BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dan adat istiadat tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena dalam ranah
kehidupan selalu saling terkait satu dengan yang lain. Pembicaraan tentang adat tidak akan
pernah selesai karena manusia terus berkembang dengan cara pandang dan bahasa. Demikian
pula adat istiadat, ia akan terus berjalan, senantiasa bercabang dan penuh arti karena adat istiadat
adalah cara hidup, pandangan, dan cerita.
Adat istiadat menuangkan berbagai nilai yang berisi cita kemanusiaan, cinta kasih, dan
ajaran lainya yang sangat berguna bagi manusia dalam kehidupanya, bahkan pada misi tertentu
budaya sangat berguna bagi kehidupan manusia dan juga dapat mengemban fungsi sebagai
kehidupan yang sifatnya intelektual, pendidikan rohani, serta hal-hal yang sifatnya personal
maupun sosial. Maka, jelaslah bahwa adat istiadat dapat digunakan dalam berbagai kepentingan
terutama untuk memperbaiki karakter bangsa dengan cara memahami makna bahasa yang
terkandung di dalamnya.
Salah satu budaya yang menjadi adat istiadat yang paling sakral dalam suatu daerah
adalah pernikahan. Dalam suatu pergaulan hidup sosial, manusia sejak dilahirkan ke dunia
sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Dalam bentuk
yang terkecil, hidup bersama itu dimulai dalam sebuah keluarga yang terbentuk oleh seorang
laki-laki dan seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang telah memenuhi persyaratan secara hukum, agama dan adat inilah yang disebut
dengan perkawinan. Perkawinan merupakan suatu ikatan yang melahirkan keluarga sebagai salah
satu unsur dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang diatur oleh aturan hukum dalam
hukum tertulis (hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Dari zaman dahulu adat istiadat Sikka krowe sudah di kenal oleh warga masyarakat
setempat dan di lakukan sejak turun temurun dari nenek moyang hingga anak cucunya. Sampai
sekarang adat-adat yang ada di masyarakat tersebut masih tetap dipegang teguh dan masih
sangat kental serta dijalankan oleh warga masyarakat setempat.
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam adat istiadat Sikka Krowe, perkawinan yang direstui oleh keluarga dan masyarakat
sekitar dilakukan melalui proses tahap demi tahap. Tahapan-tahapan tersebur akan dibahas
secara mendaetail sebagai berikut.
2.2.2. Diri Miping
Diri Miping berarti melihat khayalan dalam mimpi. Hal ini merujuk pada anak
gadis mana yang dapat dijadikan jodoh. Ungkapan dalam diri miping ini adalah :
Ra’ik au ga’i beta waing -Niat ‘waung naha plaha oti oha
Dadi miping ia hagongwohong - Sape tana ‘inga salang
Gu reta ma gou wua reta lekong pitu - Rape dekak nora ‘linang
Gu lau lema lepo beta waing - Ra’ik au ga’i herong meng
Lero wawa naha sorong oti loni - Badi blawong ia kiring rena
Sape niat eh poa - Gu reta ma bata taa reta lemang walu
Mata taa nora wuing - Gu lau ‘rawit woga herong meng
Gu wua ‘udek ganu waing - Taa pahar ganu meng
2.2.3. Kula Babong
Setelah mimpi pada tahap diri miping akan dilanjutkan ke tahap Kula
Babong (musyawarah). Mimpi tersebut di ceritakan oleh yang berangkutan, lalu akan diundang
keluarga inti untuk dimusyawarahkan. Hal-hal yang irundingkan bersama keluarga
adalah tingkatan keluarga, sifat, kesehatan dan keterampilan dari gadis yang dipinang. Hasil
perundingan itu disepakati untuk mengutus Aa Gete “Bano ‘Ahu/ “Ahu Wating” ke rumah si
gadis. (M. Mandalangi Pareira, 1988:12).
Setelah melantunkan pantun adat tersebut, keduanya (bibi dan si gadis) biasanya akan
tertawa bersama. Selanjutnya, si gadis akan membisikan cintanya, bahwa ia berkenan menerima
laki-laki.
Dalam masa pra-nikah, kedua calon pengantin tetap diperhatikan gerak gerik,
tingkahlaku dan kematangan sosial dan psikologis untuk memasuki rumah tangga baru.
