Anda di halaman 1dari 8

BAB IX

PSIKOLOGI PASAR DAN TEORI PERILAKU KEUANGAN (BEHAVIORAL


FINANCE)

A. Psikologi Pasar

Analisa psikologi Pasar Modal adalah analisa tingkah laku dan proses mental dari pelaku
pasar. Analisa ini menfokuskan pada pola pergerakan harga yang diakibatkan oleh perilaku
investor, setiap saham memiliki karakteristik perilaku pergerakan, hal tersebut sesuai dengan
tingkah laku dan proses mental dari mayoritas investor saham tersebut.

Dicontohkan saham Indofood Sukses Makmur, Tbk (INDF) memiliki perilaku devensif,
industri makanan dan minuman selalu dibutuhkan oleh masyarakat dan laku di setiap kondisi,
sehingga mayoritas investor berprilaku devensif tentunya investor yang memiliki perilaku
agresif tidak akan menginvestasikan dananya kepada saham ini, karena saham ini tidak bisa
memberikan keuntungan dalam waktu singkat.

Karakter investor berdasarkan waktu investasi jangka panjang dan jangka pendek
"trading", Investor ada yang Domestik perorangan dan domestik institusi, investor asing
"foreign" perorangan dan investor asing "forein" institusi, selain itu investor juga melakukan
investasi berdasarkan segmen industri, segmen kapitalisasi pasar dan juga melakukan
investasi berdasarkan alat analisa investasi khususnya teknikal analisis. Dari jenis investor,
jenis waktu investasi dan jenis analisa yang digunakan investor akan menciptakan karakter
pergerakan harga saham.

Analisa investasi baik analisa fundamental maupun analisa teknikal tidak ubahnya
sebagai alat semata, seperti ketika kita bermain musik, alat musik dan kunci nada adalah alat,
untuk menjadi musik yang merdu dan enak didengar dibutuhkan kemampuan seseorang untuk
memainkannya. Investasi juga tidak ubahnya seperti bermain musik diperlukan kemampuan
untuk menggunakan analisa fundamental dan teknikal sehingga inves tor bisa menghasilkan
keuntungan, untuk itu diperlukan setrategi investasi "trading" saham diantaranya adalah:

1. Trading plan dikatakan mutlak dalam investasi saham, investor harus memiliki planning
dalam melakukan investasi meliputi saham dengan segmen usaha apa yang mau dibeli,
harga saham kisaran berapa, dan juga diharga berapa kita melakukan pembelian dan
seberapa jauh kerugian yang patut ditoleransi ketika analisa yang di gunakan tidak tepat
dalam memprediksi, sehinga segalanya sudah ter-planning dengan baik.

2. Mengikuti arah Pergerakan harga "Trend" dalam membeli atau menginvestasikan


dana kita sebaiknya memperhatikan pola arah pergerakan harga saham bisa diketahui
dengan menggunakan teknikal analisis dalam mengetahui pola pergerakan harga saham,
ketika investor melakukan investasi berlawanan dengan tren akan memerlukan kejelihan
untuk mendapatkan keuntungan, namun ketika tepat dalam menentukan tren harga saham
investor akan lebih mudah mendapatkan keuntungan, walaupun terjadi penurunan
investasi jika trand up yang terjadi maka harga saham masih kecenderungan naik. Dan
jika mengetahui tren penurunan "Down trend" investor bisa tidak mengambil posisi atau
jika memang sudah melakukan investasi maka akan bisa menentukan posisi untuk
melepas saham di harga yang tepat sehingga tidak mengalami kerugian yang signifikan.

3. Manajemen risiko pemanfaatan dana, sering kali investor pemula tidak


memperhatikan manajemen risiko dalam mengolah dana investasinya, hal tersebut bisa
terjadi memang karena dana sangat minim sehingga tidak dapat melakukan deversifikasi
pada portofolio efeknya atau bahkan yang paling fatal adalah memang tidak melakukan
manajemen risiko pada dana investasi, atau investor terlalu percaya diri untuk
memaksimalkan dana investasi pada satu portofolio saham. Hal tersebut tidak
sepenuhnya salah karena di saat tertentu di perlukan memanfaatkan dana penuh di
portofolio yang di anggap menguntungkan sehingga hasil maksimal, tentunya hal tersebut
di lakukan dengan pertimbangan yang matang dengan trading pland yang tepat.

