Anda di halaman 1dari 6

A.

Alur Pendaftaran Tanah Di Indonesia

Pendaftaran tanah di Indonesia yang ditegaskan mulai tanggal 24 September


1960 berdasarkan ketentuan Pasal 19 UUPA bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum dan kepastian hak atas tanah. Pelaksanaannya diatur dalam PP No. 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang sejak tanggal 8 Oktober 1997 disempurnakan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Sistem publikasinya negatif, tetapi bukan negatif yang murni, melainkan apa
yang disebut sistem negatif yang mengandung unsur positif. Sistem publikasi dalam
penyelenggaraan pendaftaran tanah mempermasalahkan sejauhmana orang boleh
mempercayai kebenaran data yang disajikan oleh Negara sebagai hasil kegiatan
pendaftaran tanah yang dilaksanakan. Apa akibat hukumnya, karena orang dalam
melakukan perbuatan hukum dengan tanah yang sudah terdaftar itu menggunakan data
tersebut dan kemudian ternyata data itu terbukti tidak benar.

Bahwa pendaftaran tanah yang diselenggarakan sistem publikasinya negatif


yang bertendensi positif sebagaimana dijelaskan dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf
c yang menyatakan bahwa pendaftaran meliputi pemberian surat-surat tanda bukti hak
yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Dan dalam Pasal 23, 32 dan 38 juga
dinyatakan, bahwa pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat, pernyataan
yang demikian tidak akan terdapat dalam peraturan pendaftaran tanah dengan sistem
publikasi negatif yang murni.

Selain itu pendaftaran dengan sistem publikasi negatif yang murni menggunakan
apa yang dikenal sebagai sistem pendaftaran akta (registration of deeds). Dalam sistem
ini selain sumber data yuridis bidang tanah yang didaftar, akta juga merupakan bentuk
penyajian dan tanda bukti haknya. Pendaftaran tanah yang diselenggarakan menurut
PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997, sebagaimana halnya pendaftaran
dengan sistem publikasi positif, menggunakan apa yang disebut sistem pendaftaran
hak (registration of titles). Akta hanya merupakan sumber data yuridis, tetapi tidak
merupakan bentuk penyajian dan tanda bukti haknya. Pembuktiannya dilakukan dalam
bentuk dokumen yang disebut buku tanah (register), dokumen tanda buktinya berupa
sertipikat (certificate of title), yang menurut PP No. 10 Tahun 1961 jo PP No. 24 Tahun
1997, terdiri atas salinan buku tanah dan surat ukur yang dijilid menjadi satu dalam
suatu sampul dokumen. Dalam surat ukur (plan) dimuat data fisik bidang tanah yang
didaftar. Tetapi biarpun demikian sistem publikasinya bukan sistem positif

Sistem publikasi yang digunakan dalam pendaftaran tanah di Indonesia


berdasarkan PP No. 24 tahun 1997 adalah sistem negatif bertendens positif.
Pengertian sistem negatif bahwa keterangan-keterangan yang ada pada sertifikat/
buku tanah jika tidak benar dapat diubah, oleh karena itu setiap orang yang
merasa berhak mempunyai peluang untuk mengajukan gugatan ke pengadilan
menuntut haknya sepanjang mampu membuktikan sebaliknya sesuai hukum
pembuktian.Hal itu hanya bisa dilakukan sebelum 5 tahun pasca terbitnya sertipikat.
Sedangkan bertendensi positif berarti adanya peran aktif dari pelaksanaan
pendaftaran tanah. Pola pelaksanaan (petugas) tersebut harus mengadakan
penelitian terhadap riwayat bidang tanah dengan teliti. Sehingga untuk pendaftaran
tanah diperluakan pengumuman yang cukup lama (30 hari untuk pendaftaran tanah
secara sistematik dan 60 hari untuk pendaftaran tanah secara sporadik, agar
memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk memberikan sanggahan.
Hal ini ditempuh untuk mencegah timbulnya kekeliruan dan mendapatkan
keadaan yang sesuai dengan yang sebenarnya.
Selain itu, jika sudah berlangsung 5 tahun sejak terbitnya sertipikat secara sah atas
nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan etikad
baik dan secara nyata menguasainya maka pemegang sertipikat tidak dapat diganggu
gugat ( pasal 32 ayat 2 PP No. 24 tahun 1997). Ketentuan pasal 32 ayat 2 PP No. 24
Tahun 1997 itu adalah refleksi diakomodirnya konsep lembaga “rechtsverwerking” yang
dikenal dalam hukum tanah adat yaitu lampaunya waktu sebagai sebab
kehilangan hak atas tanah, kalau tanah yang bersangkuatan dalam waktu yang
lama tidak diusahakan oleh pemegang haknya dan dikuasai pihak lain melalui peralihan
hak dengan etikat baik.

