Anda di halaman 1dari 26

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu jenis tanaman

yang telah banyak dimanfaatkan baik dibidang pangan maupun kesehatan.

Bawang putih (Allium sativum) telah digunakan di seluruh dunia sebagai obat

tradisional selama lebih dari 4.000 tahun untuk mengobati beberapa gangguan

seperti arthritis, diabetes, dan penyakit menular (flu, malaria, dan TBC). Selain

itu, bawang putih juga bermanfaat untuk mengurangi tekanan darah, menurunkan

kolesterol, mencegah serangan jantung dan kanker, serta menghambat

pertumbuhan mikroba (Wang et al., 2010). Kandungan senyawa yang terdapat

dalam umbi bawang putih diantaranya adalah allicin dan sulfur amino acid alliin.

Beberapa penelitian telah menunjukan berbagai pengaruh farmakologis dari

bawang putih, misalnya sebagai antibakteri, antijamur, antihipertensi, antikanker,

dan menunjukan efek perlindungan yang berkaitan dengan sifat antioksidannya

(Ambarsari, 2013; Anytah, 2013).

Bawang putih mengandung sekitar 63% air, 28% karbohidrat (fruktans),

2,3% asam komponen organosulfur, 2% protein (alliinase), 1,2% asam amino

bebas (arginin), dan 1,5% serat. Bawang putih mengandung senyawa g-

glutamylcysteines dengan jumlah yang tinggi. Senyawa ini bisa dihidrolisis dan

teroksidasi untuk membentuk alliin yang terakumulasi selama penyimpanan

bawang putih pada suhu dingin. Pada pengolahan bawang putih seperti
pemotongan atau menghancurkan maka alliinase akan mengkonversi alliin

menjadi allicin (Kimura et al., 2017).

Bawang putih dapat diolah dengan cara fermentasi dan menghasilkan

bawang hitam (black garlic). Black garlic merupakan produk fermentasi dari

bawang putih yang dipanaskan pada suhu 65- 80ºc dengan kelembapan 70-80%

dari suhu kamar selama satu bulan (Wange et al, 2010). Black garlic memiliki

warna hitam dan ringan karena kadar airnya berkurang serta memiliki aroma dan

rasa yang tidak terlalu menyengat seperti bawang putih. Dalam black garlic,

senyawa S-allylcysteine membantu penyerapan allicin sehingga metabolisme

perlindungan terhadap infeksi bakteri menjadi lebih mudah. Hasil penelitian Lee

(2009) menyebutkan bahwa antioksidan bawang hitam (black garlic) memiliki

aktivitas lebih kuat dibandingkan dengan bawang putih dengan nilai TEAC

(Trolox Equivalent Antioxidant) secara berturut-turut adalah (13,3 ± 0,5) dan

(59,2 ± 0,8) mol/g basah. Selain itu Black garlic memiliki sifat antioksidan 2 kali

lebih tinggi dan sifat antibakteri lebih kuat dibandingkan bawang putih biasa

karena mengandung S-allycysteine (Choi et al., 2008). Semakin lama waktu

fermentasi black garlic maka kandungan S-allycysteine (SAC) semakin

meningkat. Dengan adanya senyawa antioksidan yang lebih tinggi dari bawang

putih diharapkan dapat lebih efektif untuk mengatasi suatu penyakit (Bae, 2014).

Lama pemanasan pada black garlic paling tidak terdapat perbedaan bermakna

munculnya aktivitas antioksidan, sehingga pada pemanasan 21 hari black garlic

memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi dibandingkan dengan pemanasan hari


ke-0 dan ke-7. Karena adanya peningkatan polifenol, flavonoid, dan kandungan

asam askorbat selama pemanasan (Xu et al., 2007).

Antioksidan atau senyawa penangkap radikal bebas merupakan zat yang

dapat menetralkan radikal bebas, atau suatu bahan yang berfungsi mencegah

system biologi tubuh dari efek yang merugikan yang timbul dari proses ataupun

reaksi yang menyebabkan oksidasi yang berlebihan. Senyawa radikal bebas

timbul akibat berbagai proses kimia kompleks dalam tubuh, berupa hasil samping

dari proses oksidasi atau pembakaran sel yang berlangsung pada pada waktu

bernafas, metabolism sel, olahraga berlebihan, peradangan atau ketika tubuh

terpapar polusi lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, asap rokok, bahan

pencemar dan radiasi matahari atau radiasi kosmis ( Fessenden & joan, 1986).

