BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Banyak faktor yang mempengaruhi dan menentukan kegiatan berbisnis. sebagai kegiatan
sosial bisnis dengan banyak cara terjalin dengan kompleksitas masyarakat modern. Dalam
kegiatan berbisnis mengejar keuntungan adalah hal yang wajar, asalkan dalam mencapai
keuntungan tersebut tidak merugikan banyak pihak baik dalam mencapai tujuan, dalam kegiatan
berbisnis juga ada batasnya. Kepentingan dan hak-hak orang lain perlu diperhatikan.Etika
perilaku dalam kegiatan berbisnis adalah sesuatu yang penting demi kelangsungan hidup bisnis
itu sendiri. Bisnis yang tidak etis akan merugikan bisnis itu sendiri bahkan terutama jika dilihat
dari perspektif jangka panjang. bisnis yang baik bukan saja bisnis yang menguntungkan, tetapi
bisnis yang baik adalah bisnis tersebut selain menguntungkan juga bisnis yang baik secara moral.
Perilaku yang baik juga dalam konteks bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan nilai(nilai
moral).
Pelanggaran etika bisnis merupakan hal yang biasa dan, wajar pada saat ini, secara tidak
sadar kita telah menyaksikan banyaknya pelanggaran dalam etika bisnis dalam kegiatan berbisnis
khususnya kegiatan bisnis di Indonesia. Banyak pelanggaran bisnis yang dilakukan oleh pebisnis
yang tidak bertanggung jawab di Indonesia. Hal ini disebabkan karena adanya proses persaingan
diantara para pebisnis, dan ini adalah sebuah persaingan yang tidak sehat dan mempunyai ambisi
untuk menguasai sebuah pasar, selain untuk menguasai pasar ada faktor lain yang mempengaruhi
pebisnis melakukan sebuah pelanggaran etika bisnis antara lain untuk memperluas pangsa pasar,
serta mendapatkan banyak keuntungan. Keterangan sebelumnya jelas alasan umum para pebisnis
melakukan pelanggaran etika bisnis dengan berbagai cara.
Sebagian besar orang akan menilai perilaku etis dengan menghukum siapa saja yang
mereka persepsi berprilaku tidak etis, dan menghargai siapa saja yang mereka persepsi
berprilaku etis. Pelanggan akan melawan perusahaan jika mereka mempersepsi ketidakadilan
yang dilakukan perusahaan dalam bisnis lainnya, dan mengurangi minat mereka untuk membeli
produknya. Karyawan yang merasakan ketidakadilan, akan menunjukkan absentisme lebih
tinggi, produktivitas lebih rendah, dan tuntutan upah yang tinggi. Sebaliknya, ketika karyawan
percaya bahwa organisasi adil, akan senang mengikuti manajer. Melakukan apapun yang
dikatakan manajer, dan memandang keputusan manajer sah. Ringkasnya, etika merupakan
komponen kunci manajemen yang efektif.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Apakah etika dunia bisnis itu?
2. Apa tujuan etika dalam dunia bisnis?
3. Bagaimana peran etika dalam dunia bisnis?
4. Bagaimana etika dalam fungsi perusahaan ?
5. Sasaran dan ruang lingkup etika bisnis?
6. Etika bisnis dalam Kehidupan Bisnis?
7. Prinsip Etika dalam Dunia Bisnis?
8. Faktor apa sajakah yang mempengaruhi para pembisnis melakukan pelanggaran etika dalam
bisnisnya?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dari makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui etika dunia bisnis
2. Untuk mengetahui tujuan dan peran etika dalam dunia bisnis
3. Untuk mengetahui etika dalam fungsi perusahaan
4. Untuk mengetahui sasaran dan ruang lingkup etika bisnis
5. Untuk mengetahui etika bisnis dalam kehidupan bisnis
6. Untuk mengetahui prinsip etika dalam dunia bisnis?
7. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi para pembisnis yang melakukan pelanggaran
etika dalam bisnisnya
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain adalah:
1. Pengendalian diri
2. Pengembangan tanggung jawab social (social responsibility)
3. Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya
perkembangan informasi dan teknologi
4. Menciptakan persaingan yang sehat
5. Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan”
6. Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi)
7. Mampu menyatakan yang benar itu benar
8. Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha ke
bawah
9. Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
10. Menumbuh kembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
11. Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hokum positif yang berupa
peraturan perundang-undangan
Persaingan sangat penting dalam pasar, dan memisahkan pasar dari perdagangan. Dua
orang mungkin melakukan perdagangan, tetapi dibutuhkan setidaknya tiga orang untuk memiliki
pasar, sehingga ada persaingan pada setidaknya satu dari dua belah pihak. Pasar bervariasi dalam
ukuran, jangkauan, skala geografis, lokasi jenis dan berbagai komunitas manusia, serta jenis
barang dan jasa yang diperdagangkan. Beberapa contoh termasuk pasar petani lokal yang
diadakan di alun-alun kota atau tempat parkir, pusat perbelanjaan dan pusat perbelanjaan, mata
uang internasional dan pasar komoditas, hukum menciptakan pasar seperti untuk izin polusi, dan
pasar ilegal seperti pasar untuk obat-obatan terlarang.
2. Etika Iklan
Etika periklanan di Indonesia diatur dalam etika pariwara Indonesia (EPI). EPI menyusun
pedoman tata krama periklanannya melalui dua tatanan :
a. Tata Krama (Code of Conducts)
Metode penyebarluasan pesan periklanan kepada masyarakat, yang bukan tentang unsur
efektivitas, estetika, dan seleranya. Adapun ketentuan yang dibahas meliputi:
1. Tata krama isi iklan
2. Tata krama raga iklan
3. Tata krama pemeran iklan
4. Tata krama wahana iklan
b. Tata Cara (Code of Practices)
Hanya mengatur praktek usaha para pelaku periklanan dalam memanfaatkan ruang dan
waktu iklan yang adil bagi semua pihak yang saling berhubungan. Ada 3 asas umum yang EPI
jadikan dasar, yaitu :
- Jujur, benar, dan bertanggung jawab.
- Bersaing secara sehat.
- Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan
golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
3. Privasi Konsumen
Yaitu kepercayaan konsumen mengenai kinerja pihak lain dalam suatu lingkungan selama
transaksi atau konsumsi. Adapun definisi lain dari privasi yaitu sebagai suatu kemampuan untuk
mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan pilihan atau kemampuan untuk
mencapai interaksi seperti yang diinginkan. privasi jangan dipandang hanya sebagai penarikan
diri seseorang secara fisik terhadap pihak pihak lain dalam rangka menyepi saja.
Dalam penggunaan multimedia ini agar pelaku bisnis itu beretika tentunya harus ada
batasan-batasan aturan yang dibuat oleh pemerintah, seperti larangan penggunaan multimedia
yang menjurus kepada SARA, atau yang bersifat membahayakan kepentingan masayarakat
umum. Sehingga siapa yang melanggar akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku.
5. Etika Produksi
Etika adalah seperangkat prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar dan
salah. Sedangkan produksi adalah suatu kegiatan menambah nilai guna barang dengan
menggunakan sumber daya yang ada. Jadi, etika produksi adalah seperangkat prinsip-prinsip dan
nilai-nilai prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menegaskan tentang benar atau salahnya hal-hal
yang dilakukan dalam proses produksi atau dalam proses penambahan nilai guna barang.
Maka etika produksi yang diperhitungkan adalah:
1. Nilai (aturan main yang dibuat pengusaha dan menjadi patokan berbisnis).
2. Hak dan kewajiban (Menerima dan menggaji karyawan, membayar pajak dan sebagainya).
3. Peraturan moral (Peraturan moral menjadi acuan tertulis yang sangat penting bagi pengusaha
ketika mengalami dilema atau permasalahan, baik internal atau eksternal).
4. Hubungan manusia (memprioritaskan perekrutan karyawan dari masyarakat di sekitar
perusahaan, menghargai hak cipta, dll).
5. Hubungan dengan alam (ikut mengelola lingkungan hidup dan mengelola limbah sisa hasil
produksi).
6. Pemanfaatan SDM
Sumber Daya Manusia (SDM) lebih di mengerti sebagian integral dari sistem yang
membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM
harus mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Dalam pemanfaatan SDM, permasalahan yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah
sebagai berikut:
1. Kualitas SDM yang sebagian besar masih rendah atau kurang siap memasuki dunia kerja atau
dunia usaha.
2. Terbatasnya jumlah lapangan kerja.
3. Jumlah angka pengangguran yang cukup tinggi.
Kualitas SDM di sini tidak hanya dalam bentuk penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi saja, tetapi harus diimbangi dengan kualitas beragama dengan landasan iman dan
takwa yang kuat, sehingga dalam menjalankan peran sosialnya baik berstatus sebagai pegawai
negeri atau pegawai swasta, pejabat negara, aparat keamanan maupun penegak hukum tidak
disalahgunakan untuk hal-hal yang bersifat memperkaya diri sendiri dan merugikan kepentingan
orang lain.
