Anda di halaman 1dari 19

BAB III

MANAJEMEN DAN THE ROLE OFPERAN TARGETED THERAPY PADA


IN GASTROINTESTINAL STROMAL TUMOR (GIST)

PENDAHULUAN 
Gastrointestinal stromal tumours (GISTs) adalah neoplasma mesenkimal
yang berasal dari saluran pencernaan. Tumor ini diperkirakan berkembang dari sel
interstisial Cajal (ICC), intestinal pacemaker cell yang terletak di pleksus mienterikus
saluran pencernaan, dan paling sering terjadi di lambung (55%), usus halus (35%),
atau rektum (5%) (Jakhetiya et al., 2016) Sekitar 75-80% GIST memiliki mutasi
pengaktifan pada reseptor tirosin kinase KIT, sementara 5-10% memiliki mutasi pada
platelet-derived growth factor receptor alpha (PDGFRA). Minoritas tambahan, yang
sebelumnya disebut sebagai GIST “wild type”, memiliki mutasi pada BRAF, NF1,
atau defisiensi enzim suksinat dehidrogenase (SDH). Namun demikian, aktivasi KIT
tampaknya terjadi di hampir semua GIST, terlepas dari status mutasi KIT (D’Angelo
and Pollack, 2018).Terpai standar GIST terlokalisir adalah eksisi komplit pada lesi
tanpa diseksi lymph node (III, A). Pendekatan laparoskopik dapat dilakukan pada
pasien dengan ukuran tumor yang besar, dikarenakan risiko ruptur tumor yang
berkaitan dengan risiko tinggi relaps. Eksisi RO (eksisi di mana batas antara tumor
dan jaringan normal terlihat jelas) adalah tujuannya. Namun, pada low-risk GIST
terlokalisir dengan lokasi sulit, keputusan eksisi R1 (batas antara tumor dengan sel
sehat terlihat dengan mikroskop) dapat diterima. Jika R1 eksisi dikerjakan, re-eksisi
tidak direkomendasikan untuk rutin dilakukan juga bukan patokan untuk memulai
terapi ajuvan. Terapi ajuvan dengan imatinib 400 mg per hari selama 3 tahun
direkomendasikan pada GIST risiko tinggi relaps dan berkaitan dengan relapse-free
survival (RFS) (Casali, et al., 2022).
Sejak penemuan mutasi pada gen KIT dan PDGFRA, pemahaman tentang
fitur molekuler dan klinis GIST telah meningkat secara substansial, dan diagnosis
serta tatalaksana GIST telah berubah dengan cepat dan dramatis (Nishida, et al.,
2016). Berdasarkan temuan biologis ini, sebagian besar strategi terapi yang
ditargetkan saat ini terhadap GIST ditujukan terhadap KIT dan reseptor tirosin kinase
terkait (Li &and Raut, 2019). Temuan ini telah menjadi terobosan revolusioner dalam
pengobatan pasien dengan GIST (Dudzisz-Śledź et al., 2021) Makalah ini akan

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
membahas jenis terapi target yang digunakan pada GIST, efek samping, mekanisme
resistensi dan terapi lini pertama maupun lini berikutny.a.

DASAR PENGGUNAAN TERAPI TARGET PADA GIST


Sekitar 75% -80% GIST mengalami mutasi KIT, terutama mempengaruhi
domain juksta-membran yang dikodekan oleh ekson 11 (Gambar 3). KIT atau
PDGFRA yang secara konstitutif mengaktifkan jalur RAS/RAF/MEK dan
PI3K/AKT/mTOR downstream, menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup
sel. Sebagian kecil GIST muncul dari inaktivasi mutasi protein neurofibromatosis- 1
(NF-1), atau aktivasi mutasi RAS atau BRAF21-25. Mekanisme molekuler alternatif
ini menggantikan kebutuhan aktivasi KIT/PDGFRA. Mutasi berupa delesi adalah
yang paling umum,; namun insersi, substitusi dan kombinasi juga dapat terjadi. Lebih
jarang, mutasi juga dapat mempengaruhi domain ekstraseluler (ekson 8 dan 9) atau
domain kinase dan (ekson 13 dan 17). Sekitar 20%-25% GIST tidak memiliki mutasi
KIT; sekitar 10% dari kasus ini memiliki mutasi PDGFRA. Sisanya (10%-15%) yang
tidak memiliki mutasi KIT atau PDGFRA diberi label sebagai GIST wild type. Mutasi
KIT dan PDGFRA mendorong signaling sel melalui jalur mitogen-activated protein
kinase (MAPK) dan phosphoinositide-3-kinase (PI3K). Karena kesamaan struktural
terdeteksi antara BCR-ABL kinase dan KIT kinase, inhibitor tirosin kinase yaitu
Imatinib digunakan pada pasien GIST metastatik dan menyebabkan respons yang
dramatis. Imatinib (sebelumnya dikenal sebagai IMS 571) menghambat aktivitas
BCR-ABL tirosin kinase (TK) melalui penghambatan kompetitif di situs pengikatan
adenosin trifosfat (ATP). Konsekuensinya adalah penghambatan fosforilasi tirosin
dari protein yang terlibat dalam transduksi sinyal BCR-ABL Keberhasilan ini
menyebabkan dimulainya beberapa uji klinis untuk menetapkan peran Imatinib dan
TKI lainnya dalam tatalaksana GIST (Jakhetiya et al., 2016; Schaefer, Mariño-
Enríquez and Fletcher, 2017; Reichardt, 2018)

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Gambar 31. Frekuensi subtipe molekuler GIST (Schaefer, Mariño-Enríquez and Fletcher, 2017)

Protein Tyrosine Kinases sebagai Target Terapi pada Kanker


Terdapat 518 protein kinase pada manusia, yang dapat dipisahkan menjadi 2
kelompok besar: serin/treonin kinase dan tirosin kinase (TK). TK memfosforilasi
tirosin dalam protein; mentransfer gugus fosfat dari ATP ke tirosin. Proses ini akan
kana mempengaruhi transduksi sinyal dalam sel. Oleh karena itu, TK berperan
penting dalam regulasi pertumbuhan, diferensiasi dan apoptosis sel. Secara
keseluruhan 90 gen TK diketahui, 58 untuk reseptor TK (RTK) dan 32 untuk TK
sitoplasma. Karena RTK terdapat di banyak sel dalam tubuh manusia dan memiliki
peran penting dalam regulasi sel, biasanya tidak rasional untuk melakukan inhibisi
dengan target ini. Namun, ada penyimpangan genetik RTK, seperti BCR-ABL pada
chronic myelogenous leukaemia (CML). Sehingga disimpukan bahwa, inhibisi dari
protein TK dapat menjadi target yang baik untuk mengobati kanker (Reichardt,
2018).

