Obesitas adalah lemak tubuh yang berlebihan yang disimpan dalam tubuh.
Obesitas terjadi karena ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran
energi (energy expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat disebabkan
oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang rendah. (1)
Obesitas adalah suatu kondisi medis di mana kelebihan lemak tubuh telah
terakumulasi sedemikian rupa sehingga dapat memiliki efek negatif pada kesehatan,
yang mengarah pada penurunan harapan hidup dan/atau peningkatan masalah
kesehatan. (2 )
Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan
peningkatan risiko kesehatan, khususnya faktor risiko kardiovaskular. Indeks massa
tubuh (IMT) dan pengukuran berat badan terhadap tinggi badan merupakan metode
yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan diukur dengan cara berat badan (dalam
kilogram) dibagi dengan kuadrat dari tinggi badan (dalam meter). (3)
Proporsi anak-anak dalam populasi umum yang kelebihan berat badan dan
obesitas telah berlipat ganda selama dua dekade terakhir di negara maju dan
berkembang (2,4,5)
Obesitas dikaitkan dengan perubahan kadar mineral dalam tubuh.4]. Studi
terbaru telah mengidentifikasi zat besi (Fe), kalsium (Ca), magnesium (Mg), seng
(Zn), tembaga (Cu), selenium (Se), yodium, dan kromium (Cr) sebagai mineral yang
rentan terhadap overweight dan obesitas. Gangguan terkait massa pada tingkat
somatiknya. Namun, penelitian tentang obesitas dan Fe telah menunjukkan hasil
yang kontradiktif. Percobaan tentang kelebihan massa tubuh dan kadar Ca masih
belum meyakinkan, sementara jumlah penelitian tentang kelebihan massa tubuh, Se,
dan yodium cukup terbatas hingga saat ini.. Khususnya pada mineral Fe, Ca, dan
Mg, tetapi juga Zn, Cu, Se, dan yodium, memainkan peran penting dalam berbagai
proses metabolisme dan keseimbangan energi tubuh. Obesitas adalah penyakit yang
mengancam jiwa, saat ini mencapai proporsi epidemik, yang dikaitkan dengan
perubahan kadar mineral ini. Oleh karena itu, ada kebutuhan besar untuk menyajikan
pengetahuan terkini mengenai hubungan antara kelebihan massa tubuh dan
perubahan tingkat mineral somatik. (6)
Kalsium makanan sekarang dikenal memainkan peran penting, di luar
pentingnya dalam pemeliharaan integritas tulang, dalam memodulasi risiko penyakit
kronis. kalsium makanan juga berperan dalam regulasi tekanan darah. Hal ini telah
dibuktikan melalui berbagai studi terkontrol dengan baik selama 20 tahun terakhir
[5]
Kalsium memiliki peran fundamental dalam pertumbuhan tulang serta gigi,
sekresi hormon, kontraksi otot, transmisi impuls saraf, sistem imun, dan proses
pembelajaran. Kalsium juga memiliki fungsi lain yang dikaitkan dengan pencegahan
obesitas, hipertensi, batu ginjal, resistensi insulin, kanker usus, dll. Tubuh manusia
tidak menyintesis mineral. Keberadaannya sangat bergantung pada konsumsi dari
makanan atau minuman. Dari kandungan kalsium yang berada di makanan, hanya
sekitar 20-40% yang diserap oleh tubuh. Bioavailabilitas kalsium bergantung pada
asupan laktosa, vitamin D, lemak, protein, vitamin C, dan kandungan asam.
Sebaliknya, bioavailabilitasnya menurun dengan makanan yang kaya akan asam
oksalat dan asam fitat. Oleh karena itu, asupan kalsium yang cukup dan nutrisi
lainnya sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak.(6,7)
Kerangka kerja untuk memahami efek "anti-obesitas" dari kalsium makanan
berasal dari studi tentang mekanisme aksiagouti, gen obesitas yang diekspresikan
dalam adiposit manusia. Protein agouti merangsang masuknya kalsium dan
mempromosikan penyimpanan energi dalam adiposit manusia dengan secara
terkoordinasi merangsang ekspresi dan aktivitas sintasis asam lemak, enzim kunci
dalam novolipogenesis dan penghambatan lipolisis dengan mekanisme yang
bergantung pada kalsium [8,9].
