Anda di halaman 1dari 39

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

SMF KESEHATAN ANAK


RSU KARTINI
RSU Tahun
DEMAM BERDARAH DENGUE
1. Pengertian (Definisi) Demam berdarah dengue (DBD) merupakan suatu penyakit
demam akut yang disebabkan oleh virus genus flavivirus,
famili flaviviridae, mempunyai 4 jenis serotipe yaitu den-1,
den-2, den-3 dan den-4, melalui perantara nyamuk aedes
aegypti atau aedes alphopictus, ke empat serotipe dengue
terdapat di indonesia, den-3 merupakan serotype dominan dan
banyak berhubungan dengan kasus berat, diikuti serotipe den-
2.
Pada saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25
per 100.000 penduduk. Namun angka kematian telah menurun
bermakna <2 %. Umur terbanyak terkena infeksi dengue
kelompok 4-10 tahun, walaupun makin banyak kelompok
umur lebih tua menderita DBD.
Spektrum klinis dengue dapat dibagi menjadi :
1. Gejala klinis paling ringan tanpa gejala (silent dengue
infection)
2. Demam dengue (DD)
3. Demam berdarah dengue (DBD)
4. Demam berdarah dengue disertai syok (sindrom syok
dengue)
2. Anamnesis Demam merupakan tanda utama, terjadi mendadak tinggi,
selama 2-7 hari, disertai lesu, tidak mau makan dan muntah.
Pada anak besar dapat mengeluh nyeri kepala, nyeri otot dan
nyeri perut. Diare kadang-kadang dapat ditemukan.
Perdarahan paling sering dijumpai adalah perdarahan kulit dan
mimisan.
3. Pemeriksaan Fisik 1. Gejala klinis DBD diawali demam mendadak tinggi, facial
flush, muntah, nyeri kepala, nyeri otot dan sendi, nyeri
tenggorok dengan faring hiperemis, nyeri dibawah
lengkung iga kanan. Gejala penyerta tersebut lebih
mencolok pada DD daripada DBD.
2. Hepatomegali dan gangguan fungsi hati lebih sering
ditemukan pada DBD.
3. Perbedaan antara DD dan DBD adalah pada DBD terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, sehingga terjadi
perembasan plasma, hipovolemia dan syok.
4. Perembesan plasma mengakibatkan ekstravasasi cairan
kedalam rongga pleura dan rongga peritoneal selam 24-28
jam.
5. Fase kritis terjadi sekitar hari ke 3 hingga ke 5 perjalanan
penyakit. Pada saat ini suhunya turun, yang dapat
merupakan awal penyembuhan pada infeksi ringan, tetapi
pada DBD berat merupakan tanda awal syok.

1
6. Perdarahan dapat berupa ptekie, epistaksis, melena,
ataupun hematuria.
7. Tanda-tanda syok
a. Anak gelisah sampai terjadi penurunan kesadaran dan
sianosis
b. Nafas cepat, nadi teraba lembut, kadang tidak teraba
c. Tekanan darah turun, tekanan nadi < 10 mmHG
d. Akral dingin, capillary fefill > 2 detik
e. Diuresis menurun sampai anuria
8. Apabila syok tidak dapat segera diatasi, akan terjadi
komplikasi berupa asidosis metabolik dan perdarahan
hebat.
4. Kriteria diagnosis Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO 1997)
Kriteria klinis
1. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas,
berlangsung terus menerus selama 2-7 hari
2. Terdapat manifestasi perdarahan, termasuk uji bendung
positif, ptekie, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi,
hematemesis dan atau melena.
3. Pembesaran hati
4. Syok, ditandai nadi cepat dan lemah serta penurunan
tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit
lembab dan pasien tampak gelisah.

Kriteria laboratorium
1. Trombositopenia (100.000 /µl atau kurang)
2. Hemokonsentrasi, dilihat dari peningkatan hematokrit 20
% menurut standar umum dan jenis kelamin

Dua kriteria klinis pertama + satu dari kriteria


laboratorium (atau hanya peningkatan hematokrit) cukup
untuk menegakkan Diagnosis Kerja DBD.
Bila tersedia konfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi
Derajat penyakit
Derajat penyakit DBD diklasifikasikan dalam 4 derajat (pada
setiap derajat sudah ditemukan trombositopenia dan
hemokonsentrasi)
1. Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-
satunya manifestasi perdarahan ialah uji bending.
2. Derajat II : seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di
kulit atau perdarahan lain.
3. Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi
cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHG atau
kurang) atau hipotensi, sianosis disekitar mulut, kulit
dingin dan lembab dan anak tampak gelisah.
4. Derajat IV : syok berat (profound shock), nadi tidak dapat
diraba dan tekanan darah tidak terukur.

5. Diagnosis Diagnosis DBD dapat dibagi menjadi 4 bagian :

2
1. Tersangka Infeksi Dengue
2. DBD tanpa syok (derajat I dan II)
3. DBD disertai syok (sindrom syok dengue, derajat III dan
IV)
4. DBD ensefalopati
6. Diagnosis Banding 1. Selama fase akut penyakit, sulit untuk membedakan DBD
dari demam dengue dan penyakit virus lain yang
ditemukan di daerah tropis. Maka untuk membedakannya
dengan campak, rubela, demam cikungunya, leptospirosis,
malaria, demam tifoid atau penyakit darah seperti ITP,
leukimia atau anemia aplastik, gejala penyerta lain harus
ditanyakan seperti batuk, pilek, diare, tipe demam,
menggigil, pucat, ikterus dan lainnya.
2. Penyakit infeksi lain seperti sepsis, meningitis
meningokokus.
3. Penyakit darah seperti, trombositopenia purpura idiopatik,
leukemia dan anemia aplastik.
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dsn hitung jenis,
hematokrit, trombosit. Pada apusan darah perifer dapat juga
dinilai limfosit plasma biru, peningkatan 15 % menunjang
diagnosis DBD.
8. Terapi Terapi DBD dibagi menjadi 4 bagian, (1) tersangka infeksi
dengue, (2) DBD derajat I atau II tanpa peningkatan
hematokrit, (3) DBD derajat II dengan peningkatan
hematokrit 20%, (4) DBD derajat III dan IV.

DBD tanpa syok (derajat I dan II)


Medikamentosa
1. Antipiretika dapat diberikan, dianjurkan pemeberian
paracetamol, bukan aspirin.
2. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak
diperlukan (misal antasid, antiemetik) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati.
3. Kortikosteroid diberikan pada DBD ensefalopati, apabila
terdapat perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak
diberikan
4. Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati

Suportif
Berikan anak banyak minum larutan oralit atau jus buah, air
tajin, air sirup, susu, untuk mengganti cairan yang hilang
akibat kebocoran plasma, demam, muntah/diare.
Berikan infus sesuai dengan dehidrasi sedang:
1. Berikan hanya larutan isotonik seperti ringer laktat/asetat
2. Kebutuhan cairan parenteral
1) Berat badan < 15 kg : 7 ml/kgBB/jam
2) Berat badan 15-40 kg : 5 ml/kgBB/jam
3) Berat badan > 40 kg : 3 ml/kgBB/jam

3
3. Pantau tanda vital dan diuresis setiap jam, serta periksa
laboratorium (hematokrit,trombosit, leukosit dan
hemoglobin) tiap 6 jam
4. Apabila terjadi penurunan hematokrit dan klinis membaik,
turunkan jumlah cairan secara bertahap sampai keadaan
stabil. Cairan intravena biasanya hanya memerlukan
waktu 24-48 jam sejak kebocoran pembuluh kapiler
spontan setelah pemberian cairan
5. Apabila terjadi perburukan klinis berikan tatalaksana
sesuai dengan tata laksana syok terkompensasi
(compensated shock).

DBD disertai syok (sindrom syok dengue < derajat III dan
IV)
1. Perlakukan hal ini sebagai gawat darurat. Berikan oksigen
2-4 L/menit secara nasal
2. Berikan 20 ml/kg larutan kristaloid seperti ringer
laktat/asetat secepatnya
3. Jika tidak menunjukan perbaikan klinis, ulangi pemberian
kristaloid 20 ml/kgBB secepatnya (maksimal 30 menit)
atau pertimbangkan pemberian koloid (dextran L) 10-20
ml/kgBB/jam maksimal 30 ml/kgBB/24 jam (1500
cc/hari)
4. Pemberian cairan kristaloid 10 ml/kgBB/jam tetap
diberikan sampai 24 jam pasca syok. Volume cairan di
turunkan menjadi 7 ml/kgBB/jam dan selanjutnya 5
ml/kgBB/jam, dan 3 ml/kgBB/jam bila tanda vital
membaik.
5. Pada umumnya cairan tidak perlu diberikan lagi 48 jam
setelah syok teratasi. Ingatlah banyak kematian terjadi
karena pemberian cairan yang terlalu banyak daripada
pemberian yang terlalu sedikit.
6. Indikasi pemberian darah
a. Terdapat perdarahan secara klinis
b. Setelah pemberian kristaloid (RL/Ringer Asetat) dan
koloid (dextran L), syok menetap, hematokrit turun,
diduga telah terjadi perdarahan, berikan darh segar 10
ml/kgbb
c. Apabila kadar hematokrit > 40% maka berikan darah
dalam volume kecil
d. Plasma segar beku (Fresh Frozen Plasma) dan
suspensi trombosit berguna untuk koreksi gangguan
koagulopati atau kuagulasi intravaskular desiminator
(KID) pada syok berat yang menimbulkan perdarahan
masif.
e. Pemberian transfusi suspensi trombosit pada KID
harus selalu disertai plasma segar (berisi faktor
koagulasi yang diperlukan), untuk mencegah
perdarahan lebih hebat.

4
DBD ensefalopati
Pada ensefalopati cenderung terjadi edema otak dan alkalosis,
maka bila syok telah teratasi, cairan diganti dengan cairan
yang tidak mengandung HCO3 dan jumlah cairan segera
dikurangi. Larutan ringer laktat segera ditukar dengan larutan
NaCl (0,9%) : glukosa (5%) = 3:1.

