Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS STRUKTURAL SEMIOTIK SAJAK-SAJAK EMHA AINUN

NADJIB DALAM KUMPULAN PUISI 99 UNTUK TUHANKU

Indi Abdillah Rochmatika

121811133041

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut definisi-definisi kumpulan Shanon Ahmad, Pradopo (2005: 6)


mengutip beberapa definisi puisi. Menurut Samuel Taylor Coleridge puisi adalah kata
yang terindah dalam susunan terindah. Sedangkan Carlyle dan Wordsworth
mengemukakan hal yang berbeda, Carlyle berpendapat bahwa puisi adalah hasil hasil
pemikiran yang bersifat musikal. Sementara itu, Wordsworth menyatakan bahwa
puisi merupakan pernyataan imajinatif, yakni perasaan yang diangankan. Dunton
menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran manusia secara konkret dan artistik
dalam bahasa emosional dan berirama. Sehingga dapat disimpulkan oleh Shanon
Ahmad (Pradopo, 2014: 7), yakni puisi itu merupakan emosi, imajinasi, pemikiran,
ide, nada, irama, kesan pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan
perasaan yang tercampur-baur.

Puisi juga dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang komprehensif dan
perlu pemahaman secara menyeluruh untuk memahaminya. Sutrukturalisme dalam
hal ini menjadi instrumen tepat dalam menganalisis puisi agar mendapat pemahaman
yang baik karena memahami jalinan unsur terkait pada suatu puisi. Bunyi, Irama, dan
Kata menjadi unsur penting pada tubuh puisi yang akan dibahas pada makalah ini.

Salah satu sastrawan sekaligus budayawan yang berkualitas di Indonesia


adalah Emha Ainun Nadjib. Pergulatan Emha Ainun Nadjib di arena sastra dimulai
sejak akhir 1969 ketika ketidakstabilan sosial akibat transisi dari Orde Lama ke Orde
Baru mulai mempengaruhi kondisi arena sastra Indonesia. Pada masa itu, arena sastra
nasional terpusat pada aktivitas sastra yang terjadi di Jakarta. Di saat yang bersamaan,
di Yogyakarta terbentuk sebuah ruang kreativitas untuk penulisan sastra, yakni
Persada Studi Klub. Di sinilah awal karier sastra Emha Ainun Nadjib dimulai (Hadi,
2017: 54). Presentasi Lautan Jilbab Emha Ainun Nadjib menjadi langkah awalnya
dalam penyampaian gagasan tentang komprehensivitas masalah kebudayaan di
Indonesia khususnya respon atas umat islam di Indonesia yang mayoritas semakin
termarginalisasi. Dari langkah awal tersebut, muncul berbagai karya sastra Emha
Ainun Nadjib dalam berbagai dimensi yang salah satunya adalah puisi.

Nafas sufistik dan humanisme teistik menjadi corak yang mencolok pada
kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku karya Emha Ainun Nadjib. Kumpulan puisi ini
menggambarkan doa-doa permohonan pertolongan, pertobatan, semacam katarsis
pikiran dan roh penyair penyair yang disajikan dengan keindahan kesenian dan
kebenaran agama. Salah satu keunikan karya tersebut terdapat pada judul-judulnya
yang berupa angka 0 hingga 99. Angka 0 merupakan wujud ketiadaan atau
kekosongan dan 99 adalah wujud kesempurnaan sebagai petanda (signified) asmaul
husna yang terdapat pada narasi agama Islam.

Setelah mengetahui dan memahami gambaran umum objek kajian artikel ini,
penting untuk memahami nilai penting dari kajian ini. Pentingnya sajak-sajak Emha
Ainun Nadjib yang terdapat dalam kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku dikaji
didasarkan pada satu alasan, yakni untuk menambah wawasan terkait struktur dan
sistem tanda pada sastra Indonesia yang bercorak humanisme teistik sehingga mampu
dijadikan sebagai kontrol sosial pada masyarakat pembaca. Namun, kenyataannya
kini belum banyak yang mengupas terkait struktur dan semiotika pada sajak-sajak
Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku. Keragaman hasil ini
menarik dikaji lebih jauh terutama untuk mengidentifikasi struktur dan semiotika
pada sajak-sajak Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku.
Diupayakan juga diungkap nilai dan makna yang dapat diserap untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat global khususnya masyarakat Islam di Indonesia.

