PENDAHULUAN
Gastrointestinal stromal tumours (GISTs) adalah neoplasma mesenkimal
yang berasal dari saluran pencernaan. Tumor ini diperkirakan berkembang dari sel
interstisial Cajal (ICC), intestinal pacemaker cell yang terletak di pleksus mienterikus
saluran pencernaan, dan paling sering terjadi di lambung (55%), usus halus (35%),
atau rektum (5%) (Jakhetiya et al., 2016) Sekitar 75-80% GIST memiliki mutasi
pengaktifan pada reseptor tirosin kinase KIT, sementara 5-10% memiliki mutasi pada
platelet-derived growth factor receptor alpha (PDGFRA). Minoritas tambahan, yang
sebelumnya disebut sebagai GIST “wild type”, memiliki mutasi pada BRAF, NF1,
atau defisiensi enzim suksinat dehidrogenase (SDH). Namun demikian, aktivasi KIT
tampaknya terjadi di hampir semua GIST, terlepas dari status mutasi KIT (D’Angelo
and Pollack, 2018).Terpai standar GIST terlokalisir adalah eksisi komplit pada lesi
tanpa diseksi lymph node (III, A). Pendekatan laparoskopik dapat dilakukan pada
pasien dengan ukuran tumor yang besar, dikarenakan risiko ruptur tumor yang
berkaitan dengan risiko tinggi relaps. Eksisi RO (eksisi di mana batas antara tumor
dan jaringan normal terlihat jelas) adalah tujuannya. Namun, pada low-risk GIST
terlokalisir dengan lokasi sulit, keputusan eksisi R1 (batas antara tumor dengan sel
sehat terlihat dengan mikroskop) dapat diterima. Jika R1 eksisi dikerjakan, re-eksisi
tidak direkomendasikan untuk rutin dilakukan juga bukan patokan untuk memulai
terapi ajuvan. Terapi ajuvan dengan imatinib 400 mg per hari selama 3 tahun
direkomendasikan pada GIST risiko tinggi relaps dan berkaitan dengan relapse-free
survival (RFS) (Casali, et al., 2022).
Sejak penemuan mutasi pada gen KIT dan PDGFRA, pemahaman tentang
fitur molekuler dan klinis GIST telah meningkat secara substansial, dan diagnosis
serta tatalaksana GIST telah berubah dengan cepat dan dramatis (Nishida, et al.,
2016). Berdasarkan temuan biologis ini, sebagian besar strategi terapi yang
ditargetkan saat ini terhadap GIST ditujukan terhadap KIT dan reseptor tirosin kinase
terkait (Li &and Raut, 2019). Temuan ini telah menjadi terobosan revolusioner dalam
pengobatan pasien dengan GIST (Dudzisz-Śledź et al., 2021) Makalah ini akan
Imatinib
Pada tahun 2002, FDA menyetujui Imatinib mesylate (STI571, Gleevec TM,
Novartis Pharmaceuticals, Basel, Swiss) untuk tatalaksana pasien dengan GIST
stadium lanjut, metastatik atau tidak dapat direseksi. Persetujuan ini didasarkan pada
hasil studi acak multi-senter yang mengevaluasi keamanan dan efikasi imatinib pada
dua tingkat dosis (400 mg dan 600 mg setiap hari) pada 147 pasien dengan GIST
lanjut. (Poveda et al., 2017; Kelly, Sainz and Chi, 2021). Saat ini imatinib juga
diindikasikan sebagai terapi adjuvant atau GIST primer yang direseksi sepenuhnya
(Longo, 2017). Uji klinis prospektif pada GIST yang tidak dapat direseksi atau
metastasis telah menunjukkan bahwa Partial remissions (PR, 40%) dan stable disease
(SD, 36%) adalah respons paling umum terhadap pengobatan. Complete response
(CR) jarang terjadi (5-7%). Penggunaan imatinib yang lebih lama pada GIST tingkat
lanjut meningkatkan persentase PR pada pasien dengan stabilisasi pada bulan-bulan
pertama pengobatan. Kelangsungan hidup keseluruhan (overall survival/OS) pada
pasien dengan GIST lanjut adalah sekitar 5 tahun, yaitu sekitar empat kali lebih lama
dari data historis (OS rata-rata 12-15 bulan). Median progression-free survival (PFS)
pada pasien yang diobati dengan imatinib adalah 2-3 tahun (Dudzisz-Śledź et al.,
2021).