Menyadari banyaknya permasalahan tentang SDM yang dihadapi oleh bangsa ini, maka
pemerintah harus terus berusaha untuk mencarikan jalan keluarnya, antara lain dengan cara :
1. meningkatkan mutu pendidikan melalui undang-undang sisdiknas, antara lain dengan jalan
menerapkan kurikulum berbasis kompetensi mendapat perhatian dan porsi yang seimbang,
sehingga diharapkan setelah menyelesaikan pendidikannya peserta didik benar-benar siap
memasuki dunia kerja atau dunia usaha dengan kualitas yang baik
2. melaksanakan proyek-proyek yang bersifat padat karya
3. menciptakan lapangan kerja antara lain dengan membuat iklim investasi yang kondusif supaya
banyak investor yang mau atau tertarik melakukan usahanya di negara kita ini
4. mendorong perkembangan usaha kecil menengah (UKM) dengan menyediakan fasilitas kredit
yang menarik dan lain-lain.
Keberhasilan upaya tersebut diatas, pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan basis
dan ketahanan perekonomian rakyat yang kuat dalam menghadapi persaingan global baik
didalam maupun diluar negeri dan pada gilirannya dapat mempercepat terwujudnya kemandirian
bangsa.
7. Etika Kerja
Etika kerja adalah sistem nilai atau norma yang digunakan oleh seluruh karyawan
perusahaan, termasuk pimpinannya dalam pelaksanaan kerja sehari-hari. Perusahaan dengan
etika kerja yang baik akan memiliki dan mengamalkan nilai-nilai, yakni : kejujuran, keterbukaan,
loyalitas kepada perusahaan, konsisten pada keputusan, dedikasi kepada stakeholder, kerja sama
yang baik, disiplin, dan bertanggung jawab.
Etika kerja terkait dengan apa yang seharusnya dilakukan karyawan atau manajer. Untuk
itu etika kerja setiap karyawan didasari prinsip-prinsip:
Melaksanakan tugas sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan,
Selalu berorientasi pada budaya peningkatan mutu kinerja,
Saling menghormati sesama karyawan,
Membangun kerjasama dalam melaksanakan tugas-tugas perusahaan,
Memegang amanah atau tanggung jawab, dan kejujuran,
Mananamkan kedisiplinan bagi diri sendiri dan perusahaan.
Dalam prakteknya penerapan etika kerja di kalangan karyawan tidaklah mudah. Tidak
jarang bukan saja di karyawan tetapi juga di kalangan manajer banyak yang kurang memahami
makna etika kerja. Hal itu ditunjukkan oleh adanya sekelompok karyawan dan bahkan manajer
yang egoistis dan menjadi penyebab konflik serta ketidakpuasan di kalangan karyawan. Kalau ini
dibiarkan maka lambat laun akan menggangu proses pekerjaan dan mutu kinerja secara
keseluruhan. Karena itu diperlukan peranan perusahaan dalam membangun etika kerja para
karyawan.
Hak-Hak Pekerja
Hak dasar pekerja mendapat perlindungan atas tindakan PHK
Hak khusus untuk pekerja perempuan
Hak dasar mogok
Hak untuk membuat PKB (Perjanjian Kerja Bersama)
Hak dasar pekerja atas pembatasan waktu kerja, istirahat, cuti dan libur
Hak pekerja atas perlindungan upah
Hak pekerja untuk jaminan sosial dan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)
Hak pekerja untuk hubungan kerja
3.1 KESIMPULAN
Di dalam persaingan dunia usaha yang sangat ketat ini, etika bisnis merupakan sebuah
harga mati, yang tidak dapat ditawar lagi. Dalam zaman keterbukaan dan luasnya informasi saat
ini, baik-buruknya sebuah dunia usaha dapat tersebar dengan cepat dan luas. Memposisikan
karyawan, konsumen, pemasok, pemodal dan masyarakat umum secara etis dan jujur adalah
satu-satunya cara supaya dapat bertahan di dalam dunia bisnis saat ini. Ketatnya persaingan
bisnis menyebabkan beberapa pelaku bisnisnya kurang memperhatikan etika dalam bisnis.
Etika bisnis mempengaruhi tingkat kepercayaan atau trust dari masing-masing elemen
dalam lingkaran bisnis. Pemasok (supplier), perusahaan, dan konsumen, adalah elemen yang
saling mempengaruhi. Masing-masing elemen tersebut harus menjaga etika, sehingga
kepercayaan yang menjadi prinsip kerja dapat terjaga dengan baik.
Etika bisnis mengajak para pelaku bisnis mewujudkan citra dan manajemen bisnis yang
baik (etis) agar bisnis itu pantas dimasuki oleh semua orang yang mempercayai adanya dimensi
etis dalam dunia bisnis. Hal ini sekaligus menghalau citra buruk dunia bisnis sebagai kegiatan
yang kotor, licik, dan tipu muslihat. Kegiatan bisnis mempunyai implikasi etis, dan oleh
karenanya membawa serta tanggungjawab etis bagi pelakunya.
Etika Bisnis adalah seni dan disiplin dalam menerapkan prinsip-prinsip etika untuk
mengkaji dan memecahkan masalah-masalah moral yang kompleks dalam bisnis.
REFRENSI
http://adheirma309.blogspot.co.id/2014/12/makalah-etika-bisnis.html
http://handyleonardoetikabisnis.blogspot.co.id/2012/09/pengertian-etika-etika-bisnis-dan.html
http://dianavia.blogspot.co.id/2011/10/prinsip-prinsip-etika-bisnis.html
https://googleweblight.com/i?u=https://bellalaydrus361.wordpress.com/2016/11/16/makalah-
etika-bisnis-2/&hl=id-ID&geid=1033
https://metamartha.wordpress.com/2016/11/11/etika-dalam-fungsi-perusahaan/
“ETIKA DALAM FUNGSI PERUSAHAAN”
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Salah satu dampak globalisasi adalah adanya persaingan bisnis yang semakin ketat, yang
ditandai oleh kegiatan bisnis yang kini tumbuh dan berkembang melewati apa yang pernah
diprediksikan dan di’visi’kan sebelumnya. Pelakunya terbuai dengan visi dan, misinya, terjebak
di antara harapan dan kenyataan. Bangkitnya negara berkembang dengan industri labour
intensive seperti Korea Selatan dan Taiwan pada tahun 1980-an dan setelah runtuhnya rezim
komunis 1990, mulailah dikenal Bisnis Global yang berbasis pada efisiensi yang diperkirakan
akan terus berlangsung sampai tahun 2020 dan bahkan lebih.
Ketika mendengar kata ‘bisnis’ apa yang tersirat dalam pikiran Anda? Apakah yang tersirat
tersebut adalah perusahaan besar? Atau sebuah organisasi besar? Atau perusahaan/organisasi
biasa-biasa saja? Atau sebuah bisnis industry perumahan (Home Industry)?
Bisnis bisa dijalankan dengan cara berbeda antara suatu negara atau organisasi atau perusahaan
baik dari sisi budaya, politik, hukum, ekonomi, perilaku maupun sudut pandang. Bisnis sudah tak
mengenal ruang dan waktu, dari bisnis yang hanya mempertukarkan barang dengan barang
(barter) sampai dengan bisnis dengan menggunakan sarana teknologi dan informasi. Transaksi
bisnis kini dapat diwujudkan tanpa harus adanya pertemuan fisik pembeli dan penjual. Mereka
bisa tinggal dimana saja, dan kapan saja dapat menyelenggarakan aktivitas bisnisnya. Teknologi
dan Informasi (komunikasi) telah mengubah dunia yang begitu luas menjadi semakin kecil, kini
dunia seakan telah menjadi sebuah kampung besar yang dengan mudah dijangkau manusia.
Bisnis merupakan suatu keinginan yang murni dalam membantu orang lain. Kejujuran yang
ekstrim, kemampuan untuk menganalisis batas-batas kompetisi seseorang, kemampuan untuk
mengakui kesalahan dan belajar dari kegagalan. Kompetisi inilah yang harus memanas
belakangan ini. Kata itu mengisyaratkan sebuah konsep bahwa mereka yang berhasil adalah
yang mahir menghancurkan musuh-musuhnya. Banyak yang mengatakan kompetisi lambang
ketamakan. Padahal perdagangan dunia yang lebih bebas di masa mendatang justru
mempromosikan kompetisi yang juga lebih bebas.
Lewat ilmu kompetisi kita dapat merenungkan, membayangkan eksportir kita yang ditantang
untuk terjun karena baru yaitu pasar bebas di masa mendatang. Kemampuan berkompetisi
seharusnya sama sekali tidak ditentukan oleh ukuran besar kecilnya sebuah perusahaan. Inilah
yang sering dikonsepkan berbeda oleh sudut pandang pemerintah atau bahkan si pelaku bisnis itu
sendiri.
Jika kita ingin mencapai target di tahun 2020, sudah saatnya dunia bisnis kita mampu
menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring
dan saling membutuhkan antara golongan menengah ke bawah dan pengusaha golongan atas.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada bcberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain yaitu
pengendalian diri, pengembangan tanggung jawab sosial, mempertahankan jati diri, menciptakan
persaingan yang sehat, menerapkan konsep pembangunan yang berkelanjutan, menghindari sikap
5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi, dan Komisi) mampu mengatakan yang benar
itu benar, dll.
