Anda di halaman 1dari 3

Memediasi budaya:

sebuah refleksi di tengah pandemik Covid-19

oleh Wensislaus Fatubun


(filmmaker, tenaga ahli Majelis Rakyat Papua,
dan anggota tim kerja Geneva for Human Rights untuk Dewan HAM PBB)

Pandemik Covid-19 sedang memaksa untuk hidup tidak seperti biasanya. Kerja di kantor
menjadi kerja di rumah, jarak fisik dalam bersosial dijaga dan diatur, sabun, hand sanitizer, air dan
alkohol menjadi kebutuan primer, dan ada kebijakan pemerintah untuk pembatasan mobilitas warga
masyarakat. Presiden Joko Widodo sempat mengeluarkan pendapat dimana warga perlu hidup
berdamain dengan Covid-19. Pendapat yang sempat menimbulkan polemik di masyarakat. Dalam
situasi itu, muncul wacana “new normal live” dimana menimbulkan reaksi dan pendapat yang be-
ragam. Pemerintah pusat terkesan mendorong “new normal live”, sementara provinsi Papua, misal-
nya, berpendapat bahwa warga Papua belum siap dengan “new normal live” sehingga tidak perlu
ada kebijakan untuk itu. Badan Pengawasan Obat dan Makanan telah mengeluarkan sebuah pand-
uan untuk cegah Covid-19 untuk warga. Menteri Agama mengeluarkan sebuah surat edaran Nomor
15 tahun 2020 tentang panduan penyelenggaraan kegiatan keagamaan per 29 Mei 2020. Para
akademisi masih berargumentasi, tetapi beberapa karyawan swasta diminta untuk merancang
langkah-langkah “new normal live” dalam bekerja.
Kenyataan di tengah pamdemik Covid-19 itu mengajak kita untuk segera mengambil
langkah-langkah perubahan. Kita telah diwariskan nilai dan norma hidup bersama secara turun
temurun, tetapi kita didesak untuk beradaptasi di tengah pandemik Covid-19 ini. Perubahan itu ten-
tunya memiliki dua wajah, positif dan negatif.
Jauh sebelum pandemik Covid-19, misalnya dalam pengalaman masyarakat adat, perubahan
sebagian besar terjadi karena konflik dan bencana alam dimana berdampak pada perpindahan pen-
duduk dalam kelompok yang besar. Perpindahan itu menghasilkan pencampuran pelbagai clan. Per-
campuran berbagai clan berdampak pada percampuran upacara dan mitos-mitor. Ritual dan mitos
semula milik hanya satu clan, kini tersebar dam diketahui oleh clan lain atau komunitas adat lain.
Perubahan adalah pengalaman eksistensial manusia. Di era modern, kemajuan teknologi, kekuatan
kapitalisme dan dinamika geopolitik dunia telah menghasilkan perubahan yang dasyat terhadap tra-
disi yang diwariskan dan sedang dihidupi. Misalnya, perubahan prilaku komunikasi manusia seiring
dengan ditemukannya smartphone. Dalam konteks pandemik Covid-19, di satu sisi, ada tantangan
dimana kita tidak bisa bertahan dengan perilaku lama dan menggantikannya dengan perilaku yang
baru. Di lain sisi, kita dituntut mengembangkan identitas sosial dan budaya yang positif dalam
menghadapi pandemik Covid-19 itu dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi. Ada media audio visual dan internet yang memberikan peluang baru dalam keberlang-
sung hidup sosial di tengah pandemik Covid-19 ini. Menghadapi tantangan jaga jarak sosial dan
jarak fisik dalam memutuskan mata rantai penyebaran pandemik Covid-19, kita bermigrasi dengan
prilaku baru di tengah pandemik Covid-19 dimana lebih aktif berhubungan secara virtual, seperti
virtual meeting, belanja online, dan lain sebagainya. Setiap minggu, ada ratusan diskusi daring, vir-
tual meeting, setiap hari beribadah secara virtual, dan kerja via internet yang diselenggarakan oleh
berbagai pihak dari berbagai kelas sosial. Kita mulai terpusat pada layar smartphone kita. Kehidu-
pan sosial kita bergeser dari ruang fisik kepada ruang virtual. Dari budaya kedai kopi, mall,
restoran, pasar, dan lain-lain kepada budaya klik smartphone kita untuk memesan sesuatu misalnya.
Ini sedang terjadi dan mempengaruhi makna eksistensial kita sebagai makluk sosial. Makna sosial
tidak lagi ditentukan oleh kehadiran fisik dalam perjumpaan, tetapi juga oleh kehadiran virtual.
Ini tantangan sekaligus peluang. Apa yang mendesak? Pentingnya memediasi budaya kita.
Istilah “memediasi budaya” itu lebih akrap dipakai dalam media audio visual sebagai upaya men-
gatasi kerentanan tafsiran pesan, dan penyatuan literasi informasi, literasi media dan literasi visual
ini ingin diterapkan oleh penulis dalam membangun gagasan menghadapi pandemik Covid-19.
Dalam studi etnografi film dan visual antropologi, memediasi budaya ada hubungan dengan diskusi

1
tentang produksi identitas dan media masyarakat adat. Dalam tulisan ini, memediasi budaya dilihat
sebagai upaya partisipatif dalam melihat secara objektif sebuah potensi yang dimiliki, dan tantangan
atau hambatan dari luar dengan menggunakan pemikiran reflektif untuk menemukan langkah-
langkah untuk membuat perubahan positif dalam kehidupan sosial dan identitas. Apa yang perlu
dalam memediasi budaya? Ada tiga hal, yakni smart mix, mentransmisikan kebudayaan dan meme-
diasi identitas.