2. Alur Pendaftaran Tanah Di Belanda

Awalnya, Belanda mengenal pendaftaran tanah pajak (fiscal cadastre), karena


pernah dijajah Perancis. Di negaranya, Napoleon Bonaparte memperkenalkan suatu
pendaftaran para pemilik tanah guna membayar pajak tanah yang diperlukan untuk
pembiayaan angkatan perang. Saat menjajah Belanda, Napoleon mengangkat
keponakannya yaitu Lodewijk Napoleon sebagai Raja Belanda, yang mengintrodusir
“Requille Methodique” dan disinilah pertama kali dipergunakan daftar nama pemilik
tanah, daftar lokasi tanah, daftar pembayaran pajak (yang kemudian dinamakan:
verponding). Belanda kemudian merdeka dan dengan dalih berdagang mencari
rempahrempah ke Indonesia dengan perusahaan dagangnya VOC, yang kemudian
dinyatakan bangkrut dan diganti dengan pemerintah Belanda yang kemudian menjajah
Indonesia, dan dengan prinsip concordant menerapkan semua kegiatan di Hindia
Belanda dengan peraturan-peraturan Belanda.
Salah satunya dalam hal ketentuan peralihan hak, yaitu berdasarkan
Overschrijvings ordonanite (Staatsblad 1834 Nomor 27), ditentukan bahwa setiap
perjanjian peralihan hak dibuat di hadapan Notaris, dan terjadi penyerahan nyata
(feitelijke levering), yang disebut Perjanjian obligatoire (Obligatoire overeenkomst)
selanjutnya, didaftarkan dihadapan griffier (panitera pengadilan negeri) yang ditunjuk
oleh Pemerintah sebagai Pegawai Balik Nama (Overschrijvings ambtenarr) dan dibantu
seorang Pegawai Pembantu (Ambtenaar van Bijstand). Demikian juga karena tanah
dianggap sesuatu yang komersial, sehingga kepentingan ekonomi makin menonjol, di
negeri Belanda dibuat suatu Kadaster 8 Bambang Triono. Land Rente & Kadaster
Belanda.
Hukum (Rechts Kadaster) dengan ruang lingkup kerja kantor Kadaster
sebagaimana Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 30 November
1916 No. 48 (S.1916-705), sebagai berikut : a. Pembuatan dan pemeliharaan suatu
kadaster hak dari ibukota-ibukota dan “afeeling” di Hindia Belanda, termasuk “kleine
Nederzettingen”, menurut kepentingan yang dianggap perlu oleh kepala jawatan
kadaster. b. Pengukuran bidang tanah (persil), pemberian surat-surat ukur
(meetbrieven) dengan peta-petanya, diperlukan guna menetapkan hak atas tanah,
pemecahan, penggabungan dan peralihan-peralihan haknya, serta pelepasan hak. c.
Pemberian surat-surat pemberitahuan (landmeterkenissen) untuk peralihan hak. d.
Pemberian informasi, memperbolehkan melihat salinan dan kesimpulan petapeta,
daftar-daftar dan semua arsip kantor kadaster. e. Melaksanakan semua instruksi yang
berkaitan dengan tugas kantor kadaster dan diperintahkan oleh Pemerintah atau
Direktur Kehakiman. f. Penyerahan uang pemasukan yang didapat dari pekerjaan
kadaster dan diserahkan ke kas negara (land kas) setiap bulan. Gubernur Jenderal
Hindia Belanda menetapkan, kapan suatu kadaster hak didirikan disuatu tempat dan
menentukan waktu kapan fungsi-fungsi Gouvernements-landmeter beralih ke kantor
kadaster. Kantor Kadaster awalnya berada di bawah Departemen Keuangan, namun
setelah Kepala Kantor Kadaster diangkat menjadi Pegawai Balik Nama (Overschrijvings
Ambtenaar), berada di bawah Departemen Kehakiman.
Kantor Kadaster melayani publik yang tunduk pada KUHP (orang Eropa, Cina
dan Timur Asing lainnya), dengan mengadakan pendaftaran hak atas tanah yaitu:
Recht van Eigendom9 , Recht van Erfpacht10 , Recht van Opstal11 , Recht van
Gebruik, serta hak yang accesoir pada hak tanah seperti Hipotheek, dan lain-lain,
dengan mencatat status tanah, nama pemilik tanah, luas tanah, diagram letak tanah
(surat ukur) serta nilai tanah berupa verponding kohier. Pada tahun-tahun pertama
penjajahan Belanda, pendaftaran tanah-tanah Eropa diselenggarakan oleh dua instansi
pemerintah, yaitu: a) Instansi yang menyelenggarakan kadaster; dan b) Instansi yang
menyelenggarakan pendaftaran hak. Berhubungan dengan hal tersebut, pembahasan
pendaftaran tanah di Indonesia akan dibagi dalam dua bagian, yaitu perkembangan
penyelenggaraan kadaster dan perkembangan pendaftaran hak.