Kajian terhadap antologi puisi 99 Untuk Tuhanku karya Emha Ainun Nadjib
banyak dilakukan oleh peneliti, kajian tersebut antara lain: pertama, Soeratno (1989)
dalam penelitiannya “Masalah Tematis dalam 99 Untuk Tuhanku Karya Emha Ainun
Nadjib, Satu Tinjauan Struktur”, mengkaji imajinasi bahasa, sentuhan perasaan, dan
ekspresi dalam antologi puisi tersebut dan belum mengkaji struktural-semiotika
antologi puisi tersebut. Kedua, Mabruri (2018) dalam tulisannya “Religiusitas Emha
Ainun Nadjib dalam Antologi Puisi 99 Untuk Tuhanku” yang berfokus pada aspek
religiusitas penyair, dan belum mengkaji struktural-semiotika pada antologi puisi
tersebut. Ketiga, Mafatihurrofahiyah (20018) dalam tulisannya “Pesan Dakwah dalam
Puisi: Analisis terhadap Buku 99 Untuk Tuhanku Karya Emha Ainun Nadjib”, hanya
mengkaji pesan dakwah yang terkandung dalam antologi puisi tersebut.

Dari tiga kajian terdahulu terhadap sajak-sajak Emha Ainun Nadjib dalam
antologi puisi 99 Untuk Tuhanku yang dilakukan oleh para peneliti terdahulu, dapat
diketahui bahwa belum ada yang memusatkan pada analisi struktural-semiotika.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi struktur puisi dan sistem tanda yang terdapat
pada karya sastra tersebut.

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat teoretis dan praktis.


Mengeksplorasi analisis struktural dan semiotik menjadi wujud manfaat teoretis dari
penelitian ini. Manfaat praktisnya adalah memberi gambaran analisis struktural-
semiotik pada sajak-sajak Emha Ainun Nadjib dalam kumpulan puisi 99 Untuk
Tuhanku. Berdasarkan manfaat ini diharapkan pembaca dan masyarakat lain tumbuh
kesadaran untuk memahami dan mengambil hikmah dari sajak-sajak Emha Ainun
Nadjib dalam kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku sehingga kualitas hidup masyarakat
meningkat.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang akan
dikaji adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur dan semiotika pada sajak-sajak Emha Ainun


Nadjib dalam kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku

PEMBAHASAN

A. Teori Struktural dan Semiotika

Sebelum dilakukan analisis sebuah karya sastra (puisi) perlu dipahami


maknanya secara keseluruhan. Hal ini dilakukan karena norma-norma puisi atau
unsur-unsur sajak berjalinan secara erat atau berkoherensi secara padu. Makna puisi
ditentukan koherensi norma-norma atau unsur-unsur puisi. Untuk memahami makna
secara keseluruhan perlulah puisi dianalisis secara struktural. Analisis struktural
adalah analisis yang melihat bahwa unsur-unsur struktur puisi itu saling berhubungan
secara erat, saling menentukan artinya. Sebuah unsur tidak mempunyai maknadengan
sendirinya terlepas dari unsur-unsur lainnya. Di samping itu, karena puisiitu
merupakan strukrtur tanda-tanda yang bermakna dan bersistem, maka analisis juga
disatukan dengan analisis semiotik. Berikut ini akan dijelaskan secara rinci mengenai
analisis struktural dan semiotik seperti yang dikemukakan oleh Pradopo (2014: 120-
125).

Karya sastra merupakan sebuah struktur. Struktur di sini dalam arti bahwa
karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-
unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi,kesatuan
unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan. hal-hal atau
benda-benda yang beridiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling
berkaitan, dan saling bergantung. Dalam pengertian struktur ini terlihat adanya
rangkaian kesatuan yang meliputi tiga ide dasar, yaitu ide kesatuan, ide transformasi,
dan ide pengaturan diri sendiri (self-regulation) (Pradopo, 2014: 120-121).

