Anda di halaman 1dari 9

Nama : Dinda Maylinda Suhendra

NPM : 2106783854
Program Studi : Hukum Ekonomi Pagi

UAS ASURANSI
1.1. Jika ditinjau dari jenis asuransi dilihat dari aspek indemnitas, jenis polis asuransi
apakah yang menjamin mobil Mr. John, dan jelaskan pengertian jenis asuransi tersebut!

Jawaban:
Ada dua macam polis asuransi jika dilihat dari aspek indemnitas, yaitu Indemnity
Insurance dan Non Indemnity Insurance.

Indemnity Insurance adalah asuransi di mana penanggung setuju untuk membayar


hanya ketika tertanggung menderita kerugian jenis tertentu, dan hanya untuk jumlah
kerugian. Contohnya adalah asuransi properti, uang, kendaraan bermotor, kelautan dan
penerbangan.

Non-Indemnity Insurance adalah asuransi yang mana apabila suatu kerugian terjadi,
tidak dapat dilakukan perhitungan lagi, sebab kerugian tidak dapat digantikan dengan
uang. Contohnya asuransi jiwa, yang mana nyawa seseorang yang sudah meninggal
tidak dapat diperhitungkan dengan uang.

Polis asuransi yang menjamin mobil Mr. John adalah merupakan polis asuransi
kendaraan bermotor, yang termasuk ke dalam kategori Indemnity Insurance. Namun,
Mr John juga menambahkan jaminan meninggal dunia bagi penumpang, yang mana hal
ini masuk ke dalam kategori non-indemnity insurance.

1.2. Apa saja kewajiban perusahaan asuransi untuk membayarkan klaim kepada ahli waris
(Isteri dan anak-anak Mr. John), dan sebutkan jumlah klaim yang wajib dibayarkan!

Jawaban:
Perusahaan Asuransi wajib untuk membayarkan klaim atas mobil Mr. John yang telah
rusak berat dan terbakar serta klaim atas meninggalnya Mr. John yang menjadi
pengemudi mobil tersebut. Berdasarkan polis pertanggungan yang dibuat antara
Perusahaan Asuransi dan Mr. John, mobil Mr. John tersebut diasuransikan dengan
harga pertanggungan sebesar Rp600.000.000,00 dan juga ditambah risiko meninggal
dunia bagi penumpang dan pengemudi sebesar Rp40.000.000,00 untuk masing-masing
penumpang dan pengemudi yang ada di dalam mobil tersebut dengan ketentuan jumlah
maksimal empat orang. Dalam hal ini mobil Mr. John dikatakan rusak berat dan
terbakar, maka diasumsikan mobil tersebut sudah tidak dapat digunakan kembali. Maka
perusahaan asuransi harus mengganti kerugian atas mobil tersebut secara menyeluruh
(total loss) dengan jumlah sebesar harga mobil tersebut di tahun 2022 ini. Jadi
perusahaan asuransi tidak serta merta memberikan uang pertanggungan sebesar
Rp600.000.000,00 ke ahli waris, melainkan senilai harga untuk mobil tersebut di tahun
2022, jadi tidak langsung dilihat dari apa yang tertulis dalam polis tetapi nilai kerugian
yang sebenarnya. Selain itu karena polis pertanggungan juga menjamin risiko
meninggal dunia bagi pengemudi maupun penumpang, maka perusahaan asuransi juga
harus membayar sebesar Rp40.000.000,00 atas meninggalnya Mr. John. Jadi jumlah
klaim yang wajib dibayarkan oleh Mr. John adalah sebesar harga mobil Mr. John di
tahun 2022 dan sebesar Rp40.000.000,00 atas meninggalnya Mr. John.

1.3. Apakah dalam peristiwa klaim tersebut berlaku prinsip subrogasi asuransi?

Jawaban:

Prinsip Subrogasi pada intinya menyatakan bahwa penanggung berhak mendapatkan


pembayaran kembali atas ganti rugi yang telah diberikan penanggung kepada kreditur
(principle of subrogation).

