Anda di halaman 1dari 17

TAHAPAN PERKAWINAN

MENURUT ADAT SIKKA KLOWE

BAB I
PENDAHULUAN

Manusia dan adat istiadat tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam ranah
kehidupan selalu saling terkait satu dengan yang lain. Pembicaraan tentang adat tidak akan
pernah selesai karena manusia terus berkembang dengan cara pandang dan bahasa. Demikian
pula adat istiadat, ia akan terus berjalan, senantiasa bercabang dan penuh arti karena adat istiadat
adalah cara hidup, pandangan, dan cerita.
Adat istiadat menuangkan berbagai nilai yang  berisi cita kemanusiaan, cinta kasih, dan
ajaran lainya yang sangat berguna bagi manusia dalam kehidupanya, bahkan pada misi tertentu
budaya sangat berguna bagi kehidupan manusia dan juga dapat mengemban fungsi sebagai
kehidupan yang sifatnya intelektual, pendidikan rohani, serta hal-hal yang sifatnya personal
maupun sosial. Maka, jelaslah bahwa adat istiadat dapat digunakan dalam berbagai kepentingan
terutama untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memahami makna bahasa yang
terkandung di dalamnya.
Salah satu budaya yang menjadi adat istiadat yang paling sakral dalam suatu daerah
adalah pernikahan. Dalam suatu pergaulan hidup sosial,  manusia sejak dilahirkan ke dunia
sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Dalam bentuk
yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dalam sebuah keluarga yang terbentuk oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang telah memenuhi persyaratan secara hukum, agama dan adat inilah yang disebut
dengan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diatur oleh aturan hukum dalam
hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Dari zaman dahulu adat istiadat Sikka krowe sudah di kenal oleh warga masyarakat
setempat dan di lakukan sejak turun temurun dari nenek moyang hingga  anak cucunya. Sampai
sekarang adat-adat yang ada di masyarakat tersebut masih tetap  dipegang teguh dan masih
sangat kental serta dijalankan oleh warga masyarakat setempat.

BAB II
PEMBAHASAN

Dalam adat istiadat Sikka Krowe, perkawinan yang direstui oleh keluarga dan masyarakat
sekitar dilakukan melalui proses tahap demi tahap. Tahapan-tahapan tersebur akan dibahas
secara mendaetail sebagai berikut.

2.1 Tahap Pemilihan Jodoh


Sebelum melakukan pelamaran kadang kala merujuk pada tradisi lama, orang tua sering
memilihkan jodoh untuk anaknya. Namun seiring perkembangan zaman, hal ini sudah tidak
dijumpai lagi dalam kalangan masyarakat Sikka Krowe. Hakikat pemilihan jodoh pada
zaman dahulu, seringkali dilakukan karena orang tua bercita-cita agar anaknya dapat kawin
dengan seorang yang cocok dan disenanginya. Oleh karena itu, sebelum orang tua
mengambil keputusan terhadap jodoh anaknya, terlebih dahulu mereka mengadakan
penilaian kepada perempuan yang akan dilamar. Penilaian ini tidak hanya dilakukan oleh
orang tua, tetapi peranan kaum kerabat sangat menentukan pula yang menjadi ukuran
penilaian adalah kecantikan, keturunan, agamanya, kekayaan, budi pekerti, serta akhlaknya.
Tentu saja hal ini juga hamper terjadi di semua daerah. Apabila seorang laki-laki bermaksud
melangsungkan perkawinan sedapat mungkin hal tersebut dirundingkan terlebih dahulu oleh
orangtua dengan kaum kerabat dan anak yang bersangkutan. 

2.2 Tahap Pertunangan


Semua insiatif harus datang dari pihak laki-laki, kalau datang dari pihak wanita maka
selalu disebut dengan unkapan wa’an tota jarang atau rumput cari kuda atau tea
winet (menjual anak/saudari). Tahapan-tahapan pertunangan terdiri dari :
2.2.1 Briu -Mikut
Briu- Mikut ialah perkenalan. Perkenalan itu bisa terjadi di mana saja. Bisa di
sumur, di pasar, di kebun, pergi pulang dari gereja, dan tempat lainnya. Pertemuan itu biasa
diungkapkan dalam bentuk pantun adat yang berbunyi:
Uneng ora ganu mude - Ganu mude ‘uneng rua
Kokong ora ganu pau - Ganu pau parang beda
Nyong ga’i nyonya grengang - Bopo reta wair matang
Bopo loa lopa leba - Ulit lusi hama-hama
Wulang nilo tukeng- Pano ‘abang mude mi
Mude ‘ata jaga gahu - Poi ni’a bano walong
Gopi roing guung bledot - ‘Odo heret lami lurung
Lurung heret ‘ekeng-tet - Nyong heruk taang-tot

            Arti dari pantun tersebut adalah:


