PENDAHULUAN
1
penderita DM tentang pengelolaan diet DM sangat penting dalam upaya membantu penderita
dalam mengontrol peningkatan kadar gula darah dalam tubuh agar tetap stabil.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap peserta PROLANIS dengan judul “Hubungan Sikap dan Tingkat Pengetahuan
Peserta PROLANIS terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes”.
2
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Masyarakat Sekitar
Bagi masyarakat sekitar, yaitu warga di Wilayah Kerja Puskesmas Sitanggal,
Kabupaten Brebes adalah untuk menambah wawasan mengenai faktor risiko diabetes mellitus
tipe 2 sehingga dapat mencegah terjadinya diabetes mellitus tipe 2.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.2 Ciri-Ciri
Ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut.23
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini yang membedakannya
dengan sifat motif-motif biogenis, seperti lapar, haus, dan kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan dapat berubah
bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah
perubahan sikap orang tersebut.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap
suatu objek. Dengan kata lain, sikap terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa
berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
d. Objek sikap merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan
dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang
dimiliki orang.
4
2.1.3 Tingkatan
Tingkatan suatu sikap, antara lain sebagai berikut.22
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang tersebut mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan objek.
b. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan tugas yang diberikan
adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah
adalah berarti orang tersebut menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.1.4 Fungsi
Fungsi sikap terbagi menjadi empat kategori, yaitu sebagai berikut.24
a. Fungsi Pengetahuan (The Knowledge Function)
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan pengalaman-
pengalamannya. Hal ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap
suatu objek maka orang tersebut akan menunjukkan tentang pengetahuannya
terhadap objek sikap yang bersangkutan.
b. Fungsi Instrumental/Fungsi Penyesuaian/Fungsi Manfaat (The Utilitarian atau
Instrumental Function)
Fungsi ini berkaitan dengan sarana dan tujuan. Orang memandang sejauh
mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka mencapai
tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya maka
orang akan bersifat positif terhadap objek tersebut. Demikian sebaliknya, bila objek
sikap menghambat pencapaian tujuan maka orang akan bersikap negatif terhadap
objek sikap yang bersangkutan.
5
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang untuk mempertahankan
egonya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada waktu orang yang bersangkutan
terancam keadaan dirinya atau egonya.
d. Fungsi Ekspresi Nilai (The Value Expressive Function)
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri,
seseorang akan mendapatkan kepuasan pada dirinya. Dengan individu mengambil
sikap tertentu akan menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada individu
yang bersangkutan.
2.1.5 Komponen
Struktur sikap dibedakan atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu sebagai
berikut.25
a. Komponen Kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap.
Komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai
sesuatu dapat disamarkan terutama apabila menyangkut masalah isu atau masalah
yang kontroversial.
b. Komponen Afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan
aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah
pengubah sikap seseorang. Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang
dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen Konatif
Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap
yang dimiliki oleh seseorang dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.
6
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap, antara lain sebagai berikut.25
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila
pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional.
b. Pengaruh Orang Lain yang dianggap Penting
Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau
searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara
lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik
dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat
asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya,
berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung dipengaruhi
oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat
menentukan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pada
gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f. Faktor Emosional
Terkadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi
yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego.
2.1.7 Perubahan
7
Terdapat tiga proses yang berperan dalam proses perubahan sikap, diantaranya sebagai
berikut.25
a. Kesedihan (Compliance)
Terjadinya proses yang disebut kesedihan adalah ketika individu bersedia
menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain dikarenakan individu
tersebut berharap untuk memperoleh reaksi positif, seperti pujian, dukungan,
simpati, dan semacamnya sambil menghindari hal-hal yang dianggap negatif. Tentu
saja perubahan perilaku yang terjadi dengan cara seperti itu tidak akan dapat
bertahan lama dan biasanya hanya tampak selama pihak lain diperkirakan masih
menyadari akan perubahan sikap yang ditunjukkan.
b. Identifikasi (Identification)
Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap
seseorang atau sikap sekelompok orang dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan
apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan menyenangkan antara lain dengan
pihak yang dimaksud. Pada dasarnya, proses identifikasi merupakan sarana atau cara
untuk memelihara hubungan yang diinginkan dengan orang atau kelompok lain dan
cara menopang pengertiannya sendiri mengenai hubungan tersebut.
c. Internalisasi (Internalization)
Internalisai terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia menuruti
pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercaya dan
sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, maka isi dan hakekat sikap
yang diterima itu sendiri dianggap memuaskan oleh individu. Sikap demikian itulah
yang biasnya merupakan sikap yang dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak
mudah untuk berubah selama sistem nilai yang ada dalam diri individu yang
bersangkutan masih bertahan.
