Anda di halaman 1dari 6

Alternatif Pengolahan dan Penyimpanan Cabai di Tengah Pandemi

Oleh: Riza Fitroh Kurniasih

Beberapa waktu yang lalu saya sedikit berbeda pendapat dengan suami gara-gara harga
cabai yang anjlok, meski kami bukan petani cabai tapi rasanya ikut prihatin juga dengan
menurunnya harga cabai. Sebelum-sebelumnya penurunan harga cabai memang suda sering
terjadi, tetapi di tengah pandemi seperti ini penurunan harga cabai sangat berimbas pada
pendapatan para petani, juga upah bagi para pemetik yang mungkin tertangguhkan.

Sebenarnya, kami miris dengan apa yang dirasakan petani cabai. Modal tanam belum
kembali, tenaga belum pulih, atau bahkan mungkin bayaran untuk pekerja yang harus tersendat.
Padahal, kami sudah dua kali dalam seminggu ini mendapat cabai cuma-cuma dari tetangga.

Memang beberapa petani kita, terutama masyarakat pedesaan belum begitu dekat dengan
teknologi pertanian. Apalagi profesi sebagai petani kurang digandrungi oleh kawula muda,
karena mungkin hasil pertanian yang kadang tak menjanjikan. Suami saya yang sedari tadi masih
bicara ngalor-ngidul tentang cabai, tengkulak, dan penyimpanannya terus berbicara dengan
asyiknya, saya pun manggut-manggut sembari memikirkan bagaimana caranya mengawetkan
cabai?

Singkat cerita karena si cinta mau nengok kampus alhasil dia menyudahi kultumnya pagi
ini, dan cus sembari agak mrengut memutar badan mencari masker kain kesayangannya dan oli
pelumas rantai sepeda motornya. Saya juga ikut kemas-kemas menengok sekolah sekejap
sembari membaca-baca beberapa jurnal berkat hasutan suami yang membuat saya penasaran
tentang pengawetan cabai.

Saya mulai asyik dengan beberapa jurnal sembari piket di sekolahan. Namun jurnal yang
saya cari-cari tentang pengawetan cabai segar selama 6 bulan belum juga muncul di layar laptop
jadul saya ini.. Rata-rata referensi yang muncul seputar pengawetan cabai dalam bentuk kering.

Satu demi satu jurnal saya baca sembari mengisi waktu luang. Cabai bisa diawetkan
selama 2 hari pada mesin pendingin dengan suhu 5°C dan dibungkus plastik. Pada jurnal pertama
1

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih


ini saya belum menemukan apa yang saya cari. Saya melanjutkan bergerilya membaca jurnal-
jurnal sampai setidaknya saya bisa membayangakan yang bagaimana idealnya untuk bisa
diterapkan setidaknya dalam skala rumah tangga.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa setiap penurunan 8°C pada suhu penyimpanan,
metabolisme berkurang setengahnya. Penyimpanan dingin ini tidak membunuh mikroba, tetapi
hanya menghambat aktivitasnya. Oleh karena itu setiap bahan pangan yang akan didinginkan
harus dibersihkan lebih dahulu setidaknya dengan cara dicuci. Penyimpanan suhu rendah dapat
memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan dalam bahan pangan tersebut karena aktivitas
respirasi menurun dan menghambat aktivitas mikroorganisme.

Kerusakan bahan pangan termasuk cabai sudah dimulai sejak bahan tersebut mulai
dipanen. Setelah dipanen produk hasil pertanian tetap melakukan proses fisiologis sehingga
dapat disebut sebagai jaringan yang masih hidup. Untuk itu biasanya dilakukan kombinasi
beberapa perlakuan. Usaha yang dapat dilakukan untuk dapat memperlambat pematangan buah
dan sayur adalah memperlambat respirasi dan menangkap gas etilen yang terbentuk. Beberapa
cara yang dapat diterapkan antara lain pendinginan, pembungkusan dengan polietilen dan
penambahan bahan kimia.

Komoditi hortikultural setelah dipanen masih terus melangsungkan respirasi dan


metabolisme, karena itulah komoditi tersebut dianggap masih hidup. Selama proses respirasi dan
metabolisme berlangsung dikeluarkan CO2 dan air serta ethylene dan dikonsumsi oksigen yang
ada disekitarnya. Komposisi udara secara normal terdiri dari O 2 (20%), CO2 (0.03%), N2
(78.8%).

Salah satu cara yang sederhana yaitu dengan menempatkan komoditi hasil pertanian
tersebut dalam ruang yang kedap udara. Ruang kedap udara akan membantu proses penyimpanan
berlangsung lama. Dalam ruang penyimpanan yang terdiri dari 5% CO 2 dan 3% O2 selama 182
hari pada suhu 200C, pisang masih dapat mengalami proses pematangan yang normal.

Kembali ke permasalahan cabai, sebenarnya yang masih kami bayangkan adalah


menyimpan cabai segar dalam kurun waktu yang lama. Namun, sepertinya belum cukup

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih


informasi yang kami dapatkan. Sekedar pengalaman metode pengeringan mungkin yang bisa
diterapkan untuk sektor rumah tangga.

