PDF Referat Gizi Buruk DL
PDF Referat Gizi Buruk DL
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gizi yang baik adalah landasan kesehatan, gizi mempengaruhi kekebalan tubuh,
kerentanan terhadap penyakit, serta pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental. Gizi
yang baik akan menurunkan kesakitan, kecacatan dan kematian sehingga meningkatkan
kualitas sumber daya manusia. (Kemenkes RI, 2015)
Status gizi anak balita diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB), dan tinggi
badan (TB). Variabel BB dan TB/PB anak balita disajikan dalam bentuk tiga indeks
antropometri, yaitu BB/U, TB/U dan BB/TB. Berdasarkan riskesdas 2013 kecenderungan
prevalensi status gizi anak balita menurut ketiga indeks BB/U, TB/U dan BB/TB terlihat
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang meningkat dari tahun 2007 ke tahun 2013. (Kemenkes
RI, 2015)
Jumlah balita gizi buruk dan kurang menurut hasil riskesdas 2013 masih sebesar
19,6% dan terjadi peningkatan dibandingkan tahun 2010. (Kemenkes RI, 2015) Provinsi
dengan gizi buruk dan kurang tertinggi tahun 2016 adalah Nusa Tenggara Timur (28,2%) dan
terendah Sulawesi Utara (7,2%) (Kemenkes RI, 2017)
Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur namun yang perlu lebih
diperhatikan pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2 tahun adalah masa tumbuh
kembang yang optimal (golden period) terutama untuk pertumbuhan janin sehingga bila
terjadi gangguan pada masa ini tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan
berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus. (Kemenkes RI, 2017)
Konsumsi makanan memegang peranan penting dalam pertumbuhan fisik dan
kecerdasan anak sehingga konsumsi makan berpengaruh besar terhadap status gizi anak
untuk mencapai pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Timbulnya gizi kurang bukan saja
karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan
yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat menderita gizi
kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya tahan tubuhnya (imunitas)
dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya
1
Kondisi kekurangan gizi yang terjadi dalam kurun waktu yang lama akan meyebabkan
gizi buruk yang sering disebut dengan istilah kurang kalori protein (KKP) atau kurang energi
protein (KEP). KEP adalah gangguan
ganggu an gizi yang disebabkan
dise babkan oleh kekuran
kekurangan
gan protein dan/atau
kalori, serta sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain. Kurang energi dan Protein (KEP)
pada anak masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Menurut
WHO lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan gizi buruk, oleh
karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat.
Tubuh pendek pada masa anak merupakan akibat kekurangan gizi kronis atau
kegagalan pertumbuhan di masa lalu dan digunakan sebagai indikator jangka panjang untuk
gizi kurang pada anak. Childhood stunting berkorelasi dengan gangguan perkembangan
neurokognitif dan risiko menderita penyakit tidak menular di masa depan.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gizi buruk adalah suatu ketidakseimbangan antara asupan makanan dengan kebutuhan
gizi untuk mempertahankan kesehatan. Gizi buruk bisa terjadi karena asupan makan terlalu
sedikit ataupun pengambilan makanan yang tidak seimbang status gizi yang didasarkan pada
indeks berat badan menurut umur (BB/U) yang merupakan padanan
istilah severely
istilah severely underweight (Kemenkes RI,2011), sedangkan menurut Depkes RI 2010,
keadaan kurang gizi tingkat berat padaanak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi
badan (BB/TB) <-3 SD dan atauditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan
marasmus-kwashiorkor.
2.2 Kurang Energi Protein (KEP)
Penyebab KEP dapat dibagi kepada dua penyebab yaitu malnutrisi primer dan
malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh
asupan protein maupun energi yang tidak adekuat. Malnutrisi sekunder adalah malnutrisi
yang terjadi karena kebutuhan yang meningkat, menurunnya absorpsi dan/atau peningkatan
kehilangan protein maupun energi dari tubuh.
Parameter keparahan dan klasifikasi KEP dapat diukur dengan menggunakan indikator
antropometri. Indikator berat badan terhadap tinggi badan (BB/TB) dapat digunakan sebagai
petunjuk dalam penentuan status gizi sekarang dan tinggi badan terhadap usia (TB/U)
digunakan sebagai petunjuk tentang keadaan gizi masa lampau. Departemen Kesehatan RI
(2010) merekomendasikan baku WHO-NCHS untuk digunakan sebagai baku antropometri
di Indonesia. Anak dikatakan menderita KEP apabila berada di bawah -2SD Z-score dari
setiap indikator.
