Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hepatitis adalah peradangan pada hati (hepar), yang disebabkan oleh berbagai
virus dan agen baik menular maupun tidak menular yang dapat berakibat fatal.
Secara khusus, hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis tipe B dapat
menyebabkan penyakit kronis pada dan merupakan penyebab paling umum dari
sirosis hati, kanker hati, dan peritonitis bakterial spontan, hingga kematian.1

Sirosis hepatis adalah gangguan pada hati yang ditandai dengan fibrosis dan
pembentukan nodul hati yang disebabkan oleh cedera hati kronis. Sirosis
menyebabkan perubahan organisasi lobular jaringan hati dan gangguan fungsi
hati. Sirosis hepatis adalah salah satu dari banyak komplikasi yang dapat
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dalam waktu yang lama. 2 Gangguan lain
yang juga sering muncul sebagai komplikasi dari hepatitis B adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP), SBP adalah infeksi akut dari akumulasi abnormal
cairan di perut (asites) tanpa sumber infeksi yang dapat diidentifikasi, dan biasa
muncul pada orang dengan penyakit hati dekompensasi.3

Diperkirakan bahwa di seluruh dunia, sekitar 2 miliar orang mengalami atau


pernah mengalami infeksi HBV di masa lalu atau sekarang, dan 248 juta orang
merupakan karier kronis antigen permukaan HBV (HbsAg). Secara keseluruhan,
hampir setengah dari populasi global tinggal di daerah endemisitas tinggi dan
menengah. Komplikasi utama dari hepatitis B kronis adalah sirosis dan kanker
hati. Di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 686.000 orang meninggal setiap tahun
akibat komplikasi hepatitis B kronis. Secara keseluruhan, infeksi HBV
menyumbang sekitar 45% kasus kanker hati dan 30% sirosis hati.4

Penanganan hepatitis memerlukan tindakan yang komprehensif dan holistik.


Mulai dari penegakan diagnosis penyakit ini yang membutuhkan keterampilan,
fasilitas, dan sarana yang memadai, serta pendekatan yang erat dan kerja sama

1
2

multidisiplin. Penanganan hepatitis pada tahap awal infeksi akan sangat


membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat
memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam
perjalanan penyakitnya di masa mendatang. Pada tahap lanjut, komplikasi dari
hepatitis juga harus ditangani dan perburukan kondisi harus dihentikan sesegera
mungkin. Sirosis hepatis dan spontaneous bacterial peritonitis yang terjadi pada
pasien hepatitis kronis juga harus dikenali sedini mungkin untuk mencegah
perburukan konfisi pasien. Oleh sebab itu, penting bagi seluruh elemen tenaga
kesehatan untuk dapat memahami perjalanan penyakit dan penanganan dari
hepatitis B dan komplikasinya.5

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan laporan kasus ini bertujuan untuk menambah pengetahun penulis


dan pembaca mengenai hepatitis B serta komplikasi sirosis hepatis dan
spontaneous bacterial peritonitis yang dapat terjadi pada hepatitis B kronis. Serta
sebagai salah satu syarat agar bisa mengikuti ujian akhir di SMF Ilmu Penyakit
Dalam.
BAB II

KASUS

2.1 Anamnesis

2.1.1 Identitas Pasien

a) Nama Pasien : Tn.U


b) Umur Pasien : 55 tahun
c) Pekerjaan Pasien : Karyawan Swasta
d) Alamat/No.Telp : Palangka Raya
e) Suku/Bangsa : Dayak
f) Agama : Kristen Protestan
g) Pendidikan Pasien : SMA

2.1.2 Keluhan Utama


Keluhan Utama : Nyeri perut
Tanggal Anamnesis : 22/2/2022, 14.00 WIB

2.1.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu SMRS dan
dirasa memberat 4 hari SMRS, nyeri dikatakan seperti rasa tertusuk-tusuk, paling
di rasakan di ulu hati dan perut kanan atas, tidak menjalar, nyeri dirasakan
awalnya hilang timbul lalu menetap dan semakin memberat, dan nyeri dikatakan
memberat setelah pasien makan. Pasien juga mengeluhkan perut terasa membesar
sejak + 2 minggu SMRS, perasaan kembung dan mual juga terkadang dirasakan
oleh pasien. Dalam 3 minggu SMRS, pasien juga mengakui sempat beberapa kali
muntah, pasien mengaku muntah setelah makan, muntahan berisi makanan dan
tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul dalam 3
minggu terakhir, pasien mengaku mengonsumsi parasetamol untuk meredakan

3
4

demam. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan nyeri perut, badan


menguning, dan kencing seperti teh pada tahun 2018 dan tahun 2021, dan telah
mendapatkan pengobatan hingga keluhan hilang. Karena keluhan yang dirasakan
saat ini, pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus.

2.1.4 Riwayat Penyakit Dahulu

● Riwayat Hipertensi (-),


● Hepatitis (+) sejak tahun 2018
● Riwayat Asma (-),
● Riwayat Diabetes Melitus (-)
● Riwayat alergi Obat (-)
● Riwayat alergi makanan (-)
● Riwayat penyakit jantung koroner (-)
● Riwayat penyakit paru (-)

2.1.5 Riwayat Penyakit Keluarga

● Riwayat hipertensi (-)


● Riwayat asma (-)
● Riwayat keganasan (-)
● Riwayat penyakit jantung (-)
● Riwayat TB (-)

2.1.6 Riwayat Sosial, Ekonomi dan Budaya

● Pasien saat ini bekerja sebagai karyawan swasta


● Pasien mengaku jarang berolahraga
● Pasien tinggal bersama istrinya, di rumah permanen, atap terbuat dari
seng, dinding terbuat dari beton, dengan ventilasi dan pencahayaan yang
cukup
5

● Mandi, Cuci, dan Kakus menggunakan air tanah, dan air minum
menggunakan air filter isi ulang yang dibeli di depot air minum
● Jarak rumah antar tetangga ±10 meter
● Riwayat merokok (+) pasien merokok 1 bungkus (16 batang) /hari dengan
jenis rokok filter sejak usia 20 tahun dan berhenti sekitar 5 tahun lalu.
Indeks Brinkman : 16x30 = 480 (perokok sedang)

2.2 Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang


b) Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
c) Tanda Vital
● Tekanan darah : 112/70 mmHg
● Laju nadi : 88 x/menit, kuat angkat, tunggal, isi cukup
dan reguler
● Laju napas (RR) : 18 x/menit, pernapasan torakhal
● Suhu : 36,3oC di axilla
● SpO2 : 97% dengan oksigen ruangan

d) Status Generalis
● Antropometri
o Tinggi badan : 162 cm
o Berat badan : 51 Kg
o IMT : 19,46 kg/m2
● Kepala
o Normosefali
o Trauma (-), scar (-), deformitas (-)
o Rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
● Mata
o Palpebra : Simetris, ptosis (-), lagoftalmos (-),
trauma (-), edema palpebra (-)
6

o Alis, bulu mata : trichiasis (-)


o Konjugtiva : anemis (-)
o Sklera : Ikterik (+)
o Produksi air mata : cukup
o Pupil
▪ Diameter : isokor 3 mm/ 3mm
▪ Simetris : Pupil simetris kiri dan kanan
▪ Refleks : Refleks direk (+/+), Refleks Indirek
(+/+)
▪ Kornea : Jernih
● Telinga
o Bentuk : normal, tidak ada kelainan anatomis
o Sekret : tidak ada sekret
o Serumen : minimal
o Nyeri : nyeri tekan tragus (-), nyeri tekan
mastoid (-)
o KGB : pembesaran KGB retroaurikula (-)
● Hidung
o Bentuk : normal, tidak ada kelainan anatomis
o Epistaksis : tidak terdapat epistaksis
o Sekret : sekret (-)
o Lain-lain : pernapasan cuping hidung (-)
● Mulut
o Bentuk : normal, tidak ada kelainan anatomis
o Bibir : lembab (+), sianosis (-), pucat (-)
o Gusi : gusi tidak berdarah, tidak ada
pembengkakan

● Lidah
o Bentuk : normal, simetris (+), tidak ada
kelainan anatomis
7

o Pucat : tidak ada


o Tremor : tidak ada
o Kotor : tidak ada
o Warna : merah muda

● Faring : Hiperemi (-), edema (-),


pseudomembran (-)
● Tonsil
o Warna : merah muda
o Pembesaran : tidak ada
o Abses : tidak ada
o Pseudomembran : tidak ada
● Leher
o Vena jugularis
▪ Pulsasi : tidak dapat teraba
▪ Tekanan : 5+2 cmH2O
o Pembesaran KGB : tidak ditemukan pembesaran KGB
o Kaku kuduk : negatif
o Massa : tidak ada
o Tortikolis : tidak ada
● Thorax : Simetris (+/+), Retraksi (-)
o Jantung
▪ Inspeksi
● Ictus cordis : tidak terlihat
▪ Palpasi
● Apeks : ICS V linea midclavicularis
sinistra
● Thrill : tidak ada
▪ Perkusi
● Batas kanan : ICS IV linea parasternalis
dextra
8

● Batas kiri : ICS V linea midclavicularis


sinistra
● Pinggang jantung: ICS II linea parasternalis
sinistra
▪ Auskultasi
● Suara Dasar : SI SII tunggal reguler
● Murmur : tidak ada
● Gallop : tidak ada

o Paru
Anterior
▪ Inspeksi
● Bentuk : simetris, normochest (+)
● Pernapasan : pola pernapasan thorakal
● Massa (-), scar (-), pelebaran sela iga (-),
retraksi (-), spider nevi (-)
▪ Palpasi :
● Fremitus vokal : Fremitus vokal
normal, simetris kanan = kiri
● Ekspansi dada simetris,
● Krepitasi costae (-), massa (-)
▪ Perkusi :
Sonor seluruh lapang paru
Sonor

+ +

+ +

+ +

Batas paru-hepar: ICS V linea midclavicularis


dextra
Batas paru-gaster: ICS VI linea axillaris anterior
sinistra
9

▪ Auskultasi
● Suara napas dasar : Vesikuler (+/+)
● Suara napas tambahan: Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)
Vesikuler

+ +

+ +

+ +

Posterior

▪ Inspeksi
● Bentuk : Simetris, kelainan tulang
belakang (-), massa (-)
● Pernapasan : pola pernapasan thorakal
▪ Palpasi
● Fremitus vokal : fremitus vokal
normal, simetris
● Ekspansi dada simetris
● Krepitasi costae (-), massa (-)
▪ Perkusi :
Sonor seluruh lapang paru
Sonor

+ +

+ +

+ +
10

▪ Auskultasi
● Suara napas dasar: Vesikuler
● Suara napas tambahan: Wheezing (-/-),
Rhonki (-/-)
Vesikuler

+ +

+ +

+ +

● Abdomen
o Inspeksi
▪ Bentuk : cembung (+), distensi (+)
▪ Caput medusae (-)
▪ Venektasi vena (-)
o Auskultasi : Bising Usus (+) 4x/menit (menurun)
o Palpasi
▪ Massa (-)
▪ Nyeri tekan (+), regio epigastrium, dan
hipokondrium dextra
▪ Defans muskuler (-)
▪ Ballotement (+)
▪ Hepatomegali (-), liver span:+ 12 cm
▪ Splenomegali (+), lien teraba di Schuffner 1

o Perkusi
11

▪ Timpani pada regio epigastrium, umbilikal,


suprapubik
▪ Redup pada (+/+) regio hipokondrium, lumbal, dan
iliaka dextra dan sinistra

- + -

- + -

- + -

▪ Nyeri ketok CVA -/-


▪ Ascites (+), shifting dullness (+), undulasi (+)

● Ekstremitas
o Tangan : Akral Hangat +/+. Capillary Refilling Time
<2 detik, pucat palmar -/- , sianosis -/-, koilonikia -/-,
edema -/-
Motorik : 555 , Fungsi Sensorik dalam batas normal
o Kaki : Akral Hangat +/+, Capillary Refilling time <2
detik, sianosis -/- , edema -/- , koilonikia -/-
Motorik : 555, Fungsi sensorik dalam batas normal
12

2.3 Pemeriksaan Penunjang

Tabel 2.1. Hasil Pemeriksaan darah lengkap

Tanggal
Parameter Nilai Rujukan
19/02/2022 21/02/2021 21/02/2021
Jam 03.16 jam 12.09 WIB jam 15.23 WIB
Leukosit 4.500 - 11.000/μL 10,16 x103 /μL 8,43 x103 /μL 8,76 x103 /μL

Neutrofil 1,50-7 x103/μL 7,23 x103/μL 6,15 x103/μL 6,23 x103/μL

Limfosit 1-3,7 x103/μL 1,51 x103/μL 0,92 x103/μL 1,10 x103/μL

Monosit 0-0,7 x103/μL 0,90 x103/μL 0,83 x103/μL 0,87 x103/μL

Eosinofil 0-0,4 x103/μL 0,50 x103/μL 0,51 x103/μL 0,54 x103/μL

Basofil 0-0,1 x103/μL 0,02 x103/μL 0,02 x103/μL 0,02 x103/μL

Hemoglobin 10,5 - 18,0 g/dL 10,16 g/dL 12,4 g/dL 11,9 g/dL

Hematokrit 37-48% 31,8% 34,0% 32,1%

MCV 86,6 - 102 fL 91,4 fL 92,4 fL 90,2 fL

MCH 25,6 – 30,7 pg 34,2 pg 33,7 pg 33,2 pg

MCHC 28,2 – 31,5 g/dL 37,4 g/dL 36,5 g/dL 37,1 g/dL

Trombosit 15x104-40x104/μL 180 x 103 /μL 185 x 103 /μL 176 x 103 /μL
13

Tabel 2.2. Hasil Pemeriksaan Elektrolit

Tanggal
Parameter Nilai Rujukan
21/02/2021

Natrium 135-148 mmol/L 123


Kalium 3,5-5,3 mmol/L 4,8
Calcium 0,98-1,2 mmol/L 1,12

Tabel 2.3. Hasil Pemeriksaan Kimia Darah

Parameter Nilai Rujukan Tanggal Tanggal Tanggal Tanggal


19/02/2022 21/02/2022 23/02/2022 25/02/2022
Glukosa – < 200 mg/dl 86 mg/dl
Sewaktu

