Anda di halaman 1dari 28

PENDAHULUAN

Obesitas adalah lemak tubuh yang berlebihan yang disimpan dalam tubuh.
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran
energi (energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan
oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang rendah. (1)
Obesitas adalah suatu kondisi medis di mana kelebihan lemak tubuh telah
terakumulasi sedemikian rupa sehingga dapat memiliki efek negatif pada kesehatan,
yang mengarah pada penurunan harapan hidup dan/atau peningkatan masalah
kesehatan. (2 )
Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan
peningkatan risiko kesehatan, khususnya faktor risiko kardiovaskular. Indeks massa
tubuh (IMT) dan pengukuran berat badan terhadap tinggi badan merupakan metode
yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan diukur dengan cara berat badan (dalam
kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter). (3)
Proporsi anak-anak dalam populasi umum yang kelebihan berat badan dan
obesitas telah berlipat ganda selama dua dekade terakhir di negara maju dan
berkembang (2,4,5)
Obesitas dikaitkan dengan perubahan kadar mineral dalam tubuh.4]. Studi
terbaru telah mengidentifikasi zat besi (Fe), kalsium (Ca), magnesium (Mg), seng
(Zn), tembaga (Cu), selenium (Se), yodium, dan kromium (Cr) sebagai mineral yang
rentan terhadap overweight dan obesitas. Gangguan terkait massa pada tingkat
somatiknya. Namun, penelitian tentang obesitas dan Fe telah menunjukkan hasil
yang kontradiktif. Percobaan tentang kelebihan massa tubuh dan kadar Ca masih
belum meyakinkan, sementara jumlah penelitian tentang kelebihan massa tubuh, Se,
dan yodium cukup terbatas hingga saat ini.. Khususnya pada mineral Fe, Ca, dan
Mg, tetapi juga Zn, Cu, Se, dan yodium, memainkan peran penting dalam berbagai
proses metabolisme dan keseimbangan energi tubuh. Obesitas adalah penyakit yang
mengancam jiwa, saat ini mencapai proporsi epidemik, yang dikaitkan dengan
perubahan kadar mineral ini. Oleh karena itu, ada kebutuhan besar untuk menyajikan
pengetahuan terkini mengenai hubungan antara kelebihan massa tubuh dan
perubahan tingkat mineral somatik. (6)
Kalsium makanan sekarang dikenal memainkan peran penting, di luar
pentingnya dalam pemeliharaan integritas tulang, dalam memodulasi risiko penyakit
kronis. kalsium makanan juga berperan dalam regulasi tekanan darah. Hal ini telah
dibuktikan melalui berbagai studi terkontrol dengan baik selama 20 tahun terakhir
[5]
Kalsium memiliki peran fundamental dalam pertumbuhan tulang serta gigi,
sekresi hormon, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, sistem imun, dan proses
pembelajaran. Kalsium juga memiliki fungsi lain yang dikaitkan dengan pencegahan
obesitas, hipertensi, batu ginjal, resistensi insulin, kanker usus, dll. Tubuh manusia
tidak menyintesis mineral. Keberadaannya sangat bergantung pada konsumsi dari
makanan atau minuman. Dari kandungan kalsium yang berada di makanan, hanya
sekitar 20-40% yang diserap oleh tubuh. Bioavailabilitas kalsium bergantung pada
asupan laktosa, vitamin D, lemak, protein, vitamin C, dan kandungan asam.
Sebaliknya, bioavailabilitasnya menurun dengan makanan yang kaya akan asam
oksalat dan asam fitat. Oleh karena itu, asupan kalsium yang cukup dan nutrisi
lainnya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.(6,7)
Kerangka kerja untuk memahami efek "anti-obesitas" dari kalsium makanan
berasal dari studi tentang mekanisme aksiagouti, gen obesitas yang diekspresikan
dalam adiposit manusia. Protein agouti merangsang masuknya kalsium dan
mempromosikan penyimpanan energi dalam adiposit manusia dengan secara
terkoordinasi merangsang ekspresi dan aktivitas sintasis asam lemak, enzim kunci
dalam novolipogenesis dan penghambatan lipolisis dengan mekanisme yang
bergantung pada kalsium [8,9].

I. Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah suatu kondisi medis di mana kelebihan lemak
tubuh telah terakumulasi sedemikian rupa sehingga dapat memiliki efek
negatif pada kesehatan, yang mengarah pada penurunan harapan hidup
dan/atau peningkatan masalah kesehatan. Obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (energy
expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat
disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang
rendah. (1,10)
Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan
peningkatan risiko kesehatan, khususnya faktor risiko kardiovaskular.
Indeks massa tubuh (IMT) dan pengukuran berat badan terhadap tinggi
badan merupakan metode yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan
diukur dengan cara berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat
dari tinggi badan (dalam meter). (3)
Masalah obesitas telah menjadi masalah global dan berdampak
pada negara dengan pendapatan rendah sampai menengah, terutama
terjadi pada masyarakat kota. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2016, anak dibawah 5 tahun dengan
kelebihan berat badan atau overweight di seluruh dunia mencapai lebih
dari 41 juta dan sekitar 92 juta anak dengan risiko mengalami
overweight. (Peterson, 2014) (WHO, 2016). Untuk anak usia 5-19 tahun
prevalensi obesitas yaitu sekitar 18% dari jumlah anak dan remaja di
seluruh dunia. Jumlah ini sangat meningkat secara drastis dibandingkan
tahun 1975 yaitu sekitar 4%. Bila tren ini terus berlanjut, diperkirakan
pada tahun 2021 terdapat sekitar 60 juta untuk usia dibawah 5 tahun dan
sekitar 340 juta untuk anak dan remaja usia 5-19 tahun akan mengalami
obesitas dan kelebihan berat badan atau overweight. Hampir setengah
dari jumlah tersebut berada di benua Asia, dan seperempat berada di
benua Afrika. (4)
Berdasarkan riskesdas kementerian kesehatan tahun 2018, anak
balita yang mengalami obesitas dan overweight di Indonesia mencapai
8% dari jumlah seluruh balita. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2013
yang mencapai 11,9% dari jumlah seluruh balita. Secara khusus di
provinsi Sulawesi Selatan kejadian anak balita dengan obesitas dan
overweight mencapai 7% dari jumlah seluruh balita. Prevalensi obesitas
pada usia remaja 13-15 tahun sebesar 16% (meningkat bila dibandingkan
tahun 2013 sebesar 10,7%). Remaja usia 16-18 tahun dengan prevalensi
13,5%. (11)

