Anda di halaman 1dari 109

RINGKASAN

MATERI KULIAH

CORPORATE GOVERNANCE

UNIVERSITAS BINA BANGSA


SERANG
CORPORATE GOVERNANCE
I. Pengertian, Landasan Teori, Elemen dan Manfaat

Pengertian dan Landasan Teori Corporate Governance

Pengertian Corporate Governance menurut 1), Sutojo dan John Aldridge


(2005; 1), kata governance diambil dari kata latin, yaitu gubernance yang
artinya mengarahkan dan mengendalikan. Dalam ilmu manajemen bisnis kata
tersebut diadaptasi menjadi corporate governance yang artinya sebagai
upaya mengarahkan (directing) dan mengendalikan (control) kegiatan
organisasi termasuk perusahaan.

2), Cadbury Comitte dalam Daniri (2005;7) menjelaskan corporate


governance sebagai prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan
korporasi dengan tujuan agar tercapai keseimbangan antara kekuatan
serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggung
jawabannya kepada shareholders khususnya dan stakeholders pada
umumnya dan menurut Cadbury Report (1992) prinsip utama CG adalah
Keterbukaan, Integritas dan Akuntabilitas.

3), The Indonesia Institute for Corporate Governance – (IICG) pengertian


corporate governance :
“Merupakan serangkaian mekanisme yang mengarahkan dan
mengendalikan suatu perusahaan agar operasional perusahaan berjalan
sesuai dengan harapan para pemangku kepentingan (stakeholders) ”.

4), Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI ; 2001)


Pengertian corporate governance adalah :
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang
kepentingan intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan hak-hak dan
kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan
dan mengendalikan perusahaan. Tujuan corporate governance ialah untuk
menciptakan pertambahan nilai bagi semua pihak pemegang kepentingan”.

5), Price Waterhouse Coopers / KAP PWh (dalam Indra Surya dan Ivan
Yustiavandana, 2006; 27) mengemukakan mengenai corporate governance
sebagai berikut:
“Corporate governance terkait dengan pengambilan keputusan yang
efektif.
Dibanding melalui kultur organisasi, nilai-nilai, sistem, berbagai
proses, kebijakan-kebijakan dan struktur organisasi, yang bertujuan untuk
mencapai bisnis yang menguntungkan, efisien, dan efektif dalam
mengelola risiko dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
stakeholders”.

6), Pengertian governance menurut Azhar Kasim yang dikutip oleh Imam S.
Tunggal dan Amin W. Tunggal (2002; 5): “ Governance adalah proses
pengelolaan berbagai bidang kehidupan (sosial, ekonomi, politik, dan
sebagainya) dalam suatu negara serta penggunaan sumber daya (alam,
keuangan, manusia) dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.”

7), Menurut Bank Dunia (World Bank) yang dikutip oleh Iman dan Amin
(2002; 4), pengertian corporate governance adalah :
“Kumpulan hukum, peraturan, dan kaidah-kaidah yang wajib dipenuhi
yang dapat mendorong kinerja sumber-sumber perusahaan bekerja secara
efisien, menghasilkan nilai ekonomi jangka panjang, yang
berkesinambungan bagi para pemegang saham maupun masyarakat sekitar
secara keseluruhan”.

8), Pengertian corporate governance berdasarkan Keputusan Menteri BUMN


Nomor : Kep-117/M-MBU/2002 adalah:
“Suatu struktur dan proses yang digunakan oleh organisasi BUMN/pelaku
bisnis untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas
perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berdasarkankan peraturan perundangan-undangan dan nilai-nilai etika”.

9), Menurut Organization for Economic Co 0peration and Development


(OECD) yang dikutip oleh Sutojo dan Aldridge (2005; 2), pengertian corporate
governance adalah :
“Corporate Governance is the system by which business corporation are
directed and controlled. The corporate governance structure specifies the
distribution of right and responsibilities among different participant in the
corporation, such as the boards, manager, shareholders, and other
stakeholders and spells out the rules and provides the structure through
which the company objectives are set, and the means of attaining those
objectives and monitoring performance”. atau

Menurut OECD pengertian Corporate Governance sebagai sekumpulan


hubungan antara pihak manajemen perusahaan, board dan pemegang
saham, dan pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan
perusahaan.
Corporate Governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk
mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Good Corporate
Governance yang baik dapat memberikan perangsang atau insentif yang baik
bagi board dan manajemen untuk mencapai tujuan yang merupakan
kepentingan perusahaan dan pemegang saham serta harus memfasilitasi
pemonitoran yang efektif, sehingga mendorong perusahaan untuk
menggunakan sumber daya dengan lebih efisien.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Corporate


Governance adalah suatu sistem yang mengatur, mengelola, dan
mengawasi proses pengendalian usaha yang berjalan secara
berkesinambungan (sustainable) untuk meningkatkan nilai perusahaan,
sekaligus sebagai bentuk perhatian kepada stakeholder, karyawan, kreditor
dan masyarakat sekitar.

Teori Dasar

Dua teori utama yang terkait dengan corporate governance adalah stewardship
theory dan agency theory (Chinn,2000; Shaw,2003).

Stewardship theory dibangun di atas asumsi filosofis mengenai sifat manusia


yakni bahwa manusia pada hakekatnya dapat dipercaya, mampu bertindak
dengan penuh tanggung jawab, memiliki integritas dan kejujuran terhadap pihak
lain. Inilah yang tersirat dalam hubungan fidusia yang dikehendaki para pemegang
saham.

Dengan kata lain, stewardship theory memandang manajemen sebagai dapat


dipercaya untuk bertindak dengan sebaik-baiknya bagi kepentingan publik
maupun stakeholder. Sementara itu, agency theory yang dikembangkan oleh
Michael Johnson, memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai “agents”
bagi para pemegang saham, akan bertindak dengan penuh kesadaran bagi
kepentingannya sendiri, bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil
terhadap pemegang saham. Dalam perkembangan selanjutnya, agency theory
mendapat respon lebih luas karena dipandang lebih mencerminkan kenyataan
yang ada. Berbagai pemikiran mengenai corporate governance berkembang
dengan bertumpu pada agency theory di mana pengelolaan dilakukan dengan
penuh kepatuhan kepada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku.

Good corporate governance (GCG) secara definitif merupakan sistem yang


mengatur dan mengendalikan perusahaan yang menciptakan nilai tambah (value
added) untuk semua stakeholder (Monks,2003). Ada dua hal yang ditekankan
dalam konsep ini, pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh
informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan, kedua, kewajiban
perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat
waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan,
dan stakeholder.

Ada 4 (empat) komponen utama yang diperlukan dalam konsep good corporate
governance, (Kaen, 2003; Shaw, 2003) yaitu fairness, transparency, accountability,
dan responsibility. Keempat komponen tersebut penting karena penerapan
prinsip good corporate governance secara konsisten terbukti dapat meningkatkan
kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi penghambat aktivitas rekayasa
kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak menggambarkan nilai
fundamental perusahaan.

Dalam corporate governance selalu ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan,
a. Apakah aturan atau sistem tata-kelola sudah ada secara jelas, lengkap, dan
tertulis ?
b. Apakah aturan dan sistem yang sudah jelas tersebut dilaksanakan dengan
konsisten atau tidak ?
Kedua hal tersebutlah yang menentukan apakah sudah ada good corporate
governance dalam suatu perusahaan ?
Dewasa ini, corporate governance sudah bukan merupakan pilihan lagi bagi
pelaku bisnis, tetapi sudah merupakan suatu keharusan dan kebutuhan vital serta
sudah merupakan tuntutan masyarakat.
Setiap tindakan memerlukan pertanggungjawaban, baik itu semua tindakan
bisnis, tindakan dalam mengelola system olahraga bahkan juga tindakan dalam
berperang.
Bagi Indonesia, good corporate governance dewasa ini merupakan salah satu
persyaratan yang diminta oleh lembaga IMF yang harus diusahakan oleh
Pemerintah Indonesia.

Adapun Implementasi teori pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik
menyangkut dua aspek yang saling berkaitan satu dengan yang lain terdiri dari
perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software). Perangkat keras
bersifat teknis mencakup pembentukan atau perubahan struktur dan sistem
organisasi, adapun software bersifat psikososial mencakup perubahan
paradigma, visi, misi, nilai (values), sikap (attitude), etika perilaku (behavioral
ethics).

Implementasi corporate governance di perusahaan sebagai sebuah sistem


dapat menggunakan pendekatan Model 7s dari Mc Kinsey, yang digambarkan
sebagai berikut :

Structure

Strategy System
Shared Values

Skills Style

Staff

Model ini terdiri 2 (dua) aspek sebagai dasar atau pondasi untuk menetapkan
mekanisme corporate governance sebagai sebuah sistem, dengan aspek :
1. Perangkat Keras (Hard Component)

a. Strategy, merupakan rencana organisasi dalam memanfaatkan


sumber daya untuk mencapai tujuan organisasi.
b. Structrure, merupakan cara unit organisasi berhubungan satu sama
lain.
c. System, merupakan langkah atau mekanisme yang dilakukan oleh
manajemen puncak dan personil lain dalam organisasi untuk
mencapai tujuan organisasi.

2. Perangkat Lunak (Soft Component)

a. Skill, merupakan kemampuan khusus dari manajemen puncak dan


personil lain dalam organisasi secara keseluruhan untuk membentuk
kompetensi perusahaan.
b. Style, merupakan gaya kepemimpinan manajemen puncak untuk
mendukung pencapaian tujuan organisasi/perusahaan
c. Staff, merupakan kemampuan bekerja sama dari manajemen puncak
dan personil lainnya.
d. Shared Values (nilai-nilai bersama), merupakan nilai-nilai yang
dipegang oleh para pemangku kepentingan (stakes holders)
perusahaan yang membentuk perilaku anggota organisasi /
perusahaan.

Elemen_Corporate_Governance
Tidak ada model yang baku mengenai corporate governance, karena bisa
sangat berbeda antara satu perusahaan/organisasi dengan organisasi yang
lain, tergantung dari jenis perusahaan/organisasi, besar kecilnya dan
budaya perusahaan/organisasi.

Di sisi bagian yang ekstrim, ada jenis perusahaan publik di mana sistem
corporate governancenya sangat dipengaruhi oleh peraturan yang ketat,
sedangkan di lembaga keagamaan, sangat dipengaruhi oleh kepercayaan
dan tradisi.

Namun ada semacam aturan atau elemen umum yang perlu dikembangkan
oleh setiap bagian organisasi atau perusahaan yaitu sebagai berikut.

 Ada identitas untuk setiap bagian / Divisi yg menangani


 Ada definisi dari tujuan Corporate Governance
 Bagaimana tujuan tersebut dicapai / program GCG
 Kriteria keanggotaan atau kepemilikan / Struktur GCG
 Bagaimana bagian tersebut diatur / jobdesc
 Bagaimana bagian tersebut saling berhubungan / integrasi jobdesc
 Bagaimana kinerja bagian tersebut diukur / assesment
 Bagaimana pengaturan penghentian keanggotaan/kepemilikan /
RUPST dan RUPSLB/Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa

Latar Belakang Corporate Governance

Corporate governance merupakan satu Konsep Baru yang sampai saat ini
belum tercapai kesepakatan bersama dalam mengartikannya. Para ahli
baik ahli ilmu hukum dan ahli ilmu ekonomi, organisasi internasional
maupun badan-badan yang dibentuk dibeberapa negara, serta   k o m i t e -
komite yang memfokuskan dalam menelaah corporate
governance dan memiliki pandangan yang berbeda-beda
m e n g e n a i h a k i k a t corporate governance sebagai berikut :

1.Corporate Governance merupakan proses dan struktur yang digunakan


untuk mengarahkan dan mengelola bisnis serta urusan-urusan
perusahaan, dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan
akuntabilitas perusahaan, dengan tujuan utama mewujudkan nilai
pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan
kepentingan stakeholders yang lain.
(Malaysian Finance Committee on Corporate Governance February 1999)

2.Corporate Governance adalah seperangkat peraturan yang menetapkan


hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah,
karyawan serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya
sehubungan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain
sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan.
 (Forum for Corporate Governance in Indonesia / FCGI)
3.Corporate governance adalah suatu proses dan struktur yang digunakan
oleh suatu organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai Pemegang Saham dalam
jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya, berlandaskan peraturan perundangan dan nilai-nilai etika .
(Keputusan Menteri BUMN Nomor Kep-117/M-MBU/2002)

Dan Good corporate governance juga merupakan sistem yang harus


menjamin terpenuhinya kewajiban perusahaan kepada shareholders dan
seluruh stakeholders, dan harus mampu bekerjasama dengan stakeholders
dalam mencapai tujuan perusahaan. Buruknya hubungan perusahaan
dengan stakeholders dapat menimbulkan hambatan dan gangguan pada
jalannya operasi perusahaan.

Hakikat corporate  a t a u  perusahaan  yang menjadi objek 


dari Undang Undang Perseroan Terbatas  ( UUPT )
yaitu tentang perusahaan sbg badan hukum  dan  entitas 
mandiri yang dilanjutkan dengan memahami hakikat
governance atau pengelolaan.

Ada 2 (dua) Karakter Definisi yaitu  1). Corporate governance


sebagai suatu sistem dan corporate governance sebagai model
pengelolaan perusahaan dan peninjau  hakikat corporate atau
perusahaan akan  langsung  menuju prinsip utama yang melekat
pada perusahaan yaitu prinsip perusahaan sebagai badan hukum dan
prinsip perusahaan sebagai entitas hukum mandiri.
2). Prinsip hukum yang melekat pada perusahaan merupakan
konsep fundamental dalam hukum perusahaan  pada umumnya yang
dikenal di hampir seluruh negara termasuk dalam sistem
hukum perusahaan Indonesia
(secara normatif, kedudukan perusahaan sebagai 
b a d a n   h u k u m d a n   e n t i t a s hukum mandiri telah diatur dalam
UUPT dan Perusahaan sebagai badan hukum menurut UUPT yang
menyatakan Perseroan  Terbatas).

Bermula dari usulan penyempurnaan peraturan pencatatan pada Bursa


Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) yang mengatur mengenai
peraturan bagi emiten yang tercatat di BEJ/BEI yang mewajibkan untuk
mengangkat komisaris independen dan membentuk komite audit pada
tahun 1998 dan system Corporate Governance (CG) mulai dikenalkan
pada seluruh perusahaan public atau yang Tbk di Indonesia.

Setelah itu pemerintah Indonesia menandatangani Nota Kesepakatan


(Letter of Intent/LoI) dengan Lembaga International Monetary Fund
(IMF) yang mendorong terciptanya iklim yang lebih kondusif bagi
penerapan CG.

Secara strategis tahapan mengenai implementasi CG di Indonesia melalui


beberapa tahap :

1. Pemberdayaan dewan komisaris agar mekanisme Check and


Balance berjalan secara efektif. Dewan komisaris yang menjalankan
prinsip-prinsip CG dapat secara efektif bekerja sesuai dengan
peraturan dan best practices
2. Yang ada dalam dunia bisnis. Independensi komisaris diperlukan
dalam rangka mewujudkan fungsi check and balance sebagai
perwujudan dari asas akuntabilitas dalam perseroan.Saat ini selain
pedoman komisaris independen dan komite audit yang diterbitkan
oleh KNKG/Komite Nasional Kebijakan Governance, pihak otoritas
Pasar Modal, BUMN, dan Perbankan juga telah mewajibkan
penunjukan komisaris independen.
3. Memperbanyak agen-agen perubahan/Change agen melalui
program sertifikasi komisaris dan direktur. Melalui institusi
pelatihan dan sertifikasi komisaris dan direktur dengan materi CG
yang disampaikan sebagai sarana untuk internalisasi prinsip CG
dalam mengelola korporasi.
Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI) sebagai
lembaga pelatihan dan sertifikasi kedirekturan yang dinaungi oleh
KNKG telah menjalankan fungsinya sejak tahun 2001 untuk
menciptakan agen-agen perubahan didalam perusahaan yang
konsisten menerapkan prinsip CG. Selain LKDI tercatat juga IICD
dan lembaga-lembaga universitas yang turut serta dalam upaya
menciptakan agen-agen perubahan.
4. Memasukkan asas-asas CG kedalam peraturan perundangan seperti
UUPT, UUPM/PasalModal, Peraturan Perundangan mengenai
BUMN, Peraturan Perundangan mengenai Perbankan khususnya
yang terkait dengan asas Transparansi, Akuntabilitas, dan Fairness.
5. Penyusunan Pedoman-Pedoman oleh Komite Nasional Kebijakan
Governance.
6. Sosialisasi dan implementasi pedoman-pedoman diantaranya berupa
kewajiban assessment di Perbankan dan BUMN.

Secara keseluruhan penegakan aturan untuk penerapan CG belum ada


sanksi yang memberikan efek jera bagi perusahaan yang tidak
menerapkannya, namun disektor perbankan telah dicoba untuk
dimasukkan beberapa hal yang terkait dengan kewajiban Bank dalam
menerapkan CG yang berujung pada sanksi bagi bank-bank yang tidak
mengikuti aturan tersebut.
II. Tujuan dan Prinsip Good Corporate Governance

Tujuan penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada BUMN


berlandaskan Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 pasal
4 adalah :

1. Memaksimalkan BUMN dengan cara meningkatkan prinsip


keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggungjawab, dan adil
agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional
maupun internasional.
2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan, efisien
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
3. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan
tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
terhadap peraturan perundangan-undangan yang berlaku serta kesada-
ran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stakeholders
maupun kelestarian lingkungan disekitar BUMN.
4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional
5. Meningkatkan iklim investasi nasional.
6. Mensukseskan program privatisasi BUMN

Pemerintah Indonesia pada tahun 2000 mendirikan satu lembaga khusus yang
bernama Komite Nasional mengenai Kebijakan Corporate Governance
(KNKCG) melalui Keputusan Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi,
Keuangan dan Industri Nomor: KEP-31/M.EKUIN/06/2000. Tugas pokok
KNKCG merumuskan dan menyusun rekomendasi kebijakan nasional
mengenai GCG, serta memprakarsai dan memantau perbaikan di bidang
corporate governance di Indonesia.
Melalui KNKCG muncul pertama kali pedoman Umum GCG di tahun 2001,
pedoman Corporate Governance bidang Perbankan tahun 2004 dan Pedoman
Komisaris Independen dan Pedoman Pembentukan Komite Audit yang Efektif.

Pada tahun 2004 Pemerintah Indonesia memperluas tugas KNKCG melalui


surat keputusan Menteri Koordinator Perekonomian RI No.
KEP-49/M.EKON/II/ TAHUN 2004 tentang pembentukan Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) yang memperluas cakupan tugas sosialisasi
Governance bukan hanya di sector korporasi tapi juga di sector pelayanan
public.
KNKG pada tahun 2006 menyempurnakan pedoman CG yang telah diterbitkan
pada tahun 2001 agar sesuai dengan perkembangan.
Pedoman GCG yang dilaksanakan oleh perusahaan/BUMN pada umumnya
mengacu pada Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (“UUPT”), CSR dan Undang-undang nomor 8 tahun 1995 tentang
Pasar Modal, Peraturan Menteri BUMN No.PER-01-MBU-2011 jo No.PER-
09/MBU/2012 tentang pelaksanaan GCG pada BUMN, Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan No. 21/POJK.04/2015 tentang Penerapan Pedoman Tata Kelola
Perusahaan Terbuka dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan No. 32
/SEOJK.04/2015 tentang Pedoman Tata Kelola Perusahaan Terbuka, Peraturan
Bank Indonesia / PBI No. 8/4/PBI/2006 tentang pelaksanaan GCG bagi Bank
umum, Peraturan BAPEPAM & LK No. X.K.1 dst..tentang keterbukaan
informasi publik dll.

Pada Pedoman GCG tahun 2001 hal-hal yang dikedepankan adalah mengenai
pengungkapan dan transparansi, sedangkan hal -hal yang disempurnakan pada
Pedoman Umum GCG tahun 2006 adalah :

 Memperjelas peran tiga pilar pendukung (Negara, dunia usaha, dan


masyarakat) dalam rangka penciptaan situasi kondusif untuk
melaksanakan GCG.
 Pedoman pokok pelaksanaan etika bisnis dan pedoman perilaku.
 Kelengkapan Organ Perusahaan seperti komite penunjang dewan
komisaris (komite audit, komite kebijakan risiko, komite nominasi dan
remunerasi, komite kebijakan corporate governance);
 Fungsi pengelolaan perusahaan oleh Direksi yang mencakup lima hal
dalam kerangka penerapan GCG yaitu kepengurusan, manajemen risiko,
pengendalian internal, komunikasi, dan tanggung jawab sosial;
 Kewajiban perusahaan terhadap pemangku kepentingan lain selain
pemegang saham seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat serta
pengguna produk dan jasa.;
 Pernyataan tentang penerapan GCG;
 Pedoman praktis penerapan Pedoman GCG;

Tujuan lain dari Good Corporate Governance adalah menciptakan nilai


tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholder). Secara
teoritis, praktik corporate governance dapat meningkatkan nilai (valuation)
perusahaan dgn meningkatkan kinerja keuangan mereka, mengurangi risiko
yang mungkin dilakukan oleh dewan dengan keputusan-keputusan yang
menguntungkan diri sendiri, dan umumnya corporate governance dapat
meningkatkan kepercayaan investor (Emrinaldi, 2007).

Prinsip-prinsip Corporate Governance

Prinsip-prinsip internasional mengenai corporate governance mulai


muncul dan berkembang baru-baru ini. Prinsip-prinsip corporate
governance yang dikembangkan oleh OECD/ Organization for Economic
Co 0peration and Development bermaksud untuk membantu anggota dan
non anggota dalam usaha untuk menilai dan memperbaiki kerangka
kerja legal, institusional dan pengaturan untuk corporate governance
dinegara-negara mereka, dan memberikan petunjuk dan usulan
untuk pasar modal,investor, korporasi, dan pihak lain yang mempuyai
peranan dalam proses mengembangkan Good Corporate Governance.

Prinsip tersebut menurut OECD yang dikutip oleh Iman dan Amin (2002)
mencakup :
 Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham
(the right of shareholders).
Hak-hak para pemegang saham harus diberi informasi dengan
benar dan tepat pada waktunya mengenai perusahaan, dapat ikut
berperan serta dalam pengambilan keputusan mengenai
perubahan-perubahan yang mendasar atas perusahaan, dan turut
memperoleh bagian dari keuntungan perusahaan.
Persamaan perlakuan terhadap seluruh pemegang saham
minoritas dan pemegang saham asing, dengan keterbukaan
informasi yang pentingserta melarang pembagian untuk pihak
sendiri dan perdagangan saham oleh orang dalam (insider trading).
 Peranan stakeholder yang terkait dengan perusahaan (the role of
share holders) Peranan pemegang saham harus diakui
sebagaimana ditetapkan oleh hukum dan kerjasama yang aktif
antara perusahaan serta para pemegang kepentingan dalam
menciptakan kekayaan (modal kerja), lapangan kerja dan
perusahaan yang sehat dari aspek keuangan.
 Keterbukaan dan transparansi (Disclosure and transparency).
Pengungkapan yang akurat dan tepat pada waktunya serta
transparansi mengenai semua hal yang penting bagi kinerja
perusahaan, kepemilikan, serta para pemegang kepentingan
(stakeholders)
 Akuntabilitas dewan komisaris ( The responbilities of the board)
Tanggung jawab pengurus dalam manajemen, pengawasan
manajemen serta pertanggungjawaban kepada perusahaan dan para
pemegang saham.

Prinsip Good Corporate Governance atau dikenal “T A R I F” :

1. Transparansi (Transparancy)

Menurut Sutedi (2011; 11) transparansi yaitu penyediaan informasi yang


memadai, akurat, dan tepat waktu kepada stakeholders. Pengungkapan
yang memadai sangat diperlukan oleh investor dalam kemampuannya untuk
membuat keputusan terhadap risiko dan keuntungan dari investasinya.

Transparansi adalah keterbukaan dalam melaksanakan suatu proses


kegiatan perusahaan. Dengan transparansi, pihak-pihak yang terkait akan
dapat melihat dan memahami bagaimana dan atas dasar apa keputusan-
keputusan tertentu dibuat serta bagaimana suatu perusahaan dikelola.

Menurut Iman dan Amin (2002; 16), dalam hal ini, kerangka kerja
corporate governance harus memastikan pengungkapan yang tepat waktu dan
akurat dilakukan terhadap semua hal yang material berkaitan dengan
perusahaan mencakup situasi keuangan, kinerja, kepemilikan, dan tata kelola
perusahaan.
Selain itu, para investor harus dapat mengakses informasi penting
perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.

Hal-hal yang harus dilaksanakan dalam prinsip transparansi adalah :


Pengungkapan akan tetapi tidak terbatas pada informasi yang material antara
lain :
1) Hasil keuangan dan operasi.
2) Tujuan perusahaan.
3) Kepemilikan saham utama dan hak-hak pemberian suara.
4) Anggota dewan komisaris,board of directors dan eksekutif kunci/Dirut,
dan remunerasi mereka.
5) Faktor-faktor risiko material/manajemen risiko yang dapat diperkirakan.
6) Isu material yang berkaitan dengan pekerja dan stakeholder yang lain.
Informasi harus disiapkan untuk diaudit dan diungkapkan sesuai dengan
standar akuntansi/PSAK, pengungkapan keuangan dan non-keuangan
(budget/non budget) agar hasil audit bermutu tinggi.

 Audit tahunan harus dilakukan oleh auditor independen agar


memberikan keyakinan kepada pihak eksternal dan objektivitas atas
cara laporan keuangan disusun dan disajikan.
 Saluran penyebaran informasi harus memberikan akses yang wajar,
tepat waktu dan efisien biaya terhadap informasi yang relevan untuk
pemakai.
 Inti dari prinsip transparansi adalah bahwa kerangka corporate
governance harus menjamin adanya pengungkapan yang tepat waktu
dan akurat untuk setiap permasalahan yang berkaitan dengan
perusahaan.
 Pengungkapan ini meliputi informasi mengenai keadaan keuangan,
kinerja perusahaan. Disamping itu informasi yang harus diungkapkan
harus disusun sistematis, diaudit dan disajikan sesuai standar yang
berkualitas tinggi. Manajemen juga harus meminta auditor eksternal
melakukan audit yang bersifat independen atas laporan keuangan.

