Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL SKRIPSI

PENGARUH TERAPI OKUPASI DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUAN


MOTORIK PADA ANAK USIA SEKOLAH
(Literature Review)

NASRI MORSALIN
NIM: 2117087

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH PALEMBANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN,PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
TAHUN 2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan individu yang berada pada rentang pertumbuhan dan


perkembangan, yang dimulai dari bayi hingga remaja. Tahap pertumbuhan dan
perkembangan anak bervariasi, ada yang cepat dan ada yang lambat. Proses
perkembangan anak meliputi fisik, kognitif, konsep diri, pola koping,dan perilaku sosial
(Hidayat, 2005, hlm.54). Setiap anak perkembangan fisiknya berbeda beda.
Perkembangan fisik pada anak dapat diklasifikasikan menjadi dua aspek yaitu dapat
ditinjau dari perkembangan motorik kasar dan perkembangan motorik halus.

Perkembangan motorik anak berhubungan erat dengan kondisi fisik dan intelektual
anak serta berlangsung secara bertahap tetapi memiliki alur kecepatan perkembangan
yang berbeda pada setiap anak. Anak yang mempunyai kemampuan motorik halus baik,
umumnya mengalami kemampuan motorik kasar yang kurang baik begitu juga
sebaliknya. Kelompok anak dengan kemampuan motorik halus lebih dominan dan
kemampuan motorik kasar lebih dominan (Silawati, 2008, hlm.22).

Perkembangan motorik ini erat kaitannya dengan perkembangan pusat motorik di


otak. Keterampilan motorik berkembang sejalan dengan kematangan syaraf dan otot.
Oleh sebab itu, setiap gerakan yang dilakukan anak sesederhana apapun, sebenarnya
merupakan hasil pola interaksi yang kompleksi berbagai bagian dan system dalam tubuh
yang dikontrol otak (Musbikin, 2012). Anak yang keadaan otaknya mengalami gangguan
tampak kurang terampil menggerak-gerakan tubuhnya.

Salah satu perkembangan anak yang dinilai adalah dalam hal kemampuan motorik
halus. Sumantri (2005, hlm.143), menyatakan bahwa motorik halus adalah
pengorganisasian penggunaan sekelompok otot-otot kecil seperti jari-jemari dan tangan
yang sering membutuhkan kecermatan dan koordinasi dengan tangan, keterampilan yang
mencakup pemanfaatan menggunakan alat-alat untuk mengerjakan suatu objek. Hal yang
sama dikemukakan oleh Yudha dan Rudyanto (2005, hlm.118), menyatakan bahwa
motorik halus adalah kemampuan anak beraktivitas dengan menggunakan otot halus
(kecil) seperti menulis, meremas, menggambar, menyusun balok dan memasukkan
kelereng.

Kecerdasan motorik halus anak berbeda-beda. Dalam hal kekuatan maupun


ketepatannya. perbedaan ini juga dipengaruhi oleh pembawaan anak dan stimulai yang
didapatkannya. Lingkungan (orang tua) mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam
kecerdasan motorik halus anak. Lingkungan dapat meningkatkan ataupun menurunkan
taraf kecerdasan anak, terutama pada masamasa pertama kehidupannya (Sumantri, 2005,
hlm.143). Seorang anak yang mempunyai kemampuan motorik yang baik akan
mempunyai rasa percaya diri yang besar. Lingkungan teman-temannya pun akan akan
menerima anak yang memiliki kemampuan motorik atau gerak lebih baik, sedangkan
anak yang memiliki kemampuan gerak tertentu akan kurang diterima temantemannya.
Penerimaan teman-teman dan lingkungannya akan menyebabkan anak mempunyai rasa
percaya diri yang baik (Yuniarni, 2010).

Untuk mengatasi hal tersebut maka ada beberapa terapi yang dapat digunakan
yaitu salah satunnya terapi okupasi. Terapi okupasi berasal dari kata occupational yang
artinya aktifitas dan theraphy yang artinya penyembuhan atau pemulihan. Sehingga
pengertian terapi okupasi adalah proses penyembuhan melalui aktifitas. Aktifitas disini
berguna untuuk proses penyembuhan konseli, jadi tidak sekedar aktifitas biasa. Dan juga
aktifitas ini ditujukan untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan baik secara fisik,
mental, kognitif, agar lebih mandiri dalam menjalani kehidupannya dan tidak bergantung
pada orang lain.

Adapun terapi okupasi merupakan suatu upaya penyembuhan atau pemulihan


melalui aktivitas atau kegiatan yang berfungsi sebagai media terapi. Dengan aktivitas
terpilih anak hiperaktif akan dilibatkan langsung secara aktif untuk kognitifnya terutama
pada konsentrasinya. Agar anak tersebut dapat melaksanakan kegiatan kehidupan sehari-
harinya sehingga tercapai tujuan dalam meningkatkan konsnetrasi anak hiperaktif,
meningkatkan harkat, martabat, serta kualitas hidup. Jadi, terapi okupasi bukan
memberikan kerja tetapi pekerjaan merupakan media untuk penyembuhan atau
pemulihan. Hal ini ditujukan kepada anak-anak fisik, mental, kognitif, agar lebih mandiri.

Salah satu tujuan terapi okupasi adalah membekali anak dengan kecakapan yang
berguna untuk kehidupan kelak nanti, serta mengasah keterampilan dan kemandirian
anak. Terapi okupasi meliputi pemulihan, pengembangan, dan pemeliharaan fisik,
intelektual, sosial dan emosi anak. Keterampilan sehari-hari dalam terapi okupasi
meliputi makan, mandi, berpakaian. Untuk melatih kemampuan kognitif seperti
membaca, menulis, dan berhitung, menghafal.

Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan analisis tentang
pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia
sekolah.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan masalah.” pengaruh terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia sekolah.”