4. Tidak Over trading, over trading terjadi biasanya pada invetor yang melakukan
investasi jangka pendek "trading", dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang
maksimal, maka investor melakukan trading secara terus menerus dengan mengalihkan
dana portofolio dengan cepat. Justru jika hal tersebut dilakukan secara terus menerus
akan mengakibatkan over trading, kadang kerugian bukan karena salah dalam
menggunakan analisa akan tetapi kerugian terjadi karena biaya tranding mahal. Biaya
tranding "fee" di bayarkan setiap melakukan transaksi baik transaksi beli atau jual dengan
terlalu seringnya melakukan pengalihan portofolio, biaya "fee" yang harus dibayarkan
berkali-kali sehingga jika ditotal biaya dengan keuntungan bisa jadi lebih besar dari
biaya, atau pun jika memperoleh keuntungan tidak maksimal karena dipotong oleh biaya
yang besar.

5. Menerima Kerugian, kerugian adalah sesuatu yang sangat di hindari oleh investor
namun hal tersebut justru terjadi kerugian yang fatal dikarenakan investor sangat
menghindari kerugian, misalnya investor mengalami kerugian dikarenakan salah salam
memilih saham dengan trand yang turun "down trend" dikarenakan investor sangat
menghindari kerugian maka investor tersebut tidak mau menjual dengan rugi "cute loss",
Karena down trend maka saham yang suda terlanjur dibeli Mengalami penurunan terus-
menerus, maka kerugian yang Harusnya bisa diminimalisir akan berubah menjadi
kerugian Yang sangat besar dikarenakan saham mengalami penurunan yang terus-
menerus.

6. Menggunakan analisa sesuai keperluan, setiap investor memiliki pertimbangan


berbeda dan alat yang digunakan juga relatif berbeda, ada yang menggunakan semua
analisa-analisa yang ada atau menggabungkan beberapa analisa, ada juga Yang justru
menggunakan analisa yang sangat sederhana.

B. Teori Perilaku Keuangan (Behavioral Finance)

Sebelum membahas tentang perilaku keuangan, penulis ada sebuah yang perlu kita
renungkan dalam perilaku investasi atau perilaku kita dalam menggunakan sumber daya
keuangan kita. Apakah kita dalam menggunakan sumber daya keuangan kita selalu realistis?
Apakah kita membeli sesuatu selalu dikarenakan karena kebutuhan kita? Atau karena
keinginan kita saja? Tanpa kita kadang perlu tahu dan mempertimbangkan apakah kita butuh,
apakah kita di rumah masih punya barang sejenis tapi dengan desain baru, fitur baru kita
berkeinginan menambah koleksi kita, lantas apakah barang tersebut kita gunakan atau jika
kita gunakan pastinya kita akan menyia-nyiakan barang kita yang sebelumnya walaupun kita
tahu bahwa barang tersebut masih berfungsi dengan baik.

Sebagai guyonan ini juga sering sekali terjadi pada kehidupan pribadi kita, kita sudah
mempunyai keluarga yang sempurna, setidaknya menurut orang lain namun di mata kita pasti
ada yang kurang, ketika kita melihat pasangan kita karena sudah hidup bersama lama pastinya
kadang kebosanan muncul, kadang ada keinginan kita untuk memiliki pasangan lain atau
paling tidak mendua dalam istilah lain selingkuh ha..ha.., sebelum ngelantur mari kembali
pada perilaku keuangan.

Sering sekali kita tidak melihat serta menyadari bahwa perilaku keuangan kita sering
sekali menyertakan emosi kita sebagai manusia, sehingga kesalahan-kesalahan konitif
mengenai keputusan tersebut mempengaruhi hasil dari perilaku kita.

Permulaan kemunculan pembahasan behavioral finance dari tulisan Profesor Robert J.


Shiller pengajar di Universitas Yale Amerika di tahun 1981, dalam tulisan berjudul Do stock
price move too much to be justified by subsequent changes in dividens terbit di The American
Economic Review, artikel tersebut membahas bahwa harga saham berfluktuasi lebih tinggi
dari pada fundamentalnya. Dia menunjukkan ketidak efisienan pasar melalui excess volatility
dari tulisannya Stock prices and social dynamics di mana tulisan tersebut dipengaruhi oleh
pemikiran istrinya yang seorang Doktoral Psikologi di Universitas Daleware.

Ritter (2003) dalam pembahasan behavioral finance menyertakan aspek psikologi


sehingga juga membahas tentang kesalahan manusia dari sisi persepsi, kepercayaan diri yang
berlebihan (over confidence), Hauristik dimana adanya ketergantungan yang besar pada
aturan praktis (rule of thumb) dan emosi. Kesalahan ini melanda hampir semua pelaku pasar,
dari investor, analis, pialang bahkan maneger investasi.