II. KALSIUM
a. Definisi
Kalsium merupakan salah satu mineral penting untuk manusia.
Sekitar 99% kalsium dalam tubuh manusia terdapat pada tulang dan gigi
bersama dengan fosfor. Sisanya berada pada jaringan lunak dan cairan
ekstraselular. Kalsium memegang peran fundamental dalam fungsi
tubuh, seperti sekresi hormon, kontraksi otot, transmisi impuls saraf,
sistem imun, dan proses pembelajaran. Namun pada anak, peran paling
penting kalsium adalah untuk pertumbuhan tulang. Kalsium juga
memiliki fungsi lain yang dikaitkan dengan pencegahan obesitas,
hipertensi, batu ginjal, resistensi insulin, serta kanker usus. Sumber
utama kalsium ialah produk dairy seperti susu, keju, yoghurt, tofu, dll.
(12,13)

b. Sumber Kalsium
Asupan kalsium biasanya dikaitkan dengan asupan produk susu
seperti susu, yogurt dan keju, karena merupakan sumber yang kaya
kalsium. Makanan kaya kalsium adalah produk susu, terutama keju yang
dapat menyediakan 1 g kalsium per 100 g, sedangkan susu dan yogurt
dapat menyediakan antara 100 mg hingga 180 mg per 100 g. Sereal
biasanya mengandung sekitar 30 mg per 100 g, namun jika difortifikasi
jumlahnya bisa mencapai 180 mg per 100 g. Kacang-kacangan dan biji-
bijian juga kaya akan kalsium, terutama almond, wijen, dan chia yang
dapat menyediakan antara 250 hingga 600 mg per 100 g. Sayuran yang
kaya kalsium adalah kangkung, brokoli dan selada air, yang
menyediakan antara 100 dan 150 mg per 100 g.(7) Namun, dampak
makanan ini terhadap asupan kalsium total tergantung pada pola
konsumsi makanan penduduk setempat. Ketika produk susu mewakili
sekitar 14% dari total asupan energi makanan di negara maju, mereka
hanya mewakili sekitar 4% dari total asupan energi di negara
berkembang.(8) Dengan cara ini, beberapa negara Asia memiliki
proporsi asupan kalsium total yang lebih tinggi dari makanan non-
hewani seperti sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian daripada dari
produk susu. Di Amerika Serikat dan di Belanda, 72% dan 58% pasokan
kalsium masing-masing berasal dari produk susu, sedangkan di Cina,
hanya sekitar 7% dari total asupan kalsium yang berasal dari produk
susu. Sebagian besar berasal dari sayuran (30,2%) dan kacang-kacangan.
(16,7%). Fortified food seperti sereal dan jus juga dapat menjadi sumber
kalsium yang penting.(14,15)
Suplemen juga merupakan sumber makanan kalsium yang bagus.
Beberapa suplemen kalsium mengandung hingga 1000 mg kalsium per
tablet, yang mewakili kebutuhan nutrisi bagi kebanyakan orang dewasa.
Namun, penggunaan suplemen juga bervariasi antar negara. Di Amerika
Serikat dan Kanada, sekitar 40% dari populasi orang dewasa dilaporkan
telah mengonsumsi suplemen kalsium dan angka ini meningkat menjadi
70% pada kelompok wanita yang lebih tua [3,6,10]. Di sisi lain, di
Argentina dan di Belanda, sangat sedikit wanita yang dilaporkan
mengonsumsi suplemen kalsium.(16,17)
c. Homeostasis Kalsium
Kalsium yang ‘free’ atau bebas merupakan bentuk aktif yang
konsentrasinya sangat bergantung pada reabsorpsi kalsium di ginjal,
tulang, dan usus. Semua aktivitas ini berada di bawah kendali dari
hormon paratiroid (PTH) dan 1,25-dihydroxyvitamin D (1,25(OH)2D).
PTH menjalankan aksinya di tulang dan ginjal melalui interaksi dengan
1-PTH-receptors (PTH1R). Ketika PTH berikatan dengan PTH1R, hal
ini menstimulasi adenyl cyclase, meningkatkan konsentrasi cyclic AMP
(cAMP) dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi phospholipase C. Pada
tubulus ginjal, PTH1R menstimulasi reabsorpsi kalsium dari cairan
tubulus ginjal sambil meningkatkan eksresi fosfat di urin. Fungsi penting
lainnya dari PTH adalah aktivasi 25-hydroxyvitamin D 1α- hydroxylase
pada tubulus proksimal ginjal di mana hal ini mengubah 25-
hydroxyvitamin D (25(OH)D menjadi metabolit aktivnya yaitu
1,25(OH)2D yang memfasilitasi absorpsi fosfat dan kalsium dari usus.
Efek dari PTH di tulang bergantung pada konsentrasi PTH dan durasi
paparan. Paparan kronik ke konsentrasi PTH yang tinggi mengarah ke
peningkatan penyerapan kalsium dan fosfat tulang sehingga
konsentrasinya di plasma meningkat. Sebagai ilustrasi pada gambar 1,
ketika kalsium bebas menurun, PTH dilepaskan dari kelenjar paratiroid
yang menstimulasi reabsorpsi kalsium, ekskresi fosfat, dan
meningkatkan produksi 1,25(OH)2D. Hal ini juga mendorong
penyerapan kalsium dan fosfat dari tulang. Peningkatan 1,25(OH)2D
oleh ginjal akan menambah penyerapan kalsium di usus. Sehingga,
dampak dari PTH dan 1,25(OH)2D adalah peningkatan kalsium dan
penurunan konsentrasi fosfat pada plasma. (18,19)
Konsentrasi kalsium bebas dimonitor oleh calcium-sensing
receptors (CaSR) yang terletak di permukaan sel kelenjar paratiroid dan
lengkung henle ginjal. Peningkatan kalsium bebas akan mengaktifkan
CaSR yang berdampak pada peningkatan konsentrasi kalsium intrasel,
menghambat sekresi PTH dan proliferasi sel paratiroid, serta
menurunkan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal. Sebaliknya,
penurunan kalsium bebas akan menon-aktifkan CaSR, yang
menstimulasi sekresi PTH. Ketika CaSR Molekul lain yang memegang
peran minor dalam sekresi PTH adalah 1,25(OH)2D3, fosfat, dan
magnesium. 1,25(OH)2D3 menghambat efek dari kelenjar paratiroid.
Hiperfosfatemia meningkatkan sekresi PTH, sedangkan hipofosfatemia
menekan sekresi PTH. Hipomagnesium kronik berkaitan dengan
kegagalan sekresi PTH dan dapat menyebabkan resistensi terhadap efek
dari PTH. Hipermagnesium menekan sekresi PTH.(20)