Telah kuidamkan -Seperti idamkan jeruk
Sudah kurindukan - Sebagai merindukan mangga
Sinyo mau nonapun rela - Mandi-mandi di sumber air
Mencuci janganlah keras - Sama-sama berkulit halus
Malam bulan purnama - Mencari-cari jeruk manis
Jeruk manis di jaga ketat - Cuma nengok berbalik pulang
Merambah hutan guung bledot - Nona kuning membuat gulai
Gulai kuning sedap lezat - Sinyo irup mati-matian
Gerak-gerik dan tingkah laku pemuda tersebut saat melagukan pantun adat tersebt akan di
ikuti oleh keluarga, dan disarankan untuk melangkah ke tahap berikutnya.

2.2.2. Diri Miping
Diri Miping berarti melihat khayalan dalam mimpi. Hal ini merujuk pada anak
gadis mana yang dapat dijadikan jodoh.  Ungkapan dalam diri miping ini adalah :
Ra’ik au ga’i beta waing -Niat ‘waung naha plaha oti oha
Dadi miping ia hagongwohong - Sape tana ‘inga salang
Gu reta ma gou wua reta lekong pitu - Rape dekak nora ‘linang
Gu lau lema lepo beta waing - Ra’ik au ga’i herong meng
Lero wawa naha sorong oti loni - Badi blawong ia kiring rena
Sape niat eh poa - Gu reta ma bata taa reta lemang walu
Mata taa nora wuing - Gu lau ‘rawit woga herong meng
Gu wua ‘udek ganu waing - Taa pahar ganu meng

            Arti dan maksud dari ungkapan adat tersebut adalah:


Bila anda hendak beranak isteri - Malam hari bentanglah tikar dan bantal,
Mimpilah yang akan membayangkan - Saat siang tiba
Pergilah memetik sirih pinang 7, 8 tandan - Lalu bawalah ke rumah itu
Menjadi bukti pertunangan

Sebagai catatan  penting bahwa kepercayaan adat Sikka Krowe, mimpi yang baik adalah


bila melihat sebatang nyiur yang buahnya lebat dan nyiur tersebut  tumbuh di pekarangan
itu. (M. Mandalangi Pareira, 1988:12).

2.2.3. Kula Babong
Setelah mimpi pada tahap diri miping akan dilanjutkan ke tahap Kula
Babong (musyawarah). Mimpi tersebut di ceritakan oleh yang berangkutan, lalu akan diundang
keluarga inti untuk dimusyawarahkan. Hal-hal yang irundingkan bersama keluarga
adalah tingkatan keluarga, sifat, kesehatan dan keterampilan dari gadis yang dipinang. Hasil
perundingan itu disepakati untuk mengutus Aa Gete “Bano ‘Ahu/ “Ahu Wating” ke rumah si
gadis. (M. Mandalangi Pareira, 1988:12).

2.2.4.     Pano ‘Ahu/ ‘Ahu Wating :


Tahap selanjutnya adalah Pano ‘Ahu/ ‘Ahu Wating. Proses adatnya akan dimulai saat Aa
Gete (bibi) akan mencari kesempatan yang baik untuk bertandang ke rumah si gadis. Ia
akan berbincang-bincang dengan si gadis, tetapi tidak lepas dari sasaran dan tujuan pembicaraan.
Ia menceriterakan adiknya si laki-laki dengan keterampilannya, dan meyakinkan bahwa adik
laki-lakinya akan cocok dengan si gadis tersebut. Dengan demikian si gadis pun akan di ajak
bersenda gurau, lalu bibi mulai melantunkan pantun adat sebagai berikut :
Mitang lentok-lentok - Ganu pajung wawa jawa
Bura bleler-bleler - Ganu bei reta kongas
Telo temang ha - Ela tana wige rua
Nong mitang nona heret - Ganu dala nora wulang

Arti dari pantun adat tersebut adalah:


Hitam-hitam manis - Seperti payung di jawa
Putih-putih halus - Sebagai bei di kongas
Sebutir telur - Jatuh ketanah terbelah dua
Sinyo hitam nona kuning - Bagai bintang dan bulan

Setelah melantunkan pantun adat tersebut, keduanya (bibi dan si gadis) biasanya akan
tertawa bersama. Selanjutnya, si gadis akan membisikan cintanya, bahwa ia berkenan menerima
laki-laki.