PILIHAN TATALAKSANA TERAPI TARGET TKI PADA GIST

Imatinib

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Tatalaksana dan luaran klinis dari GIST metastatik berubah secara dramatis
dengan diperkenalkannya imatinib (Gleevec). Imatinib adalah inhibitor tirosin kinase
(TKI) yang awalnya dikembangkan pada 1990-an untuk pengobatan leukemia
myelogenous kronis (CML) untuk menargetkan protein fusi BCL – ABL. Imatinib
telah ditemukan spesifik untuk domain tirosin kinase abl, c-kit, dan platelet-derived
growth factor receptor (PDGFR). Imatinib pertama kali terbukti memiliki aktivitas in
vitro terhadap sel GIST oleh Tuveson et al. Temuan ini mendorong Joensuu et al.
untuk melakukan penelitian pasien Finlandia dengan TKI. Pasien ini, yang memiliki
perkembangan penyakit meskipun reseksi bedah berulang dan beberapa prosedur
kemoterapi, mengalami regresi tumor pada pemindaian MRI dan PET scan (Mahvi,
Keung and Raut, 2017).

Pada tahun 2002, FDA menyetujui Imatinib mesylate (STI571, Gleevec TM,
Novartis Pharmaceuticals, Basel, Swiss) untuk tatalaksana pasien dengan GIST
stadium lanjut, metastatik atau tidak dapat direseksi. Persetujuan ini didasarkan pada
hasil studi acak multi-senter yang mengevaluasi keamanan dan efikasi imatinib pada
dua tingkat dosis (400 mg dan 600 mg setiap hari) pada 147 pasien dengan GIST
lanjut. (Poveda et al., 2017; Kelly, Sainz and Chi, 2021). Saat ini imatinib juga
diindikasikan sebagai terapi adjuvant atau GIST primer yang direseksi sepenuhnya
(Longo, 2017). Uji klinis prospektif pada GIST yang tidak dapat direseksi atau
metastasis telah menunjukkan bahwa Partial remissions (PR, 40%) dan stable disease
(SD, 36%) adalah respons paling umum terhadap pengobatan. Complete response
(CR) jarang terjadi (5-7%). Penggunaan imatinib yang lebih lama pada GIST tingkat
lanjut meningkatkan persentase PR pada pasien dengan stabilisasi pada bulan-bulan
pertama pengobatan. Kelangsungan hidup keseluruhan (overall survival/OS) pada
pasien dengan GIST lanjut adalah sekitar 5 tahun, yaitu sekitar empat kali lebih lama
dari data historis (OS rata-rata 12-15 bulan). Median progression-free survival (PFS)
pada pasien yang diobati dengan imatinib adalah 2-3 tahun (Dudzisz-Śledź et al.,
2021).

GIST dengan mutasi KIT ekson 11 paling sensitif terhadap imatinib,


sedangkan yang memiliki mutasi KIT ekson 9 kurang sensitif dan mungkin
memerlukan dosis yang lebih tinggi (800 mg/hari) untuk mencapai PFS yang lebih
lama. GIST dengan mutasi spesifik, seperti mutasi PDGFRA exon 18 (D842V) atau

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
KIT exon 17 (D816V), resisten terhadap imatinib. GIST wild type, yang tidak
memiliki mutasi pada gen KIT dan PDGFRA, juga dianggap tidak sensitif terhadap
imatinib. Dengan demikian, pengujian mutasi dianjurkan ketika imatinib sedang
dipertimbangkan untuk pengobatan. Tingkat plasma suboptimal imatinib mungkin
terkait dengan PFS pendek. Penilaian kadar obat dalam plasma mungkin berguna bila
ada efek toksik yang tidak diharapkan, dugaan kepatuhan yang buruk, kemungkinan
interaksi obat-obat utama, atau progresi penyakit dini yang tidak terduga dengan
penggunaan dosis standar (Nishida et al., 2016).

Pengobatan dimulai dengan dosis oral imatinib 400 mg sekali sehari. Saat ini
direkomendasikan bahwa dosis ditingkatkan menjadi 800 mg (2 × 400 mg/hari) pada
perkembangan penyakit. Dosis standar Imatinib 400 mg per hari ditetapkan dari dua
uji coba fase III pada GIST metastatik dengan immunostaining positif untuk KIT
(EORTC-ISG-AGITG y NASG-S0033). Dalam kedua percobaan dosis harian 400 mg
versus 800 dibandingkan tanpa perbedaan kelangsungan hidup dan dengan profil
toksisitas yang lebih menguntungkan yang mendukung dosis yang lebih rendah.
Tingkat manfaat klinis (CR, PR dan SD) untuk 400 mg dan 800 mg masing-masing
adalah 90% dan 88%. Dalam meta-analisis yang menganalisis 1640 pasien dalam uji
coba yang disebutkan, terdapat keuntungan dalam hal PFS untuk kelompok dosis
tinggi. Namun demikian, tidak ada keuntungan kelangsungan hidup yang terdeteksi
dan dengan demikian dosis standar yang ditetapkan adalah 400 mg setiap hari
(Poveda et al., 2017; Dudzisz-Śledź et al., 2021).