Gambar 1. Skema homeostasis kalsium. Garis lurus menunjukkan interaksi


stimulatorik sedangkan garis putus-putus menunjukkan efek balik negatif.
(20)
Absorpsi kalsium di usus
Usus adalah satu-satunya rute untuk penyerapan kalsium. Hormon lokal,
faktor sekretorik dan beberap komponen yang terkandung dalam makanan
seperti zat besi, fitat, oksalat, dan tanin dapat menghambat absorpsi kalsium,
proses fisiologis zat-zat ini masih belum dapat dipahami sepenuhnya. Secara
umum, kedua faktor stimulatorik dan inhibitorik dari absorpsi kalsium adalah

faktor humoral dengan fungsi autokrin, parakrin, dan endokrin seperti yang
ditunjukkan gambar 2.(21)

Gambar 2. Model yang diusulkan untuk keterlibatan reseptor penginderaan


kalsium dalam mekanisme intraseluler adiposit terkait dengan
asupan kalsium yang rendah dan modulasi metabolisme lipid.
Asupan kalsium yang rendah menimbulkan peningkatan vitamin
D yang bersirkulasi, yang dapat memberi sinyal melalui aktivasi
CaSR, di antara jalur lainnya. Ada bukti bahwa aktivasi ini pada
akhirnya dapat menyebabkan ekspresi penanda lipogenik yang
lebih besar, ekspresi enzim lipolitik yang lebih rendah, dan
peningkatan penanda proinflamasi pada lemak visceral, yang
semuanya dapat berkontribusi pada komplikasi obesitas. Lihat
teks untuk detail lebih lanjut. Singkatan: aP2, protein adiposit 2;
ATGL, lipase trigliserida adiposa; Ca2+, kalsium; Ca2+i;
kalsium bebas sitosol; cAMP, adenosin monofosfat siklik;
CaSR, reseptor penginderaan kalsium; CCL2, ligan kemokin
(motif C-C ) 2 (juga dikenal sebagai protein kemotaktik monosit-
1 [MCP-1]); FAS, sintase asam lemak; GPD, gliserol fosfat
dehidrogenase; HSL, lipase sensitif hormon; IL-1β, interleukin
1beta; IL-6, interleukin 6; LPL, lipoprotein lipase; NFkB, faktor
inti kappa B; TNF-α, faktor nekrosis tumor alfa; vitamin

HIPOKALSEMIA
Selain karena faktor asupan nutrisi, terdapat beberapa kondisi yang

dapat membuat kadar kasium berkurang dalam tubuh.

Tabel 1. Contoh penyebab hipokalsemia bergantung usia(22)

Secara umum, hipokalsemia seringkali ditemukan secara tidak


sengaja pada anak yang tidak bergejala sama sekali. Namun terdapat
beberapa gejala pada onset sub-akut seperti kram otot, kesemutan, mati rasa
dan spasme karpopedal. Gejala akut hipokalsemua muncul dengan kejang
yang multifokal pada neonatus atau tonik klonik umum pada anak yang
lebih besar. Neonatus dan bayi juga dapat hadir dengan stridor, apnea atau
gangguan pernapasan. Gagal jantung kongestif karena kardiomiopati
hipokalsemik juga bisa hadir.(22)
HIPERKALSEMIA
Hiperkalsemia didefinisikan sebagai peningkatan kadar serum
kalsium lebih dari dua standar deviasi di atas rata-rata normal.
Hiperkalsemia pada anak dapat hadir dengan gejala hipotonia, nafsu makan
buruk, muntah, konstipasi, sakit perut, lesu, poliuria, dehidrasi, gagal
tumbuh, dan kejang. Dalam kasus yang parah dapat terjadi penurunan
kesadaran, serta gejala psikiatrik.(23).

Tabel 2. Penyebab hiperkalsemia pada anak(23)


Kebutuhan Kalsium Pada Anak
Kebutuhan kalsium pada anak dapat dilihat pada table 3.

Tabel 3. Kebutuhan kalsium pada anak dari berbagai sumber referensi.


SACN: UK Scientific Advisory Committee on Nutrition. IOM: USA Institute of Medicine. EFSA:
European Food Safety Authority; AI: Average Intake