Radiasi bebas dalam tubuh bersifat sangat reaktif dan akan berinteraksi

secara destruktif melalui reaksi oksidasi dengan bagian tubuh maupun sel-sel

tertentu yang tersusun atas lemak, protein, karbohidrat, DNA, dan RNA sehingga

memicu berbagai penyakit seperti jantung koroner, penuaan dini dan kanker. Oleh

sebab itu dibutuhkan antioksidan untuk untuk mengatasi radikal bebas

(Reynertson,2007). Oleh karena itu, tubuh memerlukan suatu substansi yang

penting yaitu oksidan yang mampu menangkap radikal bebas tersebut sehingga

tidak dapat menginduksi suatu penyakit (Hernani, 2005).

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang Pengaruh Aktivitas Antioksidan pada Black Garlic dan White Garlic

dengan DPPH.
1.2 Perumusan Masalah

1. Apakah ekstrak Black Garlic memiliki pengaruh aktivitas antioksidan

2. Apakah ekstrak White Garlic memiliki pengaruh aktivitas antioksidan

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk melihat pengaruh aktivitas antioksidan dari ekstrak Black Garlic

2. Untuk melihat pengaruh aktivitas antioksidan dari ekstrak White

Garlic

1.4 Manfaat Penelitian

1. Memberikan informasi terkait black garlic sebagai salah satu

alternative bahan pangan yang dapat memberikan manfaat sebagai

antioksidan

2. Meningkatkan kandungan black garlic.

1.4 Hipotesa

1. Ekstrak Black Garlic memiliki pengaruh aktivitas antioksidan yang

lebih tinggi dari pada ekstrak ekstrak White Garlic


II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bawang Putih (Allium sativum L.)

2.1.1 Klasifikasi Tanaman Bawang Putih

Tanaman Bawang Putih ( Allium sativum L ) diklasifikasikan sebagai

berikut (Butt & Sultan, 2009) :

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisio : Angiospermae

Kelas : Monicotyledonae

Ordo : Liliales

Famili : Liliaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium sativum L

2.1.2 Nama Daerah

Bawang putih termasuk dalam Familia Liliaceae. Tanaman ini memiliki

beberapa nama lokal, yaitu dason putih (Minangkabau), bawang bodas (Sunda),

bawang (Jawa Tengah), bhabang poote (Madura), kasuna (Bali), lasuna mawura

(Minahasa), bawa badudo (Ternate), dan bawa fiufer (Irian Jaya) (Santoso, 2000).

2.1.3 Morofologi

Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi

lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi

30-75 cm. Batang yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang
terdiri dari pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di

dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang

banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh pada batang pokok

bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan.

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri

dari 8-20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan

oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di

dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung

menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai

pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada

hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso, 2000).

2.1.4 Kandungan Kimia

No Uraian Nilai Kandungan

1 Air 58,58 g

2 Protein 6,36 g

3 Lemak 0,50 g

4 Abu 1,50 g

5 Karbohidrat 33,06 g

6 Energi 149 kcal

7 Kalsium 181 mg

8 Besi 1,7 mg
9 Fosfor 153 mg

10 Vitamin C 31,2 mg

Tabel 1 : Kandungan Kimia Bawang Putih (Allium sativum) (USDA, 2016).


Kandungan protein bawang putih lebih tinggi dari sayur-mayur lain

kecualipada kacang–kacangan, selain itu bawang putih juga kaya akan kandungan

mineral seperti fosfor, besi dan kalsium, apabila diteliti lebih lanjut bawang

putihjuga mengaandung mineral selenium dan germanium.Jumlah kandungan

mineral juga dipengaruhi oleh kultur tanah masing–masing.Metabolit sekunder

yangterkandung di dalam umbi bawang putih membentuk suatu sistem kimiawi

yangkompleks serta merupakan mekanisme pertahanan diri dari kerusakan

akibatmikroorganisme dan faktor eksternal lainnya. Sistem tersebut juga ikut

berperandalam proses perkembang biakan tanaman melalui pembentukan tunas

(Hastuti R,2008). Sebagaimana kebanyakan tumbuhan lain, bawang putih

mengandung lebih dari 100 metabolit sekunder yang secara biologi sangat

berguna, senyawa didominasi oleh kandungan belerang yang bertanggung jawab

atas rasa, aroma,dan sifat-sifat farmakologi bawang putih, serta dua senyawa

organosulfur paling penting dalam umbi bawang putih, yaitu asam amino non-

volatil glutamil-S-alk(en)il-L-sisteindan minyak atsiri S-alk(en)ilsistein sulfoksida

atau alliin(Hermawan dan Setiawan, 2003).