C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada
anak usia sekolah.
Tujuan Khusus
untuk menganalisis pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik
pada anak usia sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Terapi Okupasi
1. Pengertian Terapi Okupasi
Terapi okupasi mempunyai pengertian yang mirip dengan istilah “adapted
physical activity” terapi okupasi berupa aktivitas fisik yang disesuaikan terhadap
kemampuan, “corrective physical activity” kegiatan fisik secara benar atau
“milieu therapy” terapi lingkungan, Martono dalam (Sujarwanto, 2005:8).
Aktivitas fisik ini dilakukan dengan mengikuti program terapi yang telah
ditentukan agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Dalam buku dan halaman yang sama terapi okupasi berasal dari kata
bahasa inggris yaitu Occupational Therapy yang mempunyai arti: Occupational :
kegiatan, aktivitas, atau pekerjaan Therapy : upaya penyembuhan, pemulihan
atau pengobatan Terapi yang dilakukan dengan upaya penyembuhannya
menggunakan aktivitas atau kegiatan terhadap anak yang mengalami gangguan.
Jadi dapat disimpulkan yaitu terapi okupasi adalah suatu perpaduan antara
seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari respon penderita dalam
bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu dan
memelihara kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku,
memberikan latihan dan melatih pasien yang menderita kelainan fisik, mental
serta fungsi sosialnya.
2. Tujuan Terapi Okupasi
Dalam Fitriani, (Nurjatmika, 2012:83) tujuan terapi okupasi adalah
mengembalikan fungsi fisik serta motorik baik motorik halus maupun motorik
kasar, mental, sosial, dan emosi, dengan mengembangkannya seoptimal mungkin
serta memelihara fungsi yang masih baik dan mengarahkannya sesuai dengan
keadaan individu agar dapat hidup yang layak di masyarakat. Sebanding menurut
Sujarwanto, (2005:131), pemberian terapi okupasi bertujuan untuk membantu
mengembangkan aspek motorik. Motorik halus merupakan hal yang penting
dalam penilaian layak dalam masyarakat. Penyandang down syndrome yang bisa
hidup ditengah masyarakat tetap akan sulit untuk bisa mendapat nilai mandiri.
Peningkatan motorik halus anak down syndrome menggunakan terapi okupasi,
karena terapi ini merupakan teori pekerjaan yang lebih menekankan pada fisik.
Lebih jelas lagi dalam (Cathryn dan David, 2012:5) menyebutkan tujuan
terapi secara umum anak menghadapi masalah emosional yang menekan batinnya,
anak memperoleh tingkat keharmonisan dalam pikiran, emosi, dan tingkah laku,
anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri sehingga sulit berkomunikasi dengan
yang baik dengannya, anak mengubah tingkah laku yang mempunyai akibat
buruk, anak nyaman untuk beradaptasi dengan lingkungan, kesempatan anak
mengembangkan dirinya.
Senada dengan tujuan yang diungkap oleh Sujarwanto (2005:21), tujuan
kegiatan terapi okupasi untuk anak berkebutuhan khusus adalah membantanak
mencapai fungsi dan daya guna secara optimal dalam kegiatan perawatan diri,
kegiatan produktif, serta kegiatan mengisi waktu senggang, mencegah hambatan
untuk melaksanakan kehidupan seharihari, serta mendorong atau memotivasi
peningkatan potensi diri.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan terapi baik terapi okupasi atau pun terapi
lainnya adalah memberikan rasa nyaman kepada anak dengan segala
keterbatasannya, mengubah tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik, dan
mengejar tonggak perkembangannya untuk mencapai tingkatan normal. Juga
sebagai sarana peningkatan potensi diri untuk mencegah hambatan dalam
kehidupan sehari-hari/kemandirian.
3. Pelaksanaan Okupasi Terapi
Menurut Sujarwanto, (2005:58), proses/pelaksanaan terapi okupasi adalah
suatu proses dimana petugas terapi okupasi menangani anak berkebutuhan khusus
secara langsung, mulai dari awal sampai akhir. Dalam terapi okupasi bahwa
kesehatan, kepuasan, serta pemenuhan kebutuhan dapat dicapai apabila individu
telah berhasil berfungsi pada tingkat dasar dari tiga macam kegiatan okupasional
(pemeliharaan diri, kerja, dan leisure/waktu luang) serta dapat menyeimbangkan
kebutuhan atau tuntutan dari setiap jenis okupasional dengan suatu gaya hidup
yang sesuai dengan diri maupun lingkungan sekitar, (Sujarwanto, 2005:22).
Area kinerja okupasional meliputi aktivitas kehidupan sehari-hari,
produktivitas dan pemanfaatan waktu luang (Keputusan Menteri Kesehatan
No.571 tahun 2008 tentang standar profesi okupasi terapis) :
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari, yang meliputi: menyisir rambut, memakai
wangi-wangian, sikat gigi, mandi, buang air, dilakukan secara mandiri,
berpakaian, makan/minum, kepatuhan minum obat, sosialisasi, komunikasi
fungsional, mobilitas fungsional, ekspresi seksual
2. Produktivitas yang meliputi: menyapu, mengepel, merawat orang lain,
sekolah/belajar, dan aktivitas vokasional
3. Pemanfaatan waktu luang yang meliputi: ketika anak memiliki waktu luang
anak dapat memanfaatkannya ke hal positif seperti melukis, membuat
kerajinan tangan dan bermain/rekreasi.
Tarmansyah dalam (Sujarwanto, 2005:23) mengemukakan terapi okupasi
mempunyai peranan, sebagai pencegahan, penyembuhan, penyesuaian diri,
pengembangan kepribadian, pembawaan, kreativitas, serta sebagai bekal hidup
dimasyarakat. Sarana pencegahan, agar kelainan yang dialaminya tidak bertambah
dan fisik yang tidak mengalami kelainandimanfaatkan semaksimalnya sehingga
akan bertambah kekuatan dan ketahanan fisik. Sarana penyembuhan, agar anak
berkebutuhan khusus keadaannya dapat dipulihkan, dikembalikan, dan
dikembangkan seoptimal mugkin meskipun tidak bisa kembali seperti sedia kala
atau menjadi sempurna. Sarana penyesuaian diri, agar anak berkebutuhan khusus
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar baik dengan alam ataupun
antar manusia. Sarana pengembangan kepribadian, pembawaan, kreativitas,
sarana ini sebagai pengembangan potensi yang dimiliki sehingga mereka akan
menjadi manusia mandiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Sarana
bekal hidup di masyarakat, sebagai kelanjutan dari sarana sebelumnya bahwa
membantu anak berkebutuhan khusus untuk siap diri dalam mencari nafkah atau
sebagai pegangan mata pencaharian dalam hidupnya kelak.
Pelaksanaan terapi okupasi yang berhubungan dengan fisik akan
menggunakan pendekatan rehabilitasi, sesuai yang dikatakan Sujarwanto,
(2005:33), pendekatan rehabilitasi sangat cocok untuk individu-individu yang
mempunyai gangguan fisik, baik yang sifatnya temporer atau permanen. Tujuan
utama dari pendekatan rehabilitasi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian
dalam melakukan setiap aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan terapi okupasi dilaksanakan secara sistematis, dimulai dengan
kegiatan identifikasi, analisis, diagnosis, pelaksanaan serta tindak lanjut layanan
guna mencapai kesembuhan yang optimal menurut Kosasih (2012:23). Yang
dimaksud dengan kegiatan identifikasi adalah menentukan atau menetapkan
bahwa anak atau subyek termasuk anak berkebutuhan khusus. Analisis yaitu
proses penyelidikan terhadap diri anak. Selanjutnya adalah diagnosis yang berarti
pemeriksaan yang dilanjutkan dengan penentuan jenis terapi yang diperlukan.
Kegiatan yang selanjutnya yaitu pelaksanaan terapi okupasi itu sendiri dan tindak
lanjut serta evaluasi yang diperlukan guna mencapai tujuan.
Menurut Reksopranoto dalam Sujarwanto (2005:36), yaitu pemeriksaan
dalam identifikasi pengenalan kasus melalui metode wawancara, observasi, tes,
dan pemerikasaan klinis., sebagai berikut:
1) Metode wawancara: suatu bentuk percakapan yang dilakukan dengan tujuan
mengetahui kondisi fisik/mental anak berkebutuhan khusus, kepada anak
maupun keluarga/orang terdekat.
2) Metode observasi: pengamatan atas gejala penyimpangan yang Nampak
secara keseluruhan.
3) Tes: alat yang dipergunakan untuk assessment pada anak
berkebutuhan khusus. Tes ini untuk mengetahui kemampuan otot, baik dalam
hal potensi maupun kemampuan anak dalam gerak.
Pemeriksaan klinis: pemeriksaan terhadap berbagai gejala fisik yang
terdapat pada anak berkelainan fisik.
Dalam proses/pelaksanaan terapi okupasi setelah diassessment adalah re-
ferral, analisa data, menentukan tujuan, seleksi sasaran utama, seleksi metode,
pelaksanaan program, re-evaluasi anak dan program, revisi program, Padetri
dalam Sujarwanto (2005:59).