Kebutuhan dan keinginan manusia dengan bantuan ilmu dan teknologi kini semakin mudah
untuk dipenuhi. Peran dunia bisnis semakin terasa bagi kehidupan dan pemenuhan kebutuhan
manusia itu. Karena ada banyak peluang yang menguntungkan, saat ini orang yang terlibat dalam
kegiatan dan profesi bisnispun semakin banyak pula. Kecenderungan manusia untuk
menggantungkan hidup pada sektor bisnis semakin meningkat dari waktu ke waktu. Semua
orang yang hidup di dunia tidak dapat melepaskan diri dari berbagai pengaruh bisnis. Perilaku
dunia bisnis dapat membuat manusia lebih bahagia dan juga sebaliknya dapat menjadikan
manusia sengsara dan jauh dari kesejahteraannya. Semuanya terpulang kepada itikad, perilaku
para pebisnis dan pemangku kepentingannya. Tanpa etika, dunia bisnis menjadi kejam dan
beringas. Bisnis bagaikan suatu pertempuran sengit tanpa kasih sayang dan rasa kemanusiaan.
Yang satu berusaha dengan segala cara untuk mematikan yang lainnya. Pada hal dalam
pertempuran dan peperangan juga ada etika. Di sana ada kode etik pertempuran dan peperangan.
Aktivitas bisnis adalah pekerjaan mulia, karena dapat memberikan sesuatu yang bermakna bagi
kehidupan manusia. Persaingan dalam bisnis adalah wajar dan dibenarkan, tetapi tidak harus
identik dengan pertempuran dan peperangan. Persaingan yang baik dalam bisnis adalah
persaingan damai. Damai dalam sebuah dinamika persaingan dan bersaing dalam suasana
perdamaian. Dalam bisnis beretika persaingan hanyalah sarana untuk memperbaiki citra produk
dan perusahaan di mata pelanggannya. Di samping itu persaingan juga dapat menjadi instrumen
untuk memperbaiki kinerja organisasional. Justru itu makna persaingan dalam ranah bisnis harus
diluruskan, demikian juga pandangan terhadap bisnis itu sendiri.
Bisnis yang baik adalah bisnis bermoral, yakni suatu bisnis yang tidak saja menempatkan dan
mementingkan pribadi pelakunya semata. Bisnis tidak melarang keuntungan yang besar bagi
suatu perusahaan. Hanya saja semakin besar keuntungan yang diperoleh, maka semakin besar
pula tanggung jawab etika dan sosialnya kepada masyarakat. Dalam ajaran etika, selain untuk
membahagiakan dirinya, pelaku bisnis juga mengemban amanah dan kewajiban untuk
membahagiakan orang lain dan masyarakat sekitarnya. Memelihara alam dengan segala sumber
dayanya adalah juga tanggung jawab kita semua, dan pelaku bisnis harus berada di barisan
depannya.
Untuk melaksanakan tanggung jawab moral, diperlukan suatu panduan yang mengandung
prinsip-prinsip, norma-norma dan standar, sehingga didapatkan kebenaran moral dalam sikap
dan perilakunya. Kesemuanya itu telah dikemas oleh para ahli dan filosof dalam bingkai etika.
Aplikasi semua nilai-nilai etika dalam kerangka bisnis disebut dengan etika bisnis. Dengan
panduan etika bisnis, pelaku usaha dan partisipan organisasi bisnis harus berlaku manusiawi
dengan menempatkan manusia di atas segalanya. Sebagai mana dirinya, pebisnis seyogianya
menyadari bahwa setiap manusia itu mempunyai hak yang mendasar dan dilindungi, yakni hak
asasi manusia. Sayangnya hak-hak manusia ini sering diremehkan, diabaikan dan dilecehkan
banyak usahawan (pelaku bisnis) saat ini. Trend pelecehan hak-hak dasar manusia ini terindikasi
pada banyaknya skandal dan kasus eksploitasi manusia dalam penyelenggaraan bisnis di
berbagai belahan dunia, tak terkecuali di Indonesia.
Kita seharusnya tidak perlu pusing dan gelisah dengan isu dan skandal apapun yang mengancam
dunia bisnis pada awal abad ini. Berupaya berlaku etis dan berdoa adalah solusi terbaik untuk
mengatasi berbagai masalah. Selain banyak skandal dalam dunia bisnis, kini juga masih banyak
dan semoga lebih banyak lagi pelaku bisnis bermoral yang aktif dan bertekad untuk dapat
memberi sesuatu yang bermanfaat untuk peningkatan kesejahteraan umat manusia.
Bagaimanapun manusia yang masih memiliki nurani dan meyakini adanya hari pembalasan,
suatu saat pasti kembali dan menyadari bahwa dia wajib berbuat baik untuk sesama manusia,
dimanapun dan apapun status jabatannya.
Pada dasarnya manusia itu adalah baik dan hanya faktor lingkungan dan keterpaksaanlah
kadangkala membuat dirinya berbuat kejahatan. Persoalannya apakah manusia, termasuk pelaku
bisnis menyadari bahwa dirinya itu diciptakan dari yang baik dan dilahirkan dalam keadaan
fitrah (suci), kemudian pada dirinya dibebankan amanah-amanah kebajikan. Terkait dengan
situasi itu, Socrates menghimbau “Kenalilah Dirimu” agar kita tidak berbuat kejahatan dengan
sesama makhluk Allah.
Dengan keyakinan bahwa manusia sesungguhnya mencintai dan membutuhkan kebaikan dan
tidak berharap adanya kerusakan di muka bumi, maka nilai-nilai etika harus disebarluaskan
dengan cara-cara yang arif dan bijaksana. Untuk itu semua diperlukan metoda yang efektif dan
perilaku keteladanan. Keteladanan yang paling pokok dalam bisnis beretika adalah menjauhi
keserakahan, kerakusan, dan merasa. Bertanggungjawab secara moral terhadap semua orang
yang terlibat langsung dan tidak langsung dalam bisnis yang dijalankannya. Tokoh filsafat,
pemuka agama, negarawan dan para nabi dan rasul adalah sumber keteladanan.
Tokoh-tokoh negarawan dan guru dunia seperti Mahatma Gandhi dapat dijadikan rujukan bagi
pelaku bisnis. Beliau dicatat sebagai pembela demokrasi yang tangguh dan kepribadiannya
sangat menghargai semua orang terutama orang-orang kecil dan rakyat jelata. Walaupun
kedudukannya sebagai pemimpin yang berkuasa, beliau rela di koreksi, dan tekun mengoreksi
dirinya sendiri. Berpenampilan sederhana, dan gemar memakai produk dalam negeri. Perilaku
pemimpin yang demikian, diikuti rakyat dan dengan demikian negerinya menjadi rnakmur dan
masyarakatnya sejahtera. Banyak sekali pemimpin agama yang pantas ditiru, karena nilai-nilai
kepemimpinan dan keteladannya antara lain adalah Imam Al Ghazali, Bunda Theresia dan
Budha Gautama. Tokoh-tokoh dan pelaku bisnis yang juga dapat diikuti jejaknya antara lain:
William Soerdjaja, Mochtar Riady, dan Boenyamin Setiawan dan sejumlah pelaku bisnis
bermoral lainnya. Mereka adalah pebisnis handal yang visioner dan telah mengemban amanah
kemanusiaan, sehingga dalam aktivitas bisnisnya tidak mengeksploitasi manusia. Pebisnis besar
yang dapat diteladani di negara kita masih terbilang langka jumlahnya, namun pelaku-pelaku
bisnis kecil yang bermoral relatif menggembirakan. Kata orang di luar negeri pelaku bisnis kelas
kakap yang beretika masih relatif banyak dibandingkan dengan negara kita, baik sebagai pemilik
maupun manajer atau chief executive organizer-nya. Kita mengenal nama Chris Miller CEO
Anglian Water (Inggris), Konosuke Matsushita, Soichiro Honda (Jepang), Anita Rhodick,
Warren Buffet, Azim Premji dan lain-lainnya. Dibandingkan dengan jumlah usaha swasta dan
pelaku bisnis dunia, jumlah perusahaan dan pelaku bisnis yang bermoral masih jauh dari yang
diharapkan. Ini adalah tantangan yang menghendaki perhatian kita semua. Mari kita mulai dari
perusahaan kita untuk mewujudkan etika dan kemudian mengajak yang lainnya.
Tantangan yang paling mendasar dalam upaya menciptakan pelaku usaha beretika adalah
bagaimana mensosialisasi nilai-nilai etika bisnis itu dan menjadikannya sebagai acuan dalam
setiap perilaku pebisnis kita. Nilai-nlai positif yang terkandung dalam etika sepantasnya menjadi
panutan dari pemimpin organisasi bisnis dalam berbagai skala dan dimanapun mereka berada.
Terkesan banyak pelaku usaha yang masih keberatan dengan penyelenggaraan etika dalam usaha
bisnisnya. Padahal dalam banyak hasil penelitian etika, jarang sekali ditemukan pebisnis yang
mempraktikkan nilai etika gagal dalam bisnisnya. Malah sebaliknya praktik etika yang baik
dalam setiap kegiatan bisnis akan mendukung keberhasilan usaha, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang.
Keberadaan nilai dalam etika bisnis adalah penting, krusial dan strategis. Hal ini bermakna
bahwa penyelenggaraan etika bisnis tidak bisa terlepas dari kemampuan menerima dan
mempraktikkan nilai-nilai tersebut dalam setiap kegiatan bisnisnya. Nilai adalah sesuatu yang
benar, yang baik dan yang indah. Keberadaan nilai dalam banyak hal dapat mempersatukan
orang-orang yang terlibat dalam suatu bisnis dan menyelesaikan konflik nilai yang terjadi,
sehingga dengan demikian penganutan nilai oleh pelaku bisnis itu akan memudahkan pencapaian
tujuan organisasinya.
