Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes mellitus (DM) umumnya dikenal sebagai kencing manis. Diabetes mellitus
adalah penyakit yang ditandai dengan hiperglikemia (peningkatan kadar gula darah) yang
terus menerusdan bervariasi, terutama setelah makan. Diabetes mellitus merupakan keadaan
hiperglikemia kronik disertai berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal, yang
menimbulkan berbagai komplikasi kronik padamata, ginjal, dan pembuluh darah, disertai lesi
pada membran basalis dalam pemeriksaan dengan mikroskop elektron.
Menurut WHO kenaikan jumlah penduduk dunia yang terkena penyakit diabetes
semakin mengkhawatirkan. Pada tahun 2000 jumlah penduduk dunia yang menderita diabetes
sudah mencapai 171.230.000 orang dan pada tahun 2030 diperkirakan akan mencapai jumlah
366.210.100 orang atau naik sebesar 114 % dalam kurun waktu 30 tahun. Beberapa faktor
yang memegang peranan penting dalam perkembangan kasus penderita diabetes mellitus
adalah pola makan, perilaku yang menyimpang dan mengarah pada makanan yang siap saji
dengan kandungan berenergi tinggi, lemak dan sedikit serat yang dapat memicu diabetes
mellitus. Kontrol glikemik penderita diabetes mellitus sangat dipengaruhi oleh kepatuhan
klien tentang anjuran diet DM, meliputi jenis, jumlah dan waktu yang tepat untuk tercapainya
tujuan pengobatan dan memerlukan pemeriksaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Penderita Diabetes Mellitus yang tidak menunjukkan sikap yang baik terhadap
pengelolaan diet, maka akan terjadi komplikasi yang bisa menimbulkan kematian. Banyaknya
komplikasi yang dapat ditimbulkan, maka tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh
penderita DM untuk mencegah timbulnya komplikasi, yaitu dengan cara mengontrol kadar
gula darah secara rutin, patuh dalam diit rendah gula, pemekriksaan secara rutin gula darah,
latihan jasmani, dan perawatan kaki diabetik yang penting dilakukan oleh penderita DM.
Kurangnya pengetahuan, sikap, keyakinan serta kepercayaan terhadap penyakit
diabetes mellitus menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang tidak patuh
terhadap diet DM. Adapun cara untuk mencegah ketidakpatuhan diet DM, yaitu dengan
memberikan informasi tentang diet diabetes mellitus pada pasien, keluarga, serta merubah
keyakinan dan kepercayaan terhadap diet diabetes mellitus, kemudian memberikan
penyuluhan pola makan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan pasien dan membatasi
makanan yang memiliki kadar gula tinggi. Maka dari itu pengetahuan, sikap, dan perilaku

1
penderita DM tentang pengelolaan diet DM sangat penting dalam upaya membantu penderita
dalam mengontrol peningkatan kadar gula darah dalam tubuh agar tetap stabil.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
terhadap peserta PROLANIS dengan judul “Hubungan Sikap dan Tingkat Pengetahuan
Peserta PROLANIS terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes”.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran sikap peserta PROLANIS tentang faktor risiko diabetes
mellitus tipe 2 di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes?
2. Bagaimana gambaran tingkat pengetahuan peserta PROLANIS tentang faktor
risiko diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui Hubungan sikap dan tingkat pengetahuan peserta PROLANIS
tentang faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes.

1.3.2 Tujuan Khusus


Untuk meningkatkan kesadaran peserta PROLANIS di Puskesmas Sitanggal,
Kabupaten Brebes tentang pentingnya memeriksakan diri dan memonitoring faktor risiko
penyakit tidak menular, khusunya diabetes mellitus terhadap dirinya, keluarga, dan
masyarakat lingkungan sekitarnya.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara akademik, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan kajian ilmu
pengetahuan mengenai gambaran sikap dan perilaku peserta PROLANIS tentang tentang
faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes.

2
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Masyarakat Sekitar
Bagi masyarakat sekitar, yaitu warga di Wilayah Kerja Puskesmas Sitanggal,
Kabupaten Brebes adalah untuk menambah wawasan mengenai faktor risiko diabetes mellitus
tipe 2 sehingga dapat mencegah terjadinya diabetes mellitus tipe 2.

1.4.2.2 Bagi Instansi Terkait


Bagi instansi terkait, yaitu Puskesmas Sitanggal adalah hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai salah satu gambaran umum bagaimana sikap dan tingkat pengetahuan
peserta PROLANIS tentang faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 di Puskesmas Sitanggal,
Kabupaten Brebes sehingga dapat dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan penjaringan
terhadap penyakit diabetes mellitus tipe 2 guna mendeteksi dini penyakit dan mencegah
komplikasi.

1.4.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya


Sebagai data dasar dan referensi pendukung untuk melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai diabetes mellitus tipe 2.

1.4.2.4 Bagi Peserta Prolanis


Bagi Peserta Prolanis, yaitu dapat meningkatkan ilmu pengetahuan dan membenahi
sikap tentang pola hidup mengenai faktor risiko diabetes mellitus tipe 2 sehingga dapat
mencegah terjadinya komplikasi yang timbul oleh penyakit diabetes mellitus tipe 2.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Sikap


2.1.1 Definisi
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu
stimulus atau objek. Salah seseorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap
merupakan kesiapan atau ketersediaan untuk bertindak dan bukan merupakan pelaksanaan
motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, tetapi masih merupakan
predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap seseorang akan mempengaruhi perilaku
kesehatan. Apabila seseorang memiliki sikap positif maka akan menghasilkan perilaku
kesehatan yang positif pula.22

2.1.2 Ciri-Ciri
Ciri-ciri sikap adalah sebagai berikut.23
a. Sikap bukan dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang
perkembangan itu dalam hubungan dengan objeknya. Sifat ini yang membedakannya
dengan sifat motif-motif biogenis, seperti lapar, haus, dan kebutuhan akan istirahat.
b. Sikap dapat berubah-ubah. Oleh karena itu, sikap dapat dipelajari dan dapat berubah
bila terdapat keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah
perubahan sikap orang tersebut.
c. Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu terhadap
suatu objek. Dengan kata lain, sikap terbentuk, dipelajari, atau berubah senantiasa
berkenaan dengan suatu objek tertentu yang dapat dirumuskan dengan jelas.
d. Objek sikap merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga merupakan kumpulan
dari hal-hal tersebut.
e. Sikap mempunyai segi-segi motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang
membedakan sikap dan kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang
dimiliki orang.

4
2.1.3 Tingkatan
Tingkatan suatu sikap, antara lain sebagai berikut.22
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang tersebut mau dan memperhatikan stimulus
yang diberikan objek.
b. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya. Mengerjakan tugas yang diberikan
adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk menjawab pertanyaan
atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah
adalah berarti orang tersebut menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah
adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilih dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.