2.3 Epidemiologi
Menurut data pemantauan status gizi (PSG) tahun 2016 berdasar BB/U usia 0-59 bulan
yang mengalami gizi buruk sebanyak 3,4%, gizi kurang 14,4% dan gizi lebih 1,5%. Gizi
lebih banyak pada provinsi DKI Jakarta 4,4%, Bali 3,5% dan Bangka Belitung 3,3%. Gizi
buruk paling banyak di provinsi Kalimantan Barat 6,7%, NTT 6,9% dan Maluku 6,0%.
3
Sedangkan berdasar hasil BB/U usia 0-23 bulan yang mengalami gizi buruk sebanyak
3,1%, gizi kurang 11,8% dan gizi lebih 1,5%. Gizi lebih banyak pada DKI Jakarta 3,5%,
Bali 3,2% dan Bengkulu 2,5%. Gizi buruk banyak di Kalimantan Barat 6,6%, Nusa
Tenggara Timur 6,5% dan Papua Barat sebanyak 5,6%.
Berdasarkan Kemenkes RI tahun 2017 persentase
2017 persentase balita dengan gizi buruk pada usia 0-
59 bulan menurut status gizi dengan indeks BB/U adalah sebesar 3.9% pada tahun 2015 dan
3.4% pada tahun 2016. Selain hal tersebut data Kemenkes RI tahun 2017 juga menunjukkan
pada balita usia 0-59 bulan menurut status gizi dengan indeks TB/U sebesar 10.1% pada
tahun 2015 dan 8.6% pada tahun 2016. Data Kemenkes RI tahun 2017 juga menunjukkan
balita usia 0-59 bulan menurut status gizi dengan indeks BB/TB sebesar 3.7% pada tahun
2015 dan 3.1% pada tahun 2016.
2.4 Etiologi
Menurut UNICEF ada dua penyebab langsung terjadinya gizi buruk, yaitu :
1. kekurangan asupan gizi dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan
yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gzi yang dibutuhkan karena
alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan.
2. Terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya
beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi
Menurut depkes RI tahun 2013 kategori dan ambang batas status gizi anak adalah
sebagai mana terdapat pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak Berdasarkan Indeks
Indeks Kategori Status Gizi Ambang Batas (Z-Score)
Berat Badan menurut Umur (BB/U)
Gizi buruk < -3 SD
0 – 60
60 Bulan
Gizi kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Gizi baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi lebih >2 SD
Panjang Badan menurut Umur
(PB/U) atau Tinggi Badan menurut Sangat pendek <-3 SD
Umur (TB/U) 0 –
0 – 60
60 Bulan
Pendek -3 SD sampai dengan <-2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Tinggi >2 SD
Berat Badan menurut Panjang Badan
(BB/PB) atau Berat Badan menurut
Sangat kurus <-3 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Umur 0 –
0 – 60
60
Bulan
4
Indeks (IMT/U)
Massa Tubuh
18menurut
5 – 18
5 – Tahun Umur Sangat Kurus < -3 SD
Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal -2 SD sampai dengan 2 SD
Gemuk >1 sampai dengan 2 SD
Obesitas >2 SD
Sumber: Depkes RI 2013
2.5.1 Marasmus
Marasmus adalah gangguan gizi karena kekurangan karbohidrat. Gejala yangtimbul
diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat lemak dan otot
di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan kemerahan,gangg
uan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan sebagainya.Anak
tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan, karena masihmerasa
lapar.
Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan
berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi
berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang.
hilan g. Lemak pada daerah pipih adalah bagian
5
terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi tampak relatif normal
sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan
gambaran usus dapat dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu
biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolism basal cenderung
menurun. Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu makan
hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan buang air besar sering,
tinja berisi mucus dan sedikit.
Ciri dari anak marasmus menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2004) antara lain:
Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus
Perubahan mental
Kulit kering, dingin dan kendur
Rambut kering, tipis dan mudah rontok
Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang
Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas
Iga gambang dan perut cekung,
Otot paha mengendor (baggy pant )),,
Sering diare atau konstipasi
Kadang terdapat bradikardi
Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
Kadang frekuensi pernafasan menurun
Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar.