8
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru (berperilaku baru), maka dalam
diri seseorang tersebut akan terjadi sebuah proses berurutan, yakni sebagai berikut:
1. Timbul kesadaran (Awareness), yakni dimana seseorang menyadari,
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus/ objek.
2. Ketertarikan (Interest), dimana seseorang mulai menaruh perhatian dan
tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang), dimana seseorang akan
mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini
sikap seseorang akan sudah lebih baik lagi.
4. Mulai mencoba (Trial), dimana seseorang memutuskan untuk mulai mencoba
perilaku baru.
Mengadaptasi (Adaption), dimana seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Sumber: (Efendi dan Makhfudli,
2013)
1. Mengetahui (know):
Mengetahui diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya atau mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari sesuatu yang sudah
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan
sebagainya.
2. Memahami (comprehension):
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat menjelaskan,
9
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.
3. Menerapkan (Application):
Menerapkan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan atau
menerapkan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Menganalisis (analysis):
Menganalisis diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau
menghubungkan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek
yang diketahui, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu
sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.
5. Mensintesis (Synthesis):
Mensintesis diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merangkum dan
meletakkan bagian-bagian yang diketahui ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dan
logis, atau bisa juga diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi- formulasi yang telah ada.
6. Mengevaluasi (Evaluation):
Mengevaluasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian- penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. (Efendi dan
Makhfudli, 2013)
10
2.3 Diabetes Mellitus
2.3.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.9,10 Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas untuk mengatur
keseimbangan kadar gula darah.10
2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM yang dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes
Association (ADA) adalah sebagai berikut. 9,11
a. Diabetes Mellitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut).
1) Autoimun
2) Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
b. Diabetes Mellitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin)
c. Diabetes Mellitus tipe lain.
Misalnya: gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu intoleransi
glukosa yang terjadi pertama kali pada saat hamil. Setelah ibu melahirkan, keadaan
DMG sering akan kembali ke regulasi glukosa normal.
11
a. Usia, ras/ etnik (Amerika-Afrika, Amerika-Hispanik, Amerika-Asia, Kepulauan
Pasifik, Amerika asli)
b. Riwayat keluarga dengan DM (orangtua atau saudara kandung yang menderita DM
tipe 2)
c. Riwayat diabetes mellitus gestasional atau melahirkan dengan berat lahir bayi >4000
gram
d. Menderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau acanthosis nigracans, dan
e. Riwayat penyakit vaskular
Komponen genetik utama pada DM tipe 2 belum dapat diidentifikasi, namun jelas
bahwa keberadaannya poligenik dan multifaktorial. Berbagai lokus gen berkontribusi
terhadap kerentanan seseorang menderita DM dan faktor lingkungan, seperti nutrisi dan
aktivitas fisik, lebih lanjut memodulasi ekspresi fenotip dari penyakit ini. Seseorang dengan
kedua orang tua penderita DM tipe 2 memiliki risiko hingga 40% menderita DM tipe 2 pula.
Sementara itu, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, yaitu sebagai berikut.