2.2.5.     Wua Taa Oko-Kape


Bisikan si gadis dalam menerima cinta laki-laki akan memberikan
harapan untuk melanjutkan proses adat ke tahap Wua Taa Oko-Kape. Dalam proses
pelaksanaan Wua Taa Oko-Kape, bibi akan datang lagi dengan dua atau tiga anggota keluarga
laki-laki sambil membawa sirih-pinang dalam wadah, pisang masak dan kue-kue, dan buah-
buahan menuju rumah si gadis. Di sini aka nada dialog singkat tetapi sangat bermakna. Ibu atau
yang mewakili keluarga perempuan akan memberikan sapaan. Bibi dari keluarga laki-laki akan
menjawab dalam bentuk kiasan adat: iparmu mengutus saya menyampaikan suatu berita
gembira, bahwa beliau hendak menggayung padi di lumbung yang besar itu, bagi anaknya yang
sulung. Kiasan ini dimengerti oleh ibu/wakil perempuan  dan dijawab : baiklah
kita akan dengar langsung dari diri yang bersangkutan.
Si gadis akan dipanggil oleh ibu-bapanya dan menyampaikan berita itu. Dengan malu-
malu ia akan mengangguk sambil tersenyum sebagai sebuah tanda persetujuan. Setelah
mendengar jawaban itu semua barang yang dibawa oleh pihak laki-laki  diserahkan kepada
keluarga perempuan. Kepada si gadis diberikan sedikit uang dengan tujuan untukuntuk membeli
sabun. Saat hendak pulang biasanya ibu pihak perempuan akan menyampaikan pesan bahwa
mereka telah terima bebrapa barang yang diberikanoleh pihak laki-laki, maka harapannya bahwa
hal tersebut juga akan terjadi seterusnya. Sesampai di rumah, bibi akan melaporkan semuannya
kepada pihak keluarga laki-laki dan mereka akan berunding untuk menetapkan jadwal “prage
wae ara mata” (meminang).
Meskipun proses adat sedemikian detail merujuk pada adat asli Sikka Krowe,
namun pada masa kini, proses seperti di atas, ada yang masih dijalankan, ada pula yang telah
menggantikannya dengan: adat pengantaraan surat. Surat tersebut bisa ditujukan
langsung kepada si gadis atau juga kepada orang tua si gadis, yang dihantar oleh salah
seorang Aa Gete diiringi sambil membawa barang sebagai penghargaan. Pihak keluarga si gadis
akan mengundang keluarga inti untuk merundingkan lamaran tersebut. Setiap keluarga akan
menyampaikan argumentasinya terhadap surat yang disampaikan pihak laki-laki dan
keluarganya. Apabila semu sepakat, surat tersebut akan dibalas sebagai tanda setuju. Surat
itu akan dihantar oleh Aa Gete dari pihak si gadis yang akan dijamu oleh pihak laki-laki dan
pulangnya akan mendapat “Witek” (hadiah). (M. Mandalangi Pareira, 1988:13).

2.2.6.     Prage Wae Ara Mata


Tahap Prage Wae Ara Mata merupakan tahap pengresmian hubungan antara laki-laki dan
permempuan. Pada waktu yang telah disepakati bersama, utusan pihak laki-laki datang dengan 2
botol tuak (moke) serta 2 ekor ayam yang disertai dengan sirih, pinang, tembakau dan lauk pauk
untuk makan saat perundingan. Pihak wanita (“ina-‘ama”)  akan memberikan sapaan di depan
rumah dengan mengatakan,: “reta ‘une ami lema ko lohor?” (kami naik atau turun? ). Pihak
perempuan yang masih ada dalam rumah akan menjawab: “uhe die dang hading”. (Pintu
terbuka, tangga terpasang). Pihak keluarga laki-laki akan masuk  ke dalam rumah, diiringi
sapaan: lopa hidi lepe, wenang pahar (jangan sampai terantuk atau bersin menahan).
Setelah dipersilakan untuk makan sirih pinang dan merokok sambil menghidangkan
minuman ringan, mulailah acara penting yang dibuka oleh utusan pihak “ina-
ama”(perempuan). Lalu pihak me wari (laki-laki) akan meminta besarnya anggaran
yang diajukan pihak ina-ama. Apabila anggaran (belis) itu terlalu tinggi, pihak me wai dapat
mengajukan penyederhanaannya. Proses ini akan diulangi sampai mendapatkan kata
sepakat. Cepat atau lambatnya proses pembicaraan amat tergantung dari kemauan yang baik dari
kedua belah pihak. Apabila sudah mencapai kesepakatan maka kedua utusan berjabatan tangan
dan pihak ina ama membunuh seekor babi sebagai bukti telah resmi bertunangan. Bunyi teriakan
babi tersebut seolah-olah mengumumkan kepada semua tetangga sekitar bahwa pertunangan
telah resmi (ai batu tali beta). Sebagian daging babi itu (to’eng le’ar) akan dibawa pulang
oleh me wai, sebagai bukti terjadinya pertunangan.
Setelah perjamuan itu selesai, pihak laki-laki akan membawa toeng-lear, moke, beras,
utang labu, serta sisa lauk pauk yang mereka telah nikmati, karena sejatinya pesta
tersebut adalah untuk pihak laki-laki. Sebelum pihak laki-laki pulang, mereka minta kepada
pihak orangtua perempuan untuk boleh melihat anak gadis itu. Masuklah anak
gadis dengan tantanya sambil membawa sirih pinang untuk dihidangkan. Utusan laki-laki
akan memberi uang secukupnya untuk si gadis tersebut, lalu mereka pamit pulang ke
rumahnya. Saat mereka pamit, dari dalam rumah disapa dengan kalimat adat mat mai poto
se’ang, (pulanglah serta datang kembali dengan pembawaan).
Sebelum mereka kembali, pihak “ina-ama” mengusulkan supaya besok lusa pihak me
wai memberikan sebatang gading atau sejumlah uang sebagai bukti pertunangan telah resmi yang
diungkapkan “pete mateng” atau “wua udek taa pahar” atau “muu tukeng bewu ruing”. Tiba di
rumah laporan akan disampaikan dan daging babi akan
dibagikan kepada semua keluarga terutama me wai, untuk persiapan  tahap “wua taa wa
gete”. (M. Mandalangi Pareira, 1988:14).