Menurut penelitan yang dilakukan oleh Evi Ari Parfiyati dari Universitas Diponegoro
(Undip) Semarang menyatakan bahwa pengeringan pada suhu yang berbeda selama 14 jam pada
cabai menghasilkan beberapa perbedaan. Cabai rawit yang dikeringkan dengan suhu 50°C
mampu menghasilkan kandungan vitamin C paling tinggi, yaitu sebesar 63,287 mg% serta
tekstur dan warna sedikit mengalami perubahan. Suhu pengeringan 70°C menghasilkan susut
bobot paling tinggi, yaitu sebesar 12,133% dan menghasilkan kadar air paling rendah, yaitu
sebesar 72,4%.

Menjaga kualitas agar cabai tetap memiliki tingkat kepedasan yang sama seperti cabai
segar juga bisa diantisipasi dengan metode pengeringan ini. Pada buah cabai mengandung zat-zat
gizi yang sangat diperlukan untuk kesehatan manusia seperti protein, lemak, karbhidrat, fosfor,
vitamin dan juga mengandung senyawa-senyawa alkaloid seperti capsaicin, flavonoid, dan
minyak esensial (capsicol).

Capsaicin merupakan zat yang menimbulkan rasa pedas pada cabai yang terdapat pada biji
cabai dan plasenta pada buah cabai. Jadi, metode pengeringan ini tetap bisa menjaga rasa pedas
yang dimiliki oleh cabai. Bagi penggemar sambal, sebelum dibuat sambal cabai kering bisa di
rebus terlebih dahulu agar teksturnya lebih lembut.

Nah, pengeringan cabai ini mungkin bisa menjadi salah satu cara agar cabai bisa lebih awet
minimal untuk skala rumah tangga. Dikeringkan dalam bentuk potongan-potongan atau langsung
dikeringkan kemudian diolah menjadi bubuk juga tidak masalah. Jadi, cabai tidak akan terbuang
sia-sia. Pengeringan bisa menggunakan oven yang kita miliki, atau bisa juga dikeringkan
dibawah sinar matahari untuk cara konvensionalnya. Dampak yang kita rasakan dari pandemi ini
pada sektor pertanian dan perekonomian adalah menurunnya daya beli dipasaran karena proses
jual beli di pasar tradisional yang rata-rata sebagai tempat utama jual beli bahan pertanian
menurun.

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih


Kembali ke masalah pengeringan cabai, sekembalinya si cinta dari kampus, Ia masih juga
membahas cabai. Dia berasumsi kalau tengkulak-tengkulak itu pasti punya tempat khusus untuk
menyimpan cabai. Dalam hati saya bergumam, apa iya ya?

Sebenarnya kita sudah sering menjumpai cabai kering dalam kehidupan sehari-hari. Cabai
kering yang sering kita jumpai misalnya saja bubuk cabai kemasan yang dijual komersil, atau
jauh sebelum itu kita sudah sering mengkonsumsi bubuk cabai instan untuk pelengkap sajian mie
instan. Betul tidak? Tentu mengkonsumsi mie instan tanpa bubuk cabai rasanya kurang nikmat.
Dari sini kita sebenarnya memiliki peluang untuk menyelamatkan harga cabai dengan cara yang
diminati konsumen.

Pengeringan cabai yang kemudian dilanjutkan dengan proses pembuatan bubuk cabai bisa
menjadi solusi bagi para petani agar perekonomian mereka tetap stabil sekaligus meningkatkan
daya simpan lebih lama. Mengingat minat petani untuk membudidayakan cabai tetap tinggi
meskipun harga cabai selalu mengalami fluktuasi.

Petani cabai perlu memiliki pengetahuan mengenai teknologi untuk penanganan komoditas
hasil pertaniannya agar tetap terjaga kesegarannya dan tidak mudahh rusak. Pengolaan cabai
menjadi bubuk memiliki kelebihan yaitu lebih awet, ringan dan ukurannya lebih praktis.
Sehingga lebih mudah dalam proses pengemasannya.

Cabai bubuk dibuat dari cabai yang sebelumnya sudah dikeringkan terlebih dahulu.
Selanjutnya dilakukan proses penepungan untuk memperoleh cabai berbentuk seperti bubuk.
Cabai yang telah disortir dengan kualitas yang baik bisa kemudian dibersihkan terlebih dahulu
agar cabai yang akan diproses dalam kondisi bersih dan layak untuk dikonsumsi.

Cabai kering yang memiliki kualitas baik adalah cabai yang dapat dipertahankan mutu
kandungan vitamin C, warna dan β-karoten. Tentunya kita tidak asing dengan mesin penggiling,
kita bisa menggunakan penggiling yang terdapat di rumah kita seperti lumpang ataupun blender
yang biasa kita gunakan untuk menggiling bumbu kering dan ataupun mesin penggiling untuk
skala besar.