Pertama, struktur itu merupakan keseluruhan yang bulat, yaitu bagian-bagian


yang membentuknya tidak dapat berdiri sendiri di luar struktur itu. Kedua, struktur itu
berisi gagasan transformasi dalam arti bahwa struktur itu tidak statis. Struktur itu
mampu melakukan prosedur-prosedur transformasial, dalam arti bahan-bahan baru
diproses dengan prosedur dan melalui prosedur itu. Misalnya struktur kalimat:Ia
memetik bunga. Strukturnya: subjek–predikat–objek. Dari struktur itu dapat diproses:
Saya (Siman, Tini, Tuti) memetik bunga. Dapat juga diproses dengan struktur itu: Ia
memetik bunga (daun, mawar, melati), atau: Ia merangkai (memasang, memotong,
menanam) bunga; begitu seterusnya. Ketiga, struktur itu mengatur diri sendiri, dalam
arti struktur itu tidak memerlukan pertolongan bantuan dari luar dirinya untuk
mensahkan prosedur transformasinya. Misalnya dalam proses menyusun kalimat:
Saya memetik bunga, tidaklah diperlukan dari dunia nyata, melainkan diproses atas
dasar aturan di dalamnya dan yang mencukupi dirinya sendiri. Bunga itu berfungsi
sebagai objek dalam kalimat bukan karena menunjuk bunga yang nyata ada di luar
kalimat itu, melainkan berdasarkan tempatnya dalam struktur itu, maka bunga
berfungsi sebagai objek (karena terletak langsung di belakang kata kerja transitif
aktif). Jadi, setiap unsur itu mempunyai fungsi tertentu berdasarkan aturan dalam
struktur itu. Setiap unsur mempunyai fungsi berdasarkan letaknya dalam struktur itu.

Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang
terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur seperti
tersebut di atas. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia
yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan
benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai
makna dengan sendirinya, melainkan maknanya ditentukan oleh hubungannya dengan
semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Pradopo, 2014: 121).
Dengan pengertian seperti itu, maka analisis struktural puisi adalah analisis puisi ke
dalam unsur-unsurnya dan fungsinya dalam struktur puisi dan penguraian bahwa tiap
unsur itu mempunyai makna hanya dalam kaitannya dengan unsur-unsur lainnya,
bahkan juga berdasarkan tempatnya dalam struktur

Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau
ketandaan, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Medium karya sastra
bukanlah bahan yang bebas (netral) seperti bunyi pada seni musik ataupun warnapada
lukisan. Warna cat sebelum dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum
mempunyai arti apa-apa; sedangkan kata-kata (bahasa) sebelum dipergunakan dalam
karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti yang ditentukan oleh
perjanjian masyarakat (bahasa) atau ditentukan oleh konvensi masyarakat. Lambang-
lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang
mempunyai arti oleh konvensi masyarakat. Bahasa itu merupakan sistem ketandaan
yang berdasarkan atau ditentukan oleh konvensi (perjanjian) masyarakat. Sistem
ketandaan itu disebut semiotik. Begitu juga ilmu yang mempelajari sistem tanda-
tanda itu disebut semiotik(a) atau semiologi.

Pertama kali yang penting dalam lapangan semiotik, lapangan sistem tanda,
adalah pengertian tanda itu sendiri. Dalam pengertian tanda ada dua prinsip, yaitu
penanda (signifier) atau yang menandai, yang merupakan bentuk tanda, dan petanda
(signified) atau yang ditandai, yang merupakan arti tanda. Berdasarkan hubungan
antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon,indeks, dan
simbol.Ikon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
persamaan bentuk alamiah, misalnya potret orang menandai orang yang dipotret
(berarti orang yang dipotret), gambar kuda itu menandai kuda yang nyata. Indeks
adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda
yang bersifat kausal atau hubungan sebab-akibat. Misalnya asap itu menandai api.
Simbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan
petandanya. Hubungan antaranya bersifat arbitrer atau semau-maunya, hubungannya
berdasarkan konvensi masyarakat. Sebuah sistem tanda yang utama yang
menggunakan lambang adalah bahasa. Arti simbol ditentukan masyarakat. Misalnya
kata ibu berarti ”orang yang melahirkan kita” itu terjadinya atas konvensi atau
perjanjian masyarakat bahasa Indonesia, masyarakat bahasa Inggris menyebutnya
mother.

Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra
menjadi mediumnya itu adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam ilmu tanda-tanda
atausemiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning
(arti). Karya sastra itu juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi
masyarakat (sastra). Karena sastra (karya sastra) merupakan sistem tanda yang lebih
tinggi (atas) kedudukannya dari bahasa, maka disebut sistem semiotik tingkat kedua.
Bahasa tertentu itu mempunyai konvensi tertentu pula, dalam sastra konvensi bahasa
itu disesuaikan dengan konvensi sastra. Dalam karya sastra, arti kata-kata (bahasa)
ditentukan oleh konvensi sastra. Dengan demikian, timbullah arti baru yaitu sastra itu.
Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti (meaning of meaning). Untuk
membedakannya (dari arti bahasa), arti sastra itu disebut makna (significance). Perlu
diterangkan di sini, apa yang dimaksud makna puisi itu bukan semata-mata arti
bahasanya, melainkan arti bahasa dan suasana, perasaan, intensitas arti, arti tambahan
(konotasi), daya liris, pengertian yang ditimbulkan tanda-tanda kebahasaan atau
tanda-tanda lain yang ditimbulkan oleh konvensi sastra, misalnya tipografi,
enjambement, sajak, baris sajak, ulangan, dan yang lainnya lagi. Meskipun sastra itu
dalam sistem semiotik tingkatannya lebih tinggi dari bahasa, namun sastra tidak dapat
lepas pula dari sistem bahasa; dalam arti, sastra tidak dapat lepas sama sekali dari
sistem bahasa atau konvensi bahasa. Hal ini disebabkan oleh apa yang telah
dikemukakan, yaitu bahasa itu sudah merupakan sistem tanda yang mempunyai
artinya berdasarkan konvensi tertentu.
Karena hal-hal yang telah diuraikan itu, mengkaji dan memahami puisi tidak
lepas dari analisis semiotik. Puisi secara semiotik seperti telah dikemukakan
merupakan struktur tanda-tanda yang bersistem dan bermakna ditentukan oleh
konvensi. Memahami puisi tidak lain dari memahami makna puisi. Menganalisis
puisi adalah usaha untuk menangkap makna puisi. Makna puisi adalah arti yang
timbul oleh bahasa yang disusun berdasarkan struktur sastra menurut konvensinya,
yaitu arti yang bukan semata-mata hanya arti bahasa, melainkan berisi arti tambahan
berdasarkan konvensi sastra yang bersangkutan. Dengan demikian, teranglah bahwa
untuk mengkaji puisi perlulah analisis struktural dan semiotik mengingat bahwa puisi
itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna.

B. Analisis Struktur dan Semiotika Puisi

Analisis struktur dan sistem tanda yang terdapat dalam kumpulan puisi 99
Untuk Tuhanku karya Emha Ainun Nadjib ditinjau dari struktur puisi yang terdiri
dari bunyi, irama, kata dan sistem tanda yang digunakan. Pada artikel ini digunakan
dua sajak dari 99 sajak pada kumpulan puisi 99 Untuk Tuhanku. Pembahasan
mengenai struktur dan sistem tanda yang terdapat dalam kumpulan puisi 99 Untuk
Tuhanku karya Emha Ainun Nadjib akan dijabarkan dalam pembahasan berikut:

Analisis Struktural-Semiotika Sajak 4

Tuhanku
sembahyang
Bibirku
sembahyang
Wajahku
sembahyang
Telapakku
sembahyang
Kulitku
sembahyang
Dagingku
sembahyang
Tulangku
sembahyang
Uratku
sembahyang
Ubun-ubunku
sembahyang
Napasku
sembahyang
Makrifatku
sembahyang
Pikirku
sembahyang
Hati jiwaku
sembahyang
Sukmaku
sembahyang
Heningku
sembahyang
Tuhanku
(Nadjib, 2016: 4-5)

