Anda di halaman 1dari 66

BUKU PEDOMAN BELAJAR

ILMU RADIOLOGI

Tim penyusun ​: ​dr. Bekti Safarini, Sp.Rad.(K)


​ ​Dr. dr. Bambang Satoto, Sp.Rad.(K), M.Kes.
​ ​dr. Titik Yuliastuti, Sp.Rad.(K)
​ ​dr. Dria A. Sutikno, SpRad.

​ ​ ​ ​
Penerbit : UNISSULA PRESS
​BUKU PEDOMAN BELAJAR ILMU RADIOLOGI

Tim penyusun ​: ​dr. Bekti Safarini, Sp.Rad.(K)


​ ​Dr. dr. Bambang Satoto, Sp.Rad.(K), M.Kes.
​ ​dr. Titik Yuliastuti, Sp.Rad.(K)
​ ​dr. Dria A. Sutikno, SpRad.
​ ​
Editor ​: ​dr. Hj. Ken Wirastuti,
M.Kes, Sp.S.KIC
​ ​dr.Yani Istadi, M.Med. Ed.

Desain Sampul ​: ​dr. Naim Ismail Imunu


& tata letak

Penerbit ​: ​Unissula Press

Edisi ​: Kedua
Cetakan ​: Kedua
ISBN ​: 978-602-1145-51-7
No. Dokumen :​ PRO-SA-K-PSPD-013

Hak cipta dilindungi undang-undang


@Copy right registered all rights reserved ​
Ketentuan Pidana
Pasal 72 Undang-undang No. 19 Tahun 2002
Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan,


atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil
pelanggaran Hak Cipta sebagimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah


SWT, yang telah melimpahkan rahmat, barakah dan karunia-
Nya sehingga penyusunan Buku Pedoman Belajar Ilmu
Radiologi Fakultas Kedokteran Unissula ini dapat selesai
dengan lancar. Adapun maksud dan tujuan pembuatan buku
ini sebagai pedoman yang ringkas bagi mahasiswa pendidikan
klinik saat stase di bagian Radiologi.
Buku ini berisi kemampuan dan pengetahuan yang
harus dimiliki oleh seorang dokter muda. Buku ini lebih
menekankan pada film polos konvensional dan radiologi
dengan kontras, karena sangat penting menguasi interpretasi
dari dasar-dasar pemeriksaan ini sebelum berlanjut pada
pemeriksaan yang lebih maju, seperti CT SCAN dan MRI. Di
samping berbagai teknologi utama terbaru, radiologi
konvensional tetap memiliki peran yang sangat penting dalam
mengevaluasi banyak pasien dan oleh karena itu penting
untuk mempelajari dasar-dasar radiologi dalam membantu
penatalaksanaan pasien.
Buku ini dibagi menjadi beberapa bagian berdasarkan
sistem tubuh, disertai dengan dekskripsi singkat mengenai
jenis pemeriksaan dan gambaran radiologi. Selain itu disajikan
dengan contoh kasus beserta pembahasannya mengenai
berbagai prosedur pemeriksaan dan diskripsi kelainan di
bidang radiologi.
Berbeda dengan edisi pertama, dalam edisi kedua,
buku ini dilengkapi dengan materi Patient Safety dan
Pendoman Pengendalian Infeksi. Buku pedoman dibuat untuk
memudahkan calon dokter umum dalam melaksanakan
kegiatan keselamatan pasien dan pencegahan pengendalian
infeksi dalam proses pembelajaran untuk perbaikan pelayanan
yang berorientasi pada pasien.
Banyak pihak yang telah membantu dalam
penyusunan Buku Pedoman Belajar Ilmu Radiologi ini, untuk
itu kami mengucapkan terima kasih, utamanya kepada Dekan,
Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Wakil
Dekan II Keuangan dan SDI, Komite Kurikulum dan seluruh
staf Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin serta Tim Modul
yang terkait di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan
Agung.

Kami menyadari bahwa Buku Pedoman Belajar ini belum


sempurna, sehingga masukan untuk perbaikan dimasa datang
sangat kami harapkan. Akhirnya kami berharap semoga Buku
Pedoman Belajar ini dapat memberikan manfaat sesuai
dengan harapan kami.

Semarang, Agustus 2018


​Tim Penyusun

Sambutan Direktur Pendidikan


Rumah Sakit Islam Sultan Agung

Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas rahmat,


karunia, dan hidayah-Nya kepada kita semuanya. Dialah Dzat
yang Maha Berilmu, Maha Mengetahui segala sesuatu, baik
yang ghoib dan yang nyata.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah bagi
Baginda Rasulullah Muhammad Shalallahu Alaihi Wassalam,
beserta para keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya
hingga akhir zaman.

Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung telah ditetapkan


sebagai Rumah Sakit Pendidikan Utama bagi Fakultas
Kedokteran (FK) Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA)
sejak tahun 2011. Salah satu misinya adalah memberikan
pelayanan pendidikan dalam rangka membangun generasi
khaira ummah. Oleh karena itu kami menyambut baik dengan
diterbitkannya Buku Pedoman Belajar edisi kedua bagi para
mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter (PSPD) FK
UNISSULA ini.

Kami mengucapkan selamat kepada pimpinan dan seluruh


staff FK UNISSULA yang terlibat dalam penyusunan buku
pedoman ini. Buku edisi kedua cetakan kedua ini, selain
sudah ditambahkan dengan materi patient safety dan
Pedoman Pengendalian Infeksi (PPI) yang diperlukan oleh
calon dokter dalam proses pembelajaran selama stase di
rumah sakit atau puskesmas, juga sudah dilengkapi dengan
level of competence (LoC) untuk masing-masing kasus sesuai
dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Sebagaimana kita ketahui bersama, mencari ilmu merupakan


hal yang diwajibkan dalam ajaran Islam. Dengan berilmu,
seseorang akan meraih kejayaan, baik di dunia maupun di
akhirat. Mengutip pesan para ulama terdahulu, dalam mencari
ilmu, akhlak lebih diutamakan. Ibarat suatu adonan roti, ilmu
bagaikan garam, sedangkan akhlak bagaikan tepungnya. Hal
ini menunjukkan bahwa porsi akhlak jauh lebih besar daripada
porsi ilmu. Semakin tinggi ilmu seseorang, diharapkan
semakin bertambah juga akhlaknya.

Akhir kata, kami ikut mendoakan semoga ilmu yang diperoleh


selama proses pembelajaran di FK UNISSULA dan RSI Sultan
Agung sebagai rumah sakit pendidikan utamanya, merupakan
ilmu yang bermanfaat dan membawa keberkahan. Aamiin Yaa
Mujibassailin.

Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarakatuh

Semarang, Agustus 2018

dr. Minidian Fasitasari, MSc., SpGK.


Direktur pendidikan RSI-SA​

DAFTAR ISI

Halaman Judul ​i
Kata Pengantar ​iii
Sambutan Direktur RSI-SA ​v ​
Daftar Isi ​vii ​
Hubungan Dengan Modul PreKlinik Sebelumnya ​ix ​
Cara Menggunakan Buku Pedoman Belajar ​x ​
Gambaran Area Kompetensi dan Learning Outcome ​xi ​
Daftar Kompetensi Berdasarkan Kasus ​xii ​
Daftar Kompetensi Ketrampilan Klinik ​xv ​
Topik Tree ​xvii ​
BAB I ​Dasar Radiografi ​1 ​
BAB II ​ horak
T 1​ 1 ​
1. TB Paru 1​ 3 ​
2. Tumor Paru 1​ 6 ​
3. Bronchopneumonia ​16 ​
4. Pneumonia ​17 ​
5. Bronchitis ​18 ​
6. Bronchiectasis ​19 ​
7. Pneumothorax ​20 ​
8. Efusi Pleura ​21 ​
9. Atelektasis ​23 ​
10. Emfisema ​25 ​
11. Edema Pulmonum ​25 ​
12. Hipertensi Heart Disease ​28 ​
13. Sesak Nafas ​29 ​
14. Kelainan Jantung ​30 ​
RADIOLOGI

BAB III ​Tulang ​34 ​


Dasar Radiologi
1. Fraktur Tulang
Thorax
Tulang Kepala
Urogenital
3​ 5Gastrointestinal
​ Neuroimagin
2. Fraktur Tulang Ekstremitas ​37 ​
A. TB Paru 3. Fraktur
A.Tulang ​39
VertebrataA. Batu Saluran
Fraktur Tulang
Kepala Kemih
​ A. Illeus A. Trauma
B. Tumor Paru B. Ikterik B. Stroke
C. Bronchopneumonia B. Fraktur
4. Kelainan Tulang
Degeneratif
B. Trauma
​41 Ginjal ​ C. Colitis
D. Pneumonia Ekstremitas C. Tumor Ginjal D. Tumor Colon
E. Bronchitis5. InfeksiC. Fraktur ​43
Tulang
Vertebrata
​ D. Tumor
F. Bronchiectasis Kandung Kemih

G. Pneumothorax
6. Fraktur D.
Costa
Kelainan
Degeneratif

45 E. Kelainan ​ di
H. Efusi Pleura7. Tumor Tulang
E. Infeksi ​45 ​
Uretra

I. Atelektasis F. Fraktur Costa


J. Emfisema G. Tumor Tulang
BABPulmonum
K. Edema IV ​Urogenital ​48 ​
L. Hipertensi Heart
Disease 1. Batu Saluran Kemih ​49 ​
M. Sesak Nafas 2. Trauma Ginjal ​51 ​
N. Kelainan Jantung
3. Tumor Ginjal ​52 ​
4. Tumor Kandung Kemih ​53 ​
5. Kelainan di Uretra ​54 ​

BAB V ​ Gastrointestinal ​57


1. Illeus 5​ 9 ​
2. Ikterik 6​ 1 ​
3. Hepatoma 6​ 2 ​
4. Colitis 6​ 3 ​
5. Tumor Colon 6​ 4 ​

BAB VI ​Neuroimaging ​65 ​


1. Trauma 6​ 6 ​
2. Stroke 6​ 7 ​

BAB VII Radioterapi ​69

BAB VIII Patient safety ​72

DAFTAR PUSTAKA.............................................................. ​96

​​
HUBUNGAN DENGAN MODUL
PREKLINIK SEBELUMNYA

1. Modul pencernaan
2. Modul pernafasan
3. Modul kardiovaskuler
4. Modul enterohepatik
5. Modul pendengaran, penciuman dan tenggorokan
6. Modul penglihatan
7. Modul kegawatdaruratan medik
8. Modul saraf dan reseptor sensori
9. Modul reproduksi
10. Modul urogenitalia
11. Modul gerak dan musculoskeletal
CARA MENGGUNAKAN PEDOMAN BELAJAR

Buku ini adalah buku pedoman untuk mempelajari
Radiologi saat stase di Bagian Radiologi. Kompetensi yang
tercakup dalam buku pedoman ini adalah kompetensi minimal
yang harus anda kuasai saat anda belajar di tingkat
pendidikan klinik.
Buku ini tersusun dalam 8 Bab yaitu:
Bab I. Dasar Radiografi
Bab II. Thorak
Bab III. Tulang
Bab IV. Urogenital
Bab V. Gastrointestinal
Bab VI. Neuroimaging
Bab VII. Radioterapi
Bab VIII. Patient Safety

Pembagian BAB pada buku ini disusun berdasarkan


kompetensi yang harus dikuasai oleh dokter muda dalam
belajar radiologi sehingga bisa lebih melengkapi pemahaman
klinik.
Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan buku
ini adalah:
1. Daftar kompetensi harus dibaca terlebih dahulu secara teliti.
2. Menjawab secara tertulis pertanyaan-pertanyaan yang
tersedia dengan bekal prior knowledge dan bila masih
menemui dicari di panduan referensi yang dianjurkan agar
dalam proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan
efisien.
Algoritma dibuat untuk menguasai jenis pemeriksaan
radiologis yang dianjurkan untuk kelainan tertentu, juga
memahami dan bisa menginformasikan syarat-syarat dan
persiapan bagi pasien sebelum pemeriksaan.
Apabila masih terdapat pertanyaan yang berkaitan
dengan materi dapat digali Lebih lanjut dari referensi atau
dapat didiskusikan pada saat pembimbingan maupun tutorial.

GAMBARAN AREA KOMPETENSI DAN LEARNING


OUTCOME

Area Komunikasi efektif


- Mampu menggali dan bertukar informasi verbal dan
nonverbal dengan pasien semua usia, anggota keluarga,
masyarakat, kolega dan profesi lain.
- Mampu memberikan penjelasan dengan benar, lengkap dan
jujur tentang tujuan, manfaat dan resiko prosedur
diagnostik.

Proses Administrasi
Area Ketrampilan klinis
- Mampu memilih prosedur pemeriksaan radiologi sesuai
dengan masalah pasien.
Jenis Pemeriksaan
- Melakukan prosedur pemeriksaan radiologi sesuai dengan
kebutuhan pasien dan kewenangannya.
Foto Polos dan CT USG MRI Kedokteran Nuklir
- Melakukan pemeriksaan penunjang radiologi untuk
dengan Kontras
penapisan penyakit.
Fluoroskopi
Persiapan
Area mawas diri dan pengembangan diri
- Menyadari kemampuan dan keterbatasan diri berkaitan
Positioning
dengan praktik kedokterannya dan berkonsultasi bila
diperlukan.
Pemotretan
- Mengelola umpan balik hasil kerja sebagai bagian dari
pelatihan dan praktik.
Processing

Basah Kering

Computer Radiography (CR) Digital Radiography (DR)

Interpretasi

DESKRIPSI KOMPETENSI BERDASARKAN KASUS

I. Dasar Radiografi
A. Mengetahui proses pembuatan radiograf.
B. Mengetahui modalitas yang dipakai untuk
pemeriksaan Radiologis.
1. Foto Polos.
2. Foto dengan Kontras.
3. USG.
4. Mamografi.
5. CT-Scan.
6. Angiografi.
Batuk, sesak nafas
Thorak
7. Kedokteran Nuklir.
8. MRI.
Anak-anak Dewasa
C. Mengetahui persiapan, positioning, dan processing.
Paru Jantung
Foto Thoraks AP/PA dan lateral Foto Thoraks AP/PA dan lateral
II. Thorak
(-)
A. Tuberkulosis (Tb) paru.
(+)
Cor analysa
(+) (+)
Polos PA dan lat
B. Tumor.
TERAPI
Lihat keterangan C. Bronchopneumonia.
D. Pneumonia.
USG/Echocardiograf
EvaluasiE.
Perkembangan
Bronchitis. Klinis, Laboratoris, Radiologis
F. Bronchiectasis.
G. Pneumothorak.
H. Corpus alienum.
I. Effusi pleura.
J. Atelektasis.
K. Emfisema.
L. Edema pulmonum.
M. Hipertensi Heart Disease.
N. Tetralogy of Fallot.
O. Kelainan jantung didapat.

III. Tulang
A. Trauma.
1. Fraktur tulang kepala.
2. Fraktur tulang ekstremitas.
3. Fraktur tulang vertebra.
4. Fraktur tulang Costa.
5. Dislokasi, luksasi.
B. Tumor.
1. Osteosarcoma.
2. Osteochondroma.
C. Infeksi.
1. Osteomyelitis.
2. Spondilitis.
D. Degeneratif.
1. Spondilosis.

IV. Urogenital
A. Nyeri pinggang dengan hematuria.
Kepala :FotoAP, lateral
1.2Batu
posisi Saluran
AP, Kemih.
lat.bila perlu bone scan
2. Trauma Ginjal.
kepalaCurigaB.brain
Retensio
defect Urine.
vertebrata extremitas
1. Vesikolithiasis.
2. Uretrolithiasis.
CT Scan kepala
Curiga brain defect RO tambahan oblik ka/ki sendi
3. Struktur uretra.
C. Massa abdomen dongan hematuria.
CT scan 1. Tumor
Curiga defect Ginjal.
pada DIV, FIV, lamina Special view + MRI

2. Tumor Kandung Kemih.


MRI

V. Gastrointestinal
A. NyeriEvaluasi
abdomenpost terapi
dengan mual atau muntah.
1. Cholesistitis.
2. Cholesistolithiasis.
3. Ileus.
B. Ikterik.
1. Batu di traktus biliaris.
2. Hepatoma.
3. Sirosis hepatis.
C. Nyeri abdomen dengan diare.
1. Colitis.
2. Tumor colon.

VI. Neuroimaging
A. Trauma.
1. Contusio.
2. Perdarahan epidural.
3. Perdarahan subdural.
4. Perdarahan subarachnoid.
B. Stroke.
1. Stroke haenorrhagic.
2. Stroke nonhaemorrhagic.