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih


Untuk mengolah cabai kering menjadi bubuk, kita harus melakukan penggilingan.
Menggunakan blender untuk menggiling cabai kering sangat membantu petani dalam
menghasilkan bubuk cabai secara praktis, cepat dan mudah. Selain itu harga blender yang masih
cukup terjangkau sehingga tidak akan menambah biaya produksi. Hasilnya pun akan lebih
berkualitas dan tekstur bubuknya sangat halus.

Pengolahan cabai segar ini menjadi bubuk cabai menjadi salah satu cara untuk petani
meningkatkan nilai jual cabai. Petani dapat menerapkan tahapan dari kegiatan pensortiran untuk
memilah cabai sesuai dengan kualitasnya. Dilanjutnkan dengan tahap pencucian agar cabai
dalam kondisi bersih dan layak konsumsi. Selanjutnya baru mulai pada tahap pengeringan dan
diakhiri dengan tahap penggilingan.

Penerapan pengolahan pascapanen atau pengolahan cabai menjadi andalan bagi petani
cabai untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai jual produk. Jadi tidak akan ada lagi cabai
busuk ataupun cabai yang terbuang begitu saja. Petani juga akan terhindarkan dari kerugian yang
cukup besar dikala harga cabai menurun.

Ketika anak saya masih balita, saya selalu berlangganan sayur potong yang sudah
dilengkapi dengan bumbu olahan. Sehingga sayur potong tersebut praktis digunakan dalam
pengolahan selanjutnya. Selain menjual sayur potong, pemilik usaha sayur potong ini juga
menyediakan ruang bagi petani-petani disekitarnya untuk menitipkan dan memasarkan hasil
pertanian. Saya pikir, kerjasama petani dengan pemilik usaha sayur potong atau pemilik usaha
makanan juga menjadi salah satu tekhnik pemasaran produk hasil olahannya.

Inisiatif petani untuk melakukan uji kualitas secara mandiri sebelum menjadi bubuk cabai
juga mempengaruhi kualitas bubuk cabai yang dihasilkan. Merujuk pada pernyataan Saputro dan
Susanto dalam jurnal pangan dan agrobisnis menyatakan bahwa kualitas cabai bubuk yang bagus
memiliki: Warna alami merah yang terang, pasalnya warna merupakan parameter yang
berpengaruh terhadap penerimaan konsumen, tentunya tanpa tambahan pewarna buatan.
Selanjutnya adalah aroma yang dikeluarkan bubuk cabai adalah khas dan menyengat. Parameter
yang selanjutny adalah persoalan rasa pedas cabai, dimana rasa pedas ini disebabkan oleh
kandungan capsaicin yang berfungsi sebagai pembangkit selera makan.

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih


Disisi lain Eva Nur Afiati dari Intstitut Pertanian Bandung menyatakan bahwa umur
simpan bubuk cabe merah pada suhu 25°C terlama adalah yang dikemas dengan kemasan
multilapis yaitu 68.08 hari. Kemudian yang dikemas dengan kemasan polipropilen, yaitu 57.1
hari. Sedangkan yang dikemas dengan kemasan polietilen memiliki umur simpan 50.94 hari.
Pendugaan umur simpan menggunakan parameter warna ini cukup baik untuk digunakan, tetapi
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan suhu penyimpanan rendah, suhu kamar, dan tinggi
sehingga model yang diperoleh lebih valid.

Saat ini peminat cabai bubuk olahan juga semakin banyak, mengingat lebih praktis dan
mudah untuk dibawa. Melalui kelompok tani dan atau pemerintah desa, petani bisa menjalin
kerjasama dengan dinas pertanian untuk proses penyaluran bubuk cabai yang dihasilkan oleh
petani. Selain itu untuk membuka peluang kerja bagi warga sekitar, petani dapat pula
memasarkan/ marketing bubuk cabainya hasil produksinya secara marketing mix.

Marketing mix menjadi salah satu solusi pemasaran bubuk cabai saat ini, mengingat
pengguna media sosial yang terus meningkat. Marketing mix bisa dilakukan dengan memadukan
dua cara pemasaran yaitu secara konvensional dan juga secara modern dengan cara diiklankan
dan atau disebarluarkan dimedia social yang kita miliki. Sedangkan secara konvensional petani
dapat membuka toko kecil-kecilan di rumah. Menyediakan ketersediaan cabai bubuk kemasan di
rumah juga akan membuat para calon pembeli bisa mencicipi secara langsung. Cara-cara seperti
ini tidak mengharuskan kita memiliki toko yang besar, cukup kedai atupun etalase kecil di
rumah.

Menjalin kerjasama dengan pedagang di pasar, supermarket dan ataupun menjalin


kerjasama dengan para pedagang makanan kecil. Petani juga bisa bekerjasama dengan penjual
bakso atau makanan yang biasanya sering dijajakkan secara berkeliling. Sehingga cabai yang
kita panen tidak akan terbuang sia-sia dan akan tetap bernilai jual tinggi serta tentu saja dapat
mengembalikan modal tanam.

Esai BBJT- Riza Fitroh Kurniasih

Anda mungkin juga menyukai