NASRI MORSALIN
NIM: 2117087
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan motorik anak berhubungan erat dengan kondisi fisik dan intelektual
anak serta berlangsung secara bertahap tetapi memiliki alur kecepatan perkembangan
yang berbeda pada setiap anak. Anak yang mempunyai kemampuan motorik halus baik,
umumnya mengalami kemampuan motorik kasar yang kurang baik begitu juga
sebaliknya. Kelompok anak dengan kemampuan motorik halus lebih dominan dan
kemampuan motorik kasar lebih dominan (Silawati, 2008, hlm.22).
Salah satu perkembangan anak yang dinilai adalah dalam hal kemampuan motorik
halus. Sumantri (2005, hlm.143), menyatakan bahwa motorik halus adalah
pengorganisasian penggunaan sekelompok otot-otot kecil seperti jari-jemari dan tangan
yang sering membutuhkan kecermatan dan koordinasi dengan tangan, keterampilan yang
mencakup pemanfaatan menggunakan alat-alat untuk mengerjakan suatu objek. Hal yang
sama dikemukakan oleh Yudha dan Rudyanto (2005, hlm.118), menyatakan bahwa
motorik halus adalah kemampuan anak beraktivitas dengan menggunakan otot halus
(kecil) seperti menulis, meremas, menggambar, menyusun balok dan memasukkan
kelereng.
Untuk mengatasi hal tersebut maka ada beberapa terapi yang dapat digunakan
yaitu salah satunnya terapi okupasi. Terapi okupasi berasal dari kata occupational yang
artinya aktifitas dan theraphy yang artinya penyembuhan atau pemulihan. Sehingga
pengertian terapi okupasi adalah proses penyembuhan melalui aktifitas. Aktifitas disini
berguna untuuk proses penyembuhan konseli, jadi tidak sekedar aktifitas biasa. Dan juga
aktifitas ini ditujukan untuk anak-anak yang memiliki keterbatasan baik secara fisik,
mental, kognitif, agar lebih mandiri dalam menjalani kehidupannya dan tidak bergantung
pada orang lain.
Salah satu tujuan terapi okupasi adalah membekali anak dengan kecakapan yang
berguna untuk kehidupan kelak nanti, serta mengasah keterampilan dan kemandirian
anak. Terapi okupasi meliputi pemulihan, pengembangan, dan pemeliharaan fisik,
intelektual, sosial dan emosi anak. Keterampilan sehari-hari dalam terapi okupasi
meliputi makan, mandi, berpakaian. Untuk melatih kemampuan kognitif seperti
membaca, menulis, dan berhitung, menghafal.
Dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan analisis tentang
pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia
sekolah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan masalah.” pengaruh terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia sekolah.”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
untuk mengetahui pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada
anak usia sekolah.
Tujuan Khusus
untuk menganalisis pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik
pada anak usia sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Terapi Okupasi
1. Pengertian Terapi Okupasi
Terapi okupasi mempunyai pengertian yang mirip dengan istilah “adapted
physical activity” terapi okupasi berupa aktivitas fisik yang disesuaikan terhadap
kemampuan, “corrective physical activity” kegiatan fisik secara benar atau
“milieu therapy” terapi lingkungan, Martono dalam (Sujarwanto, 2005:8).
Aktivitas fisik ini dilakukan dengan mengikuti program terapi yang telah
ditentukan agar sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan.
Dalam buku dan halaman yang sama terapi okupasi berasal dari kata
bahasa inggris yaitu Occupational Therapy yang mempunyai arti: Occupational :
kegiatan, aktivitas, atau pekerjaan Therapy : upaya penyembuhan, pemulihan
atau pengobatan Terapi yang dilakukan dengan upaya penyembuhannya
menggunakan aktivitas atau kegiatan terhadap anak yang mengalami gangguan.
Jadi dapat disimpulkan yaitu terapi okupasi adalah suatu perpaduan antara
seni dan ilmu pengetahuan untuk menunjukkan jalan dari respon penderita dalam
bentuk kegiatan yang sudah diseleksi yang digunakan untuk membantu dan
memelihara kesehatan, menanggulangi kecacatan, menganalisa tingkah laku,
memberikan latihan dan melatih pasien yang menderita kelainan fisik, mental
serta fungsi sosialnya.
2. Tujuan Terapi Okupasi
Dalam Fitriani, (Nurjatmika, 2012:83) tujuan terapi okupasi adalah
mengembalikan fungsi fisik serta motorik baik motorik halus maupun motorik
kasar, mental, sosial, dan emosi, dengan mengembangkannya seoptimal mungkin
serta memelihara fungsi yang masih baik dan mengarahkannya sesuai dengan
keadaan individu agar dapat hidup yang layak di masyarakat. Sebanding menurut
Sujarwanto, (2005:131), pemberian terapi okupasi bertujuan untuk membantu
mengembangkan aspek motorik. Motorik halus merupakan hal yang penting
dalam penilaian layak dalam masyarakat. Penyandang down syndrome yang bisa
hidup ditengah masyarakat tetap akan sulit untuk bisa mendapat nilai mandiri.
Peningkatan motorik halus anak down syndrome menggunakan terapi okupasi,
karena terapi ini merupakan teori pekerjaan yang lebih menekankan pada fisik.
