Anda di halaman 1dari 10

I.

Pengertian dan Dimensi Mutu


Mutu merupakan hal yang sangat penting bagi suatu organisasi, baik itu organisasi non
pendidikan maupun organisasi pendidikan. Mutu sendiri mempunyai berbagai macam pengertian,
seperti yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut: Menurut Juran dalam M. N. Nasution (2001),
mutu suatu produk adalah kecocokkan penggunaan produk (fitness for use) untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Crosby dalam M. N. Nasution (2001) menyatakan bahwa mutu
adalahconformance to requirement, yaitu sesuai dengan yang disyaratkan atau distandarkan. Suatu
produk memiliki mutu apabila sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan. Standar mutu
meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi.
Pendapat lain menurut Stanley Sutrisno (2010:8) mutu adalah “kesesuaian antara produk atau
jasa yang dihasilkan organisasi dengan persyaratan atau kriteria yang ditetapkan oleh pelanggan”.
Sedangkan Badan Standarisasi Nasional (BSN) (2008) mengartikan mutu sebagai derajat yang dicapai
oleh karakteristik yang inheren dalam memenuhi persyaratan.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa mutu merupakan kesesuaian antara
produk yang dihasilkan dengan persyaratan yang diinginkan pelanggan sehingga kepuasan
pelanggan bisa terwujud.
Mutu bisa diukur dengan beberapa dimensi, sehingga dengan dimensi ini bisa dianalisis apakah
suatu produk itu bermutu ataukah tidak. Ada delapan dimensi mutu, seperti yang dinyatakan oleh
Garvin dalam M. N. Nasution (2001) bahwa delapan dimensi mutu adalah sebagai berikut:
1. Performa (Performance) berkaitan dengan aspek fungsional dari produk dan merupakan
karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan ketika ingin membeli suatu produk.
2. Features, merupakan aspek kedua dari performansi yang menambah fungsi dasar, berkaitan
dengan pilihan dan pengembanganya.
3. Kehandalan (reliability), berkaitan dengan kemungkinan suatu produk berfungsi secara berhasil
dalam periode waktu tertentu di bawah kondisi tertentu.
4. Konformansi (conformance), berkaitan dengan tingkat kesesuaian produk terhadap spesifikasi
yang telah ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
5. Daya tahan (durability), merupakan ukuran masa pakai suatu produk. Karakteristik ini berkaitan
dengan daya tahan dari produk itu.
6. Kemampuan pelayanan (Service ability), merupakan karakteristik yang berkaitan dengan
kecepatan/kesopanan, kompetensi, kemudahan serta akurasi dalam perbaikan.
7. Estetika (aesthetics), merupakan karakteristik mengenai keindahan yang bersifat subjektif
sehingga berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi atau pilihan
individual.
8. Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), bersifat subyektif, berkaitan dengan perasaan
pelanggan dalam mengonsumsi produk, seperti meningkatkan harga diri.