I. Obesitas
a. Definisi
Obesitas adalah suatu kondisi medis di mana kelebihan lemak
tubuh telah terakumulasi sedemikian rupa sehingga dapat memiliki efek
negatif pada kesehatan, yang mengarah pada penurunan harapan hidup
dan/atau peningkatan masalah kesehatan. Obesitas terjadi karena
ketidakseimbangan antara asupan energi dengan keluaran energi (energy
expenditures), sehingga terjadi kelebihan energi yang selanjutnya
disimpan dalam bentuk jaringan lemak. Kelebihan energi tersebut dapat
disebabkan oleh asupan energi yang tinggi atau keluaran energi yang
rendah. (1,10)
Lemak tubuh yang berlebihan pada obesitas berhubungan dengan
peningkatan risiko kesehatan, khususnya faktor risiko kardiovaskular.
Indeks massa tubuh (IMT) dan pengukuran berat badan terhadap tinggi
badan merupakan metode yang berguna untuk menilai lemak tubuh dan
diukur dengan cara berat badan (dalam kilogram) dibagi dengan kuadrat
dari tinggi badan (dalam meter). (3)
Masalah obesitas telah menjadi masalah global dan berdampak
pada negara dengan pendapatan rendah sampai menengah, terutama
terjadi pada masyarakat kota. Berdasarkan data World Health
Organization (WHO) pada tahun 2016, anak dibawah 5 tahun dengan
kelebihan berat badan atau overweight di seluruh dunia mencapai lebih
dari 41 juta dan sekitar 92 juta anak dengan risiko mengalami
overweight. (Peterson, 2014) (WHO, 2016). Untuk anak usia 5-19 tahun
prevalensi obesitas yaitu sekitar 18% dari jumlah anak dan remaja di
seluruh dunia. Jumlah ini sangat meningkat secara drastis dibandingkan
tahun 1975 yaitu sekitar 4%. Bila tren ini terus berlanjut, diperkirakan
pada tahun 2021 terdapat sekitar 60 juta untuk usia dibawah 5 tahun dan
sekitar 340 juta untuk anak dan remaja usia 5-19 tahun akan mengalami
obesitas dan kelebihan berat badan atau overweight. Hampir setengah
dari jumlah tersebut berada di benua Asia, dan seperempat berada di
benua Afrika. (4)
Berdasarkan riskesdas kementerian kesehatan tahun 2018, anak
balita yang mengalami obesitas dan overweight di Indonesia mencapai
8% dari jumlah seluruh balita. Jumlah ini menurun dibanding tahun 2013
yang mencapai 11,9% dari jumlah seluruh balita. Secara khusus di
provinsi Sulawesi Selatan kejadian anak balita dengan obesitas dan
overweight mencapai 7% dari jumlah seluruh balita. Prevalensi obesitas
pada usia remaja 13-15 tahun sebesar 16% (meningkat bila dibandingkan
tahun 2013 sebesar 10,7%). Remaja usia 16-18 tahun dengan prevalensi
13,5%. (11)
II. KALSIUM
a. Definisi
Kalsium merupakan salah satu mineral penting untuk manusia.
Sekitar 99% kalsium dalam tubuh manusia terdapat pada tulang dan gigi
bersama dengan fosfor. Sisanya berada pada jaringan lunak dan cairan
ekstraselular. Kalsium memegang peran fundamental dalam fungsi
tubuh, seperti sekresi hormon, kontraksi otot, transmisi impuls saraf,
sistem imun, dan proses pembelajaran. Namun pada anak, peran paling
penting kalsium adalah untuk pertumbuhan tulang. Kalsium juga
memiliki fungsi lain yang dikaitkan dengan pencegahan obesitas,
hipertensi, batu ginjal, resistensi insulin, serta kanker usus. Sumber
utama kalsium ialah produk dairy seperti susu, keju, yoghurt, tofu, dll.