Lebih jelas lagi dalam (Cathryn dan David, 2012:5) menyebutkan tujuan
terapi secara umum anak menghadapi masalah emosional yang menekan batinnya,
anak memperoleh tingkat keharmonisan dalam pikiran, emosi, dan tingkah laku,
anak merasa nyaman dengan dirinya sendiri sehingga sulit berkomunikasi dengan
yang baik dengannya, anak mengubah tingkah laku yang mempunyai akibat
buruk, anak nyaman untuk beradaptasi dengan lingkungan, kesempatan anak
mengembangkan dirinya.
Senada dengan tujuan yang diungkap oleh Sujarwanto (2005:21), tujuan
kegiatan terapi okupasi untuk anak berkebutuhan khusus adalah membantanak
mencapai fungsi dan daya guna secara optimal dalam kegiatan perawatan diri,
kegiatan produktif, serta kegiatan mengisi waktu senggang, mencegah hambatan
untuk melaksanakan kehidupan seharihari, serta mendorong atau memotivasi
peningkatan potensi diri.
Dapat disimpulkan bahwa tujuan terapi baik terapi okupasi atau pun terapi
lainnya adalah memberikan rasa nyaman kepada anak dengan segala
keterbatasannya, mengubah tingkah lakunya untuk menjadi lebih baik, dan
mengejar tonggak perkembangannya untuk mencapai tingkatan normal. Juga
sebagai sarana peningkatan potensi diri untuk mencegah hambatan dalam
kehidupan sehari-hari/kemandirian.
3. Pelaksanaan Okupasi Terapi
Menurut Sujarwanto, (2005:58), proses/pelaksanaan terapi okupasi adalah
suatu proses dimana petugas terapi okupasi menangani anak berkebutuhan khusus
secara langsung, mulai dari awal sampai akhir. Dalam terapi okupasi bahwa
kesehatan, kepuasan, serta pemenuhan kebutuhan dapat dicapai apabila individu
telah berhasil berfungsi pada tingkat dasar dari tiga macam kegiatan okupasional
(pemeliharaan diri, kerja, dan leisure/waktu luang) serta dapat menyeimbangkan
kebutuhan atau tuntutan dari setiap jenis okupasional dengan suatu gaya hidup
yang sesuai dengan diri maupun lingkungan sekitar, (Sujarwanto, 2005:22).
Area kinerja okupasional meliputi aktivitas kehidupan sehari-hari,
produktivitas dan pemanfaatan waktu luang (Keputusan Menteri Kesehatan
No.571 tahun 2008 tentang standar profesi okupasi terapis) :
1. Aktivitas kehidupan sehari-hari, yang meliputi: menyisir rambut, memakai
wangi-wangian, sikat gigi, mandi, buang air, dilakukan secara mandiri,
berpakaian, makan/minum, kepatuhan minum obat, sosialisasi, komunikasi
fungsional, mobilitas fungsional, ekspresi seksual
2. Produktivitas yang meliputi: menyapu, mengepel, merawat orang lain,
sekolah/belajar, dan aktivitas vokasional
3. Pemanfaatan waktu luang yang meliputi: ketika anak memiliki waktu luang
anak dapat memanfaatkannya ke hal positif seperti melukis, membuat
kerajinan tangan dan bermain/rekreasi.
Tarmansyah dalam (Sujarwanto, 2005:23) mengemukakan terapi okupasi
mempunyai peranan, sebagai pencegahan, penyembuhan, penyesuaian diri,
pengembangan kepribadian, pembawaan, kreativitas, serta sebagai bekal hidup
dimasyarakat. Sarana pencegahan, agar kelainan yang dialaminya tidak bertambah
dan fisik yang tidak mengalami kelainandimanfaatkan semaksimalnya sehingga
akan bertambah kekuatan dan ketahanan fisik. Sarana penyembuhan, agar anak
berkebutuhan khusus keadaannya dapat dipulihkan, dikembalikan, dan
dikembangkan seoptimal mugkin meskipun tidak bisa kembali seperti sedia kala
atau menjadi sempurna. Sarana penyesuaian diri, agar anak berkebutuhan khusus
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar baik dengan alam ataupun
antar manusia. Sarana pengembangan kepribadian, pembawaan, kreativitas,
sarana ini sebagai pengembangan potensi yang dimiliki sehingga mereka akan
menjadi manusia mandiri tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Sarana
bekal hidup di masyarakat, sebagai kelanjutan dari sarana sebelumnya bahwa
membantu anak berkebutuhan khusus untuk siap diri dalam mencari nafkah atau
sebagai pegangan mata pencaharian dalam hidupnya kelak.
Pelaksanaan terapi okupasi yang berhubungan dengan fisik akan
menggunakan pendekatan rehabilitasi, sesuai yang dikatakan Sujarwanto,
(2005:33), pendekatan rehabilitasi sangat cocok untuk individu-individu yang
mempunyai gangguan fisik, baik yang sifatnya temporer atau permanen. Tujuan
utama dari pendekatan rehabilitasi ini adalah untuk meningkatkan kemandirian
dalam melakukan setiap aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.
Penerapan terapi okupasi dilaksanakan secara sistematis, dimulai dengan
kegiatan identifikasi, analisis, diagnosis, pelaksanaan serta tindak lanjut layanan
guna mencapai kesembuhan yang optimal menurut Kosasih (2012:23). Yang
dimaksud dengan kegiatan identifikasi adalah menentukan atau menetapkan
bahwa anak atau subyek termasuk anak berkebutuhan khusus. Analisis yaitu
proses penyelidikan terhadap diri anak. Selanjutnya adalah diagnosis yang berarti
pemeriksaan yang dilanjutkan dengan penentuan jenis terapi yang diperlukan.