Lain-lain (rujukan spesialisasi lainnya)


Pasien DBD perlu dirujuk ke ICU atas indikasi:
1. Syok berkepanjangan (syok tidak teratasi lebih dari 60
menit)
2. Syok berulang, (pada umunya disebabkan perdarahan
internal)
3. Perdarahan saluran cerna hebat.
4. DBD ensefalopati

Pemantauan selama perawatan


1. Tanda klinis, apakah syok telah teratasi, adakah
pembesaran hati, tanda perdarahan saluran cerna, tanda
ensefalopati, harus dimonitor dan dievaluasi untuk menilai
hasil pengobatan.
2. Kadar hematokrit dan trombosit tiap 12-24 jam, dalam
keadaan tertentu bisa dilakukan tiap 6 jam.
3. Pada perawatan di ICU, balance cairan, catat jumlah
cairan masuk, diuresis ditampung dan jumlah perdarahan
4. Pada DBD syok, lakukan cross match darah untuk
persiapan transfusi darah bila diperlukan.

Kriteria memulangkan pasien


1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretika
2. Nafsu makan membaik
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit > 50.000/ml
7. Tidak dijumpai distress pernafasan
9. Edukasi 1. Beritahu orang tua tentang perjalanan penyakit
(Hospital Health 2. Beritahu orang tua tentang rencana prosedur diagnostik
Promotion) dan terapi yang akan diberikan
3. Beritahu orang tua tentang prognosis
4. Anjurkan orang tua untuk menjaga kebersihan lingkungan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator (Outcome) 1. Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretika
2. Nafsu makan membaik

5
3. Secara klinis tampak perbaikan
4. Hematokrit stabil
5. Tiga hari setelah syok teratasi
6. Jumlah trombosit >50.000/ml
7. Tidak dijumpai distress pernafasan
15. Kepustakaan 1. Perhimpunan Dokter Ahli Penyakit Dalam Indonesia.
Demam Berdarah Dengue. In: Alwi I, Salim S, Hidayat R,
et.al., editors. Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit
Dalam: Panduan Praktik Klinis. Jakarta: Interna
Publishing; 2015.

2. Suhenro LN, Khie C, Herdiman TP. Demam Berdarah


Dengue. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et.al,
editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
3. World Health Organization. Dengue Hemorhagic Fever:
Diagnosis, Treatment, Prevention, and Control, 2nd ed.
Geneva: WHO Publication; 1997.

Mojokerto, September 2019


Ketua Komite Medik Ketua KSM Bedah

dr. Linda Febryana, Sp.PD dr. Yulianto Basuki, Sp.OG

Direktur RSU Kartini

dr. Singgih Pudjirahardjo, M. Kes

6
PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)
SMF KESEHATAN ANAK
RSUD H. ANDI SULTHAN DAENG RADJA
RSUD BULUKUMBA
H.ANDI SULTHAN DAENG RADJA
KABUPATEN BULUKUMBA Tahun 2017 - 2019
PNEUMONIA
1. Pengertian (Definisi) Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi
alveolus dan jaringan interstitial. Peneumonia merupakan
penyakit yang menjadi masalah diberbagai negara terutama di
negara berkembang termasuk Indonesia, dan merupakan
penyebab kematian utama pada balita. Hasil penelitian yang
dilakukan Kementrian Kesehatan pneumonia sebagai
penyebab kejadian dan kematian tertinggi pada balita,
berbagai mikroorganisme dapat menyebabkan pneumonia,
antara lain virus dan bakteri. Beberapa faktor yang dapat
meningkatakan risiko untuk terjadinya dan beratnya
pneumonia antara lain adalah defek anatomi bawaan , defisit
imunologi, polusi, GER, aspirasi dll.
2. Anamnesis Gejala yaitu demam tinggi, batuk, gelisah, rewel, sesak nafas.
Pada bayi gejalanya tidak khas, seringkali tanpa demam dan
batuk. Anak besar kadang mengeluh nyeri kepala, nyeri
abdomen disertai muntah
3.Pemeriksaan Fisis
Manifestasi klinis yang terjadi akan berbeda-beda berdasarkan
kelompok umur tertentu.
1. Pada neonatus sering dijumpai takipneu, retraksi dinding
dada, grunting, dan sianosis.
2. Pada bayi yang lebih tua jarang ditemukan grunting.
Gejala yang sering terlihat adalah takipneu. Retraksi,
sianosis, batuk, panas dan iritabel.
3. Pada anak pra sekolah, gejala yang sering terjadi adalah
demam, batuk (non produktif/produktif), takipneu dan
dipsneu yang ditandai dengan retraksi dinding dada.
4. Pada kelompok anak sekolah dan remaja , dapat dijumpai
panas, batuk (non produktif/produktif), nyeri dada, nyeri
kepala, dehidrasi dan letargi.
5. Pada semua kelompok umur akan dijumpai adanya nafas
cuping hidung.
Pada auskultasi, dapat terdengar suara pernapasan menurun,
ronki basah halus yang khas pada anak besar, bisa tidak
ditemukan pada bayi. Gejala lain pada anak besar adalah
redup pada perkusi, vokal fremitus menurun, suara nafas
menurun , terdengar ronki basah halus pada daerah yang
terkena.Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada, bila berat
gerakan dada menurun waktu inspirasi, anak berbaring ke arah
yang sakit dengan kaki flexi. Rasa nyeri dapat menjalar ke
leher, bahu dan perut.
4. Kriteria diagnosis
Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah hal berikut ini:

7
1.
Demam
2.
Crackles (ronki) pada auskultasi
3.
Kepala terangguk-angguk
4.
Pernapasan cuping hidung
5.
Retraksi dinding dada bagian bawah ke dalam
6.
Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia
(infiltrat luas, konsolidasi, dll)
Dalam keadaan yang berat dapat dijumpai:
1. Tidak dapat menyusu atau minum, atau memuntahkan
semuanya
2. Kejang, letargis atau tidak sadar
3. Merintih (grunting)
4. Sianosis

5.Diagnosis kerja PNEUMONIA


6.Diagnosis Banding 1. Bronkiolitis
2. Asma
3. Gagal jantung
4. Penyakit jantung bawaan
7.Pemeriksaan Penunjang Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior merupakan
dasar diagnosis utama pneumonia.foto lateral dibuat bila
diperlukan informasi tambahan, misalnya efusi pleura. Pada
bayi dan anak yang kecil gambaran radiologis seringkali tidak
sesuai dengan gambaran klinis. Tidak jarang secara klinis
tidak ditemukan apa apa, tetapi gambaran foto toraks
menunjukkan pneumonia berat. Foto toraks tidak dapat
membedakan antara pneumonia bakteri dari pneumonia virus.
Gambaran radiologis yang klasik dapat dibedakan menjadi 3
macam.
1. Konsolidasi lobar atau segmental disertai adanya air
bronchogram, biasanya disebabkan infeksi akibat
pneumococus atau bakteri lain
2. Pneumonia interstitial, biasanya karena virus atau
mycoplasma, gambaran berupa corakan bronkovaskular
bertambah, peribronchial cuffing dan overaeration, bila
berat terjadi pachy consolidation karena atelektasis.
3. Gambaran pneumonia karena S aureus dan bakteri lain
biasanya menunjukan gambaran bilateral difus, corakkan
peribronchial yang bertambah, dan tampak infiltrat halus
sampai ke perifer.
Staphylococcus pneumonia juga sering dihubungkan dengan
pneumotocelle dan efusi pleural (empiema), sedangkan
Mycoplasma akan memberi gambaran berupa infiltrat
retikular atau retikulonodular yang terlokalisir di satu lobus.
Ketepatan perkiraan etiologi dari gambaran foto toraks masih
dipertanyakan, namun para ahli sepakat adanya infiltrat
alveolar menunjukkan penyebab bakteri, sehingga pasien
perlu diberi antibiotika.

8
Hasil pemeriksaan leukosit > 15000 /µl dengan dominasi
netrofil sering didapatkan pada pneumonia bakteri, dapat pula
karena penyebab non bakteri.
8.Terapi Medikamentosa
Diagnosis etiologik pneumonia sangat sulit untuk dilakukan,
sehingga pemberian antibiotika dilakukan secara empirik.
Sesuai dengan pola kuman yang tersering yaitu steptokokus
pneumoniae dan Haemophilus influenzae
Pemberian antibiotika disesuaikan dengan kelompok umur.
1. Bayi dibawah 3 bulan diberikan golongan penisilin dan
aminoglikosid.
2. Bayi > 3 bulan ampisilin dipadu dengan kloramfenikol
merupakan obat pilihan perta. ( ampisilin/amoksisilin (25-
50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam) dan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 6 jam).
3. Bila kondisi pasien berat atau terdapat empiema,
antibiotika pilihan adalah golongan sefalosporin
(seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari
selama 5 hari, atau cefotaxim 150-200 mg/kgbb/hari
dibagi 3 dosis)
4. Antibiotik parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah
panas turun, dilanjutkan pemberian oral 7-10 hari.
5. Bila diduga penyebab pneumonia adalah S. Aureus,
kloksasillin dapat segera diberikan. Kloksasilin 50
mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) Bila keadaan anak
membaik, lanjutkan kloksasilin (atau dikloksasilin) secara
oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan mencapai 3-4
minggu. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan
cefazolin, klindamisin, atau vancomycin.