Smart mix

Pentingnya smart mix dalam kehidupan bersosial kita di tengah pandemik Covid-19 ini.
Smart mix itu untuk menggabungkan prilaku sosial secara fisik dan prilaku sosial virtual kita dalam
beradaptasi di tengah pandemik Covid-19. Atau juga smart mix dapat diartikan sebagai upaya men-
emukan budaya positif dan progresif dalam proses akulturasi. Misalnya dalam konteks praktek
keagamaan dimana kebersamaan sangat penting dalam hidup beriman dalam beribadah di gedung
Gereja, tetapi pandemik Covid-19 mengharuskan kita untuk bermigrasi ke dunia virtual dimana
menyelenggarakan ibadah secara virtual. Ada tantangan dalam ibadah virtual, yakni partisipasi aktif
jemaat atau umat dalam mengikuti ibadah. Terkadang jemaat yang mengikuti ibadah virtual tampak
sebagai penonton yang menonton ritus ibadah, sehingga penting untuk mengabungkan prilaku par-
tisipatif jemaat ketika hadir di gereja dan hadir secara virtual. Hal lain yang mirip adalah virtual
meeting dan kuliah virtual dimana para pesertanya sering tidak mempertimbangkan tata krama
berpakaian sehingga penting untuk menyadari nilai dan bobot pertemuan itu misalnya. Acara perte-
muan resmi dan formal secara virtual harus didukung oleh penampilan kita. Representasi diri dalam
layar atau frame memperlihatkan sejauh mana kita menghargai kegiatan tersebut. Contoh lain lagi,
pada tanggal 29 Mei 2020 ketika ada virtual meeting yang diselenggaran oleh Dewan HAM PBB
dimana membahas tentang mekanisme sidang tahunannya. Beberapa negara mengusulkan untuk
cukup dengan sidang secara virtual, tapi beberapa negara lain menyampaikan keberatan. menarik
mengamati dalam virtual meeting tersebut dimana beberapa negara tidak bisa menyampaikan pen-
dapatnya karena masalah akses internet yang buruk. Ada wakil negara yang memulai pembicaraan
dengan mengatakan, “kalian dengar saya. Test…test…test”. Beberapa delegasi NGOs sulit untuk
melakukan registrasi supaya bisa berbicara. Ini contoh-contoh dimana penting sekali smart mix.

Mentransmisikan kebudayaan

Transmisi budaya adalah cara kelompok sosial dalam suatu masyarakat atau budaya untuk
belajar dan menyampaikan informasi baru, misalnya ketika berinteraksi dengan orang-orang dari
budaya lain, seorang individu umumnya menghadapi hambatan tertentu, yang disebabkan oleh
perbedaan dalam pemahaman budaya antara kedua bela pihak, sehingga penting pembelajaran. Situ-
asi pandemik Covid - 19 ini telah membuat aktivitas sosial kita lebih banyak secara vistual dan kita
terhubung dengan berbagai pihak yang memiliki latar belakang yang beragam, sehingga men-
trasmisi kebudayaan menjadi keharusan sebagai pengetahuan dan pegangan dalam keberlangsungan
hidup sosial kita.

Memediasi identitas

Identitas selalu menjadi masalah serius dalam migrasi. Masalah identitas diri dan harga diri
merupakan hal serius yang harus dibahas ketika manusia bermigrasi dari suatu daerah ke daerah
lain, tetapi juga ketika kita bermigrasi dari dunia sosial fisik kepada dunia virtual di tengah pan-
demik Covid-19 dimana kita mendefenisikan kembali batas-batas penanda identitas kita, seperti
tanah kelahiran atau asal usul, bangsa, warga negara dan lain-lain. Untuk itu, memediasi identitas
itu sangat diperlukan di tengah pandemik Covid-19 dimana lebih banyak beraktivitas secara virtual.
Contoh kecil dari pentingnya memediasi idenitas adalah kebanyakan peserta virtual meeting tidak
memperhatikan asek framming. Posisi letak bagian tubuhnya dalam layar, objek-objek apa saja

2
yang harus muncul sebagai pendukung makna kehadirannya, dan letak kamera. Mengapa hal-hal itu
menjadi penting? Karena identitas dalam dunia virtual tidak cukup saja diperlihatkan lewat bentuk
fisik, dan perkenalan asal, umur, status, dan alamat sesuai kartu identitas, tetapi juga dengan cara
berpakaian atau penampilan, posisi duduk, objek-objek apa saja yang harus muncul di dalam layar
atau frame.

Anda mungkin juga menyukai