2.1.4 Fungsi
Fungsi sikap terbagi menjadi empat kategori, yaitu sebagai berikut.24
a. Fungsi Pengetahuan (The Knowledge Function)
Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti dengan pengalaman-
pengalamannya. Hal ini berarti bila seseorang mempunyai sikap tertentu terhadap
suatu objek maka orang tersebut akan menunjukkan tentang pengetahuannya
terhadap objek sikap yang bersangkutan.
b. Fungsi Instrumental/Fungsi Penyesuaian/Fungsi Manfaat (The Utilitarian atau
Instrumental Function)
Fungsi ini berkaitan dengan sarana dan tujuan. Orang memandang sejauh
mana objek sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka mencapai
tujuan. Bila objek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya maka
orang akan bersifat positif terhadap objek tersebut. Demikian sebaliknya, bila objek
sikap menghambat pencapaian tujuan maka orang akan bersikap negatif terhadap
objek sikap yang bersangkutan.

c. Fungsi Pertahanan Ego (The Ego Defensive Function)

5
Ini merupakan sikap yang diambil oleh seseorang untuk mempertahankan
egonya. Sikap ini diambil oleh seseorang pada waktu orang yang bersangkutan
terancam keadaan dirinya atau egonya.
d. Fungsi Ekspresi Nilai (The Value Expressive Function)
Sikap yang ada pada diri seseorang merupakan jalan bagi individu untuk
mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya. Dengan mengekspresikan diri,
seseorang akan mendapatkan kepuasan pada dirinya. Dengan individu mengambil
sikap tertentu akan menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada individu
yang bersangkutan.

2.1.5 Komponen
Struktur sikap dibedakan atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu sebagai
berikut.25
a. Komponen Kognitif
Merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap.
Komponen kognitif berisi kepercayaan stereotype yang dimiliki individu mengenai
sesuatu dapat disamarkan terutama apabila menyangkut masalah isu atau masalah
yang kontroversial.
b. Komponen Afektif
Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional
inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan
aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah
pengubah sikap seseorang. Komponen afektif disamakan dengan perasaan yang
dimiliki seseorang terhadap sesuatu.
c. Komponen Konatif
Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap
yang dimiliki oleh seseorang dan berisi tendensi atau kecenderungan untuk
bertindak/ bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

2.1.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

6
Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terhadap objek sikap, antara lain sebagai berikut.25
a. Pengalaman Pribadi
Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila
pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah
terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan
faktor emosional.
b. Pengaruh Orang Lain yang dianggap Penting
Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau
searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara
lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik
dengan orang yang dianggap penting tersebut.
c. Pengaruh Kebudayaan
Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat
asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis
pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.
d. Media Massa
Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya,
berita yang seharusnya faktual disampaikan secara objektif cenderung dipengaruhi
oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap sikap konsumennya.
e. Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama
Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat
menentukan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pada
gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.
f. Faktor Emosional
Terkadang, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi
yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk
mekanisme pertahanan ego.

2.1.7 Perubahan

7
Terdapat tiga proses yang berperan dalam proses perubahan sikap, diantaranya sebagai
berikut.25
a. Kesedihan (Compliance)
Terjadinya proses yang disebut kesedihan adalah ketika individu bersedia
menerima pengaruh dari orang lain atau kelompok lain dikarenakan individu
tersebut berharap untuk memperoleh reaksi positif, seperti pujian, dukungan,
simpati, dan semacamnya sambil menghindari hal-hal yang dianggap negatif. Tentu
saja perubahan perilaku yang terjadi dengan cara seperti itu tidak akan dapat
bertahan lama dan biasanya hanya tampak selama pihak lain diperkirakan masih
menyadari akan perubahan sikap yang ditunjukkan.
b. Identifikasi (Identification)
Proses identifikasi terjadi apabila individu meniru perilaku atau sikap
seseorang atau sikap sekelompok orang dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan
apa yang dianggapnya sebagai bentuk hubungan menyenangkan antara lain dengan
pihak yang dimaksud. Pada dasarnya, proses identifikasi merupakan sarana atau cara
untuk memelihara hubungan yang diinginkan dengan orang atau kelompok lain dan
cara menopang pengertiannya sendiri mengenai hubungan tersebut.
c. Internalisasi (Internalization)
Internalisai terjadi apabila individu menerima pengaruh dan bersedia menuruti
pengaruh itu dikarenakan sikap tersebut sesuai dengan apa yang dipercaya dan
sesuai dengan sistem nilai yang dianutnya. Dalam hal ini, maka isi dan hakekat sikap
yang diterima itu sendiri dianggap memuaskan oleh individu. Sikap demikian itulah
yang biasnya merupakan sikap yang dipertahankan oleh individu dan biasanya tidak
mudah untuk berubah selama sistem nilai yang ada dalam diri individu yang
bersangkutan masih bertahan.

2.2 Konsep Tingkat Pengetahuan DM TIPE 2

2.1.1 Definisi pengetahuan


Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah seseorang melakukan pengindraan
terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yaitu
penglihatan, pendengaran, penghidu, perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan
manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif menjadi domain penting
dalam seseorang melakukan tindakan (Notoatmodjo, 2003).

8
Sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru (berperilaku baru), maka dalam
diri seseorang tersebut akan terjadi sebuah proses berurutan, yakni sebagai berikut:
1. Timbul kesadaran (Awareness), yakni dimana seseorang menyadari,
mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus/ objek.
2. Ketertarikan (Interest), dimana seseorang mulai menaruh perhatian dan
tertarik pada stimulus.
3. Evaluation (menimbang-nimbang), dimana seseorang akan
mempertimbangkan baik buruknya tindakan terhadap stimulus tersebut bagi dirinya. Hal ini
sikap seseorang akan sudah lebih baik lagi.
4. Mulai mencoba (Trial), dimana seseorang memutuskan untuk mulai mencoba
perilaku baru.
Mengadaptasi (Adaption), dimana seseorang telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus. Sumber: (Efendi dan Makhfudli,
2013)

2.1.1 Tingkat pengetahuan


Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan atau
respon seseorang. Pengetahuan seseorang terhadap objek juga mempunyai intensitas atau
tingkat yang berbeda-beda. Secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan yaitu:

1. Mengetahui (know):
Mengetahui diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya atau mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari sesuatu yang sudah
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, tahu merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa
yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan
sebagainya.

2. Memahami (comprehension):
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
Orang yang telah paham terhadap objek atau materi tersebut harus dapat menjelaskan,

9
menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang
dipelajari.

3. Menerapkan (Application):
Menerapkan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan atau
menerapkan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya. Aplikasi di sini
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Menganalisis (analysis):
Menganalisis diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk menjabarkan atau
menghubungkan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek
yang diketahui, tetapi masih di dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu
sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja seperti dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan
sebagainya.

5. Mensintesis (Synthesis):
Mensintesis diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk merangkum dan
meletakkan bagian-bagian yang diketahui ke dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru dan
logis, atau bisa juga diartikan sebagai kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari
formulasi- formulasi yang telah ada.

6. Mengevaluasi (Evaluation):
Mengevaluasi diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan penilaian
terhadap suatu objek tertentu. Penilaian- penilaian tersebut didasarkan pada suatu kriteria
yang ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada. (Efendi dan
Makhfudli, 2013)

10
2.3 Diabetes Mellitus
2.3.1 Definisi
Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau
keduanya.9,10 Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh pankreas untuk mengatur
keseimbangan kadar gula darah.10

2.3.2 Klasifikasi
Klasifikasi DM yang  dianjurkan oleh PERKENI (Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia) yang sesuai dengan anjuran klasifikasi DM menurut American Diabetes
Association (ADA) adalah sebagai berikut. 9,11
a. Diabetes Mellitus tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin
absolut).                
1) Autoimun
2) Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya)
b. Diabetes Mellitus tipe 2 (bervariasi mulai dari yang terutama dominan resistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin
disertai resistensi insulin)
c. Diabetes Mellitus tipe lain.
Misalnya: gangguan genetik pada fungsi sel β, gangguan genetik pada kerja insulin,
penyakit eksokrin pankreas (seperti cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau
bahan kimia (seperti dalam pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
d. Diabetes Mellitus Gestasional (DMG)
Diabetes Mellitus Gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu intoleransi
glukosa yang terjadi pertama kali pada saat hamil. Setelah ibu melahirkan, keadaan
DMG sering akan kembali ke regulasi glukosa normal.

