Anda di halaman 1dari 4

E.

Struktur Penulisan Karya Ilmiah Populer yang Diterbitkan di Media Massa


Pada penulisan karya ilmiah populer yang di terbitkan di media massa memiliki karakteristik
yang sama seperti karya ilmiah populer pada umumnya yaitu terdapat 5 karakteristik penulisan yaitu:
(1) judul, (2) nama penulis, (3) pendahuluan, (4) batang tubuh atau isi, dan (5) penutup. Untuk artikel
surat kabar dan majalah berupa tajuk, kolom, opini, minimal terdiri atas (1) satu paragraf pembuka,
(2) beberapa paragraf pengembang, dan (3) paragraf penyimpul.
Paragraf pembuka suatu artikel surat kabar atau majalah berisi pemaparan topik yang akan
dibahas atau dikembangkan dalam paragraf pengembang. Dalam paragraf ini, perlu dipaparkan hal-
hal yang menarik atas topik yang akan dikembangkan sehingga si pembaca berkeinginan untuk
membaca bagian atau paragraf berikutnya. Paragraf pengembang berisi pengembangan topik yang
telah dituangkan pada paragraf pembuka. Dalam paragraf pengembang tersebut harus dipaparkan
secara jelas dan rinci tentang topik yang diangkat. Paragraf penyimpul berisikan paparan hasil
simpulan penulis artikel terhadap pembahasan isi pada paragraf pengembang.

D. Teknik Menulis Karya Tulis Ilmiah Populer yang Diterbitkan di Media Massa
a. Judul
1. Judul sebisa mungkin dibuat pendek.
2. Menggunakan kalimat aktif agar daya dorongnya lebih kuat.
3. Pertimbangkan breaking news dan dotcom (aktualitas).
b. Lead
1. Selain judul, lead bisa menjadi penentu ketertarikan pembaca.
2. Lead terkait dengan peg (Yaitu teras yang mengedepankan penyebab peristiwa (unsur why
dalam  rumus 5W+1H)..
c. Badan tulisan
1. Beda dengan berita, tak perlu Piramida Terbalik
2. Susun sesuai kaidah
3. Cek dan ricek bahan yang sudah didapat
d. Bahasa Media Massa
1. Bahasa menjadi elemen penting dalam tulisan
2. Bahasa lugas, tidak teknis
3. Menulis lead yang bicara (tak terlalu panjang)
4. Sederhana
5. Menghindari kata sifat
6. Tidak memerlukan penulisan angka-angka secara detail
E. Bahasa yang Digunakan Pada Media Massa
1. Singkat, artinya bahasa jurnalistik harus menghindari penjelasan yang panjang dan bertele-
tele.
2. Padat, artinya bahasa jurnalistik yang singkat itu sudah mampu menyampaikan informasi yang
lengkap. Semua yang diperlukan pembaca sudah tertampung didalamnya. Menerapkan prinsip
5 WH, membuang kata – kata mubazir dan menerapkan ekonomi kata.
3. Sederhana, artinya bahasa pers sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan sederhana,
bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan kompleks. Kalimat yang efektif, praktis,
sederhana pemakaian kalimatnya, tidak berlebihan pengungkapannya (bombastis).
4. Lugas, artinya bahasa jurnalistik mampu menyampaikan pengertian atau makna informasi
secara langsung dengan menghindari bahasa yang berbunga-bunga.
5. Menarik, artinya dengan menggunakan pilihan kata yang masih hidup, tumbuh, dan
berkembang. Menghindari katakata yang sudah mati.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan jurnalis dengan mudah dapat dipahami oleh
khalayak umum (pembaca). Struktur kalimatnya tidak menimbulkan penyimpangan/pengertian
makna yang berbeda, menghindari ungkapan bersayap atau bermakna ganda (ambigu). Oleh
karena itu, seyogyanya bahasa jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.

F. Contoh Penulisan Karya Ilmiah Populer yang Diterbitkan di Media Massa

Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?