Organisasi bisnis adalah organisasi yang mengemban multi tanggung jawab. Selain
tanggungjawab dalam menciptakan keuntungan dan nilai bagi pemegang saham, tanggung jawab
terhadap karyawan, pelanggan dan mitra kerja, organisasi bisnis juga mengemban tanggung
jawab sosial yang Iebih besar. Organisasi bisnis merupakan bahagian dari organisasi yang Iebih
besar dan secara kolektif berarti masyarakat. Karenanya usaha bisnis selain memiliki tanggung
jawab dalam kinerja ekonomi, juga dituntut untuk bertanggung jawab sosial. Ahli ekonomi
Milton Friedman hanya mengagungkan kinerja ekonomi sebagai tanggung jawab perusahaan.
Sebuah perusahaan yang tidak menghasilkan laba sekurang-kurangnya sama dengan biaya
modalnya adalah perusahaan yang tidak berkinerja ekonomi.
Perusahaan yang tidak mampu meraih kinerja ekonomi dengan baik tidak dapat dikatakan secara
sosial memenuhi tanggung jawabnya. Perusahaan ini dianggap membuang-buang sumber daya
masyarakat. Tanpa kinerja ekonomi, sebuah perusahaan tak akan dapat menunaikan
tanggungjawab apapun. Dia tak akan dapat menjadi majikan yang baik, tetangga yang baik dan
warga negara yang baik. Pakar manajemen Peter F. Drucker juga menanggapi pandangan
Friedman tersebut dan menyatakan bahwa kinerja ekonomi bukanlah satu-satunya tanggung
jawab sebuah perusahaan. Seperti halnya kinerja pendidikan juga bukan satu-satunya
tanggungjawab sebuah sekolah atau universitas, demikian juga kinerja perawatan kesehatan
bukanlah satu-satunya tanggung jawab sebuah rumah sakit. Sebuah organisasi mempunyai
tanggung jawab penuh atas dampaknya terhadap masyarakat lingkungan dan masyarakat luas.
Tanggung jawab organisasi yang sesungguhnya adalah mendapatkan suatu pendekatan ke
masalah-masalah sosiat yang sesuai dengan kompetensinya dan dapat menjadikan masalah-
masalah sosial sebagai suatu kesempatan bagi organisasi.
Tanggung jawab sosial adalah bahagian dari sebuah etika bisnis suatu organisasi berorientasi
keuntungan (profit oriented). Penyelenggaraan tanggung jawab sosial dalam konteks etika harus
mengacu kepada nilai-nilai moral. Nilai-nilai etika bisnis itu dapat diperoleh dari berbagai
sumber, antara lain dari ajaran filsafat, pengalaman budaya, hukum dan aturan yang berlaku dan
ajaran-ajaran agama. Tanpa mengadopsi nilai etika bisnis, kemungkinan besar dunia bisnis akan
dilanda musibah dahsyat. Dalam makna bahwa kehadirannya dapat saling menghancurkan
semuanya dan jauh dari hakikat tujuan hidup manusia di dunia secara universal. Dalam dunia
bisnis Indonesia kini banyak didapati pelanggaran etika, penyimpangan nilai-nilai etika sudah
semakin kentara dan tanpa penanganan yang serius akan berdampak negatif terhadap situasi
persaingan, iklim bisnis, dan jalannya aktivitas perekonomian bangsa. Beberapa perilaku
menyimpang yang melanda dunia bisnis Indonesia saat ini antara lain: sikap menghalalkan
semua cara untuk mendapatkan pendapatan dan keuntungan; berbisnis dengan pola kekerasan
sudah menjadi suatu tradisi; kolusi, kedekatan dan nepotisme (KKN) menjadi salah satu
pendekatan dalam praktik bisnis; penipuan dianggap trik-trik usaha dan biasa-biasa saja; semakin
banyaknya pebisnis bertopeng etika; tren saling membongkar rahasia dan hal-hal privasi menjadi
lumrah; serta maraknya pelanggaran hak cipta dan intelektual.
Karenanya kepada semua pihak yang berkompetensi diharapkan dapat mengambil bagian sesuai
dengan kapasitas dan kapabilitasnya masing-masing dalam memasyarakatkan etika bisnis.
Penulis berharap dalam waktu yang tidak terlalu lama etika bisnis menjadi suatu gerakan dan
rujukan yang menyentuh dan dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat.
Secara etimologi kata etika berasal dari bahasa Yunani yang dalam bentuk tunggal yaitu ethos
dan dalam bentuk jamaknya yaitu ta etha. “Ethos” yang berarti sikap, cara berpikir, watak
kesusilaan atau adat. Kata ini identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata latin “mos”
yang dalam bentuk jamaknya Mores yang berarti juga adat atau cara hidup. Kata mores ini
mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia
kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata
tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Etika dan Moral
memiliki arti yang sama, namun dalam pemakaian sehari-harinya ada sedikit perbedaan. Moral
biasanya dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai/dikaji (dengan kata lain perbuatan itu
dilihat dari dalam diri orang itu sendiri), artinya moral disini merupakan subjek, sedangkan etika
dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada dalam kelompok atau masyarakat tertentu
(merupakan aktivitas atau hasil pengkajian).
Menurut Larkin (2000) “Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social
justice” Hal ini berarti bahwa etika sangat memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan
kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial. Etika yang dimiliki individu ini secara
lebih luas mencerminkan karakter organisasi/perusahaan, yang merupakan kumpulan individu-
individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku baik dan buruk yang kemudian
diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam organisasi (Fatt, 1995) dan (Louwers,
1997). Perusahaan pada dasarnya merupakan sekumpulan individu, sehingga etika yang dianut
oleh individu tersebut pada akhirnya akan tercermin dalam standar dan norma perilaku yang
kemudian diimplementasikan oleh masing-masing karyawan dalam pekerjaan sehari-hari.
Etika menurut Gray (1994) merupakan nilai-nilai tingkah laku atau aturan-aturan tingkah laku
yang diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Penulis lainnya Magnis Suseno (1989)
dan Sony Keraf (1991) menyatakan bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan
moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tertang bagaimana seseorang harus berperilaku
sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi manusia
aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus bertindak dalam
hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-perilaku yang tidak
baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku
manusia dalam hidupnya.
Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral.
Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan atau masyarakat.
Etika merupakan cabang dari filsafat etika mencari ukuran baik buruknya bagi tingkah laku
manusia. Etika hendak mencari, tindakan manusia yang manakah yang baik. Etika berhubungan
dengan seluruh ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia dan masyarakat seperti:
antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak
pada aspek keharusan (ought). Perbedaannya dengan teologi moral, karena tidak bersandarkan
pada kaidah-kaidah keagamaan, tetapi hanya terbatas pada pengetahuan yang dihasilkan dari
tenaga manusianya sendiri. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang
menjadi etika. Etika (Ethics) yang dalam bahasa Yunani adalah ethos berarti adat kebiasaan, adat
istiadat dan akhlak yang baik dan banyak ahli filsafat menyebutnya dengan istilah moralitas.
Dengan kata lain “ethos” yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Etika berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok untuk menilai apakah tindakan yang
telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik (Adams, 1995 dan Asgary, 2002).
Memasukkan kata adat atau kebiasaan yang baik dalam memberikan batasan Etika berarti
mempertimbangkan dan merujuk kepada nilai ajaran filsafat. Pada tataran berikutnya
pemahaman Etika dikaitkan dengan faktor waktu dan ruang, sehingga dengan demikian akan
memperkaya pemahamannya. Dalam makna filsafat, Etika termasuk alam kategori filsafat moral.
Istilah etika kadang digandengkan dengan moral yang di namakan dengan etika moral. Etika
moral terwujud dalam bentuk kehendak manusia berdasarkan kesadaran dan kesadaran itu adalah
suara hati.
Jadi secara etimologis, etika adalah ajaran atau ilmu tentang adat kebiasaan yang berkenaan
dengan kebiasaan baik atau buruk, yang diterima umurn mengenai sikap, perbuatan, kewajiban,
dan sebagainya. Pada hakikatnya moral menunjuk pada ukuran-ukuran yang telah diterima oleh
sesuatu komunitas, sementara etika umumnya lebih dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang
dikembangkan di pelbagai wacana etika, atau dalam aturan-aturan yang diberlakukan bagi suatu
profesi. Belakangan ini istilah etika mulai digunakan secara bergantian dengan filsafat moral
karena dalam banyak hal filsafat moral mengkaji pula prinsip-prinsip etika. Etika, kadang-
kadang didefinisikan sebagai ilmu perilaku, walaupun masih dipertanyakan apakah etika dapat
dipandang sebagai ilmu. Johnson (1989) menjelaskan etika sebagai berikut:
“Ethics is a science in the sense that its study represents an intellectual enterprise, a rational
inquiry into its subject matter in the hope of gaining knowledge. As such ethics can be contrasted
with art or religion or technology, whose purposes are not the same. Although ethics differ from
the various empirical sciences both in its subject matter and its special methodology, it shares
with them a general methodology, rational inquiry and an overall goal the attainment of truth.