2.2.7.     Wua Taa Wa Gete/ Kila Jarang/ Seneng Bura Kirek


Pada tahap Wua Taa Wa Gete/ Kila Jarang/ Seneng Bura Kirek   pihak me wai akan
datang dengan rombongan besar, ada yang mengeret kuda, memikul gading, membawa sirih
pinang dalam sebuah wadah yang besar yang didalamnya telah diisi cincin dan sejumlah
uang yang diikat serta dililit dengan tali benang yang kuat dan di simpul
mati. Rombongan juga membawa makanan-makanan berupa padi, jagung, pisang, ayam,
ikan, dan buah kelapa dalam jumlah banyak. Sampai di depan rumah pihak ina ama, pintu
rumah akan ditutup. Dari halaman mereka akan berseru : ami lema ko lohor? Keluarga
perempuan dalam rumah akan menjawab: uhe di dang hading.  Kemudian pintu akan dibuka dan
pihak me wai masuk ke dalam rumah diterima dengan hormat. Kedua pihak akan melakukan
pembicaraan untuk menyelesaikan mas kawin (belis) yang di bawa itu. Setelah itu
rombongan akan dijamu makan minum sampai puas.
Pihak perempuan juga akan memberikan imbalan/pembalasan terhadap mas kawin yang
deiberikan oleh pihak laki-laki. Imbalan/pembalasan itu berupa beras, babi tambun beberapa
ekor, moke, kue-kue adat secukupnya serta sarung bagi wanita yang yang ikut sebagai pihak
laki-laki.
Sebagai catatan, pada masa kini, kadang-kadang bebrapa langkah tersebut di
atas disatukan saja dengan alasan untuk menghemat waktu karena di antara keluarga ada
banyak yang memiliki tempat tinggal yang cukup jauh sehingga memudahkan sekaligus
menghemat waktu dan pembiayaan.
2.3. Masa Perkawinan

Dalam masa pra-nikah, kedua calon pengantin tetap diperhatikan gerak gerik,
tingkahlaku dan kematangan sosial dan psikologis untuk memasuki rumah tangga baru.
Apabila salah satu pihak ingin bepergian jauh dengan waktu lebih dari satu minggu harus
dilaporkan. Agar hubungan semakin dekat dan juga semakin dikenal maka calon laki-laki di
undang oleh mertua dengan tujuan mengenal lebih akrab. Demikian juga wanita diundang ke
rumah mertua dengan maksud yang sama.. Dalam kasus tertentu, banyak terjadi pertunangan
dapat di batalkan karena ditemukan hal-hal yang tak dikehendaki oleh salah satu pihak.

Apabila sudah waktunya untuk berumah tangga, maka proses yang akan dilalui antara


lain:

2.3.1.     Hakeng Kawit : (penentuan jadwal perkawinan)


Sesuai jadwal yang disetujui bersama, maka juru bicara pihak me wai dengan membawa
tuak dan ayam akan berunding seputar hari perkawinan di rumah pihak perempuan. Dalam
perundingan itu juga akan dijadwalkan hari pembacaan nama di gereja. Selanjutnya kedua belah
pihak melakukan persiapan dengan “wai-sea” (menumbuk padi) untuk acara perkawinan dan
juga membuat kue-kue adat (bolo plagar, kolomoe).
]
2.3.2.     A Wija/ A Bleba
Tahap  A Wija/ A Bleba  dilakukan di mana pihak me wai (laki-laki)
mengadakan perjamuan untuk mengumpulkan mas kawin. Dalam perjamuan ini yang diundang
ada yang dari keluarga lurus, ada yang dari me wai, ada juga dari sahabat dan kenalan. Hal ini
dilakukan sebagai bentuk solidaritas sekaligus meringankan tanggungan belis.
2.3.3.     Wake ‘Unu (Hari Permulaan Pesta)
Tahap  Wake ‘Unu  merupakan hari permulaan pesta di mana mulai hari itu semua keluarga
jauh dan dekat masing-masing dengan tugasnya akan ke rumah pihak laki-laki atau ke rumah
pihak wanita. Di rumah pihak laki-laki : ada yang membawa mas kawin, ada yang membawa
labu sako, dan sebagainya. Ringkasnya malam itu pesta kekeluargaan (kumpul keluarga). Ada
yang menghiasi rumah mempersiapkan kamar pengantin, tenda dan sebagainya. Kira-kira jam
10.00 malam pihak wanita pergi menjemput Aa Gete dari pihak laki-laki,
untuk mempersiapkan  bilik pengantin yang telah disediakan.

2.3.4.     Hari Kawin
Kawin, merujuk pada adat lama sebelum agama katolik masuk dalam wilayah Sikka,
diceritakan bahwa upacara kawin dibuat secara sederhana di mana orang tua laki-
laki akan diserahkan kepada bibi untuk “olaha oha sorong loni” (bentangkan tikar
bantal). Untuk keluarga dengan strata sosial dianggap keluarga terpandang,  upacara perkawinan
anaknya dilakukan oleh tua-tua adat. Sesuai waktu yang telah disepakati, pengantin laki-laki
diiringi keluarganya menuju rumah pengantin wanita. Kedua pengantin duduk di atas tikar bantal
dan dikelilingi keluarga dai kedua pihak. Tua adat dengan pembantunya yang membawa upacara
berada di tengah-tengah. Di depannya telah disediakan sepiring hati babi, secangkir tuak,
sepiring bunga dan sepiring beras kuning.
Tua adat memulai dengan ungkapan adat sbb : Miu dua baa giit,  Miu mo’ang baa
mangang, Giit baa meti lepo, Mangang baa plamang woga (Kamu berdua telah
dewasa, Dewasalah kamu dalam membangun keluarga/ rumah tangga). Lalu diambilnya hati
babi,  di belah dua, lalu diserahkan kepada kedua pengantin masing-masing sebelah, dan
disuruhnya saling menyuap hati babi itu, sambil berkata : Gea sai wawi ‘api ‘ara
prangang, Dena jaji wai nora la’i (Makanlah perjamuan ini, Lambang janji suami istri).
Kemudian tua adat menyerahkan secangkir tuak kepada pengantin laki-laki untuk
diminum seteguk lalu diberikannya kepada pengantin wanita jugauntuk diminum seteguk, sambil
tua adat berkata : Minu sai tua gahu supa, Dena supa ‘lihang nora lalang, (Minumlah tuak yang
keras, Sumpah bersuami isteri). Setelah itu, tua adat menghambur bunga ke atas kepala kedua
pengantin sambil berkata : Wuat naha baka lika,  Puhut naha jiro-jaro (Berbuahlah
lebat, Berbungalah indah-indah). Selanjutnya, beras kuning dihamburkan, sambil berkata: Bua
buri ganu wetang, Gae teto ganu ‘atong, Teri le’u nete ‘eting, Era le’u nete ‘oang, Sape kang
benu wuli, Sape wodong luu wa’I,  Dena wero lopa lete ‘eting, Dena wawi lopa poar
hoat (Beranak cuculah sebagai, Biji jewarut, Memenuhi segala wilayah, Sampai ke batas Tana
Ai, Samapi ke batas Lio, Supaya kera jangan bertengger, babi jangan melompat batas).
Kemudian tua adat mempersilakan Aa Gete menuntun kedua pengantin ke dalam bilik
yang telah disediakan, sambil berkata, daa blewut ko belung Sape boga ko loar (sampai mati
baru bercerai). Sementara itu semua yang hadir dan tua-tua adat di hidangkan makanan
secukupnya, pigang pitu makok walu (tujuh piring dan delapan mangkok) berarti tiap orang
mendapat berjenis macam makanan dan sayur mayur. Hidangan memakan waktu lama, menanti
kedua pengantin keluar dari kamar untuk makan.  
Di dalam bilik Aa Gete masih memberi nasehat katanya : Au dua baa glit meti
lepo, Naha tutur gepu ganu hejung, Ganu hepung tereng ‘uneng,  Au moang baa mangang
pramang woga, Naha harang blewo ganu hewong, Ganu hewong tua wutung, Lopa tutur deteng
wawa leang blong, Tilu riwung wawa diri rena, Ita wae meang ganu mate,  Lopa harang lasa
wawa lasa lawing, Mata ngasung wawa nia ita, Odi mata berat ganu bunu. (Anda wanita
dewasa, Berbicara halus-halus, Bagai bunyi nyamuk, Anda pria dewasa , Tegur halus-
halus, Seperti bunyi kumbang, Jangan berbicara di luar rumah, akan didengar banyak telinga dan
dilihat banyak mata, alangkah malunya.)
Kedua pengantin akan keluar bersama Aa Gete, untuk makan bersama sambil
minum moke yang selanjutnya menari sampai malam. Sementara itu, ada waktu istirahat sejenak
untuk memberikan kesempatan kepada tua adat yang lain dalam memberi nasihat bagi pengantin
baru.
Nasihat-nasihat tersebut juga dilantunkan dalam bahasa adat untuk pengantinpria dan
untuk pengantin wanita.
 Untuk pengantin pria:
Gou lau lemang, mai saing waing, Bata reta marang, mai toma meng, Waing mutu ko laa, meng
mutu ko lega,  Niang poa lero ha’e, Reging sai taka, rema sai porong, Gopi sai roing, rodo sai
kabor,  Kare sai tua, dena bihing waing, Dena bekat meng, Luat rema rua, lopa diri ‘ata
tutur, Sarang ga maeng-maeng, ganu hepung, Sepu papang ‘uneng, diri wi hulir, Besung leu
waing, ibar leu meng, loar, ‘ata waing bait baa, Ganu plea ganu klegang,  ‘ata meng belar
baa,  Ganu roho, ganu toleng 
Artinya:  Mencari rejeki baik di laut pun di daratan, hantarlah kepada isteri, yang akan
membukanya.Pagi matahari terbit sandanglah kapak serta parang, tebaslah hutan, panjatlah
kelapa, menyadap tuak, untuk memelihara anak isterimu.Esok lusa, jangan dengar bisikan orang,
untuk melepaskan anak isterimu, jangan sekali-kali. Anak isteri orang telah pahit seperti tuba,
telah kesat bagai ubi hutan).