Terapi Oksigen
1. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia sangat
berat
2. Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan
untuk terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi
oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang cukup).
Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya
pada anak yang stabil. Hentikan pemberian oksigen bila
saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian oksigen setelah saat
ini tidak berguna
3. Gunakan nasal prong, kateter nasal, atau kateter
nasofaringeal. Penggunaan nasal prong adalah metode
terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi. Masker
wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan.
Oksigen harus tersedia secara terus menerus setiap waktu.
4. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda-tanda hipoksia
(seperti retraksi dinding dada bagian bawah yang berat
atau napas ≥ 70/menit) tidak ditemukan lagi.
5. Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam

9
bahwa kateter atau prong tidak tersumbat oleh mukus dan
berada di tempat yang benar serta memastikan semua
sambungan baik. Dua sumber oksigen utama adalah
silinder dan konsentrator oksigen. Penting untuk
memastikan bahwa semua alat diperiksa untuk
kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta staf
diberitahu tentang penggunaannya secara benar.
Perawatan penunjang
1. Bila anak disertai demam (≥ 39°C) yang tampaknya
menyebabkan distres, beri parasetamol.
2. Bila ditemukan adanya wheeze, beri bronkhodilator kerja
cepat
3. Bila terdapat sekret kental di tenggorokan yang tidak
dapat dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan suction
secara perlahan.
4. Pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan
sesuai usia anak .tetapi hati-hati terhadap kelebihan
cairan/overhidrasi.
5. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
6. Jika anak tidak mau minum, pasang pipa nasogastrik dan
berikan cairan rumatan dengan frekuensi sering dan dalam
jumlah sedikit. Jika asupan cairan oral mencukupi, jangan
menggunakan pipa nasogastrik untuk meningkatkan
asupan, karena akan meningkatkan risiko pneumonia
aspirasi. Jika oksigen diberikan bersamaan dengan cairan
nasogastrik, pasang keduanya pada lubang hidung yang
sama.
7. Bujuk anak untuk makan segera setelah anak bisa menelan
makanan. Beri makanan sesuai dengan kebutuhannya, dan
sesuai kemampuan anak dalam menerimanya.
Pemantauan
1. Bila dalam 48-72 jam tidak ada respons klinis (sesak dan
demam tidak membaik) lakukan penggantian antibiotik
dengan golongan sefalosporin.
2. Pasien dapat dipulangkan bila telah mendapat terapi
antibiotika parenteral selama 5 hari, tidak demam selama
24 jam tanpa antipiretika, nafsu makan membaik, klinis
perbaikan dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan
antibiotik secara oral diteruskan sampai 10 hari, atau 3-4
minggu bila diduga penyebabnya S. Aureus.
1. Edukasi 1. Pola hidup sehat termasuk berhenti merokok
(Hospital Health 2. Vaksinasi (pneumokokal dan influenza) pada golongan
Promotion) risiko tinggi yakni usila, penyakit kronik, dan
imunodefisiens
2. Prognosis Ad viatam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
3. Tingkat evidens II
4. Tingkat rekomendasi B

10
5. Penelaah kritis
6. Indikator (Outcome) Kondisi pasien membaik

7. Kepustakaan 1. Standar Pelayanan Medis kesehatan anak, edisi 1, 2004,


Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah sakit,
Cetakan I, WHO Indonesia, 2009

Mojokerto, September 2019


Ketua Komite Medik Ketua KSM Bedah

dr. Linda Febryana, Sp.PD dr. Yulianto Basuki, Sp.OG

Direktur RSU Kartini

dr. Singgih Pudjirahardjo, M. Kes

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)

11
SMF : KESEHATAN ANAK
RSU KARTINI
Tahun
RSU

DIARE AKUT
1. Pengertian (Definisi) Diare akut adalah buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24 jam
dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 14 hari,
episode diare 4-5 kali pertahun. Kematian disebabkan dehidrasi.
Penyebab terbanyak pada usia 0-2 tahun adalah adalah infeksi
rotavirus. Diare menyebabkan gangguan gizi dan kematian.
2. Anamnesis 1. Sudah berapa lama diare berlangsung, berapa kali sehari,
warna dan konsistensi tinja. Lendir dan atau darah dalam
tinja, adanya muntah, anak lemah, kesadaran menurun, rasa
haus, rewel, kapan kencing terakhir, suhu badan
2. Jumlah cairan yang masuk selama diare
3. Anak minum ASI atau susu formula, apakah anak, makan-
makanan yang tidak biasa.
4. Apakah ada yang menderita diare disekitarnya, darimana
sumber air minum
5. Pengobatan antibiotik yang baru diminum anak atau
pengobatan lainnya.
6. Gejala invaginasi (tangisan keras atau kepucatan pada bayi).
3. Pemeriksaan Fisik 1. Pada pemeriksaan fisik harus diperhatikan tanda utama yaitu
kesadaran, rasa haus, turgor kulit abdomen, perhatikan juga
tanda tambahan, yaitu ubun-ubun cekung atau tidak. Mata
cekung atau tidak, ada atau tidaknya air mata, kering atau
tidaknya mukosa mulut, bibir dan lidah. jangan lupa
menimbang BB.
2. Perhatikan juga tanda-tanda gizi buruk.
3. Perhatikan apakah ada tanda invaginasi (massa intra
abdominal, tinja hanya lendir dan darah)

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan sesuai kriteria berikut :

Dehidrasi berat (kehilangan cairan > 10 % berat badan)


Apabila terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda di bawah
ini:
a. Letargis/tidak sadar
b. Tidak bisa minum atau malas minum
c. Cubitan kulit perut kembali sangat lambat (≥ 2 detik)
d. Ubun-ubun besar sangat cekung, mata sangat cekung, air
mata tidak ada, mukosa mulut dan bibir sangat kering.

Dehidrasi ringan sedang (kehilangan cairan 5-10 % berat


badan)
Apabila terdapat dua atau lebih dari tanda-tanda di bawah ini :
a. Rewel, gelisah
b. Ubun-ubun besar sedikit cekung, mata sedikit cekung, air
mata kurang, mukosa mulut dan bibir sangat kering.
c. Minum dengan lahap, haus

12
d. Cubitan kulit kembali lambat
Tanpa dehidrasi (kehilangan cairan < 5 % berat badan)
Tidak terdapat cukup tanda-tanda untuk diklasifikasikan
sebagai dehidrasi ringan atau berat
a. Keadaan umum baik, sadar
b. Tanda vital dalam batas normal
c. Ubun-ubun besar tidak cekung, mata tidak cekung, air
mata ada, mukosa mulut dan bibir basah
d. Cubitan kulit kembali cepat.

4. Kriteria diagnosis 1. Diare cair akut (buang air besar lebih dari 3 kali dalam 24
jam dengan konsistensi cair dan berlangsung kurang dari 14
hari. Tidak mengandung darah.
2. Kolera (diare air cucian beras yang sering dan banyak dan
cepat menimbulkan dehidarasi berat, atau diare dengan
dehidrasi berat
3. Disentri (diare berdarah)
5. Diagnosis DIARE AKUT
6. Diagnosis Banding 1. Diare persisten ( diare berlangsung lebih 14 hari atau lebih)
2. Diare terkait antibiotik (antibiotik associated diahea) riwayat
mendapat antibiotik spectrum luas
3. Invaginasi (dominan darah atau lendir dalam tinja, massa
intra badominal (abdominal mass), tangisan keras dan
kepucatan bayi).
7. Pemeriksaan 1. Tinja :
Penunjang Makroskopis : bau, warna, lendir, darah, konsistensi
Mikroskopis : eritrosit, leukosit, parasit
2. Pemeriksaan darah rutin
8. Terapi Medikamentosa
1. Tidak boleh diberikan obat anti diare
2. Antibiotika sesuai pemeriksaan penunjang. Sebagai pilihan
adalah kotrimoksasol (TMP 8 mg/kg BB dibagi 2 dosis),
amoksilin (50 mg/kg BB dibagi 3 dosis) atau cefixim (6
mg/kgBB dibagi 2 dosis)
3. Antiparasit : metronidazol (30 mg/kgBB dibagi 3 dosis)
4. Tablet zinc
Dibawah umur bulan : ½ tablet (10 mg)/hari selama 10 hari
Umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) /hari selama 10 hari
Bila tidak menyukai rasa zink tablet dapat di ganti dengan
sediaan syrup/sacet dengan menyesuaikan dosisnya.

Cairan dan elektrolit


Jenis cairan :
1. Peroral : cairan rumah tangga atau oralit
2. Prenteral : ringer laktat, ringer asetat, larutan normal salin

Volume cairan disesuaikan derajat dehidrasi


Tanpa dehidrasi
Anak yang menderita diare tapi tidak mengalami dehidrasi harus
mendapatkan cairan tambahan di rumah guna mencegah
13
terjadinya dehidrasi. Anak harus terus mendapatkan diet yang
sesuai dengan umur mereka, termasuk meneruskan pemberian
ASI.
a. Anak di rawat jalan
b. Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
1) Beri cairan tambahan
2) Beri tablet zinc
3) Lanjutkan pemberian makan
4) Nasihati kapan harus kembali
c. Beri cairan tambahan, sebagai berikut :
1) Jika anak masih mendapat ASI, nasihati ibu untuk
menyusui anaknya lebih sering dan lebih lama pada
setiap pemberian ASI. Jika anak mendapat ASI ekslusif,
beri larutan oralit atau air matang sebagai tambahan ASI
dengan menggunakan sendok. Setelah diare berhenti,
lanjutkan kembaliASI ekslusif pada anak, sesuai dengan
umur anak.
2) Pada anak yang tidak mendapat ASI ekslusif, beri satu
atau lebih cairan di bawah ini:
a) Larutan oralit
b) Cairan rumah tangga (seperti sup, air tajin, dan kuah
sayuran)
c) Air matang
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi, nasihati ibu untuk
memberi cairan tambahan sebanyak yang anak dapat minum :
a. Untuk anak –anak berumur < 2 tahun, beri ± 50-100 ml
setiap kali anak BAB
b. Untuk anak-anak berumur 2 tahun atau lebih, beri ± 100-200
ml setiap kali anak BAB.
Ajari ibu untuk memberi anak sedikit demi sedikit dengan
menggunakan cangkir. Jika anak muntah, tunggu 10 menit dan
berikan kembali dengan lambat. Ibu harus terus memberi cairan
tambahan sampai diare anak berhenti.
Ajari ibu untuk menyiapkan larutan oralit dan beri 6 bungkus
oralit (200 cc) untuk di bawa pulang.
a. Beri tablet zinc
b. Ajari ibu berapa banyak zinc yang harus diberikan kepada
anaknya : di bawah umur 6 bulan : ½ tablet (10 mg) per hari,
umur 6 bulan ke atas : 1 tablet (20 mg) per hari selama 10
hari.
c. Ajari ibu cara memberi tablet zinc : pada bayi : larutkan
tablet dengan sedikit air matang, ASI perah atau larutan
oralit. Pada anak-anak yang lebih besar :tablet dapat
dikunyah atau dilarutkan ingatkan ibu untuk memberi tablet
zinc kepada anaknya selama 10 hari penuh.
d. Lanjutkan pemberian makan
e. Nasihati ibu kapan harus kembali untuk kunjungan ulang
nasihati ibu untuk membawa anaknya kembali jika anaknya
bertambah parah, atau tidak bisa minum atau menyusu, atau
malas minum, atau timbul demam, atau darah dalam tinja.
14
Jika anak tidak menunjukan salah satu tanda-tanda ini namun
tetap tidak menunjukkan perbaikan, nasihati ibu untuk
kunjungan ulang pada hari ke 5.
Nasihati juga bahwa pengobatan yang sama harus diberikan
kepada anak diwaktu yang akan datang jika anak mengalami
diare lagi.