2.3.3 Faktor Risiko10, 12


Faktor risiko diabetes mellitus dapat dikelompokkan menjadi faktor risiko yang tidak
dapat dimodifikasi dan dapat dimodifikasi. Faktor risiko DM tipe 2 yang tidak dapat
dimodifikasi diantaranya sebagai berikut.

11
a. Usia, ras/ etnik (Amerika-Afrika, Amerika-Hispanik, Amerika-Asia, Kepulauan
Pasifik, Amerika asli)
b. Riwayat keluarga dengan DM (orangtua atau saudara kandung yang menderita DM
tipe 2)
c. Riwayat diabetes mellitus gestasional atau melahirkan dengan berat lahir bayi >4000
gram
d. Menderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau acanthosis nigracans, dan
e. Riwayat penyakit vaskular
Komponen genetik utama pada DM tipe 2 belum dapat diidentifikasi, namun jelas
bahwa keberadaannya poligenik dan multifaktorial. Berbagai lokus gen berkontribusi
terhadap kerentanan seseorang menderita DM dan faktor lingkungan, seperti nutrisi dan
aktivitas fisik, lebih lanjut memodulasi ekspresi fenotip dari penyakit ini. Seseorang dengan
kedua orang tua penderita DM tipe 2 memiliki risiko hingga 40% menderita DM tipe 2 pula.
Sementara itu, faktor risiko yang dapat dimodifikasi, yaitu sebagai berikut.
a. Berat badan lebih atau obesitas (BMI≥25 kg/m2)
b. Obesitas sentral
c. Kurangnya aktivitas fisik
d. Hipertensi (tekanan darah ≥140/90 mmHg)
e. Dislipidemia (HDL ≤35 mg/dL dan/atau kadar trigliserida ≥250 mg/dL)
f. Diet tidak sehat atau tidak seimbang
g. Riwayat Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) atau Gula Darah Puasa (GDP)
terganggu
h. Kebiasaan merokok

2.3.4 Patogenesis
Pada diabetes mellitus tipe 1 faktor genetik sangat berperan penting dalam patogenesis
penyakit. Tidak seperti diabetes mellitus tipe 1, patogenesis diabetes tipe 2 masih menjadi
kontroversi. Sejak lama, diketahui dua defek metabolik yang menjadi karakteristik diabetes
mellitus tipe 2 yaitu (1) penurunan respon jaringan perifer terhadap insulin (resistensi
insulin), (2) disfungsi sel beta pankreas sehingga sekresi insulin tidak memadai, dan (3)
produksi glukosa hepar yang berlebih.10,13
Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat dari
yang diketahui. DeFronzo pada tahun 2009 menyebutkan bahwa resistensi insulin pada

12
jaringan perifer juga ternyata tidak hanya otot dan liver saja. Organ lain yang juga berperan
dalam gangguan toleransi glukosa pada DM tipe 2 di antaranya jaringan lemak (peningkatan
lipolisis), gastrointestinal (defisiensi inkretin), sel alfa pankreas (hiperglaukagonemia), ginjal
(peningkatan absorpsi glaukosa), dan otak (disfungsi neurotransmitter). Delapan organ
penting dalam gangguan toleransi glukosa ini disebut sebagai ominous octet.9,14

Gambar 1. Delapan Organ yang Berperan dalam Patogenesis DM Tipe 214

2.3.5 Diagnosis9
Diagnosis DM tipe 2 ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah dengan bahan plasma darah vena.
Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa
darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya
glukosuria. Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya
DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti berikut ini.
a. Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang
tidak dapat dijelaskan sebabnya
b. Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada
pria, serta pruritus vulva pada wanita
Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan
ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi toleransi glukosa terganggu (TGT) dan
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

13
a. Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa
antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl
b. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2-jam
setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl
c. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
d. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c
yang menunjukkan angka 5,7-6,4%

Tabel 1. Kriteria Diagnosis DM tipe 29


Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan
kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.
Atau
Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi
oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP).
Catatan: Saat ini tidak semua laboratorium di Indonesia memenuhi standard NGSP, sehingga harus hati-hati
dalam membuat interpretasi terhadap hasil pemeriksaan HbA1c. Pada kondisi tertentu seperti: anemia,
hemoglobinopati, riwayat transfusi darah 2-3 bulan terakhir, kondisi-kondisi yang mempengaruhi umur eritrosit
dan gangguan fungsi ginjal maka HbA1c tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis maupun evaluasi.
Pemeriksaan penyaring dilakukan untuk menegakkan diagnosis Diabetes Mellitus Tipe
2 (DMT2) dan prediabetes pada kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klasik
DM, yaitu sebagai berikut.
a. Kelompok dengan berat badan lebih (Indeks Massa Tubuh [IMT] ≥23 kg/m2) yang
disertai dengan satu atau lebih faktor risiko sebagai berikut.
1) Aktivitas fisik yang kurang
2) First-degree relative DM (terdapat faktor keturunan DM dalam keluarga)
3) Kelompok ras/etnis tertentu
4) Perempuan yang memiliki riwayat melahirkan bayi dengan BBL >4 kg atau
mempunyai riwayat diabetes mellitus gestasional (DMG)
5) Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang mendapat terapi untuk hipertensi)
6) HDL <35 mg/dL dan atau trigliserida >250 mg/dL
7) Wanita dengan sindrom polikistik ovarium
8) Riwayat prediabetes

14
9) Obesitas berat, akantosis nigrikans
10) Riwayat penyakit kardiovaskular
b. Usia >45 tahun tanpa faktor risiko diatas
Catatan: Kelompok risiko tinggi dengan hasil pemeriksaan glukosa plasma normal
sebaiknya diulang setiap 3 tahun, kecuali pada kelompok prediabetes pemeriksaan
diulang tiap 1 tahun.

Tabel 2. Kadar Tes Laboratorium Darah untuk Diagnosis Diabetes dan Prediabetes 9
HbA1c (%) Glukosa darah puasa Glukosa plasma 2 jam
(mg/dL) setelah TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140

Tabel 3. Cara pelaksanaan TTGO9


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat yang cukup)
dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air
putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan.
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anakanak),
dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.

Pada keadaan yang tidak memungkinkan dan tidak tersedia fasilitas pemeriksaan
TTGO, maka pemeriksaan penyaring dengan mengunakan pemeriksaan glukosa darah
kapiler, diperbolehkan untuk patokan diagnosis DM. Dalam hal ini harus diperhatikan adanya
perbedaan hasil pemeriksaan glukosa darah plasma vena dan glukosa darah kapiler seperti
pada tabel di bawah ini.