VII. Radioterapi
A. Dasar-dasar radioterapi.
B. Radioterapi pada keganasan.
1. Ca. Mammae.
2. Ca. Nasopharink.
3. Ca. serviks

Extremitas : AP, lateral

sendi
Special view + MRI

​ ​DAFTAR KOMPETENSI KLINIK


1. Mengetahui proses pembuatan radiograf
2. Mengetahui modalitas yang dipakai untuk pemeriksaan
radiologi (Foto Polos, Foto dengan Kontras, USG,
Mammografi, CT-Scan, Arteriografi, Kedokteran Nuklir,
MRI).
3. Mengetahui dan mengerti foto thorak.
4. Mengetahui dan mengerti foto tulang.
5. Mengetahui dan mengerti foto urogenital
6. Mengetahui dan mengerti foto gastrointestinal.
7. Menentukan permintaan jenis foto sesuai gejala klinis
dengan menyertakan hasil pemeriksaan klinis untuk
menegakkan diagnosis
Rontgen foto Vertebrata : AP, lateral
8. Memahami deskripsi yang dibuat dokter spesialis Radiologi
9. Mengetahui dan mengerti Radioterapi
Rontgen foto tambahan oblique kanan dan kiri

Target
No Curiga defect
Daftarpada DIV, FIV, lamina
Kompetensi
Kompetensi
MRI
1 Mengetahui proses pembuatan
2
Radiograf
Evaluasi post terapi
2 Mengetahui modalitas yang dipakai 2
untuk pemeriksaan radiologi ( Foto
Polos, Foto dengan Kontras, USG,
Mammografi, CT-Scan, Arteriografi,
Kedokteran Nuklir, MRI )
3 Mengetahui dan mengerti foto toraks 3
4 Mengetahui dan mengerti foto tulang 3
5 Mengetahui foto urogenital 3
6 Mengetahui dan mengerti foto 3
gastrointestinal
7 Menentukan permintaan jenis foto 4
sesuai gejala klinis dengan
menyertakan hasil pemeriksaan
klinis untuk menegakkan diagnosis
8 Memahami deskripsi (expertise) 3
yang dibuat dokter spesialis
Radiologi
9 Mengetahui dan mengerti 2
Radioterapi

Keterangan ​:
Target tingkat kompetensi ( Level of Competence ) dibagi
menjadi 4 yaitu :
1. Mengetahui dan menjelaskan secara teoritis.
2. Memahami dan melihat / pernah mendemonstrasikan pada
pasien mengerjakan prosedur pada laboratorium
ketrampilan.
3. Melakukan secara terbatas pada pasien / model dibawah
supervisi atau dalam suasana latihan.
4. Melakukan secara mandiri dan rutin pada pasien dalam
Rontgen
situasi foto
klinik vertebra : AP -
nyata.
LAT

Corpus vertebra lebih ke anterior dari corpus


dibagian distalnya

Buku Pedoman Belajar Ilmu Radiologi | ii
TOPIK
Evaluasi post terapi TREE


Buku Pedoman Belajar Ilmu Radiologi | ii
BAB I
DASAR-DASAR RADIOGRAFI


1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
1. Mampu mengetahui
Rontgen proses pembuatan radiograf.
vertebra AP-LAT
2. Mampu mengetahui modalitas yang dipakai untuk
pemeriksaan radiologis.
Rontgen foto tambahan obliq
3. Mampu mengetahui persiapan dan posisioning. ​
Curiga spinal stenosis

2. TUJUAN PEMBELAJARAN
CT Scan KHUSUS
1. Mampu mengetahui prinsip kerja radiologi konvensional,
yangada
Curiga meliputi : sifat
degenerative sinar-X,
discus, HNP proses pembentukan citra
radiograf, proteksi radiasi, densitas citra radiograf, dan
fluoroskopi. MRI
2. Mampu mengetahui prinsip kerja Computed Tomography
(CT).
3. Mampu mengetahui prinsip kerja ultrasound (USG).
4. Mampu mengetahui prinsip kerja Magnetic Resonance
Imaging (MRI).
5. Mampu mengetahui prinsip kerja Kedokteran Nuklir
(Nuclear Medicine)

C. ALUR PROSES PEMERIKSAAN RADIOLOGI


Rontgen Vertebra AP-LAt
Ekstremitas

CT SCAN.MRI
Sendi

Special view + MRI

Plain
Rontgen foto
foto : AP,
thorak
Plain foto lateral
:kondisi
AP, tulang AP dan
Lateral
lateral
Rontgen fotoCT Scan,
tambahan Bone
oblique atau tangensial
CT Scan
(Au-Yong,
Curiga defectscanning
2010;
bisa Granger,
dilakukan 2008;
bone scanning Gunderman, 2006;
Harisinghani and Chen, 2011; Herring, 2016; Sekjen
Kemenkes - RI. 2010)

KLASIFIKASI MODALITAS PENCITRAAN DALAM ILMU


RADIOLOGI

(Gunderman, 2006)

PRINSIP KERJA RADIOLOGI KONVENSIONAL

Radiologi konvensional adalah pencitraan yang diproduksi


melalui transmisi radiasi pengion atau sinar-X (dengan atau
tanpa kontras barium/iodin). Radiograf konvensional tanpa
kontras sering disebut dengan foto polos atau X-foto. Proses
terbentuknya citra dapat melalui 3 macam proses, yaitu :
1. Menggunakan beberapa macam bahan kimia yang
mengubah latent image yang kemudian diamplifikasi
melalui beberapa proses, yang meliputi : developing, fixing,
washing, dan drying. Proses ini memerlukan kamar gelap
untuk hasil citra yang optimal.
2. Computed radiography (CR), dimana pembentukan citra
menggunakan kaset, storage phosphor plates, reader, yang
kemudian diproses secara computerized, sehingga kualitas
citra dapat diatur melalui workstation. Gambar kemudian
dicetak menggunakan laser printer.
3. Digital radiography (DR), menggunakan perangkat keras
berupa detektor panel datar (charge-couple device/CCD)
yang kemudian diproses secara computerized. Persamaan
dengan CR, kualitas citra dapat diatur pula melalui
workstation. Namun berbeda dengan CR, DR tidak
menggunakan kaset, sehingga proses lebih cepat dan lebih
nyaman untuk pasien.
Keuntungan utama dari radiologi konvensional adalah biaya
yang murah, dan dapat dilakukan dimana saja karena dapat
menggunakan pesawat mobile. Namun, terdapat pula
kelemahan dari foto polos ini, yaitu rentang densitas yang
terbatas.
(Au-Yong, 2010; Gunderman, 2006; Harisinghani and Chen,
2011; Herring, 2016)

LIMA DENSITAS DASAR


Urutan densitas dari yang paling rendah ke tinggi adalah :
1. Udara, yang tampak paling gelap (radiolusen)
2. Lemak, lebih terang atau keabuan dibanding udara.
3. Soft tissue atau cairan kadang sulit dibedakan karena
memiliki densitas yang hampir sama (Contoh: Bayangan
jantung, hepar, efusi pleura).
4. Kalsium (contoh: tulang, batu).
5. Logam, tampak paling radioopak pada radiografi. Densitas
objek yang sama dengan benda logam bukan sesuatu yang
normal ada di tubuh. Contoh opasitas densitas logam yang
bisa tampak pada tubuh, adalah: media kontras iodin,
knees/ hips prosthetic, alat-alat fiksasi interna seperti plate
dan screw, atau corpus alienum.
(Gunderman, 2006; Herring, 2016)

Tumor kandung kemih


Retensio urineginjal
Retensio
Tumor Trauma
Urine Ginjal
Foto Plain
BNO
Foto polos Abdomen
BNO
Trauma ginjalFoto
ringan tanpa
Polos
perlakuan visceral lainnya
Trauma ginjal berat
USG dengan perlakuan
Uretrocystografi
Curiga (+) Retrograde (-) terkait
USG visceral
USG CT scan (non+kontras)
Cystografi
Bipolar Uretrocystografi Uretrocystografi Retrograde
IVP IVP USG
IVP
CT Scan dan atau MRI
Scan dan atau MRI
Obs.Total Non visualized Hidronefrosis
Partial Non Obstruksi Normal
Abnormal/asymptom Normal asymptomatik
atik

Lima densitasFollow
dasaruppada radiografi konvensional
Tindakan Follow up Follow up
RPG APG Tindakan Renogram Stop
(Gunderman, 2006)

SIFAT SINAR+X - Non Fungsi Fungsional


Sinar-X memiliki sifat fisik, yaitu: daya tembus, pertebaran,
penyerapan, efek fotografik, pendar fluor (fluorosensi),
ionisasi, dan efek biologis. Tindakan
1. Daya tembus, sinar-X dapat menembus bahan, dengan
daya tembus sangat besar dan dugunakan dalam
radiografi. Makin tinggi tegangan tabung (besarnya KV)
yang digunakan, makin besar daya tembusnya. Makin
rendah berat atom atau kepadatan suatu benda, makin
besar daya tembus sinarnya.
2. Pertebaran. Apabila berkas sinar X melalui suatu bahan
atau suatu zat, maka berkas tersebut akan bertebarean ke
segala jurusan, meninmbulkan radiasi sekunder (radiasi
hambur) pada bahan/zat yang dilaluinya. Hal ini akan
mengakibatkan terjadinya gambar radiograf dan pada film
akan tampak pengaburan kelabu secara menyeluruh. Untuk
mengurangi akibat radiasi hambur ini, maka di antara
subjek dengan film rontgen diletakkan grid. Grid terdiri atas
potongan – potongan timah tipis yang letaknya sejajar,
masing – masing dipisahkan oleh bahan tembus sinar.
3. Penyerapan. Sinar X dalam radiografi diseratp oleh bahan
atau zat sesuai dengan berat atom atau kepadatan
bahan/zat tersebut. Makin tinggi kepadatannya atau berat
atomnya, makin besar penyerapannya.

4. Efek fotografi. Sinar X dapat menghitamkan emulsi film


(emulsi perak-bromida) setelah proses secara kimiawi
(dibangkitkan dengan cairan developer) di kamar gelap
Diare/berak Ikterik
Kelainan gastrointestinal
5. Pendar fluor (fluoresensi). Sinar X menyebabkan bahan-
bahan tertentu seperti
FPA
kalsium-tungstat atau Zink-sulfid
memendarkan
Colon
FotoInPolos cahaya(FPA)
LoopAbdomen
(CIL) (luminisensi), bila bahan tersebut
dikenai radiasiBatu
sinarRadioopak
X.
Abdomen 2 posisi atau thorak
6. Ionisasi. Efek primer sinar X apabila berlangsung suatu
(+) ( +/- ) (-)
bahan atau zat akan menimbulkan ionisasi partikel-partikel
bahan atau zatUSG
tersebut.
USG USG USG

7. Efek biologik. Sinar x akan menimbulkan perubahan


Bariumbiologik
Meal (OMD),
padaBarium Enema (CIL),
jaringan. Efek Follow
biologik ini dipergunakan
Cholesistolithias Choledocolithias Cholesistitis
Through Massa Sirosis Hepatis
dalam pengobatan radioterapi.
(Rasad, 2006)
CT Scan

PROTEKSI RADIASI
Terdapat beberapa cara untuk mengurangi radiasi pengion
saat pemeriksaan radiologi, antara lain:
1. Pemeriksaan radiologi harus dipastikan sesuai indikasi
2. Hindarai pemeriksaan radiologi yang tidak perlu pada kasus
yang lebih dapat dinilai melalui modalitas pencitraan yang
tidak menggunkaan radiasi pengion, misal USG atau MRI.
3. Mengurangi dosis radiasi yang dipaparkan kepada pasien,
dengan cara mengoptimalisasi faktor teknik seperti sumber
sinar X dan detektor, mencegah paparan sinar X berulang
oleh karena gerakan pasien, dan mengurangi durasi saat
dilakukan pemeriksaan fluoroskopi.
4. Langkah – langkah ini juga dapat mengurangi dosis radiasi
yang diterima oleh pekerja radiologi, selain proteksi diri
dengan menggunakan alat pelindung diri (contoh lead
aprons), menjaga jarak dari area yang memungkinkan
terdapat paparan radiasi hambur.
(Gunderman, 2006; Herring, 2016)

PRINSIP KERJA FLUOROSKOPI


Fluoroskopi (atau “fluoro”) adalah suatu modalitas pencitraan
dimana radiasi pengion (sinar-x) digunakan untuk memberikan
real-time visualization, atau gambar saat waktu berjalan, yang
dapat digunakan untuk mengevaluasi gerakan bagian-bagian
tubuh seperti dinamika alat peredaran darah, misal jantung
dan pembuluh
Nyeri
darah
kepala/ muntah/
besar, serta pernafasan berupa
deficit neurologi/
Pasien Trauma
dengan kepala
Keganasan
pergerakan diafragman dan aerasi paru, serta gerakan
penurunan kesadaran
peristaltik saluran cerna.
Pada radiologi CT radioterapi
intervensi, kontras iodin disuntikkan ke
SCAN BRAIN
pembuluh darah
Curiga atau / duktus
Perdarahan Penurunanlainnya,
Kesadaran yang kemudian secara
fluoroskopi direkam gambarnya, untuk memvisualisasi
Strokegambaran
eksternalanatomi normal, patologi,
non Ya
haemorragic atau posisi kateter atau
brachiterapi
TidakHaemorragic
Stroke
alat-alat lainnya. Namun, dosisi radiasi fluoroskopi dapat
menjadi lebih tinggi dibanding radiografi konvensional, oleh
CT Scan X Foto Cranium AP-LAT
karena banyaknya gambar yang harus diambil untuk
mendapatkan hasil gambaran yang real time.
(Rasad, 2006; Herring, 2016)

Perbedaan antara (A) fluoroskopi dan (B) foto polos radiografi.Pada


fluoroskopi, x-ray tube mentransmisikan sinar-X dari bawah ke atas
melewati tubuh pasien. Ketika photon yang telah ditransmisikan
ditangkap oleh image intensifier dan diproyeksikan ke monitor pada
waktu yang sedang berjalan (real time). Berbeda dengan fluoroskopi,
pada foto polos sinar-X muncul dari tube yang berada di atas pasien,
kemudian melewati tubuh pasien, dan mengekspos film atau
detektor di bawah pasien. (Gunderman, 2006)

PRINSIP KERJA CT
CT scan menggunakan gantry dengan pancaran sinar-X dan
detektor multipel yang berrotasi dari berbagai arah, yang
kemudian diproses melalui komputer dan menghasilkan
potongan-potongan gambar 2D yang sangat banyak, dan
gambar ini bisa dibentuk dari 3 proyeksi yang berbeda
sehingga dapat dibentuk ulang menjadi gambar 3D.
Gambar CT terdiri dari ribuan matriks persegi yang sangat
kecil, yang disebut pixels. Setiap pixels ini memiliki CT number
dari −1000 hingga +1000 dengan satuan Hounsfield units
(HUs), dinamakan sesuai penemu CT scanner pertama kali
yaitu Sir Godfrey Hounsfield (yang kemudian mendapat
penghargaan Nobel dalam bidang kesehatan pada tahun 1979
bersama Allan Cormack).
CT number ini akan bervariasi nilainya tergantung densitas
jaringan dan hal ini menunjukkan seberapa banyak sinar-X
yang terabsorbsi oleh jaringan tersebut. Semakin tinggi
densitas suatu jaringan maka sinar-X yang terabsorbsi akan
semakin tinggi sehingga memiliki CT number yang tinggi pula,
atau yang disebut dengan atenuasi yang tinggi, dan tampak
sebagai densitas yang lebih putih pada gambar. Sebaliknya
semakin rendah densitas maka sinar-X yang terabsorbsi akan
semakin rendah sehingga menghasilkan gambar dengan
atenuasi yang rendah, atau tampak lebih hitam.

PRINSIP KERJA USG


Ultrasonografi menggunakan probe/ transduser yang
memanfaatkan energi akustik dengan frekuensi tinggi yang
melebihi frekuensi yang bisa didengar manusia. Sonografi
tidak menggunakan x-rays seperti pada radiografi
konvensional dan CT scans.
Probe ultrasound menghasilkan sinyal ultrosonik dan
merekamnya. Sinyal ini kemudian diproses sesuai
karakteristiknya melalui komputer. Citra sonografi direkam
secara digital, dan dengan mudah disimpan ke dalam sistem
PACS (Picture Archiving, Communications, And Storage).
Citra yang dihasilkan dapat berupa gambar yang diam atau
bergerak.
Biaya pemeriksaan USG relatif tidak mahal jika dibandingkan
dengan CT dan MRI. USG juga tersedia pada hampir seluruh
tempat pelayanan kesehatan, serta dengan pesawatnya yang
portable memungkinkan untuk melakukan pemeriksaan pada
kasus-kasus emergency atau pada pasien yang non-
transferable.
USG relatif aman untuk anak dan ibu hamil, oleh karena tidak
menggunakan radiasi pengion.
USG juga sangat sering digunakan pada pencitraan medis,
dan merupakan modality of first choice pada kasus patologis
di pelvis wanita dan pasien pediatric.
(Herring, 2016)

PRINSIP KERJA MRI


MRI menggunakan energi potensial yang tersimpan dalam
atom hidrogen tubuh. Atom – atom ini dimanipulasi oleh
medan magnet dan pulsa radiofrekuensi yang sangat kuat
untuk menghasilkan gambaran 2 dan 3 dimensi yang sangat
spesifik melalui program komputer.
Penggunaan MRI tidak sebanyak CT, karena biayanya yang
relatif mahal dan waktu scanning yang tidak singkat.
Namun, keuntungan dari MRI adalah tidak digunakannya
radiasi pengion dan hasil gambar dengan kontras yang sangat
detil antara organ satu dengan lainnya.
MRI dengan varian sekuensenya, banyak digunakan pada
kasus neurologi karena sensitif untuk memvisualisasi jaringan
lunak seperti saraf, otot, tendon, dan ligamen.
(Herring, 2016)

PRINSIP KERJA KEDOKTERAN NUKLIR (NUCLEAR


MEDICINE)
Menggunkanan radioactive isotope (radioisotope) yang
merupakan bentuk tidak stabil dari elemen yang mengemisi
radiasi dari intina dan memancar. Namun, produk akhir yang
dihasilkan bersifat stabil, nonradioactive isotope of another
element. Radioisotopes bisa diproduksi secara artificial dan
alami. Radioisotope alamiah terdiri dari uranium dan thorium.
Kebanyakan yang dipakai dalam dunia kedokteran adalah
yang artificial.
(Herring, 2016)

BAB II
THORAKS
A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM
1. Mampu mengetahui dan mengerti foto thoraks dan bagian-
bagiannya yang harus diamati.
2. Mampu mengetahui jenis foto yang diminta sesuai dengan
gejala klinis (yang disertai hasil-hasil pemeriksaan fisik
dan laboratorium).
3. Mampu mengetahui expertise foto radiologis yang dibuat
dokter spesialis radiologi, sehingga bisa menganalisis
diagnosis penunjang radiologi dan tidak membuat
expertise.
4. Mampu menganalisis hubungan diagnosis klinis, hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium dan hasil expertise foto
radiologis.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mampu mengetahui penyebab opasitas di pulmo pada foto
thoraks.
2. Mampu mengetahui gambaran radiologis
bronkopneumonia.
3. Mampu mengetahui gambaran radiologis TB primer.
4. Mampu mengetahui gambaran radiologis dari TB post
primer.
5. Mampu mengetahui tanda-tanda radiologis pada Bronchitis
chronis.
6. Mampu mengetahui tanda-tanda radiologis Emphysema
pulmonum.
7. Mampu mengetahui gambaran radiologi atelectasis.
8. Mampu mengetahui gambaran efusi pleura.
9. Mampu mengetahui tanda-tanda radiologis pada
pneumothorax.
10. Mampu mengetahui gambaran radiologis Edema
pulmonum.
11. Mampu menjelaskan gambaran radiologis abscess
pulmonum.
12. Mampu membedakan gambaran radiologis antara
bronchiectasis dengan kista paru multipel.
13. Mampu mengetahui gambaran tumor paru.
14. Mampu mengetahui gambaran thymoma pada foto thoraks
PA dan lateral.
15. Mampu menyebutkan bentuk-bentuk metastase pulmonal.
16. Mampu memahami arah pembesaran masing-masing
ruang jantung pada foto PA dan LAT.
17. Mampu menyebutkan tanda-tanda radiologis dari HHD.
18. Mampu mengetahui gambaran radiologis vitrum mitralis.
19. Mampu mengetahui tanda–tanda radiologis Tetralogi
Fallot.