Creatinin 0,7 – 1,5 mg/dl 0,91 mg/dl

Ureum 21-53 mg/dl 37 mg/dl

HbsAg (-)/negatif (+)/positif

Bilirubin total <1,1 4,90 mg/dl

Bilirubin direk 3,5 – 5,5 2,43 mg/dl

Albumin 3,5 – 5,5 g/dl 2,53 g/dl 2,35 g/dl 2,60 g/dl
14

Tabel 2.4. Hasil Analisis cairan ascites

Parameter Tanggal
22/02/2022
Volume 12 ml
Warna Merah
Kejernihan Keruh
Bekuan Positif
Rivalta Test Positif
Glukosa cairan 85 mg/dl
Protein cairan 2,48 g/dl
Albumin cairan 1,12 g/dl
Hitung jumlah leukosit 554/μl
Mononuklear (MN) 83%
Polimorfonuklear (PMN) 17%

Pemeriksaan Radiologi

Foto Thorax PA (19/02/22)


15

Hasil :

o Jantung: membesar dengan CTR>50%, tak tampak kalsifikasi


arcus aorta

o Paru: tak tampak infiltrat/nodul di kedua lapang paru, corakan


bronkovaskuler normal, sinus kostofrenikus kanan dan kiri tajam

o Hemidiaphragma: kanan dan kiri normal

o Trakhea di tengah

o Sistema tulang baik

Kesan :

• Kardiomegali
• Paru tidak tampak kelainan

Foto polos abdomen 3 posisi (19/2/2022)

a. Foto polos abdomen AP


16

b. Abdomen semi erect

c. Left lateral decubitus


17

Hasil :

• Tampak opasitas homogen di cavum abdomen dengan floating


sign (+)
• Tak tampak gambaran coiled spring/herring bone sign
• Tak tampak gambaran udara bebas subdiaphragma dan suprahepatal
• Tak tampak gambaran step ladder pathologis
• Free peritoneal fat line tak tampak kelainan

Kesan :

• Ascites
• Tidak tampak gambaran ileus maupun pneumoperitoneum

CT Scan abdomen tanpa dan kontras (28/05/2021)

Hasil :

CT Scan Abdomen Irisan Axial – Sagital – Coronal Tanpa Dan Dengan


Kontras
18

• Hepar: ukuran 12,39 cm dan densitas normal, sudut tajam, tepi


reguler, tak tampak pelebaran IHBD/EHBD, tak tampak dilatasi
VP/VH, tak tampak kista, tampak lesi semisolid (38HU) dengan
komponen nekrotik berukuran 7,01cm x 7,52cm x 5,91cm di lobus
kanan segmen 7-8, pada post kontras tampak contrast enchancement
(77HU)
• GB: ukuran dan densitas normal, dinding tidak menebal, tidak tampak
batu
• Lien: ukuran 15,89 cm dan densitas normal, tidak tampak nodul
• Pankreas: ukuran dan densitas normal, tak tampak kalsifikasi
• Ren kanan: ukuran 7,59cm, bentuk dan densitas normal, tak tampak
dilatasi SPC, tak tampak batu/kista
• Ren kiri: ukuran 9,81 cm, bentuk dan densitas normal, tak tampak
dilatasi SPC, tak tampak batu/kista
• Bladder: terisi cukup urine, dinding tidak menebal, tak tampak batu
• Tampak lesi densitas cairan di cavum abdomen
• Tampak osteofit pada corpus VL 2-5 dan VS 1

Kesan:

1. Massa semisolid dengan kommponen nekrotik di lobus kanan hepar


segmen 7-8, mengarah gambaran karsinoma hepatoseluler
2. Splenomegali
3. Ascites
4. Spondylosis lumbalis

2.4 Masalah

A. Anamnesis
● Nyeri perut
● Perut membesar
19

● Mual-muntah
● Demam hilang timbul
● Riwayat hepatitis sejak 2018
● Indeks brinkman : 480 ~ perokok sedang
B. Pemeriksaan Fisik
● Sklera ikterik
● Batas jantung kiri di ICS V linea axillaris anterior sinistra
● Abdomen cembung, distensi (+)
● Nyeri tekan abdomen di regio epigastrium dan hipokondrium dextra
● Ballottement sign (+)
● Splenomegali (Schuffner 1)
● Shifting dullness (+)
● Tes undulasi (+)
C. Pemeriksaan Penunjang
● Laboratorium
- HbsAg (+)
- Hiperbilirubinemia
- Hipoalbuminemia
- Rivalta test (+)
- Leukosit di cairan peritoneal
● Radiologi
o Jantung: membesar dengan CTR>50% (kardiomegali)
o Tampak opasitas homogen di cavum abdomen dengan
floating sign (+) (kesan ascites)
o Massa semisolid dengan kommponen nekrotik di lobus
kanan hepar segmen 7-8, mengarah gambaran karsinoma
hepatoseluler
o Splenomegali

2.5 Diagnosis Banding

• Kolelithiasis
20

• Non-alcoholic steatohepatitis
• Trombosis vena porta
• Congestive heart failure

2.6 Diagnosis

• Sirosis Hepatis
• Hepatitis B
• Spontaneous bacterial peritonitis
• Suspect hepatocellular carcinoma
• Hiponatremia

2.7 Planning

● Pungsi ascites
● Perbaikan KU
● Pro rujuk ke Banjarmasin

2.8 Terapi

● IVFD NaCl 3% 500cc dalam 48 jam


● IVFD Dextrose 5% 1000 cc/24 jam
● Injeksi furosemide 1x40 mg
● Injeksi cefotaxime 3x2 gram
● Injeksi lanzoprazole 1x30 mg
● PO Vipalbumin 3x1 tab
● PO lamivudine 1x100 mg
● PO spironolactone 1x25 mg
● PO propranolol 3x10 mg
● PO opilax syr 3x15 ml
21

2.9 Monitoring

● Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital


● Observasi intake cairan dan urine output
● Observasi ascites dan peritoneal drainage
● Observasi keluhan

2.10 Edukasi

● Edukasi mengenai diagnosis pasien


● Edukasi mengenai pemberian obat-obatan
● Edukasi tentang pola hidup yang dianjurkan
● Edukasi mengenai rencana terapi lebih lanjut

2.11 Follow Up
S 22 Februari 2022 23 Februari 2022
S ● Nyeri perut ● Nyeri perut
O Tanda-tanda Vital : Tanda-tanda Vital :
TD : 112/70 mmHg TD : 107/72 mmHg
N : 88x/menit N : 69 x/menit
RR : 18 x/menit RR : 20 x/menit
S : 36,3oC S : 36,6oC
SaO2 : 97% SaO2 : 98%
Keadaan Umum : tampak sakit Keadaan Umum : tampak sakit sedang
sedang Kesadaran : Compos mentis
Kesadaran : Compos mentis Mata : Conjungtiva anemis (-), Sklera
22

Mata : Conjungtiva anemis (-), Ikterik (+)


Sklera Ikterik (+) Thorax : Rhonki -/-, Vesikuler +/+,
Thorax : Rhonki -/-, Vesikuler +/+, Abdomen : Cembung, bising Usus (+)
Abdomen : Cembung, bising Usus 12x/menit, ascites (+), terpasang
(+) 6x/menit, ascites (+) peritoneal drainage (cairan ascites + 4
Ekstremitas : dalam batas normal liter)
Ekstremitas : dalam batas normal
A ▪ Cirrhosis hepatis ▪ Cirrhosis hepatis suspect SBP
▪ SBP ascites ▪ Hiponatremia
▪ Hiponatremia ▪ Hipoalbuminemia
▪ Hipoalbuminemia

P ▪ Inf. NaCl 3% 500cc/48 jam 4 ▪ Inf. NaCl 3% 500cc/48 jam 4


tpm tpm
▪ Inf. D5% 1000 cc/24 jam 14 ▪ Inf. D5% 1000 cc/24 jam 14
tpm tpm
▪ Inj. Furosemide 1x40 mg ▪ Inj. Furosemide 1x40 mg
▪ Inj. Cefotaxime 3x2gr ▪ Inj. Cefotaxime 3x2gr
▪ Inj. Lanzoprazole 1x30 mg ▪ Inj. Lanzoprazole 1x30 mg
▪ PO propranolol 3x10 mg ▪ PO propranolol 3x10 mg
▪ PO Vipalbumin 3x2 tab ▪ PO Vipalbumin 3x2 tab
▪ PO opilax syr 3x15 mg ▪ PO opilax syr 3x15 mg
▪ PO lamivudine 1x1 ▪ PO lamivudine 1x1
▪ Pro pungsi ascites ▪ Pro CT scan abdomen
▪ Pro analisis cairan ascites
S 24 Februari 2022 25 Februari 2022
23

S ● Nyeri perut berkurang ● Nyeri perut berkurang


● Lemas ● Perut terasa kembung
O Tanda-tanda Vital : Tanda-tanda Vital :
TD : 115/77 mmHg TD : 119/82 mmHg
N : 75 x/menit N : 65 x/menit
RR : 20 x/menit RR : 20 x/menit
S : 36,2oC S : 36,6oC
SaO2 : 98% SaO2 : 97%
Keadaan Umum : sakit sedang Keadaan Umum : tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis Kesadaran : Compos mentis
Mata : Conjungtiva anemis (-/-), Mata : Conjungtiva anemis (-), Sklera
Sklera Ikterik (+/+) Ikterik (+)
Thorax : Rhonki -/-, Vesikuler +/+, Thorax : Rhonki -/-, Vesikuler +/+,
Abdomen : Cembung, bising Usus Abdomen : Cembung, bising Usus (+)
(+) 8x/menit, ascites (+) 14x/menit, ascites (+)
Ekstremitas : dalam batas normal Ekstremitas : dalam batas normal
A ▪ Hepatocellular carcinoma ▪ Hepatocellular carcinoma
▪ Cirrhosis hepatis ▪ Cirrhosis hepatis
▪ SBP ascites ▪ SBP ascites
▪ Hiponatremia
▪ Hipoalbuminemia
P ▪ Inf. D5% 1000 cc/24 jam 14 ▪ Inf. D5% 1000 cc/24 jam 14
tpm tpm
▪ Inj. Furosemide 1x40 mg ▪ Inj. Furosemide 1x40 mg
▪ Inj. Cefotaxime 3x2gr ▪ Inj. Cefotaxime 3x2gr
▪ Inj. Lanzoprazole 1x30 mg ▪ Inj. Lanzoprazole 1x30 mg
▪ PO propranolol 3x10 mg ▪ PO propranolol 3x10 mg
▪ PO Vipalbumin 3x2 tab ▪ PO Vipalbumin 3x2 tab
▪ PO opilax syr 3x15 mg ▪ PO opilax syr 3x15 mg
▪ PO lamivudine 1x1 ▪ PO lamivudine 1x1
S 26 Februari 2021
24

S ● Nyeri perut minimal

O Tanda-tanda Vital :
TD : 105/71 mmHg
N : 70 x/menit
RR : 20 x/menit
S : 36,8oC
SaO2 : 98%
Keadaan Umum : sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Mata : Conjungtiva anemis (-),
Sklera Ikterik (+)
Thorax : Rhonki -/-, Vesikuler +/+,
Abdomen : datar, bising Usus (+)
12x/menit, ascites (+)
Ekstremitas : dalam batas normal
A ▪ Hepatocellular carcinoma
▪ Cirrhosis hepatis
▪ SBP ascites

P ▪ Inf. D5% 1000 cc/24 jam 14


tpm
▪ Inj. Furosemide 1x40 mg
▪ Inj. Cefotaxime 3x2gr
▪ Inj. Lanzoprazole 1x30 mg
▪ PO propranolol 3x10 mg
▪ PO Vipalbumin 3x2 tab
▪ PO opilax syr 3x15 mg
▪ PO lamivudine 1x1
▪ BLPL (rujuk lewat poli)
25
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Hepatitis B

3.1.1 Definisi

Hepatitis adalah peradangan pada hati (hepar), yang disebabkan oleh


berbagai virus dan agen baik menular maupun tidak menular yang dapat berakibat
fatal. Secara khusus, hepatitis yang disebabkan oleh virus hepatitis tipe B dapat
menyebabkan penyakit kronis pada dan merupakan penyebab paling umum dari
sirosis hati, kanker hati dan kematian terkait virus hepatitis.1

3.1.2 Etiologi

Transmisi virus hepatitis B melibatkan transfer virus dari orang yang


terinfeksi ke orang yang tidak kebal melalui berbagai cara. Cara utama penularan
hepatitis B virus (HBV) dibagi menjadi dua cara:6

1. Transmisi horizontal: yakni melibatkan penularan hepatitis B melalui


kontak seksual atau kontak permukaan mukosa. Hubungan seksual yang
tidak aman dan penggunaan narkoba melalui suntikan bersama merupakan
cara penularan utama di daerah dengan prevalensi rendah hingga
menengah.
2. Penularan vertikal: Penularan vertikal melibatkan penularan virus dari ibu
ke bayi baru lahir. Ini adalah cara penularan utama di daerah dengan
prevalensi tinggi.