2.2 Black Garlic

Bawang putih yang diolah menggunakan perlakuan panas salah satunya

adalah black garlic (bawang hitam). Bawang hitam adalah salah satu produk

perlakuan pemanasan pada bawang putih, pemanasan dilakukan terhadap seluruh


umbi bawang putih dengan suhu tinggi dan kelembaban tinggi (Kimuraet

al.,2017). Saat pemanasan terjadi perubahan warna, aroma, rasa dan tekstur

bawangputih. Warna dari umbi bawang putih berubah menjadi hitam, rasa dari

bawang putih berubah lebih asam disertai rasa manis dan konsistensi dari tekstur

bawang putih berubah menjadi kenyal atau seperti jelly (Baeet al., 2014).

Secara umum black garlic dibuat dengan cara memanaskan umbi bawang

putih secara keseluruhan selama 1 bulan pada temperatur dan kelembaban yang

tinggi (Garcia-Villalon et al., 2016). Menurut Kimura et al.,(2017)black garlic

diperoleh dari bawang putih segar yang diaging selama selang waktu tertentu

dengan suhu tinggi yang terkontrol (60–90°C) dan pada kelembaban tinggi yang

terkontrol (80–90%). Proses perubahan yang terjadi pada bawang putih menjadi

hitam merupakan hasil aging tanpa adanya bahan tambahan apapun (Sato et

al.,2006). Hasil studi yang telah dilakukan ekstrak dari black garlic memiiki

beberapa manfaat seperti anti tumor, dan anti bakteri yang cukup signifikan

(Sasaki et al., 2007), selain itu beberapa studi yang telah dilakukan ekstrak dari

black garlic memiliki beberapa fungsi lain seperti antioksidan, anti alergi,

antidiabetes, dan anti inflamasi (Kimura et al., 2017).

Black garlic merupakan bawang putih yang telah diaging pada suhu 65-

80°C dengan kelembaban relatif 70-80% selama 30-40 hari tanpa perlakuan

tambahan apapun sehingga kandungan airnya menurun (Wanget al., 2011).Hasil

ekstraksi jangka panjang dari black garlic juga tidak menimbulkan efek samping

dan telah dikonfirmasi aman dalam uji praklinis. Senyawa bioaktif yang

terkandung didalam black garlic diantaranya adalah Allisin, SAC (S-


allylcysteine), phenol dan flavonoids. Senyawa bioaktif yang ada di dalam black

garlic sangat berperan dalam aktivitas antifungi yaitu allisin atau thiosulfinates,

senyawa thiosulfinates yang terkandung dalam black garlic sampai lima kali lebih

tinggi bila dibandingkan dengan sediaan bawang putih segar (Kimura et al.,

2017).

2.3. Pengertian Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menangkal atau meredam dampak

negatif oksidan. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya

kepada senyawa yang bersifat oksidan sehingga aktivitas senyawa oksidan

tersebut dapat dihambat (Winarti, 2010).

2.3.1 Penggolongan Antioksidan

Ada beberapa pengelompokan antioksidan, yaitu Antioksidan enzimatis

dan antioksidan non enzimatis (Sayuti & Yenrina, 2015).

1. Antioksidan enzimatis misalnya enzim superoksida dismutase (SOD),

katalase dan glutationperoksidase.

2. Antioksidan non enzimatis, dibagi dalam 2 kelompok lagi:

a. Antioksidan larut lemak, seperti tokoferol, karotenoid, flavonoid, quinon,

dan bilirubin.

b. Antioksidan larut air, seperti asam askorbat, protein pengikat logam.

Berdasarkan fungsi dan mekanisme kerjanya, yaitu antioksidan

primer,sekunder dan tersier.


A. Antioksidan Primer

Antioksidan primer bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa

radikal baru, yaitu mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang

berkurang dampak negatifnya sebelum senyawa radikal bebas bereaksi.

Antioksidan primer adalah antioksidan yang sifatnya sebagai pemutus reaksi

berantai (chain-breaking antioxidant) yang bisa bereaksi dengan radikal-radikal

lipid dan mengubahnya menjadi produk-produk yang lebih stabil.

B. Antioksidan sekunder

Antioksidan sekunder bekerja dengan cara mengkelat logam yang

bertindak sebagai pro-oksidan, menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi

berantai. Antioksidan sekunder berperan sebagai pengikat ion-ion logam,

penangkap oksigen, pengurai hidroperoksida menjadi senyawa non radikal,

penyerap radiasi UV atau deaktivasi singlet oksigen.

C. Antioksidan Tersier

Antioksidan tersier bekerja memperbaiki kerusakan biomolekul yang

disebabkan radikal bebas. Berdasarkan sumbernya antioksidan dibagi dalam dua

kelompok, yaitu antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa

reaksi kimia) dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami).