Untuk mengetahui secara fisik anak apakah ada kelainan juga pada tulang
atau sendi maka juga perlu adanya pemeriksaannya yang sering disebut dengan
pemeriksaan klinis. Yakni, pemeriksaan terhadap berbagai gejala fisik yang
terdapat pada anak berkelainan fisik. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat dan
meraba, meraba dimaksudkan dengan memegang dan menggerakkan bagian-
bagian tubuh tertentu, (Sujarwanto, 2005:41). Pemeriksaan klinis untuk anak
down syndrome sangat dibutuhkan, karena gerakan mereka yang tidak
terkendalikan dan terlihat orang dewasa menjadikan ketidaktahuan adakah yang
berkelainan di fisiknya. Dan juga sebagai pengkontrolan motorik halus mereka.
Sebagai antisipasi perkembangan mereka tidak sesuai diakibatkan semisal tangan
mereka yang terkena sesuatu.
B. Perkembangan Motorik Pada Anak
Pada usia sekolah, perkembangan motorik anak lebih halus, lebih sempurna,
dan terkoordinasi dengan baik, seiring dengan bertambahnya berat dan kekuatan
badan anak. Anak-anak terlihat sudah mampu mengontrol dan mengoordinasikan
gerakan anggota tubuhnya seperti menggerakkan tangan dan kaki dengan baik.
Otot-otot tangan dan kakinya sudah mulai kuat, sehingga berbagai aktivitas fisik
seperti menendang, melompat, melempar, menangkap dan berlari dapat dilakukan
secara lebih akurat dan cepat. Di samping itu, anak juga semakin mampu menjaga
keseimbangan badannya. Penguasaan badan, seperti membongkok melakukan
bermacam-macam latihan senam serta aktivitas olah raga berkembang pesat.
Mereka juga mulai memperlihatkan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, dan
cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus
atau memainkan instrumen musik tertentu. Untuk memperhalus keterampilan-
keterampilan motorik mereka anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik.
Aktivitas fisik ini dilakukan dalam bentuk permainan yang kadang-kadang
bersifat informal, permainan yang diatur sendiri oleh anak, seperti permainan
umpet-umpetan, dimana anak menggunakan keterampilan motornya, disamping
itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang
bersifat formal, seperti olahraga senam, berenang, atau permainan hok.
Tahap Perkembangan Belajar Anak Sekolah Dasar Tahap perkembangan
tingkah laku belajar siswa usia sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh aspek dari
dalam dirinya dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kedua hal tersebut tidak
mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks
interaksi diri siswa dengan lingkungannya. Dari interaksi itu kemudian terbentuk
suatu kebiasaan baik yang akan terus dilakukan sebagai upaya dalam pembiasaan
diri. Anak pada usia sekolah dasar (7-11 tahun) berada pada tahapan operasional
konkret. Pada rentang usia ini tingkah laku anak yang tampak yaitu anak mulai
memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu situasi ke situasi lain
kemudian anak juga mulai berfikir secara operasional yang dibuktikan dengan
anak tersebut mampu mengklasifikaiskan benda-benda disekitarnya. Dimana juga
dalam fase ini anak sudah pintar memahami konsep substansi, panjang, lebar,
luas, tinggi, rendah, ringan dan berat. Kecendrungan belajar anak usia sekolah
dasar memiliki tiga ciri yaitu konkret, integratif dan hierarkis. Konkret dalam
proses pembelajaran mengandung makna yang dapat dilihat, didengar, dibaui,
diraba dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan
sebagai sumber belajar yang dapat dioptimalkan demi mencapai proses dan hasil
belajar yang berkualitas, bermakna dan bernilai. Hakikatnya anak usia sekolah
dasar belum mampu memilah-milih konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini
menunjukkan cara berfikir deduktif yakni dari hal umum menuju hal yang khusus.
C. Perkembangan Motorik Anak Usia Sekolah
Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian jasmani
melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. (Aghnaita,
2017) Seorang anak usia 6 tahun yang bangun tubuhnya sesuai untuk usia
tersebut, akan dapat melakukan hal-hal yang lazim dilakukan oleh anak berumur 6
tahun. (Hurlock, 1997) Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh anak-anak termasuk
anak sekolah merupakan koordinasi dari beratus-ratus otot yang unik.
Keterampilan motorik dapat dikelompokkan menurut ukuran otot-otot dan bagian
badan yang terkait, yaitu keterampilan motorik kasar dan halus. Motorik kasar
meliputi keterampilan otot-otot besar lengan, kaki, batang tubuh seperti berjalan,
melompat, berlari. (Upton, 2012). Sedangkan keterampilan motorik halus meliputi
otot-otot kecil yang ada diseluruh tubuh, seperti menyentuh, memegang, menulis,
dan menggambar.
Keterampilan motorik bagi anak sekolah merupakan suatu aktivitas yang
menyenangkan, hal ini disebabkan otot-otot mereka mulai menemukan fungsinya
atau berkembang. Sehingga mereka tidak dapat duduk diam dalam waktu lama.
(Murti, 2018) Perkembangan motorik pada anak usia sekolah menurut (Desmita,
2012) yaitu 1) Mulai usia 6 tahun sudah berkembang koordinasi antara mata dan
tangan (visio motoric) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar,
dan menangkap, 2) Usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat dan anak lebih
menyukai menggunakan pensil daripada krayon untuk melukis, 3) Usia 8 sampai
10 tahun, anak dapat menggunakan tangan secara bebas, mudah, dan tepat.
Koordinasi motorik halus berkembang, sehingga anak dapat menulis dengan
baik, ukuran huruf menjadi lebih kecil dan rata, 3) Usia 10 sampai 12 tahun, anak-
anak mulai memiliki keterampilan keterampilan manipulatif menyerupai
kemampuan orang dewasa. Mereka mulai menampilkan gerakan-gerakan
kompleks, rumit, dan cepat yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan
yang berkualitas atau memainkan alat musik tertentu. Perkembangan motorik
yang terlambat berarti perkembangan motorik yang berada di bawah normal umur
anak. Akibatnya pada umur tertentu anak tidak menguasai tugas perkembangan
yang diharapkan oleh kelompok sosialnya. Sebagai contoh anak yang berada di
bawah normal mengalami kesulitan untuk dapat berjalan dan makan sendiri akan
dipandang sebagai anak yang “terbelakang”. Banyak penyebab terlambatnya
perkembangan motorik salah satunya timbul dari kerusakan otak anak pada waktu
lahir atau kondisi pralahir yang tidak menguntungkan atau lingkungan yang tidak
menyenangkan pada permulaan pascalahir. Akan tetapi keterlambatan lebih sering
disebabkan oleh kurangnya kesempatan untuk mempelajari keterampilan motorik,
perlindungan orang tua yang berlebihan atau kurangnya motivasi anak untuk
mempelajari keterampilan motorik. (Hurlock, 1997) Tidak banyak orangtua yang
mengerti bahwa keterampilan motorik kasar dan halus seorang anak perlu dilatih
dan dikembangkan setiap saat dengan berbagai aktivitas.
Pengembangan ini memungkinkan seorang anak melakukan berbagai hal
dengan lebih baik, termasuk di dalamnya pencapaian dalam hal akademis dan
fisik. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan motorik halus. Gerakan
motorik kasar merupakan salah satu kemampuan keterampilan gerak dasar yang
penting untuk perkembangan aspek sosial anak. (Malik, 2014) Motorik kasar
adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot - otot besar atau sebagian besar
atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri,
misalnya kemampuan untuk duduk, menendang, berlari dan lainnya, sedangkan
motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot halus atau sebagian
anggota tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan
berlatih, misalnya memindahkan benda dari tangan, mencoret, menyusun,
menggunting, dan menulis.
D. Motorik Kasar
Motorik kasar adalah kemampuan gerak tubuh yang menggunakan otot-otot
besar, sebagian besar atau seluruh anggota tubuh motorik kasar diperlukan agar
anak dapat duduk, menendang, berlari, naik turun tangga dan sebagainya (Sunardi
dan Sunaryo, 2007: 113-114). Perkembangan motorik kasar anak lebih dulu dari
pada motorik halus, misalnya anak akan lebih dulu memegang benda-benda yang
ukuran besar dari pada ukuran yang kecil. Karena anak belum mampu mengontrol
gerakan jari-jari tangannya untuk kemampuan motorik halusnya, seperti meronce,
menggunting dan lain-lain.
Bambang Sujiono (2007: 13) berpendapat bahwa gerakan motorik kasar
adalah kemampuan yang membutuhkan koordinasi sebagian besar bagian tubuh