 Sedangkan nasihat tua adat untuk pengantin wanita adalah:


Niang ‘waung lero wawa‘api naha bara, damar naha nilo, Utang naha blaing, Wair naha
gahu,  La’ing gahu meng, Hang poa lero ha’e, Sunt sai buhar, Rema sai ehar, Jata sai
kapa, Moru sai lorung, Dena sapu la’ing, lobe meng, Sapu beli jaur, lobe beli jewa, Luat rema
ru’a, lopa diri, ‘ata tutur au kesi kelik berin, Tutur wi ketun blutuk, Ganu hewon blebon reta tua
wutun, Diri wi hulir, belung le’u,  la’ing,  Loar le’u meng, etia loar golo, ‘ata la’ing bait
baa,  Ganu plea ganu klegang, ‘ata meng belar baa, Ganu roho ganu toleng.
Artinya : Bila mentari telah masuk, Api dipasang damar menya, Ia, daun pepaya telah masak, Air
di masak untuk suami dan anak, Pagi menanti terbit, Ambilah alat pemintal, Pintallah benag,
bertenunlah, Untuk suami dan anak, Memakai yang pantas dan baik, Besok lusa jangan
dengar, Bisikan orang manis mulut, Mengganggu engkau melepaskan, Suamimu dan
meninggalkan anakmu, janganlah sekali-kali. Suami orang telah pahit, Seperti tuba, Dan kesat
bagaikan ondo. (M. Mandalangi Pareira, 1988:16).