Imatinib Preoperatif

Imatinib preoperatif, harus dipertimbangkan untuk mengecilkan tumor dan


memungkinkan organ sparing ketika operasi dapat menyebabkanmampu mengangkat
tumor reseksi organ yang luas. Aplikasi GIST preoperatif dapat dipikirkan contohnya
dalam kasus GIST rektal dan GIST lambung yang mungkin membutuhkan Indikasi
untuk imatinib pra operasi termasuk GIST rektal dalam upaya untuk menghindari
reseksi abdominoperineal atau , beberapa GIST duodenum dan esofagus, dan GIST
lambung besar yang mungkin memerlukan gastrektomi total. Diagnosis jaringan
menggunakan core needle biopsy serta analisis mutasi genetic seharusnya harus
dilakukan sebelum memulai imatinib untuk memastikan diagnosis. Dus, dan analisis
mutasi harus dilakukan bila memungkinkan. Durasi optimal imatinib preoperatif tidak

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
diketahui, tetapi sering diberikan selama 6 sampai 12 bulan untuk memungkinkan
penyusutan tumor maksimal. Setelah dimulai pengobatan imatinib preoperative,
respon terhadap imatinib perlu dievaluasi karena ada resiko munculnya resistensi
Respon terhadap pengobatan harus dipantau karena beberapa GIST tidak merespon
dan beberapa dapat mengembangkan resistensi imatinib. Pengobatan iImatinib yang
berespon baik dapat dilanjutkan selama hingga setelah 3 tahun operasi dilanjutkan
sampai operasi dan harus dilanjutkan setelah operasi untuk menyelesaikan 3 tahun
pengobatan ketika risiko rekurensi/relaps cukup besar (Gambar 4). Keterbatasan
imatinib preoperatif adalah bahwa aktivitas mitosis tumor seringkali tidak dapat
diperkirakan secara andal dari biopsi diagnostik atau dari sisa GIST yang direseksi
setelah terapi imatinib. Mengingat aktifitas mitosis dan Karena estimasi risiko standar
sering tidak dapat dilakukan, respond dan manfaatmanfaat imatinib ajuvan harus
dinilai berkala mungkin menjadi tantangan untuk dinilai, terutama ketika diameter
tumor <10 cm. (Mehren and Joensuu, 2018).; Casali, et al., 2022).

Imatinib Adjuvant

Imatinib adalah satu-satunya TKI yang telah dipelajari sebagai pengobatan


adjuvant GIST yang dapat dioperasi, dengan dosis 400 mg/hari. Dalam dua dari tiga
percobaan acak dengan hasil, imatinib ajuvan yang diberikan selama 1 tahun atau 2
tahun meningkatkan PFS dibandingkan dengan plasebo atau observasi; manfaat
overall survival (OS) tidak diamati dalam kedua penelitian. Dalam percobaan ketiga,
pasien dengan GIST dengan risiko tinggi untuk rekurensi menerima imatinib adjuvant
selama 1 atau 3 tahun setelah operasi. Dengan median follow-up 7,5 tahun, pasien
yang menerima imatinib 3 tahun memiliki PFS dan OS yang lebih lama dibandingkan
dengan mereka yang menggunakan imatinib selama 1 tahun. Dalam studi ini, pasien
dengan mutasi delesi KIT ekson 11 paling diuntungkan dari imatinib. Imatinib relatif
dapat ditoleransi dengan baik. Namun, 26% pasien yang menerima 3 tahun imatinib
ajuvan menghentikan pengobatan karena alasan selain rekurensi GIST. Oleh karena
itu, diperlukan tTindakan lain pendukung yang dapat mengurangi efek samping dan
membantu dalam mempertahankan kepatuhan (Mehren and Joensuu, 2018). ESMO
telah merekomendasikan pemberian imatinib sebagai ajuvan pada pasien GIST yang
menjalani reseksi dengan risiko tinggi relaps selama 3 tahun (Gambar 4) (Casali, et
al., 2022).

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Toksisitas dan Efek Samping Imatinib

Pengobatan imatinib jangka panjang direkomendasikan untuk pasien dengan


penyakit nonprogresif. Jika pasien mengalami toksisitas yang signifikan, pengurangan
dosis imatinib sementara dan kelanjutan pengobatan mungkin merupakan strategi
yang berguna (Ogata et al., 2018). Sampai saat ini toksisitas imatinib pada usia lanjut
belum dieksplorasi dengan baik dalam uji klinis di GIST lanjut. Usia lanjut tidak
memberikan efek perubahan terapi yang signifikanPenuaan tampaknya hanya
memiliki dampak moderat pada farmakokinetik imatinib (Rutkowski et al., 2018).
Satu-satunya kontraindikasi untuk penggunaan awal imatinib adalah hipersensitivitas
terhadap zat aktif atau salah satu eksipien. Mayoritas pasien mengalami efek samping
ringan sampai sedang. Efek samping yang paling umum termasuk edema (74%,
sering di lokasi periorbital), mual (52%), diare (45%), mialgia atau nyeri
muskuloskeletal (40%), kelelahan (35%), dermatitis atau ruam (31%), nyeri kepala
(26%) dan sakit perut (Kelly, Sainz and Chi, 2021). Dosis imatinib yang lebih tinggi
dikaitkan dengan tingkat efek samping yang lebih tinggi. Pada penelitian S0033, ada
219 pasien stadium 3 atau lebih tinggi efek samping pada kelompok yang menerima
dosis imatinib yang lebih tinggi dibandingkan dengan 149 kejadian efek samping
pada kelompok yang menerima dosis yang lebih rendah; efek samping termasuk dua
kematian (Mahvi, Keung and Raut, 2017).