Asas subrogasi bagi penanggung meskipun tidak mempengaruhi sah atau tidaknya
perjanjian asuransi, perlu dibahas, karena merupakan salah satu asas perjanjian asuransi
yang selalu ditegakkan pada saat-saat dan keadaan tertentu dalam rangka menerapkan
asas pertama perjanjian asuransi ialah dalam rangka tujuan pemberian ganti rugi ialah
asas indemnitas.

Pasal 284 KUHDagang:

“Seorang penanggung yang telah membayar kerugian sesuatu barang yang


dipertanggungkan, mengantungkan dalam segala hak yang diperolehnya terhadap
orang-orang ketiga berhubungan dengan menerbitkan kerugian tersebut, dan si
tertanggung itu adalah bertanggung jawab untuk setiap perbuatan yang dapat
merugikan hak sipenanggung terhadap orang-orang ketiga itu”.

Asas subrogasi bagi penanggung, seperti diatur pada Pasal 284 KUHDagang tersebut
diatas adalah suatu asas yang merupakan konsekuensi logis dari asas indemnitas.
Mengingat tujuan perjanjian asuransi itu adalah untuk memberi ganti kerugian, maka
tidak adil apabila tertanggung, karena dengan terjadinya suatu peristiwa yang tidak
diharapkan menjadi diuntungkan. Artinya tertanggung di samping sudah mendapat
ganti kerugian dari penanggung masih memperoleh pembayaran lagi dari pihak ketiga
(meskipun ada alasan hak untuk itu).

Subrogasi dalam asuransi adalah subrogasi berdasarkan undang-undang, oleh karena itu
asas subrogasi hanya dapat ditegakan apabila memenuhi dua syarat berikut:

a. Apabila tertanggung di samping mempunyai hak terhadap penanggung masih


mempunyai hak-hak terhadap pihak ketiga.
b. Hak tersebut timbul, karena terjadinya suatu kerugian. Pada umumnya asas
subrogasi ini secara tegas diatur pula sebagai syarat polis, dengan perumusan
sebagai berikut:
- Sesuai dengan Pasal 284 KUHD, setelah pembayaran ganti rugi atas harta
benda yang dipertanggungkan dalam polis ini, maka penanggung menggantikan
tertanggung dalam segala hak yang diperolehnya terhadap pihak ketiga
sehubungan dengan ganti kerugian tersebut. Subrogasi pada ayat tersebut diatas
berlaku dengan sendirinya tanpa memerlukan sesuatu surat kuasa khusus dari
tertanggung.
- Tertanggung tetap bertanggung jawab merugikan hak penanggung terhadap
pihak ketiga. Jadi pada perjanjian asuransi, asas subrogasi dilaksanakan baik
berdasarkan undang-undang maupun berdasarkan perjanjian.
- Polis sebagai dokumen perjanjian asuransi Pada dasarnya setiap perjanjian pasti
membutuhkan adanya suatu dokumen. Setiap dokumen secara umum
mempunyai arti sangat penting karena berfungsi sebagai alat bukti. Arti
pentingnya dokumen sebagai alat bukti tidak hanya bagi para pihak saja, tetapi
juga bagi pihak ketiga yang mempunyai hubungan langsung atau tidak
langsung dengan perjanjian yang bersangkutan. 

Dalam kasus ini, maka prinsip subrogasi berlaku. Apabila dikaitkan dengan kasus
tersebut maka meskipun Mr. John telah meninggal, tetap terdapat hak sebagaimana
tercantum pada polis pertanggungan berupa hak untuk melakukan klaim terhadap
Perusahaan asuransi sebesar Rp600.000.000,00 untuk mobil yang rusak berat dan
terbakar serta klaim asuransi risiko meninggal dunia bagi supir sebesar
Rp40.000.000,00. Dalam hal ini, yang dapat mengajukan klaim adalah ahli waris, atau
apabila ahli waris belum memenuhi syarat untuk mengajukan klaim, maka yang
mengajukan klaim adalah istri dari Mr. John. Berdasarkan Prinsip Subrogasi, maka
pengajuan klaim sebagaimana dimaksud ditujukan kepada perusahaan asuransi. Dalam
hal ini, perusahaan asuransi akan melakukan pembayaran sejumlah kerugian yang
dialami. Kemudian, setelah membayarkan klaim tersebut maka perusahaan asuransi
kemudian akan meminta pembayaran kembali atas ganti kerugian yang diberikan
terhadap keluarga Mr. John kepada supir truk yang dalam hal ini adalah orang yang
bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa tersebut atau kepada perusahaan dimana
supir truk tersebut bekerja.

1.4. Jelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya prinsip kontribusi berlaku dalam
perjanjian asuransi

Jawaban:
Dalam asuransi, tertanggung diperbolehkan mengasuransikan obyek asuransi kepada
lebih dari satu orang penanggung.1 Tetapi apabila tertanggung menutup asuransi untuk
obyek yang sama kepada lebih dari seorang penanggung dan terhadap risiko yang sama
pula maka akan terjadi double insurance. Ketika terjadi double insurance tersebut,
maka masing-masing penanggung menurut imbangan dari jumlah mereka
menandatangani polis, hanya berhak mengganti sejumlah kerugian itu saja.2 Hal seperti
demikian bertujuan untuk menghindari upaya mencari untung dari tertanggung dengan
adanya double insurance.

Pengertian dari prinsip kontribusi adalah sebagai berikut:3


“The right of an insurer to call upon others similarly, but not necessarily equally,
liable to the same insured to share the cost of an indemnity payment” 

Maksud dari pengertian kontribusi adalah hak penanggung untuk memanggil atau
mengikutsertakan penanggung lain yang tidak selalu sama, sesuai dengan kewajiban
1
Arus Akbar, Wirawan, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal. 137.
2
M.Suparman dan Endang, Hukum Asuransi Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha
Perasuransian,(Bandung: Alumni), 1993, hal. 55.
3
David Ransom, Insurance Legal and Regulatory, London: CII, 2009, hal. 8/3
atau tanggung jawab masing-masing pihak terhadap tertanggung untuk membagi biaya
pembayaran ganti rugi.

Adapun syarat-syarat kontribusi dalam praktik dan sesuai hukum Inggris adalah sebagai
berikut:4
(i) Two or more policies of indemnity.
Terdapat dua atau lebih polis asuransi indemnitas.
(ii) Each insures the subject matter of the loss / a common interest.
Setiap polis asuransi menjamin obyek yang sama yang mengalami kerugian /
setiap polis tersebut menutup suatu kepentingan yang sama.
(iii) Each insures the perils which bring about the loss / a common perils.
Setiap polis asuransi menjamin risiko yang menyebabkan terjadinya kerugian /
setiap polis tersebut menutup suatu bahaya yang sama.
(iv) Each ensures the same interest in the subject matter.
Setiap polis asuransi menjamin kepentingan (insurable interest) yang sama,
tertanggung yang sama.
(v) Each policy is liable for the loss
Setiap polis asuransi bertanggung jawab atas kerugian yang diderita
tertanggung.
(vi) Neither policy must contain a non-contribution clause.
Polis asuransi tidak boleh mengandung klausul non-kontribusi.

1.5. Apakah Prinsip Kontribusi berlaku untuk jenis asuransi contingency?

Jawaban:
Terkait Prinsip Kontribusi mengacu pada ketentuan Pasal 278 KUHD yang mengatur
bahwa:

“Bila pada satu polis saja, meskipun pada hari yang berlainan oleh berbagai
penanggung dipertanggungkan lebih dari nilainya, mereka bersama-sama, menurut
perimbangan jumlah yang mereka tanda tangani, hanya memikul nilai sebenarnya
yang dipertanggungkan. Ketentuan itu juga berlaku, bila pada hari yang sama,
terhadap satu benda yang sama diadakan berbagai pertanggungan.”
 
Berdasarkan ketentuan Pasal diatas, Prinsip Kontribusi terjadi apabila terjadi jaminan
asuransi Harta Benda oleh lebih dari 1 (satu) Perusahaan Asuransi yang masing-masing
mengeluarkan Polis Asuransi dengan Harga Pertanggungan yang sama sebesar
Nilai/Harga Benda yang menjadi obyek pertanggungan, Perusahaan Asuransi hanya
wajib membayarkan ganti rugi secara Pro Rata sesuai dengan tanggung jawab menurut
perbandingan yang seimbang.
 