anak. Gerakan motorik kasar melibatkan aktivitas otot-otot besar seperti otot
tangan, otot kaki dan seluruh tubuh anak. Menurut Endang Rini Sukamti (2007:
72) bahwa aktivitas yang menggunakan otot-otot besar diantaranya gerakan
keterampilan non lokomotor, gerakan lokomotor, dan gerakan manipulatif.
Gerakan non lokomotor adalah aktivitas gerak tanpa memindahkan tubuh ke
tempat lain. Contoh, mendorong, melipat, menarik dan membungkuk. Gerakan
lokomotor adalah aktivitas gerak yang memindahkan tubuh satu ke tempat lain.
Contohnya, berlari, melompat, jalan dan sebagainya, sedangkan gerakan yang
manipulatif adalah aktivitas gerak manipulasi benda. Contohnya, melempar,
menggiring, menangkap, dan menendang. Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditegaskan bahwa kegiatan motorik kasar adalah menggerakkan berbagai bagian
tubuh atas perintah otak dan mengatur gerakan badan terhadap macam-macam
pengaruh dari luar dan dalam. Motorik kasar sangat penting dikuasai oleh
seseorang karena bisa melakukan aktivitas sehari-hari, tanpa mempunyai
gerak yang bagus akan ketinggalan dari orang lain, seperti: berlari, melompat,
mendorong, melempar, menangkap, menendang dan lain sebagainya, kegiatan
itu memerlukan dan menggunakan otot-otot besar pada tubuh seseorang. Dengan
demikian yang dimaksud motorik kasar dalam penelitian ini adalah kemampuan
yang membutuhkan koordinasi bagian tubuh anak seperti mata, tangan dan
aktivitas otot kaki, dalam menyeimbangkan badan dan kekuatan kaki pada saat
berjalan di atas papan titian.
1. Perkembangan Motorik Kasar
Perkembangan motorik pada setiap anak mengalami perbedaan, pada anak
yang mengalami perkembangan motoriknya sangat baik seperti yang dialami para
atlet, tetapi ada anak yang mengalami keterbatasan. Selain itu juga dipengaruhi
adanya jenis kelamin. Pengembangan motorik anak pra sekolah yang adalah
bahwa suatu perubahan, baik fisik maupun psikis, sesuai dengan masa
pertumbuhannya, keberadaan perkembangan motorik anak juga dipengaruhi hal
lain di antaranya asupan gizi, status kesehatan dan perlakuan motorik sesuai
dengan masa perkembangan (Depdiknas, 2008: 6). Kegiatan dalam
pengembangan fisik motorik lebih membuat anak enjoy karena lebih banyak
kegiatan bermainnya. Seperti halnya pendapat David Elkind (Soemiarti
Padmonodewo, 2003: 15) menyatakan bahwa anak-anak membutuhkan dukungan
yang kuat untuk bermain dan kegiatan yang dipilih sendiri dengan tujuan untuk
bertahan dalam stres yang ada sekarang dalam lingkungan anak. Bambang
Sujiono (2007: 11) berpandapat bahwa gerakan motorik kasar adalah kemampuan
yang membutuhkan koordinasi sebagian besar bagian tubuh anak. Gerakan
motorik kasar melibatkan aktivitas otot-otot besar seperti otot tangan, otot kaki
dan seluruh tubuh anak. Perkembangan motorik kasar anak lebih dulu dari pada
motorik halus, misalnya anak akan lebih dulu memegang benda-benda yang
ukuran besar daripada ukuran yang kecil. Karena anak belum mampu mengontrol
gerakan jari-jari tangannya untuk kemampuan motorik halusnya, seperti meronce,
menggunting dan lain-lain.
Endang Rini Sukamti (2007: 72) menyatakan bahwa aktivitas yang
menggunakan otot-otot besar di antaranya gerakan keterampilan non lokomotor,
gerakan lokomotor, dan gerakan manipulatif. Gerakan non
lokomotor adalah aktivitas gerak tanpa memindahkan tubuh ke tempat lain.
Contoh, mendorong, melipat, menarik dan membungkuk. Gerakan lokomotor
adalah aktivitas gerak yang memindahkan tubuh satu ke tempat lain. Contohnya,
berlari, melompat, jalan dan sebagainya. Sedangkan gerakan yang manipulatif
adalah aktivitas gerak manipulasi benda. Contohnya, melempar, menggiring,
menangkap, dan menendang.Pengembangan motorik anak memerlukan
koordinasi antara otot-otot untuk keterampilan gerakannya, misalnya meloncat
dalam ketinggian + 20 cm perlu kekuatan dan konsentrasi yang baik. Gerakan
motorik kasar membutuhkan aktivitas otot tangan, kaki dan seluruh tubuh anak.
Ada
beberapa kegiatan yang dapat mengembangkan gerakan motorik anak.
Misalnya aktivitas berjalan di atas papan tititan, melompat tali, senam, renang dan
sebagainya. Hal tersebut selain dapat membuat senang anak juga dapat melatih
anak untuk percaya diri.
E. Motorik Halus
Dalam (Suyadi, 2010:67) adalah perkembangan jasmaniah melalui kegiatan
saraf pusat, urat saraf, dan otot yang terkoordinasi. Gerak tersebut berasal dari
perkembangan refleks dan kegiatan yang telah ada sejak lahir. Sehingga motorik
merupakan suatu proses pergerakan yang konsisten atau sesuai dengan
perkembangan sejak anak dilahirkan. Secara fitrahnya anak yang lahir memiliki
keistimewaan untuk melakukan koordinasi inderanya.
Semakin baiknya gerakan motorik halus membuat anak dapat berkreasi,
seperti menggunting kertas dengan hasil guntuingan yang lurus, menggambar
gambar sederhana dan mewarnai, menggunakan klip untuk menyatukan dua
lembar kertas, menjahit, menganyam kertas serta menajamkan pensil dengan
rautan pensil. Namun, tidak semua anak memiliki kematangan untuk menguasai
kemampuan ini pada tahap yang sama, Lolita Indraswari (1:3).
Menurut Susanto (2011:164) dalam Lolita (1:2-3) motorik halus adalah
gerakan halus yang melibatkan bagian-bagian tertentu saja yang dilakukan oleh
otot-otot kecil saja, karena tidak memerlukan tenaga. Namun begitu gerakan yang
halus ini memerlukan koordinasi yang cermat. Gerakan halus yang dilakukan
adalah untuk mencapai kecakapan kegiatan sehari-hari, sehingga anak tidak
bergantung kepada orang lain, semisal gerakan makan, minum, mandi.
1. Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi.
Pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan massa
yang ada pada waktu lahir. Sebelum perkembangan tersebut terjadi, anak akan
tetap tidak berdaya, (Hurlock,150).
Perkembangan gerakan secara jasmaniah ini akan berpengaruh terhadap
fisik anak, sebagaimana yang diungkap oleh Desmita (129), perkembangan fisik
pada masa anak-anak ditandai dengan berkembangnya keterampilan motorik, baik
kasar maupun halus.
Setelah berumur 5 tahun, terjadi perkembangan yang besar dalam
pengendalian koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot lebih
kecil yang digunakan untuk menggenggam, melempar, menangkap bola, menulis,
dan menggunakan alat (Hurlock,150). Senada dengan (Janice J. Beaty, 2013:236),
menyebutkan perkembangan motorik halus melibatkan otot-otot halus yang
mengendalikan tangan dan kaki.
Sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada kontrol, koordinasi, dan
ketangkasan dalam menggunakan tangan dan jemari. Sebanding juga dengan yang
diberikan (Suyadi, 2010:69), bahwa perkembangan gerak motorik halus adalah
meningkatnya pengoordinasian gerak tubuh yang melibatkan otor dan saraf yang
jauh lebih kecil atau detail. Kelompok otot dan saraf ini yang mampu
mengembangkan gerak motorik halus, seperti meremas kertas, menyobek,
menggambar, menulis, dan lain sebagainya. Kesimpulannya perkembangan gerak
motorik halus adalah perpaduan antara otot dan syaraf yang terkoordinasi,
terkontrol, dan tangkas dalam gerak jemari dan tangannya.
Hurlock dalam (Suyadi dan Maulidya Ulfah, 2013:49-50) mengemukakan
prinsip-prinsip perkembangan anak sebagaimana berikut:
1. Perkembangan berimplikasi pada perubahan, tetapi perubahan belum tentu
termasuk dalam kategori perkembangan karena perkembangan adalah realisasi
diri atau pencapaian kemampuan bawaan.
2. Perkembangan awal lebih penting atau lebih kritis daripada perkembangan
selanjutnya karena perkembangan awal menjadi Kemampuan motorik merupakan
kualitas hasil gerak individu dalam melakukan gerak, baik gerakan non-olahraga
maupun gerak dalam olahraga atau kematangan penampilan ketrampilan motorik.
Kualitas hasil gerak merupakan kemampuan (ability) gerak seseorang dalam
melakukan tugas gerak, (Sukintaka, 2004).
Menurut Amri dalam Christiana (2012:188), anak laki-laki umumnya lebih
unggul dalam keterampilan yang berkaitan dengan throwing dan striking,
sedangkan anak perempuan pada keterampilan seperti skipping, galloping, dan
hoping. Sehingga keterampilan motorik halus berdasar jenis mengalami
perbedaan. Anak laki-laki yang lebih dominan pada pelemparan dan gerakan kaki.
Sedangkan pada anak perempuan pada lompat tali dan gerakan lain yang hanya
membutuhkan bantuan diri bukan pada alat yang dilemparkan/dilepaskan.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pertanyaan panduan (Keyword)