C. ALUR RADIODIAGNOSTIK

1. TB PARU
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran Radiologis
1) TB Paru primer
Gambaran radiologis Thorak :
a) Infiltrat (Area konsolidasi ® ghon focus)
b) Penebalan sistima aliran limfe
Limphadenopathy hilus
c) Effusi pleura

2) TB Paru Post Primer


a) Gambaran rontgen thorak :
- Sarang eksudatif : awan atau bercak,
densitas rendah, batas tak tegas
- Sarang produktif : butir-butir bulat kecil,
batas tegas densitas sedang
- Sarang induratif/ fibrotik, garis atau plat
tebal, densitas tinggi
- Kavitas (lubang)
- Sarang kapur (kalsifikasi)
b) Gambaran infiltrat, effusi pleura menunjukkan
proses aktif.
c) Gambaran fibrosis dan kalsifikasi
menunjukkan proses tenang, bila tampak
menetap saat dilakukan foto kontrol.
(Rasad S, 2005; Patel PR, 2007a; Weissleder R,
Wittenberg J, Harisinghani MG, Chen JW, 2007)

3) Penjelasan
TB paru dibagi menjadi :
a) TB Paru primer

TB primer terjadi karena infeksi
melalui inhalasi oleh mycobacterium TB,
biasanya pada anak-anak, gambaran
rontgen akibat penyakit dapat berlokasi di
mana-mana tetapi sarang dalam parenkim
paru sering disertai limfadenopati regional
(kompleks primer). Komplikasi yang mungkin
: pleuritis, atelektasis.
b) TB Paru Post primer
​ Bersifat kronis, biasa terjadi pada
orang dewasa. Saat ini pendapat umum
menyatakan bahwa TB post primer terjadi
karena timbulnya reaktivasi/ re-infeksi
seseorang yang pernah menderita TB primer
tetapi tidak diketahui dan sembuh sendiri.
Sarang-sarang biasanya di lapangan atas
dan segmen apical lobus bawah, biasa
disertal pleuritis, jarang disertai
limfadenopati.

Klasiflkasi Menurut American TB Association 2010 :


• TB minimal, kelainan tidak melebihi daerah yang
dibatasi median, apeks, dan iga 2 depan Kavitas
• TB lanjut sedang (moderately advanced TB), sarang
tidak Iebih I paru, bila ada kavitas kurang dari 4 cm.
Bila berupa konsolidasi tak lebih dari 1 lobus
• TB sangat lanjut (far advanced TB) bila lebih dari
kriteria B

Gambaran rontgent dapat berupa :


• Sarang eksudatif : awan atau bercak, densitas
rendah, bacas tak tegas
• Sarang produktif : butir-butir bulat kecil, batas tegas
densitas
o Sedang
• Sarang induratif atau fibrotik, garis tebal, densitas
tinggi
• Kavitas (lubang)
• Sarang kapur (kalsifikasi)
Sarang awan atau bercak serta kavitas biasanya
menunjukkan proses aktif sedangkan fibrosis dan
kalsifikasi biasanya menunjukan bahwa proses
telah tenang.
(McLoud and Boiselle. 2010; Rasad S, 2005, Patel PR,
2007a; Goodman PC, 2008)

4) Contoh Kasus

Seorang laki – laki umur 25 tahun, keluhan
panas malam hari, batuk berdahak bercampur
darah. Batuk sudah lebih dari 1 bulan, penderita
merasa berat badan semakin menurun. Pergi ke
dokter dan di beri pengantar untuk dilakukan foto
torak, hasil foto thoraks adalah TB Paru lesi
minimal.

Bagaimana gambaran radiologi pada TB Paru lesi


minimal ?
Jawab : bila didapatkan konsolidasi tidak melebihi
daerah yang dibatasi median, apeks, dan iga 2
depan, kavitas (-)

Apa bedanya dengan TB Paru lama?


Jawab : Bedanya dengan TB paru lama adalah
pada TB paru lama didapatkan gambaran fibrosis
dan kalsifikasi.
(Rasad S, 2005, Patel PR, 2007a; Goodman PC, 2008;
Grainger and Allison, 2008; Müller and Silva, 2008;
Herring, 2016; Harisinghani, Chen, 2011)
2. TUMOR PARU
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik dilengkapi dengan
CT Scan Thorak

b. Gambaran Radiologis
​ Plain foto : Perselubungan semiopaq, letak
bisa di perifer maupun disentral, bentuk bulat/loval,
bergelombang atau diffus, batas tegas atau tidak
tegas, dengan atau tanpa kalsifikasi, soliter atau
multipel, ukuran bisa kecil (<4 cm) atau besar (>
4cm), jika ganas bisa mengakibatkan atelektasis,
pembesaran hilus unilateral, emfisema lokal, effusi
pleura, destruksi tulang di sekitarnya.
(Kusumawidjaja K, 2005c; McLoud and Boiselle. 2010;
Patel PR, 2007a; Grainger and Allison, 2008; Müller and
Silva, 2008; Herring, 2016; Harisinghani, Chen, 2011)

3. BRONCHOPNEUMONIA
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran Radiologis
Gambaran radiologis bronchopneumonia Thorak:
1) bercak-barcak infiltrat
2) airbronchogram (+/ -)

c. Penjelasan
Pada foto thorak proyeksi PA posisi erect tampak:
1) Gambaran semiopak menyebar di lapangan paru
unilateral atau bilateral atau sebatas segmen
paru saja berbentuk bercak-bercak dengan
ukuran bervariasi dan batas tidak tegas.
2) Air bronkogram (+), yang merupakan gambaran
udara di sistema airway karena adanya infiltrat di
peribronkial
3) Batas jantung mengabur (silhoutte sign), apabila
ada infiltrat di parakardial
(Budjang N, 2005; McLoud and Boiselle. 2010; Patel PR,
2007a)

4. PNEUMONIA
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran Radiologis
Thorak :
Pneumonia lobaris : gambaran radioopak atau
konsolidasi yang melibatkan sebagian atau seluruh
lobus, air bronkogram (+)
Bronkopneumonia : gambaran konsolidasi multifokal
dapat bilateral.
Atypical pneumonia : opasitas heterogen focal
ataupun diffuse dapat berupa gambaran reticular
ataupun reticulonodular.
(Budjang N, 2005, Patel PR, 2007a; Goodman PC,
2008)

c. Penjelasan

Pneumonia adalah peradangan paru yang
dapat disebabkan oleh bakteri, virus, protozoa, jamur,
bahan kimia, lesi kanker dan radiasi ion.

24 jam pertama setelah terinfeksi biasanya
belum terlihat kelainan pada X Foto thoraks. Tapi
pada keadaan pneumonia lobaris akan terlihat
gambaran konsolidasi yang lebih cepat pada segmen
pulmonal.

d. Contoh Kasus

Seorang laki – laki usia 30 tahun bekerja
sebagai buruh bangunan, keluhan panas tinggi
mendadak, sesak, batuk, pergi ke dokter diberi
pengantar untuk foto thoraks. Hasil foto adalah
Pnemonia.

Ada berapa macam gambaran radiologi
Pnemonia, masing–masing gambaran radiologinya
bagaimana?
Jawab : Ada 3 macam yaitu :
pneumonia lobaris : gambaran radioopak atau
konsolidasi yang melibatkan sebagian atau seluruh
lobus, air bronkogram (+).
Bronkopneumonia : gambaran konsolidasi multifocal
dapat bilateral.
Atypical pneumonia : opasitas heterogen focal
ataupun diffuse dapat berupa gambaran reticular
ataupun reticulonodular.
(Budjang N, 2005, Patel PR, 2007a; Goodman PC, 2008;
Grainger and Allison, 2008; Müller and Silva, 2008;
Herring, 2016; Harisinghani, Chen, 2011)

5. BRONCHITIS
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran Radiologis
Bronkitis akut :
• Seringnya tidak menunjukkan kelainan pada foto
rontgen.
Bronkitis kronis :
• Ringan : corakan paru yang ramai di basal paru.
• Sedang : selain corakan yang ramai, emfisema (+)
kadang disertai bronkiektasis di parakardial
kanan-kiri.
• Berat : selain gambaran diatas disertai kelainan
corpulmonale sebagai komplikasi.

c. Penjelasan

Corakan bronkus tampak bertambah di basis
paru oleh penebalan dinding bronkus dan
peribronkus. Penyempitan airway akibat penebalan
dinding bronchus bisa menyebabkan airtrapping /
hiperinflasi, sehingga diafragma datar dan SIC
melebar.
(Budjang N, 2005; Herring, 2016)

6. BRONCHIECTASIS
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik.

b. Gambaran Radiologis
​Pada X Foto thoraks : tampak bulatan
translusens bergerombol menyerupai sarang lebah
(honey comb), tampak garis-garis translusen panjang
ke arah hilus disertai konsolidasi disekitarnya.

c. Penjelasan
​Bronkiektasis adalah suatu kelainan dimana
bronkus ataupun bronkiolus lebar karena hilangnya
elastisitas dinding bronchus yang disebabkan oleh
obstruksi dan peradangan kronis, atau dapat pula
disebabkan oleh kelainan kongenital yang dikenal
dengan sindrom Kartagener, yaitu sindrom yang terdiri
dari bronkiektasis, sinusitis dan dekstrokardia.
(Kusumawidjaja K, 2005a; Patel PR, 2007a)

d. Contoh Kasus
​Seorang laki–laki umur 75 tahun, riwayat perokok
berat, keluhan batuk lama, sesak. Pergi ke dokter
diberi pengantar untuk melakukan foto torak PA. hasil
dari foto toraknya adalah Bronkiektasis.
​Ada berapa macam gambaran radiologi
Bronkiektasis, bagaimana gambaran radiologinya?
Jawab: Gambaran radiologi Bronkiektasis ada dua
yaitu :
a) Bronkiektasis silindris: dilatasi bronkus yang terlihat
sebagai garis pararel (menggambarkan dinding
bronkus) yang menyebar dari hilus menuju
diafragma.
b) Bronkiektasis kistik: dilatasi terminal dapat
divisualisasi sebagai bayangan kistik atau cincin
(honey comb appearance) kadang disertai cairan
(air fluid level)
(Kusumawidjaja K, 2005a; Palmer, et.all. 1995; Patel
PR, 2007a)

7. PNEUMOTHORAX
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran Radiologis
Thoraks
1) Area lusen tanpa corakan vaskuler paru dengan
batas radioopak tipis pada lateral paru (pleural
line) berasal dari pleura visceral.
2) Bila pneumothorax luas maka akan didapatkan
gambaran kolaps paru ke arah hilus dan
pendorongan ke kontralateral.

c. Penjelasan
​Pneumothorax adalah kelainan yang terjadi
karena udara masuk dalam kavum pleura.
Berdasarkan penyebabnya dapat dibedakan menjadi :
1) Pneumothorax spontan : timbul sobekan subpleura
dan bulla sehingga udara saluran nafas masuk
kedalam kavum pleura.
2) Pneumothorax disengaja (artifisial) : karena tindakan
yang sengaja dilakukan dengan tujuan terapi
sehingga udara dari lingkungan masuk ke salam
kavum pleura.
3) Masuknya udara melalui mediastinum yang berasal
dari trauma pada trakea atau esophagus akibat
tindakan pemeriksaan dengan alat-alat
(endoskopi )atau benda asing tajam yang tertelan.
4) Udara berasal dari subdiafragma dengan adanya
robekan lambung akibat suatu trauma atau abses
subdiafragma dengan kuman pembentuk gas.
​Masuknya udara di cavum pleura
menyebabkan gambaran lusen menempel dinding
dada dengan batas medialnya adalah pleura visceralis,
sehingga gambaran lusen ini tampak tanpa corakan
vaskuler paru. Parenkim paru kolaps, tampak sebagai
gambaran semiopaq dengan batas tegas (pleura
visceralis) dan merupakan lobus segmen paru yang
kollaps.
(Kusumawidjaja K, 2005b; Patel PR, 2007a)
d. Contoh Kasus
​Seorang pemuda umur 21 tahun berkelahi dan
terdapat trauma pada daerah dada, keluhannya dada
terasa sakit, sesak yang semakin lama semakin
bertambah. Dibawa ke UGD dilakukan foto thoraks,
hasil dari foto thoraks adalah Pneumothorax.
​Gambaran radiologinya bagaimana?
Jawab: Area lusen tanpa corakan vaskuler paru
dengan batas radioopak tipis pada lateral paru (pleural
line), bila pneumothorax luas akan tampak gambaran
kolaps paru dengan pendesakan mediastinum ke
kontralateral.
(Kusumawidjaja K, 2005b; Patel PR, 2007a)

8. EFUSI PLEURA
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik
Bila perlu dapat ditambahkan posisi RLD atau USG
untuk menilai efusi yang masih relatif sedikit.

b. Gambaran Radiologis
Thorak : ​
1) Perselubungan homogen menutupi paru dengan
permukaan atas yang cekung
2) Penebalan fisura
3) Pergeseran mediastinum ke kontralateral bila efusi
masif.

c. Penjelasan

Efusi pleura merupakan suatu kumpulan cairan
pada ruang antara lapisan parietal dan visceral dari
pleura, biasanya berisi cairan serosa, namun juga
dapat mengandung bahan lainnya.
​Hematotoraks: darah, biasanya karena trauma.

Empiema : cairan purulent akibat perluasan
pneumonia atau abses.
​Chylotoraks : chylus akibat rupturnya duktus
torasikus atau sekunder akibat invasi keganasan.
​Hidropneumothorax : cairan dan udara.

Jumlah cairan minimal yang dapat terlihat pada
foto thorax tegak adalah 250 -300 ml. Bila cairan
kurang dari 250 ml (100 – 200 ml) dapat ditemukan
pengisian cairan pada sinus kostofrenikus posterior
pada foto thorax lateral tegak. Bila cairan kurang dari
100 ml (50- 100 ml) dapat diperlihatan dengan posisi
decubitus dengan arah sinar horizontal.
(Kusumawidjaja K, 2005b; Patel PR, 2007a)

d. Contoh Kasus

Seorang wanita umur 55 tahun, keluhan dada
sesak, batuk, didiagnosa Pleura Efusi, untuk
memastikan dilakukan pemeriksaan foto torak.

Posisi apa saja yang diperlukan ?
Jawab: X foto thoraks tegak, bila cairan kurang dari
250 ml (100-250 ml) diperlukan X Foto thoraks
proyeksi lateral tegak dan bila cairan kurang dari 100
ml diperlukan proyeksi lateral decubitus dengan sinar
horizontal.

Apa yang dimaksud dengan Pleura Efusi
Indeks?
Jawab: Pleural effusion index atau PEI adalah
pengukuran effusi pleura pada salah satu hemithorax
dengan X Foto thorax lateral decubitus. Rumusnya
sebagai berikut :

Keterangan :
A = Lebar efusi pleura
B = Lebar hemithorax
(Harwarini N, Kosim MS, Supriatna M, Istanti Y,
Sudijanto E, 2012 )
Gambar sebagai berikut :

Dikutip dari : Sathupan P, Kongphattanoyotin A,


Srirai J, Srikaew K, 2007.

9. ATELEKTASIS
a. Algoritme
Sama dengan algoritma umum.

b. Gambaran Radiologis
X foto thorax :
Tampak gambaran opak inhomogen pada lapangan
paru disertai dengan penarikan trakea kearah lesi.
Disertai pula fissure dan diafragma yang terangkat
serta sela iga sempit pada regio lesi.

c. Penjelasan

Atelektasis adalah pengurangan udara dalam
paru disertai pengurangan dari volume paru, disebut
juga dengan kolaps paru.
Beberapa atelektasis dikenal sebagai :
c) Atelektasis lobus bawah : bila terjadi lobus bawah
kiri maka akan tersembunyi di belakang bayangan
jantung dan pada foto thoraks PA hanya
memperlihatkan diafragma letak tinggi, karena itu
perlu foto thoraks proyeksi lateral.
d) Atelektasis lobaris tengah kanan. Sering
disebabkan peradangan atau penekanan bronkus
oleh kelenjar getah bening.
e) Atelelektasis lobaris : memberikan gambaran
densitas tinggi dengan tanda penarikan fissure
interlobalis ke atas dan trakea ke arah atelektasis.
f) Atelektasis segmental : kadang-kadang sulit dilihat
di foto proyeksi PA, maka perlu foto thoraks
proyeksi lateral atau obliq.
g) Atelektasis lobularis (plate like), terjadi bila
penyumbatan pada bronkus kecil untuk sebagian
segmen paru, maka akan terjadi bayangan
horisontal tipis, biasanya di lapangan bawah paru
sulit dibedakan dengan proses fibrosis. Dan
biasanya tidak ada keluhan pada pasien.
(Kusumawidjaja K, 2005a)

d. Contoh Kasus

Seorang anak tersedak makanan, keluhan
sesak pada paru kanan. Pada pemeriksaan perkusi
paru kanan pekak di lapangan atas, diperkirakan
sumbatan pada lobus superior paru kanan.

Bagaimana gambaran radiologinya?
Jawab : gambaran radiologis atelektasis adalah
Tampak gambaran opak inhomogen pada lapangan
atas paru kanan disertai dengan penarikan trakea
kearah kanan. Bisa disertai penarikan ke atas fissure
minor dan diafragma sisi kanan. Sela iga sempit pada
regio lesi.
(Kusumawidjaja K, 2005a)

10. EMFISEMA
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik.

b. Gambaran radiologi

X Foto thoraks : tampak gambaran banyangan
paru yang lebih radiolusen sehingga corakan jaringan
paru akan terlihat lebih jelas.
Diafragma letak rendah dan mendatar, diameter
thorak anteroposterior dan diameter vertikal lebih
lebar.

c. Penjelasan

Emfisema Paru adalah suatu keadaan dimana
paru lebih banyak terisi udara sehingga ukuran paru
bertambah, baik anterior-posterior maupun ukuran
secara vertical kearah diafragma.
Emfisema dibedakan menjadi :
1) Emfisema obstruktif, yang terdiri atas :
a) Akut
b) Kronis
c) Bullous.
2) Emfisema non-obstruktif, yang bersifat :
a) Kompensasi.
b) Senilis (postural)
(Kusumawidjaja K, 2005a; Müller and Silva, 2008; Herring,
2016; Harisinghani, Chen, 2011)

11. EDEMA PULMONUM


a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

b. Gambaran radiologis
Thorax :
Pada pemeriksaan foto thoraks :
1) Pada fase awal tampak adanya penonjolan
vascular pada lobus atas dan penyempitan
vascular pada daerah lobus bawah. Seiring
meningkatnya tekanan vena, terjadi edema
interstitial dan cairan kemudian berkumpul di
daerah interlobular dengan garis septal di bagian
perifer (Garis Kerley B).
2) Edema pulmonal alveolus.
Dengan semakin meningkatnya tekanan vena,
cairan melewati rongga alveolus dengan
kekaburan dan gambaran berkabut pada regio
perihiler, bila luas dan bilateral maka akan terlihat
gambaran “bat’s wing “

c. Penjelasan

Kelainan yang mendasari edema pulmonum
terbanyak adalah gagal jantung kongestif. Biasanya
karena ada gagal ventrikel kiri. Apabila terjadi gagal
jantung pada ventrikel kiri maka akan terjadi
penurunan cardiac output sehingga terjadi
peningkatan tekanan vena pulmonum à pelebaran
vascular.