Sedangkan Asuransi Contingency adalah suatu jenis asuransi yang melindungi
tertanggung dari risiko yang biasanya tidak ditanggung oleh perusahaan asuransi. Jenis
asuransi ini berangkat dari kata “contingency” yang berarti potensi terjadinya peristiwa
berdampak buruk di masa depan. Asuransi Contingency merupakan Asuransi Non-
Indemnitas seperti asuransi jiwa. Apabila terjadi suatu kerugian yang timbul akibat

4
Ibid.,hal. 3/2.
risiko yang ditanggung, Tertanggung akan mendapatkan pembayaran klaim sejumlah
kerugian yang diderita, tidak bisa lebih maupun kurang. Tertanggung tidak mungkin
mendapatkan penggantian kerugian dari masing-masing Perusahaan Asuransi secara
penuh, sehingga melampaui kerugian yang sebenarnya hal ini melanggar pelaksanaan
Prinsip Indemnity. Dengan demikian, maka Prinsip Kontribusi tidak dapat berlaku
untuk Asuransi Contingency dikarenakan Prinsip Kontribusi hanya berlaku bagi jenis
asuransi yang menerapkan Prinsip Indemnitas sedangkan Asuransi Contingency bersifat
Non-Indemnitas.

2. Jelaskan mengapa/apa:
(1) Undang-Undang Perasuransian No. 40/2014 mengatur yang dapat mengajukan
permohonan pailit ke Pengadilan Niaga adalah Otoritas Jasa Keuangan.

Jawaban:
Pada dasarnya OJK sebagai lembaga yang mengawasi kegiatan di sektor
perasuransian berfungsi untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
berkelanjutan dan stabil serta dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap
industri asuransi. Dalam lingkup pengawasan di sektor perasuransian, OJK
mempunyai kewenangan dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap
Perusahaan Asuransi dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis asuransi. 

Dibentuknya lembaga baru, yaitu OJK melalui UU OJK dilatarbelakangi oleh


dinamika kegiatan di bidang industri keuangan yang meliputi lembaga keuangan bank
dan bukan bank (pasar modal, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian, asuransi, reasuransi, dana pensiun dan lembaga
keuangan lainnya). Khusus untuk sektor perasuransian, tugas dan wewenang yang
sebelumnya ada pada Menteri Keuangan dalam hal pengaturan dan pengawasan
kegiatan jasa non bank, maka otomatis beralih kepada OJK. 

Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) UU OJK yang berbunyi: 
“Sejak tanggal 21 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan
pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana
Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari
Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuagan ke
OJK.” 

Berdasarkan substansi pasal tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat peralihan dalam
fungsi, tugas dan wewenang pengaturan serta pengawasan di beberapa sektor jasa
keuangan khususnya Perasuransian yang sebelumnya ada pada Menteri keuangan
kemudian beralih kepada OJK. Pasal 55 UU OJK tersebut sekaligus menjadi sebuah
“pasal Jembatan” bagi OJK untuk menjalankan fungsi, tugas dan wewenang
pengaturan dan pengawasan pada sektor jasa perasuransian yang telah beralih dari
Menteri Keuangan kepada OJK. Maka berlakunya OJK merupakan dampak dari
kewenangan pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diatur dalam UUK PKPU
yang sebelumnya ada pada Menteri Keuangan kini beralih kepada OJK. 
 
Adapun permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh OJK karena hal ini
dinyatakan kembali secara tegas berdasarkan UUK PKPU yang menyebutkan bahwa
kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula
dilakukan oleh Menteri Keuangan beralih menjadi kewenangan OJK.
 
Yang mana kedudukan OJK dalam perkara kepailitan yaitu mewakili kreditor yang
penunjukkannya berdasarkan surat kuasa khusus dari Dewan Komisioner OJK yang
kemudian dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan Niaga
dalam lingkup kedudukan hukum dari debitor berdomisili.

(2) Dampaknya jika ketentuan tersebut pada nomor (1) tidak ada diatur dalam Undang-
Undang Perasuransian No. 40/2014?