Peran Kalsium Terhadap Obesitas


a. Kalsium berkorelasi dengan kecukupan gizi nutrisi yang lain
Anak-anak dengan asupan kalsium yang adekuat memiliki angka
prevalensi yang lebih rendah secara signifikan dari ketidakcukupan energi
total, karbohidrat, protein, lemak, serat, tiamin, vitamin B6, biotin, asam
folat, vitamin C, A, D, dan E, magnesium, besi, zink, dan iodin
dibandingkan dengan mereka yang asupan kalsiumnya tidak adekuat.(24)

b. Kalsium berperan dalam modulasi lemak tubuh


Studi yang dilakukan oleh Nappo, dkk (2019) terhadap 6696 anak
menunjukkan bahwa prevalensi overweight/obesitas menurun secara
signifikan (P<0,0001) setelah pemberian kalsium dan anak laki-laki
menunjukkan penurunan IMT yang signifikan.(25)
Hubungan antara asupan kalsium dan lemak tubuh juga dijelaskan oleh
studi Carruth dkk (2001) di mana kadar asupan kalsium yang lebih tinggi
berkaitan dengan lemak tubuh yang lebih sedikit pada 53 anak pra-
sekolah.(26)
Beberapa mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan kaitan antara
kalsium dengan adiposity ini. Pertama, yang paling popular, dijelaskan
oleh Zemel dan Miller. Menggunakan model hewan, penulis
menunjukkan bahwa kalsium mempengaruhi metabolism lemak. Asupan
kalsium yang tinggi berhubungan dengan penurunan kadar 1,25-vitamin
D yang akan bertindak dalam penurunan influx kalsium ke dalam sel,
sehingga kadar ion di dalam sel juga menurun: perubahan ini akan
merangsang lipolysis dan menghambat lipogenesis di sel adiposit.
Sebaliknya, kadar kalsium dalam sel yang tinggi (rendah asupan kalsium)
berhubungan dengan meningkatnya sintesis lemak dan menurunnya
lipolysis melalui mekanisme calcium-dependent. Lebih lanjut, asupan
kalsium dapat mempengaruhi metabolism melalui peningkatan ekskresi
asam lemak fecal.(27)

Gangguan Kalsium dengan Obesitas

Obesitas adalah keadaan gizi sebagai hasil ketidakseimbangan energi


secara kronis santara energi yang masuk dengan energi yang dikeluarkan.
Berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas, seperti faktor
lingkungan (environment) dan genetik (Davison, Francis, & Birch 2005).
Aktivitas yang rendah akan berpengaruh buruk pada pertumbuhan tulang
karena latihan bearing yang hanya sebentar-sebentar adalah stimulus penting
untuk osteogenesis (terbentuknya tulang) pada anak-anak prepuber (Morris et
al 1997; Bradney et al 1998; French, Fulkerson & Story 2000; Fuchs, Bauer,
Snow 2001).

Penderita obesitas cenderung banyak berada di dalam ruangan akibat


rendahnya tingkat aktivitas fisik yang menyebabkan jarangnya terkena sinar
matahari sehingga dapat mempengaruhi kadar vitamin D dalam tubuh .
Apabila vitamin D yang diperoleh tubuh sedikit maka penyerapan kalsium
akan kurang optimal .(27)

Berbagai kelainan metabolisme kalsium telah dijelaskan. Satu studi


awal dari 12 subjek obesitas yang dilakukan pada tahun 1981 melaporkan
bahwa dibandingkan dengan subjek normal, subjek obesitas memiliki kadar
hormon paratiroid (PTH) dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25-OH D) yang
lebih tinggi, dan kadar 25-hidroksivitamin yang lebih rendah. D (25-OH D).1
Berbagai penjelasan tentang gangguan metabolisme ini telah diajukan,
termasuk penurunan paparan sinar matahari, penyerapan vitamin D dalam
lemak, dan adaptasi fisiologis terhadap kebutuhan akan lebih banyak massa
tulang untuk mendukung peningkatan berat badan.1-3 Namun, signifikansi
klinis sebenarnya dari kelainan ini tidak diketahui.(2)

Penderita obesitas memiliki kadar 25(OH)D yang lebih rendah


dibandingkan dengan yang tidak obesitas (12,25). Rendahnya konsentrasi
kadar 25(OH)D dalam tubuh dapat disebabkan oleh tingginya jaringan adiposa,
peningkatan basal metabolik dan gaya hidup dari penderita obesitas yang
cenderung kurang menyukai aktivitas di luar rumah serta kurangnya paparan
sinar matahari (10,13). Penyebab lain dari rendahnya kadar 25(OH)D serum
pada penderita obesitas adalah kadar lemak yang tinggi menyebabkan
bioavailabilitas vitamin D menurun dan kadar 25(OH)D serum terdeteksi
rendah di dalam darah (27)

Selain itu, fungsi enzim untuk hidroksilasi yaitu 25-ohase dan 1-α-
hidroksilase akan menurun pada orang obesitas. Akibatnya, seorang yang
mengalami obesitas setidaknya memerlukan dua kali lebih banyak vitamin D
dibandingkan dengan seorang denghan berat badan normal untuk
mempertahankan kadar serum 25(OH)D sebanyak 30-60 ng/mL (28)

Heaney et al (2002) menyatakan bahwa konsumsi kalsium yang


lebih tinggi selama pertengahan hidup memberikan efek konsisten pada lebih
rendahnya lemak tubuh, berat badan dan pertambahan berat badan lebih
sedikit. Heaney juga mengemukakan bahwa peningkatan konsumsi (intake)
kalsium dengan menyediakan sepadan dua (2) gelas susu per hari, pada
hakikatnya kemungkinan dapat mengurangi risiko overweight, yaitu sebesar
70%. Ada suatu penelitian pada anak-anak Gambia, menemukan bahwa
meningkatkan konsumsi kalsium menjadi 1.056 mg/hari, dengan suplementasi
selama 12 bulan (1 tahun), menyebabkan tidak ada peningkatan pada berat
badan atau tinggi badan dibandingkan dengan kelompok placebo (kontrol)
(Dibba et al 2000).

Terkait dengan pernyataan di atas, dapat dijelaskan bahwa rendahnya


kalsium di dalam tubuh manusia, akan dapat menstimulasi hormon kalsitropik,
yaitu meningkatkan kerja paratiroid hormone (PTH) (Weaver et al 1996) dan
mungkin 1,25 dihydroxy vitamin D, dimana perubahan ini bersifat parallel.
Kerja PTH dan 1,25 dihydroxy vitamin D terlihat pada adiposit, yang akan
meningkatkan level (kadar) kalsium intraseluler (Zemel et al 2000). Lin et al
(2000) menyatakan bahwa tingginya konsumsi kalsium dapat berhubungan
dengan kehilangan berat badan, khususnya massa lemak tubuh. Schrager (2005),
menambahkan bahwa konsumsi kalsium dapat mempengaruhi secara langsung
apakah adiposit menyimpan atau memecah lemak. Berikut Gambar 5 yang
mengilustrasikan kerja kalsium pada adiposit (Shi, Dirienzo & Zemel 2001) dan
Gambar 6 sebagai mekanisme rendahnya kalsium terkait dengan penambahan
berat badan (Parikh & Yaovski, 2003).

