Kemoterapi adalah proses pengobatan yang menggunakan obat sitostatik dengan cara penggunaannya melalui intravena yang berfungsi sebagai membunuh sel abnormal, selain membunuh sel abnormal kemoterapi juga mematikan sel normal yang utama adalah sel yang dapat membelah dengan waktu yang cepat seperti sel rambut, membrane mukosa, sumsum tulang belakang, dan organ-organ reproduksi . Kemoterapi memiliki efek yang tidak menyenangkan, seperti berkurangnya nafsu makan, mual, muntah, diare, sehingga menyebabkan menurunnya performa pasien akibat dari kurang energi protein. Menurut (Lestari et al., 2019) kurangnya energi protein dapat juga menyebabkan penurunan kemampuan tubuh untuk mentoleransi obat didalam tubuh yang dapat menyebabkan gangguan metabolisme yang berhubungan dengan kelemahan kekuatan otot dan tenaga. Dari efek samping setelah dilakukannya kemoterapi, 45% pasien merasa jera dan tidak ingin melakukan kemoterapi yang berikutnya. Selain menyerang fisik, kemoterapi juga menyerang psikologis pasien seperti gelisah, cemas, sedih, hingga mengalami fase berduka. Pernyataan tersebut juga dikatakan dan diuraikan oleh (Lestari et al., 2019) dan juga menguraikan efek kemoterapi antara lain; mual, muntah, diare, konstipasi, alopesia, anemia, penurunan nafsu makan, toksisitas kulit, kelelahan, penurunan berat badan, neuropati perifer, perubahan rasa dan nyeri sedangkan efek psikologis diantaranya ansietas, depresi, kesedihan, emosional, stres, rendahnya harga diri (self esteem) dan rasa menyerah, (Lestari et al., 2019) Pasien kemoterapi, fase penerimaan diri sangatlah membutuhkan persiapan diri yang kuat. Pasien kemoterapi melewati beberapa fase yang diawali dari perasaan menolak, marah, tawar-menawar, depresi dan yang terakhir penerimaan. Fase penerimaan diri pasien kanker ditandai dengan dimulainya pasien tersebut bisa menerima keadaan dirinya, pasien mengharap kesembuhan penyakit pada dirinya yang sesuai dengan kemampuan dan kekuatan diri. Perasaan yang terfokus pada rasa khawatir dan kehilangan perlahan mulai menghilang dan berganti menjadi perasaan untuk berusaha melakukan yang terbaik untuk kesembuhan dan mulai menerima dan menjalani kemoterapi. Selama menjalani tahapan berduka tersebut diperlukan adaptasi perubahan yang terjadi untuk mempertahankan kondisi yang sehat, hal ini diuraikan oleh yang menerapkan adaptasi Alligood dengan mempertahankan kehidupan individu yang selalu berespon positif dalam menerima perubahan (Lestari et al., 2020). Selain faktor psikologis ada beberapa faktor lain yang dapat mengakibatkan mempercepat proses pengobatan, yaitu; kesejahteraan fisik, kesejahteraan social, serta kesejahteraan spiritual (Rosyadi, Ani Yuniarti, 2019). Spiritualitas membuat individu menemukan dirinya, sehingga kehidupan menjadi lebih bemakna hingga menemukan hikmah (Rosyadi, Ani Yuniarti, 2019). Hal ini dapat ditariknya sebuah kesimpulan bahwa tingginya kualitas spiritual pasien maka akan semakin besar pengaruh kecepatan penyembuhan penyakit. Spiritualitas adalah suatu yang khusus dan multimensional dari pengalaman hidup manusia dan juga salah satu kekuatan yang besar dalam mencari makna kehidupan. Spiritual menjadi sangat penting sewaktu individu dalam keadaan yang merasa nyawanya terancam (Wiksuarini et al., 2018). Spiritualitas merupakan salah satu aspek dalam hidup manusia. Spiritualitas bersifat individual yang bersumber dari diri individu yang mempunyai banyak latar belakang yang berbeda yang didasari oleh cara pandang setiap individunya yang berbeda. Selain itu, faktor yang menyebabkan pengertian spiritualitas yang berbeda juga dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, dan persepsi dalam diri. Spiritual yang positif dapat dijadikan sebagai mekanisme koping positif bagi proses penyembuhan kanker (Wiksuarini et al., 2018). Diagnosis dan pengobatan kanker dapat memunculkan perasaan yang buruk atau masalah spiritual seperti marah kepada Tuhan, merasa doanya tidak pernah dikabulkan terkabulkan (Wiksuarini et al., 2018). Adapun masalah yang lainnya yaitu tidak dapat menerima keadaan dirinya saat ini dan adanya