Puisi ini merupakan ungkapan penyair kepada manusia agar melakukan


ibadah kepada Tuhan sekaligus doa penyair agar ibadah-ibadahnya diterima Tuhan.
Untuk memahami larik-larik dalam suatu sajak diperlukan parafrase sebagai
instrumen pembaca agar mudah memahami. Parafrase dari puisi tersebut sebagai
berikut.
Makna yang ingin disampaikan penulis adalah mengenai ibadah yang
dilakukan setiap orang untuk berserah diri dihadapan Tuhannya. Hal itu dapat terlihat
dari baris pertama “Tuhanku” dan baris kedua “sembahyang” yang dimaksudkan
ibadah yang dilakukan kepada Tuhan. Pada baris ketiga “bibirku” yang dimaksudkan
fungsi bibir yang merupakaan bagian pada diri manusia dan digunakan untuk
berbicara, pada konteks bibir adalah sarana dalam mengucap doa saat sedang
melakukan aktivitas ibadah.
Pada baris keempat terdapat kata yang diulang “sembahyang” yang dimaknai
sebagai kegiatan beribadah yang ditujukan pada Tuhan YME. Kata itu terus diulang
hingga akhir puisi, maksud yang ingin disampaikan adalah agar manusia senantiasa
beribadah terus menerus kepada Tuhannya karena ibadah adalah hal terpenting dalam
ajaran agama. Pada baris kelima “wajahku” yang dimaksudkan adalah bagian tubuh
manusia yang dapat dilihat pertama kali, dalam agama Islam wajah akan menyentuh
lantai saat bersujud yang memiliki arti bahwa manusia haruslah melihat ke bawah
saat berada pada posisi yang tinggi.
Hal yang sama juga dituliskan pada baris tujuh “telapakku” dan sembilan
“kulitku” yang memiliki esensi yang sama dengan baris kelima. Kulit adalah bagian
yang menutupi organ dalam manusia sehingga tidak terlihat dari luar, sedangkan
telapak adalah bagian dari tubuh manusia yang digunakan untuk menggenggam.
Dalam beribadah, saat sujud telapak akan menyentuh lantai, telapak yang berlapis
kulit akan turun ke bawah sama dengan bagian tubuh lainnya. Dalam hal tersebut
dapat dimaknai sebagai bentuk penyerahan diri kepada Tuhan YME atas apa yang
telah diberikan.
Pada baris sebelas “dagingku” baris tiga belas “tulangku” dan baris lima belas
“uratku”, yang merupakan organ bagian dalam manusia. Dalam hal ini dimaksudkan
bahwa dalam beribadah tidak hanya bagian fisik yang terlihat saja yang dapat
mengungkapkan rasa syukur tetapi juga bagian fisik yang tidak terlihat pun
mengungkap rasa syukur dengan melakukan ibadah. Pada baris sembilan belas dan
dua puluh “darahku” dan “napasku”. Darah yang juga merupakan bagian dari diri
manusia yang telah diberikan oleh Tuhan YME agar manusia dapat hidup, begitu pun
napas yang diberikan oleh Tuhan dengan berupa oksigen agar manusia dapat hidup
dan menjalankan kehidupan. Tujuan dari dihidupkannya manusia adalah semata mata
untuk beribadah kepada Tuhan dan mengamalkan ajaran ajaran yang baik serta
mampu meninggalkan keburukan.
Pada baris dua puluh satu hingga tiga puluh tiga disebutkan bagian dari batin
dan hasil cipta manusia, “makrifatku”, “pikirku”, “rasaku”, “hati jiwaku”,
“sukmaku”, “heningku”. Makrifat adalah ilmu pengetahuan yang merupakan hasil
cipta manusia yang tercipta dari hasil pemikiran yang diberikan oleh Tuhan YME.
Rasa, hati, jiwa, sukma merupakan pemberian Tuhan yang membuat manusia dapat
merasakan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hening merupakan bentuk
dari rasa dimana sunyi dan sepi, hening juga merupakan rasa yang timbul saat
manusia sedang berusaha dekat dengan Tuhannya.
Dari puisi tersebut dapat terlihat bagaimana Tuhan menciptakan manusia
dengan segala kelebihan dan manusia hanya diminta untuk beribadah dengan ikhlas
dan taat pada ajaran agama, terutama beribadah.