Kontak seksual termasuk hubungan seksual tanpa pelindung (vaginal, oral,


atau anal) dan kontak mukosa melibatkan kontak yang melibatkan air liur pasien
yang terinfeksi, sekresi vagina, air mani, dan darah.6

26
27

Penularan virus juga dapat terjadi secara tidak sengaja melalui inokulasi
darah atau cairan dalam jumlah kecil selama prosedur medis, bedah dan gigi, atau
dari pisau cukur dan benda serupa yang terkontaminasi darah yang terinfeksi.
Imunisasi dengan spuit dan jarum suntik yang tidak disterilkan dengan baik, tato,
tindik, dan akupunktur. Petugas kesehatan yang tidak divaksinasi juga berisiko
tertular hepatitis B secara tidak sengaja selama menangani benda tajam, cairan
dan organ tubuh, serta limbah medis yang terkontaminasi.7

3.1.3 Epidemiologi

Data epidemiologi di Amerika Serikat menunjukan sekitar 60.000 kasus


baru infeksi HBV setiap tahun, dengan lebih dari 2 juta orang memiliki infeksi
hepatitis B kronis. Virus ini juga menyebabkan 5% hingga 10% penyakit hati
stadium akhir kronis, dan 10% hingga 15% kasus kanker hepatoseluler. Serta
menyebabkan sekitar 5000 kematian setiap tahun.8

Secara global, sekitar 350-400 juta penduduk dunia menderita hepatitis B


kronis. Beberapa populasi diketahui memiliki prevalensi lebih banyak,
diantaranya penduduk Kepulauan Asia Pasifik (termasuk Indonesia), orang
Eskimo, Alaska, dan penduduk asli Australia. Sementara wilayah geografis
berikut memiliki prevalensi yang lebih tinggi: sub-benua India, Afrika sub-
Sahara, dan Asia Tengah. 8

Kelompok yang risiko tinggi untuk infeksi HBV termasuk pengguna


narkoba suntikan, bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi, orang-orang yang
melakukan seks bebas, kontak rumah tangga dari pasien yang diketahui dengan
HBV kronis, pasien hemodialisis dan tenaga kerja kesehatan yang bekerja di
fasilitas hemodialisis atau tenaga kerja yang bekerja secara umum. Mayoritas
beban penyakit HBV global secara terutama melalui transmisi vertikal.8
28

3.1.4 Patofisiologi

Virus hepatitis B ditularkan melalui kontak darah atau sekresi tubuh, dan
risiko tertular hepatitis B jauh lebih tinggi pada individu dengan kontak dekat
dengan pasien HBsAg-positif. Virus hepatitis B ditularkan melalui inokulasi
perkutan atau melalui paparan mukosa dengan cairan tubuh yang terinfeksi.
Transmisi orofekal juga dapat terjadi, tetapi sangat jarang. Masa inkubasi infeksi
HBV dapat berlangsung selama 6 minggu hingga 6 bulan. Pada pasien
imunokompeten, pemulihan biasanya dapat terjadi dengan sendirinya, dan hanya
sebagian kecil dapat berkembang menjadi keadaan kronis, yang secara serologis
didefinisikan sebagai adanya HBsAg selama lebih dari enam bulan.1

Pada infeksi hepatitis B, respon imun non-spesifik tidak terjadi karena


replikasi virus relatif tidak terdeteksi oleh sistem imun, diduga karena mekanisme
replikasi HBV sangat mirip dengan mekanisme pembelahan sel tubuh normal.
Peran utama dalam melawan infeksi HBV oleh sistem imun adalah melalui respon
imun spesifik, terutama melalui sel T sitotoksik. HBsAg dan protein nukleokapsid
lain yang ada pada membran sel dapat menyebabkan sel T menginduksi lisis
seluler. HBsAg dan protein nukleokapsid lain yang ada pada membran sel dapat
menyebabkan sel T menginduksi lisis seluler, namun HBV juga dapat
menyebabkan cedera sitotoksik langsung dalam tingkat yang lebih rendah. Respon
imun sel T sitotoksik terhadap hepatosit yang terinfeksi HBV relatif tidak efektif,
karena sel T tidak secara langsung membersihkan virus, namun menghancurkan
hepatosit yang terinfeksi.1

Respon imun mungkin bukan satu-satunya etiologi di balik kerusakan hati


pada pasien hepatitis B. Cedera terkait hepatitis B juga terlihat pada pasien pasca
transplantasi hati dengan hepatitis B yang menjalani terapi imunosupresan. Pola
histologis yang muncul setelah infeksi ini disebut fibrosing cholestatic hepatitis
dan diperkirakan terkait dengan paparan HBsAg yang berlebihan. Ini menunjukan
penguatan pada gagasan bahwa hepatitis B mungkin memiliki patogenisitas yang
tidak tergantung dari dari respons sistem kekebalan tubuh.1
29

Infeksi virus hepatitis dapat disebut akut bila perkembangan penyakit


masih dalam 6 bulan setelah paparan virus. infeksi disebut kronis bila sudah
melewati 6 bulan.9 Pasien hepatitis B akan melalui beberapa fase penyakit yang
dapat dibedakan dari tanda dan gejala yang muncul, dibedakan menjadi 3 fase,
yaitu:1

a. Fase prodromal
Fase ini ditanDetdai Pasien dengan gejala anoreksia, malaise, dan
kelelahan yang merupakan gejala klinis awal yang paling umum.
Beberapa pasien mungkin mengalami nyeri kuadran kanan atas karena
inflamasi pada hati. Sebagian kecil pasien mengalami demam,
artralgia, atau ruam.
b. Fase ikterik
Fase ini terjadi setelah gejala prodromal menghilang, biasanya pasien
mengalami penyakit kuning dan hepatomegali yang disertai rasa nyeri.
urin berwarna gelap dan feses berwarna pucat.
c. Fase konvalesens
Fase ini ditandai dengan resolusi penyakit dan perbaikan klinis.
Walaupun sebagian besar pasien mengalami resolusi pada waktu ini,
perjalanan klinis dapat bervariasi di mana beberapa pasien dapat
berlanjut pada penyakit yang berkepanjangan dengan resolusi yang
lambat dengan serangan berkala. Sejumlah kecil pasien dapat
mengalami perkembangan penyakit yang cepat yang dapat
menyebabkan gagal hati fulminan selama beberapa hari hingga
beberapa minggu.

Progresi penyakit hepatitis B kronis juga dapat dikelompokan menjadi


beberapa fase yang dibedakan dari penanda serologis aktivitas virus dan respon
imun yang sedang berlangsung. Perjalanan penyakit hepatitis B dibedakan
menjadi fase-fase berikut,10

a. Fase immune tolerance


Fase ini ditandai dengan penanda viral load yang tinggi.
Pemeriksaan HBeAg akan menunjukan hasil positif, dan secara
30

umum kadar HBsAg berada pada titik tertinggi pada fase ini. Sistem
imun masih belum memberikan perlawanan terhadap infeksi,
sehingga belum terjadi proses inflamasi yang merusak jaringan hati,
oleh sebab itu tidak terjadi peningkatan kadar enzim hati.

b. Fase immune clearance


Pada fase ini, sistem imun berusaha membersihkan virus hepatitis
yang menginfeksi hepatosit, terjadi reaksi inflamasi yang
menyebabkan cedera pada jaringan hati. Ezim hati akan mengalami
peningkatan, dan pasien berada dalam risiko tinggi mengalami
sirosis, sehingga diperlukan pengobatan pada fase ini. Durasi fase ini
bervariasi, namun fase ini biasanya diakhiri dengan serokonversi
penanda biologis HBeAg menjadi dominan Anti-HBe.

c. Fase immune control


Fase ini disebut juga innactive carrier phase. Fase ini ditandai
dengan kadar enzim hati yang kembali normal dan viral load yang
rendah. Prognosis penyakit biasanya bagus bila pasien tidak
mengalami cedera hati yang signifikan saat berada di fase immune
clearance.

d. Fase immune escape


Fase ini ditandai dengan kambuhnya gejala seperti pada fase immune
clearance, reaktivasi virus menyebabkan kembalinya proses
inflamasi yang menyebabkan peningkatan enzim hati, pasien juga
akan kembali memiliki risiko mengalami sirosis hati. Pada
pemeriksaan HBeAg akan ditemukan hasil negatif, sedangkan
pemeriksaan anti-HBeAg menunjukan hasil yang positif.

Tidak semua pasien akan mengalami keempat fase secara berurutan.


Sebaliknya, setiap pasien memiliki perjalanan penyakit yang berbeda dan
sewaktu-waktu progresi penyakit dapat kembali ke fase sebelumnya, tergantung
dari respon tubuh terhadap aktivitas virus.10
31

Gambar 3.1 Progresi penyakit hepatitis B kronis10

3.1.5 Histopatologi

Infeksi hepatitis B memberikan karakteristik histopatologis yang dapat


diidentifikasi pada pemeriksaan patologi anatomi. Temuan histopatologi dapat
berbeda pada infeksi akut dan infeksi kronis, deskripsi histologis yang dapat
ditemukan diantaranya sebagai berikut11

• Infeksi Hepatitis B Akut: Temuan histologis termasuk “disorientasi


lobular”, degenerasi balon, adanya badan apoptotik, aktivasi sel Kupffer,
serta inflamasi lobular dan portal dengan dominan infiltrasi limfosit.11
• Infeksi Hepatitis B Kronis: Inflamasi portal yang didominasi limfosit dan
bercak-bercak inflamasi lobular.11 Hepatosit dengan sitoplasma granuler
yang menunjukan ground glass appearance.12
32

Gambar 3.2 (A) karakteristik disorientasi lobular (lobular dissaray) pada


hepatitis B akut; dan (B) gambaran ground glass appearance pada infeksi
hepatitis B kronik, menunjukan sitoplasma eosinofilik granuler yang menandakan
akumulasi antigen permukaan hepatitis B

3.1.6 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pasien yang terinfeksi HBV pada awalnya dapat asimtomatik dan pada
beberapa kondisi tertentu, pasien tidak menunjukkan gejala selama keadaan
terinfeksi. Namun, ketika terjadi gejala dari infeksi HBV akut, pasien dapat
datang dengan keluhan seperti demam, ruam kulit, artralgia, dan radang sendi.
Keluhan-keluhan ini biasanya mereda dalam satu minggu, atau bahkan
menghilang saat ikterus baru muncul. Pasien mungkin juga mengalami kelelahan,
malaise, nyeri perut, nausea, dan anoreksia.13

Pada penelusuran riwayat pasien, anamnesis harus menekankan pada


riwayat sosial, termasuk praktik seksual (misalnya, hubungan seksual berganti-
ganti pasangan, tidak menggunakan pengaman, hubungan sesama jenis, dll.),
penggunaan narkoba, profesi (misalnya, petugas kesehatan, pekerja seks), dan
kehidupan rumah tangga (misalnya tinggal serumah dengan pasien yang terinfeksi
HBV). Juga meliputi penggalian riwayat pasien yang termasuk dalam kelompok
berisiko tinggi (yaitu, petugas kesehatan, pasien penyalahgunaan zat IV, dll.),
pengujian mungkin diperlukan bagi pasien yang diketahui berasal dari daerah
endemik hepatitis B. Pasien penyakit mental tertentu seperti gangguan bipolar,
skizofrenia, atau gangguan manik juga memiliki peningkatan risiko tertular
33

infeksi HBV, dimana pasien mungkin memiliki potensi untuk berpartisipasi dalam
perilaku seksual berisiko, saat episode gangguan mental tersebut muncul.13

Pemeriksaan fisik pasien meliputi pemeriksaan menyeluruh dari ujung


rambut hingga ujung kaki pasien, pasien dengan kerusakan hati dapat menunjukan
sklera yang ikterik karena terjadi peningkatan bilirubin serum, biasanya kulit juga
akan mulai menguning ketika kadar bilirubin serum sudah mencapai >6 mg/dL,
dapat juga disertai dengan keluhan gatal-gatal di kulit di berbagai bagian tubuh.
Selain ikterus, klinisi juga harus menilai stigmata penyakit hati kronis, termasuk
hepatomegali, splenomegali, eritema palmaris, kontraktur Dupuytren, spider nevi,
ginekomastia, caput medusa, dan ensefalopati hepatik, juga hipertensi portal dan
sirosis. Hipertensi dapat menyebabkan vasodilatasi arterial splanknik dan
mengaktifkan sistem RAAS sehingga memicu vasokonstriksi, retensi cairan dan
natrium, yang berakibat pada ascites.13

3.1.7 Penegakan Diagnosis

Diagnosis hepatitis B ditegakan dengan pemeriksaan penanda biologis


virus hepatitis B yang dapat dideteksi melalui pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan DNA virus melalui analisis sekuensi genom merupakan baku emas
dalam penegakan diagnosis hepatitis B.14 karena pemeriksaan ini dapat
mendeteksi cccDNA (covalently closed circular DNA) pada hepatosit, sekalipun
dalam infeksi okulta dimana penanda antigen seringkali tidak ditemukan.
Pemeriksaan sekuensi genom juga dapat mendeteksi genotipe spesifik dari virus
hepatitis B, bahkan dapat mendeteksi jenis genotipe rekombinan dari virus yang
menginfeksi.14

Pemeriksaan DNA saat ini masih tidak terjangkau secara luas, sehingga
penegakan diagnosis hepatitis B dilakukan dengan pemeriksaan penanda serologis
virus. Penanda serologis yang seringkali digunakan dalam pengujian diagnostik
antara lain: HBsAg, anti-HBs, Anti-HBc, Anti-HBc, HBeAg, dan anti-HBe.
Setiap penanda serologis memiliki spesifikasi yang berbeda-beda untuk tiap
34

kondisi pasien, berikut adalah masing-masing penanda serologis dan kaitannya


dengan keadaan penyakit hepatitis B:14

Tabel 3.1 Karakteristik dari masing-masing penanda serologis HBV14

Penanda
Karakterisitik penanda serologis
Serologis
HBsAg  Penanda serologis infeksi HBV pertama yang muncul
• Periode jendela antara infeksi HBV dan deteksi HBsAg
diperkirakan menjadi sekitar 38 hari, tetapi tergantung pada
sensitivitas analitik pengujian digunakan, imunokompetensi
host dan kinetika virus individu
• Pada infeksi tersembunyi (okult), yaitu HBsAg tidak
terdeteksi tetapi DNA HBV dapat dideteksi pada individu
yang tidak dalam periode jendela
 Kuantifikasi HBsAgb merupakan penanda alternatif yang
potensial dari viremia dan untuk memantau respons terhadap
pengobatan antivirus
IgM Anti-  Kadar yang tinggi diitemukan selama infeksi akut tetapi
HBc mungkin tetap terdeteksi hingga 6 bulan
 Digunakan untuk membedakan antara infeksi HBV akut dan
kronis, tetapi kemunculannya kembali selama "flare" pada
infeksi HBV kronis membuatnya menjadi indikator yang
tidak dapat diandalkan untuk infeksi HBV primer.
Anti-HBc  Mulai muncul sekitar 3 bulan setelah infeksi dan penanda
(total) paling konstan dari infeksi
 Bersama dengan anti-HBs, menunjukkan infeksi yang teratasi
 Anti-HBc, dengan atau tanpa anti-HBs, juga menunjukkan
kemungkinan mengalami rekativasi dalam konteks individu
dengan imunosupresi
HBeAg • Muncul saat virus secara aktif bereplikasi di hati
 Berhubungan dengan viremia HBV tingkat tinggi dan oleh
35

karena itu merupakan penanda “infektifitas tinggi”