2.5.2 Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah malnutrisi disertai edema dan hipoalbumin, bermanifestasi sebagai
edema pitting yang dimulai dari ekstremitas bawah dan meluas ke bagian atas tubuh seiring
derajat keparahan. Menurut teori klasik, kwasiorkor disebabkan asupan protein yang tidak
adekuat sedangkan asupan kalori cukup atau mendekati cukup. Faktor lain yang mungkin
berperan adalah infeksi akut, toksin, dan kemungkinann ketidakseimbangan mikronutrien
atau asam amino. (nelson)
Ciri dari Kwashiorkor menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (2004)antara lain:
Perubahan mental sampai apatis
Sering dijumpai Edema, pitting
Edema, pitting edema
edema ringan sampai edema generalisata
6
Atrofi otot
Gangguan sistem gastrointestinal
Perubahan rambut menjadi jarang, mudah dicabut, tampak kusam, berwarna coklat,
merah atau pirang
Perubahan kulit bervariasi dari hiperkeratosis hiperpigmentasi sampai ruam makular
eritematosa
Pembesaran hati
Anemia
2.5.3 Marasmus- Kwashiorkor
Gambaran klinis merupakan campuran dari beberapa gejala klinik kwashiorkor
danmarasmus. Makanan sehari-hari tidak cukup mengandung protein dan juga energi
untuk pertumbuhan yang normal. Pada penderita demikian disamping menurunnya beratbad
an < 60% dari normal memperlihatkan tanda-tanda kwashiorkor, seperti edema, kelainan
rambut, kelainan kulit, sedangkan kelainan biokimiawi terlihat pula.
7
Penggunaan indikator TB/U sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan indikator TB/U yaitu dapat memberikan gambaran riwayat keadaan
gizi masa lampau dan dapat dijadikan indikator keadaan sosial ekonomi penduduk.
Sedangkan kelemahan indikator TB/U yaitu kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang
badan pada kelompok usia balita, tidak dapat menggambarkan keadaan gizi saat ini,
memerlukan data umur yang sering sulit diperoleh di negara-negara berkembang, kesalahan
sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan oleh petugas non
professional.
Penggunaan indikator BB/TB sebagai indikator status gizi memiliki kelebihan dan
kelemahan. Kelebihan indikator BB/TB yaitu independen terhadap umur dan ras dan dapat
menilai status kurus dan gemuk dan keadaan marasmus atau KEP berat lain. Sedangkan
kelemahan indikator BB/TB yaitu kesalahan pada saat pengukuran karena pakaian anak
yang tidak dilepas/dikoreksi dan anak bergerak terus, masalah sosial budaya setempat yang
mempengaruhi orang tua untuk tidak mau menimbang anaknya karena dianggap seperti
barang dagangan, kesulitan dalam melakukan pengukuran panjang badan pada kelompok
usia balita, kesalahan sering dijumpai pada pembacaan skala ukur, terutama bila dilakukan
oleh petugas non profesional, tidak dapat memberikan gambaran apakah anak tersebut
pendek, normal atau jangkung.
2.7 Patofisiologi
Tubuh mengalami adaptasi ketika mengalami kelaparan dalam waktu singkat hingga
waktu yang lama.Respon metabolik pada kondisi kelaparan ditandai dengan perubahan
metabolisme karbohidrat menjadi metabolisme lemak. Pada awalnya glikogen dalam tubuh
akan menurun, lalu pada 24-48 jam pertama akan meningkatkan glukoneogenesis dari asam
amino dan gliserol. Ketogenesis mengambil alih dan metabolisme tubuh dipenuhi dengan
badan keton dan asam lemak bebas ( free
free fatty acid ).
). Pada kelaparan jangka lama, akan
dimulai katabolisme protein dan terjadi degradasi struktur protein yang penting dan
disfungsi sistem organ.