Dehirasi ringan sedang


a. Pada 3 jam pertama, beri anak larutan oralit dengan
perkiraan jumlah sesuai dengan berat badan anak (atau umur
anak jika berat badan anak tidak diketahui). Namun
demikian, jika anak ingin minum lebih banyak, beri minum
lebih banyak.
b. Tunjukan pada ibu cara memberikan larutan oralit pada anak,
satu sendok teh setiap 1-2 menit jika anak berumur di bawah
2 tahun; dan pada anak yang lebih besar, berikan minuman
oralit lebih sering dengan menggunakan cangkir.
c. Lakukan pemeriksaan rutin jika timbul masalah
1) Jika anak muntah, tunggu selama 10 menit; lalu beri
larutan oralit lebih lambat (misalnya 1 sendok setiap 2-3
menit)
2) Jika kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian
oralit dan beri minum air matang atau ASI.
d. Nasihati ibu untuk terus menyusui anak kapanpun anaknya
mau.
e. Jika ibu tidak dapat tinggal diklinik hingga 3 jam, tunjukkan
pada ibu cara menyiapkan larutan oralit dan beri beberapa
bungkus oralit secukupnya kepada ibu agar bisa
menyelesaikan rehidrasi di rumah ditambah untuk rehidrasi
dua hari berikutnya.
f. Nilai kembali anak setelah 3 jam untuk memeriksa tanda-
tanda dehidrasi yang terlihat sebelumnya (catatan : periksa
kembali anak sebelum 3 jam bila anak tidak bisa minum
larutan oralit atau keadaannya mulai memburuk).

Jika tidak terjadi dehidrasi, ibu mengenai empat aturan untuk


perawatan di rumah.
a. Beri cairan tambahan
b. Beri tablet zinc selama 10 hari
c. Lanjutkan pemberian minum/makan
d. Kunjungan ulang jika terdapat tanda-tanda berikut ini :
1) Anak tidak bisa atau malas minum atau menyusu
2) Kondisi anak memburuk
3) Anak demam
4) Terdapat darah dalam tinja anak
Jika anak masih mengalami dehidrasi sedang/ringan, ulangi
pengobatan untuk 3 jam berikutnya dengan larutan oralit, seperti
di atas, dan mulai beri anak makanan, susu dan jus dan berikan
ASI sesering mungkin.
Jika timbul tanda-tanda dehidrasi berat, kembali ke penanganan
15
dehidrasi berat.
Meskipun belum terjadi dehidrasi berat tetapi anak sama sekali
tidak bisa minum oralit misalnya karena anak muntah profuse,
dapat diberikan infus dengan cara : beri cairan intravena
secepatnya. Berikan 70 ml/kg cairan ringer laktat dan ringer
asetat (atau jika tak tersedia, gunakan larutan NaCl 0,9 %) yang
dibagi sebagai berikut :
Pertama, diberikan 30 Selanjutnya, berikan 70
ml/kg dalam : ml/kg dalam :
Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur ≥ 12 bulan 30 menit 2 ½ jam
a. Periksa kembali anak setiap 1-2 jam. Juga beri oralit (kira-
kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.
b. Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam.
Klasifikasikan dehidrasi.
c. Kemudian rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk
melanjutkan penanganan.

Dehidrasi berat
Anak-anak dengan dehidrasi berat harus diberi rehidrasi
intravena secara cepat yang diikuti dengan terapi rehidrasi oral.
Mulai berikan cairan intravena segera. Pada saat infus disiapkan,
beri larutan oralit jika anak bisa minum. Larutan intravena yang
digunakan ringer lactat/ringer asetat/NaCl 0,9%. Beri 100 ml/kg
larutan yang dipilih dan dibagi sesuai tabel 13 berikut ini :
Pertama, diberikan 30 Selanjutnya,
ml/kg dalam : berikan 70 ml/kg
dalam :
Umur < 12 bulan 1 jam 5 jam
Umur ≥ 12 bulan 30 menit 2 ½ jam
*
ulangi kembali jika denyut nadi radial masih lemah atau tidak
teraba
Untuk informasi lebih lanjut, lihat prosedur pemberian cairan
pada diare dehidrasi berat (rencana C).

Pemantauan
Nilai kembali anak setiap 1-2 jam hingga denyut nadi radial anak
teraba. Jika dehidrasi tidak mengalami perbaikan, beri tetesan
infus lebih cepat. Selanjutnya, nilai kembali anak dengan
memeriksa turgor tingkat kesadaran, dan kemampuan anak untuk
minum, sedikitnya setiap jam, untuk memastikan bahwa telah
terjadi perbaikan hidrasi. Mata yang cekung akan membaik lebih
baik dibanding tanda-tanda lainnya dan tidak begitu bermanfaat
dalam pemantauan.
Jika jumlah cairan intra vena seluruhnya telah diberikan, nilai
kembali status hidrasi anak.
a. Jika tanda-tanda dehidrasi masih ada, ulangi pemberian
cairan intravena seperti yang telah diuraikan sebelumnya.
Dehidrasi berat yang menetap (persisten) setelah

16
pemberian rehidrasi intravena jarang terjadi; hal ini
biasanya terjadi hanya bila anak terus menerus BAB cair
selama dilakukan rehidrasi.
b. Jika kondisi anak membaik walaupun masih
menunjukkan tanda-tanda dehidrasi ringan, hentikan
infus dan berikan cairan oralit selama 3-4 jam. Jika anak
bisa menyusu dengan baik, semangati ibu untuk lebih
sering memberikan ASI pada anaknya.
c. Jika tidak terdapat tanda-tanda dehidrasi, ikuti pedoman
terapi tanpa dehidrasi (rencana terapi A). jika bisa,
anjurkan ibu untuk menyusui anaknya lebih sering.
Lakukan observasi pada anak setidaknya 6 jam sebelum
pulang dari rumah sakit, untuk memastikan bahwa ibu
dapat meneruskan penanganan hidrasi anak dengan
memberi larutan oralit. Semua anak harus mulai minum
larutan oralit ( sekitar 5 ml/kg/jam) ketika anak bias
minumtanpa kesulitan (biasanya dalam waktu 3-4 jam
untuk bayi, atau 1-2 jam pada anak yang lebih besar). Hal
ini memberikan basa dan kalium, yang mungkin tidak
cukup disediakan melalui cairan infus, ketika dehidrasi
berat berhasil diatasi, beri tablet zinc.
9. Edukasi 1. Ajari ibu mengenai 4 aturan untuk perawatan di rumah:
(Hospital Health a. Beri cairan tambahan
Promotion) b. Beri tablet zinc
c. Lanjutkan pemberian makan
d. Nasihati kapan harus kembali
2. Anjurkan ibu untuk menjaga higiene perorangan dan
lingkungan
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat
B
rekomendasi
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004,
Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit, cetakan
I, WHO indonesia, 2009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU KARTINI
RSU Tahun

17
DEMAM TIFOID
1. Pengertian (Definisi) Demam tifoid merupakan penyakit endemis di indonesia yang
disebabkan oleh infeksi sitemik salmonella typhi. Prevalens
91 % kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu
pertama sakit demam tifoid sangat sukar dibedakan dengan
penyakit demam lainnya. Untuk memastikan diiagnosis perlu
pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
2. Anamnesis Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu
tertinggi pada akhir minggu pertama, minggu kedua demam
terus menerus tinggi. Anak sering mengigau (delirium),
malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut, diare
atau konstipasi, muntah, perut kembung. Pada demam tifoid
berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, ikterus.
3. Pemeriksaan Fisik Gejala bervariasi dari ringan sampai berat dengan komplikasi.
Kesadaran menurun, delirium, sebagian besar anak
mempunyai lidah tifoid yaitu dibagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemesis. Meteorismus, hepatomegali lebih
sering ditemui daripada splenomegali. Kadang dijumpai
ronkhi pada pemeriksaan paru.
4. Kriteria diagnosis 1. Demam lebih dari tujuh hari
2. Terlihat jelas sakit dan kondisi serius tanpa sebab yang
jelas
3. Nyeri perut, kembung, mual, muntah, diare, konstipasi
4. Delirium
5. Hepatosplenomegali
6. Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan
kesadaran, kejang dan ikterus
7. Dapat timbul dengan tanda-tanda yang tidak tipikal
terutama pada bayi muda sebagai penyakit demam akut
dengan disertai syok dan hipotermi.
5. Diagnosis DEMAM TIFOID
6. Diagnosis Banding 1. Stadium dini : influenza, gastroenteritis, bronkitis,
bronkopneumonia
2. Tuberklosis, infeksi jamur sistemik, malaria.
3. Demam tifoid berat : sepsis, leukimia, limfoma
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah tepi perifer
a. Anemia, pada umumnya terjadi karena supresi
sumsum tulang, defisiensi fe, atau perdarahan usus.
b. Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000 ul.
c. Limfosit relatif.
d. Trombositopenia terutama pada demam tifoid berat
2. Pemeriksaan serologi
a. Serologi widal : kenaikan titer S Typhi titer 0 1 : 200
atau kenaikan 4 kali titer dari fase akut ke fase
konvalesens
b. Kadar igM dan IgG (typhi –dot) bila tersedia.
3. Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
4. Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intestinal

18
seperti perforasi usus atau perdarahan saluran cerna. Pada
perforasi usus tampak distribusi udara tidak merata,
tampak air fluid level, bayangan radiolusen didaerah
hepar, dan udara bebas pada abdomen.
8. Terapi Medikamentosa
1. Antibiotika
a. Kloramfenikol (drug of Choice) 50-100 mg/kgbb/hari,
oral atau IV, dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari
b. Amoksilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi
dalam 3 dosis selama 10 hari.
c. Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari (TMP) dibagi 2 dosis,
oral, selama 10 hari.
d. Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intra
muskuler, sekali sehari, 5 hari
e. Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis,
selama 10 hari.
2. Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan
gangguan kesadaran. Dexamethason 1-3 mg/kgbb/hari
intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik.