Studi skala besar dari spektrum luas pasien obesitas morbid menegaskan bahwa
prevalensi hiperparatiroidisme tinggi pada obesitas tidak sehat dan bahwa kadar
PTH berkorelasi positif dengan BMI1
Karena 25-OH D berbanding terbalik dengan kadar PTH, ini menunjukkan
bahwa hiperparatiroidisme berkembang sebagai konsekuensi dari penurunan
kadar 25-OH D. Etiologi penurunan kadar 25-OH D tidak diketahui, tetapi
kemungkinan besar konsekuensi dari malabsorpsi atau asupan vitamin D yang
tidak memadai. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa pasien obesitas
yang tidak sehat memiliki paparan sinar matahari yang lebih sedikit daripada
subjek normal. Ada kemungkinan bahwa efek ini akan lebih menonjol pada
populasi dari garis lintang yang lebih utara, tetapi untuk menguji hipotesis ini
akan memerlukan studi pasien di garis lintang yang berbeda. Penjelasan
alternatif adalah bahwa 25-OH D diasingkan dalam lemak, dan akibatnya telah
mengurangi bioavailabilitas. Lebih lanjut dipostulasikan bahwa peningkatan
PTH menunjukkan resistensi end-organ tulang terhadap PTH sebagai
konsekuensi dari peningkatan massa tulang. Peningkatan kadar 1,25- OH D akan
menjadi akibat sekunder dari peningkatan PTH, yang pada gilirannya dapat
menghasilkan umpan balik negatif pada 25- hidroksilase, menghasilkan kadar
25-OH D yang lebih rendah. Namun, tidak ditemukan korelasi yang signifikan
antara PTH dan 1,25-dihidroksivitamin D. (29)

Shi, Dirienzo, dan Zemel (2001) menyatakan bahwa tingginya kalsium


dalam diet dapat menekan adiposit, merangsang lipolisis dan menghambat
lipogenesis, sehingga meningkatkan jaringan adipose putih ekspresi UCP2
(uncoupling protein 2) dan bersamaan juga meningkatkan temperature. Dan
sebagai konsekuensinya, kalsium dapat memfasilitasi pengurangan massa
jaringan lemak dan berat badan dalam batas kilokalori oleh metabolisme modulasi
energi, yang mana dapat membantu mengurangi simpanan energi dan
meningkatkan thermogenesis (pembentukan panas). Data atau informasi ini
sangat penting dan bermanfaat lebih lanjut di dalam kerangka pengembangan
intervensi gizi dengan obesitas.

Gambar 5 Diagram ilustrasi konsumsi kalsium menstimulasi lipolisis dan


menghambat lipogenesis
Kalsium bukan suatu zat gizi magic di dalam melawan kegemukan,
meskipun begitu kalsium memiliki peran yang kecil tetapi signifikan (Schrager
2005). Produk susu atau kalsium kemungkinan meberikan efek paling besar
kepada mereka yang status adipositnya sedang berubah, seperti kehilangan berat
badan; umur berhubungan dengan pertambahan berat badan; atau pertumbuhan
(Teegarden & Zemel 2003). Misalnya pada wanita, dimana mereka meiliki risiko
tinggi terhadap pertambahan berat badan terkait dengan umur, setelah menopause.
Gambar 6 Mekanisme Rendahnya kalsium yang dapat meningkatkan berat badan
Sumber: Parikh & Yanovski (2003): Calcium intake and adiposity.

Tatalaksana Obesitas pada Anak antara lain:

a. Diet Tinggi Kalsium


 Mekanisme patofisiologi yang mendasari obesitas dan penyakit penyerta
mungkin merupakan faktor yang berhubungan dengan kalsium intraseluler
dan ekstraseluler.
 Pengaruh kalsium pada berat badan dan distribusi lemak tubuh telah
dikonfirmasi oleh penelitian terbaru. Hubungan antara berat badan dan
asupan kalsium pertama kali dilaporkan oleh McCarron dkk dalam sebuah
studi epidemiologi cross-sectional dari 1.259 peserta yang dilakukan di
Polandia melaporkan ada korelasi negatif antara kalsium makanan dan indeks
massa tubuh.
 Suhet dkk. melakukan penelitian pada 350 anak berusia delapan dan
sembilan tahun menemukan bahwa anak-anak dengan asupan kalsium rendah
mengalami peningkatan lingkar pinggang dan melaporkan bahwa asupan
kalsium rendah dikaitkan dengan obesitas.
 Penelitian lain menemukan bahwa asupan kalsium meningkatkan oksidasi
lemak pada peserta yang kehilangan berat badan
 Mekanisme pada diet tinggi kalsium 1,25-dihidroksivitamin D (1,25-(OH)2-
D) ditekan, konsentrasi Ca . intraseluler2+ di jaringan adiposa menurun,
menghasilkan peningkatan aktivitas lipolitik dan penurunan lipogenesis,
terjadi kehilangan lemak di jaringan adiposa. Proses ini telah digunakan
untuk menjelaskan efek antiobesitas.
 Aktivasi reseptor sensitif kalsium yang ditemukan di jaringan adiposa
menghasilkan peningkatan vitamin D dalam sirkulasi. Ini dapat dikaitkan
dengan efek potensial dari aktivasi penanda lipogenik yang lebih besar serta
penurunan aktivasi enzim lipolitik.(30)