Secara semiotik atau ketandaan, puisi ini bercerita tentang beribadah kepada
Tuhan. Bahwa semua organ tubuh manusia akan ikut berperan dalam melakukan
ibadah. Tidak hanya secara fisik, namun juga batin. Simbol atau tanda yang
menggambarkan ibadah dalam puisi ini adalah dengan pemakaian kata ‘sembahyang’.
Kata ‘sembahyang’ dalam setiap puisi ini tidak diawali dengan huruf kapital seperti
halnya penyebutan bagian tubuh seperti ‘Bibirku, Wajahku, Telapakku’ dan lain
sebagainya. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa setiap kata ‘sembahyang’ yang
terdapat dalam puisi ini merupakan kelanjutan dari setiap penyebutan organ tubuh.
Seperti ‘Bibirku’ ‘sembahyang’ yang dimaksudkan dalam puisi baris ketiga dan
keempat adalah ketika melakukan ibadah, organ tubuh bibir juga ikut melakukan
ibadah. Susunan kata yang dibentu dengan penyebutan organ tubuh yang diikuti kata
‘sembahyang’ pada baris baru merupakan bentuk keindahan dari puisi itu sendiri.
Kata ‘Tuhanku’ yang berada di awal baris puisi dan akhir baris puisi yang secara
tidak langsung mengapit keseluruhan puisi merupakan pertegasan atau penjelas
mengenai apa yang dituju pada saat beribadah.
Dalam puisi ini, digunakan citraan untuk menolong pembaca dalam hal
merasakan seperti apa yang digambarkan dalam puisi tersebut. Sehingga pembaca
akan mengerti, bahwa ketika beribadah, tidak hanya tangan, hati, kaki, wajah yang
beribadah kepada Tuhan. Namun pikiran, dan ubun-ubun ikut beribadah kepada
Tuhan. Citraan yang digunakan dalam puisi ini yaitu berupa citra perasa, pencecap,
dan gerak. Citra perasa yang terdapat dalam puisi ini berupa penyebutan ‘Telapakku,
Kulitku, Napasku’. Seolah-olah pembaca merasakan bahwa organ tubuh mereka ikut
beribadah kepada Tuhan. Dalam kata ‘Bibirku’ menunjukkan citraan pencecapan
dengan penyebutan organ indera pencecap. Citraan gerak disebutkan melalui kata
‘Tulangku’ yang dilukiskan dengan penyebutan organ tubuh yang dapat bergerak
secara pasif.
Dikombinasikan dengan estetika penggunaan Gaya Bahasa yaitu pada
pengulangan kata ‘sembahyang’ yang berfungsi untuk menghidupkan kalimat.
Sehingga pembaca dapat melihat apa yang sedang dilakukan dalam pusi tersebut.
Sarana retorika dalam puisi ini, dengan menggunakan pengulangan kata
‘sembahyang’ yang disebutkan setelah organ tubuh manusia. Hal ini digunakan untuk
mempertegas dan mejelaskan secara konkret bahwa setiap organ tubuh manusia
melakukan ibadah. Pemilihan diksi dengan penggunaan kata ‘Tuhanku’ pada awalan
dan akhiran membuat puisi tersebut syarat akan makna.
Unsur-unsur ketatabahasaan yang digunakan pada puisi ini untuk
ekspresivitas, membuat hidup karena pegulangan kata ‘sembahyang’ dan penggunaan
kata ‘sembahyang’ yang sudah familiar didengar. Kombinasi penyebutan organ-organ
tubuh: Bibirku, wajahku, telapakku, kulitku, dan lain sebagainya kembali
mempertegas subjek yang terdapat dalam puisi tersebut. Sehingga, pembaca dapat
secara utuh merasakan juga melihat bahwa ketika beribadah tidak hanya organ-organ
luar saja yang ikut focus ibadah. Namun semua organ yang ada dalam setiap tubuh
manusia ikut beribadah.
Kaum sufi seperti Emha Ainun Nadjib selalu mengutamakan aspek keintiman
antara tuhan dan hambanya sehingga pasti dalam pembuatan sajak-sajaknya
mengusahakan terbangun kesan kemesraan tuhan dan hambanya. Oleh karena itu,
dalam sajak tersebut digunakan kombinasi bunyi-bunyi vokal u dengan bunyi sengau
ng pada setiap akhir larik sehingga menimbulkan efek bunyi efoni serta timbul kesan
mesra antara tuhan dan pembaca..