These relationships between ethics and science have led philosophers to speaks of ethics as a
normative science, because it concerns itself with norm and standards, in contrast to the
descriptive sciences, which concerns themselves which describing empirical facts “.
Dapat disimpulkan bahwa etika adalah merupakan suatu cabang ilmu filsafat, tujuannya adalah
mempelajari perilaku, baik moral maupun immoral, dengan tujuan membuat pertimbangan yang
cukup beralasan dan akhirnya sampai pada rekomendasi yang memadai yang tentunya dapat
diterima oleh suatu golongan tertentu atau individu. Menurut Wiley (1995 dalam Mauro et al.,
1999) “Ethics is concerned with moral obligation, responsibility, and social justice” Hal ini
berarti bahwa etika berpengaruh terhadap kewajiban moral, tanggung jawab, dan keadilan sosial.
Etika secara lebih kontemporer mencerminkan karakter perusahaan, yang merupakan kumpulan
individu-individu. Etika menjelaskan standar dan norma perilaku tanggungjawab masyarakat,
kemudian di internalkan kepada masing-masing karyawan dalam organisasi (Daft, 1992).
Menurut Magnis Suseno (1989) dan Sony Keraf (1991) bahwa untuk memahami etika perlu
dibedakan dengan moralitas. Moralitas adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang
harus berperilaku sebagai manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas
memberi manusia aturan atau petunjuk konkret tentang bagaimana harus hidup, bagaimana harus
bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana menghindari perilaku-
perilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Antonius Alijoyo (2004) menerangkan perusahaan perlu menerapkan nilai-nilai etika berusaha,
karena dengan adanya praktik etika berusaha dan kejujuran dalam berusaha dapat menciptakan
aset yang langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan nilai perusahaan. Etika bisnis tidak
akan dilanggar jika terdapat aturan dan sangsi. Kalau perilaku yang salah tetap dibiarkan, lama
kelamaan akan menjadi kebiasaan. Sehingga perlu ada sanksi bagi yang melanggar untuk
memberi pelajaran kepada yang bersang-kutan.
Moral dan etika mempunyai fungsi yang sama, yaitu memberi orientasi bagaimana dan ke mana
harus melangkah dalam hidup ini, namun terdapat sedikit perbedaan bahwa moralitas langsung
menunjukkan inilah caranya untuk melangkah sedangkan etika justru mempersoalkan apakah
harus melangkah dengan cara ini? Dan mengapa harus dengan cara itu. Dengan kata lain
moralitas adalah suatu pranata, sedangkan etika adalah sikap kritis setiap pribadi atau kelompok
masyarakat dalam merealisasikan moralitas. Pada akhirnya etika memang menghimbau orang
untuk bertindak sesuai dengan moralitas. Etika berusaha membantu manusia untuk bertindak
secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pelaku usaha dapat memperoleh ilmu etika melalui teori etika, selain pengalaman dan informasi
moral yang diterima dari berbagai sumber. Dalam teori etika terungkap etika deontologi, etika
teleologi, etika hak dan etika Keutamaan.
1. Etika Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani deon yang berkewajiban” atau sesuai dengan
prosedur dan logos yang berarti ilmu atau teori. Menurut teori ini beberapa prinsip moral itu
bersifat mengikat betapapun akibatnya. Etika ini menekankankan kewajiban manusia untuk
bertindak secara baik. Suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat
atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada
dirinya sendiri. Atau dengan kata lain tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau
akibat dari tindakan itu. Teori ini menekankan kewajiban sebagai tolak ukur bagi penilaian baik
atau buruknya perbuatan manusia, dengan mengabaikan dorongan lain seperti rasa cinta atau
belas kasihan. Terdapat tiga kemungkinan seseorang memenuhi kewajibannya yaitu: karena
nama baik, karena dorongan tulus dari hati nurani, serta memenuhi kewajibannya. Deontologist
menetapkan aturan, prinsip dan hak berdasarkan pada agama, tradisi, atau adat istiadat yang
berlaku. Yang menjadi tantangan dalam penerapan deontological di sini adalah menentukan yang
mana tugas, kewajiban, hak, prinsip yang didahulukan. Sehingga banyak filosof yang
menyarankan bahwa tidak semua prinsip deontological harus diterapkan secara absolut. Teori ini
memang berpijak pada norma-norma moral konkret yang harus ditaati, namun belum tentu
mengikat untuk kondisi yang bersifat khusus. Contohnya, seseorang boleh saja merampok kalau
hasil rampokannya dipakai untuk memberi makan orang yang terkena musibah.
2. Etika Teleologi
Istilah teleologi berasal dari kata Yunani telos yang berarti tujuan, sasaran atau hasii dan logos
yang berarti ilmu atau teori. Etika ini mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan
yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan konsekuensi yang ditimbulkan oleh
tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau
konsekuensi yang ditimbulkannya baik dan berguna. Bila kita akan memutuskan apa yang benar,
kita tidak hanya melihat konsekuensi keputusan tersebut dari sudut pandang kepentingan kita
sendiri. Tantangan yang sering dihadapi dalam penggunaan teori ini adalah bila kita bisa
kesulitan dalam mendapatkan seluruh informasi yang dibutuhkan dalam mengevaluasi semua
kemungkinan konsekuensi dari keputusan yang diambil.
3. Etika Hak
Etika Hak memberi, bekal kepada pebisnis untuk mengevaluasi apakah tindakan, perbuatan dan
kebijakan bisnisnya telah tergolong baik atau buruk dengan menggunakan kaidah hak seseorang.
Hak seseorang sebagai manusia tidak dapat dikorbankan oleh orang lain apa statusnya.
Hak manusia adalah hak yang dianggap melekat pada setiap manusia, sebab berkaitan dengan
realitas hidup manusia sendiri. Etika hak kadangkala dinamakan “hak manusia” sebab manusia
berdasarkan etika hams dinilai menurut martabatnya. Etika hak mempunyai sifat dasar dan asasi
(human rights), sehingga etika hak tersebut merupakan hak yang; (1) Tidak dapat dicabut atau
direbut karena sudah ada sejak manusia itu ada; (2) Tidak tergantung dari persetujuan orang; (3)
Merupakan bagian dari eksistensi manusia di dunia.
4. Etika Keutamaan
Etika keutamaan tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak mendasarkan penilaian moral
pada kewajiban terhadap hukum moral universal seperti kedua teori sebelumnya. Etika ini lebih
mengutamakan pembangunan karakter moral pada diri setiap orang. Nilai moral bukan muncul
dalam bentuk adanya aturan berupa larangan atau perintah, namun dalam bentuk teladan moral
yang nyata dipraktikkan oleh tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat. Di dalam etika karakter
lebih banyak dibentuk oleh komunitasnya. Pendekatan ini terutama berguna dalam menentukan
etika individu yang bekerja dalam sebuah komunitas profesional yang telah mengembangkan
norma dan standar yang cukup baik. Keuntungan teori ini bahwa para pengambil keputusan
dapat dengan mudah mencocokkan dengan standar etika komunitas tertentu untuk menentukan
sesuatu itu benar atau salah tanpa ia harus menentukan kriteria terlebih dahulu (dengan asumsi
telah ada kode perilaku).
Indikator Etika (Ethics) merupakan kemampuan individu untuk memutuskan hal-hal yang
berhubungan dengan issue etika dan moral, baik dan buruk, salah dan benar (Forsyth, 1980;
Kohlberg, 1981; Velasques, 2005):
Etika dan etiket mengatur perilaku manusia secara normatif, artinya memberi norma bagi
perilaku manusia dan dengan demikian menyatakan apa yang harus dilakukan atau tidak boleh
dilakukan.
Setelah kita ketahui persamaan etika dan etiket, maka dapat kita bedakan etika dan etiket sebagai
berikut:
Etiket menyangkut cara suatu melakukan perbuatan harus dilakukan manusia. Diantara beberapa
cara yang mungkin, etiket menunjukkancara yang tepat, artinya cara yang diharapkan serta
ditentukan dalam suatu kalangan tertentu.
Etika tidak terbatas pada cara dilakukannya suatu perbuatan. Etika menyangkut pilihan yaitu
apakah perbuatan boleh dilakukan atau tidak.
Etiket hanya berlaku dalam pergaulan pada suatu kelompok tertentu. Bila tidak ada saksi mata ,
maka etiket tidak berlaku.
Etika selalu berhku dimana saja dan kapan saja, meskipun tidak ada saksi mata, tidak tergantung
pada ada dan tidaknya seseorang.
Etiket bersifat relatif artinya yang dianggap tidak sopan dalam suatu kebudayaan, bisa saja
dianggap sopan dalam kebudayaan lain.
Etika bersifat absolut. Prinsip-prinsipnya tidak dapat ditawar lagi, dan harus dilakukan.
Etika menyangkut manusia dari segi rohaniahnya. Orang yang bersikap etis adalah rang yang
sungguh-sungguh baik, dimana nilai moralnya sudah terinternalisasi dalam hati nuraninya.
Hukum pada dasarnya tidak hanya mencakup ketentuan yang dirumuskan secara tertulis, tapi
juga nilai-nilai konvensi yang telah menjadi norma di masyarakat.Etika mencakup lebih banyak
ketentuan-ketentuan yang tidak tertulis.
