Disusun Oleh :
Rafaelino Pandu Iswardhana
21418015
Manusia dapat diartikan berbeda – beda dari segi sosial. Mereka menggunakan akal budi
dan perasaan dalam bertindak. Mereka bertindak secara bebas dan hal tersebut seringkali
disalahgunakan dalam hal mencukupi kebutuhan dengan cara yang tidak seharusnya. Salah
satunya dengan cara melakukan tindak pidana korupsi. Tindak pidana ini sering terjadi
dikarenakan sudah menjadi suatu hal yang biasa dan sangat menguntungkan tetapi bersifat
temporary/ sementara. Manusia seringkali mentafsirkan kenikmatan yang bersifat
menguntungkan tetapi hanya untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan situasi orang lain. Mereka
bertindak individu dan tindakan tersebut juga berhubungan dengan nilai-nilai moral manusia itu
sendiri, dimana ia melakukan sesuatu hal menurut hati nurani yang mereka percaya dan
dilakukan secara sadar. Hal-hal tersebut yang harus dijadikan suatu pedoman kepada tiap
manusia untuk bisa memilah mana yang baik dan buruk dalam bertindak sesuatu.
Kata Kunci :
Korupsi di Indonesia sejatinya sudah mengakar dengan kuat. Bahkan sebelum kata
‘korupsi’ atau KKN, korupsi sudah hidup dan membumi di Indonesia. Kasus – kasus korupsi
sudah menyusup masuk di zaman – zaman kerajaan seperti Singasari, Majapahit, hingga Demak.
Korupsi lah yang akhirnya membuat kerajaan yang besar tersebut menjadi hancur. Motif nya pun
juga sama. Memperkaya diri sendiri dan yang pastinya ingin mendapatkan kekuasaan yang
setinggi – tingginya.
Ada dua faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal terdiri dari sifat tamak dan gaya hidup yang konsumtif. Faktor
eksternal terdiri dari faktor politik, faktor hukum, dan faktor ekonomi. Faktor- faktor tersebut lah
yang seringkali terjadi.
Kasus korupsi anggota DPRD Malang dari tahun 2015 membuat sebagian besar
masyarakat mengecam perbuatan mereka dan hal tersebut sangat memprihatinkan karena sebagai
wakil rakyat seharusnya mensejahterakan rakyatnya, bukan malah mensengsarakan rakyatnya
sendiri demi kenikmatan dan ketamakan diri sendiri. Ini adalah salah satu bentuk
ketidaknyamanan yang sangat merugikan yang dialami bangsa ini khususnya warga Malang.
PEMBAHASAN
‘Korupsi berjamaah’ adalah istilah yang sangat umum kita dengar pada setiap kasus yang
berkaitan dengan penyelewengan uang negara. Modusnya pun beragam, namun benang
merahnya tetaplah sama. Tidak ada contoh lain yang paling konkret selain kasus yang terjadi
di kota Malang, Jawa Timur, baru – baru ini. Dari 45 anggota DPRD Kota Malang, 40
diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi oleh pihak KPK.
Sebanyak 18 orang ditetapkan sebagai tersangka pada Maret tahun lalu dan sudah menjalani
siding pembacaan surat dakwaan.
Hal tersebut bermula dari pembahasan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD-P)
Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015. KPK telah sigap dan menyelidiki kasus ini sejak
Agustus 2017. Bau busuk pejabat Malang terendus pada 6 Juli 2015, sebelum rapat
paripurna. Pada 13 Juli 2015, Arief menerima uang yang telah dijanjikan berjumlah Rp700
juta. Uang tersebut diantar suruhannya yang katanya berasal dari kontraktor di Dinas
PUPBB. Setelah uang diterima, Arief menunda rapat DPRD yang saat itu sedang membahas
APBD-P yang sedianya diselenggarakan pada 14 Juli 2015 jadi 22 Juli 2015. Dari uang
Rp700 Juta itu, Rp 100 jutanya diambil Arief, sisanya dibungkus dalam kardus dan dibagikan
ke anggota DPRD. Wakil ketua DPRD dan Ketua Fraksi mendapat jatah Rp 15 juta,
sementara anggota biasa Rp 12,5 juta.
Akhirnya, pada 22 Juli 2015, DPRD Kota Malang menyetujui APBD-P yang telah
diatur sedemikian rupa dan dituangkan dalam keputusan DPRD Kota Malang Nomor
188/4/48/35.73.201/2015. Keputusan ini jadi dasar penerbitan Perda Kota Malang Nomor 6
Tahun 2015 tentang perubahan APBD Tahun Anggaran 2015. Arief dan para anggota dewan
lain senang. Begitu pula dengan para eksekutifnya, setidaknya sampai KPK melakukan
sejumlah pemeriksaan dan satu persatu membuktikan peran mereka menyelewengkan uang
Negara.