Di dalam kurikulum yang berlaku sekarang ini – Kurikulum 2013 – disebutkan adanya pendidikan
karakter. Sekelompok orang mengatakan dengan nada skeptis bahwa pendidikan karakter itu hanya
sekadar tempelan. Seperti apa wujud nyata pendidikan karakter itu? Mari kita mencoba untuk
membahasnya.
Kegagalan lembaga pendidikan
Pertanyaan mendasarnya adalah: Perlukah pendidikan karakter? Untuk menjawabnya, mari kita lihat
sejumlah keadaan di tanah air. Kita menyaksikan fenomena tawuran sering terjadi di antara para
siswa di banyak kota di Indonesia. Aksi kekerasan dan kebrutalan semakin merajalela. Paparan
pornografi dan penyalahgunaan narkoba semakin marak. Siswa berani memukul guru, bahkan
sampai guru meninggal dunia. Dan astaga! Bocah SD jatuh ke dalam pelukan pelacur tua di Jawa
Timur. Dan masih banyak lagi. Hal-hal yang memprihatinkan ini menandakan gagalnya institusi
pendidikan di Indonesia dalam memberikan pendidikan karakter bagi para siswa. Sejatinya, keluarga
merupakan peletak dasar utama pendidikan karakter, karena siswa lebih banyak meluangkan
waktunya dalam keluarga ketimbang di sekolah. Dengan demikian, guru perlu bekerja sama dengan
orang tua siswa, karena pendidikan di sekolah dan di rumah itu harus sinkron satu dengan yang lain.
Tak pelak, guru dan orang tua harus menjadi suri teladan yang baik bagi setiap siswa. Bayangkan,
bila seorang guru berniat menanamkan karakter disiplin kepada siswa agar tidak datang terlambat,
misalnya, tetapi guru itu sendiri sering datang terlambat. Bila ini terjadi, jangan berharap siswa mau
memperhatikan nasihat atau masukan dari guru yang bersangkutan, karena siswa telah kehilangan
kepercayaan terhadap gurunya sendiri. Jadi kunci utamanya adalah kepercayaan siswa terhadap guru.
Apa sih sebenarnya pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah pendidikan yang diberikan
untuk menyiapkan keterampilan siswa guna menghadapi kenyataan-kenyataan di dalam kehidupan
nyata sehari-hari. Bagaimana membawa diri dalam pergaulan, bagaimana harus berbicara santun,
bagaimana harus bertoleransi kepada orang lain, bagaimana menyikapi kenaikan harga bahan bakar,
listrik, dan lain sebagainya. Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya menjadi pribadi yang
berintelektualitas tinggi sekaligus memiliki perilaku yang baik dan menghormati orang lain? Prestasi
akademis sering diutamakan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sukses dalam kehidupan itu tidak
selalu bergantung pada kemampuan akademis seseorang.
Bermacam pendapat
Ada pihak yang menyatakan bahwa pendidikan karakter itu adalah membuat siswa melakukan apa
yang diperintahkan oleh guru. Hal semacam ini membawa kita kepada pembebanan suatu sanksi dan
sistem ’hadiah dan hukuman’ yang hanya berdaya guna untuk sementara saja. Pemberian ’hadiah dan
hukuman’ tak memberikan dampak yang menolok bagi perubahan karakter dalam jangka panjang Di
samping itu, sistem ini hanya membuat siswa menjadi pengekor gurunya dan tidak terlatih untuk
mengeksplorasi pengalaman hidup lebih jauh. Eksplorasi memungkinkan siswa mengalami sendiri
berbagai tantangan dan kesulitan yang membentuk mereka menjadi pribadi yang tekun, tangguh, dan
mandiri. Dan setiap siswa itu adalah pribadi yang unik. Karenanya, janganlah kita mencoba
membuatnya menjadi copy cat guru. Tugas guru – seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara –
adalah tut wuri handayani (dari belakang ikut memberikan dorongan dan arahan). Guru perlu
menekan atau mengurangi ego-nya dalam mempraktikkan pendidikan karakter. Guru dan siswa perlu
sama-sama mengasah keterampilan dalam mengembangkan karakter yang baik. Berdasarkan studi
Dr. Marvin Berkowitz – seorang pakar pendidikan karakter dari University of Missouri, St. Lois –
ternyata pendidikan karakter memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan motivasi siswa untuk
meraih prestasi. Pada kelas-kelas tertentu terdapat penurunan drastis perilaku negatif siswa yang
menghambat keberhasilan akademis. Hal ini muncul, karena salah satu tujuan pendidikan karakter
adalah untuk mengembangkan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai dan aturan yang ada.
Bila siswa berintegritas, maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri untuk menghadapi
hambatan dalam belajar.
Wujud nyata
Jika ditanya tentang apa dan bagaimana wujud pendidikan karakter itu, maka penulis selalu merujuk
pada pendidikan karakter di sejumlah SD di Jepang. Setiap jam makan siang, para siswa sudah
berbaris rapi di ruang makan, lalu memberikan hormat kepada juru masak. Seusai makan, mereka
membersihkan sendiri seluruh peralatan makan mereka, lalu mengepel lantai. Ya, mengepel lantai
secara beregu. Sebuah contoh nyata bagaimana pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak usia
dini. Benar-benar melatih siswa untuk berdisiplin, mandiri, dan mengerti tanggung jawab.
Pendidikan karakter itu mencakup ranah pengetahuan (cognitive), perasaan (affective), sikap
(attitude), dan tindakan (action). Harus mampu memberikan ’asupan’ bukan hanya bagi raga, tetapi
sekaligus juga bagi jiwa berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah.
Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter harus dilakukan dengan mengacu kepada
grand design tersebut. Itu sebabnya dalam pelajaran Agama, misalnya, jangan hanya ditekankan
aspek berdoa dan ibadah saja, melainkan juga bagaimana menerapkan secara nyata ajaran agama
dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat yang majemuk. Pesan dalam story telling, menurut
hemat penulis, merupakan salah satu cara ampuh untuk menyampaikan pendidikan karakter kepada
para siswa. Para siswa dapat secara bergantian membawakan story telling dalam acara di dalam kelas
maupun acara-acara penting yang diselenggarakan oleh pihak sekolah, misalnya HUT sekolah dan
peringatan hari raya tertentu. Di sini pesan pentingnya tidaklah secara masif diindoktrinasikan
kepada para siswa, namun nilai-nilai moral yang baik dapat tertanam ke dalam hati dan pikiran
mereka secara ’lembut’. Inilah yang disebut sebagai pendekatan soft-selling dalam komunikasi
pemasaran. Lembut itu kuat. Martin Luther King mengatakan bahwa kecerdasan plus karakter… itu
adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya (Intelligence plus character… that is the goal of true
education). Jika tokoh besar kaliber dunia – yang memiliki rekam jejak karakter positif – telah
mengatakan betapa pentingnya peran pendidikan karakter, masihkah kita ragu-ragu untuk
menerapkannya? Tantangan – terutama bagi para guru – memang berat. Akan tetapi, janganlah
pendidikan karakter membuat kita keder dalam menerapkannya di tengah zaman yang penuh dengan
gejolak negatif. Pendidikan karakter merupakan kunci membangun peradaban bangsa yang
memanusiakan manusia.

Anda mungkin juga menyukai