatri, Vol 3 No. 4 Maret: Jakarta p. 227-234
Kara, E. H., Talavera, F., Herchline, T. E. 2015. Empiric Therapy Regimens.
Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/1976216-overview
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Lance, L. L. 2009. Drug
Information Handbook. 17th ed. Ohio: Lexi-Comp, Inc.
McEvoy, Gerald K and American Society for Hospital-System Pharmacist. 2011.
American Hospital Formulary Service Drug Information. Bethesda MD: ASHP
Inc.
Peter, S. D., Tsao, K., Spilde, T. L., Holcomb, G. W., Sharp, S. W., Murphy, J. P.,
Snyder, C. L., Sharp, R. J., Andrews, W. S., Ostlie, D. J. 2008. Single Daily
Dosing Ceftriaxone and Metronidazole vs Standard Triple Antibiotic
Regimen for Perforated Appendicitisin Children: A Prospective
Randomized Trial. J Pediatri Surg. Vol 43(6), p 5.
Tangkilisan, H.A., Rumbajan, D., 2002. Defisiensi Asam Folat. Sari Pediatri, Vol. 4, No.
1, Juni 2002: 21 – 25.
Zeitoun, A., Zeineddine, M., and dimassi, H., 2011. Stress ulcers prophylaxis
guidelines: Are they being implemented in Lebanese health care
centers?.World Journal of Gastrointestinal Pharmacology and
Therapeutic.Vol.2 No. 4 p. 27-35.
Zoe Jones, Anna Ashcroft. 2014. Bowel complications after caesarean section
guideline (inc. Paralytic Ileus) – GL796: NHS Foundation Trust

77
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Definisi
1.1.1 Definisi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
Human Immunodeficiency Virus infection adalah infeksi yang disebabkan
oleh virus HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh yang ditularkan melalui
seksual, parenteral dan perinatal (Anderson et al, 2008). Penularan HIV dari ibu
ke anak (tanpa pencegahan antiretroviral) diperkirakan berkisar antara 15-45%.
Sebagian besar infeksi pada anak dengan infeksi HIV-positif disebabkan oleh
pathogen yang sama seperti pada anak dengan HIV-negatif, namun pada anak
dengan infeksi HIV-positif terjadi lebih sering, lebih parah, dan berulang-ulang
(WHO Indonesia, 2009).

1.1.2 Definisi Tuberkulosis (TB)


Tuberkulosis adalah penyakit akibat infeksi kuman Mycobacterium
tuberkulosis yang bersifat sistemik sehingga dapat mengenai hampir semua organ
tubuh dengan lokasi terbanyak di paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi
primer. Pada umumnya anak yang terinfeksi dengan Mycobacterium tuberculosis
tidak menunjukkan gejala penyakit tuberculosis (TB). Satu-satunya bukti infeksi
adalah uji tuberculin (Mantoux) positif. Resiko terinfeksi dengan kuman TB
meningkat bila anak tersebut tinggal serumah dengan pasien TB Paru BTA
Positif. Terjadinya penyakit TB bergantung pada sistem imun untuk menekan
multipikasi kuman. Pasien dengan HIV dan gangguan gizi menurunkan daya
tahan tubuh sehingga dalam keadaan tersebut penyakit TB lebih mudah terjadi
(WHO Indonesia, 2009).

1.1.3 Definisi Gizi Buruk


Gizi buruk merupakan terdapatnya edema pada kedua kaki atau adanya
severe wasting (BB/TB < 70% atau <-3SD), atau ada gejala klinis gizi buruk
(kwashiorkor, marasmus atau marasmik kwarshiorkor) (WHO Indonesia, 2009).

78
1.2 Epidemiologi
1.2.1 Epidemiologi HIV
Epidemiologi penyakit HIV di dunia menurut WHO pada akhir tahun 2014
sebesar 36,9 juta dan 2 juta diantaranya meninggal karena AIDS. Kemudian, di
Indonesia pada bulan September 2014 tercatat sebanyak 22.869 kasus HIV dan
1.876 kasus AIDS, dimana prevalensi tertinggi terjadi di Papua. Selanjutnya,
kasus HIV pada anak yang terjadi di Indonesia pada tahun 2013 adalah sebanyak
35 juta ( 16 juta perempuan dan 3,2 juta anak < 15 tahun), kejadian infeksi baru
adalah sebanyak 2,1 juta (1,9 juta dewasa & 240.000 anak < 15 tahun), serta yang
telah berkembang menjadi AIDS sebanyak 1,5 juta (1,3 juta dewasa 190.000 anak
< 15 tahun) (Kemenkes RI, 2014).

1.2.2 Epidemiologi TB
Tuberkulosis sampai saat ini masih merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat didunia walaupun upaya pengendalian dengan strategi DOTS telah
diterapkan di banyak negara sejak tahun 2013. Menurut WHO (2013)
diperkirakan terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012. Sekitar 75% dari pasien
tersebut berada di wilayah Afrika (Kemenkes RI, 2014).

1.2.3 Epidemiologi HIV Dengan Infeksi TB


Tuberkulosis merupakan salah satu infeksi oportunistik utama yang
berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas penderita infeksi HIV/AIDS di
negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, dan merupakan penyebab 30%
kematian pada populasi AIDS. Hasil survei yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan di beberapa propinsi menunjukkan angka ko-infeksi TB-HIV yang
bervariasi, yaitu 24% di Bali, 32% di Jawa Timur, dan 10% di Jakarta. Pada
sebuah penelitian didapatkan 54% prevalensi TB pada pasien HIV dengan
kelompok umur terbanyak adalah anak berusia <5tahun (81,4%). Keadaan
tersebut hampir sebanding dengan penelitian salah satu Rumah Sakit Pendidikan
di Republik Kongo yang mendapatkan ko-infeksi TB-HIV pada anak sebesar 65%
(Widyaningsih dkk., 2011).

79
Sejak tahun 2002-2010, telah didiagnosis 50 anak yang terinfeksi HIV. Dua
puluh tujuh orang anak (54%) menderita penyakit TB, dengan jumlah anak
perempuan lebih banyak dibandingkan anak laki-laki yaitu 3:1. Kelompok umur
terbanyak adalah anak berusia <5 tahun sebanyak 81,4%, sedangkan anak berusia
>5 tahun sebanyak 18,5%. Penyakit TB yangdiderita di antaranya 20 anak
menderita TB paru, 3 anak TB milier, 2 anak limfadenitis TB, 1 anak TB
diseminata, dan 1 anak perikarditis TB. Parut BCG ditemukan pada 21 anak, dan
uji tuberkulin positif>5mm ditemukan hanya pada 5 anak. Anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif) didapatkan pada 13
orang anak (Widyaningsih dkk., 2011). Laporan World Health Organization
(WHO) tahun 2014, Indonesia memiliki angka prevalensi TB sebesar 340.000-
110.000, kasus insidensi TB-HIV 8.700-20.000, dan kematian TB-HIV 2.200-
6.200 (Hardiko dkk, 2015).

1.3 Etiologi
1.3.1 Etiologi HIV
Infeksi HIV (Human Immuno Deficiency Virus) disebabkan oleh virus HIV
yang merupakan kelompok retrovirus. Penularan HIV adalah dari cairan tubuh
(transfusi darah) atau dari hubungan sex atau kontak perinatal ( dari ibu ke anak).
(Mcfee, 2014).

1.3.2 Etiologi TB
Tuberkulosis merupakan penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram
positif, berbentuk batang, dinding selnya mengandung komplek lipida-glikolipida
serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia (Kemenkes RI, 2013).

1.3.3 Etiologi Gizi Buruk


Faktor penyebab gizi buruk dapat berupa penyebab tak langsung seperti
kurangnya jumlah dan kualitas makanan yang dikonsumsi, menderita penyakit
infeksi, cacat bawaan, menderita penyakit kanker dan penyebab langsung yaitu
ketersediaan pangan rumah tangga, perilaku dan pelayanan kesehatan. Sedangkan

80
faktor-faktor lain selain faktor kesehatan, tetapi juga merupakan masalah utama
gizi buruk adalah kemiskinan, pendidikan rendah, ketersediaan pangan dan
kesempatan kerja (Krisnansari, 2010).

1.4 Patofisiologi
1.4.1 Patofisiologi HIV

Gambar 1.1 Perjalanan Virus HIV menginfeksi Sel Host (Sumber: Cell Biology of
Disease and Exercisehttp://pt851.wikidot.com/hiv-aids-cell-bio#toc32)

Virus HIV melakukan fusi dengan bantuan GP 120 virus yang berikatan
dengan reseptor CD4 sel inang. Pada proses fusi ini, virus melekat pada sel host
dan meleburkan dirinya ke dalam sel host. Dalam peleburan ini, yang masuk ke
dalam sel host hanya materi protein milik virus seperti RNA virus, enzim reverse
trankriptase, enzim integrase dan protein lainnya. Proses transkripsi balik
mengawali perkembangan virus di dalam sel. Pada proses ini, DNA virus
terbentuk dengan menggunakan enzim reverse transkripatase, RNA virus
dikonversi dari tanggal tunggal menjadi DNA rantai ganda. DNA ini akan
berjalan dan masuk ke dalam inti sel, dan dengan menggunakan enzim integrase
virus akan menyelip masuk dalam untaian DNA sel host. Dari proses integrasi
tersebut, terbentuklah RNA virus baru yang akan digunakna sebagai genom RNA
dan untuk membuat materi protein virus lainnya. RNA dan materi protein baru

81
milik virus akan menuju ke tepi sel dan menyatu membentuk sel virus baru yang
belum matang, yang akan terus berkembang menjadi sel virus yang matang.
Dengan enzim protease miliki virus, sel virus HIV yang matang akan dikeluarkan
dan siap untuk menginfeksi sel-sel host lainnya. Proses ini akan terus berlanjut,
yang menyebabkan jumlah sel CD4 pada penderita HIV terus menurun dan
keadaan imunitas akan terus memburuk (Mcfee, 2014)
Pada pasien dengan HIV terjadi penurunan CD4 dan T-cell, sehingga
respon imun tidak sempurna terhadap infeksi TB dan pasien dengan HIV ini akan
lebih rentan terinfeksi TB. Begitupun sebaliknya, ketika pasien terinfeksi TB,
maka bakteri TB akan mengaktifkan sel CD4 dan makrofag yang mengandung
latent HIV. Hal ini meningkatkan kemampuan HIV bereplikasi dan viral load
meningkat. Dengan demikian, infeksi TB pada pasien HIV akan mempercepat
progresifitas HIV menjadi AIDS (Taljaard, 2010)

1.4.2 Patofisiologi TB
TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer. Infeksi primer
terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya. Setelah terjadi
infeksi melalui saluran pernafasan, di dalam alveoli (gelembung paru) terjadi
peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang biak dengan
cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga pembentukan
komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu. Kelanjutan infeksi primer tergantung
dari banyaknya kuman yang masuk dan respon daya tahan tubuh dapat
menghentikan perkembangan kuman TB dengan cara menyelubungi kuman
dengan jaringan pengikat. Ada beberapa kuman yang menetap sebagai “persister”
atau “dormant”, sehingga daya tahan tubuh tidak dapat menghentikan
perkembangbiakan kuman, akibatnya yang bersangkutan akan menjadi penderita
TB dalam beberapa bulan. Pada infeksi primer ini biasanya menjadi abses
(terselubung) dan berlangsung tanpa gejala, hanya batuk dan nafas berbunyi.
Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun lemah dapat timbul radang paru
hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat sangat menular. Masa inkubasi sekitar
6 bulan.

82
Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas
dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura. Seseorang yang terinfeksi kuman TB
belum tentu sakit atau tidak menularkan kuman TB. Proses selanjutnya ditentukan
oleh berbagai faktor risiko dankemungkinan untuk terinfeksi TB, tergantung pada
kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara, lamanya kontak
dengan droplet nuklei kuman dan kedekatan dengan penderita TB (Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013).

1.4.3 Patofisiologi Gizi Buruk


Gizi buruk merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara kebutuhan
asupan dan protein-energi yang mengakibatkan penurunan fungsi jaringan.
Mekanisme yang terlibat adalah di berbagai tingkat, kekurangan asupan dan
peningkatan kebutuhan dengan konsekuensi klinis yang berbeda. Proses adaptasi
tubuh pada seseorang dengan gizi buruk bertujuan untuk menghemat penggunaan
energi dengan optimalisasi pemanfaatan cadangan energi dan menjaga simpanan
protein dalam tubuh. Hal ini dilakukan dengan mengurangi metabolisme, dengan
mengurangi sekresi faktor anabolik dan meningkatkan hormon katabolik secara
cukup. Ketika terjadi respon metabolik terhadap cedera atau stres, maka
kebutuhan energi yang cukup besar akan meningkat sebagai upaya pertahanan
yang dilakukan tubuh. Dengan demikian, tubuh akan menggunakan secara
substansial simpanan protein untuk menghasilkan glukosa yang diperlukan
misalnya dengan sel-sel imun. Respon terhadap stres ini berasal dari respon
endokrin dan immuno-inflammatory yang memiliki peran penting dalam
pelepasan sitokin, yang berespon terhadap patogen dan juga sebagai tanda adanya
respon terhadap stress endogen pada fenomena inflamasi yang menyebabkan gizi
buruk (De Bandt, 2015)
Sumber penularan adalah penderita TB BTA positif pada waktu batuk atau
bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu
kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup
kedalam saluran pernafasan. Setelah, seseorag terinfeksi, kuman TB dapat

83
menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah,
sistem saluran limfe, saluran nafas atau penyebaran langsung ke bagian-bagian
tubuh lainnya

1.5 Tanda & Gejala


1.5.1 Gejala HIV Pada Anak
Berikut ini adalah gejala yang dialami anak atau bayi yang terinfeksi HIV
berdasarkan stadium klinis menurut WHO:
Stadium Klinis 1
- Asimtomatik
- Limfadenopati generalisata persisten
Stadium Klinis 2
- Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskan
- Erupsi pruritik papular
- Infeksi virus wart luasa
- Angular cheilitis
- Moluskum kontagiosum luas
- Ulserasi oral berulang
- Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
- Eritema ginggival lineal
- Herpes zoster
- Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea,
sinusitis, tonsillitis )
- Infeksi kuku oleh fungus
Stadium Klinis 3
- Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara
adekuat terhadap terapi standara
- Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih )a
- Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten
ataukonstan, > 1 bulan) a
- Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
- Oral hairy leukoplakia
- Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
- TB kelenjar
- TB Paru
- Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
- Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
- Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
- Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau
trombositopenia (<50 000/ mm3)
Stadium Klinis 4b

84
- Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan
tidakberespons terhadap terapi standara
- Pneumonia pneumosistis
- Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi
tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
- Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis
di lokasi manapun)
- TB ekstrapulmonar
- Sarkoma Kaposi
- Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
- Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
- Ensefalopati HIV
- Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,
dengan onset umur > 1bulan
- Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
- Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
- Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
- Isosporiasis kronik
- Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
- Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
- Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
a
: Tidak dapat dijelaskan berarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh
sebab yang lain
b
: Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada
kategori ini
Menurut Corbett et al., 2008, pasien HIV akut akan menunjukkan beberapa
gejala klinis yang sering disebut sebagai acute retroviral syndrome, gejala-gejala
yang sering dialami adalah:
- Demam
- Limfadenopati
- Faringitis
- Rash
- Myalgia atau Arthralgia
- Diare
- Sakit Kepala
- Mual dan Muntah
- Hepatosplenomegali
- Kehilangan Berat Badan

85
- Thrush
- Gejala neurologis
Sedangkan untuk pasien dengan infeksi kronis HIV akan mengalami gejala-gejala
diatas yang disertai dengan/atau infeksi oportunistik. Infeksi oportunistik yang
terjadi berdasarkan pada tingkt keparahan imunosupresi yang dialami pasien
(jumlah sel CD4). Berikut ini adalah beberapa gejala-gejala yang sering terjadi:
Semua penderita HIV tanpa memperhatikan nilai CD4
- Tuberkulosis
- Pneumonia
- Herpes simplex
- Varicella zoster
- Infeksi saluran GI
- Sifilis
- Bartonellosis
Sel CD4 < 250 sel/mikroliter
- Coccidioidomicosis
- PCP
- Kandidiasis orofaringeal dan nasofaringeal
- Karposi sarkoma atau human herpesvirus-8
Sel CD4 < 150 sel/mikroliter
- Histoplasmosis diseminasi
Sel CD4 < 100 sel/mikroliter
- Kriptosporidiosis
- Mikrosporidiosis
Sel CD4 < 50 sel/mikroliter
- Mycobacterium avium diseminasi kompleks
- Cytomegalovirus
- Cryptococosis, aspergillosis, dan Toxoplasma gondii encefalitis

1.5.2 Gejala TB
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau
lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang
lebih dari satu bulan (Kemenkes RI, 2014).

86
1.5.3 Tanda Anak Gizi Buruk
Anak tampak sangat kurus (visible severe wasting) dan tidak mempunyai
jaringan lemak bawah kulit terutama pada kedua bahu, lengan, pantat dan paha.
Tulang iga terlihat jelas, dengan atau tanpa edema (WHO Indonesia, 2009).
1.6 Penatalaksanaan Terapi
1.6.1 Penatalaksanaan HIV Pada Anak
a. Profilaksis Kotrimoksazol
Pemberian kotrimoksazol pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
merupakan bagian dari Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak/PPIA.

Gambar 1.2 Inisiasi profilaksiskotrimoksazolpadaanak

87
Tabel 1.1 Profilaksis Kotrimoksazol Pada Anak Sesuai Umur

Profilaksis kotrimoksasol dapat dihentikan bila:


1. Untuk bayi dan anak yang terpajan HIV saja dan tidak terinfeksi
(dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium, baik PCR 2 kali atau
antibodi pada usia sesuai), profilaksis dapat dihentikan sesudah status
ditetapkan (sesingkatnya umur 6 bulan atau sampai umur 1 tahun)
2. Untuk anak yang terinfeksi HIV:
a. Umur < 1 tahun profilaksis diberikan hingga umur 5 tahun atau
diteruskan seumur hidup tanpa penghentian.
b. Umur 1 sampai 5 tahun proflaksis diberikan seumur hidup.
c. Umur > 5 tahun bila dimulai pada stadium berapa saja dan CD4< 350
sel, maka dapat diteruskan seumur hidup atau dihentikan bila
CD4>350 sel/ml setelah minum ARV 6 bulan. Bila dimulai pada
stadium 3 dan 4 maka profilaksis dihentikan jika CD4 > 200 sel/ml.
(Kemenkes RI, 2014).

b. Terapi Anti-Retroviral (ARV)


Keberhasilan pengobatan ARV pada anak memerlukan kerjasama
pengasuh atau orang tua, karena mereka harus memahami tujuan
pengobatan, mematuhi program pengobatan dan pentingnya kontrol. Bila
ada banyak orang yang mengasuh si anak, saat akan memulai pengobatan
ARV maka harus ada satu yang utama, yang memastikan bahwa anak

88
minum obat. Pemantauan dan pengobatan harus diatur menurut situasi dan
kemampuan keluarga. Bila keluarga sudah siap dan patuh baru mulai
berikan ARV. Bimbingan dan konseling terus menerus perlu diberikan bagi
anggota keluarga yang lain agar mereka memahami penyakit HIV dan
mendukung keluarga yang mengasuh anak HIV. Umumnya orangtua dan
anak lain dalam keluarga inti tersebut juga terinfeksi HIV, maka penting
bagi manajer program untuk memfasilitasi akses terhadap terapi untuk
anggota keluarga lainnya. Kepatuhan berobat umumnya didapat dengan
pendekatan terapi keluarga (Kemenkes RI, 2014).
Segera setelah diagnosis infeksi HIV ditegakkan, dilakukan penilaian
stadium klinis. Penilaian stadium ditetapkan menurut kondisi klinis paling
berat yang pernah dialami, dibandingkan dengan tabel (Kemenkes RI,
2014).

Tabel 1.2 Stadium Klinis HIV Pada Anak Menurut WHO

Kelas imunodefisiensi ditetapkan berdasarkan hasil pemeriksaan CD4,


terutama nilai persentase pada anak umur < 5 tahun (Kemenkes RI, 2014).

Tabel 1.3 Nilai CD4 Pasien HIV Anak Menurut Umur

89
Keterangan:
˗ CD4 adalah parameter terbaik untuk mengukur imunodefisiensi.
˗ Digunakan bersamaan dengan penilaian klinis. CD4 dapat menjadi
petunjuk dini progresivitas penyakit karena nilai CD4 menurun lebih
dahulu dibandingkan kondisi klinis.
˗ Pemantauan CD4 dapat digunakan untuk memulai pemberian ARV atau
penggantan obat.
˗ Makin muda umur, makin tinggi nilai CD4. Untuk anak < 5 tahun
digunakan persentase CD4. Bila ≥ 5 tahun, nilai CD4 absolut dapat
digunakan.
˗ Ambang batas kadar CD4 untuk imunodefisiensi berat pada anak > 1
tahun sesuai dengan risiko mortalitas dalam 12 bulan (5%). Pada anak <
1 tahun atau bahkan < 6 bulan, nilai CD4 tidak dapat memprediksi
mortalitas, karena risiko kematian dapat terjadi bahkan pada nilai CD4
yang tnggi.
Anak berumur < 5 tahun bila terdiagnosis infeksi HIV maka terindikasi
untuk mendapat pengobatan ARV sesegera mungkin (Kemenkes RI, 2014).

Tabel 1.4 Terapi HIV Pada Anak Sesuai Umur

 Tatalaksana terhadap Infeksi Oportunistk yang terdeteksi harus


didahulukan.
 Meskipun tidak menjadi dasar untuk pemberian ARV, bila
memungkinkan dilakukan pemeriksaan CD4 untuk memantau hasil
pengobatan.
Catatan:

90
˗ Risiko kematian tertinggi terjadi pada anak dengan stadium klinis 3 atau 4,
sehingga harus segera dimulai terapi ARV.
˗ Anak usia < 12 bulan dan terutama < 6 bulan memiliki risiko paling tnggi
untuk menjadi progresif atau mati pada nilai CD4 normal.
˗ Nilai CD4 dapat berfluktuasi menurut individu dan penyakit yang
dideritanya. Bila mungkin harus ada 2 nilai CD4 di bawah ambang batas
sebelum ARV dimulai.
˗ Bila belum ada indikasi untuk ARV lakukan evaluasi klinis dan nilai CD4
setiap 3-6 bulan sekali, atau lebih sering pada anak dan bayi yang lebih
muda.

1. Terapi ARV lini pertama


Paduan lini pertama yang direkomendasikan adalah2 Nucleoside
reverse transcriptase inhibitor (NRTI)+1Non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI). Berdasarkan ketersediaan obat, terdapat
3 kombinasi paduan ARV (pilih warna yang berbeda). Kegagalan terapi
ARV dinilai dari klinis, imunologis dan virologis. Parameter yang lebih
dahulu muncul adalah kegagalan virologis (bila VL kembali mencapai
5000 copieRNA/ml, diperiksa dalam 2 kali pemeriksaan pada saat yang
berbeda), diikuti dengan kegagalan imunologis (bila nilai CD4 turun
pada 2 kali pemeriksaan yang dilakukan dengan jarak 3 bulanan) dan
terakhir muncul kegagalan klinis berupa munculnya penyakit baru yang
tergolong pada stadium 3 atau 4.Pada anak yang patuh minum obat,
kriteria gagal imunologis adalah:
˗ Pada anak > 2 tahun- < 5 tahun, nilai CD4 <200 sel/mm3 atau CD4
<10%
˗ Pada anak > 5 tahun hitung CD4 <100 sel/mm3ada kondisi muncul
baru atau rekurensi penyakit yang tergolong stadium klinis 3 dan 4
setelah mendapat terapi ARV selama 24 minggu maka
dipertimbangkan adanya kegagalan klinis. Tabel berikut membantu
kita mengambil keputusan (Kemenkes RI, 2014).

91
Tabel 1.5 Tatalaksana HIV Pada Anak Sesuai Kondisi Klinis

2. Terapi ARV lini kedua


Tabel 1.6 Pemilihan Terapi ARV Lini Dua Pada Anak

Catatan:
 Resistensi silang dalam kelas ARV yang sama terjadi pada mereka
yang mengalami kegagalan terapi (berdasarkan penilaian klinis atau
CD4). Resistensi terjadi karena HIV terus berproliferasi meskipun
dalam pengobatan ARV. Jika kegagalan terapi terjadi dengan
pemakaian NNRTI atau 3TC, hampir pasti terjadi resistensi terhadap

92
seluruh NNRTI dan 3TC. Memilih meneruskan NNRTI pada kondisi
ini tidak ada gunanya, tetapi meneruskan pemberian 3TC mungkin
dapat menurunkan ketahanan virus HIV.
 AZT dan d4T hampir selalu bereaksi silang dan mempunyai pola
resistensi yang sama, sehingga tidak dianjurkan mengganti satu
dengan yang lainnya.
 Prinsip pemilihan paduan lini kedua:
˗ Pilih kelas obat ARV sebanyak mungkin.
˗ Bila kelas yang sama akan dipilih, pilih obat yang sama sekali
belum dipilih sebelumnya.
 Tujuan pemberian paduan lini kedua adalah untuk mencapai respons
klinis dan imunologis (CD4), tetapi responsnya tidak sebaik pada
paduan lini pertama karena sudah terjadi resistensi silang di antara obat
ARV.
 Sebelum pindah ke paduan lini kedua, kepatuhan berobat harus benar-
benar dinilai.
 Anak yang dengan paduan lini kedua pun gagal, terapi penyelamatan
yang efektf masih sulit dilakukan. Konsultasi dengan panel ahli
diperlukan.
 Untuk paduan berbasis ritonavir-boosted PI, pemeriksaan lipid
(trigliserida dan kolesterol, jika mungkin LDL dan HDL) dilakukan
setap 6-12 bulan.
(Kemenkes RI, 2014)

c. Tata Laksana Infeksi Oportunistik Pada Anak Terinfeksi HIV


Pada anak yang terinfeksi HIV rentan muncul infeksi oportunistik karena
terjadi penurunan jumlah sel CD4. Berikut ini adalah penatalaksanaan
infeksi oportunistik yang mungkin terjadi pada anak-anak yang terinfeksi
HIV.

93
Tabel 1.7 Tatalaksana Infeksi Oportunistik Pada Anak Terinfeksi HIV
(Kemenkes RI, 2014

1.6.2 Penatalaksanaan TB Anak


Dalam menegakkan diagnosis TB pada anak, semua prosedur diagnostik
dapat dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang
tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem
skoring. Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap
penelitian oleh para ahliyang berasal dari IDAI, Kemenkes dan didukung oleh
WHO dan disepakati sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan
diagnosis TB pada anak terutama di fasilitas kesehatan dasar. Sistem skoring ini
membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis
maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat

94
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai berikut:
 Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular
mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
 Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring (Kemenkes RI,
2014).

Tabel 1.8 Sistem Skoring TB Pada Anak

95
Pedoman internasional merekomendasikan bahwa TB pada anak yang
terinfeksi HIV harus diobat dengan paduan selama 6 bulan sepert pada anak yang
tidak terinfeksi HIV. Apabila memungkinkan, anak yang terinfeksi HIV harus
diobat dengan paduan rifampisin selama durasi pengobatan, karena penggunaan
etambutol pada kasus dewasa dengan infeksi HIV untuk masa lanjutan
pengobatan angka relaps TB-nya tnggi. Sebagian besar anak dengan TB, termasuk
yang terinfeksi HIV, mempunyai respon yang bagus terhadap paduan selama 6
bulan. Kemungkinan penyebab kegagalan pengobatan sepert ketdakpatuhan
berobat, absorpsi obat yang buruk, resistensi obat dan diagnosis banding, harus
diselidiki lebih lanjut pada anak yang tdak mengalami perbaikan dengan terapi
anti TB. Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan
keteraturan minum obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC.
Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Paket KDT
untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75mg, INH (H) 50 mg,
dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg
dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut
(Kemenkes RI, 2014).

Tabel 1.9 Dosis Paket KDT TB Pada Anak Sesuai Berat Badan

Paduan terdiri dari 2 fase, yaitu inisial dan lanjutan. Nomor di depan setap
fase menunjukkan durasi fase tersebut dalam hitungan bulan, contoh :
2HRZ/4HR. Fase inisial terdiri dari 2HRZE, sehingga durasi fase tersebut 2
bulan. Terdiri dari isoniazid, rifampisin pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan
terdiri dari 4HR, durasi fase tersebut 4 bulan terdiri atas isoniazid dan rifampisin.
Semua obat diminum tiap hari (Kemenkes RI, 2014).

96
1.6.3 Penatalaksanaan Gizi Buruk
Penanganan umum anak yang mengalami gizi buruk secara umum meliputi
10 langkah dan terbagi dalam 2 fase, yaitu: fase stabilisasi dan fase rehabilitasi.

Tabel 1.10 10 Langkah Tatalaksana Gizi Buruk

(WHO Indonesia, 2009)

97
BAB II
STUDI KASUS

2.1 Demografi Pasien


˗ Inisial Pasien : An. AP
˗ Umur : 5 tahun
˗ Alamat : Blitar
˗ Berat Badan : 12 Kg
˗ Tinggi Badan : 103 cm
˗ Tgl MRS : 24/2/2016
˗ Keluhan utama : Muntah selama 2 bulan, batuk 1 minggu
SMRS. Setiap batuk selalu muntah disertai
dahak. Lidah penuh bintik-bintik putih.
˗ Keluhan tambahan : Mual, muntah dan berkeringat dingin.
˗ Diagnosis : HIV st III, TB Paru, Gizi buruk, Moniliasis
˗ Riwayat keluarga : HIV
˗ Riwayat Pengobatan : Cotrimoksazol dan nistatin oral
˗ Alergi : -

98
2.2 Tabel Tanda Tanda Vital (TTV) dan Tabel Tanda Klinik
Tabel Tanda Klinik
Nilai
Data Klinik 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3
Normal

Muntah - + + - - - - + +

Batuk - + + + + + + + +

Demam - - - - - - + - -

Nyeri - + - - - - - - -

Lemah - + + + + + + + +

Diare - - - - - - + + +

Putih di lidah - + + + + + + + +

Tabel Tanda Vital


Data Vital Normal 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3

Suhu 36-37 36,7 36,8 37 36,8 36,7 37,2 36,8 38

Nadi 70-110 98 110 100 100 90 96 110 110


(x/menit)

RR (x/menit) 21-23 24 24 24 24 24 26 24 24

Tekanan 108- - - - - - 90/60 90/60 -


Darah 116/69-
(mmHg) 74

99
2.2 Tabel Hasil Lab
HEMATOLOGI Normal 24/2 25/2 26/2

Hb 13,4-17,7 g/dl 6,2 - 10,7


Leukosit 4,3-10,3 103/µL 4,82 - 3,26
Hematokrit 40-47% 19,40 - 32,70
Trombosit 142-424 103/µL 330 - 272
CD4 637-1485 cell/µL 10 -
Monosit 2-5 8,5 - 8,9
Limfosit 25-33 17,2 - 22,4
Neutrofil 51-67 74,3 - 8,4
CRP Kuantitatif <0,3 mg/dl - - -
Prokalsitonin 0,5-2,0 ng/ml 2,27 - -
Natrium 135-145 mmol/l 126 127 -
Kalium 3,5-5,0 mmol/l 2,49 2,96 -
Klorida 98-106 mmol/l 106 108 -
Kalsium 7,6-11,0 mmol/l - 7,2 -
Fosfor 2,5-7,0 mmol/l - 2,3 -

2.3 Hasil Pemeriksaan


Tidak dilakukan pemeriksaan kultur maupun pemeriksan lainnya pada
pasien ini.

10
2.4 Profil Terapi
Nama Dosis Rute Tanggal pemberian
24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3
KCl 7,4% KCl 7,4% √
4,8 cc +
IV
wfi ad 20
cc.
Abacavir 2 x 100 √ √ √ √ √ √ √ √
PO
mg
Lamivudin 2 x 60 mg PO √ √ √ √ √ √ √ √
Efavirens 1x 200 mg PO √ √ √ √ √
Aluvia 2 x 1 tab √ √ √
(Lopinavir/Ri
PO
tonavir=400
mg/100 mg)
Cotrimoxazol 1 x 1 ½ √ √ √ √ √ √ √ √
PO
Cth
Ampicillin 3 x 400 mg IV √ √ √ √ √ √ √
FDC 1 x 3 tab √ √ √ √ √ √ √ √
(R/H=75mg/5 PO
0mg)
Nistatin 5x √ √ √ √ √ √
PO
600000IU
Fluconazol 1 x 70 mg PO √ √
Metamizol 150 mg, √
IV
prn
Paracetamol 1Cth, prn PO √ √ √
Oralit 120 q / √ √ √ √ √ √ √ √
PO
muntah
ZnSO4 1 x 20 mg √ √ √
PO

Vitamin B6 1 x 1 tab PO √ √ √ √ √ √ √ √

10
Vitamin C 1 x 1 tab PO √ √ √ √ √

Vitamin B 1 x 1 tab PO √ √ √ √ √
comp.
Asam folat 1 x 1 tab PO √ √ √ √ √

2.5 Analisa Terapi


S/O Terapi Dosis Indikasi Analisis Monitoring
Nyeri Metamizole Analgesik Sudah tepat. Pasien Monitoring
(+) 150 mg IV mengeluh nyeri (+) efektivitas:
sehingga segera keluhan
diberikan terapi nyeri
Metamizole 150 mg menurun/tid
IV. ak ada.
Demam Parasetamol 10-15 Antipiretik Sudah tepat. Pasien Monitoring
(+) Syr 3x Cth I mg/kgB mengeluh demam (+) efektivitas:
(prn) (120 B max 5 sehingga diberikan Suhu tubuh
mg/5ml) kali/hari terapi Paracetamol
* Syr 3x 120 mg dan
bila pasien sudah
tidak demam,
penggunaan obat
dapat dihentikan.
Muntah Oralit 120 10-20 ml Pengganti Sudah tepat Monitoring
(+) cc/ muntah/ /kg/ cairan diberikan. Pasien efektivitas:
diare tubuh mengalami diare dan Tanda-tanda
Diare (+) Minum*
muntah sehingga klinis
*
banyak kehilangan (lemas,
cairan tubuh dan frekuensi
elektrolit. muntah dan
diare)
Lemah KCl 7,4% Koreksi Sudah tepat Monitoring
4,8 cc + wfi Kalium diberikan. Namun efektivitas:
Data lab:
ad 20 cc. terapi seharusnya Tanda-tanda
K = 2,49 dilanjutkan dihari klinis
mmol/l berikutnya. (lemah) dan
kadar

10
kalium.

Ampicillin 25-50 Profilaksis Pemberian ampicilin Monitoring


IV (3x 400 mg/kg infeksi IV sesuai dengan efektivitas:
mg) selama 7 tatalaksana tanda-tanda
hari*. penanganan gizi infeksi
buruk. (leukosit,
suhu tubuh)
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

S/O Terapi Dosis Indikasi Analisis Monitoring


Lemah Vit B Comp 1 x 1 Suplemen Pasien dengan gizi Monitoring
tab/ buruk mendapat Efektivitas:
1 x 1 tablet
hari** terapi untuk keadaan
mengatasi defisiensi umum
Asam Folat 1mg/ Suplemen
mikronutrient. pasien
hari**
1 x 1 mg tampak
lemah atau
ZnSO4 2 mg/kg Suplemen Pemberian Zn untuk tidak.
/hari** Mineral pasien sudah tepat
(1x 20 mg)
karena pasien
mengalami defisiensi
mineral oleh karena
gizi buruk.
Lemah PRC 50 cc 10 ml Koreksi Sudah tepat diberikan Monitoring
/kgBB** Eritrosit untuk mengatasi efektivitas:
Data lab:
anemia yang dialami Tanda-tanda
Hb 6,2 pasien. klinis
(pucat,
lemah) dan
kadar Hb.
Data lab Abakavir 2x Anti Pasien didiagnosis Monitoring
(24/2) 8mg/kg* Retroviral HIV st III dengan TB efektivitas:
2x 100 mg
sehingga mendapat CRP, CD4,

10
CD4 = * terapi ARV tersebut. leukosit,
10 pasien
Lamivudin 2x mengalami
Monilias 4mg/kg*
2x 60 mg perbaikan
is (+) * kondisi
Efavirens Malam Aluvia merupakan umum atau
hari golongan protease tidak, berat
1x 200 mg badan,
inhibitor yang
15 pasien
merupakan terapi
mg/kg** masih
ARV lini kedua**.
Aluvia 400mg/1 Penggantian terapi mengalami
00 mg ARV diduga karena infeksi
(Lopinavir/ terapi ARV lini oportunistik
setiap 12
Ritonavir=4 pertama kurang atau tidak.
jam**
00mg/100 adekuat yang
mg) Monitoring
ditunjukkan dengan kepatuhan
2 x 1 tablet tidak adanya minum obat.
perbaikann thd
kondisi pasien.
Cotrimoxaz 6-8 Profilaksis Pasien mendapat
ole Syr mg/kgB terapi cotrimoksazole
B** sebagai profilaksis
1x 1½ Cth
sesuai dengan
penatalaksaan terapi
HIV pada anak.
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

S/O Terapi Dosis Indikasi Analisis Monitoring


Batuk,T FDC anak Dosis Anti Pasien mendapatkan Monitoring
B Paru (R/H=75mg FDC 2 tuberculosi terapi lanjutan untuk efektivitas:
on /50mg) 1x 3 tablet s tuberkulosis. perbaikan
treatmen tab (R/H/75/ keadaan
t sejak 4 50) pada umum
bulan pasien pasien.
yang dengan
Monitoring
lalu. BB 10-
kepatuhan
14 kg**
minum obat.

10
Vitamin B6 5-25 Mengatasi Pemberian terapi Monitoring
1x 1 tab (10 mg/hari* defisiensi vitamin B6 telah tepat efektivitas:
mg). VitB6 ok indikasi dan sesuai Tanda-
ESO INH dengan dosis pada Tanda
literatur. Klinis
(Kesemutan
).
Putih di Nistatin 4x400.0 Antifungi Pemberian nistatin Monitoring
lidah 00- telah tepat indikasi. efektivitas:
5 x 600.000
600.000 Kelebihan pemberian Candidiasis
IU
IU/hari * nistatin tidak berkurang
bermasalah karena (putih di
nistatin memiliki BA lidah)
rendah sehingga
resiko toksisitas kecil.
Flukonazole 6-12 mg Antifungi Pemberian
1x 70 mg /kg/hari Flukonazole telah
* tepat indikasi dan
sesuai dengan dosis
pada literatur.
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

10
2.6 DRP
2.7.1 DRP Aktual
DRP Analisis Rekomendasi

Ada indikasi Pasien Gizi Buruk mengalami Pasien perlu mendapat tambahan
tetapi tidak ada defisiensi mikronutrient lain yaitu terapi preparat Mg seperti MgSO4
terapi Mg 40% IM (0,3 ml/kg/hari), tetapi
pasien menolak mendapatkan
injeksi MgSO4 secara subkutan
karena sakit pada tempat injeksi.
Ada indikasi Pasien telah mendapat preparat Zn ZnSO4 diberikan sejak awal MRS
tetapi tidak ada sebagai terapi defisiensi mineral Zn yaitu tanggal 24/02.
terapi pada tanggal 29/02. Seharusnya
pasien mendapat terapi Zn sejak
awal MRS yaitu tgl 24/02 sesuai
dengan penatalaksaan gizi buruk.
Dossage too low Pasien masih mengalami Melanjutkan pemberian terapi KCl
hipokalemia meskipun telah atau memberikan terapi KSR
mendapat koreksi KCl sebelumnya.
Data lab Kalium:
Tgl 25/2: 2,96 mmol/l
Nilai normal: 3,5-5,0 mmol/l
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

2.7.2 DRP Potensial (Efek Samping Obat)


Nama Obat Efek Samping Potensial Obat* Rekomendasi (mengusulkan
ke dokter)
Abacavir Mual (10%), muntah (17-19%), Monitoring tanda-tanda klinis
Kelelahan/malaise (12%) dan Nyeri (mual, muntah, lemah, sakit
Kepala (9-13%). kepala)
Lamivudin Batuk , diare, kelelahan/malaise, Monitoring tanda-tanda klinis
mual, muntah, nyeri otot (>10%). (mual muntah, diare, lemah)
Aluvia Hyperlipidemia (3-39%), Diare (7- Monitoring tanda-tanda klinis
(Lopinavir/Ritonavir) 9%), Muntah (5-16%), Ruam (12%), (muntah, diare, ruam) dan

10
Nyeri perut (1-11%). kadar lipid dalam darah

Rifampicin Red Man syndrome Monitoring tanda-tanda klinis


(munculnya keringat atau air
kencing berwarna merah)
INH Gangguan pada SST, Mual, Muntah Monitoring tanda-tanda klinis
(>10%) (mual muntah)
Nama Obat Efek Samping Potensial Obat* Rekomendasi (mengusulkan
ke dokter)
Flukonazole Sakit kepala (2-13%) Monitoring tanda-tanda klinis
(sakit kepala)
PRC Alergi Monitoring terjadinya ruam
kulit, gatal-gatal.
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

2.7.3 DRP Potensial (Interaksi Obat)


NamaObat Interaksi obat (mayor)* Rekomendasi
(mengusulkan ke
dokter)
Cotrimoxazole Kalium Meningkatkan kadar serum Monitoring tanda-
kalium sehingga berpotensi tanda klinis (HR) dan
hiperkalemi kadar serum kalium
Lamivudine Menurunkan klirens Monitoring tanda-
lamivudine sehingga dapat tanda klinis ESO
meningkatkan toksisitas. lamivudine (mual,
muntah, diare, batuk,
malaise).
Flukonazole Penggunaan bersama dapat Monitoring tanda-
memperpanjang interval QT tanda klinis (tekanan
darah, HR)

Evafirens Sulfametoxazole Evafirens meningkatkan efek Monitoring tanda-


sulfametoksazol sehingga tanda klinis toksisitas
berpotensi meningkatkan sulfametoksazol.
toksisitas sulfametoksazol.

10
Rifampicin Rifampin meningkatkan Monitoring tanda-
metabolism epavirens, tanda klinis (lemah)
sehingga terapi epavirens terkait tidak
menjadi kurang efektif adekuatnya
penggunaan ARV
efavirens
INH Efavirens INH menghambat enzim yang Monitoring tanda-
memetabolisme epavirens tanda toksisitas
sehingga toksisitas epavirens efavirens.
tinggi.
Rifampicin Penggunaan bersama Monitoring tanda-
berpotensi meningkatkan tanda toksisitas
terjadinya hepatotoksik rifampicin (ALT,
AST)
Keterangan:
*(Medscape, 2016)
**(WHO Indonesia, 2009)

1.7 Konseling
Kepada pasien dan keluarga:
- Obat harus diminum rutin, terutama obat retroviral dan obat anti
tuberkulosis harus diminum setiap hari pada jam yang sama. Untuk obat
anti tuberkulosis diminum pada pagi hari sebelum makan.
- Salah satu anggota yang paling dekat dengan pasien ditunjuk sebagai
pengawas minum obat (PMO)
- Informasi mengenai efek samping yang berpotensi terjadi akibat
penggunaan obat anti retroviral dan obat anti tuberkulosis.

10
BAB III
PEMBAHASAN

HIV/ AIDS HIV (Human Immunodeficiency Virus) Infection adalah


Infeksi yang disebabkan oleh virus HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh
yang ditularkan melalui seksual, parenteral dan perinatal (Anderson et al, 2008).
Penularan HIV dari ibu ke anak (tanpa pencegahan antiretroviral) diperkirakan
berkisar antara 15-45% (WHO, 2009). Pada kasus ini, An.A umur 5 tahun
didiagnosa HIV st III yang dimungkinkan didapat dari penularan Ibu secara
maternal. Pada pasien nampak gejala gizi buruk, oral kandidiasis, diare dan batuk
yang disebabkan oleh infeksi TB. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan
bahwa pada HIV st III, pasien akan mengalami gejala berat badan menurun lebih
dari 10%, diare kronik lebih dari satu bulan, demam berkepanjangan lebih dari
satu bulan, oral kandidiasis, oral hairy leukoplakia, TBC paru, infeksi bakteri
berat seperti pneumoni (WHO, 2009).
Infeksi virus HIV dan infeksi bakteri TB yang terjadi bersamaan pada
seseorang saling berkaitan dan saling mempeparah satu sama lainnyan. Pada
pasien yang terinfeksi HIV, terjadi penurunan sel CD4 dan limfosit T yang akan
berakibat pada perburukan respon imun terhadap infeksi TB, sehingga pasien
dengan HIV akan lebih rentan mengalami komplikasi TB. Begitupun sebaliknya,
pada pasien dengan infeksi TB, bakteri TB akan mengaktifkan sel CD4 dan
makrofag yang mengandung virus HIV latent . Hal ini meningkatkan kemampuan
HIV bereplikasi, viral load meningkat dan progresifitas HIV menjadi HIV
semakin cepat. Dengan demikian, pada pasien HIV dengan komplikasi infeksi TB
akan terus terjadi perburukan kondisi yang memicu kematian (Taljaard, 2010).
Pasien anak A masuk rumah sakit (MRS) mengalami keluhan utama muntah
selama 2 bulan, dan batuk 1 minggu sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Setiap
batuk selalu muntah disertai dahak. Lidah penuh bintik-bintik putih. Keluhan
tambahannya adalah mual, muntah dan berkeringat dingin. Kemudian diagnosis
dokter adalah HIV st III, TB paru, gizi buruk, dan moniliasis. Pasien memiliki
riwayat keluarga HIV positif (Ibu sudah meninggal dan ayah yang meninggal

10
karena diduga menderita penyakit TB). Pasien mendapatkan terapi Abakavir 2x
100 mg dan Lamivudin 2x 60 mg untuk mengatasi progresivitas HIV yang
menginfeksinya. Tetapi selanjutnya terapi ini diganti dengan Efavirens 1x 200 mg
dan Aluvia (lopinavir/ritonavir) 2x 1 tablet karena pasien mengalami diare yang
merupakan efek samping obat retroviral yang diberikan sebelumnya. Selain
mendapatkan obat antiretroviral tersebut, pasien juga mendapatkan terapi
kotrimoksazole sirup untuk profilaksis infeksi oportunistik. Untuk mengatasi TB
paru pasien mendapatkan FDC (Rifampisin 75 mg dan Isoniazid 50 mg) 3x 1
tablet, serta vitamin B6 (10 mg) 1x 1 tablet untuk mengatasi efek samping dari
isoniazid berupa kesemutan, yang memiliki risiko tinggi terjadi. Penanganan gizi
buruk yang dialami pasien yaitu dengan pemberian multivitamin dan asam folat,
serta pemberian antibiotik ampicillin 3x 400 mg untuk mencegah terjadinya
infeksi. Selanjutnya untuk mengatasi moniliasis pasien diberi nistatin 5x 600.000
IU, kemudian diganti flukonazole 1x 70 mg. Pergantian terapi dilakukan karena
tidak terjadi perbaikan kondisi moniliasis yang dialami pasien. Pasien juga
mengalami anemia, hal ini ditunjukkan dengan data Hb sebesar 6,2. Anemia
diatasi dengan transfusi PRC sebanyak 50 cc sebanyak 1 kali. Data laboratorium
elektrolit kalium pasien juga dibawah nilai normal, yaitu sebesar 2,49 mmol/l,
sehingga pasien diberi terapi KCl 3,3 cc/jam. Pasien juga mendapatkan terapi
oralit 120 cc setiap kali muntah atau diare karena sejak awal MRS pasien
dikeluhkan muntah, selain itu karena pasien juga mengalami diare akibat efek
samping obat anti retroviral sebelumnya.
Terdapat beberapa permaslahan terkait obat (DRP) yang terjadi pada pasien
ini, yaitu ada indikasi bahwa pasien gizi buruk mengalami defisiensi mikronutrien
Mg, tetapi pasien tidak mendapatkan terapi MgSO4 40%. Penyebab terjadinya
DRP tersebut disebabkan pasien menolak injeksi MgSO4 secara subkutan karena
pasien merasa sakit pada saat injeksi dilakukan. Selain itu pada pasien gizi buruk
perlu mendapatkan terapi Zn dari awal MRS sesuai dengan penatalaksanaan anak
dengan gizi buruk, tetapi terapi Zn baru diberikan setelah pasien MRS selama 5
hari. Selanjutnya adalah DRP yang termasuk dalam dosis terlalu rendah. Pada
tanggal 24/2 pasien mendapatkan terapi KCl untuk mengatasi hipokalemia.
Ternyata dari hasil laboratorium pada tanggal 25/2, pasien masih mengalami

11
hipokalemia (2,96 mmol/l, Nilai normal: 3,5-5,0 mmol/l) tetapi tidak
mendapatkan terapi KCl ataupun KSR. Untuk itu dapat direkomendasikan kepada
dokter untuk memberikan terapi lanjutan terkait hipokalemia yang dialami anak
A.

11
BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan dari studi kasus ini adalah:


1. Terapi HIV st. III dengan TB paru pada pasien ini sesuai dengan
PEDOMAN PENERAPAN TERAPI HIV PADA ANAK Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2014.
2. Keadaan pasien pada saat hari terakhir pengamatan (tanggal 2 Maret
2016) belum membaik, pasien masih mengalami moniliasis, batuk,
muntah, dan diare.

11
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Anderson, P. L., Kakuda, T. N., Fletcher, C. V., 2008. Human Immunodeficiency


Virus Infection. In: J. T. Dipiro, R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke, B.
G. Wells, L. M. Posey. (Eds.). Pharmacotherapy a Pathophysiologic
Approach. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc., p. 2065.
Corbett, A., Yeh, R., Dumond, J, and Kashuba, A.D.M., 2008. Human
Immunodeficiency Virus Infection. In: Burns, M. A. C., Wells, B. G.,
Schwinghammer, T. L., Malone, M. M., Kolesar, J. M., Rotschafer, J. C.,
and Dipiro T. J (Eds.). Pharmacotherapy Principles and Practice. New
York: Mc Graw Hill Co. Inc., pp 1253-1276.
De Bandt. 2015. Understanding the Pathophysiology of Malnutrition For Better
Treatment. Journal Article, English Abstract (lang: fre).
DOI: 10.1016/j.pharma.2015.03.002.
Hardiko, Nur Endah W., M. Sakundarno Adi. Studi Epidemiologi Kejadian
Tuberkulosis Paru pada Pasien HIV di Kabupaten Wonosobo Tahun 2014.
Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Vol. 14 No.1. p.27
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional
Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang
Dewasa. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Petunjuk Teknis Manajemen
TB Pada Anak. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI.
Krisnansari, Diah.2010. Nutrisi dan Gizi Buruk. Mandala of Health. Volume 4,
Nomor 1. Pp 61-62.
Medscape Application, 2016.
McPhee, Stephen J., Gary D.Hmmer. 2014. Pathophysiology of Disease An
Introdustin to Clinical Medicine. Newyork: McGraw Hill Education.

11
Taljaard, Jantjie. 2010. TB/HIV Co-Infection. Department of Medicine-
University of Stellenbosch.
Widyaningsih, R., Widhiani, A., dan Citraresmi, E. 2011. Ko-infeksi Tuberkulosis
dan HIV pada Anak. Sari Pediatri. Vol. 13, No. 1. p. 56-58.
World Health Organization Indonesia. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta : WHO
Indonesia, 2009

11
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Gestational Trophoblastic Disease (GTD)


Gestational Trophoblastic Disease (GTD) merupakan sel tumor yang
tumbuh secara abnormal pada rahim wanita bagian dalam. GTD tidak
berkembang dari sel yang berasal dari rahim, tetapi sel tumor ini berasal dari
sel yang secara normal tumbuh dalam plasenta selama masa kehamilan.
Pertumbuhan GTD diawali dengan pembentukan trophoblast yaitu sel normal
yang tumbuh mengelilingi embrio. GTD secara umum, merupakan tumor
lunak dan tidak dapat menyebar ke organ lain, tetapi salah satu sel dari GTD
dapat bersifat canceorus yang disebut malignant (American Cancer Society,
2016).
Choriocarsinoma merupakan sel malignant dari GTD yang dapat
berkembang cepat dan dapat menyebar jauh dari rahim (Bergua et al., 2008).
Penyebaran (metastase) choriocarsinoma dapat terjadi di paru - paru, ginjal
dan vagina. Tetapi penyebaran jarang terjadi pada ginjal dan spleen (Kelechi
et al., 2013).

1.2 Etiologi Choriocarsinoma


Choriocarsinoma dapat disebabkan karena wanita pernah mengalami
hamil anggur,
kehamilan etopik (kehamilan di saluran telur), dan aborsi (Mirambo et al.,
2010).

1.3 Patofisiologi Choriocarsinoma


Setengah kasus khoriokarsinoma berawal dari kehamilan anggur. Sekitar
seperempat berkembang pada wanita yang mengalami keguguran (spontan
mengalami proses aborsi), proses aborsi yang disengaja, atau kehamilan diluar
kandungan (kehamilan ektopik) yang mengalami proses kuret kemudian dari
proses tersebut terdapat sisa jaringan dibelakang rahim yang kurang
terbersihkan. Hal tersebut menyebabkan sel yang tersisa tumbuh menjadi sel
ganas dan dapat menyebar kejaringan lain seperti vagina, paru-paru, liver

11
bahkan menyebar sampai ke otak. Setengah kasus sisanya berkembang setelah
kehamilan normal dan kelahiran (American Cancer Society, 2016).

1.4 Stadium Khoriokarsinoma

Berdasarkan jurnal American society, 2016 terdapat beberapa cara untuk


menentukan stadium dari GTD (Gestasional Trophoblastic Disease) yaitu :

a. Prognostic Scoring System


Umur Skor

Kurang dari 40 tahun 0

Lebih dari 40 tahun 1

Kehamilan Sebelumnya Skor

Kehamilan anggur 0

Aborsi (termasuk keguguran) 1

Kelahiran 2

Waktu kehamilan Skor

Kurang dari 4 bulan 0

Lebih dari 4 bulan tetapi kurang dari 7 bulan 1

7 sampai 12 bulan 2

Lebih dari 12 bulan 3

Level HCG darah(IU/L) sebelum pengobatan Skor

Kurang dari 1,000 0

11
1,000 – 9,999 1

10,000-99,999 2

100,000- atau lebih 4

Besar ukuran tumor Skor

Kurang dari 3 cm (1,2 inc) 0

Lebih dari 3 cm tetapi kurang dari 5 cm 1

5 cm atau lebih 2

Lokasi metastase skor

Paru-paru 0

Limpa, ginjal 1

Saluran pencernaan 2

Otak, Hati 3

Jumlah metastase yang ditemukan Skor

0 0

1 sampai 4 1

5 sampai 8 2

Lebih dari 8 4

Sebelum kemoterapi gagal Skor

11
Tidak pernah 0

Single drug 2

2 atau lebih obat 4

Dari semua angka yang telah ditentukan, kemudian dijumlahkan.


Skor total yang diperoleh menjelaskan level yang dimiliki oleh wanita
yang mengalami GTD. Wanita yang memiliki skor 6 atau kurang 6
memiliki resiko lebih sedikit dan cenderung memiliki pandangan yang
baik terlepas dari seberapa jauh kanker menyebar. Tumor skoring kurang
dari 6 biasanya memberikan respon yang baik terhadap kemoterapi.
Wanita yang memiliki skor 7 atau lebih memiliki resiko lebih
besar, dan tumor yang dialami memberikan sedikit respon terhadap
kemoterapi, bahkan jika penyebaran tumor tidak terlalu jauh. Tumor pada
skoring 7 atau lebih memerlukan kemoterpai yang lebih intensif
(American Cancer Society, 2016).

b. FIGO anatomic staging


The International Federation of Gynecology and Obstetrics (FIGO)
mengembangkan stadium dari GTD berdasarkan sistem :
1. Stadium I : Tumor masih didalam rahim
2. Stadium II : Tumor tumbuh dan berkembang diluar rahim dan
berkembang sampai organ reproduksi (seperti vagina dan ovarium),
tetapi belum menyebar diluar pelvis.
3. Stadium III : Tumor sudah menyebar hingga ke paru-paru, dan
mungkin juga termasuk pada organ reproduksi seperti vagina dan
vulva.
4. Stadium IV : Tumor sudah menyebar pada organ yang jauh seperti
otak, hati, ginjal dan saluran pencernaan.

11
Tahap pengelompokan :
Tahapan pengelompokan adalah sebuah proses yang dilakukan
beberapa dokter yang penggunaanya dikombinasikan antara prognostik
skor dan stadium anatomi. Pada stadium dibawah ini huruf A
menunjukkan jika skor prosnostik dengan resiko rendah dan huruf B
menunjukkan resiko tinggi.
Stadium IA : Tumor tidak berkembang diluar uterus, dan prosnostik
skor menunjukkan bahwa stadium ini berisiko rendah.

Stadium IB : Tumor berkembang hingga diluar uterus, dan prognostok


skor menunjukkan resiko yang tinggi.

Stadium IIA : Tumor berkembang hingga diluar uterus, tetapi tidak


sampai pada vagina atau pelvis dan prosnostik skor menunjukkan bahwa
stadium ini berisiko rendah.

Stadium IIB : Tumor berkembang hingga diluar uterus, tetapi tidak


sampai pada vagina atau pelvis dan prosnostik skor menunjukkan bahwa
stadium ini berisiko tinggi.

Stadium IIIA : Tumor menyebar hingga ke pari-paru dan juga dapat


berkembang di organ reproduksi seperti vagina atau vulva. prosnostik skor
menunjukkan bahwa stadium ini berisiko rendah.

Stadium IIIB : Tumor menyebar hingga ke pari-paru dan juga dapat


berkembang di organ reproduksi seperti vagina atau vulva. prosnostik skor
menunjukkan bahwa stadium ini berisiko tinggi.

Stadium IVA : Kanker sudah menyebar pada organ yang jauh seperti
otak, hati, ginjal, dan atau saluran pencernaan dan prosnostik skor
menunjukkan bahwa stadium ini berisiko rendahi.

Stadium IVB : Kanker sudah menyebar pada organ yang jauh seperti
otak, hati, ginjal, dan atau saluran pencernaan dan prosnostik skor
menunjukkan bahwa stadium ini berisiko tinggi.

(American Cancer Society, 2016).

11
1.5 Manifestasi Klinik
a. Mola hidatidosa lengkap (kehamilan molar)
Sebagian tanda-tanda dan gejala (kecuali untuk perdarahan), jarang terlihat
saat ini dibandingkan di masa lalu karena cenderung muncul di akhir perjalanan
penyakit. Kebanyakan wanita dengan gestasional trophoblasticdisease (GTD)
saat ini didiagnosis dini karena penggunaan tes darah dan USG di awal
kehamilan.
b. Pendarahan vagina
Hampir semua wanita dengan mola complete mengalami perdarahan
vagina yang tidak teratur selama kehamilan. Hal ini jarang terjadi pada mola
parsial. Pendarahan biasanya dimulai selama trimester pertama (13 minggu)
kehamilan. Wanita dengan gestasional trophoblasticdisease (GTD) sering
mengalami gumpalan darah atau cairan coklat berair dari vagina. Kadang-kadang,
gumpalan mola yang menyerupai buah anggur keluar dari rahim dan melalui
vagina. Adanya pendarahan ini sering menyebabkan dokter untuk melakukan
USG, untuk memastikan diagnosis kehamilan mola.
c. Anemia
Dalam kasus pendarahan serius atau berkepanjangan, tubuh wanita tidak
mampu menggantikan sel-sel darah merah dengan cepat. Hal ini dapat
menyebabkan anemia (jumlah sel darah merah yang rendah). Gejala bisa
kelelahan dan sesak napas, terutama dengan aktivitas fisik.
d. Perut bengkak
Uterus dan abdomen (perut) dapat mengalami kehamilan mola yang lebih
cepat daripada kehamilan normal. Pembesaran uterus abnormal terjadi pada
sekitar 1 dari 4 wanita dengan mola complete tetapi jarang pada wanita dengan
mola parsial. Ini mungkin tidak terlihat di awal kehamilan dan lebih sering
muncul pada trimester kedua.
e. Kista ovarium
HCG (human chorionic gonadotropin), hormon yang dibuat oleh tumor,
dapat menyebabkan kista berisi cairan dan terbentuk dalam ovarium. Kista ini
dapat membesar serta dapat menyebabkan pembengkakan perut. Hal ini hanya

12
terjadi dengan tingkat HCG yang sangat tinggi. Meskipun dapat menjadi besar,
biasanya hilang sendiri sekitar 8 minggu setelah kehamilan molar diangkat.
Kadang-kadang dapat menyebabkan perputaran pasokan darah (disebut torsi).
Dimana hal ini dapat menyebabkan sakit parah dan perlu perawatan dengan
pembedahan untuk mengangkat kista.

f. Muntah
Banyak wanita mengalami mual dan muntah selama kehamilan khas.
Dengan adanya gestasional trophoblasticdisease (GTD) muntah akan lebih sering
dan parah dari biasanya.
f. Pre-eklampsia
Pre-eklampsia (toxemia kehamilan) dapat terjadi sebagai komplikasi dari
kehamilan normal (biasanya pada trimester ketiga). Ketika pre-eklampsia terjadi
pada awal kehamilan (seperti pada pertama atau awal trimester kedua), maka hal
ini dapat menjadi tanda kehamilan molar complete. Pre-eklampsia dapat
menyebabkan masalah seperti tekanan darah tinggi, sakit kepala, refleks
berlebihan, bengkak di tangan atau kaki, dan keluarnaya protein ke dalam urin.
Pre-eklampsia dapat terjadi dengan mola complete namun jarang terjadi pada
wanita dengan mola parsial.
g. Hipertiroidisme
Hipertiroidisme (memiliki kelenjar tiroid yang terlalu aktif) terjadi pada
beberapa wanita dengan mola hidatidosa complete. Hipertiroidisme hanya terjadi
pada wanita dengan kadar HCG sangat tinggi. Gejala hipertiroidisme dapat
mencakup denyut jantung yang cepat, kulit hangat, berkeringat, panas masalah
toleransi, dan tremor ringan (gemetar). Hipertiroidisme terjadi pada wanita kurang
dari 10% dengan kehamilan mola complete.