Pertanyaan panduan pada penelitian ini adalah “Pengaruh terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia sekolah” Kata kunci yang
digunakan terapi okupasi dan kemapuan motorik pada anak usia sekolah.
B. Kriteria
A. Kriteria inklusi
Kriteria inklusi dalam penelitian ini :
1. Artikel yang memiliki judul dan isi relevan dengan tujuan penelitian,
2. Artikel berbahasa indonesia dan inggris,
3. Artikel yang dapat diakses dalam bentuk fulltex,
4. artikel penelitian yang di publikasi dari tahun 2015-2020.

B. Kriteria eksklusi
Kriteria dalam eksklusi dalam penelitian ini:

1. Artikel penelitian yang memakai bahasa selain bahasa indonesia dan inggris
2. Artikel yang membahas penelitian yang berbeda dengan yang ingin diteliti

C. Data jurnal
Sumber data dalam literatur riview ini diperoleh dari database elektronik
yaitu google schoolar dan pubmed dari tahun 2015-2020. Artikel memakai
bahasa indonesia dan inggris, artikel fulltext dan abstrak di review, untuk
memilih studi sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Kriteria inklusi dalam
review adalah penelitian yang meneliti tentang pengaruh terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia sekolah.
Bagan 1. Proses literatur review

Database Search strategy

Identification Google Terapi okupasi dalam meningkatkan


schoolar kemampuan motorik pada anak usia sekolah

Pubmed Occupational therapy to improve motor


perpormance for children.

Google schoolar Pubmed

Seleksi 4.225 artikel 939 artikel

Ditemukan di database Ditemukan di database

Inklusi dan 12 artikel yang dipilih 3 artikel yang dipilih


eksklusi

15 artikel untuk
literatur review
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Setelah dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi didapatkan 15 artikel yang dipilih
untuk di review ini diterbitkan antara 2016 sampai 2021. Artikel yang direview menggunakan
penelitian kualitatif dilakukan diberbagai daerah di Indonesia dan di negara lain. Masing-masing
dari 15 artikel dipilih untuk dibaca dengan cermat dari abstrak, tujuan, data analisis secara
lengkap dan diteliti setiap jurnal untuk mengevaluasi apakah masalah yang didiskusikan sesuai
dengan yang hendak dipecahkan dalam suatu jurnal.
Pada beberapa jurnal dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti.
Penulis terlebih dahulu mengidentifikasi setiap jurnal dalam bentuk ringkasan secara singkat
berupa tabel yang berisi nama penulis, tahun penulis, negara, tujuan, sampel, desain, prosedur,
hasil dan database seperti yang dijelaskan pada tabel 4.1 sebagai berikut.

Tabel 4.1
Daftar Literature Riview Jurnal
“Pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia
sekolah”

No Nama Negara Tujuan Desain Samp Prosedur Hasil Database


Author el
1 Hascita Nasional bertujuan untuk mengguna 78 menggunakan hasil penelitian GoogleSch
Istiqoma mengetahui kan respon metode dapat dijelaskan olar
h dan perkembangan metode den kualitatif bahwa secara
Suyad fisik motorik kualitatif deskriptif simultan dalam
(2019) anak di sekolah deskriptif dengan proses
Dasar dengan perolehan data pembelajaran
Muhammadiyah perolehan berdasarkan terlihat semua
Karangbendo data teknik siswa memiliki
berdasarka observasi, perkembangan fisik
n teknik wawancara dan motorik yang
observasi, dokumentasi. berbeda-beda dan
wawancar perkembangan
a dan tersebut terus
dokument berjalan dan
asi. berubah-ubah
sesuai dengan
kegiatan belajar
siswa.
2 Suyadi, Nasional Untuk Penelitian 50 Penelitian ini Hasil penelitian Google
Wina menganalisis ini respon menggunakan menunjukkan Scholar
Calista, perkembangan mengguna den metode bahwa
Deska fisik-motorik kan kualitatif perkembangan
Puspita, siswa usia dasar metode deskriptif, data fisik-motorik siswa
(2018) yang tidak kualitatif diperoleh yang tidak tercapai
tercapai. deskriptif, dengan disebabkan karena
data observasi, siswa mengalami
diperoleh wawancara dan kelainan genetik
dengan dokumentasi.. (down syndrome)
observasi,
wawancar
a dan
dokument
asi..
3 Citra Nasional Untuk Penelitian 24 Penelitian ini Berdasarkan uji Google
mengetahuiPen
Pataha ini respon menggunakan statistik wilcoxon Scholar
garuh Terapi
Yuemi, Okupasi mengguna den adalah Sign Rank Test
Diorama
Mundakir kan adalah PreExperiment untuk mengetahui
Gambar.
(2018) terhadap PreExperi al Desain One pengaruh terapi
Kemampuan
mental Group Pre-Post okupasi (Diorama
Motorik Halus
pada anak Desain test Design Gambar) terhadap
Retardasi
One Kemampuan
Mental Ringan
Kelas 4 di Group motorik halus
SDLB bagian
Pre-Post menunjukan hasil
Tuna Grahita
Ringan test dengan signifikansi
SDLB/C akw
Design ρ = 0,008 dengan
kumara II
Surabaya”. derajat kemaknaan
yang digunakan
adalah α < 0,05,
sehinga H0 di tolak
dan H1 diterima,
artinya Pengaruh
Terapi Okupasi
(Diorama Gambar)
terhadap
Kemampuan
Motorik Halus pada
anak Retardasi
Mental di SDLB
bagian Tuna
Grahita Ringan
SDLB/C akw
kumara II Surabaya
4 Da’watul Nasional tujuan Rancanga 60 Rancangan Hasil penelitian Google
Islamiyah penelitian ini n respon penelitian yang memperlihatkan Scholar
, Rahma adalah untuk penelitian den digunakan bahwa terapi
Widyana( meningkatkan yang adalah single okupasi dapat
2019) kemampuan digunakan case meningkatkan
motorik halus adalah eksperimen kemampuan
pada siswa single dengan melihat motorik hasil pada
tunangrahita case hasil pretest siswa tunagrahita
ringan. eksperime dan posttest ringan.
n dengan subjek terapi
melihat melalui visual
hasil inspection dan
pretest uji parametrik
dan paired sampel
posttest t-test untuk
subjek melihat apakah
terapi ada perbedaan
melalui sebelum dan
visual sesudah
inspection pemberian
dan uji terapi okupasi
parametrik dilakukan.
paired
sampel t-
test
5 Iqbal Nasional Penelitian ini Penelitian 96 Penelitian ini Penelitian Google
bertujuan untuk menemukan bahwa
Raffi, ini respon menggunakan Scholar
mengetahui karakteristik
Ganis efektifitas mengguna den desain quasy responden paling
pemberian banyak berada pada
Indriati, kan desain experiment
terapi okupasi rentang umur 9-13
Sri Utami dalam quasy dengan tahun (66,6%) dan
meningkatkan jenis kelamin
(2018) experimen rancangan non
kemandirian terbanyak adalah
makan pada t dengan equivalent laki-laki (56,6%).
anak usia Hasil uji statistik
rancangan control group.
sekolah dengan didapatkan bahwa
down non mean kelompok
syndrome. eksperimen
equivalent
sebelum diberikan
control terapi okupasi
adalah 8,67 dan
group.
pada kelompok
kontrol 8,07.
Setelah diberikan
terapi okupasi pada
kelompok
eksperimen terdapat
peningkatan mean
menjadi 10,13.
Hasil uji t
independent
diperoleh nilai p
value 0,042 (α =
0,05), sehingga
terapi okupasi
efektif dalam
meningkatkan
kemandirian makan
pada anak down
syndrome. Hasil uji
t dependent pada
kelompok
eksperimen
sebelum dan setelah
diberikan terapi
okupasi didapatkan
p value 0,000 (α =
0,05). Hal ini
bermakna adanya
peningkatan
kemandirian
makan, yaitu
sebesar 6,00 setelah
selama 3 hari
diberikan terapi
okupasi.

