Anda di halaman 1dari 3

Terima Kasih, Aku Rindu

Oleh: S. Aifa Mayasari

@sriaifams_

Tujuh tahun lalu aku pikir bahwa duniaku sudah


runtuh, karena sumber kekuatanku sudah hilang. Penopang,
pembimbing dan penasehat terbaik dalam hidupku sudah
pergi. Takdir itu nyata adanya, tidak ada yang tahu kapan dan
seperti apa datangnya. Saat roh berpisah dari jasad, saat
nyawa itu direnggut, saat itulah air mataku mengalir tak
terbendung. Ketika aku menerawang jauh ke masa lalu
dimana aku bisa melihat jelas wajah tersenyumnya.
Pengorbanan dan perjuangan beliau seakan masih bisa aku
rasakan saat ini.

Nasehat yang selalu terselip dari dongeng si kancil


yang selalu beliau ceritakan masih berputar di ingatanku. Dia
adalah seseorang yang melalui dirinya aku ada di dunia ini.
Dia adalah ayahku, yang membesarkanku dengan penuh cinta
dan kasih sayang. Tidak sedikitpun kenangan yang aku ingat
dengan beliau terlupakan, semua tersimpan jelas dalam
memori otakku. Tidak ada yang dapat menggantikan beliau
dalam hal apapun.

Ayah adalah orang yang paling hebat menurutku,


beliau selalu berusaha menjadi yang terbaik. Ayahku seorang
yang pekerja keras agar aku, adik dan kakakku bisa sekolah.
Tidak pernah terlihat olehku beliau mengeluh, hanya senyum
yang kulihat diwajahnya yang mulai keriput. Selama tiga
belas tahun aku merasakan kasih sayang dan cinta yang begitu
tulus, Beliau adalah cinta pertamaku sebagai seorang anak
perempuan.

Kehilangan cinta pertama seorang anak perempuan


memberikan luka yang begitu dalam, itulah yang aku rasakan
tujuh tahun lalu. Tiga belas tahun merupakan waktu yang
sangat singkat untuk setiap kebersamaan yang kita lalui.
Setiap detik selama tiga belas tahun itu, beliau mengajarkan
begitu banyak tentang arti kehidupan. Tentang arti sebuah
kesabaran, kekuatan, kerja keras, dan tentunya dengan bekal
ilmu agama yang beliau tanamkan sejak aku masih kecil.

Kehilangan beliau mengajarkanku betapa seorang


anak perempuan itu harus kuat. Kehilangan beliau juga
mengajarkanku arti sebuah keikhlasan. Ikhlas dalam
menerima takdir sang pencipta, sehingga aku bisa memahami
ternyata walaupun beliau sudah tidak ada di dunia namun
duniaku masih akan terus berlanjut.

Hidupku akan terus berjalan hingga saatnya nanti aku


pasti menyusul beliau. Beliau memang tidak bisa
mengantarkan aku hingga dewasa, tapi aku berjanji pada
diriku bahwa aku akan membuat beliau bangga aku harus jadi
anak yang sukses.

Terima kasih ayah telah membekali aku dengan


kekuatan itu hingga aku bisa menjadi anak perempuan yang
kuat. Terima kasih telah membekali aku dengan ilmu agama
hingga aku tahu kemana aku harus berkeluh kesah. Terima
kasih ayah atas semua pengorbanan, perjuangan, rasa cinta
dan kasih sayang.

Ribuan ucapan terima kasih pun tidak akan bisa


membalas segala jasa dan pengorbananmu. Hanya doa yang
selalu terselip dalam setiap sujudku semoga kita bisa
dipertemukan lagi suatu saat nanti dalam surga yang abadi.
Terima kasih ayah, aku rindu selalu.

Kalimat Hikmah:

Kehilangan orang tersayang memberikan luka yang begitu


dalam, tapi percayalah setiap kehilangan juga memberi makna
tentang arti sebuah kekuatan, keikhlasan dan kesabaran.

Biodata Penulis

Sri Aifa Mayasari. Biasa dipanggil aifa kecuali di keluarga


biasa dipanggil ipa. Saya lahir di salah satu nagari di provinsi
Sumatera Barat, namanya nagari Maek pada tanggal 23 Mei
2001. Saat ini saya sedang menempuh pendidikan di salah
satu perguruan tinggi terbaik, IPB University. Tulisan ini saya
tulis untuk mengenang almarhum ayah saya, semoga beliau
ditempatkan di sisi terbaik-Nya. Aamiin.

Anda mungkin juga menyukai