Beberapa contoh antioksidan sintetik yang diizinkan penggunaannya secara luas

diseluruh dunia untuk digunakan makanan adalah Butylated Hidroxyanisol

(BHA), Butylated Hidroxytoluene (BHT), Tert-Butylated Hidroxyquinon (TBHQ)

dan tokoferol (Sayuti & Yenrina, 2015).


2.3.2 Fungsi Antioksidan

Fungsi utama dari antioksidan adalah untuk memperkecil terjadinya proses

oksidasi baik dalam makanan maupun dalam tubuh. Dalam makanan, antioksidan

diharapkan dapat menghambat oksidasi dari lemak dan minyak, memperkecil

terjadinya proses kerusakan dalam makanan, memperpanjang masa pemakaian

dalam industri makanan, meningkatkan stabilitas lemak yang terkandung dalam

makanan serta mencegah hilangnya kualitas sensori dan nutrisi. Dalam tubuh

antioksidan juga mampu menghambat laju oksidasi bila bereaksi dengan

radikalbebas, menghambat penyakit degeneratif dan penuaan dini (Sayuti &

Yenrina, 2015).

2.3.3 Penggolongan Radikal Bebas

Radikal bebas berasal 2 sumber yaitu dari sumber endogen dan eksogen

(Sayuti & Yenrina, 2015).

1) Secara Endogen

Secara endogen sumber radikal bebas yang berasal dari proses metabolik

yang normal dalam tubuh manusia. Proses metabolik tubuh manusia dapat

menghasilkan lebih 90 % oksigen melalui proses diantaranya adalah:

a. Proses oksidasi makanan dalam menghasilkan energi di mitokondria yang

disebut dengan electron transport chain akan memproduksi radikal bebas

superoxide anion (O2).

b. Sel darah putih seperti neutrofil secara khusus memproduksi radikal bebas

yang digunakan dalam pertahanan untuk menghancurkan patogen.


c. Sejumlah obat yang memiliki efek oksidasi pada sel dan menyebabkan

produksi radikal bebas.

d. Proses oksidasi xanthin (senyawa yang ditemukan di sebagian besar jaringan

tubuh dan cairan bertindak sebagai enzim yang terlibat dalam mengkatalis

perubahan hypoxanthine kepada xanthine dan seterusnya kepada uric acid

yang menghasilkan hydrogen peroxide).

e. Reaksi yang melibatkan besi dan logam lain.

f. Olahraga dengan latihan yang lebih lama dan lebih intensif maka akan

mengonsumsi oksigen lebih banyak.

2) Secara Eksogen

Sumber radikal bebas berasal dari bermacam-macam sumber diantaranya

adalah polutan, berbagai macam makanan dan minuman, radiasi, ozon dan

pestisida. Bagi perokok menghisap radikal bebas dari asap rokok sehingga

mempunyai resiko yang tinggi mengidap berbagai macam penyakit. Tempat

diproduksi radikal bebas adalah di dalam sel oleh mitokondria, membran plasma,

lisosom, peroksisom, endoplasmic reticulum dan inti sel (Sayuti & Yenrina,

2015).

2.4 Metode Pengujian Antioksidan

2.4.1. DPPH (1,1- Diphenyl-2-Picrylhydrazil)

DPPH radikal bebas yang stabil pada suhu kamar, berbentuk serbuk,

warna ungu kehitaman, mudah larut dalam metanol dan cepat teroksidasi oleh

temperatur udara. Memiliki bobot molekul sebesar 394,3 g/mol. Metode

pembentukan radikal bebas DPPH mrupakan metode yang hanya menggunakan


sampel dalam jumlah sedikit dan waktu yang singkat. Aktivitas antioksidan dari

suatu senyawa ditunjukan oleh hambatan serap DPPH pada panjang gelombang

maksimum. Dengan konsentrasi larutan DPPH berkisar antara 50-100 μM. Rumus

Bangun DPPH adalah 1,1 Diphenil-2- picrilhydrazyl (DPPH) dengan rumus

molekul C18H12N5O6. Serbuk DPPH berwarna hitam dalam larutan berwarna

ungu. DPPH Larut dalam metanol, etanol, klorofororm. Rumus struktur DPPH

dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Rumus Struktur DPPH (Molyneux, 2004)