6 Aldo Nasional Penelitian ini Penelitian 48 Penelitian ini . menunjukkan Google


untuk
Yuliano ini Respo merupakan adanya peningkatan Scholar
Mempelajari
Darwin efektifitas merupaka nden penelitian perkembangan
pemberian
Efendi, n kuantitatif kemampuan
terapi okupasi:
Yendrizal kognitif penelitian dengan desain kognitif anak
(mengingat
Jafri kuantitatif penelitian yang autisme usia
gambar) dalam
(2018) meningkatkan dengan digunakan sekolah setelah
kemampuan
desain adalah Quasi dilakukan tindakan
kognitif pada
anak Autisme penelitian eksperimen. terapi okupasi
usia sekolah
yang dengan sebesar
digunakan 4,46. Hasil analisa
adalah statistik
Quasi menggunakan uji
eksperime Paired sample T
n. test didapatkan nilai
sig/
pvalue=0,001maka
0,001< 0,05 jika
pvalue kecil dari a
(0,05
7 Irawan, Nasional Tujuan Jenis 38 Jenis penelitian Berdasarkan hasil Google
Ria penelitian ini penelitian respon yang penelitian Scholar
Dewi. adalah untuk yang den digunakan menunjukkan
(2017) mengetahui digunakan dalam bahwa penerapan
penerapan dalam penelitian ini terapi okupasi di
terapi okupasi, penelitian adalah Balai
sarana dan ini adalah penelitian Pengembangan
prasarana yang penelitian kualitatif Pendidikan Khusus
dibutuhkan dan kualitatif Semarang yaitu
bentuk evaluasi Proses terapi
terapi okupasi (pembukaan salam
pada anak down dan doa, kegiatan
syndrome di dampingan,
Balai kegiatan inti),
Pengembangan kegiatan inti
Pendidikan disesuaikan dengan
Khusus tujuan yang hendak
Semarang. dicapai, ada reward
dan punishment,
sebelum anak
diterapi okupasi,
perilaku anak
diterapi terlebih
dahulu, terapi
okupasi yang
diberikan lebih ke
pra akademik, pra
motorik dan
kemandirian.
Sarana dan
prasarana yaitu
adanya CCTV,
peralatan motorik
kasar lengkap di
sensory integritas,
alat motorik kasar
(mandi bola,
prosotan, tangga),
alat motorik halus
(puzzle, roncean,
alat jahit, balok
warna), fasilitas
yang di dapatanak
(bukupenghubung,
rapor,
kartuabsensi),
tempat terapi belum
sesuai standar yang
ada. Adapun bentuk
evaluasi di Balai
Pengembangan
Pendidikan Khusus
Semarang yaitu
evaluasi masih
sederhana, kendala
jadwal terapi 1 kali
dalam seminggu,
bentuk evaluasi
berupa rapor dan
buku penghubung,
home program.
8 Gita Ayu Nasional Upaya untuk Metode 32 Metode Hasil penelitian Google
menunjukkan
Meista mengatasi penelitian respon penelitian yang Scholar
bahwa program
Tika kecacatan bagi yang den digunakan terapi okupasi bagi
penyandang
(2018) penyandang digunakan dalam
tunadaksa di
tunadaksa dapat dalam penelitian ini Yayasan
Pembinaan Anak
dilakukan penelitian adalah metode
Cacat (YPAC)
dengan berbagai ini adalah penelitian Medan tidak
efektif. Dan
macam terapi, metode deskriptif
berdasarkan hasil
salah satunya penelitian dengan penelitian yang
telah peneliti
adalah terapi deskriptif pendekatan
lakukan, peneliti
okupasi. dengan kualitatif memberikan saran
yaitu disarankan
pendekata
terapis yang
n melakukan terapi
okupasi sesuai
kualitatif
dengan latar
belakang
pendidikan terapi
okupasi, minimal
ada satu terapis
yang sesuai dengan
latar belakang
pendidikannya agar
lebih mengetahui
kegiatan yang
dibutuhkan atau
cocok untuk klien
dan melakukan
sosialisasi kepada
orang tua yang
anaknya ikut terapi
okupasi, agar lebih
memahami terapi
okupasi.

9 Da’watul Nasional tujuan Rancanga 58 Rancangan Hasil penelitian Google


Islamiyah penelitian ini n respon penelitian yang memperlihatkan Scholar
, Rahma adalah untuk penelitian den digunakan bahwa terapi
Widyana meningkatkan yang adalah single okupasi dapat
kemampuan digunakan case meningkatkan
motorik halus adalah eksperimen kemampuan
pada siswa single dengan melihat motorik hasil pada
tunangrahita case hasil pretest siswa tunagrahita
ringan. eksperime dan posttest ringan.
n dengan subjek terapi
melihat melalui visual
hasil inspection dan
pretest uji parametrik
dan paired sampel
posttest t-test untuk
subjek melihat apakah
terapi ada perbedaan
melalui sebelum dan
visual sesudah
inspection pemberian
dan uji terapi okupasi
parametrik dilakukan.
paired
sampel t-
test untuk
melihat
apakah
ada
perbedaan
sebelum
dan
sesudah
pemberian
terapi
okupasi
dilakukan.
10 Wahidya Nasional Terapi ini Penelitian 138 Penelitian Hasil penelitian ini Google
nti digunakan dilakukan respon dilakukan melihat sarana Scholar
Rahayu sebagai bagian dengan den dengan metode okupasi dengan
Hastutini dari program metode kualitatif menggunakan
ngtyas, pengobatan kualitatif dengan cara taman edukasi di
Irawan untuk anak dengan deskripsi salah satu SLB
Setyabud yang mengidap cara deduktif dan Kota malang.
(2017) suatu penyakit, deskripsi induktif. Taman edukasi
seperti deduktif yang ada disekolah
keterlambatan dan meliputi beberapa
perkembangan induktif. zona terapi dan
sejak lahir, pembelajaran.
masalah Taman yang
psikologis, atau digunakan untuk
cedera jangka anak autis meliputi
panjang. konsep bentuk,
sirkulasi, dan
vegetasi. Taman
edukasi dapat
digunakan sebagai
sarana terapi
okupasi dimana
terdapat objek
terapi yang meliputi
fisik dan mental.
11 Aldo Nasional Penelitian ini Penelitian 86 Penelitian ini menunjukkan Google
untuk
Yuliano ini respon merupakan adanya peningkatan Scholar
Mempelajari
Darwin efektifitas merupakn den penelitian perkembangan
pemberian
Efendi, penelitian kuantitatif kemampuan
terapi okupasi:
Yendrizal kognitif kuantitatif dengan desain kognitif anak
(mengingat
Jafri dengan penelitian yang autisme usia
gambar) dalam
(2017) meningkatkan desain digunakan sekolah setelah
kemampuan
penelitian adalah Quasi dilakukan tindakan
kognitif pada
anak Autisme yang eksperimen terapi okupasi
usia sekolah
digunakan dengan sebesar
adalah 4,46. Hasil analisa
Quasi statistik
eksperimn menggunakan uji
Paired sample T
test didapatkan nilai
sig/
pvalue=0,001maka
0,001< 0,05 jika
pvalue kecil dari a
(0,05)
12 Abdul Nasional Tujuan Desain 10 Desain Hasil uji statistik Google
Rokhman penelitian ini penelitian respon penelitian wilcoxon sign rank Scholar
Fatkhur adalah untuk mengguna den menggunakan test pada penelitian
Rohmah mengetahui kan desain desain ini didapatkan hasil
(2016) pengaruh terapi eksperime eksperimental p value= 0,001
okupasi ntal yaitu yaitu quasi dimana p <0,05
terhadap tingkat quasi eksperimental dengan nilai Z -
kemandirian eksperime dengan 3,411 dan pada
merawat diri ntal pendekatan Ztabel adalah 1-
pada anak dengan one group pre- 0,0032 karena uji 2
retardasi mental pendekata post test sisi, hasil Zhitung
di SDLB Negeri n one design. menjauhi angka
Lamongan. group pre- kritis Z ±1,96
post test dengan menjauhi
design. kearah kiri yang
berarti Ho ditolak
yang berarti ada
pengaruh terapi
okupasi terhadap
tingkat kemandirian
merawat diri pada
anak retardasi
mental di SDLB
Lamongan. Hasil
penelitian
menunjukkan
tingkat kemandirian
merawat diri
sebelum diberikan
terapi okupasi
sebagian besar
dalam
ketergantungan
sedang dan sesudah
diberikan terapi
okupasi sebagian
besar dalam
kategori mandiri.