2. Akuntabilitas (Accountability)

Menurut Sutedi (2011; 11), akuntabilitas yaitu pengelolaan perusahaan


didasarkan pembagian kekuasaan di antara manajer perusahaan, yang
bertanggung jawab pada pengoperasian setiap harinya, dan pemegang
sahamnya yang diwakili oleh dewan direksi.
Menurut Imam S Tunggal dan Amin W. Tunggal (2002; 7), akuntabilitas
merupakan penciptaan sistem pengawasan yang efektif berdasarkan
keseimbangan pembagian kekuasaan antara board of commissioners, board
of directors, shareholders, dan auditor (pertanggung-jawaban wewenang,
treaceable/dapat dicapai, reasonable/pantas)
Prinsip Akuntabilitas menjelaskan kejelasan fungsi, pelaksanaan, serta
pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengelolaan
perusahaan dapat terlaksana secara efektif dan ekonomis. Perusahaan
harus dapat mempertanggungjawabkan kinerjanya dengan wajar dan
transparan. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur
dan sesuai kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan
kepentingan pemegang saham dan steakeholder lainnya.
Akuntabilitas merupakan prasyarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja
yang berkesinambungan.

3. Tanggung Jawab (Responsibility)

Responsibilitity untuk memastikan perusahaan harus memenuhi peraturan


perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap
masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan
usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai perusahaan yang
baik.

4. Kemandirian (Independency)

Menurut Iman dan Amin (2002; 8), kemandirian adalah sebagai keadaan
dimana perusahaan bebas dari pengaruh atau tekanan pihak lain yang tidak
sesuai dengan mekanisme korporasi
Menurut Zarkasyi (2008; 40), untuk melancarkan pelaksanaan prinsip
GCG perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing
organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi
olehpihak-lain.
Prinsip ini memastikan bahwa masing-masing organ perusahaan melaksanakan
fungsi dan tugasnya sesuai dengan anggaran dasar dan peraturan
perundang-undangan, tidak saling mendominasi dan melempar tanggung
jawab antara satu dengan yang lain, sehingga terwujud sistem pengendalian
internal yang efektif dan perusahaan dapat terhindar dari berbagai macam
masalah dengan begitu aktivitas perusahaan dapat dijalankan dengan baik dan
dinamis.

5. Kewajaran ( Fairness)
Menurut Daniri (2005; 12), secara sederhana kesetaraan kewajaran sebagai
perlakuan adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang
timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness adalah kesetaraan perlakuan dari perusahaan terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya.
Prinsip fairness ini harus menjamin adanya perlakuan yang setara (adil)
terhadap semua pihak terkait, terutama pemegang saham minoritas maupun
asing.

a. Manfaat Corporate Governance ( GCG )

Corporate Governance sebagai suatu sistem bagaimana suatu perusahaan


dikelola dan diawasi, pelaksanaan Corporate Governance yang baik diakui
dapat membantu mempertahankan perusahaan dari kondisi-kondisi yang
tidak menguntungkan.
Penerapan Good Corporate Governance banyak memberikan manfaat baik
perusahaan maupun pihak lain yang mempunyai hubungan langsung dan tidak
langsung dengan perusahaan.

Menurut Forum for Corporate Governance Indonesia in Indonesia


(FCGI:2001) - manfaat dari penerapan good corporate governance adalah :
1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya
proses pengambilan keputusan yang lebih baik,
meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih
meningkatkan pelayanan kepada stakeholders.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih
murah (karena faktor kepercayaan) yang pada akhirnya
akan meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan
modalnya di Indonesia.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja
perusahaan karena sekaligus akan meningkatkan pemegang
saham/shareholder’s value dan deviden.

Khusus bagi BUMN akan dapat membantu bagi APBN terutama dari hasil
privatisasi-BUMN/swastanisasi.
Manfaat penerapan corporate governance, menurut Iman S Tunggal dan Amin
W Tunggal (2002; 9-10), yaitu:

1. Perbaikan dalam komunikasi.


2. Minimalisasi potensial benturan.
3. Fokus pada strategi-strategi utama.
4. Peningkatan dalam produktivitas dan efisiensi.
5. Kesinambungan manfaat (suistainability of benefits).
6. Promosi citra korporat (corporate image).
7. Peningkatan kepuasan pelanggan.
8. Perolehan kepercayaan investor.
9. Dapat mengukur target kinerja manajemen perusahaan.
Dengan pelaksanaan corporate governance yang baik, keputusan-
keputusan penting perusahaan tidak lagi hanya ditetapkan oleh satu pihak
yang dominan (misalnya Direksi), akan tetapi ditetapkan setelah mendapatkan
masukan dari, dan dengan mempertimbangkan kepentingan berbagai
pihak yang berkepentingan (stakeholders).
Selain itu, corporate governance yang baik dapat mendorong pengelolaan
organisasi yang lebih demokratis (karena melibatkan partisipasi banyak
kepentingan), lebih accountable (karena ada sistem yang akan meminta
pertanggungjawaban atas semua tindakan), dan lebih transparan serta
akan meningkatkan keyakinan bahwa perusahaan dan organisasi lainnya
dapat mengembangkan manfaat tersebut dalam jangka panjang.

Sasaran Corporate Governance


III. GCG DI DUNIA, ASIA DAN INDONESIA
Pemicu Timbulnya Good Corporate Governance di Dunia pada awal dekade
2000-an dunia dikejutkan oleh tumbangnya perusahaan –perusahaan raksasa
terkemuka di berbagai negara industri maju termasuk AmerikaSerikat, Inggris,
Itali, Australia, Singapura, dan Hongkong.
Regulator pemerintah tiap negara dan pakar manajemen memberikan
kesimpulan bahwa penyebab utama tumbangnya perusahaan perusahaan
besar tersebut adalah karena lemahnya penerapan prinsip – prinsip good
corporate governance mereka.

Konsep good corporate governance baru popular di Asia. Konsep ini relatif
berkembang sejak tahun 1990-an. Konsep good corporate governance baru
dikenal di Inggris pada tahun 1992. Negara-negara maju yang tergabung dalam
kelompok OECD (kelompok Negara-negara maju di Eropa Barat dan Amerika
Utara) mempraktekkan pada tahun 1999. Mengingat kawasan Asia dan Amerika
Latin yang diyakini muncul, karena kegagalan penerapan GCG.

Kelemahan corporate governance tersebut antara lain ditandai oleh berbagai


macam hal, diantaranya yaitu :
1.Renggangnya hubungan antara para pemegang saham dengan
manajemen perusahaan.
2.Lemahnya peranan dewan pengurus dalam mengarahkan dan
mengendalikan kebijaksanaan dan pengelolaan harta, utang, dan operasi
bisnis perusahaan.
3.S em akin bebasnya manajemen perusahaan m engelola dan
m engambil keputusan – keputusan penting yang bersangkutan dengan
kelangsungan hidupperusahaan.
4.T i d a k t r a n s p a r a n , a k u r a t , d a n t e p a t w a k t u n y a p e n y a m p a i a n
l a p o r a n perkembangan bisnis dan laporan keuangan oleh
manajemen perusahaan kepada para pemegang saham dan kreditur.
5.Dalam banyak kasus auditor yang mengaudit laporan keuangan
perusahaan tidak bekerja di bawah pengawasan langsung dari komite audit

Kelemahan-kelemahan corporate governance itulah yang memberikan


peluang dewan pengurus dan manajemen perusahaan yang memiliki moral
dan etika bisnis yang buruk mengelola perusahaan demi kepentingan
pribadi atau golongan mereka bukan demi kepentingan perusahaan.
Dalam melakukan penyalahgunaan jabatan tersebut tidak sedikit
manajemen perusahaan berkolusi dengan i nsti tusi pr ofesi papan atas
seper ti penasehat hukum, perusahaan konsultan, dan perusahaan
akuntan publik.

Skandal bisnis perusahaan – perusahaan raksasa dunia tersebut


telahmelukai kehidupan ekonomi banyak negara. Dampak negatif
skandal tersebut antara lain adalah menurunnya kepercayaan investor untuk
menanamkan dananyadalam perdagangan surat berharga. Selain itu bank dan
lembaga keuangan non –bank lebih selektif dalam menyalurkan kredit
mereka. Sejak terjadinya skandal bisnis tersebut diatas para investor surat
berharga dan bank - bank kreditur sadar bahwa hak dan kepentingan mereka
di perusahaan dimana mereka menanamkan dananya tidak sepenuhnya
terlindungi.

Reaksi Dunia Internasional akan kejatuhan perusahaan raksasa


multinasional pada awal tahun 2000an menyadarkan masyarakat bisnis
dan pemerintah bahwa corporate governance dinegara mereka perlu di
reformasi. Dua negara yang paling serius menangani imbas skandal
perusahaan – perusahaan publik di dunia itu adalah Inggris dan Amerika
Serikat. Hal itu disebabkan karena pasar modal di kedua negara itu
merupakan motor perkembangan ekonomi mereka.

Skandal besar yang menimpa perusahaan-perusahaan baik di Inggris maupun


Amerika Serikat pada tahun 1980an berupa berkembangnya budaya serakah
dengan pengambilalihan perusahaan lain secara agresif sehingga perlu
menyadarkan orang perlu etika bisnis dan sistem tata-kelola perusahaan dengan
baik.
Bagaimanapun juga dalam suatu perusahaan selalu saja terjadi persaingan
antara kebebasan pribadi dan tanggung jawab kolektif/bersama dan inilah
sentral dari pengaturan perusahaan yang menjadi obyek corporate governance.
Suatu organisasi/perusahaan itu tidak mempunyai jiwa, sedangkan yang
mempunyai jiwa adalah orang-orang yang bekerja di dalamnya dan dipengaruhi
oleh interaksi dalam mengejar kepentingan pribadi serta kepentingan bersama.

Terkadang dalam perusahaan selalu ada POTENSI KONFLIK seperti antara


pemilik saham dan pimpinan perusahaan/BOC-BOD atau antara pemilik saham
majoritas dan minoritas atau antara pekerja dan pimpinan perusahaan/BOD atau
ada potensi mengenai pelanggaran atas perlindungan lingkungan, atau potensi
kerawanan hubungan antara perusahaan dan masyarakat setempat atau antara
perusahaan dan pelanggan/mitra/pemasok atau juga besarnya gaji para eksekutif
jadi bahan kritikan karyawan.

Contoh : tahun 1992 misalnya masyarakat industri otomotif Jepang mengkritik


industri otomotif Amerika Serikat yang memberikan gaji terlalu tinggi pada
para eksekutifnya. Bahkan ketika resesi pada tahun 1989, gaji mereka terus
meningkat sebesar rata-rata 6,7% tetapi gaji untuk pemegang saham pada waktu
yang sama merosot sebesar 9%.
Untuk itu diperlukan suatu sistem tata-kelola perusahaan yang jelas dan regulasi
yang dapat dipertanggung jawabkan.

Semula sistem corporate governance hanya berkembang di negara Inggris dan


Amerika, tetapi akhirnya dapat berkembang di negara-negara lain.
Konsultan manajemen McKinsey & Co, melalui penelitian pada tahun yang
sama, menemukan bahwa sebagian besar nilai pasar perusahaan-perusahaan
Indonesia yang tercatat di pasar modal (sebelum krisis) ternyata overvalued.
Dikemukakan bahwa sekitar 90% nilai pasar perusahaan publik ditentukan oleh
growth expectation dan sisanya 10% baru ditentukan oleh current earning
stream. Sebagai pembanding, nilai dari perusahaan publik yang sehat di negara
maju ditentukan dengan komposisi 30% dari growth expectation dan 70% dari
current earning stream, yang merupakan kinerja sebenarnya dari korporasi. Jadi,
sebenarnya terdapat ”ketidakjujuran” dalam permainan di pasar modal yang
kemungkinan dilakukan atau diatur oleh pihak yang sangat diuntungkan oleh
kondisi tersebut.

Krisis mulai mengalami pemulihan, kecuali Indonesia. Harus dipahami bahwa


kompetisi global bukan kompetisi antarnegara, melainkan antarkorporat di
negara-negara tersebut. Jadi menang atau kalah, menang atau terpuruk, pulih
atau tetap terpuruknya perekonomian satu negara bergantung pada korporat
masing-masing.

Pemahaman tersebut membuka wawasan bahwa korporat kita belum dikelola


secara benar. Dalam bahasa khusus, korporat kita belum menjalankan
governansi. Survey dari Booz-Allen di Asia Timur pada tahun 1998
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki indeks corporate governance paling
rendah dengan skor 2,88 jauh di bawah Singapura (8,93), Malaysia (7,72) dan
Thailand (4,89). Rendahnya kualitas GCG korporasi-korporasi diIndonesia
ditengarai menjadi kejatuhan perusahaan-perusahaan tersebut.
IV. STRUKTUR KEPEMILIKAN, PERUSAHAAN DAN
STAKEHOLDER

REGULASI
PEMERINTAHAN PELANGGAN
PUSAT - DAERAH PEMASOK

PEMEGANG SAHAM

BOC KOMITE AUDIT

BOD
CORSEC AUDIT INTERNAL

MANAGER SDMMANAGER KEUANGAN


MANAGER PRODUKSI
MANAGER PERAWATAN

KARYAWAN

KOMUNITAS
MASYARAKAT KADIN
CSR Serikat tng.kerja PWI, NGO
Struktur kepemilikan dan kinerja perusahaan
Struktur kepemilikan merupakan metode alternatif dalam memitigasi masalah
agensi antara prinsipal dan agen. Sifat kepemilikan dalam suatu perusahaan
merupakan dimensi penting bagi struktur governance dan dipergunakan sebagai
alat monitoring perusahaan oleh karena mampu mempengaruhi kinerja.
Struktur kepemilikan dapat berupa konsentrasi kepemilikan dalam mana
kepemilikan saham terbesar yang dimiliki oleh investor, kepemilikan keluarga,
kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional.
Konflik kepentingan yang ada dalam suatu perusahaan dapat diatasi jika
kepemilikan terkonsentrasi pada pemegang saham terbesar. Lebih lanjut,
pemegang saham terbesar lebih mampu memanfaatkan kekuatan voting mereka
untuk mempengaruhi perilaku manajemen, sebagaimana yang dikemukakan
bahwa konsentrasi tinggi atas kepemilikan saham dapat meminimalisasi biaya
agensi karena berfungsi sebagai pengganti proteksi hukum.
Dinyatakan lebih lanjut bahwa meskipun tanpa institusi legal yang kuat,
investor dominan dominan memiliki alat dan dorongan untuk memantau
manajemen dalam mengambil suatu kebijakan. Namun mengenai hubungan
pemegang saham subtanstial dengan kinerja masih terlihat beragam.
Adanya hubungan positif antara konsentrasi kepemilikan dan profitabilitas.
Kepemilikan terbesar menunjukkan peran penting pemegang dalam perusahaan
dan bagaimana nilai perusahaan berkorelasi positif dengan peningkatan nilai
pemegang saham terbesar. Namun menunjukkan hasil yang tidak siginifikan
atau hanya menunjukkan hubungan yang lemah atas hubungan keduanya.
Menurut UU No. 19, Tahun 2003 Tentang BUMN, privatisasi adalah penjualan
saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam
rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi
negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat.

Dengan adanya privatisasi berarti struktur kepemilikan BUMN menjadi


berubah, dimana kepemilikan pemerintah menjadi berkurang dengan penjualan
saham kepada pihak lain. Selanjutnya peran swasta makin meningkat sedangkan
peran pemerintah makin berkurang. Secara spesifik perubahan struktur
kepemilikan di BUMN di seluruh dunia pada dasarnya didorong oleh dua
motivasi. Pertama keinginan menaikkan efisiensi karena buruknya kinerja
sebagian BUMN. Kedua secara empiris dapat dibuktikan bahwa perubahan
struktur kepemilikan BUMN bisa dimaksudkan untuk membantu anggaran
pemerintah dari tekanan defisit.

Struktur kepemilikan pada BUMN sebagai akibat dari adanya privatisasi dapat
dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu (1) kepemilikan pemerintah dan (2)
kepemilikan non pemerintah yang terdiri dari kepemilikan manajemen,
kepemilikan institusi, kepemilikan asing dan kepemilikan publik.
Implikasi pertama dari privatisasi BUMN adalah terjadinya perubahan
komposisi kepemilikan BUMN yang menyebabkan BUMN perlu melakukan
redefinisi misi dan tujuan perusahaan.

Ketika BUMN belum dilakukan privatisasi, kepemilikan BUMN 100% adalah


milik pemerintah yang biasanya misi dan tujuan BUMN sangat banyak, mulai
dari tujuan sosial, agent of development, sampai dengan misi bisnis, sehingga
BUMN tidak fokus, dan bahkan berpotensi terjadinya konflik kepentingan
dalam mencapai tujuan tersebut. Dengan privatisasi, BUMN akan lebih fokus
pada pencapaian profit. Namun demikian, seperti ditunjukkan oleh beberapa
hasil penelitian, fokus pada pencapaian profit ini sangat tergantung pada
komposisi kepemilikan BUMN.

Prediksi bahwa BUMN akan lebih fokus pada pencapaian profit, sehingga
manfaat privatisasi untuk peningkatan efisiensi operasi dapat diperoleh, jika
pemerintah mulai melepas kepemilikan BUMNnya dan menyerahkannya pada
swasta. Jika kepemilikan pemerintah pada BUMN masih mayoritas, maka
biasanya BUMN akan menunda untuk melakukan restrukturisasi dan
pengurangan karyawannya. Ini yang menyebabkan BUMN tidak efisien.

Pengaruh privatisasi pada kinerja keuangan BUMN bahwa efisiensi yang sangat
signifikan pada BUMN sesudah privatisasi hanya terjadi bila kepemilikan
pemerintah pada BUMN semakin berkurang.
Sesuai keterkaitan dengan pelaksanaan Good Corporate Governance, menurut
Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor: Kep-117/M-
MBU/2002 tentang Penerapan Praktik Good Corporate Governance pada Badan
Usaha Milik Negara, maka ditetapkan bahwa “Corporate Governance adalah
suatu proses dan struktur yang digunakan oleh organ BUMN untuk
meningkatkan keberhasilan usaha dan akuntabilitas perusahaan guna
mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya, berlandaskan peraturan
perundangan dan nilai-nilai etika, sedangkan stakeholders adalah pihak-pihak
yang memiliki kepentingan dengan BUMN, baik langsung maupun tidak
langsung yaitu pemegang saham/pemilik modal, komisaris/dewan pengawas,
direksi dan karyawan serta pemerintah, kreditur, dan pihak berkepentingan
lainnya. Prinsip prinsip Good Corporate Governance dikemukakan pula oleh
National Committee Governance (NCG ; 2006). Prinsip-prinsip NCG hampir
sama dengan yang diungkapkan oleh Menteri Negara BUMN melalui keputusan
Menteri BUMN No 117/M-MBU/2002.
UNSUR & KLASIFIKASI “STAKEHOLDER”

No . St akeholder K la sifika si

1. Pemegang Saham a. Perusahaan induk PT AAA, selaku pemegang saham mayoritas


b. Anak Perusahaan .. PT CCC selaku pemegang saham minoritas
3. Pemerintah a. Instansi pemerintah di bidang perizinan – a.l. Dinas Tata Kota,
Kantor PBB, Disperindagkop

b. Instansi pemerintah di bidang regulasi nasional atau daerah – a.l.


Biro Hukum Pemda, Biro Setda
c. Instansi/Muspika/Muspida/Tripika – a.l. Pemprov,kab , Kecamatan
d. DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota – a.l. Sekwan
7. Pelanggan a. Pelanggan industri dan domestik - a.l. Perusahaan industri,
Manufacture, Pabrik, home industry, UMKM dll

b. Pemasok barang & Pengadaan Jasa – a.l. Supplier, Kontraktor


9. Tenaga Kerja a. Karyawan Tetap / permanen

b. Karyawan outsourcing / alihdaya / kontrak


c. Serikat pekerja / Serikat Karyawan
12. Komunitas a. NGO atau organisasi sosial kemasyarakatan, a.l. LSM, Karang taruna
KNPI, / Ormas social, Forum

b. Organisasi profesi, a.l. Kadin, PWI, Perpamsi


14. Masyarakat Ulama, Tokoh agama / tokoh masyarakat, RW, RT / tokoh pemuda
V. PERLINDUNGAN HAK PEMEGANG SAHAM

Dalam setiap kegiatan bisnis yang dilakukan menjaga dan meningkatkan


nilai usaha sesuai dengan harapan pemegang saham.
a. Hak pemegang saham
Perusahaan selalu menghormati hak-hak pemegang saham
sebagaimana diatur dalam undang-undang serta ketentuan
lain yang berlaku.
Hak-hak pemegang saham (UU No.40 tahun 2007, Pasal 52
ayat 1 sebagaimana tersebut adalah
- Hak menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS
- Hak menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan
hasil likuidasi
- Menjalankan hak lainnya berdasarkan undang-undang ini
b. Akuntabilitas pemegang saham
Pemegang saham tidak diperkenankan mencampuri kegiatan
operasional perusahaan yang menjadi tanggung jawab
direksi sesuai ketentuan Anggaran Dasar perusahaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlindungan Terhadap Hak Pemegang Saham


                                                                                                                                
Perlindungan Terhadap hak-hak Pemegang Saham,
UU Perseroan Terbatas (UUPT) mengenal beberapa prinsip ini, misalnya prinsip
pencatatan saham atau bukti pemilikan maupun prinsip perolehan informasi
yang relevan mengenai perseroan pada waktu yang tepat, demikian juga pada
perusahaan publik.

Persamaan Perlakuan terhadap Seluruh Pemegang Saham,


Hukum Perusahaan di Indonesia telah mengatur prinsip ini, seperti yang diatur
dalam UU Perseroan Terbatas ditegaskan bahwa : Saham memberikan hak
kepada pemiliknya untuk:
a. menghadiri dan mengeluarkan suara dalam RUPS;
b. menerima pembayaran dividen dan sisa kekayaan hasil likuidasi;
c. menjalankan hak lainnya berdasarkan UUPT.,
tetapi perlindungan terhadap setiap pemegang saham ternyata belum equel.
Jika ditelusuri lebih jauh, prinsip ini salah satu aspek yang perlu diprioritaskan
dalam penerapan dan atau pengaturan corporate governance di Indonesia.
Dalam praktinya masalah perlindungan pemegang saham minoritas masih
sarat kontrovesi, dan sering sekadar hanya merupakan wacana normatif.
Contoh lain, penerapan Pasal 62 ayat (1) UUPT, yang menentukan bahwa.
“Setiap pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya
dibeli dengan harga yang wajar, apabila yang bersangkutan tidak menyetujui
tindakan perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:
perubahan anggaran dasar, b. pengalihan atau penjaminan kekayaan
Perseroan yang mempunyai nilai lebih dari 50% (lima puluh persen) kekayaan
bersih Perseroan; atau , penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau
pemisahan”. Ketentuan pasal ini sangat limitatif dan tidak menentukan secara
imperative mewajibkan perseroan membeli saham dari pemegang saham
minoritas, maupun sanksi jika perseroan menolak membeli saham tersebut,
dengan kata lain pemegang saham minoritas tertutup untuk memanfaatkan
pasal 62 UUPT.

Perlindungan Hukum Terhadap Pemegang Saham

1. Perlindungan dari Peundang-Undangan


Sebagian dari sistem perlindungan hukum bagi pemegang saham publik berada
di tangan Bapepam. Perlindungan terhadap pemegang saham dimuat dalam
ketentuan perundang-undangan dalam pasar modal, seperti UU pasar modal
dan perlindungan terhadap pemegang saham yang dilakukan Bapepam dapat
dilihat dari UU pasar modal pasal 82 ayat (2) peraturan no IX.E.1
2. Perlindungan dari Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan GCG dalam pengelolaan perusahaan dapat memberikan
perlindungan terhadap pemegang saham karena dalam GCG terdapat prinsip-
prinsip yang dapat melindungi kepentingan perusahaan, pemegang saham,
manajemen, dan investor serta pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan.

Melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang beresiko dirugikan


oleh kekuasaan pemegang saham mayoritas. Ini beberapa pasal yang dapat
berusaha mengatur kepentingan pemegang saham baik mayoritas dan
minoritas:

A. Tindakan Derivatif
Ketentuan ini mengatur bahwa Pemegang saham dapat mengambil alih untuk
mewakili urusan perseroan demi kepentingan perseroan, karena ia
menganggap Direksi dan atau Komisaris telah lalai dalam kewajibannya
terhadap perseroan.

       1. Pemegang saham dapat melakukan tindakan-tindakan atau bertindak


selaku wakil perseoran dalam memperjuangkan kepentingan perseroan
terhadap tindakan perseroan yang merugikan, sebagai akibat kesalahan atau
kelalaian yang dilakukan oleh anggota Direksi dan atau pun oleh komisaris
(lihat ps.85 (3) jo. ps.98 (2) UUPT).
2. Melalui ijin dari Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
kedudukan perseroan, pemegang saham dapat melakukan sendiri pemanggilan
RUPS (baik RUPS tahunan maupun RUPS lainnya) apabila direksi ataupun
komisaris tidak menyelenggarakan RUPS atau tidak melakukan pemanggilan
RUPS (lihat ps.67 UUPT).

B. Hak Pemegang Saham Minoritas


Pada dasarnya ketentuan-ketentuan di bawah ini terutama ditujukan untuk
melindungi kepentingan pemegang saham minoritas dari kekuasaan pemegang
saham mayoritas.

1. Hak Menggugat
 Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap perseroan
melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi kedudukan
perseroan, bila tindakan perseroan merugikan kepentingannya (ps. 54 UUPT)

2. Hak Atas Akses Informasi Perusahaan


Pemegang saham dapat melakukan pemeriksaan terhadap perseroan,
permintaan data atau keterangan dilakukan apabila ada dugaan bahwa
perseroan dan atau anggota direksi atau komisaris melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan pemegang saham atau pihak ketiga (lihat
ps.110 UUPT).
    
3. Hak Atas Jalannya Perseroan
Pemegang saham dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri
untuk membubarkan perseroan (lihat ps.117 UUPT).

4. Hak Perlakuan Wajar


Pemegang saham berhak meminta kepada perseroan agar sahamnya dibeli
dengan harga yang wajar apabila yang bersangkutan tidak menyetujui tindakan
perseroan yang merugikan pemegang saham atau perseroan, berupa:
a. perubahan anggaran dasar perseroan;
b.penjualan, penjaminan, pertukaran sebagian besar atau seluruh kekayaan
perseroan; atau
c. penggabungan, peleburan atau pengambilalihan perseroan.

VI. TANGGUNG JAWAB DEKOM, DIREKSI & KOMISARIS INDEPENDEN

Good Corporate Governane adalah sistem, proses, dan seperangkat


peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang
berkepentingan terutama hubungan antara pemegang saham, dewan
komisaris dan dewan direksi demi tercapainya tujuan organisasi.

Prinsip Good Corporate Governance diharapkan menjadi titik rujukan


pembuat kebijakan (pemerintah) dalam membangun kerangka kerja
penerapan Corporate Governance. Bagi pelaku usaha dan pasar modal,
prinsip ini dapat menjadi pedoman mengkolaborasi praktek terbaik bagi
peningkatan nilai/value dan keberlangsungan/sustainable perusahaan.