12
1.6 Tata Laksana Choriocarsinoma
Berdasarkan pedoman American Cancer Society 2016 pengobatan
choriocarsinoma dapat dilakukan dengan cara
a) Operasi
b) Kemoterapi
c) Terapi radiasi
1. Operasi
a. Suction dilation dan curatation (D&C)
Prosedur ini sering digunakan untuk mendiagnosa
kehamilan molar dan bisa dikatakan sebagai pengobatan yang
pertama. Terapi ini dilakukan dengan melakukan pembukaan rahim
(serviks) dan kemudian memasukkan alat vakum untuk
menghilangkan sebagian besar tumor. Kemudian menggunakan
alat seperti sendok, instrumen panjang (kuret) untuk mengikis
lapisan rahim dan menghilangkan jaringan mola yang tetap.
Selama prosedur ini pasien dapat menerima infus intravena (IV)
oksitosin. Pemberian ini menyebabkan rahim berkontraksi dan
mengeluarkan isinya. Setelah proses Suction dilation dan
curatation (D&C) pasien dapat pulang pada hari yang sama.
Potensi komplikasi dari metode D&C antara lain reaksi anestesi,
perdarahan dari rahim, infeksi, jaringan parut dari serviks atau
leher rahim, dan pembekuan darah. Efek samping yang jarang
namun serius adalah kesulitan bernapas yang disebabkan ketika
potongan-potongan kecil jaringan trofoblas pecah dan sampai ke
pembuluh darah di paru-paru. Kebanyakan wanita akan memiliki
kram di panggul dan beberapa perdarahan vagina atau bercak.
b. Histerektomi
Jenis operasi ini menghilangkan uterus (rahim).
Histerektomi merupakan pilihan bagi wanita dengan mola
hidatidosa yang tidak ingin punya anak lagi, tetapi operasi ini
jarang digunakan. Menghilangkan rahim dapat memastikan bahwa
semua sel tumor di rahim hilang termasuk yang telah mengenai

12
lapisan otot (myometrium). Akan tetapi karena beberapa sel tumor
mungkin sudah menyebar di luar rahim, maka metode ini tidak
menjamin bahwa semua sel tumor dikeluarkan dari tubuh.
Terdapat 3 jenis histerektomi:
Histerektomi abdominal
Selama operasi ini, rahim tersebut diangkat melalui sayatan yang
dibuat di depan perut (perut).
Histerektomi vaginal
Jarang dilakukan, apabila rahim tidak terlalu besar, dapat
dikeluarkan melalui vagina. Dalam beberapa kasus, ahli bedah
dapat membuat luka kecil di perut untuk menyisipkan laparoskop,
instrumen tipis dengan kamera video untuk membantu operasi.
Laparoskopi dibantu Histerektomi vaginal:
Untuk operasi ini, dibuat beberapa lubang kecil di perut dan
panjang, instrumen tipis (dengan kamera video) dimasukkan untuk
melakukan pemantauan operasi. Rahim kemudian dikeluarkan
melalui lubang kecil yang dibuat di vagina. Pemulihan biasanya
lebih cepat daripada dengan histerektomi abdominal.
Komplikasi operasi yang jarang terjadi antara lain: reaksi
anestesi, perdarahan yang berlebihan, infeksi, atau kerusakan pada
saluran kemih, usus, atau saraf. Untuk memastikan bahwa tidak
ada sel-sel kanker tertinggal, dilakukan pemeriksaan tingkat HCG
darah setelah operasi. Jika kadar HCG tetap sama atau mulai naik,
dokter sering merekomendasikan untuk menerima kemoterapi.
2. Kemoterapi
Kemoterapi (kemoterapi) dilakukan dengan menggunakan obat
anti-kanker yang disuntikkan ke pembuluh darah atau diberikan melalui
mulut. Obat ini memasuki aliran darah dan mencapai semua area tubuh,
perawatan ini berguna untuk kanker yang telah menyebar ke organ jauh
(metastasis). Gestational trophoblasticdisease (GTD) adalah salah satu dari
beberapa kanker yang hampir selalu dapat disembuhkan dengan
kemoterapi. Indikator terbaik dari obat yang digunakan adalah skor

12
prognostik.
Obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengobati GTD meliputi:
• Methotrexate (dengan atau tanpa leucovorin)
• Aktinomisin-D (dactinomycin)
• Cyclophosphamide (Cytoxan®)
• chlorambucil
• Vincristine (Oncovin®)
• Etoposide (VP-16)
• Cisplatin
• Ifosfamid (Ifex®)
• Bleomycin
• Fluorourasil (5-FU)
• Paclitaxel (Taxol®)
Untuk mengurangi risiko efek samping, pemberian obat diberikan
dengan dosis terendah yang masih efektif. Sebagai aturan umum,
perempuan yang masuk dalam kelompok risiko rendah (low risk)
diberikan obat kemoterapi tunggal. Sedangkan perempuan yang termasuk
pada kelompok berisiko tinggi (high risk) dapat menerima kombinasi obat,
dengan dosis yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pedoman Pelayanan Medik Kanker Ginekologi, edisi
ke-2 tahun 2011. Pasien low risk diberikan obat kemoterapi tunggal, dimana
skor WHO kurang dari 6, FICO Stadium I,II, dan III :
a. Metotreksat 0,4 mg/KgBB 1M tiap hari selama 5 hari, diulang tiap 2
minggu 80
b. Metotreksat 1,0 mg/KgBB selang satu hari sampai 4 dosis dengan
ditambahkan Leukovorin 0,1 mg/KgBB 24 jam setelah MTX,
diulang tiap 2 minggu.
c. Metotreksat 50 mg/m2 diberikan secara mingguan.
d. Acrinornycin-D 1,25 mg/m2 diberikan tiap 2 minggu
e. Actinornycin-D 12 ug/KgBB IV tiap hari selama 5 hari diulang tiap 2
minggu. Protokol ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi
hati.

12
f. Metotreksat 250 mg infus selama 12 jam, diulang tiap 2 minggu
g. Kemoterapi dilanjutkan 1 atau 2 kali setelah kadar hCC normal. .
Sedangkan untuk pasien risiko tinggi (high risk), dengan skor WHO lebih
dari sama dengan 7, FICO stadium I, II, III, IV diberikan terapi:
a. Terapi primer adalah EMA-CO
(Etoposide, MTX, Actinomycin, Cyclophosphamid dan Oncovin
(Vincristine).
b. Jika respon kurang baik atau resisten alternatif lain adalah :
- MA - PA (Etoposide,MTX, Actinomycin - Cisplatin
danAdriamycin)
- EMA - EP (Etoposide, MTX, Actinomycin - Etoposide
Platinum).
c. Jika EMA-EP resisten dapat diberikan alternatif :
- Paclitaxel - Cisplatin
- Paclitaxel - Etoposidel3
- Paclitaxel - 5 FU
- ICE (Iphosphamid , Cisplatin, dan Etoposide)
- Regimen BEP (Bleomycin, Etoposide, Cisplatin)
3. Terapi radiasi
Terapi radiasi menggunakan fokus x-ray energi tinggi yang
menembus tubuh untuk menghancurkan sel-sel kanker. Radiasi jarang
digunakan untuk mengobati trophoblasticdisease gestasional (GTD),
kecuali telah menyebar dan tidak mampu dilakukan kemoterapi. Radiasi
dapat digunakan ketika GTD telah menyebar ke otak.
Efek samping dari radiasi yang dapat terjadi antara lain:
· Mual dan muntah
· Perubahan kulit, mulai dari kemerahan ringan sampai mengelupas
· Rambut rontok di daerah yang sedang dirawat
· Diare
· Kelelahan
· Jumlah darah rendah

12
BAB II
LAPORAN KASUS

Nama Ny. LM MRS/KRS 02-03-16/06-03-16


Umur/BB/TB 32th/54kg/153cm IRNA/RUANG 3/9 Gynecology
ID Pasien 1125XXXX Dokter dr. Sp.Obgyn

Status JKN Kelas 3 Farmasi Saudi Rakhma, S. Farm, Apt


Alamat Pasuruan
Keluhan: Alergi: Riwayat Pengobatan:
Prokemoterapi Makanan (-) Obat: Ondansetron
Riwayat Penyakit Saat Ini: Obat (-) Vitamin: Vit B complex,
asam folat
Choriocarcinoma vagina
Riwayat Penyakit:
Kanker: Vagina metastase paru

Masalah Medis/Diagnosa Masalah Farmasi


1 Choriocarcinoma Vagina 1 Risiko alergi
2 On Kemoterapi ME Seri VI 2 Risiko sariawan
3 Metastase Paru 3 Risiko anemia post kemoterapi
Riwayat Kesehatan:
Choriocaarcinoma vagina metastase paru
Operasi:
1. Stroma (Oktober 2015)
2. Curet (Oktober 2015)
Riwayat Kebiasaan: Kepatuhan:
Keluarga:
Dulu pasien sering memasak Kemoterapi pertama pasien tidak patuh
(-) menggunakan MSG dan pada pengobatan, pasien pulang paksa
penyedap makanan instan. dari RSSA Malang. Lalu penyakit
Setelah didiagnosa semakin parah mengakibatkan pasien
choriocarsinoma vagina, takut akan kondisi yang semakin
pasien tidak pernah memburuk dan mulai sadar akan
menggunakan MSG. pentingnya pengobatan yang dijalani.
Saat ini pasien rutin kontrol dan berobat
kemoterapi.
Catatan:
Pasien merupakan pasien rujukan dari Puskesmas Pohjantrek, Pasuruan.

12
Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
16/07/15 Pasien mengalami keguguran saat hamil anak ketiga. Lalu pasien menjalani
curet di RS Buberta Pasuruan. Setelah itu pasien mengalami pendarahan
hingga 3 bulan, selain itu pasien juga merasakan mual muntah.
19/09/15 Pasien periksa ke dokter dikatakan “hamil anggur” atau choriocarcinoma
diduga karena curet tidak bersih. Dari hasil patologi anatomi didapatkan
jaringan kecil kecoklatan, jaringan ikat meradang tahunan dan didapatkan
kelompok sel sel thropoblast sangat proliferaif dan atipik.
30/09/15 Pasien melakukan pemeriksaan Thorax PA karena mengeluh sesak,
didapatkan hasil: ditemukan proses metastase di paru dengan gambaran efusi
pleura sebelah kiri.
01/10/15 Pasien sering mengalami keputihan dengan lendir, bercak darah, dan berbau
selama ± 1 bulan. Terdapat benjolan di rahim ± 1 bulan.
20/10/15 Pasien menjalani kemoterapi seri I di RSSA selama 10 hari. Pasien pulang
paksa karena tidak kerasan di ruang ICU Intensive. Pasien mengalami
pendarahan berat, berat badan pasien turun hingga 25kg.
26/10/15 Pasien menjalani pemeriksaan patologi anatomi dengan hasil tidak
ditemukan sel ganas dan terdapat epitel dengan perubahan radang.
26/11/15 Pasien menjalani pemeriksaan radiologi dengan hasil terlihat multiple nodul
paru, sesuai proses metastase.
02/03/16 Pasien menjalani kemoterapi seri ke 6. Berat badan pasien perlahan naik ± 3
kg/minggu. Berat badan pasien saat ini 56kg. Kondisi pasien membaik dan
banyak kemajuan.
Pasien Nampak sakit ringan, keluhan mual masih ada, sakit gigi kadang-
kadang, sariawan, bibir pecah-pecah.
03/03/16 Pasien Nampak sakit ringan, keluhan mual masih ada, sakit gigi kadang-
kadang, sariawan, bibir pecah-pecah.
04/03/16 Pasien Nampak sakit ringan, keluhan mual masih ada, sakit gigi kadang-
kadang, sariawan, bibir pecah-pecah.
05/03/16 Pasien Nampak sakit ringan, keluhan mual masih ada, sakit gigi kadang-
kadang, sariawan, bibir pecah-pecah, konstipasi.
06/03/16 PasienKRS, sakit gigi kadang-kadang, sariawan, bibir pecah-pecah,
konstipasi.

12
PROFIL PENGOBATAN PASIEN
Tanggal Pemberian Obat
No. Nama Obat Regimen Dosis Rute
02/03/16 03/03/16 04/03/16 05/03/16 06/03/16
1 Diet kanker √ √ √ √ √
2 Etoposide 1 x 140 mg IVFD √ //
3 Metotreksat 1 x 20 mg IM √ √ √ √ √
4 Ondansetron 1 x 8 mg IV √
5 Ondansetron 3 x 8 mg PO √ √ √ √ √
6 Vitamin B kompleks 2 x 50 mg PO √ √ √ √ √
7 Asam folat 2 x 5 mg PO √ √ √ √ √
8 Asam mefenamat 3 x 500 mg PO √ √ - - -

REGIMEN KEMOTERAPI PASIEN


Kemoterapi: metotrexate-etoposide
Hari Jam Obat
Diagnosa: Chorio Ca Vagina
Primer treatment: metotrexate-etoposide I 0 Inj. MTX 20 mg IM
Inf. D5% habis dalam 2 jam
Dosis:BB/TB/LPB: 49kg/150cm/1,42m2
2 Inf. NS habis dalam 2 jam
Inj. Vanceran 1 ampul IV tiap 30’ sebelum Etoposide

12
Regimen: Metotrexate 20 mg Etoposide 140mg dalam 500cc NS habis dalam waktu >2 jam dimulai
4
Etoposide 140mg tetes pelan 15tpm

Seri I : 20/10/15, 3 minggu yang akan datang diulang


Seri II :07/12/15 3 minggu yang akan datang diulang
Seri III :30/12/15 3 minggu yang akan datang diulang
Seri IV : 20/01/16 3 minggu yang akan datang diulang II-IV Inj. MTX 20mg IM
Seri V : 10/02/16 3 minggu yang akan datang diulang
Seri VI : 02/03/16 3 minggu yang akan datang,
evaluasi

DATA KLINIK
Tanggal Komentar dan Alasan
Parameter Nilai Normal
02/03/16 03/03/16 04/03/16 05/03/16 06/03/16
Suhu 36-37 oC 36,5 35,3 36,5 36,2 36,5
Nadi 80-85 x/m 88 84 84 80 82
RR 20 x/m 20 18 20 20 20
TD 120/80 mmHg 150/70 100/70 120/80 110/70 110/70 Tekanan darah pasien saat MRS sempat naik,
kemudian perlahan menjadi normal.
Kondisi Umum Baik Baik Baik Baik Baik Baik

12
GCS 456 456 456 456 456 456
Mual (-) + + + + + Mual, sariawan, bibir pecah-pecah, sembelit
dialami pasien karena efek samping obat.
Muntah (-) - - - - -
Sariawan (-) + + + + +
Bibir pecah-pecah (-) + + + + +
Pada saat MRS, pasien juga mengeluhkan
Sembelit (-) + + + + + sedang sakit gigi.
Sesak (-) - - - - -
Sakit gigi (-) + + +/- +/- +/-

13
DATA LABORATORIUM
Tanggal
Parameter Nilai Normal Komentar dan Alasan
02/03/16 04/03/16
3
WBC 11,1  Nilai WBC dan PLT tinggi dikarenakan pasien merupakan penderita
3,5-10 10 /ul
choriocarcinoma post-curet (curet tanggal 16/07/15) (Kemenkes RI, 2011).
RBC
6 3,58  Nilai serum elektrolit pasien normal.
4-5 10 /ul
35-50 % 36,2  Fungsi hati dan ginjal pasien normal.
PCV
 Klirens kreatinin >100 ml/menit/1,73 m2 sehingga pasien dapat diberikan dosis
PLT 150000-390000/ul 495.000 kemoterapi 100% (BC Cancer, 2015).

Na 135-145 mmol/l 135


K 3,5-5 mmol/l 3,49
Cl 98-106 mmol/l 107
T3 Total 0,8-2,0 ng/ml 1,1

Free T4 0,93-1,7 ng/ml 0,82


TSH 0,27-4,2 uL U/ml 1,72
11-41 U/l
OT/PT 12/13
10-41 U/l
10-50 mg/dl 6,7/0,49
BUN/Cr
O,7-1,5 mg/dl
ClCr
2 198,59
ml/menit/1,73 m

13
PROFIL PENGOBATAN
Obat
Pemantauan Kefarmasian Alasan & Komentar
Mulai Jenis obat Rute Dosis Frek. Stop Indikasi obat
02/03 Etoposide IVFD 140 Per hari 02/03 Gestational Monitoring darah lengkap dan Etoposide merupakan agen
mg neoplasia trofoblas, ESO seperti mual, muntah, kemoterapi yang menghambat
sariawan, bibir pecah-pecah. topoisomerase II, sehingga
Kanker paru-paru
menghambat sintesis DNA
(BC Cancer, 2015)
terutama fase S dan G2.
Efek samping etoposide:
Untuk siklus 3 minggu: 100 mg /
reaksi hipersensitivitas tipe 1
m2 IV untuk satu dosis pada hari
segera setelah pemberian IV
pertama. Dosis dapat diberikan
(1-3%),
100% karena klirens kreatinin
myelosupresi, WBC nadir 7- pasien >100ml/menit (BC Cancer,
14 hari, nadir platelet 9-16 2015).
hari, pemulihan 20 hari,
Pemberian terapi sudah sesuai
mucositis
dengan pedoman yang ada di
mual dan muntah (31-43%,
Indonesia (Supriyono, 2011).
kelelahan, demam, alopecia
(8-66%), noreksia (10-13%), Pemantauan efek samping obat
sembelit, diare (1-13%), sangat diperlukan untuk
stomatitis (1-6%), leukemia pertimbangan terapi tambahan
akut (onset 2-3 tahun) (BC terkait efek samping obat yang
Cancer, 2015). dialami pasien. Etoposide dapat
diberikan pada pasien dengan
koriokarsinoma metastase paru

13
(BC Cancer, 2015).
Efektifitas kemoterapi dapat
dilihat dari pemantuan βHCG saat
pasien menjalani pemeriksaan
evaluasi selama 2 tahun (BC
Cancer, 2015).
02/03 Metotreksat IM 20 Per hari 06/03 Koriokarsinoma, Monitoring darah lengkap dan Metotreksat merupakan antagonis
mg ESO seperti mual, muntah, folat. Tertahidrofolat adalah
Kanker paru-paru
sariawan, bibir pecah-pecah. bentuk aktif asam folat yang
(BC Cancer, 2015)
diperlukan untuk sintesis timin
dan timidilat. Asam folat
Efek samping metotreksat: direduksi menjadi tetrahidrofolat
neutropenia: WBC nadir 4-7 oleh dihidrofolat reduktase
hari dengan pemulihan 7-13 (DHFR). Sitotoksisitas
hari; nadir 12-21 hari dengan metotreksat meliputi:
pemulihan 15-20 hari, penghambatan DHFR, timidilat,
trombositopenia: nadir dan perubahan transport folat
trombosit 5-12 hari dengan berkurang. Metotreksat sangat
pemulihan 15-27 hari, efektif untuk mengatur
stomatitis (> 10%), muntah, pembelahan sel, terutama selama
hepatotoksisitas (1-10%) lebih fase S pada siklus sel. Metotreksat
umum dengan metotreksat juga memiliki aktivitas
dosis tinggi dibandingkan imunosupresif (BC Cancer, 2015).
dosis rendah, neurotoksisitas Pemberian terapi sudah sesuai
(> 10%) (rute intratekal atau dengan pedoman yang ada di
dosis tinggi) (BC Cancer, Indonesia (Supriyono, 2011).
2015).

13
Dosis yang diberikan juga sudah
sesuai yaitu 15 sampai 30 mg
secara IM sehari sekali selama 5
hari (drugs, 2016).
Pemantauan efek samping obat
sangat diperlukan untuk
pertimbangan terapi tambahan
terkait efek samping obat yang
dialami pasien. Etoposide dapat
diberikan pada pasien dengan
koriokarsinoma metastase paru
(BC Cancer, 2015).
Efektifitas kemoterapi dapat
dilihat dari pemantuan βHCG saat
pasien menjalani pemeriksaan
evaluasi selama 2 tahun (BC
Cancer, 2015).
02/03 Ondansetron IV 8 mg Hari 02/03 Pencegahan mual Monitoring keluhan mual, Ondansetron merupakan agen
pertama dan muntah yang muntah, dan BAB pasien yang dapat memblokir reseptor
saja berhubungan seperti sembelit. serotonin 5-HT3 secara selektif.
dengan kemoterapi
PO 8 mg 3 kali 06/03 Efek samping ondansetron: Pencegahan mual dan muntah
yang sangat
sehari kesulitan BAB/sembelit, terakit obat kanker yang
emetogenik
pusing, demam, sakit kepala, emetogenik, diberikan secara IV
(drugs,2016).
sesak nafas, lemah 30 menit sebelum dimulainya
(drugs,2016). kemoterapi, kemudian setiap 8
jam berikutnya selama 1 sampai 2

13
hari setelah selesai kemoterapi
(drugs,2016).
Ondansetron dapat digunakan
untuk mencegah/mengatasi efek
samping kemoterapi mual dan
muntah dengan derajat kelas 2
(moderatly low10-30% terjadi
mual muntah) (Salimindo, 2004).
02/03 Vitamin B PO 50 2 kali 06/03 Pencegahan Monitoring ESO seperti mual, Penting untuk mencegah
kompleks mg sehari kekurangan vitamin diare, nyeri pada perut. kekurangan vitamin B kompleks
B kompleks (IAI, (IAI, 2016).
2016).
Efek samping vitamin B
koompleks: diare ringan,
mual, nyeri perut,
hipersensitifitas (jarang
terjadi) (IAI, 2016).

02/03 Asam folat PO 5 mg 2 kali 06/03 Pencegahan Monitoring asupan makanan Asam folat adalah vitamin yang
sehari kekurangan asam dan minuman pasien. penting untuk berbagai fungsi
folat (drugs, 2016). tubuh, mulai dari sintesis
nukleotid ke remetilasi
Efek samping asam folat yang homosistein. Asam folat terutama
sering terjadi yaitu: gangguan penting pada periode pembelahan
nafsu makan, rasa mati di dan pertumbuhan sel (IAI, 2016).
lidah/mulut, mual (IAI, 2016).

13
02/03 Asam PO 500 3 kali 04/03 Anti inflamasi, PTT, APTT, keluhan sakit Asam mefenamat merupakan
mefenamat mg sehari analgesik, gigi, efek samping asam NSAID (non steroid anti
antipiretik (drugs, mefenamat. inflamasi) yang dapat berfungsi
2016). sebagai anti inflamasi, analgesik,
dan anti piretik. Mekanisme kerja
Digunakan untuk
Efek samping asam belum sepenuhnya diketahui,
mengurangi atau
mefenamat: peradangan, kemungkinan dengan
menghilangkan
pendarahan, ulserasi, dan penghambatan sintesa
nyeri karena sakit
perforasi lambung, usus kecil prostaglandin.
gigi.
atau usus besar, sehingga
Asam mefenamat dapat digunakan
perlu digunakan dengan untuk menghilangkan rasa nyeri
sangat hati-hati pada pasien
ringan sampai sedang pada pasien
yang memiliki riwayat ≥ 14 tahun dengan terapi tidak
penyakit maag/ pendarahan
lebih dari 7 hari (drugs, 2016).
gastrointestinal (drugs, 2016).

13
ASUHAN KEFARMASIAN
Masalah:
16. Indikasi 18. Dosis obat 23. Interaksi obat 26. Ketersediaan/kegagalan
a. Tidak ada indikasi b. Kelebihan (over dosis) d. Obat mendapat obat
b. Ada indikasi tidak ada c. Kurang (under dosis) e. Makanan/minuman 27. Kepatuhan
terapi 19. Interval pemberian f. Hasil laboratorium 28. Stabilitas sediaan injeksi
c. Kontraindikasi 20. Cara/waktu pemberian 24. Efek samping obat 29. Sterilitas sediaan injeksi
17. Pemilihan obat 21. Rute pemberian 25. Kompatibilitas obat 30. Duplikasi terapi
22. Lama pemberian

OBAT MASALAH REKOMENDASI/USULAN


Etoposide Efek samping aktual terjadi antara lain mual,Pasien sudah menerima ondansetron untuk
sariawan, bibir pecah-pecah(BC Cancer, 2015).mengatasi mual. Ondansetron dapat digunakan
untuk mencegah/mengatasi efek samping
Perlu penyesuaian dosis karena berat badan
kemoterapi mual dan muntah dengan derajat
pasien berubah (BB pasien saat kemoterapi
kelas 2 (moderatly low 10-30% terjadi mual
pertama 49 kg, saat ini BB pasien 56 kg) (BC
muntah) (Salimindo, 2004).
Cancer, 2015).
Perlu dilakukan perhitungan dosis setiap pasien
menjalani kemoterapi agar dosis yang diberikan
benar-benar adekuat dengan cara perhitungan
berat badan atau luas permukaan tubuh (BC
Cancer, 2015).
Sariawan dapat diatasi dengan pemberian
vitamin C dosis tinggi dan/atau madu

13
(Nurhidayah, 2011).
Metotreksat Efek samping aktual terjadi antara lain mual, Pasien sudah menerima ondansetron untuk
sariawan, bibir pecah-pecah(BC Cancer, 2015). mengatasi mual. Ondansetron dapat digunakan
untuk mencegah/mengatasi efek samping
kemoterapi mual dan muntah dengan derajat
kelas 2 (moderatly low 10-30% terjadi mual
muntah) (Salimindo, 2004).
Sariawan dapat diatasi dengan pemberian
vitamin C dosis tinggi (Nurhidayah, 2011).
Asam folat Efek samping aktual terjadi antara lain Memberikan konseling kepada pasien cara
gangguan nafsu makan, rasa mati di minum obat sehingga efek samping dapat
lidah/mulut, mual (IAI, 2016). dihindari (lihat bagian konseling).
Ondansetron Efek samping aktual terjadi yaitu sembelit. Memberikan konseling kepada pasien terkait
diet/asupan yang sebaiknya dipatuhi (lihat
bagian konseling).
Asam mefenamat Asam mefenamat dapat berinteraksi secara Sebaiknya dilakukan pemantauan kadar obat
serius dengan metotreksat terutama pada dalam daarah (PKOD) (Medscape, 2016).
pemberian metotreksat dosis tinggi dengan
Jika PKOD tidak dapat dijalankan, maka perlu
penurunan penurunan klirens renal sehingga
dilakukan monitoring terkait efek samping
menyebabkan kadar metotreksat dalam darah
metotreksat yang kemungkinan dapat terjadi,
lebih tinggi dan lebih lama (drugs, 2016; BC
seperti mual, sariawan, dan bibir pecah-pecah
Cancer 2015; Medscape Drug Interaction
(BC Cancer, 2016).
Checker, 2016).
Untuk mengatasi nyeri sakit gigi juga dapat
Efek samping asam mefenamat antara lain
dilakukan penggantian terapi asam mefenamat
mual, gangguan pencernaan, perut kembung,

13
hingga pendarahan akibat penggunaan jangka dengan antalgin dengan regimen dosis 3x500
panjang (drugs, 2016; Mc. Evoy, 2011). mg perhari sebagai alternatif, mengingat
interaksi serius antara asam mefenamat dengan
metotreksat walaupun dosis metotreksat yang
diberikan merupakan dosis rendah. Antalgin
dapat digunakan untuk terapi nyeri pasien yang
sedang menjalani kemoterapi (IAI, 2016).

13
MONITORING

No. Parameter Tujuan Monitoring


1. Kondisi klinis Pemantauan suhu, nadi dan RR untuk memantau kondisi
(suhu, nadi, RR, umum pasien (CDC, 2015). Keluhan seperti sesak perlu
kondisi umum, dipantau karena pasien memiliki riwayat efusi pleura dan
sesak) riwayat koriokarsinoma metastase ke paru.
2. Darah lengkap Pemantauan dilakukan untuk mengetahui terjadi atau tidaknya
efek samping kemoterapi yaitu neutropenia dan
trombositopenia, sehingga apabila hal ini terjadi dapat segera
diketahui dan diberi terapi (BC Cancer, 2015). Neutropenia
dan trombositopenia dapat meningkatkan resiko terjadinya
infeksi (Harrison, 2015).
3. Skala nyeri Memantau skala nyeri pasien secara umum terutama efek
samping kemoterapi sehingga dapat diketahui efektivitas
manajemen pengatasan nyeri kemoterapi (Kemenkes RI,
2013).
4. Keluhan pasien Mengetahui tingkat kelas efek samping akibat obat
akibat kemoterapi yang saat ini digunakan sehingga dapat diketahui
penggunaan terapi yang tepat dan efisien (Salimindo, 2004).
kemoterapi
5. Keluhan pasien Mengetahui efek samping yang aktual terjadi pada pasien
terkait efek selama pemberian terapi obat di RS sehingga dapat diketahui
samping obat apakah pasien perlu mendapat terapi obat tambahan dan/atau
saran non farmakologis.

1
KONSELING

Pemberian informasi pada pasien


No. Uraian Konseling
1. Etoposide Memberitahu pasien terkait tujuan pemberian obat
kemoterapi yaitu menghambat perkembangan sel-sel
2. Metotreksat
kanker lebih lanjut sehingga mencegah terjadinya
penyebaran ke organ lain (drugs, 2016).
Memberitahu pasien terkait efek samping obat yang
dapat terjadi antara lain mual, sariawan, bibir pecah-
pecah (BC Cancer, 2015).
Walaupun efek samping sering teradi, perlu
diketahui bahwa pemberian obat kemoterapi penting
bagi pasien untuk mencegah penyebaran karsinoma
lebih jauh dan demi peningkatan kesehatan pasien.
Memberi saran non farmakologis yaitu
mengkonsumsi minuman yang mengandung vitamin
C tinggi dan/atau madu untuk mengatasi sariawan
dan bibir pecah-pecah (Nurhidayah, 2011).
3. Asam folat Memberitahu pasien tujuan pemberian asam folat
yaitu untuk mencegah terjadinya kekurangan asam
folat dalam tubuh (IAI, 2016).
Memberitahu pasien bahwa rasa mual tidak hanya
terjadi karena obat kemoterapi. Asam folat juga
dapat menyebabkan mual, gangguan nafsu makan,
rasa mati di lidah/mulut (IAI, 2016).
Memberitahu bahwa pasien juga sudah diberikan
obat ondansetron 3 kali sehari dengan kekuatan
dosis 8 mg untuk mencegah terjadinya mual.
Walaupun obat ini mengakibatkan gangguan nafsu
makan seperti mual/muntah, asupan makan pasien
sangat penting untuk kecukupan gizi pasien.
4. Ondansetron Memberitahu pasien tujuan pemberian ondansetron
yaitu untuk mencegah mual karena kemoterapi
(drugs, 2016).
Memberitahu efek samping yang dapat terjadi yaitu
sembelit, sehingga memberi saran kepada pasien
untuk menjaga asupan makanan dan diet tinggi serat
seperti buah dan sayuran (drugs, 2016).
5. Asam mefenamat Memberitahu pasien tujuan pemberian terapi asam
mefenamat yaitu untuk mengurangi nyeri akibat

14
sakit gigi yang dialami pasien (drugs, 2016).
Memberitahu pasien terkait efek samping obat
antara lain mual, gangguan pencernaan, perut
kembung, hingga pendarahan akibat penggunaan
jangka panjang, sehingga obat ini sebaiknya tidak
digunakan lebih dari 5 hari (drugs, 2016; Mc. Evoy,
2011).

14
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien Ny LM, umur 32 tahun, berat badan 54 kg, asal Pasuruan, masuk
rumah sakit (MRS) dengan status JKN Kelas III untuk menjalani kemoterapi seri
ke 6. Pasien MRS dengan masalah medis koriokarsinoma kanker vagina on
kemoterapi seri ke 5. Berdasarkan riwayat kebiasaan, pasien dulunya sering
memasak dengan tambahan MSG dan penyedap masakan instan. Bahan kimia
termasuk dalam salah satu faktor risiko terjadinya kanker. Berdasarkan riwayat
perjalanan penyakit, pasien pernah mengalami keguguran saat hamil anak ketiga
(16/07/2015). Pasien menjalani kuret di RS Buberta, Pasuruan. Setelah menjalani
kuret, pasien mengalami mual, mutah, dan pendarahan hingga kurang lebih 3
bulan. Kemudian pasien memeriksakan diri ke laboratorium Patologi Anatomi
(PA) di RS Soedarsono (19/09/2015) didapatkan hasil pada pemeriksaan makro
yaitu terdapat jaringan kecil kecoklatan, dan secara mikro didapatkan hasil adanya
jaringan ikat meradang tahunan dan tampak berkelompok sel-sel tropoblas yang
sangat proliferatif dan atipikal. Dari gambaran jaringan tersebut dapat
disimpulkan pasien mengalami koriokarsinoma.
Pada tanggal 30 September 2015, pasien melakukan pemeriksaan foto
thorax PA di RSSA dengan hasil adanya proses metastase di paru dan pasien
mengalami efusi pleura bagian kiri. Pada tanggal 1 Oktober 2015 pasien mengaku
terdapat benjolan di rahim, sering mengalami keputihan dengan lendir dan bercak
darah, serta berbau ± selama 1 bulan.
Pasien menjalani kemoterapi seri pertama tanggal 20 Oktober 2015 di
RSSA, Malang. Pasa saat pasien menjalani kemoterapi seri pertama, pasien hanya
dirawat selama 10 hari dan pulang paksa karena merasa tidak nyaman dengan
perlakuan diruangan, dimana pasien tidak bisa bertemu dengan keluarga dan jika
bertemu hanya bisa sebentar. Selama dirawat di ruang intensif, pasien mengalami
pendarahan berat hingga menghabiskan 10 underpad dewasa setiap harinya. Berat
badan pasien turun 25 kg saat menjalani kemoterapi pertama, kondisi pasien
menurun dan memburuk. Saat dirumah, pasien mengalami pendarahan dan pasien
mulai sadar akan pentingnya pengobatan saat ini, sehingga pasien memiliki

14
keinginan untuk sembuh dengan rutin menjalani kemoterapi. Pasien mejalani
kemoterapi sebanyak 6 seri, dengan jadwal kemoterapi setiap 3 minggu diulang
sebanyak 6 kali, kemudian di evaluasi. Protokol kemoterapi yang diterima pasien
sebagai berikut:
 Pada hari pertama pasien mendapat injeksi metotreksat 20 mg secara IM
dalam infus D5% 500cc yang harus habis dalam 2 jam. Kamudian 2 jam
kemudian pasien mendapatkan infus NS 500 cc untuk hidrasi sebelum obat
kemoterapi selanjutnya. Pasien juga mendapat injeksi ondansentron 8 mg
setiap 30 menit sebelum etoposide. Empat jam kemudian, pasien mendapat
injeksi etoposide 140 mg dalam 500 cc NS yang habis dalam waktu lebih
2 jam dimulai tetes pelan 15 tetes per menit.
 Hari ke 2-5 pasien mendapatkan injeksi metotreksat 20 mg secara IM.
Pasien mendapat terapi metotrexat dan etoposide untuk kemoterapinya.
Dosis metotrexat yang digunakan adalah 20 mg secara IM dan diberikan selama 5
hari. Menurut BC Cancer, Agency Cancer Drug Manual tahun 2016 metotrexat
dapat digunakan pada penyakit koriokarsinoma dan kanker paru, dosis yang dapat
digunakan adalah 15-30 mg (IM) selama 5 hari. Metotrexat merupakan antagonis
folat yang dapat menghambat sintesis purin dan timin dari sel kanker. Efek
samping yang biasanya timbul dari penggunaan metotrexat adalah mual, muntah,
trombositopenia, dan neutropenia oleh karena itu harus sering dimonitoring darah
lengkap dan kondisi klinis pasien.
Etoposide yang digunakan adalah 140 mg secara IV pada hari pertama
selama 1 hari. Menurut BC Cancer tahun 2016 etoposide dapat digunakan pada
penyakit kanker paru, dan gestasioanal trophoblastic neoplasma, dengan dosis
100mg/m2 selama 1 hari. Etoposide bekerja dengan menghambat sintesis DNA sel
kanker, efek samping yang biasanya timbul adalah mual, muntah dan rasa tidak
enak pada mulut.
Terapi ondansetron diberikan untuk mengatasi mual (dyspepsia syndrome)
yang dirasakan pasien. Obat ini memiliki mekanisme kerja selektif terhadap
antagonis reseptor 5-HT3 di perifer maupun di CNS, tetapi obat ini memiliki efek
utama di GI track. Terapi ondansetron untuk pasien kemoterapi yang mengalami
mual dapat diberikan secara intravena dengan dosis 0,15 mg /kg/bb dan secara

14
peroral dengan dosis 0,1-0,2 mg/kg/bb tiap 6-12 Jam sehari (drugs.com, 2016).
Pada hari pertama pasien mendapat terapi ondansetron (IV) untuk mencegah
mual dan muntah saat dilakukan kemoterapi. Dosis yang diberkan 8 mg sekali
sehari. Dosis tersebut sudah tepat untuk pasien ini jika perhitungan dosis
disesuaikan dengan berat badan pasien yaitu 0,15 mg x 56 (berat badan pasien) =
8,4 mg. Pada hari selanjutnya, setelah kemoterapi pasien mendapatkan terapi
ondansetron secara peroral diberikan dengan dosis 8 mg tiga kali sehari untuk
mencegah terjadinya mual setelah diberikan kemoterapi. Pasien mendapat asam
mefenamat untuk mengatasi sakit gigi yang dialami. Asam mefenamat merupakan
obat gologan non steroid anti inflamatory drug (NSAID) yang dapat menghambat
sintesis prostalglandin dengan menghambat isoenzim COX-1 dan COX-2
(drugs.com; 2016).
Drug related problem yang terjadi pada pasien yaitu efek samping yang
terjadi akibat penggunaan kemoterapi metotreksat dan etoposide antara lain mual,
muntah, trombositopenia, neutropenia, dan somatitis (sariawan dan bibir pecah-
pecah) (BC Cancer, 2016). Selain itu, drug related problem yang terjadi yaitu
adanya interaksi obat antara metotreksat dan asm mefenamat. Metotrexat
memiliki tmax 1-2 jam, volume distribusi 0,4-0,8 L/kg, ikatan dengan protein
sebesar 50%, mengalami metabolisme di hepar menjadi methotreat polyglutamat
dan 7-hidroksi metotreksat, dieksresi melalui urin sebesar 80-90%. Asam
mefenamat memiliki t1/2 2 jam, tmax 2-4 jam, mengalami metabolisme di hepar
menjadi 3- hydroylmethyl dan 3 asam karboksilat, 66% dieksresi di urin, 20-25%
dieksresi di feses. Metotrexat berinteraksi dengan banyak obat, salah satunya
adalah NSAID, karena penggunaan NSAID dapat meningkatkan kadar metotrexat
dalam darah sehingga efek toksiknya juga akan meningkat. Asam mefenamat
(NSAID) dapat meningkatkan kadar metotreksat dalam darah dengan menurunkan
ClCr dan dapat mengakibatkan toksisitas GI dan hematologi berat, tetapi risiko
tersebut kecil karena dosis metotreksat yang diterima oleh pasien masih dalam
rentang aman yaitu 7,5 mg-25 mg (PSA, 2011). Pemberian asam mefenamat
untuk mengurangi sakit gigi pasien sudah tepat, tetapi pada penggunaan kedua
obat ini perlu diperhatikan.

14
Pemberian kemoterapi untuk pasien sudah tepat, sesuai dengan pedoman
terapi yang ada di Indonesia yaitu untuk pasien dengan risiko tinggi dapat
diberikan metotreksat 15-30 mg secara IM selama 5 hari dan etoposide dengan
dosis 100mg/m2 dalam NS 500cc secara IV drip pada hari pertama (BCC Cancer,
2016).
Pemberian terapi tambahan asam folat dan vitamin B kompleks sudah
tepat untuk pasien yang menjalani kemoterapi (BC Cancer, 2016; Supriyono,
2011; Salimindo 2004). Pemberian terapi ondansetron untuk mengatasi efek
samping dari obat kemoterapi sudah sesuai dengan pedoman teknis pelayanan
paliatif kanker di Indonesia (Kemkes RI, 2013). Pemberian asam mefenamat
untuk mengatasi sakit gigi sudah sesuai dengan indikasi (drugs, 2016).
Drug related problem pada pasien teratasi sebagian karena terapi paliatif
yang diberikan hanya sebagai terapi pendamping saat pasien menjalani
kemoterapi dan efek samping dari obat kemoterapi yang diterima oleh pasien
tidak dapat dihindari, sehingga perlu dilakukan monitoring kondisi pasien dan
efek samping obat yang kemungkinan dapat terjadi pada pasien. Selain itu,
apoteker perlu memberikan informasi kepada pasien setiap pemberian obat kepada
pasien terkait efek samping obat yang mungkin terjadi dan tingkat keberhasilan
dari terapi yang dijalani sehingga pasien dapat termotivasi untuk sembuh (BCC
Cancer, 2016; Kemkes RI, 2013). Pasien keluar rumah sakit (KRS) tanggal 6
Maret 2016 dengan kondisi membaik.

14
BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan
 Pemberian kemoterapi untuk pasien sudah tepat, sesuai dengan pedoman
terapi yang ada di Indonesia.
 Drug related problem pada pasien teratasi sebagian.
 Monitoring kondisi pasien dan efek samping obat.
 Perlu memberikan informasi kepada pasien terkait efek samping obat dan
tingkat keberhasilan terapi.
 Pasien keluar rumah sakit (KRS) dengan kondisi membaik.

14
DAFTAR PUSTAKA
American Cancer Society 2016

BC Cancer, 2015. Etoposide. Vancouver, Washington, A.S: Provincial Health


Services Authority.

BC Cancer, 2015. Methotrexate. Vancouver, Washington, A.S: Provincial Health


Services Authority.

Bergua B.S., Marteles M.S., Garcia L.J.C., Conde i.S., 2008 Choriocarsinoma
with pulmonary and cerebral metastases. Singapur Med J 2008; 49 (10)
:e287.
Drugs.com, 2016. Etoposide, Methotrexate, Folic acid, Ondansetron,
Mefenamic Acid.

Harrison, 2015. Harrison’s Principles of Internal Medicine. USA: McGraw-Hill


Companies.

Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medik


Kanker Ginekologi , edisi ke 2. Badan Penerbit FKUI: Jakarta, bab Penyakit
Trofoblas Ganas hlm 77.

IAI, 2016. MIMS Indonesia. Jakarta: Ikatan Apoteker Indonesia.

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Teknis Pelayanan Paliatif Kanker. Jakarta:


Kementrian Kesehatan RI.

Kemenkes RI, 2011. Pedoman Visite Untuk Apoteker. Jakarta: Kementrian


Kesehatan RI.

Kelechi E., Umezurike C.C., Akwuruoha E., 2013. Uterine Choriocarsinoma A


Gynaecological Masquerader Case Report and Review of The Literature.
Modern Chemotherapy, vol 2, no 4, p 69-72

Mc. Evoy, 2011. AHFS Drug Information, Ver.14. USA : American Society of
Health System

Mirambo M.M., Mazigo D.H., Jaka M.H., Kabangila R., Kombo H., et al. 2010.
Unsuspected Uterine Choriocarsinoma With Lung Metastasis . Journal of
Rural and Tropical Public Health 2010, vol 9, p 121-123

Nurhidayah, 2011. Pengaruh Pemberian Madu dalam Tindakan Keperawatan


Oral Care Terhadap Mukositis akibat Kemoterapi Pada Anak Di
RSUPN DR. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu
Keperawatan Program Magister Keperawatan Peminatan Keperawatan
Anak.

14
Salimindo D.A., 2004. Drug Information Handbook for Oncology 4 th ed. Ohio:
LexiComp.

Supriyono, 2011. Penggunaan kemoterapi secara rasional. Dalam:


Penggunaan kemoterapi pada kanker ginekologik. Jakarta: Universitas
Indonesia, 2001; 1-35.

15
1. Tinjauantentang CVA
1.1 Definisi CVA
Stroke atau Cerebral Vascular Disease (CVA) didefinisikan sebagai gangguan /
disfungsi neurologis yang umumnya disebabkan oleh iskemia atau pendarahan
(haemorrhage) selama lebih dari 24 jam atau sampai meninggal (AHA/ASA,
2013). Stroke sacara umum dibagi menjadi 2 macam, yakni stroke iskemik dan
stroke hemoragik. Stroke hemoragik mencakup perdarahan subarachnoid,
perdarahan intraserebral, dan hematomasubdural (Fagandan Hess, 2008).

Gambar 1.1 Klasifikasi Stroke Hemoragik (dikutipdariHinson et al., 2011 ;


Winkler, 2008)
1.1.1 Etiologi CVA
Pada stroke hemoragik. perdarahan subarachnoid terjadi ketika darah
memasuki ruang subarachnoid (tempat cairan serebrospinal) baik karena trauma,
pecahnya aneurisma intrakranial, atau pecahnya malformasi arteriovenus (AVM).
Sebaliknya, perdarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh darah pecah dalam
parenkim otak itu sendiri, yang mengakibatkan pembentukan hematoma. jenis
perdarahan ini sangat berhubungan dengan tekanan darah tinggi yang tidak
terkontrol dan kadang-kadang disebabkan karena terapi antitrombotik atau
trombolitik. Hematomasubdural merujuk untuk koleksi darah di bawah dura
(meliputi otak), dan mereka disebabkan paling sering oleh trauma.

15
Strokehemoragik, meskipun kurang umum, secara signifikan lebih mematikan
dibanding strokeiskemik (Fagandan Hess, 2008)
Strokeiskemik disebabkan baik oleh pembentukan trombus lokal atau oleh
adanya emboli, sehingga terjadi oklusi dari arteri serebral.Aterosklerosis, terutama
dari pembuluh darah serebral, adalah factor penyebab dalam kebanyakan kasus
stroke iskemik. Emboli bisa timbul baik dari arteri intra atau ekstrakranial
(termasukarkus aorta) atau, seperti yang terjadi di 20% dari semua stroke
iskemik,jantung. emboli kardiogenik terjadi jika pasien memiliki fibrilasi atrium
bersamaan, penyakit jantung katup, atau kondisi lain dari jantung yang dapat
menyebabkan pembentukan gumpalan.Perbedaan antara emboli kardiogenik dan
penyebab lain dari stroke iskemik penting dalam menentukan terapi jangka
panjang yang diberikan pada pasien (Fagandan Hess, 2008).

Gambar 1.2Etiologi stroke secaraumum(Fagandan Hess, 2008)

1.1.2 Patofisiologi CVA


1.1.2 a Iskemik Stroke
Pada aterosklerosis karotid, akumulasi progresif lipid dan sel-sel inflamasi
dalam intima arteri yang terkena dampak, diakumulasikan dengan hipertrofi arteri
sel otot polos, menyebabkan pembentukan plak. Akhirnya, stres semata-mata
dapat mengakibatkan pecahnya plak, paparan kolagen, agregasi platelet, dan
pembentukan bekuan. Bekuan dapat tetap berada di pembuluh darah,
menyebabkan oklusi lokal, atau emboli. Hasil akhir dari kedua pembentukan

15
trombus dan emboli adalah oklusi arteri, mengurangi aliran darah otak dan
menyebabkan iskemia. Rata-rata aliran darah otak normal 50 mL / 100 g per
menit, dan ini dipertahankan melalui berbagai tekanan darah (tekanan arteri 50
sampai 150 mmHg) oleh proses yang disebut cerebral autoregulation.Pembuluh
darahotak melebar dan menyempit dalam menanggapi perubahan tekanan darah,
tetapi proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis dan cedera akut, seperti
stroke. Ketika aliran darah otakmenurun di bawah 20 mL / 100 g per menit, akan
terjadi iskemik, dan ketika pengurangan lebih lanjut di bawah 12mL / 100 g per
menit, kerusakan permanen otak akan terjadi, dan inilah yang disebut infark
(Fagan dan Hess, 2008)
1.1.2 b Hemoragik Stroke
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan kedalam ruang subarakhnoid atau
langsung kedalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan
malformasi arteriovena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah
pemakaian kokain atau amfetamin, karen azat-zat ini dapat menyebabkan
hipertensi berat dan perdarahan intraserebrum atau subarachnoid (Pricedan
Wilson, 2005).
Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan otak (parenkim) paling sering
terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu
dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya
perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal
yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang
dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertama pada keterlibatan kapsula intern (Pricedan Wilson, 2005).
Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di
dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang
subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan
serebrospinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial, juga dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan

15
yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak(Pricedan
Wilson, 2005).

1.1.3 Penatalaksanaan CVA


Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka
evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi (PERDOSSI,2011) :
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita
saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar, kejang,
cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta faktor risiko
stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan ekstremitas.
c.Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan
cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
(AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B)

1.1.4 Pemeriksaan Penunjang CVA


Pencitraan otak seperti CT (computed Tomographic) scan dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) sangat penting dilakukan untuk mengetahui
tempat terjadinya lesi pada otak. CT scan dapat mendeteksi perdarahan yang
terjadi dalam waktu 12-24 jam. Pemeriksaan dengan MRI lebih terjamin
presisinya dalam mendeskripsikan luas lesi dan mengidentifikasi kemungkinan
sumber stroke, namun tidak dianjurkan untuk serangan stroke akut karena
membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal (Smith et al.,
2005).Padagambar
1.3 disajikanbagantatalaksanaterapi stroke secaraumum.

15
Gambar 1.3 Penatalaksanaanterapi stroke secaraumum (Jauchet al., 2010)
1.2 Definisi CVA-ICH
Cerebrovascular attack-Intracranial Hemorrhage (CVA-ICH) atau stroke
hemoragik intraserebral adalah trauma neurologik akut yang terjadi karena arteri
kranial mengalami rupture di antara parenkim otak, yang mengakibatkan darah masuk
ke jaringan otak, membentuk massa yang disebut hematoma (Fagan, S.C and Hess,
D.C, 2008).
1.2.1 Etiologi CVA-ICH
Aneurisma otak, AVM, hipertensi, dan efek samping obat adalah penyebab
utama ICH.Salah satu jenis ICH yaitu perdarahan subarachnoid yang merupakan hasil
dari melemahnya dinding pembuluh darah (yaitu, aneurisma) yang disebabkan oleh
trauma, infeksi, dan hipertensi.Kebocoran dari aneurisma menyebabkan kontak
langsung darah dengan otak yang mengganggu jaringan dan sel-sel otak.AVM
disebabkan cedera traumatis dan hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan

15
perdarahan yang merusak intraserebral.Peningkatan tekanan darah menyebabkan
bertambah lemahnya arteri-arteri kecil di kranial, selain itu pecahnya dinding
arteri disebabkan keberadaan plak pada dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan arteri sewaktu-waktu kehilangan elastisitasnya sehingga menjadi
rapuh dan tipis serta rentan terjadi cracking.Selain itu, ICH dapat disebabkan dari
hasil reaksi negatif terhadap obat-obatan, seperti antikoagulan, trombolitik, dan
simpatomimetik (Koda Kimble 9th ed. 2008; Smith et al., 2005)

1.2.2 Patofisiologi CVA-ICH


Pecahnya arteri cranial, pada stroke hemoragik selain dapat menyebabkan
vasospasme pembuluh darah sehingga terjadi perubahan kimia seluler, darah sebagai
hasil “arterial rupture” juga mengalami ekstravasasi menuju jaringan otak dan
membentuk massa di lokasi tersebut yang disebut hematoma. Hematoma merusak
jaringan otak dan terus meluas seiring dengan berlanjutnya perdarahan. Bentukan
massa ini menekan dan mendesak jaringan otak sehingga fungsi otak terganggu.
Semakin luas perdarahan, makin besar pula pendesakan terhadap jaringan. Jika lolos
ke bagian ventrikel otak, maka cairan serebrospinal akan dipenuhi oleh darah (Fagan,
S.C and Hess, D.C, 2005).

1.3 Definisi CVA-IVH


Intraventricular Hemorrhage (IVH) yaitu terdapatnya darah hanya dalam
sistem ventrikuler, tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding ventrikel(Oktaviani
dkk., 2011). Sedangkan menurut Arboix (IVH) adalah komplikasi umum dari
parenkim perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (Arboix et al.,
2012).
1.3.1 Patofisiologi CVA-IVH
IVH utama hanya terbatas pada sistem ventrikel, yang timbul dari sumber
intraventrikular atau lesi yang bersebelahan dengan ventrikel. Contohnya
termasuk trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi vaskular, dan tumor,
biasanya melibatkan pleksus koroid (Hinson et al., 2010).

15
1.3.2 Penatalaksaan Terapi CVA-IVH
Infus plasma beku segar yang diikuti oleh vitamin K oral. Protrombin
kompleks dan vitamin K (iv) dapat diberikan jika kelebihan beban volume
(Hinson et al., 2010).

1.4 Definisi CVA-SAH


Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada
tahun 2009 mendefinisikan subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke
perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid
yaitu ruang diantara lapisan dalam dan lapisan tengah dari jaringan selaput otak
(meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam
arteri basal otak.
1.4.1 Etiologi CVA-SAH
• Spontan (primer) subarachnoid diakibatnya oleh pecahnya aneurisma.
• Intrakranial saccular atau berry aneurisma kongenital merupakan
penyebab sekitar 85% pasien.
• sering terjadi dari usia 40-65 (Pancioli, 2002).
1.4.2 Patofisiologi CVA-SAH
CVA SAH sebagian besar disebabkan oleh rupturnya aneurisma serebral.
Segera setelah perdarahan, rongga subarachnoid dipenuhi dengan eritrosit di CSF
(Cerebrospinal fluid). Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil di
otak. Beberapa eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan trabekulae.
Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari ruang
subarachnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan.Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarachnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung
memecah eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al.,
1989). Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang,
sehingga menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya,jaringan otak yang mengalami iskemi/infark akan
menyebabkangangguan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih

15
hidup sering mengalami kelumpuhan pada saraf cranial kiri, paralisis, aphasia,
kerusakan kognitif, kelainan perilaku dan gangguan psikiatrik (American
Association of Neuroscience Nurse, 2009).

1.4.3 Penatalaksaan umum Perdarahan Subarachnoid (Perdossi, 2011)


a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H)
adalah sebagai berikut :
 Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
 Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300dan nyaman, bila
perlu berikan O2 2-3 L/menit
 Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat
kesadaran).
 Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat
sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul
b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih
intensif1
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang
gawat darurat
 Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
 Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial
 Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penialaian status neurologi
3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang.
Hipertensi berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I,
Level of evidance B).
Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat disarankan dalam rangka
pencegahan perdarahan ulang pada PSA. (lihat BAB V.A Penatalaksanaan
Tekanan Darah Pada Stroke Akut)
b. Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).

15
c. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian
dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya disarankan
72 jam) untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis
tertentu. Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien dengan
koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru, atau
trombosis vena dalam. Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien dengan
risiko rendah terhadap terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan penundaan
operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan tingginya
angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak menguntungkan pada
hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi dengan menggunakan
kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan lain untuk mengurangi vasospasme
perlu dilakukan (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan
ulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance A).
e. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih
lanjut masih diperlukan (AHA/ASA, ClassIV-V, Level of evidance C).

15
2.1 Laporan Kasus
Inisial Pasien : Ny S. Berat Badan : -

Umur : 52 tahun Tinggi Badan : -

Keluhan utama Pasien mengalami nyeri kepala sejak 4 hari yang lalu
disertai muntah. Awalnya dirawat Sp.PD. Nyeri kepala
semakin terasa berat sehingga dikonsulkan ke Sp.S dan
disarankan CT scan. Terdapat lemah setengah badan
kanan dan merot. Pasien juga mengeluh tidak bisa BAB
selama 3 hari. Pasien adalah seorang pedagang di pasar.
Diet garam + lemak.

Diagnosa CVA ICH + IVH + SAH, Hipertensi st II.

Riwayat Penyakit Hipertensi

Riwayat Pengobatan

 Pasien merupakan rujujan dari RSU Prasetya Husada. Obat-obatan dari RS


sebelumnya yaitu: Inj. Citicolin 3x250mg, Captopril 3x25mg, Adalat
OROS 1x30mg, Inj. Ondansentron 3x4mg, Inj. Antrain.
 Pernah mengonsumsi obat HT tetapi lupa namanya

Alergi : Tidak ada

Kepatuhan : Tidak patuh

Obat – obatan Tradisional

Minum jamu kunir dan kencur setiap hari

16
Catatan perkembangan Pasien

Hari Ke- Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi

1 • Pasien kesadaran baik namun mengeluh lemah dan nyeri kepala.


Suhu tubuh normal, nadi normal, RR 26 x/menit, dan TD 190/100 mmHg.
Mengalami elektrolit imbalance yang dapat dilihat dari nilai:
Na = 127 mmol/L sehingga diberikan terapi NS 0,9% 20 tpm
K = 2,30 mmol/L sehingga diberikan terapi KSR 2x600 mg dan drip KCl
25 meq
• TD = 190/100 mmHg  diberikan terapi valsartan 1x160 mg dan
nikardipin drip0,5-2 mg/kgBB/jam.
• Mendapat terapi dengan pemberian manitol diawali dengan loading dose 200
cc kemudian pada hari ke-1 di IRD diberikan manitol 6x100 ccuntuk
mengatasi edema otak dan menurunkan tekanan intracranial.
2 • Dilakukan konsultasi ke Sp. Mata, dengan hasil sbb :
Visus Ods = > 20/60 Bp
Palpebra Ods : spasme - , edema –
Konjungtiva Ods :
OD jar. Fibrovaskular @ temporal
OS jar. Fibrovaskular @ nasal dan temporal  diberikan terapi cendolyteers
ED.
• K= 2,71 mmol/L  Diberikan tambahan terapi KN 2 dengan dosis 12 tpm
dan KSR 2x600 mg target Kalium >3,5 mmol/L
• TD mengalami kenaikan dari 190/100 mmHg menjadi 218/112 mmHg
terapi valsartan 1x160 mg dan nikardipin drip 0,5-2 mg/kgBB/jam.
• Terapi mannitol diturunkan dosis menjadi 3x100 cc
3 • TD mengalami perbaikan dari 218/112 menjadi 180/110 mmHg  dosis
valsartan dinaikkan menjadi 0-80 mg-160 mg dan terapi nikardipin drip 0,5-
2 mg/kgBB/jam dilanjutkan.
• Pasien mengalami perbaikan kalium dari 2,30 menjadi 2,55 mmol/L
(masih hipokalemia)  terapi KN2 10 tpm dan KSR 2x600 mg dilanjutkan.
Hari Ke- Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi

16
4 • TD masih belum mengalami perbaikan dari 180/110 mmHg menjadi
190/120 mmHg  dosis valsartan dinaikkan menjadi 0-160 mg-160 mg dan
terapi nikardipin drip 0,5-2 mg/kgBB/jam dilanjutkan.
• Terapi KN2 10 tpm dan KSR 2x600 mg dilanjutkan hingga serum kalium
mengalami perbaikan.
• Terapi mannitol diturunkan dosis menjadi 2x100 cc.
5 • TD mengalami perbaikan dari 190/120 mmHg menjadi 200/100 mmHg 
Terapi valsartan diteruskan dan terapi nikardipin drip 0,5-2 mg/kgBB/jam
dilanjutkan.
• Terapi KN2 10 tpm dan KSR 2x600 mg dilanjutkan hingga serum kalium
mengalami perbaikan.
• Terapi mannitol diturunkan dosis menjadi 1x100 cc.
6 • TD belum mengalami perbaikan dari 200/100 mmHg menjadi TD 200/120
mmHg  Ditambah terapi spironolakton 2x25 mg, valsartan 0-160mg-
160mg, terapi nikardipin drip 0,5-2 mg/kgBB/jam dan amlodipin 1x10 mg.
• Karena pasien tidak dapat BAB selama 3 hariDitambahkan terapi
lactulosa
• Terapi KN2 10 tpm dan KSR 2x600 mg dilanjutkan hingga serum kalium
mengalami perbaikan.
• Terapi mannitol dihentikan.
7 • TD mengalami perbaikan dari 200/120 mmHg menjadi 140/100 mmHg 
terapi spironolakton 2x25 mg, valsartan 0-160mg-160mg, terapi nikardipin
drip 0,5-2 mg/kgBB/jam dan amlodipin 1x10 mg dilanjutkan.
• Terapi KN2 10 tpm dan KSR 2x600 mg dilanjutkan hingga serum kalium
mengalami perbaikan.
8 • TD mengalami perbaikan dari 140/100 mmHg menjadi 135/85 mmHg 
terapi valsartan 0-80mg-160mg, spironolakton 2x25 mg dan amlodipin 1x10
mg dilanjutkan  Monitoring TD.
• Kalium mengalami perbaikan dari 2,55 mmol/L menjadi 3,42 mmol/L 
Terapi KSR 2x600 mg dilanjutkan  Monitoring kalium.
Hari Ke- Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi

16
9 • TD masih belum stabilyaitu 150/100 mmHg sehingga  terapi valsartan 0-
80mg-160mg, spironolakton 2x25 mg dan amlodipin 1x10 mg dilanjutkan.
• Kalium mengalami perbaikan  Terapi KSR 2x600 mg dilanjutkan.
• Pasien mengeluh mual, muntah  Diberikan terapi inj. Omeprazole.
10 • TD = 130/90 mmHg  terapi valsartan 0-80mg-160mg, spironolakton
2x25 mg dan amlodipin 1x10 mg dilanjutkan
• Pasien mengeluh mual, muntah  diberikan terapi omeprazole peroral.

