Anda di halaman 1dari 9

Sekertariatan: Jl.

Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

Pemantik awal rasan-rasan budaya. Tulisan ini juga menjadi pengantar dalam buku Sensasi Kopi
Indonesia
KISAH-KISAH KOPI DAN NGOPI :

CARA MENIKMATI HIDUP HINGGA SIMBOL BUDAYA

Oleh: Tjahjono Widijanto*)

Kopi dan ‘ngopi’ memiliki deret riwayat yang cukup panjang. Minuman warna hitam dengan
aroma khas yang konon berasal dari Yaman yang awal mulanya masuk di Nusantara dibawa V.O.C dan
mengalami masa jaya pada era tanam paksa ini kini bisa hadir di mana saja. Kopi berikut aktivitas
ngopinya saat ini bisa hadir di sisi ranjang sepasang temanten baru yang sedang hangat-hangatnya; ia
juga bisa dihadir di dapur sebuah keluarga manten kawak, sepasang kakek-nenek yang sudah puluhan
tahun berumah tangga dengan pawon tanah liat dan bahan bakar kayu api; kopi dan ngopi juga bisa
hadir di warung-warung angkringan beratap terpal plastik dengan cahaya teplok remang-remang; kopi
dan ngopi dapat dijumpai pula dalam gerai-gerai cafe kekinian khas millenial yang ceria dengan
pancaran WiFi, di mall-mall yang serba padhang serta meriah, atau di sudut-sudut bandara dengan
nama-nama asing yang perlahan menjadi biasa.
Kopi dalam konteks perjuangan bangsa juga pernah mencatat kisah heriok yang kini mungkin
sudah dilupakan orang. Inilah sebuah kisah “heroik” di awal pergerakan nasional yang memanfaatkan
kopi sebagai simbolidentitas budaya yang diwartakan oleh wartawan Bintang Timoer, Abdul Rivai di
Leiden bertitimangsa 3 Oktober 1927.
Tersebutlah sejumlah mahasiswa dan pelajar Indonesia (Hindia Belanda) yang sedang menimba
ilmu di Belanda yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia berkumpul di Leiden. Mereka tersebar
dari berbagai kota di Belanda, ada yang nge-kost di Den Haag, Delft, Rotterdam, Leiden dan
Wageninggen. Angggota-anggota organisasi pelajar yang dulu bernama Indonessische Vereeniging
yang kemudian pada 1924 resmi berganti nama menjadi Perhimpunan Indonesia itu menggagas,
berdiskusi dan berdebat dalam upaya membebaskan diri dari cengkeraman kolonial.
Dalam pertemuan itu sengaja mereka tonjolkan simbol-simbol budaya yang merujuk pada
“identitas ke-nasionalan” atau "kenusantaraan" dan membuang segala atribut yang berbau Belanda.
Mereka bahkan menyebut pertemuan itu dengan istilah “selamatan”. Istilah selamatan ini dalam
konteks kebudayaan Nusantara mengandung pengertian akan sebuah pertemuan yang guyub, akrab,
penuh persaudaraan bahkan mengandung unsur spiritual. Bahasa yang digunakan dalam pertemuan itu
adalah bahasa Melayu dan Jawa bukan bahasa Belanda. Makanan-makanan yang disajikan semua khas
Indonesia mulai dari tiwul, ketela, sagu juga rempah. Cara makan
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