Jawaban:

3. Jelaskan paling sedikit 3 (tiga) hal yang wajib diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam
menjalankan tugasnya dalam mengawasi perusahaan asuransi.

Jawaban:

Secara umum, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) berfungsi menyelenggarakan sistem


pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam
sektor jasa keuangan. Berdasarkan Pasal 6 Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang
Otoritas Jasa Keuangan (UU OJK), adapun sektor yang menjadi ruang lingkup tugas
pengaturan dan pengawasan tersebut meliputi:

- Kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;


- Kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal; dan
- Kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan,
dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya.

Salah satu sektor yang menjadi ruang lingkup fungsi pengaturan dan pengawasan OJK
adalah Perasuransian. Selain berdasarkan Pasal 6 UU OJK, dasar hukum pengaturan dan
pengawasan OJK terhadap kegiatan Usaha Perasuransian diatur lebih lanjut dalam Pasal
57 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (UU
Perasuransian). Pada Pasal 60 ayat (2) UU Perasuransian, diatur bahwa dalam
menjalankan fungsi pengawasan terhadap perusahaan asuransi, OJK memiliki wewenang
yang meliputi:

- Menyetujui, menolak, atau mencabut izin Usaha Perasuransian;


- Menyetujui, menolak atau membatalkan pernyataan pendaftaran bagi pihak-pihak
(konsultan aktuaria, akuntan publik, penilai, atau pihak lain) yang memberi jasa
kepada Perusahaan Perasuransian;
- Mewajibkan Perusahaan Perasuransian untuk menyampaikan laporan secara berkala
dan melakukan pemeriksaan, baik terhadap Perusahaan Perasuransian maupun pihak-
pihak lainnya yang sedang atau pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan jasa
kepada Perusahaan Perasuransian;
- Menetapkan, menyetujui, atau mencabut persetujuan suatu Pihak menjadi Pengendali
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah;
- Mewajibkan suatu Pihak untuk berhenti menjadi Pengendali dari Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan
Reasuransi Syariah;
- Melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan terhadap direksi, dewan komisaris,
atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau Usaha Bersama;
- Menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan
komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama dan/ atau dewan
pengawas syariah;
- Memberi perintah tertulis kepada:

(a) Pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai hal tertentu, atas biaya
Perusahaan Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
(b) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau
Perusahaan Reasuransi Syariah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh
portofolio pertanggungannya kepada Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, Perusahaan Reasuransi, atau Perusahaan Reasuransi Syariah lain;
(c) Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau tidak melakukan hal-hal tertentu
guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
perasuransian;
(d) Perusahaan Perasuransian untuk memperbaiki atau menyempurnakan sistem
pengendalian intern untuk mengidentifikasi serta menghindari pemanfaatan
Perusahaan Perasuransian untuk kejahatan keuangan;
(e) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah untuk menghentikan
pemasaran produk asuransi tertentu; dan
(f) Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan seseorang dari jabatan atau posisi
tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati
jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak
memenuhi kualifikasi tertentu, tidak berpengalaman, atau melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perasuransian.

- Mengenakan sanksi;
- Melaksanakan kewenangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Hal pertama yang wajib diawasi oleh OJK adalah terkait perizinan Perusahaan
Perasuransian. Berdasarkan Pasal 8 UU Perasuransian, diatur beberapa hal yang harus
dipenuhi oleh setiap orang untuk mendapatkan izin usaha. Hal ini menjadi penting
karena apabila sebuah perusahaan asuransi tidak memiliki izin usaha, maka dapat
dikatakan bahwa usaha yang dijalankan adalah illegal. Hal ini tentu saja dapat
menimbulkan kerugian bagi para pemegang polis yang telah melakukan penutupan
pada perusahaan illegal tersebut. Apabila terdapat perusahaan perasuransian yang tetap
menjalankan usahanya meskipun tidak memiliki izin, maka berdasarkan Pasal 73 ayat
(1) dapat dikenakan sanksi berupa pidana penjara dan denda.