Perubahan utama diawali dari otot jantung dan skelet untuk menggunakan asam lemak
bebas dan keton bukan glukosa pada saat kondisi glukosa dalam tubuh sudah mulai
menurun. Sebenarnya glukosa dalam tubuh tidak sepenuhnya menurun. Glukosa yang
disimpan dalam bentuk glikogen di hepar hanya akan digunakan pada kondisi tertentu yang
8
buruk. Tiga puluh enam gram gula akan dirubah menjadi laktat yang akan di transport ke
liver. Liver menggunakan asam lemak bebas untuk glukoneogenesis. Proteolisis pada
kondisi puasa terjadi karena deficit insulin juga mengaktifkan jalur proteolitik (karena
pemberian dekstrosa intravena menghambat proteolisis)
Proteolisis tidak bisa berlajut pada kecepatan 75 gram setiap harinya. Dengan kondisi
kelaparan yang lama kecepatan katabolisme protein berkurang. Otak tidak lagi bergantung
pada glukosa dan bertahan dengan diet keton. Pada tahap ini tidak ada yang menggunakan
glukosa pada semua jaringan di tubuh. Semua jaringan membakar asam lemak bebas atau
keton. Karena ada penurunan kebutuhan tubuh pada glukosa sehingga ada penurunan
kebutuhan untuk glukoneogenesis dan menyebabkan penurunan kebutuhan untuk
katabolisme protein.
Ada 3 proses yang terjadi pada kondisi puasa. Yang pertama adalah fase post-absorbsi
yaitu adaptasi pertama yang dilakukan tubuh saat glukosa menurun dengan cara memecah
cadangan glukosa dalam bentuk glikogen. Sistem saraf pusat dan jaringan lain masih
memprioritaskan penggunaan glukosa dari pemecahan glikogen. Proses ini terjadi pada 24
jam pertama kondisi kelaparan. Pada grafik mulai tampak lipolisis dan glukoneogenesis
semakin meningkat dan diikuti dengan penurunan tajam glikogenolisis.
Pada hari kedua setelah 24 jam kelaparan tubuh akan mulai meningkatkan
9
10
MALNUTRISI
Defisiensi vitamin
Cairan dari
Gangguan absorbsi dan intravaskuler ke Defisiensi fungsi
transportasi zat gizi intersisial adam amino
RESIKO INFEKSI
11
12
c. Adakah tanda syok (tangan dingin, capillary refill time yang lambat, nadi lemah dan
cepat) kesadaran menurun.
d. Demam (suhu aksilar >= 37.5 oC) atau hipotermi (suhu aksilar <35.5oC)
e. Frekuensi dan tipe pernapasan : pneumonia atau gagal jantung
f. Sangat pucat
g. Pembesaran hati dan icterus
h. Adakah perut kembung, bising usus melemah/meninggi, tanda asites, atau adanya
suara seperti pukulan pada permukaan air (abdominal splash)
i. Tanda defisiensi vitamin A pada mata: konjungtiva atau krnea yang kering, bercak
bitot, ulkus kornea, keratomalasia
j. Ulkus pada mulut
k. Fokus infeksi : telinga, tenggorokan, paru, kulit
l. Lesi kulit pada kwashiorkor :
13
15
Gambar 2.3 Alur pelayanan anak dengan gizi buruk
14
Pengukuran antropometri
Penimbangan berat badan dilakukan setiap minggu
Pengukuran panjang/tinggi badan dilakukan setiap bulan
Pengukuran antropometri dilakukan oleh Tim Pelaksana dan hasilnya dicatat pada kartu
status. Selanjutnya dilakukan ploting pada grafik dengan tiga indikator pertumbuhan anak
(TB/U atau PB/U, BB/U, BB/PB atau BB/TB).
Pemeriksaan klinis
Dokter melakukan anamnesa untuk mencari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan
mendiagnosa penyakit, serta menentukan ada atau tidak penyakit penyerta, tanda klinis atau
komplikasi.
Pemberian konseling
Menyampaikan informasi kepada ibu/pengasuh tentang hasil penilaian pertumbuhan anak
Mewawancarai ibu untuk mencari penyebab kurang gizi
Memberi nasihat sesuai penyebab kurang gizi
Memberikan anjuran pemberian makan sesuai umur dan kondisi anak dan cara menyiapkan
makan formula, melaksanakan anjuran makan dan memilih atau mengganti makanan.