Selain didasari oleh kelainan jantung, edema
pulmonum dapat juga noncardiac.

d. Contoh Kasus
​Seorang wanita umur 65 tahun sesak nafas
untuk berjalan jauh terengah–engah pergi ke dokter,
terdiagnosis banyak cairan di paru–paru dan
pembesaran jantung.
Gambaran radiologinya bagaimana?
Gambaran Edema pulmonum pada X Foto:
1) Pada fase awal tampak adanya penonjolan
vascular pada lobus atas dan penyempitan
vascular pada daerah lobus bawah. Seiring
meningkatnya tekanan vena, terjadi edema
interstitial dan cairan kemudian berkumpul di
daerah interlobular dengan garis septal di bagian
perifer (garis kerley B).
2) Edema pulmonal alveolus.
Dengan semakin meningkatnya tekanan vena,
cairan melewati rongga alveolus dengan
kekaburan dan gambaran berkabut pada regio
perihiler, bila luas dan bilateral maka akan terlihat
gambaran “bat’s wing”

Kardiomegali pada Foto thoraks PA dan LAT:

Pembesaran X Foto Proyeksi


X Foto Proyeksi PA
Ruang Jantung LAT
Ruang
Ventrikel kanan Apeks ke laterokranial Retrosternal
Sempit
Batas jantung kanan
Tak memberikan
melebar ke kanan, lebih
Atrium kanan gambaran yang
dari 1/3 hemithorax
khas.
kanan
Retrocardiac
Ventrikel kiri Apeks ke laterokaudal space distal
sempit.
Double contour,
Retrocardiac
penonjolan aurikel
Atrium kiri space bagian atas
atrium kiri, bronkus
sempit.
utama kiri terangkat.

Bagaimana cara mengukur besarnya jantung?


Jawab : diukur dengan CTR (Cardio-Thoracis Ratio)
pada X Foto thoraks proyekssi PA. Dengan rumus
sebagai berikut :

(Purwohusada SS, 2005; Patel PR, 2007b; Grainger and


Allison, 2008; Müller and Silva, 2008; Herring, 2016;
Harisinghani, Chen, 2011)
12. HIPERTENSI HEART DISEASE (HHD)
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik.

b. Gambaran Radiologis
1) Pembesaran ventrikel kiri dan membulat
2) Aortic knob prominen, pinggang jantung
menghilang.
3) Elongatio aorta.

c. Penjelasan

Peningkatan tahanan perifer diikuti tekanan
yang berlebihan dari ventrikel kiri akan
mengakibatkan terjadinya hipertrofi konsentris
ventrikel kiri. Jika berlangsung terus menerus akan
berakibat penyaluran energi yang tidak adekuat.
Pembesaran otot otot jantung tanpa peningkatan
vaskularisasi mnyebabkan penyaluran ateri ke
miokard menurun cepat. Hal ini berhubungan dengan
terjadinya perluasan arterisklerosis. Kontraktilitas
yang lambat dari miokard yang terus menerus
menurun diikuti peningkatan volume akhir diastolik
sehingga terjadi hipertrofi dan dilatasi ventrikel kiri.

Pada foto rontgent diawali dengan
pembesaran jantung ke kiri dan apeks cordis terlihat
membulat.
​ Pada akhirnya pembesaran ukuran jantung
tidak hanya longitudinal tetapi juga transversal dan
terjadi tipe pembesaran vantrikel. Aorta selalu dilatasi
kecuali pada usia muda dan sering memperlihatkan
tanda arterosklerosis. Akhir fase dari HHD ditandai
secara karakteristik oleh kegagalan ventrikel kiri yang
secara radiografis terlihat mitralisasi ringan yaitu
pembesaranAtrium kiri, kongesti pulmoner dan
dilatasi ventrikel kiri. Sering dengan pericardial
effusion.
(Purwohusada SS, 2005; Patel PR, 2007b; Grainger and
Allison, 2008; Müller and Silva, 2008; Herring, 2016;
Harisinghani, Chen, 2011)

13. SESAK NAFAS


a. Alur Radiodiagnostik Kasus

​ ​ ​

(Patel PR, 2007b) ​


b. Gambaran Radiologis
1) Corpus Alienum
a) Air trapping pada obstruksi mekanisme valve
check
b) Atelektasis pada obstruksi total.
c) Streaky appearance.
2) Kelainan Jantung
a) Pembesaran atrium kanan
PA ​: batas kanan jantung melebar.
Lat ​: -
b) Pembesaran atrium kiri
PA ​: double contour.
​Pembesaran auriculum atrium kiri .
​Elevasi main bronchus kiri.
​Lat :​ main bronchus kiri bergeser ke
belakang.

Aorta descendens bergeser ke kiri
belakang.
c) Pembesaran ventrikel kanan.
PA ​: ​
apeks cordis bergeser ke
laterocranial.
Lat ​ : ​
retrosternal ​ space
menyempit.
d) Pembesaran ventrikel kiri.
PA​ : ​ ​apeks cordis bergeser
ke laterocaudal.
Lat : ​ ​
retrocardial space sempit.
(Purwohusada SS, 2005; Patel PR, 2007b)

14. KELAINAN JANTUNG


a. Tetralogi Fallot
Terdiri dari :
• VSD
• Hypertrophy ventrikel kanan
• Stenosis pulmonalis
• Transposisi aorta
1) Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik

2) Gambaran Radiologis
Thorak:
a) Bentuk jantung seperti sepatu (couer en sabot)
b) Bila aorta berbelok ke sebelah kanan maka
aorta ascenden terletak di sebelah kanan
columna vertebralis (transposisi).
c) Pinggang jantung dalam
d) Ventrikel melebar ke kiri, apeks terangkat
e) Vascular paru berkurang.
3) Penjelasan
Tetralogi Fallot terdiri dari :
a) Stenosis pulmonalis : stenosis pulmonalis dapat
bersifat valvular, infundibulum atau kombinasi
keduanya. Semua itu dapat terlihat jelas
dengan echocardiografi.
b) Ventrikel Septal Defect ( VSD ) : lumen VSD
kadang-kadang dapat terlihat jelas pada
angiografi.
c) Semitransposisi aorta: posisi aorta dapat dilihat
dari posisi septum. Septum tampak sebagai
bayangan hitam antara ventrikel kanan-kiri.
Semitransposisi aorta akan tampak dari posisi
aorta yang pangkalnya sebagian berada di
ventrikel kiri dan sebagian berada di ventrikel
kanan, kelainan ini dapat terlihat dengan
angiografi. Kelainan letak arcus yaitu aorta
dekstra (right side aorta) juga dapat terlihat
dengan angiografi.
d) Hipertrofi ventrikel kanan : ventrikel mengalami
dilatasi dapat terlihat dengan proyeksi lateral.

b. Kelainan jantung didapat


1) Alur Radiodiagnostik Kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik
a) Stenosis mitral
(1) Gambaran Radiologis
Thorak PA :
• Penonjolan arteri pulmonalis.
• Penonjolan aurikel atrium kiri.
• Aorta relatif kecil.
• Apeks jantung menonjol ke kiri tetapi
masih di atas diafragma kiri.
Foto lateral :
• Pembesaran ventrikel kanan/
retrocardiac space sempit.
• Dilatasi atrium kiri.
• Ventrikel kiri masih normal, ruang
retrocardiac tak sempit.
(2) Penjelasan
Penyakit infeksi oleh coccus menimbulkan
parut yang menyebabkan menyempitkan
orifisium katup mitral. Penyempitan yang
berat dengan diameter sekitar 1 cm atau
kurang, menyebabkan hambatan bagi
darah yang mengalir dari paru melalui
vena pulmonalis. Vena-vena ini akan lebar
dan pada foto akan terlihat sebagai
pembuluh darah yang lebar dan pendek di
atas hilus dengan arah ke atas. Tekanan
atrium dan vena pulmonalis akan
bertambah tinggi keadaan ini disebut
dengan hipertensi pulmonum.

b) Insufiensi mitral (regurgitasi mitral)


(1) Gambaran Radiologis
X Foto Thoraks PA : jantung membesar ke
kiri dan ke kanan. Vaskuler paru melebar,
bayangan suram parahilar.
X Foto Thoraks LAT: pembesaran ventrikel
kanan dan ventrikel kiri, atrium kiri
membesar, aorta kecil, arteri pulmonalis
menonjol.
(2) Penjelasan
Pada insufiensi mitral katup mitral tidak
dapat menutup dengan sempurna.
Hal ini disebabkan:
• Otot papilaris lemah karena meradang.
• Otot papilaris putus karena trauma.
• Karena prolaps katup.
• Karena cincin katup melebar mengikuti
dilatasi atrium kiri atau ventrikel kiri.

c) Insufiensi aorta (regurgitasi aorta)


(1) Gambaran Radiologis
X Foto Thoraks PA : jantung membesar ke
kiri. Ventrikel kiri membesar. Aorta
melebar. Dapat disertai gambaran vascular
paru lebar dan terbendung.
X Foto Thoraks LAT : ventrikel kiri
membesar, aorta lebar, atrium kiri dilatasi,
ventrikel kanan membesar.
(2) Penjelasan
Pada insufiensi aorta, katup aorta tidak
dapat menutup dengan sempurna.
Penyebabnya banyak sekali, antara lain
radang rheuma, radang banal/ sifilis dan
cincin katup melebar karena dilatasi
ventrikel kiri.

d) Stenosis aorta
(1) Gambaran Radiologis
Pada X Foto thoraks PA dan LAT akan
terlihat aorta asenden yang lebar.
(2) Penjelasan
Stenosis katup aorta menyebabkan
terjadinya dilatasi pascastenotik pada
aorta asendens. Aorta asendens tidak
berubah, tetapi kadang-kadang menjadi
lebih kecil dari normal.
(Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016;
Harisinghani, Chen, 2011; Purwohudoyo SS, 2005;
Sadler, 2012; Webb and Charles. 2011.)
BAB III
TULANG

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


1. Mampu mengetahui dan mengerti foto tulang dan bagian-
bagiannya yang harus diamati.
2. Mampu mengetahui jenis foto yang diminta sesuai keadaan
klinik yang disertai hasil-hasil pemeriksaan fisik dan
laboratorium.
3. Mampu mengetahui ekspertise foto radiologis yang dibuat
dokter spesialis radiologi, sehingga bisa menganalisis
diagnosis penunjang radiologi dan tidak membuat
ekspertise.
4. Mampu menganalisa hubungan klinis, hasil pemeriksaan
fisik, laboratorium dan hasil ekspertise foto radiologis.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


1. Mampu mengetahui macam-macam proyeksi x foto cranium
dan sinus paranasalis.
2. Mampu mendiskripsikan tipe fraktur pada tulang cranium
3. Mampu mengetahui tanda-tanda kenaikan tekanan
intracranial pada foto cranium.
4. Mampu mengetahui tanda-tanda Smith fracture.
5. Mampu mengetahui masing-masing type fracture corpus
vertebra.
6. Mampu mengetahui tanda-tanda spondilosis .
7. Mampu mengetahui tanda-tanda spondilolisthesis.
8. Mampu mengetahui tanda-tanda spondilitis.
9. Mampu mengetahui tanda-tanda osteomyelitis.
10. Mampu mengetahui gambaran chondrosarcoma.
11. Mampu mengetahui tanda-tanda osteosarcoma.

C. ALUR RADIODIAGNOSTIK KASUS TULANG


(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006; Greenspan and
Steinbach, 2011; Herring, 2016)

1. Fraktur Tulang Kepala


a. Alur Radiodiagnostik kasus

(Patel PR, 2007)

b. Gambaran Radiologis
1) Foto Polos :
Fraktur akan terlihat sebagai :
a) Linier ​
: garis lusen yang berbatas tajam
tanpa disertai tepi sklerotik.
b) Impresi ​
: fragmen fraktur terdorong ke
dalam dengan lapisan dalamnya mengalami
penekanan yang lebih besar dibandingkan
ketebalan kubah kranial.
c) Diastasis ​
: lebih sering terlihat pada
anak-anak dan terlihat sebagai pelebaran
sutura.
d) Fraktur basis cranii : sering sulit dinilai. Pada
foto proyeksi lateral dengan sinar horizontal
tampak bayangan cairan (air fluid level) dalam
sinus sphenoid menunjukkan adanya fraktur
basis cranium.
2) CT Scan ​
: selain melihat gambaran fraktur
dapat melihat brain defect bisa berupa edema
cerebri, epidural hematorna (EDH), sub dural
hematoma (SDH), subarachnoid hematoma (SAH),
Intracerebral hematoma (ICH), dan intra ventricular
hematoma (IVH).

c. Penjelasan

Terputusnya kontinuitas tulang kepala secara
parsial maupun secara total. Dapat diakibatkan oleh
trauma tumpul ataupun tajam. Gambaran terputusnya
jaringan tulang pada foto berupa gambaran garis
lusen pada tulang.

Pada trauma kepala, regangan yang kuat
pada tulang tidak mampu untuk diatasi oleh tulang
sehingga ada bagian tulang yang mengalami retakan.
Trauma kepala yang menyebabkan fraktur tulang
kepala biasanya juga menimbulkan tanda-tanda
radang lokal disekitarnya.
(Ekayuda I, 2005a, Patel PR, 2007; Greenspan and
Steinbach, 2011; Herring, 2016)

2. FRARTUR TULANG EKSTREMITAS


a. Alur Radiodiagnostik kasus

(Patel PR, 2007)

b. Gambaran Radiologis
1) Fraktur Tulang Ekstremitas
Tampak soft tissue swelling, dengan dan tanpa
dislokasi.
Tampak discontinuitas komplet maupun inkomplet
pada corteks .
Tampak discontinuitas komplet maupun inkomplet
pada epiflseal line.
2) Dislokasi atau Subluksasi
Dislokasi : terlepasnya persendian / displace.
Subluksasi : pergeseran persendian sebagian.

c. Penjelasan
​Hal-hal yang harus diperhatikan pada
pemeriksaan foto rontgen adalah :
1) Adakah fraktur, dimana lokasinya?
2) Tipe (jenis) fraktur dan kedudukan fragmen.
3) Bagaimana struktur tulang? Normal? Patologik?
4) Bila dekat persendian : adakah dislokasi ataupun
fraktur epifisis?
​Berdasarkan lokasi, bentuk, angulasi, aposisi,
maka fraktur ekstremitas mempunyai nama yang
spesifik, antara lain Colles, Smith, Montegia, dan
Shalter-Harris. Fraktur tulang bisa melibatkan
pembuluh darah maupun saraf yang dapat
menimbulkan komplikasi yang fatal. Proses
penyembuhan bisa disertai komplikasi berupa
deformitas, osteomyelitis dan nekrosis avaskuler,
maupun gangguan fungsi.

Dislokasi disebut juga dengan luksasi atau
displace persendian.

Fraktur ekstremitas kadang disertai dengan
dislokasi atapun subluksasi.
(Ekayuda I, 2005a; Patel PR, 2007; Greenspan and
Steinbach, 2011; Herring, 2016)

d. Contoh Kasus
​Seorang pemuda naik sepeda motor tiba–tiba
muncul hewan menyeberang jalan, karena tidak bisa
menghindari maka terjadi kecelakaan. Saat berusaha
berdiri, kaki kanan tidak bisa berdiri terutama pada
femur sakit, bengkak dan menonjol.
​Pemeriksaan radiologi apa dan posisioningnya
apa untuk memastikan diagnosa tersebut?
Bila terjadi fraktur, bagaimana gambaran
radiologinya?
Jawab : Pemeriksaan radiologi yang diperlukan X
Foto Femur dekstra proyeksi AP-LAT.
​Bila terjadi fraktur maka akan terlihat
gambaran discontinuitas os. Femur dekstra bisa di
1/3 atas, 1/3 tengah atau 1/3 distal. Diliat juga
bagaimana kedudukan fragmen fraktur dan tipe
frakturnya. Selain itu dinilai apakah ada dislokasi.
Tampak soft tissue swelling pada regio femur dekstra.
(Ekayuda I, 2005a; Patel PR, 2007)

3. FRAKTUR TULANG VERTEBRA


a. FRAKTUR CORPUS VERTEBRA
1) Alur Radiodiagnostik kasus

(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006;


Greenspan and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

2) Gambaran Radiologis

Tampak soft tissue swelling, dengan atau
tampak listesis.
Tampak discontinuitas complete
maupun incomplete pada corpus vertebra.

3) Penjelasan
​Fraktur corpus vertebra memiliki nama
spesifik yaitu fraktur kompresi. Fraktur vertebra
bisa melibatkan pembuluh darah, saraf ataupun
medulla spinalis yang dapat menimbulkan
komplikasi fatal
(Ekayuda, 2005a; Greenspan and Steinbach,
2011; Herring, 2016)

b. SPONDILOLISTHESIS
1) Alur Radiodiagnostik Kasus
(Weissler R, Wittenberg J, Harisinghani MG,
Chen JW, 2007)

2) Gambaran Radiologis
​Foto Vertebra AP-LAT: aligment vertebra
mengalami perubahan, tampak corpus vertebra
lebih ke anterior dari corpus dibagian distalnya

3) Penjelasan
​Spondilolisthesis adalah kelainan vertebra
ditandai dengan corpus vertebra lebih keanterior
dari corpus dibagian distalnya
Grade spondilolisthesis dinilai dari presentase
pergesaran vertebra terhadap vertebra di bagian
distalnya menurut meyerding dibagi menjadi :
Grade 1 : < 25 %
Grade 2 : 50 %
Grade 3 : 75 %
Grade 4 : 100 %
(Weissler R, Wittenberg J, Harisinghani MG,
Chen JW, 2007; Greenspan and Steinbach, 2011;
Herring, 2016)

4. KELAINAN DEGENERATIF
a. SPONDILOSIS
1) Alur Radiodiagnostik kasus

(Zawadzki MB, Chen MZ, Moore KR, Salzman


KL, Osborn AG, 2002a)

2) Gambaran Radiologis
​Foto vertebra AP-LAT –Obliq : tampak
osteofit pada corpus vertebra, penyempitan
discus ataupun foramen intervertebralis.
CT SCAN : melihat lebih detail vertebra dan
dapat melihat dengan jelas adanya spinal
stenosis.
MRI : melihat lebih detail vertebra, dapat
menentukan grading dari HNP. Adanya degenatif
discus, penebalan ligamentum, nervus, facet joint
dapat terlihat jelas.
(Greenspan and Steinbach, 2011; Herring, 2016).