 Berhubungan dengan penyakit hati progresif
Anti-HBe  Menggambarkan respon host terhadap HBeAg dan biasanya
menunjukkan penurunan DNA HBV dan penurunan itu
infektivitas
 Ditemukan dalam fase immune-control dan immune-escape
 Dapat ditemukan berdampingan dengan HBeAg selama
periode serokonversi dari antigen e ke antibodi e pada akhir
fase immune tolerance
Anti-HBs • Antibodi penetral yang memberikan perlindungan dari
infeksi
• Muncul setelah pembersihan HBsAg spontan (dengan IgG
anti-HBc)
• Dapat dihasilkan oleh imunisasi dan digunakan untuk
memantau pasca-imunisasi respon (anti-HBc tidak ada)
• Dapat ditemukan bersamaan dengan HBsAg sehingga
kehadirannya tidak dapat digunakan untuk mengecualikan
status infeksi saat ini
HBV DNA • Merupakan cara untuk mengetahui replikasi virus HBV aktif
secara langsung dan secara akurat,, serta berkorelasi dengan
progresi penyakit
 DNA HBV serum diukur dalam satuan internasional
(IU)/mLd sebagai standar internasional yang diakui atau
salinan/ml dengan teknologi nucleic acid testing (NAT)
 Digunakan untuk membedakan negatif-HBeAg aktif dan
tidak aktif, dan untuk menentukan perlunya terapi antivirus
dalam hubungannya dengan tingkat SGPT dan derajat
fibrosis hati
 Digunakan juga untuk memantau respons terapi (peningkatan
dapat mengindikasikan ketidakadekuatan kepatuhan atau
munculnya varian resisten) dan sebagai penanda infektivitas.
36

 Dapat dideteksi pada infeksi awal sebelum HBsAg, dan


karena itu berguna dalam diagnosis awal individu yang
berisiko sebelum HBsAg muncul
 Pada infeksi okult, kadar HBV DNA masih dapat dideteksi,
walaupun HBsAg tidak terdeteksi

Gambar 3.3 Kadar penanda serologis HBV yang dapat dideteksi berdasakan
waktu infeksi15

3.1.8 Tatalaksana
a. Pencegahan
Tindakan pencegahan merupakan komponen utama dari
pengelolaan hepatitis B. Vaksin hepatitis B sudah tersedia dan termasuk
dalam program wajib vaksinasi pada neonatus dan balita. Sedangkan
vaksin hepatitis B untuk dewasa dan booster juga banyak tersedia secara
komersial.13

b. Pengelolaan
Infeksi hepatitis B akut sembuh sendiri pada 95% orang dewasa
yang sehat. Manajemen bersifat suportif pada sebagian besar pasien.
Pasien dengan penyakit akut berat (2 dari 3: bilirubin lebih dari 10 mg/dl,
INR lebih dari 1,6 dan ensefalopati hepatik) dan penyakit akut yang
37

berkepanjangan (bilirubin total lebih dari 3 mg/dl atau bilirubin direk lebih
dari 1,5 mg/dl , INR lebih dari 1,5, ensefalopati hepatik, atau asites)
memerlukan pengobatan antivirus.13
Penatalaksanaan hepatitis B kronis harus mencakup identifikasi
koinfeksi HIV, hepatitis C, dan hepatitis D, status replikasi virus hepatitis
B, dan tingkat keparahan penyakit. Tingkat keparahan penyakit ini
didasarkan pada penilaian klinis, parameter laboratorium darah, enzim
hati, dan histologi hati. Tes non-invasif seperti pencitraan dapat digunakan
untuk mengukur kerusakan hati pada hepatitis B kronis dengan SGPT
normal. Namun untuk pasien dengan SGPT yang meningkat atau
berfluktuasi, biopsi hati diperlukan untuk mengidentifikasi apakah
pengobatan antivirus diperlukan atau tidak.15

Obat yang disetujui FDA untuk hepatitis B kronis termasuk


interferon (peginterferon alfa-2a, interferon alfa-2b), analog nukleosida
(entecavir, lamivudine, telbivudine), dan analog nukleotida (adefovir,
tenofovir). Entecavir dan tenofovir lebih disukai untuk infeksi HBV akut
jika pengobatan diperlukan, karena hambatan resistensi yang relatif lebih
tinggi. Penelitian antara politerapi entecavir dan monoterapi entecavir
menunjukan bahwa obat kombinasi entecavir tidak lebih efektif daripada
monoterapi entecavir.16 Penularan vertikal hepatitis B tetap menjadi
penyebab signifikan beban HBV global. Dalam uji coba prospektif
multisenter tahun 2015, pemberian tenofovir pada ibu dengan HBsAg-
positif dan/atau HBeAg-positif menunjukkan manfaat dalam mengurangi
tingkat SGPT pada ibu dan menurunkan tingkat HBsAg bayi pada 6 bulan
pascapersalinan.17

Terapi nukleosida oral telah terbukti menekan replikasi virus dan


dengan demikian menurunkan beban virus. Lamivudine adalah agen
efektif pertama yang berhasil digunakan untuk menekan jumlah virus,
tetapi dikaitkan dengan resistensi obat yang tinggi. Sebuah uji klinis tahun
2014 yang membandingkan entecavir vs lamivudine pada hepatitis B
kronis melaporkan respon virologis yang lebih baik pada kelompok
38

entecavir dibandingkan dengan kelompok lamivudine. Penelitian tentang


efektifitas monoterapi dan terapi gabungan juga masih belum menunjukan
hasil yang pasti, dan diperlukan penelitian lebh lanjut.18

Konseling pasien dan keluarga tentang pencegahan penularan juga


tidak kalah penting. Modifikasi gaya hidup yang dianjutkan termasuk
mengurangi asupan dari bahan-bahan yang dapat menyebabkan kerusakan
hati seperti alkohol, obat hepatotoksik, obat herbal, dan suplemen herbal.

3.1.9 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk infeksi hepatitis B bisa menjadi sangat luas


karena adanya gejala non-spesifik seperti kelelahan, sakit perut, mual, dan
muntah. Etiologi hepatitis lainnya (yaitu, hepatitis A, hepatitis C, hepatitis E,
hepatitis alkoholik, dan hepatitis autoimun) harus dipertimbangkan dan harus
ditelusuri lebih jauh melalui anamnesis yang tepat dan pemeriksaan laboratorium
terkait.13

Kelebihan zat besi (hemokromatosis) dapat dikaitkan dengan nyeri tekan


perut dan tingkat transaminase hati yang abnormal. Temuan terkait yang
mendukung diagnosis hemochromatosis dibandingkan dengan hepatitis B
termasuk perubahan warna kulit difus (diabetes perunggu) dan gangguan toleransi
glukosa.13

Penyakit Wilson adalah penyakit akumulasi tembaga yang berlebihan. Hal


ini terkait dengan gangguan kejiwaan karena akumulasi tembaga di ganglia basal.
Cincin Kayser-Fleischer adalah patognomonik untuk penyakit Wilson tetapi tidak
sepenuhnya sensitif (memerlukan dokter spepsialis mata untuk mengkonfirmasi
temuan ini). Beberapa penyakit lain dengan karakteristik klinis yang dapat
menyerupai hepatitis B dan dapat dijadikan diagnosis banding adalah:13

• Hepatitis alkoholik
• Hepatitis autoimun
• Sirosis
39

• Cedera hati akibat obat


• Hemokromatosis
• Hepatitis A
• Hepatitis C
• Hepatitis D
• Hepatitis E
• Karsinoma hepatoseluler
• HIV
• Penyakit Wilson

3.1.10 Prognosis

Infeksi HBV akut dapat diterapi secara simtomatik dan pada pasien
imunokompeten, dapat sembuh dengan sendirinya. Namun pada pasien dengan
imunokompromais dimanan hepatitis dapat berkembang menjadi keadaan kronis,
memiliki risiko untuk berlanjut menjadi karsinoma hepatoseluler, sirosis, atau
gagal hati fulminan. Kemungkinan terjadinya risiko tergantung pada genotipe
tertentu dan kondisi imun pasien. Cara penularan karena penularan vertikal
memiliki risiko komplikasi jangka panjang yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kasus penularan horizontal.13

3.1.11 Komplikasi

Tidak seperti hepatitis A dan hepatitis E, di mana tidak ada keadaan


kronis, infeksi HBV memiliki potensi untuk berkembang menjadi keadaan kronis.
Hepatitis B kronis merupakan predisposisi bagi pasien untuk berkomplikasi
menjadi hipertensi portal, sirosis, atau karsinoma hepatoseluler (HCC). Dengan
demikian, pasien dengan infeksi HBV harus dipantau secara ketat, dan rujukan ke
spesialis sangat dianjurkan. Gagal hati fulminan akibat infeksi HBV kadang
memerlukan transplantasi hati darurat di pusat transplantasi hati.13
40

3.2 Sirosis Hepatis

3.2.1 Definisi

Sirosis hepatis merupakan proses patologis yang dditandai dengan


perubahan fibrotik dan pembentukan nodul pada hati akibat cedera kronis, yang
menyebabkan perubahan organisasi lobular hati yang normal. Berbagai gangguan
dapat melukai hati, infeksi virus, racun, kondisi keturunan, atau proses autoimun.
Dengan setiap cedera, hati jaringan parut (fibrosis), awalnya tanpa kehilangan
kekurangan. Setelah cedera, sebagian jaringan hati menjadi fibrotik, menghasilkan
banyak fungsi dan perkembangan sirosis.19

3.2.2 Etiologi

Penyakit hati kronis biasanya berkembang menjadi sirosis. Di negara


maju, penyebab paling umum dari sirosis adalah virus hepatitis C (HCV),
penyakit hati alkoholik, dan steatohepatitis nonalkohol (NASH), sedangkan virus
hepatitis B (HBV) dan HCV adalah penyebab paling umum di negara
berkembang. Penyebab lain sirosis termasuk hepatitis autoimun, kolangitis bilier
primer, kolangitis sklerosis primer, hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi
antitripsin alfa-1, sindrom Budd-Chiari, sirosis hati yang diinduksi obat, dan gagal
jantung kanan kronis. Sirosis kriptogenik didefinisikan sebagai sirosis dengan
etiologi yang tidak jelas.19

3.2.3 Patofisiologi

Beberapa sel berperan dalam sirosis hati, termasuk hepatosit dan sel-sel
lapisan sinusoidal seperti hepatic stellate cell (HSC), sinusoidal endothelial cell
(SEC), dan Kupffer cell (KC). HSC membentuk bagian dari dinding sinusoid hati,
dan berfungsi untuk menyimpan vitamin A. Ketika sel-sel ini terkena sitokin
inflamasi, mereka menjadi aktif, berubah menjadi miofibroblas, dan mulai
41

menyimpan kolagen, sehingga menghasilkan fibrosis. SEC membentuk lapisan


endotel dan dicirikan oleh fenestrasi yang memungkinkan pertukaran cairan dan
nutrisi antara sinusoid dan hepatosit. Defenestrasi dinding sinusoidal dapat terjadi
akibat penggunaan alkohol kronis dan menyebabkan fibrosis perisinusoidal.20

Kupffer cell adalah makrofag satelit yang juga melapisi dinding sinusoid.
Studi dari model hewan telah menunjukkan bahwa KC berperan dalam fibrosis
hati dengan melepaskan mediator inflamasi ketika terkena agen berbahaya dan
bertindak sebagai sel penyaji antigen untuk virus. Hepatosit juga terlibat dalam
patogenesis sirosis, karena hepatosit yang rusak melepaskan reactive oxygen
species (ROS) dan mediator inflamasi yang dapat mendorong pengaktifan HSC
dan fibrosis hati.20

Penyebab terbanyak mortalitas pada sirosis hati adalah hipertensi portal


dan sirkulasi hiperdinamik. SEC intrahepatik mensintesis nitrat oksida (NO) yang
merupakan vasodilator sinusoid, dan endotelin-1 (ET-1) yang menyebabkan
konstriksi sinusoid, keduanya bersinergi mengendalikan aliran darah sinusoidal.
Pada pasien dengan sirosis, terjadi peningkatan produksi ET-1, serta peningkatan
sensitivitas reseptornya, namun terjadi penurunan produksi NO. Hal ini
menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan resistensi intrahepatik, yang
memicu hipertensi portal. Remodeling vaskular yang dimediasi oleh efek
kontraktil HSC di sinusoid menambah peningkatan resistensi vaskular. Untuk
mengimbangi peningkatan tekanan intrahepatik ini, terbentuklah sirkulasi
kolateral.21

Dalam sirkulasi sistemik dan splanknikus, efek sebaliknya terjadi, dengan


peningkatan produksi NO, menyebabkan vasodilatasi sistemik dan splanknik dan
penurunan resistensi vaskular sistemik (penurunan tekanan darah). Hal ini
mendorong aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS), yang
menyebabkan retensi natrium dan air dan menghasilkan sirkulasi hiperdinamik.
Pada sirosis dengan hipertensi portal, terjadi penurunan vasodilator (terutama NO)
secara intrahepatik tetapi kelebihan NO secara ekstrahepatik (sirkulasi splanknik
dan sistemik), yang menyebabkan vasokonstriksi sinusoidal dan vasodilatasi
42

splanknik (sistemik). Sirkulasi kolateral juga berkontribusi pada sirkulasi


hiperdinamik dengan meningkatkan aliran balik vena ke jantung.22

3.2.4 Klasifikasi

a. Klasifikasi Morfologis

Secara morfologis, sirosis hepatis dapat diklasifikan sebagai: (1)


mikronodular, (2) makronodular, atau (3) campuran. Perbedaan klasifikasi
morfologis ini tidak terlalu relevan secara klinis. 19

• Sirosis mikronodular (nodul seragam dengan diameter kurang dari 3 mm):


Sirosis karena alkohol, hemokromatosis, obstruksi aliran keluar vena
hepatik, obstruksi bilier kronis, bypass jejunoileal, dan sirosis masa kanak-
kanak India.
• Sirosis makronodular (nodul tidak teratur dengan variasi diameter lebih dari
3 mm): Sirosis karena hepatitis B dan C, defisiensi antitripsin alfa-1, dan
kolangitis bilier primer.
• Sirosis campuran (ketika fitur dari kedua mikronodular dan sirosis
makronodular ditemukan): Biasanya, sirosis mikronodular berkembang
menjadi sirosis makronodular dari waktu ke waktu.

b. Klasifikasi Etiologi

Etiologi dari sirosis perlu diidentifikasi untuk merencanakan upaya


penatalaksanaan yang tepat. Berdasarkan etiologinya, sirosis hepatis dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:19

• Virus - hepatitis B, C, dan D


• Toksin - alkohol, obat-obatan
• Autoimun - hepatitis autoimun
• Kolestatik - primary biliary cholangitis, primary sclerosing cholangitis
• Vaskular - sindrom Budd-Chiari, sindrom obstruksi sinusoidal, sirosis
jantung
43

• Metabolik - hemokromatosis, NASH, penyakit Wilson, defisiensi alfa-1


antitripsin, sirosis kriptogenik.