Pengurangan serapan DPPH berlangsung pada saat elektron sunyi

menjadi berpasangan karena adanya antioksidan. Serapan menjadi menurun dan

menyebabkan hilangnya warna secara stoikiometri sesuai dengan jumlah elektron

yang ditangkap. Metode DPPH ini diperkenalkan oleh marsden Blois pada tahun

1985 (Molyneux, 2004). Pengujian antivitas antioksidan dengan menggunakan

parameter IC50. IC50 adalah kadar suatu senyawa yang dapat menghambat radikal

bebas sebanyak 50 %. Sehingga apabila semakin kecil nilai IC50 maka potensial

antioksidan semakin besar. Aktivitas antioksidan tanaman yang didasarkan

besarnya IC50, diklasifikasikan ke dalam 4 kelompok yaitu aktivitas antioksidan

sangat kuat jika nilai IC50 (< 50 µg/mL), kuat untuk IC50 bernilai (50-100 µg/mL),

sedang jika IC50 bernilai(100- 150 µg/mL) dan lemah jika nilai IC50 (>150 µg/mL)
(Molyneux, 2004). Mekanisme reaksi DPPH dengan radikal bebas dapat dilihat

pada Gambar 3.

Gambar 3. Mekanisme Penghambatan Radikal Bebas (Molyneux, 2004).

2.5 Metode Ekstraksi

Ekstraksi atau penyarian merupakan proses pemisahan senyawa dari matriks

atau simplisia dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Peran ekstraksi dalam

analisis fitokimia sangat penting karena sejak tahap awal hingga akhir

menggunakan proses ekstraksi, termasuk fraksinasi dan pemurnian. Tujuan

ektraksi adalah menarik atau memisahkan senyawa dari campurannya atau

simplisia. Ada berbagai cara ekstraksi yang telah diketahui. Masing-masing cara

tersebut memiliki kelebihan dan kekurangannya. Pemilihan metode dilakukan

dengan memperhatikan antara lain sifat senyawa, pelarut yang digunakan, dan alat

yang tersedia. Struktur untuk setiap senyawa, suhu dan tekanan merupakan faktor

yang perlu diperhatikan dalam melakukan ekstraksi. Beberapa metode ekstraksi

yang umum digunakan antara lain maserasi, perkolasi, refluks, soxhletasi, infusa,

dekok, destilasi, lawan arah, ultrasonik, gelombang mikro, dan ekstraksi gas

superkritis
Penjelasan masing-masing cara ekstraksi dijabarkan berikut ini :

a) Maserasi

Maserasi adalah cara ekstraksi simplisia dengan merendam dalam pelarut

pada suhu kamar sehingga kerusakan atau degradasi metabolit dapat

diminimilisasi. Pada maserasi, terjadi proses keseimbangan konsentrasi antara

larutan diluar dan di dalam sel sehingga diperlukan penggantian pelarut secara

berulang. Kinetik adalah cara ekstaksi, seperti maserasi yang dilakukan dengan

pengadukan, sedangkan digesti adalah cara maserai yang dilakukan pada suhu

yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu 40-60 ⁰C.

b) Perkolasi

Perkolasi adalah cara ekstaraksi simplisia menggunakan pelarut yang selalu

baru, dengan mengalirkan pelarut melalui simplisia hingga senyawa tersari

sempurna. Cara ini memerlukan waktu lebih lama dan pelarut yang lebih banyak.

Untuk meyakinkan perkolasi sudah sempurna, perkolat dapat diuji adanya

metabolit dengan preaksi yang spesifik.

c) Refluks

Refluks adalah cara ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya selama

waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya

pendingin balik. Agar hasil penyarian lebih baik atau sempurna, refluks umumnya

dilakukan berulang-ulang (3-6 kali) terhadap residu pertama. Cara ini

memungkinkan terjadinya penguraian senyawa yang tidak tahan panas.


d) Sokletasi

Sokletasi adalah cara eksrtaksi menggunakan pelarut organik pada suhu didih

dengan alat soklet. Pada sokletasi, simplisia dan ekstrak berada pada labu berbeda.

Pemanasan mengakibatkan pelarut menguap, dan uap masuk dalam labu

pendingin. Hasil kondensasi jatuh bagian simplisia sehingga ekstraksi

berlangsung terus-menerus dengan jumlah pelarut relatif konstan. Ekstraksi ini

dikenal sebagain ekstraksi sinambung.

e) Infusa

Infusa adalah cara ekstraksi dengan menggunakan pelaruit air, pada suhu 96-

98 ⁰C selama 15-20 menit (dihitung setelah suhu 96 ⁰C tercapai). Bejana infusa

tercelup dalam tangas air. Cara ini sesuai untuk simplisia yang bersifat lunak

seperti bunga dan daun.

f) Dekok

Dekok adalah cara ekstraksi yang mirip dengan infusa, hanya saja waktu

ekstraksi nya lebih lama yaitu 30 menit dan suhu nya mencapai titik didih air.