a. Berat badan lebih atau obesitas (BMI≥25 kg/m2)
b. Obesitas sentral
c. Kurangnya aktivitas fisik
d. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
e. Dislipidemia (HDL ≤35 mg/dL dan/atau kadar trigliserida ≥250 mg/dL)
f. Diet tidak sehat atau tidak seimbang
g. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa (GDP)
terganggu
h. Kebiasaan merokok
2.3.4 Patogenesis
Pada diabetes mellitus tipe 1 faktor genetik sangat berperan penting dalam patogenesis
penyakit. Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, patogenesis diabetes tipe 2 masih menjadi
kontroversi. Sejak lama, diketahui dua defek metabolik yang menjadi karakteristik diabetes
mellitus tipe 2 yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin (resistensi
insulin), (2) disfungsi sel beta pankreas sehingga sekresi insulin tidak memadai, dan (3)
produksi glukosa hepar yang berlebih.10,13
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari
yang diketahui. DeFronzo pada tahun 2009 menyebutkan bahwa resistensi insulin pada
12
jaringan perifer juga ternyata tidak hanya otot dan liver saja. Organ lain yang juga berperan
dalam gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 di antaranya jaringan lemak (peningkatan
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglaukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glaukosa), dan otak (disfungsi neurotransmitter). Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini disebut sebagai ominous octet.9,14
2.3.5 Diagnosis9
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti berikut ini.
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
13
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%
14
9) Obesitas berat, akantosis nigrikans
10) Riwayat penyakit kardiovaskular
b. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang tiap 1 tahun.
Tabel 2. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes 9
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140
Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel di bawah ini.
15
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)9
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126
darah puasa Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dl)
2.3.6 Penatalaksanaan15
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pengaturan pola makan dan latihan jasmani
selama dua sampai empat minggu. Namun apabila kadar glukosa darah belum turun
mencapai sasaran, maka dilakukan intervensi farmakologis dengan Obat Hipoglikemik Oral
(OHO) dan atau suntikan insulin.
16
2) Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
3) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
4) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
5) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
6) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari
c. Protein
1) Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi
2) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe
d. Natrium
1) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur
2) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari
Kebutuhan kalori: Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB
ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
yaitu:
1) Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
2) Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:
a) Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg BB Normal : BB ideal
± 10 %
b) Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 %
c) Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/ TB (m2)
17
Klasifikasi IMT:
1) BB Kurang < 18,5
2) BB Normal 18,5-22,9
3) BB Lebih ≥ 23,0
4) Risiko obesitas 23,0-24,9
5) Obesitas I 25,0-29,9
6) Obesitas II > 30
18
teratur namun kadar gula darah tidak mencapai target atau tidak turun, maka penggunaan
obat hipoglikemik oral dapat dipertimbangkan.
a. Biguanid
Biguanid bekerja dengan cara menurunkan produksi glukosa dari hati,
menurunkan penyerapan glukosa di saluran cerna,dan meningkatkan kerja insulin.
Kelebihan biguanid tidak menambah berat badan, tidak terjadi hipoglikemi, dan
mengurangi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Sementara kerugiannya
mempunyai efek samping gastrointestinal, asidosis laktat, serta defisiensi vitamin
B12.
b. Sulfonilurea (generasi kedua)
Sulfonilurea berkerja dengan meningkatkan sekresi insulin.
Sulfonilurea dapat ditoleransi oleh tubuh dengan baik dan mengurangi resiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Namun pemakaiannya dapat
menyebabkan hipoglikemi, berat badan bertambah, dan cepat habis dalam
tubuh.
c. Meglitinid
Meglitinid mampu meningkatkan sekresi insulin. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemi setelah makan karena diabsorpsi dengan cepat.
d. Tiazolidindion (Glitazon)
Tiazolidindion dapat meningkatkan sensitivitas insulin di perifer.
Namun penggunaan tiazolidindion dapat meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskular sehingga pemberiannya kontraindikasi pada pasien dengan
gagal jantung.
e. α-Glukosidase inhibitor
α-Glukosidase inhibitor bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus sehingga dapat menurunkan glukosa post prandial. Namun
mempunyai efek samping pada gastrointestinal seperti kembung, flatulen, dan
diare.
2.3.6.2.2 Insulin
Insulin sudah ditemukan lebih dari 80 tahun yang lalu dan merupakan penemuan
19
terbesar abad XX dalam dunia kedokteran. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel
beta pankreas yang terdiri dari rangkaian asam amino. Apabila terdapat rangsangan pada sel
beta pankreas, insulin akan disintesis, dan kemudian disekesikan ke dalam darah untuk
mengatur regulasi glukosa darah.