mereka muluk alias menggunakan tangan tidak menggunakan sendok. Mereka bergotong royong mulai
dari urusan makan hingga urusan bersih-bersih. Semuanya made in Indonesia!
Dalam tulisan reportase bertajuk “Student Indonesia di Eropa” itu, Abdul Rivai melaporkan,
“Kopinja boekan kopi saringan, tetapi kopi toebroek sebab kopi ini kata mereka nationaal, goelanja
goela Djawa. Soesoe tidak dipakai sebab tidak nationaal. Rokoknya kelobot, dengan tjampoeran
tjengkeh Noesantara. Selamatan nationaal ini teroes berlangsoeng sampai pagi”.
Pada laporan jurnalisme Rivai ini nampak bahwa kopi (tubruk), cengkeh, serta kretek klobot
dianggap sebagai simbol budaya yang mewakili identitas kenusantaraan. Klobot rokok krerek asli
Nusantara berupa daun jagung (klobot) yang di dalamnya ada rajangan mbako (tembakau Jawa)
dicampur dengan cengkeh, rempah-remnpah asli Nusantara bersama kopi trubuk berfungsi tak hanya
sekedar isapan, minuman, atau kenikmatan namun menjelma sebagai simbol untuk mengungkapkan
perasaan nasionalisme dan solidaritas kebangsaan.
Klobot kretek Nusantara yang di dalamnya terdapat cengkeh dihadirkan sebagai simbol pemacu
kesadaran dan siprit untuk merdeka karena cengkeh dan tanaman rempah-rempah lainnya seperti pala
dan lada, yang menggerakkan bangsa Barat bercokol di Nusantara dan merampasnya. Simbol klobot
cengkeh ini untuk mengingatkan bahwa kolonialisasi yang dibangun oleh kerajaan kolonial Portugis,
Belanda, Spanyol dan Inggris, awalnya memang dibangun atas dasar pencarian tanaman rempah-
rempah seperti: cengkeh, lada, kayu manis, dan bunga pala. Masa itu rempah-rempah merupakan
tanaman langka dan berharga sehingga oleh bangsa Eropa disebut-sebut sebagai “tumbuhan sorga”.
Nafsu akan “tumbuhan sorga” ini yang memunculkan energi dahsyat dan jahat berbentuk kolonialisasi
dan imperalisme Barat di Timur hingga berabad-abad berikutnya.
Kopi tubruk sendiri digunakan sebagai simbol identitas karena juga merupakan kopi khas
Indonesia yang berbeda dengan kopi lainnya di dunia. Kopi tubruk terbuat dari bubuk kopi yang
dijerang bersama dengan gula (saat itu menggunakan gula batu atau gula Jawa). Ciri khas kopi tubruk
adalah endapan kopi di dalam gelas atau cangkir. Pembuatan kopi tubruk berbeda dengan pembuatan
kopi lain. Dalam kopi tubruk biji kopi yang sudah disangrai tidak dihaluskan menggunakan mesin tetapi
ditumbuk dengan tangan. Di tangan para pemuda tepelajar Indonesia di Belanda itu kopi tubruk
bersama klobot dari sekedar minuman dan hisapan berubah menjadi simbol yang dianggap dapat
membangun komunitas imajiner bersama akan sebuah negara bangsa bernama Indonesia.
Akhirnya sejarah mencatat bagaimana identitas dan semangat nasionalisme yang pada mulanya
disimbolkan dengan hal sederhana: --kopi tubruk dan kretek klobot cengkeh ini-- menemukan jangkar
teguhnya dalam pidato Soekarno 1 Juni 1945: “...Kita hendak mendirikan suatu negara “semua untuk
semua” Karena itu jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang
pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan
kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, Tetepi kebangsaan
Indonesia yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat!”.
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