3) Penjelasan
​Spondylosis adalah proses digeneratif
pada vertebra seperti osteoarthritis dan degeratif
discus intervertebralis.
Spondilosis dapat terjadi pada semua level
vertebra (cervical, thorakal ataupun lumbal).
(Zawadzki MB, Chen MZ, Moore KR, Salzman
KL, Osborn AG, 2002a; Greenspan and
Steinbach, 2011; Herring, 2016)

4) Contoh Kasus
​Seorang wanita umur 65 tahun jatuh dari
kursi dengan posisi duduk. Pada saat berdiri
terasa nyeri pada pinggul yang disalurkan ke
kaki, nyeri sekali pada saat digerakkan.

Kemungkinan terjadi fraktur Kompresi
pada vertebral lumbal 1.

Foto radiologi apa yang diperlukan, dan
bagaimana posisinya?
Jawab : Foto yang diperlukan X Foto vertebra
lumbosacral proyeksi AP-LAT.
​Bagaimana gambaran radiologi pada
fraktur kompresi, spondilosis dan
spondylolistesis?
Jawab :
- Fraktur kompresi : tampak corpus vertebra yang
pipih bentuk wedging.
- Spondilolisis : defek pada pars interartikularis
vertebra.
- Spondilolisthesis : pergeseran corpus vertebra
ke anterior dari corpus vertebra di distalnya.
(Weissler R, Wittenberg J, Harisinghani MG,
Chen JW, 2007).

5. INFEKSI
a. SPONDILITIS TB
1) Alur Radiodiagnostik Kasus

(Zawadzki MB, Chen MZ, Moore KR, Salzman


KL, Osborn AG, 2002b; Greenspan and
Steinbach, 2011; Herring, 2016)

2) Gambaran Radiologi
​Foto vertebra AP-LAT: destruksi corpus
vertebra, sclerosis diffuse, penyempitan discus
intervertebralis, dapat melewati discus. CT
SCAN: destruksi vertebra diawali dari corpus
anterior, fragmented, pada stage yang lanjut
melibatkan os. Costa, kalsifikasi paravertebral
mass.
MRI: merupakan modalitas yang sensitif untuk
mendeteksi infeksi.
(Greenspan and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

3) Penjelasan

Spondylitis tuberculosis adalah infeksi
tuberculosis pada spine.Nama lainnya adalah
Pott’s disease. Perbedaan dengan Spondilitis
pyogenic : kelainan awal di subkondral meluas ke
endplate, sering melibatkan elemen posterior
(Zawadzki MB, Chen MZ, Moore KR, Salzman
KL, Osborn AG, 2002b)

b. OSTEOMYELITIS
1) Alur Radiodiagnostik kasus

(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006;


(Greenspan and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

2) Gambaran Radiologis
a) Osteomyelitis akut :
Pada X Foto :
- Awal pemeriksaan kadang tampak normal
(sekitar 7-10 haripertama).
- Tampak soft tissue swelling pada region
metafise( harike- 3 sampai 10).
- Tampak destruksi tulang pada setelah hari
ke 7 sampai 14.
CT SCAN : Mendeteksi massa jaringan
lunak dan sequestra yang disebabkan
oleh penyakit ini.
MRI ​
: Suatu modalitas yang
sensitif dalam menilai proses infeksi.
b) Osteomyelitis kronis

X Foto :Tulang tampak tebal dan
sklerotik dengan destruksi radiolusen
dibagian tengah, yang sering disertai sinus
drainase yang kronis. Dapat terbentuk abses
dengan tepi sklerotik kadang mengandung
sequestrum (abses brodie).
(Greenspan and Steinbach, 2011; Herring,
2016)

a) Penjelasan
​Osteomyelitis adalah infeksi tulang dan
sumsum tulang. Penyebab terbanyak adalah
bakteri dan microbacterial.
Berdasarkan durasinya dibagi menjadi akut,
subacut dan kronik.
(Patel PR, 2007; Greenspan and Steinbach,
2011; Herring, 2016)

6. FRAKTUR COSTA
a. Alur Radiodiagnostik kasus
(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006)

b. Gambaran Radiologis
Tampak diskontinuitas jaringan dan tulang costa.

c. Penjelasan
Kemungkinan dapat disertai dengan kontusio
pulmonum, pneumothorak atau hematothorak
(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006; Greenspan
and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

7. TUMOR TULANG
a. Osteosarkoma
1) Alur Radiodiagnostik kasus

(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006)

2) Gambaran Radiologis
Foto Polos :
- Destruksi medulla yang irregular
- Reaksi periosteal
- Destruksi kortikal
- Massa jaringan lunak

3) Penjelasan
Osteosarkoma ditandai dengan destruksi yang
berawal dari medulla dan terlihat sebagai daerah
radiolusen dengan batas yang tidak tegas. Pada
stadium yang masih dini terlihat reaksi periosteal
yang gambarannya dapat lamelar atau seperti
garis-garis tegak lurus (sunray appearance).
Dengan besarnya tumor, selain korteks juga
tulang subperiosteal akan dirusak oleh tumor
yang meluas keluar tulang. Dari reaksi periosteal
hanya sisanya yaitu pada tepi yang masih dapat
dilihat, berbentuk segitiga yang disebut dengan
segitiga Codman. Pada stadium dini kelainan ini
sulit dibedakan dengan osteomyelitis.
(Ekayuda I, 2005b; Patel PR, 2007; Greenspan
and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

b. Osteokondroma
1. Alur Radiodiagnostik kasus

(Eastman GW, Wald C, Crossin J, 2006)

2. Gambaran Radiologis

Tampak gambaran penonjolan tulang,
inhomogen (opak dan lusen) di tepi metafisis,
bentuk seperti bunga kol (opak sebagai batang
dan lusen sebagai bunga), jumlah single.
Keistimewaan gambaran lesi seperti bunga kol
(Cauli Flower), bercak-bercak opak yang
merupakan kalsifikasi kondral dan menjauh dari
sendi terdekat.

3. Penjelasan
​Merupakan tumor jinak yang paling
sering, yang mengandung tulang dan kartilago,
seringkali pada tangkai tulang dengan ujung
distal bulbosa yang luas. Tumor sering ditemukan
tumbuh menjahui sendi, lokasi yang paling sering
adalah daerah metafisis pada femur bagian
bawah dan tibia bagian atas.
​Osteokondroma multiple herediter terjadi
pada aklasia diafisis dimana terdapat resiko
transformasi keganasan menjadi kondrosarkoma.
(Ekayuda I, 2005; Patel PR, 2007; Greenspan
and Steinbach, 2011; Herring, 2016)

BAB IV
UROGENITAL

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


1. Mampu mengetahui dan mengerti foto urogenital dan
bagian-bagiannya yang harus diamati
2. Mampu mengetahui jenis foto yang diminta sesuai keadaan
klinis yang disertai hasil-hasil pemeriksaan fisik dan
laboratorium.
3. Mampu mengetahui expertise foto radiologis yang dibuat
dokter spesialis radiologi, sehingga bisa menganalisis
diagnosis penunjang radiologi dan tidak membuat
expertise.
4. Mampu menganalisis hubungan diagnosis klinis, hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium dan hasil expertise foto
radiologis.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

1. Mampu mengetahui gambaran khas urolithiasis pada foto


polos abdomen.
2. Mampu mengetahui tanda-tanda tuberculosa renal pada
foto abdomen.
3. Mampu mamahami langkah-langkah pelaksanaan
pemeriksaan IVP.
4. Mampu mengetahui gambaran pyelonefritis chronis pada
IVP.
5. Mampu mengetahui gambaran USG nephrolithiasis dan
hidronefrosis.
6. Mampu mengetahui macam-macam pemeriksaan radiologi
untuk menilai kelainan di uretra.
7. Mampu mengetahui tanda-tanda salphyngitis kronik pada
HSG.
8. Mampu mengetahui gambaran hydrosalphing pada HSG.

C. ALUR RADIODIAGNOSTIK KASUS UROGENITAL


(Adler and Carlton 2012; Conder, 2009; Fox, 2008; Cowan
, 2008; Patel PR, 2007)

1. BATU SALURAN KEMIH


a. Alur Radiodiagnostik kasus
Sama dengan alur radiodiagnostik kasus urogenital.

b. Gambaran Radiologis
1) Plain foto
90 % memberikan gambaran radioopak bisa
lonjong atau staghorn.
Letak bisa di regio ginjal, uretur, VU, uretra.
2) IVP
• Dapat menentukan letak batu radioopak/
radiolusen.
• Memberikan gambaran defek pengisian.
• Batu ureter : memberikan gambaran dilatasi
pelvicalyces dengan berbagai derajat variasi
dan dilatasi ureter sampai seringgi batu.
• Vesikolithiasis : akan memberikan defek
pengisian di vesika urinaria.
3) USG
• Batu akan memberikan gambaran hiperekoik
dengan akustik.
shadow. Batu kurang dari 3 mm kadang sulit
terlihat.
2. Dapat memperlihatkan dilatasi dari
pelvicalyces dan ureter.

c. Penjelasan
​ Jenis batu yang ditemukan dalam traktus
urinarius umumnya adalah kalsium oksalat. Fosfat,
tripel fosfat, asam urat atau sistin. Pada umumnya
akan memberikan gambaran radioopak kecuali batu
asam urat.

Yang perlu diperhatikan dalam menilai batu
saluran kemih adalah ukuran, jumlah dan lokasinya.
(Conder, 2009; Fox, 2008; Patel PR, 2007;
Weissleder R, Wittenberg J, Harisinghani MG, Chen
JW,2008).
2. TRAUMA GINJAL ​
a. Alur Radiodiagnostik Kasus

(Mirvis SE, Shanmuganathan K, 2008 )

b. Gambaran Radiologis
1) USG : kadang dapat memperlihatkan laserasi.
Selain intu dapat memperlihatkan cairan bebas
intraabdomen.
2) One-shot IVP : memperlihatkan adanya delayed
function dengan atau tanpa disertai ekstravasasi
kontras dan deformitas sIstem pielokalik.
3) CT Scan : pemeriksaan penunjang terpilih untuk
menilai trauma ginjal sehingga dapat ditentukan
gradingnya.

c. Penjelasan
​ Penentuan pemeriksaan radiologi pada kasus
trauma ginjal perlu dipikirkan pula kestabilan dari
pasien. Meskipun CT Scan adalah pemeriksaan
terpilih, bila pasien tidak stabil maka tidak dianjurkan
untuk dilakukan CT Scan,

Grading trauma ginjal berdasarkan AAST
(American Association for The Surgery of Trauma ),
sebagai berikut :
Grade I ​
: ​
kontusio renal atau hematom
subkapsular dengan infark kapsul.
Grade II : ​ ​
Laserasi kortikal superfisial,
yang tidak melibatkan medulla renal
ataupun sistem pielokalik.
Grade III ​
: ​
Laserasi dalam dengan atau
tanpa ekstravasasi urine.
Grade IV : ​ ​
laserasi dengan perluasan
ke system pielokalik disertai
ekstravasasi urine.
Grade V : ​ ​
Shatered kidney, trauma
pada pedikel ginjal dan devascularisasi
kidney.
(Conder, 2009; Fox, 2008; Gondo dan Suwardewa,
2012; Mirvis SE, Shanmuganathan K, 2008)

3. TUMOR GINJAL
a. Alur Radiodiagnostik Kasus

b. Gambaran Radiologis
1) FPA (Foto Polos Abdomen) : tampak adanya
pembesaran kontur ginjal kadang disertai
kalsifikasi dan mendesak usus ke anteroinferior.
2) IVP : dapat memperlihatkan massa jaringan lunak
yang menyebabkan penonjolan pada batas luar
ginjal, pembesaran ginjal dan irregularitas
pelvicalyces. Tumor yang besar dapat
menyebabkan ginjal sama sekali tidak berfungsi.
3) USG : dapat membedakan massa padat ataupun
kistik.
4) CT atau MRI : berguna untuk staging untuk
menentukan kalsifikasi, ukuran dan densitas
massa, invasi jaringan perinefrik, invasi kedalam
vena renalis dan vena cava inferior serta
pembesaran kelenjar getah bening.

c. Penjelasan

Berbagai pemeriksaan telah tersedia seperti
FPA, USG, IVP, CT dan MRI untuk membantu
mendiagnosa tumor ginjal. Dengan USG, CT ataupun
MRI dapat lebih spesifik menentukan jenis densitas
massa.
Diagnosa banding yang perlu dipikirkan antara lain :
1) Nonkeganasan : kista ginjal, massa inflamasi,
hematoma.
2) Tumor jinak : adenoma, hemangioma,
angiomiolipoma.
3) Tumor ganas : karsinoma sel ginjal, karsinoma sel
transisional, tumor Wilms (nefroblastoma)

4. TUMOR KANDUNG KEMIH


a. Alur Radiodiagnostik kasus

(Conder, 2009; Fox, 2008; Hanson III, 2009; Miller, 2012; Patel
PR, 2007)

b. Gambaran Radiologi
1) FPA : tampak ada perselubungan semioopak di
cavum pelvis, kadang disertai kalsifikasi.
2) USG : lesi isoekoik di dinding vesika urinaria
berbatas irregular.
3) Cystografi : tampak filling defect yang menetap dari
berbagai posisi.
4) CT/ MRI : bermanfaat dalam penilainan praoperatif
terhadap penyebaran intramural dan ektramural,
invasi lokal pembesaran kelenjar limfa dan
metastase.

c. Penjelasan

Sistoskopi harus dilakukan pada setiap pasien
dengan hematuria. Selain pemeriksaan FPA dan USG
juga dilakukan untuk menilai saluran kemih bagian
atas terhadap :
1) derajat obstruksi.
2) keadaan ureter.
3) fungsi ginjal.
4) identifikasi lesi-lesi lain sebagai karsinoma sel
transtitional yang sering bersifat multifocal.
(Budjang N, 2005; Patel PR, 2007).

5. KELAINAN DI URETRA
a. URETROLITHIASIS
1) Alur Radiodiagnostik Kasus

(Chang SD, Hricak H,2008)

2) Gambaran radiologis
Foto Polos : tampak lesi radioopak pada regio
os. Pubis atau di regio penis.
Uretrocystografi : tampak gambaran “filling defect
“ pada uretra (uretra pars anterior atau uretra
pars posterior).

3) Penjelasan
Uretrolithiasis yang dapat dilihat pada foto polos
adalah uretrolith radioopak. Bila dicurigai adanya
batu radiolusen dapat dilakukan pemeriksaan
uretrocystografi. Selain itu pemeriksaan
uretrocystografi dapat memastikan letak
uretrolithiasis.
(Chang SD, Hricak H,2008)

b. STRIKTUR URETRA
1) Alur Radiodiagnostik Kasus


(Chang SD, Hricak H,2008)

2) Gambaran radiologis
​Foto Polos : tak tampak kelainan.
Bipolar uretrocystografi : tampak gambaran uretra
yang tak terisi kontras, panjang striktur dapat
diukur.
​Uretrocystografi retrograde : tampak
gambaran uretra yang tak terisi kontras, tak
tampak pengisian kontras ke dalam vesika
urinaria.

3) Penjelasan
​ Striktur uretra adalah penyempitan uretra
yang biasanya disebabkan post trauma atau post
infeksi.
(Chang SD, Hricak H,2008)

4) Contoh Kasus
a) Seorang laki – laki nyeri pada pinggang kanan,
saat kencing warna air kencing merah.
Dibawa ke dokter diduga batu pada ginjal
kanan.
Urutan pemeriksaan radiologi apa saja yang
diperlukan?
Jawab : FPA : bila didapatkan batu radioopak
dan ingin mengetahui letak serta tanda
obstruksi dilanjutkan IVP
Bila FPA tidak tampak batu radioopak
dilanjutkan USG.
(Patel PR, 2007; Weissleder R, Wittenberg J,
Harisinghani MG, Chen JW,2008)

b) Seorang laki –laki umur 25 tahun, mengalami


kecelakaan trauma pada pelvis, nyeri saat
kencing, kencingnya sulit, kencing keluar
darah. Diduga stiktur uretra.
Pemeriksaan radiologi apa saja yang
kemungkinan dilakukan?
Jawab : Pemeriksaan ureterocystografi.
bila ingin mengetahui panjang kelainan pada
uretra, pemeriksaan radiologi apa yang
diperlukan?
Jawab : bipolar uretrocystografi.
(Chang SD, Hricak H,2008)
BAB V
GASTROINTESTINAL

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

1. Mampu mengetahui dan mengerti foto gastrointestinal dan


bagian-bagiannya yang harus diamati.
2. Mampu mengetahui jenis foto yang diminta sesuai keadaan
klinis yang disertai hasil-hasil pemeriksaan fisik dan
laboratorium.
3. Mampu mengetahui expertise foto radiologis yang dibuat
dokter spesralis radiologi, sehingga bisa menganalisis
diagnosis penunjang radiologi dan tidak membuat
expertise.
4. Mampu menganalisis hubungan diagnosis klinis, hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium dan hasil expertise foto
radiologis.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

1. Mampu mengetahui apa saja yang dinilai pada Foto Polos


Abdomen ( FPA ).
2. Mampu mengetahui macam-macam proyeksi FPA.
3. Mampu mengetahui tanda tanda ileus pada FPA 2 posisi.
4. Mampu mengetahui proyeksi PFA yang diperlukan untuk
menilai adanya perforasi usus dan tanda-tanda perforasi
usus dengan FPA.
5. Mampu mengetahui contoh klasifikasi pathologis intra
abdominal.
6. Mampu mengetahui posisi penderita pada kasus atresia ani
dan nama posisi tersebut.
7. Mampu mengetahui prosedur pemeriksaan colon in loop.
8. Mampu mengetahui macam-macam tumor colon secara
radiografis.
9. Mampu mengetahui prosedur pemeriksaan lopografi.
10. Mampu mengetahui gambaran ulkus pada pemeriksaan
OMD.