Analisis Struktural-Semiotika Sajak 32

32

Tuhanku
inilah aku, abdi-Mu
telanjang setiap saat bagi-Mu
rajah dan hancurkan
dan mungkin saja ia hancur
tapi, atas kekasih-Mu
mungkin juga tidak.
angin busuk amat keras
matahari membakarkan panas
tapi jiwa anugerah-Mu
bisa menelan baja membara
yang pegas.
ayo, Kekasihku
Engkau bakal kusongsong
dengan pisau-Mu
tikam aku dan jilat darahku
kerongkonganku menggelegak; haus
akan api-Mu
(Nadjib, 2016: 35)
Si aku merasa menjadi pengabdi untuk Tuhannya. Merasa segala hal yang
diperbuatnya hanyalah berujung pada ketetapan Tuhan nantinya. Maka si aku
mengabdikan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Seperti telanjang setiap saat untuk
Tuhan, si aku memperlihatkan segala sisi dalam dirinya ketika beribadah, baik
khusyu’ ataupun tidak, Tuhan pasti akan mengetahuinya. Namun, bagi si aku
ibadahnya selama ini masih belum sungguh-sungguh, Tuhan belum menjadi fokus
utamanya, sehingga ia tidak bisa menemukan Tuhan di dalam ibadahnya. Pikiran-
pikiran tentang keduniawian terkadang masih hinggap dalam benaknya ketika
beribadah.
Namun, lewat ayat-ayatnya Tuhan menyuruh untuk melawan tantangan dan
kemalasan yang ada. “rajah dan hancurkan/dan mungkin saja ia hancur”. Karena
segala tantangan dapat terlewati akan dapat terselesaikan asal orang tersebut mau
bersungguh-sungguh. Tak terkecuali dalam beribadah, apabila seseorang dalam
beribadahnya masih setengah-setengah, akan tetapi jika ia tekun dan menghilangkan
segala pikirannya ketika beribadah, maka dalam ibadahnya nanti ia akan timbul rasa
optimis dan positif yang dilandasi oleh spirit ketuhanan. Dengan pandangan yang
positif dan optimis kepada Allah, kita memperoleh sumber energi dan kegairahan
hidup ini, pada urutannya, akan membuat kita lebih mampu mengatasi masalah-
asalah kita (Madjid, 1994: 29).
Tuhan bisa saja memberikan kasihnya, tetapi bisa juga tidak. Hal inilah yang
membuat si aku menganggap Tuhan tidak akan menerima apa yang telah
dilakukannya, ia justru memiliki pemikiran bahwa Tuhan akan memberikan siksaan
dan cobaan yang lebih berat kepadanya. Karena si aku sadar bahwa Tuhan Maha
Merajai atas segalanya. Bahkan pula Tuhan dapat mengambil nyawanya sewaktu-
waktu, tanpa permisi ataupun tanpa bertanya, bagaikan menelan baja yang membara
hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil untuk-Nya, karena jiwa dan raga si aku
pun hanya pemberian dari Tuhan semata.
Selain Maha Merajai atas segalanya Tuhan juga Maha Menyayangi, maka dari
itu Tuhan tetap memberikan kasih sayangnya kepada semua orang, tak terkecuali
orang-orang yang belum melakukan ibadah dengan sungguh-sungguh ataupun orang
yang lalai terhadap-Nya.
Dalam puisi ini si aku menyambut kekasihnya dengan kesungguhan “ayo,
Kekasihku/Engkau bakal kusongsong” kekasih yang di maksud disini adalah Tuhan.
Bahkan saking sungguhnya ia juga telah merelakan hidupnya, rela di siksa dan
disengsarakan oleh Tuhan. Karena si aku merasa dalam setiap siksaan yang diberikan
oleh Tuhan terdapat rahmat dan barokah dari-Nya. Ia lebih memilih hancur karena
siksaan Tuhan daripada hancur karena makhluk selain-Nya.
Secara semiotik, hubungan antara aku dengan Tuhan dalam puisi ini
ditandakan sebagai hubungan antara sepasang kekasih. Beberapa kali dalam puisi ini
di sebut kata kekasih, kekasih disini merujuk kepada Tuhan, sehingga dalam puisi ini
Tuhan menjadi dimanusiakan. Telanjang dalam baris ke 3 bukan dimaksudkan tidak
berpakaian, akan tetapi menjelaskan tentang si aku yang membuka segala sisi dirinya
kepada Tuhan, entah itu sisi baik maupun buruk. Siksaan Tuhan sangatlah perih dan
kejam digambarkan pada baris ke 9 (“angin busuk amat keras”). Maka dari itu si aku
rela untuk disiksa oleh Tuhannya, karena dia sudah menganggap Tuhan sebagai
kekasihnya. Pada akhir puisi terdapat kata api-Mu, api dalam puisi ini bermakna
semangat ketuhanan, semangat ketuhanan yang berlebih inilah yang pada akhirnya
membuat si aku memasrahkan diri. Pengiasan-pengiasan lain agar menimbulkan efek
yang mendalam bagi pembaca juga terdapat dalam baris-baris lain, seperti berikut.
Personifikasi: tapi jiwa anugerah-Mu bisa menelan baja membara yang pegas.
Pada baris tersebut penulis menyampaikan sebuah penggambaran situasi bayangan
angan (citra) yang konkret. Anugerah merupakan sebuah kata sifat, tetapi dalam puisi
ini penulis menuliskannya seakan jiwa anugerah mampu menelan. Padahal umum kita
ketahui bahwa menelan merupakan sifat dari manusia. Jadi dalam baris ini bias
dikatakan memanusikana kata anugerah.
Hiperbola: telanjang setiap saat bagi-Mu. Baris ini menulisakan kalimat
telanjang setiap saat, walaupun kata telanjang disini bukan bermakna tidak
berpakaian. Tetapi denga adanya kata setiap pada kalimatnya, membuat kalimat ini
terkesan dilebih-lebihkan. Dan sesuatu yang dilebih-lebihkan merupakan pengertian
dari hiperbola.
Metafora: Pada kalimat kedua (Inilah aku, abdi-Mu). Ungkapan penulis secara
langsung, dimana kata “abdi-Mu” merupakan makna yang tidak sebenarnya, namun
menggambarkan sebagai objek lain. Di sisi lain pada majas metafora tidak
menggunakan kata penghubung atau konjungsi pada kalimat-kalimatnya.
Perbandingan (simile): rajah dan hancurkan, mungkin saja ia hancur, tapi atas
kekasih-Mu mungkin juga tidak. Penulis menyampaikan kalimat tersebut dengan
melakukan perbandingan antara dua keadaan yang berbeda, yaitu kehancuran dan
keadaan yang baik-baik saja.
Penggunaan citraan yang berhubungan erat dengan Bahasa kiasan, dalam
sajak ini dipergunakan untuk membuat gambaran segar dan hidup, dipergunakan
secara sepenuhnya untuk memperjelas dan memperkaya, seperti yang dikemukakan
oleh Coombes (1980: 43) dalam Pradopo (2014: 135), yaitu citraan yang berhasil
menolong kita untuk merasakan apa yang dirasakan penyair terhadap objek atau
situasi yang dialaminya dengan tepat, hidup, dan ekonomis. Dalam sajak ini terdapat
beberapa citraan, yaitu:
Citra penglihatan (visual imagery) dipergunakan dalam: inilah aku,
abdi-Mu/telanjang setiap saat bagi-Mu. Dari penggalan puisi ini penulis dapat
memberikan rangsangan penglihatan pada pembaca, sehingga mereka seolah-olah
melihat kejadian yang ada. Selain pada bait tersebut, citra penglihatan juga dapat
dilihat pada: matahari membakarkan panas/bisa menelan baja membara yang pegas.
Citra gerak (kinaesthik image): rajah dan hancurkan/ tikam aku dan jilat
darahku. Menggambarkan sesuatu yang sesungguhnya tidak bergerak, tetapi dilukisan
sebagai sesuatu yang dapata bergerak. Dalam baris ini seolah-olah gerakan menikam,
merajah, dan menghancurkan benar-benar terjadi, sehingga membuat suasana
menjadi lebih hidup.
Citra penciuman: angin busuk amat keras. Seolah-olah pembaca dapat
mencium angin yang busuk, walaupun sebenarnya yang dimaksud sebagai angin
disini bukanlah angina yang sesungguhnya.