1. Mekanisme lain yang memungkinkan kalsium untuk menurunkan berat badan


adalah dengan mengurangi penyerapan lemak usus dan meningkatkan
ekskresi lemak tinja. Kalsium membentuk sabun kalsium yang tidak larut
dengan asam lemak di saluran usus, oleh karena itu meningkatkan jumlah
pembuangan lemak tinja, dengan efek potensial mengatur berat badan
2. Satu meta-analisis membandingkan asupan kalsium harian 1.241 mg dengan
asupan kalsium rendah (<700 mg) dan melaporkan peningkatan 5 g/hari
kadar lemak tinja dengan asupan kalsium tinggi. Studi lain menunjukkan
korelasi positif antara peningkatan asupan kalsium dan jumlah lemak tinja.
(30)

b. Pola Makan yang Benar


Pemberian diet seimbang sesuai requirement daily allowances (RDA)
merupakan prinsip pengaturan diet pada anak gemuk karena anak masih
bertumbuh dan berkembang dengan metode food rules, yaitu:
 Terjadwal dengan pola makan besar 3x/hari dan camilan 2x/hari yang
terjadwal (camilan diutamakan dalam bentuk buah segar), diberikan air
putih di antara jadwal makan utama dan camilan, serta lama makan 30
menit/kali 2.
 Lingkungan netral dengan cara tidak memaksa anak untuk
mengonsumsi makanan tertentu dan jumlah makanan ditentukan oleh
anak 3.
 Prosedur dilakukan dengan pemberian makan sesuai dengan kebutuhan
kalori yang diperoleh dari hasil perkalian antara kebutuhan kalori
berdasarkan RDA menurut height age dengan berat badan ideal
menurut tinggi badan.
Langkah awal yang dilakukan adalah menumbuhkan motivasi anak untuk ingin
menurunkan berat badan setelah anak mengetahui berat badan ideal yang
disesuaikan dengan tinggi badannya, diikuti dengan membuat kesepakatan
bersama berapa target penurunan berat badan yang dikehendaki.(31)

c. Pola Aktivitas Fisis yang Benar


Pola aktivitas yang benar pada anak dan remaja obes dilakukan dengan
melakukan latihan dan meningkatkan aktivitas harian karena aktivitas fisis
berpengaruh terhadap penggunaan energi.67,68 Peningkatan aktivitas pada
anak gemuk dapat menurunkan napsu makan dan meningkatkan laju
metabolisme. Latihan aerobik teratur yang dikombinasikan dengan
pengurangan energi akan menghasilkan penurunan berat badan yang lebih
besar dibandingkan hanya dengan diet saja.
Latihan fisis yang dianjurkan pada anak dan remaja berbeda di
beberapa negara. Pedoman Health Canada menganjurkan untuk
meningkatkan latihan fisis minimal 30 menit dengan 10 menit latihan fisis
bugar, dan menurunkan aktivitas fisis kurang gerak dengan jumlah waktu
yang sama setiap hari. Aktivitas fisis setiap bulan, latihan fisis tersebut
ditingkatkan dan aktivitas fisis kurang gerak dikurangi sebanyak 15 menit
sampai mencapai akumulasi latihan fisis aktif dan aktivitas fisis kurang gerak
selama 90 menit setiap hari.72 Center for Disease Control and Prevention
Amerika Serikat menganjurkan anak dan remaja harus melakukan latihan
fisis setiap hari selama 60 menit atau lebih, yang terdiri dari aktivitas aerobik,
penguatan otot, dan penguatan tulang.
 Aktivitas aerobik
Aktivitas aerobik merupakan latihan fisis yang dapat dilakukan setiap
hari selama 60 menit atau lebih. Aktivitas aerobik terdiri dari aktivitas
aerobik dengan intensitas sedang (misalnya jalan cepat) atau aktivitas
aerobik dengan intensitas bugar (misalnya berlari). Aktivitas aerobik
dengan intensitas bugar dilakukan paling sedikit tiga kali dalam satu
minggu.
 Penguatan otot (muscle strengthening)
Aktivitas penguatan otot, seperti senam atau push-up, dilakukan paling
sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian dari total latihan fisis
selama 60 menit atau lebih..
 Penguatan tulang (bone strengthening)
Aktivitas penguatan tulang, seperti lompat tali atau berlari, dilakukan
paling sedikit tiga kali dalam satu minggu sebagai bagian dari total
latihan fisis selama 60 menit atau lebih.(31)

d. Modifikasi Perilaku
Tata laksana diet dan latihan fisis merupakan komponen yang efektif untuk
pengobatan, serta menjadi perhatian paling besar bagi ahli fisiologi untuk
memperoleh perubahan makan dan aktivitas perilakunya.75 Oleh karena
prioritas utama adalah perubahan perilaku, maka perlu menghadirkan peran
orangtua sebagai komponen intervensi.Beberapa cara pengubahan perilaku
berdasarkan metode food rules diantaranya adalah:

 Pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan


aktivitas fisis, serta mencatat perkembangannya
 Kontrol terhadap rangsangan/stimulus, misalnya pada saat menonton
televisi diusahakan untuk tidak makan karena menonton televisi dapat
menjadi pencetus makan. Orangtua diharapkan dapat meniadakan semua
stimulus di sekitar anak yang dapat merangsang keinginan untuk makan
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
 Mengubah perilaku makan, misalnya belajar mengontrol porsi dan jenis
makanan yang dikonsumsi, serta mengurangi makanan camilan
 Penghargaan, yaitu orangtua dianjurkan untuk memberikan dorongan,
pujian terhadap keberhasilan atau perilaku sehat yang diperlihatkan
anaknya, misalnya makan makanan menu baru yang sesuai dengan
program gizi yang diberikan, berat badan turun, dan mau melakukan
olahraga
 Pengendalian diri, misalnya dapat mengatasi masalah apabila
menghadapi rencana bepergian atau pertemuan sosial yang memberikan
risiko untuk makan terlalu banyak, yaitu dengan memilih makanan yang
berkalori rendah atau mengimbanginya dengan melakukan latihan
tambahan untuk membakar energi. (31)