Menurut SK Menteri BUMN Nomor : Kep. 117/M-MBU/2002 tentang


Penerapan Praktek Good Corporate Governance yang dikutip oleh
Sedarmayanti diutarakan bahwa prinsip-prinsip Good Corporate
Governance meliputi :
1. Transparansi
  2. Kemandirian
  3. Akuntabilitas
  4. Responsibilitas
  5. Kewajaran
         
Adapun unsur-unsur (person incharge) dalam Good Corporate Governance
terdiri atas :

1._Pemegang Saham dan Rapat Umum Pemegang Saham


Organ perseroan menurut UU No.40/2007 tentang Perseroan Terbatas
adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.
RUPS adalah Organ perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi dalam
perseroan dan memegang segala wewenang yang tidak diserahkan kepada
Direksi dan komisaris dalam batas yang ditentukan UU No.40/2007 dan atau
anggaran dasar.
RUPS berhak memperoleh segala keterangan yang berkaitan dengan segala
kepentingan perseroan dari Direksi dan atau Komisaris.

2._Komisaris dan Direksi


Dewan Komisaris dan Direksi merupakan factor sentral dalam Corporate
Governance karena hukum perseroan menetapkan tanggung jawab legal
atas urusan suatu perusahaan kepada dewan Komisaris dan Direksi. Dewan
Komisaris dan Direksi secara legal bertanggungjawab untuk menetapkan
sasaran korporat, mengembangkan kebijakan yang luas, dan memilih
personal tingkat atas untuk melaksanakan sasaran dan kebijakan tersebut.
Dewan Komisaris dan Direksi  juga menelaah kinerja manajemen untuk
meyakinkan bahwa perusahaan dijalankan secara baik dan kepentingan
pemegang saham dilindungi.

Mempunyai dewan yang terintegrasi merupakan hal yang penting dalam


mewujudkan keberhasilan penerapan Good Corporate Governance. Untuk
dapat mewujudkanya, diperlukan beberapa pre-kondisi, yaitu: Keberagaman
(Diversity), Kepercayaan (Trust), Network, dan Visi dalam perusahaan. Yang
dimaksud dengan keberagaman adalah adanya keberagaman dalam
komposisi dewan, baik ditinjau dari segi usia, ras, kebangsaan, gender, skill,
peranan dan lain-lain. Yang dimaksud dengan Trust adalah dengan adanya
budaya konstruktif dan anggota dewan yang mempunyai pemikiran yang
luas. Yang dimaksud dengan Network adalah adanya struktur dewan yang
efisien dalam perusahaan. Dan yang terakhir, Visi merupakan tujuan yang
ingin diperoleh oleh perusahaan, yaitu mensejahterakan para
stakeholdernya.

Perusahaan dalam melaksanakan praktik GCG yang merupakan bagian dari


usaha untuk pencapaian visi dan misi perusahaan umumnya menggunakan
sistematika etika usaha dan tata perilaku / code of the conduct sebagai
salah satu wujud komitmen dan penjabaran nilai perusahaan serta menjadi
acuan perilaku bagi dewan komisaris, direksi dan karyawannya dalam
mengelola perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan.

Dewan Komisaris merupakan bagian yang penting dalam perusahaan untuk


menentukan kebijakan dan strategi perusahaan.

Penentuan Komposisi Dewan Komisaris


Dalam menentukan komposisi anggota dewan komisaris ada beberapa
aspek yang harus diperhatikan diantaranya adalah kompetensi kemampuan
dan juga peranan yang akan diberikan. Untuk dapat membentuk suatu
komposisi anggota dewan yang optimal, sebaiknya perusahaan menyaring
para kandidat berdasarkan dengan kompetensi keahlian seperti; Auditing,
Financial Management, Risk Management, Compliance Management, Bio-
Technology, Internantional Market Know-How, Alliance Management dan
juga Human Resources Management. Hal ini guna menyempurnakan
performance dewan komisaris dalam mengawasi jalanya perusahaan,
membuat strategi jangka panjang dan juga mencegah adanya Fraud dalam
management.
Selain berdasarkan kompetensi keahlian, perusahaan juga harus bisa
menyaring kandidat terbaik melalui peranan mereka, diantaranya; Tim
Sponsor, Critical Thinker, Organizer, Pelaksana, Pengontrol, Strategic
Designer, dan juga Creative Thinker. Peranan ini akan sangat penting, karena
jika hanya mengandalkan kompetensi keahlian tanpa adanya penguasaan
terhadap peranan sistem tidak akan berjalan. Jadi, kedua hal ini merupakan
tahap awal dari penyeleksian kandidat dewan komisaris yang seharusnya
dipertimbangkan oleh perusahaan.

TRUST : Budaya Kritis Yang Membangun

Untuk dapat menjadi tim yang solid, para anggota dewan komisaris harus
mempunyai kepercayaan yang tinggi antara satu anggota dewan dengan
yang lainnya. Budaya kritis juga diperlukan sekali dalam dewan guna
mengontrol dan mencegah timbulnya Kecurangan (FRAUD), namun
demikian budaya kritis yang dimaksud adalah budaya kritis yang tidak
menuduh dan menghakimi, melainkan budaya kritis yang membangun.

Untuk dapat mewujudkan budaya kritis yang membangun, ada beberapa hal
yang harus dilakukan anggota dewan komisaris, antara lain:
a.      Terlibat dalam konflik yang konstruktif
b.      Menghindari konflik yang desduktrif
c.       Bekerja bersama sebagai sebuah tim
d.      Mengetahui level keterlibatan dalam strategi yang pantas
e.       Menyampaikan keputusan dengan lengkap dan menyeluruh
         
Selain itu, para anggota dewan komisaris juga diharuskan memahami betul
bagaimana Board Cooperation Rules (Kesepakatan Kerjasama Dewan) agar
kinerja dewan semakin optimal.
Adapun Board Cooperation Rules tersebut adalah sebagai berikut:

a. Mengemukakan pendapat dengan terbuka dan menghindari


menyinggung pihak lain
b. Menyampaikan masalah pada saat yang tepat disertai dengan
solusi yang disarankan
c. Mendelegasikan tugas kepada manager yang sesuai dengan
kompetensi keahlian dan tanggung jawabnya dan tidak
memberikan tanggung jawab untuk mengatur dan mengontrol
perusahaan
d. Menunjukan kepercayaan diri dalam top management dan
mengawasi secara konstruktif terhadap aktivitas top
management
e. Menjaga dan memantau objektivitas dewan dan menjaga
kepentingan perusahaan
f. Membuat keputusan dalam dewan dan tetap menjaga
keputusan tersebut meskipun mendapatkan tantangan
g. Memberikan pengakuan terhadap prestasi yang dicapai oleh
dewan dan top management serta memberikan dukungan pada
area baru yang menjanjikan pada pekerjaan dewan dan
management
h. Bekerja sama secara konstruktif dengan top management dan
menjaga kontrol strategik pekerjaan top management

Struktur Dekom & Direksi dalam GCG

Berikut ini merupakan salah satu contoh struktur dewan dalam Good
Corporate Governance.
            Pimpinan tertinggi dalam GCG adalah Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), dibawahnya adalah Sekretaris Perusahaan, Dewan Komisaris dan
juga Direksi. Dewan Komisaris memiliki beberapa komite untuk dapat
mengawasi jalanya perusahaan, yaitu Komite Audit, Komite Nominasi &
Remunerasi, Komite Manajemen Resiko dan juga Komite GCG.
Ketua dari masing-masing komite harus independen (tidak terlibat konflik
kepentingan), harus mempunyai skill yang mumpuni dan berpengalaman
sebagai bukti rekam jejaknya di bidang yang sama. Sedangkan Direksi
bertugas untuk mengelola operasional perusahaan.
Komisaris Independen
Untuk memastikan bahwa Dewan Komisaris telah melakukan pengawasan
terhadap kinerja para direktur, sehingga tercapai tata kelola perusahaan yang
baik pada perusahaan terbuka (Tbk). Maka keberadaan komisaris independen
sebagai motor pengawasan dipandang perlu. Keberadaan komisaris independen
menjadi penting karena dalam praktik sering ditemukan transaksi yang
mengandung benturan kepentingan pada perusahaan publik. Dengan adanya
komisaris independen maka diharapkan kepentingan pemegang saham
minoritas, dan kepentingan pemangku kepentingan yang lain dapat terlindungi.

Dalam perusahaan swasta tertutup (belum menjual saham di bursa efek), maka
tugas pengawasan terhadap para direktur dilakukan langsung oleh para
pemegang saham yang otomatis adalah para komisaris. Namun seiring dengan
majunya pasar modal di Indonesia dan banyak perusahaan berbondong-bondong
memanfaatkan dana masyarakat yang ada di bursa efek, maka fungsi
pengawasan terhadap perusahaan publik perlu semakin diperkuat.
Menurut undang-undang perseroan terbatas, pada hakikatnya semua komisaris
harus bersikap independen semata-mata demi kepentingan perusahaan, terlepas
dari pengaruh berbagai pihak yang mungkin berbenturan dengan kepentingan
perusahaan. Indonesian Society of Independent Commissioners juga
mengeluarkan pedoman tentang komisaris independen ini.

Tanggung Jawab

Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong


diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance). Hal itu dia lakukan dengan cara mendorong anggota dewan
komisaris yang lain agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian
nasihat kepada para direktur secara efektif dan dapat memberikan nilai tambah
bagi perusahaan.

Tugas-tugas komisaris independen adalah

a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif,


termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektivitas strategi,
b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajer-manajer
profesional,
c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian dan
sistem audit yang bekerja secara baik,
d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangan yang
berlaku maupun nilai-nilai yang diterapkan perusahaan dalam menjalankan
operasinya,
e. Memastikan risiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola
secara baik,
f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktik tata kelola perusahaan yang baik
(good corporate governance) dipatuhi dan diterapkan secara baik.

Berkaitan dengan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance)
maka tugasnya komisaris independen adalah :

a. Menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan


b. Mengusahakan perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan
pemangku kepentingan (stakeholders) yang lain
c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara
wajar dan adil
d. Mengusahakan kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang
berlaku
e. Menjamin akuntabilitas organ perseroan (organ perseroan misalnya rapat
umum pemegang saham)
Wewenang

Komisaris independen juga mengetuai komite audit dan komite nominasi.


Komite audit adalah komite yang bertugas melakukan audit terhadap organisasi.
Sementara komite nominasi bertugas membuat sistem penilaian dan
memberikan rekomendasi tentang berapa jumlah komisaris independen.

Berdasarkan pertimbangan yang rasional dan kehatihatian, seorang komisaris


independen berhak menyampaikan pendapat yang berbeda dengan anggota
dewan komisaris lain dan pendapatnya dicatat di dalam Berita Acara Rapat
Dewan Komisaris dan apabila pendapatnya berbeda secara material maka hal itu
wajib dimasukkan ke dalam Laporan Tahunan.

Kriteria Formal

Untuk memastikan seorang komisaris independen dapat menjalankan perannya,


maka ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi yang bersangkutan.

a. Mampu melakukan perbuatan hukum. Maksudnya tunduk pada semua


perundangan dan peraturan yang ada.
b. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau dewan
komisaris yang bersalah sehingga menyebabkan perusahaan dinyatakan
pailit.
c. Tidak pernah dipidana karena merugikan keuangan negara.
d. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham pengendali
perusahaan yang bersangkutan.
e. Tidak memiliki hubungan afiliasi dengan direktur dan atau komisaris lainnya
pada perusahaan yang bersangkutan.
f. Tidak bekerja rangkap sebagai direktur di perusahaan lainnya yang terafiliasi
dengan perusahaan yang bersangkutan.
g. Tidak menduduki jabatan eksekutif atau mempunyai hubungan bisnis dengan
perusahaan yang bersangkutan dan perusahaan lain yang terafiliasi dalam
jangka waktu tiga tahun terakhir.
h. Tidak menjadi partner atau principal di perusahaan konsultan yang mem -
berikan jasa pelayanan profesional kepada perusahaan bersangkutan dan
perusahaan lain yang terafiliasi.
i. Tidak menjadi pemasok dan pelanggan signifikan atau menduduki jabatan
eksekutif dan dewan komisaris perusahaan pemasok dan pelanggan signifikan
dari perusahaan yang bersangkutan atau perusahaan-perusahaan lainnya yang
terafiliasi.
j. Bebas dari segala kepentingan dan kegiatan bisnis atau hubungan yang lain
yang dapat diintepretasikan akan menghalangi atau mengurangi kemampuan
komisaris independen untuk bertindak dan berpikir independen demi
kepentingan perusahaan.
k. Memahami peraturan perundang-undangan tentang UUPT,UU Pasar Modal,
dan undang-undang serta peraturan lainnya yang terkait.
Kompetensi Pribadi

Selain memenuhi kriteria formal seperti di atas, seorang komisaris independen


harus memenuhi kriteria dan kompetensi sebagai berikut:

a. Memiliki integritas dan kejujuran yang tidak diragukan.


b. Memahami seluk beluk pengelolaan bisnis dan atau keuangan perusahaan.
c. Memahami dan mampu membaca laporan keuangan perusahaan dan
implikasinya terhadap strategi bisnis.
d. Memiliki kepekaan terhadap perkembangan lingkungan yang dapat
memengaruhi bisnis perusahaan.
e. Memiliki wawasan luas dan kemampuan berpikir strategis.
f. Memiliki karakter kepemimpinan, mampu berkomunikasi dan bekerjasama
dengan orang lain.
g. Memiliki komitmen dan konsisten dalam melakukan profesinya sebagai
komisaris independen.
h. Memiliki kemampuan untuk berpikir obyektif dan independen secara
profesional.

Pedoman Perilaku

Agar tugas sebagai komisaris independen dapat dilakukan secara efektif,


diperlukan pedoman perilaku yang harus dipatuhi oleh komisaris independen.
Setidaknya perilaku itu adalah mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Menjaga agar tidak terjadi benturan kepentingan, dan jika keadaan tersebut
tidak dapat dihindari harus diungkapkan secara wajar dan terbuka.
b. Mematuhi semua peraturan perundangan yang berlaku, termasuk dengan
tidak melibatkan diri pada transaksi saham yang melibatkan orang dalam
(insider trading) untuk memperoleh keuntungan pribadi.
c. Tidak mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan perusahaan selain gaji
dan tunjangan yang diterima sebagai komisaris perusahaan.
d. Menjunjung tinggi integritas dan kejujuran sebagai nilai yang tertinggi.
f. Mempertimbangkan semua hal secara obyektif, profesional dan independen
demi kepentingan perusahaan dengan tidak melupakan kepentingan pemangku
kepentingan (stakeholders).
g. Melaksanakan tugas secara amanah.
h. Mendorong penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good
corporate governance).
i. Menghormati keputusan organ perusahaan: Rapat Umum Pemegang Saham,
Dewan Komisaris dan Direksi sesuai dengan fungsi masing-masing.
j. Berorientasi untuk memberikan nilai tambah kepada perusahaan.
k. Menjaga informasi perusahaan yang bersifat rahasia.
VII. KOMITE AUDIT DAN PERAN AUDIT INTERNAL

Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit sebagai


suatu komite yang bekerja secara profesional dan independent yang
dibentuk dewan komisaris dan tugasnya membantu serta memperkuat
fungsi dewan komisaris dalam menjalankan fungsi pengawasan atas proses
pelaporan keuangan, manajemen risiko, pelaksanaan audit, implementasi
dari corporate government di perusahaan.

Efektifitas kerja komite audit dapat melakukan sinergi dengan audit internal
untuk lebih meningkatkan sistem pengendalian internal perusahaan. Dapat
juga melakukan audit khusus dengan pihak eksternal jika akan
mengungkapkan terjadinya praktik kecurangan yang signifikan di
perusahaan.

Ada 3 faktor dominan yang berpengaruh terhadap keberhasilan komite


audit dalam mengemban tugasnya :
1. Kewenangan formal dan tertulis dari komite audit
2. Kerjasama manajemen
3. Kualitas dan kompetensi dan anggota komite audit
4. Harapannya efektifitas kerja komite audit sangat dipengaruhi oleh pola
hubungan/relationship dan tingkat intensitas komunikasi antara komite
audit dengan berbagai pihak.

Keanggotaan komite audit sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang


anggota, seorang diantaranya merupakan Komisaris Independen
perusahaan yang sekaligus merangkap sebagai ketua Komite Audit,
sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen
dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan
akuntansi dan atau keuangan.

* Sekretaris Perusahaan / Corporate Secretary


Corporate Secretary memiliki peranan penting dalam implementasi GCG,
khususnya perusahaan public dan emiten di bursa. Sekretaris perusahaan
wajib menjalankan tugasnya sebagai berikut :
a.  Menyiapkan daftar khusus terkait direksi, komisaris dan keluarganya
serta perusahaannya yang tercatat sebagai kepemilikan saham,
hubungan bisnis atau peran lain yang menimbulkan benturan
kepentingan dengan perusahaan.
b. Membuat daftar pemegang saham termasuk kepemilikan 5% atau lebih.
c. Menghadiri rapat direksi dan membuat hasil rapat bertanggung jawab
dalam penyelenggaraan rapat umum pemegang saham.
d. Mengikuti perkembangan pasar modal.
e. Memberikan pelayanan kepada masyarakat atas setiap informasi yang
dibutuhkan setiap pemodal.
f. Memberikan masukan kepada direksi atau perusahaan public tentang
pasar modal dan peraturannya sebagai penghubung atau contact person
antara emiten public dengan Bapepam dan masyarakat.

* Manajer dan Karyawan

PERAN AUDITOR

1. Auditor Eksternal
Auditor Eksternal bertanggungjawab memberikan pendapat terhadap
laporan keuangan perusahaan. Laporan Auditor Independen adalah ekspresi
dari opini profesional mereka mengenai laporan keuangan. Meskipun
laporan keuangan adalah tanggung jawab dari manajemen, auditor
independent bertanggungjawab untuk menilai kewajaran pernyataan
manajemen dalam laporan melalui laporan audit mereka.

2. Auditor Internal
Dalam rangka pelaksanaan GCG, Auditor Internal melaksanakan fungsi
sebagai berikut :
a. Bertanggungjawab kepada Direktur Utama dan mempunyai akses dengan
Komite Audit.
b. Memonitor pelaksanaan kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur
perusahaan.
c. Menelaah kinerja korporat melalui mekanisme audit keuangan dan
operasional.
d. Memelihara dan mengamankan aktiva perusahaan dan menangani faktor
risiko secara baik.
e. Melaksanakan fungsi konsultan dan  memastikan pelaksanaan GCG.

3. Stakeholder lainnya
Efektivitas Komite Audit terhadap Penerapan Prinsip-prinsip G CG
Komite audit pada suatu perusahaan jika menjalankan tugasnya secara
efektif, maka penerapan prinsip-prinsip GCG di perusahaan akan baik pula.
Jika perusahaan mampu menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik,
maka GCG perusahaan akan meningkat.
Perlunya keberadaan komite audit didasarkan atas keputusan Menteri
BUMN No. Kep- 117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good
Corporate Governance pada BUMN dalam pasal 14 (1) menyatakan bahwa
komisaris/ dewan pengawas BUMN memiliki keharusan membentuk komite
audit yang bekerja secara kolektif dan berfungsi membantu komisaris/
dewan pengawas dalam melaksanakan tugasnya. Fenomena yang ada
menyatakan bahwa keberadaan komite audit dalam melaksanakan tugas
dan fungsinya diragukan keefektifannya dikarenakan pelaksanaan Good
corporate Governance dinilai masih belum optimal (Dahlan Iskan, 2013).
Hal ini menandakan bahwa sebagian komite audit pada BUMN belum
memiliki dedikasi dan komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya. Hasil
penelitian ini didukung oleh Gusnardi (2008) dalam penelitiannya yang
menjelaskan pengaruh komite audit terhadap Good Corporate Governance
dengan besar pengaruh sebesar 38%, yang berarti komite audit
berpengaruh terhadap pelaksanaan Good Corporate Governance. Samuel
Kilika (2013) mengungkapkan bahwa untuk mendorong implementasi
mengenai prinsipprinsip GCG, maka komite audit merupakan kunci untuk
mencapai corporate governance yang efektif.
Disamping itu Ikatan Komite Audit Indonesia (2010) memaparkan bahwa
salah satu unsur kelembagaan dalam konsep Good Corporate Governance
yang diharapkan mampu memberikan kontribusi tinggi dalam level
penerapannya adalah Komite Audit. Artinya, jika komite audit bekerja
secara efektif, maka perusahaan mampu menerapkan prinsip-prinsip Good
Corporate Governance secara optimal.
Pengaruh Prinsip-prinsip Good Corporate Governance Terhadap Kualitas
Laporan Keuangan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hasil dari nilai korelasi
antara prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dan kualitas
laporan keuangan adalah sebesar 0,872. Mengacu pada pedoman
interpretasi koefisien korelasi menurut Sugiyono (2010), nilai korelasi
sebesar 0,872 termasuk dalam kategori hubungan yang “ sangat kuat”. Hasil
dari koefisien determinasi menunjukkan bahwa prinsip-prinsip GCG
memberikan pengaruh terhadap kualitas laporan keuangan adalah sebesar
76,1% dengan arah positif. Sedangkan sisanya 33,9% dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa jika prinsip-prinsip GCG diterapkan secara optimal
maka akan menghasilkan laporan keuangan yang berkualitas baik.
Peraturan Menteri Negara BUMN Nomor: PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik pada Badan Usaha Milik
Negara, menekankan kewajiban bagi BUMN untuk menerapkan GCG secara
konsisten dan atau menjadikan prinsip-prinsip GCG sebagai landasan
operasionalnya. Prinsip-prinsip GCG yang dimaksud yakni transparansi
(transparency), akuntabilitas (accountability), pertanggungjawaban
(responsibility), kemandirian (independency) dan kewajaran (fairness).
Namun fenomena yang ada, belum semua BUMN menerapkan prinsip-
prinsip Good Corporate Governance seperti yang telah ditetapkan dalam
peraturan. Badan Pemeriksa Keuangan/ BPK (2013), mengungkapkan bahwa
pelaksanaan Good Corporate Governance dinilai belum optimal dilihat dari
kinerja BUMN yang belum efisien. Tetapi ada juga sebagian besar BUMN
sudah menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan baik, namun belum optimal.
Karena belum semua BUMN dapat menerapkan prinsip-prinsip GCG dengan
baik. Untuk itu, semua BUMN perlu meningkatkan upaya penerapan prinsip-
prinsip GCG ini supaya mampu menghasilkan informasi keuangan yang
berkualitas.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh efektivitas komite audit
terhadap penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance dan
implikasinya pada
kualitas laporan keuangan pada contoh 3 perusahaan BUMN dengan
kesimpulan sebagai berikut :
Efektivitas komite audit berpengaruh positif terhadap pelaksanaan prinsip-
prinsip Good Corporate Governace .
Dengan demikian efektivitas komite audit yang tinggi akan meningkatkan
penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governace. Penerapan prinsip-
prinsip Good Corporate Governaceyang baik, akan menciptakan tata kelola
perusahaan yang baik.
Adapun penyebab Good Corporate Governace yang belum terlaksana secara
optimal antara lain disebabkan oleh efektivitas komite audit yang belum
baik. Ini dapat dilihat dari faktor-faktor pendorong efektivitas komite audit
yang masih belum optimal.
Hal ini ditunjukkan dengan: 1) Keandalan, kemampuan dan independensi
dari audit internal yang masih kurang 2) Dedikasi dan komitmen dari setiap
anggota komite audit yang belum maksimal. 3) Kurangnya peran komite
audit dalam rekruitment anggota audit internal. 4) Kurangnya komunikasi
antara komite audit dengan dewan komisaris.
2. Prinsip- prinsip Good Corporate Governace berpengaruh terhadap
kualitas laporan keuangan.
Dengan demikian penerapan prinsip- prinsip Good Corporate Governace
yang baik akan menghasilkan kualitas informasi keuangan yang baik.
Informasi keuangan yang tidak berkualitas baik diantaranya disebabkan oleh
Good Corporate Governace yang belum baik artinya perusahaan belum
mampu menerapkan prinsip-prinsip Good Corporate Governance secara
optimal.

Mengukur Tingkat Kesuksesan GCG dengan Orientasi pada Stakeholder

            Setelah perusahaan menerapkan GCG dengan mengoptimalkan


komposisi anggota dewan (dengan berbagai kebergaman yang sudah
dijelaskan), membuat struktur dewan yang efektif, dan juga menerapkan
budaya konstruktif dan bepikiran luas pada para anggota dewan, tentunya
perusahaan ingin mencapai tujuan mereka dengan penerapan GCG
tersebut. Seperti sudah disinggung sebelumnya, bahwasanya tujuan atau
visi sebuah perusahan adalah untuk dapat mensejahterakan
Stakeholdernya, maka untuk dapat mengukur tingkat kesuksesan penerapan
GCG juga berorientasi pada Stakeholder tersebut.
Yang dimaksud Stakeholder adalah orang-orang yang mempunyai
kepentingan dengan perusahaan, diantaranya: Pelanggan, Karyawan,
Pemegang saham dan juga publik secara luas. Penerapan GCG akan
dianggap berhasil jika perusahaan mempunyai pelanggan yang puas
terhadap barang atau jasa yang diberikan perusahaan, karyawan puas
dengan gaji beserta tunjangan, sistem kerja dan juga keselamatan kerja,
Pemegang saham puas dengan performa perusahaan dan juga dengan
deviden yang diterima, dan juga publik puas akan performa perusahaan
tersebut. Itulah beberapa indikasi kesuksesan penerapan GCG pada
perusahaan dengan orientasi untuk stakeholder.

VIII. MANAJEMEN RESIKO DALAM PELAKSANAAN GCG


Pengertian manajemen risiko adalah pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
dalam merencanakan,mengorganisasi,menyusun,memimpin dan mengawasi
dalam penanggulangan risiko terutama risiko yang dihadapi perusahaan.
Tujuannya sebagai upaya untuk meminimalkan pengaruh negative dari berbagai
sumber risiko yang dilandasi dalam bisnis, agar peluang dan tujuan perusahaan
dapat tercapai secara optimal.
Risiko adalah proses setelah kejadian yang berpengaruh negative pencapaian
visi,misi,sasaran dan target perusahaan.

Siklus manajemen risiko meliputi penetapan tujuan, identifikasi risiko, penilaian


dan penyaluran risiko, penetapan respon, tindak-lanjut terhadap respon,
pemanfaatan dan pelaporan, informasi dan komunikasi
Klasifikasi risko terdiri risiko strategis, operasional, financial dan lingkungan.

Jenis-jenis risiko antara lain :


1. Risiko murni
2. Risiko yang disengaja/spekulatif
3. Risiko fundamental
4. Risiko khusus
5. Risiko dinamis

Implementasi manajemen risiko dapat diterapkan dilingkungan perusahaan


BUMN, PERBANKAN dan perusahaan public.