II. Konsep TQM dan Continous Improvement dengan 7 tools


Konsep TQM
Total quality management (TQM) mengacu pada penekanan kualitas yang mencakup seluruh
organisasi, dari pemasok hingga pelanggan. TQM menekankan komitmen oleh manajemen untuk
terus mendorong seluruh perusahaan menuju keunggulan dalam semua aspek produk dan layanan
yang penting bagi pelanggan. Masing-masing dari 10 keputusan yang dibuat oleh manajer operasi
berurusan dengan beberapa aspek dalam mengidentifikasi dan memenuhi harapan pelanggan.
Memenuhi harapan itu, hal ini membutuhkan penekanan pada TQM jika perusahaan inginbersaing
sebagai pemimpin dipasar dunia. Sedangkan Continuous Improvement sendiri merupakan bagian
dari konsep TQM dan sebagai metode dari pengimplementasian dari TQM itu sendiri, yang nantinya
akan dikenal konsep PDCA (plan, do, check, act). Menurut Heizer dan Render (2013) ada 14 konsep
yang digunakan W. Edwards Deming untuk mengindikasi bagaimana mengimplementasikan TQM.
Namun, dikembangkan menjadi 7 konsep untuk program TQM yang lebih efektif oleh Heizer dan
Render. Konsep tersebut diantaranya:
1. Perbaikan berkelanjutan (Continuous Improvement)
Total Quality Management mengharuskan proses perbaikan yang tidak pernah berhenti,
dasar falsafah yang digunakan adalah setiap aspek dari suatu organisasi dapat diperbaiki. Dan
tujuan akhirnya adalah kesempurnaan, yang tidak akan pernah tercapai, namun selalu dicari.
Dalam melakukan perbaikan yang berkelanjutan dikenal konsep PDCA (plan, do, check, act).
Plan-Do-Check-Act atau Perencanaan-Pelaksanaan-Pengecekan- Tindakan yang dikemukakan
oleh Walter Shewhart mengembangkan model melingkar yang dikenal sebagai
PDCA (plan, do, check, act) sebagai versinya untuk perbaikan berkelanjutan. Deming kemudian
membawa konsep ini ke Jepang selama pekerjaannya di sana setelah Perang Dunia II. Siklus
PDCA (juga disebut lingkaran Deming atau lingkaran Shewhart) sebagai lingkaran untuk
menekankan sifat kontinuitas dari proses perbaikan.
2. Six sigma
Dalam konsep TQM, Six Sigma adalah program yang direncanakan untuk
mengurangi cacat, biaya, menghemat waktu, dan meningkatkankepuasan pelanggan. Selain
itu, Six Sigma juga berarti sistem yang komprehensif untuk meraih dan mempertahankan
kesuksesan bisnis. Six Sigma berasal dari kata “six” yang berarti enam (6) dan “sigma”
yang berarti standar deviasi, yaitu salah satu ukuran sebaran data dalam ilmu statistika.
Tujuan metode ini adalah meningkatkan performa dan menurunkan kemungkinan kesalahan.
Pada akhirnya, Six Sigma mampu mewujudkan proses sebuah perusahaan
yang kualitas produksinya lebih baik, meningkatkan keuntungan, dan bahkan
meningkatkan semangat karyawan.
3.
III. Biaya Kualitas (Quality Cost)
Biaya Kualitas (Biaya Mutu) atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Quality Cost adalah
Biaya-biaya yang timbul dalam penanganan masalah Kualitas (Mutu), baik dalam rangka
meningkatkan Kualitas maupun biaya yang timbul akibat Kualitas yang buruk (Cost of Poor Quality).
Dengan kata lain, Biaya Kualitas (Quality Cost) adalah semua biaya yang timbul dalam Manajemen
Kualitas (Quality Management).
Peningkatan kualitas suatu produk tidak bisa dilepaskan dari biaya yang akan muncul. Adapun
unsur-unsur biaya yang relevan dengan kualitas yaitu biaya barang yang rusak, biaya pemeriksaan,
biaya pengerjaan kembali barang yang tidak memenuhi standar, biaya karena keterlambatan
produksi akibat kualitas yang buruk, dan kerugian karena kehilangan pasar. Secara garis besar biaya
tersebut dapat dikelompokkan kedalam tiga bagian yaitu :
 Biaya pencegahan
Biaya pencegahan adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan usaha agar jangan
sampai terjadi produk yang cacat. Kegiatan ini bersifat mencegah sebelum terjadinya produk
yang cacat. Termasuk kedalam biaya ini adalah biaya untuk perencanaan mutu dan pengawasan
proses, biaya untuk perencanaan dan pemasangan alat-alat maupun fasilitas yang diperlukan
guna mencapai mutu yang ditentukan, dan biaya untuk pelatihan karyawan dalam
meningkatkan keterampilan.
 Biaya penafsiran
Biaya penafsiran adalah biaya yang dibutuhkan dalam melakukan pengecekan dan usaha
lainnya yang diperlukan untuk menjaga mutu. Termasuk dalam kelompok biaya ini adalah biaya
untuk pemeriksaan bahan, biaya pemeriksaan kualitas barang dalam proses, biaya penyortiran,
dan biaya lainnya yang dikelurkan untuk pencatatan pada saat pengecekan.
 Biaya kegagalan
Biaya ini muncul karena kesalahan faktor internal. Termasuk dalam kelompok biaya ini
adalah biaya pembetulan produk yang cacat, biaya pembelian bahan atau komponen baru untuk
menggantikan komponen yang tidak dapat digunakan, dan biaya penyelidikan dan pembetulan
kondisi produksi pengolahan yang tidak mampu menghasilkan produk sesuai dengan spesifikasi
yang ditetapkan