Pesan utama dari behavioral finance adalah bukan pada bagaimana mengalahkan pasar,
pemahaman bahwa kita bisa memprediksi pasar dengan tepat merupakan hal yang salah dan
sangat berbahaya. Hal tersebut di karenakan manusia adalah pemproses informasi yang tidak
sempurna, sering mengalami bias pemahaman, ilusi persepsi bahkan eror informasi.
Kesalahan-kesalahan tersebut mengingatkan kita pada risiko yang jauh lebih besar dari
kesalahan analisa fundamental, namun atas kesalahan tersebutlah ternyata akan memberikan
kesempatan pada investor lain untuk memperoleh kentungan. Dari ahli prilaku keuangan
menekankan, bahwa meskipun pelaku pasar selalu belajar namun sangat lambat, sebagai
contoh di akhir 2007 dan awal 2008 harga minyak mengalami peningkatan cukup agresip
walupun negara negara pemproduksi minyak berloma untuk memproduksinya. Hal tesebut
kontras dengan kondisi Amerika di mana pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan,
bahkan di tahun 2007 dilanda krisis subprime mortgage di puncaknya pada semester 2008,
bermula dari sejumlah besar kredit perumahan Subrime Mortgage yang bermasalah di
Amerika. Hal tersebut di picu oleh kebijakan Amerika di mana di tahun 2004 mulai
pemperketat kebijakan moneter, trend peningkatan suku bunga yang dilakukan Bank Sentral
Amerika (The Fed), sehingga mendorong debitur mengalami gagal bayar, cicilan utang
perumahan meningkat, rumah banyak disita oleh bank, sehingga berdampak buruk pada
sektor properti. Dalam memberi pinjaman perumahan perbankan menggunakan dana pihak
ketiga yakni dana bank yang lebih besar, dari gabungan surat-ruat utang (mortgage) bank
kehilangan uang dalam jumlah besar dan tidak mampu membayar utang mereka ke bank
pemberi utang yang menimpa gagal bayar masal (Subrime Morgate) dikutip dari jurnal
(Daniela, 2014).

Pada sisi moneter dikutip dari (Nezky, 2013) di tahun 2007 di bulan Desember rupiah
sempat menguat Rp. 9.118,-/USD dari sebelumnya dari Rp. 9.419,-/USD di tahun November
2008 terdampak krisis keuangan Amerika tersebut melemah sampai Rp. 12.151,-/USD. Di
bursa saham Indonesia setelah Indeks Saham Gabungan (IHSG) di akhir 2007 di tutup di level
2.759, hampir semua analis memprediksi bahwa IHSG akan naik pada level 3.300-3.600 di
tahun 2008. Pada kenyataannya IHSG jatuh pada level 1.100 di mana di akhir tahun ditutup
pada level 1.355 di tahun 2008.

Dari contoh diatas membuktikan bahwa manusia bukan pemproses informasi yang
sempurna, sering mengalami bias informasi, ilusi persepsi bahkan eror. Dari kesalahan
tersebut dapat dibayangkan berapa uang yang dimiliki oleh investor melayang di pasar modal
dengan indeks mengalami penurunan lebih dari setengah dari nilainya. Ternyata dari
kesalahan yang menimbulkan kerugian yang sangat fantastis tersebut memberikan
kesempatan bagi investor lain untuk memperoleh keuntungan yang fantastis pula di mana
IHSG di awal tahun 2018 mencapai level tertinggi pada posisi 6.635. Dalam jurnal yang
ditulis (Sisbintari, 2017) menyimpulkan bahwa behavioral finance bertujuan untuk menjawab
beberapa anomaly pasar yang belum mampu dijawab oleh teori-teori investasi, behavioral
finance mempelajari bagaimana manusia secara aktual berperilaku sebuah keputusan
keuangan, behavioral mempelajari bagimana psikologi mempengaruhi keputusan keuangan
perusahaan dan pasar keuangan, behavioral finance merupakan interdisiplin dari tiga kajian
yaitu psikologi, sosiologi dan keuangan sehingga terlihat jelas tidak menyingkirkan
tradisional finance, namun melengkapi kajian dengan menambah bidang sosiologi dan
psikologi.