Bedah
Tindakan bedah diperlukan pada penyulit perforasi usus

Suportif
Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah,
 Tirah baring
 Isolasi memadai
 Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
Demam tifoid yang berat harus dirawat inap di rumah sakit.
1. Cairan dan kalori
a. Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila
perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde
lambung
b. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi
menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah.
c. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan
jaringan dengan pemberian oral/parenteral
d. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
e. Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan
oksigen.
f. Pelihara keadaan nutrisi
2. Antipiretik : diberikan bila demam > 390 C, kecuali bila
ada riwayat kejang demam, bisa diberikan lebih awal.
3. Diet
1) Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
2) Setelah demam reda dapat segera diberikan makanan
yang lebih padat dengan kalori cukup.
4. Transfusi darah, kadang-kadang diperlukan pada
perdarahan saluran cerna dan perforasi usus.

19
Konsultasi bedah bila terjadi perforasi usus.
9. Edukasi  Beritahu orang tua tentang perjalanan penyakit.
(Hospital Health  Beritahu orang tua tentang rencana prosedur diagnostik
Promotion) dan terapi yang akan diberikan.
 Beritahu orang tua tentang prognosis.
 Anjurkan orang tua untuk menjaga kebersihan perorangan
dan lingkungan.
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis 1. Bebas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
15. Kepustakaan 1. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004,
Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit,
cetakan I, WHO indonesia, 2009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU
RSUD Tahun
KEJANG DEMAM

20
1. Pengertian (Definisi) Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal diatas 380 C) yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Terjadi pada 2-4
% anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam
kembali tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang disertai
demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
kejang demam.
Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau legih dari 5 tahun
mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan
lain, misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam.
2. Anamnesis 1. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang, suhu
sebelum/saat kejang, frekuensi, interval, pasca kejang,
penyebab demam diluar susunan saraf pusat.
2. Riwayat perkembangan, kejang demam dalam keluarga,
epilepsi dalam keluarga
3. Singkirkan penyebab kejang lainnya
3. Pemeriksaan Fisik Kesadaran, suhu tubuh, tanda rangsang meningeal, tanda
peningkatan tekanan intra kranial, tanda infeksi di luar SSP.
4. Kriteria diagnosis Kejang didahului demam pada anak berumur 6 bulan sampai 5
tahun karena sebab ekstrakranium.
Klasifikasi :
1. Kejang demam sederhana :berlangsung singkat, kurang
dari 15 menit, kejang bersifat umum, tonik maupun
klonik, tanpa gerakan fokal dan tidak berulang dalam 24
jam.
2. Kejang demam kompleks : memiliki ciri salah satu dari :
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang lokal, partial atau umum yang didahului partial
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

5. Diagnosis KEJANG DEMAM


6. Diagnosis Banding 1. Infeksi SSP
2. Epilepsi yang kebetuln bersamaan dengan demam
7. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk
mencari penyebab kejang demam. Pemeriksaan dapat
meliputi darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit (bila
tersedia).

8. Terapi Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada
tatalaksana penghentian kejang (lihat bagan). Saat ini lebih
diutamakan pengobatan profilaksis intermitten pada saat
demam berupa :
a. Antipiretika
Tujuan utama pengobatan kejang demam adalah
mencegah demam meningkat. Berikan parasetamol 10-15
mg/kgbb/kali dapat diberikan 4 kali dan tidak lebih dari 5

21
kali, atau ibuprofen 5-10 mg/kgbb/kali, 3-4 kali sehari.
b. Anti kejang
Beri diazepam oral 0,3 mg/kgbb/dosis tiap 8 jam saat
demam atau diazepam rectal 0,5 mg/kgbb setiap 8 jam
pada suhu > 38,50 C. efek samping diazepam adalah
letargi, mengantuk dan ataksia.
c. Pemberian anti kejang rumatan, dengan indikasi :
1) Kejang > 15 menit
2) Ada kelainan neurologis nyata sebelum dan sesudah
kejang misal hemiparesis, paresis todd, serebral palsi,
retardasi mental, hidrosefalus.
3) Kejang fokal
4) Dipertimbangkan bila :
1) Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam
2) Kejang terjadi pada bayi< 12 bulan
3) Kejang ≥ 4 kali dalam setahun
Jenis obat rumatan, fenobarbital 3-4 mg/kgbb dibagi 2
dosis, asam valproat 15-40 mg/kgbb dalam 2 atau 3
kali pemberian.
d. Vaksinasi, tidak ada kontraindikasi pada anak kejang
demam. Dianjurkan diazepam oral dan parasetamol pada
saat imunisasi DPT.
BAGAN PENGHENTIAN KEJANG DEMAM

KEJANG
Diazepam rektal 1. Diazepam rektal
0,5 mg/kgbb
(evaluasi 5 menit) atau
berat badan < 10
kg : 5 mg
DI RUMAH SAKIT
berat badan > 10
Pasang IV line kg : 10 mg
2. Diazepam IV
0,3-0,5 mg/kgbb
KEJANG (+)
Diazepam IV
Kecepatan 0,5-1 mg/menit (3-5 menit)
(dapat terjadi depresi pernapasan)

(evaluasi 5 menit)

KEJANG (+)
Fenitoin bolus IV 10-20 mg/kgbb/kali
Kecepatan 1 mg/kgbb/menit
(evaluasi 5 menit)

KEJANG (+)
Transfer ke ICU/PICU - RUJUK

Keterangan :
a. Bila kejang berhenti, terapi profilaksis intermitten
22
diberikan berdasarkan kejang demam sederhana atau
kompleks atau faktor risikonya.
b. Pemberian fenitoin bolus sebaiknya secara drip intravena
dicampur dengan cairan NaCl 0,9 %, untuk mengurangi
efek samping aritmia dan hipotensi.
Suportif
Pengobatan suportif dianjurkan untuk menurunkan suhu bila
anak demam tinggi.
9. Edukasi Ajarkan ibu cara menangani anak kejang demam di rumah,
(Hospital Health cara memberikan obat anti kejang dan obat demam.
Promotion)
10. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan 1. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004,
Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit,
cetakan I, WHO indonesia, 2009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU
RSU Tahun 2017 – 2019
BAYI BERAT LAHIR RENDAH

1. Pengertian (Definisi) Bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan

23
berat lahir kurang dari 2500 g tanpa memandang masa gestasi.
Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang 1 jam setelah
lahir. Sampai saat ini BBLR masih merupakan masalah
diseluruh dunia karena merupakan penyebab kesakitan dan
kematian pada masa neonatal. Prevalensi BBLR masih cukup
tinggi terutama di negara negara dengan sosial ekonomi
rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR
didapatkan di negara berkembang, dan angka kematian 35 kali
lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir > 2500 g.
angka kejadian di indonesia sangat bervariasi antara satu
daerah dengn daerah lain, berkisar antara 9-30%. Penyebab
terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran prematur. Faktor
ibu yang lain adalah umur, paritas, dll, faktor plasenta seperti
penyakit vaskuler, kehamilan ganda, dll juga faktor janin yang
juga merupakan penyebab terjadinya BBLR.
2. Anamnesis Umur ibu
1. Riwayat hari pertama haid terakhir
2. Riwayat persalinan sebelumnya
3. Paritas,jarak kelahiran sebelumnya
4. Kenaikan berat badan selama hamil
5. Aktivitas
6. Penyakit yang diderita selama hamil
7. Obat-obatan yang diminum selama hamil
3. Pemeriksaan Fisik 1. Berat badan <2500 g
2. Tanda prematurias (bila bayi kurang bulan)
3. Tanda bayi cukup bulan atau lebih bulan (bila bayi kecil
untuk masa kehamilan)
4. Kriteria diagnosis 1. Bayi berat lahir rendah (BBLR) : 1500-2499 gram
2. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) :1000-1499 gram
3. Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR): < 1000
gram

5. Diagnosis BAYI BERAT LAHIR RENDAH


6. Diagnosis Banding 1. Bayi premature
2. Bayi cukup bulan, kecil masa kehamilan
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan skor ballard
2. Darah rutin, glukosa darah, kalau perlu dan tersedia
fasilitas diperiksa kadar elektrolit
3. Foto dada diperlakukan pada bayi baru lahir dengan umur
kehamilan kurang bulan dimulai pada umur 8 jam atau
jika didapat/diperkirakan akan terjadi sindrom gangguan
napas
4. USG kepala terutama pada bayi dengan umur kehamilan ≤
35 minggu, dimulai pada umur 2 hari dan dilanjutkan
sesuai hasil yang didapat.
8. Terapi Medikamentosa
Pemberian vitamin K
1. Injeksi 1 mg IM sekali pemberian; atau
2. Peroral 2 mg sekali pemberian atau 1mg 3 kali pemberian

24
(saat lahir, umur 3-10 hari, dan umur 4-6 minggu)

Mempertahankan suhu tubuh normal


1. Gunakan salah satu cara menghangatkan dan
mempertahankan suhu tubuh bayi, seperti kontak kulit ke
kulit, kangaroo mother care, pemancar panas, inkubator
atau ruangan hangat yang tersedia di tempat fasilitas
kesehatan setempat sesuai petunjuk (lihat tabel cara
menghangatkan bayi).
2. Jangan memandikan atau menyentuh bayi dengan tangan
dingin.
3. Ukur suhu tubuh sesuai jadwal pada tabel.