IV. Six Sigma


Six Sigma adalah sebuah proses bisnis yang secara drastis meningkatkan kinerja dengan cara
mendesain dan memonitor kegiatan bisnis setiap hari untuk mengurangi cacat dan sumber daya
sementara kepuasan konsumen tetap terjaga. Istilah six sigma merujuk pada sebuah program TQM
dengan kemampuan proses yang sangat tinggi (mencapai keakuratan 99,9997%). Istilah six sigma ini
dipopulerkan oleh Motorola, Honeywell, dan General Electric.
Six Sigma, berbagai didefinisikan sebagai suatu filosofi perbaikan terus-menerus, ukuran variasi
atau, paling umum, sebuah proses metrik kinerja, adalah sebuah metodologi untuk mengurangi
biaya bisnis proses dan limbah, meningkatkan kualitas dan kinerja pengiriman, dan memastikan
bahwa kebutuhan klien lebih baik dipahami dan ditemui oleh manajemen dan staf. Tidak peduli apa
fungsi suatu organisasi adalah, manajemen mutu sangat penting: bukan hanya manajemen kualitas,
tetapi kualitas manajemen. Meskipun berbagai proses Manajemen Mutu tersedia, tidak
memberikan proses yang lebih akurat kinerja statistik metrik dari Anda akan mampu menghasilkan
dengan menggunakan metode yang disediakan oleh Six Sigma Pelatihan.
Langkah-Langkah Implementasi Proyek Peningkatan Kualitas Six Sigma :
Proyek peningkatan kualitas Six Sigma harus melibatkan secara intensif antara manajemen dari
tingkat atas sampai tingkat bawah dan akan ditangani langsung oleh Black Belts sebagai pemimpin
tim manajemen proyek. Implementasi proyek peningkatan kualitas Six Sigma mengikuti empat tahap
yaitu :
1. Identifikasi
Tujuan dari tahap identifikasi adalah mengidentifikasi bisnis-bisnis kunci dari
perusahaan. Tanggung jawab dari tahap ini berada pada manajemen dan Master Black Belts.
Tahap identifikasi terdiri dari dua langkah :
a. Recognize (Pengenalan)
Identifikasi proses dari bisnis-bisnis kunci yang berkaitan langsung dengan pelanggan yang
dilakukan oleh manajemen dan Master Black Belts. Fungsi dari tahap ini adalah
memudahkan perusahaan untuk mengetahui bagaimana proses-proses bisnis kunci itu
mempengaruhi profitabilitas dan kemudian mendefinisikan apa yang menjadi Critical to
Business Process.
b. Define (Mendefinisikan)
Untuk mendefinisikan rencana-rencana yang harus dilakukan guna melaksanakan
peningkatan dari setiap tahap proses bisnis kunci itu. Tanggung jawab dari definisi proses
bisnis kunci berada pada manajemen dan Master Black Belts.

2. Karakterisasi
Tujuan dari tahap karakterisasi adalah membantu menetapkan tujuan-tujuan yang harus dicapai
oleh perusahaan melalui proyek peningkatan kualitas Six Sigma. Tahap karakterisasi terdiri dari
dua langkah yaitu :
a. Measure (Pengukuran)
1. Memilih Karakteristik Critical to Quality, kunci yang berhubungan langsung dengan
kebutuhan pelanggan.
2. Mendefinisikan standar-standar pengukuran.
3. Melakukan validasi terhadap sistem pengukuran.

b. Analyze (Menganalisis)
1. Menetapkan kapabilitas proses.
2. Mendefinisikan target-target kinerja.

3. Optimasi
Tujuan dari tahap optimasi adalah mengidentifikasi langkah-langkah yang dibutuhkan
untuk dilaksanakan dalam meningkatkan suatu proses dan menurunkan sumber-sumber utama
penyebab variasi.
Pada umumnya, Black Belts akan memeriksa variabel-variabel yang terkait dengan
prinsip 7M. 7M terdiri dari :
a. Manpower (Tenaga Kerja) : berkaitan dengan ketrampilan kerja.
b. Machine (Mesin-Mesin) : berkaitan dengan sistem perawatan preventif terhadap mesin-
mesin produksi, termasuk fasilitas dan peralatan lain.
c. Method (Metode Kerja) : berkaitan dengan metode kerja yang benar, mengikuti prosedur-
prosedur kerja yang ditetapkan.
d. Material (Bahan Baku dan Bahan Penolong) : berkaitan dengan kualifikasi dan keseragaman
bahan baku dan bahan penolong yang digunakan dalam proses produksi, serta penanganan
terhadap bahan baku dan bahan penolong tersebut.
e. Media : berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang memperhatikan aspek-aspek
kebersihan, kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan kerja yang kondusif.
f. Motivation (Motivasi) : berkaitan dengan sikap kerja yang benar dan profesional (kreatif,
proaktif, mampu bekerja sama dalam tim, dll) yang dalam hal ini akan sangat tergantung
pada sistem balas jasa dan penghargaan terhadap tenaga kerja.
g. Money (Uang) : berkaitan dengan dukungan keuangan yang mantap guna memperlancar
proyek peningkatan kualitas Six Sigma yang akan diterapkan.