C. ALUR RADIODIAGNOSTIK KASUS


GASTROINTESTINAL


(Eastman GN, etc, 2006; Gore and Levine, 2008a,
2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

FPA 2 posisi ​
1. Posisi supine, arah sinar vertical dan horizontal .
2. Posisi LLD, arah sinar horizontal.

Thorak ​ ​
1. Posisi tegak, proyeksi posterior-anterior (PA view).
2. Posisi semi erect, proyeksi anterior- posterior (AP view).

Obstruktif
1. Uppergut ​→ FPA 2 posisi, Thorak, USG, Barium
Meal (OMD).
2. Midgut ​→ FPA 2 posisi, Thorak, USG, Follow
through.
3. Lowergut ​→ FPA 2 posisi, USG, Barium Enema
(CIL).

Paralitik
FPA 2 posisi, Thorak
(Eastman GN, etc, 2006)
1. ILEUS
Gambaran Radiologi
a. Ileus paralitik
Pada foto abdomen tampak gambaran dilatasi usus-
usus terutama usus besar. Tampak juga gambaran fluid
level yang umumnya letaknya sejajar.

b. Ileus obstruktif
Pada foto abdomen tampak gambaran
dilatasi/pelebaran usus-usus halus yang lebih dominan
dengan gambaran klasik herring bone dan bayangan
cairan (fluid level) yang bertingkat-tingkat (step ladder).
Tidak ditemukan gambaran udara (luscent) pada distal
daerah penyumbatan.
(Patel PR, 2007a; Morison 2008; Gore and Levine,
2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring,
2016)

Penjelasan
Pada foto abdomen 2 posisi
a. Ileus paralitik

Terdapat penebalan dinding usus secara
menyeluruh dari gaster sampai rektum.Penebalan
usus halus yang mengalami dilatasi memberikan
gambaran herring bone appearance, karena dua
dinding usus halus yang menebal dan menempel
membentuk gambaran vertebra dan muskulus yang
sirkuler menyerupai kosta dan gambaran penebalan
usus besar yang juga distensi tampak pada tepi
abdomen.Tampak gambaran air fluid level Apabila
teradi perforasi akan didapatkan udara bebas
intraabdominal yang berupa gambaran hiperlusen
tanpa gambaran lipatan mukosa usus. Kasus ini
sering diikuti gambaran peritonitis dan cairan
intraabdominal ekstraluminer.
(Patel PR, 2007; Morison, 2008; Gore and Levine,
2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring,
2016)(Gore and Levine, 2008a, 2008b; Grainger and
Allison, 2008; Herring, 2016)

b. Ileus Obstruktif
Obstruksi usus halus

Gas dan cairan terkumpul di bagian proksimal
obstruksi menimbukan dilatasi progresif pada usus
halus. Beberapa gambaran pada foto polos abdomen
adalah:
1) Lingkar usus yang terdetensi di bagian sentral,
sering diameter > 3 cm.
2) Lapisan transversa dari valvula conniventes
umumnya melebihi seluruh usus halus.
3) Tidak ada udara dalam usus besar, jika terdapa
gas, ini mengindikasikan adanya obstruksi yang
baru atau tidak komplet.

Large bowel obstructions


​Prinsip dasar dalam mendiagnosis obstruksi
usus adalah mendeteksi dilatasi usus hingga satu
level di atas usus yang mengalami kolaps. Usus
besar yang mengalami distensi dengan penyebaran
ke perifer disertai gambaran haustra yang jelas. Batas
cairan yang terlihat pada posisi tegak cenderung
panjang. Jika dibandingkan dengan letaknya yang
pendek pada obstruksi usus halus.
​ Gambaran yang ditemukan pada FPA sangat
tergantung dengan keadaan katup ileocaecal.
Katup ileocaecal tertutup : distensi gas terbatas pada
usus besar dengan dilatasi yang progresif, biasanya
terdapat pada caecum. Resiko perforasi dapat terjadi.
Terutama bila diameternya > 9 cm.
Katup ileocaecal terbuka : baik usus besar ataupun
usus halus mengalami distensi sehingga mirip ileus
paralitik.
(Patel PR, 2007a; Morison 2008; Gore and Levine,
2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring,
2016)

Contoh Kasus
Seorang wanita umur 25 tahun muntah–muntah
warna hijau, perut kembung, nyeri tekan, tidak bisa
BAB maupun flatus, semakin lama semakin
membesar perutnya, dibawa ke UGD kemungkinan
ileus obstruksi.
Pemeriksaan radiologi apa yang diperlukan dan
bagaimana gambaran radiologinya?
Jawab : FPA 2 Posisi (supine dan LLD)
Gambaran radiologi ileus obstruksi :
Pada FPA tampak gambaran dilatasi atau pelebaran
usus Bila halus akan memberikan gambaran klasik
herring bone dan bayangan cairan (fluid level) yang
bertingkat-tingkat (step ladder).
(Patel PR, 2007a; Morison 2008)

2. IKTERIK
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
(Eastman GN, etc, 2006; Gore and Levine, 2008a,
2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

b. Gambaran Radiologis
1) Cholesistolithiasis
PA ​: tampak lesi radioopak pada regio
abdomen kanan atas.
USG : lesi hiperekoik dengan “acustic shadow”
pada vesika fellea.
2) Choledocolithiasis
FPA : tampak lesi radioopak pada regio abdomen
kanan atas.
USG : lesi hiperekoik dengan “acustic shadow”
pada common bile duct, biasanya disertai
pelebaran ductus biliaris intra hepatal dan common
bile duct.
3) Cholesistitis
FPA : batu radioopak +/-, kadang terlihat
gambaran “sentinel loop” di regio abdomen kanan
atas.
USG : dinding vesika fellea tebal, tampak
gambaran “double layer”, bisa disertai gambaran
cholesistolithiasis.
4) Sirosis hepatis
FPA : tak tampak gambaran yang khas.
USG : hepar ukuran kecil, tepi irregular, parenkim
kasar, bisa disertai nodul. Dapat disertai tanda-
tanda hipertensi porta dan asites.
(Patel PR, 2007b; Gibson RN, 2008; Gore and
Levine, 2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008;
Herring, 2016)

3. HEPATOMA
HPA : tak tampak gambaran yang khas.
USG : Hepar membesar, berbenjol-benjol dengan massa
iso atau hipoekoik, batas tegas tepi irregular dengan color
Doppler tampak adanya peningkatan vascular intra
ataupun perilesi. Perlu dicari adakah thrombus tumor pada
vena Porta.

CT Scan abdomen dengan kontras : tampak massa batas


tegas tepi irregular, kadang dengan heterogen densitas
seperti adanya area nekrotik ataupun darah. Pada post
kontras fase arterial tampak ada penyangatan yang
heterogen dengan gambaran mosaic pattern dan kontras
wash- out pada fase late portal venous.
(Patel PR, 2007b; Lomas DJ, 2008; Gore and Levine,
2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

Penjelasan

Pada kasus ikterik FPA dapat membantu
mendeteksi batu yang opak dan kalsifikasi dinding
kandung empedu. Untuk memastikan letaknya perlu
dilakukan USG. Dengan USG dapat diketahui adanya
gambaran obstruksi bilier. Massa di enterohepatik CT Scan
akan memberikan gambaran yang lebih detail.
(Patel PR, 2007 b, Gibson RN, 2008; Gore and Levine,
2008a, 2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

4. COLITIS
a. Alur Radiodiagnostik Kasus
b. Gambaran Radiologis

Gambaran Barium Enema (CIL) Hilangnya linea
innominata, gambaran granuler, gambaran ulserasi,
hilangnya haustra dan incisura, kekakuan dan kerancuan
dinding, penyempitan lumen, pemendekan colon.
(Patel PR, 2007; Morison, 2008; Gore and Levine, 2008a,
2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

5. TUMOR COLON
a. Alur Radiodiagnostik Kasus

b. Gambaran Radiologis
​Gambaran Barium Enema (CIL) Penonjolan ke
dalam lumen terpisah dari mukosa normal dengan batas
tegas, seringkali terdapat gambaran shoulderlike
deformity. Kekakuan dinding colon bersifat segmental
terkadang mukosa masih baik dengan bentuk klasik
sepertipolip. Kelainan ini menetap dan sering ditandai
adanya tanda-tanda obstruksi dengan retensi feses.
Apabila ganas maka batas tumor tegas dengan tepi
irreguler.
(Patel PR, 2007; Morison, 2008; Gore and Levine, 2008a,
2008b; Grainger and Allison, 2008; Herring, 2016)

BAB VI
NEUROIMAGING

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

1. Mampu mengetahui dan mengerti pemeriksaan CT Scan


Craniocerebral .
2. Mampu mengetahui CT Scan yang diminta disesuaikan
dengan keadaan klinis.
3. Mampu mengetahui ekspertise CT Scan craniocerebral
yang dibuat oleh dokter spesialis radiologi sehingga dapat
menganalisa diagnosis penunjang radiologi dan tidak
membuat ekspertise.
4. Mampu menganalisa hubungan diagnosis klinis, hasil
pemeriksaan fisik, laboratorium dan hasil ekspertise
radiologi.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

1. Mampu mengetahui pemeriksaan CT Scan craniocerebral.


2. Mampu mngetahui tanda-tanda perdarahan pada CT Scan
craniocerebral.
3. Mampu mengetahui tanda stroke non haemorrhagic pada
CT Scan craniocerebral.
4. Mampu mengetahui tanda-tanda peningkatan tekanan
intracranial pada CT Scan.

1. TRAUMA
a. Alur Radiodiagnostik Kasus


​ YA

(Eastman GW, etc., 2006; Ehrlich dan Coakes, 2013;


Haaga and Boll, 2009; Harisinghani and Chen, 2011;
Herring, 2016)

b. Gambaran Radiologi
Epidural Hematome (EDH) atau perdarahan
epidural: lesi hiperdens berbentuk bikonveks
biasanya pada regio jejas dan disertai fraktur
tulang cranium.
Subdural Hematome (SDH) atau perdarahan
subdural: lesi hiperdens bentuk bulan sabit
diantara tabula dan parenkim otak.
Subarachnoid Hemorrhage (SAH): lesi hiperdens
yang mengisi sulci, fissure, cysterna atau di
perifalks.
Contusio cerebri: lesi hipodens di intraparenkimal
dapat disertai perdarahan (lesi hiperdens).
(Patel PR, 2007; Sjair Z, 2005; Haaga and Boll,
2009; Harisinghani and Chen, 2011; Herring,
2016)

c. Penjelasan
EDH merupakan perdarahan yang terjadi di
antara tulang cranium dan epidural. Seringnya
terjadi di tempat benturan (coup) dan disertai
fraktur tulang cranium.
SDH merupakan perdarahan yang terjadi di
antara duramater dan ruang subarachnoid.
Biasanya terjadi daerah kontralateral dari
benturan (countercoup). Contusio serebri 51 %
disertai dengan perdarahan bisa terjadi di daerah
coup ataupun countercoup.
(Patel PR, 2007; Sjair Z, 2005; Haaga and Boll,
2009; Harisinghani and Chen, 2011; Herring,
2016)

2. STROKE
a. Alur Radiodiagnostik Kasus

(Eastman GW, etc., 2006; Haaga and Boll, 2009;


Harisinghani and Chen, 2011; Herring, 2016)

b. Gambaran Radiologi
a) Stroke non haemoragic
CT Scan Brain : tampak lesi hipodens pada
intra parenkimal serebri, batas tegas
ataupun tak tegas, tak tampak adanya efek
massa.
b) Stroke haemorrhagic
CT Scan Brain :
• ICH (intraserebral Hemorrhage) : tampak
lesi hiperdens intra parekimal serebri
bisa disertai efek massa.
• SAH (Subarachnoid Hemorrhage) :
tampak lesi hiperdens di intrasulci,
intracysterna dan perifalks.
(Patel PR, 2007; Sjair Z, 2005; Haaga and Boll,
2009; Harisinghani and Chen, 2011; Herring,
2016)

c. Penjelasan
CT Scan dapat membedakan stroke perdarahan
ataupun stroke infark. Pada stroke infark yang
awal kadang belum dapat memberikan gambaran
kelainan pada CT Scan.
CT Scan juga dapat menunjukkan adanya tanda-
tanda peningkatan tekanan intracranial.

d. Contoh Kasus.
Seorang laki–laki umur 20 tahun mengalami
kecelakaan, tidak sadar terdapat benturan di
kepala, kemungkinan terjadi contusio serebri.
Pemerikasaan radiologi yang diperlukan apa?
Jawab : CT Scan craniocerebral
(Eastman GW, etc., 2006)
Gambaran radiologi EDH dan SDH
bagaimana?
Jawab :
EDH atau perdarahan epidural : ​
lesi
hiperdens berbentuk bikonveks biasanya pada
regio jejas dan disertai fraktur tulang cranium.
SDH atau perdarahan subdural : lesi hiperdens
bentuk bulan sabit diantara tabula dan
parenkim otak.
BAB VII
RADIOTERAPI

A. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


1. Mampu mengetahui dan mengerti persyaratan untuk
dilakukan terapi radiasi.
2. Mampu mengetahui dan mengerti dasar-dasar radiasi
eksternal dan brachyterapi.

B. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUK


1. Mampu mengetahui berbagai jenis radiasi pengion dari alat
serta sumber radiasi eksternal serta brachyterapi
2. Mampu mengetahui tujuan dan cara pemberian radioterapi
eksternal dan cara memberikan brachyterapi
3. Mampu mengetahui kriteria pasien yang memerlukan
radioterapi.
4. Mampu mengetahui tujuan pemberian radioterapi eksternal
preoperatif, post operatif, kuratif dan emergency.
5. Mampu mengetahui persyaratan yang harus dipenuhi oleh
seorang penderita tumor maligna sebelum dilakukan
radioterapi.
6. Mampu mengetahui efek samping radioterapi yang harus
diketahui dokter dan pasien.

C. ALUR RADIOTERAPI

(Leswara, 2007;Perhimpunan Onkologi Radiasi, 2001)

1. Penjelasan
a. Mengerti dan Mengetahui Efek Biologis Radioterapi
Terhadap Sel Tumor Maligna dan Sel Normal.

Radioterapi adalah pengobatan tumor maligna
dengan radiasi pengion yang dapat berupa Radiasi
Gamma dari sumber radioaktif seperti Cobalt 60,
Iridium 192, Caesium 137, atau radiasi pengion dari
pesawat Linear accelerator berupa sinar X Megavolt
(foton) 6 Mv dan radiasi elektron dari energy 4 Mev
s/d 22 Mev. Berkas sinar Gamma atau foton Megavolt
dan elektron merupakan berkas reaksi energy tinggi
yang mampu menembus materi, mengionisasi
molekul. Bila berkas radiasi tinggi ini mengenai sel
tumor maligna, akan terjadi ionisasi oksigen dan air
(H2O)yang berubah menjadi ion H + OH- dan ion
oksigen, yang akan berubah menjadi Radikal H, OH
dan Radikal Oksigen, yang kemudian akan bereaksi
secara kuat dengan makromolekul DNA, berakibat 6
jenis kerusakan DNA yang menyebabkan kematian
(nekrosis) sel tumor maligna. Sel normal hanya
mengalami reaksi radang oleh karena sel normal
resisten terhadap radiasi dan sel tumor-tumor lebih
sensitif terhadap radiasi. Selain itu terjadi ionisasi
molekul penyusun DNA sehingga terjadi penurunan
fungsi DNA.

b. Mengetahui dan Mengerti dasar-dasar Radiasi


Eksternal dan Brachytherapi.

Radiasi eksternal adalah pemberian
radioterapi tumor maligna pada tubuh melalui kulit,
dimana selalu ada jarak antara sumber radiasi ke kulit
(Cobalt60 jarak sumber ke kulit 80 cm, Linear
acceleratorjarak sumber ke kulit 100 cm) pemberian
radiasi eksternal dapat menggunakan SSD (Source
Skin Distance) atau SAD (Source Axis Distance)
teknik. Pemberian radioterapi eksternal selalu dalam
seri fraksi radiasi 2 Gy per fraksi/hari, 5 fraksi
seminggu, dengan dosis total tumor tergantung jenis
histology dan organ, berkisar antara 40 Gy
(Lymphoma) 50 Gy (tumor epithelial Mamma, cervix)
dan 70 Gy Nasopharynx Ca, inoperabel ca mamma.
Brachytherapi tidak ada jarak antara tumor dengan
sumber radiasi, dimana sumber radiasi.
(Perhimpunan Onkologi Radiasi, 2001; Tjokronagoro
M, 2002 )

BAB VIII
PATIENT SAFETY

A. DEFINISI PATIENT SAFETY

1. Keselamatan / Safety
Bebas dari bahaya atau risiko (hazard)

2. Hazard / bahaya
Adalah suatu "Keadaan, Perubahan atau Tindakan" yang dapat
meningkatkan risiko pada pasien.
a. Keadaan
Adalah setiap faktor yang berhubungan atau mempengaruhi
suatu "Peristiwa Keselamatan Pasien/ Patient Safety Event ,
Agent atau Personal"

b. Agent
Adalah substansi, obyek atau sistem yang menyebabkan
perubahan
3. Keselamatan Pasien / Patient Safety
Pasien bebas dari harm /cedera yang tidak seharusnya terjadi
atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit,
cedera fisik / sosial / psikologis, cacat, kematian dll), terkait
dengan pelayanan kesehatan.
Yang dimaksud dengan keselamatan pasien (patient safety)
adalah proses dalam suatu Rumah Sakit yang memberikan
pelayanan pasien yang lebih aman.
Termasuk di dalamnya asesmen risiko, identifikasi, dan
manajemen risiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis
insiden, kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden,
dan menerapkan solusi untuk mengurangi serta meminimalisir
timbulnya risiko. (Penjelasan UU 44/2009 ttg RS pasal 43)
4. Keselamatan Pasien RS / Hospital Patient Safety
Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih
aman. Sistem tersebut meliputi assessmen risiko, identifikasi
dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien,
pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden
dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk
meminimalkan timbulnya risiko. Sistem tersebut
diharapkan dapat mencegah terjadinya cedera yang disebabkan
oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak
melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan.
5. Harm/ cedera
Dampak yang terjadi akibat gangguan struktur atau penurunan
fungsi tubuh dapat berupa fisik, sosial dan psikologis. Yang
termasuk harm adalah: "Penyakit, Cedera, Penderitaan, Cacat,
dan Kematian".

a. ​
Penyakit/Disease
Disfungsi fisik atau psikis
b. ​
Cedera/Injury
Kerusakan jaringan yang diakibatkan agent / keadaan
c. Penderitaan/Suffering
Pengalaman/ gejala yang tidak menyenangkan
termasuk nyeri, mal-aise, mual, muntah, depresi,
agitasi,dan ketakutan
d. Cacat/Disability
Segala bentuk kerusakan struktur atau fungsi tubuh,
keterbatasan aktifitas dan atau restriksi dalam pergaulan
sosial yang berhubungan dengan harm yang terjadi
sebelumnya atau saat ini.
6. Insiden Keselamatan Pasien (IKP)/Patient Safety Incident
Setiap adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit,
cedera, cacat, kematian dan lainlain) yang tidak seharusnya
terjadi.
7. Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) / Adverse Event
Suatu kejadian yang mengakibatkan cedera yang tidak
diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (“commission”)
atau karena tidak bertindak (“omission”), bukan karena
“underlying disease” atau kondisi pasien.