Dalam buku Registred Securities Analyst, tim penyunting CSA INSTITUTE pokok
bahasan behavioral finance dituliskan bahwa behavioral finance sebagai aplikasi psikologi
terhadap perilaku keuangan atau perilaku dari praktisi, hal tersebut karena sifat dasar manusia.
Kesalahan satu investor dapat menjadi keuntungan investor lain, tetapi kesalahn investor juga
bisa menjadi resiko investor lain pula. Jika seorang investor mengabaikan kesalahan orang
lain akan melewatkan kesempatan untuk memperoleh keuntungan atau mengabaikan adanya
risiko tambahan buat dirinya. Sehingga investor harus belajar menjadi akademisi dan praktisi
sehingga memiliki pemahaman yang lebih baik atas psikologi investor dari pengalaman
investasinya, pengalaman investor lain, belajar dari kesalahan dirinya dan belajar dari
kesalahan orang lain, mempelajari kesalahan orang lain, mempelajari penyebab kesalahan,
menghindari kesalahan dan juga harus mengetahu isu-isu yang aktual.

Dalam tulisan Frank Cappielo mengingat dua faktor yang melanda investor lain yaitu
kesalahan dan ketakutan. Dalam pandangan psikologi juga menemukan faktor penting lainya,
pertama yang menentukan perilaku pengambilan risiko bukan kesalahan dan ketakutan,
namun harapan dan ketakutan. Kedua khilaf adalah hal yang manusiawi, sehingga mnedorong
seseorang membuat kesalahan yag berulang-ulang.

Dalam perkembangan teori perilaku keuangan dikenal teori prospek (prospect theory)
yang dipelopori oleh Daniel Kahneman dan Amos Tvesky satu-satunya pemenang model
ekonomi di mana teori tersebut memasukkan pronsip-prinsip terdiri dari :