Tahap optimasi terdiri dari dua langkah :


a. Improve (Memperbaiki)
Dalam langkah ini Black Belts sebagai penanggung jawab harus kreatif dalam mencari cara-
cara baru untuk meningkatkan proses agar menjadi lebih baik, lebih efisien, dan lebih cepat.
Dengan kata lain, improve akan meningkatkan bagian-bagian sistem mencapai sasaran kerja.
Dalam langkah improve terdapat tiga hal pokok yang harus dikerjakan :
1. Mengetahui penyebab potensial yang menyebabkan variasi proses.
2. Menemukan hubungan variabel-variabel kunci penyebab variasi.
3. Menetapkan batas-batas toleransi operasional.

b. Control (Pengendalian)
Terdapat tiga hal pokok yang harus dilakukan dalam langkah pengendalian yaitu :
1. Melakukan validasi terhadap sistem pengukuran.
2. Menentukan kapabilitas proses yang telah tercapai sekarang.
3. Menerapkan rencana-rencana pengendalian proses.
4. Institusionalisasi

Tahap institusionalisasi merupakan tanggung jawab manajemen dan Master Black Belts.
Tahap ini terdiri dari dua langkah yaitu :
a. Standarisasi
Tujuan dari tahap ini adalah menstandarisasi sistem yang telah terbukti terbaik dalam
bisnis kelas dunia.
b. Integrate (Mengintegrasikan)
Tujuan dari langkah integrate adalah mengintegrasikan metode-metode standar dan
proses ke dalam siklus desain, di mana salah satu prinsip dari Design For Six Sigma
(DFSS) adalah bahwa proses desain harus menggunakan komponen-komponen yang
ada, proses-proses dan praktek-praktek yang telah terbukti terbaik dalam kelasnya.

V. Standar Mutu Internasional

Pengertian Standar
Standar adalah kesepakatan-kesepakatan yang telah didokumentasikan yang di dalamnya terdiri
antara lain mengenai spesifikasi-spesifikasi teknis atau kriteria-kriteria yang akurat yang digunakan
sebagai peraturan, petunjuk, atau definisi-definisi tertentu untuk menjamin suatu barang, produk,
proses, atau jasa sesuai dengan yang telah dinyatakan. Salah satu contohnya adalah penetapan
standar ukuran dan format kartu kredit, atau kartu-kartu “pintar” (smart) lainnya yang telah
mengikuti standar internasional ISO dan dapat digunakan di berbagai mesin anjungan tunai mandiri
(ATM) di seluruh dunia, dan banyak contoh-contoh lainnya. Dengan demikian standar internasional
telah membantu kehidupan manusia menjadi lebih mudah, serta lebih meningkatkan keandalan dan
kegunaan barang dan jasa.

Pengertian ISO
Organisasi Standar Internasional (ISO) adalah suatu asosiasi global yang terdiri dari badan-badan
standardisasi nasional yang beranggotakan tidak kurang dari 140 negara. ISO merupakan suatu
organisasi di luar pemerintahan (Non-Government Organization/NGO) yang berdiri sejak tahun
1947. Misi dari ISO adalah untuk mendukung pengembangan standardisasi dan kegiatan-kegiatan
terkait lainnya dengan harapan untuk membantu perdagangan internasional, dan juga untuk
membantu pengembangan kerjasama secara global di bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan
kegiatan ekonomi. Kegiatan pokok ISO adalah menghasilkan kesepakatan-kesepakatan internasional
yang kemudian dipublikasikan sebagai standar internasional.