(12,13)
b. Sumber Kalsium
Asupan kalsium biasanya dikaitkan dengan asupan produk susu
seperti susu, yogurt dan keju, karena merupakan sumber yang kaya
kalsium. Makanan kaya kalsium adalah produk susu, terutama keju yang
dapat menyediakan 1 g kalsium per 100 g, sedangkan susu dan yogurt
dapat menyediakan antara 100 mg hingga 180 mg per 100 g. Sereal
biasanya mengandung sekitar 30 mg per 100 g, namun jika difortifikasi
jumlahnya bisa mencapai 180 mg per 100 g. Kacang-kacangan dan biji-
bijian juga kaya akan kalsium, terutama almond, wijen, dan chia yang
dapat menyediakan antara 250 hingga 600 mg per 100 g. Sayuran yang
kaya kalsium adalah kangkung, brokoli dan selada air, yang
menyediakan antara 100 dan 150 mg per 100 g.(7) Namun, dampak
makanan ini terhadap asupan kalsium total tergantung pada pola
konsumsi makanan penduduk setempat. Ketika produk susu mewakili
sekitar 14% dari total asupan energi makanan di negara maju, mereka
hanya mewakili sekitar 4% dari total asupan energi di negara
berkembang.(8) Dengan cara ini, beberapa negara Asia memiliki
proporsi asupan kalsium total yang lebih tinggi dari makanan non-
hewani seperti sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian daripada dari
produk susu. Di Amerika Serikat dan di Belanda, 72% dan 58% pasokan
kalsium masing-masing berasal dari produk susu, sedangkan di Cina,
hanya sekitar 7% dari total asupan kalsium yang berasal dari produk
susu. Sebagian besar berasal dari sayuran (30,2%) dan kacang-kacangan.
(16,7%). Fortified food seperti sereal dan jus juga dapat menjadi sumber
kalsium yang penting.(14,15)
Suplemen juga merupakan sumber makanan kalsium yang bagus.
Beberapa suplemen kalsium mengandung hingga 1000 mg kalsium per
tablet, yang mewakili kebutuhan nutrisi bagi kebanyakan orang dewasa.
Namun, penggunaan suplemen juga bervariasi antar negara. Di Amerika
Serikat dan Kanada, sekitar 40% dari populasi orang dewasa dilaporkan
telah mengonsumsi suplemen kalsium dan angka ini meningkat menjadi
70% pada kelompok wanita yang lebih tua [3,6,10]. Di sisi lain, di
Argentina dan di Belanda, sangat sedikit wanita yang dilaporkan
mengonsumsi suplemen kalsium.(16,17)
c. Homeostasis Kalsium
Kalsium yang ‘free’ atau bebas merupakan bentuk aktif yang
konsentrasinya sangat bergantung pada reabsorpsi kalsium di ginjal,
tulang, dan usus. Semua aktivitas ini berada di bawah kendali dari
hormon paratiroid (PTH) dan 1,25-dihydroxyvitamin D (1,25(OH)2D).
PTH menjalankan aksinya di tulang dan ginjal melalui interaksi dengan
1-PTH-receptors (PTH1R). Ketika PTH berikatan dengan PTH1R, hal
ini menstimulasi adenyl cyclase, meningkatkan konsentrasi cyclic AMP
(cAMP) dan mengaktivasi jalur sinyal transduksi phospholipase C. Pada
tubulus ginjal, PTH1R menstimulasi reabsorpsi kalsium dari cairan
tubulus ginjal sambil meningkatkan eksresi fosfat di urin. Fungsi penting
lainnya dari PTH adalah aktivasi 25-hydroxyvitamin D 1α- hydroxylase
pada tubulus proksimal ginjal di mana hal ini mengubah 25-
hydroxyvitamin D (25(OH)D menjadi metabolit aktivnya yaitu
1,25(OH)2D yang memfasilitasi absorpsi fosfat dan kalsium dari usus.