g) Destilasi

Destilasi merupakan cara ekstraksi untuk menarik atau menyari senyawa yang

ikut menguap dengan air sebagai pelarut. Pada proses pendinginan, senyawa dan

uap air akan terkondensasi dan terpisah menjadi destilat air dan senyawa yang

diekstraksi. Cara ini umum digunakan untuk menyari minyak atsiri dari

tumbuhan.

h) Lawan arah Lawan arah


Cara ekstraksi ini serupa dengan cara perkolasi, tetapi simplisia bergerak

berlawanan arah dengan pelarut yang digunakan. Cara ini banyak digunakan

untuk ekstraksi herbal dengan skala besar.

i) Ultrasonik

Ekstraksi ultrasonik melibatkan penggunaan gelombang ultrasonik dengan

frekuensi 20-2000 kHz sehingga permeabiliotas dinding sel meningkat dan isi sel

keluar. Frekuensi getaran mempengaruhi hasil ekstraksi.

j) Gelombang mikro

Ekstraksi menggunakan gelombang mikro (2450 MHz) merupakan

ekstraksi yang selektif dan digunakan untuk senyawa yang memiliki dipol polar.

Cara ini dapat menghemat waktu ekstraksi dibandingkan dengan cara

konvensional seperti maserasi, dan penghemat pelarut.

k) Ekstraksi gas superkritis

Metode ekstraksi dilakukan menggunakan CO₂ dengan tekanan tinggi, dan

abnyak digunakan untuk ekstraksi minyak atsiri atau senyawa yang bersifat

miudah menguap atau termolabil. Penggunaan karbon dioksida lebih disukai

karena bersifat inert, toksisitasnya rendah, rama bagi lingkungan, harga relatif

murah, dan tidak mudah terbakar pada kondisi supuerkritisnya (Hanani, 2015).

2.5.1 Ekstrak

Ekstrak adalah suatu sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi

senyawa aktif dari simplisia nabati dan hewani menggunakan pelarut yang sesuai,

kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang
tersisa diperlukan sedemikian hingga memenuhi baku yang ditetapkan

(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2000).

2.6 Spektrofotometer UV-VIS

Spektrum UV-Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik

(REM) dengan molekul. REM merupakan bentuk energi radiasi yang mempunyai

sifat gelombang dan partikel (foton). Beberapa parameter yang digunakan yaitu

panjang gelombang (λ), frekuensi (v), bilangan gelombang (ῡ) dan serapan (A).

REM mempunyai vektor listrik dan vektor magnet yang bergetar dalam bidang-

bidang yang tegak lurus satu sama lain dan masing-masing tegak lurus pada arah

perambatan radiasi. Spektrofotometer UV-Vis digunakan terutama untuk analisa

kuantitatif, tetapi dapat juga untuk analisa kualitatif (Dachriyanus, 2004).

2.6.1 Prinsip Spektrofotometri UV-VIS

Penyerapan (absorpsi) sinar UV dan visible pada umumnya dihasilkan oleh

eksitasi elektron-elektron ikatan, akibatnya panjang gelombang pita yang

mengabsorbsi dapat dihubungkan dengan ikatan yang mungkin ada dalam suatu

molekul (Gandjar & Rohman, 2007). Menurut Dachriyanus (2004), Hukum

Lambert-Beer adalah hubungan linearitas antara absorban dengan konsentrasi

larutan analit.

Pengukuran serapan cahaya oleh larutan molekul diatur dengan Hukum

Lambert-Beer, yang ditulis sebagai berikut:

A= ε.b.c

Keterangan : A= absorban (serapan)

ε= koefisien ekstingsi molar (M-1 cm-1)


b= tebal kuvet (cm)

c= konsentrasi (M)

2.6.2 Instrumentasi Spektrofotometer UV-Vis

Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang dan

intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar

ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan

elektron pada kulit terluar ketingkat energi yang lebih tinggi. Spektroskopi UV-

Vis biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam

larutan. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm sedangkan

sinar tampak berada pada gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

Sebagai sumber cahaya biasanya digunakan lampu hidrogen atau deuterium

untuk pengukuran UV dan lampu tungsten untuk pengukuran pada cahaya

tampak. Panjang gelombang dari sumber cahaya akan dibagi oleh pemisah

panjang gelombang seperti prisma atau monokromator. Spektrum didapatkan

dengan cara scanning oleh pemisah panjang gelombang sedangkan pengukuran

kuantitatif bisa dibuat dari spektrum atau pada panjang gelombang tertentu

(Dachriyanus, 2004).