Kegiatan yang selanjutnya yaitu pelaksanaan terapi okupasi itu sendiri dan tindak
lanjut serta evaluasi yang diperlukan guna mencapai tujuan.
Menurut Reksopranoto dalam Sujarwanto (2005:36), yaitu pemeriksaan
dalam identifikasi pengenalan kasus melalui metode wawancara, observasi, tes,
dan pemerikasaan klinis., sebagai berikut:
1) Metode wawancara: suatu bentuk percakapan yang dilakukan dengan tujuan
mengetahui kondisi fisik/mental anak berkebutuhan khusus, kepada anak
maupun keluarga/orang terdekat.
2) Metode observasi: pengamatan atas gejala penyimpangan yang Nampak
secara keseluruhan.
3) Tes: alat yang dipergunakan untuk assessment pada anak
berkebutuhan khusus. Tes ini untuk mengetahui kemampuan otot, baik dalam
hal potensi maupun kemampuan anak dalam gerak.
Pemeriksaan klinis: pemeriksaan terhadap berbagai gejala fisik yang
terdapat pada anak berkelainan fisik.
Dalam proses/pelaksanaan terapi okupasi setelah diassessment adalah re-
ferral, analisa data, menentukan tujuan, seleksi sasaran utama, seleksi metode,
pelaksanaan program, re-evaluasi anak dan program, revisi program, Padetri
dalam Sujarwanto (2005:59).
Untuk mengetahui secara fisik anak apakah ada kelainan juga pada tulang
atau sendi maka juga perlu adanya pemeriksaannya yang sering disebut dengan
pemeriksaan klinis. Yakni, pemeriksaan terhadap berbagai gejala fisik yang
terdapat pada anak berkelainan fisik. Pemeriksaan dilakukan dengan melihat dan
meraba, meraba dimaksudkan dengan memegang dan menggerakkan bagian-
bagian tubuh tertentu, (Sujarwanto, 2005:41). Pemeriksaan klinis untuk anak
down syndrome sangat dibutuhkan, karena gerakan mereka yang tidak
terkendalikan dan terlihat orang dewasa menjadikan ketidaktahuan adakah yang
berkelainan di fisiknya. Dan juga sebagai pengkontrolan motorik halus mereka.
Sebagai antisipasi perkembangan mereka tidak sesuai diakibatkan semisal tangan
mereka yang terkena sesuatu.
B. Perkembangan Motorik Pada Anak
Pada usia sekolah, perkembangan motorik anak lebih halus, lebih sempurna,
dan terkoordinasi dengan baik, seiring dengan bertambahnya berat dan kekuatan
badan anak. Anak-anak terlihat sudah mampu mengontrol dan mengoordinasikan
gerakan anggota tubuhnya seperti menggerakkan tangan dan kaki dengan baik.
Otot-otot tangan dan kakinya sudah mulai kuat, sehingga berbagai aktivitas fisik
seperti menendang, melompat, melempar, menangkap dan berlari dapat dilakukan
secara lebih akurat dan cepat. Di samping itu, anak juga semakin mampu menjaga
keseimbangan badannya. Penguasaan badan, seperti membongkok melakukan
bermacam-macam latihan senam serta aktivitas olah raga berkembang pesat.
Mereka juga mulai memperlihatkan gerakan-gerakan yang kompleks, rumit, dan
cepat, yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan yang bermutu bagus
atau memainkan instrumen musik tertentu. Untuk memperhalus keterampilan-
keterampilan motorik mereka anak-anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik.
Aktivitas fisik ini dilakukan dalam bentuk permainan yang kadang-kadang
bersifat informal, permainan yang diatur sendiri oleh anak, seperti permainan
umpet-umpetan, dimana anak menggunakan keterampilan motornya, disamping
itu, anak-anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang
bersifat formal, seperti olahraga senam, berenang, atau permainan hok.
Tahap Perkembangan Belajar Anak Sekolah Dasar Tahap perkembangan
tingkah laku belajar siswa usia sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh aspek dari
dalam dirinya dan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kedua hal tersebut tidak
mungkin dipisahkan karena memang proses belajar terjadi dalam konteks
interaksi diri siswa dengan lingkungannya. Dari interaksi itu kemudian terbentuk
suatu kebiasaan baik yang akan terus dilakukan sebagai upaya dalam pembiasaan
diri. Anak pada usia sekolah dasar (7-11 tahun) berada pada tahapan operasional
konkret. Pada rentang usia ini tingkah laku anak yang tampak yaitu anak mulai
memandang dunia secara objektif, bergeser dari satu situasi ke situasi lain
kemudian anak juga mulai berfikir secara operasional yang dibuktikan dengan
anak tersebut mampu mengklasifikaiskan benda-benda disekitarnya. Dimana juga
dalam fase ini anak sudah pintar memahami konsep substansi, panjang, lebar,
luas, tinggi, rendah, ringan dan berat. Kecendrungan belajar anak usia sekolah
dasar memiliki tiga ciri yaitu konkret, integratif dan hierarkis. Konkret dalam
proses pembelajaran mengandung makna yang dapat dilihat, didengar, dibaui,
diraba dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan lingkungan
sebagai sumber belajar yang dapat dioptimalkan demi mencapai proses dan hasil
belajar yang berkualitas, bermakna dan bernilai. Hakikatnya anak usia sekolah
dasar belum mampu memilah-milih konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini
menunjukkan cara berfikir deduktif yakni dari hal umum menuju hal yang khusus.