Efek dari PTH di tulang bergantung pada konsentrasi PTH dan durasi
paparan. Paparan kronik ke konsentrasi PTH yang tinggi mengarah ke
peningkatan penyerapan kalsium dan fosfat tulang sehingga
konsentrasinya di plasma meningkat. Sebagai ilustrasi pada gambar 1,
ketika kalsium bebas menurun, PTH dilepaskan dari kelenjar paratiroid
yang menstimulasi reabsorpsi kalsium, ekskresi fosfat, dan
meningkatkan produksi 1,25(OH)2D. Hal ini juga mendorong
penyerapan kalsium dan fosfat dari tulang. Peningkatan 1,25(OH)2D
oleh ginjal akan menambah penyerapan kalsium di usus. Sehingga,
dampak dari PTH dan 1,25(OH)2D adalah peningkatan kalsium dan
penurunan konsentrasi fosfat pada plasma. (18,19)
Konsentrasi kalsium bebas dimonitor oleh calcium-sensing
receptors (CaSR) yang terletak di permukaan sel kelenjar paratiroid dan
lengkung henle ginjal. Peningkatan kalsium bebas akan mengaktifkan
CaSR yang berdampak pada peningkatan konsentrasi kalsium intrasel,
menghambat sekresi PTH dan proliferasi sel paratiroid, serta
menurunkan reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal. Sebaliknya,
penurunan kalsium bebas akan menon-aktifkan CaSR, yang
menstimulasi sekresi PTH. Ketika CaSR Molekul lain yang memegang
peran minor dalam sekresi PTH adalah 1,25(OH)2D3, fosfat, dan
magnesium. 1,25(OH)2D3 menghambat efek dari kelenjar paratiroid.
Hiperfosfatemia meningkatkan sekresi PTH, sedangkan hipofosfatemia
menekan sekresi PTH. Hipomagnesium kronik berkaitan dengan
kegagalan sekresi PTH dan dapat menyebabkan resistensi terhadap efek
dari PTH. Hipermagnesium menekan sekresi PTH.(20)
faktor humoral dengan fungsi autokrin, parakrin, dan endokrin seperti yang
ditunjukkan gambar 2.(21)
HIPOKALSEMIA
Selain karena faktor asupan nutrisi, terdapat beberapa kondisi yang
Selain itu, fungsi enzim untuk hidroksilasi yaitu 25-ohase dan 1-α-
hidroksilase akan menurun pada orang obesitas. Akibatnya, seorang yang
mengalami obesitas setidaknya memerlukan dua kali lebih banyak vitamin D
dibandingkan dengan seorang denghan berat badan normal untuk
mempertahankan kadar serum 25(OH)D sebanyak 30-60 ng/mL (28)
Studi skala besar dari spektrum luas pasien obesitas morbid menegaskan bahwa
prevalensi hiperparatiroidisme tinggi pada obesitas tidak sehat dan bahwa kadar
PTH berkorelasi positif dengan BMI1
Karena 25-OH D berbanding terbalik dengan kadar PTH, ini menunjukkan
bahwa hiperparatiroidisme berkembang sebagai konsekuensi dari penurunan
kadar 25-OH D. Etiologi penurunan kadar 25-OH D tidak diketahui, tetapi
kemungkinan besar konsekuensi dari malabsorpsi atau asupan vitamin D yang
tidak memadai. Satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa pasien obesitas
yang tidak sehat memiliki paparan sinar matahari yang lebih sedikit daripada
subjek normal. Ada kemungkinan bahwa efek ini akan lebih menonjol pada
populasi dari garis lintang yang lebih utara, tetapi untuk menguji hipotesis ini
akan memerlukan studi pasien di garis lintang yang berbeda. Penjelasan
alternatif adalah bahwa 25-OH D diasingkan dalam lemak, dan akibatnya telah
mengurangi bioavailabilitas. Lebih lanjut dipostulasikan bahwa peningkatan
PTH menunjukkan resistensi end-organ tulang terhadap PTH sebagai
konsekuensi dari peningkatan massa tulang. Peningkatan kadar 1,25- OH D akan
menjadi akibat sekunder dari peningkatan PTH, yang pada gilirannya dapat
menghasilkan umpan balik negatif pada 25- hidroksilase, menghasilkan kadar
25-OH D yang lebih rendah. Namun, tidak ditemukan korelasi yang signifikan
antara PTH dan 1,25-dihidroksivitamin D. (29)
d. Modifikasi Perilaku
Tata laksana diet dan latihan fisis merupakan komponen yang efektif untuk
pengobatan, serta menjadi perhatian paling besar bagi ahli fisiologi untuk
memperoleh perubahan makan dan aktivitas perilakunya.75 Oleh karena
prioritas utama adalah perubahan perilaku, maka perlu menghadirkan peran
orangtua sebagai komponen intervensi.Beberapa cara pengubahan perilaku
berdasarkan metode food rules diantaranya adalah:
Terapi intensif berupa farmakoterapi dan terapi bedah dapat diterapkan dengan
persyaratan pada anak dan remaja obes yang mengalami penyakit penyerta dan tidak
memberikan respons pada terapi konvensional.