Pasien harus ditimbang secara teratur saat diterapi dengan imatinib karena
adanya efek samping retensi cairan. Perubahan hematologis seperti anemia,
neutropenia atau trombositopenia, serta peningkatan enzim hati juga telah diamati.
Tatalaksana pasien yang optimal harus mencakup pemeriksaan laboratorium rutin,
seperti hitung darah lengkap dan pemantauan fungsi hati. Pasien juga harus dipantau
untuk munculnya perdarahan gastrointestinal atau intra-tumor. Munculnya efek
samping dapat dikelola dengan tepat dengan penyesuaian dosis (Reichardt, 2018).
Durasi terapi yang lama dan efek samping tingkat ringan hingga sedang yang
persisten dapat berdampak pada kepatuhan pengobatan dan akibatnya pada hasil
penyakit. Oleh karena itu, edukasi yang baik kepada pasien mengenai pentingnya
kepatuhan dan potensi interaksi dengan obat atau makanan lain serta manajemen efek
samping yang tepat dan cepat sangat penting (Poveda et al., 2017)

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Resistensi Imatinib

Sekitar 10-15% pasien GIST menunjukkan intoleransi atau resistensi


(resistensi primer) terhadap imatinib (Nishida et al., 2016). Percobaan BFR14 pada
pasien dengan GIST nonprogresif untuk melanjutkan versus interupsi imatinib setelah
1, 3, atau 5 tahun pengobatan menunjukkan bahwa penghentian pengobatan dikaitkan
dengan risiko tinggi perkembangan bahkan pada pasien dengan complete response.
Akibatnya, pada pasien dengan GIST metastatik atau tidak dapat direseksi, Imatinib
harus dilanjutkan sampai perkembangan penyakit bahkan ketika lesi metastasis
sebelumnya telah diangkat melalui pembedahan atau sampai toksisitas yang tidak
dapat ditoleransi terjadi (Poveda et al., 2017).

Resistensi terhadap imatinib dapat mencakup resistensi primer dan sekunder:


resistensi primer dikaitkan dengan penyakit progresif dalam 6 bulan dan resistensi
sekunder dikaitkan dengan penyakit progresif setelah 6 bulan. R Sebagian kecil (10-
15%) pasien (GIST CD117+) mengalamiembangkan resistensi primer dan awal
selama 6 bulan pertama pengobatan dan disebabkan oleh mutasi seperti D842V pada
PDGFRA dan KIT ekson 9, di mana Imatinib tidak mampu mengikat tempat
pengikatan ATP pada reseptor tirosin kinase. Resistensi sekunder (didapat) biasanya
berkembang setelah 18-24 bulan pengobatan. Pasien yang menanggapi sebelumnya
telah berespon terhadap pengobatan dapat mengalamiembangkan resistensi sekunder
(dapatandidapat) terhadap imatinib. Beberapa mekanisme yang telah ditemukan
mampu menyebabkan dengan terapi yang diperpanjang. Sejumlah mekanisme telah
diajukan untuk resistensi sekunder (dapataniperoleh) pada di GIST yaitu : tTerjadinya
mutasi kedua pada reseptor KIT, mutasi gen lainnya, amplifikasi genom KIT dan
aktivasi protein reseptor tirosin kinase alternatif tanpa adanya ekspresi KIT,
naiknyameningkat kadar glikoprotein asam serum dan peningkatan ekspresi gen
resistensi obat.multidrug, Bbioavailabilitas Imatinib yang lebih rendah selama terapi
kronis jangka panjang bisa terjadi karena mungkin karena peningkatan naiknya
pengaturan regulasi enzim hati yang bertanggung jawab untuk klirens obat , dan
gangguan penghantaran obat. karena pembentukan stroma fibrosa. Lebih dari 80%
pasien yang menjalani pengobatan akhirnya mengalamiembangkan resistensi
sekunder (Jakhetiya et al., 2016; Nishida et al., 2016; Blay, 2021; Dudzisz-Śledź et

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
al., 2021). Beberapa kombinasi inhibitor TKI lain dan Imatinib saat ini dalam uji
klinis praklinis dan tahap awal untuk GIST untuk menghidari resistensi (Tabel 2)
(Duan, Haybaeck and Yang, 2020).

Tabel 1. Uji klinis di GIST dengan target terapeutik di jalur PI3K/AKT/mTOR.(Duan, Haybaeck
and Yang, 2020)

Pada tahun 2014, peneliti menemukan bahwa pasien dengan mutasi CD117
ekson 11 memiliki tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik daripada mutasi
CD117 ekson 9. Peneliti melihat luaran klinis 10 tahun dari percobaan SWOG fase
III, yang berfokus pada penggunaan imatinib, pada kelangsungan hidup jangka
panjang pada pasien dengan GIST metastatik. Penelitian observasional Percobaan
mempelajari dua dosis imatinib pada 695 pasien dengan GIST lanjut yang tidak dapat
dioperasi dan menyimpulkan bahwa tingkat kelangsungan hidup jangka panjang (8
tahun atau lebih) adalah 27% untuk mereka yang mendapat dosis 400 mg/hari dan
25% untuk mereka yang mendapat dosis 800 mg/hari (Parab et al., 2019)

Tabel 2 Respon klinis GIST tingkat lanjut terhadap imatinib 400 mg berkorelasi dengan status
mutasi (Parab et al., 2019)

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Pilihan yang perlu dipertimbangkan saat terjadi resistensi adalah
meningkatkan dosis imatinib menjadi 800 mg/hari. Pendekatan ini didasarkan pada
hasil penelitian crossover ke dosis 800 mg setelah perkembangan penyakitterjadinya
progresifitas GIST pada dosis 400 mg dalam percobaan fase III EORTC dan
American Intergroup (studi S0033). Dalam kedua kasus, 30% pasien yang pindah ke
kelompok imatinib dosis tinggi mencapai pengendalian penyakit. Dalam studi
EORTC, waktu rata-rata untuk mengalami progresifitas penyakitberkembang
sekitaradalah singkat, 81 hari. Namun, 18% pasien tetap bebas dari perogresifitas
penyakit setelahrkembangan satu tahun setelah cross-over. Insiden anemia dan
asthenia meningkat secara signifikan dengan dosis ini; oleh karena itu, diperlukan
follow-up yang ketat. Beberapa penelitian retrospektif menyarankan bahwa pasien
dengan mutasi KIT ekson 9 dapat mengambil manfaat dari pendekatan ini. Namun,
manfaatnya tampaknya lebih rendah pada pasien dengan mutasi KIT ekson 11
(Poveda et al., 2017)