16
Tanda-Tanda Vital

Tanda-tanda Klinik

1
Data Laboratorium

16
16
Pemeriksaan Penunjang Lainnya

Tanggal Laporan/tindakan Keterangan

12/2 Pemeriksaan CT scan • ICH akut pada periventrikel lateral


kanan volume ± 2,7cc
• IVH mengisi ventrikel lateral kanan
• Infark lacunar kronis pada nucleus
lentiformis kanan kiri, caudatus kiri,
thalamus kanan
• Senile brain atropy.
• Artherosclerosis arteri carotis
interna kiri.
Foto Thorax Cardiomegali disertai aorta dilatasi

16
Profil Pengobatan

16
16
Assessment dan Plan
Problem Regimen dosis
Terapi Analisis Monitoring
Medik Pustaka Diberikan
- 34 tpm dan 20 Sudah tepat untuk menjaga Serum elektrolit
NS
tpm kondisi hemodinamik
- Oksigen diberi untuk
menghindari terjadinya
2-4 lpm, hari ke
O2 hipoksia, menjaga aliran Kondisi umum, RR
8:6 lpm
oksigen ke otak sehingga
peredaran darahnya lancar
0,25 – 0,50 g/kgBB, Sudah tepat, karena manitol Monitoring serum
Stroke ICH +
selama >20 menit, merupakan agen osmotik, yang elektrolit, serum
IVH + SAH
diulangi setiap 4 - 6x100 cc, digunakan untuk menurunkan ureum & kreatinin,
Mannitol 6 jam (PERDOSSI, tappering down tekanan intrakranial. tanda-tanda
2011) ad 1x100 cc peningkatan TIK
(mual, muntah,
GCS, nyeri kepala)
Sudah tepat, terapi diberikan Perburukan sakit
Nimodipin 60 mg setiap 6 jam
4x60 mg untuk memberikan kepala, penurunan
(CCB) (PERDOSSI, 2011)
memperbaiki defisit neurologi tingkat kesadaran

17
yang ditimbulkan oleh secara gradual,
vasospasme hemiparesis &
disfacia.
Sudah tepat, terapi diberikan Tanda-tanda
250 - 375 mg sehari untuk menurunkan peningkatan TIK
Asetazolamid 3x250 mg
4 kali (Tatro, 2003) tek.intrakranial, dapat (mual, muntah,
mengurangi edem serebri GCS, nyeri kepala).
Regimen Dosis
Problem Medik Terapi Analisis Monitoring
Pustaka Diberikan
Sudah tepat karena citikolin
100 – 200 mg, 2-3 merupakan neuroprotektan,
Kondisi umum, TD
ICH Citicolin kali sehari 3x250 mg dapat juga menaikkan konsumsi
dan GCS
(PERDOSSI, 2004) oksigen dari otak serta dapat
memperbaiki metabolisme otak.
5 - 15 mg/jam Sudah tepat untuk menurunkan
Nicardipin Monitoring TD, efek
(Schwinghammer, 0,06-0,5/ kg BB tekanan darah secara bertahap
(CCB) samping penurunan
2009) pada HT emergency
Hipertensi serum elektrolit
80 – 320 mg/hari Sudah tepat, terapi diberikan
Valsartan (spironolakton dan
(Schwinghammer, 0-0-160 mg untuk membantu menurunkan
(CCB) nikardipin)
2009) tekanan darah

17
2,5 – 10 mg/hari
Amlodipin
(Schwinghammer, 10-0-0 mg
(CCB)
2009)
25 – 5 mg/hari, Sudah tepat, terapi diberikan
Spironolakton
frekuensi pemberian untuk menghambat aldosteron
(Diuretik
1-2x/hari 2x25 mg sehingga dapat mengurangi edem
hemat
(Schwinghammer, serebri dan menurunkan tekanan
kalium)
2009) darah
30 mg IV (Tatro, Nyeri kepala, GI
Ketorolak 3x30 mg Pemberian paracetamol dan
2003) bleeding, ureum,
ketorolac sudah tepat untuk
Nyeri kepala Paracetamol 500 mg empat kali Kreatinin, SGOT,
mengatasi nyeri .
dalam sehari 4x500 mg SGPT, frekuensi
(Sweetman, 2009) nyeri
/ skala nyeri
Problem Regimen Dosis
Terapi Analisis Monitoring
Medik Pustaka Diberikan
Ceftriaxon sebagai AB Kondisi umum, GCS,
1 – 2 g/hari profilaksis karena salah satu suhu, LED, RR, HR,
Antibiotika Ceftriakson (maksimum 4 g/ hari) 2x1 g parameter infeksi (WBC) pasien WBC / leukosit,
(Tatro, 2003) meningkat / melebihi normal. keton, nitrit, nilai
Potensi infeksi nosokomial juga hitung bakteri

17
cukup besar mengingat adanya
alat kesehatan yang terpasang di
badan pasien.
C lyteer Sudah tepat untuk membasahi
(Natrium, mata agar mata tidak kering Keadaan klinis mata
Pterygium kalium dengan - 6 x1 ODS karena kondisi pterygium pasien ada atau tidaknya
Benzalkonium menyebabkan cairan mata serumen mata
Cl) berkurang
Hipokalemia KCl 25 mEq - 20 tpm
2 – 3x sehari 1 – 2
Sudah tepat untuk mengatasi
KSR tablet salut SR 600 2x600 mg Kondisi umum, nilai
kondisi hypokalemia
mg K
KN2 (KCl 20
- 12 tpm
mEq)
15 – 30 mL (10 – 20 4x15 mL Monitoring
g laktulosa) sehari; kemudahan BAB,
Sudah tepat karena pasien
boleh ditingkatkan ESO: dehidrasi dan
Laksansia Laktulosa mengeluh tidak dapat BAB
hingga 60 mL/hari diare
selama 3 hari.
(Lacy, 2009)

17
Problem Regimen dosis
Terapi Analisis Monitoring
Medik Pustaka Diberikan
50 mg setiap 6 - 8
Ranitidin 2x50 mg Monitoring mual dan
jam (Tatro, 2003) sudah tepat karena digunakan
muntah, nyeri
IV: 1x40 mg untuk pengatasan GI
Profilaksis Oral: 40 mg sehari lambung
(hari 8) disturbance (mual dan muntah)
Peptic Ulcer untuk 4 – 8 minggu; ESO potensial:
Omeprazol PO: 1x40 mg karena peningkatan asam
iv: 40 mg injeksi per pusing, nyeri pada
(hari 9); 2x20 lambung.
hari (Lacy, 2009) perut
mg (hari 10)

17
ANALISA DRP

Kategori Jenis Rekomendasi atau


Hari Ke- Obat Problem
DRP DRP Usulan
2 di IRD Manitol Efek Potensial Elektrolit imbalance Monitoring serum
sampai Asetazolamid Samping dengan kondisi elektrolit, tanda-
perawatan Obat pasien yang tanda ada atau
hari ke 10 mengalami tidaknya
hipokalemia peningkatan tekanan
intrakranial (mual
muntah, GCS, nyeri
kepala)
1 Fenitoin Butuh Potensial Pada pasien stroke Diberikan
terapi terdapat profilaksis anti
tambahan kemungkinan kejang yaitu fenitoin
terjadinya kejang. 300mg/hari
Dan keadaan tersebut (PERDOSSI, 2011).
diperparah dengan
kondisi pasien yang
hipertensi. Sebab
hipertensi bersama
kejang akan
meningkatkan resiko
rebleeding sehingga
dibutuhkan profilaks
terapi secara rutin
untuk mencegah
kejang (PERDOSSI,
2011).

17
Kategori Jenis Rekomendasi atau
Hari Ke- Obat Problem
DRP DRP Usulan
6 Nikardipin Efek Potensial Pasien menggunakan Monitoring TD
Valsartan samping kombinasi obat pasien, nikardipin
Spironolakton Obat antihipertensi yaitu hanya diberikan saat
Amlodipin nikardipin, valsartan, TD pasien >
amlodipin, 180/110mmHg
spironolakton
potensi
menimbulkan
hipotensi.
6 Valsartan Efek Potensial Valsartan dan Monitoring kadar
Spironolakton Samping Spironolakton kalium secara
Obat berpotensi sebabkan berkala
hiperkalemia
6 Valsartan Interaksi Potensial Kondisi pasien Moitoring kadar
Spironolakton obat hypokalemia dengan kalium dalam darah
koreksi Valsartan,
Spironolakton, dan
KSR yang berpotensi
sebabkan
hipokalemia

17
Konseling

Obat Materi Konseling

Nimodipin Digunakan untuk mencegah vasospasme dari pendarahan

(4x60 mg) subarachnoid. Diminum empat kali sehari.

Digunakan untuk mengurangi edema cerebri (penumpukan


Acetazolamid
cairan di otak) pada pasien. Diminum sehari tiga kali setelah
(3x25 mg)
makan

Digunakan untuk mengatasi kondisi hipokalemia (Kadar


KSR kalium tubuh yang rendah). Diminum sehari dua kali satu tablet

(2x600 mg) setelah makan. Obat tidak boleh digerus / dikunyah /


dipatahkan.

Parasetamol Digunakan untuk mengurangi rasa nyeri dan mencegah

(4x500 mg) terjadinya demam. Diminum sehari tiga kali setelah makan.

Digunakan untuk mengontrol tekanan darah pasien agar


Valsartan
tercapai target terapi. Diminum pada malam hari satu tablet
(0-80-160 mg)
sebelum tidur.

Digunakan untuk mengontrol tekanan darah pasien agar


Spironolakton
tercapai target terapi. Diminum sehari dua kali satu tablet
(2x25 mg)
sesudah makan

Digunakan untuk mengontrol tekanan darah pasien agar


Amlodipin
tercapai target terapi. Diminum pagi hari satu tablet sesudah
(10-0-0 mg)
makan

Laktulosa Digunakan untuk mengatasi kesulitan BAB pasien. Diminum

(0-CI) sehari tiga kali satu sendok takar (15 ml)

17
BAB III

PEMBAHASAN

Ny. S (52 th) mengalami nyeri kepala sejak 4 hari yang lalu disertai
muntah. Awalnya dirawat Sp.PD. Nyeri kepala semakin terasa berat sehingga
dikonsulkan ke Sp.S dan disarankan CT scan. Terdapat lemah setengah badan
kanan dan merot. Pasien adalah seorang pedagang di pasar. Diet garam+lemak.
dari RS sebelumnya : Inj. Citicolin 3x250mg, Captopril 3x25mg, Adalat 1x30mg,
Inj. Ondansentron 3x4mg, Inj. Antrain. Pernah mengonsumsi obat HT tetapi lupa
namanya. Pasien memiliki kebiasaan minum jamu kunir dan kencur setiap hari.
Menurut data subjektif tersebut, dapat dilihat bahwa ada beberapa faktor
risiko yang menyebabkan pasien mengalami stroke diantaranya jenis kelamin,
usia, diit garam, dan hipertensi uncontrol. Stroke dapat meningkat pada pasien
perempuan saat masa transisi menopause yang diakibatkan oleh penurunan
konsentrasi estrogen endogen sebanyak 60%. Selain itu, kejadian stroke
meningkat bertambahnya usia disebabkan penurunan elastisitas arteri sehingga
pembuluh darah akan berangsur-angsur menyempit dan menjadi kaku (Lisabeth
dan Bushnell, 2012). Riwayat penyakit pasien menunjukkan bahwa faktor risiko
terbanyak adalah hipertensi sebesar 69,61%. Bila tekanan darah meningkat cukup
tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun, akan menyebabkan hialinisasi
pada lapisan otot pembuluh serebral. Akibatnya, diameter lumen pembuluh darah
tersebut akan menjadi tetap. Hal ini menyebabkan pembuluh darah serebral tidak
dapat berdilatasi atau berkontriksi dengan bebas untuk mengatasi fluktuasi dari
tekanan darah sistemik. Bila terjadi penurunan tekanan darah sistemik maka
tekanan perfusi ke jaringan otak tidak adekuat. Hal ini akan mengakibatkan
iskemik serebral. Pada hipertensi kronis dapat terjadi mikroaneurisma dan hal
tersebut merupakan salah satu penyebab terjadinya disfungsi endotelial dari
pembuluh darah yang akan mempercepat terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis
memegang peranan yang penting untuk terjadinya stroke infark (Budiarto, 2002).
Pengamatan terhadap faktor risiko stroke yang ditinjau dari lifestyle pasien
menunjukkan bahwa faktor risiko terbanyak adalah kebiasaan konsumsi garam
berpengaruh pada risiko terjadinya hipertensi yang merupakan faktor risiko utama

1
terjadinya stroke. Kandungan natrium dalam garam memiliki hubungan yang
sebanding dengan timbulnya hipertensi. Natrium dalam garam bersifat menahan
cairan sehingga dapat menimbulkan retensi cairan dan peningkatan tekanan darah.
Semakin banyak jumlah natrium dalam tubuh, maka akan terjadi peningkatan
volume plasma, curah jantung, dan tekanan darah (Strazullo dkk., 2009)
Pasien ini diagnosa CVA ICH + IVH + SAH dan HT st II. Penegakkan
diagnosa ini dilakuan dengan cara CT-Scan. Selanjutnya dilihat dari stabilisasi
jalan nafas dan pernafasan pasien, dimana pada hari perawatan ke 1, ke 3, ke 8,
dan ke 9 nilainya diatas rentang normal yaitu 26, 24, 28, 26 x / menit dan hari ke
10 dibawah rentang normal yaitu 18 x / menit. Pemberian cairan kristaloid yaitu
NS 0,9% untuk menjaga keseimbangan hemodinamik diberikan pada hari
perawatan ke 1 – ke 10. Pada pasien ini mengalami hipokalemi yaitu serum
kalium =2,4 sehingga diberikan terapi KCl 25meq kemudiaan dilanjutkan
maintenance dengan KSR 2x600mg per oral dan KN2 secara IV yang bertujuan
untuk koreksi agar mencapai kadar serum kalium normal, KSR juga untuk
keseimbangan cairan dalam tubuh pasien.
Selain cairan yang diberikan, pasien mendapatkan nimodipin 4x60mg
merupakan golongan CCB, diberikan mulai hari perawatan ke 1 – ke 10 untuk
mencegah komplikasi mayor dari perdarahan subarachnoid dan merupakan obat
utama untuk vasospasme. Penggunaan antihipertensi valsartan diberikan untuk
maintenance tekanan darah pasien (dosis menyesuaikan kondisi TD pasien).
Amlodipin 1x10mg dan spironolakton 2x25mg diberikan pada hari perawatan ke-
6 hingga ke-10 saat target tekanan darah mengalami peningkatan diberikan secara
kombinasi per oral untuk mengontrol tekanan darah agar mencapai target terapi.
Pemberian antihipertensi drip nicardipin diberikan pada masa akut dan TDS >
180mmHg. Pasien mendapatkan terapi antihipertensi lebih dari satu dikarenakan
tekanan darah pasien yang belum terkontrol.
Selain itu pasien mendapatkan ketorolak merupakan analgesikyang
diindikasikan untuk keluhan nyeri kepala pasien dan pemberian parasetamol
4x500mg diindikasikan sebagai analgesik sekaligus profilaksis jika pasien terjadi
demam manifestasi dari nyeri kepala yang dirasakan. Kombinasi dua analgesik
pada pasien stroke disebabkan karena nyeri kepala hebat yang dirasakan pasien

1
dikarenakan SAH. Sedangkan, kombinasi ranitidin 2x50mg dan omeprazole
1x40mg digunakan untuk pengatasan GI disturbance (mual dan muntah) karena
peningkatan asam lambung.
Citicolin 3x250mg diberikan selama masa perawatan merupakan
neuroprotektan yang digunakan pada fase akut untuk ketidaksadaran yang
disebabkan trauma serebral. Pada pasien ini, untuk menurunkan tekanan
intrakranialnya diberikan terapi diuretik.Manitol 20% merupakan antidiuretik
yang paling sering digunakan.Syarat pasien yang bisa mendapat terapi manitol
adalah memiliki nilai osmolalitas yang kecil dari 300-320 mOsm. Adapaun cara
perhitungan osmolalitas adalah:
Osmolalitas darah = 2 Na + GDS/18 + Ureum/6
= 2 (135 ) + 117/18 + 26,20/6
= 280,87 mOsm ( < 300 mOsm )
Karena nilai osmolalitas pasien ini lebih kecil dari 300 mOsm maka pasien ini
memenuhi syarat untuk diberikan manitol.Manitol merupakan agen osmotik, yang
digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial.Saat diberikan secara
parenteral, manitol meningkatkan tekanan osmosis plasma sehingga cairan keluar
dari jaringan tubuh dan menghasilkan diuretik osmosis.Manitol tidak boleh
diberikan pada pasien dengan pendarahan intrakranial dan juga harus dihindari
pada pasien yang dehidrasi.Pasien yang diberikan manitol harus diperhatikan
tanda-tanda ketidakseimbangan serum elektrolit.Untuk itu, keseimbangan cairan
dan elektrolit pasien harus selalu dicek karena risiko hiperosmolaritas.
Pasien ini diberikan mannitol 20%, secara tapering off. Tujuan pemberian
tapering off adalah untuk menghindari terjadinya pergeseran cairan secara cepat
yang bisa menyebabkan udem pulmonary dan CHF; dan untuk mencegah
terjadinya akumulasi manitol dalam otak yang dapat menyebabkan kenaikan
intrakranial. Sedangkan Asetazolamid 3x250 diindikasikan untuk menurunkan
TIK dan edema cerebri. Ceftriaxon sebagai antibiotik profilaksis karena salah satu
parameter infeksi (WBC) pasien meningkat / melebihi normal. Potensi infeksi
nosokomial juga cukup besar mengingat adanya alat kesehatan yang terpasang di
badan pasien. Pasien mendapat terapi laktulosa karena pasien mengeluh tidak
BAB selama 3 hari namun baru diberikan pada hari perawatan ke-6. Selain itu

1
pasien juga mendapat terapi cendo lyteers, karena pasien didiagnosa pterigium.
Cendo lyteers digunakan untuk membasahi mata pasien karena pada kondisi
pterigium menyebabkan cairan matanya berkurang sehingga mudah kering dan
menjadi perih.
Dalam masa pengobatan ini, dirasa perlu diberikannya terapi tambahan
untuk mencegah terjadinya kejang dengan pemberian fenitoin dengan loading
dose sebesar 15-20 mg/kg BB dengan kecepatan maksimum 50mg / menit karena
pada kondisi stroke sebaiknya dihindari adanya kemungkinan kejang yang dapat
menimbulkan kerusakan terhadap sel-sel saraf otak, kemungkinan terjadinya
hipoksia, dan peningkatan TIK (PERDOSSI, 2011)
Pola terapi yang diberikan telah sesuai dengan guideline perdossi 2011 dan
AHA/ASA 2013 dapat dilihat dari outcomes pada hari ke-10 bahwa pasien
mengalami perbaikan dibandingkan kondisi sebelumnya sehingga pasien dapat
dipindahkan ke ruang perawatan maintenance.

18
KESIMPULAN

1. Kondisi pasien dihari terakhir (hari ke-10) menunjukkan perbaikan


dibandingkan kondisi sebelumnya
2. Pola terapi sudah sesuai dengan guideline PERDOSSI 2011
3. DRP yang dialami pasien diantaranya :
• Obat tidak digunakan, obat tidak diberikan (fenitoin) belum diberikan
• ESO non alergi (Nicardipin, Valsartan, Spironolakton, Amlodipin) 
teratasi
• ESO non alergi (Manitol, asetazolamid)  terpantau
• ESO non alergi (spironolakton, valsartan)  terpantau
• Interaksi obat (Spironolakton, valsartan)  terpantau

18
DAFTAR PUSTAKA

AHA/ASA, 2014. Guidelines for the Prevention of Stroke in Patients With Stroke and
Transient Ischemic Attack . American Heart Asosiation Inc.
American Association of Neuroscience Nurses(AANN). 2009. Care of the patient
With Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage.www.aann.org.
Arboix A., Eroles, LG., Vicens, A., Oliveres, M., Massons, J., 2012. Spontaneous
Primary Intraventricular Hemorrhage:Clinical Features and Early
Outcome. International Scholarly Research NetworkISRN Neurology
Volume 2012, Article ID 498303,7 pages doi:10.5402/2012/498303
Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Yee, G. C., Matzke, G. R., Wells, B. G., Posey, L. M.
2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. New York: Mc Graw
Hill Companies. Inc
Fagan and Hess, 2008. Stroke. In: J.T. Dipiro, R.L. Talbert, G.C Yee, G.R.
Matzke, B.G. Wells, and L.M. Posey (Eds.). Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach. Ed. 7th, New York: McGraw-Hill Companies,
Inc.
Fagan, SC and Hess, DC., 2008. Stroke. In: J.T. Dipiro, RL., Talbert, GC. Yee, GR.,
Matzke, BG., Wells and LM Posey (Eds). Pharmacotherapy: A
Pathophysiologic Approach, Ed. 7t, USA: McGraw-Hill Companies, Inc.
Hinson, HE., Hanley DF., Ziai WC., 2010. NIH Public Access: Management of
Intraventricular Hemorrhage. Curr Neurol Neurosci Rep. 2010 March ;
10(2): 73–82. doi:10.1007/s11910-010-0086-6
Hinson, HE., Hanley, DF., Ziai, WC., 2010. Management of Intraventricular
Hemorrhage.Curr Neurolsci Rep 10(2): 73-82
Jauch, EC., Cucchiara B., Adeoye, O., Meurer, W., 2010. Part 11: Adult Stroke.
American Heart Association Guideline for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circullation. 122 :5818-5828
Kissela, B.M., Sauerbeck, L., Woo, D., Khoury, J., Carrozella, J., Pancioli, A., Jauch.
E., Moomaw, CJ., Shukla, R., Gebel, J., Fontaine, R., Broederick, J., 2002.
Subarachnoid hemorrhage: a preventable disease with a heritable component.
Stroke 33(5):1321-6.

18
Koda-Kimble., Anne, M., Young., Yee, L., Alldredge., Brian, K., Corelli., Robin
L., Guglielmo, Joseph, B., Kradjan, Wayne, A., Williams, Bradley, R. 2013.
Applied Therapeutics: The Clinical Use Of Drugs, 10 thedition. Lippincott
Williams & Wilkins, USA.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Lanco, L. L., 2009. Drug Information
Handbook, 17th Edition. Ohio : Lexi-Comp.
Oktaviani, D., Estiasari, R., Kurniawan, M., Kandian D., 2011. Laporan Kasus:
Pendarahan Intraventikuler. Indon Med Assoc. 61 (5) : 210-211
Price, S & Wilson, L, 2005. Patofisiologi: KonsepKlinis Proses-Proses Penyakit
Edisi 6. EGC :Jakarta.
Smith, W.S., Johnston, S.C., Easton, J.D., 2005. Cerebrovascular Disease. In:
Kasper, D.L, Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J.L., Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th Edition.
USA: McGraw-Hil

18
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Abses Hepar


1.1.1. Batasan Klinik
Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena
infeksi bakteri, parasit, maupun jamur yang bersumber dari sistem
gastrointestinal, ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus
di dalam parenkim hati (Simmons and Friedman, 2015).
Secara umum, abses hepar dibagi menjadi dua, yaitu abses hepar amoebik
dan abses hepar piogenik. Total angka kejadian abses hepar jarang terjadi.
Kejadian tahunan adalah sekitar 15-20 kasus per 100.000 populasi dan tiga per
empat kasus abses hepar di negara maju adalah abses hepar piogenik, sedangkan
di negara yang sedang berkembang lebih banyak ditemukan abses hepar amoeba
(Ong et al.,2003). Faktor resiko pada abses hepar adalah konsumsi alkohol, usia
lebih dari 50 tahun, penyakit saluran empedu, ada riwayat diabetes mellitus,
penduduk di daerah endemik ataupun wisatawan yang ke daerah endemik dimana
laki-laki tersering dibanding perempuan (Simmons and Friedman, 2015).

1.1.2 Klasifikasi
Terdapat dua jenis abses hepar yaitu abses hepar piogenik dan abses hepar
amoeba (Simmons and Friedman, 2015).

Tabel 1.1 Klasifikasi Abses hepar (Simmons and Friedman, 2015)

18
1.1.3 Etiologi Abses Hepar
Pada umumnya penyebab abses hepar merupakan infeksi
polimikrobial (BMJ, 2015). Abses Hepar Amoeba (AHA) merupakan
komplikasi amebiasis/amoeba ekstraintestinal yang sering terjadi di daerah
tropik/subtropik seperti Indonesia. Sedangkan Abses Hepar Piogenik
(AHP) disebabkan oleh infeksi bakteri flora normal usus, bakteri gram
negatif, dan bakteri anaerob (Nusi, 2011).

Tabel 1.2 Etiologi Abses Hepar


Abses Hepar Amoeba Abses Hepar Piogenik
(AHA) (AHP)

 Bakteri flora normal


usus seperti E.coli,
Klabsiella sp.,
Amebiasis/ amoeba Streptococcus faecalis
Mikroorganisme ekstraintestinal seperti  Bakteri gram negatif
Etamoeba histolytica (Straphylococcus
aureus)
 Bakteri anaerob
(Clostridium)

18
1.1.4 Patofisiologi Abses Hepar
A. Abses Hepar Piogenik (AHP)
Mikroorganisme dapat masuk ke hati melalui sirkulasi portal,
sirkulasi sistemik, maupun stasis empedu akibat obstruksi duktur bilier.
Penurunan daya tahan tubuh juga memegang peran penting terjadinya
abses hepar (Prianti M. et al., 2005).
Abses Hepar Piogenik dapat terjadi melalui infeksi yang berasal dari
(BMJ, 2015):
a. Vena Porta
Yaitu infeksi pelvis atau gastrointestinal yang dapat menyebabkan
emboli septik.
b. Saluran Empedu
Merupakan sumber infeksi yang paling sering terjadi. Kolangitis
septik dapat menyebabkan penyumbatan saluran empedu seperti
halnya batu empedu, tumor, kanker, striktura saluran empedu,
atapun anomali saluran empedu kongenital.
c. Septisemia atau bakterisemia
Akibat adanya infeksi di organ lain yang menyebar ke organ hepar.
B.Abses Hepar Amoeba (AHA)
Parasit ditularkan melalui jalur fekal-oral dengan menelan
minuman atau makanan yang mengandung kista Etamoeba histolytica.
Bentuk kista yang patogen dapat melewati lambung dan berdisintegrasi
di dalam usus halus, melepaskan trofozoit dan bermigrasi ke kolon.
Selanjutnya trofozoit beragregasi di lapisan mukus usus dan membentuk
kista baru. Lisis dari epitel kolon dipermudah oleh adanya galaktosa dan
N-asetil-D-galaktosamin (Gal/GalNAc)-lektin spesifik yang dimiliki
trofozoit, sehingga menyebabkan neutrofil berkumpul di tempat infasi
tersebut. Ulkus pada epitel kolon merupakan jalur amoeba masuk ke
dalam sistem vena portal dan menyebabkan penyebaran ekstraintestinal
ke peritonium, hati, dan jaringan lain (Prianti M. et al., 2005).

18
Di hepar, amoeba bermultiplikasi dan menutup cabang-cabang
kecil dari vena porta intrahepatik, sehingga menyebabkan nekrosis dan
lisis jaringan hati. Abses mengandung pus steril dan jaringan nekrotik
hati yang encer berwarna coklat kemerahan. AHA biasanya soliter dan
80% kasus terletak di lobus kanan (Prianti M. et al., 2005).

Gambar 1.1 Patofisiologi Abses Hepar Amoeba (AHA) (Gitlin N., Strauss R.,
1995)

18
Berikut perbedaan gambaran klinis Abses Hepar Amoeba (AHA) dan Abses
Hepar Piogenik (AHP) :
Tabel 1.3 Perbedaan gambaran klinis AHA dan AHP (Nusi, 2011).
Abses Hepar Piogenik (AHP) Abses Hepar Amoeba (AHA)
Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Laki-laki = Perempuan Laki-laki > Perempuan
Demografi
Usia Usia
50-70 Tahun 20-40 Tahun
 Infeksi bakteri akut,
khususnya intra Berada di lingkungan
Faktor Resiko Mayor abdominal endemik
 Obstruksi bilier
 Diabetes Mellitus
Akut

Nyeri perut regio kuadran Demam tinggi, menggigil,


kanan atas, demam, nyeri abdomen, sepsis
Gejala Klinis menggigil, lemah, malaise, Sub Akut
penurunan berat badan, diare,
batuk. Penurunan berat badan,
demam, nyeri abdomen
(relatif jarang)
Hepatomegali disertai nyeri Nyeri tekan perut regio kanan
Tanda Klinis tekan, massa abdomen, atas
ikterus
 Lekositosis  Serologi amoeba (+) (70-
 Anemia 95%)
 Peningkatan enzim hepar  Eosinofilia (-)
(alkali fosfatase melenihi  Peningkatan alkali
Laboraturium
aminotransferase) fosfatase
 Peningkatan bilirubin  Aminotransferase relatif
 Hipoalbumin normal
 Kultur darah (+) (50-60%)

1.1.5 Manifestasi Klinik


Pada awal perjalanan penyakit, gejala klinis seringkali tidak spesifik.
Gambaran klasik abses hati adalah nyeri perut terutama kuadran kanan atas

18
(92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%), penurunan berat badan
(42%), muntah (43%), ikterus (21%). Pasien dapat merasakan gejala sejak
beberapa hari hingga beberapa minggu sebelumnya (Prianti dkk, 2005).

1.1.6 Manajemen Terapi


Prinsip manajemen terapi abses hepar adalah penggunaan antibiotik.
Antibiotik spektrum luas menjadi pilihan utama ketika abses hepar mulai
dicurigai, yaitu dengan menggunakan antibiotik yang dapat meng-cover bakteri
gram positif, gram negatif, dan bakteri anaerob.
Tabel 1.4 Terapi Primer dan Sekunder Abses hepar Piogenik (Simmons and
Friedman, 2015)
Primary Options Secondary Options

 Piperacillin/Tazobactam 3,375 g  Vancomicin HCl 15-20


IV tiap 6 jam, dimana terdiri dari 3 mg/kg secara IV tiap 8-12
g Piperacillin dan 0,375 jam dan Gentamisin 5-7
Tazobactam mg/kg/hari dosis awal secara
 Imipenem/Cilastatin 500 mg IV IV dan Metronidazol 500 mg
tiap 6 jam IV tiap 8 jam
 Meropenem 1-2 g IV tiap 8 jam  Vancomicin HCl 15-20
 Doripenem 500 mg IV tiap 8 jam mg/kg IV tiap 8-12 jam dan
 Ertapenem 1 g IV tiap 24 jam Levofloxacin 500-750 mg IV
 Cefepim 2 g IV tiap 8-12 jam dan tiap 24 jam dan Metronidazol
Metronidazol 500 mg IV tiap 8 500 mg IV tiap 8 jam
jam  Vancomicin HCl 15-20
 Levofloxacin 500-750 mg IV tiap mg/kg IV tiap 8-12 jam dan
24 jam dan Metronidazol 500 mg Ciprofloxacin 400 mg IV tiap
IV tiap 8 jam 12 jam dan Metronidazol 500
 Ciprofloxacin 400 mg IV tiap 12 mg IV tiap 8 jam
jam dan Metronidazol 500 mg IV
tiap 8 jam

19
Tabel 1.5 Terapi Primer Abses hepar Amoeba (Simmons and Friedman, 2015)
Primary Options

Nitroimidazole secara per oral. Namun jika pasien tidak dapat menggunakan obat secara oral dapat dig
Metronidazole 500-750 mg per oral sehari tiga kali atau 500 mg IV tiap 8 jam
Tinidazole 2000 mg per oral sehari satu kali

19
BAB II
FORMAT ASUHAN KEFARMASIAN
LAPORAN KASUS

2.1 Data Demografi dan Kajian Awal Pasien


Pasien : Tn.I BB/TB: 60 Kg/-
Umur/TTL : 35 tahun/22-12-1980
Tgl MRS : 12/03/2016 Alamat : Malang
Ruang : 13 Status : JKN
Apoteker : H, S.Farm., Apt.

Keluhan utama : Nyeri perut dibagian kanan atas dan ulu hati, tidak
bisa BAB sejak 5 hari yang lalu dan mual
Keluhan tambahan : Perut terasa keras, batuk berdahak, tubuh terasa
ditusuk-tusuk
Diagnosis : Multiple Abses Hepar Pyogenic DD Amoebiasis,
Cholecystitis, Efusi Pleura D Sup Empyema, Sepsis,
Splenomegali, Hepatomegali
Riwayat keluarga : Jaundice
Riwayat kesehatan : Sebelumnya, pasien mengaku pernah mengalami
nyeri perut bagian kanan atas sebanyak 2 kali
disertai demam.
Riwayat Pengobatan : Ciprofloxacin inf, Antrain, Paracetamol (dari RSI
Gondanglegi, Malang)
Alergi, merokok, alkohol: tidak ada
Catatan : Pasien merupakan rujukan dari RSG, Malang.
Diagnosis masuk RSSA adalah multiple abses hepar.
Awalnya pasien dari IRD, kemudian pindah ke
ruang 13. Sebelumnya, pasien mengaku pernah
mengalami nyeri perut bagian kanan atas sebanyak 2
kali disertai demam. Nyeri perut yang pertama
hilang setelah rutin minum obat yang diberikan
dokter, tetapi pada nyeri perut yang kedua kalinya,
nyeri perut tidak menghilang meskipun telah minum
obat yang pada akhirnya dibawa ke rumah sakit.
Pasien menjalani operasi eksplorasi laparatomi
untuk mengeluarkan pus yang ada di heparnya pada
tanggal 17 Maret 2016 pukul 10.40 WIB.

19
2.2 Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Problem/Kejadian/Tindakan Klinisi
12/3/2016 Pasien datang dengan keluhan nyeri perut dibagian atas dengan
dan ulu hati dengan skala nyeri 6, perut terasa keras, mual, tidak
bisa BAB sejak 2 hari yang lalu, padahal sebelumnya mengalami
diare, dan batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar. Pasien
kesulitan mengatur napas ketika berbicara tertalu lama. Setiap
malam, pasien merasa badannya terasa seperti tertusuk-tusuk. Dan
terlihat perutnya membesar.
13/3/2016 Nyeri perut dibagian atas dan ulu hati mulai berkurang dengan
skala nyeri 4, perut masih terasa keras, mual bertambah parah,
batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar, kesulitan bernapas
saat berbicara, badan terasa tertusuk-tusuk pada malam hari serta
kesulitan BAB, tidak mengalami muntah.
14/3/2016 Nyeri perut berkurang dibagian atas dan ulu hati mulai berkurang
dengan skala nyeri 2, perut terasa keras, batuk berdahak tetapi
dahak tidak bisa keluar, kesulitan bernapas saat berbicara, badan
terasa tertusuk-tusuk pada malam hari serta sudah bisa BAB tetapi
tidak mengalami mual dan muntah.
15/3/2016 Tidak nyeri perut dan ulu hati, tetapi perut masih terasa keras,
batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar, kesulitan bernapas
saat berbicara, badan terasa tertusuk-tusuk pada malam hari dan
tidak mengalami mual dan muntah.
16/3/2016 Perut masih terasa keras, batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa
keluar, kesulitan bernapas saat berbicara, badan terasa tertusuk-
tusuk pada malam hari dan tidak mengalami mual dan muntah.
17/3/2016 Perut masih terasa keras, batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa
keluar, tidak mengalami mual dan muntah dan menjalani operasi
eksplorasi laparatomi jam 10.40
18/3/2016 Perut tidak terasa keras, batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa
keluar, kesulitan mengatur napas mulai berkurang dan tidak
mengalami mual dan muntah, badan tidak terasa seperti tertusuk-
tusuk tetapi BAB lancar.
19/3/2016 batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar, kesulitan mengatur
napas mulai berkurang dan tidak mengalami mual dan muntah,
tetapi BAB lancar.

20/3/2016 batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar, kesulitan mengatur
napas mulai berkurang dan tidak mengalami mual dan muntah,

19
tetapi BAB lancar.
21/3/2016 batuk berdahak tetapi dahak tidak bisa keluar, kesulitan mengatur
napas mulai berkurang dan tidak mengalami mual dan muntah,
tetapi BAB lancar.
22/3/2016 KU pasien baik, jarang batuk dan cukup bisa mengatur nafas, tidak
mengalami mual dan muntah, tetapi BAB lancar.

19
2.3 Dokumen Farmasi Pasien
No RM: 1127xxx Nama/Umur: Tn. I /35 th BB/TB/LPT:
Diagnosa60 kg/- Alamat: Malang
: Multiple Riwayat
Abses Heparalergi : - DD Amoebiasis, Cholecystitis, Efusi Pleura D Su
Pyogenic
: Pasien mengeluh nyeri perut bagian kanan atas dan ulu hati

Alasan MRS
Riwayat penyakit : Nyeri perut dibagian kanan atas disertai demam

Terapi Dosis Rute Tanggal Pemberian


12/3 13/3 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3
NS: KaEnMg3 3:2/24 jam IVFD √
Aminofluid : 1:1 IVFD √ √ √ √
KaEnMg3 1:2 IVFD √ √
Asering : 1:1 IVFD √
Aminofluid 1:2 IVFD √
KaEnMg3 1000 cc IVFD √ √
Ciprofloxacin 2 x 400 mg IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Metronidazole 3 x 500 mg IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Metamizole 3 x 1 gram IV √ √ √ √ √ √ √ prn prn prn //
Ranitidin 2 x 50 mg IV √
Omeprazole 1 x 40 mg IV √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Albumin 20% 100 cc IVFD √ √ //

CATATAN : pasien menjalani operasi eksplorasi laparatomi

19
2.4 Data Klinik Pasien

DATA NILAI
12/3 13/3 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3
KLINIK NORMAL
Nyeri
- +++ ++ + - - - - - - - -
Perut
Perut
terasa - + + + + + + - - - - -
keras
BAB - - - + - - - + + + + +
Kesulitan
mengatur - ++ ++ ++ ++ ++ ++ + + + + -
napas
Mual - + ++ - - - - - - - - -
Muntah - - - - - - - - - - - -
Batuk
- + + + + + + + + + + +
Berdahak
Badan
tertusuk-
tusuk pada - + + + + + + - - - - -
malam
hari
CATATAN : pasien menjalani operasi eksplorasi laparatomi

19
2.5 Tanda – tanda Vital Pasien

TANDA NILAI
12/3 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3 19/3 21/3 22/3
VITAL NORMAL
Suhu 36-37 36,4 36,2 36,2 36,3 36,5 36 36,3 36 36
Nadi
80-85 102 88 80 80 84 84 90 80 82
(x/menit)
RR
20 32 26 24 28 18 22 18 20 24
(x/menit)
Tekanan
darah 120/80 118/78 130/90 110/80 120/70 120/80 100/80 120/80 115/70 100/80
(mmHg)

Skala
0 6 4 2 0 0 0 0 0 0
Nyeri

CATATAN : pasien menjalani operasi eksplorasi

19
2.6 Data Laboraturium Pasien

Jenis Pemeriksaan Parameter Normal 12/3 14/3 18/3


Darah Lengkap Hb 13,4-17,7 g/dl 11,00 11,20 12,00
Leukosit 4,3-10,3 103/µL 22,99x103 13,44x103 9,97x103
HCT 40-47% 32,70 35,90 38,80
Trombosit 142-424 103/µL 529x103 492x103 461x 103
Eritrosit 4,0-5,5 106/µL 4,1x106 4,19x106 4,49x106
MCV 80-93 fL 79,80 85,70 85,30
MCH 27-31 pg 26,80 26,70 26,70
MCHC 32-36 g/dL 33,60 31,20 31,30
Eosinofil 0-4% 0,0 0,4 0,1
Basofil 0-1% 0,2 0,1 0,2
Monosit 2-5% 9,7 10,0 9,2
Limfosit 25-33% 4,6 9,7 22,2
Neutrofil 51-67% 85,8 79,8 68,3

19
Jenis 11/3 12/3
Parameter Normal 12/3 14/3 16/3 18/3
Pemeriksaan RSG RSG
Faal PTT 9,4-11,3 detik 15,50
Hemostatis
Kontrol 10,5
INR 0,8-1,3 1,48
APTT 24,6-30,6 detik 34,60
Kontrol 25,2
Faal Hati SGOT 0-40 U/L 51,9 50 70 47
SGPT 0-41U/L 85,6 70 65 52
Albumin 3,5-5,5 g/dL 2,19 2,01 2,32 2,78
Faal Ginjal Ureum 16,6-48,5 mg/dl 40,1 42,10
Kreatinin <1,2 0,53 0,74
Inflamasi CRP < 0,3 mg/dL 8,03
Metabolisme G2PP <130 mg/dl 89
GDA <200 mg/dl 72

19
Jenis Pemeriksaan Parameter Normal 12/3 14/3 18/3
135-145
Natrium 131 133 133
mmol/l
3,5-5,0
Elektrolit Kalium 4,19 4,96 4,52
mmol/l
98-106
Klorida 105 110 112
mmol/l

20
2.7 Analisa Terapi Pasien
A. Terapi Cairan

Pemantauan
Terapi Dosis Rute Tanggal Pemberian Indikasi Pada Pasien Komentar dan Alasan
Kefarmasian
NS: 3:2/24 IVFD 12/03/2016 Selain sebagai nutrisi parenteral,
KaEnMg3 jam pemberian cairan ini ditujukan
Aminofluid : 1:1 IVFD 13-14/03/2016 dan untuk memperbaiki pasien
Pasien membutuhkan
KaEnMg3 21-22/03/2016 terkait elektrolit dan asam
cairan parenteral
1:2 IVFD 16-17/03/2016 amino. Pemilihan terapi nutrisi
sebagai nutrisi
Asering : 1:1 IVFD 15/03/2016 parenteral ditentukan dari
pengganti.
Aminofluid 1:2 IVFD 20/03/2016 kebutuhan kalori pasien per hari
Pasien juga
KaEnMg3 1000 cc IVFD 18-19/03/2016 Kadar elektrolit serta kadar elektrolit tubuh
mengalami mual
sehingga pasien. Nutrisi yang tidak
memungkinkan adekuat menyebabkan
asupan makanan pemulihan penyakit akan
kurang berlangsung lama, pasien akan
terlihat lemah dan rentan
terhadap infeksi (Dietitians
Association of Australia, 2011)

20
B. Terapi Antibiotik
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Antibiotika Data Laboratorium : Sebelum memperoleh kultur positif
golongan kadar leukosit, dari darah atau pus, antibiotik
fluoroquinolon neutrofil, monosit. spektrum luas harus dimulai untuk
yang Dan CRP meng-cover kuman anaerob dan gram
digunakan Tanda-tanda klinis : negatif serta gram positif.
2 x 400 untuk demam, hipotensi
Ciprofloxacin IV 12-22/03/2016 Menurut Guideline BMJ Best Practice
mg mengatasi Tanda-tanda vital :
infeksi akibat suhu, TD, HR Liver Abscess, antibiotik yang
bakteri gram digunakan untuk mengatasi abses
negatif di hepar adalah salah satunya
daerah intra Ciprofloxacin 400 mg melalui
abdominal. intravena setiap 12 jam dan
Antibiotika Data Laboratorium : Metronidazole 500 mg melalui
yang kadar leukosit, intravena setiap 8 jam. Pemilihan
digunakan neutrofil, monosit. ciprofloxacin untuk pasien ini
untuk infeksi Dan CRP disesuaikan dengan terapi antibiotika
3 x 500 akibat Tanda-tanda klinis : empiris rumah sakit. Penggunaan dua
Metronidazole IV 12-22/03/2016 antibiotik pada kasus ini ditujukan
mg amoebiasis demam, hipotensi
intestinal dan Tanda-tanda vital : untuk mengatasi infeksi akibat bakteri
hepar akibat suhu, TD, HR gram-negatif (Ciprofloxacin) dan
bakteri bakteri anaerob (Metronidazole)
anaerob. (Dutta and Bandyoadhyay, 2012).

20
C. Terapi Antinyeri

Tanggal Indikasi Pada Pemantauan


Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Skala nyeri yang dirasakan
pasien pada saat awal MRS
dalah 6, sehingga pasien
membutuhkan terapi antinyeri
untuk mengatasi nyeri pada
perut bagian kanan atas yaitu
metamizole (Sharma and Kumar,
Untuk mengurangi Keluhan nyeri dan skala 2006). Pemilihan metamizole
nyeri perut dan ulu nyeri dan efek samping dibandingan ketorolac sebagai
Metamizole 3 x 1 gram IV 12-18/03/2016
hati yang dialami obat yang mungkin antinyeri karena metamizole
pasien terjadi. digunakan untuk mengatasi
nyeri ringan sampai dengan
sedang (Misiolek et al, 2014).
Kemudian setelah pemberian
terapi antinyeri metamizole,
skala nyeri berangsur turun
menjadi 4 (13/3); 2 (14/3); dan 0
(15/3).

20
D. Terapi Antimual dan Antimuntah

Tanggal Indikasi Pada Pemantauan


Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
2 x 50 Terapi awal untuk mengatasi
Ranitidin IV 12/03/2016
mg mual dengan pemberian anti
Omeprazole 1 x 40 IV 13-22/03/2016 histamin 2 (AH2) seperti
mg ranitidin. Jika pemberian
ranitidin tidak adekuat, maka
dapat diberikan obat golongan
Untuk mengatasi PPI yang memiliki efek supresi
mual akibat abses asam lambung lebih poten.
hepar yang dialami (Vanderhoff and Tahboub, 2002,
pasie dan mencegah Keluhan mual dan
Alhazzani et al., 2012)
ESO mual dan muntah dan efek
muntah akibat samping yang mungkin
Pengatasan mual pada pasien
penggunaan terjadi.
ciprofloxacin dan dengan pemberian ranitidin.
metronidazole Tetapi setelah pemberian
ranitidin, kondisi pasien belum
membaik yang menandakan
pemberian ranitidin belum
adekuat untuk menekan sekresi
asam lambung yang dilihat dari
keluhan mual masih muncul,
sehingga diberikan antiemetik

20
yang lebih poten yaitu
omeprazole yang memiliki
mekanisme kerja menekan
sekresi asam dengan
menghambat parietal sel H + / K
+ pompa ATP (Lacy et al., 2009
and Alhazzani et al., 2012).

Terapi Hipoalbumin
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Koreksi albumin penting
dilakukan karena albumin dapat
meningkatkan tekanan onkotik
Albumin 20% 100 cc IVFD 16-17/03/2016 Defisiensi albumin Kadar albumin intravaskular dan menyebabkan
mobilisasi cairan dari interstisial
ke dalam ruang intravaskuler
(Lacy et al., 2009)

20
2.8 Drug Related Problems (DRPs)

Obat Uraian Masalah Tindakan (Usulan pada klinisi, perawat, pasien)


Ada indikasi belum diterapi
Rekomendasi ke dokter, untuk memberikan terapi
Ada indikasi hipoalbumin sejak tanggal 12 Maret
albumin 20% sejak tanggal 12 Maret (sejak MRS),
dari data laboratorium kadar albumin sebesar
Albumin 20% karena albumin sangat penting untuk mengatur
2,19, tetapi pemberian albumin 20% baru
tekanan onkotik sel dan berpengaruh efektivitas suatu
diberikan pada tanggal 16 Maret
obat yang terkait pada ikatan obat dengan albumin
Pasien sebaiknya mendapat tablet Fe dengan dosis 150
Pasien mengalami anemia hipokromik normositik
mg/hari yanh diberikan 2-3 kali sehari Dan
- yang terlihat dari data lab hematokrit, MCV dan
dimonitoring kadar hematokrit, eritrosit, MCV, MCH
MCHC pada tanggal 12 Maret
dan MCHC (Jimenez et al., 2015).
ESO Potensial
Ciprofloxacin memiliki efek samping mual (3%),
Ciprofloxacin muntah (1%), Nyeri perut (2%), diare (2%), sakit Monitoring keluhan dan frekuensi mual dan muntah
kepala (1%), dan ruam (2%).
Metronidazole memiliki efek samping Mual,
muntah, nafsu makan berkurang, konstipasi, nyeri
Metronidazole Monitoring keluhan dan frekuensi mual dan muntah
perut, sakit kepala, pusing, perubahan rasa pada
lidah.

20
2.9 Komunilasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE)
Dokter Perawat Pasien
Melakukan pemantauan terhadap terapi • Melakukan pemantauan terhadap Menjelaskan kepada pasien atau keluarga
dan perkembangan pasien. perkembangan kondisi pasien tiap pasien untuk rutin mengkonsumsi obat
harinya (PO) yang telah diberikan.
• Memberi penjelasan terkait
administrasi obat pada pasien

20
BAB III
PEMBAHASAN

Abses hepar adalah bentuk infeksi pada hati yang disebabkan karena
infeksi bakteri, parasit, maupun jamur yang bersumber dari sistem
gastrointestinal, ditandai dengan adanya proses supurasi dengan pembentukan pus
di dalam parenkim hati. Secara umum, abses hepar dibagi menjadi dua, yaitu
abses hepar amoebik dan abses hepar piogenik (Simmons and Friedman, 2015).
Abses hepar piogenik disebabkan oleh Bakteri gram negatif dan anaerob, serta
penyakit pada sistem saluran bilier. Sedangkan abses hepar amoebik disebabkan
oleh bakteri Entamoeba histolytica (Simmons and Friedman, 2015).
Manifestasi klinik terjadinya abses hepar antara lain nyeri perut terutama
kuadran kanan atas (92%), demam yang naik turun disertai menggigil (69%),
penurunan berat badan (42%), muntah (43%), ikterus (21%). Pasien dapat
merasakan gejala sejak beberapa hari hingga beberapa minggu sebelumnya
(Prianti dkk, 2005). Beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan abses hepar
antara lain alkoholik, usia lebih dari 50 tahun, penyakit saluran empedu, ada
riwayat diabetes mellitus, penduduk di daerah endemik ataupun wisatawan yang
ke daerah endemik dimana laki-laki tersering dibanding perempuan (Simmons and
Friedman, 2015).
Berdasarkan guideline BMJ Practice Liver Abscess, manajemen terapi
utama untuk penanganan abses hepar adalah penggunaan antibiotik. Antibiotik
spektrum luas menjadi pilihan utama ketika abses hepar mulai dicurigai, yaitu
dengan menggunakan antibiotik yang dapat meng-cover bakteri gram positif,
gram negatif, dan bakteri anaerob.
Pada kasus ini, pasien dengan identitas Tn. I, MRS pada tanggal 12
Maret 2016 dengan keluhan utama nyeri perut dibagian kanan atas dan ulu hati,
tidak bisa BAB sejak 5 hari yang lalu, dan mual. Serta dengan keluhan tambahan
perut terasa keras, batuk berdahak, tubuh terasa ditusuk-tusuk. Diagnosa masuk
RSUD Saiful Anwar Tn. I adalah multiple abses hepar pyogenic dd amoebiasis,
cholecystitis, efusi pleura D sup empyema, sepsis, splenomegali, dan
hepatomegali. Diagnosa ini ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium pada

20
tanggal 12 Maret 2016 dan foto USG. Dari pemeriksaan laboratorium diperoleh
hasil nilai leukosit Tn I menunjukkan 2290/µL, artinya terdapat peningkatan kadar
leukosit yang menandakan terjadinya infeksi. Nilai SGOT dan SGPT Tn. I
meningkat dengan nilai berturut-turut 50 U/L dan 70 U/L akibat dari nekrosis sel
hepar. Kadar albumin Tn. I adalah 21,9 g/dL, hal ini merupakan salah satu
manifestasi dari abses hepar (Simmons and Friedman, 2015). Nilai MCV, MCH,
MCHC berturut-turut adalah 79,80 fL; 26,80 pg; 33,60 g/Dl menunjukan
terjadinya penurunan dan indikasi terjadinya anemia (hipokromik normositik).
Profil terapi yang diperoleh Tn. I saat awal MRS adalah ciplofloxacin,
metronidazole, metamizole dan ranitidin. Menurut guideline BMJ Practice Liver
Abscess antibiotik yang digunakan untuk mengatasi abses hepar adalah salah
satunya Ciprofloxacin 400 mg melalui intravena setiap 12 jam dan Metronidazole
500 mg melalui intravena setiap 8 jam. Pasien mendapatkan terapi Ciprofloxacin
2 x 400 mg yang merupakan antibiotik golongan fluoroquinolon yang digunakan
untuk mengatasi infeksi akibat bakteri gram negatif di daerah intra abdominal dan
Metronidazole 3 x 500 mg, antibiotika yang digunakan untuk infeksi akibat
amoebiasis intestinal dan hepar akibat bakteri anaerob. Pemilihan ciprofloxacin
untuk pasien ini disesuaikan dengan terapi antibiotika empiris rumah sakit .
Penggunaan dua antibiotik pada kasus ini ditujukan untuk mengatasi infeksi
akibat bakteri gram-negatif (Ciprofloxacin) dan bakteri anaerob (Metronidazole)
(Simmons and Friedman, 2015).
Pasien juga mendapatkan terapi metamizole yang merupakan analgesik
dengan mekanisme kerja menghambat enzim siklooksigenase sehingga
pengeluaran prostraglandin yang memicu terjadinya nyeri terhambat. Nyeri
diklasifikasikan menjadi 3 kategori yaitu nyeri ringan (skala nyeri 1-4), nyeri
sedang (skala nyeri 5-6) dan nyeri hebat (skala nyeri 7-10). Untuk manajemen
terapi antinyeri disesuaikan dengan skala nyeri. Pada nyeri ringan dan sedang
diberikan obat golongan NSAID dan acetaminophen, sedangkan untuk nyeri hebat
dapat menggunakan ketorolac dan obat golongan opioid (Misiolek et al., 2014).
Pasien ini mengalami nyeri perut dibagian kanan atas sehingga pasien mendapat
terapi metamizole 3 x 1 g. Metamizole lebih dipilih dibandingkan ketorolac dalam
mengatasi nyeri perut bagian kanan atas sebab skala nyeri yang dirasakan pasien

20
(skala nyeri = 6) termasuk dalam golongan nyeri ringan hingga sedang dan
pemberian terapi sudah sesuai dengan menejemen terapi nyeri (Misiolek et al.,
2014). Kemudian setelah pemberian terapi antinyeri metamizole, skala nyeri
berangsur turun menjadi 4 (13/3); 2 (14/3); dan 0 (15/3) sehingga pemberian
metamizole bila nyeri terjadi dan metamizole dihentikan pada tanggal (12/3)
karena dirasa nyeri sudah tidak dialami pasien.
Pasien juga mendapatkan ranitidin yang memiliki mekanisme kerja
mengeblok reseptor histamin 2 yang berada di lambung sehingga menghambat
sekresi asam lambung yang dapat menyebabkan mual dan muntah. Terapi awal
untuk mengatasi mual dengan pemberian anti histamin 2 (AH2) seperti ranitidin.
Jika pemberian AH2 tidak adekuat, maka dapat diberikan obat golongan PPI yang
memiliki efek supresi asam lambung lebih poten (Vanderhoff and Tahboub, 2002,
Alhazzani et al., 2012). Pasien mengeluh mual akibat abses hepar sehingga pasien
mendapat terapi Ranitidin 2 x 50 mg. Namun pada tanggal 13 Maret 2016,
terdapat perubahan terapi, yaitu Ranitidin digantikan dengan Omeprazole. Hal ini
disebabkan karena pemberian ranitidin belum adekuat, dilihat dari keluhan mual
yang masih muncul, sehingga diberikan antiemetik omeprazole yang memiliki
mekanisme kerja menekan sekresi asam dengan menghambat parietal sel H + / K
+ pompa ATP (Lacy et al., 2009 and Alhazzani et al., 2012). Selain itu, pemberian
ranitidin atau omeprazol pada pasien ini untuk mencegah efek samping mual dan
muntah akibat terapi ciprofloxacin dan metronidazole.
Pasien mendapatkan terapi nutrisi parenteral. Nutrisi yang adekuat sangat
dibutuhkan pasien untuk mempercepat pemulihan penyakit (Dietitians Association
of Australia, 2011). Pasien mendapatkan terapi cairan yaitu NS : KaEnMg3,
Aminofluid : KaEnMg3, Asering : Aminofluid, dan KaEnMg3. Pemberian cairan
parenteral sebagai nutrisi pengganti, selain itu pasien juga mengalami mual
sehingga, memungkinkan asupan makanan kurang. Pemilihan terapi nutrisi
parenteral ditentukan dari kebutuhan kalori pasien per hari serta kadar elektrolit
tubuh pasien. Asupan nutrisi yang tidak adekuat menyebabkan pemulihan
penyakit akan berlangsung lama, pasien akan terlihat lemah dan rentan terhadap
infeksi (Dietitians Association of Australia, 2011).
Terdapat indikasi hipoalbumin pada pasien sejak tanggal 12 Maret 2016

21
(data laboratorium menunjukan kadar albumin sebesar 2,19), tetapi pemberian
albumin 20% baru diberikan pada tanggal 16 Maret 2016. Koreksi albumin
penting dilakukan karena albumin dapat meningkatkan tekanan onkotik
intravaskular dan menyebabkan mobilisasi cairan dari interstisial ke dalam ruang
intravaskuler (Lacy et al., 2009). Dan albumin sangat berpengaruh efektivitas
suatu obat yang terkait pada ikatan obat dengan albumin.
Menurut data laboratorium hematokrit, nilai MCV, MCH, MCHC
berturut-turut adalah 79,80 fL; 26,80 pg; 33,60 g/dL pada tanggal 12 Maret,
pasien mengalami anemia hipokromik normositik. Namun, belum dapat
dipastikan penyebabnya. Karena belum ada data laboratorium penunjang seperti
serum iron (SI) dan Total Iron Bonding Capacity (TIBC) (Hadisaputra, 2008).
Apabila pasien mengalami penurunan SI dan TIBC, dapat diberikan tablet Fe
dengan dosis 150 mg/hari yang diberikan 2-3 kali sehari Dan dimonitoring kadar
hematokrit, eritrosit, MCV, MCH dan MCHC (Jimenez et al., 2015).
Berdasarkan profil terapi untuk Tn. I yang mengalami multiple abscess
hepar pyogenic dd amoebaic, sudah sesuai dengan Guideline BMJ Basic Practice
Liver Abscess. Dalam penanganan efusi pleura perlu diinformasikan kepada DPJP
untuk melakukan pemeriksaan dan rawat bersama (raber) dengan dokter spesialis
ilmu penyakit dalam (IPD) atau dokter spesialis paru.

21
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Pemilihan terapi untuk kasus abses hepar ini sudah sesuai dengan
Guideline BMJ Basic Practice Liver Abscess.

4.2 Saran
Menginformasikan kepada DPJP terkait masalah efusi pleura yang dialami
pasien serta memberikan usul untuk melakukan pemeriksaan dan rawat
bersama (raber) dengan dokter spesialis ilmu penyakit dalam (IPD) atau
dokter spesialis paru.

21
DAFTAR PUSTAKA
Alhazzani W., Alenezi F., Jaeschke, 2013. Proton pump inhibitors versus
histamine 2 receptor antagonists for stress ulcer prophylaxis in critically
ill patients: a systematic review and meta-analysis. Crit Care Med.
41(3):693-705

BMJ Best Practice. 2015. Liver Abscess. X : BMJ Publishing Group.

Dietatian Association of Australia. 2011. Parenteral nutrition manual for adult in


health care service. Australia : DAA Nutrition Support Interest Group.

Dutta, A. and Bandyopadhyay, S., 2012. Management of Liver Abscess.


Medicine. 22: 469-475.
Gitlin N., Strauss R. 1995. The Life Circle of Etamoeba histolytica in
Amebiasist. Philadelphia : Atlas of Clinical Hepatology. p.64

Hadisaputro, S., 2008. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Yogyakarta : Amara Books.