Nama ISO
Banyak pihak melihat adanya suatu ketidakcocokan antara nama lengkap “International
Organization for Standardization” dengan kependekannya ‘ISO’, dimana ‘IOS’ dianggap lebih tepat.
Anggapan itu benar bila penetapan nama didasarkan pada kependekannya. Yang sebenarnya, istilah
ISO bukan merupakan kependekan, tapi merupakan nama dari organisasi internasional tersebut.
“ISO” berasal dari Bahasa Latin (Greek) “isos” yang mempaunyai arti “sama” (equal). Awalan kata
“iso-“ juga banyak dijumpai misalnya pada kata “isometric”, “isomer”, “isonomy”, dan sebagainya.
Dari kata “sama” (equal) menjadi “standar” inilah “ISO” dipilih sebagai nama organisasi yang
mudah untuk dipahami. ISO sebagai nama organisasi juga dalam rangka menghindari penyingkatan
kependekannya bila diterjemahkan ke dalam bahasa lain dari negara anggota, misalnya IOS dalam
bahasa Inggris, atau OIN (Organisation Internationale de Normalisation) dalam bahasa Perancis, atau
OSI (Organsiasi Standardisasi Internasional) dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian apapun
bahasa yang digunakan, organisasi ini namanya tetap ISO.

Kebutuhan Standar Internasional

Dengan adanya standar-standar yang belum diharmonisasikan terhadap teknologi yang sama
dari beberapa negara atau wilayah yang berbeda, kiranya dapat berakibat timbulnya semacam
“technical barriers to trade (TBT)” atau “hambatan teknis perdagangan”. Industri-industri
pengekspor telah lama merasakan perlunya persetujuan terhadap standar dunia yang dapat
membantu mengatasi hambatan-hambatan tersebut dalam proses perdagangan internasional. Dari
timbulnya permasalahan inilah awalnya organisasi ISO didirikan.
Standardisasi internasional dibentuk untuk berbagai teknologi yang mencakup berbagai bidang,
antara lain bidang informasi dan telekomunikasi, tekstil, pengemasan, distribusi barang, pembangkit
energi dan pemanfaatannya, pembuatan kapal, perbankan dan jasa keuangan, dan masih banyak
lagi. Hal ini akan terus berkembang untuk kepentingan berbagai sektor kegiatan industri pada masa-
masa yang akan datang.

Perkembangan ini diperkirakan semakin pesat antara lain karena hal-hal sebagai berikut :

1. Kemajuan dalam perdagangan bebas di seluruh dunia


2. Penetrasi teknologi antar sektor
3. Sistem komunikasi di seluruh dunia
4. Standar global untuk pengembangan teknologi
5. Pembangunan di negara-negara berkembang

Standardisasi industri adalah suatu kenyataan yang diperlukan di dalam suatu sektor industri
tertentu bila mayoritas barang dan jasa yang dihasilkan harus memenuhi suatu standar yang telah
dikenal. Standar seperti ini perlu disusun dari kesepakatan-kesepakatan melalui konsensus dari
semua pihak yang berperan dalam sektor tersebut, terutama dari pihak produsen, konsumen, dan
seringkali juga pihak pemerintah. Mereka menyepakati berbagai spesifikasi dan kriteria untuk
diaplikasikan secara konsisten dalam memilih dan mengklasifikasikan barang, sarana produksi, dan
persyaratan dari jasa yang ditawarkan.

Tujuan penyusunan standar adalah untuk memfasilitasi perdagangan, pertukaran, dan alih
teknologi melalui :

1. Peningkatan mutu dan kesesuaian produksi pada tingkat harga yang layak
2. Peningkatan kesehatan, keamanan dan perlindungan lingkungan, dan pengurangan limbah
3. Kesesuaian dan keandalan inter-operasi yang lebih baik dari berbagai komponen untuk
menghasilkan barang maupun jasa yang lebih baik
4. Penyederhanaan perancangan produk untuk peningkatan keandalan kegunaan barang dan
jasa
5. Peningkatan efisiensi distribusi produk dan kemudahan pemeliharaannya
Pengguna (konsumen) lebih percaya pada barang dan jasa yang telah mendapatkan jaminan
sesuai dengan standar internasional. Jaminan terhadap kesesuaian tersebut dapat diperoleh baik
dari pernyataan penghasil barang maupun melalui pemeriksaan oleh lembaga independen.

Anda mungkin juga menyukai