Manfaat manajemen risiko :


1. Perusahaan memiliki ukuran kuat sebagai pijakan dalam mengambil
keputusan, lebih berhati-hati/prudent dan selalu menempatkan ukuran dalam
berbagai keputusan.
2. Mampu member arah bagi perusahaan melihat pengaruh yang timbul baik
jangka pendek dan jangka panjang.
3. Mendorong pimpinan perusahaan dalam mengambil keputusan untuk selalu
menghindari risiko dan pengaruh terjadinya kerugian dari segi finansial.
4. Memungkinkan perusahaan memperoleh risiko kerugian yang minimum.
5. Adanya konsep manajemen risiko yang dirancang detail dengan membangun
arah dan mekanisme secara berkelanjutan atau sustainable.

Keberhasilan implementasi good corporate governance memiliki prasyarat


sendiri. Terdapat 2 (dua) faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan
penerapan GCG, antara lain :
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan
yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan GCG.
Di antaranya:
1) Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin
berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.
2) Dukungan pelaksanaan GCG dari sektor publik/ lembaga pemerintahan
yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good Governance dan
Clean Governance menuju Good Goverment Governance yang
sebenarnya.
3) Terdapatnya contoh pelaksanaan GCG yang tepat (best practices) yang
dapat menjadi standar pelaksanaan GCG yang efektif dan profesional.
Dengan kata lain, semacam benchmark (acuan)
4) Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG
di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan
timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untk mendukung
aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.
5) Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan

implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat


anti korupsi yang berkembang di lingkungan ranah politik di mana
perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan
dan perusahaan peluang kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa
perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan
skor perusahaan dalam implementasi GCG.

2. Faktor Internal
Faktor Internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG
yang berasal dari dalam perusahaan.
Beberapa faktor yang dimaksud antara lain :

1) Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung


penerapan GCG dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen
di perusahaan.
2) Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu
pada penerapan nilai-nilai GCG.
3) Manajemen pengendalian risiko perusahaan didasarkan pada kaidah-
kaidah standar GCG.
4) Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan
untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
5) Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami
setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan
publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah
perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
PENERAPAN GCG Menurut IICG ( The Indonesian Institute for Corporate
Governance ) terdapat 7 dimensi konsep penerapan GCG, yang diambil dari
panduan yang telah ditetapkan oleh lembaga OECD dan KNKCG.
Adapun 7 (Tujuh) dimensi tersebut yaitu :
1. Komitmen terhadap tata kelola perusahaan : sistem manajemen
yang mendorong anggota perusahaan menyelenggarakan tata kelola
perusahaan yang baik.
2. Tata kelola dewan komisaris : sistem manajemen yang
memungkinkan optimalisasi peran anggota dewan komisaris
dalam membantu penyelenggaraan tata kelola perusahaan yang baik.
3. Komite-komite fungsional : sistem manajemen yang memungkinkan
optimalisasi peran komite-komite fungsional dalam penyelenggaraan
tata kelola perusahaan yang baik.
4. Dewan direksi : sistem manajemen yang memungkinkan optimalisasi
peran anggota dewan direksi dalam penyelenggaraan tata kelola
perusahaan yang baik.
5. Transparansi dan akuntabilitas : sistem manajemen yang mendorong
adanya pengungkapan informasi yang relevan, akurat, dan dapat
dipercaya, tepat waktu, jelas, konsisten dan dapat diperbandingkan
tentang kegiatan perusahaan.
6. Perlakuan terhadap pemegang saham : sistem manajemen yang
menjamin perlakuan yang setara terhadap pemegang saham dan calon
pemegang saham.
7. Peran pihak yang berkepentingan lainnya (stakeholder) : sistem
manajemen yang dapat meningkatkan peran pihak berkepentingan lainnya.

Di luar 2 (dua) faktor internal, external di atas, aspek lain yang paling strategis
dalam mendukung penerapan GCG secara efektif sangat tergantung pada
kualitas, skill, kredibilitas, dan integritas berbagai pihak yang menggerakkan
organ. perusahaan. Jika berbagai prinsip dan aspek penting GCG dilanggar
suatu perusahaan, maka sudah dapat dipastikan perusahaan tersebut tidak
akan mampu bertahan lama dalam persaingan bisnis global dewasa ini, meski
perusahaan itu memiliki lingkungan kondusif bagi pertumbuhan bisnisnya.

IX. CORPORATE RESPONSIBILITY DAN PERAN INVESTOR,


KREDITUR
Corporate social responsibility atau dikenal dengan perusahaan memiliki rasa
tanggung jawab terhadap social dan masyarakat / program kemitraan & bina
lingkungan (PKBL), pada waktu lalu dikenal dengan nama community
development, tanggung jawab social kemasyarakatan.
Program CSR umumnya dikenal dilingkungan perusahaan swasta dan di
lingkungan perusahaan BUMN dikenal dengan PKBL dengan programnya
berupa program kemitraan (pinjaman usaha kecil, pinjaman bergulir, kerjasama
usaha dengan biaya adm.pertahun yang ringan dll) dan program bina
lingkungan/tanggung jawab social & lingkungan berupa bantuan hibah antara
lain bantuan korban bencana alam, bantuan sarana ibadah, bantuan prasarana &
sarana umum, bantuan pendidikan & pelatihan, bantuan kesehatan masyarakat
dan bantuan pelestarian alam.
Kementerian BUMN menerbitkan Peraturan Menteri terbaru BUMN No.
PER 05/MBU/2007 tanggal 27 April 2007 tentang Program Kemitraan (PK)
dengan usaha kecil dan program Bina Lingkungan ( PKBL-BUMN ) sebagai
regulasi yang berlaku saat ini.

PERAN INVESTOR INSTITUSIONAL


Cara investor institusional untuk berperan serta dalam mendorong penerapan
GCG adalah dengan melakukan investasi yang bertanggung-jawab.
Yang dimaksud dengan investasi yang bertanggungjawab adalah dengan
membuat kebijakan hanya akan melakukan penempatan investasi pada
perusahaan - perusahaan yang menerapkan GCG dan tentu secara konsisten
menerapkan kebijakan tersebut dalam melakukan investasi.

Dengan cara ini, institusi tersebut bertanggungjawab terhadap masyarakat


yang dananya mereka kelola, karena dana tersebut hanya diinvestasikan pada
perusahaan-perusahaan yang memang dapat dipercaya, sehingga risiko
hilangnya dana masyarakat karena penempatan yang salah menjadi lebih kecil,
dan di lain pihak, perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa juga
menjadi lebih memberi perhatian terhadap penerapan GCG karena dengan
menerapkan GCG secara konsisten, saham mereka menjadi lirikan investor
dan masuk dalam daftar saham yang “desirable” atau ingin dimiliki oleh
investor, lebih jauh hal ini akan menaikan nilai saham yang secara tidak
langsung juga menaikan nilai perusahaan.

Tentu untuk bisa menerapkan investasi yang bertanggungjawab dibutuhkan


usaha tambahan oleh investor institusional, karena harus ada fungsi di
dalam institusi tersebut yang bertanggungjawab melakukan analisis secara
berkesinambungan terhadap penerapan GCG pada perusahaan-perusahaan
dengan target menggunakan acuan yang benar sebagai dasar penerapan GCG

PERAN INVESTOR ASING

1. Investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru,


memperluas pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi
lokal yang baru.
2. Investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor dan
merangsang ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga
(sektor jasa/pelayanan).
3. Investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah
pendapatan lokal / nasional serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk
pembiayaan impor
4. Pembayaran utang adalah esensial untuk melindungi keberadaan barang-
barang finansial dipasar internasional dan mengelola integritas sistem keuangan.
Jadi kedua hal ini,sangat krusial untuk kelangsungan pembangunan.
5. Sebagian besar negara negara Dunia Ketiga tergantung pada investasi
asing untuk dapat menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena
sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi.
6. Para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing
masuk, maka hal itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih
banyak lagi, yang selanjutnya menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan
ekonomi keseluruhan.
KREDITUR

Kreditur dalam hal ini contohnya Bank, bank harus dapat menilai apakah
perusahaan yang mengajukan permintaan kredit mampu mengembalikan
pinjaman atau tidak.
Kreditur akan menolak usulan kredit dari suatu perusahaan bila informasi
akuntansi perusahaan itu meragukan atau tidak menunjukkan perkembangan
yang positif
SKEMA MANFAAT CSR

Manfaat CSR :
1. Keberadaan perusahaan dapat tumbuh dan berkelanjutan, serta perusahaan
juga mendapatkan citra /image yang positif dari masyarakat luas
2. Perusahaan lebih mudah memperoleh akses terhadap capital/modal
3. Perusahaan dapat mempertahankan sumber daya manusia/human resources
yang berkualitas
4. Perusahaan dapat meningkatkan pengambilan keputusan pada hal-hal yang
kritis dan mempermudah pengelolaan manajemen risiko
Kendala Pelaksanaan CSR atau Bina Lingkungan :
1. Bantuan yang diberikan terkadang tidak sesuai dengan peruntukannya
2. Penerima bantuan tidak merata karena beberapa daerah khususnya korban
bencana alam tidak semua mendapat bantuan secara merata
3. Daerah terpencil sering mengalami kendala keterlambatan pengiriman
bantuan
Kendala Program Kemitraan :
1. Tingkat kemacetan kredit dana bergulir masih cukup tinggi pada usaha kecil
2. Penggunaan dana sebagian tidak digunakan mengembangkan usaha tetapi
untuk keperluan konsumtif
3. Penerima dana penerima program kemitraan sebagian tidak tepat sasaran
atau double dari bank dan BUMN lain.
4. Masih ada anggapan pihak penerima dana bergulir merupakan hibah
sehingga tidak perlu dikembalikan atau diangsur pembayarannya
X. PENGUNGKAPAN DAN TRANSPARANSI
Laporan keuangan untuk tujuan umum adalah laporan keuangan yang ditujukan untuk

memenuhi kebutuhan bersama sebagian besar pengguna laporan tersebut.

Laporan keuangan untuk tujuan umum termasuk laporan keuangan yang disajikan

terpisah atau yang disajikan dalam dokumen publik lainnya seperti laporan tahunan

atau prospectus.

Tujuan laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberikan informasi tentang

posisi keuangan, kinerja dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian

besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan

ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas

penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.

Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, suatu laporan keuangan biasanya menyajikan

informasi mengenai perusahaan yang meliputi aktiva, kewajiban, ekuitas, pendapatan

dan beban termasuk keuntungan dan kerugian serta arus kas. Informasi tersebut

beserta informasi lainnya yang terdapat dalam catatan atas laporan keuangan

membantu pengguna laporan dalam memprediksi arus kas pada masa depan khusunya

dalam hal waktu dan kepastian yang diperoleh kas dan setara kas.

Agar hal tersebut dapat dicapai maka diperlukan suatu pengungkapan yang jelas

mengenai data akuntansi dan informasi lainnya yang relevan. Misalnya kepada siapa

informasi keuangan disajikan, apa yang perlu diungkapkan, tujuan pengungkapan dan

bagaimana informasi tersebut diungkapkan merupakan bagian penting dalam pelaporan

keuangan. Dalam kerangka dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan yang

dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) disebutkan bahwa pemakai laporan

keuangan meliputi investor, karyawan, pemerintah serta lembaga keuangan, dan

masyarakat. Kemudian dalam pengambilan keputusan ekonomi dipengaruhi banyak

faktor, misalnya keadaan perekonomian, politik dan prospek industri.


Adapun kualitas dalam pengambilan keputusan itu dipengaruhi oleh kualitas
pengungkapan perusahaan yang diberikan melalui laporan tahunan (Annual Report)
agar informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dapat dipahami dan tidak
menimbulkan salah interpretasi, maka penyajian laporan keuangan harus disertai
dengan pengungkapan yang cukup (Adequate disclosure).
Catatan atas laporan keuangan merupakan media untuk pengungkapan yang
diharuskan dalam standar akuntansi dan yang tidak dapat disajikan dalam neraca,
laporan laba rugi atau laporan arus kas.Sehingga keberadaan dari disclosure atau
pengungkapan dalam perusahaan sangat penting karena pada kondisi ketidakpastian
pasar, nilai informasi yang relevan dan realiable tercermin di dalamnya. Sedangkan
dalam mekanisme pasar modal, pengungkapan badan usaha merupakan suatu cara
untuk menyalurkan pertanggung jawaban perusahaan kepada para investor untuk
memudahkan alokasi sumber daya yang menunjukkan laporan tahunan (Annual Report)
berupa media yang sangat penting untuk menyampaikan Corporate
Disclosure (pengungkapan pada laporan tahunan).

Pengungkapan
Pengungkapan laporan keuangan dalam arti luas berarti penyampaian (release)
informasi.Sedangkan menurut para akuntansi memberi pengertian secara terbatas yaitu
penyampaian informasi keuangan tentang suatu perusahaan di dalam laporan keuangan
biasanya laporan tahunan. Laporan tahunan (Annual Report) media utama
penyampaian informasi oleh manajemen kepada pihak-pihak di luar perusahaan.
Laporan tahunan mengkomunikasikan kondisi keuangan dan informasi lainnya kepada
pemegang saham, kreditor, dan stakeholders llainnya.Laporan tahunan merupakan
mencakup hal-hal seperti pembahasan dan analisis manajemen, catatan kaki dan
laporan pelengkap. Pengungkapan adalah informasi yang diberikan oleh perusahaan
kepada pihak-pihak yang berkepentingan mengenai keadaan
perusahaan.Pengungkapan semua informasi didalamnya harus diungkapkan termasuk
informasi kuantitatif (seperti komponen persediaan dalam nilai mata uang), dan
komponen kualitatif (seperti tuntutan hukum). Menurut Securities and Exchange
Commission (SEC), setiap kejadian yang terjadi dengan tiba-tiba yang dapat
mempengaruhi posisi keuangan harus diungkapkan secara khusus (GAAP,1998:42)
untuk membantu para pengguna laporan tahunan.
Definisi pengungkapan (disclosure) menurut Siegel dan Shim (1994:147) adalah
pengungkapan atas informasi yang diberikan sebagai lampiran pada laporan keuangan
sebagai catatan kaki atau tambahan.Informasi ini menyediakan penjelasan yang lebih
lengkap mengenai posisi keuangan, hasil operasi, dan kebijakan perusahaan.Informasi
penjelasan mengenai kesehatan keuangan dapat juga diberikan dalam
laporan pemeriksaan.Semua materi harus disingkapkan termasuk informasi kuantitatif
maupun kualitatif yang sangat membantu pengguna laporan.
Prinsip pengungkapan penuh (full disclosure principle) atau prinsip keterbukaan adalah
menyajikan semua informasi dalam laporan keuangan yang dapat memengaruhi
pemahaman pembaca.Penafsiran atas prinsip ini sangat subyektif dan berpotensi
menyebabkan terlalu banyak informasi yang disajikan.Oleh karena itu, prinsip
materialitas digunakan agar hanya mengungkapkan informasi tentang peristiwa yang
mungkin berdampak material terhadap posisi atau hasil keuangan entitas.
Kata disclosure memiliki arti tidak menutupi atau tidak menyembunyikan (Ghozali dan
Chariri, 2007).Bila dikaitkan dengan pengungkapan informasi, disclosure mengandung
pengertian bahwa pengungkapan informasi tersebut harus memberikan penjelasan yang
cukup dan bisa mewakili keadaan yang sebenarnya dalam perusahaan. Dengan
demikian, informasi harus lengkap, jelas, akurat, dan dapat dipercaya dengan
mencitrakan kondisi yang sedang dialami perusahaan, baik informasi keuangan maupun
non-keuangan, sehingga tidak ada pihak yang akan dirugikan.
Pengungkapan dapat mencakup hal-hal yang belum dapat dihitung secara tepat, seperti
sengketa pajak dengan Pemerintah atau litigasi dengan pihak lain. Pengungkapan
penuh juga berarti bahwa kita harus selalu melaporkan kebijakan akuntansi yang ada,
serta perubahan atas kebijakan tersebut (misalnya, perubahan metode penilaian aset
atau metode depresiasi), transaksi non-moneter yang terjadi, hubungan dengan pihak
afiliasi bisnis yang memiliki volume transaksi signifikan, jumlah aset diagunkan, jumlah
kerugian material yang disebabkan oleh biaya yang lebih rendah dari nilai pasar, uraian
tentang kewajiban penghentian pengoperasian aset, fakta dan keadaan yang
menyebabkan penurunan goodwill/niat baik, dll.

 Ruang Lingkup Pengungkapan


Berdasarkan PP Nomor 71 tahun 2010, pengungkapan laporan keuangan yang disusun
pemerintah di Indonesia menggunakan prinsip pengungkapan lengkap, dimana laporan
keuangan harus menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna
laporan keuangan. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan
tersebut dapat ditempatkan pada lembar muka (on the face) laporan keuangan atau
pada Catatan atas Laporan Keuangan (CaLK).
Ada 2 (dua) jenis pengungkapan dalam hubungannya dengan persyaratan yang
ditetapkan oleh standar dan regulasi, yaitu :

1. Pengungkapan wajib (mandatory disclosure)


Menurut Murni (2004:193), pengungkapan wajib (mandatory disclosure) adalah
pengungkapan yang diharuskan dalam laporan tahunan menurut peraturan Bapepam.
Pengungkapan Wajib merupakan pengungkapan minimum yang disyaratkan oleh
peraturan yang berlaku. Peraturan tentang standar pengungkapan informasi bagi
perusahaan yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik yaitu
Peraturan No.VIII.G.7  tentang Pedoman Penyajian Laporan Keuangan dan
Peraturan No.VIII.G.2  tentang Laporan Tahunan.Peraturan tersebut diperkuat dengan
Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-17/PM/1995, yang selanjutnya diubah melalui
Keputusan Ketua Bapepem No.Kep-38/PM/1996 yang berlaku bagi semua perusahaan
yang telah melakukan penawaran umum dan perusahaan publik. Peraturan tersebut
diperbaharui dengan Surat Edaran Ketua Bapepam No.SE-02/PM/2002 yang mengatur
tentang penyajian dan pengungkapan laporan keuangan emiten atau perusahaan publik
untuk setiap jenis industri.
2. Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure)
Pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) adalah pengungkapan yang tidak
diwajibkan oleh Bapepam, dengan kata lain pengungkapan yang melebihi dari yang
diwajibkan. Menurut Alan Levinsohn (2001), pengungkapan sukarela (voluntary
disclosure) dibagi menjadi 5 kategori, yaitu :
1. Data Bisnis meliputi operasi operasi dan pengukuran kinerja level atas.
2. Analisis manajemen mengenai data bisnis
Meliputi alasan-alasan perubahan pada operasi perubahan serta mencantumkan
data yang terkait serta dampak trend bisnis pada perusahaan.
3. Forward looking information - meliputi peluang, resiko dan termasuk rencana-
rencana manajemen.
4. Informasi mengenai manajemen dan shareholders - meliputi informasi mengenai
direktur, manajemen, dan pemegang saham.
5. Latar belakang perusahaan - meliputi tujuan perusahaan dan ruang lingkup
perusahaan.

Salah satu cara meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah melalui pengungkapan


sukarela secara lebih luas untuk membantu investor dalam memahami strategi bisnis
manajemen. Pengungkapan Sukarela merupakan pengungkapan butir-butir yang
dilakukan secara sukarela oleh perusahaan tanpa diharuskan oleh peraturan yang
berlaku. Sedangkan dari sumber PSAK/Pedoman Sistem Akuntansi Keuangan dapat
disimpulkan bahwa informasi lain atau informasi tambahan (telaahan keuangan yang
menjelaskan karakteristik utama yang mempengaruhi kinerja perusahaan, posisi
keuangan perusahaan, kondisi ketidakpastian, laporan mengenai lingkungan hidup,
laporan nilai tambah) adalah merupakan pengungkapan yang dianjurkan (tidak
diharuskan) dan diperlukan dalam rangka memberikan penyajian yang wajar dan
relevan dengan kebutuhan pemakai.

Luas pengungkapan mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, dipengaruhi oleh


perkembangan ekonomi, sosial budaya suatu negara, teknologi informasi, kepemilikan
perusahaan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang.
Ada 3 (tiga) konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan, yaitu:

1. Adequate disclosure (pengungkapan cukup)


Yaitu pengungkapan yang disyaratkan oleh peraturan yang berlaku, dimana angka – angka
yang disajikan dapat diinterpretasikan dengan benar oleh investor.
2. Fair disclosure (pengungkapan wajar)
Pengungkapan wajar secara tidak langsung merupakan tujuan etis , agar memberikan
perlakuan yang sama kepada semua pemakai laporan dengan menyediakan informasi yang
layak terhadap pembaca potensial.
3. Full disclosure (pengungkapan penuh)
Pengungkapan penuh menyangkut kelengkapan penyajian informasi yang digunakan secara
relevan.Pengungkapan penuh memiliki kesan penyajian informasi secara melimpah sehingga
beberapa pihak menganggapnya tidak baik.

Purnomosidhi (2006) dalam penelitiannya mengungkapkan suatu framework untuk


kepentingan pengungkapan sukarela berdasarkan informasi yang dibutuhkan investor
yang didasari oleh Laporan Jenkin (AICPA 1994), yaitu :
1. Data keuangan dan non keuangan
2. Analisis data keuangan dan non keuangan
3. Informasi yang berorientasi pada masa depan
4. Informasi tentang manajer dan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap
perusahaan
5. Latar belakang perusahaan
6. Dimensi modal intelektual
Menurut PSAK nomor 1 Ayat 74, informasi mengenai manajemen dan shareholders
yang meliputi susunan nama anggota direksi dan komisaris merupakan mandatory
disclosure (pengungkapan wajib). Begitu pula halnya dengan latar belakang perusahaan
yang meliputi tujuan perusahaan dan bidang usaha utama perusahaan (ruang lingkup)
merupakan mandatory disclosure (pengungkapan wajib).
Apabila sebuah perusahaan memberikan pengungkapan wajib (mandatory disclosure)
dan pengungkapan sukarela (voluntary disclosure) secara sekaligus, berarti perusahaan
tersebut memberikan pengungkapan secara penuh (full disclosure). Pengungkapan
penuh (full disclosure) harus mengungkapkan :
1. Prinsip pengungkapan penuh, yaitu peningkatan persyaratan pelaporan dan
pengungkapan diferensial.
2. Catatan atas laporan keuangan, mengenai kebijakan akuntansi dan catatan- catatan
umum.
3. Masalah pengungkapan, yang terdiri dari pengungkapan transaksi atau peristiwa
khusus, peristiwa selain tanggal neraca, perusahaan yang terdiversifikasi, dan
laporan intern.
4. Laporan auditor dan manajemen.
5. Masalah pelaporan masa berjalan, yaitu pelaporan tentang penjualan dan proyeksi,
pelaporan keuangan melalui internet untuk pilihan akuntansi dan pelaporan.

Full disclosure principle mengharuskan pengungkapan semua keadaan dan kejadian


yang membuat suatu perbedaan pada pengguna laporan (Weygandt, Kieso &Kimmel,
199, p.526). Pada kenyataannnya banyak perusahaan berusaha membatasi tingkat
pengungkapan dari laporan tahunan.
Hal ini disebabkan oleh ketakutan manajeman akan adanya free riding, dimana adanya
pihak tertentu yang memanfaatkan informasi yang potensial untuk tujuan kurang baik
bagi perusahaan yang bersangkutan lagi pula bila dilihat dari sisi biaya, penyediaan
informasi tambahan memerlukan biaya yang tidak sedikit, dan biasanya keuntungan dari
adanya informasi itu sendiri lebih rendah dari biaya yang dibutuhkan, sebaliknya
pembatasan tingkat pengungkapan dapat menyebabakan asimetri informasi, dimana
salah satu pihak dalam hal ini manajemen perusahaan memiliki informasi lebih banyak
dari pihak  lain.  Jadi dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan batasan-batasan
tingkat pengungkapan suatu perusahaan tidaklah mudah.

Special commite on financial reporting (AICPA), mengindikasikan bahwa para pemakai


mempunyai kebutuhan informasi yang berbeda, dan tidak semua perusahaan harus
melaporkan seluruh unsur informasi. Untuk itu untuk memenuhi kebutuhan pemakai
yang berubah-ubah, pelaporan harus :
1. Meyediakan informasi yang lebih mengacu kemasa depan tentang perencanaan,
peluang atau kesempatan, resiko dan ketidakpastian.
2. Memusatkan perhatian pada factor-faktor yang menciptakan nilai yang bersifat
jangka panjang, termasuk ukuran non keuangan yang menunjukkan bagaimana
proses bisnis kunci berjalan.
3. Menyesuaikan dengan lebih baik antara informasi yang dilaporkan untuk pihak
eksternal dengan informasi yang dilaporkan secara internal.

Tujuan dan Manfaat dari pengungkapan laporan keuangan

Perusahaan besar umumnya menjadi sorotan banyak pihak, baik dari masyarakat
secara umum maupun pemerintah, perusahaan dengan ukuran yang lebih besar relatif
lebih diawasi oleh lembaga-lembaga pemerintah, sehingga mereka berupaya
menyajikan pengungkapan yang lebih baik untuk dapat meminimalisasi tekanan-
tekanan pemerintah. Oleh karena itu, perusahaan besar tersebut dituntut untuk
mengungkapkan informasi yang lebih banyak daripada perusahaan kecil.
Informasi itu sekaligus menjadi bahan untuk keperluan pengungkapan informasi kepada
pihak eksternal, sehingga tidak perlu ada tambahan biaya yang besar untuk dapat
melakukan pengungkapan dengan lebih lengkap.Perusahaan besar berkemungkinan
memperoleh keuntungan-keuntungan dengan mengungkapkan informasi yang memadai
dalam laporan tahunan, misalnya kemudahan untuk memasarkan saham dan
kemudahan memperoleh dana dari pasar modal. Sedangkan perusahaan kecil
umumnya sulit untuk mendapatkan dana dari pasar modal, mengingat pembatasan
ukuran aset bila terjun ke bursa, sehingga perusahaan kecil tidak dapat menikmati
keuntungan dari pengungkapan informasi yang memadai.
Adapun yang menjadi tujuan dari pengungkapan dinyatakan sebagai berikut :

1. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan memberikan pengukuran yang relevan
atas hal-hal tersebut di luar pengukuran yang digunakan dalam laporan keuangan.
2. Untuk menguraikan hal-hal yang diakui dan untuk memberikan pengukuran yang
bermanfaat.
3. Untuk memberikan informasi yang akan membantu investor dan kreditor menilai
resiko dan potensial dari hal-hal yang diakui dan tidak diakui.
4. Untuk memberikan informasi penting yang memungkinkan para pengguna laporan
keuangan untuk melakukan perbandingan dalam satu tahun dan diantara beberapa
tahun.
5. Untuk memberikan informasi mengenai arus kas atau keluar dari masa depan.
6. Untuk membantu para investor menilai pengembalian dari investasi mereka.