15
Tabel 4. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan
diagnosis DM (mg/dl)9
Bukan DM Belum pasti DM
DM
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-199 ≥ 200
darah sewaktu Darah kapiler <90 90-199 ≥ 200
(mg/dl)
Kadar glukosa Plasma vena <100 100-125 ≥126
darah puasa Darah kapiler <90 90-99 ≥100
(mg/dl)

2.3.6 Penatalaksanaan15
Penatalaksanaan DM dimulai dengan pengaturan pola makan dan latihan jasmani
selama dua sampai empat minggu. Namun apabila kadar glukosa darah belum turun
mencapai sasaran, maka dilakukan intervensi farmakologis dengan Obat Hipoglikemik Oral
(OHO) dan atau suntikan insulin.

2.3.6.1 Penatalaksanaan Non Medikamentosa


2.3.6.1.1 Terapi Gizi Medis
Terapi gizi medis sangat direkomendasikan pada pasien DM karena prinsipnya yaitu
pengaturan pola makan berdasarkan status gizi dan modifikasi diet. Komposisi makanan yang
dianjurkan adalah sebagai berikut.
a. Karbohidrat
1) Karbohidrat yang disarankan sebesar 45-65% total asupan energi
2) Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi
3) Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga pasien DM dapat makan sama
dengan masakan keluarga yang lain
4) Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi
5) Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak melebihi
batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)
6) Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari.
Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau makanan lain
sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari
b. Lemak
1) Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori

16
2) Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi
3) Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
4) Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal
5) Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole milk)
6) Anjuran konsumsi kolesterol <200 mg/hari
c. Protein
1) Dibutuhkan sebesar 10 – 20% total asupan energi
2) Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi,dll), daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan
tempe
d. Natrium
1) Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran untuk
masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1
sendok teh) garam dapur
2) Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg
e. Serat
Anjuran konsumsi serat adalah ± 25 g/hari
Kebutuhan kalori: Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang
dibutuhkan penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan
memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB
ideal, ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis
kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dll.
Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca yang dimodifikasi
yaitu:
1) Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg
2) Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm,
rumus dimodifikasi menjadi:
a) Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg BB Normal : BB ideal
± 10 %
b) Kurus : < BBI - 10 % Gemuk : > BBI + 10 %
c) Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks
massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB (kg)/ TB (m2)

17
Klasifikasi IMT:
1) BB Kurang < 18,5
2) BB Normal 18,5-22,9
3) BB Lebih ≥ 23,0
4) Risiko obesitas 23,0-24,9
5) Obesitas I 25,0-29,9
6) Obesitas II > 30

2.3.6.1. 2 Latihan Jasmani


Latihan jasmani pada pasien DM dapat mengurangi resiko penyakit kardiovaskular dan
akan meningkatkan angka harapan hidup. Kegiatan fisik dapat meningkatkan rasa nyaman,
baik secara fisik, psikis maupun sosial serta tampak bugar. Namun akibat kemajuan
teknologi, banyak pasien DM yang malas untuk berolahraga bahkan bergerak dan hanya
mengandalkan kemudahan teknologi. Maka dirancanglah suatu kegiatan fisik yang teratur
dan terencana bagi pasien DM.
Latihan jasmani yang disarankan yaitu olahraga teratur 3-5 kali perminggu dengan
intensitas yang ringan atau sedang (60-70% Maximum Heart Rate). Olahraga yang dilakukan
sebaiknya yang dapat meningkatkan kemampuan kardiorespirasi seperti jalan, jogging,
berenang dan bersepeda.
Pada pasien DM yang telah mendapat terapi insulin harus mendapat perhatian, terutama
pada saat pemulihan. Hipoglikemi dan peningkatan kadar insulin dapat terjadi. Bila insulin
disuntikkan pada daerah lengan atau paha dapat memperbesar kemungkinan terjadi
hipoglikemi karena peningkatan hantaran insulin ke darah akibat pemompaan oleh otot pada
saat berkontraksi. Sehingga sebelum latihan jasmani, dianjurkan penyuntikan insulin pada
daerah abdomen.
Waktu yang dianjurkan untuk latihan jasmani setelah makan, saat kadar gula darah
berada pada puncaknya dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang berlebihan akan
menyebabkan peningkatan pelepasan glukosa dari hati dan peningkatan produksi benda –
benda keton.

2.3.6.2 Penatalaksanaan Medikamentosa


2.3.6.2.1 Obat Hipoglikemik Oral
Apabila pasien telah melakukan pengaturan pola makan dan latihan jasmani yang

18
teratur namun kadar gula darah tidak mencapai target atau tidak turun, maka penggunaan
obat hipoglikemik oral dapat dipertimbangkan.
a. Biguanid
Biguanid bekerja dengan cara menurunkan produksi glukosa dari hati,
menurunkan penyerapan glukosa di saluran cerna,dan meningkatkan kerja insulin.
Kelebihan biguanid tidak menambah berat badan, tidak terjadi hipoglikemi, dan
mengurangi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular. Sementara kerugiannya
mempunyai efek samping gastrointestinal, asidosis laktat, serta defisiensi vitamin
B12.
b. Sulfonilurea (generasi kedua)
Sulfonilurea berkerja dengan meningkatkan sekresi insulin.
Sulfonilurea dapat ditoleransi oleh tubuh dengan baik dan mengurangi resiko
terjadinya penyakit kardiovaskular. Namun pemakaiannya dapat
menyebabkan hipoglikemi, berat badan bertambah, dan cepat habis dalam
tubuh.
c. Meglitinid
Meglitinid mampu meningkatkan sekresi insulin. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemi setelah makan karena diabsorpsi dengan cepat.

d. Tiazolidindion (Glitazon)
Tiazolidindion dapat meningkatkan sensitivitas insulin di perifer.
Namun penggunaan tiazolidindion dapat meningkatkan resiko penyakit
kardiovaskular sehingga pemberiannya kontraindikasi pada pasien dengan
gagal jantung.
e. α-Glukosidase inhibitor
α-Glukosidase inhibitor bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di
usus halus sehingga dapat menurunkan glukosa post prandial. Namun
mempunyai efek samping pada gastrointestinal seperti kembung, flatulen, dan
diare.

2.3.6.2.2 Insulin
Insulin sudah ditemukan lebih dari 80 tahun yang lalu dan merupakan penemuan

19
terbesar abad XX dalam dunia kedokteran. Insulin adalah hormon yang dihasilkan oleh sel
beta pankreas yang terdiri dari rangkaian asam amino. Apabila terdapat rangsangan pada sel
beta pankreas, insulin akan disintesis, dan kemudian disekesikan ke dalam darah untuk
mengatur regulasi glukosa darah.
Keuntungan insulin dibandingkan obat hipoglikemi oral yaitu insulin enzim yang
terdapat di dalam tubuh. Karena insulin merupakan zat alami tubuh, pengobatan dapat
diberikan sesuai dengan pola sekresinya sebagai insulin basal atau insulin prandial. Selain itu
manfaat pemberian insulin khususnya pada DM tipe 2 yaitu mencegah kerusakan endotel,
menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis, dan memperbaiki profil lipid.
Dengan begitu, gejala klinis dan komplikasi pada DM akan lebih baik.
Awalnya terapi insulin hanya digunakan untuk DM tipe 1. Namun pada kenyataannya
terapi insulin lebih banyak digunakan pada DM tipe 2 karena prevalensinya yang lebih tinggi
dibanding DM tipe 1. Terapi insulin dapat digunakan pada beberapa keadaan seperti
kegagalan obat hiperglikemi oral, pengendalian kadar glukosa yang buruk yaitu A1C lebih
dari 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dL, riwayat pankreatektomi,
disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang melebar, riwayat ketoasidosis,
penyandang DM lebih dari 10 tahun. Insulin dapat dibagi berdasarkan lama kerjanya, yaitu
sebagai berikut.
a. Insulin rapid acting
Insulin ini mempunyai onset yang cepat, yaitu 5-15 menit dan mencapai
puncaknya pada 30 – 90 menit serta efektivitasnya bertahan 4-6 jam. Yang termasuk
dalam golongan ini yaitu lispro, aspart dan glulisin. Insulin jenis ini digunakan
sebagai insulin prandial karena onsetnya yang cepat.
b. Insulin short acting
Insulin ini mempunyai onset yang cepat yaitu 30-60 menit dan mencapai
puncaknya pada 2-3 jam serta efektivitasnya bertahan 8-10 jam. Yang termasuk
dalam golongan ini yaitu insulin reguler, actrapid. Insulin jenis ini digunakan
sebagai insulin prandial karena onsetnya yang cepat.
c. Insulin intermediate acting
Insulin ini mempunyai onset 2-4 jam dan mencapai puncaknya pada 4-10 jam
serta efektivitasnya bertahan 12-18 jam. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu
NPH (Netral Protamine Hegederon). Insulin jenis ini digunakan untuk memenuhi
kebutuhan insulin basal.