13 Eni Nasional kemampuan Penelitian 36 Penelitian ini Berdasarkan hasil Google


Fitriana, motorik halus ini respon menggunakan analisis data dengan
Wiwik dan terapi mengguna den jenis penelitian menggunakan Scholar
Widajati okupasi dengan kan jenis pra rumus uji tanda
(2017) teknik kolase penelitian eksperimen.Ra menunjukkan
serta adanya pra ncangan yang bahwa terapi
penelitian eksperime digunakan okupasi dengan
sebelumnya n.Rancang adalah “one teknik kolase
yang an yang group pre-test berpengaruh
mendukung, digunakan post-test terhadap
maka perlu adalah desaign kemampuan
adanya “one motorik halus anak
penelitian group pre- autis di SLB PGRI
tentang test post- Plosoklaten
pengaruh terapi test Kediri.Hal ini dapat
okupasi dengan desaign dibuktikan pada
teknik kolase besarnya nilai Zh
terhadap atau Z hitung 2, 05
kemampuan lebih besar
motorik halus dibandingkan
anak autis di dengan nilai Z tabel
SLB PGRI 1, 64 pengujian satu
Plosoklaten sisi sehingga dapat
Kediri. dikatakan Ho
ditolak dan Ha
diterima.Hal ini
membuktikan
bahwa ada
pengaruh terapi
okupasi dengan
teknik kolase
terhadap
kemampuan
motorik halus anak
autis di SLB PGRI
Plosoklaten Kediri.
14 Teguh Nasional untuk Penelitian 79 menggunakan Hasil penelitian Google
Pribadi , Mengetahui ini respon metode menyimpulkan Scholar
Herwan perilaku Caring merupaka den penelitian berdasarkan analisis
(2019) menurut n kuantitatif. statistik didapatkan
persepsi pasien penelitian Desain analitik p value 0.487 atau
dan mengalami kuantitatif dengan nilai p> 0.05, tidak
kecemasan . Desain pendekatan terdapat perilaku
selama analitik asuhan keperawatan
hospitalisasi dengan cross sectional terhadap tingkat
pendekata kecemasan pasien
n cross rawat inap. Praktisi
sectional. kesehatan
hendaknya
meningkatkan
kualitas
keperawatan
mereka dengan
mengikuti pelatihan
perawat tentang
komunikasi
terapeutik.
Diharapkan tenaga
kesehatan dapat
meningkatkan
kepedulian
sehingga
kecemasan pasien
dapat berkurang
dan dapat
meningkatkan
kualitas pelayanan
kesehatan dengan
memberikan
pelatihan kepada
seluruh tenaga
perawat tentang
komunikasi
terapeutik yang
baik dan benar.
15 Wahidya Nasional Terapi ini Penelitian 50 Hasil penelitian ini Google
nti digunakan dilakukan respon melihat sarana Scholar
Rahayu sebagai bagian dengan den okupasi dengan
Hastutini dari program metode menggunakan
ngtyas, pengobatan kualitatif taman edukasi di
Irawan untuk anak dengan salah satu SLB
Setyabud yang mengidap cara Kota malang.
(2017) suatu penyakit, deskripsi Taman edukasi
seperti deduktif yang ada disekolah
keterlambatan dan meliputi beberapa
perkembangan zona terapi dan
sejak lahir, induktif. pembelajaran.
masalah Taman yang
psikologis, atau digunakan untuk
cedera jangka anak autis meliputi
panjang. konsep bentuk,
sirkulasi, dan
vegetasi. Taman
edukasi dapat
digunakan sebagai
sarana terapi
okupasi dimana
terdapat objek
terapi yang meliputi
fisik dan mental.

B. Pembahasan

Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental,
maupun sosial sesuai dengan bertambahnya usia. Tercapainya tumbuh kembang yang
optimal tersebut tergantung pada potensi biologiknya, yang merupakan hasil interaksi
berbagai faktor yang saling berkaitan yaitu faktor genetik, lingkungan, bio-psiko-sosial dan
perilaku .

Istilah anak berkelainan mental dalam beberapa referensi disebut dengan retardasi
mental. Menurut World Health Organization (WHO 1990), retardasi mental adalah
kemampuan mental yang tidak mencukupi. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM, 1994), retardasi mental
merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang berfungsi secara bermakna
dibawah rata-rata (Intelligence Quotient (IQ) kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula
sebelum usia 18 tahun disertai defisit atau hendaya fungsi adaptif.

WHO memperkirakan jumlah anak dengan disabilitas adalah sekitar 7-10% dari total
populasi anak. Amerika 3% dari penduduknya mengalami keterbelakangan mental,
sedangkan di negara Belanda sekitar 2,6% dan di Asia penyandang retardasi mental sekitar
± 3%. Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3
juta jiwa anak dengan disabilitas dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 jiwa
anak), atau sekitar 10%. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)
tahun 2011, retardasi mental 30.460 anak dan mantan penderita gangguan jiwa 2.257 anak
(Kemenkes, 2014).

Penelitan yang dilakukan Eni Fitriana (2017) tentang tentang penggunaan terapi okupasi
dengan teknik kolase terhadap kemampuan motorik halus anak autis di SLB PGRI
Plosoklaten Kediri. Dalam menganalisis data penelitian menggunakan rumus statistik non
parametrik dengan menggunakan rumus uji tanda (sign test) karena datanyabersifat
kuantitatif yaitu dalam bentuk bilangan atau angka dan jumlah subyek peneitiannya kecil,
yakni kurang dari 30 orang. Perhitungan rumus uji tanda diperoleh Zh = 2,05 lebih besar
dari nilai kritis Z tabel 5 % yaitu 1, 64 sehingga hipotesis kerja yang menyatakan bahwa
ada pengaruh terapi okupasi dengan teknik kolase terhadap kemampuan motorik halus anak
autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri diterima dan Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa
terapi okupasi dengan teknik kolase berpengaruh rerhadap kemampuan motorik halus anak
autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri.

Berdasarkan penelitian Wahidyanti Rahayu Hastutiningtyas, Irawan Setyabud (2017)


Terapi okupasi sebagai sarana terapi sensorik, siswa dapat meningkatkan ketajaman
inderanya melalui visual, pendengaran, peraba, pengecap dan penciuman, sehingga tercapai
titik fokus tertentu yang tidak menyebar. Sebagai sarana edukasi, siswa juga dilatih untuk
mengenal lebih dekat tentang tanaman, merawat dan memanennya sehingga mendapatkan
pengalaman langsung. Terapi okupasi juga berfungsi dengan menggunakan konsep taman
edukasi yang bisa diterapkan di sekolah luar biasa di Kota Malang. Taman edukasi dapat
digunakan sebagai sarana terapi okupasi dimana terdapat objek terapi yang meliputi fisik
dan mental. Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah pengenalan jenis tanaman dan berocok
tanam yang menggunakan terapi bermain dan memberikan dampak bersosialisasi semakin
berkembang. Adapun tahapan terapi okupasi, antara lain: (1) Tahap Evaluasi, (2) Tahap
Intervensi dan (3) Tahap Hasil Akhir. Tahap terapi okupasi kelompok dapat dilakukan
dengan (1) Orientasi, (2) Tahap Pendahuluan (Introduction), (3) Tahap pemanasan (Warm-
up activities), (4) Tahap aktivitas terpilih (selected activities) dan (5) Tahap Terminasi.