Pemberian minum
1. ASI merupakan pilihan utama
2. Apabila bayi mendapat ASI , pastikan bayi menerima
jumlah yang cukup dengan cara apapun, perhatikan cara
pemberian ASI dan nilai kemampuan bayi mengisap
paling kurang sehari sekali.
3. Apabila bayi sudah tidak mendapat cairan IV dan beratnya
naik 20 g/hari selama 3 hari berturut-turut, timbang bayi 2
kali seminggu.

Berat lahir 1750-2500 gram


Bayi sehat
1. Biarkan bayi menyusu pada ibu semau bayi, ingat bahwa
bayi kecil lebih mudah merasa letih dan malas minum,
anjurkan bayi menyusu lebih sering (misal setiap 2 jam)
bila perlu.
2. Pantau pemberian minum dan kenaikkan berat badan
untuk menilai efektivitas menyusui. Apabila bayi kurang
dapat mengisap , tambahkan ASI peras dengan
menggunakan salah satu alternatif cara pemberian minum.

Bayi sakit
1. Apabila bayi dapat minum peroral dan tidak memerlukan
cairan IV, berikan minum seperti pada bayi sehat
2. Apabila bayi memerlukan cairan intravena :
a. Berikan cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
b. Mulai berikan minum per oral pada hari ke 2 atau
segera setelah bayi stabil. Anjurkan pemberian ASI
apabila ibu ada dan bayi menunjukkan tanda-tanda
siap untuk menyusu;
c. Apabila masalah sakitnya menghalangi proses
menyusui (misal gangguan napas, kejang), berikan
ASI peras melalui pipa lambung:
1) Berikan cairan intravena dan ASI menurut umur,
Berikan minum 8 kali dalam 24 jam (misal 3 jam
sekali).
Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kg
25
berat badan per hari tetapi masih tampak lapar,
berikan tambahan ASI setiap kali minum; biarkan
bayi menyusu apabila keadaan bayi sudah stabil
dan bayi menunjukkan keinginan untuk menyusu
dan dapat menyusu tanpa terbatuk atau tersedak.

Berat lahir 1500-1749 gram


Bayi sehat
1. Berikan ASI peras dengan cangkir/sendok sesuai dengan
tabel.
a. Apabila jumlah yang dibutuhkan tidak dapat diberikan
menggunakan cangkir atau sendok atau ada risiko
terjadi aspirasi ke dalam paru (batuk atau tersedak),
berikan minum dengan pipa lambung;
b. Lanjutkan pemberian dengan menggunakan
cangkir/sendok apabila bayi dapat menelan tanpa
batuk atau tersedak (ini dapat berlangsung setelah
sehari-dua hari namun adakalanya memakan waktu
lebih dari seminggu).
2. Beri minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam).
Apabila bayi telah mendapat minum 160 mL/kg berat
badan per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan
ASI setiap kali minum.
3. Apabila bayi telah dapat minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusu langsung.

Bayi sakit
1. Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
2. Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari kedua dan
kurangi jumlah cairan IV secara perlahan sesuai dengan
tabel
3. beri minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam.
Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kg per hari
tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum.
4. Lanjutkan pemberian minum menggunakan
cangkir/sendok apabila kondisi bayi sudah stabil dan bayi
dapat menelan tanpa batuk atau tersedak (ini dapat
berlangsung setelah sehari-dua hari namun kadangkala
memakan waktu lebih dari seminggu)
5. Apabila bayi telah dapat minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusu langsung.

Berat lahir 1250-1499 gram


Bayi sehat
1. Berikan ASI peras melaui pipa.
2. Beri minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam).
Apabila bayi telah mendapat minum 160 mL/kg berat
badan per hari tetapi masih tampak lapar, beri tambahan

26
ASI setiap kali minum.
3. Lanjutkan pemberian minum menggunakan
cangkir/sendok
4. Apabila bayi telah dapat minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusu langsung.

Bayi sakit
1. Beri cairan intravena hanya selama 24 jam pertama
2. Beri ASI peras dengan pipa lambung mulai hari kedua dan
kurangi jumlah cairan IV secara perlahan
3. Beri minum 8 kali dalam 24 jam (misal setiap 3 jam.
Apabila bayi telah mendapat minum 160 ml/kg per hari
tetapi masih tampak lapar, beri tambahan ASI setiap kali
minum.
4. Lanjutkan pemberian minum menggunakan
cangkir/sendok
5. Apabila bayi telah dapat minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusu langsung.

Berat lahir <1250 gram (tidak tergantung kondisi)


1. Beri cairan intravena saja selama 48 jam pertama
2. Beri ASI peras melalui pipa lambung mulai pada hari
ketiga dan kurangi jumlah cairan intravena secara perlahan
3. Berikan minum 12 kali dalam 24 jam (setiap 2 jam).
Apabila bayi telah mendapat minum baik menggunakan
cangkir/sendok, coba untuk menyusu langsung

Suportif
1. Jaga dan pantau kehangatan
2. Jaga dan pantau patensi jalan nafas
3. Pantau kecukupan nutrisi, cairan dan elektrolit
4. Bila terjadi penyulit segera kelola sesuai dengan penyulit
yang timbul (misalnya hipotermia, kejang, gangguan
nafas, hiperbilirubinemia, dll)
5. Berikan dukungan emosional kepada ibu dan anggota
keluarga lainnya
6. Anjurkan ibu untuk tetap bersama bayi. Bila ini tidak
memungkinkan, biarkan ia berkunjung setiap saat dan
siapkan kamar untuk menyusui
7. Ijikan dan anjurkan kunjungan oleh keluarga atau teman
dekat apabila dimungkinkan.

Lain lain atau rujukan


1. Bila perlu dilakukan pemeriksaan USG kepala atau
fisioterapi
2. Pada umur 6 minggu konsultasi ke dokter spesialis mata
kemunkinan adanya retinopathyof prematurity (ROP)
3. THT skrening pendengaran dilakukan sebelum bayi
pulang pemeriksaan ulang dilakukan pada semua BBLR

27
pada semua 12 dan 24 bulan
4. Bila perlu siapkan trasfortasi dan/atau rujukan
Pemantauan
Terapi
1. Bila diperlukan terapi untuk penyulit tetap diberikan
2. Preparat besi sebagai suplemen mulai diberikan pada usia
2 minggu

Tumbuh kembang
1. Pantau berat bayi secara periodik
2. Byai akan kehilangan berat selama 7-10 hari pertama
(sampai 10% untuk bayi dengan berat lahir ≥ 1500 g dan
15% untuk bayi dengan bearat lahir < 1500 g).berat lahir
biasanya tercapai kembali dalam 14 hari kecuali apabila
terjadi komplikasi
3. Bila bayi sudah mendapt ASI secara penuh( pada semua
kategori berat lahir ) dan telah berusia lebih dari 7 hari:
a. Tingkatkan jumlah ASI dengan 20 ml/kg/hari sampai
tercapai jumlah 180 ml/kg/hari
b. Tingkatkan jumlah ASI sesuai dengan kenaikan berat
badan bayi agar jumlah pemberian ASI tetap 180
ml/kg/hari
c. Apabila kenaikan berat tidak adekuat, tingkatkan
jumlah pemberian ASI sampai 200 ml/kg/hari;
d. Ukur berat badan setiap hari, panjang badan dan
lingkar kepala setiap minggu.

Pemantauan setelah pulang


Masalah jangka panjang yang mungkin timbul
1. Gangguan perkembangan
2. Gangguan pertumbuhan
3. Retinopati karena prematuritas
4. Gangguan pendengaran
5. Penyakit paru kronik
6. Kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah sakit
7. Kenaikan frekuensi kelainan bawaan

Untuk itu perlu dilakukan pemantauan sebagai berikut:


1. Sesudah pulang hari ke-2, 10, 30; dilanjutkan setiap bulan
2. Hitung umur koreksi
3. Perttumbuhan : berat badan, panjang badan dan lingkar
kepala (lihat grafik pertumbuhan)
4. Tes perkembangan, denver deveiopment screening test
(DDST)
5. Awasi adanya kelainan bawaan.
9. Edukasi 1. Anjurkan ibu untuk terus memberikan ASI ekslusif
(Hospital Health 2. Anjurkan dan ajarkan ibu agar menjaga bayi tetap hangat
Promotion) 3. Ajarkan ibu untuk mengenali tanda bahaya
4. Sampaikan pada ibu tentang masalah jangka panjang yang

28
mungkin timbul.
5. Anjurkan ibu untuk memantau tumbuh kembang bayi
sampai mencapai berat 2500 g.
10. Prognosis 1. Angka kematian BBLR 35 kali lebih tinggi dibandingkan
bayi berat lahir cukup (>2500 gram)
2. Masalah jangka panjang yang mungkin timbul : gangguan
perkembangan, gangguan pertumbuhan, retinopati karena
prematuritas, gangguan pendengaran, penyakit paru
kronik, kenaikan angka kesakitan dan sering masuk rumah
sakit, kenaikan fungsi kelainan bawaan
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis Kondisi bayi membaik
15. Kepustakaan 1. Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004,
Ikatan Dokter Anak Indonesia
2. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit,
cetakan I, WHO indonesia, 2009

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU
RSU Tahun
ASFIKSIA NEONATORUM
1. Pengertian (Definisi) Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan
dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir

29
yang ditandai hipoksemia (PaO2 rendah), hiperkarbia (PaCO2
meningkat) dan asidosis. Penyebab asfiksia dapat berasal dari
faktor ibu, janin dan plasenta. Asfiksia perinatal dapat terjadi
selama antepartum, intrapartum maupun postpartum.
2. Anamnesis 1. Gangguan atau kesulitan waktu lahir (lilitan tali pusat,
sungsang, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, dll)
2. Lahir tidak bernafas/menangis
3. Air ketuban bercampur mekonium
3. Pemeriksaan Fisik 1. Bayi tidak bernapas atau megap-megap
2. Tidak segera menangis kuat
3. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
4. Kulit sianosis, pucat
5. Tonus otot menurun
4. Kriteria diagnosis Bayi tidak dapat napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah lahir.
5. Diagnosis ASFIKSIA NEONATORUM
6. Diagnosis Banding 1. Infeksi SSP
2. Epilepsi
7. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium : analisa gas darah (bila tersedia), menunjukan
hasil
1. PaO2 < 50 mmH2O
2. PaCO2 > 55 mmH2O
3. Ph < 7,30
8. Terapi Resusitasi (tahapan resusitasi lihat bagan)
Begitu bayi baru lahir tidak menangis, maka dilakukan
langkah awal yang terdiri dari :
1. Hangatkan bayi di bawah pemancar panas
2. Posisikan kepala bayi sedikit ekstensi
3. Isap lendir dari mulut kemudian hidung
4. Keringkan bayi sambil merangsang taktil dengan
menggosok punggung atau menyentil ujung jari kaki dan
mengganti kain yang basah dengan yang kering.
5. Reposisi kepala bayi
6. Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung
7. Bila bayi tidak bernafas lakukan ventilasi tekanan positip
(VTP) dengan memakai balon dan sungkup selama 30
detik
8. Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung
9. Bila belum bernafas dan denyut jantung < 60 x/menit beri
epinefrin dan lanjutkan VTP dengan kompresi dada secara
terkordinasi selama 30 detik
10. Nilai bayi : usaha, warna kulit dan denyut jantung
11. Bila denyut jantung < 60 x/menit beri epinefrin dan
lanjutkan VTP dan kompresi dada.
12. Bila denyut jantung > 60 x/menit kompresi dada
dihentikan, VTP dilanjutkan
13. Pemasangan pipa endotrakeal (ET) bisa dilakukan pada
setiap tahapan resusitasi

30
Terapi medikamentosa
Epinefrin
Indikasi :
a. Denyut jantung bayi < 60 x/menit setelah paling tidak 30
detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
belum ada respons
b. Asistolik

Dosis
0,1-0,3 ml/kgBB (0,01 mg-0,03 mg/kgBB) dalam larutan
1:10000 (encerkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 9 ml
aquades). Cara : intravena atau endotrakeal. Dapat diulang
tiap 3-5 menit bila perlu.

Volume ekspander
Indikasi :
a. Bayi baru lahir yang dilakukan resusitasi mengalami
hipovolemia dan tidak ada respon dengan resusitasi
b. Hipovolemia kemungkinan akibat adanya perdarahan atau
syok, klinis ditandai dengan adanya pucat, perfusi buruk,
nadi kecil/lemah dan pada resusitasi tidak memberikan
respon yang adekuat.
Jenis cairan :
a. Larutan kristaloid isotonis (NaCl 0,9 %, ringer laktat)
Dosis : dosis awal 10 ml/kgBB IV pelan selama 5-10
menit.
Dapat diulang sampai menunjukkan respons klinis.
b. Transfusi darah gol O negatif jika diduga kehilangan
darah banyak.

Bikarbonat
Indikasi : asidosis metabolik, bayi-bayi baru lahir yang
mendapatkan resusitasi. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi
sudah baik.
Dosis : 1-2 mEq/kgBB atau 2 ml/kgBB (4,2 %) atau 1
ml/kgBB (7,4%).
Cara : diencerkan dengan aquades atau dekstrosa 5% sama
banyak diberikan secara intravena dengan kecepatan minimal
2 menit.
Efek samping : pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan
CO2 merusak fungsi miokardium dan otak.\
Nalokson
Nalokson hidrochlorida adalah antagonis narkotik yang tidak
menyebabkan depresi pernapasan.
Indikasi:
a. Depresi pernapasan pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan narkotik 4 jam sebelum persalinan
b. Sebelum diberikan nalokson ventilasi harus adekuat dan
stabil
c. Jangan diberikan pada bayi yang ibunya baru dicurigai
31
sebagai obat narkotika sebab akan menyebabkan tanda
with drawl tiba-tiba pada sebagian bayi.

Dosis : 0,1 mg/kgBB (0,4 mg/ml atau 1 mg/ml)


Terapi suportif
a. Jaga kehangatan
b. Jaga saluran nafas agar tetap bersih dan tebuka
c. Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan
elektrolit)
9. Edukasi -
(Hospital Health
Promotion)
10. Prognosis Tergantung kecepatan dan ketepatan tatalaksana asfiksia
neonates
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis Kondisi bayi membaik, bayi bernafas spontan dan teratur
15. Kepustakaan Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004, Ikatan
Dokter Anak Indonesia

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU
RSU Tahun 2017 – 2019
SEPSIS NEONATORUM
1. Pengertian (Definisi) Neonatal sepsis merupakan sindroma klinis dari penyakit
akibat infeksi selama satu bulan pertama kehidupan. Bakteri,

32
virus, jamur dan protozoa dapat menyebabkan sepsis pada
neonatus. Insiden berkisar 1-10 diantara 1000 kelahiran hidup
dengan mortalitas 13-50 %. Tanda awal sepsis pada bayi baru
lahir tidak spesifik, sehingga skrining sepsis dan pengelolaan
terhadap faktor risiko perlu dilakukan. Maka terapi awal pada
neonatus yang mengalami sepsis harus segela dilakukan tanpa
menunggu hasil kultur.
2. Anamnesis 1. Riwayat ibu mengalami infeksi intra uterin. Demam
dengan kecurigaan infeksi berat dan ketuban pecah dini.
2. Riwayat persalinan tindakan, penolong persalinan,
lingkungan persalinan yang kurang higienis.
3. Riwayat lahir asfiksia berat, bayi kurang bulan dan berat
lahir rendah
4. Riwayat air ketuban keruh, purulen atau bercampur
mekoneum.
5. Riwayat bayi malas minum, penyakitnya cepat memberat
6. Riwayat keadaan bayi lunglai, mengantuk atau aktivitas
berkurang atau iritabel/rewel, muntah, perut kembung,
tidak sadar, kejang.
3. Pemeriksaan Fisik Keadaan umum
1. Suhu tubuh tidak normal
2. Letargi atau lunglai, mengantuk atau aktivitas kurang
3. Malas minum sebelumnya minum dengan baik
4. Iritabel dan rewel
5. Kondisi memburuk secara cepat dan dramatis
Gastrointestinal
1. Muntah, diare, perut kembung, hepatomegali
2. Tanda mulai muncul sesudah hari ke empat
Kulit
1. Perfusi kulit kurang, sianosis, pucat, ptekie,ruam,
skelerem, ikterik
Kardiopulmonal
2. Takipnu, distress respirasi (merintih, retraksi) takikardi,
hipotensi.
Neurologis
3. Iritabilitas, penurunan kesadaran, kejang, ubun ubun
membonjol, kaku kuduk sesuai dengan meningitis.
4. Kriteria diagnosis Menggunakan tabel kelompok temuan yang berhubungan
dengan sepsis
1. Dugaan sepsis.
Jika tidak ditemukan riwayat infeksi intra uteri, ditemukan
satu kategori A dan satu atau dua kategori B kelola untuk
tanda khususnya (misal kejang). Pada pemantauan bila
ditemukan tambahan tanda sepsis, maka dikelola sebagai
kecurigaan besar sepsis.
2. Kecurigaan besar sepsis
a. Pada bayi umur sampai 3 hari.
Bila riwayat ibu dengan infeksi rahim, demam dengan
kecurigaaninfeksi berat atau ketuban pecah dini atau

33
bayi mempunyai 2 atau lebih kategori A, atau 3 atau
lebih kategori B.
b. Pada bayi umur lebih dari 3 hari
Bila bayi mempunyai temuan 2 atau lebih atau atau
lebih temuan kategori B.
5. Diagnosis Berdasar kriteria diagnostik dapat dikategorikan :
1. Dugaan sepsis
2. Kecurigaan besar sepsis
6. Diagnosis Banding 1. Meningitis
2. Bronkopneumonia
3. Tetanus neonatorum
4. Ikterus neonatorum
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Pemeriksaan jumlah lekosit dan hitung jenis secara serial
untuk melihat perubahan akibat infeksi, adanya lekositosis
atau lekopeni, netropeni, peningkatan ratio netrofil imatur/
total (I/T) > 0,2
2. Gangguan metabolik : hipoglikemia, hiperglikemia,
asidosis metabolik
3. Peningkatan kadar bilirubin.
4. Pemeriksaan cairan serebrospinal ditemukan peningkatan
jumlah leukosit terutama PMN, jumlah leukosit 20/ml
(umur < 7 hari) dan 10/ml (umur > 7 hari/, peningkatan
kadar protein, penurunan kadar glukosa, dan pada
pengecatan gram ditemukan kuman. Gambaran ini sesuai
dengan meningitis yang sering terjadi pada sepsis.
Radiologis
Pada foto dada (dilakukan bila kondisi bayi memungkinkan)
dapat ditemukan :
a. Pneumonia kongenital dan infeksi intrauterin ditemukan
gambaran konsolidasi bilateral atau efusi bilateral
b. Pneumonia dan infeksi intrapartum infiltrasi dan destruksi
jaringan bronkopulmoner, atelektasis segmental atau
lobaris, gambaran retikulonoduler difus (seperti penyakit
membran hialin) efusi pleura
c. Pneumonia dan infeksi postnatal gambarannya sesuai
dengan pola kuman tempat dimana bayi dirawat.
5. Terapi Manajemen umum
Dugaan Sepsis
Pengobatan menggunakan table kelompok temuan yang
berhubungan dengan sepsis. Pada dugaan sepsis pengobatan
ditujukan pada temuan khusus (misalnya kejang) serta
dilakukan pemantauan.
Kecurigaan besar sepsis
1. Antibiotika
a. Antibiotika awal berikan ampisilin dan gentamisin,
bila bayi tetap menunjukkan tanda infeksi sesudah 48
jam, ganti ampisilin dengan sefotaksim disamping
tetap beri gentamisin.
b. Jika ditemukan organism penyebab infeksi, digunakan