a. Farmakoterapi
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu penekan nafsu makan (sibutramin), penghambat absorbsi zat-zat
gizi (orlistat), dan rekombinan leptin untuk obesitas karena defisiensi leptin
bawaan, serta kelompok obat untuk mengatasi komorbiditas (metformin).
Belum tuntasnya penelitian tentang efek jangka panjang penggunaan
farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan belum ada satupun
farmakoterapi tersebut di atas yang diijinkan pemakaiannya pada anak di
bawah 12 tahun oleh U.S. Food and Drug Administration sampai saat ini.77
Sejak tahun 2003, Orlistat 120 mg dengan ekstra suplementasi vitamin yang
larut dalam lemak disetujui oleh U.S. Food and Drug Administration untuk
tata laksana obesitas pada remaja di atas usia 12 tahun.
Studi klinis menunjukkan bahwa orlistat dapat membantu
menurunkan berat badan dari 1 sampai 3,37 kg lebih banyak dibandingkan
placebo. Sibutramin berfungsi menimbulkan rasa kenyang dan meningkatkan
pengeluaran energi dengan menghambat ambilan ulang (reuptake)
noraderenalin dan serotonin. Penggunaan obat tersebut pernah diijinkan oleh
U.S. Food and Drug Administration pada remaja yang berusia ≥ 16
tahun.10,79 Sebagian besar studi, review, dan penelitian yang menggunakan
sibutramin pada remaja dan anak menunjukkan manfaat jangka pendek yang
terbatas.80 Studi SCOUT (Sibutramine Cardiovasular Outcomes)
menunjukkan peningkatan kejadian efek simpang mayor kardiovaskular
sebesar 16% pada pasien yang diterapi sibutramin dibandingkan pasien yang
mendapat plasebo. Pemberian sibutramin juga tidak menghasilkan penurunan
berat badan yang bermakna dibandingkan plasebo.
Berdasarkan penelitian ini, pada tahun 2010 FDA
merekomendasikan penghentian pemberian sibutramin dan menginstruksikan
produsen agar menarik sibutramin dari pasar. Metformin merupakan obat
yang digunakan pada diabetes melitus tipe-2 tetapi sering disalahgunakan
sebagai farmakoterapi untuk obesitas. Review sistematik mengenai
penggunaan metformin untuk obesitas pada anak dan remaja memperoleh
hasil penggunaan metformin jangka pendek memberikan efek penurunan
IMT dan resistensi insulin pada anak dan remaja obes dengan
hiperinsulinemia, tetapi belum cukup bukti untuk menyatakan bahwa obat
tersebut dapat berperan dalam tata laksana overweight atau obesitas tanpa
hiperinsulinemia.
b. Terapi Bedah
Prinsip terapi bedah pada obesitas (bedah bariatrik) adalah
mengurangi asupan makanan (restriksi) atau memperlambat
pengosongan lambung dengan cara gastric banding vertical-banded
gastroplasty,
mengurangi absorbsi makanan dengan cara membuat gastric bypass
dari lambung ke bagian akhir usus halus. Sampai saat ini belum
cukup banyak diteliti manfaat serta bahaya pembedahan jika
diterapkan pada anak.