20
d. Insulin long acting
Insulin ini mempunyai onset 2-4 jam dan tidak memiliki peak of action serta
efektivitasnya bertahan 20-24 jam. Yang termasuk dalam golongan ini yaitu detemir
dan glargin. Insulin jenis ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan insulin basal
karena kadarnya yang dapat bertahan lama didalam tubuh.
e. Insulin campuran
Insulin campuran merupakan kombinasi dari insulin short acting dan
intermediate acting, sehingga preparat ini dapat digunakan sebagai insulin prandial
dan basal. Preparat yang tersedia antara lain humalin 70/30 humalog mix 50/50.

2.3.7 Komplikasi
2.3.7.1 Komplikasi Akut
a. Krisis Hiperglikemia
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah komplikasi akut diabetes yang ditandai
dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dl), disertai tanda
dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-
320 mOs/ml) dan terjadi peningkatan anion gap.9 KAD biasanya diderita oleh
penderita DM tipe 1, namun tidak menutup kemungkinan penderita DM tipe 2
dengan karakteristik imunologis seperti DM tipe 1 juga menderita KAD.10
Status Hiperglikemi Hiperosmolar (SHH) adalah suatu keadaan dimana terjadi
peningkatan glukosa darah sangat tinggi (600-1200 mg/dl), tanpa tanda dan gejala
asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/ml), plasma keton
(ada/tidak), anion gap normal atau sedikit meningkat.9 SHH merupakan komplikasi
yang sering ditemukan pada penderita DM tipe 2.10

Tabel 5. Manifestasi klinis KAD10


Gejala Pemeriksaan fisik
Mual/ muntah Takikardia
Kehausan/ polyuria Membran mukosa kering/ turgor
Nyeri perut menurun
Sesak napas Dehidrasi/ hipotensi
Faktor presipitasi Takipnea/ respirasi Kussmaul/ distres
Insulin yang inadekuat napas
Infeksi (pneumonia/ infeksi saluran Nyeri tekan abdomen
kemih/ gastroenteritis/ sepsis) Letargi/ edema serebri/ koma
Infark (serebri, koroner, mesenterika,
perifer)

21
Obat-obatan (kokain)
Kehamilan

KAD dan SHH mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi, sehingga
memerlukan perawatan di rumah sakit guna mendapatkan penatalaksanaan yang memadai.9
b. Hipoglikemia9
Hipoglikemia ditandai dengan menurunya kadar glukosa darah < 70 mg/dl.
Hipoglikemia adalah penurunan konsentrasi glukosa serum dengan atau tanpa
adanya gejala-gejala sistem otonom, seperti adanya whipple’s triad:
1) Terdapat gejala-gejala hipoglikemia
2) Kadar glukosa darah yang rendah
3) Gejala berkurang dengan pengobatan
Sebagian pasien dengan diabetes dapat menunjukkan gejala glukosa darah
rendah tetapi menunjukkan kadar glukosa darah normal. Di lain pihak, tidak semua
pasien diabetes mengalami gejala hipoglikemia meskipun pada pemeriksaan kadar
glukosa darahnya rendah. Penurunan kesadaran yang terjadi pada penyandang
diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan disebabkan oleh hipoglikemia.
Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin.

Tabel 6. Tanda dan Gejala Hipoglikemia pada Orang Dewasa10


Tanda Gejala
Autonomik Rasa lapar, berkeringat, Pucat, takikardia, widened
gelisah, paresthesia, pulse-pressure
palpitasi, Tremulousness
Neuroglikopenik Lemah, lesu, dizziness, Cortical-blindness,
pusing, confusion, hipotermia, kejang, koma
perubahan sikap, gangguan
kognitif, pandangan kabur,
diplopia

2.3.7.2 Komplikasi Kronik9


a. Makroangiopati
1) Pembuluh darah jantung: penyakit jantung koroner

22
2) Pembuluh darah tepi: penyakit arteri perifer yang sering terjadi pada penyandang
DM. Gejala tipikal yang biasa muncul pertama kali adalah nyeri pada saat
beraktivitas dan berkurang saat istirahat (claudicatio intermittent), namun sering
juga tanpa disertai gejala. Ulkus iskemik pada kaki merupakan kelainan yang
dapat ditemukan pada penderita.
3) Pembuluh darah otak: stroke iskemik atau stroke hemoragik
b. Mikroangiopati
1) Retinopati diabetik
2) Nefropati diabetik
3) Neuropati

Tabel 7. Komplikasi Kronik DM10


Mikrovaskular
Penyakit mata
Retinopati (nonproliferatif/ proliferatif)
Edema makula
Neuropati
Sensori dan motor (mono- dan polineuropati)
Autonomic
Nefropati
Makrovaskular
Penyakit arteri coroner
Penyakit arteri perifer
Penyakit serebrovaskular
Lainnya
Gastrointestinal (gastroparesis, diare)
Genitourinari (uropati/ disfungsi seksual)
Penyakit kulit
Infeksi
Katarak
Glaukoma

2.3.8 Pencegahan9
Mengingat jumlah pasien yang semakin meningkat dan besarnya biaya perawatan
pasien penderita diabetes mellitus yang terutama disebabkan oleh karena komplikasi, maka
upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994, upaya pencegahan
pada penderita diabetes mellitus ada 3 tahap, yaitu sebagai berikut.
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah suatu upaya yang ditujukan pada orang-orang yang
termasuk kelompok resiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita diabetes

23
mellitus, tetapi berpotensi untuk menderita diabetes mellitus. Pencegahan ini
merupakan suatu cara yang sangat sulit karena yang menjadi sasarannya adalah
orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih sehat sehingga cakupannya
menjadi sangat luas.
Yang bertanggung jawab dalam hal ini bukan hanya profesi tetapi semua
pihak, untuk mempromosikan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup
beresiko, seperti: kampanye makanan sehat dengan pola tradisional yang
mengandung lemak rendah atau pola makan seimbang, menjaga berat badan agar
tidak gemuk dengan olah raga secara teratur. Cara tersebut merupakan alternatif
terbaik dan harus sudah ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-
kanak. Hal ini merupakan salah satu upaya pencegahan primer yang sangat murah
dan efektif.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan atau menghambat timbulnya
komplikasi dengan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak awal penyakit.
Deteksi dini dilakukan dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi.
Menurut WHO (1994) untuk negara berkembang termasuk Indonesia kegiatan
tersebut memerlukan biaya yang sangat besar.
Pada pencegahan sekunder penyuluhan tentang perilaku terhadap sehat seperti
pada pencegahan primer harus dilaksanakan ditambah dengan peningkatan
pelayanan kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan, disamping itu juga
diperlukan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal
mengenai penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi.
c. Pencegahan Tersier
Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang diakibatkannya terdiri dari 3
tahap, antara lain:
1) Mencegah timbulnya komplikasi.
2) Mencegah berlanjutnya komplikasi untuk tidak terjadi kegagalan organ.
3) Mencegah terjadinya kecacatan oleh karena kegagalan organ atau jaringan.
Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik antara pasien dan dokter maupun
antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya. Dalam
hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien untuk
mengendalikan diabetesnya.