Pada umumnya kebanyakan orang percaya bahwa dengan perilaku yang patuh terhadap hukum
adalah juga merupakan perilaku yang etis.Banyak sekali standar perilaku yang sudah disepakati
oleh masyarakat yang tidak tercakup dalam hukum, sehingga terdapat bagian etika yang tercakup
dalam hukum, namun sebagian juga belum tercakup di dalam hukum, seperti contoh kasus di
dalam masyarakat yang dianggap melanggar etika tetapi dalam hukum itu tidak melanggar,
sepanjang tidak ada aturan yang tertulis bahwa tindakan tersebut adalah melanggar hukum.
Norma hukum cepat ketinggalan zaman, hingga bisa menyebabkan celah hukum.
Sebenarnya antara keduanya terdapat hubungan yang cukup erat. Moralitas adalah keyakinan dan
sikap batin, bukan hanya sekedar penyesuaian atau asal taat terhadap aturan. Karena antara satu
dengan yang lain saling mempe-ngaruhi dan saling membutuhkan. Kualitas penegakan hukum
sebagian besar ditentukan oleh mutu moralitasnya. Karena itu hukum harus dinilai/diukur dengan
norma moral. Undang-undang moral tidak dapat diganti apabila dalam suatu masyarakat
kesadaran moralnya mencapai tahap cukup matang. Sebaliknya moral pun membutuhkan hukum,
moral akan mengambang saja apabila tidak dikukuhkan, diungkapkan dan dilembagakan dalam
masyarakat. Dengan demikian hukum dapat meningkatkan dampak sosial moralitas. Walaupun
begitu tetap saja antara Moral dan Hukum harus dibedakan. Perbedaan tersebut antara lain:
Hukum bersifat obyektif karena hukum dituliskan dan disusun dalam kitab undang-undang.
Maka hukum lebih memiliki kepastian yang lebih besar.Moral bersifat subyektif dan akibatnya
seringkali diganggu oleh pertanyaan atau diskusi yang mengigingkan kejelasan tentang etis dan
tidaknya.
Hukum hanya membatasi ruang lingkupnya pada tingkah laku lahiriah faktual.
Pelanggaran terhadap hukum mengakibatkan si pelaku dikenakan sanksi yang jelas dan tegas.
Pelanggaran moral biasanya mengakibatkan hati nuraninya akan merasa tidak tenang.
Sanksi hukum pada dasarnya didasarkan pada kehendak masyarakat.
Etika mendukung keberadaan Agama, dimana etika sanggup membantu manusia dalam
menggunakan akal pikiran untuk memecahkan masalah. Pada dasarnya agama memberikan
ajaran moral untuk menjadi pegangan bagi perilaku para penganutnya. Menurut Kanter (2001)
tidak mungkin orang dapat sungguh-sungguh hidup bermoral tanpa agama, karena (1) moralitas
pada hakikatnya bersangkut paut dengan bagaimana manusia menjadi baik, jalan terbaiknya
adalah kita mengikuti perintah dan kehendak Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan keyakinan
kita (2) agama merupakan salah satu pranata kehidupan manusia yang paling lama bertahan sejak
dulu kala, sehingga moralitas dalam masyarakat erat terjalin dengan kehidupan ber-agama (3)
agama menjadi penjamin yang kuat bagi hidup bermoral. Perbedaan antara etika dan ajaran
moral agama yakni etika mendasarkan diri pada argumentasi rasional. Sedangkan Agama
menuntut seseorang untuk mendasarkan diri pada wahyu Tuhan dan ajaran agama.
Etika Iebih condong ke arah ilmu tentang baik atau buruk. Selain itu etika lebih sering dikenal
sebagai kode etik. Moral berasal dari kata bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata
mores ini mempunyai sinonim; mos, moris, manner mores atau manners, morals (BP-7, 1993:
Poespoprodjo, 1986). Dalam bahasa Indonesia kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang
mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing
tingkah laku batin dalam hidup. Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan atau nilai
yang berkenaan dengan baik buruk, atau dengan kata lain moralitas merupakan pedoman/standar
yang dimiliki oleh individu atau kelompok mengenai benar atau salah dan baik atau buruk.
Velasques (2005) menyebutkan lima ciri yang berguna untuk menentukan hakikat standar moral,
yaitu:
Standar moral berkaitan dengan persoalan yang kita anggap akan merugikan secara serius atau
benar-benar akan menguntungkan manusia.Standar moral moral ditetapkan atau diubah oleh
keputusan dewan otoritatif tertentu, standar moral tidak dibuat oleh kekuasaan, validitas standar
moral terletak pada kecukupan nalar yang digunakan untuk mendukung atau membenarkannya,
jadi sejauh nalarnya mencukupi maka standarnya tetap sah.
Standar moral harus lebih diutamakan daripada nilai yang lain, khusus-nya kepentingan
pribadi.Standar moral berdasarkan pada pertimbangan yang tidak memihak.Standar moral
diasosiasikan dengan emosi tertentu dan kosa kata tertentu, seperti jika kita bertindak
bertentangan dengan standar moral, normalnya kita akan merasa bersalah, malu atau menyesal.
Menurut Martin [1993], etika didefinisikan sebagai “the discipline which can act as the
performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan
memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam
kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan
manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara
sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada; dan pada saat yang
dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang
secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan
demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala
sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu
sendiri. Jadi etika lebih berkaitan dengan kepatuhan, sementara moral lebih berkaitan dengan
tindak kejahatan.
Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan sumberdaya untuk menghasilkan dan
mcndistribusikan barang dan jasa guna memenuhi kebu-tuhan dan keinginan masyarakat. Bisnis
adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise) dengan yang diberikan (deliver). Bisnis
adalah kegiatan diantara manusia untuk mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat
persaingan dengan aturan yang berbeda dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat.
Pengertian bisnis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
Kegiatan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk mencapai sesuatu
maksud.
Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi atau perusahaan, yaitu: usaha yang
dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang atau jasa dengan
tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena organisasi (perusahaan) yang menyediakan
produk barang atau jasa tentu dengan tujuan memperoleh laba, tentu saja prospek mendapatkan
laba, selalu memperhitungkan perbedaan penerimaan bisnis dengan biaya yang dikeluarkan.
Maka laba di sini merupakan pemicu (driver) bagi pebisnis untuk memulai dan mengembangkan
bisnis. Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko yang diambil ketika
mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill, dan waktu) mereka.
Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang juga bebas
untuk menjalankannya. Namun konsumen juga memiliki kebebasan untuk memilih. Dalam
memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan
konsumen. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu dijalankan.
Istilah etika bisnis (Business Ethics), jauh lebih muda dari etika itu sendiri. Etika bisnis sudah
mulai muncul sejak tahun 1960an. Pada saat itu ditandai dengan perubahan-perubahan sudut
pandang dalam perilaku komunitas di Amerika Serikat dan juga menghadapi dunia bisnis.
Setelah perang dunia kedua berakhir, perang dingin dengan Uni Sovyet masih tetap berlanjut,
Amerika saat itu melibatkan diri dalam perang Vietnam, yang mendorong para oposisi untuk
mengeluarkan isu-isu kebijakan publik dan pergerakan-pergerakan hak-hak rakyat sipil mencuat
di tengah-tengah masyarakat.
Ekonomi Amerika kala itu bertumbuh cepat dan niendorninasi pertumbuhan ekonomi dunia,
Amerika merajai bisnis dunia, perusahaan-perusahaannya beroperasi di banyak negara. Pelaku-
pelaku bisnis yang memiliki harta yang cukup banyak memasuki panggung politik dan berhasil,
dan sebagian pengusaha lainnya menjadi penguasa pemerintahan kala itu. Bisnis-bisnis besar
telah menggeser posisi bisnis-bisnis kecil dan menengah. Di sektor industri tercatat
perkembangan yang cukup tajam dengan meng- hasilkan banyak inovasi baru yang spektakuler.
Tidak semua inovasi dan teknologi yang ditemukan itu berdampak positif bagi kehidupan
manusia dan malah sebagian menjadi penyebab kerusakan lingkungan yang parah. Sustainability
nyaris terabaikan dalam pemikiran pebisnis saat itu, hingga mereka menuai protes-protes dari
berbagai lapisan masyarakat, terutama pencinta lingkungan baik dari dalam negeri maupun luar
negeri. Kritikan-kritikan dari politisi pun bermunculan, demikian juga gerakan-gerakan swadaya
masyarakat yang mengusung kepentingan publik. Desakan-desakan tersebut akhirnya
mendorong perusahaan-perusahaan untuk merumuskan berbagai program tanggung jawab sosial
perusahaan (corporate social responsibility). Tidak jelas apakah program tersebut lahir dari
nurani atau karena suatu keterpaksaan. Mulai saat itu etika bisnis mulai diteliti dan dibahas oleh
berbagai kalangan dan lapisan masyarakat dengan etika dalih penyelamatan komunitas dalam
jangka panjang dalam suatu tatanan nilai moralitas.