Jimenez, K., Dabsch, S.K., Gasche, C., 2015. Management of Iron Deficiency
Anemia. Gastroenterology and Hepatology. 11(4): 241-250.

Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., Lance, L. L. 2009. Drug


Information Handbook. 17th ed. Ohio: Lexi-Comp, Inc.

Nusi I.A., 2011. Abses Hati. Surabaya : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga – RSUD Dr. Soetomo.

Misiolek, H., Cettler, M., Woron, J., Wordiczek, J., Dobrogoeski., J., Mayzner, E.,
2014. The 2014 guidelines for post operative pain management.
Anesthesiology Intensive Therapy. 46(4) : 221-244.

Ong E, Espat NJ, Helton WS. Hepatic Abscess. Curr Treatment Opt Infect Dis.
2003 ; 5:393-406

Prianti M.Y., et al. 2005. Abses Hati Pada Anak-anak. Jakarta : Sari Pediatri
Vol.7. hal. 50-56.

Simmons, R.P., Friedman, L.S., 2015. BMJ Best Practice Liver Abscess.
Vanderhoff, B.T and Tahboub R.M, 2002. Proton Pump Inhibitors:An Update.
American Family Physician. 66(2): 273-280.

21
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pengantar Nefrologi

Ginjal merupakan sepasang


organ berbentuk kacang (bean
shaped), terletak retroperitoneal di
belakang cavum abdomen. Masing-
masing ginjal mempunyai panjang 10
– 12 cm (antara vertebra TH. XII –
vertebra L. III). Cortexs renalis
merupakan bagian luar dari ginjal,
berwarna merah coklat dan berbintik
karena adanya carpusculus renalis
dari malphigi ( capsula bowman dan
glomerulus). Medulla renallis adalah
Gambar 1.1 Posisi anatomis ginjal bagian dalam dari ginjal yang
dibentuk oleh pyramid ginjal,
berwarna lebih pucat dan bergaris.
Nefron merupupakan unit fungsional dan anatomis dari ginjal. Tiap
ginjal memiliki 400.000 – 800.000 nefron dimana jumlah ini akan berkurang
dengan bertambahnya usia. Tiap nefron terdiri dari dua bagian utama yaitu
glomerulus dan tubulus. Urin merupakan hasil dari filtrasi glomerulus yang
akan mengalami modifikasi di tubulus dengan cara reabsorbsi dan sekresi.
Gunjal memiliki dua fungsi utama yaitu fungsi ekskretori yang meliputi
pengontorolan keseimbangan cairan dalam tubuh, elektrolit, asam-basa, dan
pengeluaran sampah metabolis. Fungsi metabolic meliputi : sintesis beberapa
hormon seperti eritropoitein berikut juga mendegradasi hormone polipeptida
seperti insulin (Yogiantoro, 2007).
Glomerulus adalah suatu pleksus (anyaman kapiler) yang terderi dari
arteria aferen dan arteria eferen. Glomerulus berfungsi melakukan proses

21
filtrasi yang didukung dengan tiga lapis membrane yang berperan sebagai
barrier filtrasi yaitu adalah :
- Sel endotel
Sel endotel dinding kapiler glomerulus merupakan selapis sel tipis dengan
ukuran pori 70 nm. Lapisan sel ini memiliki muatan negative akibat
adanya lapisan glikoprotein heparin sulfat yang berperan sebagai barrier
sterik proses filtrasi.
- Membran basal
Membran basalis juga memiliki muatan negative akibat adanya heparin
sulfat. Distribusi muatan negative pada lapisan ini akan menahan protein
untuk tidak terfiltasi ke dalam lumen tubulus akibat adanya gaya tolak
menolak akibat muatan yang sama antar menbran basal dan muatan
protein.
- Sel epitel kapsula bowman
Sel epitel apada lapisan ini disebut dengan podosit dengan perpanjangan
seperti kaki gurita yang disebut “foot process”, foot process ini akan
membentuk suatu celah filtrasi dengan lubang pori 25- 26 nm.

Gambar 1.2 Mikrosrsitektur glomerulus ginjal

21
1.2 Definisi
Sindrom Nefrotik adalah kumpulan gejala klinis yang disebabkan oleh
peningkatan permeabilitas membran glomerulus dengan batasan klinis sebagai
berikut:
- Proteinuria, yaitu jumlah protein dalam urin >3-3,5 gram/24 jam atau
dengan hasil uji dipstick menunjukkan nilai +3.
- Hipoalbuminemia, yaitu serum albumin < 25 g/L
- Hiperlipidemia
- Lipiduria
- Oedema
(Hull et al., 2013 dan Liu et al., 2015).

1.3 Epidemiologi

Sampai pertengahan abad ke-20 morbiditas Sindrom Nefrotik pada anak


masih tinggi yaitu melebihi 50% sedangkan angka mortalitas mencapai 23%.
Bersadarkan survey yang dilakukan CDC dari tahun 2005 hingga 2011, sindrom
nefrotik termasuk dalam 10 penyakit penyebab mortalitas tertinggi di
dunia.Angka kejadian di Indonesia pada Sindrom Nefrotik mencapai 6 kasus
pertahun dari 100.000 anak berusia kurang dari 14 tahun (Alatas, 2002). Di

21
USA jumlah penderita dewasa nefrotik sindrom yaitu 20 kasus per 1 juta
(Cohen, 2016).

1.4 Etiologi
Sindrom nefrotik disebabkan oleh berbagai kondisi yang dapat diklasifikasikan
menjadi penyebab primer dan sekunder.
a. Penyebab Primer
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
SNKM merupakan penyebab sindrom nefrotik pada 70-90% anak dan
10-15% dewasa.SNKM merupakan penyakit ginjal primer yang berkaitan
dengan penyakit Hodgkin, alergi, atau karena penggunaan NSAID. Pada biopsi
renal, SNKM tidak menunjukkan adanya lesi glomerulus yang jelas, akan
tetapi secara konsisten menunjukkan adanya penipisan yang menyebabkan
melemahnya membran celah pori epitel podosit.
 Glomerulosklerosis Focal Segmental (GSFS)
GSFS merupakan kelainan pada glomerulus, ditandai dengan sklerosis
pada glomerulus segmental yang melibatkan beberapa glomeruli tetapi tidak
semuanya.
 Glomerulonephritis Membranosa (MGN)
Glomerulonephritis membranosa atau nefropati membranosa (MN)
terjadi pada 30% sindrom nefrotik dewasa. nefropati membranosa merupakan
kelainan glomerulus dimana terdapat penimbunan imunoglobulin G dan
komplemennya pada podosit di lapisan subepitelial dinding kapiler glomerulus.
Penyebab nefropati membranosa primer masih tidak jelas (idiopatik), tetapi
pada nefropati membranosa sekunder terjadi karena penyakit autoimun
(Systemic Lupus Eritematosus, Autoimmune Thyroiditis), infeksi (Hepatitis B
dan C), obat-obatan, dan keganasan (kanker paru, kanker kolon).

21
Gambar 1.3 Perbedaan Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal, Glomerulosklerosis
Fokal Segmental, dan Nefropati Membranosa

b. Penyebab Sekunder
 Diabetic mellitus
 Systemic Lupus Eritematosus
 Hipertensi Maligna
(Liu et al., 2015).

1.5 Patogenesis
Kelainan utama dalam sindrom nefrotik adalah pengembangan proteinuria
masif. Penyebab proteinuria pada sindrom nefrotik adalah kerusakan fungsi atau
struktur membran filtrasi glomerulus. membran filtrasi glomerulus terdiri dari sel
endotel fenestra di bagian dalam, membran basalis, dan sel epitel khusus dibagian
luar yang dikenal dengan podosit. Podosit memiliki tonjolan-tonjolan menyerupai
kaki (foot processes), diantara tonjolan tersebut terdapat celah diafragma (slit
diaphragm), yang berperan penting dalam pemeliharaan fungsi filtrasi glomerulus.
Terdapat dua mekanisme yang berperan dalam patogenesis sindrom nefrotik,
yakni pertama secara imunologi sel T memproduksi circulating factorberupa
vascular permeability factor (VPF) yang merupakan asam amino identik
denganvascular endhotelial growth factor (VEGF). Hal ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus sehingga terjadi kebocoran protein.
Mekanisme kedua adalah adanya defek primer pada barrier filtrasi glomerulus
yang mengakibatkan celah diafragma melebar. Molekul-molekul terlarut yang
dapat melewati barrier glomerulus ditentukan oleh besarnya molekul, molekul >
10 kDa akan tertahan sehingga tidak dapat melewati barrier tersebut (size
selectivity barrier). Apabila ada gangguan pada mekanisme ini maka protein yang

21
memiliki ukuran molekul besar dapat lolos sehingga terjadi proteinuria. Faktor
lain yang dapat mempengaruhi adalah adanya daya elektrostatik dari muatan
negatif permukaan epitel foot processes yang dibentuk oleh sialoprotein kapiler,
heparan sulfat membran basalis glomerulus, dan podokaliksin (charge selectivity
barrier). Hilangnya muatan negatif dari membran dasar glomerular menyebabkan
molekul-molekul bermuatan negatif (protein) bisa lolos menembus dinding
membran dan mengakibatkan terjadinya proteinuria(Smoyeret al., 2008 dan
Rachmadi, 2010).

Gambar 1.4 Kelainan pada membran dasar glomerularakibat hilangnya muatan


negatif

Gambar 1.5 Kelainan pada Membran Dasar Glomerular akibat Autoimmune


Disease

21
1.6 Klasifikasi
Terdapat berbagai jenis klasifikasi sindroma nefrotik yang digunakan
untuk menentukan prognosis. Klasifikasi yang lebih sering digunakan yaitu
respons terhadap pengobatan steroid dibandingkan dengan gambaran patologi
anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih didasarkan pada
respons klinik yaitu sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik
resisten steroid (SNRS). Selain sensitif steroid dan resisten steroid, terdapat satu
jenis klasifikasi sindrom nefrotik lagi yaitu dependen steroid.
Sindrom nefrotik akan dikatakan resisten steroid apabila tidak terjadi remisi
pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgbb/hari selama 4
minggu, sedangkan dikatakan sensitif steroid apabila remisi terjadi pada
pemberian prednison dosis penuh selama 4 minggu. Dependen steroid apabila
terjadi relaps dua kali berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating)
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan. Remisi yaitu apabila
proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam 1 minggu, sedangkan relaps yaitu proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40
mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Ditinjau berdasarkan kemungkinan terjadinya relaps maka sindrom nefrotik
dikelompokkan menjadi relaps jarang dan relaps sering. Relaps jarang apabila
relaps kurang dari 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang
dari 4 x per tahun pengamatan, sedangkan relaps sering (frequent relaps) yaitu
apabila relaps ≥ 2 x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 x dalam
periode 1 tahun (Trihono et al., 2012).

1.7 Manifestasi Klinis


a) Proteinuria
Proteinuria dimediasi oleh deposit sel-sel imun pada glomerulus. Antigen
dan antibodi yang terdeposit kemudian akan merusak membran parenkim
glomerular. Migrasi sel mediator inflamasi seperti neutrofil, makrofag, platelet
dapat mengubah permeabilitas membran, aliran darah, serta fungsi dari glomeruli.
Terjadinya penyempitan pembuluh darah dan oklusi akan berakibat pada destruksi
glomeruli. Perubahan permeabilitas membran glomeruli ini akan menyebabkan

22
protein dan bahan yang ada pada darah lolos dari proses filtrasi, sehingga
terjadilah proteiuria (Lau, 2011).
b) Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia terjadi akibat peningkatan permeabilitas membran
sehingga albumin akan banyak lolos bersama urin, serta akibat meningkatnya laju
katabolisme dari albumin yang difiltrasi oleh sel tubulus proksimal ginjal. Hepar
akan berusaha melakukan kompensasi dengan mensintesis albumin untuk
menggantikan protein yang hilang, namun hepar tidak mampu mengembalikan
albumin ke angka normal akibat adanya malnutrisi (Lau, 2011).
c) Edema
Terdapat dua teori yang menyebabkan terjadinya edema pada pasien
sindrom nefrotik, yaitu teori underfill dan overfill. Teori underfill menjelaskan
edema terjadi akibat penurunan tekanan onkotik plasma akibat hipoalbuminemia.
Turunnya tekanan onkotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskuler ke
kompartemen inteststitial sehingga terjadilah reduksi volume plasma. Penurunan
volume plasma akan merangsang sistem saraf simpatis dengan mengaktifkan
renal angiostensin aldosteron system (RAAS), dimana bentuk kompensasinya
berupa retensi natrium dan air.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hipoalbuminemia tidak akan
menyebabkan edema hingga serum albumin mencapai ≤2 g/dl. Gradien tekanan
onkotik antar kapiler tidak setinggi yang disebutkan diatas karena peningkatan
aliran limfatik akan menurunkan tekanan interstitial dengan cara membuang
protein dan air dari insterstitial. Disamping itu terjadinya retensi air dimediasi
oleh tingginya reabsorpsi natrium pada distal, hal ini mungkin disebakan oleh
resistensi tubular akibat atrial natriuretic peptide. Hal ini mendukung teori overfill
pada beberapa pasien (Lau, 2011).
d) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia pada sindroma nefrotik merupakan akibat dari menurunnya
tekanan onkotik plasma yang kemudian akan menstimulasi hepar untuk
menyeimbangkan tekanan onkotik dengan cara mensintesis lipid dan lipoprotein.
Sintesis lipid oleh hepar tidak spesifik sehingga semua jenis lipid akan naik
termasuk VLDL, LDL dan TG (Lau, 2011).

22
e) Thromboemboli
Pasien dengan sindroma nefrotik akan mengalami hiperkoagulasi akibat
menurunnya konsentrasi antitrombin yang berfungsi sebagai antikoagulan yang
lolos bersama urin. Tingginya lipid dalam darah juga menjadi resiko terjadinya
agregrasi platelat sehingga menyebabkan arterial dan vena trombosis atau yang
disebut tromboemboli (Lau, 2011).

1.8 Tata Laksana Terapi Sindroma Nefrotik


1.8.1 Pengobatan Dengan Kortikosteroid
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali bila
ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon.
a. Terapi Insial
Terapi inisial sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid dapat
dilihat pada Gambar 1.6 yaitu diberikan prednison 60 mg/m2LPB/hari atau 2
mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi
remisi. Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu.
Bila terjadi remisi dalam 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua
dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3 dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara
alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu
pengobatan steroid dosis penuh, tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai
resisten steroid (Trihono et al., 2012).

Gambar 1.6 Terapi Inisial Sindroma Nefrotik

22
b. Terapi Sindroma Nefrotik Relaps
Terapi SN relaps dapat dilihat pada Gambar 1.7 yaitu diberikan prednison
dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan dosis
alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami proteinuria
kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih
dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi
diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak
perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++
disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan (Trihono et al., 2012).

Gambar 1.7 Terapi Sindroma Nefrotik

Keterangan:
Pengobatan SN relaps yaitu prednisone dosis penuh (FD) setiap hari sampai
remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednisone intermittent
atau alternating (AD) selama 4 minggu

c. Terapi Sindroma Nefrotik Relaps Sering Atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
Pada pasien yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5
mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2
mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1– 0,5 mg/kgbb alternating.
Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12 bulan,
kemudian dicoba dihentikan.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1–0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka

22
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating, kemudian
diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2 mg/kgbb) di atas
dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang
terakhir. Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat >0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

Bila terjadi keadaan keadaan di bawah ini:


- Relaps pada dosis rumat > 1 mg/kgbb alternating atau
- Dosis rumat < 1 mg/kgbb tetapi disertai:
a. Efek samping steroid yang berat
b. Pernah relaps dengan gejala berat antara lain hipovolemia, trombosis, dan
sepsis
diberikan siklofosfamid (CPA) dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari selama 8-12
minggu (Trihono et al., 2012).

2. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversible (Trihono et al., 2012).

3. Terapi dengan sitostatika


Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral
dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal (Gambar 1.8), maupun secara
intravena atau puls (Gambar 1.9). CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750
mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama
2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi
pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah,
depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam
jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan

22
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2
kali dalam seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL. Efek toksisitas
CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif mencapai ≥200-
300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8
minggu. Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik
berupa kejang dan infeksi (Trihono et al., 2012).

Gambar 1.8 Terapi SN relaps sering dengan CPA oral


Keterangan:
Prednison dosis penuh setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu) kemudian
dilanjutkan dengan prednisone alternating (AD) dan siklofosfamid (CPA) oral
selama 8 minggu

Gambar 1.9 Terapi sindrom nefrotik dependen steroid

22
Keterangan:
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu),dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB
diberikan melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison
intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2LPB/hari selama 12 minggu.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4
minggu),dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal
selama 12 minggu dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama
12 minggu. Kemudian ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).

4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)


Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB).Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan Mikofenolat mofetil (MMF). MMF diberikan dengan
dosis 800 – 1200 mg/m2LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan
dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen,
diare, leucopenia (Trihono et al., 2012).
Skema terapi SN relaps sering atau dependen steroid dapat dilihat pada
Gambar 1.10 di bawah ini.

22
Gambar 1.10 Skema terapi SN relaps sering atau dependen streroid

Keterangan:
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

d. Terapi Sindroma Nefrotik Dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi
berat, maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls.
Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis
tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan

22
dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan
sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls
adalah 6 bulan) (Trihono et al., 2012).

e. Terapi Sindroma Nefrotik Resisten Steroid


Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena gambaran patologi
anatomi mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian
CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 1.11.

Gambar 1.11. Skema pemberian terapi CPA oral dan CPA puls
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid
oral. Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1

22
bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2
bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2LPB diberikan melalui infus
satu kali sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan
pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid
puls (6 bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari
selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama
tapering off 2 bulan).

2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA
adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrof gingiva, dan juga bersifat
nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
1. Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
2. Kadar kreatinin darah berkala
3. Biopsi ginjal setiap 2 tahun
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam
literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau
sangat selektif (Trihono et al., 2012).

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam (Tabel
1) (Trihono et al., 2012).

22
Tabel 1. Penggunaan metilprednisolon dosis tinggi

Skema tata laksana Sindroma Nefrotik dapat dilihat pada Gambar 8 berikut ini

1.8.2 Terapi Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteinuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan

23
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada SNRS,
berarti pasien dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid mempunyai
risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.
Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan
ARB memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak. Pada pasien dengan
SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS dianjurkan untuk diberikan
ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB, bersamaan dengan steroid atau
imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa digunakan adalah kaptopril,
enalapril, lisinopril dan losartan (Trihono et al., 2012).

1.8.3 Tata Laksana Komplikasi Sindrom Nefrotik


a. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya
disebabkan oleh kuman Gram negatif dan Streptococcus pneumoniae) perlu
diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan sefalosporin
generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari (Trihono et
al., 2012).
b. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan
bukti defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigraf yang berarti terdapat
trombosis pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis
telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan radiologis, diberikan heparin
secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih.
Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan (Trihono et al., 2012).
c. Hiperlipidemia

23
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan
VLDL kolesterol, trigliserida dan lipoprotein, sedangkan kolesterol HDL menurun
atau normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga
meningkatkan morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan
pengurangan diit lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan untuk
mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya, dan diit rendah
lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti
inhibitor HMgCoA reduktase (statin) (Trihono et al., 2012).
d. Hipokalsemia
Pada Sindroma Nefrotik dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
2.Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama
(lebih dari 3 bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari
dan vitamin D (125-250 IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium
glukonas 10% intravena (Trihono et al., 2012).
e. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat
terjadi hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan
sering disertai sakit perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan
cepat, dan disusul dengan albumin. Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien
tetap oliguria, diberikan furosemid secara intravena (Trihono et al., 2012).
f. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan
penyakit SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan
inhibitor ACE (angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensin receptor
blocker), calcium channel blockers, atau antagonis β adrenergik (Trihono et al.,
2012).

23
1.8.4 Efek Samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang
signifkan, karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan
perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan
terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat
badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak
setiap tahun sekali (Trihono et al., 2012).

1.8.5 Indikasi Biopsi Ginjal


Biopsi ginjal terindikasi pada keadaan-keadaan di bawah ini:
1. Pada presentasi awal
a. Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
b. Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar
komplemen C3 serum yang rendah
c. Hipertensi menetap
d. Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
e. Sindrom nefrotik sekunder
2. Setelah pengobatan inisial
a. SN resisten steroid
b. Sebelum memulai terapi siklosporin (Trihono et al., 2012)

23
BAB II
ANALISA KASUS

2.1. Demografi Pasien


ID Pasien 11281322
Nama Pasien : Tn. IDG
Umur : 22 tahun
BB/TB : 65 Kg/171 m
Status : BPJS
Alamat : Ds. LLW
MRS/KRS : 14 Maret 2016 / 18 Maret 2016
Dokter : dr.AAS-PPDS IPD
Apoteker : SA, S.Si., Apt.
Keluhan utama : Badan gatal-gatal selama 1 minggu,
bengkak seluruh badan, nyeri
seluruh tubuh, sesak napas.
Riwayat alergi obat/makanan :-
Riwayat penyakit :-
Kebiasaan : minum ektra j**s 2X /7hr
Masalah dengan kepatuhan :-
Diagnosa : Sindroma nefrotik, severe
hipoalbuminemia, udema anasarka ,
renal azotemia, dispepsia syndrome
dan hematuria

23
2.2. Catatan Perkembangan Pasien
Tanggal Perkembangan Pasien
Hari ke-1 KU : Lemah

14/3 Bengkak seluruh tubuh sejak 2 hari yang lalu, badan tidak enak,
BAK 3x/ hari @ 1 gelas aqua tidak berbusa, sesak napas dan kram
perut, mual, hematuria, nyeri perut hebat tembus ke punggung.
Hari ke-2 KU : Lemah
15/3
Bengkak semakin terasa di sekitar mata dan sesak napas.

Seharian tidak bisa BAK, paseien menolak dipasang foley catheter,

Pasien merasakan nyeri punggung bagian bawah menyebar ke atas


dan ke depan, mual, lambung perih.
Hari ke-3 KU : Lemah
16/3
Pasien sudah bisa BAK sedikit

Masih merasakan nyeri, udema sudah berkurang, sesak napas sudah


berkurang, mual berkurang.
Hari ke-4 KU : Cukup
17/3
Sudah tidak merasa nyeri

Tidak merasa sesak, udema minimal, mual sangat minimal, badan


sudah enakan.
Hari ke-5 KU : Baik
18/3
Tidak ada keluhan nyeri, sudah tidak sesak, tidak bengkak.

23
2.3. Data Klinik Pasien
Tanggal
Data Klinik
14/3 15/3 16/3 17/3 18/3
GCS 456 456 456 456 456
Nadi
(80-100 62 58 58 48 54
x/menit)
RR
24 24 24 24 16
(<20 x/ menit)
(36-37º C) 36 35.2 35.2 35.2 36
TD
(120/80 121/62 130/85 115/70 125/80 130/85
mmHg)
Nyeri
+++ +++ ++ ++ -
punggung
Nyeri
- ++ - - -
lambung
Sesak +++ +++ ++ ++ +/-
Edema +++ +++ ++ + +/-
BAK - - + + +
Mual +++ ++ ++ + -
Hematuria + - - - -

2.4. Data laboratorium


15/
Parameter Nilai Normal 13/03 14/03 16/03 17/03 18/03
03
Elektrolit
136-145
Natrium 134 132
mmol/L
Kalium 3,5-5,0 mmol/L 3,68 3,09
Klorida 98-106 mmol/L 111 105
Kalsium 7,6-11,0 mg/dL 7,1
Pospor 2,7-4,5 mg/dL 3,6
Hematologi
Hb 13,4-17,7 g/dL 16,50 14,60 14,50
4,0-5,5.106/uL 6,72.10
RBC 7,45.106 6 6,63.106
4,3-10,3.103/uL 14,11.1
WBC 12,72. 103 10,64.103
3
0
Hematokrit 40-47% 51,90% 44,90% 44,90%
Trombosit 142-424.103/uL 284. 103 316.103 307.103
Eosinofil 0-4 25,7 0,0 0,6

23
Basofil 0-1 0,9 0,3 0,5
Neutrofil 51-67 38,1 75,7 60,0
Limfosit 25-33 28,1 16,7 26,4
Monosit 2-5 7,2 7,3 12,5
Faal Hati
AST/SGOT 0-40 U/L 22
ALT/SGPT 0-41 U/L 12
Albumin 3,5-5,5 g/dL 1,22 1,8 2,01 2,22 2,31
1
Faal Ginjal
Ureum 16,6-48,5 27,40 38,90
mg/dL
Kreatinin <1,2 mg/dL 1,33 0,83
Lemak Darah
Kolesterol <200 mg/dL 333
Total
Trigliserida <150 mg/dL 166
Kolesterol >50 mg/dL 35
HDL
Kolesterol <100 mg/dL 234
LDL
Hemostasis
PTT 9,4-11,3 detik 9,90
APTT 24,6-30,6 detik 42,40
INR 0,8-1,30 0,95
Metabolisme Karbohidrat
Glukosa <200 mg/dL 102
Darah
Sewaktu
Urinalisis
Kekeruhan Agak
keruh
Warna Kuning
kecoklat
an
pH 4,5-8,0 6,5
Berat Jenis 1,005-1,030 1,025
Glukosa Negatif Negatif
Protein Negatif 3+
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Lekosit Negatif Negatif
Darah Negatif 3+
Epitel ≤1/LPK 53,6
Silinder Positif/l

23
pk
Eritrosit ≤3/LPB 41,3
Kristal -/LPB
Bakteri ≤23.103/mL 27,5.103
Protein 160,2
Esbach mg/dL

2.5. Profil Terapi


Obat Rute Dosis 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3
(Biopsi)
Hari 1 Hari 2 Hari 3 Hari 4 Hari 5
Normal Saline iv 12 tpm v v v v //
Albumin 20% iv 100 cc v v v v //
po 40-0-0 / / / / v
40-0-0 / / / / /
Furosemid
iv 40-40-0 v / / v /
40-40-40 / v v / /
Prednison po 3x 20 mg v v v v v
Lansoprazole iv 1x 30 mg / v v v //
Metoklopramid iv 3x 10 mg / v v v //
Captopril po 3x 6,25 / v v v v
mg
Parasetamol po 3x 500 / v v v //
mg
Metamizole iv 3x1 g v // // v //
Simvastatin po 0-0-20 / v v v v
mg
Cefazolin iv 1g / / / v //
1 x 500 / / / / v
mg
Kalk po
2X 500 / / / v /
mg

23
2.6 Analisa Terapi
Jenis Terapi Terapi Indikasi pada Pasien Regimen Dosis dan Outcome Pemantauan
Rute Pemakaian Therapy Kefarmasian
Prednison digunakan untuk Terapi inisial untuk Pemantauan
mengatasi proteinuria dengan sindrom nefrotik efektivitas:
menghalau migrasi sel-sel imun diberikan prednison
ke daerah membran 60 mg/m2LPB/hari Protein dalam sampel
glomerulus. atau 2 mg/kgbb/hari urin 24 jam
(maksimal 80 menunjukkan hasil
Kortikosteroid memiliki efek mg/hari) dalam dosis negatif.
imunosupresif dan terbagi, untuk
antiinflamasi yang dapat menginduksi remisi. Pemantauan efek
mengurangi produksi dan / atau Prednison dosis samping obat:
pelepasan berbagai zat yang penuh (full dose)
Terapi  Gastritis
Prednison PO memediasi proses inflamasi, inisial diberikan
proteinuria  Cushing syndrom
seperti prostaglandin, selama 4 minggu.
leukotrien, faktor platelet- Bila terjadi remisi  Test katarak ,
pengukuran TD, BB
activating, faktor nekrosis dalam 4 minggu
berkala
tumor, dan interleukin-1 (IL- pertama, dilanjutkan
1). dengan 4 minggu (Medscape, 2016).
Pergerakan leukosit dan kedua dengan dosis
makrofag ke lokasi inflamasi 40 mg/m2 LPB (2/3
juga terhambat. Efek dosis awal) atau 1,5
imunosupresif dari mg/kgbb/hari, secara
kortikosteroid dimediasi alternating (selang
melalui penghambatan sehari), 1 x sehari
pelepasan IL-1 dan tumor

2
necrosis factor dengan setelah makan pagi.
mengaktivasi makrofag, dan Bila setelah 4
interleukin-2 (IL-2) dengan minggu pengobatan
mengaktivasi sel T (Lau, steroid dosis penuh,
2011). tidak terjadi remisi,
pasien dinyatakan
sebagai resisten
steroid (Trihono et
al., 2012).
Mengatasi proteinuria pasien. 6.25 mg-25 mg tiap Pemantauan
8 jam (Medscape, efektivitas:
Efek antiproteinurik dari 2016).
Angiotensin Converting Protein dalam sampel
Enzyme Inhibitor (ACEI) urin 24 jam
dikaitkan dengan penurunan menunjukkan hasil
fraksi filtrasi, menunjukkan negatif.
penurunan tekanan
Terapi
Captopril PO intraglomerular. Penelitian Pemantauan efek
proteinuria samping obat:
terbaru menunjukkan bahwa
ACEI juga mungkin memiliki
efek langsung pada podosit,  Batuk kering;
mengakibatkan pengurangan  Hipotensi
proteinuria dan jaringan parut
glomerular. Selain itu, ACEI (Medscape, 2016).
nefroprotektor yang
menyebabkan vasodilatasi pada

2
arteriola afferent ginjal (Lau,
2011).

Edema akut : Hari 1: Pemantauan


efektivitas:
40 mg intravena. Edema +++
Bila tidak merespon,  Keluhan sesak
boleh dinaikkan Pernapasan 24 menurun atau tidak
hingga 80 mg; tidak x/menit ada;
Furosemid digunakan untuk
lebih dari 160  Penurunan berat
mengatasi sesak akibat edema badan 0,5-1 kg/hari.
mg/dosis Hari 2:
dan mengurangi edema
anasarka dengan menginduksi administrasi
Edema +++ Pemantauan efek
diuresis. (McEvoy, 2011).
Furosemide samping obat:
Terapi edema 20-80 mg PO sekali Pernapasan 24
Loop diuretic menghambat  Overdiuresis yang
IV bolus sehari; dapat x/menit
reabsorbsi natrium-kalium- dapat
ditingkatkan 20-40
klorida (Na+-K+-2Cl-) di Hari 3: mengakibatkan syok
mg tiap 6-8 jam;
lengkung Henle (Lau, 2011). jangan melebihi 600 hipovolemi;
mg/hari. Alternatif: Edema ++  Hipokalemia (14-
20-40 mg IV/IM 60%);
sekali; dapat  Hiperurisemia
Pernapasan 24
ditingkatkan 20 mg (40%)
x/menit
tiap 2 jam; dosis
individu tidak (Medscape, 2016).
Hari 4:
melebihi 200

24
mg/dosis (Medscape, Edema +
2016).
Pernapasan 24
x/menit

Hari 5:

Edema +/-

Pernapasan 16
x/menit
Hari 1: Pemantauan
Albumin digunakan untuk efektivitas:
mengatasi kondisi Edema +++
hipoalbuminemia dengan cara  Serum albumin
meningkatkan tekanan onkotik Serum albumin meningkat;
intravaskular dan menyebabkan 1.22  Udema berkurang;
Albumin  Tidak boleh lebih
mobilisasi cairan dari
Terapi Larutan 20% 100 cc dari 4 jam.
interstisial ke intravaskular Hari 2:
hipoalbuminemia IV infusion
(Lacy et al, 2009) sehingga
dan edema Albumin merupakan
dapat menurunkan edema Edema +++
pasien. koloid dengan
Serum albumin viskositas yang
1.81 cukup besar
sehingga perlu
Hari 3: diperhatikan bahwa
administrasi tidak

24
Edema ++ boleh lebih dari 4
jam karena
Serum albumin dikhawatirkan jarum
2.01 sudah buntu dan
terkait dengan
Hari 4: stabilitas obat.

Edema + Pemantauan efek


samping obat:
Serum albumin
2.22 Hipertensi, alergi

Hari 5: (Medscape, 2016).

Edema +/-

Serum albumin
2.31
500mg/injeksi, Hari 1: nyeri Pemantauan
Mengurangi nyeri dengan +++ efektivitas:
Metamizol IV maksimal 3X sehari
hambatan terhadap aktivitas
Terapi nyeri (Medscape, 2016).
mediator nyeri prostaglandin Keluhan nyeri
(McEvoy, 2011)

24
Hari 2: nyeri berkurang
+++
3-4 gram sehari Pemantauan efek
dalam 3-4 dosis Hari 3: nyeri ++ samping obat:
terbagi. Dosis
Parasetamol PO
maksimal sehari 4 Hari 4: nyeri ++ Agranulositosis dengan
gram (Medscape, shock, nekrolisis,
2016). Hari 5: nyeri - hipersensitifitas,
porifiria (Martindale,
2009).
Pemantauan
Menurunkan LDL, kolesterol
efektivitas:
total, dan stabilisasi plak.
Kadar lemak darah
Pemberian simvastatin pada
berada pada angka
pasien selain efek primer
normal
menurunkan LDL juga 20-40 mg sehari satu
Terapi
Simvastatin PO menimbulkan efek pleiotropik. kali (Lacy et al.,
hiperlipidemia Pemantauan efek
Efek pleotropik tersebut 2009).
samping obat:
termasuk perbaikan kerusakan
endotel, antiinflamasi dan Konsitipasi,
antitrombotik, dan menurunkan peningkatan
aktivitas metalloproteinase transaminase, myalgia
(Spinler dan Denus, 2011) (Medscape, 2016)

24
Pemantauan
efektivitas:

Sebagai antibiotik profilaksis Kadar leukosit, suhu


sebelum biopsi renal. badan
1g 30-60 menit
Profilaksis biopsi
Cefazoline IV sebelum tindakan
renal Cefazoline menghambat Pemantauan efek
(Lacy et al, 2009)
sintesis mukopeptida dinding samping obat:
sel bakteri (Lacy et al, 2009).
Hipersensitif dengan
golongan sefalosporin
(Lacy et al, 2009)
Pemantauan
efektivitas:

Kadar kalsium berada


pada angka normal
1-1,2 g PO tiap hari
Terapi Mencegah dan mengatasi atau terbagi tiap 6-12 Pemantauan efek
Kalk PO samping obat:
hipokalsemia defisiensi kalsium. jam bersama makan
(Lacy et al, 2009)
Konstipasi, pusing,
mulut kering,
hiperkasemia,
hiperkasiuri,
hipomagnesia,
hipofosfatemia (Lacy et

24
al, 2009)

Lansoprazol: Hari 1:nyeri - Pemantauan


Mengatasi peptic ulcer yang efektivitas:
Lansoprazol
diinduksi oleh karena terapi 15-30 mg/hari mual
(Medscape, 2016) +++ rasa mual dan perih
kortikosteroid dosis besar dan
lambung berkurang
mengatasi mual yang dirasakan
Hari 2:nyeri ++
pasien saat masuk rumah sakit.
Pemantauan efek
mual ++ samping obat:
Lansoprazol merupakan proton
pump inhibitor; yang bekerja
Terapi sindrom Hari 3:nyeri – Ekstrapiramidal
dengan menekan sekresi asam
dispepsia Metocloperamid: 30 sindrom
lambung basal dan terstimulasi
mg/hari dalam 3 mual ++
dengan berikatan dengan sel dosis terbagi (Medscape, 2016)
Metocloperamid parietal pompa H+/K+ ATP (Medscape, 2016) Hari 4:nyeri –
(Lacy et al., 2009).
mual +

Hari 5:nyeri –

mual -

24
2.7. Drug Related Problem
Analisis Rekomendasi
Terapi Kurang Adekuat
Pasien masuk rumah sakit dengan kondisi Karena hal ini terjadi disebabkan
severe hipoalbuminemia (kadar albumin = oleh restriksi pemberian albumin
1.22 g/dL). oleh BPJS yang setiap kali pasien
MRS hanya boleh mendapatkan 3
Berdasarkan perhitungan koreksi albumin, kali transfusi maka solusinya
dengan rumus: adalah pemberian suplemen
albumin bagi pasien seperti
“Kebutuhan albumin = (kadar albumin yang Vipalbumin 3dd2 caps dan diet
diharapkan – kadar albumin aktual) x BB tinggi albumin seperti putih telur.
(kg) x 0.8 gram”, didapatkan kebutuhan
albumin untuk koreksi seharusnya 118 gram
namun pasien hanya menerima 4 kali
transfusi albumin dengan total = 80 gram.
Efek Samping Potensial
Pada saat keluar rumah sakit pasien tidak Diberikan obat golongan Proton
mendapatkan PPI padahal pasien beresiko Pump Inhibitor (PPI), misalnya
mengalami dyspepsia syndrome karena Lanzoprazole 30 mg 1dd1. PPI
menggunakan kortikosteroid dosis besar dapat diberikan maksimal 4
dalam waktu yang lama. minggu.
Ada Indikasi tetapi Tidak Ada Terapi
Memberikan rekomendasi
suplemen kasium oral, kasium
Pada saat masuk rumah sakit, serum
laktat 500 mg – 1000 mg/hari.
kalsium pasien 7.1 (kurang dari 9.0,
Selain itu, dapat dikombinasi
hipokalsemia) namun pasien tidak
dengan suplemen vitamin D-aktif
mendapatkan terapi.
(1,25-dihidroksicholekasiferol)
dengan dosis 125-250 IU.
Pada saat keluar rumah sakit, kadar serum
kalium pasien jatuh pada nilai 3.09
Rekomendasi suplemen kalium
(moderate hypokalemia). Kemungkinan
oral seperti KSR 3dd1.
besar karena penggunaan Furosemid, namun
konsdisi ini tidak mendapatkan terapi.
Dilihat dari data WBC yang meningkat pada
tanggal 15/3/2016 = 14.3.103 dan pada
tanggal 18/3/1016 = 16. 103 serta didukung Rekomendasi kepada dokter untuk
dari data hitung jenis leukosit yang dilakukan kultur untuk mengetahui
menunjukkan terjadinya peningkatan bakteri penyebab infeksi sehingga
neutrofil yaitu 75.7 maka dimungkinkan penggunaan antibiotik tepat untuk
terjadi infeksi. Pasien sindrom nefrotik mencegah infeksi.
sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat
infeksi perlu segera diobati dengan

24
pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama
adalah selulitis dan peritonitis primer
(Trihono et al., 2012).

2.8. Konseling
Konseling yang diberikan kepada pasien yaitu:
1. Penjelasan terkait obat yang diterima pasien
Pasien dijelaskan tentang obat apa saja yang diterima dan bagaiman aturan
pakainya, berikut tentang tujuan penggunaan tersebut sehingga kepatuhan
pasien meningkat.
2. Penjelasan terkait diet atau suplemen yang dapat disarankan yaitu
-Pasien mendapatkan terapi jangka panjang menggunakan steroid sehingga
beresiko terjadi osteoporosis akibat ESO steroid. Sehingga disarankan untuk
mengonsumsi susu.
-Pasien disarankan diet tinggi albumin, seperti putih telur dan bila perlu
konsumsi supelemen albumin seperti Vipalbumin 3dd2kaps.
3. Penjelasan terkait kebiasaan apa yang harus dihindari
Pasien disarankan menghindari kebiasaan konsumsi makanan yang
berdampak tidak baik terhadap fungsi ginjal, misalnya konsumsi minuman
berenergi.

24
BAB III
PEMBAHASAN

Pasien dengan inisial IDG (laki-laki, usia 22 tahun) MRS (tanggal 14


Maret 2016) dengan keluhan bengakak seluruh badan (udema anasarka), gatal-
gatal seluruh badan, dan nyeri seluruh badan, sesak nafas dan disertai severe
hipoalbuminemia (kadar serum albumin pasien 1.22 g/dl). Pasien didiagnosa
sindroma nefrotik, yaitu suatu suatu jejas yang terjadi pada glomerulus (akibat
infiltasi sel-sel imun atau proses automimun) sehingga mengakibatkan
permeabilitas membrane glomerulus meningkat dan sebagai akibatnya material
yang seharusnya tidak terfiltrasi ( protein plasma seperti albumin, IgG, lipoprotein
lipase, komponen darah) akhirnya lolos ke dalam urin sehingga manifestasi klinis
utama dari sindroma nefrotik adalah proteinuria massif dan akan diikuti oleh
manifestasi klini lainnya seperti udema anasarka, hiperlipidemia, dll namun belum
dapat ditegakkan tipe kelainan yang terjadi pada sindrom nefrotik sehingga pasien
dijadwalkan biopsy ginjal pada tanggal 17 Maret 2016. Pada kasus sindroma
nefrotik Tn. IDG, pasien mengalami proteinuria yang dapat dilihat pada hasil
urinalisis ditemukan protein dengan menggunakan uji Dipstick menunjukkan
positif 3 dan protein Esbach menunjukkan hasil yang positif. Terapi utama yang
diberikan untuk pasien dengan sindrom nefrotik adalah menggunakan
kortikosteroid high dose yaitu Prednison (2 mg/kgBB /hari atau 60 mg/hari)
selama 4 minggu selanjutnya dipantau apakah terjadi remisi dan dilanjutkan
dengan fase alternate dose prednison. Sesuai dengan penyebab utama sindrom
nefrotik yaitu suatu proses autoimun maka digunakan prednison yang bekerja
dengan cara menghambat migrasi sel-sel imun ke daerah membran glomerulus
sehingga diharapkan “kebocoran membrane” glomerulus segera diatasi yang
terlihat dengan menurunnya proteinuria. Monitoring efektivits terapi
kostikosteroid adalah pemantauan berkurangnya proteinuria (pemantauan protein
dalam sampel urin 24 jam menunjukkan hasil negative). Monitoring efek samping
yang perlu diperhatikan pada penggunaan prednison jangka panjang adalah
munculnya gejala cushingoid syndrome yaitu peningkatan tekanan darah,
terjadinya katarak, dll sehingga perlu dilakukan pengukuran tekanan darah dan

24
test katarak berkala dan perlu diwaspadai juga efek samping terjadinya gastritis
akibat adanya hambatan sintesis prostaglandin.
Selain mendapatkan prednison untuk mengatasi proteinuria, pasien juga
mendapatkan captopril yang merupakan golongan ACE inhibitor. Dosis captopril
yang diberikan yaitu sehari tiga kali 6,25 mg. Efek antiproteinurik ACEI dikaitkan
dengan penurunan fraksi filtrasi, menunjukkan penurunan tekanan
intraglomerular. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ACEI juga mungkin
memiliki efek langsung pada podosit, mengakibatkan pengurangan proteinuria
dan jaringan parut glomerular. Selain itu, ACEI nefroprotektor yang
menyebabkan vasodilatasi pada arteriola afferent ginjal (Lau, 2011).
Selain itu pasien mendapatkan terapi furosemid IV bolus yang digunakan
untuk mengatasi sesak akibat edema dan mengurangi edema dengan menginduksi
diuresis. Dosis furosemid iv yang diberikan yaitu 40 mg yang dinaikkan bertahap
hingga 120 mg serta pemberian secara peroral saat pasien krs. Pemberian
furosemid pada pasien ini dapat dikatakan cukup efektif yang dapat terlihat pada
kondisi edema pasien yang semakin hari semakin berkurang hingga pasien keluar
rumah sakit. Monitoring yang perlu dilakukan pada pemberian furosemid adalah
keluhan sesak menurun atau tidak ada, penurunan berat badan 0,5-1 kg/hari dan
pemantauan efek samping furosemid seperti hipokalemia dan overdiuresis yang
dapat mengakibatkan syok hipovolemi.
Untuk koreksi kondisi severe hipoalbumin, pasien mendapatkan transfusi
albumin 20% 100 cc sebanyak empat kali pemberian. Albumin bekerja dengan
cara meningkatkan tekanan onkotik intravaskular dan menyebabkan mobilisasi
cairan dari interstisial ke intravaskular (Lacy et al, 2008) sehingga dapat
menurunkan edema pasien. Dengan pemberian albumin, kadar albumin pasien
meningkat dari kadar albumin awal masuk rumah sakit yaitu 1,22 hingga menjadi
2,31 pada saat KRS, namun berdasarkan hasil kalkullasi pemberian albumin 20%
sebanyak 4x belum adekuat untuk mencapai target albumin yang normal (3.5 g/dl)
sehingga pasien membutuhkan tambahan suplemen albumin. Monitoring
efektivitas yang perlu dilakukan pada penggunaan albumin yaitu pemantauan
serum albumin; udema berkurang dan lama pemberian tidak boleh lebih dari 4
jam karena albumin merupakan koloid dengan viskositas yang cukup besar

25
sehingga pemberiannya tidak boleh lebih dari 4 jam karena dikhawatirkan jarum
sudah buntu dan terkait dengan stabilitas obat.
Pasien juga mengalami hiperlipidemia yang ditunjukkan dengan data
lemak darah yaitu kolestero total 333 mg/dL, trigliserida 166 mg/dL, HDL 35
mg/dL dan LDL 234 mg/dL sehingga mendapatkan terapi simvastatin 1x20 mg.
Pemberian simvastatin pada pasien selain efek primer menurunkan LDL juga
menimbulkan efek pleiotropik. Efek pleotropik tersebut termasuk perbaikan
kerusakan endotel, antiinflamasi dan antitrombotik, dan menurunkan aktivitas
metalloproteinase (Spinler dan Denus, 2011).
Pada tgl 17 Maret 2016, pada pasien dilakukan biopsi ginjal sehingga
diberikan cefazolin secara iv sebagai antibiotik profilaksis pre biopsy ginjal.
Cefazolin bekerja dengan cara menghambat sintesis mukopeptida dinding sel
bakteri (Lacy et al, 2009). Dosis cefazolin yang diberikan yaitu 1x 1 gram.
Kemudian berdasarkan dari data lab diketahui kadar kalsium pasien yaitu 7,1
mg/dL sehingga diberikan kalk secara peroral dengan dosis 1x500 mg kemudian
saat pasien krs ditingkatkan menjadi 2x500 mg.
Selain itu pasien mengalami nyeri pada daerah pinggang menjalar ke
depan dan ke bagian depan serta nyeri setelah biopsi ginjal sehingga pasien
mendapatkan terapi metamizol iv dengan dosis 3 x 1 gram dan parasetamol
peroral dengan dosis 3x500 mg untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
Kedua terapi tersebut efektif membuat nyeri yang dirasakan pasien semakin
berkurang. Penggunaan metamizole hanya dua kali saja karena memang dibatasi
penggunaan obat-obat yang bersifat nefrotoksik.
Untuk mengatasi mual dan nyeri lambung yang diinduksi oleh penggunaan
prednisone high dose jangka panjang maka diberika terapi lansoprazole iv dengan
dosis 1x30 mg dan metoclopramid iv dengan dosis 3x10 mg. Kedua terapi
tersebut cukup efektif mengatasi keluhan mual dan nyeri lambung pada pasien
namun pada saat pasien keluar rumah sakit pasien tidak mendapatkan obat untuk
mengatasi efek samping penggunaan prednisone yaitu gastritis.
Permasalahan terkait obat yang muncul pada kasus ini yaitu yang pertama
terkait terapi albumin yang kurang adekuat. Pasien masuk rumah sakit dengan
kondisi severe hipoalbuminemia (kadar albumin = 1.22 g/dL) dan hanya

25
mendapatkan transfusi albumin sebanyak empat kali dengan total 80 gram,
sedangkan berdasarkan perhitungan koreksi albumin, dengan rumus “kebutuhan
albumin = (kadar albumin yang diharapkan – kadar albumin aktual) x BB (kg) x
0.8 gram”, didapatkan kebutuhan albumin untuk koreksi seharusnya pasien
mendapatkan albumin sebanyak 118 gram. Hal ini disebabkan oleh restriksi
pemberian albumin oleh BPJS yang setiap kali pasien MRS hanya boleh
mendapatkan 3 kali transfusi albumin. Sehingga kami merekomendasikan
pemberian suplemen albumin bagi pasien seperti Vipalbumin sehari tiga kali dua
kapsul dan diet tinggi albumin seperti putih telur. Permasalahan terkait obat yang
kedua yaitu efek samping potensial yang ditimbulkan oleh penggunaan
prednisone jangka panjang. Pada saat keluar rumah sakit pasien tidak
mendapatkan PPI padahal pasien beresiko mengalami dyspepsia syndrome karena
menggunakan kortikosteroid dosis besar dalam waktu yang lama. Oleh karena itu
kami merekomendasikan pemberian obat golongan Proton Pump Inhibitor (PPI),
misalnya lanzoprazole 30 mg sehari satu kali satu kapsul dengan lama
penggunaan maksimal 4 minggu.
Permasalahan terkait obat yang ketiga yaitu ada indikasi namun tidak
mendapatkan terapi. Serum kalsium pasien pada saat masuk rumah sakit yaitu 7.1
(kurang dari 9.0, hipokalsemia) namun pasien tidak mendapatkan terapi untuk
koreksi kalsium. Kami merekomendasikan pemberian suplemen kasium oral,
kasium laktat 500 mg – 1000 mg/hari. Selain itu, juga dapat dikombinasi dengan
suplemen vitamin D-aktif (1,25-dihidroksicholekasiferol) dengan dosis 125-250
IU. Selain itu juga kadar serum kalium pasien pada saat keluar rumah sakit yaitu
3.09 (moderate hypokalemia) yang kemungkinan besar terjadi karena penggunaan
furosemid. Oleh karena itu kami merekomendasikan pemberian suplemen kalium
oral seperti KSR sehari tiga kali satu tablet.
Selain itu juga dilihat dari data WBC yang meningkat pada tanggal
15/3/2016 = 14.3.103 dan pada tanggal 18/3/1016 = 16. 103 serta didukung dari
data hitung jenis leukosit yang menunjukkan terjadinya peningkatan neutrofil
yaitu 75.7 maka dimungkinkan terjadi infeksi. Pasien sindrom nefrotik sangat
rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera diobati dengan
pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis primer

25
(Trihono et al., 2012). Namun pasien tidak mendapatkan terapi untuk mengatasi
infeksi tersebut sehingga kami merekomendasikan kepada dokter untuk dilakukan
kultur untuk mengetahui bakteri penyebab infeksi sehingga penggunaan antibiotik
tepat untuk mencegah infeksi.
Konseling yang perlu diberikan terkait terapi pada kasus sindroma nefrotik
antara lain penjelasan kepada pasien tentang obat apa saja yang diterima dan
bagaiman aturan pakainya, berikut tentang tujuan penggunaan tersebut sehingga
kepatuhan pasien meningkat; penjelasan terkait diet atau suplemen karena
penggunaan steroid jangka panjang sehingga beresiko terjadi osteoporosis akibat
ESO steroid sehingga disarankan untuk mengonsumsi susu serta pasien
disarankan diet tinggi albumin, seperti putih telur dan bila perlu konsumsi
supelemen albumin seperti Vipalbumin; dan pasien disarankan menghindari
kebiasaan konsumsi makanan yang berdampak tidak baik terhadap fungsi ginjal,
misalnya konsumsi minuman berenergi.
Secara keseluruhan studi penggunaan obat pada sindrom nefrotik pasien
insial IDG sudah sesuai dengan guideline dan pasien keluar rumah sakit dengan
kondisi umum yang cukup, namun serum albumin masih kurang dari nilai normal
(3,5 mg/dl).

25
BAB IV
KESIMPULAN

Kesimpulan studi penggunaan obat pada kasus sindrom nefrotik adalah:


1. Terapi sidrom nefrotik pasien insial IDG sudah sesuai dengan guideline.
2. Pasien keluar rumah sakit dengan kondisi umum yang cukup, namun
serum albumin masih kurang dari nilai normal (3,5 mg/dl).

25
DAFTAR PUSTAKA

Cohen EP, Lemann J. The role of the laboratory in evaluation of kidney


function. Clin Chem. 1991;37:785-796.
Hull, Richard., Gallagher, Sean., and Goldsmith. 2013. Adult Nephrotic
Syndrome. In: David Goldsmith (ed.) ABC Of Kidney. 2nd edition. USA:
John Wiley, 38-46.
Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, N.P., Lance, L.L. (Ed.), 2009. Drug
Information Handbook 17th edition. APhA : Lexi-Comp.
Lau, Alan H., 2011. Glomerulonephritis. In: Dipiro, Joseph T., Talbert, Robert L.,
Yee, Gary C., Matzke, Gary R., Wells, Barbara G., Posey, L M.
Pharmacotherapy. A Pathophysiologic Approach, Ed. 9th, Chicago: Mc
Graw Hill., pp. 837-838.
Liu, D.Kathleen and Chertow, G.M. 2015. Disorders Of The Kidney and Urinary
Tract. In: Dennis L. Kasper (ed.) Harrison’s Principles Of Internal
Medicine. 19thedition. USA: Mc.Graw Hill, 1841-1845.
McEvoy, Gerald K. 2011. AHFS Drug Infromation. USA: American Society of
Health System Pharmacist.
McPhee, S.J. and Hammer, G.D., 2010. Pathophysiology of Disease: An
Introduction to Clinical Medicine: 6thEd., San Fransisco: The McGraw-
Hill Companies, Chapter 16
Medscape, 2016, Medscape Reference, (online),
(http://www.reference.medscape.com), diakses tanggal Maret 2016
Rachmadi, Dedi. 2010. Aspek Genetik Sindrom Nefrotik Resisten Steroid.
MKB Volume 42, No.1, hal. 37-44.
Rao, K.S.,Prasad, T.,Manna,PK.2011. An Overview of Statin as Hypoliddemic
Drugs. International Journal of Pharmaceutical Science and Drug
Research. Vol.3 p.178-183.

Smoyer, W.E., and Gbadegesin, R. 2008. Nephrotic Syndrome. Columbus: p.


205-216.
Spinler, Sarah A and Denus, Simon, 2011, Acute Coronary Syndrome, in Dipiro,
J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey L.M.,
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, 8th Ed., The McGraw-
Hill Companies, New York.

Trihono, Partini Pudjiastuti., Alatas, Husein., Tambunan, Taralan., Paradede,


Sudung. 2012. Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Unit

25
Kerja Koordinasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI.
Wila Wirya IG, 2002. Sindrom Nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI pp. 381-426.
Yoegiantoro, et all. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Surabaya : Fakultas
Kedoketeran Universitas Airlangga.

25
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Respiratory Distress Syndrome (RDS)


1.1.1 Definisi
Merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34 minggu
atau berat lahir <1500 gram. Surfaktan mulai dibentuk pada usia kehamilan
24-28 minggu oleh karena itu kejadian RDS berbanding terbalik dengan usia
gestasi (IDAI, 2011).
1.1.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, setiap tahunnya RDS terjadi pada 40.000 bayi dan
sekitar 20% dari angka tersebut meninggal. RDS tidak hanya dialami bayi
berusia <35 minggu gestasi tetapi juga dapat terjadi pada bayi yang lebih tua
yang mengalami gangguan penyempurnaan paru (UCSF, 2004).
Di Indonesia sendiri, berdasar Riskesdas Kementrian Kesehatan pada
tahun 2007, RDS menjadi salah satu faktor atau penyebab kematian neonatus
yaitu dengan angka 14%.
1.1.3 Patofisiologi
Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum
berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang adekuat.
Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial paru
imatur bekerja seperti spons. Edema interstitial terjadi sebagai resultan dari
meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan
protein masuk ke rongga laveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-
paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna
disertai otot respirasi yang masih lemah. Alveoli yang mengalami atelektasis,
pembentukan membran hialin, dan edema interstitial mengurangi compliance
paru-paru; dibutuhkan tekanan yang lebih tinggi untuk mengembangkan
saluran udara dan alveoli kecil. Dinding dada bagian bawah tertarik karena
diafragma turun dan tekanan intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah
tekanan intratorakal yang dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan

25
kecenderungan terjadinya atelektasis. Dinding dada bayi prematur yang
memiliki compliance tinggi memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi
matur, berlawanan dengan kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps.
Pada akhir respirasi volume toraks dan paru-paru mencapai volume residu,
cencerung mengalami atelektasis. Faktor-faktor yang mempermudahkan
terjadinya Respiratory distress syndrome pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang
sempurna karena dinding thorak masih lemah, produksi surfaktan kurang
sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus
sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan
fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25%
dari normal, pernapasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan
10% protein, lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan
menjaga agar alveoli tetap mengembang (Locci et al, 2014) .
Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama dengan unit
respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada, menimbulkan
atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun tidak
memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya compliance
paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli
menimbulkan hipercarbia. Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis
menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatkan pirau dari
kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru
sendiri (Suriadi dan yuliani, 2006).
Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang
memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi
protein ke rongga alveoli. Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan,
dinding dada compliant, otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar.
Surfaktan merupakan zat yang berasal dari lipoprotein yang terdapat dalam
alveoli dan bronkiolus, yang berfungsi untuk membantu menurunkan tegangan

25
permukaan, mempertahankan patensi alveoli, dan mencegah kolaps alveoli,
khususnya pada akhir ekspirasi. Defisiensi ini menyebabkan tegangan
permukaan yang lebih tinggi. Alveoli paru tidak mampu mempertahankan
patensinya dan mulai kolaps dan terjadilah turunnya keseimbangan ventilasi
dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan hipoksemia arteri progresif yang
dapat menimbulkan asidosis metabolik. Hipoksemia dan asidosis
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penurunan aliran darah
paru. Kapasitas sel pnuemosit tipe II untuk memproduksi surfaktan turun.
Hipertensi paru yang menyebabkan pirau kanan ke kiri melalui foramen ovale
dan duktus arteriosus memperburuk hipoksemia. Aliran darah paru yang
awalnya menurun dapat meningkat karena berkurangnya resistensi vaskuler
paru dan PDA. Sebagai tambahan dari peningkatan permeabilitas vaskuler,
aliran darah paru meningkat karena akumulasi cairan dan protein di interstitial
dan rongga alveolar. Protein pada rongga alveolar dapat menginaktivasi
surfaktan. Berkurangnya functional residual capacity (FRC) dan penurunan
compliance paru merupakan karakteristik HMD. Beberapa alveoli kolaps
karena defisiensi surfaktan, sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan
penurunan FRC. Sebagai respon, bayi premature mengalami grunting yang
memperpanjang ekspirasi dan mencegah FRC semakin berkurang.
Cedera paru dan reaksi inflamasi yang diakibatkan menimbulkan edema
dan pembengkakan pada ruang interstitial sehingga pertukaran gas antara
kapiler dan alveoli yang masih berfungsi akan terganggu. Keadaan inflamasi
menstimulasi produksi membrane hialin yang tersusun dari timbunan fibrin
berwarna putih di dalam alveoli. Timbunan atau endapan tersebut, selanjutnya
akan menurunkan pertukaran gas dalam paru-paru dan mengurangi kelenturan
paru sehingga kerja pernafasan semakin bertambah berat. Penurunan ventilasi
alveolar mengakibatkan penurunan ratio ventilasi-perfusi dan menimbulkan
vasokonstriksi arteriol paru. Vasokonstriksi pulmoner ini menyebabkan
peningkatan volume dan tekanan dalam jantung kanan sehingga aliran darah
akan dipintas dari atrium kanan melalui foramen ovale yang terbuka (paten) ke
dalam atrium kiri. Peningkatan resistensi pulmoner juga mengakibatkan darah
kotor mengalir melalui duktus arteriosus dengan memintas (by pass) daerah

25
paru-paru sepenuhnya dan menyebabkan pintasan (shunt) dari kiri ke kanan.
Pintasan tersebut akan memperberat keadaan hipoksia. Paru-paru bayi yang
belum matur, sedangkan laju metabolik bayi juga mengalami kenaikan
mengakibatkan bayi harus menggunakan lebih banyak energi untuk
melakukan ventilasi alveoli yang kolaps. Kondisi tersebut akan meningkatkan
kebutuhan oksigen dan menimbulkan sianosis pada bayi. Bayi berusaha
mengimbanginya dengan melakukan pernafasan dangkal dan cepat, sehingga
awalnya akan terjadi alkalosis respiratorik karena karbon dioksida dibuang
keluar. Peningkatan upaya untuk mengembangkan paru menyebabkan
pelambatan respirasi dan asidosis respiratorik yang kemudian mengakibatkan
gagal nafas.
Tabel 1.1 Perbedaan Paru Janin/Fetus & Neonatal

Pada bayi extremely premature (berat badan lahir sangat rendah) mungkin
dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada Respirasi Dystress Syndroma
yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada
umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam
pertama. selainjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik
dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama (Betz, 2002).

26
Gambar 1. Patofisiologi RDS (UCSF, 2004)
1.1.4 Gejala
Gejala yang muncul dari adanya Respiratory Distress Syndrome (RDS)
diantaranya yaitu nafas berat dan cenderung hipotermia dan hipotensi (UCSF,
2004).