24
25
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
dengan pendekatan cross sectional. Penelitian cross sectional merupakan jenis penelitian
yang menekankan waktu pengukuran atau observasi data variabel independen dan dependen
hanya satu kali pada suatu saat. Variabel dinilai secara simultan pada satu saat, jadi tidak ada
tindak lanjut (Nursalam, 2016).
Bertujuan untuk menggambarkan sikap dan tingkat pengetahuan peserta PROLANIS
terhadap faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes.
Hasil penelitian disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi terhadap variabel yang diteliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes saat PROLANIS
pada bulan Januari 2021.

3.3 Subjek Penelitian


Subjek penelitian ini adalah seluruh peserta PROLANIS yang datang ke Puskesmas
Sitanggal, Kabupaten Brebes pada bulan Januari 2021, yang memenuhi kriteria inklusi.

3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1 Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi merupakan syarat-syarat yang perlu diperhatikan untuk menjadikan
seseorang subjek penelitian. Kriteria inklusi penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Peserta PROLANIS BPJS di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes
b. Bersedia berpartisipasi menjadi responden penelitian

3.4.2 Kriteria Eksklusi


Kriteria eksklusi adalah syarat-syarat yang membuat subjek dikeluarkan dari penelitian,
padahal pada awalnya subjek tersebut memenuhi syarat untuk masuk ke dalam penelitian.
Kriteria eksklusi penelitian ini adalah responden yang tidak mengisi kuesioner dengan
lengkap.

26
3.5 Instrumen Penelitian
Pada penelitian ini, digunakan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan mengenai
data identitas, demografi, sikap, serta tingkat Pengetahuan peserta PROLANIS terhadap pola
hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2.

3.6 Definisi Operasional Variabel


Tabel 8. Definisi Operasional Variabel
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Jenis Perbedaan antara Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
Kelamin perempuan dengan 2. Perempuan
laki-laki secara
biologis.
2. Usia Lama waktu hidup Kuesioner 1. Dewasa awal Ordinal
sejak dilahirkan (26-35) th
2. Dewasa akhir
(36-45) th
3. Lansia awal (46-
55) th
4. Lansia akhir (56-
65) th
5. Manula > 65 th
3. Pendidikan Jenjang pendidikan Kuesioner 1. Tidak sekolah Ordinal
terakhir formal terakhir yang 2. SD
ditempuh hingga lulus 3. SMP
4. SMA
5. Diploma
6. Sarjana
4. Status Keadaan sudah Kuesioner 1. Sudah menikah Nominal
pernikahan menikah atau belum 2. Belum menikah
5. Pekerjaan Kegiatan yang Kuesioner 1. Ibu rumah Nominal
dilakukan sehari-hari tangga
yang dijadikan pokok 2. PNS
penghidupan 3. Pegawai swasta
4. Wiraswasta
6. Independen Tanggapan atau reaksi Kuesioner 1. Baik (nilai 71- Ordinal
Sikap berkaitan dengan 100)
tentang faktor risiko DM tipe 2. Sedang (nilai 41-
faktor risiko 2 70)
DM tipe 2 3. Buruk (nilai 0-
40)
Diambil dalam
pretest dan post
test
7. Independen Pemahaman Kuesioner Jawaban dalam Ordinal

27
No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
Tingkat responden mengenai kuesioner yang
pengetahuan informasi diet DM benar diberi skor 1,
diet berdasarkan ketepatan dan jawaban yang
jadwal makan, jenis salah diberi skor 0
makanan, dan jumlah
makanan yang Diketahui dari hasil
dikonsumsi kuesioner dan
diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Pengetahuan
baik, bila>80%
jawaban benar
2. Pengetahuan
sedang, bila 60-
80% jawaban
benar
3. Pengetahuan
kurang <60%
Jawaban benar
(Haskas,2016) dan
(Fitzgerald,
2016). Data
diambil dengan pre
test dan post test

3.6.1 Sikap terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
Sikap responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
diukur melalui 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban “sangat setuju (SS)”, “setuju (S)”,
“tidak setuju (TS)”, dan “sangat tidak setuju (STS)”. Jika jawaban yang benar adalah “sangat
setuju” maka:
 Responden yang menjawab “sangat setuju” diberi nilai 10
 Responden yang menjawab “setuju” diberi nilai 7.5
 Responden yang menjawab “tidak setuju” diberi nilai 5
 Responden yang menjawab “sangat tidak setuju” diberi nilai 2.5
Sebaliknya, apabila jawaban yang benar adalah “sangat tidak setuju”, maka:
 Responden yang menjawab “sangat tidak setuju” diberi nilai 10
 Responden yang menjawab “tidak setuju” diberi nilai 7.5

28
 Responden yang menjawab “setuju” diberi nilai 5
 Responden yang menjawab “sangat setuju” diberi nilai 2.5
Selanjutnya, total nilai dikategorikan menjadi baik, sedang, dan buruk sesuai definisi berikut:
 Baik, apabila total nilai 71-100
 Sedang, apabila total nilai 41-70
 Buruk, apabila total nilai 0-41

3.6.2 Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2
Tingkat Pengetahuan responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2 diukur melalui Knowledge of Diabetic Diet Questionnaire (KDDQ).
Kuesioner tingkat pengetahuan diet DM digunakan untuk mengkaji tingkat pengetahuan
penderita DM untuk patuh terhadap diet DM. Kuesioner tingkat pengetahuan diadopsi dari
kuesioner yang dibuat oleh Fitzgerald (2016) dan Haskas (2016). Pemilihan pertanyaan
kuesioner berdasarkan dengan data operasional dari penelitian ini. Kuesioner pengetahuan
terdiri dari 15 pertanyaan dengan skor Benar (1) dan salah (0). Hasil penghitungan skor yang
didapat pengetahuan dikatakan baik apabila didapatkan jawaban benar >80%, pengetahuan
sedang bila 60-80% jawaban benar, dan pengetahuan kurang bila <60% jawaban benar

3.7 Teknis Pelaksanaan

Kegiatan dilakukan pada Hari/Tanggal Sabtu, 23 Januari 2021, Pukul 08.00 – 11.00
bertempat di Aula Puskesmas Sitanggal, Kecamatan Sitanggal, Kabupaten Brebes.
a. Mengisi PROLANIS di Puskesmas Sitanggal, Kabupaten Brebes
b. Menentukan responden yang akan menjadi subjek penelitian
c. Menjelaskan kepada responden mengenai penelitian yang akan dilakukan
d. Meminta responden mengisi dan menandatangani lembar persetujuan responden
e. Meminta responden melengkapi data identitas, demografi, PROLANIS terhadap
pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2
f. Kuesioner yang dilengkapi secara pre test
g. Dilakukan Pemaparan mengenai pola hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus
Tipe 2
h. Kuesioner yang dilengkapi secara Post test