Pengobatan dimulai dengan dosis oral imatinib 400 mg sekali sehari. Saat ini
direkomendasikan bahwa dosis ditingkatkan menjadi 800 mg (2 × 400 mg/hari) pada
perkembangan penyakit. Dosis standar Imatinib 400 mg per hari ditetapkan dari dua
uji coba fase III pada GIST metastatik dengan immunostaining positif untuk KIT
(EORTC-ISG-AGITG y NASG-S0033). Dalam kedua percobaan dosis harian 400 mg
versus 800 dibandingkan tanpa perbedaan kelangsungan hidup dan dengan profil
toksisitas yang lebih menguntungkan yang mendukung dosis yang lebih rendah.
Tingkat manfaat klinis (CR, PR dan SD) untuk 400 mg dan 800 mg masing-masing
adalah 90% dan 88%. Dalam meta-analisis yang menganalisis 1640 pasien dalam uji
coba yang disebutkan, terdapat keuntungan dalam hal PFS untuk kelompok dosis
tinggi. Namun demikian, tidak ada keuntungan kelangsungan hidup yang terdeteksi
dan dengan demikian dosis standar yang ditetapkan adalah 400 mg setiap hari
(Poveda et al., 2017; Dudzisz-Śledź et al., 2021).
Imatinib Preoperatif
Imatinib Adjuvant
Pasien harus ditimbang secara teratur saat diterapi dengan imatinib karena
adanya efek samping retensi cairan. Perubahan hematologis seperti anemia,
neutropenia atau trombositopenia, serta peningkatan enzim hati juga telah diamati.
Tatalaksana pasien yang optimal harus mencakup pemeriksaan laboratorium rutin,
seperti hitung darah lengkap dan pemantauan fungsi hati. Pasien juga harus dipantau
untuk munculnya perdarahan gastrointestinal atau intra-tumor. Munculnya efek
samping dapat dikelola dengan tepat dengan penyesuaian dosis (Reichardt, 2018).
Durasi terapi yang lama dan efek samping tingkat ringan hingga sedang yang
persisten dapat berdampak pada kepatuhan pengobatan dan akibatnya pada hasil
penyakit. Oleh karena itu, edukasi yang baik kepada pasien mengenai pentingnya
kepatuhan dan potensi interaksi dengan obat atau makanan lain serta manajemen efek
samping yang tepat dan cepat sangat penting (Poveda et al., 2017)
Tabel 1. Uji klinis di GIST dengan target terapeutik di jalur PI3K/AKT/mTOR.(Duan, Haybaeck
and Yang, 2020)
Pada tahun 2014, peneliti menemukan bahwa pasien dengan mutasi CD117
ekson 11 memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik daripada mutasi
CD117 ekson 9. Peneliti melihat luaran klinis 10 tahun dari percobaan SWOG fase
III, yang berfokus pada penggunaan imatinib, pada kelangsungan hidup jangka
panjang pada pasien dengan GIST metastatik. Penelitian observasional Percobaan
mempelajari dua dosis imatinib pada 695 pasien dengan GIST lanjut yang tidak dapat
dioperasi dan menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup jangka panjang (8
tahun atau lebih) adalah 27% untuk mereka yang mendapat dosis 400 mg/hari dan
25% untuk mereka yang mendapat dosis 800 mg/hari (Parab et al., 2019)
Tabel 2 Respon klinis GIST tingkat lanjut terhadap imatinib 400 mg berkorelasi dengan status
mutasi (Parab et al., 2019)
Sunitinib
Dalam studi retrospektif yang dilakukan oleh Boikos et al., pada pasien
dengan GIST SDH-deficient, terdapat efikasi terbatas secara keseluruhan. Selain itu,
Regorafenib
Dosis yang dianjurkan adalah 160 mg diminum sekali sehari selama 21 hari
pertama setiap siklus 28 hari. Pengobatan dilanjutkan sampai perkembangan penyakit
atau toksisitas yang tidak dapat diterima. Regorafenib, dalam kombinasi dengan