Sunitinib

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Penggunaan TKI lini kedua harus dipertimbangkan untuk perkembangan
kasus yang mengalami progresifitas setelah penyakit meskipun dosis imatinib
ditingkatkanpeningkatan dosis Imatinib menjadi 800 mg atau jika pasien tidak toleran
terhadap imatinib. Inhibitor yang bekerja pada titik target yang berbeda dalam jalur
metabolisme selain mutasi KIT ekson 11 ini direkomendasikan dapat membantu
mengatasi resistensi terhadap imatinib. direkomendasikan. Saat ini, satu-satunya obat
lini kedua yang disetujui dalam kasus resistensi terhadap imatinib atau intoleransi
obat adalah sunitinib malate (Sutent; Pfizer, New York, NY, USA). Sunitinib adalah
inhibitor multitarget yang menghambat KIT, platelet-derived growth factor receptors,
vascular endothelial growth factor receptors 1–3, colony stimulating factor 1
receptor, dan RET. Selain itu, sunitinib juga memiliki aksi antiangiogenik, karena
menghambat VEGFR , dan sehingga memiliki target aktivitas yang lebih luas.
Sunitinib harus dimulai dengan dosis harian 50 mg dalam jadwal 6 minggu (4 minggu
pengobatan aktif dan 2 minggu istirahat). Jika toksisitas terjadi,dialami, dosis harian
sunitinib dapat dikurangi menjadi 37,5 atau 25 mg dan rejimen pengobatan
diperpanjang. Regimen dosis kontinu alternatif (37,5 mg setiap hari tanpa interupsi)
diterima secara luas dan tampaknya lebih sesuai untuk TKI(Dudzisz-Śledź et al.,
2021). Dosis dan jadwal dapat disesuaikan secara individual tergantung pada respon
pasien dan efek samping. Tingkat respons yang dilaporkan hampir 10%, dan tingkat
manfaat klinis sekitar 50%, dengan PFS rata-rata 8 bulan, yang lebih dari empat kali
lebih lama daripada plasebo. Efek samping terkait pengobatan yang paling umum
menunjukkan profil yang berbeda dari imatinib dan umumnya lebih berat daripada
imatinib. Aktivitas sunitinib terkait dengan mutasi primer dan sekunder bergantung
pada letak mutasinya. Pada mutasi primer, . Berkenaan dengan mutasi primer, pasien
dengan KIT ekson 9-mutasi GIST dan GIST wild type menerima lebih banyak
manfaat dari pengobatan sunitinib daripada mereka dengan mutasi KIT ekson 11.
Pada mutasi sekunder, Mengenai mutasi sekunder, pasien yang memiliki mutasi pada
GIST dengan mutasi sekunder pada domain pengikatan ATP menunjukkan respons
yang lebih baik dan prognosis yang lebih baik di bawah pengobatan sunitinib
daripada mereka yang mengalami mutasi pada domain loop aktivasi (Nishida et al.,
2016; Nannini et al., 2018; Dudzisz-Śledź et al., 2021; Kelly, Sainz and Chi, 2021).

Dalam studi retrospektif yang dilakukan oleh Boikos et al., pada pasien
dengan GIST SDH-deficient, terdapat efikasi terbatas secara keseluruhan. Selain itu,

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
satu dari 49 pasien yang menerima imatinib mencapai partial response (PR) sebagai
respons terbaik (2,0%); sedangkan, pada 38 pasien dengan GIST yang diterapi
dengan sunitinib, tujuh pasien memiliki respons objektif (18,4%), termasuk PR (n =
3), respons campuran (progresif di satu tempat dan regresi di tempat laindidefinisikan
sebagai perkembangan di beberapa tempat dan regresi di tempat lain; n = 3), dan
complete response (CR; n = 1). Dalam sebuah penelitian retrospektif, observasional
di Cina yang terdiri dari 12 pasien dengan GIST yang SDH-deficient, empat pasien
(33,3%) mengalami mengembangkan penyakit progresif selama pengobatan imatinib;
menariknya, semua pasien ini mencapai pengendalian penyakit ketika pengobatan
sistemik dialihkan ke sunitinib (Nannini et al., 2018)

Regorafenib

Regorafenib (Stirvarga, Bayer HealthCare Pharmaceuticals Inc.) adalah


inhibitor tirosin kinase (TKI) oral yang disetujui untuk pasien dengan kanker
kolorektal metastatik refrakter pengobatan (mCRC), karsinoma hepatoseluler yang
tidak dapat direseksi pasca terapi sorafenib, dan GIST stadium lanjut yang resisten
terhadap imatinib dan sunitinib. Regorafenib menargetkan sejumlah jalur yang
terlibat dalam pertumbuhan tumor termasuk angiogenesis tumor (VEGFR-1, -2, dan -
3, dan TIE2), onkogenesis (KIT, RET, RAF-1, BRAF dan BRAFV600E), dan
lingkungan mikro tumor [PDGFR dan fibroblast growth factor receptor (FGFR)].
Keamanan regorafenib pertama kali ditunjukkan dalam studi fase I pada populasi
pasien dengan tumor padat. Studi ini mengkonfirmasi dosis fase II yang
direkomendasikan 160 mg setiap hari (3 minggu terapi, 1 minggu off-schedule).
Sebuah studi khusus GIST fase II menelitiyelidiki efikasi regorafenib di antara
dengan subyek sejumlah 34 pasien yang terdiagnosis dengan GIST lanjut yang
sebelumnya telah berkembang setidaknyamenerima terapi pada imatinib dan
sunitinib. Tingkat manfaat klinis yang diamati adalah 79% (4 pasien mencapai partial
response dan 22 pasien mencapai stable diseasei pada 16 minggu). PFS rata-rata
adalah 10 bulan. Regorafenib selanjutnya ditelitiselidiki dalam studi fase III
melibatkanypada 240 pasien dengan GIST lanjut untuk menerima regorafenib versus
plasebo ditambah perawatan suportif terbaik. Studi ini memenuhi titik akhir utamanya
dengan menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam median PFS (masing-