Terapi intensif berupa farmakoterapi dan terapi bedah dapat diterapkan dengan
persyaratan pada anak dan remaja obes yang mengalami penyakit penyerta dan tidak
memberikan respons pada terapi konvensional.
a. Farmakoterapi
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat
gizi (orlistat), dan rekombinan leptin untuk obesitas karena defisiensi leptin
bawaan, serta kelompok obat untuk mengatasi komorbiditas (metformin).
Belum tuntasnya penelitian tentang efek jangka panjang penggunaan
farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan belum ada satupun
farmakoterapi tersebut di atas yang diijinkan pemakaiannya pada anak di
bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration sampai saat ini.77
Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg dengan ekstra suplementasi vitamin yang
larut dalam lemak disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration untuk
tata laksana obesitas pada remaja di atas usia 12 tahun.
Studi klinis menunjukkan bahwa orlistat dapat membantu
menurunkan berat badan dari 1 sampai 3,37 kg lebih banyak dibandingkan
placebo. Sibutramin berfungsi menimbulkan rasa kenyang dan meningkatkan
pengeluaran energi dengan menghambat ambilan ulang (reuptake)
noraderenalin dan serotonin. Penggunaan obat tersebut pernah diijinkan oleh
U.S. Food and Drug Administration pada remaja yang berusia ≥ 16
tahun.10,79 Sebagian besar studi, review, dan penelitian yang menggunakan
sibutramin pada remaja dan anak menunjukkan manfaat jangka pendek yang
terbatas.80 Studi SCOUT (Sibutramine Cardiovasular Outcomes)
menunjukkan peningkatan kejadian efek simpang mayor kardiovaskular
sebesar 16% pada pasien yang diterapi sibutramin dibandingkan pasien yang
mendapat plasebo. Pemberian sibutramin juga tidak menghasilkan penurunan
berat badan yang bermakna dibandingkan plasebo.
Berdasarkan penelitian ini, pada tahun 2010 FDA
merekomendasikan penghentian pemberian sibutramin dan menginstruksikan
produsen agar menarik sibutramin dari pasar. Metformin merupakan obat
yang digunakan pada diabetes melitus tipe-2 tetapi sering disalahgunakan
sebagai farmakoterapi untuk obesitas. Review sistematik mengenai
penggunaan metformin untuk obesitas pada anak dan remaja memperoleh
hasil penggunaan metformin jangka pendek memberikan efek penurunan
IMT dan resistensi insulin pada anak dan remaja obes dengan
hiperinsulinemia, tetapi belum cukup bukti untuk menyatakan bahwa obat
tersebut dapat berperan dalam tata laksana overweight atau obesitas tanpa
hiperinsulinemia.
b. Terapi Bedah
Prinsip terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) adalah
 mengurangi asupan makanan (restriksi) atau memperlambat
pengosongan lambung dengan cara gastric banding vertical-banded
gastroplasty,
 mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass
dari lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum
cukup banyak diteliti manfaat serta bahaya pembedahan jika
diterapkan pada anak.
Bedah bariatrik dapat di pertimbangkan dilakukan pada:
1. Remaja yang mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah
menjalani program yang terencana ≥ 6 bulan serta memenuhi persyaratan
antropometri, medis, dan psikologis
2. Superobes (sesuai dengan definisi World Health Organization jika IMT
≥40)
3. Secara umum sudah mencapai maturitas tulang (umumnya perempuan
≥13 tahun dan laki-laki ≥15 tahun), dan
4. Menderita komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan
penurunan berat badan Remaja yang terindikasi tindakan bedah bariatrik
harus dirujuk ke Pusat Rujukan Obesitas yang bersifat multidisipliner serta
mempunyai pengalaman dalam penanganan jangka panjang.

Terapi bedah bariatrik tetap berpotensi menimbulkan komplikasi yang


serius walaupun menghasilkan penurunan berat badan yang bermakna pada pasien
pediatrik. Komplikasi laparoscopic adjustable gastric banding (LAGB) yang
paling sering dilaporkan adalah band slippage dan defisiensi mikronutrien,
dengan beberapa kasus sporadik erosi band, disfungsi lubang atau pipa, hiatal
hernia, infeksi luka dan dilatasi kantung. Komplikasi yang lebih berat dilaporkan
setelah Roux-en-Y gastric bypass (RYGB), seperti embolisme paru, syok,
obstruksi usus, perdarahan pasca bedah, kebocoran di tempat jahitan, dan gizi
buruk.(31)
DAFTAR PUSTAKA
1. Catherine A. Peterson, PhD & Anthony M. Belenchia, MS. School of
Medicine College of Human Environmental Sciences College of Agriculture
Food and Natural Resources. Vitamin D Deficiency & Chilhood Obesity A
tale of Two Epidemic:2014
2. Dr. Pankil Shah, Asisten Profesor, GMERS, Medical College, Gotri-
Vadodara, Gujarat,2Dr. Asutosh P Chauhan, Associate Profesor, GMERS,
Fakultas Kedokteran, Gotri- Vadodara, Gujarat, India. Dampak obesitas pada
status vitamin D dan kalsium.Volume 4 Edisi 2 :2014 . www.ijmrr.in 2
3. Indonesian Pediatric Society. Committed in Improving The Health of
Indonesian Children:2014 https://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-
anak/obesitas-pada-anak
4. Willemse JPMM, Meertens LJE, Scheepers HCJ, et al. Calcium intake from
diet and supplement use during early pregnancy: the Expect study I. Eur J
Nutr. 2020;59(1):167-174. doi:10.1007/s00394-019-01896-8 [Internet].
[cited 2021 Nov 16]. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30661104/
5. J. Blaine, M. Chonchol, M. Levi, Renal control of calcium, phosphate, and
magnesium homeostasis, Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 10 (2015) 1257–1272.
6. Weronika Banach1, Karolina Nitschke1, Natalia Krajewska1, Wojciech
Mongiałło1, Oskar Matuszak1, JHaizef Muszyński1dan Damian Skrypnik2.
Hubungan antara Kelebihan Massa Tubuh dan Gangguan Tingkat Mineral
Somatik. Int. J. Mol. Sci.2020,21, 7306; doi:10.3390/ijms21197306