SIMPULAN

Berdasarkan Analisis struktur dan sistem tanda yang terdapat dalam kumpulan
puisi 99 Untuk Tuhanku karya Emha Ainun Nadjib, dapat disimpulkan bahwa
struktur dan sistem tanda yang terdapat pada sajak-sajak tersebut bervariasi dan
memiliki persamaan corak yang bernafaskan teistik. Beberapa struktur puisi yang
terdapat antara lain adalah majas yang dipakai mayoritas menggunakan hiperbola
karena melebih-lebihkan realitas, sehingga citraan yang muncul dibuat agar pembaca
mampu memahami dunia imajinasi penyair, dan ragam kata yang dibangun
menimbulkan bunyi yang terkesan intim serta emosional antara tuhan dengan
hambanya. Dengan mengikuti struktur sajak-sajak Emha Ainun Nadjib dalam
antologi puisinya yang berjudul 99 Untuk Tuhanku, maka sistem tanda atau semiotika
yang dikonstruksikan oleh penyair merupakan petanda interaksi yang intim antara
tuhan dan hambanya dengan diksi-diksi yang memiliki kesan akrab seperti
penggunaan imbuhan -ku atau kata ganti orang pertama “aku” sebagai penanda.

DAFTAR PUSTAKA

Hadi, Sumasno. 2017. Semesta Emha. Bandung: PT Mizan Pustaka.


Isnaini, H. (2017). Analisis Semiotika Sajak “Tuan” Karya Sapardi Djoko Damono.
Deiksis, 4(2), 1–7.
Madjid, Nurcholis. 1994. Pintu-Pintu Menuju Tuhan. Jakarta: Paramadina.
Moleong, Lexi J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nadjib, Emha Ainun. 2016. 99 Untuk Tuhanku. Yogyakarta: Bentang.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratna, Nyoman Kuta. 2010. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Yanti, K. W., Beding, V. O., & Susanti, Y. (2016). Analisis Struktur dalam
Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono. Jurnal Kansasi, 1(1).

Anda mungkin juga menyukai