15
a. Obat
Bila pada saat kunjungan ke puskesmas anak dalam keadaan sakit, maka oleh tenaga
kesehatan anak diperiksa dan diberikan obat
Vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak gizi buruk dengan dosis sesuai umur pada
saat pertama kali ditemukan
b. Makanan untuk Pemulihan Gizi
Makanan untuk pemulihan gizi dapat berupa makanan lokal atau pabrikan
Jenis pemberian ada 3 pilihan: makanan therapeutic atau gizi siap saji, F100 atau
makanan lokal dengan densitas energi yg sama terutama dari lemak
(minyak/santan/margarin)
Pemberian jenis Makanan untuk pemulihan gizi disesuaikan masa pemulihan
(rehabilitasi) :
o 1 minggu pertama pemberian F 100.
o
Minggu berikutnya jumlah dan frekuensi F100 dikurangi seiring dengan penambahan
makanan keluarga.
Tenaga kesehatan memberikan makanan untuk pemulihan gizi kepada orangtua anak
gizi buruk pada setiap kunjungan sesuai kebutuhan hingga kunjungan berikutnya.
16
total kalori. Makanan lokal dengan kalori 200 kkal/Kg BB per hari, yang diperoleh dari
lemak 30-60% dari total energi, protein 4-6 g/Kg BB per hari.
6. Apabila akan menggunakan makanan lokal tidak dilakukan secara tunggal (makanan
lokal saja) tetapi harus dikombinasikan dengan makanan formula.
b. Jumlah dan Frekuensi
Makanan untuk Pemulihan Gizi bukan makanan biasa tetapi merupakan makanan khusus
untuk pemulihan gizi anak yang diberikan secara bertahap:
1. Anak gizi buruk dengan tanda klinis diberikan secara bertahap:
Fase rehabilitasi awal 150 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali pemberian/hari.
Diberikan selama satu minggu dalam bentuk makanan cair (Formula 100).
Fase rehabilitasi lanjutan 200-220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali
pemberian/hari (Formula 100).
2. Anak gizi buruk tanpa tanda klinis langsung diberikan fase rehabilitasi lanjutan 200-
220 kkal/kg BB per hari, yang diberikan 5-7 kali pemberian/hari (Formula 100).
Rehabilitasi lanjutan diberikan selama 5 minggu dengan pemberian makanan secara
bertahap dengan mengurangi frekuensi makanan cair dan menambah frekuensi makanan
padat.
b.Penanganan anak gizi buruk rawat inap
17
18
2.5 Bagan Hasil Pemeriksaan dan Tindakan Pada Anak Gizi Buruk
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
menyenangkan. Jika pada usia yang disebutkan bayi belum bisa melakukan minimal salah
satu diantara perkembangan maka harus membawa bayi ke dokter/bidan/perawat. Bawa anak
3 bulan –
bulan – 2
2 tahun setiap 3 bulan ke fasilitas untuk mendapatkan pelayanan SDIDTK.
Stimulasi Bayi usia 0 –
0 – 3
3 bulan
Sering memeluk dan menimang bayi dengan penuh kasih sayang
Gantung benda berwarna cerah yang bergerak dan bisa dilihat bayi
Tatap mata bayi dan ajak tersenyum, bicara dan bernyanyi
Perdengarkan music atau suara kepada bayi
Mulai 3 bulan bawa bayi ke luar rumah memperkenalkan lingkungan
sekitar
31
Pada usia 1 bulan bayi bisa: menatap ke ibu mengeluarkan suara o..o…,
tersenyum, menggerakkan tangan dan kaki
Pada usia 3 bulan bayi bisa: mengangkat kepala tegak ketiak tengkurap,
tertawa, menggerakkan kepala ke kanan dan ke kiri, membalas tersenyum
ketika diajak bicara/tersenyum, mengoceh spontan atau bereaksi dengan
mengoceh.