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
masing 4,8 bulan dan 0,9 bulan (hazard ratio [HR] 0,27, confidence interval 95%
[CI] 0,19-0,39; p <0,0001). Respon terbaik dari berupa respons parsial atau penyakit
stabil diamati pada 75,9% pada regorafenib dan 34,8% pada placebo. Tingkat
pengendalian penyakit juga lebih tinggi pada kelompok regorafenib dibandingkan
dengan plasebo, (52,6% vs 9,1%). Pada 2013, FDA menyetujui regorafenib untuk
digunakan untuk tatalaksana pasien dengan stadium lanjut GIST refrakter terhadap
imatinib dan sunitinib (Nannini et al., 2018; Grothey et al., 2020; Kelly, Sainz and
Chi, 2021)

Dosis yang dianjurkan adalah 160 mg diminum sekali sehari selama 21 hari
pertama setiap siklus 28 hari. Pengobatan dilanjutkan sampai perkembangan penyakit
atau toksisitas yang tidak dapat diterima. Regorafenib, dalam kombinasi dengan
pengobatan simtomatik yang optimal, secara signifikan memperpanjang PFS pada
populasi GIST progresif setelah semua lini pengobatan sebelumnya disetujui
dibandingkan dengan kelompok plasebo. PFS rata-rata pada kelompok regorafenib
lebih dari lima kali lipat lebih lama daripada kelompok placebo (Dudzisz-Śledź et al.,
2021). Profil toksisitas regorafenib konsisten dengan inhibitor kinase lain dengan
spektrum target yang sama. Efek samping tingkat 3 atau lebih tinggi dilaporkan pada
61% pasien yang menerima regorafenib, termasuk reaksi kulit tangan-kaki (56%),
hipertensi (49%) dan diare (40%). Pada pasien yang mengalami efek samping obat,
diperlukan dosis yang terputus-putus atau pengurangan dosis. Interupsi dosis dan
pengurangan dosis untuk efek samping diperlukan pada 58% dan 50% pasien yang
menerima regorafenib, meskipun tingkat penghentian pengobatan rendah. Menurut
laporan awal dari percobaan fase II, regorafenib, tidak seperti sunitinib, tampaknya
aktif melawan beberapa mutasi sekunder KIT pada ekson 17, meskipun data lebih
lanjut masih diperlukan (Jakhetiya et al., 2016; Poveda et al., 2017)

Rangkuman Algoritma tatalaksana GIST termasuk terapi target sebagai lini


pertama, kedua dan ketiga pada GIST yang tidak resektabel, advanced/metastasis
ditujukkan pada Gambar 1.

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Gambar 2. Algoritma pengobatan untuk gastrointestinal stromal tumor (GIST) yang tidak dapat
direseksi, metastasis, atau rekuren. Intervensi termasuk reseksi bedah, radiofrequency ablation,
dan embolisasi arteri transkateter untuk pasien dengan progresi terbatas. Inhibitor tirosin kinase
(TKI) termasuk imatinib, sunitinib, dan regorafenib, BSC best supportive care, CR complete
response, PD progressive disease, PR partial response, SD stable disease (Nishida et al., 2016)

Ripretinib

Ripretinib adalah inhibitor multikinase switch-control dengan mekanisme aksi


ganda yang secara luas menghambat KIT dan PDGFRA kinase, termasuk aktivitas
untuk mutasi KIT dan PDGFRA wild type, dan beberapa mutasi primer dan sekunder
yang terkait dengan GIST yang resistan terhadap obat. Molekul ini dinilai dalam studi
fase I pada pasien dengan GIST dan tumor padat lanjut lainnya. Efikasi awal
ditunjukkan dalam studi INVIC-TUS fase II (NCT03353753). Dosis ripretinib fase II
yang direkomendasikan adalah 150 mg sekali sehari. Para pasien diberikan ripretinib
(n = 85) atau plasebo (n = 44). Usia rata-rata peserta adalah 59 tahun (kisaran 29-82)
pada kelompok ripretinib dan 65 tahun (kisaran 33-83) pada kelompok plasebo.
Secara total, 32% pasien dalam kelompok ripretinib dan 50% dari kelompok plasebo
berusia 65 tahun. Studi ini menunjukkan bahwa ripretinib sebagai lini pengobatan
keempat atau lebih lanjut secara signifikan meningkatkan PFS median dibandingkan
dengan plasebo (6,3 vs 1,0 bulan; hazard ratio [HR] 0,15; confidence interval 95%
[CI] 0,09-0,25; p <0,0001). Median OS adalah 15,1 bulan (95% CI 12,3-15,1) pada
kelompok ripretinib dan 6,6 bulan (95% CI 4,1-11,6) pada kelompok plasebo (HR
0,36; 95% CI 0,21-0,62). Sampai saat ini, tidak ada analisis khusus dari penelitian
dengan ripretinib yang didedikasikan untuk pasien berusia lebih tua (Dudzisz-Śledź et
al., 2021). Percobaan INVICTUS, fase III, dilakukan pada 154 pasien dengan GIST
lanjut yang resisten tidak toleran terhadap imatinib, sunitinib dan regorafenib dengan
perbandingan 2:1 untuk menerima ripretinib atau plasebo. Penelitian ini mencapai

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
titik akhir utamanya yang menunjukkan peningkatan signifikan pada median PFS
yang mendukung kelompok ripretinib [6,3 bulan vs. 1,0 bulan (HR 0,15, 95% CI
0,09-0,25; p <0,0001)]. Median OS adalah 15,1 bulan pada kelompok ripretinib
dibandingkan dengan 6,6 bulan pada kelompok plasebo (HR 0,36, 95% CI 0,21-0,62).
Ripretinib menghasilkan objective response rate (ORR) sebesar 9%. Tidak ada
respon yang diamati pada placebo. Ripretinib umumnya ditoleransi dengan baik.
Efikasi Saat ini, Ripretinib masih diteliti dalam studi fase III dan dibandingkan
terhadap efek sedang dibandingkan dengan sunitinib dalam studi fase III pada pasien
dengan GIST lanjut yang sebelumnya telah medapat pengobatan setelah pengobatan
dengan imatinib (INTRIGUE; NCT03673501). Efek samping terkait pengobatan
yang paling umum (≥ 20% pasien dalam kelompok ripretinib) adalah alopecia,
myalgia, mual, kelelahan, palmar-plantar erythrodysesthesia dan diare. Pada Mei
2020, FDA AS menyetujui ripretinib untuk tatalaksana lini keempat pasien dengan
GIST lanjut (Dudzisz-Śledź et al., 2021; Kelly, Sainz and Chi, 2021)

