Anda di halaman 1dari 5

TUGAS

HUBUNGAN INDUSTRI KONSTRUKSI

SI-6252 MANAJEMEN SDM DALAM KONSTRUKSI

Dosen:

Prof. Dr. Ir. Krishna S. Pribadi


Ir. Biemo W. Soemardi, Ph.D.

Oleh:

25021005 Rika Permatasari Purba

KELOMPOK KEAHLIAN MANAJEMEN REKAYASA KONSTRUKSI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK SIPIL

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2022
Bagaimana hubungan industrial yang diterapkan dalam industry konstruksi suatu negara, mulai
dari dasar hukum yang berlaku, praktek-praktek yang terjadi, dan perbandingan dengan
permasalahan dan kelemahan yang ada pada praktek-praktek yang berlangsung di Indonesia serta
saran-saran perbaikan.

Singapura

Singapura menganut hubungan indrustri tripartit yang terdiri dari pemerintah, serikat pekerja, dan
pengusaha, dimana hal ini tercantum dalam peraturan Tripartite Guidelines on Non-Dicriminatory
Job Advertisement tahun 1999. Hubungan tripartit ini ditetapkan oleh lembaga Tripartite Alliance
yang didukung oleh Ministry of Manpower, National Trades Union Congress (persekutuan serikat
kerja), dan Singapore National Employers Federation (serikat pekerja). Dari pemerintah juga
terdapat lembaga yaitu Building and Construction Authority (BCA) yang mengatur lingkup built
environment termasuk di dalamnya konstruksi. Regulasi yang ditetapkan seperti Industry Security
of Payment Act tahun 2005 yang di dalamnya terdapat penjaminan bahwa setiap pihak yang men-
deliver barang atau jasa berhak mendapatkan pembayaran yang dalam industry konstruksi seperti
kontraktor mendapatkan pembayaran dari employer, maupun juga konsultan mendapatkan
pembayaran dari employer, hingga subkontraktor mendapatkan pembayaran dari kontraktor.

Selain itu terdapat juga peraturan lain yang bertujuan mensejahterakan para pekerja yang diatur
pada Guidelines of Best Work-Life Practise tahun 2004. Peraturan tersebut didasarkan oleh
kesejahteraan pekerja melalui kemampuannya secara efektif mengelola pekerjaan dan keluarganya
dan membentuk pekerja yang produktif. Di dalamnya tertuang ketentuan antara lain
memungkinkan dilaksanakannya compressed work schedules yang berarti seorang pekerja hanya
bekerja 4 hari seminggu dengan 11 jam per hari, atau 3 hari seminggu dengan 12 jam perhari
ditambah 1 hari dalam 8 jam. Di dalamnya juga masih ada kewajiban untuk para pemberi kerja
untuk membayar seluruh keperluan asuransi bagi pekerja tetap. Terdapat juga peraturan yang
menjamin keadilan yang diatur dalam Code of Responsible Employment Pratices tahun 2002 yang
berisi ketentuan dalam melakukan perekrutan pekerja yang harus didasarkan pada kompetensi
bukan berdasarkan usia, ras, jenis kelamin, agama, status pernikahan, atau disabilitas. Peraturan
menyediakan kesempatan yang sama bagi semua pekerja untuk mendapatkan pelatihan dan
pengembangan kapasitas yang layak, memberikan insentif terhadap kemampuan dan kontribusi
pekerja. Sebagai contoh, terbentuknya Association of Women in Construction Singapore (AWiCS)
pada 2017 lalu yang bertujuan menegakkan keadilan dan kesempatan yang sama bagi perempuan
untuk dapat berpartisipasi penuh dalam industri konstruksi; mendorong wanita untuk berkarir di
industri konstruksi; menyelesaikan isu-isu khususnya terkait wanita dalam praktik industri
konstruksi.

Namun tak bisa dipungkiri bahwa masih terdapat kekurangan pada system hubungan industry di
Singapura. Contohnya pada kasus di tahun 2019 dimana terjadi demonstrasi yang melibatkan 59
pekerja asing (Bangladesh, China, dan India) di Singapura karena isu gaji yang belum dibayarkan
dengan total nilai SGD 300.000. Dalam kasus tersebut perusahaan Stargood Construction
membenarkan hal tersebut dan menyatakan alasannya yaitu perusahaan kontraktor utama yaitu
Shimizu Corporation belum juga membayar Stargood Construction.