29
3.8 Metode Pengolahan dan Analisis Data
3.8.1 Teknik Pengolahan Data
a. Pengolahan Data (editing)
Meneliti kembali apakah lembar kuesioner sudah cukup baik sehingga dapat di
proses lebih lanjut. Editing dapat dilakukan di tempat pengumpulan data sehingga
jika terjadi kesalahan maka upaya perbaikan dapat segera dilaksanakan.
b. Pengkodean (Coding)
Usaha mengklarifikasi jawaban-jawaban yang ada menurut macamnya,
menjadi bentuk yang lebih ringkas dengan menggunakan kode.
c. Pemasukan Data (Entry)
Memasukan data ke dalam perangkat komputer sesuai dengan kriteria.
d. Pembersihan Data (Cleaning data)
Data yang telah di masukan ke dalam komputer diperiksa kembali untuk
mengkoreksi kemungkinan kesalahan.

3.8.2 Teknik Analisis Data


Pada penelitian ini digunakan analisis univariat yaitu analisis yang dilakukan terhadap
setiap variabel dari hasil penelitian dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan
presentase dari tiap variabel yang diteliti.

30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


4.1.1 Gambaran Umum
Penelitian ini dilakukan terhadap peserta PROLANIS yang datang ke Puskesmas
Sitanggal, Kabupaten Brebes pada bulan Jnauari 2021. Terdapat 23 responden yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian dan 2 responden yang dieksklusi karena tidak mengisi
kuisioner dengan lengkap.

4.1.2 Analisis Data


Analisis univariat digunakan untuk menilai gambaran data yang terdiri dari
karakteristik demografi sampel yang terdiri atas jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir,
status pernikahan, dan pekerjaan, serta sikap dan perilaku peserta PROLANIS terhadap pola
hidup terkait faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2.

4.1.2.1 Karakteristik Demografi Responden


Berdasarkan hasil kuesioner 23 responden, didapatkan hasil sebagai berikut.

Tabel 9. Distribusi Jenis Kelamin Responden


Jenis Kelamin N %
Laki-laki 11 47,8
Perempuan 12 52,2
Total 23 100,0

Dari penelitian didapatkan responden yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 11


orang (47,8%), dan yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 orang (52,2%).

31
Tabel 10. Distribusi Kelompok Usia Responden
Usia (tahun) N %
26 – 35 0 0
36 – 45 0 0
46 – 55 3 13
56 – 65 7 30,4
> 65 13 56,6
Total 23 100,0

Penelitian ini mengelompokkan usia responden menjadi 5 kelompok. Dari 23


responden yang diteliti didapatkan frekuensi kelompok usia responden terbesar adalah usia >
65 tahun sebanyak 13 orang (56,6%), sementara tidak terdapat responden kelompok usia 26 –
35 tahun dan 36 – 45 tahun.

Tabel 11. Distribusi Pendidikan Terakhir Responden


Pendidikan Terakhir N %
Tidak Sekolah 1 4,3
SD 14 60,9
SMP 4 17,5
SMA 2 8,7
Diploma 1 4,3
Sarjana 1 4,3
Total 23 100,0

Dari 23 responden yang diteliti, didapatkan sebagian besar responden berpendidikan


terakhir SD, yaitu sebanyak 14 orang (60,9%).

Tabel 12. Distribusi Status Pernikahan Responden


Status Pernikahan N %
Belum Menikah 0 0,0
Sudah Menikah 23 100,0
Total 23 100,0

32
Dari Tabel diatas, didapatkan bahwa seluruh responden sudah menikah.

Tabel 13. Distribusi Pekerjaan Responden


Pekerjaan N %
Ibu Rumah Tangga 12 52,2
PNS 1 4,3
Pegawai Swasta 0 0,0
Wiraswasta 10 43,5
Total 23 100,0

Dalam penelitian ini, mayoritas responden merupakan ibu rumah tangga (52,2%).

4.1.2.2 Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko Diabetes
Mellitus Tipe 2

Tabel 14. Distribusi Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2 Pre Test
Sikap N %
Baik (71─100) 0 0,0
Sedang (41─70) 3 13,0
Buruk (0─40) 20 87,0
Total 23 100,0

Dari 23 responden yang belum diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu
87,0% (20 orang) memiliki sikap yang buruk terhadap terhadap pola hidup terkait
faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki sikap yang sedang

Tabel 15. Distribusi Sikap Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor Risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2 Post Test
Sikap N %
Baik (71─100) 20 87,0
Sedang (41─70) 3 13,0
Buruk (0─40) 0 0,0

33
Total 23 100,0

Dari 23 responden yang telah diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu
87,0% (20 orang) memiliki sikap yang baik terhadap terhadap pola hidup terkait faktor risiko
Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki sikap yang sedang.

4.1.2.3 Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait Faktor
Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2

Tabel 16. Distribusi Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Pre Test

Tingkat Pengetahuan N %
Baik (>80%) 0 0,0
Sedang (60-80%) 3 13,0
Buruk (<60%) 20 87,0
Total 23 100,0

Dari 23 responden yang belum diberikan pemaparan, sebagian besar responden yaitu 87,0%
(20 orang) memiliki tingkat pengetahuan yang buruk terhadap terhadap pola hidup terkait
faktor risiko Diabetes Mellitus Tipe 2. Sisanya (3 orang) memiliki Tingkat pengetahuan yang
sedang

Tabel 17. Distribusi Tingkat Pengetahuan Peserta Prolanis terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Mellitus Tipe 2 Post Test

Tingkat pengetahuan N %
Baik (>80%) 20 87,0
Sedang (60-80%) 3 13,0
Buruk (<60%) 0 0,0
Total 23 100,0

34
4.1.2.4 Hubungan Skap dan Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2 sebelum dan Setelah diberikan
Pemaparan
Tabel 18 Hubungan Skap dan Tingkat Pengetahuan terhadap Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2 sebelum dan Setelah diberikan Pemaparan

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Nilai Pre Sikap & Nilai Post Sikap 23 .708 .000

Pair 2 Nilai Pre Pengetahuan & Nilai 23 .481 .020


Post Pengetahuan

Berdasarkan tabel 18 hasil analisis didapatkan proporsi (p) sebesar 0,000 untuk variable sikap
dan p sebesar 0.020 untuk variabel tingkat pengetahuan. Dengan demikian maka terdapat
hubungan yang bermakna di karenakan nilai p < 0.005. Hal ini diartikan bahwa terdapat
hubungan yang bermakna sikap dan tingkat pengetahuan setelah diberikan pemaparan .
Penelitian ini menunjukkan bahwa distribusi terbanyak pada responden dengan tingkat
pengetahuan dan sikap yang baik setelah dilakukan pemararan pengenai Pola Hidup terkait
Faktor Risiko Diabetes Militus Tipe 2, yaitu 20 (87,0%) responden untuk sikap dan 20
(87,0%) untuk tingkat penegetahuan. Hal ini dikarenakan banyak faktor lain seperti tingkat
pendidikan, usia, dan pekerjaan.