Kopi ada pula yang menafsirnya dari guyonan othak-athik basa, dari kata “kopen” yng dalam
bahasa Jawa berarti merawat, menjaga, dan memelihara secara hati-hati. Hanya satu tujuannya, mereka
bisa menumbuhkan kopi berkualitas dari segi rasa dan aroma. Tak hanya sekadar harum, tetapi kopi
beraroma surga sebagai harta karun berlimpah di tanah Nusantara, the Aroma of Heaven. Bagi sebagian
masyarakat di tanah air, kopi bukan sekadar minuman. Tapi, kopi adalah sumber kehidupan. Mereka
mendedikasikan hidupnya demi kopi agar dapur terus mengepul dan anak-anak bisa bersekolah.
  Konon kabar beritanya, sekitar 1602, Belanda dengan kapal VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) bersiasat dagang di Jawa sembari membawa kopi Malabar dari India. Kopi Arabika ini
lantas diuji coba tanam di Batavia (Jakarta). Sayangnya, faktor alam membuat penanaman kopi ini
gagal. Belanda lantas menanam ulang di daerah Sumatera, Bali, Timor Timur, Sulawesi dan beberapa
pulau lain. Penanaman ini sukses besar. Bahkan, pada 1700-an, VOC memonopoli perdagangan kopi di
Eropa dan seluruh dunia. Muncul lahan kopi terluas di Asia Tenggara, Dataran Tinggi Gayo dengan
kopi Gayo. Sedang, di Jawa, lebih populer dengan kopi Java.
Dalam jagat literasi, kopi juga disinggung-singgung sedikit dalam novel Max Havelaar Douwes
Dekker. Novel lawas berwibawa ini bersetting banyak dengan sisi terselubung sistem tanam paksa di
Indonesia yang mencerminkan ketidakadilan dan kekejaman Belanda terhadap petani Indonesia
termasuk petani kopi. Kemudian pada era 2000-an, kopi Indonesia mulai bersinar di kancah
Internasional. Bahkan, sukses menempati posisi keempat produsen kopi terbesar sejagat, di bawah
Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Beragam jenis cita rasa kopi Indonesia yang berkualitas dan nikmat,
membawa reputasi harum kopi Indonesia di mata dunia. Seiring waktu, masyarakat global baik di
belahan Eropa maupun Asia menjadikan minum kopi sebagai budaya. Menurut Wrecking Trish
Rothgeb dalam artikel Ball Coffee Roasters yang ditulis tahun 2002, sedikitnya ada 3 pergerakan dalam
perkopian atau lebih dikenal sebagai Waves Coffee.
Gelombang perubahan perk(ng)opian pertama adalah First Waves Wave Coffee yang ditengarai
terjadi kira-kira era 1800-an. Pada era ini kopi mu disajikan dalam kemasan praktis dan instan. Bahkan,
pada Perang Dunia I (1917), tentara disajikan kopi sebagai minuman setiap hari. Kopi berikut cara
ngopi mulai ditampilkan dengan cara praktis dalam kemasan mungil. Ini mungkin dapat diartikan sebagi
embrio dari kopi model sanset,kemasan atau instan.
Gelombang perbahan kedua terkenal dengan istilah Second Wave Coffee.Pada gelombang
perubahan kedua ini, ngopi dengan cara instan meski praktis dan simpel dianggap kurang nikmat. Para
pengopi menginginkan lebih dari yang bisa mereka minum, maka pada era 1960-an, muncul berbagai
varian kopi baru seperti latte, espresso, mochaccino, cappuccino, frappuccino, americano, dan masih
banyak lagi yang higga kini menjelma branding kopi yang mahsyur seantero jagat. Pada gelombang ini
mulai muncul berbagai coffee shop tematik yang lebih nyaman dan modern. Sembari minum kopi,
mereka bisa mengobrol santai hingga diskusi bisnis dengan kolega. Di Nusantara fenomena ini
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

didukung dengan kebiasaan orang-orang Nusantara yang gemar berkomunikasi dalam kedai-kedai dan
budaya komunal yang bercirikan paguyuban, patembayan dan musyawarah yang mensyaratkan suasana
berkelompok, kebersamaan, dan perjamuaan. Kopi selalu hadir dalam situasi ini.
Gelombang ketiga yang disebut sebagai Third Wave Coffee hadir tahun 2000-an. Pada masa
milleneal ini masyarakat luas menyadari ada perjalanan panjang demi secangkir kopi nikmat. Mulai dari
proses penanaman, pengolahan biji kopi, hingga penyajian. Dari sini muncul istilah “origin”, yaitu
pemberian identitas kopi sesuai lokasi tanamnya. Pasalnya, rasa kopi akan berbeda apabila ditanam di
daerah tertentu. Pecinta kopi lebih detail dalam menikmati kualitas dan rasa kopinya. Istilah barista,
pengolah dan penyaji menjadi tersohor dan menjadi “kelas pekerjaan” terpandang yang digandrungi
kaum muda. Barista menjadi serupa chief resto-resto kelas atas yang memiliki gengsi (prestise)
sekaligus membutuhkan seperangkat pengetahuan yang detial tentang perkopian .