34
antibiotika sesui uji kepekaan kuman. Antibiotika
diberikan selama 7 hari setelah ada perbaikan (dosis
lihat tabel)
c. Pada sepsis dengan meningitis, pemberian antibiotic
sesuai pengobatan meningitis.
2. Respirasi
Menjaga patensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk
mencegah hipoksia
3. Kardiovaskuler
Pasang jalur IV dan beri cairan IV dengan dosis rumat
serta pemantauan tensi (bila tersedia fasilitas) dan perfusi
jaringan untuk cegah syok
4. Hematologi
Transfusi komponen jika diperlukan, atasi kelainan yang
mendasari
5. Tunjangan nutrisi adekuat
Manajemen khusus
1. Pengobatan terhadap tanda khusus lain atau penyakit
penyerta serta komplikasi yang terjadi (misal : kejang,
gangguan metabolik, hematologi, respirasi,
gastrointestinal, kardiorespirasi, hiperbilirubin)
Bedah
Pada kasus tertentu misalnya hidrosefalus dan akumulasi
progresif, enterokolitis nekrotikan, diperlukan tidakan bedah.
Rujukan spesialis/subspesialis bila diperlukan
6. Edukasi 1. Mencegah dan mengobati ibu demam dengan kecurigaan
(Hospital Health infeksi berat atau infeksi intrauterin
Promotion) 2. Mencegah dan pengobatan ibu dengan ketuban pecah dini
3. Perawatan antenatal yang baik
4. Mencegah aborsi yang berulang
5. Mencegah persalinan prematur
6. Melakukan pertolongan persalinan yang bersih dan aman
7. Melakukan resusitasi dengan benar
8. Melakukan tindakan pencegahan infeksi
7. Prognosis Ad vitam : dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
8. Tingkat evidens II
9. Tingkat rekomendasi B
10. Penelaah kritis
11. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
12. Kepustakaan Standar Pelayanan Medis kesehatan anak, edisi 1, 2004,
Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tabel 1. Kelompok temuan yang berhubungan dengan sepsis

Kategori A Kategori B
1. Kesulitan bernapas (misalnya : apnea, 1. Tremor
napas kurang dari 30 kali/menit,retraksi 2. letargi atau lunglai
dinding) 3. mengantuk atau aktivitas berkurang

35
2. Dada, grunting pada waktui ekspirasi, 4. iritabel atau rewel
sianosis sentral 5. muntah (menyokong ke arah sepsis)
3. Kejang 6. perut kembung (menyokong ke arah
4. Tidak sadar sepsis)
5. Suhu tubuh tidak normal(tidak normal 7. tanda tanda mulai muncul sesuadah hari
sejak lahir dan tidak memberi respons ke empat (menyokong ke arah sepsis)
terhadap terapi atau suhu tidak stabil 8. Air ketuban bercampur mekonium
setelah pengukuran suhu normal selama 9. Malas minum< sebelumnya minum
tiga kali atau lebih, menyokong ke arah dengan baik.
sepsis)
6. Persalinan dilingkungan yang kurang
higienis (menyokong ke arah sepsis)
7. Kondisi memburuk secara cepat.

Tabel 2. Dosis Antibiotika untuk sepsis


Antibiotik Dosis dalam mg
Cara
pemberian
Hari 1-7 Hari 8 +
Ampisilin IV,IM 50 mg/kg setiap 12 jam 50 mg/kg setiap 8 jam
Ampisilin untuk IV 100 mg/kg setiap 12 jam 100 mg/kg setiap 12
meningitis IV,IM 50 mg/kg setiap 12 jam jam
Sefotaksim IV 50 mg/kg setiap 6 jam 50 mg/kg setiap 8 jam
Sefotaxim untuk IV,IM < 2 kg 50 mg/kg setiap 6 jam
meningitis 4 mg/kg sekali sehari < 2kg
Gentamisisn ≥ 2 kg 3,5 mg/kg setiap 12
5 mg/kg sekali sehari jam
≥ 2kg
3,5 mg/kg setiap 12
jam

PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK)


SMF : KESEHATAN ANAK
RSU
Tahun 2017 – 2019
RSU

HIPERBILIRUBINEMIA NEONATAL
1. Pengertian (Definisi) Hiperbilirubinemia neonatal adalah peningkatan kadar
bilirubin total pada minggu pertama kelahiran. Kadar normal

36
maksimum adalah 12-13 mg% (205-220 µmol/l). banyak bayi
yang mengalami hiperbilirubinemia ini dalam satu minggu
pertama kehidupannya, terutama pada bayi kecil (berat lahir
<2500 gram atau umur kehamilan < 37 minggu. Bila bayi
mengalami masalah ini maka komplikasi atau risiko yang
harus dpertimbangkan adalah ensefalopati bilirubin. Keadaan
ini dapat merupakan gejala awal dari penyakit utama yang
berat pada neonatus dan bila timbul pada hari pertama (kurang
dari 24 jam) merupakan tanda bahaya yanga harus segera
ditangani. Meskipun demikian, sebagian besar hiperbilirubin
tidak membahayakan dan tidak memerlukan pengobatan.
2. Anamnesis Riwayat ibu melahirkan bayi yang lalu dengan ikterus;
1. Golongan darah ibu dan ayah
2. Riwayat ikterus hemolitik, defisiensi glukose-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD), atau inkompatibilitas faktor rhesus
atau golongan darah ABO pada kelahiran sebelumnya.
3. Riwayat anemia, pembesaran hati atau limpa pada
keluarga.
3. Pemeriksaan Fisik Bayi tampak berwarna kuning. Amati ikterus pada siang hari
dengan sinar lampu yang cukup. Ikterus akan terlihat lebih
berat bila dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan
penerangan yang kurang. Tekan kulit dengan ringan memakai
jari tangan untuk memastikan warna kulit dan jaringan
subkutan;
1. Pada hari pertama, tekan pada ujung hidung atau dahi
2. Pada hari ke-2, tekan pada lengan atau tungkai;
3. Pada hari ke-3, dan seterusnya, tekan pada tangan dan
kaki.
4. Kriteria diagnosis 1. Peningkatan kadar bilirubin total melebihi kadar normal
maksimun (12-13 mg% (205-220 µmol/l)), pada minggu
pertama kelahiran.
2. Ikterus terlihat pada bagian manapun dari tubuh bayi pada
hari pertama.
3. Ikterus terlihat pada lengan dan tungkai sampai ke tangan
dan kaki pada hari ke-2.
5. Diagnosis IKTERUS NEONATORUM
6. Diagnosis Banding 1. Ikterus hemolitik
2. Ikterus pada prematuritas
3. Ikterus karena sepsis
4. Ensefalopati bilirubin (kernikterus)
5. Ikterus berkepanjangan (prolonged jaundice)
7. Pemeriksaan Penunjang 1. Darah rutin
2. Kadar bilirubin total, direk, indirek
3. Preparat apusan darah
4. Golongan darah ibu dan bayi: ABO dan rhesus, uji
Coombs.
8. Terapi Manajemen/Tata laksana
a. Mulai dengan terapi sinar bila ikterus diklasifikasikan
sebagai ikterus dini atau kemungkinan ikterus berat (tabel

37
1).
b. Ambil sampel darah bayi dan periksa kadar bilirubin, bila
memungkinkan:
1) Tentukan apakah bayi memiliki salah satu faktor risiko
(berat lahir <2500 gram atau umur kehamilan <37
minggu, hemolisis atau sepsis);
2) Bila kadar bilirubin serum di bawah kadar yang
memerlukan terapi sinar, hentikan terapi sinar;
3) Bila kadar bilirubin serum sesuai atau diatas kadar
yang memerlukan terapi sinar, lanjutkan terapi sinar.
c. Bila ada riwayat ikterus hemolitik, atau inkompatibilitas
faktor Rh atau golongan darah ABO pada kelahiran
sebelumnya.
1) Ambil sampel darah bayi dan ibu dan periksa kadar
hemoglobin, golongan darah bayi dan uji coombs;
2) Bila hasil pemeriksaan kadar bilirubin dan uji lain
telah diperoleh, tentukan kemungkinan diagnosisnya
(tabel 2)
Terapi suportif :
a. Minum ASI atau pemberian ASI peras
b. Infus cairan dengan dosis rumatan
Pemantauan
Terapi
a. Bilirubin pada kulit dapat menghilang dengan cepat
dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan
sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum
selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam
setelah dihentikan.
b. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan,
bayi minum dengan baik, atau bila sudah ditemukan
masalah yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
9. Edukasi Ajari ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat pada ibu
(Hospital Health untuk kembali bila terjadi ikterus lagi.
Promotion)
10. Prognosis 1. Pasca perawatan hiperbilirubinemia bayi perlu
pemantauan tumbuh kembang dengan penilaian priodik,
bila diperlukan ke subbagian neurologi anak dan
subbagian tumbuh kembang.
2. Bila terjadi gangguan penglihatan, konsultasi kebagian
penyakit mata, bila terjadi gangguan pendengaran,
konsultasi ke bagian THT.
11. Tingkat evidens II
12. Tingkat rekomendasi B
13. Penelaah kritis
14. Indikator Medis Kondisi pasien membaik
15. Kepustakaan Standar pelayanan medis kesehatan anak, edisi I, 2004, Ikatan
Dokter Anak Indonesia

38
Tabel 1. Perkiraan klinis derajat ikterus
Usia Ikterus terlihat pada Klasifikasi
Hari pertama Setiap ikterus yang terlihat Ikterus berat
Hari ke-2 Lengan dan tungkai
Hari ke-3 Tangan dan kaki

Tabel 2. Penanganan ikterus berdasarkan kadar bilirubin serum


Usia Terapi sinar Transfusi tukar
Bayi sehat Faktor risiko Bayi sehat Faktor risiko
mg/ mmol/ mg/ mmol/ mg/ mmol/ mg/ mm
dl l dl l dl l dl ol/l
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 19 330 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari 4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

- Ikterus terlihat pada bagian manapun dari tubuh bayi pada hari pertama, menunjukkan hal
yang sangat serius. Lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar
dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum
- Bila ikterus terlihat pada lengan dan tungkai sampai ke tangan dan kaki pada hari ke-2
kondisi bayi sangat serius. Lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi
sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum.

39

Anda mungkin juga menyukai