Etika bisnis yang lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1970-an dan menjadi isu utama yang
mengglobal sejak tahun 1990-an, selanjutnya menjadi isu yang ramai di bicarakan oleh berbagai
kalangan masyarakat. Pada awalnya hanya kalangan ahli agama dan filsafat saja yang fokus
dengan etika ini, Itu pun masih pada hal-hal yang bersifat makro dan universal. Dewasa ini isu
dan topik etika bisnis menjadi hangat dibicarakan mulai dari masyarakat awam, pemerintah,
praktisi (manajer, konsultan dan investor), para akademisi dari berbagai disiplin ilmu, lembaga
swadaya, sampai kepada para politisi. Walaupun dibahas oleh banyak kalangan dan diamini oleh
para pelaku bisnis, namun etika juga terlihat masih sangat langka diterapkan secara sepenuh hati.
Bagi pemerintah dan negara Amerika sebagai pelopor etika bisnis, mengakui bahwa etika bisnis
adalah sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang meliputi dunia bisnis mereka.
Ironisnya justru Amerika yang paling gigih menolak kesepakatan Bali pada pertemuan negara-
negara dunia tahun 2007. Ketika sebagian besar negara-negara peserta mempermasalahkan etika
industri negara-negara maju yang menjadi sumber penyebab global warning, Amerika
menolaknya. (Eldine, Achyar: 2008).
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika bisnis tidak lain merupakan penerapan prinsip-
prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis. Karenanya semua
teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang etika bisnis. Aspek yang
dominan dari semua kata etika bisnis bermuara pada perilaku bermoral dalam kegiatan
bisnis.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan,
aktivitas atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah
tentu mengacu dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas
bisnis. Dalam etika bisnis akan diuji peran-peran dan prinsip etika dalam konteks
komersial/bisnis (Rudito dan Famiola, 2007: 4). Moral selalu berkaitan dengan tindakan manusia
yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang diterima umum dalam suatu
lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk manusia adalah manusia bukan
sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma moral, bukan sopan santun atau
norma hukum (Sumodiningrat dan Agustian, 2008: 58)
Moral itas adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata dalam hidup
manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan usaha
bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada
giliran-nya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka
peran etika bisnis adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang
berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam
hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai
(akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi
partisipan bisnisnya.
Penelitian yang dilakukan Mauro et al. (1999) tentang etika bisnis dan pengambilan keputusan
perusahaan menggunakan definisi etika dan etika bisnis yang dikembangkan oleh Walton.
Menurut Walton (1977 dalam Mauro,1999):
Ethics. A critical analysis of human acts to determine their tightness or wrongness in terms of
two major: truth and justice Business ethics. A range of criteria whereby human actions are judge
to include such things as societal expectations: fair competition; the aesthetics or advertising and
the used public relations; the meaning of social responsibilities; reconciling corporate
behavior at home with behavior abroad; the extent of consumer sovereignty; the relevance of
corporate size; the handling communications, and the like
Maksudnya, etika merupakan analisis kritis tentang tindakan manusia untuk menentukan
kebenarannya atau kesalahannya dalam kerangka 2 kriteria utama: kebenaran dan keadilan.
Sementara etika bisnis merupakan sekumpulan kriteria di mana tindakan manusia di nilai
berdasarkan harapan masyarakat. Hasil penelitian Mouro (1999) menemukan bahwa “that
personal and business ethics are not separate entities, that they coexist in the behavior of
managers within the corporation, is supported in the current literature”. Maksudnya adalah etika
personal dan etika bisnis merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan keberadaannya saling
melengkapi dalam mempengaruhi perilaku manajer. Banyak literatur terbaru yang mendukung
perayataan dan hasil penelitian Mauro ini. Bagi mereka yang tidak mempunyai etika dalam
berbisnis adalah mereka yang hanya tergiur dengan keuntungan jangka pendek. Mereka yang
menjadikan keuntungan sebagai satu-satunya tujuan bisa menyebabkan perusahaan
menghalalkan segala macam cara untuk mengejar keuntungannya. Akibatnya merekapun sering
mengabaikan nilai-nilai etika bisnis. Bisnispun dijalankan secara tidak jujur, tidak adil,
melanggar kewajaran, penuh mark-up.
Etika bisnis merupakan salah satu bagian dari prinsip etika yang diterapkan dalam dunia bisnis
(Lozano, 1996). Istilah etika bisnis mengan-dung pengertian bahwa etika bisnis merupakan
sebuah rentang aplikasi etika yang khusus mempelajari tindakan yang diambil oleh bisnis dan
pelaku bisnis. Epstein (1989) menyatakan etika bisnis sebagai sebuah perspektif analisis etika di
dalam bisnis yang menghasilkan sebuah proses dan sebuah kerangka kerja untuk membatasi dan
mengevaluasi tindakan-tindakan individu, organisasi, dan terkadang seluruh masyarakat sosial.
Menurut David (1998), etika bisnis adalah aturan main prinsip dalam organisasi yang menjadi
pedoman membuat keputusan dan tingkah laku. Etika bisnis adalah etika pelaku bisnis. Pelaku
bisnis tersebut bisa saja manajer, karyawan, konsumen, dan masyarakat.
Etika bisnis merupakan produk pendidikan etika masa kecil, namun tetap dipengaruhi oleh
lingkungan sekitarnya. Sebagian besar pakar psikologi berkeyakinan bahwa penanaman awal
nilai-nilai kedisiplinan, moral, etika yang dilakukan pada masa balita akan sangat berpengaruh
terhadap pembentukan persepsi hati nurani seseorang tatkala ia mulai beranjak dewasa (Faisal
Afiff, 2003). Lingkungan bisnis dapat merontokkan etika individu dan sebaliknya etika individu
dapat mempengaruhi lingkungan bisnis tergantung mana yang kuat. Terjadinya krisis multi
dimensional beberapa tahun terakhir menjadikan etika bisnis sebagai sorotan dan perhatian dari
masyarakat dan para pengamat. Tuntutan masyarakat akan etika dan tolok ukur etika meningkat,
hal ini disebabkan pula oleh pengungkapan dan publikasi, kepedulian publik, regulasi
pemerintah, kesadaran CEO akan etika dan profesionalisme bisnis meningkat (Hoesada, 1997).
Etika bisnis adalah bisnis setiap orang di setiap hari, sehingga etika bisnis termasuk semua
manajer dan hubungan bisnis mereka serta tindakan-tindakan mereka. Etika bisnis adalah
tuntutan harkat etis manusia dan tidak bisa ditunda sementara untuk membenarkan tindakan dan
sikap tidak adil, tidak jujur dan tidak bermoral.
Sebagai cabang dari filsafat etika, maka etika dalam aktivitas bisnis tidak lain merupakan
penerapan prinsip-prinsip etika dengan pendekatan filsafat dalam kegiatan dan program bisnis.
Karenanya semua teori tentang etika dapat dimanfaatkan untuk membahas tentang etika dalam
aktivitas bisnis. Aspek yang dominan dari semua kata etika dalam aktivitas bisnis bermuara pada
perilaku bermoral.
Etika dalam arti sebenarnya dianggap sebagai acuan yang menyatakan apakah tindakan, aktivitas
atau perilaku individu bisa dianggap baik atau tidak. Karenanya etika bisnis sudah tentu mengacu
dan akan berbicara mengenai masalah baik atau tidak baiknya suatu aktivitas bisnis. Dalam etika
bisnis akan diuji peranperan dan prinsip etika dalam konteks komersial/bisnis. Moral selalu
berkaitan dengan tindakan manusia yang baik dan yang buruk sesuai dengan ukuran-ukuran yang
diterima umum dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Dalam hal ini ukuran baik dan buruk
manusia adalah manusia bukan sebagai pelaku peran tertentu, dengan menggunakan norma
moral, bukan sopan santun atau norma hukum.
Moral (Moralitas) adalah khas manusia dan karenanya moralitas merupakan dimensi nyata dalam
hidup manusia, baik perorangan maupun sosial (masyarakat).Tanpa moralitas dalam menjalan
usaha bisnis maka kehidupan bisnis menjadi chaos, tiada keteraturan dan ketenteraman dan pada
gilirannya dunia bisnis menjadi sadis dan saling mematikan.
Mengacu kepada batasan etika dari berbagai pandangan ahli yang telah dikemukakan, maka
peran etika adalah membahas dan menunjuk alternatif pemecahan masalah bisnis yang
berlandaskan nilai-nilai moralitas dalam suatu kegiatan bisnis. Landasan yang digunakan dalam
hal ini adalah prinsip-prinsip, nilai dan norma-moral yang terwujud dalam sikap dan perangai
(akhlak) para pelaku bisnis dalam penyelenggaraan usaha bisnisnya dengan menjunjung tinggi
partisipan bisnisnya.
Pada dasarnya etika bisnis menyoroti moral perilaku manusia yang mempunyai profesi di bidang
bisnis dan dimiliki secara global oleh perusahaan secara umum, sedangkan perwujudan dari etika
bisnis yang ada pada masing-masing perusahaan akan terbentuk dan terwujud sesuai dengan
kebudayaan perusahaan yang bersangkutan. Etika bisnis ini akan muncul ketika masing-masing
perusahaan berhubungan dan berinteraksi satu sama lain sebagai sebuah satuan stakeholder.
Tujuan etika bisnis disini adalah menggugah kesadaran moral para pelaku bisnis untuk
menjalankan bisnis dengan “baik dan bersih”.
Normative ethics:
Concerned with supplying and justifying a coherent moral system of thinking and judging.
Normative ethics seeks to uncover, develop, and justify basic moral principles that are intended
to guide behavior, actions, and decisions.