Di awal telah tersebutkan bahwa dalam konteks budaya kopi pernah dipakai sebagai simbol
identitas nasional. Kopi bersanding klobot dan cengkeh dianggap sebagai kekayaan sekaligus kekhasan
Nusantara yang tidak ditemui di belahan jagat lain. Amerika boleh punya starbucks tapi Nusantara juga
punya cara lain dan bangga dengan kopi tubruk, kopi bathok, kopi paron (separo kopi separo beras),
atau kopi nggereng yang lekat dengan warna hitamnya. Ngopi bagi orang Indonesia terlebih lagi Jawa,
tidak sekedar meminum sesuatu untuk mendapatkan rasa nikmat akan minuman itu, tetapi ngopi adalah
cara khas orang Jawa menikmati dan menghayati hidupnya. Kopi dan ngopi tidak sekedar urusan cecap
mencecap lidah dan selera indera rasa, lebih dari itu kopi dan ngopi adalah cara orang Jawa menikmati,
menghayati dan berkontemplasi tentang hidup dan kehidupannya. Dalam konteks ini ngopi dan kopi
hadir seperti halnya kebiasaan udut orang Jawa yang tidak hanya sekedar menghisap tembakau dan
cengkeh semata.
Ngopi dan ngudut (merokok) dalam sebagaian penikmat kopi merupakan aktivitas bersama yang
seiring dan sejalan degan ngopi. ---Sekali lagi sebagain tidak semuanya karena banyak pula pengopi
yang tidak perokok---. Seperti halnya kopi dan ngopi, bisa juga ada pertanyaan muncul: sejak kapan
masyarakat Nusantara mengenal kebiasan merokok? Di masyarakat Jawa pedesaan merokok biasa di
sebut dengan udut. Tentu saja yang dimaksud dengan udut atawa rokok jaman jadul bentuknya bukan
seperti saat ini. Dahulu udud bentuknya adalah lintingan daun tembakau (mbako) atau daun jagung yang
biasa disebut klobot. Para penghisap udud itu meracik sendiri racangan tembakau yang dicampur
cengkeh dan acap kali di beri rempah-rempah lain dan menggulungnya dalam klobot jagung.
Adalah seorang Thomas Stamford Rafles dalam bukunya yang amat legendaris,: History of Java
yang diterbitkan pada tahun 1817 menyebutkan bahwa kebiasaan udud telah mulai ada di Jawa pada
lebih-kurang tahun 1601. Selain Rafles, seorang bernama De Candolle yang dikutip oleh Van Der
Reijden dalam bukunya Rapport Betreffende Eene Gehouden Enquete Naar De Arbeids Toestanden In
De Industrie Van Sttrootjes En Inheemsche Sigaretten Op Java Jilid 1 (1934) juga menyebutkan
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

tanaman tembakau telah di bawa ke Pulau Jawa sekitaran tahun 1600. Laporan lain menyebutkan bahwa
pada tahun-tahun pertama abad XVII, mengisap tembakau telah dikenal di Jawa.
Dalam pustaka-pustaka atau karya sastra klasik Jawa, kebiasaan udud pun digambarkan. Salah
satu di antaranya ialah naskah Jawa bertajuk Babad Ing Sangkala. Pustaka klasik ini berbentuk
tembang, yang menceritakan bahwa bersamaan dengan meninggalnya pendiri dan Raja Mataram Islam,
Panembahan Senopati yang masa kecilnya bernama Raden Sutawijaya ayah Sultan Agung, masuklah
tembakau ke Jawa dan setahun berikutnya mulailah orang Jawa udud.
Beginilah cuplikan larik tembang Babad Ing Sangkala yang bercerita tentang udud itu:
“Kala séda Panêmbahan syargi
ing Kajênar pan anunggal warsa
purwa sata sawiyosé
milaning wong ngaudud”

Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maknanya kurang lebih sebagai berikut:
“Waktu mendiang Panembahan (Senopati) meninggal
di Gedung Kuning adalah bersamaan tahunnya
dengan awal munculnya tembakau, setelah itu
mulailah orang merokok”

Dua peristiwa penting itu, yakni meninggalnya Panembahan Senapati dan masuknya tembakau
sekaligus kebiasaan udud itu, oleh penggubah babad Ing Sangkala itu diberi titimangsa dengan candra
sengkala: “Geni Mati Tumibeng Siti”, yang apabila diangkakan dengan tahun Masehi adalah tahun
1601-1602.
Di Jawa udud atau merokok seperti halnya k(ng)opi ternyata bukan semata-mata kesenangan
pribadi, tetapi juga menjadi simbol menghormati tamu karena itu menjadi hidangan penting yang harus
ada seperti halnya buah pinang dan suruh (sirih). Saat itu masyarakat Jawa tidak saja hanya menyajikan
secangkir wedang kopi, tetapi juga tembakau untuk dilinting oleh tamunya, sekaligus juga menyediakan
lintingan udud dalam bentuk jadi hasil tangan si empunya rumah.
Gambaran ini nampak dan direkam dalam Serat Centini yang merupakan kitab “babon” Sastra
Jawa yang amat mahsyur yang disusun pada tahun 1814 atas perintah Sunan Pakubuwono V. Inilah
penggalan lariknya:
“Sira dhéwé ngladénana nyai
lan anakmu dhénok
gantén êsês wédang daharane
mêngko bagda ngisa wissa ngrakit
dahar kang prayogi
dhayohmu linuhung”

“Hai dinda, hendaknya engkau


sendiri yang melayani
bersama anakmu si upik
dengan sirih, rokok, minuman dan makanan
usai isya nanti seyogyanya engkau
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

telah selesai menyiapkan


makanan yang pantas
oleh karena tamumu orang yang mulia”

Di dalam dua teks sastra klasik itu jelas ditunjukkan bahwa masyarakat Jawa masa Mataram
Islam sudah mengenal fenomena “rokok”. Dan aktivitas merokok itu disebut dengan udud atau sês
(ngêsês). Dalam kakawin yang jauh lebih tua yakni Smaradahana yang ditulis oleh Empu Darmaja di
era kerajaan Kediri, udut disebut dengan mangudud : “.. saksat guguh makêmilan mangudud
kapundung..” (tampak orang tua tak bergigi dengan kantong pipi menonjol mengisap dengan nikmat
semangat). Ditemukan juga kata “ududan” yang bermakna bahan-bahan untuk rokok dalam kitab Sri
Tanjung: “...wong anglampit saududan...” (orang membawa gulungan untuk bahan udud).
Sebelum bahan baku rokok yakni tembakau, masyarakat Jawa jauh-jauh hari memang sudah
mengenal aktvitas “membakar” dan menikmati asapnya. Salah satu bahan yang digemari masyarakat
Jawa untuk dibakar dan dinikmati sebelum tembakau adalah dupa (dhupa) atau kemenyan.Dhupa atau
dupa ini merupakan wangi-wangian berasal dari getah atau damar. Pemakain dhupa ini menurut
Zoetmulder (1995) disebut-sebut dalam berbagai kitab, a.l: ramayana, Wirataparwa, Agstyaparwa,
Sutosama, Gatotkacasraya, Ramaparasuwijaya, Harisraya, dan lain-lain. Nah, pada akhirnya kelak
kemudian hari hingga saat ini di beberapa daerah di Jawa Tengah dikenal rokok yang sebut dengan
rokok klebak menyan, rokok dengan bahan baku utama tembakau yang dicambur dengan dupa atau
kemenyan.
Begitulah, ngopi dan udut bagi orang Jawa adalah upaya menikmati dan menghayati hidup
sekaligus upaya untuk “membersamai” dan menghormati siapa saja. Dalam bahasa millenalnya bisa
dikatakan bahwa ngopi dan udut adalah cara elegant untuk kita dapat bersanding dengan orang lain
sekaligus menghayati kehidupan personal kita sendiri. Dan bukankah dalam era milleneal ini kita sangat
butuh bersanding bukan hanya bersaing?