Komponen-komponen spektrofotometer UV-Vis antara lain:

a. Sumber cahaya

b. Lampu deuterium untuk daerah UV dari 190 sampai 350 nm dan lampu

halogen kuartz atau lampu tungsten untuk daerah visibel dari 350 sampai

900 nm (Watson, 2009).


c. Monokromator

Digunakan untuk menghamburkan cahaya ke dalam panjang gelombang

unsur-unsurnya, yang diseleksi lebih lanjut dengan celah. Monokromator berotasi

sehingga rentang panjang gelombang dilewatkan melalui sampel ketika instrumen

tersebut memindai sepanjang spektrum (Watson, 2009).

d. Optik

Dirancang untuk memisahkan berkas cahaya sehingga berkas tersebut

melewati dua kompartemen sampel, dan pada instrumen berkas rangkap tersebut,

larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk memperbaiki

pembacaan atau spektrum sampel tersebut. Blanko umumnya adalah pelarut yang

dapat melarutkan sampel (Watson, 2009).

2.6.3 Jenis-Jenis Spektrofotometer UV-Vis

Jenis-jenis dari spektrofotometer UV-Vis, yaitu :

1. Single Beam

Sumber cahaya pada spektrofotometer UV-Vis single beam biasanya

digunakan lampu hidrogen atau deuterium untuk pengukuran UV dan lampu

tungsten untuk pengukuran pada cahaya tampak. Panjang gelombang dari sumber

cahaya akan dibagi oleh pemisah panjang gelombang (wavelength separator)

seperti prisma atau monokromator. Spektrum didapatkan dengan cara scanning

oleh wavelength separator sedangkan pengukuran kuantitatif bisa dibuat dari

spektrum atau pada panjang gelombang tertentu.

Dibawah ini adalah skema alat spektrofotometer UV-Vis yang memiliki

sumber cahaya tunggal, dimana sinyal pelarut dihilangkan terlebih dahulu dengan
mengukur pelarut tanpa sampel, setelah itu larutan sampel dapat diukur. Skema

alat spektrofotometer UV-Vis single beam, dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 4. Skema alat Spektrofotometer UV-Vis single beam (Dachriyanus, 2004).

2. Double Beam

Pada spektrofotometer UV-Vis double beam larutan sampel dimasukkan

bersama-sama dengan pelarut yang tidak mengandung sampel. Alat ini lebih

praktis dan mudah digunakan serta memberikan hasil yang optimal. Gambar 6

adalah skema alat Spektrofotometer UV-Vis yang memiliki sumber cahaya ganda

(double beam ) (Dachriyanus, 2004).

Gambar 5. Skema alat spektrofotometer UV-Vis double beam (Dachriyanus,2004)


III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penelitian STIFARM Padang

dan, selama lebih kurang 3 bulan (Januari 2022- Maret 2022).

3.2 Alat dan Bahan yang digunakan

3.2.1 Alat

Alat-alat yang digunakan adalah kertas saring, desikator, corong pisah,

sprektofotometer UV-visible, lampu UV, botol timbang, timbangan analitik,

penangas air, oven, pembungkus teh, sheler, erlenmeyer, labu ukur, batang

pengaduk, cawan, krus porselen, pipet tetes, pipet ukur, tabung reaksi, gelas piala,

corong, rak tabung reaksi, dan plat tetes.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah bawang putih (Allium sativum ), aquadest

(brataco), etanol 95% (brataco), larutan asam klorida pekat, indikator merah metil,

besi (III) klorida LP, metal etil keton P, asam format P, natrium hidroksida P,

asam sulfat dan lempeng kromatografi lapis tipis.


3.3 Pelaksanaan Penelitian

3.3.1 Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada laboratorium (experimental laboratory) yang terdiri

dari dua tahap yaitu 1) proses aging (pembuatan black garlic), 2) pengujian

aktivitas antioksidan.

a. Prosedur pembuatan black garlic

Bawang putih import yang diperoleh dari pasar Nanggalo, Padang

kemudian dilakuakan aging sesuai dengan factor perlakuan yang telah ditetapkan.

Tahapan awal dari penelitian dilakukan pemilihan bawang putih dengan kondisi

umbi yang utuh, bawang putih terpilih sebanyak1 kg dimasukkan kedalam magic

jar yang telah dilakukan pemanasan terlebih dahulu selama 2 hari untuk mencapai

suhu 70°C, bawang putih yang telah dimasukkan kedalam magic jar didiamkan

selama waktu tertentu yaitu 15 hari,25 hari dan 35 hari sehingga didapatkan hasil

aging. Hasil bawang putih yang telah dilakukan aging sesuai dengan faktor

perlakuan yang ada disebut bawang hitam (black garlic).