C. Perkembangan Motorik Anak Usia Sekolah
Perkembangan motorik merupakan perkembangan pengendalian jasmani
melalui kegiatan pusat syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi. (Aghnaita,
2017) Seorang anak usia 6 tahun yang bangun tubuhnya sesuai untuk usia
tersebut, akan dapat melakukan hal-hal yang lazim dilakukan oleh anak berumur 6
tahun. (Hurlock, 1997) Gerakan-gerakan yang dilakukan oleh anak-anak termasuk
anak sekolah merupakan koordinasi dari beratus-ratus otot yang unik.
Keterampilan motorik dapat dikelompokkan menurut ukuran otot-otot dan bagian
badan yang terkait, yaitu keterampilan motorik kasar dan halus. Motorik kasar
meliputi keterampilan otot-otot besar lengan, kaki, batang tubuh seperti berjalan,
melompat, berlari. (Upton, 2012). Sedangkan keterampilan motorik halus meliputi
otot-otot kecil yang ada diseluruh tubuh, seperti menyentuh, memegang, menulis,
dan menggambar.
Keterampilan motorik bagi anak sekolah merupakan suatu aktivitas yang
menyenangkan, hal ini disebabkan otot-otot mereka mulai menemukan fungsinya
atau berkembang. Sehingga mereka tidak dapat duduk diam dalam waktu lama.
(Murti, 2018) Perkembangan motorik pada anak usia sekolah menurut (Desmita,
2012) yaitu 1) Mulai usia 6 tahun sudah berkembang koordinasi antara mata dan
tangan (visio motoric) yang dibutuhkan untuk membidik, menyepak, melempar,
dan menangkap, 2) Usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat dan anak lebih
menyukai menggunakan pensil daripada krayon untuk melukis, 3) Usia 8 sampai
10 tahun, anak dapat menggunakan tangan secara bebas, mudah, dan tepat.
Koordinasi motorik halus berkembang, sehingga anak dapat menulis dengan
baik, ukuran huruf menjadi lebih kecil dan rata, 3) Usia 10 sampai 12 tahun, anak-
anak mulai memiliki keterampilan keterampilan manipulatif menyerupai
kemampuan orang dewasa. Mereka mulai menampilkan gerakan-gerakan
kompleks, rumit, dan cepat yang diperlukan untuk menghasilkan karya kerajinan
yang berkualitas atau memainkan alat musik tertentu. Perkembangan motorik
yang terlambat berarti perkembangan motorik yang berada di bawah normal umur
anak. Akibatnya pada umur tertentu anak tidak menguasai tugas perkembangan
yang diharapkan oleh kelompok sosialnya. Sebagai contoh anak yang berada di
bawah normal mengalami kesulitan untuk dapat berjalan dan makan sendiri akan
dipandang sebagai anak yang “terbelakang”. Banyak penyebab terlambatnya
perkembangan motorik salah satunya timbul dari kerusakan otak anak pada waktu
lahir atau kondisi pralahir yang tidak menguntungkan atau lingkungan yang tidak
menyenangkan pada permulaan pascalahir. Akan tetapi keterlambatan lebih sering
disebabkan oleh kurangnya kesempatan untuk mempelajari keterampilan motorik,
perlindungan orang tua yang berlebihan atau kurangnya motivasi anak untuk
mempelajari keterampilan motorik. (Hurlock, 1997) Tidak banyak orangtua yang
mengerti bahwa keterampilan motorik kasar dan halus seorang anak perlu dilatih
dan dikembangkan setiap saat dengan berbagai aktivitas.
Pengembangan ini memungkinkan seorang anak melakukan berbagai hal
dengan lebih baik, termasuk di dalamnya pencapaian dalam hal akademis dan
fisik. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan motorik halus. Gerakan
motorik kasar merupakan salah satu kemampuan keterampilan gerak dasar yang
penting untuk perkembangan aspek sosial anak. (Malik, 2014) Motorik kasar
adalah gerakan tubuh yang menggunakan otot - otot besar atau sebagian besar
atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri,
misalnya kemampuan untuk duduk, menendang, berlari dan lainnya, sedangkan
motorik halus adalah gerakan yang menggunakan otot halus atau sebagian
anggota tubuh tertentu yang dipengaruhi oleh kesempatan untuk belajar dan
berlatih, misalnya memindahkan benda dari tangan, mencoret, menyusun,
menggunting, dan menulis.
D. Motorik Kasar
Motorik kasar adalah kemampuan gerak tubuh yang menggunakan otot-otot
besar, sebagian besar atau seluruh anggota tubuh motorik kasar diperlukan agar
anak dapat duduk, menendang, berlari, naik turun tangga dan sebagainya (Sunardi
dan Sunaryo, 2007: 113-114). Perkembangan motorik kasar anak lebih dulu dari
pada motorik halus, misalnya anak akan lebih dulu memegang benda-benda yang
ukuran besar dari pada ukuran yang kecil. Karena anak belum mampu mengontrol
gerakan jari-jari tangannya untuk kemampuan motorik halusnya, seperti meronce,
menggunting dan lain-lain.