Australia

Salah satu dasar hukum yang berlaku di Melbourne, Australian tentang kebijakan hubungan
industrial pada perusahaan konstruksi bernama Melbcon yang di dalamnya terdapat istilah tentang
Enterprise Bargaining Agreement (EBA) yang berarti bentuk dari collective bargaining. Dimana
pengaturan atau negosiasi dilakukan pada tingkat organisasi, bukan secara keseluruhan industry
yang bertujuan untuk memberikan para pemberi kerja/pengusaha maupun pekerja ruang gerak
yang lebih luas sehingga dapat memenuhi kebutuhan secara spesifik pada organisasi masing-
masing seperti upah, ataupun kondisi kerja. Melbcon juga berkomitmen kepada peraturan
hubungan industrial berdasarkan legislasi dan juga kesepakatan dengan Construction, Forestry,
Maritime, Mining, and Energy Union (CFMEU) yang merupakan serikat pekerja utama dengan
jumlah lebih dari 100 ribu orang di Australia yang di dalamnya mencakup sektor konstruksi.
Namun sayangnya angka ini sebelumnya sudah mengalami pergeseran dramatis, yaitu fraksi
anggota serikat buruh di dalam industri konstruksi turun dari 42% pada tahun 1992 menjadi 26%
pada tahun 2000 di Australia, penurunan 40% dalam 8 tahun dan nilainya menurun setiap
tahunnya. Hal ini terjadi karena kenyataan yang ada dalam industri konstruksi di Australia yang
tidak seperti apa yang tertulis dalam hukum yang berlaku. Contohnya CFMEU yang seharusnya
sebagai serikat pekerja yang mengakomodasi kepentingan pekerja, namun kenyataannya pada
tahun 2021 terjadi demonstrasi yang melibatkan kekerasan di depan kantor CFMEU. Hal tersebut
disebabkan para demonstran menolak peraturan anti-lockdown dan anti-vaccine, yang artinya
CFMEU dalam mengambil keputusan juga tidak mempertimbangkan pendapat atau kebutuhan
dari masyarakatnya, atau setidaknya secara bersama-sama mencapai kesepakatan baru yang
ditetapkan peraturan baru tersebut. Penyebabnya adalah karena kurangnya konsultasi sejak awal
terhadap pihak-pihak yang terlibat yaitu antara serikat pekerja dengan pemerintah. Sehingga
akibatnya keputusan ini dinilai tidak adil bagi pekerja dan sangat memberatkan pendapatan pekerja
khususnya terkait dengan pembayaran hipotek.

Selain CFMEU, terdapat juga peraturan bernama Workplace Relations Act tahun 1996 yang
menyebutkan bahwa pekerja memiliki hak untuk menjadi bagian dari serikat pekerja manapun
yang dia inginkan tanpa mendapatkan dampak apapun terhadap pekerjaannya. Selain itu juga
peraturan di Australia juga menegakkan equal opportunity dengan tidak mendiskriminasi yang
ditetapkan dalam Equal Opportunity Act tahun 1995 yang mencakup tidak melakukan diskriminasi
secara ras, seksual, maupun disabilitas. Namun faktanya terdapat kasus pada tahun 2021 akibat
masih terjadinya gender discrimination di industri konstruksi Australia seperti pencabutan promosi
akibat wanita hamil. Padahal berdasarkan beraturan dari tahun 1995, seharusnya tidak boleh
adanya diskriminasi bagi wanita termasuk di industri konstruksi. Dari data yang ada, hanya 18%
tenaga kerja konstruksi yang merupakan wanita, dan untuk buruh hanya sekitar 2%. Masalah ini
berkepanjangan akibat kurangnya wanita dalam posisi pimpinan atau manajemen yaitu hanya
sebesar 15% sehingga menyebabkan gender pay gap hingga sebesar 26%, yang tidak
mencerminkan equality.

Indonesia

Di Indonesia menggunakan hubungan tri-partit (tri-partism). Peranan pemerintah bersifat langsung