Stimulasi bayi usia 3 –
3 – 6
6 bulan
Sering telungkupkan bayi
Gerakkan benda ke kiri dan kanan di depan matanya
Perdengarkan berbagai bunyi-bunyian
Beri mainan benda yang besar dan berwarna
Bayi usia 6 bulan bisa: berbalik dari telungkup ke telentang,
Mempertahankan posisi kepala tetap tegak, meraih benda yang ada di
32
33
Latih anak tidur terpisah dari orang tua dan anak yang berbeda jenis
kelamin
Biasakan anak untuk berkata jujur, berterima kasih dan meminta maaf
Figure ayah sebagai contoh bagi anak laki-laki, dan figure ibu sebagai
contoh bagi anak perempuan
Kembangkan kreativitas anak dan kemampuan bergaul
Pada usia 5 tahun anak bisa: melompat-lompat 1 kaki menari dan berjalan
lurus, menggambar orang 3 bagian (kepala, badan, tangan/kaki),
menggambar tanda silang dan lingkaran, menangkap bola kecil dengan
kedua tangan, menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang benar,
menyebut angka, menghitung jari, bicaranya mudah dimengerti,
berpakaian sendiri tanpa dibantu, mengancing baju atau pakaian boneka,
mnggosok gigi tanpa bantuan.
Kriteria sembuh:
Bila BB/TB atau BB/PB > -2 SD dan tidak ada gejala klinis dan memenuhi kriteria
pulang sebagai berikut:
1. Edema sudah berkurang atau hilang, anak sadar, danaktif
2. BB/PB atau BB/TB > -3 SD
3. Komplikasi sudah teratasi
4. Ibu telah mendapat konseling gizi
5. Ada kenaikan BB sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2 minggu berturut-turut
6. Selera makan sudah baik, makanan yang diberikan dapat dihabiskan.
34
35
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gizi buruk masih merupakan masalah kesehatan utama di banyak negara di dunia,
terutama di negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia. Salah satu
klasifikasi dari gizi buruk adalah tipe marasmik-kwashiorkor, yang diakibatkan defisiensi
protein berat dan pemasukan kalori yang sedikit atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
gizi.
Manifestasi klinis marasmik-kwashiorkor yang sering ditemui antara lain hambatan
pertumbuhan, hilangnya jaringan lemak bawah kulit,
ku lit, atrofi otot, perubahan tekstur dan warna
rambut, kulit kering dan memperlihatkan alur yang tegas dalam, pembesaran hati, anemia,
anoreksia, edema, dan lain-lain.
3.2. Saran
Diperlukan anamnesis yang teliti, pemeriksaan fisik dan penunjang yang tepat sehingga
dapat dilakukan penatalaksanaan marasmik-kwashiorkor secara optimal. Penanganan
penyakit ini harus dilakukan dengan tepat dalam waktu sedini mungkin untuk mencegah
komplikasi yang menurunkan kualitas hidup bahkan kematian.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) KLB-Gizi Buruk.
Departemen Kesehatan RI, 2008.
2. Muller O, Krawinkel M. Malnutrition and Health in Developing Countries. CMAJ 173:279-
86
3. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk Di Indonesia Tahun 2005. Diakses dari
http://www.gizi.net/busung-apar/Laporan%20Gizi%20Buruk%20sampai%20Des2005-
Final.pdf tanggal 3 Maret 2011.
4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. Buku Bagan Tatalaksana Anak Gizi Buruk. Departemen
Kesehatan RI, 2007.
5. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Glosarium Data dan Informasi
Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2006.
6. Pudjiadi, S. Penyakit KEP (Kurang Energi Protein). Dalam Ilmu Gizi Klinis pada Anak.
Edisi 4 2000. Hal 97-190.
7. Admin.Program Perbaikan Gizi Makro. Diakses dari
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc,, 2004.
http://www.gizi.net/kebijakangizi/download/GIZI%20MAKRO.doc
8. Simanjuntak,E. Faktor Resiko Kurang Energi Protein Pada Balita Di Kota Medan. Diakses
dari
http://library.usu.ac.id/index.php/component/journals/index.php?option=com_journalreview
&id=3197&task=view,, 2008.
&id=3197&task=view
9. Marizza, Nofelia.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Kurang Energi Protein
(KEP) Pada Balita Di URJ RSU Dr. Soetomo Surabaya. Diakses dari
http://ojs.lib.unair.ac.id/index. php/bprsuds/article/view/1439/1438.
php/bprsuds/article/view/1439/1438.
10. Boerhan H, Roedi. Kurang Energi Protein (KEP). Diakses
dari::http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=ePDT&direktori=pdt&filep
dari
df=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
df=0&pdf=&html=07110-rswg255.htm.
11. Heird, WC. Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition In Nelson Textbook of Pediatrics,
37
38