7. Raskh S. The Importance and Role of Calcium on the Growth and


Development of Children and Its Complications. nternational Journal for
Research in Applied Sciences and Biotechnology. 2020;7(6).
8. Nabila Jemima Aji, Anna Fitriani*.Program Studi S1 Ilmu Gizi, Fakultas
Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka,
Indonesia. Pengaruh Absorpsi Kalsium oleh Vitamin D Pada Penderita
Obesitas. Vol. 2 No. 2 Tahun 2021 jurnal.umj.ac.id/index.php/MJNF
9. 1.Michael B. Zemel, PhD “Regulasi Risiko Adipositas dan Obesitas Oleh
Diet Kalsium: Mekanisme dan Implikasinya” Vol. 21, No. 2, 146S-151S
(2002).diakses dari Jurnal American College of Nutrition.
10. World Health Organization (WHO) . Obesity :2016. https://www.who.int/
health-topics/obesity#tab=tab_1
11. Kementrian kesehatan republik indonesia. Direktorat pencegahan dan
pengendalian penyakit tidak menula.Direktorat jenderal pencegahan dan
pengendalian penyakit :2018. Http://p2ptm.kemkes.go.id/ dokumen-p2ptm
12. Cerezo de Ríos S., Ríos-Castillo I., Brito A., López de Romaña D., Olivares
M., Pizarro F. Nutritional counseling increases consumption of calcium-rich
foods, but mean intake remains below the daily requirement. Rev. Chil. Nutr.
2014;41:131–138. doi: 10.4067/S0717-75182014000200002.
13. Xu Y, Ye J, Zhou D, Su L. Research progress on applications of calcium
derived from marine organisms. Sci Rep. 2020 Oct 28;10(1):18425.
14. Dietary Reference Intakes. Recommended Dietary Allowances and Adequate
Intakes, Element. [(accessed on 16 Novermber 2021)]; Available online:
http://nationalacademies.org/hmd/~/media/Files/Report%20Files/2019/DRI-
Tables-2019/2_RDAAIVVE.pdf?la=en. [Ref list].

15. Willemse JPMM, Meertens LJE, Scheepers HCJ, et al. Calcium intake from
diet and supplement use during early pregnancy: the Expect study I. Eur J
Nutr. 2020;59(1):167-174. doi:10.1007/s00394-019-01896-8 [Internet].
[cited 2021 Nov 16]. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30661104/
16. US Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Nutrient Data
Laboratory USDA National Nutrient Database for Standard Reference,
Release 28 (Slightly Revised) [(accessed on 16 November 2021)]; Available
online: http://www.ars.usda.gov/ba/bhnrc/ndl. [Ref list].
17. Silanikove N, Leitner G, Merin U. The Interrelationships between Lactose
Intolerance and the Modern Dairy Industry: Global Perspectives in
Evolutional and Historical Backgrounds. Nutrients. 2015;7(9):7312-7331.
Published 2015 Aug 31. doi:10.3390/nu7095340 [Internet]. [cited 2021 Nov
16]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26404364/
18. J. Blaine, M. Chonchol, M. Levi, Renal control of calcium, phosphate, and
magnesium homeostasis, Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 10 (2015) 1257–1272.
19. Song, L. (2017). Calcium and Bone Metabolism Indices. Advances in
Clinical Chemistry, 1–46. doi:10.1016/bs.acc.2017.06.005.
20. Nadar, R., & Shaw, N. (2020). Investigation and management of
hypocalcaemia. Archives of Disease in Childhood, archdischild–2019–
317482. doi:10.1136/archdischild-2019-317482.

21. Stokes VJ, Nielsen MF, Hannan FM, Thakker RV. Hypercalcemic Disorders
in Children. J Bone Miner Res. 2017 Nov;32(11):2157–70.
22. Wongdee K, Rodrat M, Teerapornpuntakit J, Krishnamra N,
Charoenphandhu N. Factors inhibiting intestinal calcium absorption:
hormones and luminal factors that prevent excessive calcium uptake. J
Physiol Sci. 2019 Sep;69(5):683–96.

23. Fang A, Li K, Li H, Guo M, He J, Shen X, et al. Low Habitual Dietary


Calcium and Linear Growth from Adolescence to Young Adulthood: results
from the China Health and Nutrition Survey. Sci Rep. 2017 Aug 22;7:9111.
24. Rubio-López N, Llopis-González A, Morales-Suárez-Varela M. Calcium
Intake and Nutritional Adequacy in Spanish Children: The ANIVA Study.
Nutrients. 2017 Feb 21;9(2):170.
25. Nappo, A., Sparano, S., Intemann, T., Kourides, Y. A., Lissner, L., Molnar,
D., … Russo, P. (2019). Dietary calcium intake and adiposity in children and
adolescents: cross-sectional and longitudinal results from IDEFICS/I.Family
cohort. Nutrition, Metabolism and Cardiovascular Diseases.
doi:10.1016/j.numecd.2019.01.01.

26. Carruth BR, Skinner JD. The role of dietary calcium and other nutrients in
moderating body fat in preschool children. Int J Obes Relat Metab Disord
2001;25:559e66. https://doi.org/10.1038/sj.ijo.0801562.
27. Zemel MB, Miller SL. Dietary calcium and dairy modulation of adiposity
and obesity risk. Nutr Rev 2004;62:125e31. https://doi. org/10.1111/j.1753-
4887.2004.tb00034.x.
28. 1.Michael B. Zemel, PhD “Regulasi Risiko Adipositas dan Obesitas Oleh
Diet Kalsium: Mekanisme dan Implikasinya” Vol. 21, No. 2, 146S-151S
(2002).diakses dari Jurnal American College of Nutrition.
29. Hamoui Nahid,Anthone Gary,Crookes Peter F.Calcium metabolism in the
morbidly obese.Vol.14 No.1 : 9-12.2004. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/
30. Zhang, F., Ye, J., Zhu, X., Wang, L., Gao, P., Shu, G., Jiang, Q., & Wang, S.
(2019). Anti-Obesity Effects of Dietary Calcium: The Evidence and Possible
Mechanisms. International journal of molecular sciences, 20(12), 3072.
https://doi.org/10.3390/ijms20123072
31. UKK NUTRISI DAN PENYAKIT METABOLIK.Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Diagnosis, Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan
Remaja.2014.

Anda mungkin juga menyukai