dan tidak langsung terhadap eksistensi dan proses hubungan industrial. Pertimbangannya bahwa
dibandingkan dengan aktor-aktor produksi yang lain, pemerintah memiliki peranan yang paling
besar dan lebih menentukan dalam proses hubungan industrial, sehingga mempengaruhi bentuk
dan proses hubungan industrial. Hal ini didasarkan pada hukum hubungan industrial yaitu Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 “setiap Warga Negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” dan Pasal 28 D ayat 2 “setiap orang berhak untuk
bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
Kemudian juga terdapat Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
di dalamnya memuat hal-hal seperti: “pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang
mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja”
(Pasal 35 Ayat 3); “penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas,
objektif, serta adil, dan setara tanpa diskriminasi” (Pasal 32 Ayat 1); ketentuan mengenai
pengusaha yang dilarang untuk melakukan pemutusan hubungan kerja sepihak misalnya jika
pekerja sakit, perbedaan agama atau aliran politk, pekerja memiliki cacat tetap akibat kecelakaan
kerja, pekerja menikah, pekerja perempuan hamil, melahirkan, keguguran, dan lain-lain (Pasal
153) hal ini mencerminkan keadilan serta menjaga kesejahteraan pekerja. Terakhir juga melalui
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai Pengawasan
Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan dalam rangka menjaga keseimbangan antara hak
dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja, dimana pengawas pekerja merupakan Pegawai Negeri
Sipil sehingga menjamin pelaksanaan tugas pengawasaan ketenagakerjaan yang independen.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa di Indonesia menganut hubungan tripartit yaitu antara
pengusaha (memberikan kesejahteraan kepada pekerja; berkeadilan), pemerintah (penetapan
kebijakan; melakukan pengawasan dan penindakan), dan pekerja atau serikat (melaksanakan
pekerjaan sesuai kewajiban; pengembangan keterampilan). Serikat pekerja di Indonesia sendiri
berbentuk asosiasi-asosiasi seperti Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO), Gabungan
Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (GAPENSI), dan lainnya.

Permasalahan yang sering terjadi di Indonesia yaitu maraknya nepotisme proyek dimana
kesempatan yang tidak adil bagi kontraktor atau konsultan yang kompeten untuk menangani
proyek. Contoh kasus tahun 2006, sebanyak 8 kontraktor bersekongkol dalam tender proyek
pembangunan jalan dan jembatan di Provinsi Papua. Namun hal seperti itu sudah diminimalisir
melalui sistem e-procurement sehingga semua nilai kontrak maupun data-data proyek menjadi
transparan dan terbuka bagi semua pihak-pihak penyelenggara jasa konstruksi. Kasus lain tentang
keadilan dalam hubungan pekerja dan pengusaha seperti pada kasus tahun 2022 baru-baru ini
dimana kontraktor tidak membayar upah kepada buruh harian lepas sejumlah 14 orang. Oleh
karena itu, peraturan mengenai perlindungan hak untuk buruh harian lepas harus ditetapkan oleh
pemerintah sehingga posisinya atau bargaining power menjadi lebih tinggi terhadap kontraktor
agar kontraktor tidak sewenang-wenang terhadap buruh harian lepas. Sama seperti negara lainnya
permasalahan gender di Indonesia juga masih ada dimana industri konstruksi Indonesia yang
sebagai besar masih didominasi oleh pria. Hal ini dikarenakan sifat pekerjaan konstruksi yang
banyak dilakukan dilapangan, project based sehingga harus berpindah-pindah, serta banyak
membutuhkan upaya fisik. Padahal jabatan manajerial dalam industri konstruksi dapat diisi oleh
perempuan, untuk mengurangi diskriminasi gender ini maka perlu untuk adanya inisiasi
pembentukan asosiasi atau serikat untuk pekerja perempuan di industri konstruksi sehingga dapat
hak-haknya dapat diperjuangkan secara adil seperti contohnya negara Singapura.

Daftar Pustaka

Building Industry Industrial Relation. https://www.ag.gov.au/industrial-relations/building-


industry.

Building and Construction Authority. 2020. More Females are Joining the Built Environment
Sector. Singapura: BCA.

Kementerian PUPR. 2006. Delapan Kontraktor Masuk Daftar Hitam Departemen PU.
https://pu.go.id/berita/delapan-kontraktor-masuk-daftar-hitam-departemen-pu.

Ministry of Community Development and Sports. 2003. Tripartite Guidelines on Best Work-Life
Practices. Singapura: Work-Life Unit, Family Development Division.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2003 Tentang Pengesahan Konvensi ILO mengenai


Pengawasan Ketenagakerjaan dalam Industri dan Perdagangan.

Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Wan, David. 2010. Singapore Industrial Relations System in the Globalization Era

Wei, Neo Rong. 2019. Sit-Down Protest in the CBD: Workers Demand Unpaid Salaries of Close
to S$300,000. Today Online.

https://www.melbcon.com/images/Industrial-Relations-Policy-Revised-24.03.2017.pdf

Anda mungkin juga menyukai