1.2. Menurut nilai Eudaemonisme
Eudaemonisme kemudian merupakan suatu gagasan yang lebih luas dari pada
sebuah kebahagiaan karena peristiwa/kejadian buruk yang tidak dapat berkontribusi
terhadap pengalaman kebahagiaan seseorang memang sangat mempengaruhi nilai
eudaemonisme seseorang. Eudaemonisme sering diterjemahkan yakni sebagai
“kebahagiaan”, tapi itu agak menyesatkan. Karena dalam filsafat Yunani, Eudaemonisme
ini ialah mencapai kondisi terbaik bagi manusia, di dalam banyak hal, tidak hanya melulu
soal kebahagiaan, tetapi juga kebajikan, moralitas, serta kehidupan yang bermakna. Hal
tersebut merupakan tujuan akhir dari filsafat.
Kenyataan atau juga realitas inilah yang saat ini masih terjadi pada bangsa kita,
bahwa rakyat hidup dalam realitas ketidakbahagiaan akibat dari kelaparan, kemiskinan,
kekurangan perhatian pemerintah yang seharusnya berfungsi untuk mensejahterakan dan
membantu rakyatnya, malah menjadikan situasi dan kondisi tersebut menjadi semakin
memburuk. Sehingga hal tersebut dapat disimpulkan bahwa aliran eudaemonisme ini
lebih mengedepankan kepentingan individual (pribadi) atau juga kelompok tertentu
daripada kepentingan bersama
Jadi, jika kita adalah orang tua, kita harus unggul dalam membesarkan anak –
anak kita; jika kita seorang dokter, kita harus unggul dalam menyembuhkan orang; dan
jika kita seorang DPRD, kita harus unggul dalam mensejahterakan rakyat. Setiap orang
memainkan banyak peran dalam setiap kehidupan, dan dengan unggul dalam semua
peran itulah seseorang mencapai nilai Eudaemonisme.
Hati nurani yang berarti kesadaran moral yang tumbuh dan berkembang dalam
setiap hati manusia. Hati nurani dapat berperan sebelum suatu tindakan dibuat. Hati
nurani akan menyuruh kalau perbuatan itu baik dan melarang kalau perbuatan itu buruk.
Ia dapat berperan pada saat dan setelah suatu tindakan dibuat.
Hidup manusia pun juga tidak mengalir begitu saja, melainkan juga dibentuk oleh
banyak sekali faktor seperti lingkungan, tradisi, peraturan, dan relasi. Ada dua hal tentang
hati nurani sesat yang vincible (dapat diatasi) dan culpable (dapat dipersalahkan).
Tanggung jawab perbuatan buruk/jahatnya tergantung si pelaku. Kesesatan yang culpable
adalah kesesatan mengenai apa yang harus diketahui oleh seorang pribadi yang
semestinya dia tahu bahwa kesesatan itu mengalir dari kelalaian, kesembronoan, dan
keegoisan pada pihak si pelaku.
Seharusnya si pelaku tahu bahwa apa yang dia lakukan itu salah, tetapi ia masih
saja melakukan hal tersebut karena ia berfikir bahwa hal yang ia lakukan tersebut sudah
menjadi sebuah kebiasaan di dalam dirinya sehingga ia melakukannya tanpa mengetahui
bahwa hal tersebut sesat dan merugikan banyak orang.
Karena mengikuti hati nurani sesat adalah suatu tindakan yang salah. Selagi masih
ada waktu untuk mempertimbangkan disaat kita melakukan sesuatu, hendaknya kita
menyadari bahwa hati nurani yang sesat akan mengacu kepada hal yang buruk nantinya.
Memang suatu hal yang bersifat sesat itu enak, tetapi kebanyakan manusia melakukannya
dengan cara yang tidak sewajarnya sehingga menimbulkan efek yang buruk pada
akhirnya.
Dalam kasus ini termasuk sebagai kesesatan yang culpable yang dimana mereka
tahu bahwa hal yang dilakukan tersebut salah, dan dengan kata lain tentang apa yang
semestinya mereka tahu, tetapi mereka tidak mau tahu atau membiarkan diri tidak tahu
bahwa diri mereka jelas bersalah mengambil hak orang lain dalam hal APBD-P.