Ide penulis-penulis Ngawi mengumpulkan bunga rampai tulisan yang berbicara tentang kopi dan
ngopi ini barangkali terinspirasi dengan lintas dan kelebat ingatan tentang lintasan perdagangan rempah
dan kopi yangmewarnai perjalanan bangsa ini. Jalur rempah dan kopi yang mulai kawentar di abad ke-
17, saat ketika Indonesia atau sebut saja Nusantara, adalah sebuah negara bangsa yang diperebutkan
oleh kolonial-kolonial Eropa untuk meraup keuntungan ekonomi sekaligus menggenggam kuasa politik.
Sejarah telah rancak bercerita bagaimana tanah-tanah sepanjang Nusantara ini telah dijadikan palagan
persaingan negara-negara Eropa seperti Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda.
Ngawi, --barangkali oleh penulis-penulis buku perihal kopi ini--- karena posisinya di tengah
sebagai penghubung Jawa bagian timur ke arah Jawa bagian barat, menganggap dan mengimajikan
Ngawi sebagai “selat Malaka kecil’ yang menghubungkan jalur dari timur ke barat meski sekarang
sudah diterabas dengan bangunan jalan tol. Ngawi bisa jadi karena dia terletak di simpang jalan Jawa
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

Tengah dan Jawa Timur yang juga kemudian akses ke Jawa Barat, dapat dijadikan sebagai gambaran
kecil fenomena budaya yang dapat ditemui di tempat lain.Karena itu pula mungkin edtor buku ini
cukup gagah dan berani memakai label “Indonesia”, yakni Sensasi Kopi Indonesia.
Tajuk buku kecil ini tentunya segera mengabarkan pada calon pembacanya bahwa tulisan-
tulisannya di dalamnya dapat berupa teroka, analisis, respon, bahkan mungkin sekedar kesan selintas
tentang kopi dan mengopi yang nampaknya menjadi memori kolektif para penulis di buku ini. Berbagai
ragam gaya dan sudut pandang pun bebas tersalurkan. Ada yang yang berstyle serius, sekedar mencatat
guyonan, bergaya cerpenis, bergaya milleneal, bersudut pandang penikmat kopi profesional, ada pula
yang mencatat sebagagai “penggembira” kopi semata. Ada yang mencoba menukik ke arah di balik
fenomena kopi dan ngopi, ada yang mencoba berfilosofi melalui kopi, tetapi ada juga yang hanya
menulis kopi sebagai kopi dan ngopi sebagi minum semata, dan sebagainya. Semuanya itu tentu sah-sah
saja adanya dan diikat dengan satu tambang: kopi dan ngopi, suka atau tak suka adalah kekayaan dan
milik bersama!
Tulisan-tulisan ringan dalam buku ini apapun bentuknya saya senang membacainya, karena
saya dapat menjumpai spirit arena ngopi dan warung kopi, di mana ini setiap orang merasa nyaman,
betah untuk nongkrong dalam suasana yang ringan, akrab, familiar dan demokratis. Spirit warung kopi
adalah arena yang menghindarkan prestise dan eklusif, arena yang memberikan ruang dialog dengan
gaya akrab, seenaknya, apa adanya tanpa beban basa basi atau beban aturan yang terlampau ketat.
Perbicangan dan pertemuan yang terjadi dalam warung kopi adalah bertumpu atau didasarkan pada rasa
atau perasaan kebersamaan.
Kopi, dan ngopi serta juga warung kopi dalam tulisan-tulisan di buku ini, dipandang sebagai
sebuah subkultur, dapat dipandang sebagai discursive practice yang khas dimana rasa dan perasaan
kebersamaan menjadi faktor penting untuk memahami hakikat realitas dalam arenanya. Rasa dan
perasaan kebersamaan dalam satu arena sosial ini dalam pandangan filsuf dan sosiolog Perancis, Pierre
Bourdieu, dapat dipahami sebagi proses produksi dan reproduksi wacana-wacana yang menghadirkan
format eksistensi dan reproduksi sosial. Karena itu dalam spirit arena warung kopi akan senantiasa
dapat didengar dan ditemukan perbincangan tentang beragam tema, beragam isu sosial, ekonomi,
budaya, bahkan politik yang berlangsung demikian cair, bebas, enjoy dan penuh keakraban.. Sebuah
perbincangan rakyat kecil, masyarakat bawah yang bahkan mungkin saja dapat terlihat dan terdengar
nyleneh karena lahir dari logika masyarakat kecil yang jauh dari kehendak eklusif dan gaya elitis.
Akhirnya, buku ini memang tak berniatan berbicara ndakik-ndakik perihal kopi. Spirit ngopi
yang nyantai, akrab, serta kebersamaan, sengaja diusung dengan gaya bebas, santai, akrab dan terbuka
sehingga orang dapat keluar dan membebaskan diri dari sekat-sekat ideologis, sekat sosial, dan bersama
membebaskan diri dari kepenatan dan rutinitas hidup, bahkan dengan cara meratapi sekaligus
menertawai nasib secara personal sekaligus bersama-sama.
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