Tujuan dari pengungkapan oleh perusahaan bermanfaat untuk beberapa kepentingan


yaitu oleh perusahaan pencari laba (profit making interprise) berdasarkan pada tiga
kategori kepentingan yaitu kepentingan perusahaan, kepentingan investor, dan
kepentingan nasional.
Adapun penjelasannya sebagai berikut :

1. Manfaat bagi kepentingan perusahaan adalah dapat diperoleh biaya modal yang
lebih rendah yang berkaitan dengan berkurangnya resiko informasi bagi investor dan
kreditur. Dengan demikian investor dan kreditor bersedia membeli sekuritas dengan
harga tinggi, akibat dari harga sekuritas yang tinggi tersebut biaya modal
perusahaan menjadi rendah.
2. Bagi investor pengungkapan bermanfaat untuk mengurangi resiko informasi berupa
pengurangan kesalahan pembuatan keputusan investasi. Sehingga investor menjadi
lebih percaya kepada perusahaan yang memberikan pengungkapan secara lengkap,
akibatnya sekuritas perusahaan menjadi lebih menarik bagi banyak investor dan
harganya akan naik.
3. Bagi kepentingan Nasional, yaitu berupa adanya biaya modal perusahaan yang
rendah dan berkurangnya risiko informasi yang dihadapi investor. Dengan
diperolehnya biaya modal yang lebih rendah oleh perusahaan, pertumbuhan
ekonomi dapat meningkat, kesempatan kerja meluas, dan pada akhirnya standar
kehidupan secara nasional akan meningkat pula. Dengan berkurangnya resiko
informasi yang dihadapi investor, pasar modal menjadi likuid. Likuiditas pasar modal
ini diperlukan oleh perekonomian nasional karena dapat membantu alokasi modal
secara efektif.

 Transparansi Penyelenggaraan Pemerintahan


Krina (2003:13) mendefinisikan transparansi sebagai prinsip yang menjamin akses atau
kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan
pemerintahan yakni informasi tentang kebijakan proses pembuatan dan pelaksanaanya
serta hasil-hasil yang dicapai. Transparansi adalah adanya kebijakan terbuka bagi
pengawasan. Sedangkan yang dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai
setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat dijangkau publik.

Prinsip ini memiliki 2 aspek, yaitu komunikasi publik oleh pemerintah dan hak
masyarakat terhadap akses informasi. Keduanya akan sangat sulit dilakukan jika
pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang baik
adalah titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha
Afirmatif/kelompok yang disetujui dari pemerintah untuk membuka dan
mendiseminasi/menerima informasi maupun aktivitasnya yang relevan. Transparansi
harus seimbang, juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-
informasi yang mempengaruhi hak privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan
data dalam jumlah besar, maka dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk
membuat dalih atas keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusan –
keputusan yang penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap
kebijakan tersebut.

Peran media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah
kesempatan untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi
yang relevan juga sebagai penjaga/“watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan
perilaku menyimpang dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat
melakukan tugas ini tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah
maupun pengaruh kepentingan bisnis.
Keterbukaan informasi diharapkan akan menghasilkan persaingan politik yang sehat,
toleran, dan kebijakan dibuat berdasarkan preferensi publik.
Menurut Mardiasmo (2004:30), transparansi berarti keterbukaan (openness) pemerintah
dalam memberikan informasi yang terkait dengan aktivitas pengelolaan sumber daya
publik kepada pihak-pihak yang membutuhkan informasi. Menurut Hari Sabarno
(2007:38) transparansi merupakan salah satu aspek mendasar bagi terwujudnya
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Perwujudan tata pemerintahan yang baik
mensyaratkan adanya keterbukaan, keterlibatan, dan kemudahan akses bagi
masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintah. Keterbukaan dan
kemudahan informasi penyelenggaran pemerintahan memberikan pengaruh untuk
mewujudkan berbagai indikator lainnya.
Makna dari transparansi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dilihat
dalam dua hal yaitu Salah satu wujud pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat,
dan  Upaya peningkatan manajemen pengelolaan dan penyelenggaraan pemerintahan
yang baik dan mengurangi kesempatan praktek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).

Agus Dwiyanto (2006:80) mendefinisikan transparansi sebagai penyediaan informasi


tentang pemerintahan bagi publik dan dijaminnya kemudahan didalam memperoleh
informasi-informasi yang akurat dan memadai. Dari pengertian tersebut dijelaskan
bahwa transparansi tidak hanya sekedar menyediakan informasi tentang
penyelenggaraan pemerintahan, namun harus disertai dengan kemudahan bagi
masyarakat untuk memperoleh informasi tersebut.
Agus Dwiyanto mengungkapkan tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur
tingkat transparansi penyelenggaraan pemerintahan. Pertama, mengukur tingkat
keterbukaan proses penyelenggaraan pelayanan publik. Persyaratan, biaya, waktu dan
prosedur yang ditempuh harus dipublikasikan secara terbuka dan mudah diketahui oleh
yang membutuhkan serta berusaha menjelaskan alasannya.
Indikator kedua merujuk pada seberapa mudah peraturan dan prosedur pelayanan
dapat dipahami oleh pengguna dan stakeholders yang lain. Aturan dan prosedur
tersebut bersifat simple, straightforward and easy to apply (sederhana, langsung dan
mudah diterapkan) untuk mengurangi perbedaan dalam interpretasi. Indikator ketiga
merupakan kemudahan memperoleh informasi mengenai berbagai aspek
penyelenggaraan pelayanan publik.Informasi tersebut bebas didapat dan siap tersedia
(freely dan readily available).
Dengan melihat uraian di atas, prinsip transparansi pada pemerintahan paling tidak
dapat diukur melalui sejumlah indikator sebagai berikut:
1. Adanya sistem keterbukaan dan standarisasi yang jelas dan mudah dipahami dari
semua proses-proses penyelenggaraan pemerintahan.
2. Adanya mekanisme yang memfasilitasi pertanyaan-pertanyaan publik tentang
proses-proses dalam penyelenggaraan pemerintahan.
3. Adanya mekanisme pelaporan maupun penyebaran informasi penyimpangan
tindakan aparat publik di dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan.
Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan
membuat pemerintah menjadi bertanggungjawab kepada semua stakeholders yang
berkepentingan dengan proses maupun kegiatan dalam sektor publik.

Salah satu yang menjadi persoalan bangsa pada akhir masa orde baru adalah
merebaknya kasus-kasus korupsi yang berkembang sejak awal masa rezim
kekuasaannya. Korupsi sebagai tindakan baik dilakukan individu maupun lembaga yang
secara langsung merugikan Negara, merupakan salah satu yang harus dihindari dalam
upaya menuju cita-cita good governance. Selain merugikan Negara, korupsi bisa
menghambat efektivitas dalam efisiensi proses birokrasi dan pembangunan sebagai ciri
utama good governance.

Salah satu sebab daripada terjadinya transparansi antara lain adalah kurangnya
transparansi dari tiap kegiatan yang dilakukan baik oleh individu maupun organisasi di
dalam pemerintahan.

Sebuah pemerintahan dikatakan terbuka (transparan) apabila memenuhi 4 (empat)


unsur utama seperti di bawah ini :
1. Pemerintahan menyediakan berbagai informasi mengenai kebijakan yang
ditempuhnya. Berbagai informasi itu antara lain, kebijakan pemerintah dan
pertimbangan yang medasari kebijakan tersebut, peraturan dan proses pelaksanaan
kebijakan itu serta biaya dan dampak yang mungkin terjadi.
2. Masyarakat dan media massa memiliki kesempatan luas untuk mengetahui isi
berbagai dokumen pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui
parlemen).
3. Terbukanya sidang pemerintah bagi masyarakat dan media massa. Keterbukaan itu
menyangkut sidang eksekutif dan komisi-komisi, maupun notulen hasil rapat.
4. Adanya konsultasi publik yang dilakukan pemerintah secara berencana.
Transparansi berarti terbukanya akses bagi semua pihak yang berkepentingan terhadap
setiap informasi terkait seperti berbagai peraturan dan perundang-undangan, serta
kebijakan   pemerintah dengan biaya yang minimal. Informasi sosial, ekonomi, dan
politik yang andal (reliable) dan berkala haruslah tersedia dan dapat diakses oleh publik
(biasanya melalui filter media massa yang bertanggung jawab). Artinya, transparansi
dibangun atas pijakan   kebebasan arus informasi yang memadai disediakan untuk
dipahami dan dapat dipantau.   Transparansi jelas mengurangi tingkat ketidakpastian
dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan publik. Sebab,
penyebarluasan berbagai informasi yang selama    ini aksesnya hanya dimiliki
pemerintah dapat memberikan kesempatan kepada berbagai   komponen masyarakat
untuk turut mengambil keputusan. Oleh karenanya, perlu dicatat bahwa informasi ini
bukan sekedar tersedia, tapi juga relevan dan bisa dipahami publik. Selain itu,
transparansi ini dapat membantu untuk mempersempit peluang korupsi di  kalangan
para pejabat publik dengan terlihatnya segala proses pengambilan keputusan oleh
masyarakat luas.

XI. KUALITAS PELAPORAN KEUANGAN DAN PERAN AUDITOR


Tujuan yang positif dari Disclosure adalah untuk memberikan informasi yang penting
dan relevan kepada para pemakai laporan keuangan, sehingga dapat membantu
mereka dalam membuat keputusan dengan cara yang terbaik. Ini berarti bahwa
informasi yang tidak material atau relevan harus diabaikan apabila kita mengaharapkan
bahwa informasi yang disajikan itu mempunyai makna dan dapat dimengerti.
Sejalan dengan tujuan dasar akuntansi, salah satu tujuan yang dicapainya adalah
penyajian informasi yang cukup sehingga perbandingan dari hasil yang diharapkan
dapat dilakukan. Kemungkinan membandingkan (comparability) dapat dicapai dengan
dua cara, yaitu :
1. Penyajian disclosure yang cukup mengenai bagaimana angka-angka akuntansi
diukur dan dihitung.
2. Memberikan kemungkinan kepada investor untuk melakukan rangkai dari berbagai
masukan kedalam decision
Laporan keuangan perusahaan ditujukan kepada pemegang saham, investor, dan
kreditur.Disamping ketiga pihak tersebut, pengungkapan juga diberikan kepada
pegawai, konsumen, pemerintah dan masyarakat umum, tetapi pihak-pihak ini
dipandang sebagai penerima kedua dari laporan keuangan dan bentuk-bentuk lain
pengungkapan.

Statement of Financial Accounting Concepts (SFAC) Nomor 1, menyatakan bahwa


laporan keuangan harus menyajikan informasi yang berguna untuk investor dan calon
investor, kreditur, dan pemakai lain dalam pengambilan keputusan investasi, kredit dan
keputusan lain yang sejenis yang rasional. Informasi tersebut harus dapat dipahami oleh
mereka yang mempunyai wawasan bisnis dan ekonomi.Informasi yang disajikan dalam
laporan keuangan agar dapat dipahami dan tidak menjadikan salah intepretasi, maka
penyajian laporan keuangan harus disertai dengan disclosure yang cukup (adequate
disclosure), artinya informasi yang disajikan tidak berlebihan namun juga tidak kurang
sehingga tidak menyesatkan orang yang membacanya.
Informasi yang diungkapkan dalam laporan tahunan dikelompokkan menjadi 2 (dua)
yaitu pengungkapan wajib (Mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela
(Voluntary disclosure).
Keputusan investasi sangat tergantung dari mutu dan luas pengungkapan yang
disajikan dalam laporan tahunan. Mutu dan luas pengungkapan laporan tahunan
masing-masing berbeda. Perbedaan ini terjadi karena karakteristik dan filosofi
manajemen masing-masing perusahaan juga berbeda. Selain digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan disclosure dalam laporan tahunan juga digunakan sebagai
sarana pertanggung-jawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan
kepadanya.
Salah satu cara untuk mengukur kualitas pengungkapan yang digunakan dalam
penelitian-penelitian yang sudah dilakukan adalah berdasarkan daftar item
pengungkapan yang terdapat dalam laporan tahunan. Pengukuran kualitas
pengungkapan tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu memberi bobot kepada
setiap item dan tanpa memberi bobot pada item pengungkapan tersebut. Pengukuran
kualitas pengungkapan tanpa pembobotan telah dilakukan oleh beberapa peneliti
misalnya Subiyantoro (1997), dan Suripto (1998).

Suatu studi empiris membuktikan bahwa perusahaan-perusahaan sebenarnya enggan


untuk memperluas pengungkapan laporan keuangan tanpa tekanan dari profesi
akuntansi atau pemerintah. Akan tetapi pengungkapan merupakan hal yang vital bagi
pengambilan keputusan optimal para investor dan untuk pasar modal yang stabil.
Pengungkapan informasi yang relevan cenderung untuk mencegah kejutan yang
mungkin dapat mengubah secara total masa depan perusahaan. Hal itu juga cenderung
memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada para investor terhadap informasi
keuangan yang disediakan bagi mereka (Hendriksen, 1997).
Disclosure meliputi seluruh proses pelaporan keuangan. Ada beberapa metode untuk
melakukan disclosure. Pemilihan metode yang terbaik tergantung pada sifat informasi
yang akan disampaikan dan penting atau kurang pentingnya informasi tersebut.
Beberapa metode yang lazim digunakan menurut Hendriksen (2002) :
1. Bentuk dan cara pengaturan ikhtisar-ikhtisar keuangan.
2. Istilah-istilah yang digunakan adalah penyajian secara terperinci.
3. Info yang disajikan dalam ikhtisar keuangan yang bersangkutan dalam bentuk tanda
kurung (parenthefical information).
4. Catatan kaki (foot notes) atas ikhtisar dan perincian atau daftar tambahan.
5. Supplementary statement (informasi tambahan yang disajikan dalam bentuk yang
agak berbeda diikhtisar keuangan dasar, misalnya nama dan ikhtisar laba rugi
dengan indeks harga konsumen).

XII. MASALAH KECURANGAN, KORUPSI dll DI INDONESIA

Kecurangan adalah tindakan ilegal yang dilakukan satu orang atau


sekelompok orang secara sengaja atau terencana yang menyebabkan
orang atau kelompok mendapat keuntungan, dan merugikan orang
atau kelompok lain.
Pada dasarnya terdapat dua pelaku kecurangan atas operasional
perusahaan yaitu tindakan ilegal yang dilakukan oleh pihak luar
(kecurangan eksternal) dan tindakan ilegal yang dilakukan insan internal
(kecurangan internal).

A. Prinsip Dasar
1. Pengendalian kecurangan adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari prinsip-prinsip pengelolaan perusahaan
yang baik dan sebaiknya diintegrasikan ke dalam proses
perencanaan strategis dan bisnis perusahaan.
Kecenderungan timbulnya kecurangan dan dampaknya pada
tujuan dan sasaran perusahaan harus dinilai secara cermat.
2. Pengendalian kecurangan harus dipahami dan diterima
oleh seluruh insan perusahaan/instansi sebagai suatu
kebijakan perusahaan yang melandasi kerangka berpikir dan
bertindak dalam pengelolaan fungsi, tugas dan tanggung
jawab masing-masing agar sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan internal perusahaan.
3. Perencanaan pengendalian kecurangan harus
dipertimbangkan pada saat penyusunan kebijakan-
kebijakan perusahaan yang baru dikembangkan atau jika ada
perubahan signifikan pada kebijakan atau cara kebijakan
akandilaksanakan.
Perencanaan pengendalian kecurangan harus juga
mempertimbangkan risiko-risiko kecurangan dilingkungan
internal dan eksternal perusahaan.
4. Pelaksanaan pengendalian kecurangan membutuhkan
keahlian khusus, terutama dalam konteks yang semakin
kompleks. Pengendalian kecurangan dapat dilakukan dengan
efektif bila unit kerja yang melaksanakan fungsi pengendalian
intern memiliki keahlian, pengetahuan dan pengalaman yang
dibutuhkan.
5. Insan perusahaan/intansi harus sedapat mungkin
menghindari terjadinya benturan kepentingan agar
dapat menghindari terjadinya setiap kecurangan
dalam melaksanakan tugas perusahaan.
6. Perusahaan melakukan penilaian dan pengukuran mengenai
efektifitas pengendalian kecurangan secara berkala paling
tidak satu kali dalam tiga tahun.
7. Penilaian dan pengukuran efektifitas pengendalian
kecurangan dilakukan oleh instansi/lembaga/perusahaan
independen yang memiliki kompetensi, Satuan
Pengawasan Intern/Badan pengawas merupakan mitra
kerja terhadap penilai independen, sedangkan tindak-
lanjut rekomendasi penilaian independen dilaksanakan oleh
unit kerja.
8. Insan Perusahaan/instansi harus menunjukkan komitmen,
integritas dan profesionalisme dengan menerapkan
kebijakan pengendalian kecurangan yang efektif.

B. Jenis Kecurangan
Kecurangan dapat dibagi dalam 4 (empat) jenis, yaitu:
1. Penyimpangan aset perusahaan (Asset Missappropriation),
merupakan bentuk penyalahgunaan, pencurian aset perusahaan
instansi dan pengeluaran biaya secara curang oleh Insan perusa–
haan/instansi dan pihak lain yang mudah dideteksi karena sifat-
nya yang dapat diukur.
2. Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud),
merupakan tindakan yang dilakukan oleh insan perusahaan/
instansi untuk menutupi kondisi keuangan yang sebenarnya
dengan melakukan rekayasa keuangan (financial engineering)
dalam bentuk salah saji material laporan keuangan untuk
memperoleh keuntungan.
3. KORUPSI (Corruption), merupakan tindakan yang melawan
hukum, memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan lain
yang merugikan perekonomian Negara atau dikenal KKN.
Korupsi umumnya diklasifikasi dalam 3 (tiga) bentuk utama, yaitu:
a. GRATIFIKASI merupakan suatu kondisi dapat
mempengaruhi pertimbangan pribadi dan/atau dapat
menyingkirkan profesionalisme dan integritas insan
perusahaan/instansi dalam melaksanakan tugas, sehingga akan
berimplikasi pada pencapaian kinerja dan citra perusahaan/
instansi dalam jangka panjang.
GRATIFIKASI adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi,
pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan,
perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas
lainnya baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar
negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana
elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Gratifikasi yang tidak dianggap suap terkait kedinasan
berupa kegiatan resmi kedinasan seperti seminar,
workshop, konferensi, pelatihan, study banding, kegiatan
yang umum berupa pemberian cinderamata, sertifikat,
plakat bukan dalam bentuk uang dengan batas nilai
maksimum 1 juta per orang/100 US dollar per orang.
Adapun kegiatan resmi kedinasan lain dalam bentuk
hidangan, sajian, jamuan berupa makanan minuman yang
berlaku umum. Regulasi gratifikasi diatur pada undang-
undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas
undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Gratifikasi kategori yang termasuk melawan hukum
contohnya penerimaan hadiah, misalkan barang, uang,
fasilitas enternainment, voucher, akomodasi dari
stakeholder yang diketahui diduga diberikan karena
kewenangan yang berhubungan dengan jabatan penerima.
Adapun segala bentuk pemberian bingkisan dalam
perayaan hari besar keagamaan dari stakeholder termasuk
gratifikasi.
b. SUAP adalah setiap orang yang memberi atau menjanjikan
sesuatu kepada Insan perusahaan/instansi dengan maksud
supaya Insan perusahaan/instansi tersebut berbuat atau
tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya,atau memberi sesuatu
kepada insan perusahaan/pegawai atau penyelenggara
negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya.
Setiap gratifikasi dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya.
c. KONFLIK KEPENTINGAN/Konflik Interest adalah situasi
dimana insan perusahaan/instansi mempunyai kepentingan
pribadi atau kepentingan lainnya selain kepentingan
perusahaan sehingga mempengaruhi pengambilan
keputusan atau kualitas kinerja yang seharusnya sehingga
mengakibatkan perusahaan tidak memperoleh hasil terbaik.
d. Disamping itu termasuk dalam pengertian KORUPSI adalah:
a. Penerimaan yang tidak sah.
b. Persekongkolan.
c. Penggelapan.
d. Pungutan liar.
e. Mark-up
f. Pemerasan secara ekonomi

4. KECURANGAN berkaitan dengan teknologi informasi merupakan


bentuk kejahatan yang dilakukan pada suatu sistem berbasis
Komputer maupun jaringan internet, antara lain:
a. Menambah, menghilangkan atau mengubah masukan atau
memasukan data palsu.
b. Memproduksi keluaran palsu, menahan, menghancurkan atau
mencuri keluaran.
c. Merusak program.
d. Mengubah dan menghilangkan master file.
e. Mengabaikan pengendalian intern untuk memperoleh akses ke
informasi rahasia.
f. Melakukan sabotase.
g. Mencuri waktu penggunaan Komputer.

C. Kerangka Pengendalian Kecurangan


Pengendalian kecurangan dilakukan dengan kerangka:
1. Integrated Macro Policy adalah kebijakan perusahaan
yang menyeluruh dan terintegrasi yang dituangkan dalam
dalam bentuk kebijakan anti fraud dan struktur per -
tanggungjawaban serta kejelasan rincian tugas dan tanggung
jawab penanganan dalam setiap unit kerja.

2. Penilaian Risiko Fraud


Pelaksanaan penilaian risiko yang menyeluruh terutama
mengenai situasi operasional perusahaan diperlukan untuk
memperoleh gambaran terkini mengenai kejadian kecurangan
baik dari sumber internal maupun sumber eksternal yang
dapat menimbulkan ancaman potensial kelangsungan bisnis
perusahaan.
3. Community Awareness
Kepedulian pihak-pihak baik di dalam maupun di luar
perusahaan terhadap kecurangan yang kemungkinan terjadi di
dalam perusahaan, peserta dan masyarakat.
4. Reporting System
Prosedur penanganan kecurangan yang terdiri dari sistem
pelaporan kejadian kecurangan, pengungkapan kepada pihak
eksternal dan prosedur investigasi.
5. Conduct and Diciplinary Standard
Nilai-nilai anti kecurangan yang dianut oleh seluruh insan
perusahaan/instansi dan seluruh pemangku kepentingan dalam
mewujudkan visi,misi dan tujuan perusahaan
D. Penyebab Terjadinya Kecurangan
Terdapat 6 (enam) faktor yang mendorong seseorang untuk
melakukan kecurangan, yaitu :
1. Keserakahan (Greed), merupakan faktor individu yang terkait
dengan integritas, etika bisnis dan perilaku insan
perusahaan/ instansi yang timbul karena seseorang
mencari pembenaran atas aktifitasnya yang mengandung
kecurangan dengan meyakini atau merasa bahwa
tindakannya bukan merupakan suatu kecurangan tetapi
suatu yang memang merupakan haknya.
2. Kesempatan (Opportunity) merupakan faktor dalam
perusahaan yang terkait dengan adanya kemudahan Insan
perusahaan/instansi untuk melakukan kecurangan yang
timbul sebagai akibat lemahnya sistem pengendalian
intern, lemahnya sanksi dan ketidak-mampuan untuk
melakukan penilaian kinerja.
3. Kebutuhan (Need) merupakan faktor yang terkait dengan
motivasi, pandangan dan pikiran Insan perusahaan/instansi
untuk melakukan kecurangan guna dapat memenuhi
kebutuhan individu dengan mencari berbagai
kesempatan untuk melakukan kecurangan.
4. Tekanan (Pressure)merupakan faktor yang menimbulkan
dorongan bagi Insan perusahaan/instansi dengan terpaksa
melakukan kecurangan. Dorongan untuk melakukan
kecurangan terjadi pada Insan perusahaan/instansi antara lain
tekanan keuangan, kebiasaan buruk dan tekanan lingkungan
kerja.
5. Pengungkapan (Exposure) merupakan faktor dimana
setiap pelaku kecurangan seharusnya dikenakan sanksi apabila
perbuatannya terungkap, dimana pelaku tergoda untuk
melakukan kecurangan karena merasa rekan kerjanya
melakukan hal yang sama dan tidak menerima sanksi atas
tindakan kecurangan tersebut.

E. Sumber Terjadinya Kecurangan


Pada dasarnya kecurangan sering terjadi pada perusahaan, apabila:
1. Tidak efektifnya atau lemahnya pelaksanaan sistem pengendalian
intern.
2. Adanya konflik kepentingan dari Insan perusahaan/instansi.
3. Insan perusahaan/instansi tidak memiliki kejujuran, integritas
dan tidak memahami etika bisnis dan perilaku dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
4. Besarnya tekanan terhadap Insan perusahaan / instansi untuk
mencapai sasaran dan tujuan keuangan.
5. Insan perusahaan/instansi melakukan tindakan yang tidak efektif
dan efisien serta tidak taat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan yang ada.
6. Adanya persoalan kebutuhan keuangan Insan perusahaan /
instansi yang tidak dapat terpenuhi.
7. Ketidaktegasan dan ketidakadilan sanksi yang diberikan kepada
Insan perusahaan / instansi yang membuat kecurangan.
8. Terlalu berlebihan memberikan keyakinan kepada orang
kepercayaan

F. Unsur dan Proses Pengendalian Kecurangan


Upaya komprehensif yang dilakukan oleh perusahaan dalam
proses pengendalian kecurangan, yaitu:
1. Pencegahan Kecurangan (Fraud Prevention)
1. Menghilangkan kesempatan terjadinya kecurangan dengan
menumbuhkan budaya perusahaan dan/atau menerapkan
pedoman perilaku secara konsisten.
2. Membangun sistem pengendalian intern yang baik dan
efektif dalam mencegah kecurangan, dengan memperkuat:
1) Lingkungan Pengendalian
a) Integritas dan nilai etika.
Dalam faktor ini agar berfungsi efektif sebagai sarana
kendali perlu ada pedoman perilaku dengan
membangun suasana keteladanan dan penegakan
disiplin.
b) Komitmen terhadap kompetensi
Dalam faktor ini disusun standar kompetensi,
diselenggarakan pendidikan dan pelatihan, bimbingan
kepada pegawai dan menunjuk pimpinan yang memiliki
kompetensi.
c) Pimpinan yang kondusif
Dalam faktor ini pengambilan keputusan selalu
mempertimbangkan risiko, manajemen berbasis
kinerja dan memberikan respon terhadap setiap
pelaporan.

d) Struktur Organisasi yang memenuhi seluruh aktivitas


bisnis dalam faktor ini pembentukan struktur organisasi
memiliki uraian tugas, wewenang dan tanggung jawab
yang jelas untuk setiap pegawai serta menyampaikan
laporan pertanggung-jawabannya.
e) Pengelolaan Sumber Daya Manusia.
Dalam faktor ini penerapan kebijakan rekruitmen calon
pegawai sampai dengan pemberhentian dilakukan
supervisi secara periodik.
f) Pelaksanaan fungsi Satuan Pengawasan Intern.
Dalam faktor ini Satuan Pengawasan Intern memastikan
adanya efesiensi, efektifitas dan sistem peringatan
dini serta meningkatkan efektivitas manajemen risiko.
2) Penilaian Risiko Kecurangan (Fraud Risk Assessment)
Kegiatan pengendalian yang dilaksanakan untuk
menilai tingkat risiko kecurangan (fraud risk
assessment) dalam aktivitas perusahaan yang berkaitan
dengan:
a) Perusahaan bertanggung jawab untuk menentukan
pendekatan penilaian risiko yang sesuai dengan
kondisi perusahaan, dengan mempertimbangkan
semua faktor yang signifikan.
b) Pengelolaan risiko kecurangan menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dalam prosedur pengendalian risiko dan
tata kelola perusahaan.
c) Penilaian risiko adalah proses pengembangan yang
berkelanjutan, dengan memperbaharui penilaian risiko
dan tindakan mitigasi risiko serta mengembangkan
prosedur penilaian risiko yang dinamis dan integrasi.
d) Perusahaan mengkaji strategi penilaian risiko secara
terus menerus sesuai dengan pengalaman dalam
kerentanan kecurangan yang terjadi.
3) Aktivitas Pengendalian (control activities)
Kegiatan pengendalian membantu dan memastikan
kebijakan dan prosedur perusahaan telah dilaksanakan
oleh karyawan/pegawai yang berkaitan dengan:
a) Penetapan dan penilaian kinerja untuk mengukur
keberhasilan karyawan/pegawai.
b) Pengelolaan informasi meliputi pengendalian sistem dan
akses informasi dalam rangka menunjang pelayanan.
c) Pembinaan sumber daya manusia melalui sosialisasi, visi,
misi, tujuan dan strategi perusahaan kepada karyawan/
pegawai.
d) Otorisasi transaksi yaitu melakukan pengesahan atas
semua transaksi keuangan oleh pejabat yang berwenang.