1. Fungsi Nilai (Value Function)


Dalam Daniel Kahneman dan Amos Tvesky menyatakan bahwa prinsip nilai
memandang suatau perolehan (gains) berbeda dengan kehilangan (loss) dimana nilai
kehilangan lebih tinggi daripada jika mendapatkan perolehan sebagai contoh jika
melakukan transaksi saham mengalami keuntungan sejumlah 10 juta rupiah artinya dalam
teori ini seseorang dianggap lebih takut akan rasa sakit.
2. Sudut pandang tergantung pada bingkai (Frame)
Perubahan psikologi mengubah pandangan tentang pasar yang positif menjadi netral
bahkan negaif, media mengubah pandangan. Sebagai contoh media membuat berita
bahwa kepemimpinan Presiden Joko Widodo utang negara terbesar sepanjang sejarah
Indonesia. Dalam artikel tersebut tidak membahas tentang pendapatan negara,
pertumbuhan ekonomi atau elemen lain, sehingga sebagian pelaku pasar terpengaruh atas
hal itu. Sudut pandang mempengaruhi substansi dalam pokok bahasan perilaku juga di
pengaruhi sudut pandang, sehingga bingkai (framing) penting dalam menciptakan sudut
pandang, karena itu berbeda dalam bingkai artinya bentuk juga berbeda sehingga akan
berbeda dalam substansi pula.
Dalam kerangka deskriptif mengenai bingkai, manusia menentukan pilihan jika
menghadapi risiko dan atau ketidak pastian, sebagai bukti jika investor menghadapi
pilihan ketika bereaksi terhadap kerugian. Ketika investor di portofolionya membeli
saham salah satu perusahaan seminal saham XYZ di mana perusahaan tersebut pada
posisi ketidak pastian, investor mengalami kerugaian sejumlah Rp. 7 juta dari atau 7
persen dari nilai portofolio. Investor akan di hadapkan minimal pada dua pilihan, pertama
menerima kerugian tersebut dan merealisasikan kerugian tersebut, dalam sudut pandang
orang lain berarti mengakui atas kesalahan atas investasi yang telah dilakukan. Atau
melihatnya dari sisi potensial loss semata (loss aversion) dengan harapan saham XYZ
akan mengalami kenaikan. Sebagai investor manakah yang akan anda pilih? sebagian
besar orang akan memilih pilihan kedua, karena kita semua membenci kerugian, dalam
kerugian ada rasa sakit dalam diri kira, dan juga karena kita juga tidak mau dikatakan
sebagai investor yang sering merugi bukankah begitu? Dalam pilihan kedua kita di
tempatkan pada posisi ketidak pastian dan pastinya ada pembelaan dalam diri kita, bahwa
pertama kali kita memilih menjadi investor kita juga sudah memilih ketidak pastian itu
sendiri. Itu menjadi pembelaan yang sempurna bagi kita semua investor yang mengalami
situasi tersebut.
Dalam buku panduan pialang, Leroy Gross (1982) sudut pandang loss aversion,
dipandang sebagai penyakit "bias get evenitis" di pandang sebagai yang membawa
kerusakan pada portofolio investor dari pada kesalahan apa pun sehingga pada akhirnya
tidak dapat berkata bahwa ini hanya kerugian di atas kertas dan nantinya akan bisa
kembali pada posisi untung. Posisi bias get evenities juga melanda para eksekutif, sebagai
contoh CEO Apple John Sculley yang meluncurkan produk newton yang di klaim sebagai
personal digital assistant (PDA) yang menggabungkan komputer, komunikasi, dan
hiburan di mana produk tersebut tidak dapat mencatatkan keuntungan pada perusahaan,
sehingga akhirnya John Sculley di ganti dan proyek di gentikan 10 tahun proyek
digulirkan.
3. Sudut Pandang Perhitungan Psikologi (Psychological Accounting)
Psikological accounting adalah perhitungan mental investor di mana dalam membuat
keputusan tidak hanya mem perhitungkan serta menyusun atas pilihan yang ditawarkan
akan tetapi juga memperhitungkan dan menyusun hasil atas akibat dari pilihan tersebut.
Dalam pandangan ini semua pilihan diidentifikasi dicatat di kategorikan sehingga risiko
juga dicatatkan. dalam pandangan psychological accounting setidaknya di kategorikan
4. Sudut Pandang Probabilitas (Probability)
Dalam teori ini menekankan bahwa kecenderungan seseorang membuat keputusan
merupakan fungsi bobot dari keputusannya tersebut, keputusan yang di ambil akan
menciptakan peluang sesuai dengan frekuensi kejadian. Botot yang menjadi perhatian
dalam teori ini menekankan pada situasi yang jauh lebih besar seperti situasi krisis,
wabah, bencana alam dan juga perang. Dalam teori ini menekankan berpandangan bahwa
setiap keputusan yang di ambil dari investor akan menciptakan risiko. Risiko tersebut
justru akan menciptakan peluang buat investor lain dan hal sebaliknya.
5. Sudut pandang efek kepastian (certainty effect)
Sudut pandang teori efek kepastian ini menitik beratkan bahwa keputusan investasi pada
asset yang tidak beresiko lebih di sukai dari pada asset yang berisiko, meskipun
keuntuguan dari asset tersebut kecil, hal tersebut sesuai dengan pandangan investor
konservatif yang menitik beratkan pada kemana dana dari pada keuntungan yang
diperoleh. Sudut pandang ini di pandang tidak produktif jika di lihat dari beberapa sudut
pandang seperti bahwa kepastian dalam berinvestasi itu sebenarnya adalah ketidak
pastian itu sendiri. Pandangan ini di asumsikan bahwa setiap instrumen investasi
memiliki karekteristik risiko masing-masing tidak terkecuali dari yang paling berisiko
sampai yang memiliki risiko kecil, tentunya akan berimbal balik dengan keuntungan yang