Descriptive ethics:
Is concerned with describing, characterizing, and studying the morality of a people, a culture, or
a society. It also compares and contrasts different moral codes, systems, practices, beliefs, and
values.
Banyak yang mempertanyakan apakah ada bukti bahwa etika dalam berbisnis secara sistematis
berkorelasi dengan keuntungan? Contoh yang paling sederhana coba kita sajikan disini. Jika
bisnis berusaha mengambil keuntungan dari karyawan, pelanggan, pemasok, dan kreditur
melalui perilaku yang sekarang tidak etis, maka kemungkinan mereka akan menemukan cara
untuk membalas dendam kepada kita ketika bertemu lagi. Balas dendam dapat berbentuk
sederhana seperti menolak untuk membeli, menolak untuk bekerja, menolak berbisnis dengan
pihak yang bersangkutan.
Secara empiris sebuah studi selama 2 tahun yang dilakukan The Performance Group, sebuah
konsorsium yang terdiri dari Volvo, Unilever, Monsanto, Imperial Chemical Industries, Deutsche
Bank, Electrolux, dan Gerling, menemukan bahwa pengembangan produk yang ramah
lingkungan dan peningkatan environmental compliance bisa menaikkan EPS (earning per share)
perusahaan, mendongkrak profitability, dan menjamin kemudahan dalam mendapatkan kontrak
atau persetujuan investasi. Di tahun 1999, jurnal Business and Society Review menulis bahwa
300 perusahaan besar yang terbukti melakukan komitmen dengan publik yang berlandaskan pada
kode etik akan meningkatkan market value added sampai dua-tiga kali dan pada perusahaan lain
yang tidak melakukan hal serupa. Bukti lain, seperti riset yang dilakukan oleh DePaul University
di tahun 1997, menemukan bahwa perusahaan yang merumuskan komitmen korporat mereka
dalam menjalankan prinsip-prinsip etika memiliki kinerja finansial (berdasar penjualan) yang
lebih bagus dari perusahaan lain yang tidak melakukan hal serupa.
Beberapa pebisnis berpendapat bahwa terdapat hubungan simbiosis antara etika dan bisnis
dimana masalah etik sering dibicarakan pada bisnis yang berorientasi pada keuntungan. Dalam
hal ini terdapat versi yang lemah dan versi yang kuat mengenai pendekatan ini. Versi yang lemah
mengatakan bahwa etika yang baik dihasilkan dari bisnis yang baik, secara sederhana praktik
bisnis yang bermoral adalah praktik bisnis yang menguntungkan.
Praktik bisnis yang bermoral hanya akan memberikan keuntungan ekonomis dalam jangka
panjang. Bagi bisnis yang didesain untuk keuntungan jangka pendek hanya akan memberikan
insentif yang kecil. Dalam kompetisi bisnis di pasar yang sama, keuntungan jangka pendek
merupakan keputusan yang diambil oleh kebanyakan perusahaan untuk dapat bertahan.
Beberapa praktik bisnis yang bermoral mungkin tidak memiliki nilai ekonomis bahkan dalam
jangka panjang sekalipun. Sebagai contoh, bagaimana mengkampanyekan kerugian merokok,
sebagai lawan dari promosi rokok itu sendiri.
Praktik bisnis yang bermoral akan menghasilkan keuntungan akan sangat tergantung pada saat
bisnis tersebut dijalankan. Pada pasar yang berbeda, praktik yang sama mungkin tidak
memberikan nilai ekonomis. Jadi masalah tumpang tindih antara eksistensi moral dan
keuntungan sifatnya terbatas dan insidental (situasional)
Versi yang kuat mengenai pendekatan keuntungan mengungkapkan bahwa dalam pasar yang
kompetitif dan bebas, motif keuntungan akan terkait dengan lingkungan yang sesuai dengan isu
moral tersebut. Itulah sebabnya, jika pelanggan menginginkan produk yang aman, atau para
pekerja menginginkan privasi, maka mereka akan memperolehnya dari bisnis yang memenuhi
kebutuhannya tersebut. Bisnis yang tidak memenuhi harapan tersebut maka mereka tidak akan
bertahan. Sejak adanya pandangan bahwa dorongan untuk memperoleh keuntungan akan
menciptakan moralitas, versi yang kuat mengemukakan bahwa bisnis yang baik dihasilkan dalam
etika yang baik.
Dalam etika bisnis, kewajiban moral dalam bisnis dibatasi oleh persyaratan hukum. Aspek yang
paling universal dalam moralitas barat telah digunakan pada sistem legal bangsa kita, yaitu
hukum yang menegaskan mengenai sangsi bagi pembunuhan, pencurian, penipuan, pelecehan
dan perilaku yang membahayakan lainnya. Terlebih lagi jika masalah etika itu sudah berkaitan
dengan nilai budaya, politik dan agama. Tuntutan masyarakat internasional terutama berkaitan
dengan mutu barang atau jasa yang dijual. Banyak kasus dimana pengusaha sangat mengabaikan
lingkungan, dan masyarakat pun kadangkala miris melihat pemerintah seolah tidak ada upaya
yang tegas terhadap perilaku pengusaha yang bandel ini. Kasus yang terjadi beberapa tahun yang
lalu yaitu ditolaknya pengiriman kayu kita ke Skotlandia karena dinyatakan tidak berekolabel,
hal ini menunjukkan bahwa terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan dalam berbisnis, tidak
hanya memperhatikan keuntungan saja, namun juga perlu memperhatikan etika dalam
pengolahan. Disini kita melihat bahwa etika bisnis menjadi suatu hal yang sangat mendesak
untuk diterapkan, sebab dengan etika pertimbangan mengenai baik atau buruk dapat
distandardisasi secara tepat dan benar. Namun perlu juga dicatat bahwa etika bisnis tidak akan
berfungsi jika praktik-praktik bisnis yang curang dilegalkan. Di sinilah diperlukan dua perangkat
utama yaitu moral dan legal politis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma baru dan
kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru
dalam bisnis penuh dengan nilai-nilai positif, didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan
dapat dipertanggungjawabkan kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi
sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah
Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan
merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan
memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya.
Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia
menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam
memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan
survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik.
Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini
akan membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan partisipannya dalam
penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya menempatkan etika pada kedudukan yang
pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah
berorientasi pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga
pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban. Dalam arti
bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral, baik secara formal
maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi penyampaian
informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di luar kemauan dan hajat suatu
organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi tersebut berasal dari berbagai sumber dan
sebagian perusahaan dan pelaku bisnis telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan
baik.
Sumber inier’nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan
tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-
bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian,
pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral itu ternyata
telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada
diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai
pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima
dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui
berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam pembentukan perilaku seseorang.
Ada pengaruh signifikan antara pengajaran moral agama semasa kecil dengan perilaku seseorang
tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau kebijakan bisnis yang
dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah persoalan mudah. Prosesi itu
memerlukan pengorbanan waktu, metode yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan
kesabaran. Untuk keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan pemahaman
watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan berat dan membutuhkan perjuang-
an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk kepentingan perbaikan akhlak manusia. Tuhan
Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika (bahasa Arab:
identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima makarimal Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang
tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan
kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung
jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis
bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya.
Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan
perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost).
Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk
menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika bisnis dalam
kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang
berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari
masing-masing pelaku bisnis.
Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan
pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan
masyarakat lain. Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan
indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing
pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu
perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu
perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan
bisnisnya.Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana
dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai-nilai ajaran agama yang dianutnya.
Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik secara individu maupun
kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan
adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku
bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.
BAB II
ANALISIS
2.1. Analisis
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diajukan disini untuk menunjukkan bahwa justru demi
memperoleh keuntungan etika sangat dibutuhkan , sangat relevan, dan mempunyai tempat yang
sangat strategis dalam bisnis`dewasa ini. Karena memperoleh keuntungan dari etika menjadikan
penentu perusahaan tersebut untuk bertahan atau tidaknya. Meraup keuntungan dari hasil yang
tidak menerapkan etika bisnis dalam perusahaan dan tidak adanya kejujuran dari para pegawai
perusahaan tersebut menjadi faktor penyebab terjadinya ke pailitan atau kebangkrutan
perusahaan tersebut karena tidak menerapkan etika didalam bisnis.
Dengan kata lain, bisnis memang punya etika dan karena itu etika bisnis memang relevan untuk
dibicarakan. mengenai keterkaitan antara tujuan bisnis dan mencari keuntungan dan etika
memperlihatkan bahwa dalam iklim bisnis yang terbuka dan bebas, perusahaan yang
menjalankan bisnisnya secara baik dan etis, yaitu perusahaan yang memperhatikan hak dan
kepentingan semua pihak yang terkait dengan bisnisnya, akan berhasil dan bertahan dalam
kegiatan bisnisnya.
2.2. Saran
Perlu adanya sadar diri didalam hati para pegawai didalam perusahaan yang ingin menerapkan
etika didalam bisnis agar tidak adanya kecurangan atau kebohongan yang terjadi pada
perusahaan itu nantinya dan perlu diterapkannya sanksi atau hukuman yang berat apabila ada
salah satu pegawai yang melanggarnya, sehingga etika di dalam bisnis pun dapat berjalan dengan
baik dan lancer di perusahaan tersebut.