4) Informasi dan Komunikasi (information and communication)


Melakukan pengidentifikasian dan pengelolaan sistem
informasi dalam bentuk pengendalian umum dan
pengendalian aplikasi untuk membantu karyawan/
pegawai melaksanakan tugas dan tanggung jawab, yaitu:
a) Informasi
Informasi internal dan eksternal yang dilaporkan secara
periodik kepada pimpinan dan kepada pihak terkait.
b) Komunikasi
Sistim pengendalian intern telah dikomunikasikan
kepada seluruh karyawan/pegawai dan memiliki
saluran komunikasi sebagai mekanisme penyampaian
informasi.

5) Pemantauan (monitoring)
Melakukan pemantauan untuk memastikan sistem
pengendalian intern dilaksanakan dengan kualitas yang
baik, dengan melakukan identifikasi masalah,
penyusunan strategi, evaluasi dan tindaklanjut
rekomendasi.
2. Pendektesian Kecurangan (Fraud Detection)
Dalam mendeteksi kecurangan perlu dilakukan pemeriksaan
kecurangan (fraud auditing). Perencanaan tahapan audit
kecurangan disusun dengan tujuan untuk menemukan
kecurangan dan memberikan respon atas risiko kecurangan.
Proses penilaian mencakup juga evaluasi kemungkinan
(likelihood) terjadinya kecurangan dan pengaruhnya (impact)
terhadap perusahaan jika kecurangan tersebut terjadi.
Dalam mendeteksi kecurangan, perusahaan/instansi harus
memperhatikan empat faktor yang dapat menghambat, yaitu
karakteristik terjadinya kecurangan, standar audit,
lingkungan kerja audit serta metode dan prosedur audit.

3. Investigasi Kecurangan (Fraud Investigation)


Pengawasan internal yang ketat diharapkan mampu
mengidentifikasikan dan meredam gejala kecurangan. Bentuk
pengawasan internal yang ketat adalah dengan audit kinerja,
audit investigatif dan audit laporan keuangan sesuai
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).
Dalam melaksanakan proses identifikasi masalah, analisis, dan
evaluasi terhadap kecurangan di dalam perusahaan, audit
investigasi digunakan untuk membuktikan kebenaran indikasi
terjadinya perbuatan kecurangan yang merugikan perusahaan
dengan mengungkap seluruh fakta dan proses indikasi fraud
yang bertentangan dengan peraturan.

CONTOH KASUS SAAT INI

1. Kronologi Kasus Jiwasraya,


Gagal Bayar Hingga Dugaan Korupsi

 
Persoalan keuangan Jiwasraya telah terjadi sejak awal 2000-an. (CNN Indonesia/Safir Makki).

Jakarta, CNN Indonesia -- PT Asuransi Jiwasraya (Persero) tengah menjadi sorotan


masyarakat. Asuransi jiwa tertua di Indonesia itu mengalami tekanan likuiditas sehingga ekuitas
perseroan tercatat negatif Rp23,92 triliun pada September 2019. Selain itu, Jiwasraya
membutuhkan uang sebesar Rp32,89 triliun untuk kembali sehat.

Ternyata, kasus Jiwasraya merupakan puncak gunung es yang baru mencuat. Jika dirunut,
permasalahan Jiwasraya sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Berikut kronologi kasus Jiwasraya:
2006: Kementerian BUMN dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan ekuitas Jiwasraya
tercatat negatif Rp3,29 triliun.

2008: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan


pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak
dapat diyakini kebenarannya. Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada 2008 dan
Rp6,3 triliun pada 2009.

2010-2012: Jiwasraya melanjutkan skema reasuransi dan mencatatkan surplus sebesar Rp1,3
triliun pada akhir 2011. Namun, Kepala Biro Perasuransian Isa Rachmatawarta menyatakan
metode reasuransi merupakan penyelesaian sementara terhadap seluruh masalah. Sebab,
keuntungan operasi dari reasuransi cuma mencerminkan keuntungan semu dan tidak memiliki
keuntungan ekonomis.
Karenanya, pada Mei 2012, Isa menolak permohonan perpanjangan reasuransi. Laporan
keuangan Jiwasraya 2011 disebut tidak mencerminkan angka yang wajar

Pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan pada 18 Desember 2012. JS
Proteksi Plan dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance).
Produk ini ikut menambah sakit perseroan lantaran menawarkan bunga tinggi, yakni 9 persen
hingga 13 persen.
2014: Di tengah permasalahan keuangan, Jiwasraya menggelontorkan sponsor untuk klub
sepakbola asal Inggris, Manchester City.
2017: Kondisi keuangan Jiwasraya tampak membaik. Laporan keuangan Jiwasraya pada 2017
positif dengan raihan pendapatan premi dari produk JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun.
Selain itu, perseroan meraup laba Rp2,4 triliun naik 37,64 persen dari tahun 2016.
Perlu diketahui, sepanjang 2013-2017, pendapatan premi Jiwasraya meningkat karena
penjualan produk JS Saving Plan dengan periode pencairan setiap tahun.

2018: Direktur Pengawasan Asuransi OJK, Ahmad Nasrullah menerbitkan surat pengesahan
cadangan premi 2016 sebesar Rp10,9 triliun.
Pada bulan yang sama, Direktur Utama Jiwasraya Hendrisman Rahim dan Direktur Keuangan
Jiwasraya Hary Prasetyo dicopot. Nasabah mulai mencairkan JS Saving Plan karena mencium
kebobrokan direksi lama

Mei 2018, pemegang saham menunjuk Asmawi Syam sebagai direktur utama Jiwasraya.
Di bawah kepemimpinannya, direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan
kepada Kementerian BUMN.
Indikasi kejanggalan itu betul, karena hasil audit Kantor Akuntan Publik (KAP)
PricewaterhouseCoopers (PwC) atas laporan keuangan 2017 mengoreksi laporan keuangan
interim dari laba sebesar Rp2,4 triliun menjadi hanya Rp428 miliar.

Agustus 2018, Menteri BUMN Rini Soemarno mengumpulkan direksi untuk mendalami potensi
gagal bayar perseroan. Ia juga meminta BPK dan BPKP untuk melakukan audit investigasi
terhadap Jiwasraya.

Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Perseroan
mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar
Rp802 miliar.
Pada November, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai Direktur Utama
menggantikan Asmawi Syam.

Hexana mengungkap Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi
rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. Tak hanya itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar
Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun.
Akibatnya, ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk
JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.

November 2019, Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir mengaku


melaporkan indikasi kecurangan di Jiwasraya ke Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal itu dilakukan
setelah pemerintah melihat secara rinci laporan keuangan perusahaan yang dinilai tidak
transparan.

Kementerian BUMN juga mensinyalir investasi Jiwasraya banyak ditaruh di saham-saham


gorengan. Hal ini yang menjadi satu dari sekian masalah gagal bayar klaim Asuransi Jiwasraya.
Selain Kejagung, Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta juga menaikkan status pemeriksaan dari
penyelidikan menjadi penyidikan pada kasus dugaan korupsi.
Desember 2019: Penyidikan Kejagung terhadap kasus dugaan korupsi Jiwasraya menyebut ada
pelanggaran prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Jaksa Agung ST Burhanuddin bahkan
mengatakan Jiwasraya banyak menempatkan 95 dana investasi pada aset-aset berisiko

Imbasnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turut memantau perkembangan penanganan


perkara kasus dugaan korupsi di balik defisit anggaran Jiwasraya
Selain itu, Kejagung meminta Direktorat Jenderal (Ditjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM
mencekal 10 nama yang diduga bertanggung jawab atas kasus Jiwasraya, yaitu: HH, BT, AS,
GLA, ERN, MZ, DW, HR, HP, dan DYA.
Pada Rabu (8/1), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengumumkan pernyataan resmi terkait
skandal Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sejak 2006 disebut semu karena melakukan
rekayasa akuntansi (window dressing). Hasil pemeriksaan BPK akan menjadi dasar bagi
Kejagung mengambil putusan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas kondisi
Jiwasraya.

2. Sengketa Pemegang Saham,


Saksi PT Sumalindo Untungkan Penggugat

Sidang sengketa pemegang saham PT Sumalindo Lestari Jaya kembali digelar di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Kamis (10/10/2013). Sidang kali ini mengagendakan mendengarkan
keterangan saksi ahli dari pihak tergugat, Doktor Fulgensius Jimmy yang pakar dalam bidang
Hukum Usaha.

Fulgensius Jimmy mengatakan pemegang saham minoritas memiliki hak untuk menggugat
keputusan yang dibuat pemegang saham mayoritas. Jika pemegang saham minoritas mencukupi
sepersepuluh dari persentase kepemilikan saham, sebagaimana diatur dalam UU no 40 tahun
2007 tentang Perseroan Terbatas.

"Jika ada indikasi pelanggaran yang dilakukan pemegang saham mayoritas yang bersifat pidana
maupun perdata, jika tidak dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, maka pemegang
saham minoritas berhak untuk mengajukan gugatan," kata Fulgensius yang juga dosen
Universitas Parahyangan dan Tarumanegara di PN Jakarta Selatan, Kamis 10 Oktober 2013.

Penjelasan Fulgensius yang menjadi saksi ahli itu justru memperkuat dan menguntungkan
gugatan yang dilakukan penggugat karena memberikan alasan legal yang sangat jelas akan hak
dan kewenangan pemegang saham minoritas dalam konteks sengketa terhadap pemegang saham
mayoritas.  

Pengacara Agustinus Dawarja mengatakan pemegang saham minoritas berwenang menggugat


pemegang saham mayoritas dan direksi dan komisaris jika akibat perbuatan mereka, perseroan
dirugikan.

"Ketika ketentuan pasal 3 ayat 2 UU No. 40 tahun 2007 terpenuhi maka pemegang saham dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara pribadi melebihi kepemilikan sahamnya," jelas
Agustinus.

Pengacara penggugat lainnya, Danggur Konrandus berpendapat direksi bertanggung jawab penuh
terhadap semua kebijakan dan keputusan perusahaan, baik pidana maupun perdata. Pemegang
saham mayoritas yang mendukung direksi juga ikut bertanggung jawab secara tidak langsung.
Bahkan, ada fakta material yg disembunyikan oleh direksi dan komisaris pada waktu divestasi
saham dan tidak dibahas dalam RUPS.

"Pemegang saham mayoritas yang mendukung direksi juga ikut bertanggung jawab secara tidak
langsung," tegas Danggur.

Gugatan perdata pemegang saham publik PT Sumalindo Lestari Jaya (SULI) Tbk, dilayangkan
pemegang saham publik, Deddy Hartawan Jamin kepada 11 tergugat yaitu PT SULI, Amir
Sunarko, David, Lee Yuen Chak, Ambran Sunarko, Setiawan Herliantosaputro, Kadaryanto,
Harbrinderjit Singh Dillon, Husni Heron, PT Sumber Graha Sejahtera, Kantor Jasa Penilai Publik
Benny, Desmar dan Rekan.

Gugatan diajukan karena pemilik saham minoritas SULI merasa dirugikan dan dipermainkan oleh
manajemen SULI yang dimiliki saham mayoritasnya oleh Putera Sampoerna dan Hasan Sunarko.
Manajemen PT SULI dianggap mengabaikan asas-asas good coorporate governance, selain juga
dianggap banyak mengabaikan keputusan hukum yang sudah berlaku sehingga merugikan banyak
pihak.

G. Penundaan Transaksi Bisnis yang terindikasi penyimpangan dan


kecurangan

Dalam rangka pengendalian kecurangan, perusahaan harus memiliki


komitmen untuk menerapkan kebijakan perusahaan mengenai
penundaan transaksi bisnis yang terindikasi penyimpangan dan/atau
kecurangan dilingkungan perusahaan/Instansi.
Dalam kebijakan tersebut mengatur aktivitas pengendalian mencakup:
a. Mewajibkan seluruh insan perusahaan/instansi untuk menghindari
dan tidak melakukan tindakan penyimpangan dan/atau
kecurangan dalam transaksi bisnis dalam rangka menumbuhkan
kepercayaan masyarakat dan pemangku kepentingan.
b. Melakukan penundaan pelaksanaan perjanjian yang berkaitan
dengan transaksi bisnis, apabila diketahui terdapat indikasi
penyimpangan dan/atau kecurangan dalam transaksi bisnis yang
menyebabkan kerugian bagi perusahaan/instansi.

Tindakan penyimpangan dan/atau kecurangan tersebut berupa:


1) Adanya indikasi manipulasi nilai/harga baik dalam
penggelembungan (mark up) maupun mengurangi (mark
down).
2) Adanya indikasi proyek fiktif.
3) Adanya indikasi pemalsuan dokumen dan identitas mitra bisnis.
4) Adanya indikasi barang dan jasa dibawah spesifikasi/kualitas
yang disepakati.
5) Adanya indikasi terjadinya benturan kepentingan dengan
Insan perusahaan/Instansi dalam pelaksanaan transaksi bisnis
perusahaan/ instansi.
c. Menghentikan atau tidak melanjutkan kerjasama dengan mitra
bisnis, apabila diketahui terdapat tindakan penyimpangan dan /
atau kecurangan dalam transaksi bisnis yang dilakukan oleh mitra
yang bersangkutan.
d. Pelaksanaan penundaan transaksi bisnis dicatat di dalam suatu
berita acara penundaan transaksi.

Penerapan Akuntabilitas Keuangan


Dalam rangka pengendalian kecurangan, perusahaan/Instansi
harus memiliki kebijakan untuk menerapkan akuntabilitas
dalam perencanaan, pengelolaan dan monitoring serta
pelaporan keuangan perusahaan/instansi.
Dalam kebijakan tersebut mengatur aktivitas mencakup:
a. Penerapan akuntabilitas dalam kegiatan perencanaan
keuangan perusahaan/instansi, dilaksanakan berdasarkan
pada prinsip orientasi hasil, terukur, optimis namun dapat
dicapai dan direalisasikan dengan batas waktu yang jelas.
b. Penerapan akuntabilitas dalam kegiatan pengelolaan dan
monitoring keuangan perusahaan, dilaksanakan berdasarkan
pada prinsip kemandirian, standar kinerja, efektif, transparan
dan pengelolaan perusahaan yang sehat.
c. Penerapan akuntabilitas dalam kegiatan pelaporan
pengelolaan keuangan perusahaan, dilaksanakan berdasar-
kan prinsip:
1) Dapat dipertanggung-jawabkan dan transparan.
2) Pertanggungjawaban atas pengelolaan sumber
daya serta pelaksanaan kebijakan yang
dipercayakan kepada entitas pelaporan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara
periodik.
3) Memberikan informasi keuangan yang terbuka
dan jujur kepada stakeholders perusahaan
berdasarkan pertimbangan bahwa stakeholders
memiliki hal untuk mengetahui secara terbuka &
menyeluruh atas pertanggung-jawaban
perusahaan dalam pengelolaan sumber daya &
ketaatan pada peraturan perundang-undangan.
4) Komprehensif yaitu laporan harus memuat
segala hal yang penting dan relevan bagi
pengambilan keputusan.
5) Proporsional yaitu hal-hal yang dilaporkan
harus sesuai dan berdasarkan lingkup
kewenangan dan tanggung jawab perusahaan
serta memuat baik kegagalan dan keberhasilan.
6) Kepatuhan pada peraturan perundang-undangan
yaitu laporan harus memuat materi-materi yang
diwajibkan oleh ketentuan perundang-undangan.

h. Praktik Kecurangan
Kebutuhan akan pengelolaan bisnis yang sehat dan bebas dari praktik
kecurangan melatarbelakangi usaha Perusahaan untuk menyusun,
menetapkan dan menerapkan kebijakan pengendalian kecurangan
yang terintegrasi dengan kebijakan lainnya sebagai syarat utama
dalam mencapai visi, misi perusahaan.
Dinamika kebutuhan tersebut digali melalui penilaian kecurangan yang
ada dalam perusahaan, sehingga penyusunan kebijakan pengendalian
kecurangan menjadi solusi yang efektif dalam memberikan dampak
atas pencapaian kinerja perusahaan.
Jika diamati kecurangan yang banyak terjadi dalam banyak bidang
tidak terlepas dari adanya keinginan untuk mengambil hak orang
lain dan mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok lalu
menjadi pembenaran bahwa kecurangan merupakan hal biasa yang
boleh dilakukan dan adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan.
Prinsip dasar pengendalian kecurangan di perusahaan/instansi, adalah:
3. Pencegahan terjadinya kecurangan di perusahaan/instansi
akan lebih baik jika dilaksanakan sejak dini karena
menyelesaikan kecurangan yang telah terjadi akan
mengeluarkan biaya jauh lebih besar untuk memulihkannya.
4. Untuk melakukan pencegahan kecurangan, setidaknya ada
tiga upaya yang harus dilakukan perusahaan yaitu
membangun individu yang memiliki integritas, moral dan
etika yang tinggi, membangun sistem pendukung kinerja
yang terintegrasi dan terstruktur serta membangun sistem
monitoring yang efektif dan efisien.
5. Diagnosis kecurangan sebaiknya tidak dianalisis secara
terpisah dari bisnis perusahaan/instansi, tetapi sebaiknya
dianggap sebagai suatu aspek dari proses penilaian risiko
yang lebih besar.
6. Jika perusahaan mengalami perubahan dalam struktur,
perusahaan harus melakukan diagnosis kecurangan
sehubungan dengan fungsi-fungsi yang berubah. Hal ini
termasuk perubahan pada model pemberian layanan,
penyediaan informasi dan jasa secara online.
7. Upaya pencegahan terjadinya kecurangan hanya dapat
dicapai, bila pada setiap insan perusahaan/instansi terdapat
komitmen yang tinggi untuk melakukan peningkatan nilai,
budaya, sistem dan perilaku untuk menghindari terjadinya
kecurangan atau potensi kecurangan yang dapat merugikan
Perusahaan.
8. Insan Perusahaan/instansi bertanggung jawab penuh baik
secara individu maupun secara perusahaan/instansi untuk
memastikan bahwa pedoman pengendalian kecurangan
telah diimplementasikan ke dalam tugas pokok, fungsi dan
tanggung jawab masing-masing.
Praktik Kecurangan Aset
Penyalahgunaan (misappropriation) aset adalah kecurangan yang
melibatkan pencurian aset perusahaan/instansi yang dapat
digolongkan ke dalam “Kecurangan Kas” dan ‘Kecurangan Aset”,
serta pengeluaran-pengeluaran biaya secara curang (fraudulent
disbursement) yang biasanya dilakukan Insan perusahaan/instansi.
1. Pelaku Kecurangan Aset
Pelaku kecurangan dalam pengelolaan aset perusahaan/instansi
berasal dari:
a. Internal
Kecurangan pengelolaan aset perusahaan/instansi yang
berasal dari internal perusahaan dilakukan dengan cara,
antara lain:
2. Melakukan pencurian uang sebelum uang secara fisik
masuk ke rekening perusahaan atau dicatat didalam
pembukuan
3. Melakukan pencurian uang melalui pengeluaran yang
tidak sah dan pemalsuan dokumen pengeluaran.
4. Melakukan pencurian uang melalui pemalsuan cek dengan
memalsukan tanda tangan otorisator.
5. Melakukan pencurian uang setelah secara fisik dicatat di
dalam pembukuan dengan menerima pembayaran kembali
atas pengembalian/pembatalan transaksi pembelian.
6. Tidak mencatat pendapatan dan menyembunyikan penagihan
piutang.
7. Penggunaan kartu kredit perusahaan yang
berlebihan sehingga penggunaannya menimbulkan peluang
bagi kepentingan pribadi.
8. Penggunaan aset perusahaan yang tidak sesuai dengan
ketentuan.
9. Biaya perjalanan dinas yang berlebihan.

b. Eksternal
Kecurangan pengelolaan aset perusahaan/instansi yang
berasal dari eksternal perusahaan/instansi dilakukan dengan
cara, antara lain:
1) Penyalahgunaan aset perusahaan/instansi untuk
kepentingan pribadi ataupun golongan.
2) Pencurian aset atau harta perusahaan/instansi.

2. Indikasi/Gejala Kecurangan Aset


Kecurangan yang dilakukan umumnya sulit ditemukan dan
karenanya perlu diketahui gejala yang menunjukkan adanya
kecurangan tersebut, seperti:
a. Penurunan jumlah uang di rekening bank yang tidak
biasa dan tidak dapat dijelaskan
b. Perbedaan antara catatan akuntansi dengan daftar aset
perusahaan.
c. Pembayaran aset tanpa dokumen pendukung yang
lengkap.
d. Tidak ada nomor pajak penjualan yang seharusnya.
e. Pemasok yang secara terus menerus mendapatkan
pembayaran lebih cepat dibanding pemasok yang lain.
3. Pencegahan Kecurangan Aset
Dalam upaya perusahaan untuk mengatasi terjadinya
kecurangan, pada umumnya perusahaan melakukan
pengendalian melalui:
a. Melakukan assets opname secara periodik untuk
mendapatkan informasi yang aktual mengenai aset
perusahaan/instansi yang ada dengan jumlah aset sesuai
dengan catatan akuntansi.
b. Audit kecurangan (fraud auditing) aset perusahaan/
instansi secara periodik oleh satuan pengawasan intern
dan atau auditor internal.
c. Mencatat permintaan dan pengeluaran (mutasi) aset
perusahaan/instansi serta melakukan pemeriksaan phisik
aset perusahaan secara periodik.
d. Evaluasi dan pengkinian kebijakan dan prosedur aset
perusahaan/instansi secara berkala, sesuai dengan
perkembangan lingkungan perusahaan.
e. Melakukan penilaian berkala terhadap pengamanan aset
yang disertai tindakan korektif apabila diperlukan.
f. Memastikan aset perusahaan/instansi dipelihara dan
dilindungi dari segala bentuk ancaman, manipulasi,
pencurian, kecurangan dan penyalahgunaan untuk
kepentingan diluar perusahaan.
g. Peningkatan kompetensi Insan perusahaan/instansi
secara berkelanjutan melalui pendidikan teknis aset
perusahaan.
h. Sanksi secara konsisten Insan perusahaan/instansi yang
terbukti melakukan kecurangan terhadap aset
perusahaan / instansi.
i. Rotasi/transfer pegawai yang mengelola aset
perusahaan secara berkelanjutan sebagai upaya untuk
menghindari terjadinya kolusi dan nepotisme.
* Praktik Kecurangan Barang Dan Jasa
Dalam proses pengadaan barang dan jasa, kecurangan
adalah segala bentuk ketidakwajaran yang dilakukan berbagai
pihak dalam mata rantai pengadaan barang dan jasa untuk
memperoleh keuntungan sendiri, kelompok dan pemasok.

1. Pelaku Kecurangan Barang Dan Jasa


Pelaku kecurangan pengadaan barang dan jasa berasal dari :
a. Internal Perusahaan
Kecurangan pengadaan barang dan jasa yang berasal dari
internal perusahaan dilakukan dengan cara, antara lain:
1) Membantu pemasok untuk memenangkan
pengadaan barang dan jasa, yang diketahui
sebagai pemasok bayangan.
2) Mengetahui dan menyetujui persyaratan dan
perjanjian yang dibuat diluar dari ketentuan yang
biasanya.
3) Tindakan yang berhubungan dengan mengubah
tanggal dan isi surat perintah kerja/perjanjian.
4) Tindakan memperbolehkan pemasok untuk
mengembalikan dan membatalkan pengadaan
barang dan jasa.
5) Kecurangan yang dilakukan dengan membuat
berita acara serah terima pengadaan barang
dan jasa namun barang dan jasa yang diterima
hanya sebagian.
6) Memberikan informasi yang menguntungkan
satu pemasok tentang jenis dan besarnya
anggaran pengadaan barang dan jasa yang
disediakan perusahaan.
7) Harga Perkiraan Sendiri (HPS) dan/atau
penetapan spesifikasi barang dan jasa tidak
didasarkan pada kajian yang memadai.
8) Pegawai sengaja membuat spesifikasi barang
dan jasa yang tidak konsisten dengan spesifikasi
sebelumnya untuk pengadaan barang dan jasa
yang serupa.
b. Eksternal Perusahaan
Kecurangan pengadaan barang dan jasa yang berasal dari
eksternal perusahaan dilakukan dengan cara, antara lain:
a. Memberikan dokumen palsu terkait dengan identitas
maupun dokumen pendukung lainnya.
b. Menyerahkan barang dan jasa yang diperjanjikan kepada
perusahaan dengan kualitas barang dan jasa yang
tidak sesuai dengan surat perintah kerja/perjanjian
c. Melakukan penyuapan dimana pemasok
memberikan sebagian hasil pengadaan barang dan jasa
kepada Insan perusahaan, dengan tujuan untuk
mempengaruhi keputusan.
d. Melakukan tindakan yang berhubungan dengan
mengubah tanggal dan isi surat perintah kerja/perjanjian
/PC/Kontrak/Job Order untuk pengadaan barang dan jasa.
e. Memasukkan dokumen penawaran semu dengan cara
pemasok membuat pemasok lain sebagai pendamping
dari satu pemilik pemasok yang sama.
f. Melakukan penggelembungan harga, dengan cara
menghitung/negosiasi kembali harga pengadaan barang
dan jasa setelah penetapan pemasok.
2. Indikasi/Gejala Kecurangan Barang Dan Jasa
Kecurangan yang dilakukan umumnya sulit ditemukan dan
karenanya perlu diketahui gejala kecurangan sebagai berikut:
a. Tingkat komplain yang tinggi terhadap perusahaan dari
pemasok, terutama terkait dengan proses pembayaran
kepada pemasok yang lebih lama dari waktu yang
ditetapkan dalam Surat perintah kerja/perjanjian/
Purchase-order /Kontrak/Job order
b. Proses pengadaan barang dan jasa tanpa dokumen
pendukung yang lengkap yang pada umumnya tanpa
melampirkan jaminan pekerjaan barang dan jasa.
c. Terdapat penerimaan barang dan jasa yang tidak sesuai
dengan surat perintah kerja/perjanjian/Purchase-order/
Kontrak/Job order
d. Terdapat penggelembungan harga pengadaan barang dan
jasa.
e. Penerimaan barang dan jasa yang tidak dilakukan
pengujian atas kualitas sebagaimana tertuang dalam
surat perintah kerja/perjanjian/Purchase-order/Kontrak/
Job order
f. Proses pengadaan barang dan jasa tidak dilakukan melalui
prosedur yang telah ditetapkan.
g. Pencatatan pengadaan barang dan jasa yang salah/tidak
akurat.
g. Terdapat tender pengadaan barang dan jasa yang
dilakukan secara arisan dengan menetapkan pemenang
tender sebelum dibuka penawaran.
h. Terdapat permintaan adendum yang berulang untuk
memberikan peluang terjadinya peningkatan volume atau
nilai pengadaan barang dan jasa.