di peroleh.
6. Sudut pandang Loss or Regred Aversion
Dalam sudut pandang ini menyatakan bahwa manusia adalah risk averse, akan tetapi
yang sebenarnya justru lebih sesuai sebagai loss averse hal tersebut terbukti saat harga
saham di potofolio yang di miliki mengalami penurunan di bawah harga bell, investor
kedorong untuk menahan dengan harapan harga saham akan naik kembali dan menjadi
untung atau setidaknya kembali pada posisi beli. Dapat dipastikan di portofolio anda
lebih banyak saham rugi daripada saham untung, lebih celaka lagi pada saat market
bearish saham tetap di biarkan menjadi koleksi portofolio dan pada saat market bullish
saham yang mengalami keuntungan sudah di jual untuk melakukan profit taking dan
sayapun kadang masih mengalami kondisi sama dan inilah kesalahan utama investor
individu dalam berinvestasi saham, "sell the winners too soon and hold the lasers to long"
menurut Shelfin dan Statman (1985). Implikasi yang di alami investor mengalami banyak
keuntungan kecil (Money small gains) dan sedikit keuntungankeuntung besar (few large
gains), banyak kerugian besar (many large losse) dan sedikit kerugian kecil (few small
losse), guna menghindari hal tersebut saya sarankan mengikuti anjuran gooldberg dan
nitzsch dalam bukunya Behavioral finance (1995) dalam (Frensidi) yaitu tentukan target
harga, dan strategi stop loss untuk setiap pembelian saham, dan tetapkan profit tiga kali
dari maksimum loss yang dapat anda terima.
7. Sudut Pandang Harapan dan Penyesalan
Berinvestasi saham selalu memberikan harapan akan keuntungan yang tinggi terutama
pada investor yang berinvestasi pada saat pasar bullish, sebagian besar saham naik dan
hal tersebut di awal-awal berinvestasi anda saya pastikan mengalami keuntungan karena
lonjakan tinggi harga saham di saat market bullish. Dengan adanya keuntungan-
keuntungan yang anda peroleh akan menciptakan ketidakpuasan akan keunggulan yang
anda dapatkan. Hal tersebut akan menciptakan rasa percaya diri yang berlebihan
(overconfidence) ketika itu terjadi yang terjadi akan menetapkan kisaran atau
intervalyang terlalu sempit, tebakan mereka selalu rendah serta tebakan rendah mereka
selalu tinggi sehingga mengakibatkan lebih sering terkejut dari pada mengantisipasi
pasar. Dari apa yang di lakukan berakibat buruk dan terjadi penyesalan atas keputusan
yang telah diambil, penyesalan pengambilan keputusan jual terlalu tinggi sehingga saham
tidak terjual, penyesalan membeli saham dengan target terlalu rendah dan akhirnya tidak
dapat saham yang telah menjadi incaran, atau keputusan stop loss terlalu tinggi dari harga
pasar saham sehingga mengalami kerugian yang jauh lebih besar. Saran dari (Budi
frensidy, 2009), jangan terlalu sering melihat pergerakan harga saham, melihat pasar
terus menerus akan membuat anda bertransaksi lebih sering yang berakibat tingginya
biaya transaksi dan juga banyak penyesalan yang terjadi.
Dikutip dari (Frensidy, 2010) dalam Majalah Akuntansi Indonesia "Belilah saham dari
perusaan bagus dan hindari saham dari perusahaan jelek" banyak investor salah dalam
memahami dan membedakan antara saham bagus dan perusahaan bagus. Saham bagus
(good stocks) tidak sama dengan perusahaan bagus (good campany), saham bagus
memberikan potensi return besar di masa yang akan datang, sedangkan perusahaan bagus
adalah perusahaan yang dapat memberikan konsistensi return, pertumbuhan return,
ukuran perusahaan besar, membayarkan deviden per tahun, menerapkan good corporate
gavernance, manajemen bermutu, menghasilkan produk atau jasa berkualitas, dan
indikator lain menurut analisa fundamental perusahaan. Banyak sekali investor
mengalami bias persepsi, menganggap bahwa saham bagus adalah saham perusahaan
yang bagus, dalam pemahaman ini saham bagus dianalogikan sebagai seseorang lulusan
dengan indeks prestasi tinggi, saham rendah dianalogikan seseorang lulusan dengan
indeks prestasi rendah. Sedangkan return saham di analogikan sebagai prestasi kerja.
Dengan asumsi tersebut, di harapkan seseorang dengan indeks prestasi tinggi akan
menghasilkan prestasi kerja yang tinggi dan bagus, namun juga seseorang dengan indeks
prestasi rendah juga tidak selalu menghasilkan prestasi kerja yang rendah dan jelek.
Dalam memilih saham tentunya saham perusahaan yang bagus membutuhkan modal
besar untuk menjadikan portofolio kita, saham perusahaan yang belum begitu bagus akan
lebih terjangkau untuk investor pemula, jadi dalam memilih saham sesuaikan dengan
kapasitas keuangan dan pemahaman investor, dalami pemasaran tersebut agar investor
pemula dapat menemukan saham dengan harga terjangkau dan bisa memberikan return
yang optimal.
Dengan asumsi tersebut, buku ini memberikan pandangan ten tang alat analisa yang
dipergunakan dalam menilai saham bagus dengan analisa fundamental, misalnya dengan
membandingkan antara nilai buku perusahaan dengan nilai pasar. Tentunya harus dengan
pertimbangan bahwa perusahaan yang dipilih perusahaan sehat dalam pengelolaan
keuangan dan manajemen keuangannya walaupun belum menunjukkan performa
perusahaan yang bagus, namun perusahaan ke depan tumbuh dan berkembang.

Anda mungkin juga menyukai