3.2.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan sirosis dapat asimtomatik atau simtomatik, tergantung pada


apakah sirosis terkompensasi atau mengalami dekompensasi. Pada sirosis
kompensasi, pasien biasanya tidak menunjukkan gejala, dan penyakit mereka
terdeteksi secara kebetulan melalui pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik,
atau pencitraan. Salah satu temuan yang umum adalah peningkatan enzim hati
dengan kemungkinan pembesaran hati atau limpa pada pemeriksaan. Pasien
dengan sirosis dekompensasi biasanya datang dengan berbagai tanda dan gejala
yang timbul dari kombinasi disfungsi hati dan hipertensi portal. Diagnosis asites,
ikterus, ensefalopati hepatik, perdarahan varises, atau karsinoma hepatoseluler
pada pasien dengan sirosis menandakan transisi dari fase kompensasi ke fase
dekompensasi sirosis. Komplikasi sirosis lainnya termasuk peritonitis bakterial
spontan dan sindrom hepatorenal, yang dapat terjadi pada pasien yang memiliki
asites.19

a. Gastrointestinal
Hipertensi portal menyebabkan peningkatan tekanan vaskular dan
bermanifestasi pada splenomegali, caput medusa (penonjolan vena
periumbilikalis), dan ascites. Varises esofagus adalah komplikasi lain dari
sirosis sekunder akibat peningkatan aliran darah dalam sirkulasi kolateral.
Pasien dengan sirosis alkoholik memiliki risiko pertumbuhan bakteri usus
yang berlebihan dan pankreatitis kronis. Selain itu, pasien sirosis juga
memiliki tingkat pembentukan batu empedu yang lebih tinggi.19
b. Hematologi
Anemia dapat terjadi karena defisiensi folat, anemia hemolitik
(spur cell anemia) pada penyakit hati alkoholik berat), dan hipersplenisme.
Dapat terjadi pansitopenia akibat hipersplenisme pada hipertensi portal,
gangguan koagulasi (disseminated intravascular coagulation), dan
hemosiderosis pada pasien sirosis.23
44

c. Ginjal
Pasien sirosis bisa mengalami sindrom hepatorenal sekunder
karena hipotensi sistemik dan vasokonstriksi ginjal, menyebabkan
fenomena underfilling. Vasodilatasi splanknik menyebabkan penurunan
aliran darah ke ginjal, yang mengaktifkan sistem RAAS, menyebabkan
retensi natrium dan air dan penyempitan pembuluh darah ginjal. Namun,
efek ini tidak cukup untuk mengatasi vasodilatasi sistemik yang
disebabkan oleh sirosis, yang menyebabkan hipoperfusi ginjal dan
diperburuk oleh vasokonstriksi ginjal dengan titik akhir gagal ginjal.24
d. Paru-paru
Manifestasi sirosis meliputi sindrom hepatopulmoner, hipertensi
portopulmonal, hidrotoraks hepatik, penurunan saturasi oksigen,
penurunan kapasitas difusi paru, dan hiperventilasi.25
e. Kulit
Spider nevi (munculnya arteriol sentral yang dikelilingi oleh
pembuluh darah kecil yang terlihat seperti laba-laba) dapat terlihat pada
pasien sirosis akibat hiperestrogenemia. Eritema palmaris adalah temuan
kulit lain yang terlihat pada sirosis dan juga sekunder akibat
hiperestrogenemia. Jaundicedapat terjadi kulit dan selaput lendir terlihat
ketika serum bilirubin lebih besar dari 3 mg/dL dan pada sirosis
dekompensasi. Clubbing finger, osteoarthropathy hipertrofik, dan
kontraktur Dupuytren terlihat. Perubahan kuku lainnya termasuk lunules
biru (penyakit Wilson), kuku Terry, dan kuku Muehrcke.26
f. Manifestasi Lainnya
Fetor hepaticus (bau napas tidak sedap dan apek karena tingginya
kadar dimetil sulfida dan keton dalam darah) dapat ditemukan pada pasien
sirosis. Asteriksis (gemetar mengepak ketika lengan diluruskan dan tangan
dorsofleksi) keduanya merupakan ciri ensefalopati hepatik yang dapat
dilihat pada sirosis. Sirosis dapat menyebabkan sirkulasi hiperdinamik,
pengurangan massa otot tanpa lemak, kram otot, dan hernia umbilikalis.27

3.2.6 Penegakan Diagnosis


45

Penegakan diagnosis bagi pasien sirosis hepatis memerlukan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan bila perlu pemeriksaan penunjang. Anamnesis harus
meliputi keluhan utama yang menjadi dasar pasien berobat, riwayat perjalanan
keluhan, tanda-tanda gangguan sistem hepatik yang muncul (seperti keluhan mata
atau kulit berwarna kekuningan, kotoran berwarna dempul, urin berwarna merah
gelap, pembesaran perut, adanya nyeri atau tidak), keluhan penyerta, penyakit
penyerta yang diderita, dan riwayat penyakit keluarga.19

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan sirosis dapat mengungkapkan


stigmata penyakit hati kronis (spider nevi, caput medusae, eritema palmaris,
kontraktur Dupuytren, xanthelasma, ginekomastia, atrofi testis), tanda-tanda
hipertensi portal (asites, splenomegali, caput medusa, murmur Cruveilhier-
Baumgarten (epigastric venous hum), tanda-tanda ensefalopati hepatik
(kebingungan, asteriksis, dan foetor hepaticus), dan gambaran lain seperti ikterus,
pembesaran parotis bilateral, dan berkurangnya rambut dada/aksila.19

Enzim hati biasanya meningkat sedikit sampai sedang dengan SGOT lebih
tinggi dari SGPT; namun, kadar yang normal tidak menyingkirkan sirosis.
Prothrombin time (PT) meningkat karena gangguan faktor koagulasi dan bilirubin,
sedangkan albumin rendah karena sintesis albumin oleh hati dan kapasitas
fungsional hati menurun. Albumin serum dan PT adalah indikator fungsi sintesis
dari hati. Anemia normokromik dapat ditemukan, leukopenia dan trombositopenia
juga terlihat sebagai manifestasi sekuestrasi dari limpa yang membesar.19

Ultrasonografi dapat mendeteksi nodularitas dan peningkatan ekogenisitas


hati, namun tidak spesifik karena temuan ini juga dapat dilihat pada perlemakan
hati. USG juga dapat menentukan rasio lebar lobus kaudatus dengan lebar lobus
kanan, yang biasanya meningkat pada sirosis. Selain itu, USG adalah alat skrining
yang berguna untuk HCC pada pasien sirosis. CT scan dan MRI dengan kontras
dapat mendeteksi hepatocellular carcinoma (HCC) dan lesi vaskular, dengan MRI
lebih unggul daripada CT. MRI juga dapat digunakan untuk mendeteksi tingkat
deposisi besi dan lemak di hati untuk menilai hemokromatosis dan steatosis, serta
menilai obstruksi bilier dengan MRC (magnetic resonance cholangiography).
Namun MRI masih mahal dan tidak tersedia secara luas. Transient elastography
46

(fibroscan) adalah metode non-invasif yang menggunakan gelombang ultrasound


berkecepatan tinggi untuk mengukur kekakuan hati, yang berkorelasi dengan
fibrosis.19

Biopsi hati adalah standar emas untuk mendiagnosis sirosis serta menilai
tingkat peradangan (grading) dan fibrosis (staging) penyakit. Namun prosedur
biopsi terkadang harus dilakukan dengan hati-hati pada jenis sirosis yang berbeda
(misalnya mikronoduler) agar terhindar dari kesalahan diagnosis karena kesalahan
pengambilan sampel.19

3.2.7 Tatalaksana

Kerusakan jaringan hati bersifat permanen. Jaringan hati yang sudah


mengalami fibrosis dan bertransformasi menjadi jaringan parut tidak bisa lagi
kembali fungsinya seperti jaringan hati yang sehat. Pada pasien dengan kerusakan
hati, cedera lebih lanjut pada hati harus dihindari dan perkembangan penyakit
harus dihentikan sebisa mungkin, agar tidak terjadi kerusakan hati secara
menyeluruh. Penatalaksanaan umum untuk mencegah penyakit hati kronis
termasuk menghindari alkohol, vaksinasi untuk HBV dan HCV, nutrisi yang baik
dengan diet seimbang, penurunan berat badan, dan pengobatan dini faktor
pencetus seperti dehidrasi, hipotensi, dan infeksi. Hal ini dicapai dengan
pemantauan rutin status volume cairan, fungsi ginjal, perkembangan varises, dan
perkembangan ke HCC.19

Terapi spesifik biasanya menargetkan etiologi, termasuk obat antivirus


pada hepatitis virus, steroid, dan agen imunosupresan pada hepatitis autoimun,
asam ursodeoxycholic dan asam obeticholic pada kolangitis bilier primer, kelasi
tembaga pada penyakit Wilson, dan kelasi besi dan proses mengeluarkan darah
pada hemokromatosis. Penurunan berat badan minimal 7% bermanfaat pada
NASH, dan tidak mengonsumsi alkohol adalah penting dalam terapi sirosis
alkoholik.19
47

3.2.8 Prognosis

Model prediktif sirosis hepatis memperkirakan kelangsungan hidup


sepuluh tahun pada pasien dengan sirosis terkompensasi sebesar 47%, persentase
ini turun menjadi 16% jika ada gejala dekompensasi.16 Klasifikasi dengan Skor
Child-Turcotte-Pugh (CTP) menggunakan albumin serum, bilirubin, PT, asites,
dan ensefalopati hepatik untuk mengklasifikasikan pasien dengan sirosis ke dalam
kelas A, B, dan C. Tingkat kelangsungan hidup satu dan dua tahun untuk kelas-
kelas ini adalah 100% dan 85% (A), 80% dan 60% (B), serta 45% dan 35% (C).28

Gambar 3.4 Skor Child-Turcotte-Pugh (CTP) untuk menilai tingkat


kelangsungan hidup pasien dengan sirosis hepatis.28

Model skor penyakit hati stadium akhir (MELD) adalah model lain yang
digunakan untuk memprediksi mortalitas jangka pendek pasien sirosis.
Menggunakan serum bilirubin, kreatinin, dan INR untuk memprediksi mortalitas
dalam tiga bulan ke depan. Prioritas alokasi organ untuk transplantasi hati di
Amerika Serikat diputuskan berdasarkan skor MELD (yang terbaru skor
MELDNa).29

Metode lain yang dapat digunakan dalam penilaian prognosis pasien


dengan sirosis hepatis adalah dengan perhitungan skor Chronic Liver Failure –
Sequential Organ Failure Assessment (CLIF-SOFA). Penilaian ini dilakukan
48

untuk menentukan secara obyektif perlu atau tidaknya penanganan intensif pada
pasien gagal hati, skor ini juga dapat memprediksi hasil jangka pendek dari terapi
pasien dengan sensitifitas 64% dan spesifisitas 90%, skor CLIF-SOFA > 7
menunjukan prediktor kuat mortalitas pasien.30

Gambar 3.5 Penilaian dalam skor CLIF-SOFA30

Transplantasi hati diindikasikan pada sirosis dekompensasi yang tidak


merespon pengobatan medis. Tingkat kelangsungan hidup satu tahun dan lima
tahun setelah transplantasi hati masing-masing sekitar 85% dan 72%.
Kekambuhan penyakit hati yang sebelumya masih dapat terjadi setelah
transplantasi. Efek samping jangka panjang dari penggunaan obat imunosupresan,
diketahui merupakan penyebab lain morbiditas pada pasien transplantasi.19
49

3.3 Spontaneous Bacterial Peritonitis

3.3.1 Definisi

Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) adalah infeksi akut dari akumulasi


abnormal cairan di perut (asites) tanpa sumber infeksi yang dapat diidentifikasi.
Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, dan sebagian besar
organisme penyebab infeksi berasal dari organisme enterik gram negatif
(misalnya, Escherichia coli atau Klebsiella pneumonia), dengan saluran
gastrointestinal (GI) sebagai sumber utama infeksi.31

3.3.2 Epidemiologi

SBP dapat terjadi pada orang dewasa dan anak-anak. Pada anak-anak,
paling sering terjadi pada neonatus dan anak usia sekitar lima tahun. SBP paling
sering terjadi pada pasien dengan sirosis hepatis. Namun, dapat terjadi sebagai
komplikasi dari penyakit apa pun yang mengakibatkan akumulasi cairan asites,
seperti sindrom Budd-Chiari, gagal jantung kongestif, lupus eritematosus
sistemik, gagal ginjal, atau kanker, dan memiliki prognosis yang buruk. Sekitar 10
sampai 25% pasien dengan asites akan berkembang menjadi SBP, dan kondisi ini
dikaitkan dengan 20% tingkat kematian di rumah sakit. Pada orang dewasa, SBP
biasanya terlihat pada pasien dengan asites perut. Namun mayoritas anak-anak
dengan SBP tidak memiliki asites, alasan dari terjadinya hal tersebut belum
sepenuhnya diketahui.32

3.3.3 Etiologi
SBP paling sering disebabkan oleh organisme aerob gram negatif (75%),
dengan Klebsiella pneumoniae menyumbang 50% di antaranya. Mikroorganisme
aerobik gram positif bertanggung jawab untuk 25% sisanya; yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae atau grup Streptococcus viridans.33 Cairan
50

asites biasanya memiliki tekanan oksigen yang tinggi. Oleh karena itu organisme
anaerobik hampir tidak pernah terlihat. Pada sebagian besar kasus SBP, biasanya
hanya satu organisme penginfeksi yang ditemukan (92%), meskipun sejumlah
kecil kasus telah dilaporkan sebagai infeksi polimikrobial.33

3.3.4 Faktor Risiko


Umumnya pasien yang mengalami SBP memiliki penyakit hati kronis
dengan klasifikasi Child-Pugh kelas C. Kelas ini memiliki skor 10 hingga 15 poin
pada skala Child-Pugh dan memiliki nilai prediksi kelangsungan hidup pasien 1
tahun 45% dan kelangsungan hidup 2 tahun 35%. Pasien sirosis dekompensasi
adalah mereka yang paling berisiko mengalami SBP. Bakteri yang menginfeksi
biasanya berasal dari lumen usus, dimana bakteri dapat bertranslokasi ke kelenjar
getah bening mesenterika dan menyebabkan peritonitis.34
Faktor risiko tambahan untuk SBP termasuk riwayat SBP sebelumnya,
tingkat komplemen yang rendah, dan penurunan sintesis protein hepatik dengan
(1) waktu PT memanjang dan penurunan kadar protein dalam cairan asites (<1
g/dL), dan (2) terapi proton pump inhibitor (PPI) jangka panjang seperti pada
pasien dengan peningkatan pH lambung dengan penggunaan PPI yang mendorong
pertumbuhan dan translokasi bakteri usus. Risiko tinggi SBP juga dimiliki oleh
pasien dengan temuan-temuan berikut ini:34
• Pasien dengan perdarahan gastrointestinal dan sirosis.
• Pasien yang pernah mengalami SBP satu kali atau lebih di masa lalu.
• Pasien sirosis dengan asites di mana cairan asites memiliki kadar
protein rendah (<1 g/dL) atau kadar protein < 1,5 g/dL bersamaan
dengan gagal ginjal (kreatinin > 1,2 mg/dl).
• Pasien sirosis yang dirawat di rumah sakit karena penyebab selain
SBP dan memiliki konsentrasi protein asites < 1 g/dl (10 g/L).