3. Pencegahan Kecurangan Barang Dan Jasa


Dalam upaya mengatasi terjadinya kecurangan, pada
umumnya perusahaan melakukan pengendalian melalui:
a. Penyusunan rencana pengadaan barang dan jasa
yang bertujuan untuk mempersiapkan secara rinci
mengenai target, waktu, kualitas, anggaran dan
manfaat dari pengadaan barang dan jasa sesuai
kebutuhan perusahaan.
b. Pengadaan barang dan jasa yang dilakukan secara
terbuka bagi pemasok yang memenuhi persyaratan dan
melalui persaingan yang sehat diantara pemasok.
c. Iklim kompetisi yang adil, transparan dan tidak
diskriminatif dalam setiap pengadaan barang dan
jasa dengan menetapkan proses pengadaan yang
dilakukan melalui e-procurement / LPSE (lembaga
pengadaan barang jasa secara electronic).
d. Survey Kepuasan Pemasok secara berkala yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai
tingkat kepuasan atas proses pengadaan barang dan jasa.
e. Assessment pemasok secara periodik berdasarkan kriteria
quality, cost, delivey, service (QCDS) dengan tujuan
ditetapkan kembali menjadi daftar rekanan
perusahaan.
f. Audit kecurangan (fraud auditing) dilakukan oleh
satuan pengawasan intern dan/atau auditor eksternal
untuk mengetahui proses pengadaan barang dan jasa
sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau
pedoman pengadaan barang dan jasa.
g. Pembayaran kepada pemasok dengan tepat waktu
dan tepat jumlah sesuai dengan surat perjanjian
kerja/perjanjian/PC/Kontrak/JO dll sepanjang tidak
terdapat kecurangan dalam proses pengadaan barang
dan jasa yang merugikan perusahaan.
h. Penundaan pembayaran kepada pemasok apabila
diketahui terdapat indikasi kecurangan dalam
penyediaan barang dan jasa yang menyebabkan
kerugian perusahaan.
i. Harga Perkiraan Sendiri dalam upaya perusahaan
mendapatkan harga yang wajar dan terkini dari setiap
jenis pengadaan barang dan jasa.
j. Review dokumen pengadaan barang dan jasa dengan
membandingkan barang dan jasa yang diterima untuk
memastikan ketentuan yang disepakati dalam surat
perintah kerja/perjanjian dll telah dipenuhi.
k. Evaluasi dan pengkinian pedoman barang dan jasa secara
berkala, sesuai dengan perkembangan lingkungan
perusahaan.
l. Pengendalian pengadaan barang dan jasa dengan cara
memantau realisasi pengadaan dengan anggaran,
sehingga dapat diketahui pengadaan barang dan jasa
yang melebihi anggaran.
m. Peningkatan kompetensi Insan perusahaan/instansi
secara berkelanjutan melalui pendidikan teknis
pengadaan barang dan jasa.
n. Penerapan sanksi secara konsisten kepada Insan
perusahaan/instansi dan pemasok yang terbukti
melakukan kecurangan terhadap ketentuan dan prosedur
pengadaan barang dan jasa.
o. Rotasi/transfer pegawai pengadaan barang dan jasa secara
berkelanjutan sebagai upaya untuk menghindari terjadinya
kolusi dan nepotisme.

4. Praktik Kecurangan Pembayaran Santunan


Kecurangan pembayaran santunan merupakan faktor dominan
yang menyebabkan ketidak-wajaran pembayaran santunan yang
dilakukan berbagai pihak untuk memperoleh keuntungan pribadi
yang bertentangan dengan ketentuan dan prosedur pembayaran

santunan.
1. Pelaku Kecurangan Pembayaran Santunan
Pelaku kecurangan dalam proses pembayaran santunan berasal
dari:
I. Internal Perusahaan
Kecurangan dalam proses pembayaran santunan yang
berasal dari internal perusahaan dilakukan dengan cara,
antara lain:
a. Membuat dan/atau ikut membantu dalam proses
pengajuan klaim fiktif korban kecelakaan lalulintas dan
penumpang umum.
b. Merubah status kecelakaan lalulintas dan penumpang
umum yang diajukan oleh peserta dari kecelakaan
dengan luka ringan/ berat menjadi kecelakaan dengan
kematian.
c. Memperoleh imbalan dari peserta atas upaya pegawai
dalam mempercepat proses pembayaran santunan.
d. Penyelesaian santunan peserta yang tidak dilakukan
berdasarkan mekanisme dan ketentuan yang telah
ditetapkan karena adanya hubungan yang baik dengan
Insan perusahaan/instansi.
e. Dengan sengaja ikut membantu pencairan
pembayaran santunan yang diterima oleh peserta.
f. Melaksanakan pemalsuan cek dengan cara
memalsukan tanda tangan otorisator.

II. Eksternal Perusahaan


Kecurangan pembayaran santunan yang berasal dari
eksternal perusahaan dilakukan dengan cara :
a. Mengajukan klaim kecelakaan lalulintas fiktif dengan
memberikan dokumen palsu terkait identitas maupun
dokumen pendukung lainnya.
b. Membuat surat keterangan perubahan status
kecelakaan dari kecelakaan dengan luka ringan/berat
menjadi kecelakaan dengan kematian.
c. Membuat dokumen palsu pengajuan santunan
diantaranya surat keterangan/rekomendasi terjadinya
dan menjadi korban kecelakaan, Kartu Tanda Penduduk
(KTP), surat keterangan ahli waris maupun dokumen
penunjang lainnya.
d. Melakukan penyuapan kepada pegawai dalam rangka
mempercepat proses pembayaran santunan dengan
tujuan untuk mempengaruhi keputusan.
e. Melakukan perubahan tanggal terjadinya kecelakaan
guna menghindari klaim kadaluarsa.
f. Memaksimalkan biaya pengobatan dan perawatan
rumah sakit, dengan melakukan:
*Menambah waktu lamanya perawatan korban kecelakaan.
*Menaikkan biaya pengobatan/perawatan korban
kecelakaan
*Merujuk korban kecelakaan kepada dokter spesialis
g. Membuat surat keterangan/rekomendasi terjadinya
kecelakaan, walaupun diketahui kecelakaan tersebut
tidak pernah terjadi, bukan menjadi korban kecelakaan
atau tidak berkaitan dengan kecelakaan lalulintas
maupun penumpang umum.
2. Indikasi/Gejala Kecurangan Pembayaran Santunan
Indikasi/gejala kecurangan dalam proses pembayaran santunan,
antara lain:
a. Tingginya pengajuan pembayaran santunan yang
dibayarkan kepada peserta, terutama kecelakaan yang
terjadi pada kecelakaan lalulintas jalan.
b. Meningkatnya proses penyelesaian santunan yang
dilakukan oleh seorang pegawai.
c. Meningkatnya keluhan dari peserta yang mengajukan
klaim.

3. Pencegahan Kecurangan Pembayaran Santunan


Dalam upaya perusahaan untuk mengatasi terjadinya
kecurangan, pada umumnya perusahaan melakukan
pengendalian melalui:
a. Perencanaan pembayaran santunan yang bertujuan
untuk mempersiapkan anggaran pembayaran santunan.
b. Penempatan dokter disetiap Cabang dengan tugas
melakukan identifikasi terjadinya kecelakaan dan
melaksanakan verifikasi dokumen pengobatan/
perawatan yang dikeluarkan oleh rumah sakit kepada
korban kecelakaan.
c. Rekonsiliasi secara periodik antara dokumen
pendukung dengan pembukuan pembayaran santunan
yang telah dilaksanakan.
d. Pengujian secara acak dan berkala terhadap
penerima santunan mengenai kebenaran penerima
dan jumlah santunan yang diterima oleh
peserta/masyarakat baik melalui surat dan/atau
kunjungan langsung.
e. Pengendalian pembayaran santunan dengan cara
memantau realisasi pembayaran santunan dengan
anggaran, sehingga dapat diketahui pembayaran
santunan yang melebihi anggaran.
f. Kerjasama dengan Kepolisian, Rumah Sakit, Perbankan
dan Instansi/lembaga terkait lainnya dalam proses
pemberian pelayanan dan kelancaran pembayaran
santunan kepada peserta/masyarakat.
g. Pencatatan terhadap santunan yang telah dibayarkan
meliputi identitas yang menerima, jumlah yang
dibayarkan, metode/cara pembayaran dan keterangan
transaksi.
h. Mengamati setiap peningkatan pembayaran
santunan yang dilakukan oleh seorang pegawai.
i. Penyelesaian secara langsung setiap keluhan yang
diterima dalam proses pembayaran santunan.
i. Survey kepuasan pelanggan secara periodik untuk
mendapatkan informasi tentang keluhan prosedur
pembayaran santunan.
j. Evaluasi dan pengkinian kebijakan dan prosedur
pembayaran santunan secara berkala, sesuai dengan
perkembangan lingkungan perusahaan.
k. Kompetensi Insan perusahaan/intansi secara
berkelanjutan melalui pendidikan dan pelatihan teknis
pembayaran santunan.
l. Sanksi secara konsisten Insan perusahaan/instansi yang
terbukti melakukankecurangan pembayaran santunan.
m. Rotasi/transfer pegawai pembayaran santunan secara
berkelanjutan sebagai upaya untuk menghilangkan
terjadinya kolusi dan nepotisme dalam pembayaran
santunan.

4. Praktik Kecurangan Penerimaan Underwriting


Kecurangan penerimaan underwriting (proses identifikasi, seleksi
risiko dan pemutusan pada calon nasabah) merupakan faktor
dominan yang menyebabkan ketidak-wajaran penerimaan
underwriting yang dilakukan berbagai pihak untuk
memperoleh keuntungan pribadi yang bertentangan dengan
ketentuan dan prosedur penerimaan underwriting.
1. Pelaku Kecurangan Penerimaan Underwriting
Pelaku kecurangan dalam proses penerimaan underwriting berasal
dari:
a. Internal Perusahaan
Kecurangan penerimaan underwriting yang berasal dari
internal perusahaan dilakukan dengan cara antara lain:
1) Melakukan pengutipan iuran wajib langsung
kepada pengelola/ operator kendaraan umum
dan tidak menyetorkan iuran wajib yang telah
dipungut kepada perusahaan.
2) Tidak melakukan pencatatan pembukuan atas
penerimaan iuran wajib baik sebagian maupun
seluruhnya.
3) Melakukan kerjasama denganpengelola/operasi
kendaraan bermotor umum dengan menerima
imbalan tertentu untuk menerima pembayaran
iuran wajib secara tidak penuh.
4) Penyelesaian penerimaan underwriting yang
tidak dilakukan berdasarkan mekanisme dan
ketentuan yang telah ditetapkan karena adanya
hubungan yang baik dengan pegawai.

b. Eksternal Perusahaan
Kecurangan penerimaan underwriting yang berasal dari
eksternal perusahaan dilakukan dengan cara antara lain:
a. Tidak melakukan pencatatan iuran wajib yang telah
diterima dari setiap penumpang dengan sebenarnya.
b. Tidak menyetorkan iuran wajib yang telah diterima dari
setiap penumpang kepada perusahaan.
c. Melakukan pencatatan penerimaan iuran wajib
sebagai pendapatan perusahaan, bukan sebagai
hutang yang harus disetorkan kepada Perusahaan.
d. Terjadinya perbedaan daftar penumpang yang membayar
iuran wajib dengan jumlah iuran wajib yang diterima.
2. Indikasi/Gejala Kecurangan Penerimaan Underwriting
Indikasi/gejala kecurangan dalam proses penerimaan underwriting,
antara lain:
a. Sering terlambatnya penyetoran iuran wajib yang
telah dikutip dari setiap penumpang oleh pengelola/
operator kendaraan bermotor dan penumpang umum
kepada Perusahaan.
b. Meningkatnya piutang iuran wajib
c. Menurunnya penerimaan iuran wajib oleh Perusahaan.
3. Pencegahan Kecurangan Penerimaan Underwriting
Dalam upaya perusahaan untuk mengatasi terjadinya
kecurangan, pada umumnya perusahaan melakukan
pengendalian melalui :
a. Perencanaan pendapatan underwriting yang bertujuan
untuk mempersiapkan anggaran dari pendapatan
underwriting sesuai kebutuhan perusahaan.
b. Rekonsiliasi bukti-bukti penerimaan underwriting dengan
catatan akuntansi.
c. Konfirmasi kepada pengelola/operator kendaraan
bermotor untuk memastikan iuran yang diterima.
d. Pengendalian pendapatan underwriting dengan cara
memantau realisasi pendapatan underwriting dengan
anggaran, sehingga dapat diketahui pendapatan
underwriting yang dibawah anggaran.
e. Memantau umur piutang yang dilakukan oleh pegawai
lain dari pegawai yang menerima pembayaran
underwriting.
e. Kerjasama dengan pihak perbankan dalam penyetoran
iuran wajib.
f. Peningkatan kompetensi Insan perusahaan/instansi
secara berkelanjutan melalui pendidikan teknis
pendapatan underwriting.
f. Sanksi secara konsisten Insan Jasa Raharja yang terbukti
melakukan kecurangan penerimaan pendapatan
underwriting.
j. Rotasi/transfer pegawai pendapatan underwriting secara
berkelanjutan sebagai upaya untuk menghilangkan
terjadinya kolusi dan nepotisme dalam pendapatan
underwriting.

F. Praktik Kecurangan Penyajian Laporan Keuangan


Perkembangan dunia akuntansi yang semakin pesat pada saat ini
tidak hanya memberikan manfaat bagi dunia usaha tapi juga
menjadi sumber masalah kecurangan yang sangat kompleks
seperti: korupsi, penyalahgunaan aset dan rekayasa laporan
keuangan yang sulit atau bahkan tidak bisa dideteksi oleh proses
audit laporan keuangan.
Kecurangan dalam laporan keuangan dapat menyangkut
tindakan manipulasi, penghilangan, pemalsuan atau perubahan
catatan akuntansi atau dokumen pendukungnya yang menjadi
sumber data bagi penyajian laporan keuangan serta terjadinya
penerapan yang salah dan dilakukan dengan sengaja atas prinsip
akuntansi terutama berkaitan dengan jumlah, klasifikasi, cara
penyajian atau pengungkapannya.
Kecurangan penyajian laporan keuangan sering terjadi dan
berulang karena terdapat faktor-faktor pendorong yang
mengakibatkan terjadinya kecurangan penyajian laporan
keuangan.
1. Pelaku Kecurangan Penyajian Laporan Keuangan
Pelaku kecurangan dalam proses penyajian laporan keuangan
berasal dari:
a. Internal Perusahaan
Kecurangan penyajian laporan keuangan yang berasal dari
internal perusahaan /instansi dilakukan dengan cara:
a. Melakukan kesalahan saji dalam pencatatan
pembukuan antara lain penyalahgunaan aktiva
perusahaan, pencatatan iuran, pencatatan
pembayaran santunan dan pencatatan pengeluaran
lainnya yang berakibat laporan keuangan tidak
disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar
Akuntansi Keuangan (PSAK) atau aturan standar yang
berlaku
b. Melakukan rekayasa keuangan (financial engineering)
berupa salah saji dalam penyajian laporan keuangan
untuk memperoleh keuntungan.
c. Tidak mencatat atau merendahkan hutang kepada
pihak ketiga, melakukan peminjaman tapi tidak
dilakukan pengungkapan dan pencatatan.
d. Melebihkan perolehan laba perusahaan sebagai
tindakan manajemen untuk memenuhi tujuan laba
guna mendapatkan kompensasi keuangan yang besar
dari perusahaan.
e. Melakukan pencatatan suatu transaksi dalam periode
yang salah.
f. Tidak mencatat pengadaan barang dan jasa setelah
akhir tahun dengan alasan terdapat dokumen yang
hilang dan tidak dapat ditemukan.
b. Eksternal Perusahaan
Kecurangan pengelolaan akuntansi yang berasal dari
eksternal perusahaan dilakukan dengan cara antara lain
Kantor Akuntan Publik (KAP) yang tidak independen dan tidak
memegang teguh kode etik profesi serta terdapat konflik
kepentingan antara perusahaan dengan Kantor Akuntan
Publik.
2. Indikasi/Gejala Kecurangan Penyajian Laporan Keuangan
Indikasi/gejala terjadinya kecurangan dalam penyajian laporan
keuangan, adalah:
a. Adanya ancaman stabilitas dan profitabilitas
keuangan yang timbul dari ekonomi, industri atau
kondisi operasional.
b. Adanya bukti bahwa Direksi dan/atau Dewan
Komisaris memiliki kepentingan pribadi untuk
meningkatkan kinerja perusahaan.
c. Terdapat banyak transaksi atau hubungan dengan
pihak ketiga pada akhir tahun laporan keuangan.
d. Pencatatan yang salah/tidak akurat pada buku
pengadaan barang dan jasa.
e. Perolehan laba perusahaan yang tidak biasa, apabila
dibandingkan dengan rata rata laba industri asuransi
sejenis.
f. Perputaran yang cepat dalam posisi keuangan
yang ditunjukkan dengan menurunnya ratio finansial.
g. Menurunnya kinerja perusahaan termasuk
keterlambatan penyusunan dan penyampaian
laporan keuangan.
h. Manajemen enggan menyediakan data untuk auditor
eksternal.

3. Pencegahan Kecurangan Penyajian Laporan Keuangan


Dalam upaya perusahaan untuk mengatasi terjadinya
kecurangan, pada umumnya perusahaan melakukan
pengendalian melalui:
a. Analisis atas sajian laporan keuangan secara vertikal maupun
secara horizontal.
a. Analisis vertikal, yaitu teknik yang digunakan untuk
menganalisis hubungan antara item-item dalam
laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas.
b. Analisis horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis
perubahan item laporan keuangan selama beberapa
periode laporan.
c. Analisis rasio keuangan terutama perkembangan pada
beberapa tahun terakhir.
d. Penyampaian laporan keuangan triwulanan dan
laporan keuangan tahunan harus disajikan dengan
memperbandingkan minimal 2 (dua) tahun terakhir
e. Melakukan analisis atas capaian tingkat kesehatan
perusahaan dan kontrak manajemen.
f. Audit kecurangan (fraud auditing) laporan keuangan
secara periodik oleh satuan pengawasan intern dan
atau auditor internal.
g. Mencatat dan menatausahakan perubahan
kinerja sebagai akibat tidak terealisasinya atau
tidak efektifnya pelaksanaan RKAP.
g. Mengukur perbandingan antara realisasi dengan
anggaran dan kinerja sesuai jadwal yang ditetapkan.
h. Evaluasi dan pengkinian kebijakan dan prosedur
penyusunan laporan keuangan secara berkala, sesuai
dengan perkembangan lingkungan perusahaan.
i. Memastikan bahwa penggunaan metode akuntansi
adalah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku
serta memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Melakukan review secara berkala guna
memastikan ketepatan metode yang digunakan
untuk menilai transaksi.
2) Melakukan review secara berkala terhadap
kesesuaian metode akuntansi yang digunakan
dengan standar akuntansi keuangan yang
berlaku.
3) Melakukan rekonsiliasi data transaksi secara
berkala.
4) Mengidentifikasi dan menganalisis setiap
ketidak-wajaran transaksi yang terjadi.
5) Memelihara seluruh dokumen yang berkaitan
dengan rincian rekening (accounts), sub-
ledgers, buku besar (general ledgers).
h. Melakukan konfirmasi transaksi secara tepat waktu sesuai
dengan prosedur yang ditetapkan dan memantau transaksi
secara konsisten.
i. Memastikan standar akuntansi yang digunakan tidak
menimbulkan penyimpangan pada pengakuan pendapatan.
j. Melakukan penilaian terhadap tahapan dalam proses
penyelesaian transaksi, khususnya mengenai batas akhir
perintah pembayaran, penerimaan dan waktu pembayaran.
k. Menyajikan Laporan Keuangan yang telah:
1) Memenuhi standar akuntansi yang berlaku di
Indonesia yaitu Pernyataan Standar Akuntansi
Keuangan (PSAK).
2) Memenuhi kaidah-kaidah yang diakui
validitasnya dalam Standar Profesional Akuntan
Publik (SPAP).
3) Memenuhi standar penyajian sesuai ketentuan
Pedoman Penyajian Laporan Keuangan yang
diterbitkan Bapepam & LK dan/atau institusi yang
berwenang.
4) Melalui proses audit oleh Kantor Akuntan Publik.
5) Memuat pernyataan tanggung jawab
perusahaan terhadap kebenaran isi dan
penyajian laporan keuangan dan laporan
tahunan perusahaan.
l. Peningkatan kompetensi Insan perusahaan/instansi secara
berkelanjutan melalui pendidikan teknis penyusunan laporan
keuangan.

m. Sanksi secara konsisten Insan perusahaan/instansi yang


terbukti melakukan kecurangan terhadap penyusunan laporan
keuangan.
n. Rotasi/transfer pegawai yang mengelola penyusunan laporan
keuangan secara berkelanjutan sebagai upaya untuk
menghindari terjadinya kolusi dan nepotisme.

4. Praktik Kecurangan Teknologi Informasi


Kecurangan berkaitan dengan teknologi informasi merupakan
bentuk kejahatan yang dilakukan pada suatu sistem berbasis
Komputer maupun jaringan internet.
Kecurangan teknologi informasi saat ini sedang menjadi persoalan
utama dalam dunia keamanan sistem informasi (information
system security). Kejahatan dunia maya (cyber crime) yang salah
satunya akses internet melalui komputer desktop atau notebook
dari tahun ke tahun selalu meningkat. Apabila kecurangan
teknologi informasi tidak segera ditangani dengan baik dan
komprehensif dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan.
1. Pelaku Kecurangan Teknologi Informasi
Pelaku kecurangan dalam teknologi informasi berasal dari:
a. Internal Perusahaan
Kecurangan teknologi informasi berasal dari internal
perusahaan dilakukan dengan cara :
1) Melakukan pencurian waktu dan jasa komputer
serta penggunaan komputer untuk keperluan
diluar tugas pokok pegawai, sehingga
mengakibatkan penggunaan sistem teknologi
informasi oleh yang tidak berhak.
2) Melakukan rekayasa sistem teknologi dengan
cara memodifikasi perangkat lunak, penyalinan
ilegal perangkat lunak, menggunakan
perangkat lunak dengan cara yang tidak sah
serta menciptakan perangkat lunak untuk
menjalankan kegiatan bisnis perusahaan yang
bertentangan dengan etika dan perilaku.
3) Merusak data perusahaan berupa mencuri atau
menggunakan secara tidak benar system output
4) Melakukan kesalahan dengan sengaja untuk
mengoperasikan sistem yang dapat merusak
integritas sistem dan data.
5) Melakukan pemasukan dan penghapusan data
yang salah sehingga dapat mengacaukan dan
membawa dampak buruk kalau terjadi
gangguan dalam sistem.
6) Menambah, menghilangkan atau mengubah
masukan atau memasukan data palsu.
7) Memproduksi keluaran palsu, menahan,
menghancurkan atau mencuri keluaran.
8) Mengubah dan menghilangkan master file
b. Eksternal Perusahaan
Kecurangan pengelolaan teknologi informasi yang
berasal dari eksternal perusahaan dilakukan dengan acara
antara lain:
1) Menyusup dan masuk ke dalam sistem serta
merusak website perusahaan
2) Melakukan penyadapan terhadap informasi legal
dan menggantinya dengan informasi yang salah
melalui jaringan yang rentan seperti internet.
3) Menggunakan user ID dan password yang
diperoleh dengan cara yang menebak melalui
internet untuk mengakses sumber data
elektronik perusahaan
4) Menggunakan unit display video untuk meng-
hasilkan interferensi elektro magnetik pada
satu frekuensi yang dapat menangkap setiap
informasi publik

2. Indikasi/Gejala Kecurangan Teknologi Informasi


Indikasi/gejala terjadinya kecurangan dalam teknologi informasi,
adalah:
1) Aplikasi bisnis perusahaan yang menggunakan
(berbasis) teknologi informasi dan jaringan
komputer semakin banyak dan tidak terintegrasi
dengan baik.
2) Desentralisasi server sehingga lebih banyak
sistem yang harus dtangani dan membutuhkan
lebih banyak operator dan administrator yang
handal. Padahal mencari operator dan
administrator yang handal adalah sangat sulit.
3) Transisi dari single vendor ke multi-vendor
sehingga lebih banyak yang harus dimengerti
dan masalah inter-operability antar vendor yang
lebih sulit ditangani.
4) Meningkatnya kemampuan pemakai di bidang
komputer sehingga mulai banyak pemakai
yang mencoba-coba bermain atau mem -
bongkar sistem yang digunakannya.
5) Mengabaikan pengendalian intern untuk
memperoleh akses ke informasi rahasia
3. Pencegahan Kecurangan Teknologi Informasi
Dalam upaya perusahaan untuk mengatasi terjadinya
kecurangan, pada umumnya perusahaan melakukan
pengendalian melalui:
a. Rancangan sebuah sistem yang dilengkapi dengan
pengendalian intern yang efektif sehingga kecurangan
teknologi informasi sukar dilakukan oleh pihak luar
maupun orang dalam perusahaan.
b. Pengamanan yang efektif terhadap hardware dan
software dengan melakukan evaluasi dan analisis
secara berkala sistem pengamanan terhadap sistem
teknologi informasi yang telah ditetapkan.
c. Melakukan pengujian audit (design audit test) untuk
membantu pengungkapan adanya kecurangan teknologi
informasi di masa yang akan datang.
d. Audit kecurangan (fraud auditing) teknologi informasi
secara periodik oleh satuan pengawasan intern dan atau
auditor internal. Audit terhadap teknologi informasi
dapat dilakukan dengan bantuan software, seperti CAAT
(Computer Assisted Audit Tools).
e. Evaluasi dan pengkinian kebijakan dan prosedur
teknologi informasi secara berkala, sesuai dengan
perkembangan lingkungan perusahaan.
f. Mengimplementasikan urutan lapisan dan pengendalian
akses, meliputi:
1) Pengendalian akses lokasi dengan tujuan untuk
memisahkan secara fisik individu yang tidak berwenang
dari sumber daya computer
2) Pengendalian akses sistem dengan tujuan untuk
mengecek keabsahan pengguna dengan menggunakan
sarana seperti ID pengguna, password, alamat Internet
Protocol (IP), dan perangkat-perangkat keras.
3) Pengendalian akses file dengan tujuan untuk
pencegahan akses ilegal ke data file dan program.
Batasan khusus harus diberikan kepada programmer
yang memang memiliki pengetahuan untuk mengubah
program
g. Memastikan standar teknologi informasi yang
digunakan tidak menimbulkan penyimpangan terhadap
operasional perusahaan.
h. Melakukan penilaian terhadap tahapan dalam proses
penerapan teknologi informasi contoh : terhadap
aplikasi DASI JR atau lainnya
i. Peningkatan kompetensi Insan perusahaan/instansi
secara berkelanjutan melalui pendidikan audit sistem
informasi, antara lain :

1) Ujian sertifikasi untuk memperoleh gelar CISA


(Certified Information System Audit)
2) Ujian sertifikasi untuk memperoleh gelar CFE
(Certified Fraud Examiner)
3) Mengembangkan disiplin khusus yaitu
computer forensic
j. Sanksi secara konsisten Insan perusahaan/instansi yang
terbukti melakukan kecurangan terhadap pengelolaan
teknologi informasi.
k. Rotasi/transfer pegawai yang mengelola teknologi
informasi secara berkelanjutan sebagai upaya untuk
menghindari terjadinya kolusi dan nepotisme.