1.1.5 Tatalaksana Terapi


Guideline terapi Respiratory Distress Syndrome (RDS) (UCSF, 2004) :
a. Suplai Oksigen
Mencegah adanya fluktuasi kadar saturasi oksigen yang dialami oleh bayi.
Target saturasi oksigen 92-96%.
b. Surfaktan
Terapi pemberian surfaktan dapat digunakan sebagai profilaksis terhadap
bayi dengan RDS atau beresiko mengalami RDS untuk mengurangi resiko
pneumothorax dan kematian setelah kelahiran.
Beractant (Survanta®) :
Profilaksis = 100mg/kg/dosis (4ml/kg) secara intratrakeal pada 15 menit
pertama setelah kelahiran. Dilanjutkan pemberian sebanyak 4
dosis dalam 48 jam selanjutnya, tidak lebih dari tiap 6 jam.
Terapi = Jika RDS dapat dipastikan melalui X-Ray, berikan
100mg/kg/dosis (4ml/kg) secara intratrakeal pada 8 jam
pertama setelah kelahiran. Dilanjutkan pemberian sebanyak 4

26
dosis dalam 48 jam selanjutnya, tidak lebih dari tiap 6
jam.
c. Non-Invasive Respiratory
Tindakan ini bisa diartikan sebagai bantuan pernafasan yang diberikan
tidak melalui ETT. Ini termasuk CPAP, berbagai tipe dari ventilasi melalui
nasal mask atau disebut juga NIPPV (nasal intermittent positive pressure
ventilation) dan oksigen yang dialirkan dalam jumlah banyak melalui nasal
canul.

1.2 Pulmonary Edema


1.2.1 Definisi
Merupakan akumulasi cairan pada paru, yang terkumpul pada alveoli.
Cairan yang terkumpul pada alveoli menyebabkan kesulitan bernapas.
Menyebabkan terganggunya pertukaran gas dan dapat mengakibatkan gagal
napas (Brunner, 2015). Pulmonary Edema dapat digolongkan menjadi
Kardiogenik, Non-Kardiogenik, dan Neurogenik.
2.1 Pulmonary Edema Kardiogenik
Transudasi cepat cairan ke paru sehingga meningkatkan tekanan kapiler
pulmo tanpa sempat mengkompensasi (UCSF, 2012), sehingga cairan
merembes ke interstitial alveoli atau ke alveoli (Martin, 2007).
2.2. Pulmonary Edema Non-Kardiogenik
Disebabkan kapiler alveoli menjadi rusak dan bocor sehingga
menyebabkan pergerakan protein dan air ke interstitial (UCSF, 2012).
Peningkatan permeabilitas kapiler. Tekanan hidrostatik normal, penurunan
tekanan onkotik (Martin, 2007).
2.3 Pulmonary Edema Neurogenik
Disebabkan aktivitas simpatik yang menyebabkan vasokontriksi dan
peningkatan permeabilitas vaskular (UCSF, 2012). Stimulasi reflex adrenergik
sistem saraf otonom menyebabkan pergerakan cepat aliran darah menuju
sirkulasi pulmonar (Martin, 2007).

1.2.2 Patofisiologi

26
Diawali dengan adanya peningkatan dalam tekanan hidrostatik kapiler
paru yang disertai dengan kelainan pada bagian kiri jantung, CAD, dan tidak
normalnya katup aorta. Adanya peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler
paru, kemudian penigkatan tekanan vena dari atrium kiri ke paru,
berhubungan dengan menurunnya tekanan osmotik protein interstitial dan
meningkatkan tekanan dari limfe. Hal ini mengakibatkan ruang interstitial
membesar dan tekanannya bertambah seiring dengan bertambahnya tekanan
hidrostatik kapiler paru. Awalnya, kelebihan filtrat akan mencari dan mengisi
ruang intertitial peribronchovascular, yang dapat menampung 300-400 ml
cairan (tergantung dari ukuran paru-paru). Suatu saat ruang intertitial akan
penuh dan cairan akan membanjiri ruang alveolar. Kemudian, alveoli pada
bagian paru tertentu akan dipenuhi cairan yang seharusnya dipenuhi oleh
udara, dan akhirnya cairan yang berlebih akan tersebar ke alveoli lain.
(Murray, 2011)

1.2.3 Gejala
Gejala dari Pulmonary Edema diantaranya yaitu, distres nafas, sulit
makan, lemah atau lesu, penurunan berat badan, dan sianosis (UCSF, 2012).

1.2.4 Tatalaksana Terapi


Guideline terapi Pulmonary Edema Kardiogenik (UCSF, 2012)
diantaranya:
1. Suplementasi Oksigen
2. Diuretik  Furosemid 0,5-1mg/kg BB (iv/io)
3. Morfin Sulfat  0,1 mcg/kg iv/io, maksimal single dose 5 mcg
Fentanil  1 mcg/kg iv/io, maksimal single dose 50 mcg (mengurangi
kecemasan pasien, mengurangi work of breathing dengan cara membatasi
aktivitas simpatik serta menghindari dilatasi vena dan arteri)
4. Vasodilator  nitrogliserin/nitroprusid (terutama pada kasus hipertensi
emergensi, regurgitasi aorta atau mitral, kerusakan dinding ventrikel

26
1.3 Twin to Twin Transfussion Syndrome (TTTS)
1.3.1 Definisi
Twin to twin transfusion sindrome adalah suatu keadaan dimana
terjadi ketidakseimbangan aliran darah antara bayi kembar satu dengan yang
lain, sehingga menyebabkan salah satu bayi kekurangan pasokan darah,
sedangkan yang lain mendapat banyak pasokan darah. Sindrome ini dapat
terjadi selama masa kehamilan, terutama sebelum kehamilan usia 24 minggu
(Frasser, 2007).
Bayi dengan Twin to twin transfusion sindrome beresiko menderita
kelainan pada jantung hingga heart failure, sehingga dapat mengalami
pulmonary edema kardiogenik.

1.3.2 Epidemiologi
Sepertiga dari kelahiran bayi kembar adalah berasal dari janin monozigot,
dan tiga perempat dari bayi kembar monozigot merupakan MCDA. Pada
umumnya, gestasi bayi kembar dengan plasenta MCDA memiliki resiko
terjadinya TTTS, dimana 8 – 10% dari kehamilan mengalaminya. Dengan kata
lain, TTTS dapat terjadi 1 – 3 dari 10.000 kelahiran bayi kembar monozigot
(Simpson, 2013).

26
1.3.3 Patofisiologi
Sebagian besar dari kehamilan akan menghasilkan satu bayi, hanya 1 dari
80 kehamilan akan terjadi kehamilan kembar yang dapat terjadi dalam 2 cara.
Cara yang paling umum (2/3 kasus) adalah 2 sperma yang berbeda akan
membuahi 2 ovum menghasilkan kehamilan kembar dizigotik atau disebut
juga fraternal twin (Gambar 2). Pada janin kembar dizigotik akan memiliki
dua membran ketuban dan dua plasenta sehingga sering disebut kehamilan
diamniotic, dichorionic (Nora, 2013).

Gambar 2. Dizygotic (dichorionic diamniotic)

Pada 1/3 kehamilan lainnya, 1 sperma akan membuahi 1 ovum tetapi akan
membelah menjadi 2 embrio menghasilkan kembar monozigotic, sering
disebut juga kembar identik karena memiliki materi genetik yang sama
(Gambar 3). Kurang lebih 1/3 dari kembar monozigotic tampak seperti
fraternal twin karena pada pemeriksaan ultrasound prenatal didapatkan 2
membran ketuban dan plasenta yang terpisah. Akan tetapi pada 2/3 kasus
kembar identic setiap janin memiliki membran ketuban sendiri namun akan
berbagi plasenta yang sama. Jenis kembar monozigotik ini sering disebut
monochorionic, diamniotic yang memiliki risiko komplikasi yang lebih tinggi
untuk terjadinya TTTS oleh karena berbagi plasenta yang sama (Nora, 2013).

Gambar 3. Monozygotic (monochorionic, diamniotic)

26
Kurang dari 1% dari kembar identik (sekitar 1 dari 2400 kehamilan) akan
menghasilkan satu membran ketuban dan satu plasenta bagi kedua janin. Tipe
ini disebut monochorionic, monoamniotic (Gambar 4). Jenis kembar ini
memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya kematian janin akibat umbilical
cord accident.

Gambar 4. Monozygotic (monochorionic, monoamniotic)

Twin-to-twin transfusion syndrome merupakan suatu tantangan dalam


terapi terutama terhadap prognosis janin. Dalam kondisi tanpa penanganan
yang adekuat akan menyebabkan morbiditas dan mortalitas janin. Kondisi ini
akan mempengaruhi kedua janin dimana dengan kondisi awal yang normal,
oleh karena adanya hubungan antara keduanya yang berada pada permukaan
plasenta sehingga seharusnya dapat untuk dilakukan terapi. Kondisi ini hanya
terjadi pada monochorionic, diamniotic (1/3 dari monozygotic twin). Pada
sebagian besar kehamilan ini, plasenta tunggal akan memiliki pembuluh darah
yang akan menghubungkan kedua janin. Untuk alasan yang belum diketahui
sampai dengan saat ini, pada 15%-20% dari monochorionic diamniotic aliran
darah yang melalui pembuluh darah ini menjadi tidak seimbang menghasilkan
kondisi yang disebut twin-twin transfusion syndrome (TTTS) yang bukan
merupakan faktor yang diturunkan/genetik atau disebabkan oleh sesuatu yang
dilakukan oleh ibu atau ayah (Nora, 2013).

Gambar 5. Anostomosis kedua janin

26
Pada TTTS, janin yang lebih kecil (disebut janin donor) tidak
mendapatkan aliran darah yang mencukupi sedangkan janin yang lebih besar
(disebut janin resipien) menjadi overloaded karena terlalu banyak aliran darah.
Sehingga menghasilkan gangguan pada trimester kedua ditandai dengan
perbedaan jumlah air ketuban dan gangguan pertumbuhan yang mencolok
diantara keduanya, terjadi hipovolemik dan insufiensi plasenta pada janin
donor, dan hipervolemik dan disfungsi jantung pada resipien (Gambar 5).
Adanya transfusi yang tidak seimbang diantara keduanya oleh karena
anastomosis arteri-vena yang berjalan satu arah, dengan ketidakmampuan atau
tanpa adanya kompensasi pada sepanjang anastomosis dua arah, sehingga
menghasilkan up-regulation dari sistem renin-angiotensin pada donor dan
down-regulation pada resipien.
Dalam usaha untuk mengurangi volume darahnya, janin resipien akan
meningkatkan produksi urin sehingga pada pemeriksaan ultrasound
didapatkan vesica urinaria yang besar dan jumlah air ketuban yang banyak
(polihidramnion). Pada saat yang sama janin donor akan menghasilkan air
ketuban yang sedikit, air ketuban disekitarnya akan menjadi sedikit atau tidak
ada (oligohidramnion). Dalam perjalanan kondisi ini, janin donor akan
memproduksi sangat sedikit urin sehingga vesica urinaria tidak dapat terlihat
pada pemeriksaan ultrasonografi, jumlah air ketuban yang sedikit akan
menghasilkan gambaran janin donor terbungkus oleh membran ketubannya
(stuck twin). Machin et al melakukan pemeriksaan anatomi vaskular plasenta
pada 69 kehamilan kembar monochorioc, ditemukan bahwa prognosis klinis
terburuk didapatkan pada tipe anastomosis arteri-vena yang berasal dari donor
ke resipien yang tidak diimbangi dengan aliran yang sebaliknya (Machin et al,
2000).
Pada kehamilan kembar distensi uterus berlebihan, sehingga melewati
batas toleransi danseringkali terjadi partus prematurus. Lama kehamilan
kembar dua rata-rata 260 hari, triplet 246 hari dan kuadruplet 235 hari. Berat
lahir rata-rata kehamilan kembar ± 2500 gram, triplet 1800 gram, kuadriplet
1400 gram. Penentuan zigositas janin dapat ditentukan dengan melihat
plasenta dan selaput ketuban pada saat melahirkan. Bila terdapat satu amnion

26
yang tidak dipisahkan dengan korion maka bayi tesebut adalah monozigotik.
Secara umum, derajat dari perubahan fisiologis maternal lebih besar pada
kehamilan kembar dibanding dengan kehamilan tunggal. Pada trimester 1
sering mengalami nausea dan muntah yang melebihi yang dikarateristikan
kehamilankehamilan tunggal. Perluasan volume darah maternal normal adalah
500 ml lebih besar pada kehamilan kembar, dan rata-rata kehilangan darah
dengan persalinan vagina adalah 935 ml, atau hampir 500 ml lebih banyak
disbanding dengan persalinan dari janin tunggal. Massa sel darah merah
meningkat juga, namun secara proporsional lebih sedikit pada kehamilan-
kehamilan kembar dua dibanding pada kehamilan tunggal, yang menimbulkan
anemia fisiologis yang lebih nyata. Kadar haemoglobin. kehamilan kembar
dua rata-rata sebesar 10 g/dl dari 20 minggu ke depan (Machin et al, 2000).
Sebagaimana diperbandingkan dengan kehamilan tunggal, cardiac
output meningkat sebagai akibat dari peningkatan denyut jantung serta
peningkatan stroke volume. Ukuran uterus yang lebih besar dengan janin
banyak meningkatkan perubahan anatomis yang terjadi selama kehamilan.
Uterus dan isinya dapat mencapai volume 10 L atau lebih dan berat lebih dari
20 pon. Khusus dengan kembar dua monozygot, dapat terjadi akumulasi yang
cepat dari jumlah cairan amnionik yang nyata sekali berlebihan, yaitu
hidramnion akut. Dalam keadaan ini mudah terjadi kompresi yang cukup besar
serta pemindahan banyak visera abdominal selain juga paru dengan
peninggian diafragma. Ukuran dan berat dari uterus yang sangat besar dapat
menghalangi keberadaan wanita untuk lebih sekedar duduk ada kehamilan
kembar yang dengan komplikasi hidramnion, fungsi ginjal maternal dapat
mengalami komplikasi yang serius, besar kemungkinannya sebagai akibat dari
uropati obstruktif. Kadar kreatinin plasma serta urin output maternal dengan
segera kembali ke normal setelah persalinan. Dalam kasus hidramnion berat,
amniosintesis terapeutik dapat dilakukan untuk memberikan perbaikan bagi
ibu dan diharapkan untuk memungkinkan kehamilan Berbagai macam stress
kehamilan serta kemungkinan-kemungkinan dari komplikasi-komplikasi
maternal yang serius hampir tanpa kecuali akan lebih besar pada kehamilan
kembar

26
1.3.4 Tatalaksana Terapi
Beberapa jenis teknik terapi dilakukan dalam usaha memperbaiki hasil
luaran kehamilan pada kasus Twin to Twin Transfussion Syndrome.
Pendekatan yang dilakukan meliputi (Rushadi & Rusda, 2005) :
a. Amiosentesis
Terapi amiosentesis dilakukan dengan mengurangi cairan amnion
berlebihan pada kantung amnion kembar resipien (tidak dapat dilakukan pada
monochorionic). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang lebih untuk
kembar donor, mengurangi ketidaknyamanan ibu karena cairan amnion yang
terlalu banyak, dan kehamilan dapat berlanjut lebih aman dengan
berkurangnya resiko prematur. Komplikasi terapi ini meliputi
korioamnionitis, persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan solusio
plasenta.
b. Septostomi
Dilakukan dengan cara membuat lubang kecil pada membran pemisah
yang akan berfungsi sebagai tempat lewatnya cairan amnion dari satu kantung
amnion ke kantung amnion yang lain sehingga terjadi keseimbangan cairan
amnion. Komplikasi yang dapat terjadi meliputi pecahnya selaput pemisah,
terjadi pertautan tali pusat kedua janin, dan kematian janin.
c. Terapi Laser
Dilakukan dengan memasang endoskopi melalui perut ibu ke kantung
amnion kembar resipien. Fetoskop dan laser dilewatkan melalui endoskop.
Dengan bantuan USG dan petunjuk pada video realtime, laser digunakan
untuk mengkoagulasi atau merusak anastomosis pembuluh darah secara
selektif.

1.4 Early Onset Sepsis (EOS)


1.4.1 Definisi
Sepsis pada neonatus merupakan sindrom klinis yang
dikarakterisikkan dengan adanya tanda dan gejala dari infeksi dengan atau
tanpa adanya bakteremia yang mengikuti pada bulan pertama kelahiran. Early
Onset Sepsis terjadi pada 72 jam pada awal kelahiran (AIIMS, 2014).

26
1.4.2 Epidemiologi
Berdasarkan data dari NNPD (National Neonatal Perinatal Database)
pada tahun 2000, kejadian EOS telah dilaporkan sebanyak 38 kasus dari 1000
kelahiran. Dengan kejadian yang paling umum terjadi adalah septicemia yaitu
dengan angka kejadian 24 kasus dari 1000 kelahiran bayi. Neonatal sepsis
merupakan sebab yang umum terjadi yang berkontribusi dalam mortilitas dari
kelahiran bayi, sebanyak 23% kematian bayi baru lahir disebabkan oleh EOS
atau neonatal sepsis (AIIMS, 2014).

1.4.3 Patofisiologi
Sepsis adalah adanya mikroorganisme patogen atau toksinnya di
dalam darah atau jaringan lain atau dapat dikatakan suatu keadaan yang
berhubungan dengan keadaan tersebut. Septikemia adalah penyakit sistemik
yang berhubungan dengan adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen
atau toksinnya di dalam darah. Terjadinya sepsis pada neonatus disebabkan
karena adanya beberapa faktor resiko sepsis yang dialami baik oleh ibu
maupun neonatus. Faktor resiko terjadinya sepsis pada neonatus diantaranya:
a. Berat bayi lahir rendah (<2500 gram) atau prematur
b. Demam pada ibu dengan adanya infeksi bakteri selama 2 minggu sebelum
kelahiran
c. Cairan amnion berbau busuk dan/atau meconium stained liquor
d. Ruptur membran >24 jam
e. Single unclean atau >3 psterile vaginal examination(s) selama persalinan
f. Partus lama (jumlah tahap 1 dan tahap 2 saat persalinan >24 jam)
g. Perinatal asphyxia (skor apgar <4 pada satu menit)
(AIIMS, 2014)

1.4.4 Gejala
Gejala sepsis pada neonatus diantaranya, distres nafas, instabilitas
suhu, penurunan perfusi perifer, kebutuhan resusitasi yg mendadak, episodic

27
apneu, lethargy, seizure, nafsu makan menurun, distensi abdominal,
hipoglikemia, hipotensi, asidosis metabolik dan/atau respiratori.

1.4.5 Klasifikasi Sepsis Neonatorum


Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis)
(AIIMS, 2014).
Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera
dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada
saat proses kelahiran atau in utero. Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan
infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar
atau rumah sakit (infeksi nosokomial) (AIIMS, 2014).. Proses infeksi pasien
semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka
mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20% (Russel,
2015) SAD sering dihubungkan dengan infeksi intranatal, sedangkan SAL
sering dihubungkan dengan infeksi postnatal terutama nosokomial. Tabel di
bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan
sumber infeksi.
Tabel 2.1. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi
Dini Lambat

Awitan <72 jam >72 jam

Lingkungan
Sumber infeksi Jalan Lahir
(Nosokomial)

1.4.6 Tatalaksana Terapi


Tata Laksana Penanganan Sespsis (Pedoman Diagnosis & Terapi
RSSA) diantaranya:
a. Eradikasi fokus infeksi

27
b. Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan
kuman penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan
farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati)
c. Antimikroba definitif diberikan bila hasil kultur mikroorganisme telah
diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan
mikroroganisme.
d. Suportif : resusitasi ABC (Airway, Breathing, Circulation), oksigenasi,
terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi (sesuai indikasi) pada
renjatan septik diperlukan untuk mendapatkan respons secepatnya.
e. Hipovolemia pada sepsis segera diatasi dengan pemberian cairan
kristaloid atau koloid. Volume cairan yang diberikan mengacu pada
respons klinis. Respons terlihat dari peningkatan tekanan darah,
penurunan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, peraba kulit dan
ekstremitas, produksi urin, dan perbaikan kesadaran) dan perlu
diperhatikan ada tidaknya tanda kelebihan cairan (peningkatan
tekanan vena jugularis, ronki, galop S3, dan penurunan saturasi
oksigen). Sebaiknya dievaluasi dengan CVP (dipertahankan 8-12
mmHg) dengan mempertimbangkan kebutuhan kalori per hari.
f. Oksigenasi sesuai kebutuhan. Ventilator diindikasikan pada hipoksemia
yang progresif, hiperkapnia, gangguan neurologis atau kegagalan otot
pernafasan.
g. Bila hidrasi cukup tetapi pasien tetap hipotensi, diberikan vasoaktif untuk
mencapai tekanan darah sistolik >90 mmHg atau MAP 60 mmHg dan urin
dipertahankan >30 ml.jam. Dapat digunakan vasopresor seperti dopamin
dengan dosis >8ug/kgBB/menit, norepinefrin 0,003-1,5 ug/kgBB/menit,
fenilefrin 0,5-8 ug/kgBB/menit atau epinefrin 0,1-0,5 ug/kgBB/menit.
Bila terdapat disfungsi myocard dapat digunakan inotropik seperti
dobutamin dengan dosis 2-28 ug/kgBB/menit atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinon dan milrinon)

27
h. Transfusi komponen darah sesuai indikasi.
i. Koreksi gangguan metabolik: elektrolit, gula darah dan asidosis metabolik
(secara empiris dapat diberikan bila pH<7,2 atau bikarbonat serum
<9mmHg/1 dengan disertai upaya perbaikan hemodinamik).
j. Nutrisi yang adekuat.
k. Terapi suportif terhadap gangguan fungsi ginjal.
l. Kortikosteroid bila ada kecurigaan insufisiensi adrenal.
m. Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat
diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-25
IU/kbBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk
mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya.

27
Sedangkan menurut Guideline terapi neonatal sepsis (WHO, 2012) yaitu:
Antibiotik Profilaksis untuk pencegahan sepsis

Ampicillin (IM atau IV) dan gentamycin


sedikitnya 2 hari

Neonates dengan faktor resiko infeksi. Setelah 2 hari  harus asessment ulang.
Terapi dilakukan hanya jika ada tanda
sepsis atau kultur darah (+)

Antibiotik empiris untuk suspected neonatal sepsis

Ampicillin (atau penicillin) dan


Neonates dg gejala sepsis gentamycin sbg 1st line terapi setidaknya
10 hari
Jika neonates dg resiko infeksi Cloxacillin dan gentamycin
staphylococcus >>
Apabila memungkinkan,Kultur darah Ganti Ab, atau infants perlu dirujuk untuk
sebelum pemberian Ab. treatment lebih lanjut
Jika respon << dalam 2-3 hari

27
BAB II
STUDI KASUS

2.1 Data Demografi Pasien

Nama Pasien Bayi Nyonya P I

Usia / BB / PB 32 minggu / 1500 gram / 39 cm


Status Umum
Alamat Wagir, Malang
MRS 5 Maret 2016
Dokter dr. A/ dr. E
Farmasis CR, S.Farm, Apt.
Keluhan Utama NKB / BBLSR / Sesak
Catatan  Pasien rujukan dari RS Tongan
 Skala nyeri saat MRS = 2 (ringan)
 Bayi belum mendapat imunisasi.

2.2 Tanda-Tanda Vital

27
2.3 Tanda-Tanda Klinis
Parameter Tanggal
5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Lemah + + + + + + + + + + - - - - - - - - -
Edema - - - - - - - - + + - - - - - - - - -
Sesak ++ ++ - ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ + - -

Tampak - + + - - - - - - - - - - - - - - - -
memerah
BAK + + + + + + + + + + + + + + + + + + +
retraksi - - - - - + + + + - - + + + + + + - -

2.4 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Rentang 5/3 6/3 8/3 10/3 13/3 14/3 15/3 18/3 19/3
Parameter
Normal
H1 H2 H4 H6 H9 H10 H11 H14 H15
WBC (x10 ) 3
9-30 4,02 2,08 6,02 8,02
Hb 14-24 g/dL 26,8 26,8 23,6 20,7 19
PLT (x103) 100-300 140 76 135 254
PTT 10,9-13,9 39,4 24,6 37,3 15,1
APTT 33,9-51,2 79,7 57,3 62,3 60,5
GD Acak 50-90 453 44 151 81
Ureum 4-12 13,9
Kreatinin 0,3-0,7 0,56
SGOT/AST 35-140 u/L 161
SGPT/ALT 4-36 u/L 20
Albumin
2,2-4,8 u/mL 4,2

27
Rentang 5/3 6/3 8/3 10/3 13/3 14/3 19/3 21/3 23/3
Parameter
Normal* H1 H2 H4 H5 H8 H9 H14 H16 H18
Bilirubin 1-12 18,84 14,15
total mg/dL
Direct 0,1-0,3 2,45
Indirect 0,2-0,8 11,70
Serum Elektrolit
Natrium/Na 130-145 134 132 129 128
Kalium/ K 4,1-5,3 5,01 5,44 5,97 4,48
Kalsium/ 9-11 9,1 9,3 9,6 9,2
Ca
Fosfor/ PO4 4,5-9,0 5,9
BGA
pH 7,35-7,45 7,30
pCO2 32-48 40,9
pO2 83-108 229,5
HCO3 20-28 20,3
Saturasi O2 92-96% 99,7
*Pagana, Kathleen Deska, Timothy J. Pagana, Theresa Noel Pagana. 2015.
Mosby’s Diagnostic and Laboratory Test Reference 12th Ed. Elsevier: USA.

2.5 Hasil Pemeriksaan Kultur


Dilakukan kultur pada tanggal 15 Maret 2016 dengan hasil sebagai
berikut:
Spesimen : Darah
Bakteri yang menginfeksi : Staph. koagulase negatif, bakteri
gram positif
Antibiotik rekomendasi : Amikasin

27
2.6 Profil Terapi
5/3 6/3 7/3 8/3 9/3 10/3 11/3 12/3 13/3 14/3 15/3 16/3 17/3 18/3 19/3 20/3 21/3 22/3 23/3
Obat Rute Dosis
H1 H2 H3 H4 H5 H6 H7 H8 H9 H10 H11 H12 H13 H14 H15 H16 H17 H18 H19
O2 NC 2 lpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
85cc/24 √ √ √
Inf. D10% IV //
jam
CN 10%* IV 10% √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

KCl IV 1,5cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ / √ √ √ √ √ √ √ √

Ca Gluconas IV 1,5cc √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

NaCl 3% IV 3cc √ √ √ //
Aminosteril**
IV 25cc √ / / / √ √ √ √ √ √ √ //
6%
Lipid 20%*** IV 10cc √ / / / √ √ √ √ √ √ //
Humulin R SC 0,1 IU √
Ampicilin IV 3x100mg √ √ √ √ √ √ √
Ampicilin +
IV 3x100mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Sulbactam
Gentamycin IV 1x7,5mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ //
Amikasin IV 1x11,5mg √ √ √ √ √ √ √ √ √
Furosemid IV 2x0,75mg √ √ √ //
Aminofilin IV 3x6mg √ √ //
Transfusi FFP IV 3x15cc √ √ √ √ / √ √ √ //
Vit. K IM 1x1mg √ √ √ //
*CN 10% = D10, 1/5 NS
**Aminosteril 6% = Amino Acid 6%
***Lipid 20% = 20% Soybean Oil, 1.2% Egg Yolk Phospholipids, 2.25% Glycerin, WFI

2
2.7 Analisis Terapi
Terapi Indikasi Dosis Pustaka Analisis Monitoring
O2 Mempertahankan Jangan dibawah Diberikan terapi Saturasi oksigen, cek
PaO2 pada bayi 40%, Bayi dengan oksigen sebesar 2lpm pH darah
(Locci et al, 2014; BB<1,5Kg sesuai diberikan Nilai saturasi oksigen
Roberton, 1979) pertahankan PaO2 karena saturasi Warning :
60-90mmHg. oksigen pasien tidak <92% atau >96%
CPAP (2-4cm stabil. Pemberian O2 (NHS, 2011)
H2O) via nasal pada pasien sudah
prong (Roberton, adekuat, terlihat dari
1979) data saturasi O2 pasien

Furosemid iv : Dosis iv/im : Merupakan obat Nilai serum elektrolit


Terapi untuk edema 1mg/kg BB dosis golongan loop diuretik terutama kadar
pulmonary. tunggal . yang sesuai diberikan kalium dan natrium.
Digunakan pada Tidak lebih sering untuk mengatasi Monitoring ESO :
saat memerlukan dari tiap 2 jam. edema paru. Ketidakseimbangan
diuresis onset cepat Dosis max : Dosis yang diberikan elektrolit termasuk
atau tidak mungkin 6mg/kgBB sesuai dengan pustaka. dapat menyebabkan
menggunakan (AHFS, 2011) hiperglikemi,
sediaan peroral hiperurisemia, dan
(MIMS, 2015) gout, syok
hipovolemik
(Medscape, 2016)
Ampicillin Antibiotik lini Infant : 50mg/kg Sesuai dengan pustaka Monitoring ESO
pertama terapi(max 2g) IV tiap seperti mual muntah,
EOS, kombinasi dg 12 jam (1 minggu pe↑
gentamisin klahiran), 6 APTT,neutropeni,
(AIIMS, 2014) jam(2-4 minggu) kejang,pe↑ OT/PT,
(Shann, 2014) tanda-tanda infeksi
Ampicillin Ab kombinasi yg Mild/moderate Sesuai dengan pustaka seperti instabilitas
sulbactam digunakan untuk infection: suhu, hipertensi/
mengatasi resistensi >1 bln-1th : 100- hipotensi, episodic
bakteri produsen 150mg/kg/hari apneu, hipoglikemi,
enzim dalam dosis dll.
betalaktamase thdp terbagi tiap 6 jam
ampicillin. >1th : 100-
Penambahan 200mg/kg/hari
sulbactam akan dlm dosis terbagi
me↑ potensi tiap 6 jam
ampicillin. (Medscape)
Gentamycin Antimikroba gol. Pada bayi Sesuai diberikan pada - Potensi ESO
Aminoglikosida dg prematur 3mg/Kg bayi dg dx early onset nefrotoksik dan
aksi bakterisid tiap 12 jam. sepsis, dosis yang ototoksik
melawan bakteri Pada minggu diberikan sudah sesuai - Cek BAK pasien
aerob-gram (-) dan pertama kelahiran - Monitoring data
beberapa 2,5mg/Kg tiap 12 lab: Ureum, ClCr
staphylococci jam. 2,5mg/kg
(Martindale, 2009). tiap 8 jam atau
Gentamycin dengan 3mg/kg tiap 12
beta laktam jam pada infants
memiliki efek dan neonates, dan

2
sinergis 1,5-2mg/kg tiap 8
jam pada anak
(Martindale,
2009; AIIMS,
2014).
Vitamin K Sebagai faktor 0,5-1 mg IM/hari Pemberian vitamin K Data lab PTT APTT,
pembekuan darah untuk mengatasi kondisi klinis
untuk mencegah pemanjangan APTT pendarahan
pendarahan kombinasi dengan
transfusi FFP

Insulin Menurunkan gula 0,025-0,1 IU/kg Pasien mengalami Nilai Gula Darah
Humulin R darah acak pasien hiperglikemi pada hari
pertama (GD Acak
=453 mg/dL). Insulin
tepat diberikan untuk
menurunkan gula
darah.
Aminosteril Nutrisi parenteral 1,5-2,5g/kgBB Terjadi defisiensi k/u pasien, BB
6% 25 cc untuk pencegahan /hari protein pada pasien
dan pengobatan BBLSR, sehingga
defisiensi protein membutuhkan nutrisi
pada anak. parenteral Aminosteril.
Lipid 20% Nutrisi parenteral 1-3g/kgBB/hari Pasien BBLSR k/u pasien, BB
sebagai asam lemak membutuhkan asam
esensial untuk lemak esensial untuk
metabolisme tubuh membantu
metabolisme tubuh
NaCl 3% Nutrisi Parenteral 4-6cc/kgBB/hari Pasien BBLSR Data lab pasien
untuk maintanance membutuhkan asam
cairan elektrolit lemak esensial untuk
pada pasien membantu
BBLSR metabolisme tubuh
KCl 7,4 % Nutrisi Parenteral 1-2cc/kgBB/hari Pasien BBLSR Data lab pasien
untuk maintanance membutuhkan asam
cairan elektrolit lemak esensial untuk
pada pasien membantu
BBLSR metabolisme tubuh
Ca Gluconas Nutrisi Parenteral 1-2 cc/kgBB/hari Pasien BBLSR Data lab pasien
10% untuk maintanance membutuhkan asam
cairan elektrolit lemak esensial untuk
pada pasien membantu
BBLSR metabolisme tubuh
CN 10% Nutrisi Parenteral Pasien BBLSR Data lab pasien
untuk maintanance membutuhkan asam
cairan elektrolit lemak esensial untuk
pada pasien membantu
BBLSR metabolisme tubuh

2
2.8 Drug Related Problem (DRP)
a. Efek Samping Obat (ESO) Potensial
1. Penggunaan antibiotik Gentamisin-Amikasin yang digunakan sesuai
tatalaksana Early Onset Sepsis pada neonatus merupakan golongan Makrolide
memiliki efek samping obat potensial berupa nefrotoksik dan ototoksik,
sehingga perlu monitoring data laboratorium serum kreatinin dan ureum,
sedangkan efek samping ototoksik tidak dapat dilakukan monitoring.
2. Penggunaan Furosemide sesuai tatalaksana untuk mengatasi Pulmonary
Edema memiliki efek samping potensial ketidakseimbangan cairan elektrolit,
sehingga perlu dilakukan monitoring terhadap data laboratorium ion elektrolit
terutama Na+, K+, dan Cl-
b. Interaksi Obat
Penggunaan antibiotik Gentamisin dengan Furosemid pada hari pertama sampai
ketiga MRS berinteraksi secara mayor, yaitu dapat meningkatkan efek samping
nefrotoksik dan ototoksis dari Gentamisin.
c. Ketidaktepatan Pemilihan Obat
Penggunaan antibiotik Ampicillin Sulbactam sebagai terapi antibiotik sesuai
tatalaksana untuk mengatasi Early Onset Sepsis pada neonatus kombinasi dengan
Gentamisin/Amikasin. Pemberian Ampicillin Sulbactam sebagai terapi empiris
selama 18 hari lebih dari waktu pemberian sesuai tatalaksana yaitu selama 14 hari.
Untuk rekomendasi seharusnya dilakukan kultur ulang pada hari ke-7 MRS.

2.9 Konseling
Memberi penjelasan kepada ibu pasien tentang kondisi bayi agar ibu pasien bisa
menjaga pola makan dan asupan gizi. Sehingga bayi juga mendapatkan ASI yang
berkualitas dari sang ibu untuk menjaga kondisi kesehatan pasien.

28
BAB III
PEMBAHASAN

Twin to twin transfusion sindrome adalah suatu keadaan dimana terjadi


ketidakseimbangan aliran darah antara bayi kembar satu dengan yang lain.
Komplikasi yang sering muncul adalah kelahiran prematur (<37 minggu) dan
kematian bayi donor (Fresser, 2007). Dalam kasus ini, pasien terlahir prematur
sehingga memiliki imaturitas paru dan defisiensi surfaktan yang menyebabkan
terjadinya Respiratory Distress Syndrome (RDS). Respiratory Distress Syndrome
(RDS) terutama terjadi pada neonatus usia gestasi < 34 minggu atau berat lahir
bayi <1500 gram. Angka kejadian RDS pada neonatus dengan usia gestasi <30
minggu 60%, usia gestasi 30-34 minggu 25%, dan pada usia gestasi 35-36 minggu
adalah 5%. Bayi dengan Twin to twin transfusion sindrome juga beresiko
mengalami heart failure karena aliran darah yang besar melewati jantung. Hal
tersebut menyebabkan transudasi cairan ke paru karena peningkatan tekanan
hidrostatik pada kapiler pulmonary yang mengakibatkan Pulmonary Edema
Kardiogenik. Lahir dengan berat badan <2500 gram dan prematur merupakan
faktor resiko terjadinya sepsis pada neonatus. Sepsis didefinisikan sebagai
Sindrom klinis yang dikarakteristikkan dg adanya tanda dan gejala dari infeksi
dengan atau tanpa adanya bakteremia yang mengikuti pada bulan pertama
kelahiran. Early Onset Sepsis terjadi pada 72 jam pertama setelah kelahiran
(AIIMS, 2014).
Terapi yang diberikan untuk mengatasi Respiratory Distress Syndrome yang
dialami pasien adalah suplementasi oksigen sebanyak 2 lpm melalui nasal canul,
hal ini sudah sesuai dengan guideline terapi RDS (NHS, 2004). Pasien tidak
memperoleh terapi surfaktan yang bertujuan untuk menormalkan kembang-
kempis alveoli karena kendala administrasi. Untuk masalah medis pulmonary
edema, pasien mendapatkan terapi furosemid dengan dosis 2 x 0,75 mg dan
pemberian oksigen 2 lpm melalui nasal canul. Dosis furosemid sesuai dengan
pustaka (Shann, 2014) yaitu 0,5-1 mg/kgBB. Berdasarkan guideline terapi
pulmonary edema kardiogenik (NHS, 2012), pasien hendaknya mendapatkan

28
oksigen dengan CPAP namun karena masalah ketersediaan alat maka pemberian
oksigen melalui nasal canul dengan dosis yang disesuaikan.
Pasien juga mengalami masalah medis yang lain yaitu early onset sepsis
(EOS). Menurut WHO tahun 2012, manajemen terapi untuk sepsis pada neonatus
yaitu pemberian antibiotik empiris kombinasi ampisilin dan gentamisin selama ±
10 hari dilanjutkan terapi antibiotik definitif sesuai kultur. Pada kasus ini, pasien
mendapatkan terapi kombinasi ampisilin dengan dosis 3 x 100 mg iv dan
gentamisin 1 x 7,5 mg selama 7 hari. dilanjutkan kombinasi ampisilin sulbaktam 3
x 100 mg iv dan gentamisin 1 x 7,5 mg iv selama 4 hari. Setelah hasil kultur
keluar dan diketahui sensitif terhadap antibiotik amikasin, pasien diberikan
kombinasi amikasin 1 x 11,5 mg iv dan ampisilin sulbaktam 3x100 mg iv selama
lebih dari 8 hari. Pada awal terapi dengan amikasin, pasien diberikan dosis
loading dilanjutkan dosis maintenance. Jenis antibiotik yang diberikan sudah
sesuai dengan guideline terapi sepsis pada neonatus. Dosis antibiotik yang
diberikan masih memenuhi rentang dosis sesuai pustaka (Shann, 2014), ampisilin
25mg/kgBB ; gentamisin 5mg/kgBB ; amikasin loading dose 15mg/kgBB
dilanjutkan dosis maintenance 7,5mg/kgBB. Waktu pemberian antibiotik definitif
terlalu panjang, sebaiknya dilakukan kultur ulang setelah 3-4 hari pemberian
antibiotik definitif, terutama bila tidak terjadi perbaikan klinis pasien.
Terapi lain juga diberikan kepada pasien untuk koreksi serta maintenance
kadar serum elektrolit. Maintenance cairan elektrolit yang diberikan meliputi
cairan kombinasi Ca-Glukonas 1,5cc, KCl 1,5 cc dan NaCl 3%. Pasien merupakan
bayi dengan kelahiran prematur dimana keseimbangan elektrolit belum sempurna
serta mengalami insensible water loss yang cukup besar, pasien juga sempat
mendapatkan terapi elektrolit yang memiliki efek samping mayor electrolit
imbalance sehingga tepat bila diberikan cairan elektrolit maintenance. Ketika
pemberian furosemid dihentikan, pasien tidak lagi mendapatkan NaCl 3%
melainkan diganti dengan CN 10% (D10% 1/5 NS). Pada saat gula darah pasien
sangat tinggi, yaitu pada hari pertama GD Acak 453 mg/dL, pasien diberikan
insulin humulin 0,1 IU yang merupakan golongan intermediet acting secara
subkutan untuk menurunkan kadar gula darah. Dosis yang diberikan sudah sesuai
dengan pustaka (Shann, 2014) 0,025-0,1 IU/kgBB. Pasien juga mengalami

28
pemanjangan PTT dan APTT, sehingga diberikan transfusi Fresh Frozen Plasma
(FFP) 3x15cc serta vitamin K 1x1 mg. Dosis FFP dan vitamin K sesuai dengan
pustaka, FFP 10-15mg/kgBB/hari, vitamin K 0,5-1mg/hari.
Drug Related Problem (DRP) yang ditemukan dalam pemberian terapi pada
kasus ini antara lain Efek Samping Obat (ESO) furosemid yang menyebabkan
ketidakseimbangan elektrolit sehingga perlu dilakukan monitoring kadar
elektrolit. Efek samping penggunaan antibiotik golongan aminoglikosida jangka
panjang (gentamisin dan amikasin) yaitu nefrotoksik dan ototoksik, sehingga
perlu dilakukan monitoring kadar ureum dan serum kreatinin pasien, selain itu
pemberian antibiotik sudah lebih dari 14 hari, apoteker hendaknya menyampaikan
saran kepada dokter supaya melakukan kultur ulang. DRP yang lain adalah
interaksi antara furosemid dan gentamisin yang dapat meningkatkan resiko ESO
nefrotoksik dan ototoksik.

28
BAB IV
KESIMPULAN

1. Terapi yang diberikan untuk maintenance kondisi bayi prematur serta untuk
mengatasi pulmonary oedema dan RDS sudah sesuai dengan guidelin.
Pemberian surfaktan untuk terapi RDS tidak diberikan karena
mempertimbangkan beberapa hal seperti faktor ekonomi keluarga dan
efektifitas dari pemberian surfaktan.
2. Pemberian antibiotik empiris yang dilakukan selama 18 hari perlu dilakukan
evaluasi kembali dengan cara kultur ulang.

28
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

AIIMS Protocol. 2014. Sepsis in The Newborn.

Betz, Cecily L. dan Linda A. Sowden.2002.Buku Saku Keperawatan


Pediatri.Edisi III EGC:Jakarta

Brunner, Stephanie. 2015. Pulmonary Edema: Causes, Symptoms and


Treatment. http://www.medicalnewstoday.com/articles/167533.php Diakses pada:
3 April 2016.

Cotton CM, Taylor S, Stoll B, et al. and for the NICHD neonatal research
network. Prolonged duration of initial empirical antibiotic treatment is associated
with increased rates of necrotizing enterocolitis and death for extremely low birth
weight infants. Pediatrics 2009; 123:58e66.

Drugs.com/sfx/ampicillin-side-effects.html

Fresseer, Erika Mcaslan. 2007. Twin to Twin rtansfusion Syndrom: A guide for
Parents. Twinds & Multiple Births Asosiation (TAMBA)

Guidelines from CDC, 2010. Morbidity and Mortality Weekly Report. 59(RR-
10):1-36. PMID: 21088663

Machin GA., Gratton, Rob., Ash, Karen., O’brien, Karel., Gagnon, Andre.,
Fisk, Nick. 2000. Management of Twin Pregnancies (Part 1) in Journal
SOGC.Toronto:J.Soc Obstet Gynaceol Can.22(27):519-29

Martin, Kevin T.2007. Pulmonary Edema. RC Educational Consulting


Service: Riverside.

Medscape.2016.

MIMS Indonesia Ver 14.1

Nora, Hilwah. 2013. Twin to Twin Transfussion Syndrome in Jurnal


Kedokteran Syah Kuala. Banda Aceh : Fakultas Kedokteran Universitas Syah
Kuala. 13 (2) :86-96

28
Pagana, Kathleen Deska, Timothy J. Pagana, Theresa Noel Pagana. 2015.
Mosby’s Diagnostic and Laboratory Test Reference 12th Ed. Elsevier : USA.

Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan


Medis Edisi II.

Polin, Richard A MD., 2012. Management of Neonates with Suspected or


Proven Early-Onset Bacterial Sepsis in Guideline for The Clinician in
Rendering Pediatric Care. Illnois: PEDIATRICS, Official Journal of The
American Academy of Pediatrics. Pp.1006-1014

Rusda, Muhammad., R.Haryono Roeshadi. 2005. Twin to Twin Trasfussion


Syndrome. Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran USU :
Medan.

Russel, Alison R B. 2015. Neonatal Sepsis in Pediatrics and Child


Health.UK:Symposium Neonatology.pp.271-275

Shann, Frank. 2014. Drug Doses. Australia : Intensive care Unit Royal
Hospital Parkville.

Suriadi dan Rita Yuliani.2001.Asuhan Keperawatan pada Anak.Edisi I.Jakarta:PT.


Fajar Interpratama

UCSF. 2012. Pulmonary Edema. https://medicine.ucsf.edu/educ


ation/resed/Chiefs_cover_sheets/pulmonary%20edema.pdf. Diakses tanggal 25
Maret 2016.

28
BAB I

PENDAHULUAN

1. Community Acquired Pneumonia (CAP)


1.1 Definisi CAP
CAP merupakan infeksi parenkim paru yang diperoleh pasien diluar dari rumah
sakit (Dipiro, 2014).
1.2 Epidemiologi
Community-Aquired Pneumonia (CAP) atau pneumonia komuniti adalah satu
penyakit infeksi yang banyak terjadi dan juga penyebab kematian dan kesakitan
terbanyak di dunia. Di Indonesia, pneumonia termasuk dalam 10 besar penyakit
rawat inap dirumah sakit. Kejadian ini terjadi dengan proporsi kasus 53,95%
terjadi pada laki-laki dan 46,05% terjadi pada perempuan.
Tabel 1. Jumlah pasien pneumonia CAP dirawat inap dan rawat jalan tahun 2012
pada beberapa rumah sakit di Indonesia (PDPI, 2014)
Rawat Inap Rawat Jalan
Nama Rumah Sakit
Jumlah total Jumlah % % Jumlah Jumlah total
pasien paru pasien CAP pasien CAP pasien paru
2119 514 4,1 RSUD Saiful Anwar 5,7 837 26573
1870 477 25,5 RSUD Dr Soetomo 0,5 140 26573
1917 225 11,7 RSUD Moewardi 1,5 112 7455
2510 117 4,7 RSUP Persahabatan 2,5 805 32018
565 94 16,6 RS Dr M Jamil 1,3 108 8325
3551 256 7,2 RS Adam Malik 1,5 150 9800

1.3 Etiologi
Pneumonia ini disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan protozoa.
Penelitian di beberapa negara melaporkan bahwa bakteri Gram positif penyebab
utama Community Acquired Pneumonia. Pada tahun 2012 data dari beberapa
rumah sakit di Indonesia menunjukkan penyebab terbanyak CAP dari sputum
adalah kuman gram negatif seperti Klebsiella pneumoniae, acinetobacter
baumanii, Pseudomonas aeruginosa sedangkan Gram positif seperti

28
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus viridans, Staphylococcus aureus
ditemukan dalam jumlah sedikit (PDPI, 2014). CAP dengan bakteri Gram Negatif
juga sering ditemukan pada pasien dengan penyakit kronik, terutama pasien
dengan alcoholism dan diabetes mellitus.

Tabel 2. Pola kuman dari dahak pasien Pneumonia CAP yang dirawat
di RSUD Saiful Anwar pada Januari – Desember 2012 (PDPI, 2014)

Jumlah Kuman Urutan terbanyak dalam %


Staphylococcus coagulase negative 641 (53,1%)
Enterobacter gergoviae 163 (13,5%)
Klebsiella pneumonia 95 (7,8%)
Yeast like fungi 84 (6,9%)
Escherichia coli 50 4,1(%)
Acinetobacter iwolfii 43 (3,6%)
Staphylococcus aureus 42 (3,5%)
Streptococcus liquifaciens 34 (2,8%)
Serratia marcescens 34 (2,8%)

1.4 Faktor Resiko


Umur lebih dari 65 tahun, diabetes melitus, asplenia, kardiovaskular kronik,
penyakit paru, ginjal, dan hati, perokok maupun yang tidak merokok (Dipiro,
2014).

1.5 Patofisiologi
Mikoorganisme menyerang saluran pernafasan bawah dengan tiga rute:
menghirup partikel infeksius, mikoorganisme masuk ke paru melalui darah dari
infeksi extra-paru, atau aspirasi dari oropharing yang terjadi. Infeksi paru
karena virus menekan aktivitas membunuh bakteri dalam paru dengan
ketidakseimbangkan fungsi makrofag dan pembersih mikrosiliar. Sebagian
besar pneumonia jenis CAP pada manusia dewasa terjadi karena S. pneumonia
(lebih dari 75% kasus). Hal lain disebabkan M. pneumonia, Legionella spesies,
C. pneumonia, dan H. influenza dan virus (Dipiro, 2014).

28
1.5 Penatalaksanaan
Pemberian terapi antibiotik pada pneumonia CAP dibedakan berdasarkan PSI
(Pneumonia Severity Index), seperti pada pasien ICU memiliki resiko
pneumonia yang disebabkan oleh Pseudomonas atau MRSA, atau telah terjadi
toleransi antibiotik Streptococcus pneumonia. Direkomendasikan β-laktam
dengan azitromisin, atau pemberian β-laktam dengan golongan floroquinolon.
Sebagaimana gambar yang ada di bawah ini (Arnold, 2013).

Gambar 1.1 Managemen terapi Pneumonia CAP

2. Diabetes Melitus
2.1 Definisi
Diabetes melitus merupakan sekumpulan gangguan metabolik yang
berhubungan dengan abnormalitas metabolisme lemak, karbohidrat dan
protein yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, sensitivitas insulin atau
keduanya, yang ditandai dengan hiperglikemia dan mengakibatkan komplikasi
kronis termasuk mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Triplitt, et al.,

29
2014). Hiperglikemia adalah suatu kondisi medik yang berupa peningkatan
kadar glukosa dalam darah yang melebihi batas normal (PERKENI, 2015).

2.2 Epidemiologi
Indonesia merupakan salah satu dari 10 negara dengan jumlah penduduk
yang menderita diabetes melitus terbanyak. Berdasarkan penelitian dari
International Diabetes Federation (IDF), Indonesia diperkirakan berada di
peringkat nomer 9 pada tahun 2010 setelah Jepang. Prevalensi penderita
diabetes melitus yang berusia 20 – 79 tahun pada tahun 2010 mencapai 7,0
juta jiwa dan pada tahun 2030 diperkirakan meningkat menjadi 12 juta jiwa
(Shaw, et al., 2010). Pada tahun 2011, terjadi peningkatan sebesar 7,3 juta
jiwa dan pada tahun 2030 diperkirakan prevalensi penderita diabetes melitus
mengalami penurunan menjadi 11,8 juta jiwa (Whiting, et al., 2011).
Peningkatan prevalensi penderita diabetes melitus juga terjadi pada tahun
2013 menjadi 8,5 juta jiwa dan pada tahun 2035 diperkirakan meningkat
menjadi 14,1 juta jiwa dan pada tahun 2013 Indonesia berada di peringkat 6
dari 10 negara (Guariguata, et al., 2014).

2.3 Etiologi
Berdasaran etiologinya, diabetes melitus diklasifikasikan menjadi 4
macam, yakni sebagai berikut (Triplitt, et al., 2014).
1) Diabetes melitus tipe 1
Penyebabnya adalah adanya destruksi sel beta dan menjurus pada
defisiensi insulin absolut. Diabetes melitus tipe meliputi autoimun
(immune-mediated) dan idiopatik.
2) Diabetes Melitus tipe 2
Disebabkan oleh faktor genetik dan non genetik, yang menyebabkan
resistensi insulin dan defisiensi insulin.
3) Diabetes melitus tipe spesifik lain
Disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu defek genetik fungsi sel beta, defek
genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati,
pengaruh obat/zat kimia yang menyebabkan perubahan pankreas,

29
infeksi, sebab imunologi yang jarang, dan sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan dengan DM.
4) Diabetes melitus gestasional
Disebabkan adanya resistensi dan defisiensi insulin relatif yang
menyertai proses kehamilan.

2.4 Patofisiologi
Tempat metabolik yang sensitif insulin meliputi 1) liver, tempat glikogen
disintesis, disimpan dan dipecah; 2) otot skelet, tempat oksidasi glukosa
diubah menjadi energi; dan 3) jaringan lemak, tempat glukosa dikonversi
menjadi asam lemak, gliserol fosfat dan trigliserida. Insulin mempengaruhi
metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Apabila terjadi defisiensi insulin,
maka proses tersebut akan berkebalikan.
Defisiensi ringan insulin akan bermanifestasi pada ketidakmampuan
jaringan peka insulin untuk membersihkan beban glukosa, secara klinis
mengakibatkan hiperglikemi post-prandial, tetapi pada glukosa puasa normal.
Bila hilangnya aksi insulin berlanjut, maka akan tidak ada yang mengimbangi
aksi glukagon pada liver, sehingga individu akan mengalami hiperglikemi post
prandial dan puasa. Selain itu, juga akan terjadi penurunan sintesis protein otot
sehingga dapat terjadi kesetimbangan nitrogen negatif dan “wasting” protein.
Asam amino tidak diambil oleh otot, tetapi oleh liver digunakan sebagai
energi melalui proses glukoneogenesis (Suprapti & Nilamsari, 2013).

29
2.5 Manifestasi Klinik
1) Glukosa darah acak ≥ 200 mg/dL disertai gejala diabetes yang
meliputi poliuria, polidipsia, polifalgia dan penurunan berat badan tanpa
sebab yang jelas, badan lemas;
2) Glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL;
3) Glukosa darah 2 jam ≥ 200 mg/dL selama Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO).
4) HbA1c ≥ 6,5%

2.6 Tatalaksana Terapi Diabetes Melitus Tipe 2


Tujuan penatalaksanaan meliputi:
1) Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan diabetes melitus,
memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi resiko komplikasi
2) Tujuan jangka panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3) Tujuan akhir adalah menurunnya morbiditas dan mortalitas diabetes
melitus.

29
Modifikasi gaya hidup sehat

HbA1c > 9%
HbA1c < 7,5% HbA1c ≥ 7,5%

Monoterapi dengan salah+satu obat : dalam 3 bulanKombina


Monoterapi , HbA1c > 7%
si 2

 Metformin
Kombinasi 2 obat Insulin ±
 Agonis GLP-1
dengan mekanisme obat lain
 Penghambat yang berbeda
DPP-IV
 Penghambat alfa  Agonis GLP-1  Agonis GLP-1
Kombina
glukosidase  Penghambat DPP-  Penghambat
si 3 DPP-
 Penghambat IV IV
SGLT-2  Penghambat alfa  Penghambat alfa
 Tiazolidinedion glukosidase glukosidase
 Sulfonilurea  Insulin basal  Insulin basal
 Glinid  Penghambat SGLT-  Penghambat SGLT-
2 2
Jika HbA1c
 Tiazolidinedion  Tiazolidinedion
belum
mencapai  Sulfonilurea/Glinid  Sulfonilurea/Glinid
sasaran
dalam 3 Jika HbA1c
bulan belum
mencapai
sasaran
Tambahkan/
dalam 3
bulan intensifikasi
insulin

29
3. Hipertensi
3.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah arteri yang
persisten. Penderita dengan TD Diastolik < 90 mmHg dan TD Sistolik > 140
mmHg mengalami hipertensi sistolik terisolasi. Krisis hipertensi apabila TD diatas
180/120 mmHg.
Tabel 1.3 Klasifikasi Tekanan Darah Orang Dewasa (≥18 tahun)
Berdasarkan JNC VII (Saseen and Maclaughlin, 2008)
Klasifikasi Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi
Stage 1 140 – 159 90 – 99
Stage 2 ≥160 ≥100

3.2 Patofisiologi
Terdapat beberapa mekanisme yang berperan dalam terjadinya HT yaitu
humoral (Renin-Angiotensin-Aldosterone System (RAAS)) atau mekanisme
vasodepressor, abnormalitas mekanisme neuronal, defek autoregulasi perifer, dan
gangguan keseimbangan natrium, calcium, dan natriuretik hormon (Saseen and
Maclaughlin, 2008).
RAAS merupakan sistem endogen yang berperan dalam pengaturan
tekanan darah arteri. Aktivasi dan regulasinya diatur oleh ginjal. RAAS mengatur
keseimbangan sodium, potassium, dan cairan. Akibatnya, sistem ini secara
signifikan mempengaruhi tonus vaskuler dan sistem saraf simpatetik dan
merupakan kontributor yang paling berpengaruh terhadap homeostatik pengaturan
tekanan darah (Saseen and Maclaughlin, 2008).
Renin merupakan enzim yang tersimpan dalam sel juxtaglomerular yang
terletak di arteriol afferent ginjal. Produksi renin dipengaruhi oleh faktor
intrarenal seperti tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II dan faktor
ekstrarenal seperti natrium, klorida, dan kalium. Penurunan tekanan arteri ginjal
dan aliran darah ke ginjal direspon oleh sel juxtaglomerular dan menstimulasi

29
sekresi renin. Renin mengkatalisasi konversi angiotensinogen menjadi angiotensin
I di darah. Angiotensin I dikonversi menjadi angitensin II oleh angiotensin
converting anzyme (ACE). Setelah berikatan dengan reseptor spesifik, angiotensin
II menimbulkan efek biologis di beberapa jaringan.
Angitensin II meningkatkan tekanan darah melalui mekanisme
vasokonstriksi secara langsung, stimulasi pelepasan katekolamin dari medula
adrenal, dan secara sentral meningkatkan aktivitas saraf simpatik. Angiotensin II
juga menstimulasi sintesis aldosteron dari korteks adrenal yang menyebabkan
reabsorpsi natrium dan air sehingga meningkatkan volume plasma, total tahanan
perifer, dan peniongkatan tekanan darah. Aldosterone juga berperan dalam
menyebabkan penyakit kardiovaskular lain seperti gagal jantung, infark miokard,
dan penyakit ginjal dengan remodelling jaringan yang menyebabkan terjadinya
fibrosis miokard dan disfungsi vaskular (Saseen and Maclaughlin, 2008).

3.3 Terapi Farmakologi Hipertensi pada pasien DM


Tujuan terapi hipertensi pada pasien DM adalah ≤ 140/90 mmHg.
Beberapa antihipertensi dianjurkan untuk diberikan pada pasien DM:
a. ACE Inhibitor dan ARB
Semua pasien diabetes dan hipertensi seharusnya diterapi dengan ACEI
dan atau ARB. Secara farmakologi, keduanya dapat memberikan efek
nefroprotektif sebagai hasil dari vasodilatasi pada arteriol eferen ginjal.
Banyak penelitian menyebutkan penggunaan ACE inhibitor pada pasien
diabetes dapat menurunkan resiko komplikasi kardiovaskular dan
disfungsi ginjal progresif.
b. Diuretik thiazid
Direkomendasikan sebagai lini kedua untuk menurunkan tekanan darah
dan dapat membantu menurunkan resiko komplikasi kardiovaskular.
c. Calsium Channel Blocker (CCB)
Beberapa penelitian membandingkan ACE Inhibitor dengan CCB
dihidropiridin atau beta blocker. Penelitian ini menyebutkan memang ACE
inhibitor memberikan efek protektif yang lebih baik. Namun CCB tidak
menimbulkan efek yang buruk untuk menurunkan TD pada pasien diabetes
(Saseen and Maclaughlin, 2008).

29
Gambar 3.1 Penatalaksanaan Hipertensi (James et al, 2013)

29
BAB II

ANALISA KASUS

Inisial Pasien: Ny. SJ Berat Badan:- Ginjal:-


Umur : 80 tahun Tinggi Badan: - Hepar: -

Keluhan utama : Sesak nafas


Anamnesa : Pasien mengalami jatuh setelah, mual +, muntah -, Sesak
nafas sejak 1 minggu yang lalu badan terasa lemas, batuk
sejak 5 hari, dahak putih tidak berdarah dan jarang keluar,
demam sejak tadi pagi, nyeri dada -
Diagnosis : Pneumonia atipikal, Diabetes melitus tipe 2, Hipertensi,
Dyspepsia syndrom, Post syncope, Hiperurisemia
Riwayat Penyakit : Diabetes melitus tipe 2, Penyakit jantung, Hipertensi
Riwayat Pengobatan : Glibeklamid, glucobay (acarbose), amlodipin, antasida,
micardis (telmisartan).

Alergi : Tidak ada


Kepatuhan - Obat -
Tradisional
Merokok - OTC -

Alkohol - Lain-lain -

29
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal Catatan Perkembangan Medis Pasien
(24/2) Batuk +, dahak +, sakit kepala, mual, muntah tadi malam, sesak+, sulit
tidur tadi malam.
Diangnosa : Pneumonia atipikal, Hipertensi, DM tipe 2, Post syncope,
Dyspepsia syndrome.
Pdx kultur sputum gram sensitivity, GD, HbA1C, lipid protein, asam
urat.
(25/2) Mual +, muntah -, batuk +, dahak + , kembung +.
Diagnosa :Pneumonia CAP, Hipertensi, DM tipe 2, post syncope,
dyspepsia syndrome  kultur sputum terkirim .
(26/2) Mual+, muntah -, batuk -, dahak +
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, hiperurisemia
(6,9), post syncope, dyspepsia syndrome  Senin foto thorax.
(27/2) Mual masih ada, dahak berkurang, keluhan muntah dan batuk tidak
ada.
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, hiperurisemia
(6,9), post syncope, dyspepsia syndrome.
(28/2) Mual, sesak, batuk, nyeri dada bila batuk.
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, hiperurisemia
(6,9), post syncope, dyspepsia syndrome.
(29/2) Ada keluhan mual dan nyeri ulu hatil, muntah tidak ada.
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, hiperurisemia
(6,9), post syncope, dyspepsia syndrome.
(1/3) Ada keluhan mual dan nyeri ulu hati.
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, hiperurisemia
(6,9), post syncope, dyspepsia syndrome.

