runtuh, karena sumber kekuatanku sudah hilang. Penopang, pembimbing dan penasehat terbaik dalam hidupku sudah pergi. Takdir itu nyata adanya, tidak ada yang tahu kapan dan seperti apa datangnya. Saat roh berpisah dari jasad, saat nyawa itu direnggut, saat itulah air mataku mengalir tak terbendung. Ketika aku menerawang jauh ke masa lalu dimana aku bisa melihat jelas wajah tersenyumnya. Pengorbanan dan perjuangan beliau seakan masih bisa aku rasakan saat ini.
Nasehat yang selalu terselip dari dongeng si kancil
yang selalu beliau ceritakan masih berputar di ingatanku. Dia adalah seseorang yang melalui dirinya aku ada di dunia ini. Dia adalah ayahku, yang membesarkanku dengan penuh cinta dan kasih sayang. Tidak sedikitpun kenangan yang aku ingat dengan beliau terlupakan, semua tersimpan jelas dalam memori otakku. Tidak ada yang dapat menggantikan beliau dalam hal apapun.
Ayah adalah orang yang paling hebat menurutku,
beliau selalu berusaha menjadi yang terbaik. Ayahku seorang yang pekerja keras agar aku, adik dan kakakku bisa sekolah. Tidak pernah terlihat olehku beliau mengeluh, hanya senyum yang kulihat diwajahnya yang mulai keriput. Selama tiga belas tahun aku merasakan kasih sayang dan cinta yang begitu tulus, Beliau adalah cinta pertamaku sebagai seorang anak perempuan.
Kehilangan cinta pertama seorang anak perempuan
memberikan luka yang begitu dalam, itulah yang aku rasakan tujuh tahun lalu. Tiga belas tahun merupakan waktu yang sangat singkat untuk setiap kebersamaan yang kita lalui. Setiap detik selama tiga belas tahun itu, beliau mengajarkan begitu banyak tentang arti kehidupan. Tentang arti sebuah kesabaran, kekuatan, kerja keras, dan tentunya dengan bekal ilmu agama yang beliau tanamkan sejak aku masih kecil.
Kehilangan beliau mengajarkanku betapa seorang
anak perempuan itu harus kuat. Kehilangan beliau juga mengajarkanku arti sebuah keikhlasan. Ikhlas dalam menerima takdir sang pencipta, sehingga aku bisa memahami ternyata walaupun beliau sudah tidak ada di dunia namun duniaku masih akan terus berlanjut.
Hidupku akan terus berjalan hingga saatnya nanti aku
pasti menyusul beliau. Beliau memang tidak bisa mengantarkan aku hingga dewasa, tapi aku berjanji pada diriku bahwa aku akan membuat beliau bangga aku harus jadi anak yang sukses.
Terima kasih ayah telah membekali aku dengan
kekuatan itu hingga aku bisa menjadi anak perempuan yang kuat. Terima kasih telah membekali aku dengan ilmu agama hingga aku tahu kemana aku harus berkeluh kesah. Terima kasih ayah atas semua pengorbanan, perjuangan, rasa cinta dan kasih sayang.
Ribuan ucapan terima kasih pun tidak akan bisa
membalas segala jasa dan pengorbananmu. Hanya doa yang selalu terselip dalam setiap sujudku semoga kita bisa dipertemukan lagi suatu saat nanti dalam surga yang abadi. Terima kasih ayah, aku rindu selalu.
Kalimat Hikmah:
Kehilangan orang tersayang memberikan luka yang begitu
dalam, tapi percayalah setiap kehilangan juga memberi makna tentang arti sebuah kekuatan, keikhlasan dan kesabaran.
Biodata Penulis
Sri Aifa Mayasari. Biasa dipanggil aifa kecuali di keluarga
biasa dipanggil ipa. Saya lahir di salah satu nagari di provinsi Sumatera Barat, namanya nagari Maek pada tanggal 23 Mei 2001. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi terbaik, IPB University. Tulisan ini saya tulis untuk mengenang almarhum ayah saya, semoga beliau ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Aamiin.