Selanjutnya, yang wajib diawasi oleh OJK adalah terkait kompetensi Direksi, Dewan
Komisaris, atau yang setara dengan Direksi & Dewan Komisaris. Hal ini tentu saja
wajib diawasi karena apabila organ-organ perusahaan tersebut tidak berkompeten,
dapat menimbulkan kerugian bagi para nasabahnya. Hal ini seperti pada kasus Asuransi
Jiwa Bersama Bumiputera 1912 (AJBB 1912), dimana banyak sekali klaim asuransi
yang macet akibat organ-organ perusahaan yang tidak berkompeten. Dalam hal ini, para
organ tersebut terlibat dalam beberapa kasus tindak pidana seperti korupsi yang
mengakibatkan kerugian pada AJBB 1912 sehingga perusahaan tersebut sulit untuk
melakukan pencairan klaim terhadap nasabahnya.

Hal berikutnya yang wajib diawasi oleh OJK adalah terkait kondisi Kesehatan finansial
dari perusahaan asuransi. Hal ini wajib diawasi karena berkaitan dengan kegiatan usaha
perusahaan perasuransian yang tergolong dalam Lembaga Keuangan Non-Bank. Tentu
saja, apabila kondisi finansial suatu perusahaan perasuransian tidak sehat dapat
berdampak pada tidak berjalannya prestasi-prestasi yang dijanjikan pada polis asuransi,
yang dalam hal ini adalah hak bagi pemegang polis asuransi. Sama halnya seperti yang
sudah disampaikan pada paragraf sebelumnya, apabila kondisi Kesehatan finansial
perusahaan asuransi tidak sehat, maka dapat berdampak pada pemegang polis yang
menjadi tertanggung. Tentu para pemegang polis akan mengalami kerugian dalam hal
klaim yang dilakukan tidak dibayarkan oleh perusahaan asuransi akibat kondisi
Kesehatan finansial yang tidak baik.

4. Jelaskan bagaimana ketentuan kepemilikan pihak asing dalam perusahaan asuransi


patungan di Indonesia?

Jawaban:
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan
Asing Pada Perusahaan Asuransi (PP 14/2018) menyebutkan bahwa kepemilikan asing
pada perusahaan perasuransian oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan melalui
transaksi di bursa efek. 
 
Kemudian, Pasal 3 ayat (2) PP 14/2018 menjelaskan bahwa kepemilikan asing pada
perusahaan perasuransian oleh badan hukum asing dapat dilakukan melalui tiga cara,
yaitu:
a. Penyertaan langsung pada perusahaan perasuransian;
b. Transaksi di bursa efek atas perusahaan perasuransian; dan/atau
c. Penyertaan pada badan hukum Indonesia yang memiliki perusahaan perasuransian
melalui penyertaan langsung atau melalui transaksi di bursa efek.

Dalam Pasal 5 ayat (1) PP 14/2018, kepemilikan asing dalam perusahaan perasuransian
dilarang melebihi 80% dari modal disetor Perusahaan Perasuransian. Namun, batasan
kepemilikan asing tersebut tidak berlaku bagi perusahaan perasuransian yang merupakan
perseroan terbuka sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) PP 14/2018. Dalam hal ini yang
dimaksud kepemilikan asing pada perusahaan perasuransian dilarang melebihi 80% yaitu
dihitung secara kumulatif untuk semua cara kepemilikan. Terbitnya peraturan pemerintah
ini pada saat itu karena adanya kekhawatiran akan dominasi asing di industri asuransi.
 
Kemudian, Pasal 6 ayat (1) PP No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2018 tentang Kepemilikan Asing pada Perusahaan Asuransi
(PP 3/2020) menyebutkan bahwa, dalam hal Kepemilikan Asing pada Perusahaan
Perasuransian yang bukan merupakan perseroan terbuka telah melampaui 80% (delapan
puluh persen) pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Perusahaan Perasuransian tersebut dikecualikan dari batasan Kepemilikan Asing
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1); dan
b. Perusahaan Perasuransian tersebut dilarang menambah persentase Kepemilikan Asing.
 
Selanjutnya, Pasal 6 ayat (2) PP 3/2020 menjelaskan bahwa dalam hal Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan penambahan modal
disetor, persentase Kepemilikan Asing setelah penambahan modal disetor dilarang
melebihi persentase Kepemilikan Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Anda mungkin juga menyukai