Apabila salah satu pihak ingin bepergian jauh dengan waktu lebih dari satu minggu harus
dilaporkan. Agar hubungan semakin dekat dan juga semakin dikenal maka calon laki-laki di
undang oleh mertua dengan tujuan mengenal lebih akrab. Demikian juga wanita diundang ke
rumah mertua dengan maksud yang sama.. Dalam kasus tertentu, banyak terjadi pertunangan
dapat di batalkan karena ditemukan hal-hal yang tak dikehendaki oleh salah satu pihak.
2.3.4. Hari Kawin
Kawin, merujuk pada adat lama sebelum agama katolik masuk dalam wilayah Sikka,
diceritakan bahwa upacara kawin dibuat secara sederhana di mana orang tua laki-
laki akan diserahkan kepada bibi untuk “olaha oha sorong loni” (bentangkan tikar
bantal). Untuk keluarga dengan strata sosial dianggap keluarga terpandang, upacara perkawinan
anaknya dilakukan oleh tua-tua adat. Sesuai waktu yang telah disepakati, pengantin laki-laki
diiringi keluarganya menuju rumah pengantin wanita. Kedua pengantin duduk di atas tikar bantal
dan dikelilingi keluarga dai kedua pihak. Tua adat dengan pembantunya yang membawa upacara
berada di tengah-tengah. Di depannya telah disediakan sepiring hati babi, secangkir tuak,
sepiring bunga dan sepiring beras kuning.
Tua adat memulai dengan ungkapan adat sbb : Miu dua baa giit, Miu mo’ang baa
mangang, Giit baa meti lepo, Mangang baa plamang woga (Kamu berdua telah
dewasa, Dewasalah kamu dalam membangun keluarga/ rumah tangga). Lalu diambilnya hati
babi, di belah dua, lalu diserahkan kepada kedua pengantin masing-masing sebelah, dan
disuruhnya saling menyuap hati babi itu, sambil berkata : Gea sai wawi ‘api ‘ara
prangang, Dena jaji wai nora la’i (Makanlah perjamuan ini, Lambang janji suami istri).
Kemudian tua adat menyerahkan secangkir tuak kepada pengantin laki-laki untuk
diminum seteguk lalu diberikannya kepada pengantin wanita jugauntuk diminum seteguk, sambil
tua adat berkata : Minu sai tua gahu supa, Dena supa ‘lihang nora lalang, (Minumlah tuak yang
keras, Sumpah bersuami isteri). Setelah itu, tua adat menghambur bunga ke atas kepala kedua
pengantin sambil berkata : Wuat naha baka lika, Puhut naha jiro-jaro (Berbuahlah
lebat, Berbungalah indah-indah). Selanjutnya, beras kuning dihamburkan, sambil berkata: Bua
buri ganu wetang, Gae teto ganu ‘atong, Teri le’u nete ‘eting, Era le’u nete ‘oang, Sape kang
benu wuli, Sape wodong luu wa’I, Dena wero lopa lete ‘eting, Dena wawi lopa poar
hoat (Beranak cuculah sebagai, Biji jewarut, Memenuhi segala wilayah, Sampai ke batas Tana
Ai, Samapi ke batas Lio, Supaya kera jangan bertengger, babi jangan melompat batas).
Kemudian tua adat mempersilakan Aa Gete menuntun kedua pengantin ke dalam bilik
yang telah disediakan, sambil berkata, daa blewut ko belung Sape boga ko loar (sampai mati
baru bercerai). Sementara itu semua yang hadir dan tua-tua adat di hidangkan makanan
secukupnya, pigang pitu makok walu (tujuh piring dan delapan mangkok) berarti tiap orang
mendapat berjenis macam makanan dan sayur mayur. Hidangan memakan waktu lama, menanti
kedua pengantin keluar dari kamar untuk makan.
Di dalam bilik Aa Gete masih memberi nasehat katanya : Au dua baa glit meti
lepo, Naha tutur gepu ganu hejung, Ganu hepung tereng ‘uneng, Au moang baa mangang
pramang woga, Naha harang blewo ganu hewong, Ganu hewong tua wutung, Lopa tutur deteng
wawa leang blong, Tilu riwung wawa diri rena, Ita wae meang ganu mate, Lopa harang lasa
wawa lasa lawing, Mata ngasung wawa nia ita, Odi mata berat ganu bunu. (Anda wanita
dewasa, Berbicara halus-halus, Bagai bunyi nyamuk, Anda pria dewasa , Tegur halus-
halus, Seperti bunyi kumbang, Jangan berbicara di luar rumah, akan didengar banyak telinga dan
dilihat banyak mata, alangkah malunya.)