(2/3) Keluhan mual berkurang, nyeri ulu hati, muntah sudah tidak ada
Diagnosa : Pneumonia CAP, hipertensi, DM tipe 2, Hiperurisemia,
post syncope, dyspepsia syndrome
Pdx DL

29
(3/3) Keluhan mual berkurang, nyeri ulu hati, muntah sudah tidak ada
Diagnosa : CAP, Hipertensi, DM tipe 2, Dyspepsia syndrome,
Hiperurisemia, Post syncope
Pdx USG abdomen
(4/3) Keluhan mual dan nyeri ulu hati masih ada, muntah tidak ada
Diagnosa : CAP, Hipertensi, DM tipe 2, Hiperurisemia, Post syncope,
Dyspepsia syndrome
Pdx USG abdomen. Senin spirometry
Paru Saran Infus habiskan ganti plug, penambahan terapi Retapryl
SR 2x1/2. Rencana KRS menunggu acc IPD
(5/3) Keluhan mual dan nyeri ulu hati masih ada, muntah tidak ada
Diagnosa : CAP, Hipertensi, DM tipe 2, Hiperurisemia, Post syncope,
Dyspepsia syndrome, PPOK stabil
Pdx USG abdomen
(6/3) Keluhan mual dan nyeri ulu hati masih ada, muntah tidak ada
Diagnosa : CAP, Hipertensi, DM tipe 2, Hiperurisemia, Post syncope,
Dyspepsia syndrome, PPOK stabil
Pdx USG abdomen
(7/3) Mual masih ada, keluhan muntah dan nyeri ulu hati sudah tidak ada
Diagnosa: CAP perbaikan, Hipertensi, DM tipe 2, Hiperurisemia, Post
syncope, Dyspepsia syndrome, PPOK stabil
Pdx USG abdomen
Paru Rencana KRS menunggu acc IPD
(8/3) Sudah tidak ada keluhan
Diagnosa: CAP perbaikan, Hipertensi on terapi, DM tipe 2 on insulin,
Susp. ACOS, Dyspepsia syndrome
Pdx: Rencana KRS besok (menungggu hasil foto thorax)

30
PROFIL PENGOBATAN PASIEN
No. RM : Keluhan Utama : sesak nafas 1 minggu yang lalu Alergi: -
Nama : Ny. SJ (P) Diagnosa : Pneumonia Atypical, HT, DM tipe II, Post syncope, Dyspepsia syndrome,
Merokok/Alkohol: -
Alamat : Blimbing,Malang Hyperuricemia
Obat Tradisional: -
Umur/BB/Tinggi : 80 tahun Riwayat Penyakit : Diabetes melitus tipe 2, Penyakit jantung, Hipertensi.
OTC: -
Status Pasien : JKN Riwayat Obat : Glibenklamid, Glucobay® (Acarbose), Amlodipin, Antasida, Micardis®
Tanggal MRS/KRS : 23-2-16/09-3- (Terlmisartan).
16 Kepatuhan :

Tanggal pemberian
Nama Dosis
24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3 8/3
Oksigen 2 – 4 lpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
NS 0,9% 20 tpm √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Levofloxacin 1 x 750 mg (iv) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Omeprazol 1 x 40 mg (iv) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Metoklopramid 3 x 10 mg (iv) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Amlodipin 1 x 5 mg (po) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Glibenklamid 1 x 5 mg (po) √ √ √ //
Acarbose 1 x 50 mg (po) √ √ √ √ √ √ //
Glikuidon 1 x 30 mg (po) √ √ √ //

30
Tanggal pemberian
Nama Dosis
24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3 8/3
Lantus 1 x 10 unit (sc) √ √ √ √ √ √ √
Apidra 3 x 4 unit (sc) √ √ √ √ √ √ √
N-acetyl sistein 3 x 200mg (po) √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Antasida 3 x 1C (po) √ √ √ //
Retapril SR
2 x ½ (po) √ 1x1 1x1 1x1
(Teofilin)

DATA KLINIK PASIEN


Nilai Tanggal
Parameter
Normal 24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3 8/3
Suhu (0C) 36-37 30 36 36 36 36,4 36 36,2 36 36,3 36,5 36 36,2 36 36
Nadi
80-85 88 80 90 90 82 82 89 88 96 80 80 80 86 81
(x/menit)
RR
20 24 21 19 19 24 24 23 22 22 24 24 20 18 21
(x/menit)
Tek. Darah
120/80 140/80 130/70 130/70 110/70 150/80 140/90 130/80 160/70 150/70 130/80 110/90 130/100 130/70 130/70
(mmHg)
GCS 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456 456

30
TANDA-TANDA KLINIS
Parameter Tanggal
24/2 25/2 26/2 27/2 28/2 29/2 1/3 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 7/3 8/3
Pusing √ √
Sesak √ √ √ √ √ √ √ √ √
Mual √ √ √ √ √ √ √
Muntah √
Batuk √ √ √ √
Dahak √ √ √
Sakit kepala
Nyeri ulu hati √ √ √ √ √ √
Nyeri dada bila batuk √
Sebah √

30
DATA LABORATORIUM
Parameter Normal 23/2 24/2 25/2 2/3 5/3
Hemoglobin (Hb) 13,4-17,7 g/dl 13,50 13,50 Nilai WBC dan monosit pasien pada tanggal 23/2
Leukosit (WBC) 4,3-10,3 10 /µL
3
12,34 5,11 meningkat, menggambarkan adanya infeksi karena
Hematokrit 40-47 % 42,10 42,40 pneumonia. Tetapi pada tanggal 2/3 nilai WBC
Trombosit (PLT) 142-424 10 /µL
3
293 395 sudah normal, sedangkan nilai monosit menurun. Hal
MCV 80-93 fL 91,70 89,10 ini menunjukan adanya perbaikan infeksi karena
MCH 27-31 pg 29,40 28,40 terapi yang diberikan.
MCHC 32-36 g/dl 32,10 31,80
PCT 0,15-0,40 % 0,30 0,39
Hitung jenis
Eosinofil 0-4% 0,6 0,2
Basofil 0-1% 0,2 0,4
Neutrofil 51-67% 61,1 64,2
Limfosit 25-33% 25 28,4
Monosit 2-5% 13,1 6,8
Elektrolit
Natrium (Na) 136-145 mmol/l 135
Kalium (K) 3,5-5,0 mmol/l 3,92

30
Klorida (Cl) 98-106 mmol/l 105
Faal hati
AST/SGOT 0-40 U/L 19
ALT/SGPT 0-41 U/L 21
Metabolisme Pada tanggal 23/2 gula darah acak pasien diatas
Karbohidrat normal. Gula darah puasa, gula darah 2 jam post
Glukosa Darah <200 mg/dl 266 prandial, dan HbA1C pasien pada tanggal 24/2
Sewaktu meningkat. Padahal pasien memiliki riwayat diabetes
GDP 60-100 mg/dl 204 305 334 mellitus yang sedang mendapat terapi. Peningkatan
GD2PP <130 mg/dl 252 365 ini di duga pasien mengalami tanda-tanda awal
HbA1c ≤6% 12,00 sepsis. Hal ini disebabkan karena terjadi perubahan
Faal Ginjal metabolis pada sepsis diawali glikolisis pada otot dan
Ureum 16,6-48,5 mg/dl 29,20 lipolysis, gluconeogenesis dan glikolisis pada liver.
Kreatinin <1,2 mg/dl 1,10
Analisa Gas Suhu
Darah (BGA) Hasil BGA pasien menunjukkan pasien mengalami
pH 7,35-7,45 7,45 asidosis metabolic terkompensasi yang ditandai
pCO2 35-45 24,9 dengan pH gas darah yang normal dan penurunan
PO2 80-100 42,2 pCO2 serta penurunan HCO3.
Bikarbonat 21-28 17,6

30
(HCO3)
Kelebihan Base (-3)-(+3) -6,8
(BE)
Saturasi O2 >95 81,1
Hb 11,4-15,1 12,8
Suhu 37,0
Kolesterol Total <200 mg/dl 162
Trigliserida < 150 mg/dl 160
Kolesterol HDL >50 mg/dl 35
Kolesterol LDL <100 mg/dl 99
Asam Urat 2,4-5,7 mg/dl 6,9 4,4
Asam Laktat6 0,5-2,2 2,2
Urinalisis
Data lab nitrit, protein dan glukosa memberikan hasil
Deskripsi Kuning positif, menggambarkan adanya bakteri dalam urin,
keruh proteinuria, dan glukosuria. Hal ini mengindikasikan
Spec. gravity 1,001-1,035 1,02 akan terjadinya nefropati, walaupun belum terjadi
karena hasil ureum dan kreatinin masih dalam
pH 4,5-8,5 7,5 rentang normal.
Leukosit Negatif Negatif
Nitrit Negatif +
Protein /albumin Negatif 2+

30
Glukosa Negatif 1+
Keton Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif
Darah Negatif Negatif
Sedimen
Eritrosit 2-3
Leukosit 2-4
Epitel 5-6
Silinder Negatif
Kristal -
Bakteri ≤ 93x103 /mL Positif
x103
Hasil pemeriksaan mikrobiologi klinik
Nama penderita : Ny.SJ
Umur : 80 tahun
Diagnosa klinik : Pneumonia, DM
Tanggal pemeriksaan : 29 Februari 2016
Spesimen : sputum
Gram stain : Coccus gram positif
Biakan / kultur : Staphylococcus koagulase negatif
Komentar  Isolat bakteri tersebut diatas bukan respiratori patogen, infeksi virus atau fastidious organism belum dapat disingkirkan

30
ANALISA TERAPI
Obat
Pemantauan
Mulai Komentar dan Alasan
Jenis Obat Rute Dosis Frek Indikasi Obat Kefarmasian
akhir
24/2- Levofloxacin IVFD 750mg /hari Sebagai antibiotik WBC, suhu, Levofloxacin sebagai antibiotik empiris pada
9/3 empiris pneumonia RR, PCT, foto pneumonia. Levofloxacin merupakan
thorax antibiotik yang bekerja luas pada gram
negative basili seperti K. pneumonia,
Enterobacter species, Pseudomonas
aeroginosa yang merupakan bakteri penyebab
nosocomial pneumonia. Levofloxacin
diberikan dosis 500mg-750mg/hari (Glover,
2008).
Menurut Guideline, pada pasien Pneumonia
CAP di rawat inap non ICU diberikan
antibiotic Fluorokuinolon respirasi
Levofloxacin 750mg, moksifloxacin atau
kombinasi β lactam dan makrolid) (PDPI,
2014).
Pada tanggal 2/3, pasien sudah mengalami
perbaikan kondisi infeksi nya, ditunjukkan
dengan penurunan WBC sebesar 5,11; RR,
dan suhu setelah pemberian antibiotik empiris
Levofloxacin.

30
24/2- NS 0,9% IVFD 20 tpm /hari Rehidrasi cairan - Terapi cairan sudah tepat untuk memperbaiki
9/3 kondisi umum lemah pasien dan tidak
mendapatkan intake yang cukup untuk
kebutuhan cairan tubuh, sehingga diberikan
NS 0,9% untuk menjaga hemodinamik.
24/2- O2 NC Nebul 10 lpm /hari Memberikan Tanda klinis Pasien MRS mengalami sesak, dapat dilihat
9/3 bantuan suplay Sesak, RR, pada data klinik pasien RR=24x/menit, data
oksigen pada Saturasi O2, BGA tanggal 23/2 pasien mengalami asidosis
pasien metabolic terkompensasi.
Pemberian oksigen dengan aliran yang tinggi
melalui kanula atau selang nasofaringeal
ditujukan untuk mengatasi distress pernafasan
dan hipoksemia.
24/2- Omeprazol IV 40mg 1x1 Menurunkan Keluhan mual Pasien mendapatkan omeprazol sejak tanggal
9/3 keluhan mual muntah 24/2 hal ini diberikan karena pasien
mntah karena mengalami mual dan muntah.
sindrom dispepsia Golongan PPI yang bekerja menghambat
proton di lambung sehingga mencegah sekresi
asam lambung (terapi stres ulcer/tukak
peptik).
24/2- Metoclopramid IV 10mg 3x1 Pada saat MRS pasien mengalami mual
9/3 muntah hebat sehingga diberikan kombinasi
metoclopramid dengan omeprazol.
Metoklopramid bekerja mengeblok reseptor
dopamine sentral secara langsung pada pusat
muntah.

30
24/2- Amlodipin PO 5mg 1x1 Menurunkan TD, nadi Pasien MRS dengan riwayat hipertensi dan
9/3 tekanan darah riwayat pengobatan amlodipin.

Amlodipin memiliki waktu paruh yang paling


lama diantara obat anti hipertensi golongan
CCB dihidropiridin yang lain (Katzung et al,
2007). Obat anti hipertensi CCB dengan
waktu paruh yang lama akan menghasilkan
pengendalian tekanan darah yang lebih halus
dan lebih cocok untuk hipertensi kronik.
Dihidropiridin kerja cepat seperti nifedipin
tidak direkomendasikan karena dapat
meningkatkan resiko terjadinya infark
miokard dan peningkatan mortalitas. (Saseen
and Maclaughlin, 2008).
Berdasarkan Goal antihipertensi JNC 8,
tekanan darah yang diinginkan yaitu <140/90
mmHg
24/2- Glibenklamid PO 5mg 1x1 Menurunkan gula GDA, GDP, Pada tanggal 23/2 data lab menunjukkan
26/2 darah GD2PP, GDA pasien sebesar 266 mg/dL. Kemudian
HbA1C, tanda- pada tanggal 24/2 data lab GDP sebesar 204
24/2- Acarbose PO 50mg 1x1 Menurunkan gula tanda mg/dL, GD2PP sebesar 252 mg/dL, dan
29/2 darah post prandial hipoglikemi HbA1C sebesar 12,00 mg/dL yang
menunjukkan peningkatan gula darah.
27/2- Glikuidon PO 30mg 1x1 Menurunkan gula Pada tanggal 24/2 pasien diberikan
29/2 darah glibenklamid yang dikombinasikan dengan
acarbose. Kemudian (tgl 27/2) diganti dengan
kombinasi acarbose dan glikuidon. Karena

31
efek hipoglikemi glikuidon lebih rendah dari
glibenklamid. Glibenklamid dan glikuidon
merupakan OAD golongan sulfonylurea yang
meningkatkan sekresi insulin. Sedangkan
acarbose merupakan OAD golongan α
glukosidase inhibitor yang akan mengcover
gula darah postprandial.
2/3- Lantus SC 10 unit 1x1 Menurukan gula GDA, GDP, Kombinasi kedua insulin ini untuk menjaga
8/3 (Glarglin) darah GD2PP, Tanda- kestabilan rentang gula darah pasien yang
tanda cenderung tinggi pada keadaan basal (Insulin
2/3- Apidra(glulisin) SC 4 unit 3x1 Menurunkan gula hipoglikemi Glarglin) dan menjaga kestabilan gula darah
8/3 darah sesudah makan (Insulin glulisin).

24/2- N-asetilsistein PO 200mg 2x1 Membantu Keluhan batuk, Pasien tanggal 24/2 mengeluh batuk seperti
9/3 mengeluarkan dan kemampuan ada lendir di dalam saluran pernafasan, hal ini
sekret dan mengeluarkan disebabkan oleh COPD pasien, dimana COPD
menurunkan lendir yang terjadi eksaserbasi terdapat hipersekresi
frekuensi batuk mukus. Mukus yang terlalu banyak dan tidak
karena COPD adekuat dengan pengeluaran mukus akan
menyebabkan penyumbatan sehingga
menghalangi saluran pernafasan. N-
asetilsistein merupakan mukolitik yang
berkerja merubah interaksi ikatan disulfide
pada mukus dan menurunkan viskositas
sekresi, sehingga mudah dikeluarkan. Dosis
yang diberikan untuk COPD 600mg/hari
secara peroral (Sadowska,2006). Setelah
pemberian N-asetilsistein, terjadi penurunan

31
frekuensi batuk pasien.

24/2- Antasida PO 3x1C Menetralkan asam Mual- muntah Antasida diberikan untuk sindrom dyspepsia
26/2 lambung berlebih menurun yang dikombinasikan dengan metoklopramid
dan omeprazol. Pemberian antasida
digunakan untuk mengatasi keluhan sebah
pasien.
5/3- Retapril SR PO 2x1/2 Merelaksasi otot Saturasi O2, Pemberian Retapril SR yang merupakan β2
8/3 (Teofilin) polos pada saluran BGA agonis diberikan kepada pasien pada tanggal
pernafasan karena 5/3, karena RR pasien yang fluktuatif
COPD disebabkan oleh COPD. β2 agonis bekerja
sebagai bronkodilatasi dengan menstimulasi
enzyme adenilsiklase untuk meningkatkan
siklik adenosine monofosfat, siklik adenosine
monofosfat ini memberikan respon
memediasi relaksasi otot polos bronkial,
sehingga menyebabkan bronkodilasi

31
(Williams,2008).

31
ASUHAN KEFARMASIAN

Kode masalah :
1. Ada indikasi tapi tidak diterapi 4.Under dose 7. Efek Samping Obat
2. Tidak ada indikasi tapi diterapi 5.Over dose 8. Ketidakpatuhan
3. Pemilihan obat tidak tepat 6. Interaksi obat

Kode
No. Tanggal Uraian Masalah Rekomendasi/Saran
Masalah

Mengkonsultasikan kepada dokter


1. 24/2-29/2 terkait penggunaan dosis acarbose.
4 Dosis acarbose yang diberikan inadekuat
Disarankan peningkatan dosis acarbose
3x50 mg.
2. 24/2-26/2 Monitoring tanda-tanda hipoglikemi dan
7 ESO glibenklamid menyebabkan hipoglikemi
gula darah.
3. 2/3-8/3 Penggunaan OAD digantikan dengan
8 Pasien tidak patuh minum obat antidiabet
pemberian insulin glarglin dan glulisin.
Mengkonsultasikan kepada dokter
4. 2/3-8/3 terkait penggunaan dosis insulin.
4 Dosis insulin yang diberikan inadekuat
Disarankan peningkatan dosis insulin 2-
4 unit.

31
LEMBAR MONITORING PADA PASIEN

No Parameter Tujuan Monitoring


1. Tanda-tanda SIRS (Suhu, Monitoring suhu, nadi, RR dan leukosit
nadi, RR, Leukosit) untuk memantau kondisi kondisi infeksi pada
pasien dan evaluasi efektivitasterapi
antibiotik.
2. Darah Lengkap Memonitoring infeksi atau gangguan
defisiensi salah satu komponen darah seperti
anemia pada pasien.
3. BGA dan saturasi O2 Memonitoring efektivitas dari terapi COPD
Keluhan batuk dan pneumonia pasien
4. Tekanan Darah Evaluasi efektivitas terapi antihipertensi
5. Profil metabolism Evaluasi efektivitas terapi anti diabet
karbohidrat (GDA, GDP,
GD2PP, HbA1C)
6. Frekuensi mual, muntah Memonitoring efektivitas dari terapi
dyspepsia syndrom

31
BAB III

PEMBAHASAN

Pasien dengan inisial Ny. SJ (Perempuan, usia 80 tahun) MRS pada


tanggal 24 Februari dengan keluhan utama sesak nafas 1 minggu yang lalu dan
keluhan tambahan berupa badan terasa lemas, batuk, kepala terasa pusing dan
mual. Pasien didiagnosa oleh dokter pneumonia atipikal, hipertensi, diabetes
mellitus tipe II,dan sindroma dispepsia.
Pneumonia merupakan infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme, bisa berupa bakteri, virus, jamur, atau parasit. Sementara
Community-Acquired Pneumonia (CAP) adalah salah satu tipe dari pneumonia,
dimana penyakit ini diperoleh oleh pasien diluar dari rumah sakit. Manifestasi
klinis dari pneumonia atipikal yaitu adanya demam, batuk non-produktif, nyeri
kepala, myalgia, sakit tenggorokan, suara serak, data laboratorium leukosit normal
dan terkadang rendah serta apabila ada sputum berbentuk mukoid dan hapusan
kumannya menunjukkan flora normal atau spesifik. Pada pasien Ny. SJ,
didapatkan hasil leukosit (WBC) pada tanggal 23 Feruari 2016 termasuk tinggi
yaitu 12,34 x 103 / µL dan hitung jenis monosit yang termasuk tinggi (13,1%).
Dari hasil kedua data laboratorium ini menunjukkan adanya infeksi.
Terapi pneumonia atipikal menurut PDPI 2014 dibedakan menjadi 3 yaitu
terapi untuk pasien rawat jalan, rawat inap, dan rawat intensif. Untuk pasien Ny.
SJ yang termasuk pasien rawat inap diberikan florokuinolon respirasi levofloxasin
750 mg/moksifloksasin atau kombinasi β lactam dan makrolid sesuai PDPI.
Pemilihan antibiotik ini berdasrkan kuman yang biasanya menyerang pneumonia
atipikal yaitu M. pneumonia, C. pneumonia, dan Legionella. Antibiotik yang
terpilih pada Ny. SJ yaitu antibiotik florokuinolon levofloxacin dengan dosis 750
mg. Levofloxacin memiliki cara kerja yang dapat menghambat pembentukan dari
DNA virus sehingga virus tidak dapat berkembang biak. Monitoring efektivitas
terapi dari levofloxacin yaitu pemantauan menurunnya leukosit dan monosit.
Monitoring efek samping yang perlu diperhatikan pada penggunaan levofloxacin
adalah munculnya mual dan dispepia mengingat pada Ny. SJ juga menderita
sindroma dispepsia yang dapat diperburuk dengan pemberian levoflocxacin serta
perlu diperhatikan adanya efek yang dapat mengganggu kadar glukosa dalam

31
darah dan dapat memperburuk penyakit diabetes mellitus yang diderita sehingga
perlu dilakukan pengukuran GD sewaktu, puasa, dan 2PP.
Selain mendapatkan antibiotik levofloxacin, Ny. SJ mendapatkan terapi N-
acetyl sistein untuk meredakan batuk yang diderita. Cara kerja N-acetyl sistein
adalah meningkatkan aktivitas mukolitik melalui pemutusan ikatan disulfida pada
mukoprotein dan menurunkan viskositas mukus dari sekresei pulmonari.
Monitoring yang perlu dilakukan pada N-acetyl sistein yaitu adanya dahak yang
setiap batuk dan pemantauan efek samping N-acetyl sistein yang mungkin terjadi
adalah mual, muntah. Untuk mengatasi sesak Ny. SJ diberikan Retapril SR sehari
dua kali ½ tablet pada tanggal 5 Maret 2016 dan kemudian diganti sehari satu kali
1 tablet. Retapril SR berisi teofilin sustained release. Teofilin bekerja dengan cara
mengendurkan otot polos bronkus dan menekan pernafasan sentral. Monitoring
yang perlu dilakukan dalam penggunaan retapril SR yaitu sesak yang diderita Ny.
SJ sudah menurun dan pemantauan efek samping dari retapri SR yang mungkin
terjadi adalah hipotensi dan takikardia.
Untuk hipertensi pada Ny. SJ diberikan amlodipin. Amlodipin merupakan
Ca-Channel Blocker yang dapat memblok kanal ekstraselular ion Ca2+ sehingga
dapat menyebabkan penghambatan pada kontraksi otot jantung dan otot polos
vaskular. Efek dari penghambatan kontraksi kedua otot ini adalah pelebaran arteri-
arteri koroner utama dan sistemik dan tekanan darah dapat turun. Dosis yang
diberikan pada Ny. SJ yaitu sehari satu kali 5 mg. Monitoring efektivitas
amlodipin adalah penurunan tekanan darah. Monitoring efek samping yang perlu
diperhatikan pada penggunaan amlodipin adalah adanya edema dan sakit kepala
yang mungkin terjadi.
Ny. SJ mendapatkan glibenklamid dan acarbose untuk mengatasi diabetes
mellitus pada tanggal 24 Februari 2016 sampai 26 Februari 2016. Glibenklamid
merupakan OAD golongan sulfonylurea yang bekerja dengan cara meningkatkan
sekresei insulin pada sel β pankreas. Sementara acarbose merupakan OAD
golongan penghambat α-glukosidase yang bekerja dengan cara memperlambat
absorbsi glukosa dalam usus halus sehingga memiliki efek menurunkan kadar
glukosa darah sesudah makan. Pada tanggal 27 Februari terdapat pergantian obat
OAD yaitu glibenkalmid digantikan oleh glikuidon. Glibenklamid dan glikuidon

31
merupakan OAD golongan sufonilurea yang memiliki efek samping hipoglikemia
yang harus diperhatikan pada Ny. SJ. Pergantian OAD ini berdasarkan glikuidon
lebih memiliki keuntungan daripada glibenklamid. Hal ini disebabkan lama kerja
dari glibenklamid yang panjang (12-24 jam) akan lebih memberikan efek
hipogikemia lebih panjang daripada glikuidon (6-8 jam). Dikarenakan GD Ny. SJ
yang tidak turun (hasil lab GDP pada tanggal 2 Maret 2016 menunjukkan 305
mg/dL dan GD2PP menunjukkan 365 mg/dL), terdapat penggantian terapi
diabetes mellitus dari OAD menjadi insulin. Insulin yang digunakan adalah
Apidra yang berisi insulin glulisin (insulin kerja cepat) yang mengcover gula
darah praprandial dan Lantus yang berisi insulin glargin (insulin kerja panjang)
yang mengcover gula darah basal. Akan tetapi, pada pemberian kedua insulin ini
belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini ditunjukkan dengan hasil
laboratorium GDP pada tanggal 5 Maret 2016 masih menunjukkan niali yang
tinggi (334 mg/dL). Monitoring efektivitas dari OAD maupun insulin yaitu dari
hasil GD (sewaktu, GDP, dan GD2PP) dan HbA1c. Untuk pemantauan efek
samping untuk OAD sulfonilurea dan insulin adalah hipoglikemia, sementara
untuk OAD acarbose adalah bloating (penumpukan gas dalam usus) sehingga
sering menimbulkan flatus.
Pasien diabetes melitus memiliki resiko besar terjadi keparahan kondisi
infeksi. Kelainan pada imunitas yang diperantarai sel (cell-mediated immunity)
dan fungsi fisiologis fagosit berkaitan dengan hiperglikemi, dimana pada kondisi
glukosa darah meningkat terjadi penyempitan vaskularisasi yang mengakibatkan
terjadinya kolonisasi dan pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme penyebab
infeksi. Kendali glukosa darah yang rendah merupakan pemicu utama terjadinya
infeksi (Fauci, et al., 2008).
Pada kondisi hiperglikemi, terjadi gangguan imunitas yang disebabkan oleh
adanya peningkatan enzim sialidase yang memicu menurunnya asam sialat
membran sel dan reseptor laktin. Hal ini menyebabkan kegagalan fagosit untuk
mengenali target dan akhirnya proses fagositosis tidak terjadi. Selain itu juga
terjadi kegagalan fagosit untuk membunuh mikroorganisme intraselular. Setelah
fagositosis, makrofag dan neutrofil menghasilkan radikal bebas toksik,
superoksid, H2O2, dan pelepasan enzim lisosomal. Fenomena ini disebut

31
respiratory burst. Respiratory burst ini sangat penting dalam proses fagositosis
mikroorganisme dan proses ini tergantung pada NADPH. Pembentukan NADPH
menurun karena sejumlah glukosa yang masuk ke sel fagosit dialihkan ke jalur
poliol (Bengalorkar, et al., 2011).
Untuk sindroma dyspepsia yang diderita oleh Ny. SJ diberikan terapi
berupa omeprazol IV dengan dosis sehari sekali 40 mg, metoklopramid IV dengan
dosis sehari tiga kali 10 mg, dan antasida sirup dengan dosis sehari tiga kali satu
sendok makan. Ketiga terapi tersebut cukup efektif mengatasi keluhan mual dan
nyeri lambung pada pasien.
Permasalahan terkait obat yang muncul pada kasus ini adalah penggunaan
dosis acarbose yang inadekuat karena hanya diberikan sehari sekali. Padahal
acarbose digunakan untuk mengcover gula darah setelah makan. Hal ini
menyebabkan acarbose hanya dapat mengcover gula darah untuk sekali makan
saja. Sehingga kami merekomendaasikan perubahan dosis acarbose 1x50 mg
menjadi 3x50 mg. Permasalahan terkait obat yang kedua adalah ketidakpatuhan
pasien dalam meminum OAD. Sehingga menyebabkan gula darah Ny. SJ masih
tetap tinggi meskipun sudah diberikan terapi. Hal ini dapat dilihat dari data lab
pada tanggal 2 maret 2016, gula darah puasa sebesar 305 mg/dL dan gula darah 2
jam setelah makan sebesar 365 mg/dL. Dokter memutuskan untuk mengganti
OAD dengan insulin yaitu insulin glarglin dan glulisin. Permasalahan terkait obat
yang ketiga yaitu dosis insulin yang inadekuat. Karena dari data lab tanggal 5
maret 2016, gula darah puasa pasien meningkat lagi menjadi 344 mg/dL.
Sehingga kami merekomendasikan peningkatan dosis insulin menjadi 2-4 unit.
Konseling yang perlu diberikan terkait terapi yang diberikan kepada Ny.
SJ antara lain penjelasan kepada pasien tentang obat apa saja yang diterima dan
bagaiman aturan pakainya, berikut tentang tujuan penggunaan tersebut sehingga
kepatuhan pasien meningkat dan pasien disarankan menghindari kebiasaan
konsumsi makanan yang berdampak tidak baik terhadap diabetes, misalnya
konsumsi makanan/minuman yang tinggi kadar gula.
Secara keseluruhan analisa kefarmasian pada kasus pneumonia atipikal
sudah sesuai dengan guideline.

31
BAB IV

KESIMPULAN

Kesimpulan pada Studi Penggunaan Obat pada Pasien Community-acquired


Pneumonia + Hipertensi + Diabetes Melitus tipe II + dyspepsia syndrome + post
syncope
• Terapi Pneumonia pada pasien ini sudah sesuai guideline PDPI 2014

32
BAB V

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2


di Indonesia. PB. PERKENI: Jakarta

American Diabetes Association. 2014. Standards of Medical Care in Diabetes.


Diabetes Care. Vol 37(1). page S14-S79

Blackford, MG., Glover, ML., Reed MD., 2014. Lower Respiratory Tract
Infections. In: DiPiro, JT., Talbert, RL., Yee, GC., Matzke, GR., Wells,
BG., Posey, LM. 2014. Pharmacology A Pathophysiologic Approach, 9th
ed. McGraw Hill Education: United States.

Arnold, Heather M, Eli N Deal, Steven Gelone, Scott T micek. 2013. Respiratory
Tract Infections. In: Brian K. alldredge, robin L. Corelli, Michael E. Ernst,
B. Joseph Guglielmo, Pamala A. Jacobson, Wayne A Kradjan, Bradley R.
Williams. Koda-Kimble & Young’s Applied Therapeutics The Clinical Use
of Drug tenth editon. USA : Lippincott williams & wilkins. p 1514-1526.

Bengalorkar, G.M. & Nagendra, K.T., 2011. Diabetic Foot Infections.


International Journal of Biological and Medical Research. Vol 2 (1). P.
453-460

Dipiro, Joseph T.2014. Infection Disease. In Barbara G. Wells, Joseph Dipiro,


Terry L Schwinghammer, Cecily V. Dipiro. Pharmacotherapy Handbook 9th
edition. USA: McGraw-Hill Education, p 427-432.

Fauci, A.S., Kasper, DL., Longo, DL., Braunwald, E., Hauser, SL., Jameson, JL.,
Loacalzo, J. 2008. Harrison’s Principles of Internal Medicine, 17th ed.
McGraw Hill Medicine: United States.

Glover, Mark, Michael D. Reed, 2008. Lower Respiratory Tract Infections. In :


Dipiro, J.T.,Talbert, R.L., Yee, G.C., MatzkeG.R., Wells, B.G., Posey,

32
L.M (Eds), Pharmacotherapy A Pathophisiologic Approach, Ed.7th, New
York: The McGraw–Hill Co.Inc.

James, P. A., Oparil, S., Carter, B. L., Cushman, W. C., Dennison-Himmelfarb,


C., Handler, J., Lacland, D. T., LeFevre, M. L., MacKenzie, T. D.,
Ogedegbe, O., Smith Jr, S.C., Svetkey, L. P., Taler, S. J., Townsend, R. R.,
Wright, J. T., Narva, A. S., Ortiz, E., 2013. 2014 Evidence-Based Guideline
for the Management of High Blood Pressure in Adults: Report From the
Panel Members Appointed to the Eight Joint National Committee (JNC
8). American Medical Association.

Katzung, B.G and Parmley, W.W. 2007. Drug Used In Heart Failure.
In:Katzung, R-bertram G. Basic and Clinical Pharmacology, Ed 9th,
Singapore: McCraw-Hill Companies Inc.
McPhee, SJ., 2006., Pathophysiology of Disease: An Introduction to Clinical
Medicine. McGraw Hill Education: United States.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2014. Pneumonia Komunitas: Pedoman dan


Penatalaksanaan di Indonesia. PDPI: Jakarta

Saseen, J.J., Maclaughlin E.J., 2008. In :Hypertension. Dipiro J.T.,(Eds),


Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 7th Edition. McGraw-
Hill: New York

Sadowska, Anna et.al, 2006.Role of N-acetylcysteine in the management of


COPD.Therapeutics and Clinical Risk Management.Vol.2 p.1-18.

Triplitt C.L., Reasner C.A and Isley W.C., 2008. Chapter 77 : Diabetes Mellitus.
In: (Dipiro JT, Talbert RL, Yee GC, Wells BG and Psey LM Eds).
Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. 7th ed. New York:
McGraw-Hill Companies, Inc., p. 1205-1223.

Triplitt, CL., Repas, T., Alvarez CA., 2014. Diabetes Mellitus. In: DiPiro, JT.,
Talbert, RL., Yee, GC., Matzke, GR., Wells, BG., Posey, LM. 2014.
Pharmacology A Pathophysiologic Approach, 9th ed. McGraw Hill
Education: United States.

32
William, Kelly and Sharya V Bourdet. 2008. Chronic Obstructive Pulmonary
Disease, In : Dipiro, J.T.,Talbert, R.L., Yee, G.C., MatzkeG.R., Wells,
B.G., Posey, L.M (Eds), Pharmacotherapy A Pathophisiologic Approach,
Ed.7th, New York: The McGraw–Hill Co.Inc.

32
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Peritonitis
1.1.1 Anatomi Peritoneum
Peritoneum terdiri dari peritoneum parietal merupakan membran
semipermeabel yang melapisi dinding perut dan peritoneum visceral yang
meliputi organ-organ yang ada di dalam rongga perut. Luas permukaan
peritonium sekitar 1-2m2. Pada laki-laki, peritoneum merupakan sistem sac-
tertutup dan pada wanita merupakan sistem sac terbuka dengan saluran tuba dan
ovarium di dalamnya yang terhubung dengan rongga peritonium. Suplai darah
pada peritonium parietal berasal dari dinding perut (lumbar, interkostalis dan
epigastrum) yang mengalir menuju vena cava inferior, sedangkan visceral
menerima suplai darah dari arteri mesenterik superior dan mengalirkan ke vena
portal. Total aliran darah peritoneal berkisar 50-150 ml/menit. Rongga peritoneum
terletak diantara peritoneum parietal dan visceral, yang berisi sekitar 100 ml
cairan serosa. Pengosongan rongga peritoneal menggunakan sistem limfatik,
dimana sistem limfatik berfungsi sebagai jalur untuk menghilangkan zat-zat yang
dianggap asing dan makromolekul.

Gambar 1. Anatomi Peritonium

Membran peritoneum terdiri dari enam lapisan yaitu lapisan tipis cairan
kapiler, endotelium kapiler, membran dasar kapiler, interstitium, mesotelium, dan
lapisan cairan

32
Gambar 2. Membran Peritonium

(Fresensius, 2014)

1.1.2 Definisi Peritonitis


Peritonitis dapat didefinisikan sebagai respon inflamasi akut pada peritoneal
yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme, chemicals, irradiation atau benda
asing (Mazur and Dipiro, 2013).

1.1.3 Epidemiologi
Data mengenai tingkat insidensi peritonitis sangat terbatas, namun yang
pasti diketahui adalah di antara seluruh jenis peritonitis, peritonitis sekunder
merupakan peritonitis yang paling sering ditemukan dalam praktik klinik (Sartelli,
2010; Daley, 2015). Hampir 80% kasus peritonitis disebabkan oleh nekrosis dari
traktus gastrointestinal dan insidensi peritonitis pascaoperatif bervariasi antara 1-
20% pada pasien yang menjalani laparatomi (Moore and Agur, 2007). Pada era
pre-antibiotik peritonitis primer mencakup sekitar 10% dari seluruh akut abdomen
namun dewasa ini hanya mencakup kurang dari 1-2% (Johnson et al, 1997).

32
Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis disebagian
wilayah Indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di Indonesia, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
Indonesia atau sekitar 197.000 orang (Depkes RI, 2008).

1.1.4 Klasifikasi Peritonitis


Peritonitis diklasifikasikan menjadi tiga yaitu primer, sekunder dan tersier.
a. Peritonitis Primer
Peritonitis primer merupakan inflamasi spontan dari peritoneum tanpa
adanya sumber penyebab infeksi pada intraabdominal. Infeksi peritoneum ini
dapat terjadi terutama melalui bakteri yang menyebar melewati pembuluh
darah. Pada orang dewasa, peritonitis primer (Spontaneus Bacterial Primer)
banyak dijumpai dari komplikasi sirosis hati (Ragni, 2009).
b. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder berkaitan dengan adanya perforasi dari bakteri pada
saluran pencernaan (gastric ulcer, iskemi atau obstruksi), peritonitis pasca
operasi ataupun peritonitis pasca trauma (Dipiro J. T and Howdieshell T. R,
2008).
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier terjadi pada pasien dengan penyakit yang serius dan
infeksinya persisten atau terjadi kembali pada waktu kurang dari 48 jam
setelah pemberian terapi yang inadekuat pada peritonitis primer maupun
sekunder (Dipiro J. T and Howdieshell T. R, 2008).

1.1.5 Etiologi
Etiologi peritonitis bergantung pada tipe atau lokasi terjadinya peritonitis,
yang dapat diklasifikasikan sebagai peritonitis primer, peritonitis sekunder dan
peritonitis tersier
a. Peritonitis Primer
Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP) merupakan infeksi bakteri akut yang
berasal dari cairan asites. Kontaminasi dari rongga peritoneum merupakan hasil
dari translokasi bakteri yang melintasi dinding usus ataupun limfaik mesentrik,

32
atau yang jarang ditemukan karena adanya bakteremia. SBP dapat terjadi sebagai
komplikasi adanya penyakit lain, seperti gagal jantung. Anak dengan nefrosis atau
Sistematic Lupus Erythematosus (SLE) yang memiliki asites beresiko tinggi
berkembang menjadi SBP. Penurunan fungsi hepar yang berhubungan dengan
penurunan kadar protein total, perpanjangan Prothrombin Time (PT) resiko
maksimum. Pasien dengan kadar protein rendah pada cairan asites (<1 g/dL)
memiliki resiko sepuluh kali lipat lebih tinggi berkembang menjadi SBP daripada
pasien yang kadar proteinnya lebih dari 1 g/dL (Daley, 2015).
Lebih dari 90% dari kasus SBP disebabkan oleh infeksi monomikrobial.
Patogen yang umum ialah yang berasal dari bakteri gram negative, antara lain E.
coli (40%), Klebsiella pneumoniae (7%), Pseudomonas species, dan jenis bakteri
gram negatif lainnya (20%), Bakteri gram positif antara lain Streptococcus
pneumoniae (15%), spesies streptococcus lainnya (15%). Mikroorganisme
anaerob ditemukan kurang dari 5% dan isolat lain ditemukan kurang dari 10%
(Ahmetagic, 2013; Daley, 2015).
b. Peritonitis Sekunder
Etiologi Peritonitis Sekunder (SP) yang paling umum antara lain perforasi
apendisitis, perforasi lambung atau ulser duodenum, perforasi usus besar
(sigmoid) disebabkan oleh diverticulitis. Patogen SP berbeda dengan yang ada di
dalam saluran pencernaan proksimal dan distal. Di saluran pencernaan bagian
atas, bakteri gram positif mendominasi saluran atas pencernaan pada pasien.
Kontaminasi dari usus kecil distal atau usus besar berujung pada peningkatan
permeabilitas dinding usus yang kemudian berujung pada pengeluaran ratusan
macam spesies bakteri dan jamur. Hal ini yang menyebabkan peritonitis umunya
selalu polimikrobial, bakterinya merupakan campuran antara bakteri aerob dan
anaerob dengan dominasi bakteri gram negatif. (Daley, 2015).
c. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier berkembang lebih banyak pada pasien
immunocompromised dan pada pasien yang memiliki komorbid. Meskipun jarang
diamati pada pasien peritoneal yang tidak memiliki komplikasi insiden peritonitis
tersier pada pasien yang membutuhkan perawatan di ICU karena infeksi
abdominal berat adalah sekitar 50-74% (Daley, 2015).

32
1.1.6. Patofisiologi
Infeksi intraabdominal merupakan situasi dimana adanya bakteri yang
masuk ke dalam rongga peritoneal atau retroperitoneal maupun bakteri pada organ
intraabdominal. Pada peritonitis primer bakteri dapat masuk perut melalui aliran
darah atau sistem limfatik dengan cara transmigrasi melewati dinding usus,
melalui catheter dialysis peritonitis atau melalui tuba falopi bila pada wanita.
Bakteri tersebar melalui aliran darah biasanya paling banyak merupakan bakteri
tuberkulosis atau bakteri yang berhubungan dengan sirosis hepatik. Pada
peritonitis sekunder, bakteri yang sering masuk peritoneum atau retroperitoneum
merupakan bakteri yang perforasi dari saluran pencernaan yang mengalami infeksi
atau luka (Dipiro J. T and Howdieshell T. R, 2008).
Keadaan klinis pasien bergantung pada penyebab dan keparahan dari
kondisi peritonitis. Tingkat keparahan dari peritonitis akan bermula pada infeksi
lokal maupun sistemik. Manifestasi lokal melibatkan peritoneum, sistem imun dan
sistem saluaran cerna berupa manifestasi dari disfungsi sistem kardiovaskular,
urinanri, respiratori dan endokrin.
Secara lokal, peritonitis berhubungan dengan rilisnya senyawa vasoaktif
seperti histamine, serotonin, protease selular dan endoktoksin mikroba yang
kemudian akan menyebabkan peningkatan permeabilitas dan vasodilatasi dari
membran kapiler. Inflamasi akan menghasilkan deposisi fibrin pada daerah luka
bersamaan dengan itu akan terjadi kehilangan cairan isotonik secara besar-besaran
ke dalam rongga peritoneum. Cairan peritoneum yang sebelumnya bersih (bebas
dari organism dari luar) kemudian secara cepat akan dipenuhi oleh protein,
mkrofag dan neutrofil. Peningkatan volume cairan pada peritoneum akan
menyebabkan efek negatif yaitu menurunnya potensi untuk pembersihan bakteri
dan peningkatan proliferase bakteri. Peritonitis juga menyebabkan terganggunya
perfusi ke saluran pencernaan yang dapat menghasilkan iskemi dan translokasi
bakteri, meskipun pada usus terdapat mekanisme proteksi, pencegahan
pertumbuhan bakteri lebih baik dilakukan.
Perubahan fisiologis pada peritonitis biasanya juga disebabkan oleh dilatasi
sentral arteri, peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan fungsi kardiak dan
kegagalan fungsi organ yang dapat menyebabkan SIRS (systemic inflamtion

32
response syndrome) dan syok sepsis (Ragetly G.R, 2011).

1.1.7. Manifestasi Klinis


Pada peritonitis primer pasien mengeluhkan mual, muntah (terkadang
dengan diare) dan abdominal tenderness dengan tanda bising usus yang
hypoactive. Sedangkan pada peritonitis sekunder pasien mengeluhkan mual,
muntah dan secara umum nyeri pada perut. Pasien juga merasakan bahwa perut
seperti kayu. Biasanya ditandai adanya tachypnea dan tachycardi, peningkatan
suhu tubuh, hipotensi dan shock pada volume intravascular, penurunan output
urine,bising usus yang hilang (Dipiro J. T and Howdieshell T. R, 2008).

1.1.8 Manajemen Terapi


Tujuan utama dari terapi ini adalah koreksi dari cedera yang menyebabkan
infeksi dan drainase. Tujuan sekunder adalah untuk mengatasi infeksi tanpa
komplikasi sistem organ (misalnya, paru, hati, jantung, atau gagal ginjal) atau
efek samping obat. Idealnya, pasien harus keluar dari rumah sakit dengan fungsi
organ yang baik dan dapat melakukan aktivitas sehari-hari.
Pengobatan infeksi intra abdomen atau peritonitis terdiri dari tiga hal utama
yaitu drainase, Support vital function, dan terapi antimikroba yang sesuai untuk
mengobati infeksi yang tidak dapat diberantas saat operasi. Antimikroba adalah
tambahan penting untuk prosedur drainase dalam pengobatan peritonitis sekunder.
Untuk sebagian besar kasus peritonitis primer, prosedur drainase mungkin tidak
diperlukan, dan agen antimikroba menjadi terapi andalan. Pada tahap awal infeksi
yang serius,perhatian harus diberikan untuk menjaga fungsi sistem organ utama.
Penyebab umum kematian dini adalah syok hipovolemik yang disebabkan oleh
ekspansi volume intravaskular tidak memadai dan perfusi jaringan (Dipiro J. T
and Howdieshell T. R, 2008).

32
1.1.8.1 Terapi Antibiotik

Tabel 1.1 Terapi Antibiotik Pasien Peritonitis Primer, Sekunder, dan


Peritoneal Dialisis (John Hopkins, 2015)
Peritonitis Empiris Profilaksis Keterangan
Primer a. Ceftriaxone 1 g IV a. Pasien sirosis dengan - Mikrobiologi:
tiap 12 jam atau pendarahan Gram (-)
b. Alergi parah: gastrointestinal: (Enterobacteri, esp.
- Moxifloxacin 400 - Ciprofloxacin 500 mg E.coli dan K.
mg IV/ PO tiap PO (2 x sehari) untuk Pnemumoniae), S.
24 jam 7 hari Pneumoniae,
- Ceftriaxone 1 g IV enterocci dan
Durasi: Untuk 5 hari tiap 24 jam, kemudian sterptococci yang lain
ganti dengan - Semua pasien dengan
ciprofloxacin bila sirosis disertai
pendarahan sudah pendarahan GI harus
terkontrol menerima profilaksis
b. Pasien sirosis dengan selama 7 hari
asites tanpa pendarahan - Ubah antibiotik jika
- TMP/SMX 1 x sehari cairan asites tidak
PO atau turun 25% setalah 48
- Jika alergi sulfa, jam atau tidak respon
ciprofloxacin 500 klinik pada pasien
mg PO sehari
Sekunder Perforasi esofagus, - Penyebab dari Small
Stomach, Small bowel, bowel, colon atau
colon atau appendix: appendix: Anaerob
a. Pasien sakit sedang (esp.B. fragilis),
sampai parah Enterobacteriae (esp.
- Ertapenem 1 g IV E.coli, K.
tiap 24 jam atau Pneumoniae,
- Ciprofloxacin 400 Enterobacter spp.,
mg IV tiap 12 jam Proteus spp)
+ Metronidazole - Patogen penyebab
500 mg IV tiap 8 peritonitis tersier
jam sering resisten atau
b. Pasien sakit parah tidak tertangani oleh
atau regimen antimikroba.
immunosupressed
- Piperacillin atau
Tazobactam 3,375
g IV tiap 6 jam
atau
- Alergi yang tidak
parah: Cefepime 1
g IV tiap 8 jam +

33
Tabel 1.2 Terapi Antibiotik Pasien Peritonitis Primer, Sekunder, dan
Peritoneal Dialisis (lanjutan) (John Hopkins, 2015)
Peritonitis Empiris Profilaksis Keterangan
Metronidazole 500
IV tiap 8 jam atau
- Alergi parah:
Vancomycin (>1500
mg tiap 12 jam) +
Aztreonam 1 g IV
tiap 8 jam atau
Ciprofloxacin 400
mg IV tiap 8 jam +
Metronidazole 500
mg IV tiap 8 jam
Peritonitis Sakit sedang sampai - Mikrobiologi:
Dialisis ringan: disebabkan oleh
a. Pasien anuri kontaminasi pada
Cefazolin 15 mg/kg kateter, kultur
dalam in one bag tiap 24 mungkin negatif (5-
jam (bila psien <65 kg) 20%), Gram positif
+ Gentamicin 2 mg/kg cocci (S.aureus,
in one bag loading dose, Enterococcus spp,
kemudian gentamicin coagulase-negative
0,6 mg/kg in one bag staphylococci), Gram
tiap 24 jam negatif
b. Pasien dengan urine
output > 100 ml/hari
Ceftazidime 1 g in one
bag tiap 24 jam
c. Sakit parah (terapi
sistemik)
- Dosis pertama :
Vancomycin (>1500
mg tiap 12 jam) +
Gentamicin (2 mg/kg
IV) atau Ceftazidime
1 g IV atau
Ciprofloxacin 400
mg IV
- Maintenance Dose:
dosis per level obat
atau fungsi ginjal
perlu dikonsultasikan
kepada farmasis
Durasi: 10-14 hari

33
BAB II
FORMAT ASUHAN LAPORAN KEFARMASIAN

2.1 Data Demografi dan Kajian Awal Pasien


Pasien : Ny. C BB/TB: 58 Kg/-
Tgl MRS : 27/02/2016 Alamat : Malang
Ruang : 13 Status : JKN
Apoteker : H, S.Farm., Apt.

Keluhan utama : Pasien mengeluh sudah 2 hari nyeri perut, kembung.


Pasien juga tidak bisa BAB dan tidak bisa flatus.
Pasien merupakan rujukan dari RS Pasuruan. Pasien
sedang hamil selama 20 minggu.

Diagnosis :
Tabel 2.1 Tabel Perkembangan Diagnosa Pasien
NO TANGGAL DIAGNOSA
1 27 Februari 2016 Abdominal Pain susp. Paralitik, septic condition,
Ascites, hipoalbumin, Susp. Peritonitis,
hidronefrosis gr. 1, G1 P0000 Ab000 gr 18-20
2 28 Februari 2016 (+) Mild hipokalemi
3 29 Februari 2016 (+) Pneumoperitonium , abortus spontan
(-) Hidronefrosis gr.1
(-) Ascites
4 2 Maret 2016 (+) Peritonitis generalisata + sepsis
5 4 Maret 2016 (+) ARDS (Acute Respiratory Distress
Syndrome)

Riwayat keluarga :-
Riwayat kesehatan :-
Riwayat Pengobatan : Metoklopramid dan omeprazol
Alergi, merokok, alkohol : -

33
2.2 Catatan Perkembangan Pasien

Tabel 2.2 Tabel Catatan Kemajuan Pasien

Tanggal Catatan Kemajuan


Awal MRS pasien merasa nyeri di bagian perut (+++).
27
Tidak bisa BAB, Mual (+) KU lemah
28 Mual (+) nyeri (+++) KU lemah. Keluhan perut mules. Ibu dipimpin
(IPD) mengejan . Lahir Bayi laki-laki/450gr/18 cm (bayi meninggal)
29
Mual (+) nyeri (+++) KU lemah
(OK)
1 Pasien. Hematemesis, NGT hitam, demam (+), nyeri perut (+++).
(R.13) Mual muntah (+) KU lemah
2
Bisa BAB + flatus , mual (+), nyeri (++) KU lemah, sesak (+)
(R.12)
3 Nyeri (++) , BAB 1x kuning, sesak (+), mual (+) , lemah (+), pada
(R.12) malam hari mengeluh perut tambah besar
4
nyeri skala (++) mual (+), sesak (+) , KU lemah.
(R.12)
5
Mual muntah (+), sesak (+) , KU lemah.
(R.12)
Pasien mengalami perdarahan akut (bleeding vagina dan double
6
bowel stoma), Nyeri perut (++), mual (+), sesak (+), KU lemah
7 Luka mulai kering tertutup kassa, nyeri perut (+++). Mual (+). Sesak
(R.12) (+). KU lemah
8 Nyeri perut (++). Mual muntah (+). Sesak (+). KU lemah, sputum
(R.12) putih kental
9
Nyeri perut (++). Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.12)
10
Nyeri perut (+). Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.12)
11
Nyeri perut (+). Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.12)
12
Nyeri perut (+). Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.12)

33
Tabel 2.3 Tabel Catatan Kemajuan Pasien (lanjutan)

Tanggal Catatan Kemajuan


13
Nyeri perut sudah jarang dirasakan. Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.13)
14
Nyeri perut sudah jarang dirasakan. Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.13)
15 Nyeri perut sudah jarang dirasakan. Mual Muntah(+). Sesak (+).
(R.13) KU lemah.
16
Nyeri perut sudah jarang dirasakan. Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.13)
17 Nyeri perut sudah jarang dirasakan. Mual muntah(+). Sesak (+). KU
(R.13) lemah.
18
Nyeri perut (-). Mual (+). Sesak (+). KU lemah.
(R.13)

2. 3. HASIL KULTUR
Tabel 2.4 Tabel Hasil Kultur Mikroorgnisme dan Antibiotik
Tanggal Spesimen Biakan Sensitif Rekomendasi
4/3/2016 PUS E. coli Sensitif antibiotik Amikasin
Amikasin
9/3/2016 PUS Batang gram (–) Sensitif AB : Meropenem,
(E. coli) Meropenem, Sulfametoksazol/
Sulfametoksazol/ trimetoprim
Trimetoprim
11/3/2016 Slang Staphilococcus - -
aureus
14/3/2016 Saluran Tidak - -
tenggorok ditemukan
bakteri MRSA
18/3/2016 Darah kiri Tidak - -
dan darah ditemukan
kanan bakteri MRSA

33
2.4. Data Klinis
Tabel 2.5 Tabel Tanda-Tanda Klinis Pasien

Parameter 28 29 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Nyeri
+++ +++ +++ ++ ++ ++ - ++ +++ ++ ++ + + + //
perut
BAB - - - + + + - + + + + + + + + + + + + +

Flatus - - - + + + - + + + + + + + + + + + + +

Mual + + + + + + + + + + + + + + + + + + + +

Muntah - - + - - - + - - + - - - - - - + - + -

Lemah + + ++ ++ ++ + + ++ + + + + + + + + + + + +
Perut
+ + + + + + //
Besar
Sesak - - - + + + + + + + + + + + + + + + + +

33
2.5. Data Laboratorium
Tabel 2.6 Tabel Data Laboratorium Pasien

Nilai 6/3 6/3 9/3


Parameter 27/2 1/3 2/3 3/3 5/3 7/3 8/3 10/3 11/3 12/3 13/3 18/3
Normal Pagi malam pagi
11,4- 10,3 7,98 10,3 3,9 9,2
Hb (g/dL) 7,98 10,8 9,7 9,3 9,5 12,5
15,1
Eritrosit 3,58 2,79 3,6 1,36 3,13
4,0-5,0 3,7 3,41 3,38 3,35
(10⁶/μL)
Leukosit 16,08 14,47 17,7 11,79 14,76
4,7-11,3 17,77 8,68 8,85 9,72 1,07 1,09
(10³/μL)
Hematokrit 30,9 25,4 32,4 12,4 28
38-42 25,4 31,3 30,2 28,8 29,5 38,4
(%)
Trombosit 494 427 239 135 140
142-424 149 151 296 375 471 589
(10³/μL)
MCV (fL) 80-93 86,3 91 90 91,2 89,5 91,8 89,3 88,1 87,5 87,5
MCH (Pg) 27-31 28,6 28,3 28,6 28,7 29,4 28,7 28,7 28,4 28,3 28,5
MCHC 33,3 31,1 31,8 31,5 32,9
32-36 31,3 32,1 32,2 32,2 32,6
(g/dL)
PTT/kontrol/ 11,1/ 29,4/ 15,2/ 15,3/ 12,7/ 10,7/
INR 11 11,1 10,8 10,8 10,7 10,5
APTT/ 24,1/ 42/ 37/ 45,8/ 35,3/ 32,2/
Kontrol 25,9 26,3 24,2 24,2 24,7 25,2

33
Tabel 2.7 Tabel Data Laboratorium Pasien (lanjutan)

Nilai 6/3 6/3 9/3


Parameter 27/2 1/3 2/3 3/3 5/3 7/3 8/3 10/3 11/3 12/3 13/3 18/3
Normal Pagi malam pagi
GDA 82 177 135
<200 114 97
(mg/dL)
GD2PP
<120 97
(mg/dL)
Ureum 16,6- 11,1 37,7
(mg/dL) 48,5 12,7 24,6 35,3
Kreatinin 0,46 0,53
<1,2 0,36 0,28 0,39
(mg/dL)
SGOT 16 41
SGPT 8 36
Albumin 2,19 2,75 2,26 2,03 1,7
3,5-5,5 2,56 3,02 2,63 2,56 2,58 3,22
(g/dL)
Serum Elektrolit
Na 133 143 154 152 150
136-145 142 138 136 128 133
(mmol/L)
K 3,06 2,18 2,84 2,38 2,58
3,5-5,0 3,28 3,26 3,04 2,81 2,93
(mmol/L)
Cl 106 123 133 127 120
98-106 118 108 106 98 101
(mmol/L)

33
Tabel 2.8 Tabel Data Laboratorium Pasien (lanjutan)

6/3 9/3 9/3


Parameter Nilai Normal 27/2 2/3 3/3 4/3 5/3 7/3 8/3 10/3 12/3
malam pagi sore
Gas Darah
Suhu ( C)

37 37 37 37 37 37 37 37 37
Hb (g/dL) 6,4 6,4 9,5 8,5 6,4 10,8 8,1 10,9 10
pH 7,35-7,45 7,42 7,42 7,32 7,49 7,42 7,41 7,46 7,48 7,44
pO2 80-100 18,4 58,5 157 137 58,5 137,1 83,9 230,3 39,9
pCO2 35-45 58,5 18,4 27,2 28,4 18,4 37,3 29,9 32,3 49,1
HCO3 (mmol/L) 21-28 12,2 12,2 14,2 21,9 12,2 24,4 21,6 24,4 30,6
Saturasi O2 > 95% 89,1 98,3 99,2 95,2 99,8 76
(-3) - (+3)
Kelebihan basa (-12,5) (-12,1) (-1,6) (-2,4) 0,8 (+7,3)
(mmol/L)

33
Tabel 2.9 Tabel Data Laboratorium Pasien (lanjutan)

Nilai
Parameter 27/2 2/3 3/3 4/3 5/3 6/3 malam 7/3 8/3 9/3 pagi 9/3 sore 10/3 12/3
Normal
Urinalisis
keruh,
Penampakan
kuning

spec Gravity 1,001-1,031 1,02


pH 5,0-8,0 7
Protein Neg 1
Glukosa Neg 3
Keton Neg 3
Urobilinogen Neg 2
Bilirubin Neg 2
Darah Neg 1
Asam laktat
0,5-2,2 3,4 2,1 2,5 1,7
(mmol/L)
Oncoprobe Non
HIV reaktive
Procalcitonin
<0,5 6,01 6,97 4,47
(ng/mL)
CD4 (cell/μL) 637-1485 301

33
2.6 Tanda – Tanda Vital

Tabel 2.10 Tabel Tanda-Tanda Vital Pasien

Suhu Nadi RR TD
Tanggal
(°C) (x/menit) (x/menit) (mmHg)
27 37,8 112 20 100/60
28 36 88 20 110/70
29 37,1 80 20 110/70
1 38,3 92 20 110/60
2 36 90 20 110/60
3 36 111 36 105/66
4 38,3 122 30 70-117/60-55
5 37,4 107 18 100-120/50-70
6 38 120 22 100-130/59-70
7 37 124 20 100-117/58-75
8 37,5 100 25 102-123/62-79
9 37,8 80 18 95-105/50-65
10 37 80 17 89-105/50-62
11 36,4 100 21 90-100/50-60
12 36,8 110 20 95/55
13 - 96 20 110/60
14 - 96 22 110/70
15 - 100 20 110/70
16 36,9 100 20 100/70
17 37,5 98 24 100/60
18 38 98 20 100/60

3
2.7 Terapi
Tabel 2.11 Tabel Profil Terapi Pasien
Obat Rute Dosis 27 28 29 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

NRBM √ √
O2 2 lpm
Ventilator √ √ √ √ √ √ √ √

NS IVFD 1500cc/24 jam √ √ √ √ √

IVFD 25 meq/50cc √

100meq/
IVFD √
KCl 500cc/8jam

150meq/
IVFD √
500cc/12jam
NaCl 3% IVFD 1000cc/24 jam √
RF IVFD 500cc/24 jam √ √ √ √ √ √ √

N Acetylcistein PO 3x200 mg √ √ √ √ √ √ √ √

(1:1)
Ventolin:NS Inhalasi √ √ √ √ √ √ √ √
Tiap 6 jam

34
Tabel 2.12 Tabel Profil Terapi Pasien (lanjutan)
Obat Rute Dosis 28 29 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Infus PRC IVFD Lb/hari 2 1


Albumin 20% IVFD 100cc √ √ √ √
FFP IVFD 1 labu √
Metronidazol IVFD 3x500 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ciprofloksasin IVFD 2x400 mg √ √ √ √
Amikasin IV 1x1 g √ √ √ √ √ √
Meropenem IV 3x1 g √ √ √ √ √ √ √
Metoklopramid IV 3x10 mg √ √ √ √
Omeprazol IV 1x40 mg √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Lansoprazol IV 1x30 mg √ √ √ √ √ √ √ √
Sukralfat PO 3x C1 √ √

34
Tabel 2.13 Tabel Profil Terapi Pasien (lanjutan)

Obat Rute Dosis 27 28 29 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18


0,05
NE IVFD √
mcg/kgBB/jm
Parasetamol IV 3x1 g √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
Midazolam IVFD 3mg/jam √ √ √ √ √
Tramadol IVFD 300mg/24jm √ √ √ √ √ √ √
Metamizol IV 3x1 amp √ √ √ √ √
pada
fentanyl IV 20mcg/jam √
1 am

pada pada
Morfin IVFD 1 mg/jam
2-8 pm 12 pm
Asam
PO 3x500 mg √ √
Mefenamat
Metergin PO 3x0,2 mg √ √
Hemafort PO 1x1 tab √ √
Alinamin IVFD 2x1 amp √ √
Vit. K IV 3x10 mg √ √ √ √ √ √ √ √
Asam
IV 3x500 mg √ √ √ √ √ √ √ √ //
Traneksamat

34
2.8 Analisa Terapi
2.8.1 Terapi Cairan
Tabel 2.14 Tabel Analisa Terapi

Tanggal Indikasi Pada Pemantauan


Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
NS 0,9% 1500 cc/24 IVFD 29-1/02/2016 dan Pasien Data Pemberian cairan ini ditujukan
jam 3-4/02/2016 membutuhkan terapi laboratorium: untuk memperbaiki kondisi pasien
17/03/2016 cairan karena pasien Kadar terkait elektrolit. Pada peritonitis,
NS 3 % 1000 cc/24 IVFD 11/3/2016 mengalami elektrolit terapi cairan intravena (IV)
jam imbalance electrolit diperlukan untuk mempertahankan
volume intravaskular, untuk
KCl 25 meq/50 IVFD 3/03/2016 meningkatkan fungsi
cc kardiovaskular, dan untuk
100 meq IVFD 4/03/2016 memastikan perfusi jaringan dan
/500 cc/ oksigenasi yang memadai. Output
8jam urine yang memadai harus
150 meq/500 IVFD 7/03/2016 dipertahankan untuk memastikan
cc/12 jam resusitasi cairan yang tepat dan
untuk menjaga fungsi ginjal.
RF 500 cc/24 IVFD 5-11/03/2016
(Dipiro J. T and Howdieshell T. R,
jam
2008).