Bedah bariatrik dapat di pertimbangkan dilakukan pada:
1. Remaja yang mengalami kegagalan menurunkan berat badan setelah
menjalani program yang terencana ≥ 6 bulan serta memenuhi persyaratan
antropometri, medis, dan psikologis
2. Superobes (sesuai dengan definisi World Health Organization jika IMT
≥40)
3. Secara umum sudah mencapai maturitas tulang (umumnya perempuan
≥13 tahun dan laki-laki ≥15 tahun), dan
4. Menderita komplikasi obesitas yang hanya dapat diatasi dengan
penurunan berat badan Remaja yang terindikasi tindakan bedah bariatrik
harus dirujuk ke Pusat Rujukan Obesitas yang bersifat multidisipliner serta
mempunyai pengalaman dalam penanganan jangka panjang.
15. Willemse JPMM, Meertens LJE, Scheepers HCJ, et al. Calcium intake from
diet and supplement use during early pregnancy: the Expect study I. Eur J
Nutr. 2020;59(1):167-174. doi:10.1007/s00394-019-01896-8 [Internet].
[cited 2021 Nov 16]. Available from:
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/30661104/
16. US Department of Agriculture, Agricultural Research Service, Nutrient Data
Laboratory USDA National Nutrient Database for Standard Reference,
Release 28 (Slightly Revised) [(accessed on 16 November 2021)]; Available
online: http://www.ars.usda.gov/ba/bhnrc/ndl. [Ref list].
17. Silanikove N, Leitner G, Merin U. The Interrelationships between Lactose
Intolerance and the Modern Dairy Industry: Global Perspectives in
Evolutional and Historical Backgrounds. Nutrients. 2015;7(9):7312-7331.
Published 2015 Aug 31. doi:10.3390/nu7095340 [Internet]. [cited 2021 Nov
16]. Available from: https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26404364/
18. J. Blaine, M. Chonchol, M. Levi, Renal control of calcium, phosphate, and
magnesium homeostasis, Clin. J. Am. Soc. Nephrol. 10 (2015) 1257–1272.
19. Song, L. (2017). Calcium and Bone Metabolism Indices. Advances in
Clinical Chemistry, 1–46. doi:10.1016/bs.acc.2017.06.005.
20. Nadar, R., & Shaw, N. (2020). Investigation and management of
hypocalcaemia. Archives of Disease in Childhood, archdischild–2019–
317482. doi:10.1136/archdischild-2019-317482.
21. Stokes VJ, Nielsen MF, Hannan FM, Thakker RV. Hypercalcemic Disorders
in Children. J Bone Miner Res. 2017 Nov;32(11):2157–70.
22. Wongdee K, Rodrat M, Teerapornpuntakit J, Krishnamra N,
Charoenphandhu N. Factors inhibiting intestinal calcium absorption:
hormones and luminal factors that prevent excessive calcium uptake. J
Physiol Sci. 2019 Sep;69(5):683–96.
26. Carruth BR, Skinner JD. The role of dietary calcium and other nutrients in
moderating body fat in preschool children. Int J Obes Relat Metab Disord
2001;25:559e66. https://doi.org/10.1038/sj.ijo.0801562.
27. Zemel MB, Miller SL. Dietary calcium and dairy modulation of adiposity
and obesity risk. Nutr Rev 2004;62:125e31. https://doi. org/10.1111/j.1753-
4887.2004.tb00034.x.
28. 1.Michael B. Zemel, PhD “Regulasi Risiko Adipositas dan Obesitas Oleh
Diet Kalsium: Mekanisme dan Implikasinya” Vol. 21, No. 2, 146S-151S
(2002).diakses dari Jurnal American College of Nutrition.
29. Hamoui Nahid,Anthone Gary,Crookes Peter F.Calcium metabolism in the
morbidly obese.Vol.14 No.1 : 9-12.2004. https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/
30. Zhang, F., Ye, J., Zhu, X., Wang, L., Gao, P., Shu, G., Jiang, Q., & Wang, S.
(2019). Anti-Obesity Effects of Dietary Calcium: The Evidence and Possible
Mechanisms. International journal of molecular sciences, 20(12), 3072.
https://doi.org/10.3390/ijms20123072
31. UKK NUTRISI DAN PENYAKIT METABOLIK.Ikatan Dokter Anak
Indonesia. Diagnosis, Tata Laksana dan Pencegahan Obesitas pada Anak dan
Remaja.2014.