3.3.5 Patofisiologi
Mayoritas organisme terisolasi di SBP (90%) adalah organisme enterik
gram negatif (misalnya, Escherichia coli atau Klebsiella pneumoniae), yang
menunjukkan bahwa sumber utama kontaminasi adalah saluran gastrointestinal
51

(GI). Enterotoksin juga seringkali ditemukan dari cairan asites, yang temuan
tersebut mendukung teori bahwa bakteri yang terlibat dalam terjadinya SBP
bermigrasi secara transmural dari lumen usus ke kavitas peritonealis (translokasi
bakteri).34
Alternatif mekanisme kontaminasi yang diusulkan melibatkan penyebaran
hematogen, dari sumber yang jauh, seperti infeksi saluran kemih, pada individu
yang rentan terhadap penyakit karena sistem imun yang lemah
(imunokompromais). Pasien dengan sirosis biasanya memiliki tingkat
pertumbuhan bakteri yang berlebihan di saluran GI, terutama karena waktu transit
usus yang lebih lama. Hal ini, ditambah dengan penurunan produksi protein oleh
sirosis hati yang menyebabkan tingkat komplemen yang rendah dalam serum (dan
dalam cairan asites) serta menyebabkan terganggunya fungsi sistem fagositik dan
retikuloendotelial. Gangguan tersebut bermanifestasi pada penurunan kemampuan
sistem imun untuk membersihkan mikroorganisme dari tubuh, sehingga
selanjutnya berkontribusi pada pertumbuhan bakteri yang berlebihan, migrasi, dan
ekspansi dalam cairan asites.34

Pasien dengan riwayat kejadian SBP sebelumnya berisiko mengalami SBP


lagi dengan mikroorganisme yang biasanya resistan terhadap obat. Selain itu,
risiko untuk mengalami SBP meningkat seiring bertambahnya usia, penggunaan
penghambat pompa proton (PPI), dan saat menjalani prosedur profilaksis SBP,
seperti dekontaminasi usus selektif.34

3.3.6 Manifestasi klinis


Mayoritas pasien dengan SBP akan datang dengan demam, menggigil, dan
sakit perut, meskipun beberapa pasien mungkin asimtomatik. Pasien dengan SBP
biasanya sudah menunjukan stigmata penyakit hati, dengan SBP sebagai temuan
insidental. Demam adalah gejala yang paling umum ditemui pada pasien dengan
SBP, yang merupakan gejala yang sangat berguna dalam identifikasi SBP, karena
pasien dengan sirosis biasanya cenderung hipotermik. Tanda dan gejala tambahan
termasuk diare, ileus paralitik, ensefalopati onset baru atau eksaserbasi (misalnya,
perubahan status mental) tanpa penyebab lain yang dapat diidentifikasi, gagal
52

ginjal onset baru atau eksaserbasi, atau adanya asites yang tidak membaik dengan
penggunaan obat-obatan diuretik.34
Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien akan mengalami nyeri tekan
pada perut, walaupun respon setiap pasien dapat bervariasi dari hanya
ketidaknyamanan ringan hingga adanya nyeri tekan dan nyeri lepas tekan. Tidak
adanya demam tidak mengesampingkan kecurigaan SBP. 34

3.3.7 Penegakan Diagnosis


Analisis cairan peritoneal harus dilakukan pada pasien dengan asites dan
dicurigai SBP, meperiksaan meliputi analisis jumlah sel, hitung jenis sel, kultur,
tingkat laktat, dan pH cairan asites. Pengambilan cairan peritoneal dapat
dilakukan baik dengan parasentesis diagnostik atau penarikan cairan melalui
kateter peritoneal (biasanya pada pasien yang juga menjalani dialisis peritoneal).
Pada pasien dengan hanya sejumlah kecil asites, USG biasanaya dapat digunakan
untuk memandu prosedur parasentesis.36
Kultur darah dan urin seharusnya diperoleh sebelum memulai terapi
antibiotik karena hasil kultur dapat membantu menunjukkan sumber infeksi dan
memandu terapi antibiotik, serta menurunkan risiko resistensi antibiotik. Prediktor
paling akurat dari SBP adalah leukosit polimorfonuklear (PMN atau granulosit
seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil) dengan jumlah lebih dari 500 sel/uL dalam
sampel cairan asites, jumlah PMN memiliki sensitivitas 86% dan spesifisitas 98%
sebagai penanda SBP. Pada hitungan PMN lebih tinggi dari 250 sel/ul, sensitivitas
meningkat menjadi 93%, sedangkan spesifisitas menurun menjadi 94%.33 PMN
<250/ul menunjukan kemungkinan bacterascites, yakni keadaan yang biasanya
reversibel dengan sendirinya, namun tetap memiliki risiko untuk berkembang
menjadi SBP.35 Hitung jumlah PMN merupakan merupakan parameter yang
diterima secara luas yang diperlukan untuk menegakan diagnosis sebelum
memulai terapi antibiotik empiris pada pasien yang dicurigai SBP. Jika dicurigai
terdapat perforasi di dalam rongga abdomen, pemeriksaan radiologi mungkin
diperlukan, bahkan CT-Scan harus dipertimbangkan karena lebih sensitif untuk
mendeteksi perforasi yang lebih kecil daripada foto polos abdomen.34
53

Tes lainnya yang dapat dipertimbangkan dalam diagnosis SBP adalah


neutrophil-lymphocyte ratio (NLR) pada serum, dan kadar C-reactive protein
(CRP) serum. Nilai NLR dan CRP darah keduanya secara signifikan lebih tinggi
pada SBP. Untuk diagnosis SBP, NLR darah >2,89 memiliki sensitivitas 80,3%
dan spesifisitas 88,9%. Sedangkan nilai CRP >11,3 mg/dL memiliki sensitivitas
88,9% dan spesifisitas 92,6%.37
Jenis pemeriksaan terbaru yang diusulkan untuk penegakan diagnosis SBP
adalah strip reagen rapid test yang mengevaluasi adanya enzim leukocyte esterase
dalam cairan asites. Pemeriksaan ini telah terbukti memiliki sensitivitas 100%
dalam diagnosis SBP bila dibandingkan dengan penghitungan PMN manual.38

3. 3.8 Tatalaksana
Terapi antibiotik empiris wajib dimulai pada semua pasien dengan dugaan
SBP dan jumlah PMN lebih dari 250 sel/mikroliter pada analisis cairan asites,
regimen yang biasa digunakan adalah sefalosporin generasi ketiga (misalnya
cefotaxime dan ceftriaxone) yang diberikan secara intravena,. Aturan ini wajib
dengan pengecualian pada pasien dengan paparan antibiotik beta-laktam baru-
baru ini atau diagnosis SBP karena kecurigaan infeksi nosokomial. Pada pasien
dengan kondisi yang lebih kritis dan tidak merespon dengan pemberian
sefalosporin generasi ketiga, sebaiknya diberikan antibiotik untuk
mikroorganisme resisten obat, misalnya carbapenem yang telah menunjukan
mortalitas lebih rendah pada pasien SBP dengan skor Chronic liver failure–
Sequential Organ Failure Assessment (CLIF-SOFA) > 7.39
Pasien dengan jumlah PMN cairan asites lebih besar dari 500 sel/uL harus
menjalani rawat inap dan diobati dengan terapi antibiotik empiris sesegera
mungkin, antibiotik spesifik dapat disesuaikan dikemudian hari setelah
berdasarkan hasil uji suseptibilitas (kerentanan/kepekaan) atau berdasarkan hasil
kultur.40
Tidak adanya perbaikan setelah 48 jam terapi dapat menunjukkan
kemungkinan peritonitis yang didasari oleh perforasi organ atau pembentukan
abses, seperti peritonitis bakteri sekunder yang mungkin memerlukan terapi
pembedahan. Secara umum, jumlah PMN cairan asites harus dikurangi dengan
54

target PMN berkurang setidaknya 70-75% setelah 48 jam terapi antibiotik.


Penurunan PMN sebanyak 80% menunjukan respon terapi yang baik dan
memprediksi mortalitas yang rendah pada SBP, yakni sebesar 6%.40
Beberapa pasien sirosis dengan SBP dengan serum kreatinin lebih dari 1
mg/dL, blood urea nitrogen (BUN) lebih dari 30mg/dL, atau bilirubin total lebih
dari 4 mg/dL harus diberikan terapi tambahan selain antibiotik, yaitu pemberian
albumin secara intravena. Terapi tambahan albumin telah terbukti mengurangi
mortalitas di rumah sakit dan menurunkan risiko kerusakan ginjal dibandingkan
dengan penggunaan terapi antibiotik saja.41
Pasien dengan risiko tinggi SBP dapat diberikan terapi profilaksis
antibiotik rawat jalan, terapinya termasuk norfloksasin, ciprofloxacin, atau
trimetoprim-sulfametoksazol. Yang termasuk berisiko tinggi antara lain adalah
orang yang pernah mengalami episode SBP sebelumnya, atau cairan asites dengan
jumlah protein rendah (<1 g/dL) atau kasus yang berhubungan dengan perdarahan
saluran cerna.42
Gagal ginjal adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan SBP
dan ditemukan pada 30-40% pasien. Risiko dapat diminimalkan dengan
memberikan albumin intravena. Albumin intravena harus diberikan bila kreatinin
> 1 mg/dl, nitrogen urea darah > 30 mg/dl, atau bilirubin total > 4 mg/dl.
Pengobatan dengan octreotide atau midodrine dapat membantu memitigasi risiko
gagal ginjal.41

3.3.9 Prognosis
Tingkat mortalitas pasien terkait infeksi pada SBP sangat rendah dengan
pengobatan yang tepat, namun angka kematian cukup tinggi pada pasien yang
mengalami sepsis. Terapi antibiotik yang tepat dapat memberikan hasil baik pada
pasien SBP. Kematian yang tidak berhubungan dengan infeksi pada pasien SBP
dapat mencapai 20-40 %, dan angka kematian satu sampai dua tahun masing-
masing adalah 70 dan 80%. Terlepas dari hasil jangka pendek SBP, pasien yang
memiliki penyakit hati yang cukup parah dan berisiko tinggi mengalami SBP
biasanya memiliki prognosis jangka panjang yang buruk. Selain itu, transplantasi
55

hati dapat dipertimbangkan untuk penyintas SBP untuk lebih memperbaiki hasil
akhir keseluruhan pasien.31
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini, akan dibahas tentang seorang pasien berusia 55
tahun yang menjalani rawat inap di ruangan Teratai, RSUD dr. Doris Sylvanus
dengan diagnosis hepatitis B, sirosis hepatis, dan spontaneous bacterial
peritonitis (SBP). Pada bab ini akan dibahas mengenai anamnesis, penegakan
diagnosis, dan tatalaksana dari penyakit yang diderita pasien.

4.1 Anamnesis

Pasien datang dengan keluhan nyeri perut sejak 1 minggu SMRS dan
dirasa memberat 4 hari SMRS, nyeri dikatakan seperti rasa tertusuk-tusuk, paling
di rasakan di ulu hati dan perut kanan atas, tidak menjalar, nyeri dirasakan
awalnya hilang timbul lalu menetap dan semakin memberat, dan nyeri dikatakan
memberat setelah pasien makan. Pasien juga mengeluhkan perut terasa membesar
sejak + 2 minggu SMRS, perasaan kembung dan mual juga terkadang dirasakan
oleh pasien. Dalam 3 minggu SMRS, pasien juga mengakui sempat beberapa kali
muntah, pasien mengaku muntah setelah makan, muntahan berisi makanan dan
tidak disertai darah. Pasien juga mengeluhkan demam yang hilang timbul dalam 3
minggu terakhir, pasien mengaku mengonsumsi parasetamol untuk meredakan
demam. Pasien mengaku pernah mengalami keluhan nyeri perut, badan
menguning, dan kencing seperti teh pada tahun 2018 dan tahun 2021, dan telah
mendapatkan pengobatan hingga keluhan hilang. Karena keluhan yang dirasakan
saat ini, pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus.