Bambang Sujiono (2007: 13) berpendapat bahwa gerakan motorik kasar
adalah kemampuan yang membutuhkan koordinasi sebagian besar bagian tubuh
anak. Gerakan motorik kasar melibatkan aktivitas otot-otot besar seperti otot
tangan, otot kaki dan seluruh tubuh anak. Menurut Endang Rini Sukamti (2007:
72) bahwa aktivitas yang menggunakan otot-otot besar diantaranya gerakan
keterampilan non lokomotor, gerakan lokomotor, dan gerakan manipulatif.
Gerakan non lokomotor adalah aktivitas gerak tanpa memindahkan tubuh ke
tempat lain. Contoh, mendorong, melipat, menarik dan membungkuk. Gerakan
lokomotor adalah aktivitas gerak yang memindahkan tubuh satu ke tempat lain.
Contohnya, berlari, melompat, jalan dan sebagainya, sedangkan gerakan yang
manipulatif adalah aktivitas gerak manipulasi benda. Contohnya, melempar,
menggiring, menangkap, dan menendang. Berdasarkan uraian di atas, dapat
ditegaskan bahwa kegiatan motorik kasar adalah menggerakkan berbagai bagian
tubuh atas perintah otak dan mengatur gerakan badan terhadap macam-macam
pengaruh dari luar dan dalam. Motorik kasar sangat penting dikuasai oleh
seseorang karena bisa melakukan aktivitas sehari-hari, tanpa mempunyai
gerak yang bagus akan ketinggalan dari orang lain, seperti: berlari, melompat,
mendorong, melempar, menangkap, menendang dan lain sebagainya, kegiatan
itu memerlukan dan menggunakan otot-otot besar pada tubuh seseorang. Dengan
demikian yang dimaksud motorik kasar dalam penelitian ini adalah kemampuan
yang membutuhkan koordinasi bagian tubuh anak seperti mata, tangan dan
aktivitas otot kaki, dalam menyeimbangkan badan dan kekuatan kaki pada saat
berjalan di atas papan titian.
1. Perkembangan Motorik Kasar
Perkembangan motorik pada setiap anak mengalami perbedaan, pada anak
yang mengalami perkembangan motoriknya sangat baik seperti yang dialami para
atlet, tetapi ada anak yang mengalami keterbatasan. Selain itu juga dipengaruhi
adanya jenis kelamin. Pengembangan motorik anak pra sekolah yang adalah
bahwa suatu perubahan, baik fisik maupun psikis, sesuai dengan masa
pertumbuhannya, keberadaan perkembangan motorik anak juga dipengaruhi hal
lain di antaranya asupan gizi, status kesehatan dan perlakuan motorik sesuai
dengan masa perkembangan (Depdiknas, 2008: 6). Kegiatan dalam
pengembangan fisik motorik lebih membuat anak enjoy karena lebih banyak
kegiatan bermainnya. Seperti halnya pendapat David Elkind (Soemiarti
Padmonodewo, 2003: 15) menyatakan bahwa anak-anak membutuhkan dukungan
yang kuat untuk bermain dan kegiatan yang dipilih sendiri dengan tujuan untuk
bertahan dalam stres yang ada sekarang dalam lingkungan anak. Bambang
Sujiono (2007: 11) berpandapat bahwa gerakan motorik kasar adalah kemampuan
yang membutuhkan koordinasi sebagian besar bagian tubuh anak. Gerakan
motorik kasar melibatkan aktivitas otot-otot besar seperti otot tangan, otot kaki
dan seluruh tubuh anak. Perkembangan motorik kasar anak lebih dulu dari pada
motorik halus, misalnya anak akan lebih dulu memegang benda-benda yang
ukuran besar daripada ukuran yang kecil. Karena anak belum mampu mengontrol
gerakan jari-jari tangannya untuk kemampuan motorik halusnya, seperti meronce,
menggunting dan lain-lain.
Endang Rini Sukamti (2007: 72) menyatakan bahwa aktivitas yang
menggunakan otot-otot besar di antaranya gerakan keterampilan non lokomotor,
gerakan lokomotor, dan gerakan manipulatif. Gerakan non
lokomotor adalah aktivitas gerak tanpa memindahkan tubuh ke tempat lain.
Contoh, mendorong, melipat, menarik dan membungkuk. Gerakan lokomotor
adalah aktivitas gerak yang memindahkan tubuh satu ke tempat lain. Contohnya,
berlari, melompat, jalan dan sebagainya. Sedangkan gerakan yang manipulatif
adalah aktivitas gerak manipulasi benda. Contohnya, melempar, menggiring,
menangkap, dan menendang.Pengembangan motorik anak memerlukan
koordinasi antara otot-otot untuk keterampilan gerakannya, misalnya meloncat
dalam ketinggian + 20 cm perlu kekuatan dan konsentrasi yang baik. Gerakan
motorik kasar membutuhkan aktivitas otot tangan, kaki dan seluruh tubuh anak.
Ada
beberapa kegiatan yang dapat mengembangkan gerakan motorik anak.
Misalnya aktivitas berjalan di atas papan tititan, melompat tali, senam, renang dan
sebagainya. Hal tersebut selain dapat membuat senang anak juga dapat melatih
anak untuk percaya diri.