Keuntungan insulin dibandingkan obat hipoglikemi oral yaitu insulin enzim yang
terdapat di dalam tubuh. Karena insulin merupakan zat alami tubuh, pengobatan dapat
diberikan sesuai dengan pola sekresinya sebagai insulin basal atau insulin prandial. Selain itu
manfaat pemberian insulin khususnya pada DM tipe 2 yaitu mencegah kerusakan endotel,
menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid.
Dengan begitu, gejala klinis dan komplikasi pada DM akan lebih baik.
Awalnya terapi insulin hanya digunakan untuk DM tipe 1. Namun pada kenyataannya
terapi insulin lebih banyak digunakan pada DM tipe 2 karena prevalensinya yang lebih tinggi
dibanding DM tipe 1. Terapi insulin dapat digunakan pada beberapa keadaan seperti
kegagalan obat hiperglikemi oral, pengendalian kadar glukosa yang buruk yaitu A1C lebih
dari 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dL, riwayat pankreatektomi,
disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang melebar, riwayat ketoasidosis,
penyandang DM lebih dari 10 tahun. Insulin dapat dibagi berdasarkan lama kerjanya, yaitu
sebagai berikut.
a. Insulin rapid acting
Insulin ini mempunyai onset yang cepat, yaitu 5-15 menit dan mencapai
puncaknya pada 30 – 90 menit serta efektivitasnya bertahan 4-6 jam. Yang termasuk
dalam golongan ini yaitu lispro, aspart dan glulisin. Insulin jenis ini digunakan
sebagai insulin prandial karena onsetnya yang cepat.
b. Insulin short acting
Insulin ini mempunyai onset yang cepat yaitu 30-60 menit dan mencapai
puncaknya pada 2-3 jam serta efektivitasnya bertahan 8-10 jam. Yang termasuk
dalam golongan ini yaitu insulin reguler, actrapid. Insulin jenis ini digunakan
sebagai insulin prandial karena onsetnya yang cepat.
c. Insulin intermediate acting
Insulin ini mempunyai onset 2-4 jam dan mencapai puncaknya pada 4-10 jam
serta efektivitasnya bertahan 12-18 jam. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu
NPH (Netral Protamine Hegederon). Insulin jenis ini digunakan untuk memenuhi
kebutuhan insulin basal.
20
d. Insulin long acting
Insulin ini mempunyai onset 2-4 jam dan tidak memiliki peak of action serta
efektivitasnya bertahan 20-24 jam. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu detemir
dan glargin. Insulin jenis ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan insulin basal
karena kadarnya yang dapat bertahan lama didalam tubuh.
e. Insulin campuran
Insulin campuran merupakan kombinasi dari insulin short acting dan
intermediate acting, sehingga preparat ini dapat digunakan sebagai insulin prandial
dan basal. Preparat yang tersedia antara lain humalin 70/30 humalog mix 50/50.
2.3.7 Komplikasi
2.3.7.1 Komplikasi Akut
a. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.9 KAD biasanya diderita oleh
penderita DM tipe 1, namun tidak menutup kemungkinan penderita DM tipe 2
dengan karakteristik imunologis seperti DM tipe 1 juga menderita KAD.10
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton
(ada/tidak), anion gap normal atau sedikit meningkat.9 SHH merupakan komplikasi
yang sering ditemukan pada penderita DM tipe 2.10
21
Obat-obatan (kokain)
Kehamilan
KAD dan SHH mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.9
b. Hipoglikemia9
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
1) Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
2) Kadar glukosa darah yang rendah
3) Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah
rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua
pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar
glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang
diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.
22
2) Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang
DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering
juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita.
3) Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
b. Mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
2) Nefropati diabetik
3) Neuropati
2.3.8 Pencegahan9
Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya perawatan
pasien penderita diabetes mellitus yang terutama disebabkan oleh karena komplikasi, maka
upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan
pada penderita diabetes mellitus ada 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita diabetes
23
mellitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes mellitus. Pencegahan ini
merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah
orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya
menjadi sangat luas.
Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua
pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
beresiko, seperti: kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang
mengandung lemak rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar
tidak gemuk dengan olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif
terbaik dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-
kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah
dan efektif.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit.
Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi.
Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk Indonesia kegiatan
tersebut memerlukan biaya yang sangat besar.
Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat seperti
pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan
pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga
diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
c. Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri dari 3
tahap, antara lain:
1) Mencegah timbulnya komplikasi.
2) Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ.
3) Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter maupun
antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam
hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
mengendalikan diabetesnya.
24
25
BAB III
METODE PENELITIAN
26
3.5 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan mengenai
data identitas, demografi, sikap, serta tingkat Pengetahuan peserta PROLANIS terhadap pola
hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2.
27
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Tingkat responden mengenai kuesioner yang
pengetahuan informasi diet DM benar diberi skor 1,
diet berdasarkan ketepatan dan jawaban yang
jadwal makan, jenis salah diberi skor 0
makanan, dan jumlah
makanan yang Diketahui dari hasil
dikonsumsi kuesioner dan
diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Pengetahuan
baik, bila>80%
jawaban benar
2. Pengetahuan
sedang, bila 60-
80% jawaban
benar
3. Pengetahuan
kurang <60%
Jawaban benar
(Haskas,2016) dan
(Fitzgerald,
2016). Data
diambil dengan pre
test dan post test
3.6.1 Sikap terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Sikap responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
diukur melalui 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban “sangat setuju (SS)”, “setuju (S)”,
“tidak setuju (TS)”, dan “sangat tidak setuju (STS)”. Jika jawaban yang benar adalah “sangat
setuju” maka:
Responden yang menjawab “sangat setuju” diberi nilai 10
Responden yang menjawab “setuju” diberi nilai 7.5
Responden yang menjawab “tidak setuju” diberi nilai 5
Responden yang menjawab “sangat tidak setuju” diberi nilai 2.5
Sebaliknya, apabila jawaban yang benar adalah “sangat tidak setuju”, maka:
Responden yang menjawab “sangat tidak setuju” diberi nilai 10
Responden yang menjawab “tidak setuju” diberi nilai 7.5
28
Responden yang menjawab “setuju” diberi nilai 5
Responden yang menjawab “sangat setuju” diberi nilai 2.5
Selanjutnya, total nilai dikategorikan menjadi baik, sedang, dan buruk sesuai definisi berikut:
Baik, apabila total nilai 71-100
Sedang, apabila total nilai 41-70
Buruk, apabila total nilai 0-41
3.6.2 Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2
Tingkat Pengetahuan responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2 diukur melalui Knowledge of Diabetic Diet Questionnaire (KDDQ).
Kuesioner tingkat pengetahuan diet DM digunakan untuk mengkaji tingkat pengetahuan
penderita DM untuk patuh terhadap diet DM. Kuesioner tingkat pengetahuan diadopsi dari
kuesioner yang dibuat oleh Fitzgerald (2016) dan Haskas (2016). Pemilihan pertanyaan
kuesioner berdasarkan dengan data operasional dari penelitian ini. Kuesioner pengetahuan
terdiri dari 15 pertanyaan dengan skor Benar (1) dan salah (0). Hasil penghitungan skor yang
didapat pengetahuan dikatakan baik apabila didapatkan jawaban benar >80%, pengetahuan
sedang bila 60-80% jawaban benar, dan pengetahuan kurang bila <60% jawaban benar
Kegiatan dilakukan pada Hari/Tanggal Sabtu, 23 Januari 2021, Pukul 08.00 – 11.00
bertempat di Aula Puskesmas Sitanggal, Kecamatan Sitanggal, Kabupaten Brebes.
a. Mengisi PROLANIS di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes
b. Menentukan responden yang akan menjadi subjek penelitian
c. Menjelaskan kepada responden mengenai penelitian yang akan dilakukan
d. Meminta responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan responden
e. Meminta responden melengkapi data identitas, demografi, PROLANIS terhadap
pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
f. Kuesioner yang dilengkapi secara pre test
g. Dilakukan Pemaparan mengenai pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus
Tipe 2
h. Kuesioner yang dilengkapi secara Post test
29
3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Teknik Pengolahan Data
a. Pengolahan Data (editing)
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di
proses lebih lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga
jika terjadi kesalahan maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
b. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya,
menjadi bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.
c. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.
d. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan ke dalam komputer diperiksa kembali untuk
mengkoreksi kemungkinan kesalahan.