Buku ini adalah lebih sebagai upaya bersama untuk merayakan kebersukacitaan tentang sesuatu
yang dianggap milik bersama. Merayakan sesuatu yang dianggggap merupakan kekayaan bersama,
merayakan sesuatu yang dianggap sebagi nikmat bersama. Tanpa pretensi apapun buku ini lahir untuk
merayakan suatu kebersamaan, merayakan kebersaudaraan, merayakan kebersandingan. Urip mung
mampir ngopi. Mangga ngopi!
*******
*)Penulis adalah sastrawan nasional dan alumnus program Doktor Pendidikan Bahasa sastra
Indonesia, UNS Surakarta.Tinggal di Ngawi Jawa Timur.
Sekertariatan: Jl. Hasannudin, gang Cimanuk 1A, Ngawi

TENTANG KOMUNITAS NALAR BUDAYA (KNB) NGAWI

Komunitas Nalar Budaya adalah komunitas budaya yang nirlaba, indepeden, tidak berpolitik dan
bercorak "patembayan", kekeluargaan  dan kebersamaan. Komunitas Nalar Budaya (KNB) memiliki
perhatian pada persoalan-persoalan budaya secara umum. Berfokus pada kegiatan kegiatan
menggerakan aktivitas literasi  baca tulis (kepenulisan sastra maupun non sastra) ; literasi budaya
(persoalan sejarah, tradisi, local wisdom, sastra, kesenian dan sosial budaya lainnya). Kegiatannya dapat
berupa produksi atau penerbitan buku sastra/sosial budaya, kajian buku, diskusi sastra, launching buku,
kajian budaya, kajian seni, pameran seni - budaya dan sebagainya. Semua kegiatan yang dilakukan
KNB bersifat nirlaba dan terutama dibiayai dengan partisipasi (patungan) bersama meski tidak tertutup
untuk menerima donatur yang tidak mengikat.

Komunitas Nalar Budaya dicikal bakali oleh 4 serangkai: Tjahjono Widijanto Sastrawan dan Pendidik),
Budi Hantara (Guru dan Penulis), Sriyanto dan Sugeng Susanto (Guru). Kemudian bergabung tiga nama
lagi yakni:   Susetyo (Pelukis), Agus Maus (Pengusaha), dan Tito Setyobudi (Budayawan), sehingga
komunitas ini beranggota 7 (tujuh) orang dan tidak memiliki pengurus, hanya ada kordinator, yang
berdasarkan kesepakatan ditunjuk Tjahjono Widijanto sebagai kordinator.

Setelah kegiatan Launching buku dan rasan-rasan budaya ini telah dipersiapkan pula penerbitan
antologi esai budaya perihal gunung dengan tajuk Suluk Gunung. Selanjutnya telah dipersiapkan pula
Rasan-rasan Budaya jilid 2 yang akan membahas hal ihwal Keroncong dengan narasumber pakar
keroncong dan penggiat Keroncong di Ngawi.

Anda mungkin juga menyukai