Terapi Target Lainnya


Agen terapi target lain, termasuk avapritinib, nilotinib, Sorafenib, Ponatinib,
dan lain-lain, telah diselidiki pada pasien dengan GIST lanjut. Beberapa terapi target
direkomendasikan setelah kegagalan terapi yang disetujui dalam situasi tertentu.
dengan terapi TKI lain. Sejumlah uji klinis menilai kemanjuran dan tolerabilitas
berbagai TKI, immune checkpoint inhibitors, dan molekul lain sedang berlangsung
(Dudzisz-Śledź et al., 2021).

Avapritinib, inhibitor kinase tipe 1, telah disetujui di AS untuk pengobatan


pasien dengan GIST yang tidak dapat direseksi atau metastasis dengan mutasi
PDGFRA ekson 18, termasuk mutasi PDGFRA D842V, berdasarkan hasil studi
NAVIGATOR fase I dengan rata-rata subyek penelitian 64 tahun menunjukkan . Data
efikasi jangka panjang mengungkapkan ORR 95% (CR 13%, PR 82%) di antara 38
pasien dengan GIST mutan PDGFRA D842V yang diterapi dengan avapritinib
300/400 mg. Durasi respons adalah 22 bulan dengan , dan PFS rata-rata adalah 24
bulan. Median OS tidak tercapai. Tingkat PFS dan OS pada 36 bulan adalah masing-
masing 34 dan 71%. ,. Usia rata-rata pasien tersebut adalah 64 tahun (kisaran 29-90).
Sampai saat ini, tidak ada analisis spesifik yang tersedia dari penelitian dengan

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
avapritinib yang didedikasikan untuk pasien yang lebih tua dengan GIST (Dudzisz-
Śledź et al., 2021).

Uji coba fase III nilotinib versus imatinib sebagai terapi lini pertama untuk
GIST yang tidak dapat direseksi atau metastasis dihentikan lebih awal ketika PFS 2
tahun yang secara signifikan lebih tinggi tercatat pada kelompok imatinib (59,2%
berbanding 51,6% pada nilotinib). Nilotinib mungkin bermanfaatr pada pasien
dengan tumor yang mengandung mutasi KIT ekson 11 yang tidak dapat
menggunakan imatinib, meskipun umumnya sesuai untuk melanjutkan dengan agen
yang disetujui FDA terlebih dahulu sebelum mencoba obat-obatan seperti nilotinib
(Mahvi, Keung and Raut, 2017).

Sorafenib (Nexavar, Bayer Healthcare Pharmaceuticals dan ONYX


Pharmaceuticals) adalah TKI yang secara struktural terkait dengan regorafenib. Dua
uji klinis fase II telah menunjukkan aktivitas pada pasien dengan GIST setelah
berkembang menjadi setidaknya imatinib dan sunitinib, dengan tingkat pengendalian
penyakit dan mPFS yang serupa dengan sunitinib dan regorafenib. Selain itu,
penelitian in vitro telah menunjukkan spektrum inhibisi mutasi sekunder KIT yang
luas, dengan pengecualian kinase yang dihasilkan dari substitusi pada kodon D816
KIT. Sorafenib dapat dipertimbangkan pada pasien GIST yang progresif setelah
mendapat terapi setelah perkembangan sunitinib dan intoleransi terhadap regorafenib,
mengingat tingginya kemungkinan berbagi profil aktivitas serupa (Poveda et al.,
2017).

Ponatinib adalah TKI generasi ketiga yang sangat aktif pada pasien CML
dengan resistensi terhadap beberapa TKI. Selain itu, adalah salah satu dari sedikit
inhibitor KIT yang telah diuji dalam panel besar varian KIT mutan. Ponatinib
berpotensi menekan semua mutasi sekunder KIT dengan pengecualian V654A. Tidak
seperti TKI lain yang disetujui, ponatinib aktif melawan kinase mutan ekson 17 D816
KIT. Data awal dari uji coba fase II baru-baru ini dilaporkan. Tingkat manfaat klinis
(CR, PR, atau SD 16 minggu) adalah 55% pada pasien GIST yang diobati
sebelumnya (74% memiliki 4 agen sebelumnya, termasuk regorafenib) dengan mutasi
KIT ekson 11 primer. Uji coba fase II kedua (POETIG) akan mengevaluasi lebih
lanjut aktivitas ponatinib dan toksisitas pada pasien GIST yang resistenan terhadap
imatinib (Poveda et al., 2017).

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
PENELITIAN YANG SEDANG BERLANGSUNG

Pencarian literatur mengungkapkan 313 uji klinis untuk GIST, termasuk lebih
dari 86 molekul yang dipelajari untuk menemukan terapi baru yang efektif. Terapi
obat lini pertama imatinib (STI571) telah digunakan dalam 152 uji klinis, sunitinib
pada 74, dan regorafenib (BAY73-4506) pada 21. Uji klinis yang sedang berlangsung
disajikan pada Tabel 2 Melalui uji klinis fase I, II, III, dan IV, para ilmuwan mencoba
untuk menargetkan GIST dengan modalitas baru dan molekul baru atau
menggabungkan pilihan terapi klasik (imatinib) dengan imunoterapi (anti-PDL1 atau
anti-PD1). (Vallilas et al., 2021)

Tabel 3. Uji klinis Imatinib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)

Tabel 4. Uji klinis Sunitinib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)

Tabel 5. Uji klinis Regorafenib yang sedang berlangsung (Vallilas et al., 2021)