8. Kejadian Nyaris Cedera (KNC) / Near Miss


Suatu Insiden yang belum sampai terpapar ke pasien sehingga
tidak menyebabkan cedera pada pasien.
9. Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah insiden yang sudah
terpapar ke pasien, tetapi tidak menimbulkan cedera, dapat
terjadi karena "keberuntungan" (misal; pasien terima suatu obat
kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi obat), atau
"peringanan" (suatu obat dengan reaksi alergi diberikan,
diketahui secara dini lalu diberikan antidotumnya).

10. Kondisi Potensial Cedera (KPC)/ “reportable circumstance”


kondisi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan
cedera, tetapi belum terjadi insiden.​
11. Kejadian Sentinel (Sentinel Event) :
Suatu KTD yang mengakibatkan kematian atau cedera
yang serius; biasanya dipakai untuk kejadian yang sangat tidak
diharapkan atau tidak dapat diterima seperti : operasi pada
bagian tubuh yang salah. Pemilihan kata “sentinel” terkait
dengan keseriusan cedera yang terjadi (misalnya Amputasi
pada kaki yang salah, dan sebagainya) sehingga pencarian
fakta terhadap kejadian ini mengungkapkan adanya masalah
yang serius pada kebijakan dan prosedur yang berlaku.
12. Laporan insiden keselamatan pasien RS (Internal) Pelaporan
secara tertulis setiap kejadian nyaris cedera (KNC) atau kejadian
tidak diharapkan (KTD) atau kejadian tidak cedera (KTC) atau
kondisi potensial cedera (KPC) yang menimpa pasien.

13. Laporan insiden keselamatan pasien KKPRS (Eksternal) :


Pelaporan secara anonim secara elektronik ke KKPRS
setiap kejadian tidak diharapkan (KTD) atau kejadian nyaris
cedera (KNC) atau kejadian tidak cedera (KTC) atau Sentinel
Event yang terjadi pada pasien, setelah dilakukan analisa
penyebab, rekomendasi dan solusinya.

14. Faktor Kontributor


Adalah keadaan, tindakan, atau faktor yang mempengaruhi dan
berperan dalam mengembangkan dan atau meningkatkan risiko
suatu kejadian (misalnya pembagian tugas yang tidak sesuai
kebutuhan).
Contoh :
a. Faktor kontributor di luar organisasi (eksternal)
b. Faktor kontributor dalam organisasi (internal) misalnya
tidak ada prosedur
c. Faktor kontributor yang berhubungan dengan petugas
(kognitif atau perilaku petugas yang kurang, lemahnya
supervisi, kurangnya team workatau komunikasi)

d. Faktor kontributor yang berhubungan dengan keadaan


pasien.

15. Analisis Akar Masalah/ Root Cause Analysis (RCA)


Adalah suatu proses berulang yang sistematik dimana faktor-
faktor yang berkontribusi dalam suatu insiden diidentifikasi
dengan merekonstruksi kronologis kejadian menggunakan
pertanyaan ‘mengapa' yang diulang hingga menemukan akar
penyebabnya dan penjelasannya. Pertanyaan ‘mengapa' harus
ditanyakan hingga tim investigator mendapatkan fakta,
bukan hasil spekulasi (KEMENKES,2015).

B. SASARAN KESELAMATAN PASIEN

Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien Dengan Benar


1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien,
tidak boleh menggunakan nomor kamar atau lokasi
pasien.
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah,
atau produk darah.
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan
spesimen lain untuk pemeriksaan klinis Pasien
diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan
tindakan/prosedur.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan
identifikasi yang konsisten pada semua situasi dan
lokasi.

Sasaran II : Meningkatkan Komunikasi Yang Efektif


1. Perintah lisan dan yang melalui telepon ataupun hasil
pemeriksaan dituliskan ​
secara lengkap oleh
penerima perintah atau hasil pemeriksaan tersebut.
2. Perintah lisan dan melalui telpon atau hasil
pemeriksaan secara lengkap dibacakan kembali
oleh penerima perintah atau hasil pemeriksaan
tersebut.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh
individu yang memberi perintah atau hasil
pemeriksaan tersebut
4. Kebijakan dan prosedur mendukung praktek yang
konsisten dalam melakukan verifikasi terhadap akurasi
dari komunikasi lisan melalui telepon.

Sasaran III : Meningkatkan Keamanan Obat-obat yang Harus


Diswaspadai (High Alert Medications)
1. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan agar
memuat proses identifikasi, lokasi, pemberian label,
dan penyimpanan obat-obat yang perlu diwaspadai
2. Kebijakan dan prosedur diimplementasikan
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan
pasien kecuali jika dibutuhkan secara klinis dan
tindakan diambil untuk mencegah pemberian yang
tidak sengaja di area tersebut, bila diperkenankan
kebijakan.
4. Elektrolit konsentrat yang disimpan di unit pelayanan
pasien harus diberi label yang jelas, dan disimpan
pada area yang dibatasi ketat (restricted).

Sasaran IV : Memastikan Lokasi Pembedahan yang Benar,


Prosedur yang Benar, Pembedahan Pada Pasien yang Benar
1. Fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan suatu
checklist atau proses lain untuk memverifikasi saat
preoperasi tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat
pasien dan semua dokumen serta peralatan yang
diperlukan tersedia, tepat, dan fungsional.
2. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan
mencatat prosedur “sebelum insisi/time-out” tepat
sebelum dimulainya suatu prosedur/tindakan
pembedahan.
3. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk
mendukung keseragaman proses untuk memastikan
tepat lokasi, tepat prosedur, dan tepat pasien,
termasuk prosedur medis dan tindakan pengobatan
gigi/dental yang dilaksanakan di luar kamar operasi.

Sasaran V : Mengurangi Risiko Infeksi Terkait Pelayanan


Kesehatan
1. Fasilitas pelayanan Kesehatan mengadopsi atau
mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru yang
diterbitkan dan sudah diterima secara umum dari
WHO.
2. Fasilitas pelayanan Kesehatan menerapkan program
hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan/atau prosedur dikembangkan untuk
mengarahkan pengurangan secara berkelanjutan
risiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan

Sasaran VI : Mengurangi Risiko Cedera Paien Akibat Terjatuh


1. Fasilitas pelayanan kesehatan menerapkan proses
asesmen awal risiko pasien jatuh dan melakukan
asesmen ulang terhadap pasien bila diindikasikan
terjadi perubahan kondisi atau pengobatan.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi risiko
jatuh bagi mereka yang pada hasil asesmen dianggap
berisiko (DEPKES, 2017).

C. KEBERSIHAN TANGAN

Kebersihan tangan dilakukan dengan mencuci tangan


menggunakan sabun dan air mengalir bila tangan jelas kotor
atau terkena cairan tubuh, atau menggunakan alkohol
(alcohol-based handrubs)bila tangan tidak tampak kotor.
Kuku petugas harus selalu bersih dan terpotong pendek,
tanpa kuku palsu, tanpa memakai perhiasan cincin. Cuci
tangan dengan sabun biasa/antimikroba dan bilas dengan air
mengalir, dilakukan pada saat:
a) Bila tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh
pasien yaitu darah, cairan tubuh sekresi, ekskresi, kulit
yang tidak utuh, ganti verband, walaupun telah
memakai sarung tangan.
b) Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi
ke area lainnya yang bersih, walaupun pada pasien
yang sama.
Indikasi kebersihan tangan:
• Sebelum kontak pasien;
• Sebelum tindakan aseptik;
• Setelah kontak darah dan cairan tubuh;
• Setelah kontak pasien;
• Setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien

Kriteria memilih antiseptik:


• Memiliki efek yang luas, menghambat atau
merusak mikroorganisme secara luas (gram positif
dan gram negative,virus lipofilik,bacillus dan
tuberkulosis,fungiserta endospore)
• Efektifitas
• Kecepatan efektifitas awal
• Efek residu, aksi yang lama setelah pemakaian untuk
meredam pertumbuhan
• Tidak menyebabkan iritasi kulit
• Tidak menyebabkan alergi
Hasil yang ingin dicapai dalam kebersihan tangan
adalah mencegah ​
agar tidak terjadi infeksi, kolonisasi
pada pasien dan mencegah kontaminasi dari pasien ke
lingkungan termasuk lingkungan kerja petugas (DEPKES,
2017).

Prosedur Standar Membersihkan Tangan


Teknik Membersihkan Tangan dengan Sabun dan Air
harus dilakukan seperti di bawah
ini :
1) Basahi tangan dengan air mengalir yang bersih..
2) Tuangkan 3 - 5 cc sabun cair utk menyabuni seluruh
permukaan tangan.
3) Ratakan dengan kedua telapak tangan.
4) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan
tangan kanan dan sebaliknya.
5) Gosok kedua telapak dan sela-sela jari.
6) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci.
7) Gosok ibu jari kiri berputar dalam genggaman tangan
kanan dan lakukan sebaliknya.
8) Gosok dengan memutar ujung jari-jari di telapak
tangan kiri dan sebaliknya.
9) Bilas kedua tangan dengan air mengalir.
10) Keringkan dengan handuk sekali pakai atau tissue
towel sampai benar-benar kering.
11) Gunakan handuk sekali pakai atau tissue towel untuk
menutup kran (WHO, 2009).

D. ALAT PELINDUNG DIRI

Jenis-jenis Alat Pelindung Diri:


1) SARUNG TANGAN melindungi tangan dari bahan yang
dapat menularkan penyakit dan melindungi pasieen
dari mikroorganisme yang berada di tangan petugas
kesehatan.Sebelum memakai sarung tangan dan
setelah melepas sarung tangan lakukan kebersihan
tangan menggunakan antiseptik cair atau handrub
berbahan dasar alkohol.Satu pasang sarung tangan
harus digunakan untuk setiap pasien, sebagai upaya
untuk menghindari kontaminasi silang. Pemakaian
sepasang sarung tangan yang sama atau mencuci
tangan yang masih bersarung tangan, ketika
melakukan perawatan di bagian tubuh yang kotor
kemudian berpindah ke bagian tubuh yang bersih,
bukan merupakan praktek yang aman.
Terdapat tiga jenis sarung tangan, yaitu:
1. Sarung tangan bedah (steril), dipakai sewaktu
melakukan tindakan invasif atau pembedahan.
2. Sarung tangan pemeriksaan (bersih), dipakai untuk
melindungi petugas pemberi pelayanan kesehatan
sewaktu melakukan pemeriksaan atau pekerjaan
rutin
3. Sarung tangan rumah tangga, dipakai sewaktu
memproses peralatan, menangani bahan-bahan
terkontaminasi, dan sewaktu membersihkan
permukaan yang terkontaminasi.

2) MASKER Masker digunakan untuk melindungi wajah


dan membran mukosa mulut dari cipratan darah dan
cairan tubuh dari pasien atau permukaan lingkungan
udara yang kotor dan melindungi pasien atau
permukaan lingkungan udara dari petugas pada saat
batuk atau bersin. Masker yang di gunakan harus
menutupi hidung dan mulut serta melakukan Fit Test
(penekanan di bagian hidung). Terdapat tiga jenis
masker, yaitu:
1. Masker bedah, untuk tindakan bedah atau
mencegah penularan melalui droplet.
2. Masker respiratorik, untuk mencegah
penularan melalui airborne.
3. Masker rumah tangga, digunakan di bagian gizi atau
dapur .

3) ALAT PELINDUNG MATA Harus terpasang dengan


baik dan benar agar dapat melindungi wajah dan mata.
Indikasi:
Pada saat tindakan operasi, pertolongan persalinan
dan tindakan persalinan, tindakan perawatan gigi dan
mulut, pencampuran B3 cair, pemulasaraan jenazah,
penanganan linen terkontaminasidi laundry, di ruang
dekontaminasi CSSD.

4) TOPI Tujuan pemakaian topi pelindung adalah


untuk mencegah jatuhnya mikroorganisme yang ada
di rambut dan kulit kepala petugas terhadap alat-
alat/daerah steril atau membran mukosa pasien dan
juga sebaliknya untuk melindungi kepala/rambut
petugas dari percikan darah atau cairan tubuh dari
pasien.
Indikasi pemakaian topi pelindung:
1. Tindakan operasi
2. Pertolongan dan tindakan persalinan
3. Tindakan insersi CVL
4. Intubasi Trachea
5. Penghisapan lendir massive
6. Pembersihan peralatan kesehatan

5) GAUN PELINDUNG Gaun pelindung digunakan untuk


melindungi baju petugas dari kemungkinan paparan
atau percikan darah atau cairan tubuh, sekresi,
ekskresi atau melindungi pasien dari paparan pakaian
petugas pada tindakan steril.

Indikasi penggunaan gaun pelindung


1. Tindakan atau penanganan alat yang
memungkinkan pencemaran atau kontaminasi
pada pakaian petugas, seperti:
2. Membersihkan luka
3. Tindakan drainase
4. Menuangkan cairan terkontaminasi
kedalam lubang pembuangan atau WC/toilet
5. Menangani pasien perdarahan masif
6. Tindakan bedah
7. Perawatan gigi
Segera ganti gaun atau pakaian kerja jika
terkontaminasi cairan tubuh pasien (darah).

6) PELINDUNG KAKI Tujuan pemakaian sepatu pelindung


adalah melindung kaki petugas dari tumpahan/percikan
darah atau cairan tubuh lainnya dan mencegah dari
kemungkinan tusukan benda tajam atau kejatuhan alat
kesehatan, sepatu tidak boleh berlubang agar
berfungsi optimal.
Jenis sepatu pelindung seperti sepatu boot atau sepatu
yang menutup seluruh permukaan kaki. Indikasi
pemakaian sepatu pelindung:

1. Penanganan pemulasaraan jenazah


2. Penanganan limbah
3. Tindakan operasi
4. Pertolongan dan Tindakan persalinan
5. Penanganan linen
6. Pencucian peralatan di ruang gizi
7. Ruang dekontaminasi CSSD (DEPKES, 2017).

Cara Mengenakan APD


Langkah-langkah mengenakan APD pada Perawatan
Ruang Isolasi Kontak dan
Airborne adalah sebagai berikut :
1) Kenakan baju kerja sebagai lapisan pertama
pakaian pelindung.
2) Kenakan pelindung kaki.
3) Kenakan sepasang sarung tangan pertama.
4) Kenakan gaun luar.
5) Kenakan celemek plastik.
6) Kenakan sepasang sarung tangan kedua.
7) Kenakan masker.
8) Kenakan penutup kepala.
9) Kenakan pelindung mata.

Prinsip-prinsip PPI yang perlu diperhatikan pada


pemakaian APD
1) Gaun pelindung
a) Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut,
lengan hingga bagian pergelangan tangan dan
selubungkan ke belakang punggung.
b) Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.
2) Masker
a) Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah
kepala dan leher.
b) Paskan klip hidung dari logam fleksibel pada batang
hidung.
c) Paskan dengan erat pada wajah dan di bawah dagu
sehingga melekat dengan baik.
d) Periksa ulang pengepasan masker
3) Kacamata atau pelindung wajah
Pasang pada wajah dan mata dan sesuaikan agar pas.
4) Sarung tangan
Tarik hingga menutupi bagian pergelangan tangan
gaun isolasi.

Langkah-langkah melepaskan APD pada Perawatan


Ruang Isolasi Kontak dan Airborne adalah sebagai
berikut :
1) Disinfeksi sepasang sarung tangan bagian luar.
2) Disinfeksi celemek dan pelindung kaki.
3) Lepaskan sepasang sarung tangan bagian luar.
4) Lepaskan celemek.
5) Lepaskan gaun bagian luar.
6) Disinfeksi tangan yang mengenakan sarung tangan.
7) Lepaskan pelindung mata.
8) Lepaskan penutup kepala.
9) Lepaskan masker.
10) Lepaskan pelindung kaki.
11) Lepaskan sepasang sarung tangan bagian dalam.
12) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih (DEPKES,
2011).

Prinsip-prinsip PPI yang perlu diperhatikan pada


Pelepasan APD
1) Sarung tangan
a) Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah
terkontaminasi!
b) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung
tangan lainnya, lepaskan.
c) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan
menggunakan tangan yang masih memakai
sarung tangan.
d) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai
sarung tangan di bawah sarung tangan yang
belum dilepas di pergelangan tangan.
e) Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan
pertama.
f) Buang sarung tangan di tempat limbah infeksius.
2) Kacamata atau pelindung wajah
a) Ingatlah bahwa bagian luar kacamata atau
pelindung wajah telah terkontaminasi!
b) Untuk melepasnya, pegang karet atau gagang
kacamata.
c) Letakkan di wadah yang telah disediakan untuk
diproses ulang atau dalam tempat limbah
infeksius.
3) Gaun pelindung
a) Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan
gaun pelindung telah terkontaminasi!
b) Lepas tali.
c) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang
bagian dalam gaun pelindung saja.
d) Balik gaun pelindung.
e) Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di
wadah yang telah disediakan untuk diproses ulang
atau buang di tempat limbah infeksius.
4) Masker
a) Ingatlah bahwa bagian depan masker telah
terkontaminasi – JANGAN SENTUH!
b) Lepaskan tali bagian bawah dan kemudian tali atau
karet bagian atas.
c) Buang ke tempat limbah infeksius (DEPKES, 2017).

Pemakaian APD di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Cara Mengenakan APD di Ruang Isolasi :
1. Kenakan baju kerja sebagai lapisan pertama pakaian
pelindung.
2. Kenakan pelindung kaki.
3. Kenakan sepasang sarung tangan pertama.
4. Kenakan gaun luar.
5. Kenakan celemek plastik.
6. Kenakan sepasang sarung tangan kedua.
7. Kenakan masker.
8. Kenakan penutup kepala.
9. Kenakan pelindung mata.