Kesesatan yang vincible pun juga menjadi pokok permasalahan dari sebelum
melakukan tindak korupsi tersebut. Mereka tentunya juga dapat berpikir bahwa semua
orang memiliki hak akan sesuatu. Dalam kasus ini, para pelaku pada saat itu dapat
mengoreksi kesalahan mereka dengan cara tidak mau menerima uang suap tersebut yang
di distribusikan kepada tiap – tiap anggota. Paling sedikit memiliki kecurigaan –
kecurigaan tertentu bahwa yang sedang mereka lakukan pada saat itu adalah tindakan
yang menyalahi tugas dan aturan sebagai wakil rakyat.
Tetapi jika kemungkinan tersebut ternyata tidak ada pada saat mereka menerima
uang tersebut tanpa memikirkan konsekuensinya, maka hal tersebut menjadi kesesatan
yang invincible sesuai dengan tindakan yang dilakukannya.
Ada pula anggota yang tidak terpengaruh oleh anggota lain karena mungkin
mereka yang pada saat itu diberi uang suap oleh atasan mempertimbangkan hal tersebut
dan memikirkan konsekuensi jika mereka mau dan menerima uang suap tersebut. Mereka
mengoreksi kesalahan yang mereka lakukan dan berusaha untuk tidak ikut campur dalam
urusan yang akan menjerumuskan mereka ke hal yang buruk.
Tentu saja dengan mempertimbangkan sesuatu harus dilakukan dengan cara sadar
dengan pikiran yang jernih dan masuk akal. Karena dengan mereka tidak menerima uang
tersebut, posisi mereka sebagai wakil rakyat tidak terancam serta dapat menjadi contoh
yang baik dimata masyarakat. Berarti para anggota yang tidak terkena kasus tersebut
memiliki integritas yang tinggi dalam membangun kehidupan secara bersama tanpa
mementingkan diri sendiri
Hal tersebut juga patut di apresiasi karena dengan menghindarkan diri dari hal
yang buruk sebagai wakil rakyat yang berperan penting dalam kelangsungan
perekonomian di Indonesia, mereka yang tidak terlibat menjunjung tinggi nilai
Eudaemonisme dalam hidup bersama dan bernegara untuk mencapai ‘kebahagiaan’
bersama tanpa adanya rasa egoisme dan individualitas yang tinggi demi ‘kenikmatan’
bersama sebagai sesama manusia.
PENUTUP
Begitu juga hati nurani yang juga menjadi salah satu faktor bagi manusia untuk
mendapatkan suatu hal yang kita inginkan dengan bertindak semestinya dan mematuhi peraturan
yang ada berdasarkan hati nurani yang baik dan tidak sesat. Hati nurani sesat memang seringkali
terjadi dan terlintas di dalam benak pikiran kita sebagai manusia. Tetapi selebihnya tergantung
dari kita bagaimana menyikapi dan mengontrol hati nurani kita supaya kita selalu berada di jalan
yang seharusnya, dan juga tidak terjerumus ke hal yang tidak baik.
Dari kedua hal tersebut dalam kehidupan bermasyarakat yaitu nilai Eudaemonisme
dengan Hati nurani sesat, kita harus lebih waspada dan berhati – hati serta berpikir secara jernih
dengan cara mengetahui sesuatu apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau tidak. Dan lebih
berpegang teguh terhadap kebaikan karena kebahagiaan tidak datang dengan cara yang singkat,
tetapi dari keteguhan hati untuk melakukan hal yang benar lah kebahagiaan tersebut akan datang.
Maka dari itu, sebagai umat manusia kita sebaiknya menjadikan Nilai Eudaemonisme
sebagai acuan untuk hidup tanpa mementingkan diri sendiri, tetapi orang lain di sekitar kita
karena pada dasarnya manusia diciptakan untuk saling melengkapi, bukan untuk saling
mementingkan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
https://tirto.id/asal-usul-kasus-suap-yang-menjerat-40-anggota-dprd-kota-malang-cWPq
https://regional.kompas.com/read/2018/09/04/15100021/kasus-korupsi-massal-di-dprd-kota-
malang-ini-sejumlah-faktanya?page=all
https://pendidikan.co.id/pengertian-eudaemonisme-dampak-macam-ciri-dan-contohnya/
https://id.wikipedia.org/wiki/Hati_nurani
Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan Bisnis dengan Studi
Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40.
Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan Bisnis dengan Studi
Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40.
Dewantara, A. W. (2013). Merefleksikan Hubungan antara Etika Aristotelian dan Bisnis dengan Studi
Kasus Lumpur Lapindo. Arete, 2(1), 23-40.