Berdasarkan Penelitian Gita Ayu Meista Tika (2018) Berdasarkan hasil analisis data
yang dilakukan, melihat masalah mengamati dan melakukan wawancara secara mendalam
tentang efektivitas program terapi okupasi bagi penyanyandang tunadaksa di Yayasan
Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan ditarik kesimpulan yaitu suatu program dapat
dikatakan efektif jika telah memenuhi indikator-indikator keberhasilan efektivitas. Peneliti
menggunakan indikator efektivitas menurut Sutrisno (2010:125-126) yaitu: 1. Pemahaman
Program Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
keluarga atau pengasuh penyandang tunadaksa yang mengikuti terapi okupasi di YPAC
Medan tidak memahami atau mengetahui program terapi okupasi tersebut. Hal itu dilihat
dari, tiga orang keluarga/pengasuh penyandang tunadaksa dua orang informan diantaranya
tidak mengetahui tujuan dari terapi okupasi tersebut. 2. Ketepatan Sasaran Berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa anak dari ketiga
informan utama tersebut yakni penyandang tunadaksa merupakan sasaran dari terapi
okupasi. Hal itu dilihat dari ketiga penyandang tunadaksa tersebut membutuhkan latihan
koordinasi gerakan, motorik halus, dan latihan-latihan okupasional lainnya. Ketiga
penyandang tunadaksa juga merupakan anak usia sekolah. Dimana YPAC hanya
menerima klien yang usia sekolah. Jadi mereka sesuai dengan ketentuan dari YPAC
Medan. 3. Ketepatan Waktu Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa penyandang tunadaksa yang mengikuti terapi okupasi sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan dari yayasan. Hal itu dilihat dari hasil wawancara yang
menyebutkan bahwa mereka datang terapi sesuai hari dan jam yang telah ditentukan, dan
juga ketika mereka datang terapis sudah ada didalam ruangan menunggu klien. 4.
Pencapaian Tujuan Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa pencapaian tujuan yang telah direncanakan belum tercapai. Hal ini
dilihat dari hasil wawancara, pada informan utama I dan III merasa bahwa tujuan tersebut
belum tercapai. Sedangkan dari informan utama II sudah tercapai tujuannya. Jadi
pencapaian tujuan dari terapi okupasi ini belum tercapai. 5. Perubahan Nyata Berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa program terapi okupasi
ini belum memberikan hasil nyata pada penyandang tunadaksa. Meskipun ada hasil nyata
yang tidak sesuai dengan tujuan okupasi tersebut tetapi masih ada perubahan lain yang
didapatkan diluar dari perubahan yang mengarah ke okupasi tersebut. Hal ini dilihat dari
Agnes yang sudah ada perubahan meskipun bukan perubahan yang berkaitan dengan
okupasi. Perubahan yang dialaminya adalah sudah dapat membaca dua suku kata. Untuk
Salwa sudah mengalami perubahan sesuai dengan tujuan terapi okupasi. Perubahan yang
dialami Salwa adalah Salwa sekarang sudah dapat memegang pensil, menulis, berjalan
dengan memegang dinding dan juga bersosialisasi. Untuk Aldila, tidak ada mengalami
perubahan selama mengikuti kegiatan terapi okupasi. Jadi disimpulkan bahwa terapi
okupasi ini tidak memberikan perubahan okupasional terhadap penyandang tunadaksa yang
mengikuti terapi.

Berdasarkan indikator keberhasilan efektivitas, maka dapat disimpulkan bahwa program


terapi okupasi bagi penyandang tunadaksa di Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC)
Medan tidak efektif. Dikatakan tidak efektif karena dari lima indikator efektivitas, ada
beberapa indikator efektivitas yang belum terpenuhi sehingga program terapi okupasi
dikatakan tidak efektif.

Berdasarkan penelitian Suyadi, Wina Calista, Deska Puspita, (2018) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perkembangan fisik-motorik siswa yang tidak tercapai disebabkan
karena siswa mengalami kelainan genetik (down syndrome) . Down syndrome adalah
kelainan genetik yang disebabkan kerena kelebihan kromosom 21 atau trisomy 21 yang
menyebabkan keterbatasan fisik, motorik, serta intelektual, dan sering terjadi dengan
insidensi 1:1000 kelahiran yang salah satunya berakibat lemahnya otot pada salah satu
tangan sehingga siswa sulit melakukan gerakan seperti menulis, menggambar serta aktifitas
sehari-hari. Pembelajaran didalam kelas disesuaikan dengan minat belajar siswa. Adapun
tujuan utama dalam pembelajaran untuk anak-anak yang memiliki perkembangan fisik
motorik yang tidak tercapai (down syndrome ) yaitu melatih kemandirian anak dan
interaksi sosial dalam lingkungan sekitar.

Berdasarkan penelitian Da’watul Islamiyah, Rahma Widyana(2019) Berdasarkan hasil


analisis visualinspection dan dikaitkan dengan hasil analisiskuantitatif dengan
menggunakan uji parametrikpaired sample t-test menunjukkan koefisienkorelasi sebesar
0.1000 dengan taraf Sig =0.002 (p<0.005), hal ini menunjukkan adaperbedaan sebelum dan
sesudah terapi okupasimenyulam diberikan pada siswa tunagrahitaringan. Dengan melihat
hasil kedua analisistersebut sebelum terapi diberikan dan setelahterapi diberikan dapat
terlihat dari kenaikanskor kemampuan motorik halus setelah terapiokupasi menyulam
diberikan.Hasil penelitian ini mendukungpenelitian yang dilakukan oleh Nurlina
(2008)yaitu terapi okupasi yang dipraktekkan melaluikegiatan keterampilan pita
rambut.Keterampilan pita rambut ini dapat membantuanak memaksimalkan fungsi gerak
tangan dandaya konsentrasinya yang mana gerak yangdigunakan adalah sendi dan otot-otot
kecil(Nurlina, 2008). Dalam hal ini menyulammempunyai fungsi yang sama
yaitumemaksimalkan fungsi gerak tangan dan dayakonsentrasi subjek sehingga subjek
dapatmemainkan keterampilan tersebut dengan baikdan teliti.

Berdasarkan penelitian Aldo Yuliano Darwin Efendi, Yendrizal Jafri (2018) Rata-rata
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi sebelum diberikan tindakan terapi okupasi (pre-test) adalah 60,27. Rata-rata
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi setelah diberikan tindakan terapi okupasi (post-test) adalah 64,73. Terdapat
perbedaan yang signifikan dengan pvalue =0,001 (α=0,05) dengan kata lain Pemberian
terapi okupasi: kognitif (mengingat gambar) efektif meningkatkan kemampuan Kognitif
pada anak autisme usia sekolah di SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA

Christiana Hari Soetjiningsih. 2012. Perkembangan Anak. Tanpa Kota Terbit:


Prenada Media Grup.

Citra Pataha Yuemi, Mundakir. Terapi Okupasi: Diorama Gambar Terhadap


Kemampuan Motorik Halus pada Anak Retardasi Mental Ringan.

Desmita. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Elizabeth B Hurlock. Tanpa Tahun. Perkembangan Anak. Terjemahan oleh:


Meitasari Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Tanpa Kota Terbit: PT Gelora Aksara
Pratama.

Ellah Siti Chalidah. 2005 Terapi Permainan: Bagi Anak yang Memerlukan Layanan
Pendidikan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan
Ketenagakerjaan Perguruan Tinggi.

Eni Fitriana, Wiwik Widajati. 200?. Terapi Okupasi dengan Teknik Kolase
Terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri.
Skripsi diterbitkan.

Evi Hasmita, Tri Riska Hidayati. Terapi Okupasi: Perkembangan Motorik Halus
Anak AUtisme. (Online). Vol. 20, No. 27. Jurnal Ipteks Terapan.

George S. Morrison. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).


Terjemahan oleh: Suci Romadhona dan Apri Widiastuti. Jakarta: Indeks.

Hajar Nur Rohmah, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Down


Syndrome. UMS

Sardjono. 2005. Terapi Wicara. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional


Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga
Kependidikan dan Ketenagakerjaan Perguruan Tinggi.

Siti Samiwasi Wiryadi. 2014. Pola Asuh Orang tua dalam Upaya Pembentukan
Kemandirian Anak Down Syndrome X Kelas D1/C1 di SLB Negeri 2 Padang. (Online).
Vol. 3. No. 3, diakses pada 27 September 2017 Pukul 14:45 WIB

Soemiarti Padmonodewo. 2003. Buku Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Suyadi. 2010. Psikologi Belajar PAUD. Yogyakarta: PT Pustaka Insan Madani.

Sujarwanto. 2005. Terapi Okupasi untuk Anak Berkebutuhan Khusus. Departemen


Pendidikan dan Budaya.

Sukintaka. 2004. Teori Pendidikan Jasmani. Bandung: Nuansa.


Suyadi, Maulidya Ulfah. 2013. Konsep Dasar PAUD. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya

Syamsu Yusuf. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya

Anda mungkin juga menyukai