E. Motorik Halus
Dalam (Suyadi, 2010:67) adalah perkembangan jasmaniah melalui kegiatan
saraf pusat, urat saraf, dan otot yang terkoordinasi. Gerak tersebut berasal dari
perkembangan refleks dan kegiatan yang telah ada sejak lahir. Sehingga motorik
merupakan suatu proses pergerakan yang konsisten atau sesuai dengan
perkembangan sejak anak dilahirkan. Secara fitrahnya anak yang lahir memiliki
keistimewaan untuk melakukan koordinasi inderanya.
Semakin baiknya gerakan motorik halus membuat anak dapat berkreasi,
seperti menggunting kertas dengan hasil guntuingan yang lurus, menggambar
gambar sederhana dan mewarnai, menggunakan klip untuk menyatukan dua
lembar kertas, menjahit, menganyam kertas serta menajamkan pensil dengan
rautan pensil. Namun, tidak semua anak memiliki kematangan untuk menguasai
kemampuan ini pada tahap yang sama, Lolita Indraswari (1:3).
Menurut Susanto (2011:164) dalam Lolita (1:2-3) motorik halus adalah
gerakan halus yang melibatkan bagian-bagian tertentu saja yang dilakukan oleh
otot-otot kecil saja, karena tidak memerlukan tenaga. Namun begitu gerakan yang
halus ini memerlukan koordinasi yang cermat. Gerakan halus yang dilakukan
adalah untuk mencapai kecakapan kegiatan sehari-hari, sehingga anak tidak
bergantung kepada orang lain, semisal gerakan makan, minum, mandi.
1. Perkembangan Motorik Halus
Perkembangan motorik berarti perkembangan pengendalian gerakan
jasmaniah melalui kegiatan syaraf, urat syaraf, dan otot yang terkoordinasi.
Pengendalian tersebut berasal dari perkembangan refleksi dan kegiatan massa
yang ada pada waktu lahir. Sebelum perkembangan tersebut terjadi, anak akan
tetap tidak berdaya, (Hurlock,150).
Perkembangan gerakan secara jasmaniah ini akan berpengaruh terhadap
fisik anak, sebagaimana yang diungkap oleh Desmita (129), perkembangan fisik
pada masa anak-anak ditandai dengan berkembangnya keterampilan motorik, baik
kasar maupun halus.
Setelah berumur 5 tahun, terjadi perkembangan yang besar dalam
pengendalian koordinasi yang lebih baik yang melibatkan kelompok otot lebih
kecil yang digunakan untuk menggenggam, melempar, menangkap bola, menulis,
dan menggunakan alat (Hurlock,150). Senada dengan (Janice J. Beaty, 2013:236),
menyebutkan perkembangan motorik halus melibatkan otot-otot halus yang
mengendalikan tangan dan kaki.
Sebaiknya memberikan perhatian lebih kepada kontrol, koordinasi, dan
ketangkasan dalam menggunakan tangan dan jemari. Sebanding juga dengan yang
diberikan (Suyadi, 2010:69), bahwa perkembangan gerak motorik halus adalah
meningkatnya pengoordinasian gerak tubuh yang melibatkan otor dan saraf yang
jauh lebih kecil atau detail. Kelompok otot dan saraf ini yang mampu
mengembangkan gerak motorik halus, seperti meremas kertas, menyobek,
menggambar, menulis, dan lain sebagainya. Kesimpulannya perkembangan gerak
motorik halus adalah perpaduan antara otot dan syaraf yang terkoordinasi,
terkontrol, dan tangkas dalam gerak jemari dan tangannya.
Hurlock dalam (Suyadi dan Maulidya Ulfah, 2013:49-50) mengemukakan
prinsip-prinsip perkembangan anak sebagaimana berikut:
1. Perkembangan berimplikasi pada perubahan, tetapi perubahan belum tentu
termasuk dalam kategori perkembangan karena perkembangan adalah realisasi
diri atau pencapaian kemampuan bawaan.
2. Perkembangan awal lebih penting atau lebih kritis daripada perkembangan
selanjutnya karena perkembangan awal menjadi Kemampuan motorik merupakan
kualitas hasil gerak individu dalam melakukan gerak, baik gerakan non-olahraga
maupun gerak dalam olahraga atau kematangan penampilan ketrampilan motorik.
Kualitas hasil gerak merupakan kemampuan (ability) gerak seseorang dalam
melakukan tugas gerak, (Sukintaka, 2004).
Menurut Amri dalam Christiana (2012:188), anak laki-laki umumnya lebih
unggul dalam keterampilan yang berkaitan dengan throwing dan striking,
sedangkan anak perempuan pada keterampilan seperti skipping, galloping, dan
hoping. Sehingga keterampilan motorik halus berdasar jenis mengalami
perbedaan. Anak laki-laki yang lebih dominan pada pelemparan dan gerakan kaki.
Sedangkan pada anak perempuan pada lompat tali dan gerakan lain yang hanya
membutuhkan bantuan diri bukan pada alat yang dilemparkan/dilepaskan.