pengobatan simtomatik yang optimal, secara signifikan memperpanjang PFS pada
populasi GIST progresif setelah semua lini pengobatan sebelumnya disetujui
dibandingkan dengan kelompok plasebo. PFS rata-rata pada kelompok regorafenib
lebih dari lima kali lipat lebih lama daripada kelompok placebo (Dudzisz-Śledź et al.,
2021). Profil toksisitas regorafenib konsisten dengan inhibitor kinase lain dengan
spektrum target yang sama. Efek samping tingkat 3 atau lebih tinggi dilaporkan pada
61% pasien yang menerima regorafenib, termasuk reaksi kulit tangan-kaki (56%),
hipertensi (49%) dan diare (40%). Pada pasien yang mengalami efek samping obat,
diperlukan dosis yang terputus-putus atau pengurangan dosis. Interupsi dosis dan
pengurangan dosis untuk efek samping diperlukan pada 58% dan 50% pasien yang
menerima regorafenib, meskipun tingkat penghentian pengobatan rendah. Menurut
laporan awal dari percobaan fase II, regorafenib, tidak seperti sunitinib, tampaknya
aktif melawan beberapa mutasi sekunder KIT pada ekson 17, meskipun data lebih
lanjut masih diperlukan (Jakhetiya et al., 2016; Poveda et al., 2017)
Ripretinib
Uji coba fase III nilotinib versus imatinib sebagai terapi lini pertama untuk
GIST yang tidak dapat direseksi atau metastasis dihentikan lebih awal ketika PFS 2
tahun yang secara signifikan lebih tinggi tercatat pada kelompok imatinib (59,2%
berbanding 51,6% pada nilotinib). Nilotinib mungkin bermanfaatr pada pasien
dengan tumor yang mengandung mutasi KIT ekson 11 yang tidak dapat
menggunakan imatinib, meskipun umumnya sesuai untuk melanjutkan dengan agen
yang disetujui FDA terlebih dahulu sebelum mencoba obat-obatan seperti nilotinib
(Mahvi, Keung and Raut, 2017).
Ponatinib adalah TKI generasi ketiga yang sangat aktif pada pasien CML
dengan resistensi terhadap beberapa TKI. Selain itu, adalah salah satu dari sedikit
inhibitor KIT yang telah diuji dalam panel besar varian KIT mutan. Ponatinib
berpotensi menekan semua mutasi sekunder KIT dengan pengecualian V654A. Tidak
seperti TKI lain yang disetujui, ponatinib aktif melawan kinase mutan ekson 17 D816
KIT. Data awal dari uji coba fase II baru-baru ini dilaporkan. Tingkat manfaat klinis
(CR, PR, atau SD 16 minggu) adalah 55% pada pasien GIST yang diobati
sebelumnya (74% memiliki 4 agen sebelumnya, termasuk regorafenib) dengan mutasi
KIT ekson 11 primer. Uji coba fase II kedua (POETIG) akan mengevaluasi lebih
lanjut aktivitas ponatinib dan toksisitas pada pasien GIST yang resistenan terhadap
imatinib (Poveda et al., 2017).
Pencarian literatur mengungkapkan 313 uji klinis untuk GIST, termasuk lebih
dari 86 molekul yang dipelajari untuk menemukan terapi baru yang efektif. Terapi
obat lini pertama imatinib (STI571) telah digunakan dalam 152 uji klinis, sunitinib
pada 74, dan regorafenib (BAY73-4506) pada 21. Uji klinis yang sedang berlangsung
disajikan pada Tabel 2 Melalui uji klinis fase I, II, III, dan IV, para ilmuwan mencoba
untuk menargetkan GIST dengan modalitas baru dan molekul baru atau
menggabungkan pilihan terapi klasik (imatinib) dengan imunoterapi (anti-PDL1 atau
anti-PD1). (Vallilas et al., 2021)
Tabel 3. Uji klinis Imatinib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)
Tabel 4. Uji klinis Sunitinib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)
Tabel 5. Uji klinis Regorafenib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)
RINGKASAN