34
2.7.2. Terapi Albumin, PRC dan FFP
Tabel 2.15 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi pada Pasien Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Kefarmasian
Albumin 20% 100cc IVFD 28/2/2016 Albumin diberikan Data Albumin merupakan cairan koloid
4,6-10/3/2016 karena kadar albumin Laboratorium : yang berperan penting tekanan onkotik
pasien <2,5 mg/dL Kadar albumin plasma, oleh karena itu perlu dilakukan
(severe hipoalbumin) koreksi kadar albumin (Gatta, 2012).
PRC IVFD 4/3/2016 Transfusi PRC Data Pemberian Infus PRC diberikan pada
(1 labu) digunakan untuk Laboratorium : blood loss dengan hematokrit <25%
dan 5/3/2016 mengatasi perdarahan Kadar Hb dan dilakukan pemberian infus PRC.
(2 labu) dan meningkatkan hematokrit
pengangkutan oksigen ke
jaringan
FFP 1 labu IVFD 3/3/2016 FFP diberikan karena Data Manajemen perdarahan atau untuk
terjadi pemanjangan nilai Laboratorium : mencegah perdarahan sebelum prosedur
PTT 2x pada pasien Nilai PTT invasif yang mendesak pada pasien
(29,4/11,1) yang membutuhkan penggantian
beberapa faktor koagulasi
serta pada pasien yang mengalami
defisiensi faktor koagulasi dan
mengalami hipovolemia
(Medscape,2016).

34
2. 7. 3. Terapi Antibiotik
Tabel 2.16 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Pemantauan
Terapi Dosis Rute Indikasi Pada Pasien Komentar dan Alasan
Pemberian Kefarmasian
Ciprofloxacin 2 x 400 IV 1-4 maret Antibiotika golongan Data Laboratorium Sebelum memperoleh hasil kultur yang
mg 2016 fluoroquinolon yang : kadar leukosit, sesuai, diberikan terapi antibiotik
digunakan untuk neutrofil, monosit. empiris yang berspektrum luas untuk
mengatasi infeksi Dan CRP meng-cover kuman anaerob dan gram
akibat bakteri gram Tanda-tanda klinis negatif serta gram positif.
negatif di daerah intra : demam, hipotensi, Menurut ISDA Guideline untuk
abdominal. bising usus mengatasi peritonitis sekunder adalah
Tanda-tanda vital : Ciprofloxacin 400 mg melalui intravena
suhu, TD, HR setiap 12 jam dan Metronidazole 500 mg
Metronidazol 3 x 500 IV 1-10 maret Antibiotika yang Data Laboratorium melalui intravena setiap 8 jam. Pemilihan
mg 2016 digunakan untuk : kadar leukosit, ciprofloxacin untuk pasien ini
infeksi akibat neutrofil, monosit. disesuaikan dengan terapi antibiotika
amoebiasis intestinal Dan CRP empiris rumah sakit. Penggunaan dua
dan hepar akibat Tanda-tanda klinis antibiotik pada kasus ini ditujukan untuk
bakteri anaerob. : demam, hipotensi, mengatasi infeksi akibat bakteri gram-
bising usus negatif (Ciprofloxacin) dan bakteri
Tanda-tanda vital : anaerob (Metronidazole) (Dutta and
suhu, TD, HR Bandyoadhyay, 2012).

34
Tabel 2.17 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Pemantauan
Terapi Dosis Rute Indikasi Pada Pasien Komentar dan Alasan
Pemberian Kefarmasian
Meropenem 3x1 g IV 11-17 maret Antibiotik yang Data Laboratorium
2016 digunakan sebagai : kadar leukosit,
terapi “single agent” neutrofil, monosit.
untuk mengatasi Dan CRP
komplikasi apendisitis Tanda-tanda klinis
dan peritonitis yang : demam, hipotensi,
disebabkan oleh bising usus
Streptococcus, E. coli, Tanda-tanda vital :
Klebsiella pneumonia, suhu, TD, HR
Pseudomonas
aeruginosa,
Bacteroides fragilis.

34
2.7.4. Terapi Antinyeri
Tabel 2.18 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Parasetamol 3x1g IV 28/02/2016 Untuk Keluhan nyeri dan Skala nyeri yang dirasakan pasien pada
mengurangi nyeri skala nyeri dan efek saat awal MRS adalah 3, sehingga pasien
Metamizol 3x1g IV 01- perut yang samping obat yang membutuhkan terapi antinyeri dan
03/03/2016 dialami pasien mungkin terjadi. antipiretik paracetamol. Untuk mengatasi
ESO nyeri pada perut post partum diberikan
Asam 3 x 500 PO 29– Paracetamol : asam mefenamat per oral, asam
Mefenamat mg 01/03/2016 mual, muntah (tidak mefenamat kurang adekuat untuk
terjadi) mengatasi nyeri pasien sehingga diberi
Fentanil 20 IVFD 04-
Asam Mefenamat : metamizol injeksi (tgl 1/03/16). Pasien
mcg/jam 05/03/2016 nyeri perut melakukan operasi laparatomi (tgl 4)
Morfin 1mg/jam IVFD 05- Morfin : sehingga diberikan fentanil sebagai
Mual, konstipasi antinyeri perut pasien. Pasien
06/03/2016
Tramadol : mengeluhkan nyeri hebat sehingga
Tramadol 300mg/ IVFD 06- Konstipasi, mual, diberikan morfin (tgl 5) untuk mengatasi
24jam 12/03/2016 muntah, sakit kepala nyeri pasien. Pasien tidak disarankan
(Medscape, 2016) menggunakan morfin jangka panjang
karena beresiko tinggi sehingga diganti
oleh tramadol. Penggunaan tramadol
berdampak pada penurunan skala nyeri
(tgl 12 skala 1).

34
2.7.5. Terapi Demam
Tabel 2.19 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi
Terapi Dosis Rute Pemantauan Kefarmasian Komentar dan Alasan
Pemberian Pada Pasien
Paracetamol 3x1 IV 28/02/2016 Untuk Tanda-tanda vital pasien Paracetamol injeksi diberikan untuk
gram dan 04- mengatasi yaitu suhu (tgl 28 : 36°C mengatasi demam pasien, hal ini
12/03/2016 demam. dan tgl 12 : 36,8°C). sudah tepat karena dengan diberikan
Monitoring ESO yang secara injeksi dapat lebih cepat
mungkin terjadi : menurunkan demam.
mual, muntah (tidak terjadi)

2.7.6. Terapi Sedasi


Tabel 2.20 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi
Terapi Dosis Rute Pemantauan Kefarmasian Komentar dan Alasan
Pemberian Pada Pasien
Midazolam 3 mg/jam IVFD 04- Untuk Tanda-tanda klinis pasien Midazolam diberikan sebagai terapi
08/03/2016 anticemas yaitu kesadaran. anticemas pasien post operasi.
atau Monitoring ESO yang
penenang. mungkin terjadi :
↓ RR, mual/muntah (tidak
terjadi)

34
2.7.7. Terapi Vasopressor
Tabel 2.21 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Pemantauan
Terapi Dosis Rute Indikasi Pada Pasien Komentar dan Alasan
Pemberian Kefarmasian
NE 0,05 IVFD 04- Terapi pada pasien Tanda-tanda vital NE diberikan untuk meningkatkan
mcg/kgB 05/03/2016 syok hipovolemik. pasien yaitu TD, kardiak output dan HR.
B/jam HR.

2.7.8. Terapi Kelebihan Sputum


Tabel 2.22 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
NAC 3 x 200 PO 06- Terapi untuk Tanda-tanda klinis pasien NAC diberikan untuk mengurangi
mg 12/03/2016 mengurangi yaitu sputum. sputum pasien, adanya sputum
sputum yang Monitoring ESO yang dikarenakan penggunaan ventilator.
berlebih. mungkin terjadi : Mekanisme kerja sputum adalah
Bronkospasme, muntah, dengan memecah (mukolitik) dari
demam (tidak terjadi) sputum.

35
2.7.9. Terapi Mual dan Muntah
Tabel 2.23 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Omeprazole 1 x 40 IV 28 februari – 5 Untuk mengatasi Keluhan mual Untuk menekan sekresi asam lambung
mg maret 2016 mual akibat dan muntah dan yang dilihat dari keluhan mual muncul,
Lansoprazol 1x30 IV 13-22 maret peritonitis yang efek samping omeprazole dan lansoprazol yang
mg 2016 dialami pasien dan yang mungkin memiliki mekanisme kerja menekan
mencegah ESO terjadi. sekresi asam dengan menghambat
gangguan percernaan parietal sel H + / K + pompa ATP
pada penggunaan (Lüllmann, 2005).
NSAID
Lansoprazol 30mg perhari menurunkan
keasaman dari esofagus dan jumlah
refluks lebih efektif dibanding omeprazol
(Janczewska et al. 1998). Sehingga
penggantian dari penggunaan lansoprazol
menjadi omeprazol termasuk DRP.
Metoklopramid 3x10 IV 29/2/2016 untuk terapi mual dan Merupakan agen antagonis reseptor
mg 1-2 maret 2016 muntah ( 29) dopamin pada CTZ medula, ssehingga
Untuk terapi dapat mencegah mual dan muntah (FDA,
hematemesis (1-2) 2010).

35
Tabel 2.24 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Sukralfat 3 x C1 po 2 dan 9 maret untuk mencegah Keluhan mual dan Sukralfat bekerja dengan
2016 gastric refluks muntah dan efek membentuk kompleks dan
samping yang terikat pada bagian ulcer
mungkin terjadi. sehingga dapat membentuk
lapisan pelindung,
menghambat pepsin dan cairan
empedu, memblok difusi asam
lambung yang dapat
menembus lapisan
(Aptalis,2013) sehingga sesuai
untuk mengatasi refluks
gastris.

35
2.7.10. Terapi Perdarahan
Tabel 2.25 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)
Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
Metergin 3 x 0,2 mg PO 29- Terapi untuk Tanda-tanda Metergin diberikan untuk mencegah perdarahan
01/03/2016 mencegah klinis pasien post partum. Pada pasien ini diberikan metergin
perdarahan post yaitu secara peroral, hal ini kurang tepat karena
partum . perdarahan. efeknya akan lama dan mungkin tidak dapat
mencegah perdarahan sehingga
direkomendasikan oksitosin injeksi atau
metergin injeksi untuk pasien ini.
Vitamin K 2 x 10 mg IV 6-13/03/2016 Untuk Data lab PTT Terapi sudah sesuai untuk pasien yyang
mencegah dan APTT mengalami perpanjangan PTT dan APTT akibat
perdarahan gangguan pembentukan faktor koagulasi
akibat gangguan prothrombin (factor II), proconvertin (factor
pembentukan VII), plasma thromboplastin component (factor
faktor koagulasi IX) dan Stuart factor (factor X) yang disebabkan
yang disebabkan defisiensi Vit K (Tatro, 2003).
defisiensi
Vitamin K
Asam 3x500mg IV 6-13/03/2016 Untuk terapi dan Perdarahan Sudah tepat. Untuk terapi dan mencegah
Traneksamat mencegah yang terjadi perdarahan dengan memblokade tempat
perdarahan pada pasien terikatnya plasmin/plasminogen dengan fibrin
dengan sehingga fibrinolisi tidak terjadi (Lüllmann,
menghambat 2005).
fibrinolisis

35
2.7.11. Terapi Acute Respiratory Distress Syndrom (ARDS)

Tabel 2.26 Tabel Analisa Terapi Pasien (lanjutan)


Tanggal Indikasi Pada Pemantauan
Terapi Dosis Rute Komentar dan Alasan
Pemberian Pasien Kefarmasian
O2 2 lpm Ventilator, 3-12/03/2016 Untuk mengatasi Data Lab: Ventilasi merupakan terapi yang
NRBM gangguan pernafasan Saturasi O2, PO2 mendasar
yang dialami oleh pada penderita ARDS bila
pasien ditemukan peningkatan kebutuhan
Tanda klinis: FiO2 > 60% untuk mempertahankan
(3/3) Sesak PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih
dalam beberapa jam (Subagio, 2012)
Ventolin:NS 1:1 Inhalasi 5-12/03/2016 Sudah tepat diberikan. Karena pasien
(Nebul) mengeluh sesak, sehingga diperlukan
bronkodilator .

35
2.8. Drug Related Problems (DRPs)

Tabel 2.27 Tabel Analisa DRPs


Jenis DRP Analisa Rekomendasi
Ada Indikasi Data Lab Kalium pasien mulai tanggal 27 Jika nilai kalium 2,5-3,5 diberikan
tapi tidak Feb hingga 18 maret di bawah nilai normal oral kalium (KSR), dan <2,5
diterapi (3,06). Seharusnya terapi kalium mulai diberikan kalium infus drip.
masuk mulai tanggal 27 Feb.
Diagnosa sementara pasien pada tanggal Pemberian antibiotik sebaiknya
27/2/2016 adalah abdominal pain, diberikan pada awal MRS.
suspect ileus paralitik, septic condition, Antibiotik empiris diberikan
ascites, hipoalbumin, dan suspect sesuai dengan terapi antibiotik
peritonitis, tetapi tidak diberi terapi empiris di rumah sakit dengan
antibiotik untuk mengatasi infeksinya, tujuan mencegah
terapi antibiotik baru saja dimulai pada berkembangnya infeksi pada
6/3/2016 pasien.
Pemilihan Tanggal 3 dengan kadar Na pasien yang Sebaiknya diberikan terapi cairan
Obat Tidak tinggi diberikan NS 0,9%. dengan konsentrasi Na yang tidak
Tepat terlalu tinggi.
Tanggal 28 pasien partus sehingga Menurut guideline SOGC, terapi
diberikan metergin per oral untuk utama untuk mengatasi
mencegah perdarahan post partum. perdarahan adalah oksitosin
Metergin tidak adekuat untuk mengatasi injeksi.
perdarahan.
Tanggal 29 pasien mengalami nyeri perut Pemberian antiyeri sebaiknya
skala 3 dan pasca partus, namun pasien diberikan secara injeksi atau
hanya diberikan asam mefenamat per oral. diberi antinyeri opioid untuk
Terapi antinyeri pada pasien ini kurang nyeri ringan hingga sedang.
adekuat karena pasien mengeluhkan nyeri
berat.

35
Tabel 2.28 Tabel Analisa DRPs (Lanjutan)
Jenis DRP Analisa Rekomendasi

Interaksi Tgl 4-5. Metronidazol berpotensi Monitor depresi nafas dan


obat meningkatkan efek dari Fentanyl sedasi
Tgl 4-8. Metronidazol berpotensi Monitor efek sedasi
meningkatkan efek dari Midazolam
Tgl 4-5. Midazolam meningkatkan dan Monitor efektivitas midazolam
NE menurunkan efek sedasi
Tgl 5-8. Midazolam berpotensi Monitor efektivitas amikasin
menurunkan efek amikasin
Tgl 6-8. Midazolam dan tramadol Monitor efek sedasi
berpotensi menyebabkan efek sinergis
sedasi
Tgl 5-6. Midazolam dan morfin Monitor efek sedasi
berpotensi menyebabkan efek sinergis
sedasi

35
BAB III
PEMBAHASAN

Peritonitis dapat didefinisikan sebagai respon inflamasi akut pada peritoneal


yang disebabkan oleh adanya mikroorganisme, chemicals, irradiation, atau benda
asing. (Mazur and dipiro, 2013). Peritonitis diklasifikasikan menjadi tiga yaitu
primer, sekunder dan tersier. Peritonitis primer merupakan inflamasi spontan dari
peritoneum tanpa adanya sumber penyebab infeksi pada intraabdominal (Ragni,
2009). Peritonitis sekunder berkaitan dengan adanya perforasi dari bakteri pada
saluran pencernaan (gastric ulcer, iskemi atau obstruksi), peritonitis pasca operasi
ataupun peritonitis pasca trauma (Dipiro J. T and Howdieshell T. R, 2008).
Peritonitis tersier terjadi pada pasien dengan penyakit yang serius dan infeksinya
persisten atau terjadi kembali pada waktu kurang dari 48 jam setelah pemberian
terapi yang inadekuat pada peritonitis primer maupun sekunder (Dipiro J. T and
Howdieshell T. R, 2008).
Manifestasi klinis pada peritonitis primer pasien mengeluhkan mual,
muntah (terkadang dengan diare) dan abdominal tenderness dengan tanda bising
usus yang hypoactive. Sedangkan pada peritonitis sekunder pasien mengeluhkan
mual, muntah dan secara umum nyeri pada perut. Pasien juga merasakan bahwa
perut seperti kayu. Biasanya ditandai adanya tachypnea dan tachycardi,
peningkatan suhu tubuh, hipotensi dan shock pada volume intravascular,
penurunan output urine,bising usus yang hilang (Dipiro J. T and Howdieshell T.
R, 2008).
Pengobatan infeksi intra abdomen atau peritonitis terdiri dari tiga hal
utama: (1) drainase (2) support vital function, dan (3) terapi antimikroba yang
sesuai untuk mengobati infeksi yang tidak dapat diberantas saat operasi (Dipiro J.
T and Howdieshell T. R, 2008).
Pada kasus ini, Pasien Ny. C umur 22 tahun dengan BB 58 kg status pasien
JKN. Pasien MRS pada 27/2/2016 dengan keluhan sudah 2 hari nyeri perut,
kembung, Pasien juga tidak bisa BAB dan tidak bisa flatus. Pasien merupakan
rujukan dari RS Pasuruan. Pasien sedang hamil selama 20 minggu.

35
Pasien Ny. C MRS RSSA (27/3/2016) dengan diagnosa abdominal pain,
suspect ileus paralitik, septic condition, ascites, hipoalbumin, dan suspect
peritonitis. Menurut diagnosa di atas, pasien sudah diduga terkena peritonitis,
tetapi pada hari tersebut tidak diberikan terapi antibiotik dan baru diberikan pada
hari ke-6 (1/3/2016).
Sejak awal MRS, pasien mendapatkan terapi antibiotik mulai hari ke-6
(1/3/2016) Ny. C mendapatkan antibiotik ciprofloksasin dan metronidazole.
Menurut guideline IDSA, terapi antibiotik empiris yang digunakan untuk
mengatasi peritonitis sekunder adalah ciprofloksasin 400 mg via IV setiap 12 jam
dan metronidazol dengan dosis 500 mg setiap 8 jam (IDSA, 2010). Pasien
mendapatkan terapi ciprofloksasin yang dikombinasi dengan metronidazol 500mg
selama 4 hari. Ciprofloksasin merupakan antibiotik golongan fluoroquinolon yang
diindikasikan untuk membasmi bakteri gram negatif (-) di daerah intrabdominal,
sedangkan metronidazol merupakan antibiotik yang memiliki mekanisme kerja
menghambat sintesis asam nukleat dari bakteri yang masih menjadi drug of choice
untuk membasmi bakteri anaerob (Medscape, 2016). Selama terapi antibiotik
empiris, pada pasien dilakukan kultur mikroba dengan spesimen pus pada tanggal
(4/3/2016). Hasil kultur menyatakan bahwa rekomandasi antibiotik yang sensitif
adalah amikasin. Keesokan harinya (5/3/2016), terapi antibiotik empiris,
ciprofloksasin diganti antibiotik sesuai hasil kultur, yaitu amikasin. Sedangkan,
terapi antibiotik metronidazol tetap dilanjutkan. Amikasin diberikan via IV
dengan dosis 1x1 g. Antibiotik amikasin diberikan selama 6 hari. Kemudian
dilakukan kultur lagi terhadap pasien. Kultur mikroba kembali dilakukan pada
10/3/16 yang hasilnya menyatakan bahwa antibiotik golongan yang sensitif
adalah Meropenem, sehingga pada (11/3/16) terapi antibiotik diganti menjadi
meropenem. Meropenem diberikan pada Ny. C dengan dosis 3x1 g. Meropenem
diberikan selama 7 hari sampai dengan tanggal 18/3/16.
Salah satu manisfestasi klinis dari peritonitis adalah gangguan
keseimbangan cairan. Pada pasien Ny. C., mengalami imbalance elektrolit.
Pemberian cairan ini ditujukan untuk memperbaiki kondisi pasien terkait
elektrolit. Pada peritonitis, terapi cairan intravena (IV) diperlukan untuk
mempertahankan volume intravaskular, untuk meningkatkan fungsi

35
kardiovaskular, dan untuk memastikan perfusi jaringan dan oksigenasi yang
memadai. Output urine yang memadai harus dipertahankan untuk memastikan
resusitasi cairan yang tepat dan untuk menjaga fungsi ginjal. (Dipiro J. T and
Howdieshell T. R, 2008). Terapi cairan yang diberikan adalah NS 0,9%, NS 3%,
RF, KaenMg3, serta Kalium. Pada tanggal 11/3, kadar Natrium pasien sangat
rendah yaitu 128 mmol/l. Sehingga diperlukan koreksi Natrium dengan
menggunakan larutan NS 3 % yang bersifat hipertonik. Pemberian NS 3%
dimaksudkan sebagai sarana meningkatkan konsentrasi serum sodium dipasien di
rumah sakit (Hahn, 2011). Sedangkan pada tanggal 3/ 3, kadar natrium pasien
relatif tinggi yaitu 154 mmol/l. Dan pada saat itu, pasien mendapatkan larutan NS
0,9%. Seharusnya pemakaian NS 0,9% diganti dengan larutan yang mengandung
konsentrasi Na lebih sedikit.
Pasien mengalami mild-hipokalemi. Dikatakan pasien mild hipokalemi bila
nilai kalium berada pada nilai 3-3,4 mmol/l (NHS, 2010). Secara umum
penanganan yang dilakukan pada pasien hipokalemi adalah mengurangi penyebab
terjadinya hipokalemi (obat-obatan seperti diuretik, laksatif; GI losses seperti
muntah, mual; gangguan endokrin seperti hyperaldosteron, Cushing syndrom; dan
sebagainya), penggantian kalium (pada pasien dengan gangguan ginjal perlu
dilakukan monitoring), ECG (yang sangat direkomendasikan pada pasien dengan
hipokalemi simptomatis dengan gangguan jantung atau gangguan ginjal),
penggunaan kalium IV pada pasien yang mengalami mual, muntah berat atau
abdominal stress (NHS, 2010). Saat pasien MRS (27/2), nilai kalium pasien
cukup rendah yaitu 3,06 mmol/l. Pada tanggal 2 hingga 12 maret nilai kalium
pasien berkisar pada 2-3 mmol/l. Nilai terendah kalium pasien terjadi pada
tanggal 2/3 yaitu 2,18 mmol/l. Untuk mengatasinya pasien mendapat kalium
IVFD pada tanggal 3/3 sebagai koreksi. Koreksi diperhitungkan dengan
menggunakan rumus: (Knormal low limit-Kmeasure) x kg BBx0,4. Berdasarkan
perhitungan yagn dilakukan, koreksi kalium pasien sudah tepat. Pasien kembali
diberikan kalium pada tanggal 4/3 karena nilai kalium pasien masih cukup rendah
yaitu 2,84 mmol/l (data pada tanggal 3/3). Dan diberikan kembali tanggal 7/3
karena nilai kalium pasien adalah 2,58 (data pada tanggal 6/3). Sedangkan pada
hari-hari yang lain pasien tidak mendapat kalium. Pemberian larutan kalium

35
dengan kondisi pasien yang mild-hipokalemi (<3,5mmol/l) sejak awal MRS tidak
tepat. Seharusnya pemberian kalium dimulai dari awal MRS. Jika nilai K 2,5-3,5
mmol/l dapat diberikan terapi kalium oral, dan jika nilai K <2,5 mmol/l dapat
diberikan terapi kalium IV (Medscape, 2016).
Pasien juga mendapatkan terapi albumin untuk mengatasi hipoalbumin yang
dialami pasien. Target kadar albumin pada pasien adalah 3 mg/dL. Bila dilihat
dari data laboratorium, kadar albumin pasien pada 27/2 adalah 2,19 mg/dL (severe
hipoalbumin) dimana kadar albumin normal 3,5-5 mg/dL (Baldwin, 2012). Oleh
karena itu, pasien mendapatkan terapi albumin pada tanggal (28/3). Keesokan
harinya, dilakukan pengecekan kembali kadar albumin pasien dan terjadi kenaikan
kadar setelah dilakukan transfusi Albumin, yaitu menjadi 2,75 mg/dL. Keesokan
harinya pasien tidak diberikan albumin lagi. Tanggal (3/3) kadar albumin
dilakukan pengecekan kembali, karena akan dilakukan operasi. Kadar pasien pada
saat itu adalah 2,26 mg/dL, dan pada (5/3) dilakukan pengecekan kembali yang
hasilnya adalah kadar albumin menurun menjadi 2,03 mg/dL, kemua\dian
keesokan harinya dilakukan transfusi albumin kembali sampai kadar albumin >3,0
mg/dL. Kadar albumin Ny. C setelah transfusi albumin pada tanggal 9, 10, 11, 12,
dan 13 berturut-turut adalah 3,02 mg/dL; 2,63 mg/dL; 2,56 mg/dL; 2,58 mg/dL,
dan 3,22 mg/dL.
Setelah pemberian albumin, diperlukan monitoring kadar albumin untuk
mengetahui apakah target kadar albumin telah tercapai atau belum. Albumin
memainkan peran yang sangat penting terkait pemeliharaan homeostatis dalam
tubuh. Serum albumin merupakan regulator utama dari tekanan osmotik koloid,
albumin pun merepresentasikan sekitar 80% tekanan onkotik-koloid normal
plasma, oleh karena itu diperlukan koreksi kadar albumin (Gatta, 2012).
Pasien juga mendapat transfusi packed red cell (PRC). Menurut NICE
guideline pada tahun 2015, pasien yang membutuhkan transfusi PRC adalah
pasien yang mengalami perdarahan hebat (major haemorrhage) atau pasien acute
coronary syndrom atau pasien anemia kronis yang membutuhkan transfusi darah
secara berkala. Batas dilakukannya transfusi darah adalah 7 g/dL dan target kadar
Hb setelah transfusi adalah 7-9 g/dL (NICE, 2015). Bila dilihat dari data
Hemoglobin (Hb), pasien di bawah normal pada (27/3) yaitu sebesar 10,3 g/dL

36
dan menurun keesokan harinya (28/3/2016) yaitu menjadi 9,5 g/dL. Pada tanggal
(3/3/2016) dilakukan monitoring kadar Hb dengan hasilnya kembali menurun,
yaitu menjadi 7,9 g/dL kemudian keesokan harinya, pada tanggal (4/3/2016)
pasien diberikan transfusi PRC karena kadar Hb Ny. C yang cukup rendah.
Transfusi PRC diberikan pada tanggal (4/3/2016) sebanyak 1 labu. Ny. C pada
pada tanggal (6/3/2016) mengalami perdarahan akut (bleeding vagina dan double
bowel stoma), oleh karena itu diberikan transfusi PRC sebanyak 2 labu kemudian
pada hari yang sama, dilakukan monitoring kadar Hb yaitu menjadi 9,2 g/dL yang
berarti mengalami peningkatan dan terus mengalami peningkatan saat
dimonitoring pada tanggal (8/3/2016), yaitu sebesar 10,6 g/dL, setelah itu terapi
PRC tidak diberikan lagi.
Pada tanggal 3/3 pasien mengalami pemanjangan nilai PTT 2x yaitu
2,94/1,11 dan pasien mendapat transfusi FFP. FFP umumnya mengandung faktor
pembekuan, albumin dan imunoglobulin. Mengandung sedikitnya 70% faktor
koagulan VIII. Transfusi FFP diindikasikan pada beberapa keadaan yaitu : koreksi
defisiensi faktor pembekuan dengan konsentrasi yang tidak spesifik atau pada
defisiensi multiple clotting factor dengan PTT atau APTT >1,5 dilakukan pada
pasien pendarahan dengan gangguan hepar, dilakukan sebagai bentuk pencegahan
pendarahan pada operasi atau prosedur invasif pada pasien gangguan liver,
kemudian pada pasien yang mendapat vitamin K dengan pendarahan intracranial
atau untuk persiapan operasi yang tidak bisa ditunda jika protrombin sebagai lini
pertama tidak tersedia, pasien dengan acute disseminated intravascular
coagulation (DIC) dengan pendarahan aktif. Koreksi pendarahan mikrovaskular
dengan tranfusi yang besar. Jika PTT atau aPTT tidak dapat menghasilkan nilai
yang baik, maka FFP bisa ditransfusi untuk menghentikan pendarahan. Defisiensi
salah satu faktor pembekuan dapat diatasi dengan terapi pada trombotic
microangiopathies (thrombotic thrombocyotpenic purpura, haemolyticuraemic
syndrome, haemolytic anaemia elevated liver enzyme and low platelet count,
rekonstitusi whole blood sebagai exchange transfusion, angiodema herediter
hingga defisiensi esterase (Liumbruno, 2009).
Regimen dosis yang direkomendasikan untuk FFP adalah 10-15 ml/kg BB.
Namun, dosis FFP juga bergantuang pada keadaan klinis dan hasil laboratorium

36
jika diperlukan peningkatan dosis. Berdasarkan uraian di atas, terapi pada pasien
sudah tepat. Dikarenakan pasien mengalami pemanjangan nilai PTT 2x yaitu
2,94/1,11, di mana FFP berfungsi sebagai koreksi apabila nilai PTT>1,5.
Sehingga pemberian FFP sebagai koreksi PTT sudah tepat dan diberikan hingga
mencapai nilai normal.
Pasien didiagnosis mengalami Acute respiratory distress syndrome (ARDS).
ARDS adalah sekumpulan gejala dan tanda yang terdiri dari empat komponen
yaitu: gagal napas akut, perbandingan antara PaO2/FiO2 <200 mmHg untuk
ARDS, terdapat gambaran infiltrat alveolar bilateral yang sesuai dengan gambaran
edema paru pada foto toraks dan tidak ada hipertensi atrium kiri serta tekanan
kapiler wedge paru <18 mmHg. Pendekatan terapi terkini untuk ARDS adalah
meliputi perawatan suportif, bantuan ventilator dan terapi farmakologis. Prinsip
umum perawatan suportif bagi pasien ARDS dengan atau tanpa mulitiple organ
dysfungsi syndrome (MODS) meliputi pengidentifikasian dan terapi penyebab
dasar ARDS, menghindari cedera paru sekunder misalnya aspirasi, barotrauma,
infeksi nokosomial atau toksistas oksigen, dan mempertahankan penghantaran
oksigen yang adekuat ke end organ dengan cara meminimalkan angka metabolik
dengan cara mengoptimalkan fungsi kardiovaskuler serta keseimbangan cairan
tubuh dan dukungan nutrisi (Subagio, 2012)
Pasien mendapat O2 karena nilai saturasi O2 dan PO2 pasien yang rendah.
Ventilasi atau penggunaan oksigen merupakan terapi yang mendasar pada
penderita ARDS bila ditemukan peningkatan kebutuhan FiO2/ PaO 2 > 60% untuk
mempertahankan PO2 sekitar 70 mmHg atau lebih dalam beberapa jam (Subagio,
2012). Terapi oksigen yang didapatkan pasien sudah tepat. Pasien mengeluh
sesak dan dilakukan pemberian ventolin nebul. Ventolin berisikan salbutamol
yang bekerja sebagai bronkodilator. Hal ini sudah tepat karena salbutamol
merupakan agonis reseptor beta-2 dengan beberapa aktivitas beta-1, merelaksasi
otot polos bronkus dengan sedikit efek pada jantung (Medscape, 2016). Pasien
mendapatkan oksigen via ventilator untuk mengatasi sesak dan kekurangan
oksigen. Penggunaan ventilator yang lama akan menyebabkan pengeluaran
sputum yang berlebihan, sehingga pasien perlu diberikan terapi untuk mengurangi
sputum (Rogers, 2007). Pada kasus ini, pasien mendapatkan terapi agen mukolitik

36
yaitu n-acetyl cystein (NAC). NAC memiliki mekanisme memecah sputum
(mukus) dengan cara berikatan pada mukoprotein dan menurunkan viskositas dari
sekresi mucus (Medscape, 2016).
Ny. C pada awal MRS datang dengan keluhan nyeri perut skala 3. Pada
tanggal (28/2) pasien partus dan masih mengeluhkan nyeri perut skala 3. Pada
tanggal (1/3 dan 5/3) pasien masuk kamar operasi untuk menjalani peritoneal
lavage dan laparatomi. Selama perawatan yang dijalani pasien masih
mengeluhkan nyeri sehingga perlu diberikan terapi antinyeri. Menurut Panduan
Managemen Nyeri tahun 2012, terapi antinyeri yang disarankan untuk keadaan
pasien yang tidak mengalami operasi adalah analgesik non-opioid atau NSAID
(contohnya parasetamol, asam mefenamat), selanjutnya opioid untuk nyeri ringan
hingga sedang (contohnya kodein, tramadol), kemudian opioid untuk nyeri sedang
hingga berat (contohnya morfin,fentanil) dan yang terakhir pengeblok sistem
saraf. Sedangkan pada pasien pasca operasi diberikan terap antinyeri dengan
langkah sebaliknya yaitu diawali dengan pengeblok sistem saraf, opioid untuk
nyeri sedang hingga berat, kemudian opioid untuk nyeri ringan hingga sedang dan
selanjutnya diturunkan hingga menggunakan antinyeri non-opioid atau NSAID
(Binagwaho, 2012).
Terapi antinyeri yang diberikan pada saat awal MRS dengan skala nyeri
perut 3 adalah paracetamol injeksi 3 x 1 g, hal ini sudah tepat sesuai panduan
yaitu diberikan antinyeri non-opioid untuk kondisi awal nyeri pasien. Skala nyeri
perut pasien 3 menandakan bahwa pasien menglami nyeri berat sehingga perlu
adanya monitoring efektifitas dari antinyeri tersebut. Tanggal (29/2) pasien partus
dan keluhan nyeri pasien tidak berkurang, namun pasien mendapatkan antinyeri
asam mefenamat per oral 3 x 500 mg. Antinyeri asam mefenamat kurang adekuat
untuk mengatasi nyeri sehingga seharusnya diberikan injeksi antinyeri NSAID,
sehingga tanggal (1/3) diberikan injeksi metamizol 3 x 1 g. Pasien melakukan
operasi laparatomi tanggal (5/3) sehingga diberikan fentanil sebagai antinyeri
perut pasien. Fentanil merupakan antinyeri opioid untuk nyeri sedang hingga berat
pasca operasi sehingga pemilihannya sudah tepat. Pasien mengeluhkan nyeri
hebat sehingg\a diberikan morfin pada tanggal (5/3) malam untuk mengatasi nyeri
pasien. Pasien tidak disarankan menggunakan morfin jangka panjang karena

36
beresiko tinggi (adiktif, overdosis) sehingga diganti oleh tramadol (Medscape,
2016). Penggunaan tramadol berdampak pada penurunan skala nyeri (tgl 12 skala
1).
Pasien mendapat midazolam sebagai terapi anticemas pasien post operasi.
Terapi ini diberikan untuk membantu mengatasi nyeri pasien sehingga terapi
penyembuhan penyakit pasien dapat maksimal (Hogarth and Hall, 2004).
Midazolam sudah tepat diberikan karena midazolam akan berikatan di reseptor
pada SSP, sehingga memediasi dari sistem GABA reseptor untuk meningkatkan
kadar ion klorida sehingga terjadi penghambatan pada reseptor GABA
(Medscape, 2016).
Pasien mengalami sepsis condition dengan tanda-tanda suhu tubuh lebih
dari 38°C. Pasien mendapat terapi antipiretik untuk mencegah semakin parahnya
kondisi pasien. Antipiretik yang diberikan untuk terapi demam (suhu lebih dari
37,5°C) pasien adalah parasetamol injeksi untuk mempercepat penurunan suhu
tubuh. Paracetamol sudah tepat diberikan karena paracetamol bekerja pada
hipotalamus sehingga dapat memproduksi antipiresis untuk mengatasi demam
(Medscape, 2016).
Selain itu pasien juga mengalami tanda tanda syok hipovolemik yaitu
tekanan darah yang menurun, temperature yang meningkat secara persisten.
Terapi syok hipovolemik adalah resusitasi cairan, namun bila cairan masih belum
memberikan hasil maka vasopresor diberikan untuk mencegah depresi sistem
kardiovaskular. Terapi vasopresor diberikan untuk meningkatkan kardiak output
dan nadi. Terapi pilihan pertama vasopresor adalah norepineprin (Djogovic et al.,
2015). Pada kasus ini sudah tepat diberikan norepineprin untuk mencegah depresi
sistem kardiovaskular.

Pasien mengalami mual dan muntah, dimana mual dan muntah dapat
disebabkan oleh adanya gangguan saluran pencernaan diantaranya obstruksi,
dyspepsia, peptic ulcer (Dipiro, 2014). Berdasarkan guideline untuk mengatasi
stress ulcer pada pasien ICU dengan disertai kondisi sepsis dan trauma lebih
baik digunakan PPI daripada AH2 karena golongan PPI lebih efektif dalam
mengontrol pH lambung (Madsen et al., 2014). Pasien mendapatkan terapi
golongan PPI yaitu omeprazol dan lansoprazol yang telah sesuai dengan

36
guideline. Golongan PPI memiliki mekanisme kerja menekan sekresi asam
dengan menghambat parietal sel H + / K + pompa ATP (Lüllmann, 2005) yang
dapat mengatasi mual dan muntah. Terapi awal untuk mengatasi mual dengan
pemberian penghambat pompa proton seperti omeprazol. pasien mendapat terapi
Omeprazol 1 x 40 mg pada tanggal 28/2 - 5/03/2016 dan dilanjutkan lansoprazol
1x 30 mg pada tanggal 13-22/03/2016. Namun pada tanggal 14-18 Maret 2016,
terdapat perubahan terapi, yaitu lansoprazol digantikan dengan Omeprazole
kembali. Hal ini merupakan drug related problem karena Lansoprazol 30mg per
hari menurunkan keasaman dari esofagus dan jumlah refluks lebih efektif
dibanding omeprazol (Janczewska et al. 1998). Pasien juga mendapat
metoklopramid pada tanggal 29 feb untuk terapi mual dan muntah dan 1-2 maret
2016 untuk terapi hematemesis. Mekanisme kerja dari metoklopramid yaitu
antagonis reseptor dopamin pada CTZ medula, sehingga dapat mencegah mual
dan muntah (FDA, 2010). Pasien juga mendapat tambahan terapi sukralfat
sebagai pelindung mukosa pada tanggal 2 dan 9 maret 2016. Mekanisme kerja
dari sukralfat yaitu dengan membentuk kompleks dan terikat pada bagian ulcer
sehingga dapat membentuk lapisan pelindung, menghambat pepsin dan cairan
empedu, memblok difusi asam lambung yang dapat menembus mukosa
(Aptalis,2013) sehingga sesuai untuk mengatasi refluks gastris.

Pada tanggal (28/2) pasien dipimpin mengejan untuk mengatasi masalah


sulit buang air besar namun pada saat yang bersamaan lahirlah bayi yang
dikandung oleh pasien. Pasien yang telah melahirkan diberikan terapi untuk
mencegah perdarahan. Terapi utama untuk perdarahan pasca melahirkan menurut
guidelines SOGC adalah oksitosin injeksi (Leduc et al., 2009). Namun pada kasus
ini pasien mendapatkan metergin per oral untuk mengatasi pendarahan. Metergin
merupakan turunan dari ergotamine yang memiliki mekanisme kerja untuk
meningkatkan kontraksi dinding rahim (uterus) sehingga membuat aliran darah
dalam uterus mengalir kembali ke pembuluh darah. Pada pasien ini diberikan
metergin secara peroral, hal ini kurang tepat karena efeknya akan lama dan
mungkin tidak dapat mencegah perdarahan sehingga direkomendasikan oksitosin
injeksi atau metergin injeksi untuk pasien ini.

36
Pasien mengalami perdarahan pasca operasi, berdasarkan guideline tentang
manajemen terapi perdarahan postoperasi dapat diberikan antifibrinolitik asam
traneksamat dimana dapat menurunkan mortalitas dan mencegah perdarahan
kembali (Kozek et al., 2013). Pasien mendapat asam traneksamat pada tanggal 6-
13/03/2016 untuk mencegah perdarahan dengan mekanisme memblokade tempat
terikatnya plasmin/plasminogen dengan fibrin sehingga fibrinolisis tidak terjadi
(Lüllmann, 2005). Selain itu, dapat diberikan vitamin K ketika terjadi peranjangan
INR > 1,5 yang dapat memperbesar resiko perdarahan (Kozek et al., 2013). Pada
tanggal 6-13/03/2016 pasin mendapat Vitamin K untuk mencegah perdarahan
akibat gangguan pembentukan faktor koagulasi yang disebabkan defisiensi
Vitamin K. Vitamin K merupakan kofaktor esensial dari enzim gama karboksilase
yang mengkatalisis posttranslasi karboksilasi gama dari residu asam glutamat
dalam prekursor hepatik faktor koagulan II, VII, IX dan X. Karboksilasi gama
prekursor inaktif menjadi faktor koagulasi aktif yang akan disekresi oleh hepatosit
dalam darah (Lüllmann, 2005). Defisiensi faktor koagulasi dapat mengakibatkan
perpanjangan protombin time (PTT) dan Antiprotombin time (APTT) (Medscape,
2015).
Berdasarkan profil terapi untuk Ny. C yang mengalami abdominal pain,
ileus paralitik, peritonitis, anemia normokromik normositer, mild hypokalemi dan
leukositosis, sudah sesuai dengan Guideline IDSA untuk terapi antimikroba dan
support vital function berupa resusitasi cairan.

36
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.3 Kesimpulan
Terapi untuk pasien yang mengalami abdominal pain, ileus paralitik,
peritonitis, anemia normokromik normositer, mild hypokalemi dan
leukositosis, sudah sesuai dengan Guideline IDSA untuk terapi antimikroba
dan support vital function berupa resusitasi cairan.

4.4 Saran
Menginformasikan kepada DPJP terkait masalah pengobatan pasien (DRP)
sehingga dapat ditindaklanjuti. Menginformasikan kepada DPJP untuk
melakukan kultur ulang terkait penggunaan antibiotik pasien.

36
DAFTAR PUSTAKA

Ahmetagic, A., Numanovic, F., Ahmetagic, S., Rakovac-Tuopkovic, L., Porobic-


Jahic, H. 2013. Etiology of Peritonitis. Med Arh. Vol. 67, No. 4, p. 278-
81.
Binagwaho, Agnes. 2012. Pain Management Guidelines. p.9-12.
Daley, B. J., Katz, J., Peritonitis and Abdominal Sepsis. 2015. Emedicine
Medscape Accesed pada http://emedicine.medscape.com/article/180234-
overview#showall
Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Dipiro J. T and Howdieshell T. R. 2008. Intraabdominal Infections., In:
Pharmacoterpy Principles & Practice, 8th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies, Inc., p.1129-1138.
Djogovic, D., McDonald, S., Wensel, A., Green, R., Loubani, O. 2015.
Vasopressor and Inotrope Use in Canadian Emergency Departments :
Evidence Based Consensus Guidelines. 17 (S1): 1-16.
Gatta, Angelo, Verardo, Alberto, Bolognesi, Masigmo, 2012. Hypoalbuminemia.
Internal Emergency Medicine. Vol. 7, Suppl. 3, p.193-199.
IDSA Guideline for Intra-abdominal Infections. 2010. Clinical Infection
Diseases. Vol. 50, p. 133-164.
John, Hopkins. 2015. Antibiotic Guidelines 2015-2016. The John Hopkins
Hospital Antimicrobial Stewardship Program. p 42-46.
Johnson, C. C., Baldessarre, J., Levison, M. E. 1997. Peritonitis:Update on
Pathohysiology, Clinical Manifestasions, and Management. Clinical
Infection Diseases. Vol. 24, p. 1035-47.
Kozek SA., Afshari A., Albaladejo P., Robertis ED. 2013. Management of severe
perioperative bleeding: Guideline from euroean society of anaesthesiology.
Europe Journal Anaesthesiol. Vol 30. P 270-286.
Leduc, D., Senikas, V., Lalonde, A.B., Ballerman, C. 2009. Active Management
of the Third Stage of Labour : Prevention and Treatment of Postpartum
Hemorrhage. Society of Obstetricians and Gynaecologist of Canada
(SOGC). No. 235.
Liumbruno, Giancarlo et al. 2009. Recomendation for The Transfusion of Plasma
and Platelets., In: Blood Tranfusion 7. p.132-150
Madsen, K.R., Lorentzen K., Clausen N., Øberg E., Kirkegaard P.R.C.,Maymann-
Holler N., Møller M.H. 2014. Guideline for Stress Ulcer Prophylaxis in the
Intensive Care Unit. Dan Med J. vol 61 p.1-4

36
Moore, K. L., Agur, A. M. R., 2007. Essensial Clinical Anatomy 3rd
Lippincot&William Wilkins. p. 118-204.
National Institute for Health and Care Excellence. 2015. Transfusion: assessment
for and management of blood transfusion Blood Transfusion, p. 7-10.
NHS-Gloucestershire Hospital. 2010. Guideline for the Management of
Hypokalemia in Adults. Medicition Information, CGH
Rogers, F. D. 2007. Mucoactive Agents for Airway Mucus Hypersecretory
Deseases. Respiratory Care. Vol.52 No.9.
Sartelli, M. A. 2010. Focus on Intra-Abdominal Infections. W J Emerg Surg.
Vol.5, No. 9.
Subagio, Yusup. 2012. Penggunaan Ventilasi Mekanis Invasif Pada Acute
respiratory distress syndrome (ARDS), In: Jurnal Respiratologi
Indonesia vol. 32, No 1. p. 44-52
Fresenius. 2014. Anatomy of the peritoneum.FMC.
http://advancedrenaleducation.com/content/anatomy-peritoneum diakses
tanggal 2 april 2016 pukul 15.30

36
LAPORAN TUTORIAL IRNA-I
KASUS CHRONIC KIDNEY DISEASE

1.1. Definisi
Chronic Kidney Disease didefinisikan sebagai kerusakan ginjal ≥ 3 bulan,
ditentukan dengan adanya kelainan struktur atau fungsi ginjal, dengan atau tanpa
penurunan GFR (Glomerulus Filtration Rate). CKD juga dapat didefinisikan
2
penurunan GFR sampai kurang 60 mL/min/1,73 m dari luas permukaan tubuh

selama lebih dari 3 bulan. CKD merupakan hasil dari progresivitas penurunan
fungsi ginjal oleh karena penurunan jumlah nefron yang berfungsi pada ginjal
(Fauci et al, 2011).

1.2. Klasifikasi
CKD di klasifikasikan menjadi 5 stadium dengan tujuan untuk mengetahui
tahap kerusakan yang dialami.
Tabel 1.1 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (K/DOQI, 2002)
Stadium Deskripsi eGFR (mL/menit/1,73 m2)
1 Kerusakan ginjal dengan eGFR >90
normal atau meningkat
2 Kerusakan ginjal dengan penurunan 60 – 89
eGFR ringan
3 Kerusakan ginjal dengan penurunan 30 – 59
eGFR sedang
4 Kerusakan ginjal dengan penurunan 15 – 29
eGFR berat
5 Kerusakan ginjal tingkat akhir (gagal <15 atau dialisis
ginjal)

1.3. Etiologi
Faktor risiko yang dapat menyebabkan CKD dapat dibagi dalam 3 kategori
antara lain:
Tabel 1.2 Faktor risiko CKD (Fauci et al, 2011)
Kategori Contoh
Faktor Usia, penurunan massa ginjal, berat lahir
kerentanan rendah, ras, riwayat keluarga pernah
mengalami CKD, rendahnya penghasilan dan
pendidikan, inflamasi sistemik,

37
Dislipidemia
Faktor inisiasi Diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
autoimun, Polycystic Kidney Disease,
toksisitas obat, abnormalitas saluran kemih
(infeksi, obstruksi, adanya batu
Faktor progresif Hiperglikemia (pada pasien diabetes mellitus
yang kontrol gulanya buruk), hipertensi
(kenaikan tekanan darah), proteinuria, merokok

1.4. Epidemiologi
PGK merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka
kejadian dan prevalensi yang meningkat, munculnya komplikasi, serta
membutuhkan biaya yang tinggi (Levey et. al., 2009). PGK merupakan
keadaan yang memerlukan penanganan khusus untuk memperlambat
penurunan fungsi ginjal menuju tahap terminal. (NICE Clinical Guidelines,
2014). Sistem Data Renal US mencatat bahwa pada tahun 2010 terdapat
1.876.000 orang yang menderita PGK dan meningkat pada tahun 2011
menjadi 1.926.000 orang. Menurut data dari PERNEFRI dalam Indonesian
Renal Registry tahun 2014 didapatkan 2.471 kasus PGK di Jawa Timur dari
total 12.770 kasus PGK di Indonesia. Di RSSA sendiri, CKD menempati posisi
pertama kasus terbanyak di instalasi rawat inap 1 (penyakit dalam).

1.5. Patofisiologi
Berbagai faktor etiologi Chronic Kidney Disease menyebabkan kerusakan
ginjal dengan berbagai cara yang menyebabkan berbagai perubahan morfologi
glomerulus, tergantung pada diagnosa awal glomerulonefritis. Perkembangan
kerusakan ginjal utamanya melalui 3 jalur yaitu kerusakan massa nefron,
hipertensi intraglomerulus dan proteinuria. Paparan initiation factors
menghasilkan kerusakan massa nefron. Kerusakan massa nefron dan fungsi ginjal
akan dikompensasi dengan hipertrofi nefron yang selanjutnya menjadi maladaptif
dan berkembang menjadi hipertensi glomerulus (Joy et al., 2008).
Hipertensi glomerulus secara tak langsung ditimbulkan oleh AT II yang
merupakan vasokonstriktor kuat arteriol aferen dan eferen. Efek AT II lebih kuat
pada arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini
memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria.

37
Protein yang berada di tubulus renalis akan menimbulkan peningkatan produksi
sitokin peradangan dan vasoaktif pada membran apikal tubulus proksimal,
sehingga akan menimbulkan kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Adanya
proteinuria dapat mempercepat progresifitas kerusakan nefron (Joy et al., 2008).
Adanya peningkatan aktivitas Renin Angiotensin Aldosteron (RAA) intrarenal
juga memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan
progresivitas penurunan fungsi nefron. Efek angiotensiogen II (AT) lebih kuat
pada arteriol eferen sehingga meningkatkan tekanan kapiler glomerulus. Hal ini
memicu kerusakan permeabilitas glomerulus dan menimbulkan proteinuria.
Protein yang berada di tubulus renalis akan meningkatkan produksi sitokin
peradangan dan vasoaktif pada membran apikal tubulus proksimal, sehingga akan
menimbulkan kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Beberapa hal yang berperan
terhadap progresivitas CKD adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dan
dislipidemia (Joy et al., 2008).

1.6. Gejala klinis


1. Gangguan keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh
2. Gangguan pada muskuloskeletal dan mineral (osteodistrofi renal, osteomalasia,
osteoporosis).
3. Gangguan kardiovaskular dan pulmonar (hipertensi, CHF/Congestive Heart
Failure, oedema pulmoner, dispnea).
4. Gangguan saraf (lemas, gangguan tidur, neuropati, gangguan mental, kejang,
koma).
5. Gangguan saluran cerna (anoreksia, mual-muntah, gastroenteritis, ulkus
peptikum, perdarahan saluran cerna).
6. Gangguan dermatologi (pucat, hiperpigmentasi, pruritus).
7. Gangguan hematologi (anemia) (Joachim, 2006).
Penurunan fungsi ginjal menyebabkan produksi dan kandungan urin tidak
normal. Pada CKD, terjadi proteinuria akibat permeabilitas kapiler glomerulus
meningkat sehingga protein ditemukan dalam urin. Selain itu terjadi uremia akibat
penumpukan metabolisme protein dalam darah karena tidak dapat diekskresi.
Kondisi uremia terlihat dari kadar BUN dan kreatinin serum tinggi. Kadar normal

37
BUN 10-20 mg/dl dan SCr rata-rata 0,5-1,2 mg/dl (Pagana et al, 2015).
Pada pasien CKD stadium 1 dan 2 umumnya tidak menunjukkan gejala.
Gejala minimal muncul selama stadium 3 dan 4 misalnya peningkatan tekanan
darah, lemah, nafas pendek. Gejala yang umum pada stadium 5 antara lain gatal,
sensasi pengecap yang tidak enak, mual, muntah dan perdarahan (Joy et al, 2008).

1.7. Komplikasi
a. Gangguan Keseimbangan Natrium dan Air
Ketidakseimbangan natrium dan air terjadi apabila klirens kreatinin
mengalami penurunan sampai dibawah 25ml/ menit. Hal ini menyebabkan
hilangnya kemampuan ginjal untuk menyesuaikan perubahan natrium dan air
yang masuk (Krauss & Hak, 2000). Mekanisme penurunan ekskresi natrium pada
CKD adalah penurunan laju filtrasi natrium oleh glomerulus, peningkatan
reabsorpsi natrium oleh tubular, atau keduanya (NKF, 2002).
b. Gangguan Keseimbangan Kalium
Konsentrasi kalium biasanya dapat dijaga untuk berada pada kisaran normal
sampai pasien mengalami GGT (Gagal Ginjal Terminal) atau GFR < 20 ml/menit.
Kenaikan sekresi kalium yang signifikan oleh usus besar mempunyai kontribusi
pada penjagaan keseimbangan kalium (Hudson, 2011).
c. Asidosis Metabolik
Abnormalitas asam basa ini sering dijumpai pada pasien CKD dengan GFR
<30ml/menit. Asidosis metabolik mempunyai kontribusi terhadap kerusakan
tulang, menurunkan kontraktilitas jantung, stimulasi katabolisme protein, dan
meningkatkan iritabilitas vaskular (Hudson, 2011).
d. Anemia
Penyebab utama terjadinya anemia pada pasien CKD adalah defisiensi
eritropoetin. Faktor lainnya adalah kehilangan darah, kekurangan zat besi, asam
folat dan vitamin B12, osteotis fibrosa, infeksi sistemik dan peradangan,
keracunan aluminium dan hipersplenisme. Anemia mulai terjadi apabila GFR
menurun dibawah 50 ml/menit dan konsentrasi hematokrit mencapai 30% saat
GFR mencapai 20-30 ml/menit (Hudson, 2011).

37
e. Hipertensi
Penyebab hipertensi pada pasien gagal ginjal kronik adalah karena ekspansi
volume ekstrasel, abnormalitas sistem renin angiotensin (Hudson, 2011).
Hipertensi meningkat linear dengan menurunnya fungsi ginjal, dan sebagian besar
pasien dengan gagal ginjal kronik disertai dengan tekanan darah tinggi sehingga
kontrol terhadap tekanan darah yang adekuat harus menjadi perhatian utama
dalam managemen pasien PGK (Ekart et al., 2011). Target tekanan darah yang
direkomendasikan oleh NKF-K/DOQI saat predialisis yaitu <140/90 mmHg dan
saat pascadialisis yaitu <130/80 mmHg, dan menurut JNC 7 target tekanan darah
yaitu <130/80 mmHg. Menurut JNC 8 target tekanan darah pada pasien CKD (>
18 tahun) yaitu 140/90 mmHg dan pada pasien CKD yang geriatri (> 60 tahun)
150/90 mmHg. Pada penelitian yang dilakukan di Eropa, sebanyak 55% pasien
hemodialisis memiliki tekanan darah sistol predialisis >140 mmHg (Robinson et
al., 2012) yang menunjukkan susahnya pengendalian tekanan darah pada pasien
hemodialisis. Hipertensi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan progresifitas
penyakit pada kardiovaskular yang mempengaruhi mortalitas pada pasien HD
(Agarwal and Sinha, 2009).
f. Abnormalitas Kalsium dan Fosfat
Apabila klirens kreatinin di bawah 5-15 ml/menit, ke mampuan ginjal untuk
mensekresi fosfat mengalami kegagalan. Sejumlah abormalitas skeletal,
menunjukkan osteodistrofi ginjal yang disebabkan oleh perubahan metabolisme
kalsium dan fosfat (Hudson, 2011).