Keluhan nyeri perut kanan atas merupakan indikator kuat dari gangguan
yang berasal dari visera yang berada di regio hipokondrium kanan, dengan hati
sebagai organ yang paling dominan. Pada hepatitis B, nyeri perut kuadran kanan
atas yang dirasakan oleh pasien merupakan manifestasi dari proses inflamasi yang
terjadi pada hati.1 Gejala lain yang dirasakan pasien ini adalah muntah, demam,
dan perut yang terasa membesar. Pasien hepatitis juga dapat mengalami nausea,

56
57

muntah, dan demam yang dapat terjadi karena proses inflamasi yang
mempengaruhi tubuh secara sistemik.1 Perut yang membesar dirasakan oleh
pasien sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pembesaran perut dapat
ditemukan pada pasien yang mengalami ascites, yaitu akumulasi cairan di rongga
peritoneum.13 Ascites dapat muncul sebagai komplikasi dari sirosis hepatis pada
hepatitis B, sirosis atau fibrosis pada jaringan hati ini selanjutnya menyebabkan
hipertensi portal, hipertensi portal selanjutnya mengaktifkan sistem RAAS dan
meretensi air dan natrium, sehingga menyebabkan keluarnya cairan dari
intravaskular dan terakumulasi di rongga peritoeal sebagai ascites.13

Pasien mengaku mengeluhkan keluhan nyeri perut, badan menguning, dan


kencing seperti teh pada tahun 2018 dan tahun 2021, dimana pasien mengaku
pertama mengetahui memiliki penyakit hepatitis B pada tahun 2018. Keluhan
tersebut sesuai dengan perjalanan penyakit hepatitis B, khususnya pada fase
ikterik.1 Tanda dan gejala pada fase ikterik dilatarbelakangi oleh aktivitas imun
pada fase immune clearance, dimana sedang terjadi proses pembersihan virus
hepatitis B oleh sistem imun.10 Respon imun menyerang hepatosit yang terinfeksi
dengan menginisiasi proses inflamasi yang menyebabkan cedera pada jaringan
hati yang terinfeksi, cedera tersebut selanjutnya menyebabkan gangguan pada
proses metabolisme bilirubin dan menyebabkan keluhan badan yang menguning
dan urin berwarna merah tua karena tingginya kadar bilirubin dalam darah. Proses
ini juga menyebabkan terganggunya ekskresi bilirubin pada feses, dan
menyebabkan keluhan feses berwarna pucat.10

Pasien mengaku bahwa saat sakit pada tahun 2018 dan 2021, pasien telah
mendapatkan pengobatan hingga gejalanya menghilang, namun pada saat ini
pasien datang dengan keluhan yang serupa. Keluhan yang dialami pasien saat ini
sesuai dengan perjalanan penyakit hepatitis B, dimana pasien dapat mengalami
fase konvalesens yang ditandai dengan resolusi gejala, lalu dapat mengalami
relaps apabila memasuki fase immune escape (reaktivasi).10 Tidak semua pasien
mengalami fase reaktivasi, hal ini dapat terjadi karena sistem imun pasien yang
sedang melemah.
58

4.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik secara umum yang dilakukan pada pasien mendapatkan


temuan tanda-tanda vital dalam batas normal dan status gizi dalam batas normal
(IMT 19,46 kg/m2). Pada pemeriksaan generalisata, hasil pemeriksaan abnormal
yang ditemukan pada pasien diantaranya sklera ikterik, abdomen tampak cembung
(distensi), bising usus 4x/menit, nyeri tekan positif pada regio epigastrium dan
hipokondrium dextra, ditemukan ballottement sign positif, splenomegali (lien
teraba di Schuffner 1), pemeriksaan shifting dullness (+), dan tes undulasi (+).
Pemeriksaan leher, thoraks, abdomen, dan ekstremitas tidak didapatkan hasil yang
abnormal.

Temuan yang dapat ditemukan pada pasien dengan hepatitis B kronis yang
sudah mengalami sirosis hepatis biasanya berupa stigmata penyakit hati kronis,
seperti xanthelasma, ginekomastia, spider nevi, caput medusae, eritema palmaris,
foetor hepaticus, dan asteriksis.19 tanda-tanda yang dapat ditemukan pada pasien
ini sklera ikterik dan asites. Tidak ditemukan adanya xanthelasma, ginekomastia,
caput medusae, spider nevi, eritema palmar, asteriksis. Pada pasien juga
didapatkan pembesaran limpa (splenomegali), pada pasien dengan penyakit hati
parenkim dapat terjadi hipertensi portal dan peningkatan tekanan intravaskular
kolateral pada vasa splenika, sehingga menyebabkan splenomegali.19

Tidak didapati peningkatan suhu tubuh pada pasien karena telah


mendapatkan terapi selama beberapa hari, namun pasien sempat mengeluhkan
demam. Keluhan demam pada pasien ascites merupakan keluhan yang
mengarahkan pada kecurigaan pada SBP, walaupun tidak adanya demam tidak
menyingkirkan diagnosis SBP.34 Pemeriksaan auskultasi abdomen menunjukan
penurunan bising usus (4x/menit) yang diduga terjadi akibat manifestasi dari
sirosis hati dan SBP. Pasien dengan sirosis hepatis memiliki waktu transit usus
yang lebih lama dan pertumbuhan bakteri yang berlebihan, kombinasi dari faktor
tersebut dapat menyebabkan SBP.34 Salah satu manifestasi dari SBP adalah ileus
paralitik, yang juga dapat menyebabkan penurunan bising usus.34 Manifestasi lain
seperti diare dan perubahan status mental tidak ditemukan pada pasien.
59

4.3 Penegakan Diagnosis

Baku emas dalam penegakan diagnosis hepatitis B adalah pemeriksaan


DNA virus. Pada pasien, hepatitis B ditegakan dengan pemeriksaan penanda
serologis berupa antigen permukaan HBV (HBsAg). HBsAg yang positif
menunjukan adanya infeksi dan juga replikasi virus di dalam tubuh, keadaan ini
dapat ditemukan pada infeksi akut, namun juga dapat ditemukan pada infeksi
kronis bila terjadi serokonversi balik.14 Pemeriksaan penanda serologis lain tidak
dilakukan pada pasien ini.

Diagnosis sirosis hepatis didasarkan pada anamnesis keluhan, pemeriksaan


fisik abdomen, dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis pasien yang
mengarah pada sirosis hepatis adalah keluhan badan menguning, kencing
berwarna merah tua dan feses berwarna pucat. Keluhan tersebut merupakan
keluhan yang biasa ditemukan pada penyakit hati kronis yang sudah mengalami
fibrosis hati.2 Pada sirosis, jaringan hati sehat berubah menjadi jaringan parut
sehingga fungsi normal hepatosit untuk membersihkan bilirubin dari darah, tidak
lagi dapat dijalankan, hal tersebut berakibat pada peningkatan bilirubin serum
yang bermanifestasi pada keluhan ikterik (pada >3 mg/dl).13 Pada pasien sirosis
juga bisa didapatkan mengecilnya ukuran hepar, namun pada pemeriksaan pasien
ditemukan liver span dalam batas normal (12 cm). Manifestasi lainnya. Ascites
yang ditemukan pada pasien juga merupakan salah satu temuan yang mengarah
pada diagnosis sirosis, dimana hipertensi portal pada sirosis dapat menyebabkan
akumulasi cairan ascites.19 Pemeriksaan histopatologi dengan biopsi hati tidak
dilakukan pada pasien ini.

Diagnosis SBP diarahkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan


ditegakan melalui konfirmasi pemeriksaan penunjang. Adanya riwayat demam
dan nyeri perut pada pasien merupakan salah satu tanda umum dari SBP. Nyeri
perut yang dirasakan pasien adalah nyeri perut lokal yang menetap di regio
hipokondrium kanan dan epigastrium. Diagnosis SBP baru dapat ditegakan
setelah pemeriksaan cairan asites yang menunjukan hasil indikatif terhadap SBP.
Pada pasien dilakukan analisis cairan ascites, dengan hasil glukosa 85 mg/dl,
protein 2,48 g/dl, albumin 1,12 g/dl, leukosit 554/μl dengan PMN 17% (94,1/μl),
60

hasil tersebut menunjukan kesan cairan transudat. Cairan ascites ditemukan


berwarna merah, keruh, dan terdapat bekuan, pada pemeriksaan Rivalta test
didapatkan hasil positif yang mengindikasikan hasil eksudat. Pada literatur,
ditemukan bahwa hitung PMN >500/μl memiliki sensitifitas 86% dan spesifisitas
98%.34 Pada pasien ini didapatkan hasil PMN yang rendah, PMN <250/μl
menunjukan keadaan bacterascites, belum dikatakan sebagai SBP namun memiliki
potensi untuk berlanjut menjadi SBP.36 Pemeriksaan lain seperti pemeriksaan
CRP, laktat dehidrogenase, dan kultur mikroorganisme tidak dilakukan kepada
pasien.

4.4 Tatalaksana

4.4.1 Non-medikamentosa

Pasien mendapatkan tatalaksana berupa intrevenous fluid drops (IVFD)


NaCl 3% 1 kolf (500cc) dalam 48 jam, dilanjutkan dengan Dextrose 5% 1000
cc/24 jam. NaCl 3% adalah cairan infus inttravena dengan kandungan NaCl 3
gr/100 ml, mengandung elektrolit berupa ion Na+ 513 mEq/l dan Cl- 513 mEq/l.
Cairan tersebut merupakan cairan hipertonis yang dapat digunakan dalam koreksi
hiponatremia. Pasien ini mengalami hiponatremia berat (Na+ <125 mmol/l)
dengan Na+ 123 mmol/l. Sehingga pasien mendapatkan infus NaCl 3% selama 48
jam, setelah itu melakukan evaluasi ulang kadar Na+.43 Pasien juga mendapatkan
lanjutan infus doxtrose 5% 1000 cc/24 jam untuk menjaga agar pasien tetap
normoglikemik.

4.4.2 Medikamentosa

Pasien mendapatkan terapi injeksi intravena berupa diuretik, antibiotik,


dan proton pump inhibitor, serta terapi oral berupa analog nukleosida oral,
diuretik hemat kalium, albumin, penyekat beta, dan laktulosa. Injeksi furosemide
1x40 mg yang didapatkan pasien merupakan salah satu obat diuretik loop yang
bekerja dengan menghambat reabsorpsi natrium dan klorida di tubulus proksimal,
61

distal, dan lengkung henle, sehingga menyebabkan ekskresi air yang berlebihan
disertai dengan ekskresi ion natrium, klorida, magnesium, dan kalsium. Salah satu
indikasi dari furosemide adalah adanya retensi cairan karena gangguan hati,
namun memiliki dapat menyebabkan efek samping hiponatremi dan hipokalemi.44
Pasien mendapatkan injeksi intravena cefotaxime 3x2 gram, cefotaxime
adalah antibiotik sefalosporin generasi ke 3 yang merupakan lini pertama dalam
penanganan SBP.39 Kondisi yang relatif stabil dapat diamati pada pasien,
perbaikan keadaan juga teramati setelah inisiasi terapi, seperti keluhan demam
yang tidak lagi dirasakan pada hari-hari selanjutnya. Oleh sebab itu, tidak perlu
diberikan terapi antibiotik untuk mikroorganisme resisten seperti carbapenem.

Lansoprazole adalah proton pump inhibitor (PPI) yang diterima oleh


pasien, lansoprazole berfungsi untuk menurunkan keasaman lambung. Pada kasus
sirosis hati, penggunaan PPI dapat meningkatkan risiko terjadinya SBP karena
perubahan mikrobiota saluran cerna dan dapat mempermudah translokasi
mikroorganisme, serta dapat meningkatkan risiko ensefalopati hepatikum. 45
Penggunaan PPI sebaiknya dihindari pada pasien dengan sirosis hepatis, namun
bila sangat diperlukan, penggunaan omeprazole dan rebeprazole dianggap masih
aman untuk siroris hati dengan kelas Child-Turrcotte-Pugh (CTP) A dan B,
sedangkan untul CTP C hanya boleh digunakan pantoprazole dengan dosis
maksimum 20 mg.46

Lamivudine merupakan analog nukleosida oral yang bekerja dengan


menghambat aktivitas polimerase sehingga menghambat replikasi virus, pada
pasien diberikan lamivudine 1x100 mg tablet oral. Lamivudine merupakan obat
yang direkomendasikan dalam penanganan hepatitis B kronis, beberapa penelitian
terbaru juga merekomendasikan terapi lain sebagai lini pertama dalam
mensupresi aktivitas virus, misalnya entecavir dan tenofovir.18

Spironolactone merupakan salah satu jenis antagonis reseptor


mineralokortikoid dengan mekanisme kerja menghambat reabsorpsi air dan
natrium, serta meretensi kalium, sehingga disebut juga diuretik hemat kalium.
Spironolactone telah direkomendasikan untuk meringankan gejala retensi cairan
62

yang diakibatkan oleh gagal jantung atau gagal hati. Pada pasien, diberikan
spironolactone 1 x 25 mg dalam bentuk tablet oral.47

Pasien menerima suplemen albumin oral, dengan tujuan untuk


meningkatkan kadar albumin serum. Albumin merupakan protein plasma besar
yang diproduksi di hati, albumin berperan sebagai protein transpor dan menjaga
tekanan onkotik plasma agar tetap normal, sehingga mencegah ekstravasasi
plasma ke ruang ekstravaskular. Albumin disintesis di hati, sehingga sirosis hati
dapat menyebabkan hipoalbuminemia, yang merupakan faktor prognostik yang
buruk untuk kesembuhan pasien. Pemberian albumin diharapkan dapat meningkan
albumin serum dan meningkatkan hasil akhir pasien.48

Laktulosa adalah obat yang dapat digunakan untuk mengatasi keluhan


susah buang air besar, pada pasien diberikan opilax syrup 3x15 ml yang
merupakan laktulosa. Laktulosa merupakan suatu disakarida yang dapat dipecah
oleh mikroorganisme kolon dan menghasilkan produk asam laktat yang
mengasamkan kolon, menurunkan produksi amonia dengan mengubahnya
menjadi ion amonium, dan mempercepat waktu transit usus sehingga mengurangi
reabsorpsi amonia. Laktulosa, disamping memperlancar BAB, juga dapat
menurunkan risiko ensefalopati, sehingga dapat digunakan pada pasien dengan
risiko ensefalopati, seperti pada sirosis hati.49

Pasien mendapatkan tablet oral propranolol 3x10 mg. Propranolol


merupakan penyekat beta non-selektif yang biasa digunakan untuk menurunkan
denyut jantung. Penyekat beta non-selektif juga dapat digunakan untuk mencegah
dekompensasi lebih lanjut dari sirosis hati, menyebabkan vasokonstriksi arteria
splanknika dan menurunkan aliran darah kolateral ke sistem portal, mencegah
hipertensi portal, dan mencegah varises esofageal.50 Propranolol juga terbukti
menurunkan mortalitas pada pasien dengan karsinoma hepatoselular yang tidak
bisa direseksi atau yang mengalami metastasis.51
63

4.5 Tindak Lanjut

Pasien telah mendapatkan tatalaksana sesuai dengan diagnosis yang


ditegakan, terapi menghasilkan respon yang baik dari secara simtomatik, pasien
mengakui keluhan demam, nyeri perut dan mual berkurang. Pasien menjalani
pungsi ascites untuk mengevakuasi cairan ascites, dan didapatkan hasil +4,5 liter.
Beberapa parameter laboratorium dan tanda-tanda klinis, namun beberapa
parameter laboratorium juga menunjukan prognostik yang kurang baik.

Pasien mengalami peningkatan serum bilirubin >3 g/dl, albuminemia


(<2,8 g/dl), dan ascites, pasien tidak menunjukan tanda ensefalopati hepatikum
dan nilai PT tidak diketahui. Akumulasi skor dari parameter yang ada menunjukan
pasien memiliki skor 9 dan menempatkan pasien berada pada kelas B pada
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh (atau bahkan kelas C), kelas B pada klasifikasi
CTP menunjukan tingkat kelangsungan hidup satu tahun sekitar 80%, dan dua
tahun 60%. Pasien menjalani pemeriksaan CT-Scan abdomen dengan dan tanpa
kontras dan mendapatkan hasil berupa gambaran karsinoma hepatoseluler,
splenomegali, ascites, dan spondilosis lumbalis. Tidak dilakukan pemeriksaan
biopsi jaringan hati, namun pasien dirujuk agar mendapatkan pemeriksaan dan
penanganan yang lebih lanjut.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Hepatitis B adalah peradangan pada hati (hepar), yang disebabkan oleh
virus hepatitis B. Infeksi hepatitis B dapat berupa infeksi akut (<6 bulan) atau
infeksi kronis (>6 bulan), infeksi hepatitis kronis seringkali menyebabkan
komplikasi seperti ascites, sirosis hepatis, SBP, hingga ensefalopati hepatikum.
Sirosis hepatitis dapat menyebabkan ascites dan dapat mengarah pada SBP.