Kedua pengantin akan keluar bersama Aa Gete, untuk makan bersama sambil
minum moke yang selanjutnya menari sampai malam. Sementara itu, ada waktu istirahat sejenak
untuk memberikan kesempatan kepada tua adat yang lain dalam memberi nasihat bagi pengantin
baru.
Nasihat-nasihat tersebut juga dilantunkan dalam bahasa adat untuk pengantinpria dan
untuk pengantin wanita.
Untuk pengantin pria:
Gou lau lemang, mai saing waing, Bata reta marang, mai toma meng, Waing mutu ko laa, meng
mutu ko lega, Niang poa lero ha’e, Reging sai taka, rema sai porong, Gopi sai roing, rodo sai
kabor, Kare sai tua, dena bihing waing, Dena bekat meng, Luat rema rua, lopa diri ‘ata
tutur, Sarang ga maeng-maeng, ganu hepung, Sepu papang ‘uneng, diri wi hulir, Besung leu
waing, ibar leu meng, loar, ‘ata waing bait baa, Ganu plea ganu klegang, ‘ata meng belar
baa, Ganu roho, ganu toleng
Artinya: Mencari rejeki baik di laut pun di daratan, hantarlah kepada isteri, yang akan
membukanya.Pagi matahari terbit sandanglah kapak serta parang, tebaslah hutan, panjatlah
kelapa, menyadap tuak, untuk memelihara anak isterimu.Esok lusa, jangan dengar bisikan orang,
untuk melepaskan anak isterimu, jangan sekali-kali. Anak isteri orang telah pahit seperti tuba,
telah kesat bagai ubi hutan).
Sedangkan nasihat untuk pengantin wanita juga disampaikan dalam bahasa adat dengan
lantunan sebagai berikut:
Au du’a giit meti lepo, Buut sai buhar nora ehar, Niku mitang lodo lekuk, Lodo wawa dang
pu’ang, Taduk touk sai wawa temo ‘wau, ‘lair beli sai ulit lusi, Ulit lusi lopa biha
wikir, Tangar beli sai ‘lorang, ‘lorang lopa boga ligur, Lobe beli sobeng beli, Mitang naha
sidak wa’I, Sapu beli sa’e beli, Merang naha hawing palik, Wiwir loa lopa guring, Watang loa
lopa bekang, Odi ‘ata to ita wi hoot, ‘ata hiri ita wi kengong (Anda ibu perawat
rumah, Ambillah alat tenun, Bertenunlah untuk suamimu. Pakaikanlah ia kain yang baik, jangan
cabik-cabik. Nanti di lihat orang ditertawai, di cela, bahwa isteri lalai. (M. Mandalangi Pareira,
1988:16).
Setelah perjamuan selesai, pengantin laki-laki bersama keluarga pulang kerumahnya
menanti penjemputan “tama ‘ola ‘uneng”. Sisa makanan, akan dimakan oleh kedua pihak
pelayan, lalu “diheng” (sisa makanan dan lauk-pauk) dari pihak wanita diberikan kepada pihak
lelaki beserta tambahan lain lagi.
2.3.7. Wehak Bunga
Upacara Wehak Bunga dilaksanakan pagi-pagi sekitar jam 5. Aa Gete dari pihak lelaki
dengan sepiring bunga datang dan mengetuk pintu bilik. Ia masuk menghambur bunga kepada
kedua suami isteri yang baru mengalami malam pertama.
3.3.8 Hu’i
Adat Hu’i (mandi) dilakukan setelah empat malam menikah. Selama empat malam
pengantin, haram untuk mandi karena akan diadakan upacara “Huler Wair”. Kedua pengantin
mandi di rumah, lalu duduk bersanding dan di sirami oleh tua adat dengan “Huker Wzir” sambil
berucap : “kamang blirang wiing ganu bao, Blatang wiing ganu wair, Punan daan mosa
meluk”. (semoga sehat-segar). (M. Mandalangi Pareira, 1988:16).
3.3.10. Ngoro Remang
Upacara Ngoro Remang merupakan upacara pembongkaran dapur pesta
yang berada di luar rumah. Dalam mas kawin juga dibuat anggaran Ngoro
Remang. Namun hal itu tak berlaku lagi sekarang ini karena telah diganti dengan pesta
bersama. Sejatinya, maksud dari ngoro remang adalah upah para pelayan yang membantu
memasak.
BAB III
PENUTUP