RINGKASAN

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
Tatalaksana GIST telah mengalami kemajuan signifikan saat
diperkenalkannya terapi target imatinib, inhibitor tirosin kinase. Perkembangan
tatalaksana GIST mutan KIT dan PDGFRA memasukkan TKI lini kedua, ketiga dan
keempat, sunitinib, regorafenib dan ripretinib, serta avapritinib. Meskipun telah ada
kemajuan luar biasa di bidang klinis, Dalam pengelolaan GIST tingkat lanjut,
beberapa tantangan mendasar tetap ada yaitu resistensi imatinib. Untuk sebagian
besar (90%+) pasien. Begitu penyakit mereka menjadi resisten terhadap imatinib, lini
terapi TKI berikutnya, termasuk generasi TKI yang lebih baru, memiliki manfaat
klinis yang terbatas. Beberapa penelitian melibatkan strategi terapi kombinasi baru
yang menggabungkan terapi klasik dengan imunoterapi sebagai terapi pilihan lain
terhadap GIST progresif.
yang menargetkan jalur kelangsungan hidup yang berbeda sedang
berlangsung
DAFTAR PUSTAKA
Blay, J. (2021) ‘Gastrointestinal stromal tumours’, Nature Reviews Disease Primers, 0123456789,
pp. 1–22. doi: 10.1038/s41572-021-00254-5.
D’Angelo, S. P. and Pollack, S. M. (2018) ‘Immunotherapy of sarcoma’, Immunotherapy of
Sarcoma, pp. 1–152. doi: 10.1007/978-3-319-93530-0.
Duan, Y., Haybaeck, J. and Yang, Z. (2020) ‘Therapeutic Potential of PI3K / AKT / mTOR
Pathway in Gastrointestinal Stromal Tumors’, Cancer.
Dudzisz-Śledź, M. et al. (2021) ‘Treatment of Metastatic Gastrointestinal Stromal Tumors (GIST):
A Focus on Older Patients’, Drugs and Aging, 38(5), pp. 375–396. doi: 10.1007/s40266-
021-00841-x.
Grothey, A. et al. (2020) ‘Evolving role of regorafenib for the treatment of advanced cancers’,
Cancer Treatment Reviews, 86(October 2019), p. 101993. doi: 10.1016/j.ctrv.2020.101993.
Jakhetiya, A. et al. (2016) ‘Targeted therapy of gastrointestinal stromal tumours’, World Journal
of Gastrointestinal Surgery, 8(5), p. 345. doi: 10.4240/wjgs.v8.i5.345.
Kelly, C. Mt. management of metastatic G. : current standard and investigational therapeutics,
Sainz, L. G. and Chi, P. (2021) ‘The management of metastatic GIST : current standard and
investigational therapeutics’, Journal of Hematology & Oncology, pp. 1–12. doi:
10.1186/s13045-020-01026-6.
Li, G. Z. and Raut, C. P. (2019) ‘Targeted therapy and personalized medicine in gastrointestinal
stromal tumors: Drug resistance, mechanisms, and treatment strategies’, OncoTargets and
Therapy, 12, pp. 5123–5133. doi: 10.2147/OTT.S180763.
Longo, D. L. (2017) Harrison’s Hematology & Oncology 3rd Edition. McGraw-Hill Education.
Mahvi, D. A., Keung, E. Z. and Raut, C. P. (2017) ‘Multimodality Therapy for Metastatic
Gastrointestinal Stromal Tumor’, Gastrointestinal Stromal Tumors, pp. 187–208. doi:
10.1007/978-3-319-42632-7_14.
Mehren, M. Von and Joensuu, H. (2018) ‘Gastrointestinal Stromal Tumors’, 36(2). doi:

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022
10.1200/JCO.2017.74.9705.
Nannini, M. et al. (2018) ‘Targeted therapy in SDH-deficient GIST’, Therapeutic Advances in
Medical Oncology, 9(6), pp. 259–261. doi: 10.1177/https.
Nishida, T. et al. (2016) ‘The standard diagnosis, treatment, and follow-up of gastrointestinal
stromal tumors based on guidelines’, Gastric Cancer, 19(1), pp. 3–14. doi:
10.1007/s10120-015-0526-8.
Ogata, K. et al. (2018) ‘Long-Term Imatinib Treatment for Patients with Unresectable or
Recurrent Gastrointestinal Stromal Tumors’, Digestion, 8511, pp. 20–25. doi:
10.1159/000484102.
Parab, T. M. et al. (2019) ‘Gastrointestinal stromal tumors : a comprehensive review’, 10(1), pp.
144–154. doi: 10.21037/jgo.2018.08.20.
Poveda, A. et al. (2017) ‘GEIS guidelines for gastrointestinal sarcomas (GIST)’, Cancer
Treatment Reviews, 55, pp. 107–119. doi: 10.1016/j.ctrv.2016.11.011.
Reichardt, P. (2018) ‘The Story of Imatinib in GIST - A Journey through the Development of a
Targeted Therapy’, Oncology Research and Treatment, 41(7–8), pp. 472–477. doi:
10.1159/000487511.
Rutkowski, P. et al. (2018) ‘Treatment outcomes in older patients with advanced gastrointestinal
stromal tumor (GIST)’, Journal of Geriatric Oncology, 9(5), pp. 520–525. doi:
10.1016/j.jgo.2018.03.009.
Schaefer, I. M., Mariño-Enríquez, A. and Fletcher, J. A. (2017) ‘What is New in Gastrointestinal
Stromal Tumor?’, Advances in Anatomic Pathology, 24(5), pp. 259–267. doi:
10.1097/PAP.0000000000000158.
Vallilas, C. et al. (2021) ‘Gastrointestinal Stromal Tumors ( GISTs ): Novel Therapeutic Strategies
with Immunotherapy and Small Molecules’.

Tinjauan Kepustakaan SMF Ilmu Penyakit Dalam FK Unair-RSUD Dr. Soetomo


Surabaya, Januari 2022

Anda mungkin juga menyukai