2.3.5. Kawin Gereja Katolik


Sebelum perkawinan secara agama katolik, nama kedua pengantin diumumkan 3 (tiga)
kali di gereja, agar diketahui oleh seluruh umat dan bisa mnyampaikan apabila kedua pasangan
memiliki masalah dalam hubungandengan perkawinan tersebut. Perkawinan Gereja Katolik
tentunya dipimpin oleh pastor dan dilakukan di Gereja.
Adapun busana adat yang dipakai pengantin wanita adalah  berbusana ala
portugis : Kimang heret (Bahan kain halus warna kuning), Labu nujing (Bahan kain seti warna
merah di hiasi bunga), Soking telu (Sanggul emas 3), Suwong taroe (Anting-anting
bertingkat), Ala gadeja (Pita dahi berambut melindungi mata), Kila bahar (Cincin emas), Gebe-
wulang nitang (Bahan emas berbentuk bulan purnama dan berbentuk bulan sabit). Ia akan
dituntun oleh seorang laki-laki anak pamannya dan diiringi oleh semua keluarga. Sedangkan
pengantin pria,  selain dari pakaian lipa dan jas, juga menyandang seutas rantai emas panjang. Ia
diiringi oleh kedua iparnya dan saudari-saudarinya yang membawa bunga, beras kuning, serta
keluarganya.
Untuk upacara di Gereja dilakukan menurut liturgi gereja yang dibawakan oleh imam dan
kedua wali yang menjadi saksi. Setelah upacara keagamaan, kedua pengantin diiringi keluarga
kedua pihak menuju rumah pengantin wanita. Di pintu rumah di tanam hiasan 2 batang pohon
pisang. Saat pengantin tiba di depan rumah, seorang tua adat mengambil bunga dengan beras
kuning lalu dihamburkannya kepada kedua pengantin disertai ucapan: wuat naha baka
lika (berbuahlah lebat). Kedua pengantin di hantar masuk ke dalam rumah untuk memberi salam
kepada kedua orang tua dengan cara: Mai hugu rii ‘inang limang, Mai kongong gapu ‘amang
wa’ing (Merendahkan diri dihadapan orang tuanya, menciumi dan merangkulnya).
Kemudian akan disuguhkan makanan dan minuman ringan kepada kedua pengantin dan
semua keluarga.  Saat minum, tua adat akan mengucapkan kata-kata adat;  Mai ea sai wawi
‘api, Tinu sai ‘ara pranggang, Loning ruang dadi baa wai nora lai, Genang ‘lihang baa nora
lalang, Ruang dua baa giit reti lepo, Moang baa pramang woga (Marilah kita bersama mengecap
perjamuan ini, Karena keduanya telah menjadi suami isteri, sanggup memimpin rumah tangga).
Acara dilaksanakan sampai siang hari lalu bubar untuk persiapan perjamuan besar (ea gaer/ea
hama-hama) di sore hari.
Dalam acara ea gaer/ea hama-hama masing-masing pihak
telah mempersiapkan masakannya di rumah masing-masing. Pada waktunya  pengantin pria
dengan keluarga beserta perlengkapan makanan pesta diarak ke rumah wanita. Setelah kedua
pengantin, semua undangan, keluarga dan tua-tua adat duduk bersila mengelilingi tikar besar,
maka acara makan dimulai. Kepada pengantin, oleh tua-tua adat diberikan pigang 7 makok 8 (7
piring dan 8 mangkok). Sebelum bersantap, tua-tua adat mengucapkan salam bahagia dalam
bahasa adat:
  Au mo’ang pramang woga, Buut sai taka nora porong, Mahokot ma dokit, Ma hebo ma
kare, Bihing waing ta’ing lopa morung, Naga meng erung lopa luring, Bihing waing to’eng
lopa tegor, Naga meng kokor lopa mara, Ra’ik bihing waing to’eng tegor, Odi wai du’a gou
le’u utang biha wikir,  Gou gawi ‘ata dueng,  Gou le’u ‘ata wuang potat, ‘ata lutur wi uur,  Ita
wae meang ganu mate, Ra’ik bihing meng ta’ing morung,  Odi me doi bata le’u kletang beta
teok,  Bata lewat le’u ‘ata hoat, Odi go le’u ‘ata ‘ubung tobong, ‘ata harang wi leke, Ita mata
berat ganu bunu (Anda perawat rumah, Ambil kapak dan parang, Mencangkul,
mengungkit, Memotong, mengiris, Piara isteri jangan kelaparan, anak jangan kelihatan tulang
punggung keras kerongkong haus, Kalau anak isteri kelaparan, Nanti mereka mencari makan di
kebun orang, memetik buah dan sayur orang, nanti di caci maki betapa malunya.

Sedangkan nasihat untuk pengantin wanita juga disampaikan dalam bahasa adat dengan
lantunan sebagai berikut:
Au du’a giit meti lepo, Buut sai buhar nora ehar,  Niku mitang lodo lekuk, Lodo wawa dang
pu’ang,  Taduk touk sai wawa temo ‘wau, ‘lair beli sai ulit lusi, Ulit lusi lopa biha
wikir, Tangar beli sai ‘lorang, ‘lorang lopa boga ligur, Lobe beli sobeng beli,  Mitang naha
sidak wa’I, Sapu beli sa’e beli,  Merang naha hawing palik, Wiwir loa lopa guring, Watang loa
lopa bekang, Odi ‘ata to ita wi hoot, ‘ata hiri ita wi kengong (Anda ibu perawat
rumah, Ambillah alat tenun, Bertenunlah untuk suamimu. Pakaikanlah ia kain yang baik, jangan
cabik-cabik. Nanti di lihat orang ditertawai, di cela, bahwa isteri lalai. (M. Mandalangi Pareira,
1988:16).
Setelah perjamuan selesai, pengantin laki-laki bersama keluarga pulang kerumahnya
menanti penjemputan “tama ‘ola ‘uneng”. Sisa makanan, akan dimakan oleh kedua pihak
pelayan, lalu “diheng” (sisa makanan dan lauk-pauk) dari pihak wanita diberikan kepada pihak
lelaki beserta tambahan lain lagi.