Diagnosis hepatitis melibatkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan


ditegakan dengan tes laboratorium berupa pemeriksaan penanda serologis virus
hepatitis B. Diagnosis sirosis hepatitis ditegakan melalui pemeriksaan fisik hepar
dan pencitraan seperti USG, dengan baku emas penegakan diagnosisnya adalah
biopsi hepar. Diagnosis SBP dilakukan dengan anamnesis keluhan demam dan
nyeri perut yang muncul pada pasien ascites, dan dapat ditegakan dengan
pemeriksaan cairan ascites, dimana cairan ascites harus menunjukan tanda-tanda
eksudat atau memiliki hitung jenis leukosit PMN >250/ul. Penegakan diagnosis
dari komplikasi hepatitis B seperti sirosis dan SBP harus disesuaikan dengan
riwayat perjalanan penyakit yang diperoleh dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
pada pasien.

Terapi yang diberikan kepada pasien hepatitis B kronis dapat berupa


analog nukleosida oral, antibiotik, albumin, dan penyekat beta non-selektif, yang
disesuaikan dengan keadaan penyakit pasien. Terapi juga meliputi terapi
simptomatik, seperti laktulosa, proton pump inhibitor, dan diuretik, sesuai
keluhan yang muncul, namun sebaiknya bukan yang merupakan kontraindikasi
bagi kondisi penyakit hati kronis pasien. Pasien dengan penyakit hati yang sudah
mengalami komplikasi menjadi karsinoma hepatoseluler harus segera ditangani di
fasilitas kesehatan yang memadai untuk mencegah dekompensasi lebih lanjut.

64
DAFTAR PUSTAKA

1. Mehta P, Reddivari AKR. Hepatitis. [Updated 2021 Dec 31]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554549/
2. Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2021 Nov 5]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482419/
3. Ameer MA, Foris LA, Mandiga P, et al. Spontaneous Bacterial Peritonitis.
[Updated 2021 Dec 29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448208/
4. Schweitzer A, Horn J, Mikolajczyk RT, Krause G, Ott JJ. Estimations of
worldwide prevalence of chronic hepatitis B virus infection: a systematic
review of data published between 1965 and 2013. Lancet.
2015;386(10003):1546–55.
5. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons with chronic
hepatitis B infection. Geneva: World Health Organization; 2015.
6. Terrault NA, Lok ASF, McMahon BJ, Chang KM, Hwang JP, Jonas MM,
Brown RS, Bzowej NH, Wong JB. Update on prevention, diagnosis, and
treatment of chronic hepatitis B: AASLD 2018 hepatitis B guidance.
Hepatology. 2018 Apr;67(4):1560-1599.
7. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HL, Chen CJ et al. Asian-
Pacific clinical practice guidelines on the management of hepatitis B: a
2015 update. Hepatol Int. 2016;10(1):1–98.
8. Schweitzer A, Horn J, Mikolajczyk RT, Krause G, Ott JJ. Estimations of
worldwide prevalence of chronic hepatitis B virus infection: a systematic
review of data published between 1965 and 2013. Lancet. 2015 Oct
17;386(10003):1546-55.
9. World Health Organization. WHO guidelines on hepatitis B and C testing.
World Health Organization; 2017.
10. Suk‐Fong Lok A. Hepatitis B treatment: what we know now and what
remains to be researched. Hepatology communications. 2019 Jan;3(1):8-
19.
11. Mani H, Kleiner DE. Liver biopsy findings in chronic hepatitis B.
Hepatology. 2009 May;49(5 Suppl):S61-71
12. Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C., & Perkins, J. A. Robbins basic
pathology (Tenth edition.). Philadelphia: Elsevier. 2018. p311
13. Tripathi N, Mousa OY. Hepatitis B. [Updated 2021 Jul 18]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK555945/
14. Song JE, Kim DY. Diagnosis of hepatitis B. Ann Transl Med. 2016
Sep;4(18):338. doi: 10.21037/atm.2016.09.11. PMID: 27761442; PMCID:
PMC5066055.
15. Trépo C, Chan HL, Lok A. Hepatitis B virus infection. Lancet. 2014 Dec
06;384(9959):2053-63.

65
16. Luo A, Jiang X, Ren H. Entecavir-based combination therapies for chronic
hepatitis B: A meta-analysis. Medicine (Baltimore). 2018
Dec;97(51):e13596.
17. Chen HL, Lee CN, Chang CH, Ni YH, Shyu MK, Chen SM, Hu JJ, Lin
HH, Zhao LL, Mu SC, Lai MW, Lee CL, Lin HM, Tsai MS, Hsu JJ, Chen
DS, Chan KA, Chang MH., Taiwan Study Group for the Prevention of
Mother-to-Infant Transmission of HBV (PreMIT Study). Taiwan Study
Group for the Prevention of Mother-to-Infant Transmission of HBV
PreMIT Study. Efficacy of maternal tenofovir disoproxil fumarate in
interrupting mother-to-infant transmission of hepatitis B virus.
Hepatology. 2015 Aug;62(2):375-86.
18. Chen CH, Lin CL, Hu TH, Hung CH, Tseng PL, Wang JH, Chang JY, Lu
SN, Chien RN, Lee CM. Entecavir vs. lamivudine in chronic hepatitis B
patients with severe acute exacerbation and hepatic decompensation. J
Hepatol. 2014 Jun;60(6):1127-34.
19. Sharma B, John S. Hepatic Cirrhosis. [Updated 2021 Nov 5]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482419/
20. Li TY, Yang Y, Zhou G, Tu ZK. Immune suppression in chronic hepatitis
B infection associated liver disease: A review. World journal of
gastroenterology. 2019 Jul 21;25(27):3527.
21. Ezhilarasan D. Endothelin-1 in portal hypertension: the intricate role of
hepatic stellate cells. Experimental Biology and Medicine. 2020
Oct;245(16):1504-12.
22. Shenoda B, Boselli J. Vascular syndromes in liver cirrhosis. Clinical
journal of gastroenterology. 2019 Oct;12(5):387-97.
23. Privitera G, Meli G. An unusual cause of anemia in cirrhosis: spur cell
anemia, a case report with review of literature. Gastroenterology and
Hepatology from Bed to Bench. 2016;9(4):335.
24. Lum EL, Homkrailas P, Bunnapradist S. Evaluation of renal disease in
patients with cirrhosis. Journal of clinical gastroenterology. 2020 Apr
6;54(4):314-21.
25. Tumgor G. Cirrhosis and hepatopulmonary syndrome. World Journal of
Gastroenterology: WJG. 2014 Mar 14;20(10):2586.
26. Bhandari A, Mahajan R. Skin changes in cirrhosis. Journal of Clinical and
Experimental Hepatology. 2021 Dec 28.
27. Bawankule S, Kumar S, Gaidhane A, Quazi M, Singh AP. Clinical profile
of patients with hepatic encephalopathy in cirrhosis of liver. Journal of
Datta Meghe Institute of Medical Sciences University. 2019 Jul
1;14(3):130.
28. Panackel C, Ganjoo N, Saif R, Jacob M. Decompensated Liver Disease:
Liver Transplantation is the Best Option, Not the Last Option. Kerala
Medical Journal. 2016 Mar 30;9(1):11-27.
29. Acharya G, Kaushik RM, Gupta R, Kaushik R. Child-Turcotte-Pugh
Score, MELD Score and MELD-Na Score as predictors of short-term
mortality among patients with end-stage liver disease in Northern India.
Inflammatory intestinal diseases. 2020;5(1):1-0.

66
30. Dong V, Karvellas CJ. Acute-on-chronic liver failure: Objective admission
and support criteria in the intensive care unit. JHEP Reports. 2019 May
1;1(1):44-52.
31. Song DS. Spontaneous bacterial peritonitis. The Korean journal of
gastroenterology. 2018 Aug;72(2):56-63.
32. Oey RC, de Man RA, Erler NS, Verbon A, van Buuren HR. Microbiology
and antibiotic susceptibility patterns in spontaneous bacterial peritonitis: A
study of two Dutch cohorts at a 10-year interval. United European
Gastroenterol J. 2018 May;6(4):614-621.
33. Oey RC, van Buuren HR, de Jong DM, Erler NS, de Man RA.
Bacterascites: A study of clinical features, microbiological findings, and
clinical significance. Liver Int. 2018 Dec;38(12):2199-2209.
34. Ameer MA, Foris LA, Mandiga P, et al. Spontaneous Bacterial Peritonitis.
[Updated 2021 Dec 29]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448208/
35. MacIntosh T. Emergency Management of Spontaneous Bacterial
Peritonitis - A Clinical Review. Cureus. 2018 Mar 01;10(3):e2253.
36. Marciano S, Diaz JM, Dirchwolf M, Gadano A. Spontaneous bacterial
peritonitis in patients with cirrhosis: incidence, outcomes, and treatment
strategies. Hepatic medicine: evidence and research. 2019;11:13.
37. Mousa N, Besheer T, Abdel-Razik A, Hamed M, Deiab AG, Sheta T,
Eldars W. Can combined blood neutrophil to lymphocyte ratio and C-
reactive protein be used for diagnosis of spontaneous bacterial peritonitis?.
British journal of biomedical science. 2018 Apr 3;75(2):71-5.
38. Khairnar H, Ingle M, Pandey V, Kolhe K, Chauhan S, Sawant P, Walke S,
Chaudhary V. Accuracy of Leukocyte Esterase Reagent Strip (LERS) test
for rapid bedside screening of spontaneous bacterial peritonitis: An
observational study. Journal of Family Medicine and Primary Care. 2020
Nov;9(11):5542.
39. Kim SW, Yoon JS, Park J, Jung YJ, Lee JS, Song J, Lee HA, Seo YS, Lee
M, Park JM, Choi DH. Empirical treatment with carbapenem vs third-
generation cephalosporin for treatment of spontaneous bacterial peritonitis.
Clinical Gastroenterology and Hepatology. 2021 May 1;19(5):976-86.
40. Saffo S, To UK, Santoiemma PP, Laurito M, Haque L, Rabiee A, Verna
EC, Angarone MP, Garcia-Tsao G. Changes in Ascitic Fluid
Polymorphonuclear Cell Count After Antibiotics Are Associated With
Mortality in Spontaneous Bacterial Peritonitis. Clinical Gastroenterology
and Hepatology. 2021 Jul 14.
41. Fernández J, Angeli P, Trebicka J, Merli M, Gustot T, Alessandria C,
Aagaard NK, de Gottardi A, Welzel TM, Gerbes A, Soriano G, Vargas V,
Albillos A, Salerno F, Durand F, Bañares R, Stauber R, Prado V, Arteaga
M, Hernández-Tejero M, Aziz F, Morando F, Jansen C, Lattanzi B,
Moreno C, Campion D, Gronbaek H, Garcia R, Sánchez C, García E,
Amorós A, Pavesi M, Clària J, Moreau R, Arroyo V. Efficacy of Albumin
Treatment for Patients with Cirrhosis and Infections Unrelated to

67
Spontaneous Bacterial Peritonitis. Clin Gastroenterol Hepatol. 2020
Apr;18(4):963-973.e14. [PubMed] [Reference list]
42. Mücke MM, Mücke VT, Graf C, Schwarzkopf KM, Ferstl PG, Fernandez
J, Zeuzem S, Trebicka J, Lange CM, Herrmann E. Efficacy of norfloxacin
prophylaxis to prevent spontaneous bacterial peritonitis: a systematic
review and meta-analysis. Clinical and Translational Gastroenterology.
2020 Aug;11(8).
43. Hoorn, Ewout J, and Robert Zietse. “Diagnosis and Treatment of
Hyponatremia: Compilation of the Guidelines.” Journal of the American
Society of Nephrology : JASN vol. 28,5 (2017): 1340-1349.
doi:10.1681/ASN.2016101139
44. Khan TM, Patel R, Siddiqui AH. Furosemide. [Updated 2022 Jan 19]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499921/?
report=classic
45. Wang J, Wu Y, Bi Q, Zheng X, Zhang J, Huang W. Adverse outcomes of
proton pump inhibitors in chronic liver disease: a systematic review and
meta-analysis. Hepatology International. 2020 May;14(3):385-98.
46. Weersink RA, Bouma M, Burger DM, Drenth JP, Harkes‐Idzinga SF,
Hunfeld NG, Metselaar HJ, Monster‐Simons MH, van Putten SA, Taxis K,
Borgsteede SD. Safe use of proton pump inhibitors in patients with
cirrhosis. British Journal of Clinical Pharmacology. 2018 Aug;84(8):1806-
20.
47. Patibandla S, Heaton J, Kyaw H. Spironolactone. Updated 2021 Jul 18].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554421/?
report=classic
48. Walayat S, Martin D, Patel J, Ahmed U, N. Asghar M, Pai AU, Dhillon S.
Role of albumin in cirrhosis: from a hospitalist’s perspective. Journal of
community hospital internal medicine perspectives. 2017 Jan 2;7(1):8-14.
49. Mukherjee S, John S. Lactulose. [Updated 2021 Jul 19]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536930/?
report=classic
50. Rodrigues SG, Mendoza YP, Bosch J. Beta-blockers in cirrhosis:
evidence-based indications and limitations. JHEP reports. 2020 Feb
1;2(1):100063.
51. Chang PY, Chung CH, Chang WC, Lin CS, Lin HH, Dai MS, Ho CL,
Chien WC. The effect of propranolol on the prognosis of hepatocellular
carcinoma: A nationwide population-based study. PloS one. 2019 May
24;14(5):e0216828.
52. Chisari FV, Isogawa M, Wieland SF. Pathogenesis of hepatitis B virus infection.
Pathol Biol (Paris). 2010 Aug;58(4):258-66. doi: 10.1016/j.patbio.2009.11.001.
Epub 2010 Feb 8. PMID: 20116937; PMCID: PMC2888709.

68

Anda mungkin juga menyukai