1.8. Penatalaksanaan Terapi


Terapi farmakologi pada CKD antara lain (NKF, 2002; Hudson, 2011):
a. Pengendalian Penyakit Dasar
Pengobatan terhadap penyakit dasar yang masih dapat dikoreksi mutlak harus
dilakukan. Termasuk di sini yaitu pengendalian tekanan darah, regulasi gula darah
pada pasien DM, koreksi ji ka ada obstruksi saluran kencing, serta pengobatan
ISK (Agarwal and Andersen, 2005). Farmakoterapi untuk menurunkan tekanan
darah mungkin menimbulkan masalah baru pada pasien HD, seperti hipotensi
intradialitik dan trombosis vaskular (Ekart et al., 2011). Komplikasi yang dapat

37
terjadi antara lain gagal jantung kongestif, stroke perdarahan, hipertrofi ventrikel
kiri, dan aterosklerosis (Singapuri and Janice, 2010) sehingga pemilihan obat
antihipertensi sebaiknya melihat pada komorbid pasien, farmakokinetik dan efek
hemodinamik. Beberapa obat antihipertensi yang diresepkan pada pasien HD
antara lain diuretik kuat, Angiotensin II Receptor Blocker (ARB), Calcium
Channel Blocker (CCB), β-bloker, α-1 bloker, α-2 agonis, vasodilator (Joel et al.,
2013), dan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) (Manley et al.,
2003).
b. Terapi Gangguan Cairan dan Elektrolit
Target terapi menjaga kadar Natrium 135-145 mEq/ L sehingga dapat
menurunkan resiko terjadinya hipertensi karena overload cairan. Diuretik biasanya
dibutuhkan untuk mencegah edema dan gejala terkait overload cairan. Loop
diuretik dapat meningkatkan volume urin dan ekskresi natrium sampai pada CKD
stage 4. Terapi definitif kondisi hiperkalemi berat pada ESRD adalah
hemodialisis. Sebelum didialisis terapi smentara hiperkalemi yaitu kalsium
karbonat, atau insulin dan glukosa. Loop diuretik kurang efektif sebagai terapi
hiperkalemi pada ESRD.
c. Terapi Hipertensi
Berikut adalah pengaruh obat-obat antihipertensi terhadap aliran darah ginjal
dan laju glomerulus ginjal:

Tabel 1.3 Efek antihipertensi terhadap renal blood flow dan glomerular
filtration rate (Joy et al., 2008)

37
d. Terapi Asidosis Metabolik
Target terapi untuk asidosis metabolik yaitu pH normal (7,35-7,45) dan
menjaga kadar bikarbonat pada rentang normal (22-2 6 mEq/L). Pada pasien yang
akan menjalani hemodialisis maka sebelum dialisis bikarbobat harus di atas 22
mEq/L. Pada pasien CKD stage 4 dan 5 penggunaan garam pembasa seperti
natrium bikarbonat sangat dianjurkan untuk pemulihan kadar bikarbonat. Dosis
basa yang dibutuhkan untuk penggantian bikarbonat yaitu perkalian volume
distribusi bikarbonat (0,5 L/Kg) dengan berat badan pasien dan defisit serum
bikarbonat (Hudson, 2011). Pengobatan dengan intravena natrium bikarbonat
hanya dilakukan pada kondisi asidosis berat.
e. Terapi Anemia
Tujuan terapi anemia yaitu meningkatkan kapasitas pembawaan oksigen
sehingga dapat menurunkan kondisi dyspnea, orthopnea, dan lemah seta untuk
mencegah terjadinya LVH (Left Ventricukar Hyperthropy) jangka panjang dan
mortalitas kardiov askular. Target hemoglobin pada managemen terapi anemia
untuk CKD stage 5 yang menjalani hemodialisis yaitu 11-12 g/dL. Terapi far
makologi pasien anemia pada CKD yaitu Erythropoietic-Stimulating Agent (ESA)
yang dapat menstimulasi diferensiasi stem sel progenitor eritoid dan
meningkatkan pelepasan retikulosit dari sumsum tulang ke aliran darah dimana
akan terjadi maturasi menjadi eritrosit (Hudson, 2011).
f. Terapi Hiperfosfatemi
Berdasarkan K/DOQI target kadar fosfat dalam darah untuk pasien CKD stage
5 yaitu 3,5-5,5 mg/dL dan untuk kalsium yaitu 8,4-9,5 mg/dL. Terapi farmakologi
untuk kondisi hiperfosfatemi yaitu kalsium karbonat yang merupakan fosfat
binder pada makanan (Hudson, 2011).

37
LAPORAN TUTORIAL IRNA-II
KASUS CEDERA KEPALA

1.1 Definisi
Cedera kepala merupakan trauma pada otak akibat dari tekanan mekanik
eksternal, yang menyebabkan gangguan fisik, kognitif dan fungsi psikososial
sementara atau permanen (Critchley dan Memon, 2009).

1.2 Klasifikasi
Secara umum, cedera kepala dapat dikelompokkan berdasarkan
mekanisme (closed dan penetrating), berdasarkan tingkat keparahan (dilihat dari
nilai GCS), dan berdasarkan perkiraan kerusakan structural. Glasgow Coma Scale
(GCS) merupakan indicator untuk menilai tingkat keparahan cedera otak dimana
nilainya berkisar 3-15 yang merupakan hasil penjumlahan dari tiga komponen
(mata, motorik, dan verbal) (Maas, 2008). Berikut merupakan klasifikasi cedera
kepala berdasarkana tingkat keparahannya yang dilihat dari nilai GCS :

Durasi post traumatic


Tingkat keparahan Nilai GCS
amnesia
Ringan 13-15 < 24 jam
Sedang 9-12 1-6 hari
Berat 3-8 >7 hari

1.3 Epidemiologi
Cedera kepala dapat meningkatkan terjadinya kematian dan kecacatan di
Negara berkembang. Di UK sekitar 1,4 juta pasien per tahun menderita cedera
kepala. Walapun mayoritasnya cedera bersifat ringan., sekitar 10,9%
diklasifikasikan sebagai cedera sedang atau berat (Dinsmore, 2013). Sekitar tahun
1980 hingga 2003 dilaporkan 235 kasus per 100.000 kejadian tiap tahun di Eropa,
rata-rata tingkat kematian sebesar 15 per 100.000 orang per tahun. Di USA tiap
tahun terdapat 1,4 juta orang yang menderita cedera kepala (Peeters et al, 2015).

37
1.4 Patofisiologi
Tahap awal cedera kepala ditandai dengan kerusakan jaringan dan
gangguan regulasi aliran darah otak serta metabolismenya. Pola ‘ischaemia-like’
tersebut mengarah kepada akumulasi asam laktat karena glikolisis anaerobik,
peningkatan permeabilitas membran, dan kejadian edema. Oleh karena
metabolisme anaerob tidak adekuat, untuk menjaga energi seluler, penyimpanan
ATP berkurang dan terjadi kegagalan pada pompa ion yang bergantung pada
energi. Tahap kedua patofisiologi ditandai dengan depolarisasi membran terminal
bersamaan dengan pelepasan secara berlebihan neurotransmiter eksikatori
(misalnya glutamat, aspartat), dan kanal Ca2+ dan Na+ yang bergantung pada
voltase. Sebagai akibatnya, masuknya Ca2+ dan Na+ menyebabkan terjadinya
proses self-digesting intraseluler (katabolik). Ca2+ mengaktifkan lipid peroksida,
protease, dan fosfolipase yang akan meningkatkan konsentrasi intraseluler dari
asam lemak bebas dan radikal bebas. Kejadian tersebut mengarah kepada
degradasi struktur membran vaskular dan seluler serta nekrotik atau apoptosis
(Engelhard dan Werner, 2007).

1.5 Tanda dan Gejala


Beberapa tanda dan gejala dari cedera kepala menurut Willer dan Leddy
tahun 2006 adalah :
Fisik Emosional Kognitif
Sakit kepala Merasa lelah Sulit konsentrasi
Mual Iritasi Sulit mengingat
Muntah Depresi Merasa linglung
Pandangan kabur Cemas
Berkunang-kunang Frekuensi tidur lebih dari
biasanya
Gangguan keseimbangan Sulit tidur
Pusing

1.6 Manajemen Terapi


Terapi yang diberikan pada pasien cedera kepala menurut Brain Trauma
Foundation tahun 2007 diantaranya:

37
a. Tekanan Darah dan Oksigenasi

Pasien yang mengalami cedera kepala umumnya mengalami


hipoksia dan hipotensi. Pada kejadian cedera kepala akut, prioritas yang
dilakukan adalah melakukan penilaian atau assessment dan menstabilkan
jalan nafas serta sirkulasi. Bersamaan dengan stabilisasi, pencegahan
untuk cedera sekunder harus dilakukan. Tekanan arteri rata-rata harus
dijaga agar diatas 90 mmHg, saturasi arterial harus lebih besar dari 90%.
CT scan harus dilakukan dengan segera dan termasuk prioritas.
b. Terapi hiperosmolar
Agen hiperosmolar yang digunakan untuk cedera kepala adalah
mannitol dan hypertonic saline. Mannitol banyak digunakan untuk
mengatasi peningkatan tekanan intrakranial. Efek yang dihasilkan oleh
mannitol adalah efek mengembangkan plasma yang mengurangi
hematokrit dan meningkatkan deformabilitas eritrosit sehingga
mengurangi viskositas darah yang dapat meningkatkan aliran darah
serebral serta meningkatkan penghantaran oksigen ke serebral.
Hypertonic saline dapat juga digunakan untuk mengurangi tekanan
intrakranial melalui penurunan kandungan air serebral oleh karena efek
osmotik. Hypertonic saline menghidrasi sel endotel dan eritrosit yang
dapat meningkatkan diameter pembuluh darah serta derormabilitas eritrosit
sehingga terjadi peningkatan volume plasma yang meningkatkan aliran
darah.
c. Profilaksis hipotermia
Profilaksis hipotermia berkaitan dengan lebih tingginya nilai Glasgow
Outcome Scale (GOS). Aspek yang perlu diperhatikan diantaranya adalah
target temperatur adalah 32-330C atau >330C, durasi selama <48 jam, 48
jam, atau >48 jam serta kecepatan untuk menghangatkan kembali adalah
10C per jam, 10C per hari, atau lebih lambat.
d. Profilkasis infeksi
Kejadian infeksi meningkat pada pasien cedera otak yang
menggunakan ventilasi mekanikal dan teknik monitoring invasif.
Antibiotika profilaksis diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi

37
akibat bakteri patogen gram positif dan negatif serta infeksi akibat fungi.
Selain itu, profilaksis antibiotika doperlukan untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya infeksi nosokomial sistemik pada cedera kepala
berat.
e. Profilaksis Deep Vein Thrombosis (DVT)
Pada pasien cedera kepala, risiko terjadinya tromboemboli vena
meningkat. Oleh karena itu, penggunaan low molwcular weight heparin
(LMWH) atau unfractionated heparin disarankan untuk mencegah DVT.
f. Anastesi, analgesik dan sedatif
Propofol banyak digunakan sebagai sedatif neuro dan anastesi sedatif
hipnotik yang memiliki mula kerja dan durasi yang singkat. Propofol
dapat menekan metabolisme serebral dan konsumsi oksigen. Selain
propofol, terapi lain yang banyak digunakan adalah morphine sulfat,
fentanyl dan sufentanyl.
g. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi biasanya mulai diberikan tidak lebih dari 72 jam setelah
terjadi cedera. Terdapat tiga metode cara pemberian terapi nutrisi, yaitu
gastric, jejunal dan parenteral. Pemberian secara jejunal dan parenteral
dapat menyebabkan retensi nitrogen yang lebih baik daripada pemberian
melalui gastric. Dalam suatu penelitian menyebutkan bahwa pemberian
secara gastric dan jejunal dapat memberikan asupan kalori secara optimal
dalam kurun waktu 7 hari setelah terjadinya cedera. Zinc merupakan satu-
satunya supplement yang dapat meningkatkan jumlah protein dalam tubuh
dan meminimalkan resiko mortalitas.

38
DAFTAR PUSTAKA

Brain Trauma Foundation. 2007. Guideline for the Management of Severe


Traumatic Brain Injury 3rd Edition. Brain Trauma Foundation.

Dinsmore, J. 2013. Traumatic Brain Injury: An Evidence-Based Review of


management. British Journal of Anasthesia. P. 1-7.

Engelhar, K., dan Werner, C. 2007. Review of pathophysiology of traumatic brain


injury. British Journal of Anaesthesia, Vol. 99, p. 4-9.

Maas, A. I. R., Stocchetti, N., Bullock, R. 2008. Moderate and Severe Traumatic
Brain Injury in Adults. Lancet Neurol 2008; 7: 728–41.

Olson. D.A. 2014. Head Injury Treatment & Management [online]. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article/1163653-treatment

Peters, W., Brande, R.V.D., Polinder, S., Brazinova, A., Steyerberg, E.W.,
Lingsma, H.F., Maas, A.I. 2015. Epidemiology of Traumatic Brain Injury in
Europe. The European Journal of Neurosurgery, pp.2512-2517.

38
LAPORAN TUTORIAL IRNA-III
KASUS PRE-EKLAMPSI

1.1. Pendahuluan
Menurut WHO, hipertensi pada kehamilan mempengaruhi sekitar 10%
semua wanita hamil di seluruh dunia. Penyebab diantaranya adalah preeklampsia
atau eklampsia, hipertensi gestasional dan hipertensi kronis. Hipertensi pada
kehamilan merupakan penyebab utama kematian pada ibu dan bayi. Di Asia dan
Afrika, hampir sepersepuluh dari semua kematian ibu hamil sedangkan di
Amerika Latin merupakan komplikasi seluruh kematian ibu berhubungan dengan
preeklampsia, sedangkan 25% dari preeklampsia dengan penyakit lainnya. Pada
negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan berkisar antara 0,3 % sampai 0,7
%, sedang di negara-negara maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu 0,05 %
sampai 0,1% (Afridasari, 2012).

1.2. Definisi
Pre-eklampsia adalah sindrom klinis pada masa kehamilan (setelah
kehamilan 20 minggu) yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah (>140/90
mmHg) dan proteinuria (0,3 gram/hari) pada wanita yang tekanan darahnya
normal pada usia kehamilan sebelum 20 minggu. Preeklampsia merupakan
penyakit sistemik yang tidak hanya ditandai oleh hipertensi, tetapi juga disertai
peningkatan resistensi pembuluh darah, disfungsi endotel difus, proteinuria,
sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver Enzyme, Low Platelet Count)dan
koagulopati (Myrtha, 2015).

1.3. Etiologi dan Faktor Resiko


Etiologi preeklampsia tidak diketahui secara pasti. Namun berdasarkan
Gustaaf 1998, ditemukan hipotesis bahwa preeklampsia dapat disebabkan oleh 4
faktor, teori yang paling diterima saat ini adalah teori iskemia plasenta:

38
1. Iskemia plasenta
Yaitu invasi tropoblas yang tidak normal terhadap arteri spiralis sehingga
menyebabkan berkurangnya sirkulasi uteroplasenta yang dapat berkembang
menjadi iskemia plasenta dan mungkin menimbulkan disfungsi sel endotel.
2. Peningkatan toksisitas VLDL (Very Low Density Lipoprotein)
Hal ini menyebabkan terjadinya kompensasi yang dapat meningkatkan
kebutuhan energi selama kehamilan.
3. Immune Maladaptation
Hal ini menyebabkan gangguan invasi arteri spiralis oleh sel-sel
sinsitiotrofoblas dan disfungsi sel endotel yang diperantarai oleh peningkatan
pelepasan sitokin, enzim proteolitik, dan radikal bebas.
4. Genetik
Adanya diabetes melitus, hipertensi kronis, dan penyakit ginjal sebelum
kehamilan dapat meningkatkan risiko preeklampsia. Beberapa faktor risiko
yang dapat mendukung terjadinya preeklampsia antara lain seperti tertera
pada Tabel I.
Faktor Resiko Pre-Eklampsi

• Nullipara

• Multiparietas

• Riwayat keluarga preeklampsia

• Hipertensi kronis

• Diabetes melitus

• Penyakit ginjal

• Riwayat preeklampsia onset dini pada kehamilan sebelumnya (<34 minggu)

• Riwayat sindrom HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, low platelet)

• Obesitas

• Mola hidatidosa

Tabel I : Faktor resiko pre-eklampsi (Myrtha, 2015)

38
1.4. Klasifikasi ganngguan hipertensi yang menjadi penyulit kehamilan
Berdasarkan The American Collage of Obstetricians and Gynecologist tahun
2013:
1. Hipertensi gestational:
a. Tekanan darah sistolik antara 140-160 mmHg dan tekanan darah
diastolik 90-110 mmHg.
b. Proteinuria minimal <2 g/L/24 jam
c. Tidak disertai gangguan fungsi organ.
d. Tekanan darah kembali ke normal < 12 minggu pasca partum
2. Preeklampsi:
a. Tekanan darah sistolik >160 mmHg atau tekanan darah diastolik >110
mmHg.
b. Proteinuria >2g/L/24 jam.
c. Kreatinin serum > 1,2 mg/dL
d. Trombosit <100.000 /mm3
e. Peningkatan ALT/AST
f. Nyeri kepala menetap atau gangguan otak atau penglihatan lainnya
g. Nyeri epigastrium menetap
3. Eklampsia
Kejang yang tidak dapat dikaitkan dengan kasus lain pada seorang
wanita dengan preeklampsia
4. Preeklampsia pada hipertensi kronik
Proteinuria awitan sampai baru > 300 mg/24 jam pada wanita
hipertensi, tetapi tidak ada protein uria sebelum gestasi 20 minggu.
Peningkatan mendadak proteinuria atau tekanan darah atau hitung
trombosit kurang dari 100.000/ mm3 pada wanita hipertensi, tetapi tidak
ada protein uria sebelum gestasi 20 minggu.
5. Hipertensi kronis
Tekanan darah >140/90 mmHg sebelum kehamilan atau didiagnosis
sebelum gestasi 20 minggu atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis
setelah gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pasca partum.

38
1.5. Patofisiologi
Pada preeklampsia terjadi spasme pembuluh darah disertai dengan retensi
garam dan air. Pada biopsi ginjal ditemukan spasme hebat arteriola glomerulus.
Pada beberapa kasus, lumen arteriola sedemikian sempitnya sehingga hanya dapat
dilalui oleh satu sel darah merah. Jadi jika semua arteriola dalam tubuh
mengalami spasme, maka tekanan darah akan naik sebagai usaha untuk mengatasi
tekanan perifer agar oksigenasi jaringan dapat dicukupi. Sedangkan kenaikan
berat badan dan edema yang disebabkan oleh penimbunan air yang berlebihan
dalam ruangan interstitial belum diketahui sebabnya, mungkin karena retensi air
dan garam. Proteinuria dapat disebabkan oleh spasme arteriola sehingga terjadi
perubahan pada glomerulus (Rini, 2009)

1.6. Manifestasi Klinis


Dua gejala yang sangat penting pada preeklampsia adalah hipertensi dan
proteinuria. Berdasarkan Cunningham dkk., 2005 gejala ini merupakan keadaan
yang biasanya tidak disadari oleh wanita hamil, yaitu :
a. Tekanan darah
Kelainan dasar pada preeklampsia adalah vasospasme arteriol sehingga
tanda peringatan awal muncul adalah peningkatan tekanan darah. Tekanan
diastolik merupakan tanda prognostik yang lebih baik dibandingkan tekanan
sistolik dan tekanan diastolik sebesar 90 mmHg atau lebih menetap menunjukan
keadaan abnormal.
b. Kenaikan berat badan
Peningkatan berat badan yang terjadi tiba-tiba dan kenaikan berat badan
yang berlebihan merupakan tanda pertama preeklampsia. Peningkatan berat badan
sekitar 0,45 kg per minggu adalah normal, tetapi bila lebih dari 1 kg dalam
seminggu atau 3 kg dalam sebulan maka kemungkinan terjadinya preeklampsia
harus dicurigai. Peningkatan berat badan yang mendadak serta berlebihan
terutama disebabkan oleh retensi cairan dan selalu dapat ditemukan sebelum
timbul gejala edema nondependen yang terlihat jelas, seperti edema kelopak mata,
kedua lengan, atau tungkai yang membesar.

38
c. Proteinuria
Derajat proteinuria sangat bervariasi menunjukan adanya suatu penyebab
fungsional dan bukan organik. Pada preeklampsia awal, proteinuria mungkin
hanya minimal atau tidak ditemukan sama sekali. Pada kasus yang berat,
proteinuria biasanya dapat ditemukan dan mencapai 10 gr/l. Proteinuria hampir
selalu timbul kemudian dibandingkan dengan hipertensi dan biasanya terjadi
setelah kenaikan berat badan yang berlebihan.
d. Nyeri kepala
Gejala ini jarang ditemukan pada kasus ringan, tetapi semakin sering terjadi
pada kasus yang lebih berat. Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan
oksipitalis, dan tidak sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita
hamil yang mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu
mendahului serangan kejang pertama.
e. Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang
sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi presiktor serangan
kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula
hepar akibat edema atau perdarahan.
f. Gangguan penglihatan
Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan yang
sedikit kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini
disebabkan oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks
oksipital.

1.7. Penatalaksanaan
a. Manajemen Ekspektatif atau aktif
Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki
luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang
usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif dapat
dipertimbangkan pada kasus preeklampsia pada usia kehamilan 26 - 34 minggu
yang bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal. Pemberian kortikosteroid

38
dapat digunakan untuk mengurangi morbiditas (sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular dan infeksi) serta mortalitas perinatal (Kemkes, 2013).

Bagan 1. Manajemen Ekspektatif (Kemkes, 2013)

Observasi dan manajemen inisial di kamar bersalin


- Evaluasi ibu: gejala, temuan klinis, pemeriksaan laboratorium
Kontraindikasi manajemen
- Monitor ekspektatif?
denyut jantung janin dan kontraksi
Gejala preeklampsia berat persisten-
- USG: pertumbuhan janinDisfungsi renal
dan jumlah yangketuban
cairan nyata
Eklampsia-- Solusio plasenta
Pertimbangkan pemberian MgSO4 dan antihipertensi
Edema paru- Koagulasi intravaskular diseminata (DIC)
Hipertensi berat persisten- Pemeriksaan janin: non reassuring
Sindrom HELLP

Terminasi kehamilan pertimbangkan pemberian kosrtiokosteroid Tidak Ada


Ada

Terminasi kehamilan:
- Hipertensi
berat persisten
- Kontraindikasi
manajemen

- Beri kortikosteroid
- Kumpulkan dan periksa urin 24 jam
- Nilai gejala maternal, tekanan darah, produksi urin
- Evaluasi laboratorium/hari untuk fungsi ginjal dan HELLP
- Observasi dapat dilakukan di ruang rawat setelah evaluasi awal

Setelah pemberian kortikosteroid lengkap, pertimbangkan manajemen ekspektatif:


Monitor tanda vital
Nilai gejala preeklampsia berat tiap hari
Nilai kesejahteraan janin tiap hari
Evaluasi serial sindrom HELLP dan fungsi ginjal
Evaluasi pertumbuhan janin serial dan cairan ketuban

Terminasi kehamilan pada usia 34 minggu atau lebih cepat bila:


- Ada kontraindikasi manajemen ekspektatif
- Gejala berulang preeklampsia berat
- Sindrom HELLP
- Disfungsi ginjal nyata
- Solusio plasenta
- Pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, pemeriksaan janin abnormal

38
b. Pemberian Magnesium Sulfat untuk mencegah Kejang
Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia
di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada
preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia,
serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Obat ini
merupakan lini pertama untuk terapi kejang pada eklampsia. Cara kerja
magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme
kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos,
termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai
antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan
tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil-
D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat
menyebabkan masuknya kalsium ke dalam neuron, yang mengakibatkan
kerusakan sel dan dapat terjadi kejang (Kemkes, 2013; Myrtha, 2015).

c. Antihipertensi
1. Hipertensi ringan-sedang
Keuntungan dan risiko terapi antihi pertensi pada hipertensi ringan-sedang
(tekanan darah sistolik 140-169 mmHg dan tekanan darah diastolik 90-109
mmHg) masih kontroversial. Guideline European Society of Hypertension (ESH) /
European Society of Cardiology (ESC) terbaru merekomendasikan pemberian
terapi jika tekanan darah sistolik 140 mmHg atau diastolik 90 mmHg pada wanita
dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria, hipertensi kronis
superimposed hipertensi gestasional, hipertensi dengan kerusakan target organ
subklinis atau adanya gejala selama masa kehamilan
2. Hipertensi berat
European Society of Cardiology (ESC) merekomendasikan jika tekanan
darah sistolik >170 mmHg atau diastolik >110 mmHg pada wanita hamil diklasifi
kasikan sebagai emergensi dan merupakan indikasi rawat inap. Terapi
farmakologis dengan labetalol intravena, metildopa oral, atau nifedipin sebaiknya
segera diberikan. Obat pilihan untuk preeklampsia dengan edema paru adalah
nitrogliserin (gliseril trinitrat), infus intravena dengan dosis 5 μg/menit dan

38
ditingkatkan bertahap tiap 3-5 menit hingga dosis maksimal 100 μg/menit.17,18
Furosemid intravena dapat digunakan untuk venodilatasi dan diuresis (20-40 mg
bolus intravena selama 2 menit), dapat diulang 40-60 mg setelah 30 menit jika
respons diuresis kurang adekuat. Morfin intravena 2-3 mg dapat diberikan untuk
venodilator dan ansiolitik. Edema paru berat memerlu kan ventilasi mekanik.

Tabel II.Obat antihipertensi kronis atau gestastional selama kehamilan


(Myrtha, 2015)

38
Tabel III.Obat untuk kontrol cepat hipertensi berat pada kehamilan
(Myrtha, 2015)

d. Kortikosteroid pada Sindrom HELLP


Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan 28 – 36 minggu untuk
menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal, dengan interval
waktu pemberian hingga persalinan 48 jam – 7 jari. Pemberian ulangan
kortikosteroid dapat dipertimbangkan, jika kortikosteroid diberikan minimal 7
hari sebelumnya.
Pemberian kortikosteroid pada sindrom HELLP dapat memperbaiki kadar
trombosit, SGOT, SGPT, LDH, tekanan darah arteri rata –rata dan produksi urin.
Pada pemberian kortikosteroroid post partum tidak berpengaruh pada kadar
trombosit. Kortikosteroid juga tidak berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas
maternal serta perinatal/neonatal. Sehingga kortikosteroid dapat diberikan
sebelum persalinan pada pasien sindrom HELLP (Kemkes, 2013).

1.8 Konseling dan Follow Up Pasca Persalinan

Hipertensi sering menetap pasca-persalinan pada pasien dengan


preeklampsia. Tekanan darah sering tidak stabil pada beberapa hari postpartum.
Wanita yang mengalami hipertensi gestasional mempunyai risiko lebih tinggi
untuk mengalami hipertensi di kemudian hari dan resistensi insulin lebih tinggi,
selain itu wanita yang mengalami hipertensi gestasional memiliki risiko penyakit
kardiovaskuler lebih tinggi bahkan hingga bertahun-tahun pascapersalinan, serta

39
mempunyai risiko lebih besar terjadinya disfungsi dan hipertrofi ventrikel kiri
asimptomatik dalam 1-2 tahun pasca-persalinan. Risiko kematian karena penyakit
kardio-serebrovaskuler juga meningkat dua kali lebih besar pada wanita dengan
riwayat preeklampsia (Myrtha, 2015).
Tujuan terapi adalah untuk mencegah terjadinya hipertensi berat. Obat
antihipertensi untuk preeklampsia sebaiknya diberikan kembali post-partum dan
dapat dihentikan dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah tekanan
darah normal. Jika tekanan darah sebelum kehamilan normal, tekanan darah
biasanya normal kembali dalam 2-8 minggu. Hipertensi yang menetap setelah 12
minggu postpartum dapat menunjukkan hipertensi kronis yang tidak terdiagnosis
atau adanya hipertensi sekunder. Evaluasi post-partum perlu dilakukan pada
pasien preeklampsia onset dini, preeklampsia, atau pada pasien dengan proteinuria
yang menetap, perlu diperhatikan kemungkinan penyakit ginjal, hipertensi
sekunder, dan trombofilia (misalnya sindrom antibodi antifosfolipid) (Myrtha,
2015).
Wanita dengan riwayat preeklampsia juga dilaporkan lebih sensitif
terhadap angiotensin II dan garam. Obat antihipertensi larut lemak konsentrasinya
dapat lebih tinggi di air susu ibu (ASI). Paparan neonatus pada penggunaan obat
metildopa, labetalol, captopril, dan nifedipin rendah, sehingga obat-obat ini
dianggap aman diberikan selama menyusui. Diuretik juga didapatkan pada
konsentrasi rendah, tetapi dapat mengurangi produksi ASI. Metildopa sebaiknya
dihindari pascapersalinan karena dapat menyebabkan depresi pasca-melahirkan
(Myrtha, 2015).

39
DAFTAR PUSTAKA

Afridasari N S., Saimin J., Sulastrianah. Analisis Faktor Risiko Kejadian


Preeklampsia. Program Studi Pendidikan Dokter FK UHO
Cunningham FC, Gant NF, Lenevo KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Hypertensive
disorders in pregnancy. In : William Obstetriks 22nd ed, New York:
McGraw Hill: 2005
Gustaaf A. 1998. Etiology and pathogenesis of preeclampsia, american journal of
obstetrics and gynecology vol.179 (5):1359-1375.
Kementrian Kesehatan RI. 2009. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Diagnosis dan Tata Laksana Pre-eklampsia.
Myrtha Risalina. 2015. Penatalaksanaan Tekanan Darah pada Preeklampsia.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret: Surakarta
Rini S C. 2009. Penetalaksanaan Terapi Pasien Preeklampsi Rawat Inap RSUP
Dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Fakultas Farmasi Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
The American Collage of Obstetricians and Gynecologist. 2013. Hypertension in
Pregnancy. Washington. p.12-16

39
LAPORAN TUTORIAL IRNA-IV
KASUS STATUS EPILEPTIKUS

1.1. Batasan
Definisi Status Epileptikus (SE) menurut International League Against
Epilepsy adalah suatu serangan menetap dalam periode yang cukup lama atau
serangan yang berulang-ulang tanpa periode pemulihan di antara serangan-
serangan tersebut. Tidak adanya batasan waktu yang jelas membuat definisi ini
sulit digunakan. Dari studi klinik dan eksperimen terakhir menggunakan batasan
minimum 30 menit (International League Against Epilepsy, 2014).

Definisi Status Epileptikus (SE) menurut Epilepsy Foundation of America‘s


Working Group on Status Epilepticus adalah dua serangan atau lebih yang
berurutan tanpa pulihnya kesadaran di antara serangan, atau adanya aktivitas
serangan yang berlangsung terus-menerus lebih dari 30 menit (RSU Dr. Saiful
Anwar, 2010).

Gambar 1.1 Patofisiologi status epileptikus pada manusia.

1.2. Klasifikasi
Klasifikasi Status Epileptikus secara umum yaitu (RSU Dr. Saiful Anwar, 2010):
- Konvulsif (bangkitan umum tonik-klonik)
- Non-konvulsif (bangkitan bukan umum tonik-klonik)

39
1.3. Patofisiologi
Stressor/ pemicu epileptikus menyebabkan depolarisasi membrane
presinaps pada neuron hipokampus. Depolarisasi tersebut menyebabkan terjadinya
pembukaan kanal Ca2+. Ca2+ akan masuk ke dalam neuron presinaps dan
menyebabkan eksositosis vesikel sinaps. Eksositosis tersebut menyebabkan
terjadinya pelepasan neurotransmitter yaitu glutamine oleh presinaps sehingga
akan berada pada celah sinaps pada neuron hipokampus (Barker et al, 2012).
Glutamine yang berada di celah sinaps akan berikatan dengan reseptor
(NMDA/AMPA Reseptor) pada membrane post sinaps neuron CA1 piramidal.
Ikatan tersebut menyebabkan kanal Na+ terbuka sehingga Na+ akan masuk dan
mendepolarisasi membran post sinaps. Depolarisasi tersebut menyebabkan
blockade Mg2+ oleh NMDA reseptor menghilang. Pembukaan kanal tersebut juga
menyebabkan Ca2+ masuk dan akan mengaktivasi post sinaps protein kinase dan
menyebabkan eksitasi. Eksitasi yang berlebihan menyebabkan disinhibisi GABA
Reseptor sehingga terjadi penurunan jumlah neurotransmitter GABA (Barker et
al, 2012).
Disinhibisi tersebut juga menimbulkan ekstabilitas hipokampus
berlebihan, sehingga terjadilah sinkronisasi dari letupan-letupan (burst) dari
neuron-neuron piramidal dan lalu menyebar ke daerah sekitarnya timbullah
bangkitan. Pada eksitasi yang berulang dan berlebihan juga terjadi pengurangan
inhibisi reseptor GABA pada girus dentatus sehingga timbul aktivasi dentatus
maksimal, yang memicu serangan dengan sirkuit reverberasi dari CA3, CA1,
subikulum, korteks entorhinal, girus dentatus, kembali ke CA3. Aktivsi post
synaptic protein kinase tersebut bila terjadi terus menerus dapat memodifikasi rilis
neurotransmitter dan menyebabkan modifikasi presinaps dan akan merubah
fungsinya (Barker et al, 2012).

1.4. Etiologi
Status epileptikus dapat disebabkan berbagai sebab, antara lain penghentian
obat antikonvulsan secara mendadak, intoksikasi, gangguan keseimbangan
elektrolit, infeksi, trauma, tumor, GPDO (gangguan peredaran darah otak), dan
hipoglikemia (RSU Dr. Saiful Anwar, 2010)

39
Epilepsi juga dapat disebabkan oleh aktivitas syaraf abdominal akibat proses
patologis yang mempengaruhi otak, gangguan biokimia atau metabolik dan lesi
mikroskopik di otak akibat trauma otak pada saat lahir atau cedera lain. Pada bayi,
epilepsi dapat disebabkan oleh afiksi atau hipoksia saat lahir, trauma intrakranial
saat lahir, gangguan metabolik, malformasi/ konginetal pada otak, atau infeksi.
Pada anak dan remaja epilepsi dapat terjadi pada pasien yang memiliki riwayat
epilepsi idiopatik. Pada anak dengan usia 5-6 tahun epilepsi terjadi pada saat
demam tinggi. Pada dewasa yang berusia 30-50 tahun, epilepsi terjadi oleh karena
pasien memiliki riwayat epilepsi idiopatik, birth trauma, cedera kepala, tumor
otak. Pada dewasa usia lebih dari 50 tahun epilepsi terjadi oleh karena pasien
memiliki riwayat serebrovaskular (Ikawati, 2013).

1.5. Gejala Klinis


Gejala klinis Status Epileptikus dapat diikuti perkembangannya melalui
stadium-stadium sebagai berikut (RSU Dr. Saiful Anwar, 2010):

a. Prestatus, yaitu suatu fase sebelum status yang ditandai dengan


meningkatnya serangan-serangan sebelum menjadi status. Penanganan
stadium di sini dapat mencegah terjadinya status.
b. Early status, yaitu 30 menit pertama, dimana aktivitas serangan konvulsif
terus menerus bersamaan dengan aktivitas serangan elektrografi. Gangguan
metabolik akibat status merupakan mekenisme homeostasis.
c. Established status, yang berlangsung dari 30-60 menit dimana pada awalnya
mekanisme homeostatik gagal dan terjadi perubahan-perubahan mayor fungsi
vital tubuh.
d. Refractory status, berlangsung lebih dari satu jam dan menetap meskipun
sudah diterapi dengan lini pertama.
e. Subtle status, akan muncul jika serangan terus berlangsung selama berjam-
jam. Aktivitas kejang motorik secara bertahap akan berkurang. Koma dalam
dan manifestasi motorik menjadi terbatas dapat berupa gerakan halus (twitch)
sekitar mata atau mulut.

39
1.6. Diagnosis
Diagnosis status epileptikus dapat ditegakkan berdasarkan (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2009; RSU Dr. Saiful Anwar, 2010):
1) Anamnesis
 Diskrisi kejang (bentuk, fokal atau umum, lama, frekuensi, kesadaran
saat kejang, dengan/tanpa demam, interval, kesadaran pasca kejang, dan
kelumpuhan pasca kejang)
 Anamnesis untuk mencari etiologi kejang demam, trauma kepala, sesak
napas, diare, muntah, riwayat ada tidaknya kejang/epilepsi. Jika ada
epilepsi, apakah minum obat obat secara teratur atau tidak.
 Riwayat kejang/epilepsi dalam keluarga.
2) Pemeriksaan fisik
 Penilaian kesadaran, pemeriksaan fisik umum yang menunjang ke arah
etiologi kejang seperti ada tidaknya demam, hemodinamik, tanda-tanda
dehidrasi maupun tanda-tanda hipoksia.
 Pemeriksaan neurologi, meliputi ada tidaknya kelainan bentuk kepala,
ubun-ubun besar, tanda rangsang meningeal, nervus kranial, motorik,
reflek fisiologis dan patofisiologis.
3) Pemeriksaan tambahan atau penunjang
Sesuai indikasi untuk mencari etiologi dan komplikasi status epileptikus:
 Darah perifer lengkap, cairan serebrospinal, gula darah, elektrolit darah,
dan analisis gas darah.
 Elektroensefalografi (EEG)
 Computed tomography (CT-Scan) atau Magnetic Resonance Imaging
(MRI) kepala.

1.7. Penyulit
Faktor penyulit yang dapat mempengaruhi diagnosis dan terapi pasien status
epileptikus, antara lain (RSU Dr. Saiful Anwar, 2010):

 Kegagalan jantung
 Fraktur
 Edema serebri

39
 Aspirasi pneumonia
 Kegagalan ginjal mendadak (myoglobinuria)

1.8. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan status epileptikus adalah (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2009):

 Mempertahankan fungsi vital (A, B, C)


 Identifikasi dan terapi faktor penyebab dan faktor presipitasi
 Menghentikan aktivitas kejang.
Penatalaksanaan penghentian kejang akut dilaksanakan sebagai berikut
(Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009):

1) Di rumah (Prehospital)
Penanganan kejang di rumah dapat dilakukan oleh orang tua dengan
pemberian diazepam per rektal dengan dosis 0,3-0,5 mg/kg atau secara sederhana
apabila berat bada < 10 kg, dosis yang diberikan sebesar 5 mg, sedangkan apabila
berat > 10 kg, dosis yang diberikan sebesar 10 mg. Pemberian di rumah
maksimum 2 kali dengan interval 5 menit. Apabila kejang masih berlangsung,
maka pasien dibawa ke klinik atau rumah sakit terdekat.
2) Di rumah sakit
Saat tiba di klinik atau rumah sakit, apabila belu terpasang cairan intravena,
dapat diberikan diazepam per rektal ulangan 1 kali sambil mencari akses vena.
Sebelum dipasang cairan intravena, sebaiknya dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah tepi, elektrolit, dan gula darah sesuai indikasi.
Apabila terpasang cairan intravena, diberikan fenitoin IV dengan dosis 20 mg/kg
dilarutkan dalam NaCl 0,9% diberikan perlahan dengan kecepatan pemberian 50
mg/menit. Apabila kejang belum teratasi, dapat diberikan tambahan fenitoin IV 10
mg/kg..
Apabila kejang teratasi, dilanjutkan dengan pemberian fenitoin IV setelah
12 jam kemudian dengan rumatan 5-7 mg/kg. Apabila kejang belum teratasi,
berikan fenobarbatial IV dengan dosis maksimum 15-20 mg/kg dengan kecepatan
pemberian 100 mg/menit dan dilakukan pemantauan terhadap kelaianan metabolik

39
yang ada. Apabila kejang berhenti, dilanjutkan dengan pemberian fenobarbital IV
rumatan 4-5 mg/kg setelah 12 jam kemudian.
3) Perawatan intensif rumah sakit
Apabila kejang belum berhenti, dilakukan intubasi dan perawatan di ruang
intensif dan dapat diberikan salah satu di bawah ini:
 Midazolam 0,2 mg/kg siberikan bolus perlahan, diikuti infus midazolam
0,01-0,02 mg/kg/menit selama 12-24 jam.
 Propofol 1 mg/kg selama 5 menit, delanjutkan dengan 1-5 mg/kg/jam dan
diturunkan setelah 12-24 jam.
 Pentobarbital 5-15 mg/kg dalam 1 jam, dilanjutkan dengan 0,5-5
mg/kg/jam.
Terapi rumatan yang dapat diberikan antara lain (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2009):

 Jika pada penatalaksanaan kejang berhenti dengan pemberian diazepam,


maka tergantung dari etiologinya. Jika penyebab kejang adalah suatu hal
yang dapat dikoreksi secara cepat (hipoglikemia, kelainan elektrolit,
hipoksia) kemungkinan tidak diperlukan terapi rumaan selama pasien
dirawat. Jika penyebabnya merupakan infeksi sistem saraf pusat (ensefalitis,
meningitis), perdarahan intra kranial, mungkin diperlukan terapi rumatan
selama perawatan dengan diberikan fenobarbital dengan dosis awal 8-10
mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 hari, dilanjutkan dengan dosis 4-5
mg/kg/hari sampai resiko untuk berulangnya kejang tidak ada. Jika
etiologinya adalah epilepsi, maka dilanjutkan obat antiepilepsi dengan
menaikkan dosis.
 Jika pada penatalaksanaan kejang berhenti dengan pemberian fenitoin, maka
dilanjutkan rumatan dengan dosis 5-7 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.
 Jika pada penatalaksanaan kejang berhenti dengan pemberian fenobarbital,
maka dilanjutkan rumatan dengan dosis 4-5 mg/kg/hari dibagi dalam 2
dosis.
Cara pemberian obat konvulsan pada penatalaksanaan yang perlu
diperhatikan antara lain (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009):

39
1) Diazepam
 Dosis maksimum pemberian diazepam rektal 10 mg, dapat diberikan 2 kali
dengan interval 5-10 menit.
 Sediaan IV tidak perlu diencerkan, maksimum sekali pemberian 10 mg
dengan kecepatan maksimum 2 mg/menit, dapat diberikan 2-3 kali dengan
interval 5 menit.
2) Fenitoin
 Dosis inisial maksimum adalah 1000 mg (30 mg/kg)
 Sediaan IV diencerkan dengan NaCl 0,9% (10 mg/mL)
 Kecepatan pemberian IV sebesar 1 mg/kg/menit, maksimum 50 mg/menit.
 Jangan diencerkan dengan cairan yang mengandung dekstrosa karena akan
menggumpal.
 Sebagian besar kejang berhenti dalam waktu 15-20 menit setelah
pemberian.
 Dosis rumat sebesar 12-24 jam setelah dosis inisial.
 Efek samping yang mungkin timbul, antara lain aritmia, hipotensi, kolaps
kardiovaskuler, pada pemberian IV yang terlalu cepat.
3) Fenobarbital
 Dosis inisal maksimum 600 mg (200 mg/kg).
 Kecepatan pemberian sebesar 1 mg/kg/menit, maksimum 100 mg/menit.
 Dosis rumatan 12-24 jam setelah dosis inisial.

1.8.1. Status Epileptikus Konvulsif

Tabel 8.1 Penanganan Status Epileptikus Konvulsif (Scottish Intercollegiate


Guidelines Network, 2015; Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009).

Stadium Penatalaksanaan

Stadium I (0-10 menit) - Memperbaiki fungsi kardio-respirasi.


- Memperbaiki jalan nafas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu.

39
Stadium II (1-60 menit) - Pemeriksaan status neurologic
- Pengukuran tekanan darah, nadi, dan suhu
- Monitor status metabolik, AGD dan status
hematologi.
- Pemeriksaan EKG.
- Memasang infus pada pembuluh darah besar
dengan NaCl 0,9%. Bila akan digunakan 2
macam OAE pakai 2 jalur infus.
- Mengambil 50-100 cc darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, pemeriksaan lengkap
hematologi, glukosa, fungsi ginjal, fungsi hati,
serum elektrolit, faal hemostasis, dan kadar
OAE), pemeriksaan lain sesuai dengan klinis.
- Pemberian anti kejang emergensi : Diazepam 0,2
mg/kgBB dengan kecepatan pemberian
5mg/menit IV dapat diulang bila kejang masih
berlangsung setelah 5 menit.
- Berilah 50 cc Glukosa 40% pada keadaan
hipoglikemia.
- Pemberian Tiamin 250 mg intravena pada pasien
alkoholisme.
- Menangani asidosis dengan bikarbonat.
Stadium III (0-60/90 - Menentukan etiologi
menit) - Bila kejang berlangsung terus setelah pemberian
lorazepam/diazepam, beri fenobarbital
10mg/kgBB dengan kecepatan ≤ 100mg/menit.
Monitor respirasi pada saat pemberian.
- Atau dapat pula diberikan phenitoin 15-20
mg/kgBB intravena dengan kecepatan ≤ 50 mg/
menit. Monitor tekanan darah dan EKG pada
saat pemberian.
- Memulai terapi dengan vasopresor (Dopamin)

40
bila diperlukan.
- Mengoreksi komplikasi.
Stadium IV (30-90 menit) - Bila kejang tetap tidak teratasi selama 30-60
menit pasien dipindah ke ICU, beri propofol
(2mg/kgBB, bolus IV, diulang bila perlu) atau
Thiopentone (100-250 mg, bolus IV pemberian
dalam 20 menit, dilanjutkan dengan bolus 50mg
setiap 2-3 menit), dilanjutkan sampai 12-24 jam
setelah bangkitan klinis atau bangkitan EEG
terakhir lalu dilakukan tapering off.
- Monitor bangkitan, EEG, tekanan intrakranial,
memulai pemberian OAE dosis rumatan

1.8.2. Status epileptikus refrakter


Status epileptikus refrakter adalah bangkitan kejang yang masih
berlangsung yang tidak terkontrol dengan pemberian benzodiazepin atau fenitoin
sehingga diperlukan penanganan di ICU untuk tindakan anestesi (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2009; RSU Dr. Saiful Anwar, 2010).

Tabel 8.2 Tindakan Anestesi untuk Status Epileptikus Refrakter (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2009; RSU Dr. Saiful Anwar, 2010).

Obat Dosis untuk Dewasa

Midazolam 0,1-1 mg/kgBB dengan kecepatan pemberian 4mg/menit,


dilanjutkan dengan pemberian per infus 0,05-0,4 mg/kgBB/jam

Thiopenthone 100-250 mg bolus, diberikan dalam 20 detik, kemudian


dilanjutkan dengan bolus 50 mg setiap 2-3 menit sampai
bangkitan teratasi. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian per
infus 3-5 mg/kgBB/jam

Pentobarbital 10-20 mg/kgBB dengan kecepatan 25 mg/menit, kemudian 0,5-1

40
mg/kgBB/jam ditingkatkan sampai 1-3 mg/kgBB/jam

Propofol 2 mg/kgBB kemudian ditingkatkan menjadi 5-10 mg/kgBB/jam

1.8.3. Status Epileptikus Non-Konvulsif


Status epileptikus non-konvulsif dapat berupa status epileptikus lena, status
epileptikus partial kompleks, status epileptikus non-konvulsif pada pasien dengan
koma, dan status epileptikus pada pasien dengan gangguan belajar (Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2009; RSU Dr. Saiful Anwar, 2010).

Tabel 8.3 Terapi Status Epileptikus (SE) Non-Konvulsif (Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2009; RSU Dr. Saiful Anwar, 2010).

Tipe Terapi Pilihan Terapi Lain

SE Lena Benzodiazepin IV/ Valproat IV


oral

SE Partial Clobazam oral Lorazepam/Fenitoin/Fenobarbital IV


kompleks

SE Lena atipikal Valproat oral Benzodiazepin, Lamotrigin,


Topiramat, Metilfenidat, Steroid oral

SE Tonik Lamotrigine oral Metilfenidat, Steroid oral

SE Non- Fenitoin IV atau Anestesi dengan tiopenthone,


Konvulsif pada
Fenobarbital pentobarbital, propofol atau
pasien koma
midazolam

40
DAFTAR PUSTAKA

Barker, R. A., Barasi, S. and Neal, M. J., 2012. The limbic system, long-term
potentiation and memory. Neuroscience at a Glance, 4th Edition. London:
Blackwell Science Ltd.

Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Palembang.

Ikawati, Z., 2013. Farmakoterapi Penyakit Sistem Saraf Pusat. Yogyakarta:


Bursa Ilmu.

International League Against Epilepsy, 2014. A definition and classification of


status epilepticus, diakses dari
http://www.ilae.org/Visitors/Centre/Definition-2014.cfm pada tanggal 7
April 2016.

RSU Dr. Saiful Anwar, 2010. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Neurologi.
Malang.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2015. Diagnosis And Management


Of Epilepsy In Adults. Sign publication number 143. May 2015

40
LAPORAN TUTORIAL IRNA-I-KEGAWATAN
KASUS CVA

1. Tinjauan tentang CVA


1.1 Definisi CVA
Stroke/ Cerebral Vascular Disease (CVA) didefinisikan sebagai
gangguan/disfungsi neurologis yang umumnya disebabkan oleh iskemia atau
pendarahan (haemorrhage) selama lebih dari 24 jam atau sampai meninggal
(AHA/ASA, 2013). Stroke secara umum dibagi menjadi 2 macam, yakni stroke
iskemik dan stroke hemoragik. Stroke hemoragik mencakup perdarahan
subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan hematomasubdural (Fagandan Hess,
2008).

Gambar 1.1 Klasifikasi Stroke Hemoragik (dikutip dari Hinson et al., 2011 ; Winkler,
2008)
1.1.1 Etiologi CVA
Pada stroke hemoragik. perdarahan subarachnoid terjadi ketika darah
memasuki ruang subarachnoid (tempatcairan serebrospinal) baik karena trauma,
pecahnya aneurisma intrakranial, atau pecahnya malformasi arterio
venous(AVM). Sebaliknya, perdarahan intraserebral terjadi ketika pembuluh
darah pecah dalam parenkim otak itu sendiri, yang mengakibatkan pembentukan
hematoma. jenis perdarahan ini sangat berhubungan dengan tekanan darah tinggi

40
yang tidak terkontrol dan kadang-kadang disebabkan karena terapi antitrombotik
atau trombolitik. Hematoma subdural merujuk untuk koleksi darah di bawah dura
(meliputi otak), danmereka disebabkan paling sering oleh trauma.
Strokehemoragik, meskipun kurang umum, secara signifikan lebih mematikan
dibanding strokeiskemik (Fagan dan Hess, 2008)
Stroke iskemik disebabkan baik oleh pembentukan trombus lokal atau oleh
adanya emboli, sehingga terjadi oklusi dari arteri serebral. Aterosklerosis,
terutama dari pembuluh darah serebral, adalah factor penyebab dalam kebanyakan
kasus strokeiskemik. Emboli bisa timbul baik dari arteri intra atau ekstrakranial
(termasuk arkus aorta) atau, seperti yang terjadi di 20% dari semua stroke
iskemik,jantung. emboli kardiogenik terjadi jikapasien memiliki fibrilasi atrium
bersamaan, penyakit jantung katup, ataukondisi lain dari jantung yang dapat
menyebabkan pembentukan gumpalan. Perbedaan antara emboli kardiogenik dan
penyebab lain dari stroke iskemik penting dalam menentukan terapi jangka
panjang yang diberikan pada pasien (Fagan dan Hess, 2008).

Gambar 1.2 Etiologi stroke secaraumum(Fagandan Hess, 2008)

40
1.1.2 Patofisiologi CVA
1.1.2 a Iskemik Stroke
Padaaterosklerosiskarotid, akumulasi progresif lipid dan sel-sel inflamasi
dalam intima arteri yang terkena dampak, diakumulasikandengan hipertrofi arteri
sel otot polos, menyebabkan pembentukan plak. Akhirnya, stres semata-mata
dapat mengakibatkan pecahnya plak, paparan kolagen, agregasi platelet, dan
pembentukan bekuan. Bekuandapat tetap berada di pembuluhdarah, menyebabkan
oklusi lokal, atau emboli. Hasil akhir dari kedua pembentukan trombus dan
emboli adalah oklusi arteri, mengurangi aliran darah otak dan menyebabkan
iskemia. Rata-rata aliran darah otak normal 50 mL / 100 g per menit, danini
dipertahankan melalui berbagai tekanan darah (tekananarteri 50 sampai 150 mm
Hg) oleh proses yang disebut cerebral autoregulation. Pembuluh darah otak
melebar dan menyempit dalam menanggapi perubahan tekanan darah, tetapi
proses ini dapat terganggu oleh aterosklerosis dan cedera akut, seperti stroke.
Ketika aliran darah otakmenurun di bawah 20 mL / 100 g per menit, akan terjadi
iskemik, dan ketika pengurangan lebih lanjut di bawah 12mL / 100 g per menit,
kerusakan permanen otak akan terjadi, dan inilah yang disebut infak (Fagan dan
Hess, 2008)
1.1.2 b Hemoragik Stroke
Stroke hemoragik dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum
mengalami rupture sehingga terjadi perdarahan kedalam ruang subarakhnoid atau
langsung kedalam jaringanotak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat
menyebabkan perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurismasakular dan
malformasi arterio vena (MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah
pemakaian kokain atau amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan
hipertensi berat dan perdarahan intraserebrumatau subarachnoid (Pricedan
Wilson, 2005).
Perdarahan intra serebrum kedalam jaringanotak (parenkim) paling sering
terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu
dari banyak arteri kecil yang menembus jauh kedalam jaringan otak. Biasanya
perdarahan di bagian dalam jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal
yang cepat dan memburuk secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang

40
dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan
tanda khas pertam apa ada keterlibatan kapsula interna(Pricedan Wilson, 2005).
Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan
dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di
dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang
subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan
serebro spinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial, juga dapa tmelukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan
yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Pricedan
Wilson, 2005).

1.1.3 Penatalaksanaan CVA


Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek,
maka evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat
(AHA/ASA, Class I, Level of evidence B). Evaluasi gejala dan klinik stroke akut
meliputi (PERDOSSI,2011) :
a. Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas penderita
saat serangan, gejalaseperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa berputar,
kejang, cegukan (hiccup), gangguan visual, penurunan kesadaran, serta
faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).
b. Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu
tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen,
kulitdanekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan
cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
(AHA/ASA, Class 1, Level of evidence B)

40
1.1.4 Pemeriksaan Penunjang CVA
Pencitraan otak seperti CT (computed Tomographic) scan dan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) sangat penting dilakukan untuk mengetahui
tempat terjadinya lesi pada otak. CT scan dapat mendeteksi perdarahan yang
terjadi dalam waktu 12-24 jam. Pemeriksaan dengan MRI lebih terjamin
presisinya dalam mendeskripsikan luas lesi dan mengidentifikasi kemungkinan
sumber stroke, namun tidak dianjurkan untuk serangan stroke akut karena
membutuhkan waktu yang lama dan biaya mahal (Smith et al., 2005).
Pada gambar 1.3 disajikan bagan tatalaksana terapi stroke secara umum.

Gambar 1.3 Penatalaksanaan terapi stroke secara umum (Jauchet al., 2010)

40
1.2 Definisi CVA-ICH
Cerebrovascular attack-Intracranial Hemorrhage (CVA-ICH) atau stroke
hemoragik intraserebral adalah trauma neurologik akut yang terjadi karena arteri
kranial mengalami rupture di antara parenkim otak, yang mengakibatkan darah masuk
ke jaringan otak, membentuk massa yang disebut hematoma (Fagan, S.C and Hess,
D.C, 2008).

1.2.1 Etiologi CVA-ICH


Aneurisma otak, AVMs, hipertensi, dan efek samping obat adalah penyebab
utama ICH. Salah satu jenis ICH yaitu perdarahan subarachnoid yang merupakan hasil
dari melemahnya dinding pembuluh darah (yaitu, aneurisma) yang disebabkan oleh
trauma, infeksi, dan hipertensi. Kebocoran dari aneurisma menyebabkan kontak
langsung darah dengan otak yang mengganggu jaringan dan sel-sel otak. AVMs
disebabkan cedera traumatis dan hipertensi yang tidak terkontrol menyebabkan
perdarahan yang merusak intraserebral. Peningkatan tekanan darah menyebabkan
bertambah lemahnya arteri-arteri kecil di kranial, selain itu pecahnya dinding
arteri disebabkan keberadaan plak pada dinding pembuluh darah yang
mengakibatkan arteri sewaktu-waktu kehilangan elastisitasnya sehingga menjadi
rapuh dan tipis serta rentan terjadi cracking. Selain itu, ICHs dapat disebabkan dari
hasil reaksi negatif terhadap obat-obatan, seperti antikoagulan, trombolitik, dan
simpatomimetik (Koda Kimble 9th ed. 2008; Smith et al., 2005)

1.2.2 Patofisiologi CVA-ICH


Pecahnya arteri cranial, pada stroke hemoragik selain dapat menyebabkan
vasospasme pembuluh darah sehingga terjadi perubahan kimia seluler, darah sebagai
hasil “arterial rupture” juga mengalami ekstravasasi menuju jaringan otak dan
membentuk massa di lokasi tersebut yang disebut hematoma. Hematoma merusak
jaringan otak dan terus meluas seiring dengan berlanjutnya perdarahan. Bentukan
massa ini menekan dan mendesak jaringan otak sehingga fungsi otak terganggu.
Semakin luas perdarahan, makin besar pula pendesakan terhadap jaringan. Jika lolos
ke bagian ventrikel otak, maka cairan serebrospinal akan dipenuhi oleh darah (Fagan,
S.C and Hess, D.C, 2005).

40
1.3 Definisi CVA-IVH
Intraventricular Hemorrhage (IVH) yaitu terdapatnya darah hanya dalam
sistem ventrikuler, tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding ventrikel (Oktaviani
dkk., 2011). Sedangkan menurut Arboix (IVH) adalah komplikasi umum dari
parenkim perdarahan intraserebral dan perdarahan subarachnoid (Arboix et al.,
2012).

1.3.1 Patofisiologi CVA-IVH


IVH utama hanya terbatas pada sistem ventrikel, yang timbul dari sumber
intraventrikular atau lesi yang bersebelahan dengan ventrikel. Contohnya
termasuk trauma intraventrikular, aneurisma, malformasi vaskular, dan tumor,
biasanya melibatkan pleksus koroid (Hinson et al., 2010).

1.3.2 Penatalaksaan Terapi CVA-IVH


Infus plasma beku segar yang diikuti oleh vitamin K oral. Protrombin
kompleks dan vitamin K (iv) dapat diberikan jika kelebihan beban volume
(Hinson et al., 2010).

1.4 Definisi CVA-SAH


Menurut American Association of Neuroscience Nurses (AANN) pada
tahun 2009 mendefinisikan subarachnoid hemorrhage (SAH) adalah stroke
perdarahan dimana darah dari pembuluh darah memasuki ruang subarachnoid
yaitu ruang diantara lapisan dalam dan lapisan tengah dari jaringan selaput otak
(meninges). Penyebab paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam
arteri basal otak.

1.4.1 Etiologi CVA-SAH


• Spontan (primer) subarachnoid diakibatnya oleh pecahnya aneurisma.
• Intrakranial saccular atau berry aneurisma kongenital merupakan
penyebab sekitar 85% pasien.
• sering terjadi dari usia 40-65 (Pancioli, 2002).

41
1.4.2 Patofisiologi CVA-SAH
CVA SAH sebagian besar disebabkan oleh rupturnya aneurisma serebral.
Segera setelah perdarahan, rongga subarachnoid dipenuhi dengan eritrosit di CSF
(Cerebrospinal fluid). Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil di
otak. Beberapa eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan trabekulae.
Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari ruang
subarachnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan.Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarachnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung
memecah eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al.,
1989). Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang,
sehingga menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri.
Selanjutnya,jaringan otak yang mengalami iskemi/infark akan
menyebabkangangguan pada sistem saraf. Pada pasien dengan SAH yang masih
hidup sering mengalami kelumpuhan pada saraf cranial kiri, paralisis, aphasia,
kerusakan kognitif, kelainan perilaku dan gangguan psikiatrik (American
Association of Neuroscience Nurse, 2009).

1.4.3 Penatalaksaan umum Perdarahan Subarachnoid (Perdossi, 2011)


a. Tatalaksana pasien PSA derajat I atau II berdasarkan Hunt & Hess (H&H)
adalah sebagai berikut :
 Identifikasi dan atasi nyeri kepala sedini mungkin
 Tirah baring total dengan posisi kepala ditinggikan 300dan nyaman, bila
perlu berikan O2 2-3 L/menit
 Hati-hati dalam pemakaian sedatif (kesulitan dalam penilaian tingkat
kesadaran).
 Pasang infus diruang gawat darurat, usahakan euvolemia dan monitor ketat
sistem kardiopulmoner dan kelainan neurologi yang timbul
b. Pasien PSA derajat III, IV atau V berdasarkan H&H,perawatan harus lebih
intensif 1

41
 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protokol pasien diruang
gawat darurat
 Perawatan sebaiknya dilakukan diruang intensif atau semiintensif
 Untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat perlu
dipertimbangkan intubasi endotrakheal dengan hati-hati terutama apabila
didapatkan tanda-tanda tekanan tinggi intrakranial
 Hindari pemakaian obat-obatan sedatif yang berlebihan karena akan
menyulitkan penialaian status neurologi
3. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA
a. Kontrol dan monitor tekanan darah untuk mencegah risiko perdarahan ulang.
Hipertensi berkaitan dengan terjadinya perdarahan ulang (AHA/ASA, Class I,
Level of evidance B). Tekanan darah sistolik sekitar 140-160 mmHg sangat
disarankan dalam rangka pencegahan perdarahan ulang pada PSA. (lihat BAB
V.A Penatalaksanaan Tekanan Darah Pada Stroke Akut)
b. Istirahat total di tempat tidur (AHA/ASA, Class IIb, Level of evidance B).
c. Terapi antifobrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: loading 1 g IV kemudian
dilanjutkan 1 g setiap 6 jam sampai aneurisma tertutup atau biasanya
disarankan 72 jam) untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada
keadaan klinis tertentu. Terapi antifobrinolitik dikontraindikasikan pada pasien
dengan koagulopati, riwayat infark miokard akut, stroke iskemik, emboli paru,
atau trombosis vena dalam. Terapi antifibrinolitik lebih dianjurkan pada pasien
dengan risiko rendah terhadapa terjadinya vasospasme atau pada pasien dengan
penundaan operasi. pada beberapa studi, terapi antifibrinolitik dikaitkan dengan
tingginya angka kejadian iskemik serebral sehingga mungkin tidak
menguntungkan pada hasil akhir secara keseluruhan. Oleh karena itu, studi
dengan menggunakan kombinasi antifibrinolitik dengan obat-obatan lain untuk
mengurangi vasospasme perlu dilakukan (AHA/ASA, Class IIb, Level of
evidance B).
d. Pengikatan (ligasi) karotis tidak bermanfaat untuk pencegahan perdarahan
ulang (AHA/ASA, Class III, Level of evidance A).
e. Penggunaan koil intraluminal dan balon masih dalam uji coba. Penelitian lebih
lanjut masih diperlukan (AHA/ASA, ClassIV-V, Level of evidance C).

41
41

Anda mungkin juga menyukai