BAB III
METODE PENELITIAN
B. Kriteria eksklusi
Kriteria dalam eksklusi dalam penelitian ini:
1. Artikel penelitian yang memakai bahasa selain bahasa indonesia dan inggris
2. Artikel yang membahas penelitian yang berbeda dengan yang ingin diteliti
C. Data jurnal
Sumber data dalam literatur riview ini diperoleh dari database elektronik
yaitu google schoolar dan pubmed dari tahun 2015-2020. Artikel memakai
bahasa indonesia dan inggris, artikel fulltext dan abstrak di review, untuk
memilih studi sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Kriteria inklusi dalam
review adalah penelitian yang meneliti tentang pengaruh terapi okupasi dalam
meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia sekolah.
Bagan 1. Proses literatur review
15 artikel untuk
literatur review
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Setelah dilakukan seleksi berdasarkan kriteria inklusi didapatkan 15 artikel yang dipilih
untuk di review ini diterbitkan antara 2016 sampai 2021. Artikel yang direview menggunakan
penelitian kualitatif dilakukan diberbagai daerah di Indonesia dan di negara lain. Masing-masing
dari 15 artikel dipilih untuk dibaca dengan cermat dari abstrak, tujuan, data analisis secara
lengkap dan diteliti setiap jurnal untuk mengevaluasi apakah masalah yang didiskusikan sesuai
dengan yang hendak dipecahkan dalam suatu jurnal.
Pada beberapa jurnal dipilih berdasarkan kriteria inklusi yang ditetapkan oleh peneliti.
Penulis terlebih dahulu mengidentifikasi setiap jurnal dalam bentuk ringkasan secara singkat
berupa tabel yang berisi nama penulis, tahun penulis, negara, tujuan, sampel, desain, prosedur,
hasil dan database seperti yang dijelaskan pada tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1
Daftar Literature Riview Jurnal
“Pengaruh terapi okupasi dalam meningkatkan kemampuan motorik pada anak usia
sekolah”
B. Pembahasan
Setiap anak diharapkan tumbuh dan berkembang secara optimal baik fisik, mental,
maupun sosial sesuai dengan bertambahnya usia. Tercapainya tumbuh kembang yang
optimal tersebut tergantung pada potensi biologiknya, yang merupakan hasil interaksi
berbagai faktor yang saling berkaitan yaitu faktor genetik, lingkungan, bio-psiko-sosial dan
perilaku .
Istilah anak berkelainan mental dalam beberapa referensi disebut dengan retardasi
mental. Menurut World Health Organization (WHO 1990), retardasi mental adalah
kemampuan mental yang tidak mencukupi. Sedangkan definisi yang dikemukakan oleh
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM, 1994), retardasi mental
merupakan gangguan yang ditandai oleh fungsi intelektual yang berfungsi secara bermakna
dibawah rata-rata (Intelligence Quotient (IQ) kira-kira 70 atau lebih rendah) yang bermula
sebelum usia 18 tahun disertai defisit atau hendaya fungsi adaptif.
WHO memperkirakan jumlah anak dengan disabilitas adalah sekitar 7-10% dari total
populasi anak. Amerika 3% dari penduduknya mengalami keterbelakangan mental,
sedangkan di negara Belanda sekitar 2,6% dan di Asia penyandang retardasi mental sekitar
± 3%. Di Indonesia, menurut data Badan Pusat Statistik Nasional tahun 2007, terdapat 8,3
juta jiwa anak dengan disabilitas dari total populasi anak di Indonesia (82.840.600 jiwa
anak), atau sekitar 10%. Berdasarkan Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS)
tahun 2011, retardasi mental 30.460 anak dan mantan penderita gangguan jiwa 2.257 anak
(Kemenkes, 2014).
Penelitan yang dilakukan Eni Fitriana (2017) tentang tentang penggunaan terapi okupasi
dengan teknik kolase terhadap kemampuan motorik halus anak autis di SLB PGRI
Plosoklaten Kediri. Dalam menganalisis data penelitian menggunakan rumus statistik non
parametrik dengan menggunakan rumus uji tanda (sign test) karena datanyabersifat
kuantitatif yaitu dalam bentuk bilangan atau angka dan jumlah subyek peneitiannya kecil,
yakni kurang dari 30 orang. Perhitungan rumus uji tanda diperoleh Zh = 2,05 lebih besar
dari nilai kritis Z tabel 5 % yaitu 1, 64 sehingga hipotesis kerja yang menyatakan bahwa
ada pengaruh terapi okupasi dengan teknik kolase terhadap kemampuan motorik halus anak
autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri diterima dan Ho ditolak. Dapat disimpulkan bahwa
terapi okupasi dengan teknik kolase berpengaruh rerhadap kemampuan motorik halus anak
autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri.