Cara Melepas APD di Ruang Isolasi


1. Desinfeksi sepasang sarung tangan bagian luar.
2. Desinfeksi celemek dan pelindung kaki.
3. Lepaskan sepasang sarung tangan bagian luar.
4. Lepaskan celemek.
5. Lepaskan gaun bagian luar.
6. Disinfeksi tangan yang mengenakan sarung tangan.
7. Lepaskan pelindung mata.
8. Lepaskan penutup kepala.
9. Lepaskan masker.
10. Lepaskan pelindung kaki.
11. Lepaskan sepasang sarung tangan bagian dalam.
12. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih (DEPKES,
2011).

Prosedur Penanganan Pajanan


Tujuan tatalaksana pajanan adalah untuk mengurangi
waktu kontakdengan darah, cairan tubuh, atau jaringan
sumber pajanan dan untuk membersihkan dan melakukan
dekontaminasi tempat pajanan. Tatalaksananya adalah
sebagai berikut:
a. Bila tertusuk jarum segera bilas dengan air mengalir
dan sabun/cairan antiseptik sampai bersih
b. Bila darah/cairan tubuh mengenai kulit yang utuh tanpa
luka atau tusukan, cuci dengan sabun dan air mengalir
c. Bila darah/cairan tubuh mengenai mulut, ludahkan dan
kumur- kumur dengan air beberapa kali.
d. Bila terpecik pada mata, cucilah mata dengan air
mengalir (irigasi), dengan posisi kepala miring kearah
mata yang terpercik.
e. Bila darah memercik ke hidung, hembuskan keluar dan
bersihkan dengan air.
f. Bagian tubuh yang tertusuk tidak boleh ditekan dan
dihisap dengan mulut (DEPKES, 2017).

Tertusuk Jarum
Tindakan Pasca Tertusuk Jarum Bekas
1. Tekan satu kali diatas daerah tusukan sampai darah
keluar
2. Cuci dengan air mengalir menggunakan sabun atau
cairan antiseptic
3. Berikan cairan antiseptik pada area tertusuk /luka
4. Segera ke IGD untuk penanganan selanjutnya

Terpajan Cairan Tubuh (Kulit, Mata, Hidung dan Mulut)


Bahan Kimia Atau Cairan Tubuh
1. MATA → Segera bilas dengan air mengalir selama 15
menit
2. KULIT → Segera bilas dengan air mengalir 1 menit
3. MULUT → Segera kumur-kumur selama 1menit
4. Segera ke IGD untuk penanganan selanjutnya
(DEPKES, 2011)

E. HYGIENE RESPIRASI / ETIKA BATUK

Diterapkan untuk semua orang terutama pada kasus


infeksi dengan jenis transmisiairborne dan droplet.
Fasilitas pelayanan kesehatan harus menyediakan
sarana cuci tangan seperti wastafel dengan air mengalir,
tisu, sabun cair, tempat sampah infeksius dan masker
bedah.Petugas, pasien dan pengunjung dengan gejala
infeksi saluran napas, harus melaksanakan dan
mematuhi langkah-langkah sebagai berikut
a. Menutup hidung dan mulut dengan tisu atau
saputangan atau lengan atas.
b. Tisu dibuang ke tempat sampah infeksius dan
kemudian mencuci tangan.
Edukasi/Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS)
dan fasilitas pelayanan kesehatan lain dapat dilakukan
melalui audio visual, leaflet, poster, banner, video
Berak darah, konstipasi, teraba massa
melalui TV di ruang tungguataulisan oleh
petugas. (DEPKES, 2017).

F. PENGELOLAAAN Colon In Loop (CIL)


LIMBAH
Pengelolaan Limbah dapat dilakukan mulai dari sebagai
berikut :
a. Identifikasi Limbah
Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair,
dan gas. Sedangkan kategori limbah medis padat
terdiridari benda tajam, limbah infeksius, limbah
patologi, limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan,
limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah dengan
kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah
radioaktif. ​

b. Pemisahan
1. Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi
darah dan cairan tubuh masukkan kedalam
kantong plastik berwarna kuning.
Contoh: sampel laboratorium, limbah patologis
(jaringan, organ, bagian dari tubuh, otopsi, cairan
tubuh, produk darah yang terdiri dari serum, plasma,
trombosit dan lain-lain), diapers dianggap limbah
infeksius bila bekas pakai pasien infeksi saluran
cerna, menstruasi dan pasien dengan infeksi
yang di transmisikan lewat darah atau cairan
tubuh lainnya.
2. Limbah non-infeksius: Limbah yang tidak
terkontaminasi darah dan cairan tubuh, masukkan
ke dalam kantong plastik berwarna hitam.
Contoh: sampah rumah tangga, sisa makanan,
sampah kantor.
3. Limbah benda tajam: Limbah yang memiliki
permukaan tajam, masukkan kedalam wadah tahan
tusuk dan air. Contoh: jarum, spuit, ujung infus,
benda yang berpermukaan tajam.
4. Limbah cair segera dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah cair (spoelhoek).

c. Labeling
1) Limbah Radioaktif
Kantong boks timbal warna merah dengan symbol
radioaktif
2) Limbah sangat infeksius:
kantong plastik kuat, anti bocor warna kuning atau
container yang dapat disterilisasi dengan otoklaf
3) Limbah infeksius, patologi dan anatomi
Plastik kuat warna kuning dan anti bocor atau
kontainer
4) Limbah sitotoksis
Kontainer palastik kuat warna ungu dan anti bocor
5) Limbah Kimia dan Farmasi
Kantong Plastik warna coklat atu container
6) Limbah padat non infeksius:
Plastik kantong warna hitam
7) Limbah benda tajam:
Wadah tahan tusuk dan air
8) Kantong pembuangan diberi label biohazard atau
sesuai jenis limbah

d. Packing
Wadah tempat penampungan sementara limbah
infeksius berlambang biohazard. Wadah limbah di
ruangan:
1) Harus tertutup
2) Mudah dibuka dengan menggunakan pedal kaki
3) Bersih dan dicuci setiap hari
4) Terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak
berkarat
5) Jarak antar wadah limbah 10-20 meter, diletakkan di
ruang tindakan dan tidak boleh di bawah tempat
tidur pasien
6) Ikat kantong plastik limbah jika sudah terisi ¾ penuh

e. Pengangkutan
1) Pengangkutan limbah harus menggunakan troli
khusus yang kuat, tertutup dan mudah dibersihkan,
tidak boleh tercecer, petugas menggunakan APD
ketika mengangkut limbah.
2) Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien,
bila tidak memungkinkan atur waktu pengangkutan
limbah.

f. Tempat Penampungan Limbah Sementara


1) Tempat Penampungan Sementara (TPS) limbah
sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir
pembuangan.
2) Tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat
dengan kuat.
3) Beri label pada kantong plastik limbah.
4) Setiap hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali
sehari.
5) Mengangkut limbah harus menggunakan kereta
dorong khusus.
6) Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan,
tertutup limbah tidak boleh ada yang tercecer.
7) Gunakan APD ketika menangani limbah.
8) TPS harus di area terbuka, terjangkau oleh
kendaraan, aman dan selalu dijaga kebersihannya
dan kondisi kering.

g. Pengolahan Limbah
1) Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator.
2) Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan
akhir (TPA).
3) Limbah benda tajam dimusnahkan dengan
insenerator.
4) Limbah cair dibuang ke spoelhoek.
5) Limbah feces,urin, darah dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah (spoelhoek)..

h. Penanganan Limbah Benda Tajam / Pecahan Kaca


1) Janganmenekuk atau mematahkan benda tajam.
2) Jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang
tempat.
3) Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang
tersedia tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa
dibuka lagi.
4) Selalu buang sendiri oleh si pemakai.
5) Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis
pakai (recapping).
6) Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan.
7) Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan
sarung tangan rumah tangga.
8) Wadah Penampung Limbah Benda Tajam
• Tahan bocor dan tahan tusukan
• Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing
dengan satu tangan
• Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
• Bentuknya dirancang agar dapat digunakan
dengan satu tangan
• Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi
dengan limbah
• Ditangani bersama limbah medis
i. Pembuangan Benda Tajam
1) Wadah benda tajam merupakan limbah medis
dan harus dimasukkan ke dalam kantong medis
sebelum insinerasi.
2) Idealnya semua benda tajam dapat diinsinersi,
tetapi bila tidak mungkin dapat dikubur dan
dikapurisasi bersama limbah lain.
3) Apapun metode yang digunakan haruslah tidak
memberikan kemungkinan perlukaan (DEPKES,
2017).

DAFTAR PUSTAKA

Adler, A.M. and Carlton, R.R. 2012. Introduction to Radiologic


Sciences And Patient Care. 5th edn. Missouri: Elsevier
Sounders
Au-Yong, I., Au-Young, A., and Broderick, N. 2010. On-Call X-
Ray, Made Easy. 1st edn. Churchill Livingstone. Elsevier.
Budjang, N. 2005. Radang Paru Yang Tidak Spesifik. Dalam:
Radiologi diagnostic FK UI. Jakarta : Gaya Baru.

_________. 2005. Ginjal dan Buli-buli.


Dalam: Radiologi Diagnostik.
Jakarta: Gaya baru.
Chang, S.D., dan Hricak H. 2008.
Radiological Evaluation Of The
Urinary Bladder, Prostat And
Urethra. Dalam: Granger &
Allison’s Diagnostic Radiologi A
Textbook of Medical Imaging. 5 th

Ed. Philadelphia: Churchill


Livingstone Elsevier.
Cowan, N. 2008. The Genitourinary
Tract, Techniques And Anatomy.
Dalam: Granger & Allison’s
Diagnostic Radiologi A Textbook of
Medical Imaging. 5 Ed. th

Philadelphia: Churchill Livingstone


Elsevier.
Chang, S.D., dan Hricak H. 2008.
Radiological Evaluation Of The
Urinary Bladder, Prostat And
Urethra. Dalam: Granger &
Allison’s Diagnostic Radiologi A
Textbook of Medical Imaging. 5 th

Ed. Philadelphia: Churchill


Livingstone Elsevier.
Conder, G., Rendle, J., Kidd, S., Misra, R. 2009. A-Z of
Abdominal Radiology. Cambridge University Press.

Cowan, N. 2008. The Genitourinary


Tract, Techniques And Anatomy.
Dalam: Granger & Allison’s
Diagnostic Radiologi A Textbook of
Medical Imaging. 5 Ed. th

Philadelphia: Churchill Livingstone


Elsevier.
Eastman, G.W., Wald C., dan Crossin J. 2006. Tool in
Radiology. Dalam: Getting Started in Clinical Radiology
From Image to Diagnosis. New York : Thieme

_________. 2006. Gastrointestinal


Radiology. Dalam: Getting Started
Clinical Radiology. New York :
Thieme.
_________. 2006. Central Nervous
System. Dalam: Getting Started
Clinical Radiology. New York :
Thieme.
Ehrlich, R.A., Coakes, D.M. 2013. Patient Care in Radiograpy.
8th edn. St. Louise, Missouri: Mosby, Elsevier.
Ekayuda I. 2005. Tumor Tulang dan Lesi yang Menyerupai
Tumor Tulang. Dalam: Radiologi diagnostik FK UI.
Jakarta : Gaya Baru, 2005b; 74-84.
Fox, J. 2008. Clinical Emergency Radiology. Cambridge:
Cambridge University.
Gibson, R.N. 2008. The Biliary System. Dalam: Granger &
Allison’s Diagnostic Radiology A Textbook of Medical
th
Imaging. 5 Ed. Philadelphia : Churchill Livingstone
Elsevier.
Gondo, H.K. dan Suwardewa, T.G.A. 2012. Ultrasonografi
Buku Ajar Obstetri dan Ginekologi. EGC.
Goodman, P.C. 2008. Pulmonary Infections In Adults. Dalam:
Granger & Allison’s Diagnostic radiologi A textbook of
th
Medical Imaging. 5 Ed. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier.

Gore, R. M. and Levine, M. S. 2008a.


Textbook of Gastrointestinal
Radiology Volume I. 3rd edn.
Philadelphia,: Elsevier.
Gore, R. M. and Levine, M. S. 2008b.
Textbook of Gastrointestinal
Radiology Volume II. 3rd edn.
Philadelphia,: Elsevier.
Grainger, R. G. and Allison, D. J. 2008. Grainger and Allison’s.
Diagnostic Radiology A Textbook of Medical Imaging. 5th
edn. China: Churchill Livingstone, An Imprint of Elsevier.

Greenspan, A. and Steinbach, L. S.


2011. Orthopedic Imaging, a
Practical Approach. 5th edn.
Philadelphia,: Lippincott Williams
& Wilkins, a Wolters Kluwer
business.
Gunderman, R. B. 2006. Essential Radiology, Clinical
Presentation Pathophysiology Imaging. 2nd edn. New
York: Thieme Medical Publishers, Inc.
Gunn, M.L. 2013. Pearls and Pitfalls in Emergency Radiology
Variants and Other Difficult Diagnoses. Cambridge:
Cambridge University Press.
Harisinghani, M. G. and Chen, J. W. 2011. Primer Of
Diagnostic Imaging. 5th edn. Edited by R. Gaertner and
A. Chappelle. Missouri: Mosby, Inc., an affiliate of
Elsevier Inc.

Haaga, J. R. and Boll, D. 2009. CT


and MRI of the Whole Body-2
Volume Set,5th Edition.pdf. 5th
edn. Edited by V. S. Dogra et al.
Mosby Elsevier.
Hawarini, N., dkk. 2012. The Relationship Between Pleural
Effusion Index And Mortality in Children with Dengue
Shock Syndrome. Jakarta: Paediatri Indonesia.
Herring, W. 2016. Learning Radiology, Recognizing the
Basics. 3rd edn. Philadelphia; Elsevier.
Sadler, T.W. 2012. Langman's Medical Embryology. 12th Edn.
Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins.
McLoud, T.C., Boiselle, P.M. 2010. Thoracic Radiology: The
Requisites. Philadelphia: Mosby, Elsevier.
Hanson III, C.W. 2009. Procedures in Critical Care. 1st edn.
McGraw-Hill.
Harisinghani, M. G. and Chen, J. W. 2011. Primer Of
Diagnostic Imaging. 5th edn. Edited by R. Gaertner and
A. Chappelle. Missouri: Mosby, Inc., an affiliate of
Elsevier Inc.
Herring, W. 2016. Learning Radiology,Recognizing the Basics.
3rd edn. Philadelphia: Elsevier
Leswara, N.D. 2007. Buku Ajar Radiofarmasi. Jakarta: EGC.

Lomas, D.J. 2008. The liver. Dalam:


Granger & Allison’s Diagnostic
Radiology A Textbook of Medical
Imaging. 5 Edn. Philadelphia :
th

Churchill Livingstone Elsevier.


Miller, F.H. 2012. Genitourinary Imaging in : Radiologic Clinics
of North America. Philadelphia: Elsevier Sounders.

Morrison. 2008. The Plain Abdominal


Radiograph And Association
Anatomy And Techniques. Dalam:
Granger & Allison’s Diagnostic
Radiology A Textbook of Medical
Imaging. 5 Edn. Philadelphia:
th

Churchill Livingstone Elsevier,


2008; 589-607.
Müller, N. L. and Silva, C. I. S. 2008. Imaging of the Chest
Volume I. Philadelphia,: Saunders, Elsevier.
McLoud, T.C., Boiselle, P.M. 2010. Thoracic Radiology: The
Requisites. Philadelphia: Mosby, Elsevier.
Kusumawidjaja K. 2005. Emfisema, Atelektasis, dan
Bronkiektasis. dalam: Radiologi Diagnostik FK UI. Edisi
kedua. Jakarta : Gaya Baru.
____________. 2005. Pleura dan Mediastinum. Dalam:
Radiologi diagnostik FK UI. Jakarta: Gaya Baru.
____________. 2005. Tumor ganas paru. Dalam: Radiologi
diagnostik FK UI. Jakarta: Gaya Baru.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS). 2015.
Pedoman Pelaporan Insiden Keselamatan Pasien (IKP)
(Patient Safety Incident Report). Kementrian Kesehatan
RI.
Patel, P.R. 2007. Lecture Note Radiology. Jakarta : Penerbit
Erlangga.
____________. 2007 Sistem Kardiovaskuler. Dalam: Lecture
Note Radiology. Edisi kedua. Jakarta : Penerbit
Erlangga.

____________. 2007. Hati dan


Pancreas. Dalam: Lecture Note
Radiology, Jakarta: Penerbit
Erlangga.
____________. 2007. Saluran Cerna.
Dalam: Lecture Note Radiology,
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Erlangga, 2007a; 90-133.
____________2007. Neuroradiologi.
Dalam: Lecture Note Radiology,
Edisi kedua. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
Perhimpunann Pengendalian Infeksi Indonesi. 2011. Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Rumah Sakit
dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan Lainnya Kesiapan
Menghadapi Emerging Infection Disease. Departemen
Kesehatan RI.
Purwohudoyo, S.S. 2005. Sistem Kardiovaskuler. Dalam:
Radiodiagnostik FK UI. Jakarta : Gaya Baru.
Palmer, P.E., et.all. 1995. Petunjuk Membaca Foto untuk
Dokter Umum (Manual of Radiographic Interpretation for
General Practioner). EGC.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2017 Tentang Keselamatan Pasien. Departemen
Kesehatan RI.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Departemen Kesehatan RI.
Rasad, S. 2006. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI, Gaya Baru.
Sadler, T.W. 2012. Langman's Medical Embryology. 12th Edn.
Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins.
Sathupan, P., Khongphattanoyotin A, dan Srirai J. Srikaew K.
2007. The Role of Vascular Endothel Growth Factor
Leading to Vascular Leakage in Children with Dengue
Virus Infections. Ann Trop Pedriatric.

Sjair, Z. 2005. Tomografi Komputer


kepala. Dalam: Radiologi
Diagnostik. Jakarta: Gaya Baru.
Sekretariat Jendral KEMENKES-RI. 2010. Pedoman Teknis
Sarana Dan Prasarana Rumah Sakit Kelas B. Pusat
Sarana, Prasarana Dan Peralatan Kesehatan. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Webb, W. Richard and Higgins, Charles B. 2011. Thoracic
Imaging: Pulmonary and Cardiovascular Radiology. 2nd
Edn. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins.
th
Weissleder, R., et all. 2007. Primer of Diagnostic Imaging. 4
edn. Philadelphia: Mosby Elsevier.
World Alliance for Patient Safety. 2009. WHO Guidelines on
Hand Hygiene in Health Care. World Health
Organization.

Zawadzki, M.B, dkk. 2002. Osborn


AG Degeneratif. In: Pocket
Radiologi Spine Top 100
Diagnosis. Utah: Amirsys.
​ ​Buku Pedoman Belajar Ilmu Radiologi | 102

Anda mungkin juga menyukai