3. Alur Pendaftaran Tanah Di Australia

Sistem Torrens diperkenalkan oleh Robert torrens yang pertama terjadi di


Australia selatan dan diundangkan pada tahun 1858, yang dalam perkembangannya
diadopsi oleh banyak negara. Pada dasarnya ada dua macam sistem pendaftaran
tanah, yaitu sistem pendaftaran akta (registration of deeds) dan sistem pendaftaran hak
(registration of titles, title dalam arti hak).[2] Sistem pendaftaran tanah
mempermasalahkan: apa yang didaftar, bentuk penyimpanan dan penyajian data
yuridisnya serta bentuk tanda bukti haknya.

Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun sistem pendaftaran hak tiap
pemberian atau menciptakan hak baru serta pemindahan dan pembebanannya dengan
hak lain kemudian, harus dibuktikan dengan suatu akta. Dalam akta tersebut dengan
sendirinya dimuat data yuridisnya tanah yang bersangkutan: perbuatan hukumnya,
haknya, penerima haknya, hak apa yang dibebankan.

Dalam sistem pendaftaran akta. Baik dalam sistem pendaftaran akta maupun
sistem pendaftaran hak, akta merupakan sumber data yuridis akta-akta itulah yang
didaftar oleh Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT). Dalam sistem pendaftaran akta PPT
bersikap pasif. Ia tidak melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta
yang didaftar.

Dasar falsafah sistem torrens dalam pendaftaran tanah adalah menggunakan


sistem pendaftaran hak, dimana setiap penciptaan hak baru dan perbuatan hukum yang
menimbulkan perubahan kemudian harus dibuktikan dalam suatu akta. Dalam
penyelenggaraan pendaftaran sistem torrens bukan aktanya yang didaftar melainkan
haknya yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta hanya
merupakan sumber datanya. Untuk pendaftaran hak dan perubahan-perubahannya
yang terjadi kemudian disediakan suatu daftar isian dan sebagai tanda bukti disediakan
sertifikat yang merupakan salinan register. Selain sertifikat yang bersangkutan maka
dibuat juga duplikatnya. Tujuannya untuk memudahkan pemeriksaan pada waktu
pendaftaran pengalihan hak, sehingga pendaftaran itu dapat dilakukan dengan lancar
dan cepat.

Ketika Torrens menjadi anggota First Colonial Ministry dari propinsi South


Australia. Torrens mengambil inisiatif untuk mengintroduksi pendaftaran tanah yang di
Australia terkenal sebagai Real Property Act nomor 15 Tahun 1857-1858. Sistem ini
kemudian di dunia terkenal dengan Sistem Torrens atau Torrens System. Cita dasar
dari sistem tersebut, bahwa manakala seseorang mengklaim sebagai pemilik fee
simple baik karena undang-undang atau sebab lain harus mengajukan suatu
permohonan agar lahan yang bersangkutan diletakkan atas namanya.

Permohonannya ini kemudian diteliti oleh Barister and Convey ancer yang
terkenal sebagai examiner of title (pemeriksa alas hak), dan berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 disebut Panitia Tanah A/B, atau Panitia Ajudikasi
oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Dari penelitian tersebut maka lahan tersebut akan diuji dan berkesimpulan:

a. Bahwa lahan yang dimohon didaftarkan tersebut baik dan jelas.

b. Bahwa atas permohonan tidak ada sengketa dalam pemilikan tersebut.

c. Bahwa atas permohonannya secara meyakinkan dapat diberikan.

d. Bahwa atas bukti dari alas hak tidak ada orang yang berprasangka dan
berkeberatan terhadap kepemilikan pemohon.

Ada beberapa keuntungan dari sistem Torrens tersebut antara lain:

a. Menetapkan biaya-biaya yang tak dapat diduga sebelumnya.

b. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang.


c. Meniadakan kebanyakan rekaman

d. Secara tegas menyatakan dasar haknya.

e. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat.

f. Meniadakan (hampir tak mungkin) pemalsuan.

h. Tetap memelihara sistem tersebut tanpa menambahkan kepada taksasi yang


menjengkelkan, oleh karena yang memperoleh kemanfaatan dari pada sistem tersebut
yang membayar biaya.

i, Meniadakan alas hak pajak

j, Dia memberikan suatu alas hak yang abadi, oleh karena Negara menjaminnya
tanpa batas.

Di samping itu keuntungan dari sistem ini, maka dapat diambil beberapa hal,
antara lain:

a. dia mengganti kepastian daripada ketidapastian

b. dia shilling dan waktu penyelesaian dari bulanan menjadi harian.

c. dia merubah menjadi singkat dan kejelasan daripada tidak kejelasan dan
bertele-tele (Narcisa Pena 1982-hal 304). 

Anda mungkin juga menyukai