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
31
Tabel 10. Distribusi Kelompok Usia Responden
Usia (tahun) N %
26 – 35 0 0
36 – 45 0 0
46 – 55 3 13
56 – 65 7 30,4
> 65 13 56,6
Total 23 100,0
32
Dari Tabel diatas, didapatkan bahwa seluruh responden sudah menikah.
Dalam penelitian ini, mayoritas responden merupakan ibu rumah tangga (52,2%).
4.1.2.2 Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2
Tabel 14. Distribusi Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2 Pre Test
Sikap N %
Baik (71─100) 0 0,0
Sedang (41─70) 3 13,0
Buruk (0─40) 20 87,0
Total 23 100,0
Dari 23 responden yang belum diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu
87,0% (20 orang) memiliki sikap yang buruk terhadap terhadap pola hidup terkait
faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki sikap yang sedang
Tabel 15. Distribusi Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2 Post Test
Sikap N %
Baik (71─100) 20 87,0
Sedang (41─70) 3 13,0
Buruk (0─40) 0 0,0
33
Total 23 100,0
Dari 23 responden yang telah diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu
87,0% (20 orang) memiliki sikap yang baik terhadap terhadap pola hidup terkait faktor risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki sikap yang sedang.
4.1.2.3 Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor
Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Tabel 16. Distribusi Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Pre Test
Tingkat Pengetahuan N %
Baik (>80%) 0 0,0
Sedang (60-80%) 3 13,0
Buruk (<60%) 20 87,0
Total 23 100,0
Dari 23 responden yang belum diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu 87,0%
(20 orang) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk terhadap terhadap pola hidup terkait
faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki Tingkat pengetahuan yang
sedang
Tabel 17. Distribusi Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Post Test
Tingkat pengetahuan N %
Baik (>80%) 20 87,0
Sedang (60-80%) 3 13,0
Buruk (<60%) 0 0,0
Total 23 100,0
34
4.1.2.4 Hubungan Skap dan Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2 sebelum dan Setelah diberikan
Pemaparan
Tabel 18 Hubungan Skap dan Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2 sebelum dan Setelah diberikan Pemaparan
N Correlation Sig.
Pair 1 Nilai Pre Sikap & Nilai Post Sikap 23 .708 .000
Berdasarkan tabel 18 hasil analisis didapatkan proporsi (p) sebesar 0,000 untuk variable sikap
dan p sebesar 0.020 untuk variabel tingkat pengetahuan. Dengan demikian maka terdapat
hubungan yang bermakna di karenakan nilai p < 0.005. Hal ini diartikan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna sikap dan tingkat pengetahuan setelah diberikan pemaparan .
Penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi terbanyak pada responden dengan tingkat
pengetahuan dan sikap yang baik setelah dilakukan pemararan pengenai Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2, yaitu 20 (87,0%) responden untuk sikap dan 20
(87,0%) untuk tingkat penegetahuan. Hal ini dikarenakan banyak faktor lain seperti tingkat
pendidikan, usia, dan pekerjaan.
4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata responden telah bersikap dan
berpengetahuan baik, yaitu sebanyak 20 orang (87,0%). Hal ini berkaitan dengan kemudahan
memperoleh informasi, di mana hal tersebut dapat mempercepat seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang baru. Pengetahuan dapat diperoleh dari hasil penginderaan
melalui mata dan telinga juga melalui pengalaman terhadap suatu objek atau subjek dan
informasi yang pernah didapatkan oleh seseorang. Di era ini, sumber informasi sangat
beragam, di antaranya media poster, kerabat dekat, media sosial, media massa, media
elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, dan sebagainya.16
35
Pengetahuan responden terkait pola makan sudah cukup baik. Namun, beberapa
responden masih berpikiran bahwa karena penyakit kencing manis ditandai dengan
meningkatnya kadar gula darah, asupan makanan berkolesterol tinggi tidak menjadi salah
satu faktor risiko munculnya penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Asupan kolesterol tinggi