2.3.6.   Tama ‘Ola ‘Uneng


Tama ‘Ola ‘Uneng merupakan upacara di mana untuk pertama kalinya memasuki bilik
peraduan, bukan sesukanya. Saat jauh malam, sekitar jam 11, pengantin pria dijemput oleh
keluarga wanita. Pengantin wanita dituntun oleh Aa Gete memasuki bilik
peraduan; setelahnya, Aa Gete keluar lagi untuk menuntun pengantin pria dan dihantar ke dalam
bilik peraduan. Aa Gete memberikan nasehat adat untuk keduanya :
Au dua baa glit meti lepo, Naha tutur gepu ganu hejung, Ganu hepung tereng ‘uneng,  Au
moang baa mangang pramang woga,  Naha harang blewo ganu hewong, Ganu hewong tua
wutung, Lopa tutur deteng wawa leang blong, Tilu riwung wawa diri rena, Ita wae meang ganu
mate, Lopa harang lasa wawa lasa lawing,  Mata ngasung wawa nia ita, Odi mata berat ganu
bunu,  (Anda wanita dewasa, Berbicara halus-halus, Bagai bunyi nyamuk, Anda pria dewasa
Tegur halus-halus, Seperti bunyi kumbang. Jangan berbicara di luar rumah, akan didengar
banyak telinga dan dilihat banyak mata, alangkah malunya).

Setelah Aa Gete selesai memberikan nasehat lalu pintu kamar di tutup. Kepada Aa


Gete diberikan sejumlah uang atau gading, dan kepada yang hadir duduk berkeliling dan mereka
yang telah membantu menjadi pelayan juga diberikan bagian masing-masing atau sejumlah uang,
yang tidak boleh di bantah.

2.3.7.     Wehak Bunga
Upacara Wehak Bunga dilaksanakan pagi-pagi sekitar jam 5. Aa Gete dari pihak lelaki
dengan sepiring bunga datang dan mengetuk pintu bilik. Ia masuk menghambur bunga kepada
kedua suami isteri yang baru  mengalami malam pertama.

3.3.8 Hu’i
Adat Hu’i (mandi)  dilakukan setelah empat malam menikah. Selama empat malam
pengantin, haram untuk mandi karena akan diadakan upacara “Huler Wair”. Kedua pengantin
mandi di rumah, lalu duduk bersanding dan di sirami oleh tua adat dengan “Huker Wzir” sambil
berucap : “kamang blirang wiing ganu bao, Blatang wiing ganu wair, Punan daan mosa
meluk”. (semoga sehat-segar). (M. Mandalangi Pareira, 1988:16).

3.3.9.  Aban /Papak Pengantin ke rumah melampai Pria


Upacara aban pengantin dilakukan sesudah mandi. Keluarga pria datang dengan kuda dan
uang, demikian juga pihak wanita bersama-sama makan minum sambil bersanda gurau, dan
menari-nari sampai puas.Dan kedua pengantin akan dijemput kerumah pengantin pria,
Pada zaman modern ini, kebiasaan mandi tidak hanya dilakukan di rumah tetapi juga di
sungai besar sambil piknik bersama keluarga. Disitulah mereka mandi
dan makan bersama sampai sore.

3.3.10.  Ngoro Remang
Upacara Ngoro Remang merupakan upacara pembongkaran dapur pesta
yang berada di luar rumah. Dalam mas kawin juga dibuat anggaran Ngoro
Remang. Namun hal itu tak berlaku lagi sekarang  ini karena telah diganti dengan pesta
bersama. Sejatinya, maksud dari ngoro remang  adalah upah para pelayan yang membantu
memasak.

BAB III
PENUTUP

Dari pembahasan tentang adat istiadat Sikka Krowe di Kabupaten Sikka maka dapat di


ambil kesimpulan bahwa adat perkawinan yang berlaku di masyarakat
Sikka menggunakan sistem patrilineal. Dalam pelaksanaannya, pernikahan tidak hanya soal
kemauan kedua belah pihak untuk hidup berumah tangga tetapi juga memikirkan prosedur adat
yang akan dijalankan, baik dari segi waktu maupun dari segia pembiayaan. Walaupun sudah
memasuki era yang modern seperti sekarang ini masyarakat Sikka Krowe masih tetap memegang
teguh serta menjalankan adat perkawinan sebagaimana yang telah diwarisi nenek moyang
mereka terdahulu.
Selain itu kenampakan acara adat juga dipandang berbeda jika dilihat dari segi struktur
sosial masyarakat Sikka Krowe yang mana status strata sosial ini menjadi penentu mahar atau
mas kawin. Pelaksanaan upacara Adat pernikahan dalam masyarakat Sikka
Krowe selain dijadikan sebagai pelestarian budaya juga sebagai sarana untuk bersilahturahmi
antar keluarga.

Anda mungkin juga menyukai