Penerapan Corporate Governance / GCG

Sulit dipungkiri, selama sepuluh tahun terakhir ini, istilah Good Corporate
Governance (GCG) kian populer. Tak hanya populer, istilah tersebut juga
ditempatkan di posisi terhormat. Pertama, GCG merupakan salah satu kunci
sukses perusahaan untuk tumbuh dan menguntungkan dalam jangka panjang,
sekaligus memenangkan persaingan bisnis global. Kedua, krisis ekonomi di Pada
tahun 1999, kita melihat negara-negara di Asia Timur yang sama-sama terkena

XIII. IMPLEMENTASI GCG DI PERUSAHAAN/BUMN, CG EVIDENCE , CG


BALANCE SCORECARD DAN VARIABLE YANG MEMPENGARUHINYA

PRINSIP-PRINSIP GCG terdapat 5 (lima) prinsip dasar dari yaitu :


1.Transparency (keterbukaaninformasi), 2. Accountability (akuntabilitas),
3.Responsibility (pertanggungjawaban), 4. Independency (kemandirian),
5. Fairness (kesetaraan dan kewajaran
Dalam pelaksanaan penerapan GCG di perusahaan adalah penting bagi
perusahaan untuk melakukan pentahapan yang cermat berdasarkan analisis atas
situasi dan kondisi perusahaan, dan tingkat kesiapannya, sehingga penerapan
GCG dapat berjalan lancar dan mendapatkan dukungan dari seluruh unsur di
dalam perusahaan. Pada umumnya perusahaan-perusahaan yang telah berhasil
dalam menerapkan GCG menggunakan pentahapan berikut (Chinn, 2000;
Shaw,2003).

Tahap_Persiapan
Tahap ini terdiri atas 3 (tiga) langkah utama sebagai berikut :

1) Awareness building, 2) GCG assessment, 3) GCG Manual building.

 Ad.1. Awareness building merupakan langkah awal untuk membangun


kesadaran mengenai arti penting GCG dan komitmen bersama dalam
penerapannya. Upaya ini dapat dilakukan dengan meminta bantuan tenaga
ahli independen dari luar perusahaan. Bentuk kegiatan dapat dilakukan
melalui seminar, lokakarya, dan diskusi kelompok.
 Ad.2. GCG Assessment merupakan upaya untuk mengukur atau lebih
tepatnya memetakan kondisi perusahaan dalam penetapan GCG saat ini.
Langkah ini perlu guna memastikan titik awal level penerapan GCG dan
untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang tepat guna mempersiapkan
infrastruktur dan struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan GCG
secara efektif. Dengan kata lain GCG assessment dibutuhkan untuk
mengidentifikasi aspekaspek apa yang perlu mendapatkan perhatian
terlebih dahulu, dan langkah-langkah apa yang dapat diambil untuk
mewujudkannya.
 Ad.3. GCG manual building, adalah langkah berikut setelah GCG
assessment dilakukan. Berdasarkan hasil pemetaan tingkat kesiapan
perusahaan dan upaya identifikasi prioritas penerapannya, penyusunan
manual atau pedoman implementasi GCG dapat disusun. Penyusunan
manual dapat dilakukan dengan bantuan tenaga ahli independen dari luar
perusahaan.

Manual ini dapat dibedakan antara manual untuk organ-organ perusahaan dan
manual untuk keseluruhan anggota perusahaan, mencakup berbagai aspek
seperti:

1. Kebijakan GCG Perusahaan


2. Pedoman GCG bagi organ-organ perusahaan
3. Pedoman perilaku
4. Audit committe charter
5. Kebijakan disclosure dan transparansi
6. Kebijakan dan kerangka manajemen risiko
7. Roadmap implementasi

Pemanfaatan Teknologi Informasi sebagai pendukung pencapaian tujuan dan


sasaran organisasi harus diimbangi dengan keefektifan dan efisiensi
pengelolaannya, maka dari itu audit TI haruslah dilakukan untuk menjaga
keamanan sistem informasi sebagai asset organisasi, untuk mempertahankan
integritas informasi yang disimpan dan diolah dan tentu saja untuk meningkatkan
keefektifan penggunaan teknologi informasi serta mendukung efisiensi dalam
organisasi.

Peran seorang auditor TI adalah untuk mengumpulkan dan mengevaluasi bukti


dalam rangka menentukan apakah suatu sistem komputer telah menjaga aset,
mempertahankan integritas data, mencapai tujuan-tujuan organisasi secara
efektif, serta mengonsumsi sumber daya secara efisien.

Auditor TI merupakan salah satu peran yang dapat mendukung tata kelola
perusahaan yang baik (Good Corporate Governance). Dalam hal ini dibutuhkan
ahli bidang Audit TI yang memiliki kompetensi sesuai dengan standar
Internasional.
CISA (Certified Information System Auditor) adalah sertifikasi untuk auditor
Sistem Informasi yang diakui di tingkat Internasional yang disponsori oleh ISACA.
ITGID telah menandatangani MOU dengan ISACA. IT Governance Indonesia
(Member Of Proxsis Consulting Group) telah menandatangani Surat Perjanjian
Kerjasama Penyelenggaraan ISACA Certification Review Course 2016, antara
Proxsis dengan ISACA Chapter Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa materi serta
trainer untuk training CISA yang diselenggarakan oleh ITGID adalah ISACA Official.

PENERAPAN CORPORATE GOVERNANCE / GCG DI BADAN USAHA MILIK NEGARA

Penerapan tata kelola yang baik ( GCG ) pada BUMN harus berpedoman pada
Permen BUMN No : Per-01/MBU/2011 tanggal 1 Agustus 2011 dengan tetap
memperhatikan ketentuan dan norma yang berlaku, serta anggaran dasar BUMN:

1. Manual Direksi dan Dewan Komisaris : Membangun pemahaman,


kepedulian dan komitmen untuk melaksanakan GCG oleh semua anggota
Direksi dan Dewan Komisaris, serta Pemegang Saham Pengendali, dan
semua karyawan.
2. Manual Manajemen Risiko : Melakukan kajian terhadap kondisi
perusahaan yang berkaitan dengan pelaksanaan GCG dan tindakan
korektif yang diperlukan.
3. Sistem Pengendalian Intern : Menyusun program dan pedoman
pelaksanaan GCG perusahaan setelah ketimpangan dan tindakan korektif
yang diperlukan teridentifikasi.
4. Sistem Pengawasan Intern : Melakukan internalisasi pelaksanaan GCG
sehingga terbentuk rasa memiliki dari semua pihak di dalam perusahaan,
serta pemahaman atas pelaksanaan pedoman GCG dalam kegiatan
sehari-hari.
5. Mekanisme Pelaporan atas Dugaan Penyimpangan : Melakukan penilaian
independen untuk memastikan penerapan GCG secara
berkesinambungan.
6. Tata Kelola Teknologi Informasi.
7. Pedoman Perilaku Etika.

a. Prosedur Penilaian “BUMN Bersih”


Penilaian BUMN Bersih dilakukan dengan prosedur sebagai berikut :
a. Penyampaian data calon responden eksternal, struktur organisasi,
Dan penyebaran pegawai serta dokumen aplikasi oleh Direksi.
b. Penetapan jenis dan jumlah responden.
c. Penyampaian kuesioner kepada responden.
d. Pengumpulan kuesioner.
e. Pengolahan kuesioner.
f. Review dokumen aplikasi atau upaya internal dan dokumen
pendukung yang diterima dari Direksi dan Dewan Komisaris.
g. Wawancara dengan Direksi dan Dewan Komisaris serta Pejabat
tingkat II dan III dibawah Direksi.
h. Penetapan hasil penilaian berdasarkan pengolahan hasil survey,
dokumen aplikasi atau upaya internal, dan wawancara.

b. Pelaksanaan Penilaian
a. Penilaian BUMN Bersih pada PT AAA (contoh) dilakukan
melalui penilaian persepsi dan penelitian terhadap dokumen
aplikasi beserta pendukungnya.
b. Penilaian persepsi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner
kepada responden eksternal dan internal sesuai dengan 13
indikator penilaian BUMN Bersih.
c. Selanjutnya data persepsi responden eksternal dan internal
ditabulasikan untuk memperoleh skor persepsi.
Bobot skor persepsi untuk responden eksternal dan internal
masing-masing sebesar 70% dan 30%.
c.Indikator Penilaian
Kriteria 1 :Komitmen untuk melaksanakan Board Manual bagi Direksi dan
Dewan Komisaris serta Code of conduct bagi seluruh insan perusahaan yang
bersih dan bebas dari gratifikasi, fraud dan KKN

1 Apakah Board Manual telah mengatur mengenai gratifikasi, fraud dan


KKN ?. Bagaimana kecukupannya?

2 Apakah Code of Conduct telah mengatur mengenai gratifikasi, fraud dan


KKN?. Bagaimana kecukupannya?

3 Uraikan pelaksanaan Board Manual dan Code of Conduct khususnya


mengenai gratifikasi, fraud dan KKN.

4 Apakah Code of Conduct telah di sosialisasikan kepada stakeholders


(internal dan eksternal)? Uraikan pelaksanaannya sosialisasi.

5 Uraikan upaya yang telah dilakukan Direksi dalam melakukan pencegahan


korupsi untuk BUMN yang bersih dan bebas dari gratifikasi, fraud dan KKN.

6 Uraikan respon Direksi terhadap terjadinya gratifikasi, fraud dan KKN.

7 Uraikan respon Direksi terhadap adanya transaksi yang terindikasi


penyimpangan dan/atau kecurangan

Kriteria 2 :Komitmen untuk memberikan keteladanan dan menciptakan


lingkungan kerja yang kondusif dalam rangka pelaksanaan perusahaan bersih

1 Uraikan komitmen Direksi untuk menjaga independensi dalam pengambilan


keputusan (termasuk uraian mengenai ada/tidak adanya intervensi dalam
pengambilan keputusan)

2 Uraikan proses pengambilan keputusan oleh Direksi apabila terdapat


potensi benturan kepentingan/tekanan.

3 Uraikan upaya Direksi untuk menjadi role model/teladan atas kepatuhan


terhadap kebijakan perusahaan yang bebas dari gratifikasi, fraud dan KKN
(termasuk uraian mengenai kesesuaian antara kebijakan dan tindakan
Direksi).

4 Bagaimana upaya Direksi untuk mendorong tindak lanjut temuan hasil audit
auditor internal dan eksternal dilaksanakan tepat waktu.
5 Uraikan pemanfaatan fasilitas perusahaan oleh Direksi.

Kriteria 3 :Komitmen untuk mengefektifkan pengendalian gratifikasi

1 Apakah perusahaan memiliki mekanisme pengendalian gratifikasi?

2 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi dalam menjaga ketaatan pelaporan


gratifikasi.

3 Uraikan upaya Direksi dalam menegakkan aturan gratifikasi, bila terdapat


pelanggaran aturan gratifikasi.

Kriteria 4 :Komitmen untuk melaksanakan transaksi berdasarkan prinsip-


prinsip GCG dan tidak terindikasi gratifikasi

1 Uraikan kebijakan Direksi untuk melaksanakan transaksi sesuai dengan


prinsip-prinsip GCG dan uraikan kebijakan tersebut dalam hal transparan,
akuntabel, responsibel, independen dan fairnes.

2 Uraikan kebijakan Direksi dalam menerapkan prinsip-prinsip GCG di


perusahaan khususnya untuk corporate action

3 Uraikan kebijakan Direksi dalam pemberian donasi/hadiah/ entertainment


kepada pihak lain
4 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi dalam menjaga ketaatan pemberian
donasi/hadiah/ entertainment kepada pihak lain.

Kriteria 5 :Komitmen untuk melaksanakan rekruitmen, penempatan, promosi


dan mutasi pegawai secara fair

1 Uraikan kebijakan perusahaan terkait pengembangan SDM untuk


rekruitmen pegawai

2 Uraikan kebijakan perusahaan terkait dengan pengembangan SDM untuk


penempatan dan mutasi pegawai

3 Uraikan kebijakan perusahaan terkait dengan pengembangan SDM untuk


promosi dan pola karier

4 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi dalam menjaga proses rekruitmen


dilakukan secara terbuka dan bebas dari unsur nepotisme (kekerabatan).
5 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk terbebas dari unsur
kekerabatan (nepotisme) dalam proses penempatan dan mutasi pegawai.

6 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk terbebas dari unsur


kekerabatan (nepotisme) dalam proses promosi dan pola karier .

Kriteria 6 :Komitmen untuk menerapkan sistem remunerasi berdasarkan


penilaian kinerja yang obyektif dan terukur

1 Apakah perusahaan telah memiliki kebijakan penilaian kinerja dan


remunerasi yang memadai? Uraikan kebijakan tersebut.

2 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk melaksanakan sistem


remunerasi berdasarkan penilaian kinerja yang dilaksanakan secara
obyektif

Kriteria 7 :Komitmen untuk melaksanakan pengadaan yang fair, efisien dan


tidak terindikasi gratifikasi

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan pengadaan yang fair, efisien dan


tidak terindikasi gratifikasi. Uraikan kebijakan tersebut.

2 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk menjaga agar perencanaan


pengadaan barang/jasa bebas dari intervensi pihak yang ingin
mendapatkan keuntungan.

3 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk menjaga agar penyusunan


dokumen pengadaan yang tidak tendensius kepada rekanan tertentu.

4 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk menjaga agar penyusunan/


penetapah HPS yang terhindar dari mark up.

5 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk memastikan bahwa peserta


pengadaan hanya membayar biaya sesuai ketentuan dan tidak dikenakan
biaya tambahan

6 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk memastikan bahwa peserta


pengadaan:

a. Memperoleh perlakukan yang sama

b. Memperoleh harga yang wajar


c. Bahwa pemenang pengadaan tidak memberikan imbalan untuk setiap
kontrak yang dimenangkan

7 Uraikan upaya yang dilakukan Direksi untuk melaksanakan pengendalian


pengadaan mulai dari pelaksanaan pengadaan, penerimaan barang/jasa
serta pemanfaatan barang/jasa hasil pengadaan

Kriteria 8 :Komitmen untuk melaksanakan transparansi dan akurasi laporan


keuangan dan laporan manajemen, serta kewajiban transparansi lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan

1 Apakah Direksi membuat asersi terkait penyajian laporan keuangan secara


akurat, benar dan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku. Uraikan
asersi tersebut.

2 Apakah perusahaan telah mempublikasikan laporan keuangan kepada


publik ?

Kriteria 9 :Komitmen untuk menerapkan sanksi yang tegas terhadap setiap


pelanggaran

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan penerapan sanksi yang tegas


terhadap setiap pelanggaran? Uraikan kebijakan tersebut

2 Uraikan upaya Direksi untuk menegakkan kebijakan penerapan sanksi atas


setiap pelanggaran

3 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan bahwa terhadap penyimpangan


yang terindikasi tindak pidana korupsi telah dilaporkan kepada pihak yang
berwenang

Kriteria 10 : Komitmen untuk melaksanakan standar pelayanan minimum bagi


BUMN yang melaksanakan kewajiban pelayanan umum (public service
obligation) dan BUMN Pengelola Infrastruktur

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan untuk melaksanakan standar


pelayanan minimum? Uraikan kebijakan tersebut.

2 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan bahwa pelayanan yang


dilaksanakan perusahaan telah:

a. Mengutamakan keselamatan
b. Memenuhi kenyamanan

c. Memberikan kemudahan bagi pelanggan untuk memperoleh


pelayanan

d. Sesuai dengan prosedur pelayanan

3 Apakah perusahaan telah menyediakan media untuk menampung


pengaduan/ keluhan? Uraikan media yang digunakan

4 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan bahwa setiap pengaduan/keluhan


pelanggan telah ditindak lanjuti.

5 Uraikan upaya Direksi untuk mencegah praktik percaloan dalam pelayanan


yang diberikan.

Kriteria 11 : Komitmen untuk mengefektifkan sistem pelaporan atas dugaan


pelanggaran (whistle blowing system)

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan terkait sistem pelaporan atas


dugaan pelanggaran (whistle blowing system)

2 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan efektifitas dan independensi unit


yang menangani pelaporan atas dugaan pelanggaran (whistle blowing
system)

3 Uraikan upaya Direksi menjaga kerahasiaan (memberikan perlindungan)


terhadap pelapor penyimpangan

4 Uraikan upaya Direksi memberikan kemudahan penyampaian laporan/


pengaduan adanya indikasi penyimpangan

5 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan bahwa semua laporan pengaduan


atas indikasi penyimpangan telah ditindak lanjuti.

Kriteria 12 : Komitmen untuk melaksanakan pemantauan kepatuhan jajaran


BUMN pada 3 (tiga) jenjang jabatan perusahaan dalam menyampaikan LHKPN
kepada KPK

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan penyampaian LHKPN sampai 3


(tiga) jenjang jabatan perusahaan dalam menyampaikan LHKPN kepada
KPK
2 Uraikan upaya Direksi untuk memastikan ketaatan dan ketepatan waktu
penyampaian LHKPN

3 Uraikan keterbukaan publikasi LHKPN di perusahaan

Kriteria 13 : Komitmen-komitmen lain dalam rangka mewujudkan BUMN bersih

1 Apakah perusahaan memiliki kebijakan untuk tidak mendukung partai


politik. Uraikan kebijakan tersebut

2 Apakah terdapat kebijakan Direksi untuk tidak memberikan bantuan kepada


partai politik. Uraikan kebijakan tersebut

3 Apakah terdapat arahan Direksi yang menguntungkan partai politik (apakah


terdapat arahan Direksi untuk tidak menguntungkan partai politik

d. Pengolahan Data Kuesioner / Persepsi

Nilai Rata-Rata
Nilai Rata-Rata
Tiap Pernyataan
Tiap Pernyataan

Nilai Skor Nilai Skor


Responden Responden
Internal Eksternal

30 % Skor Akhir
70 %
e. Kualifikasi “BUMN Bersih”

> 7.5 Berkomitmen

Cukup
5.00 - 7.50
Berkomitmen
Upaya Internal atau
Dokumen Aplikasi
Kurang
2,50 - 5.00
Berkomitmen

Tidak
s.d 2.50
Berkomitmen

s.d 2.50 2,50 - 5.00 5.00 - 7.50 > 7.5

Persepsi atau Kuesioner

106
Balanced Scorecard (BSC) dan Variabel Pengukurannya
Balance Scorecard (BSC) ini merupakan kartu berimbang yang digunakan
sebagai media untuk mengukur aktivitas operasional yang dilakukan sebuah
perusahaan. Dengan menggunakan Balance Scorecard perusahaan menjadi
lebih tahu sejauh mana pergerakan dan perkembangan yang telah dicapai. 
Balance Scorecard juga bisa membantu perusahaan untuk memberikan
pandangan menyeluruh mengenai kinerja dari perusahaan.
Balance Scorecard ini hanya diciptakan untuk mengatasi problem tentang
kelemahan sistem pengukuran kinerja eksekutif dan berfokus pada perspektif
keuangan serta perspektif non keuangan juga.

BSC merupakan sistem pengukuran kinerja yang diperkenalkan oleh Kaplan


dan Norton (1992) yang dalam perkembangannya memperoleh popularitas yang
meningkat sebagai alat manajemen yang efektif sebab pengukuran manajemen
perusahaan tidak hanya fokus pada kinerja berbasis keuangan jangka pendek ke
pengukuran konsumen sentris jangka panjang. BSC mengukur kinerja melalui
integrasi multi level keuangan, konsumen, proses bisnis internal serta
pertumbuhan dan pembelajaran.
Beberapa studi menguji secara empiris hubungan antara BSC dan peningkatan
kinerja pada sektor jasa, khususnya perbankan yang menyimpulkan bahwa
ukuran-ukuran non keuangan sama pentingnya dalam memperoleh gambaran
yang seimbang kinerja kini dan masa datang Oleh karena pentingnya aplikasi
BSC dalam kinerja perusahaan maka kinerja perusahaan ini diukur untuk
Corporate governance dan kinerja balanced scorecard;
dengan indeks kinerja berbasis multi dimensi BSC yang terdiri dari empat
kategori, antara lain Keuangan, konsumen, proses bisnis internal serta
pertumbuhan dan pembelajaran.
Perspektif Keuangan
Secara umum, kinerja keuangan yang diukur dengan profitabilitas melalui
return on assets (ROA) dan return on equity. ROA merefleksikan kemampuan
perusahaan untuk memperoleh keuntungan melalui aset yang dimiliki.
Sementara ROE menggambarkan perolehan keuntungan melalui ekuitas
pemegang saham. Pengukuran ROA populer digunakan sebab ROA mengukur
tingkat pengembalian yang hasilkan oleh seluruh sumber daya baik ekuitas,
hutang dan laba ditahan. Pengukuran kinerja keuangan dengan ROA untuk
menemukan bahwa kinerja keuangan ROA berhubungan komposisi dewan..

107
Perspektif_Konsumen
Tingkatan kedua dalam pengukuran kinerja BSC adalah pengukuran terkait
dengan konsumen. Ukuran kinerja terkait konsumen yang digunakan adalah
denganpangsapasar deposit nasabah.
Modifikasi pengukuran tersebut dengan menghitung jumlah penjualan pada satu
perusahaan dibagi dengan total penjualan masing-masing sektor dan bukan total
keseluruhan penjualan seluruh perusahaan, dengan tujuan untuk
mendapatkannilai pangsa pasar per masing-masing sub sektor sesuai dengan
spesifikasi industri.
Perspektif Proses Bisnis Internal
Level ketiga dalam pengukuran kinerja BSC adalah berkaitan dengan proses
bisnis internal, yang dalam hal ini menunjukkan seberapa sukses perusahaan
dalam meningkatkan kinerja operasional internal manajemen, sebagai contoh:
waktu yang diperlukan dalam menghasilkan produk dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk operasional dan biaya lain seperti pajak dan depresiasi.
Proses bisnis internal berkaitan dengan efisiensi perusahaan dalam menjalankan
aktivitasnya oleh karenanya pengukuran proses bisnis internal dihitung dengan
membagi pendapatan operasional dengan biaya operasionalnya.
Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Tingkatan terakhir dalam pengukuran BSC adalah terkait dengan pertumbuhan
dan pembelajaran, yang menggambarkan sejauh mana perusahaan tumbuh
dalam kapasitas yang sejalan dengan pembelajarannya dan menggunakan
pengukuran perspektif ini
dengan cara menghitung logaritma natural hasil dari proporsi total laba operasi
dengan jumlah karyawan. Perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.
dikombinasikan ke dalam faktor komposit tunggal untuk menilai kinerja
perusahaan secara keseluruhan dari berbagai perspektif yaitu keuangan,
konsumen, proses bisnis internal serta pertumbuhan dan pembelajaran.
Perspektif keuangan menggunakan proksi ROA, perspektif konsumen dengan
melihat pangsa pasar perusahaan, perspektif proses bisnis internal diukur
dengan efisiensi perusahaan dan pespektif pertumbuhan dan pembelajaran
diukur dengan produktivitas karyawan..
Pengukuran variabel kontrol
Mengendalikan faktor-faktor spesifik yang secara signifikan dapat menjelaskan
variasi kinerja perusahaan. Oleh karena sebelumnya dilakukan pada perusahaan

108
perbankan maka perlu melakukan beberapa modifikasi terhadap variabel kontrol
ini.
Risiko perbankan, yang terdiri dari likuiditas dan solvabilitas yang
menggambarkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka
pendek dan jangka panjang. Umunya menggunakan rasio Loan to Deposit Ratio
(LDR), Non Performing Loan (NPL) dan Capital Adequacy Ration (CAR)
untuk mengukur resiko perbankan.
Estimasi Persamaan Kualitas Governance dan Kinerja Perusahaan
Untuk mengetahui adanya hubungan yang positif antara corporate governance
dan kinerja perusahaan, maka digunakan model regresi OLS untuk melihat
pengaruh corporate governance terhadap kinerja balanced scorecard, yang
dalam hal ini masing-masing variabel menggunakan indeks komposit
multidimensi yang dihasilkan dari analisis faktor menggunakan analisis
komponen utama.
Ada 2 (dua) model dalam pengujiannya, dalam mana model pertama adalah
bertujuan untuk menguji variabel kinerja sebagai variabel dependen, dengan
model persamaan sebagai berikut
Model 1 : Kinerja = ƒ (kualitas CG, variabel kontrol)
Model 2 :
Kinerja = ƒ (Ukuran Dewan Direksi, Komposisi Komisaris Independen,
Keahlian Dewan Komisaris, Intensitas Pertemuan Dewan Komisaris,
Konsentrasi Kepemilikan, Kepemilikan Institusional, Ukuran Komite Audit,
Keahlian Komite Audit, Intensitas Pertemuan Komite Audit, variabel kontrol).

109

Anda mungkin juga menyukai