Berdasarkan Penelitian Gita Ayu Meista Tika (2018) Berdasarkan hasil analisis data
yang dilakukan, melihat masalah mengamati dan melakukan wawancara secara mendalam
tentang efektivitas program terapi okupasi bagi penyanyandang tunadaksa di Yayasan
Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Medan ditarik kesimpulan yaitu suatu program dapat
dikatakan efektif jika telah memenuhi indikator-indikator keberhasilan efektivitas. Peneliti
menggunakan indikator efektivitas menurut Sutrisno (2010:125-126) yaitu: 1. Pemahaman
Program Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
keluarga atau pengasuh penyandang tunadaksa yang mengikuti terapi okupasi di YPAC
Medan tidak memahami atau mengetahui program terapi okupasi tersebut. Hal itu dilihat
dari, tiga orang keluarga/pengasuh penyandang tunadaksa dua orang informan diantaranya
tidak mengetahui tujuan dari terapi okupasi tersebut. 2. Ketepatan Sasaran Berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa anak dari ketiga
informan utama tersebut yakni penyandang tunadaksa merupakan sasaran dari terapi
okupasi. Hal itu dilihat dari ketiga penyandang tunadaksa tersebut membutuhkan latihan
koordinasi gerakan, motorik halus, dan latihan-latihan okupasional lainnya. Ketiga
penyandang tunadaksa juga merupakan anak usia sekolah. Dimana YPAC hanya
menerima klien yang usia sekolah. Jadi mereka sesuai dengan ketentuan dari YPAC
Medan. 3. Ketepatan Waktu Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa penyandang tunadaksa yang mengikuti terapi okupasi sesuai dengan
jadwal yang telah ditentukan dari yayasan. Hal itu dilihat dari hasil wawancara yang
menyebutkan bahwa mereka datang terapi sesuai hari dan jam yang telah ditentukan, dan
juga ketika mereka datang terapis sudah ada didalam ruangan menunggu klien. 4.
Pencapaian Tujuan Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa pencapaian tujuan yang telah direncanakan belum tercapai. Hal ini
dilihat dari hasil wawancara, pada informan utama I dan III merasa bahwa tujuan tersebut
belum tercapai. Sedangkan dari informan utama II sudah tercapai tujuannya. Jadi
pencapaian tujuan dari terapi okupasi ini belum tercapai. 5. Perubahan Nyata Berdasarkan
analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa program terapi okupasi
ini belum memberikan hasil nyata pada penyandang tunadaksa. Meskipun ada hasil nyata
yang tidak sesuai dengan tujuan okupasi tersebut tetapi masih ada perubahan lain yang
didapatkan diluar dari perubahan yang mengarah ke okupasi tersebut. Hal ini dilihat dari
Agnes yang sudah ada perubahan meskipun bukan perubahan yang berkaitan dengan
okupasi. Perubahan yang dialaminya adalah sudah dapat membaca dua suku kata. Untuk
Salwa sudah mengalami perubahan sesuai dengan tujuan terapi okupasi. Perubahan yang
dialami Salwa adalah Salwa sekarang sudah dapat memegang pensil, menulis, berjalan
dengan memegang dinding dan juga bersosialisasi. Untuk Aldila, tidak ada mengalami
perubahan selama mengikuti kegiatan terapi okupasi. Jadi disimpulkan bahwa terapi
okupasi ini tidak memberikan perubahan okupasional terhadap penyandang tunadaksa yang
mengikuti terapi.
Berdasarkan penelitian Suyadi, Wina Calista, Deska Puspita, (2018) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perkembangan fisik-motorik siswa yang tidak tercapai disebabkan
karena siswa mengalami kelainan genetik (down syndrome) . Down syndrome adalah
kelainan genetik yang disebabkan kerena kelebihan kromosom 21 atau trisomy 21 yang
menyebabkan keterbatasan fisik, motorik, serta intelektual, dan sering terjadi dengan
insidensi 1:1000 kelahiran yang salah satunya berakibat lemahnya otot pada salah satu
tangan sehingga siswa sulit melakukan gerakan seperti menulis, menggambar serta aktifitas
sehari-hari. Pembelajaran didalam kelas disesuaikan dengan minat belajar siswa. Adapun
tujuan utama dalam pembelajaran untuk anak-anak yang memiliki perkembangan fisik
motorik yang tidak tercapai (down syndrome ) yaitu melatih kemandirian anak dan
interaksi sosial dalam lingkungan sekitar.
Berdasarkan penelitian Aldo Yuliano Darwin Efendi, Yendrizal Jafri (2018) Rata-rata
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi sebelum diberikan tindakan terapi okupasi (pre-test) adalah 60,27. Rata-rata
kemampuan kognitif anak autisme usia sekolah di SLB Autisma Permata Bunda Kota
Bukittinggi setelah diberikan tindakan terapi okupasi (post-test) adalah 64,73. Terdapat
perbedaan yang signifikan dengan pvalue =0,001 (α=0,05) dengan kata lain Pemberian
terapi okupasi: kognitif (mengingat gambar) efektif meningkatkan kemampuan Kognitif
pada anak autisme usia sekolah di SLB Permata Bunda Bukittinggi Tahun 2017.
DAFTAR PUSTAKA
Ellah Siti Chalidah. 2005 Terapi Permainan: Bagi Anak yang Memerlukan Layanan
Pendidikan Khusus. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan
Ketenagakerjaan Perguruan Tinggi.
Eni Fitriana, Wiwik Widajati. 200?. Terapi Okupasi dengan Teknik Kolase
Terhadap Kemampuan Motorik Halus Anak Autis di SLB PGRI Plosoklaten Kediri.
Skripsi diterbitkan.
Evi Hasmita, Tri Riska Hidayati. Terapi Okupasi: Perkembangan Motorik Halus
Anak AUtisme. (Online). Vol. 20, No. 27. Jurnal Ipteks Terapan.
Siti Samiwasi Wiryadi. 2014. Pola Asuh Orang tua dalam Upaya Pembentukan
Kemandirian Anak Down Syndrome X Kelas D1/C1 di SLB Negeri 2 Padang. (Online).
Vol. 3. No. 3, diakses pada 27 September 2017 Pukul 14:45 WIB