3.4 Uji Aktivitas Antioksidan

3.4.1 Pembuatan Larutan DPPH

A. Pembuatan Larutan DPPH 30 µg/mL

Ditimbang seksama lebih kurang 10 mg DPPH (BM 394,33). Lalu dilarutkan

dengan metanol p.a hingga 100 mL, kemudian ditempatkan dalam labu ukur yang

dilapisi dengan alluminium foil. Cukupkan pelarutnya hingga tanda batas


kemudian kocok hingga homogen dan diperoleh larutan DPPH dengan

konsentrasi 100 µg/mL. Kemudian diencerkan dengan cara dipipet 30 mL larutan

DPPH konsentrasi 100 µg/mL masukkan dalam labu ukur 100 mL cukupkan

pelarutnya hingga tanda batas kemudian kocok hingga homogen dan diperoleh

larutan DPPH dengan konsentrasi 30 µg/mL (Molyneux, 2004).

B. Pembuatan Larutan Kontrol dan Optimasi Panjang Gelombang

Maksimum DPPH

Pipet 3,8 mL larutan DPPH (30 µg/mL) masukan ke dalam vial. Lalu

ditambahkan metanol p.a sebanyak 0,2 mL dihomogenkan dan vial ditutup

dengan aluminium foil, kemudian diinkubasi dalam ruangan gelap selama 30

menit. Tentukan spektrum serapannya menggunakan spektrofotometer UV-

Visible pada panjang gelombang 400-800 nm (Andayani et al., 2008).

C. Penguijan Aktivitas Antioksidan Bawang Hitam

Bawang Hitam ditimbang sebanyak 50 mg kemudian dilarutkan dengan

metanol p.a dalam labu ukur dan ditepatkan volume 25 mL sehingga didapatkan

konsentrasi 1000 µg/mL. Kemudian dilakukan pengenceran sehingga diperoleh

sampel dengan konsentrasi 100 µg/mL, 200 µg/mL, 300 µg/mL, 400 µg/mL dan

500 µg/ml, dengan cara dipipet masing-masing 0,1 mL, 0,2 mL, 0,3 mL, 0,4 mL,

0,5 mL lalu dimasukan kedalam labu 5 mL lalu tambahkan metanol p.a sampai

tanda batas. Untuk menentukan aktivitas antioksidan masing-masing konsentrasi

dipipet sebanyak 0,2 mL dengan pipet mikro dan masukan kedalam vial dan tutup

dengan alumunium foil. Kemudian tambahkan 3,8 mL larutan DPPH 30 µg/mL.

Campuran dihomogenkan dan diinkubasi selama 30 menit di tempat gelap. Lalu


Serapan diukur dengan spektrofotomer UV-Visible pada panjang gelombang

maksimum 514 nm (Andayani et al., 2008). Aktivitas antioksidan sampel

ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal DPPH melalui perhitungan

persentasi inhibisi serapan DPPH.

Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal

DPPH melalui perhitungan persentasi inhibisi serapan DPPH.

B. Pembuatan Larutan Pembanding Vitamin C

Ditimbang vitamin C murni sebanyak 1 mg, dilarutkan dengan metanol p.a,

dimasukkan dalam labu ukur lalu ditambahkan metanol p.a hingga 25 mL 100

µg/mL).. Selanjutnya dibuat seri konsentrasi 20 µg/mL, 25 µg/mL, 30 µg/mL, 35

µg/mL, dan 40 µg/mL. Dengan cara dipipet masing- masing 1 mL, 1,25 mL, 1,5

mL, 1,75 mL, 2 mL. lalu dimasukan kedalam labu 5 mL sampai tanda batas.

Untuk menentukan aktivitas antioksidan masing-masing konsentrasi dipipet

sebanyak 0,2 mL larutan sampel dengan pipet mikro dan masukkan ke dalam vial

dan tutup dengan allumunium foil. Kemudian tambahkan 3,8 mL larutan DPPH 30

µg/mL Campuran dihomogenkan dan diinkubasi selama 30 menit di tempat gelap,

serapan diukur dengan spektrofotometer UV-Visible pada panjang gelombang

maksimum DPPH 514 nm (Andayani et al., 2008).

Hasil perhitungan dari aktivitas antioksidan dimasukkan ke dalam

persamaan garis y = a + bx dengan konsentrasi (µg/mL) sebagai absis (sumbu x)

dan nilai % aktivitas antioksidan sebagai ordinatnya (sumbu y). Nilai IC50 dari

perhitungan pada saat % aktivitas antioksidan sebesar 50 % akan diperoleh dari

persamaan garis (Andayani et al., 2008).

Anda mungkin juga menyukai