dapat menyebabkan dislipidemia. Dislipidemia ditandai dengan tingginya trigliserida plasma,
menurunnya HDL, dan abnormalitas komposisi LDL. Dislipidemia berkaitan erat dengan
resistensi insulin, ciri khas dari perjalanan penyakit DM tipe 2. 17 Tingginya asupan kolesterol
juga dapat menyebabkan obesitas. Berlebihnya jaringan adiposa dalam tubuh meningkatkan
sitokin proinflamasi yang bersirkulasi dalam tubuh yang merupakan bagian penting dalam
mekanisme terjadinya resistensi insulin.18
Dalam hal aktivitas fisik dan olahraga, banyak ibu rumah tangga yang berpikir bahwa
aktivitas fisik seperti mencuci baju, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah dapat
tergolong olahraga. Pengertian olahraga yaitu sekumpulan aktivitas fisik yang terencana,
terstruktur, repetitif yang memiliki tujuan akhir peningkatan atau pemeliharaan kebugaran
jasmani (physical fitness), sehingga tidak dapat disamakan dengan kegiatan harian rumah
tangga yang merupakan aktivitas fisik.19
Olahraga teratur dapat mencegah DM tipe 2.20 Jenis olahraga yang dianjurkan adalah
olahraga aerobik yang meliputi pergerakan sekumpulan otot-otot besar yang terus-menerus,
seperti berjalan cepat, bersepeda, jogging, dan berenang.21
Pada penelitian ini, didapatkan kurangnya pengetahuan tanda dan gejala DM tipe 2, hal
ini sejalan dengan penelitian Fajarwati di mana pengetahuan mengenai tanda dan gejala
diabetes tergolong kurang baik. Hal ini perlu diperhatikan agar penderita DM tipe 2 dapat
lebih dini memeriksakan diri apabila terdapat tanda dan gejala tersebut.
Pada penelitian ini, didapatkan sikap responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko
DM tipe 2 sebagian besar tergolong baik (87%). Dalam hal ini, sikap sejalan dengan
pengetahuan, di mana dengan informasi yang cukup dapat menjadi dasar dari awal
pembentukan sikap yang baik.16 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap di
antaranya pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, dan pengaruh faktor emosional. 16
36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang terhadap 23 responden, didapatkan kesimpulan sebagai
berikut.
a. Sikap dan Tingkat pengetahuan responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko
DM tipe 2 sudah tergolong baik, terlihat dari hasil post test yang telah dilakukan
penelitian.
b. Sebagian besar responden memiliki sikap dan tingkat pengetahuan yang baik
terhadap pola hidup terkait faktor risiko DM Tipe 2, yaitu sebanyak 20 orang
(87,0%).
5.2 Saran
a. Perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai DM tipe 2, terutama faktor risiko serta
tanda dan gejalanya agar penyakit tersebut dapat dicegah dan dideteksi secara dini.
Seperti pembagian pamflet berisi informasi mengenai penyakit tersebut.
b. Perlu dilakukan pemantauan hasil pemeriksaan PROLANIS setiap bulannya untuk
menjaring penderita DM tipe 2.
c. Selain dari PROLANIS dapat dilakukan pembentukan kader Prolanis guna
meningkatkan kunjungan dan sadar penyakit.
37
DAFTAR PUSTAKA
38
17. DeFronzo RA. Insulin resistance, lipotoxicity, type 2 diabetes and atherosclerosis:
the missing links. The Claude Bernard Lecture 2009. Diabetologia. 2010 Jul
1;53(7):1270-87.
18. Makki K, Froguel P, Wolowczuk I. Adipose tissue in obesity-related inflammation
and insulin resistance: cells, cytokines, and chemokines. ISRN inflammation. 2013
Dec 22;2013.
19. Caspersen CJ, Powell KE, Christenson GM. Physical activity, exercise, and physical
fitness: definitions and distinctions for health-related research. Public health reports.
1985 Mar;100(2):126.
20. Schellenberg ES,Dryden DM, Vandermeer B, Ha C, Korownyk C. Lifestyle
interventions for patients with and at risk for type 2 diabetes: a systematic review and
meta-analysis. Ann Intern Med 2013;159:543–551
21. Siagian, Sondang. 2012. Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
22. Colberg SR, Sigal RJ, Yardley JE, Riddell MC, Dunstan DW, Dempsey PC, Horton
ES, Castorino K, Tate DF. Physical activity/exercise and diabetes: a position
statement of the American Diabetes Association. Diabetes Care. 2016 Nov
1;39(11):2065-79.)
39