4.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata responden telah bersikap dan
berpengetahuan baik, yaitu sebanyak 20 orang (87,0%). Hal ini berkaitan dengan kemudahan
memperoleh informasi, di mana hal tersebut dapat mempercepat seseorang untuk
memperoleh pengetahuan yang baru. Pengetahuan dapat diperoleh dari hasil penginderaan
melalui mata dan telinga juga melalui pengalaman terhadap suatu objek atau subjek dan
informasi yang pernah didapatkan oleh seseorang. Di era ini, sumber informasi sangat
beragam, di antaranya media poster, kerabat dekat, media sosial, media massa, media
elektronik, buku petunjuk, petugas kesehatan, dan sebagainya.16

35
Pengetahuan responden terkait pola makan sudah cukup baik. Namun, beberapa
responden masih berpikiran bahwa karena penyakit kencing manis ditandai dengan
meningkatnya kadar gula darah, asupan makanan berkolesterol tinggi tidak menjadi salah
satu faktor risiko munculnya penyakit Diabetes Mellitus tipe 2. Asupan kolesterol tinggi
dapat menyebabkan dislipidemia. Dislipidemia ditandai dengan tingginya trigliserida plasma,
menurunnya HDL, dan abnormalitas komposisi LDL. Dislipidemia berkaitan erat dengan
resistensi insulin, ciri khas dari perjalanan penyakit DM tipe 2. 17 Tingginya asupan kolesterol
juga dapat menyebabkan obesitas. Berlebihnya jaringan adiposa dalam tubuh meningkatkan
sitokin proinflamasi yang bersirkulasi dalam tubuh yang merupakan bagian penting dalam
mekanisme terjadinya resistensi insulin.18
Dalam hal aktivitas fisik dan olahraga, banyak ibu rumah tangga yang berpikir bahwa
aktivitas fisik seperti mencuci baju, menyapu, mengepel dan membersihkan rumah dapat
tergolong olahraga. Pengertian olahraga yaitu sekumpulan aktivitas fisik yang terencana,
terstruktur, repetitif yang memiliki tujuan akhir peningkatan atau pemeliharaan kebugaran
jasmani (physical fitness), sehingga tidak dapat disamakan dengan kegiatan harian rumah
tangga yang merupakan aktivitas fisik.19
Olahraga teratur dapat mencegah DM tipe 2.20 Jenis olahraga yang dianjurkan adalah
olahraga aerobik yang meliputi pergerakan sekumpulan otot-otot besar yang terus-menerus,
seperti berjalan cepat, bersepeda, jogging, dan berenang.21
Pada penelitian ini, didapatkan kurangnya pengetahuan tanda dan gejala DM tipe 2, hal
ini sejalan dengan penelitian Fajarwati di mana pengetahuan mengenai tanda dan gejala
diabetes tergolong kurang baik. Hal ini perlu diperhatikan agar penderita DM tipe 2 dapat
lebih dini memeriksakan diri apabila terdapat tanda dan gejala tersebut.
Pada penelitian ini, didapatkan sikap responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko
DM tipe 2 sebagian besar tergolong baik (87%). Dalam hal ini, sikap sejalan dengan
pengetahuan, di mana dengan informasi yang cukup dapat menjadi dasar dari awal
pembentukan sikap yang baik.16 Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap di
antaranya pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting, pengaruh
kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan, dan pengaruh faktor emosional. 16

36
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang terhadap 23 responden, didapatkan kesimpulan sebagai
berikut.
a. Sikap dan Tingkat pengetahuan responden terhadap pola hidup terkait faktor risiko
DM tipe 2 sudah tergolong baik, terlihat dari hasil post test yang telah dilakukan
penelitian.
b. Sebagian besar responden memiliki sikap dan tingkat pengetahuan yang baik
terhadap pola hidup terkait faktor risiko DM Tipe 2, yaitu sebanyak 20 orang
(87,0%).

5.2 Saran
a. Perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai DM tipe 2, terutama faktor risiko serta
tanda dan gejalanya agar penyakit tersebut dapat dicegah dan dideteksi secara dini.
Seperti pembagian pamflet berisi informasi mengenai penyakit tersebut.
b. Perlu dilakukan pemantauan hasil pemeriksaan PROLANIS setiap bulannya untuk
menjaring penderita DM tipe 2.
c. Selain dari PROLANIS dapat dilakukan pembentukan kader Prolanis guna
meningkatkan kunjungan dan sadar penyakit.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Noncommunicable Disease. 2018, Available from http://www.who.int/news-


room/fact-sheets/detail/noncommunicable-diseases
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buletin Jendela Data dan Informasi
Kesehatan. 2012, Jakarta: Kementerian Kesehatan Indonesia
3. Mathers CD, Loncar D. Projections of global mortality and burden of disease from
2002 to 2030. PLoS medicine. 2006 Nov 28;3(11):e442.
4. Guariguata L, Whiting DR, Hambleton I, Beagley J, Linnenkamp U, Shaw JE. Global
estimates of diabetes prevalence for 2013 and projections for 2035. Diabetes research
and clinical practice. 2014 Feb 1;103(2):137-49.
5. Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar, Jakarta.
6. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. InfoDatin Diabetes Mellitus,
Jakarta.
7. Notoatmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
8. Notoatmodjo, S. 2015. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
9. PERKENI. 2015. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2
di Indonesia. Jakarta: PB PERKENI
10. Kasper, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. 2005. Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th edition, New York: McGraw-Hill
11. American Diabetes Association. 2015. Diagnosis dan classification of diabetes
mellitus. Diabetes Care, 27(1), 55-60.
12. Kementerian Kesehatan RI. 2014. Situasi dan Analisis Diabetes, Jakarta: Pusat Data
dan Informasi Kementerian Kesehatan RI
13. Kumar, V., Abbas, A. K., Aster, J. C. 2007. Robbin and Cotran Pathologic Basis of
Disease, 8th edition., Philadelphia: Saunders Elsevier
14. DeFronzo RA. From the Triumvirate to the Ominous Octet: a New Paradigm for the
Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009 Apr 1;58(4):773-95.
15. Soegondo, S.dkk, 2004. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu, Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
16. Notoatmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: PT Rinneka
Cipta

38
17. DeFronzo RA. Insulin resistance, lipotoxicity, type 2 diabetes and atherosclerosis:
the missing links. The Claude Bernard Lecture 2009. Diabetologia. 2010 Jul
1;53(7):1270-87.
18. Makki K, Froguel P, Wolowczuk I. Adipose tissue in obesity-related inflammation
and insulin resistance: cells, cytokines, and chemokines. ISRN inflammation. 2013
Dec 22;2013.
19. Caspersen CJ, Powell KE, Christenson GM. Physical activity, exercise, and physical
fitness: definitions and distinctions for health-related research. Public health reports.
1985 Mar;100(2):126.
20. Schellenberg ES,Dryden DM, Vandermeer B, Ha C, Korownyk C. Lifestyle
interventions for patients with and at risk for type 2 diabetes: a systematic review and
meta-analysis. Ann Intern Med 2013;159:543–551
21. Siagian, Sondang. 2012. Teori motivasi dan aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta.
22. Colberg SR, Sigal RJ, Yardley JE, Riddell MC, Dunstan DW, Dempsey PC, Horton
ES, Castorino K, Tate DF. Physical activity/exercise and diabetes: a position
statement of the American Diabetes Association. Diabetes Care. 2016 Nov
1;39(11):2065-79.)

39

Anda mungkin juga menyukai