rasa takut akan kematian. Spiritual yang rendah dikaitkan dengan kualitas hidup yang rendah (Rizka Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, n.d.). Data yang diperoleh dari Global Burden of Cancer (GLOBOCAN) yang dirilis oleh WHO menyebutkan data pasien kanker berjumlah 18,1 juta kasus dan 9,6 juta kematian di tahun 2018, kasus akan terus bertambah hingga lebih dari 13,1 juta kasus pada tahun 2030 (Silaen, 2019). Riskesdas (2013) mendapatkan hasil bahwa sebagian penduduk Indonesia menjalani pengobatan kanker dengan metode pembedahan sebesar 61,8%, metode kemoterapi 24,9%, dan metode penyinaran 17,3%. Kemoterapi lebih banyak dilakukan oleh pasien perempuan dibandingkan oleh pasien laki-laki (Rizka Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan, n.d.). Penelitian yang telah dilakukan oleh (Wiksuarini et al., 2018) menyatakan bahwa tingkatan spiritualitas dapat mempengaruhi kondisi pasien kanker, penerimaan diri dan koping yang baik disebabkan karena individu memiliki spiritualitas yang positif seperti menganggap kekuatan terbesarnya adalah Tuhan yang menjadi sumber kekuatan pada dirinya, Kanker merupakan salah satu penyakit terminal, penyakit terminal membutuhkan spiritual yang lebih kuat untuk dapat menerima penyakit yang dideritanya. Hasil studi penelitian yang peneliti lakukan mendapat informasi bahwasanya pasien kemoterapi membutuhkan spiritual yang lebih dari pasien penyakit lainnya, karena pasien kemoterapi merasa bahwa penyakit yang diderita sulit untuk sembuh dan akan selamanya hingga akhir hayat. Pasien merasa lebih pasrah kepada Allah tentang kondisi kedepannya. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan peneliti pada bulan September, peneliti mendapat data jumlah kunjungan pasien yang sedang melakukan kemoterapi di Rumah Sakit Baladhika Husada Jember berjumlah 2.653 pasien dengan berbagai jenis kanker, sedangkan untuk pasien yang sedang melakukan kemoterapi 1 tahun awal berjumlah 125 pasien setiap bulan. Peneliti mewawancarai 5 pasien yang melakukan kemoterapi mengenai bagaimana perasaan saat mengetahui tentang kondisi dirinya dan perasaan saat mendengar diagnosis kanker yang harus melakukan kemoterapi, bertanya tentang pendapat dirinya tentang penyakit tersebut, bagaimana cara menghilangkan perasaan gelisah terhadap penyakit, bagaimana bayangan pasien tentang kemoterapi sebelum menjalani, menanyakan tentang perasaan dan efek yang muncul setelah melakukan kemoterapi pertama. Peneliti mendapat hasil wawancara dengan pasien yang menjalani kemoterapi bahwa perasaan yang dialami pasien yaitu cemas dan gelisah. Pasien mengurangi rasa cemas dan gelisah, pasien melakukan sholat dan berdoa untuk meluapkan rasa cemas dan gelisah agar lebih tenang. Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan memiliki peliang yang besar dalam memberikan pelayanan kesehatan yang komprehensif terutama dalam memberikan asuhan keperawatan untuk pemenuhan kebutuhan dasar pasien. Aspek spiritual tidak terlepas dari asuhan keperawatan dari perawat kepada pasien, aspek spiritual merupakan aspek integral antara perawat dan pasien.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah definisi kemoterapi?
2. Apakah etiologi kemoterapi? 3. Apakah manifestasi klinis kemoterapi? 4. Apakah patofisiologi kemoterapi? 5. Bagaimana Web of Coution kemoterapi? 6. Bagaimanakah pemeriksaan penunjang kemoterapi? 7. Bagaimanakah penatalaksanaan medis dan non medis kemoterapi? 8. Apakah pencegahan primer, sekunder, tersier, dan terapi nutrisi kemoterapi? 9. Bagaimanakah Asuhan Keperawatan kemoterapi?
1.3 Tujuan
1. Menegtahui definisi kemoterapi?
2. Mengetahui etiologi kemoterapi? 3. Mengetahui manifestasi klinis kemoterapi? 4. Mengetahui patofisiologi kemoterapi? 5. Mengetahui Web of Coution kemoterapi? 6. Mengetahui pemeriksaan penunjang kemoterapi? 7. Mengetahui penatalaksanaan medis dan non medis kemoterapi? 8. Mengetahui pencegahan primer, sekunder, tersier, dan terapi nutrisi kemoterapi? 9. Mengetahui Asuhan Keperawatan kemoterapi?
Dapus : Lestari et.al. 2019. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta