Anda di halaman 1dari 188

BUKU

AJAR

METODOLOGI PENELITIAN

BUKU AJAR
METODOLOGI PENELITIAN
Tim Penyusun:

Blacius Dedi, Dr.Kep.,SKM.,M.Kep


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Bapak yang


maha kuasa atas berkat rahmat dan
kasihnya buku ini dapat tersusun. Buku ini
disusun supaya dapat memberikan panduan
bagi para dosen dan mahasiswa dalam
mempelajari dan memahami dan melakukan
penelitian dalam lingkup keilmuan
keperawatan. Terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu. Tentu saja
penyusun menyadari buk u ini tidaklah
sempurna, oleh sebab itu masukan, saran
dan usulan sangat diharapkan demi
perbaikan konten buku ajar ini dimasa
datang.

Semarang, Juni 2019


Blacius Dedi,
Dr.,Keep.,M.Kep
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
BAB I KAJIAN ILMIAH: BERFIKIR LOGIS DAN ILMIAH
PENDAHULUAN
BERFIKIR LOGIS
KAJIAN TENTANG ILMU DAN METODE ILMIAH
Ilmu
Penggolongan ilmu
Syarat Ilmu
DAFTAR PUSTAKA

BAB II KAJIAN ILMU KEPERAWATAN


PENGANTAR FILSAFAT ILMU KEPERAWATAN
ILMU KEPERAWATAN: TEORI ADAPTASI
KOMPONEN ILMU KEPERAWATAN: TEORI ADAPTASI
Manusia
Keperawatan
Konsep Sehat-Sakit
Konsep Lingkungan
Aplikasi pada asuhan keperawatan: Proses Keperawatan
DAFTAR PUSTAKA

BAB III MASALAH, RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN


PENELITIAN
MASALAH
Menyeleksi masalah
Lingkup masalah penelitian keperawatan menurut Nursalam
(2016)
Kajian masalah /sumber masalah penelitian keperawatan
RUMUSAN MASALAH ATAU PERTANYAAN PENELITIAN
Faktor-faktor yang mendasari perumusan masalah penelitian
MENYUSUN RUMUSAN DAN TUJUAN PENELITIAN
LAMPIRAN :
Rumusan Masalah: Masalah dan pertanyaan penelitian
Contoh : penelusuran masalah atau topic penelitian
Spider web
Keaslian penulisan
DAFTAR PUSTAKA

BAB IV KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS


PENELITIAN
MENYUSUN KERANGKA TEORI
Penyusunan kerangka teori dalam penelitian
MENYUSUN KERANGKA KONSEP
Penyusunan erangka konseptual dalam penelitian
MENYUSUN HIPOTESIS PENELITIAN
Langkah-langkah penyusunan
Syarat Hipotesis
Tujuan Hipotesis
Sumber Hipotesis
Tipe Hipotesis
KONSEP SELF CARE
KONSEP SELF CARE AGENCY
Pengukuran Self Care Agency
Contoh Kerangka Konsep Berbasis Self Care Agency (Orem)
Self Care Agency.
(Kemandirian Orem) penerapan pada Ibu Nifas dengan
menggunakan pendekatan Teori Self Care Model
DAFTAR PUSTAKA

KONSEP MODEL INTERAKSI MANUSIA (IMOGENE M.KING)


Konsep Interaksi manusia Imogene M. King (Fadilah, 2009)
Sistem Interpersonal
DAFTAR PUSTAKA
FAMILY CENTERED NURSING (FRIEDMAN, 2003)
DAFTAR PUSTAKA
TEORI TRANSCULTURAL IN NURSING DARI LEININGER
DAFTAR PUSTAKA
HEALTH PROMOTION MODEL (HPM)
DAFTAR PUSTAKA
PRECED-PROCEED MODEL
Perilaku Kesehatan Bererdasarkan teori Lawrence W. Green
Kualitas hidup (quality of Life)
DAFTAR PUSTAKA
TEORI PERILAKU TERENCANA (THEORI OF PLANNED
BEHAVIOR)
Sejarah teori perilaku terencana (Theory of planned Behavior)
DAFTAR PUSTAKA
SELF REGULATION MODEL
DAFTAR PUSTAKA
THEORI MODEL
DAFTAR PUSTAKA
THEORI MODEL PENCEGAHAN PRIMER (CAPLAN, 2001)
PENGEMBANGAN MUTU PELAYANAN / PRODUKTIVITAS
(KOPELMEN)
DAFTAR PUSTAKA
MODEL MAKP (METODE ASUHAN KEPERAWATAN
PROFESIONAL) DAN ATAU MPKP
Kepuasan Perawatan
Model Kesenjangan (The Expectancy-Disconfirmation Model)
(Woodruff & Gardial, 2002)
Theory of Servqual
DAFTAR PUSTAKA
KONSEP KERJA DAN TEAMWORK
Definisi Kinerja
Team Work
Semangat Kerja
DAFTAR PUSTAKA
TEORI MOTIVASI McCLELLAND
BERNOUT SYNDROME TEORI MASLACH
Konsep Dasar Burnout Syndrome
DAFTAR PUSTAKA
CONTOH KERANGKA KONSEPTUAL BERBASIS INTEGRAL
MODEL
(LAWRENCE GREEN)
DAFTAR PUSTAKA
STRES, APPRAISAL, AND COPING STRATEGY IN
TRANSACTIONAL THEORY (LAZARUS & FOLKMAN, 1984)
DAFTAR PUSTAKA
MATERNAL ROLE ATTAINMENT AND BECOMING MOTHER
(MERCER)
Pencapaian Peran Ibu : Marcer’s Original Model
Becoming a Mother : Model Revisi
DAFTAR PUSTAKA
MODEL STRUCTURE OF CARING (SWANSON, 1993)
DAFTAR PUSTAKA

BAB V LINGKUP MASALAH PENELITIAN ILMU KEPERAWATAN


ILMU KEPERAWATAN DASAR DAN MANAJEMEN
KEPERAWATAN
ILMU KEPERAWATAN ANAK
ILMU KEPERAWATAN MATERNITAS
ILMU KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH DAN GAWAT
DARURAT
Ilmu Keperawatan Medikal Bedah
Ilmu Keperawatan Gawat Darurat
ILMU KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA
ILMU KEPERAWATAN KOMUNITAS, KELUARGA, DAN
GERONTIK
Komunitas
Keluarga
Gerontik
DAFTAR PUSTAKA

BAGIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN


BAB VI RANCANGAN PENELITIAN
PENDAHULUAN
PEMILIHAN RANCANGAN PENELITIAN
JENIS RANCANGAN PENELITIAN
Rancangan penelitian Non-Eksperimen
Rancangan Penelitian Eksperimental
DAFTAR PUSTAKA

BAB VII POPULASI, SAMPEL, SAMPLING, DAN BESAR SAMPEL


POPULASI
Pembagian Pupulasi
Kriteria Populasi
SAMPEL
Sampel
Sampling
DAFTAR PUSTAKA

BAB VIII VARIABEL PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL


VARIABEL
Definisi
Jenis Variabel
DEFINISI OPERASIONAL
Konsep Pengertian dan Definisi
DAFTAR PUSTAKA

BAB IX PENYUSUNAN INSTRUMEN DAN PENGUMPULAN DATA


PENYUSUNAN INSTRUMEN
Prinsip : Validitas dan Reliabilitas
Jenis – jenis Instrumen
PENGUMPULAN DATA
Tugas Peneliti dalam Pengumpulan Data
Karakteristik Metode Pengumpulan Data
Masalah-masalah pada Pengumpulan Data
Prinsip Etis dalam Penelitian (Pengumpulan Data)
DAFTAR PUSTAKA

BAB X ANALISIS DATA PENELITIAN KUANTITATIF


PENDAHULUAN
Ciri – ciri Pokok Statistik
Janis Landasan Kerja Pokok yang Digunakan oleh Statistik
PERAN STATISTIK DALAM TAHAPAN PENELITIAN
ANALISIS DATA
Klasifikasi Skala Pengukuran
Langkah – langkah Analisis Data
INTERPRETASI HASIL ANALISIS DATA
DAFTAR PUSTAKA

BAB XI PENULISAN HASIL PENELITIAN


PENDAHULUAN
PENULISAN ISI HASIL PENELITIAN
Bagian Pendahuluan
Bagian Metodologi
Instrumen dan Metode Pengumpulan Data
Penulisan Analisis Data
Bagian Penulisan Hasil Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

BAGIAN 4 CONTOH PENYUSUNAN INSTRUMEN PENELITIAN


BAGIAN 5 PEDOMAN PENULISAN USULAN PENELITIAN DAN
SKRIPSI
PENDAHULUAN
PEDOMAN PENULISAN
PEDOMAN PENULISAN USULAN PENELITIAN (PROPOSAL)
PEDOMAN PENULISAN SKRIPSI DAN TESIS
PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
Lampiran
Indeks
BAGIAN 1

TREN PENELITIAN
KEPERAWATAN

 Bab 1 Kajian Ilmiah : Berpikir Logis


dan Metode Ilmiah
 Bab 2 Kajian Ilmu keperawatan
Bab 1

Kajian Ilmiah : Berpikir Logis


dan Metode Ilmiah
PENDAHULUAN

Kajian ilmiah tentang ilmu keperawatan merupakan suatu keharusan bagi


para perawat Indonesia saat ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum
terdapat kejelasan tentang ilmu yang secara empiris dapat diterima secara ilmiah
oleh masyarakat nonkeperawatan. Realitasnya, suatu ilmu dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu: proses, produk, dan paradigma etis. Proses merupakan suatu
kegiatan untuk memahami alam semesta dan isinya didasarkan pada tuntutan
metode keilmuan (rasionalitas dan objektif).
Produk adalah segala proses keilmuan yang harus menjadi milik umum dan
selalu terbuka untuk dikaji oleh orang lain. Paradigma etis artinya ilmu harus
mengandung nilai-nilai moral dan etika yang tidak bertentangan dengan nilai-
nilai moral yang ada di masyarakat.

Pada bab ini, penulis hanya akan memfokuskan bahasan pada kajian ilmiah
ilmu keperawatan dengan penekanan dalam pembahasan berpikir logis dan
ilmiah. Berpikir logis adalah berpikir lurus dan teratur terhadap suatu hal yang
diyakini dari suatu objek atau fenomena. Objek atau fenomena tersebut berupa
suatu pokok permasalahan yang dikaji untuk membedakan antara benar dan
salah. Berpikir ilmiah adalah cara berpikir dengan didasarkan pada pendekatan
ilmiah, yaitu melalui metode ilmiah yang merupakan alat/sarana penjelasan
dalam mempelajari prosedur tertentu untuk mendapatkan ilmu. Metode ilmiah
mempelajari cara identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan, hipotesis,
metode, hasil, dan kesimpulan yang berdasarkan atas kaidah ilmiah.

BERPIKIR LOGIS
Berpikir logis merupakan proses berpikir yang didasari oleh konsistensi
terhadap keyakinan-keyakinan yang didukung oleh argumen yang valid.
Pengertian lain dari berpikir logis adalah berpikir lurus, tepat, dan teratur sebagai
objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus, tepat, dan teratur apabila
pemikiran itu sesuai dengan hukum, aturan, dan kaidah yang sudah ditetapkan
dalam logika. Mematuhi hukum, aturan, dan kaidah logika berguna untuk
menghindari pelbagai kesalahan dan penyimpangan (bias) dalam mencari
kebenaran ilmiah. Pada hakikatnya, pikiran manusia terdiri atas tiga unsur
berikut.
1. Pengertian (informasi tentang fakta)
2. Keputusan (pernyataan benar-tidak benar)
3. Kesimpulan (pembuktian-silogisme)

Dalam logika ilmiah, tiga unsur pikiran manusia tersebut harus dinyatakan
dalam kata (kalimat tulisan). Tiga pokok kegiatan akal budi manusia antara lain
sebagai berikut :
1. Menangkap sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti menangkap sesuatu
tanpa mengakui atau memungkiri (pengertian atau pangkal pikir, disebut
juga premis)
2. Memberikan keputusan, yang berarti menghubungkan pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain atau memungkiri hubungan tersebut.
3. Merundingkan, yang berarti menghubungkan keputusan satu dengan
keputusan yang lain sehingga sampai pada satu kesimpulan (pernyataan
baru yang diturunkan).

KAJIAN TENTANG ILMU DAN METODE ILMIAH

ILMU

Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan metode


ilmiah. Makna ilmu menunjukkan sekurang-kurangnya tiga hal (Gambar 1.1).
1. Kumpulan pengetahuan (produk).
2. Aktivitas ilmiah dan proses berpikir ilmiah (proses).
3. Metode ilmiah (metode).

Proses

ILMU
Produk Metode

Gambar 1.1 Makna Ilmu

1. Ilmu sebagai produk


Ilmu sebagai produk merupakan kumpulan informasi yang telah teruji
kebenarannya dan dikembangkan berdasarkan metode imiah dan pemikiran
logis (Kemeny, 1961).

Struktur ilmu adalah sebagai berikut:


a. Paradigma
b. Teori
c. Konsep dan asumsi
d. Variabel dan parameter

2. Ilmu sebagai proses


Ilmu sebagai proses, merupakan cara mempelajari suatu realitas (kejadian) dan
upaya memberi penjelasan tentang suatu mekanisme (jawaban terhadap
pertanyaan mengapa dan bagaimana) (Adib, 2011).

Karakteristik ilmu adalah sebagai berikut.


1) Dapat dibuktikan secara logika (logico-emperical-verifikatif)
2) Dapat dipahami secara umum/luas (generalized understanding)
3) Ditegakkan secara teoretis (theoritical construction)
4) Menjawab pertanyaan mengapa (why) dan bagaimana (how)

3. Ilmu sebagai metode


Ilmu sebagai metode, merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan yang
objektif dan dapat diuji kebenarannya (Adib, 2011). Metode adalah rangkaian
cara dan langkah yang tertib dan terpola untuk menegaskan bidang keilmuan,
sering kali disebut metode ilmiah. Metode Ilmiah berkaitan erat dengan logika,
metode penelitian, metode pengambilan sampel, pengukuran, analisis,
penulisan hasil, dan kesimpulan. Pendekatan adalah pemilihan area kajian.

PENGGOLONGAN ILMU

Pendapat mengenai pengelompokan ilmu sangat banyak, bergantung pada


kriteria penggolongannya. Secara umum, ilmu hampir selalu dikelompokkan
menjadi dua yaitu ilmu nomotetik dan ilmu idiografik (Putra, 2010).
1) Ilmu Nomotetik (Deduktif)
Ilmu Nomotetik merupakan suatu ilmu yang didasarkan pada kajian-
kajian makro (kasus-kasus) yang luas dan banyak terjadi, kemudian
dijabarkan pada hal-hal yang khusus. Pendekatan penelitian dapat
digolongkan pada metode kuantitatif. Misalnya, semua klien yang masuk
rumah sakit akan mengalami stres hospitalisasi. Klien anak, klien remaja,
dan klien dewasa yang masuk rumah sakit akan mengalami stres.
2) Ilmu Idiografik (Induktif)
Ilmu Idiografik merupakan suatu kajian ilmu yang didasarkan pada hal-
hal yang mikro, unik, khusus, dan bersifat individual, kemudian ditarik
suatu kesimpulan secara umum. Pendekatan penelitian digolongkan pada
metode kualitatif. Contoh, penyanyi A berambut keriting, penyanyi B
rambutnya keriting, penyanyi C dan penyanyi lainnya juga berambut
keriting, semuanya pandai bernyanyi. Jadi dapat ditarik kesimpulan
bahwa orang yang memiliki rambut keriting pandai bernyanyi.

SYARAT ILMU
Terdapat beberapa persyaratan bahwa suatu pengetahuan dianggap sebagai ilmu:
1) Memenuhi Syarat sebagai Ilmu Pengetahuan Ilmiah
a. Logis: Dapat dinalar dan masuk akal.
Misalnya, pada ilmu keperawatan. Klien yang masuk rumah sakit
mengalami stress di samping keadaan sakitnya, klien harus
beradaptasi terhadap lingkungan baru (orang perawat, peraturan-
peraturan, dan lain-lain).
b. Empiris. Data dapat diamati dan diukur.
Misalnya, data tentang respons klien yang mengalami stres, dapat
diamati dan diukur dari ketidakmampaan klien untuk beradaptasi
terhadap stresnya. Secara psikologis (kognator), klien stres
mengalami gangguan afek dan emosi (cemas, marah-marah depresi,
dan menolak peraturan baru). Hal ini karena klien tidak mampu
beradaptasi terhadap lingkungan baru. Secara fisik (regulator),
kondisi klien dapat diukur dengan terdinya peningkatan tanda-tanda
vital klien dan peningkatan hormon-hormon stres (kortisol dan
katekolamin)
c. Diperoleh melalui metode ilmiah
Pendekatan yang diganakan berdasarkan langkah-langkah dalam
metode ilmiah penjelasam lehih luniut dagat dilihat dalam
pembahasan tentang metode sains).

2) Memenuhi Komponen Ilmu (Science Balding Blocks)

TEORI ADAPTASI

Konsep Stres konsep : manusia proposisi

Proposisi konsep : sakit

Konsep Koping konsep : Lingkungan Konsep : keoerawatan


(regulator & Cognator) (rumah sakit)
HIPOTESIS
FAKTA EMPIRIS :

 Belum diterapkannya model asuhan


keperawatan di rumah sakit.
 Perawat belum menunjukkan kinerja
yang optimal
HUKUM, PRINSIP:  Klien sering mengalami stress
HUMANISTIK hospitalisasi
HOLISTIK
CARE

Gambar 1.2. Science building blocks pada ilmu keperawatan (Teori Adaptasi)

Keterangan :
Teori adaptasi terdiri atas komponen-komponen ilmu, yaitu terbentuk dari
beberapa konsep:
1) Konsep stres akibat masuk rumah sakit (stres hospitalisasi)
2) Konsep koping (regulator dan kognator)
3) Konsep manusia
4) Konsep keperawatan
5) Konsep sakit
6) Konsep lingkungan
 Adanya sekelompok pengetahuan yang dirangkai dengan penambahan
pernyataan lain sehingga terbentuk suatu informasi tentang hubungan
antarpengetahuan. Minimal pada penelitian ini akan menghasilkan suatu
proposisi-proposisi.

3. Memenuhi metode ilmiah : mekanisme stimulus-Respon

Stimulasi
Logika Respons

Gambar 1.3 Metode stimulus-respon pada kajian ilmu

1. Stimulus
a) Masalah.
Fakta/empiris yang dapat diamati dan diukur berdasarkan hasil suatu
pengamatan yang cermat dan teliti.
b) Perumusan masalah penelitian
Masalah yang sudah ditemukan kemudian dirumuskan dalam suatu
masalah penelitian, perumusan masalah. Di dalam penelitian
dituliskan sebagai pertanyaan penelitian.
2. Logika
a. Kajian teoretis / konseptual
Misalnya dalam ilmu keperawatan, sakit pada manusia disebabkan
oleh ketidakmampuan manusia untuk beradaptasi yang melibatkan
unsur fisik, psikis, dan sosial yang merupakan perwujudan
terimplikasi adanya integrasi satu dengan yang lain. Objek utama
dalam ilmu keperawatan, yaitu:
1) Manusia (individu yang mendapatkan stimulus/asuhan
keperawatan),
2) konsep lingkungan,
3) konsep sehat, dan
4) keperawatan.

1) Stimulus/Asuhan Keperawatan
Stimulus yang diberikan perawat berupa intervensi/asuhan
keperawatan dalam meningkatkan respons adaptasi
berhubungan dengan empat mode respons adaptasi.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a) Membantu memenuhi kebutuhan klien dengan gangguan
dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis dan
ketergantungan.
b) Memperlakukan klien secara manusiawi.
c) Melaksanakan komunikasi terapeutik.
d) Mengembangkan hubungan terapeutik

2) Konsep lingkungan
Lingkungan merupakan semua kondisi internal dan eksternal
yang memengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dan
perilaku seseorang atau kelompok. Lingkungan internal adalah
keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa
pengalaman, kemampuan emosional, dan kepribadian) serta
proses pemicu stres biologis (sel maupun molekul) yang berasal
dari dalam tubuh individu. Lingkungan eksternal dapat berupa
keadaan/faktor fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima
individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman.

3) Konsep sehat
Sehat merupakan suatu keadaan dan proses dalam upaya
menjadikan dirinya terintegrasi secara keseluruhan, fisik,
mental, dan sosial. Integritas adaptasi individu dimanifestasikan
oleh kemampuan individu untuk memenuhi tujuan dalam
mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi. Sakit adalah
suatu keadaan ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu.
Kondisi sehat dan sakit dipersepsikan secara berbeda-beda oleh
individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi (koping)
bergantung dari latar belakang individu tersebut dalam
mengartikan dan mempersepsikan sehat/sakit, misalnya tingkat
pendidikan, pekerjaan, usia, budaya, dan lain-lain.

4) Keperawatan
Keperawatan adalah model pelayanan profesional dalam
memenuhi kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu
baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis,
sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa
meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah,
memperbaiki, dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan
yang dipersepsikan sakit oleh individu.

b. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu
pertanyaan atau tujuan penelitían. Syarat hipotesis yang baik adalah
sebagai berikut.
1) Berupa pernyataan.
2) Layak uji.
3) Berdasarkan teori konsep
4) Adanya hubungan antarvariabel (proposisi antara konsep
adaptasi dan kinerja).

c. Identifikasi dan operasionalisasi variable


Berikut ini merupakan contoh dalam penjelasan variabel dan definisi
operasional ilmu keperawatan (adaptasi).

Variabel Dimensi Indikator/Definisi Operasional


Tingkat adaptasi Regulator Suatu proses fisiologis:
(proses  Peningkatan hormon-hormon stres: kortisol dan
katekolamin.
 Peningkatan tanda-tanda vital: denyut jantung
dan laju pernapasan.
Kognator Tingkat koping psikologis klien yang konstruktif:
 Learning (imitasi, reinforcement, dan pemahaman
diri).
 Judgement (penyelesaian masalah dan
pengambilan keputusan) terhadap lingkungan
baru.
 Emotion: Suatu tindakan klien dalam merespons
keputusan yang telah dibuat. Klien diharapkan
dapat menggunakan koping yang konstruktif:
1) Menerima kenyataan sakitnya.
2) Berhubungan dengan orang lain.
3) Kooperatif terhadap tindakan yang diberikan.
Tingkat efektor  Fisiologis  Tingkat fisiologis
Tingkat kebutuhan oksigen, nutrisi. cairan, serta
istirahat dan tidur
 Psikologis  Tingkat psikologis
1) Pandangan terhadap fisik
i. Penurunan konsep seksual
ii. Agresi, kehilangan
2) Pandangan terhadap personal
i. Cemas
ii. Tidak berdaya
iii. Merasa bersalah
iv. Harga diri rendah
 Peran  Tingkat peran
Transisi peran, peran berbeda, konflik peran,
kegagalan peran.
 Ketergantungan  Tingkat ketergantungan
Kecemasan berpisah, merasa ditinggalkan/
terisolasi.
 Adaptif  Adaptif : Koping konstruktif (menerima,
berhubungan dengan orang lain, melakukan
aktivitas sehari-hari; dan terpenuhi
kebutuhan fisik).
 Maladaptif  Koping tidak efektif: Marah-marah,
(koping tidak menyendiri, merasa tidak berguna, sedih,
efektif) dan peningkatan hormon-hormon stres
(kortisol, katekolamin)
Tingkat Stimulus:  Membantu Terpenuhinya kebutuhan fisiologis:
kinerja perawat Memenuhi  Makan dan minum
(Berdasarkan gangguan  Oksigenasi
paradigma pemenuhan  Cairan
keperawatan: kebutuhan  Istirahat dan tidur
humanistik, fisiologis dan  Nutrisi
holistik, ketergantungan  Perawatan diri
dan care  Memperlakukan Memperlakukan klien sebagai mitra/manusiawi:
klien secara  Sopan
manusiawi:  Tidak diskriminasi
 Melibatkan klien dan keluarga secara aktif
 Sabar
 Tanggap dan cepat dalam bertindak
 Melaksanakan Komunikasi terapeutik:
komunikasi  Memanggil nama klien
terapeutik  Menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti
 Komunikasi secara tepat dan benar (sesuai
kontrak)
 Mendengarkan dan menampung
 Mendorong klien untuk mengungkapkan
perasaan dan pandangannya
 Meluangkan waktu untuk bicara, setiap ada
kesempatan
 Mengembangkan Hubungan terapeutik dengan klien:
Hubungan  Menciptakan hubungan timbal balik
terapeutik  Memelihara hubungan yang harmonis
dengan klien:  Mencegah konflik dengan klien
 Mencegah sikap pilih kasih
 Menilai dampak dari tindakan
 Berpenampilan rapi dan tenang
 Menepati janji
 Jujur dan terbuka

d. Penyusunan penelitian
Nonekaperimental (bersifat observasi) dan eksperimental True-
eksperimental; quasi-eksperimentals; pre-eksperimental. Contoh
rancangan quasi-eksperimental; peran teori adaptasi terhadap perbaikan
kinerja perawat.

Perlakuan Kontrol

Pengukuran variable Pengukuran variable


Bandingkan
dependen : indicator dependen : indicator
apakah sama
kinerja (pra) kinerja (pra)

Penerapan
teori adaptasi Variabel independen

Pengukuran ulang variable Pengukuran ulang variable


Bandingkan
dependen : indicator dependen : indicator
apakah sama
kinerja (Pasca) kinerja (Pasca)

Gambar 1.4 Diagram Quasi-Eksperimental

3. Respons
Respons dalam kajian ilmiah dapat digolongkan sebagai berikut.
a. Penyusunan instrumen penelitian (validitas dan reliabilitas).
b. Melakukan sampling (randomisasi) dan estimasi ukuran sampel.
c. Analisis data dan pengujian hipotesis (regresi).
d. Mengambil kesimpulan dan memberikan saran

DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika limiu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alligood, MR, & Tomey, AM, 2006, Nursing 'Theorists and Their Work, 7h ed.
Missouri: Mosby.
Babbie, E. 1999. The Basics of Social Research. Belmont: Wadsworth Pub. Co.
Nursalam. 2002. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta: Sagung
Seto.
Nursalam & Kurniawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan. Metodologi Penelitian limu Keperawatan.
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Polit DF & Back, CT. 2012. Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9 ed. Philadelphia: JB. Lippincott.
Polit, D.E. dan B.P. Hungler. 1993. Essential of Nursing Research. Methods,
Appraisal, and Utilization. 3d ed. Philadelphia: J.B. Lippincott Co.
Putera, S.T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair.
Sastroasmoro, S. dan S. Ismail. 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Soeparto, O., S.T. Putra, dan Haryanto. 2000. Filsafat Imu Kedokteran. Surabaya:
GRAMIK dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Bab 2
Kajian Ilmu Keperawatan

PENGANTAR FILSAFAT ILMU KEPERAWATAN

Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab pertanyaan
hakikat ilmu (Adib, 2011). Hakikat ilmu dapat dibedakan menjadi tiga; yaitu
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Semua pengetahuan-ilmu (sains), seni,
atau pengetahuan apa saja- pada dasarnya mempunyai ketiga landasan tersebut.
Ketiga hakikat tersebut saling berkaitan, yang berbeda adalah materi
perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan ketiga hakikat ini
dikembangkan dan dilaksanakan.
Batas lingkup ilmu menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang
membedakan ilmu (sains) dari pengetahuan-pengetahuan lain. Dapat dikatakan
bahwa ilmu hanya membatasi hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman
karena fungsi ilmu dalam kehidupan (seperti memerangi penyakit) dan
menyusun indikator kebenaran karena telah teruji secara empiris. Ilmu juga
perlu bimbingan moral (agama) karena kebutaan moral dari ilmu dapat
membawa manusia ke jurang malapetaka.
Pada praktiknya, harus ada kejelasan batas disiplin ilmu, misalnya batas
disiplin ilmu antara perawat dan dokter. Tanpa kejelasan batas, maka pendekatan
multidisiplin tidak akan bersifat konstruktif tetapi berubah menjadi sengketa
kapling (Alligood & Tomey, 2012). Ciri khas yang paling menyol yaitu manusia
yang dilihat bukan hanya sebagai benda jasmani saja tetapi manusia secara
keseluruhan. Sementara itu manusia sebagai subjek penyelidikan ilmu
kemanusiaan dilihat dalam dua arti. Pertama dalam arti bahwa secara hakiki
manusia melampaui status objek benda-benda sekitarnya, kedua dalam arti
bahwa si penyelidik subjek berada pada taraf yang sama dengan objeknya. Arti
pertama agak berbau filsafat. Arti kedua secara khas berasal dari suatu uraian
empiris mengenai ilmu-ilmu kemanusiaan, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu
lainnya.
Bagaimana dengan halnya makhluk hidup termasuk sendiri? Hal ini
terutama terjadi di tatanan klinik yang objeknya adalah manusia. Fenomena-
fenomena klinik yang kita amati adalah aspek fisik berupa gejala-gejala penyakit
dengan tingkat biomolekuler yang mendasarinya; aspek psikis; dan aspek sosial.
Ketiga aspek tersebut merupakan fokus kajian objek ilmu keperawatan, yang
mempunyai empat komponen, yaitu manusia sebagai makhluk yang unik;
keperawatan; konsep sehat-sakit; dan lingkungan yang memengaruhi keadaan
manusia.
Banyak pengertian yang membahas tentang ilmu keperawatan,
sebagaimana Nursalam (2008) menjabarkan tentang ilmu keperawatan
adalah"……..suatu ilmu yang mencakup ilmu-ilmu dasar, perilaku, biomedik,
sosial, dan ilmu keperawatan sendiri (dasar, anak, maternitas, medikal bedah,
jiwa, dan komunitas). Aplikasi ilmu keperawatan yang menggunakan
pendekatan dan metode penyelesaian masalah secara ilmiah ditujukan untuk
mempertahankan, menopang, memelihara, dan meningkatkan integritas seluruh
kebutuhan dasar manusia". Pengertian tersebut membawa dampak terhadap isi
kurikulum program pendidikan tinggi keperawatan. Institusi pendidikan tinggi
keperawatan sejauh ini belum mampu mengenalkan ilmu keperawatan secara
jelas kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik mendapatkan
orientasi ilmu dasar yang hampir sama dengan yang diajarkan pada program
pendidikan kesehatan lain (kedokteran umum, dokter gigi, dan kesehatan
masyarakat). Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan peran perawat dalam
memberikan asuhan kesehatan kepada klien. Pertanyaan yang muncul adalah
apakah isi kurikulum ilmu-ilmu dasar yang diajarkan kepada mahasiswa
keperawatan sama yang diajarkan kepada mahasiswa kedokteran, kedokteran
gigi, dan kesehatan masyarakat. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat: 1)
belum jelasnya perbedaan ilmu keperawatan dan kedokteran dan 2) dosen sering
mengajarkan materi yang sama dengan kedokteran kepada mahasiswa
keperawatan. Dengan perkataan lain, tidak adanya focus penekanan kompetensi
wajib yang dimiliki lulusan keperawatan (Nursalam, 2008b).
Tujuan ilmu keperawatan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) sebaga
dasar dalam praktik keperawatan; 2) komitmen dalam praktik keperawatan
terhadap pengembangan ilmu keperawatan; 3) sebagai dasar penyelesaian
masalah keperawat yang kompleks agar kebutuhan dasar klien terpenuhi; dan 4)
dapat diterimanya intervensi keperawatan secara ilmiah dan rasional oleh profesi
kesehatan lain serta masyarakat. Tujuan yang terakhir disebutkan akan dapat
diterima oleh masyarakat jika perawat mampu menjelaskan objek ilmu
keperawatan (Chitty, 1997).
Berdasarkan tujuan ilmu keperawatan tersebut, Chitty (1997)
menerjemahkan ilmu keperawatan sebagai suatu ilmu yang aplikasinya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan kaidah dan nilai-nilai
keperawatan. Chitty (1997) menekankan nilai-nilai ilmu keperawatan pada tiga
unsur utama, yaitu: holistik, humanistik, dan care dengan menekankan pada
upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang sehat maupun sakit.
Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan objek ilmu keperawatan yang
meliputi membantu meningkatkan, mencegah, dan mengembalikan fungsi
kesehatan yang terganggu akibat sakit yang diderita.
Peran utama professional perawat adalah memberikan asuhan keperawatan
kepada manusia (sebagai objek utama kajian filsafat ilmu keperawatan :
Ontologis) yang meliputi :
1. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan kebutuhan
klien.
2. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi
masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis, sosial, dan
spiritual.
3. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan
masyarakat) mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.

Pelayanan yang diberikan oleh perawat harus dapat mengatasi masalah-masalah


fisik, psikis, dan sosial-spiritual pada klien dengan fokus utama mengubah
perilaku klien (pengetahuan, sikap, dan keterampilannya) dalam mengatasi
masalah kesehatan sehingga klien dapat mandiri.
Misalnya, jika klien anak dengan asma bronkial dirawat di rumah sakit
dengan kondisi sedang diberi infus dan tidak boleh bergerak ke mana-mana,
maka anak tersebut akan mengalami stres fisik akibat keluhan sakitnya dan
psikis akibat dari tindakan pemasangan infus serta larangan untuk bergerak.
Stres psikis yang terjadi akan berdampak terhadap koping anak tersebut sehingga
menurunkan imunitasnya. Keadaan tersebut justru akan memperlambat
kesembuhan klien. Ilmu keperawatan yang ada harus dapat memfasilitasi
bagaimana anak tersebut dapat merasa "at home" (tidak seperti di rumah sakit),
tidak merasa tertekan, dan merasa diperhatikan oleh orang terdekat. Bukan justru
menambah stres psikologis dengan suasana lingkungan yang menakutkan dan
petugas yang bersikap kurang ramah serta memaksakan setiap melakukan
tindakan keperawatan/medis (misalnya menyuntik). Keadaan yang demikian
akan berdampak dalam proses penyembuhan klien.
Hasil penelitian yang dilaksanakan di Amerika menyebutkan bahwa
memperlakukan anak anak yang dirawat di rumah sakit seperti di rumah sendiri,
memberi kebebasan bagi anak untuk bermain sebatas kemampuannya, dan
merasa diperhatikan menunjukkan angka yang signifikan dalam percepatan
penyembuhan klien dibandingkan dengan anak yang mengalami stres psikologis
akibat suasana/lingkungan yang tidak kondusif.

ILMU KEPERAWATAN : TEORI ADAPTASI

Dalam disiplin biologi yang merupakan induk utama dari filsafat ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan, terdapat 4 doktrin biologi organisme yang
mencerminkan upaya para ahli biologi dalam mengatasi realitas biologi, yaitu
(1) doktrin pendekatan holistik; (2) doktrin teleologik; (3) doktrin kesejajaran
historis dalam perkembangan organisme; serta (4) doktrin otonomi (Soeparto
Putra, Haryanto, 2000). Doktrin pertama tampak pada pendekatan holistik
yang digunakan oleh ahli biologi dalam memersepsikan organisme. Artinya,
meskipun tubuh organisme tersusun dari komponen-komponen yang
mencerminkan tingkat agregasi bahan kimia pembentuknya dengan ciri-ciri
fisikokimia yang bervariasi, para ahli biologi memandang wujud organisme
sebagai yang terintegrasi. Doktrin kedua tampak pada sifat deskriptif
penjelasan biologi yang berorientasi tujuan. Penjelasan biologi yang
menekankan pentingnya hubungan antara struktur dengan fungsi dan penjelasan
pelestarian fungsi reproduksi, adaptasi, dan evolusi dalam organisme biologi
dipengaruhi oleh doktrin ini. Doktrin ketiga menegaskan
bahwa ciri-ciri perkembangan organisme menimbulkan permasalahan
metodologi khas dalam perkembangan teori biologi. Doktrin keempat
merupakan konsekuensi logis dari ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin ini
menegaskan bahwa organisme harus diteliti tanpa prasangka, peranggapan, dan
bias yang tak disadari, sehingga informasi yang terhimpun memberikan realitas
apa adanya. Sistem biologi memperlihatkan ciri-ciri perwujudan dirinya sebagai
saatu totalitas (holistik). Dalam totalitas perwajudannya terimplikasi
adanya integrasi yaing engendalikan interelasi antara ciri satu dengan lainnya
(Soparmo,1984).
Keempat doknin tersebut mempunyai kesamaan dalam filsafat ilmu
keperawatan, yaitu terjadinya suata sakit pada manusia karena adanya
ketidakmampuan beradaptasi antara unsur fisik, psikis dan sosial karena unsur –
unsur tersebut merupakan perwujudan terimplikasi integrasi satu dengan yang
lain. Misalnya jika manusia mengalami nyeri dada (pada kasus infark miokard
akut) maka akan berdampak terhadap stress psikis karena ketakutan tehadap
kematian, dan terjadi ganggaan sosialisasi dengan individu lainnya.
Salama individu mampu menjaga integrasi antara unsur- unsur tersebut, maka
gejala sakit tidak akan tormanifestasikan dan individu akan bertahan.

KOMPONEN ILMU KEPERAWATAN: TEORI ADAPTASI

Menurut Roy terdapat lima objek utama dalam ilma keperawatan, yaitu (1)
Manusia (individu yang medapatkan asuhan keparwatan) (2) Keperawatan: (3)
Konsep sehat: (4) konsep lingkungan; dan (5) Aplikasi : tindakan keparwatan.
(Nursalam & Kurniawan, 2007).

Input Proses Efektor Output Stimulus

adaptasi Primer Model


(mekanisme Koping) adaptif
Stimulus tingkat
adaptasi
Integritas Zona
fisiologi maladaptif
Fokal
Kognator (intelektual
dan sebagainya) Integritas
Psikologi
(konsep diri) Konteks
tual

Integritas
Sosiologi
Regulator (system (mungsi peran) Residual
saraf otonom)
Zona
Maladaptif
ketergantungan

Gambar 2.1. Diagram model adaptasi dari Roy (dikutip oleh Nursalam, 2007)

MANUSIA
Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan adalah individu,
keluarga kelompok, komunitas, atau sosial. Masing-masing diperlakukan oleh
perawat sebagai system adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem terbuka
tersebut berdampak terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi,
kejadian, dan energi antarsistem dan lingkungan.
Interaksi yang konstan antara individu dan lingkungan dicirikan oleh perubahan
internal dan eksternal. Dengan perubahan tersebut, individu harus
mempertahankan integritas dirinya yaitu beradaptasi secara kontinu
1. Input. Sistem adaptasi mempunyai input yang berasal dari internal
individu. Roy mengidentifikasi input sebagai suatu stimulus. Stimulus
merupakan suatu unit informasi, kejadian, atau energi yang berasal dari
lingkungan. Sejalan dengan adanya stimulus, tingkat adaptasi individu
direspons sebagai suatu input dalam sistem adaptasi. Tingkat adaptasi
tersebut bergantung dari stimulus yang didapat berdasarkan kemampuan
individu. Tingkat respons antara individu sangat unik dan bervariasi
bergantung pada pengalaman yang didapatkan sebelumnya, status
kesehatan individu, dan stresor yang diberikan.
2. Proses.
a. Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menjelaskan
proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem adaptasi.
Beberapa mekanisme koping dipengaruhi oleh faktor
kemampuan genetik, misalnya sel-sel darah putih masuk dalam
tubuh. Mekanisme lainnya adalah dengan penggunaan antiseptik
untuk mengobati luka. Roy menekankan ilmu keperawatan yang
unik untuk mengontrol mekanisme koping. Mekanisme tersebut
dinamakan regulator dan cognator.
b. Subsistem regulator mempunyai sistem komponen input, proses
internal, dan output.Stimulus input berasal dari dalam atau luar
individu. Perantara sistem regulator berupa kimiawi, saraf, atau
endokrin. Refleks otonomi sebagai respons neural berasal dari
batang otak dan korda spinalis, diartikan sebagai suatu perilaku
output dari sistem regulasi. Organ target (endoterin) dan jaringan
di bawah kontrol endokrin juga memproduksi perilaku output
regulator, yaitu terjadinya peningkatan Andreno Corticaltyroid
Hormone (ACTH) kemudian diikuti peningkatan kadar kortisol
darah.
Banyak proses fisiologis yang dapat diartikan sebagai perilaku
subsistem regulator. Misalnya, regulator tentang respirasi. Pada
sistem respirasi akan terjadi peningkatan oksigen, yang
menginisiasi metabolisme agar dapat merangsang kemoreseptor
pada medula untuk meningkatkan laju pernapasan. Stimulasi
yang kuat pada pusat tersebut akan meningkatkan ventilasi lebih
dari 6-7 kali.
c. Contoh proses regulator tersebut terjadi ketika stimulus eksternal
divisualisasikan dan ditransfer melalui saraf mata menuju pusat
saraf otak dan bagian bawah pusat saraf otonomi. Saraf
simpatetik dari bagian ini mempunyai dampak yang bervariasi
pada viseral, termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung
d. Stimulus terhadap subsistem kognator juga berasal dari faktor
internal dan eksternal. Perilaku output subsistem regulator dapat
menjadi umpan balik terhadap stimulus subsistem kognator.
Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi atau proses informasi, pengambilan
keputusan, dan emosi. Persepsi proses informasi juga
berhubungan dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan. Belajar
berhubungan dengan proses imitasi dan penguatan
(reinforcement). Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan merupakan proses internal yang berhubungan dengan
keputusan dan khususnya emosi untuk mencari kesembuhan
dukungan yang efektif, dan kebersamaan.
e. Dalam mempertahankan integritas seseorang, kognator dan
regulator bekerja secara bersamaan. Sebagai suatu sistem
adaptasi, tingkat adaptasi seseorang dipengaruhi oleh
perkembangan individu dan penggunaan mekanisme koping.
Penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan berdampak
baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan tingkat
rangsangan sehingga individu dapat merespons secara positif

3. Efector
Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada individu didefinisikan
Roy sebagai sistem efektor. Empat efektor atau model adaptasi tersebut
meliputi (1) fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran; dan (4)
ketergantungan (interdepeden). Mekanisme regulator dan kognator
bekerja pada model adaptasi. Perilaku yang berhubungan dengan mode
adaptasi merupakan manifestasi dari tingkat adaptasi individu dan
mengakibatkan digunakannya mekanisme koping. Saat mengobservasi
perilaku seseorang dan menghubungkannya dengan model adaptasi,
perawat dapal mengidentifikasi adaptif atau ketidakefektifan respons
sehat dan sakit.
a. Fisiologis
Efektor secara fisiologis dapat dilihat dari beberapa hal berikut
 Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen yang
berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.
 Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrisi untuk
memperbaiki kondisi dan perkembangan tubuh klien.
 Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.
 Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas,
latihan, istirahat, dan tidur
 Integritas kulit: menggambarkan fungsi fisiologis kulit.
 Rasa: menggambarkan fungsi sensori perseptual yang
berhubungan dengan pancaindra: penglihatan, penciuman,
perabaan, pengecapan, dan pendengaran.
 Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis
penggunaan cairan dan elektrolit.
 Fungsi neurologis: menggambarkan pola kontrol neurologis,
pengaturan, dan intelektual.
 Fungsi endokrin: menggambarkan pola kontrol dan
pengaturan, termasuk respons stres dan sistem reproduksi.

Masalah-masalah keperawatan yang dapat diidentifikasi pada


keempat mode dijabarkan pada Tabel 2.1.

b. Konsep Diri (Psikis)


Konsep diri mengidentifikasi pola nilai, kepercayaan, dan emosi
yang berhubungan dengan ide diri sendiri. Perhatian ditujukan pada
kenyataan keadaan diri sendi tentang fisik, individual, dan moral-
etik.
Table 2.1. masalah gangguan adaptasi (George, 1990: 247 dikutif dari Roy, S.C.)
MASALAH
FISIOLOGIS KONSEP DIRI FUNGSI PERAN INTERDEPENDEN
1. Oksigenisasi Pandangan terhadap  Transisi parah  Kecemasan
 Hipoksia fisik :  Peran berbeda berpisah
 Syok  Penurunan konsep  Konflik peran  Merasa
 Overload seksual  Kegagalan peran ditinggalkan/
 Agresi isolasi
 Kehilangan
2. Nutrisi Pandangan terhadap
 Malnutrisi personal
 Mual  Cemas .
 Muntah  Tidak berdaya
3. Eliminasi  Merasa bersalah
 Konstipasi  Harga diri rendah
 Diare
 Kembung
 Inkontinen
 Retensi Urine
4. Aktivitas dan istirahat
 Aktivitas fisik yang
tidak adekuat
 Risiko kesalahan
aktivitas
 Istirahat yang tidak
adekuat
 Insomnia
 Gangguan tidur
 Kelebihan istirahat
5. Integritas kulit
 Gatal – gatal
 Kekeringan
 Decubitus

c. Fungsi Peran (Sosial)


Fungsi peran mengidentifikasi tentang pola interaksi sesial
seseorang yang berhubungan dengan orang lain akibat dar peran
ganda yang dijalankannya.
d. Ketergantungan (Independen)
Interdependen mengidentifikasi pola nilai-nilai manusia,
kehangatan, cinta, dan memiliki Proses tersebut terjadi melalui
hubungan interpersonal terhadap individu maupun kelompok

2. Output
Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adaptasi. Koping yang
tidak efektif berdampak terhadap respons sakit (maladaptif). Jika klien
masuk pada zona maladaptif maka klien mempunyai masalah
keperawatan (adaptasi).

KEPERAWATAN

Keperawatan adalah bentuk pelayanan profesional berupa pemenuhan


kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu yang sehat maupun sakit yang
mengalami gangguan fisik, psikis, dan sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan
yang optimal. Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa meningkatkan
kemampuan yang ada pada individu, mencegah, memperbaiki, dan melakukan
rehabilitasi dari suatu keadaan yang dipersepsikan sakit oleh individu (Alligood &
Tomey, 2006).
Roy mendefinisikan bahwa tujuan keperawatan adalah meningkatkan respons
adaptasi yang berhubungan dengan empat model respons adaptasi. Perubahan internal,
eksternal, dan stimulus input bergantung dari kondisi koping individu. Kondisi koping
menggambarkan tingkat adaptasi seseorang. Tingkat adaptasi ditentukan oleh stimulus
fokal, kontekstual, dan residual. Stimulus fokal adalah suatu respons yang diberikan
secara langsung terhadap input yang masuk. Penggunaan fokal pada umumnya
bergantung pada tingkat perubahan yang berdampak terhadap seseorang. Stimulus
kontekstual adalah semua stimulus lain yang merangsang seseorang baik internal
maupun eksternal serta memengaruhi situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan secara
subjektif disampaikan oleh individu. Stimulus residual adalah karakteristik/riwayat
seseorang dan timbul secara relevan sesuai dengan situasi yang dihadapi tetapi sulit
diukur secara objektif.
Kasus: Klien Tn. Sigit mengalami nyeri dada. Stimulus yang secara langsung
pada klien dinamakan fokal, yaitu kekurangan oksigen pada otot jantungnya.
Stimulus kontekstual meliputi: suhu 40° C, sensasi nyeri, penurunan berat badan,
kadar gula darah, dan derajat kerusakan arteri. Stimulus residual meliputi
riwayat merokok dan stres yang dialaminya.

Tindakan keperawatan yang diberikan adalah meningkatkan respons adaptasi pada


situasi sehat dan sakit. Tindakan tersebut dilaksanakan oleh perawat dalan
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, atau residual pada individu. Dengan
memanipulasi semua stimulus tersebut, diharapkan individu akan berada pada zona
adaptasi. Jika memungkinkan, stimulus fokal yang dapat mewakili semua stimulus
harus dirangsang dengan baik. Misalnya klien dengan nyeri dada, stimulus fokalnya
adalah ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen tubuh dan persediaan oksigen
yang dapat disediakan oleh jantung. Untuk mengubah stimulus fokal, perawat perlu
memanipulai stimulus kebutuhan agar respons adaptif dapat terpenuhi. Jika stimulus
fokal tidak dapat diubah, perawat harus meningkatkan respons adaptif dengan
memanipulasi stimulus kontekstual dan residual.
Perawat perlu mengantisipasi bahwaklien mempunyai risiko adanya
ketidakefektifan respons pada situasi tertentu. Oleh karena itu perawat harus
mempersiapkan individu untuk mengantisipasi perubahan melalui penguatan
mekanisme kognator, regulator atau koping yang lainnya. Tindakan keperawatan yang
diberikan pada teori ini meliputi mempertahankan respons yang adaptif dengan
mendukung upaya klien secara kreatif menggunakan mekanisme koping yang sesuai.

KONSEP SEHAT-SAKIT

Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu kontinum dari meninggal sampai dengan
tingkat tertinggi sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan suatu keadaan dan
proses dalam upaya menjadikan dirinya terintegrasi secara keseluruhan, yaitu fisik,
mental, dan sosial.
Integritas adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk
memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.
Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi sehat dan sakit
sangat relatif dipersepsikan oleh individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi
(koping) bergantung pada latar belakang individu tersebut dalam mengartikan dan
mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya,
dan lain-lain.

KONSEP LINGKUNGAN

Stimulus dari individu dan stimulus sekitarnya merupakan unsur penting dalam
lingkungan. Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari
internal dan eksternal, yang memengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan serta
perilaku seseorang dan kelompok. Lingkungan eksternal dapat berupa fisik, kimiawi,
ataupun psikologis yang diterima individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman.
Sementara lingkungan internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu
(berupa pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian) dan proses stressor (sel
maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu. Manifestasi yang tampak
akan tercermin dari perilaku individu sebagai suatu respons. Pemahaman klien yang
baik tentang lingkungan akan membantu perawat meningkatkan adaptasi klien tersebut
dalam mengubah dan mengurangi risiko akibat dari lingkungan sekitarnya.

APLIKASI PADA ASUHAN KEPERAWATAN:

PROSES KEPERAWATAN

Model ilmu keperawatan dari adaptasi Roy memberikan pedoman kepada perawat
dalam mengembangkan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan. Unsur
proses keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, intervensi,
dan evaluasi seperti yang digambarkan berikut ini (Nursalam, 2008a)

Intervensi
Pengkajian
Diagnosis
Perencanaan
Pelaksanaan

Evaluasi

Gambar 2.2 Diagram hubungan antara tahap proses keperawatan (Nursalam, 2001).

1. Pengkajian
Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai
suatu system adaptif yang berhubungan dengan masing-masing model adaptasi:
fisiologis, konsep diri fungsi peran, dan ketergantungan. Oleh karena itu,
pengkajian pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku, yaitu pengkajian klien
terhadap masing-masing model adaptasi sistematis dan holistik. Pelaksanaan
pengkajian dan pencatatan pada empat model adaptif tersebut akan memberikan
gambaran keadaan klien kepada tim kesehatan lainnya.
Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisis pola perubahan perilaku
klien tentang ketidakefektifan respons atau respons adaptif yang memerlukan
dukungan perawat. Jika ditemukan ketidakefektifan respons (maladaptif), perawat
melaksanakan pengkajian tahap kedua. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan
data tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang berdampak terhadap
klien. Proses ini bertujuan untuk mengklarifikasi penyebab dari masalah dan
mengidentifikasi faktor kontekstual dan residual yang sesuai. Menurut Martinez,
faktor yang memengaruhi respons adaptif meliputi genetik; jenis kelamin, tahap
perkembangan, obat-obatan, alkohol, merokok konsep diri, fungsi peran,
ketergantungan, dan pola interaksi sosial; mekanisme koping dan gaya; stres fisik
dan emosi; budaya; serta secara lingkungan fisik.

2. Perumusan Diagnosis Keperawatan


Diagnosis keperawatan adalah respons individu terhadap rangsangan yang timbul
dan diri sendiri maupun luar (lingkungan). Sifat diagnosis keperawatan adalah (1)
berorientasi pada kebutuhan dasar manusia; (2) menggambarkan respons individu
terhadap proses kondisi dan situasi sakit; dan (3) berubah bila respons individu
juga berubah (Nursalam 2001). Unsur dalam diagnosis keperawatan meliputi
problem/respons (P); etiologi (E) dan signs/symptom (S), dengan rumus diagnosis
= P + E + S. Diagnosis keperawatan dan diagnosis medis mempunyai beberapa
perbedaan, sebagaimana tersebut pada tabel di bawah ini.

Tabel 2.2 Perbedaan diagnosis medis dan keperawatan


DIAGNOSIS MEDIS DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Fokus: faktor-faktor pengobatan 1. Fokus: respons klien, tindakan
penyakit medis, dan faktor lain
2. Orientasi: keadaan patologis 2. Orientasi: kebutuhan dasar
manusia (KDM)
3. Cenderung tetap mulai masuk 3. Berubah sesuai perubahan respons
sampai pulang klien
4. Mengarah tindakan medis 4. Mengarah pada fungsi mandiri
(pengobatan) yang sebagian perawat
dilimpahkan kepada perawat
5. Diagnosis medis melengkapi 5. Diagnosis keperawatan melengkapi
diagnosis keperawatan diagnosis
medis

Roy mendefinisikan tiga metode untuk menyusun diagnosis keperawatan:


a. Menggunakan tipologi diagnosis yang dikembangkan oleh Roy dan
berhubungan dengan 4 model adaptasi (tabel masalah gangguan adaptasi).
Dalam mengaplikasikan metode diagnosis ini, diagnosis pada kasus Tn.
Sigit adalah "hipoksia.

Tabel 2.3 Kriteria standar intervensi keperawatan menurut teori adaptasi


(Nursalam, 2002)
STANDAR TINDAKAN GANGGUAN FISIOLOGIS
1. Memenuhi kebutuhan oksigen
Kriteria:
a. Menyiapkan tabung oksigen dan flowmeter
b. Menyiapkan humidifier berisi air
c. Menyiapkan slang nasal/masker
d. Memberikan penjelasan kepada klien
e. Mengatur posisi klien
f. Memasang slang nasal/masker
g. Memerhatikan reaksi klien

2. Memenuhi kebutuhan nutrisi, cairan, dan elektrolit


Kriteria:
a. Menyiapkan peralatan dalam dressing car
b. Menyiapkan cairan infus/makanan/darah
c. Memberikan penjelasan pada klien
d. Mencocokkan jenis cairan/darah/diet makanan
e. Mengatur posisi klien
f. Melakukan pemasangan infus/darah/makanan
g. Mengobservasi reaksi klien

3. Memenuhi kebutuhan eliminasi


Kriteria:
a. Menyiapkan alat pemberian huknah/gliserin/dulcolax dan peralatan
pemasangan kateter
b. Memerhatikan suhu cairan/ukuran kateter
c. Menutup pintu dan memasang selimut
d. Mengobservasi keadaan feses/urine
e. Mengobservasi reaksi klien

4. Memenuhi kebutuhan aktivitas dan istirahat/tidur


Kriteria:
a. Melakukan latihan gerak pada klien tidak sadar
b. Melakukan mobilisasi pada klien pascaoperasi
5. Memenuhi kebutuhan integritas kulit (kebersihan dan kenyamanan fisik)
Kriteria:
a. Memandikan klien yang tidak sadar/kondisinya lemah
b. Mengganti alat-alat tenun sesuai kebutuhan/kotor
c. Merapikan alat-alat klien

6. Mencegah dan mengatasi reaksi fisiologis


Kriteria:
a. Mengobservasi tanda-tanda vital sesuai kebutuhan
b. Melakukan tes alergi pada pemberian obat baru
c. Mengobservasi reaksi klien

b. Menggunakan pernyataan dari perilaku yang tampak dan berpengaruh


terhadap stimulusnya. Dengan menggunakan metode diagnosis ini maka
diagnosisnya adalah "nyeri dada disebabkan oleh kekurangan oksigen pada
otot jantung berhubungan dengan lingkungan cuaca yang panas.

Tabel 2.3 Kriteria standar intervensi keperawatan menurut teori adaptasi


(Nursalam, 2002), (lanjutan).

STANDAR TINDAKAN GANGGUAN KONSEP DIRI (PSIKIS)


Memenuhi kebutuhan emosional dan spiritual
Kriteria:
1. Melaksanakan orientasi pada klien baru
2. Memberikan penjelasan tentang tindakan yang akan dilakukan
3. Memberikan penjelasan dengan bahasa sederhana
4. Memerhatikan setiap keluhan klien
5. Memotivasi klien untuk berdoa
6. Membantu klien beribadah
7. Memerhatikan pesan-pesan klien
STANDAR TINDAKAN PADA GANGGUAN PERAN (SOSIAL)
1. Meyakinkan klien bahwa dia adalah tetap sebagai individu yang berguna bagi
keluarga dan masyarakat
2. Mendukung upaya kegiatan atau kreativitas klien
3. Melibatkan klien dalam setiap kegiatan terutama dalam pengobatan pada oinn
4. Melibatkan klien dalam setiap mengambil keputusan menyangkut diri klien
5. Bersifat terbuka dan komunikatif kepada klien
6. Mengizinkan keluarga untuk memberikan dukungan kepada klien
7. Perawat dan keluarga selalu memberikan pujian atas sikap klien yang positif dalam
perawatan
8. Perawat dan keluarga selalu bersikap halus dan menerima jika ada sikap klien yang
negatif
STANDAR TINDAKAN PADA GANGGUAN INTERDEPENDENCE (KETERGANTUNGAN
1. Membantu klien memenuhi kebutuhan makan dan minum
2. Membantu klien memenuhi kebutuhan eliminasi (urine dan alvi)
3. Membantu klien memenuhi kebutuhan kebersihan diri (mandi)
4. Membantu klien berhias atau berdandan
c. Berhubungan dengan stimulus yang sama. Misalnya jika seorang petani
mengalami nyeri dada saat ia bekerja di luar pada cuaca yang panas. Pada
kasus ini, diagnosis yang sesuai adalah "Kegagalan peran berhubungan
dengan keterbatasan fisik (miokardial) untuk bekerja saat cuaca yang
panas".

3. Interfensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan mengubah atau
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Pelaksanaannya juga
ditujukan kepada kemampuan klien dalam menggunakan koping secara luas, supaya
stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien.
Tujuan intervensi keperawatan adalah mencapai kondisi yang optimal dengan
menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang harus dapat
menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan ketersediaan energi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut (mempertahankan, pertumbuhan, dan reproduksi).
Tujuan jangka pendek mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi
stimulus fokal, kontekstual, dan residual.
Pengembangan kriteria standar intervensi keperawatan menurut adaptasi akan
digunakan oleh peneliti sebagai instrumen untuk mengukur kinerja perawat dalam
menerapkan teori adaptasi pada asuhan keperawatan anak.

4. Evaluasi
Penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan yang
ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi
pada individu.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, M. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alligood, MR, & Tomey. AM. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 7h ed. St.
Louis, Missouri: Mosby

Chitty, K.K. 1997. Professional Nursing. Concepts & Challenges. 2nd ed.
Philadelphia: W.B Saunders Company.

Nursalam & Kurniawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV/
AIDS. Jakarta: Salemba Medika.

Nursalam. 2002. Manajemen Keperawatan: Aplikasi dalam Praktik Keperawatan


Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

____________2008a. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktis.


Edisi 2. Jakarta: Penerbit Salemba Medika

____________.2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan: Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen. Edisi 2. Jakarta: Salemba
Medika.

Polit DF & Back, CT. 2012. Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9th ed. Philadelphia: JB. Lippincott.

Putera, S.T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair.

Soeparmo HA. (1984) Struktur Keilmuan dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam.
Surabaya: Airlangga University Press.

BAGIAN 2
MASALAH PENELITIAN DAN
KERANGKA KONSEP

 Bab 3 Masalah, Rumusan Masalah, Dan


Tujuan Penelitian
Lampiran Contoh Rumusan Masalah
 Bab 4 Kerangka Konsep hipotesis penelitian
 Bab 5 Lingkup masalah penelitian ilmu
keperawatan
BAB 3
MASALAH, RUMUSAN MASALAH
DAN TUJUAN PENELITIAN

MASALAH
Masalah penelitian merupakan langkah awal yang harus dipikirkan dan disusun
berdasarkan suatu fakta empiris di lapangan. Pada tahap awal pelaksanaan penelitian,
kegiatan yang perlu dilakukan adalah memahami konsep masalah berdasarkan kajian
kepustakaan yang dapat dipercaya. Kegiatan tersebut meliputi berpikir, membaca
teori, dan review dengan teman perlu memahami pelaksanaan deductive reasoning dan
memilih topik yang diminati dari hasil riset yang telah dilaksanakan orang lain.

TOPIK JUDUL

Fakta
Kesenjangan berdasar pada
MASALAH
konsep masalah (K.I)
Harapan
Konsep yang digunakan dalam
RUMUSAN paradigm penelitian/konsep paradigm
MASALAH penelitian/konsep paradigma (konsep I
dan II) sebagai sumber variable untuk
menjawab rumusan masalah.

TUJUAN
PENELITIAN

MANFAAT

Gambar 3.1. Bagan alur piker ilmiah sekonsep (Soeparto, Putra, Haryanto, 2000)
Masalah penelitian adalah suatu kondisi yang memerlukan pemecahan atau alternatif
Pemecahan. Baik burukya suatu penelitian sangat ditentukan oleh masalah penelitian
(Research problem) (Polit & Hungler, 1999). Masalah penelitian biasanya didapat dari
topic yang secara luas berhubungan dengan keperawatan. Mengingat dalam topik
sudah terdapat suatu masalah, maka dalam melakukan identinkasi masalah hendaknya
tidak keluar dari area masalah yang telah dicantumkan dalam topik. Masalah penelitian
diupayakan yang orisin, mempunyai kontribusi terhadap perkembangan ilmu, urgensi
dan baru.

Menyelesaikan Masalah Riset Keperawatan

Saat memilih masalah penelitian keperawatan peneliti dituntut untuk menguasai


lingkap masalah dan konsep keperawatan. Gambar berikut ini menjelaskan alur pikir
tentanglangkah-langkah memilih masalah penelitian keperawatan.

NANDA (9 Pola Sumber : Syarat


P : Problem Proses - Klinik/
perubahan) - F: Feasibility
E ; ? (factor keperawatan komunitas
- Literature/ - I: Interseting
independen)
GORDON buku/ jurnal - N: novel
S: Sign/ Diagnosis
(11 pola fungsi - Diskusi/ - E: Ethics
Simptons Keperawatan
kesehatan) seminar - R: relevant

MASALAH DAN
RUMUSAN MASALAH

Pengembangan kerangka
konseptual (Teori/ ilmu
keperawatan) : ROY, OREM,
KING, dll)

Gambar 3.2. Penentuan masalah riset keperawatan (Nursalam, 2002 & Nursalam,
2008)
Keterangan:
Alur perumusan masalah penelitian keperawatan tersebut berdasar pada masalah-
masalah keperawatan yang berasal dari diagnosis keperawatan, yang terdiri atas rumus
PES. P (problem adalah respons/masalah yang dirasakan oleh klien, baik fisik, psikis,
maupun sosio-spiritual. Dalam menentukan R merujuklah pada masalah keperawatan
yang dikemukakan oleh North American Nurses Diagnosis (NANDA), sebagai acuan
penentuan masalah keperawatan di dunia. E (Etiology) adalah penyebab dari masalah,
dapat berupa patofisiologi suatu penyakit, situasi lingkungan atau tempat tinggal. S
(Sign & Symptoms) adalah tanda dan gejala yang biasanya memberikan kontribusi
terhadap timbulnya masalah. Keterangan tersebut dapat dianalogikan, bahwa PES
dapat dipergunakan sebagai variabel dependen; E sebagai variabel independen; dan S
dapat berperan sebagai variabel independen, dependen, moderator, atau variabel
lainnya.

Masalah riset keperawatan harus mengandung unsur "FINER", yaitu feasible,


interesting, novel, ethical, dan relevant (Sastroasmoro dan Ismail, 1995).
F =
Bisa dijalankan (Feasible)
 Tersedia subjek penelitian
 Tersedia dana
 Tersedia waktu, alat, dan keahlian
I = Menarik (Interesting)
 Masalah hendaknya menarik untuk diteliti
N = Hal baru (Novel)
 Membantah atau mengonfirmasikan penemuan terdahulu
 Melengkapi dan mengembangkan hasil penelitian terdahulu
 Menemukan sesuatu yang baru
E = Etika (Ethical)
 Tidak bertentangan dengan etika, khususnya etika keperawatan
R = Relevan (Relevant)
 Bermanfaat bagi perkembangan Iptek
 Dapat digunakan untuk meningkatkan asuhan keperawatan dan
kebijakan kesehatan
 Sebagai dasar penelitian selanjutnya
Contoh lingkup riset keperawatan terlampir (diambil dari hasil riset peneliti dan
mahasiswa)
Lingkup Masalah Penelitian Keperawatan

menurut Nursalam (2002)

Prioritas/lingkup riset keperawatan berdasarkan kelompok ilmu keperawatan


dikembangkan menjadi:
1. Prioritas kesehatan dan pencegahan penyakit pada masyarakat.
2. Pencegahan perilaku dan lingkungan yang berakibat buruk pada masalah
kesehatan.
3. Menguji model praktik keperawatan di komunitas.
4. Menentukan efektivitas intervensi keperawatan pada infeksi HIV-AIDS
5. Mengkaji pendekatan yang efektif pada gangguan perilaku.
6. Evaluasi intervensi keperawatan yang efektif pada penyakit kronis.
7. Identifikasi faktor-faktor bioperilaku yang berhubungan dengan kemampuan
koping.
8. Mendokumentasikan efektivitas pelayanan kesehatan/keperawatan.
9. Mengembangkan masalah dan metodologi riset pelayanan
kesehatan/keperawatan.
10. Menentukan efektivitas biaya perawatan klien.

Kajian Masalah/Sumber Masalah Penelitian Keperawatan

Masalah riset bisa didapatkan dari berbagai sumber. Akan tetapi pemilihan sumber
harus selektif, aktif, dan imajinatif dalam penggunaannya.

Praktik Keperawatan

Praktik keperawatan harus berdasarkan pada ilmu yang diperoleh dari suatu hasil
penelitian, karenapraktik tersebut sangat penting untuk mengetahui sumber
permasalahan (Polit & Back, 2012). Pormasalahan atau topik riset dapat diperoleh
dari observasi klinik (perilaku klien dan keluarga dalam situasi krisis dan bagaimana
perawat mengatasi masalah tersebut; review status klien: proses keperawatan; dan
prosedur atau tindakan perawatan yang mungkin menimbalkan masalah atau
pertanyaan dalam pelaksanaannya). Misalnya, prosodur apakah yang bisa diberikan
dalam perawatan mulut pada klien kanker mulut atau klien dengan pemasangan
endotrakeal? Tindakan efektif apa yang dilakukan untuk mengobati luka? Tindakan
keperawatan apa yang berhubungan dengan komunikasi klien dengan stroke? Apakah
dampak kunjungan rumah dan pelaksanaannya setelah klien pulang dari rumah sakit?
Beherana mahasiswa perawat dan perawat mengumpulkan suatu jurnal atau data
mengenai permasalahan yang berhubungan dengan pengalaman praktiknya (Burns &
Grove 1999) mereka mencatat pengalaman, ide, dan observasinya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Analisis dalam hal tersebut sering kali membantu
penyusunan suatu pola dalan memgidentifikasi peran perawat. Mengapa pemberian
asuhan keperawatan pada emosional dan spiritual klien lebih sedikit dibandingkan
dengan perawatan fisik? Apakah anggota keluarga perlu dilibatkan atau tidak dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien?

RUMUSAN MASALAH ATAU PERTANYAAN PENELITIAN

Burns dan Grove (1999) mengemukakan lima pertanyaan yang perlu dijawab sebelum
merumuskan masalah penelitian: (1) Apa yang salah atau yang perlu diperhatikan pada
Situasi ini?; (2) Di mana letak kesenjangannya?: (3) Informasi apa yang dibutuhkan
untuk mencari masalah ini?; (4) Perlukah melakukan tindakan pelayanan di klinik?;
dan (5) Perubahan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut?
Sementara menurut Polit dan Hungler (1993) pertanyaan yang perlu dijawab
sebelum merumuskan masalah penelitian: (1) Apakah pertanyaan penelitian ini
berhubungan dengan teori atau praktik? (Substansi); (2) Bagaimana pertanyaan akan
bisa dijawab? (Metodologis); (3) Apakah tersedia sarana dan prasarana yang memadai
(practical dimensions); dan (4) Dapatkah pertanyaan ini dijelaskan secara konsisten
yang berdasarkan pada isu etik? (Ethical Dimensions).
Riset keperawatan terutama ditujukan pada masalah-masalah keperawatan di
klinik dan komunitas atau keluarga (misalnya, sesuai 11 pola fungsi kesehatan dari
Gordon; 9 pola respons kesehatan dari NANDA; dan lain-lain); masalah keperawatan
pada bidang pendidikan; dan masalah pada sistem pelayanan kesehatan lain
(Nursalam, 2008).
Pertanyaan suatu penelitian adalah suatu pernyataan yang singkat, jelas, dan
interogatif, yang ditulis dalam bentuk saat sekarang dan melibatkan satu atau lebih
variabel. Pertanyaan penelitian berguna untuk menjelaskan suatu variabel, menguji
hubungan antarvariabel, dan menentukan perbedaan antara dua atau lebih kelompok
sehubungan dengan variabel tertentu.

Contoh:
1. Bagaimana peran orang tua dalam perawatan tali pusat pada bayi baru lahir?
(deskriptif)
2. Adakah hubungan antara variabel x dan variabel y? (crossectional ; asosiasi/
korelasi)
3. Adakah pengaruh pemberian terapi bermain pada anak prasekolah selama
masuk rumah sakit terhadap penerimaan selama tindakan invasif? (pengaruh
experiment)

Faktor-Faktor yang Mendasari Perumusan Masalah

Penyusunan rumusan masalah penelitian harus didasarkan pada pemahaman yang


dimiliki peneliti tentang masalah yang ada dan berkembang saat itu. Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh peneliti meliputi faktor-faktor tersebut di bawah ini.
1. Mendefinisikan permasalahan/topik (fakta empiris-induktif)
Seorang peneliti biasanya memulai pencarian topik secara umum, misalnya
asuhan keperawatan (askep) klien dengan nyeri, pola komunikasi keluarga
pada perawatan Nien lanjut usia (lansia), atau asuhan keperawatan klien
dengan inkontinensia urine? Kemudian timbul suatu pertanyaan: Mengapa
perlu dilakukan tindakan? Apa yang akan teriadi seandainya diberikan
tindakan? atau, Ciri-ciri khas apakah yang ada hubungannya dengan masalah
tersebut?
2. Mulai mencari sumber kepustakaan (kajian teori-deduksi) Kepustakaan dapat
memberikan gambaran kepada seorang peneliti pemula terhadap suatu akan
mampu mengidentifikasi apa yang sudah diketahui dan belum diketahui pada
suatu topik. Perbedaan pendapat akan membantu penentuan permasalahan di
masa mendatang.
Teori merupakan sumber yang sangat penting dalam mendapatkan
suatu permasalahan karena disusun berdasarkan ide atau dan bersifat nyata
serta telah dilakukan suatu pengujian mengenai kebenarannya.
Permasalahan/topik dapat disusun untuk menjelaskan tentang konsep,
misalnya topik yang diminati. Dengan melakukan kajian masalah, peneliti
gambaran situasi sekarang teori perawatan diri dari Orem.
Replikasi meliputi suatu prosedur atau pengulangan riset untuk
menentukan apakah hasil penemuan akan sama atau berbeda. Beberapa peneliti
melakukan replikasi pada penelitiannya karena mereka setuju dengan
penemuan tersebut dan ingin menguji apa yang akan terjadi jika penelitian
tersebut dilaksanakan pada desain, tempat, dan subjek yang berbeda. Berikut
ini adalah contoh penyusunan rumusan masalah berdasarkan kajían teori,
dimulai adanya suatu ide/pendapat yang ada pada pikiran peneliti.
3. Interaksi antarteman sejawat atau anggola tim Interaksi dengan peneliti atau
anggota tim sangat bermanfaat untuk menentukan permasalahan penelitian.
Seorang peneliti yang berpengalaman memberikan pengalamannya kepada
pemula ataupun seorang dosen memberikan pengalaman kepada
mahasiswanya dalam menyeleksi dan menyusun suatu permasalahan. Jika
memungkinkan, seorang mahasiswa melakukan penelitian pada topik yang
sama dengan dosennya. Dosen dapat memberikan keahliannya berhubungan
dengan program penelitian dan mahasiswa dapat mengembangkan
pengetahuannya pada topik tertentu (Polit & Back, 2012). Tipe hubungan ini
bisa dikembangkan antara ahli peneliti dengan perawat di rumah sakit ataupun
klinik.
4. Layak dijabarkan (feasibility) Kelayakan suatu penelitian untuk dilakukan
ditentukan oleh berbagai pertimbangan, yaitu (a) waktu; (b) dana; (c) keahlian
peneliti; (d) tersedianya responden; (e) fasilitas dan alat; (f) kerja sama dengan
tim lain; dan (g) pertimbangan etika (Nursalam, 4. 2008).

a. Waktu
Suatu penelitian sering kali memerlukan waktu yang lebih lama dari yang
telah ditentukan, sehingga menjadi kendala bagi semua peneliti terutama
peneliti pemula untuk memperkirakan waktu yang diperlukan.
Pertimbangan perkiraan penentuan waktu dapat ditentukan oleh berbagai
faktor:
1) Tipe responden yang diperlukan
2) Jumlah dan kompleksnya variabel yang akan digunakan
3) Metode pengukuran variabel (apakah instrumen sudah tersedia
ataukah harus mengembangkan sendiri)
4) Metode pengumpulan data
5) Proses analisis data

Seorang peneliti sering memperkirakan waktu yang diperlukan tiap


selesainya tahap proses penelitian.

b. Dana Perumusan masalah dan tujuan yang dipilih sangat dipengaruhi oleh
alokasi dana yang tersedia. Potensial sumber dana harus dipertimbangkan
pada saat penyusunan masalah atau tujuan. Untuk memperkirakan dana
yang diperlukan, beberapa pertanyaan berikut ini perlu dipertimbangkan:
1) Literatur: Apakah akan diperlukan komputer, fotokopi artikel, atau
pembelian buku?
2) Subjek: Apakah subjek/responden perlu diberi biaya dalam
partisipasinya?
3) Peralatan: Alat-alat apakah yang diperlukan untuk penelitian?
Apakah alat- alat tersebut bisa diperoleh dengan ataukah
disediakan oleh donatur? Apakah bisa menggunakan alat-alat yang
tersedia, ataukah perlu membangun/membuat sendiri? Berapakah
biaya untuk pengukuran instrumen?
4) Personel: Apakah asisten/konsultan perlu diberikan biaya
pengetikan dan analisis data? cara meminjam, menyewa, membeli,
5) Komputer: Apakah pemakaian komputer diperlukan saat
menganalisis data? Jika ya, berapa biaya yang diperlukan?
6) Transportasi: Berapa biaya transportasi untuk melakukan
penelitian dan menyajikan hasil?
7) Pendukung: Apakah akan diperlukan alat-alat seperti amplop,
prangko, pena, kertas, dan fotokopi? Apakah perlu biaya telepon
untuk jarak jauh (interlokal)?
c. Keahlian Peneliti
Permasalahan/topik dan tujuan penelitian harus diseleksi berdasarkan
kemampuan peneliti. Hal ini biasanya menuntut seorang peneliti untuk
memahami suatu proses penelitian baru kemudian melakukan penelitian
berdasarkan pengalamannya. Memilih permasalahan yang sulit dan
kompleks akan mengakibatkan frustrasi bagi peneliti pemula.

d. Ketersediaan responden
Dalam menentukan suatu tujuan penelitian, yang perlu dipertimbangkan
adalah tipe dan jumlah responden yang diperlukan. Sampel biasanya sulit
jika penelitian meliputi populasi yang unik dan jarang. Misalnya
quadriplegic yang hidup sendirian. Semakin spesifik suatu populasi,
semakin sulit mendapatkannya. Dana dan waktu yang tersedia akan
berakibat terhadap responden yang dipilih. Dengan keterbatasan waktu
dan dana, seorang peneliti perlu menentukan responden yang tersedia yang
tidak memerlukan biaya (upah).

e. Ketersediaan fasilitas dan peralatan


Peneliti perlu mempertimbangkan apakah riset memerlukan fasilitas
tertentu. Apakah ruangan khusus diperlukan untuk program pendidikan,
wawancara, atau observasi? Tika riset dilaksanakan di rumah sakit, klinik,
atau sekolah perawat, apakah diperlukan seorang agen? Tindakan atau tes
di laboratorium akan sangat mahal dan mungkin membutuhkan dana dari
sumber lain. Riset perawatan biasanya dilaksanakan di rumah sakit, klinik,
rumah klien, dan tempat lainnya.

f. Kerja sama dengan tim lain


Suatu penelitian tidak akan dapat berjalan dengan lancar tanpa kerja sama
dengan tim yang lain. Hampir semua riset keperawatan melibatkan subjek
manusia dan dilaksanakan di rumah sakit, klinik, sekolah perawat, kantor,
atau rumah. Adanya hubungan yang haik dengan individu di tempat
penelitian akan sangat membantu. Orang sering berharap dapat terlibat
dalam suatu penelitian jika permasalahan dan tujuan penelitian ada
hubungannya dengan permasalahan yang ada atau mereka tertarik secara
individu terhadap permasalahannya. Misalnya seorang perawat di rumah
sakit mungkin tertarik dengan penelitian yang ada hubungannya dengan
efeltivitas penggunaan biaya institusi terhadap program kesejahteraan
perawat.

g. Pertimbangan etika
penelitian harus etis, dalam arti hak responden dan yang lainnya
dilindungi. Jika suatu tujuan penelitian akan berakibat jelek terhadap hak
reponden, maka penelitian tersebut harus dievaluasi ulang dan mungkin
harus dihindari.

MENYUSUN RUMUSAN DAN TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian diperoleh dari rumusan masalah penelitian yang telah


ditetapkan sebagai indikator terhadap hasil yang diharapkan. Tujuan dari
penelitian berguna untuk mengidentifikasi, menjelaskan, mempelajari,
membuktikan, mengkaji, dan memprediksi alternatif pemecahan masalah
terhadap masalah penelitian. Tujuan tersebut biasanya menandakan tipe dari
riset, misalnya deskriptif: studi kasus, cross sectional, kohort, dan case control;
serta eksperimen: trust-experiment, quasi-experiment, dan praexperiment.
Dengan adanya tujuan tersebut akan mempermudah untuk mencapai hasil yang
diharapkan.
Tujuan penelitian, pertanyaan penelitian (rumusan masalah), dan
hipotesis disusun untuk menjembatani kesenjangan antara permasalahan
penelitian yang masih abstrak. Kejelasan dari objektivitas biasanya difokuskan
pada kadang fokusnya untuk mengidentifikasi suatu hubungan diantara dua atau
lebih variable atau untuk menentukan perbedaan di antara dua kelompok dari
suatu variabel (Polit & Back, 2012).
Tujuan penelitian harus jelas, ringkas, dan berupa pernyataan yang
deklaratif, yang biasanya dituliskan dalam bentuk kalimat aktif. Agar tujuan
menjadi jelas, biasanya tujuan penelitian difokuskan pada satu atau dua variabel
dan mengidentifikasi apakah variable perlu dijabarkan lebih lanjut. Fokus
tersebut bisa dalam bentuk identifikasi hubungan atau asosiasi di antara variabel
atau untuk menentukan perbedaan di antara dua dengan variabel.

Agar lebih jelas, cermati contoh berikut ini.


Rumus Penulisan Tujuan Penelitian
Bloom Tujuan Penelitian + Variabel-variabel
+ Contoh
C2-CS Gambaran/deskripsi
Contoh Perbedaan
Menjelaskan Hubungan
Mengidentifikasikan Pengaruh/dampak
Menganalisis Sebab akibat
Membuktikan
(diupayakan tidak
menggunakan mengetahui)

1. Mengidentifikasi karakteristik variabel X (identification).


2. Menjelaskan keberadaan variabel X (description).
3. Menentukan atau mengidentifikasi hubungan antara variabel X dengan
variabel Y (relational)
4. Menentukan perbedaan antara kelompok 1 dan kelompok 2 sehubungan
dengan variabel X (diffierences)

Masalah/Kajiian Masalah
Dari hasil studi yang dilakukan peneliti pada 15 orang mahasiswa reguler
Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan pada tanggal 2-9 Maret 2013 dapat
diketahui bahwa dia dimensi kelelahan emosional: 26.7%% mahasiswa
mengalami kelelahan emosional ditingkat rendah: 40% menengah dan 33,3%
pada rentang berat. Dimensi yang kedua depersonalisasi S87% mahasiswa
mengalami depersonalisasi di tingkat rendah dan sekitar 13.3% di tingkat
menengah. Kemudian dimensi penurunan prestasi diri; 33,3% mengalami
penurunan prestasi diri di tingkat rendah; 46,7% menengah; dan 20% mengalami
penurunan prestasi diri tingkat berat. Hal ini didukung dengan data penelitian
sebelumnya oleh Irawati (2012) yang menyebutkan bahwa mahasiswa regular
angkatan genap 2011/2012 program profesi Ners Fakultas Keperawatan dari
jumlah 63 orang responden penelitian terdapat 61,9% mahasiswa mengalami
kelelahan emosional di level sedang. Sekitar 60,3% mengalami depersonalisasi
tingkat menengah dan 71,4 % mengalami penurunan prestasi level rendah.

Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan antara sumber stres (stresor) personal terhadap
burnout syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi
Ners?
2. Apakah ada hubungan antara sumber stres (stresor) lingkungan terhadap
burnout sydrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi
Ners?
3. Apakah ada hubungan antara relational meaning terhadap Burnout
Syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi Ners?
4. Apakah ada hubungan antara Coping Strategy terhadap Burnout
Syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi Ners?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara sumber stres (stresor): personal dan lingkungan,
relational meaning dan coping strategy terhadap kejadian Burnout Syndrome
pada mahasiswa regular Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folkman dan konsep Maslach Burnout Inventory
Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan sumber stes (stressor) personal dengan burnonud
syndrome
2. Menganalisis hubungan sumber stres (stresor) lingkungan dengan
burnout syndrome pada mahasiswa reguler Program Profesi Ners
berdasarkan Transactional Lararus & Folkman dan Konsep Maslach
Burnout Inventory.
3. Menganalisis hubungan relatiomal meaning dengan burnout syndrome
pada mahasiswa reguler Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folknar dan Konsep Maslach Burnout Inventory.
4. Menganalisis hubungan coping strategy dengan burnout syndromepada
mahasissa reguier Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folkmr dan Konsep Masiach Burnout Inventory.

LAMPIRAN
Rumusan Masalah : Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Keperawatan

Penelitian Judul Penelitian Masalah dan Rumusan Masalah (Pertanyaan


Penelitian)
Maternitas Pengaruh  Masalah
(Penelitian pendampingan suami Keterlambatan pembukaan pada KALA I
dasar) terhadap percepatan sering ditemukan pada proses persalinan.
pembukaan KALA I Percepatan KALA I merupakan unsur utama
persalinan dalam proses persalinan pada ibu in partu.
(quasi-eksperimental di Keterlambatan dalam pembukaan
RS Adi Husada) merupakan ancaman bagi nyawa ibu
Peneliti: maupun bayinya. Wanita yang mengalami
1. Nursalam, M.Nurs keterlambatan pembukaan pada KALA I
(Honours). berdampak juga terhadap psikologisnya.
2. Sumiati, S. Kep. Penyebab dari keterlambatan dipengaruhi
oleh banyak faktor. Faktor yang penting
adalah kecemasan dan kurangnya rasa
nyaman klien (nyeri) karena tidak didampingi
oleh keluarganya khususnya suaminya.
Pendampingan saja ternyata tidak cukup,
tetapi peran suami saat mendampingi
merupakan kunci sukses yang utama.
Beberapa sumber telah menetapkan bahwa
kehadiran suami berpengaruh terhadap
percepatan KALA I, tetapi di Indonesia belum
pernah dilaksanakan penelitian bagaimana
pendampingan yang efektif dapat
mempercepat pembukaan persalinan pada
KALA I
 Rumusan masalah/pertanyaan penelitian
Adakah pengaruh pendampingan suami
terhadap percepatan pembukaan pada KALA
I?
Maternitas Motivasi ibu untuk  Masalah
(Kajian wanita) tetap Sebagian ibu sering berhenti menyusui
menyusui pada saat bayinya karena nyeri saat menyusui
nyeri pascasalin (studi pascasalin, tetapi ibu yang lain tetap
cross-sectional di RSUD menyusui meskipun nyeri yang dirasakan
OR. Soetomo) terasa berat. Nyeri saat
menyusui pada ibu setelah melahirkan
merupakan masalah utama yang perlu
mendapatkan perhatian serius. Keadaan
tersebut akan berdampak terhadap
kesehatan ibu dan bayinya, ibu-ibu akan
mengalami gangguan proses fisiologis
setelah melahirkan dan hal ini berdampak
terhadap kesehatan bayinya. Bayi akan
menjadi mudah terkena penyakit karena
penurunan
kekebalan dan masalah-masalah lain berupa
pertumbuhan dan perkembangan.
Belum ada data-data yang pasti tentang
faktor apa saja yang berpengaruh secara
signifikan dalam mendorong ibu-ibu untuk
tetap menyusui bayinya pada saat
"afterpain" pascasalin. Faktor paritas
menurut Soetjiningsih (1997) sebagai faktor
pendorong utama, yaitu ibu-ibu yang baru
mempunyai anak pertama akan tetap
menyusui bayinya. Hal ini dilakukan sebagai
bukti kasih sayang ibu dan rasa tanggung
jawab wanita terhadap perkembangan
anaknya. Wanita sering diposisikan sebagai
orang yang paling bertanggung jawab dan
disalahkan apabila tidak bisa menyusui
bayinya, di lain pihak mereka tidak tahan
terhadap nyeri yang dirasakan. Di satu sisi
masih ditemukan suami melarang istrinya
untuk menyusui karena alasan feminisme
dan kebutuhan seksual belaka. Sementara
faktor-faktor lain seperti pengetahuan, sikap,
social ekonomi, dan dukungan keluarga
belum pernah dikaji.
 Rumusan masalah/pertanyaan penelitian
1. Faktor-faktor apakah yang mendorong
ibu untuk tetap menyusui saat afterpain?
2. Bagaimanakah dukungan keluarga dalam
meningkatkan motivasi untuk tetap
menyusui?
3. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan
menyusui pada ibu pascasalin?
Maternitas Sindroma klimaktorium  Masalah
(Kajian wanita) pada wanita Wanita sering mengalami distres psikologis
menopause dalam berumah tangga karena adanya
Studi ekspiorabit di sindroma klimaktorium Sindroma yang
Pamekasan - Madura) dialaminya berdampak terhadap gangguan-
Penelti gangguan psikis berupa ketidakharmonisan
1 Nusalam, M.Nurs rumah tangga akibat tidak terpenuhinya
(Honours). kebutuhan seksual suami, gangguan interaksi
2. Adi Sutrisni S.S.T sosial. Gangguan konsep diri, dan lain-lain.
Sementara gangguan fisik meliput gangguan
pada kulit, produksi hormone kewanitaan,
pencernaan, jantung, dan perkemihan.
Gangguan tersebut telah dijabarkan oleh
Manuaba dan Prayitno (1997). Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap sindroma adalah
(1) sosial budaya, (2) faktor keluarga persepsi
dan pengetahuan wanita atau suami yang
saiah. Tetapi, belum pernah dilakukan
penelitian mengenai taktor-faktor apakah
yang paling berpenganuh terhadap sindroma
klimaktorium tersebut. Masalah tersebut
sangat menarik untuk dikaji secara
mendalam
 Pertanyaan penelitian
1. Bagaimanakah perilaku pengetahuan dan
sikap wanita tentang sindoma
klimaktorium?
2. Faktor-takaor apakah yang paling
berpengaruh tehadap sindroma
klimaktorium?
Gerontik Pengaruh senam  Masalah
(penelitian "Kegel" Lansia ditemukan sering mengalami
dasar) terhadap pemenuhan gangguan dalam pemenuhan kebutuhan
kebutuhan eliminasi eliminasi urine. Keadaan ini akan bertambah
urine klien lansia yang buruk apabila lansia kurang atau tidak
tinggal di panti (pra- melakukan latihan yang dapat menyebabkan
eksperimental) penurunan tonus otot kandung kemih,
Peneliti: peningkatan stasis urine
1. Nursalam, M.Nurs pada ginjal dan peningkatan risiko terjadinya
(Honours). batu ginjal Lansia sering mengompol di
2. IKetut Dira, S.Kep. celana dan terganggu tidurnya karena sering
terasa mau kencing. Keadaan ini cenderung
tidak dilaporkan karena lansia merasa malu
dan menganggap tidak ada yang dapat
diperbuat
untuk menolongnya. Penelitian-penelitian
tentang peran perawat dalam mengatasi
pemenuhan kebutuhan eliminasi di luar
negeri masih jarang ditemukan, demikian
juga di Indonesia. Hasil penelitian yang
dilaksanakan
oleh Wayan Suardana hanya menyebutkan
bahwa senam Tera dapat membantu
mengurangi keluhan sakit pada
lansia secara umum.
 Pertanyaan penelitian
Apakah ada pengaruh pemberian latihan
atau senam kegel terhadap pemenuhan
kebutuhan eliminasi urine (beser) pada
lansia?
Medikal bedah Peran serta keluarga  Masalah
(penellitian pada rehabilitasi fisik Keluarga belum berperan secara optimal
dasar) klien pascastroke dalam dalam melakukan rehabililasi fisik pada klien
upaya mencegah pascaserangan stroke di rumah. Peran
tersebut khususnya dalam memenuhi
kecacatan dan kebutuhan sehari-hari, kebutuhan
kekambuhan (studi perawatan diri: makan minum, berdandan
eksploratif di ruang berpakaian,
saraf RSUD Dr. Soetomo mandi dan kebutuhan eliminasi, serta risiko
Surabaya) terjadinya "dekubitus karena imobilisasi yang
Peneliti: lama, pneumonia akibat penumpukan sekret,
1. Nursalam, M.Nurs dan gangguan gangguan organ tubuh lainnya
(Honours). Keadaan tersebut akan berakibat terhadap
2. Ah. Yusuf, S.Kep. suatu kondisi yang sangal falal apabila
3. Yoseph Tueng, S.S.T. perawal dan khususnya keluarga tidak
borperan serta
dalam melakukan aktivitas fisik berupa
rehabilitasi baik selama klien dirawal di
rumah sakit maupun di rumah. Menurut
Carpenito (2000 240) gangguan aktivitas
tersebut harus ditangani untuk pemulihan
atau pencegahan penurunan fungsi yang
berkelanjutan.
Upaya rehabilitasi dapat berupa sualu
latilhan pasif dan aktif dengan bantuan vang
dimulai sejak klien dirawat di rumah sakit
sampai pulang. Roper (1996: 45)
menekankan bahwa keterlibatan keluarga
sebagai anggota tim rehabilitasi mutlak
diperlukan, mengingat
rehabilitasi tersebut memerlukan waktu
yang sangat lama. Sering ditemukan klien
stroke yang dirawat di rumah mengalami
dekubitus pada stadium yang paling parah.
Keadaan tersebut tidak akan terjadi kalau
keluarga mengerti dan ikut terlibat aktif
dalam
melakukan aktivitas fisik. Di Indonesia belum
pernah dilakukan pengkajian bagaimanakah
efektivitas peran keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan rehabilitasi fisik khususnya
selama klien dirawat di rumah sakit maupun
setelah pulang.

 Pertanyaan penelitian
1. Faktor faktor apakah yang berhubungan
terhadap peran serta keluarga dalam
melakukan rehabilitasi pada klien
pascaserangan stroke di rumah?
2. Bagaimanakah peran keluarga dalam
pelaksanaan rehabilitasi pada klien stroke?
Contoh: Penelusuran Masalah/Topik Penelitian
Oleh: S-N-S
NIM. 131111161 (B14)

1. Bidang Keahlian: Keperawatan Gerontik


2. Kasus: Activity Daily Living (ADL) Lansia
3. Kajian Masalah

F-1
a. Empat puluh lima (45 %) lansia (< 65 thn) mengalami kemunduran ADL seiring
pertambahan usia.
b. Kemunduran ADL dan ketergantungan lansia pada orang lain menjadi pemicu
adanya gangguan psikologis dan faktor pencetus terjadinya depresi pada lansia
(Hawar 2007).
c. Dengan kondisi yang sehat, para lansia dapat melakukan aktivitas apa saja tanpa
meminta bantuan orang lain, atau sedikit mungkin tergantung kepada orang
(Sahartini, 2004)
d. Dengan menjaga kesehatan fisik, mental, spiritual, ekonomi, dan sosial, seseorang
dapat memilih masa tua vang lebih membahagiakan, terhindar dari masalah
kesehatan (Astusti, 2007)
e. Apabila ketergantungan tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan beberapa
akibat seperti gangguan sistem tubuh, timbulnya penyakit, menurunnya Activity
of Daily Living (ADL). Penurunan Activity of Daily Living (ADL) disebabkan
oleh persendian yang kaku, pergerakan yang terbatas, waktu bereaksi yang
lambat, keseimbangan tubuh yang jelek, gangguan peredaran darah, keadaan yang
tidak stabil bila berjalan, gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
(Setiabud dan Hardywinoto, 1999).
f. Permasalahan yang berkaitan dengan lansia antara lain, pengaruh proses menua
dapat menimbulkan masalah secara fisik karena semakin lanjut usia seseorang,
maka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik. Selain
kemunduran kemampuan fisik juga mengakibatkan penurunan pada peranan-
peranan sosialnya (Nugroho, 2000).

F-2
a. Olahraga usia lanjut perlu diberikan dengan berbagai patokan, antara lain beban
kerja ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik dan atau kalistenik
tidak kompetitif atau bertanding (Bandiyah, 2009).
b. Senam lansia adalah senam dengan gerakan ringan, dilakukan secara
berkesinambungan, dan lazimnya disarankan untuk usia 40 tahun ke atas
(Ismawati, 2010).
c. Prinsip olahraga usia lanjut sama dengan prinsip olahraga pada umumnya, yang
membedakan adalah berkaitan dengan reaksi tubuh yang relatif lebih lamban.
Oleh karena itu, jangka waktu dan beban latihan harus disesuaikan (kusmana,
2002)
d. Faktor yang murni milik lanjut usia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh
adalah muskuloskeletal. Senam lansia ditujukan untuk penguatan, daya tahan, dan
kelenturan tulang dan sendi, sehingga sistem maskuloskeletal yang menurun dapat
diperbaiki. Selain itu senam lansia bermanfaat untulk memelihara kebugaran
jantung dan paru (Reuben, 1996).
SPIDER WEB
Spider web ADL pada Lansia

Keaslian Penulisan
Penelitian tentang Senam Lansia dan aktivitas kelhidupan sehari-hari (activity of daily
living-ADL) telah beberapa kali dilakukan, sebagaimana tercantum dalam tabel
berikut.
No Judul Karya Ilmiah & Variabel Jenis Penelitian Hasil
Penulis
1 Hubungan Senam Lansia - Senam lansia Kuantitatif Ada hubungan
dengan Kebugaran Lansia - Tanda vital signifikan antara
(Palestin, 2006) lansia senam lansia
dengan tingkat
kebugaran lansia
2 Pengaruh Senam Aerobik - Latihan senam Kuantitatif Senam aerobic
terhadap Peningkatan aerobic praeksperimental memiliki pengaruh
Kebugaran Wanita - Peningkatan yang signifikan
Menopause kebugaran pada peningkatan
(Hartini, 2007) kebugaran
(stabilisasi nadi, RR,
tekanan darah dan
manapouse
syndrome)
3 Pangaruh Senam Lansia - Senam lansia Observational Ada hubungan
terhadap Kebugaran - Kebugaran rancangan antara senam
Jasmani pada Lansia (stabilisasi nadi, analitik lansia dengan
(Rochman, 2009) RR, tekanan kebugaran jasmani
darah)
4 Manfaat Senam terhadap - Senam tera Kuantitatif Senam tera
Kebugaran Lansia - Kebugaran praeksperimental berpegaruh dalam
Kartinah, menstabilkan kadar
2008) immunoglobulin
5 Perbedaan Pengaruh - Senam otak Quasi Senam otak dan
Senam Otak dan Senam - Senam lansia eksperimen senam lansia
Lansia terhadap - Keseimbangan memberikan hasil
Keseimbangan pada yang positif
Orang Lanjut Usia terhadap
(Herawati, kesehatan lansia.
2008)
6 Hubungan antara - Karakteristik Interestial Karakteristik
Karakteristik Personal personal analitik personal memiliki
dengan Kemandirian - Kemandirian eksperimen hubungan yang
dalam activity of daily dalam activity of signifikan dengan
living (ADL) pada Lansia daily living kemandirian dalam
(Fathur,2007) activity of daily
living (ADL)
7 Hubungan antara Tingkat - Tingkat depresi Deskriptif analitik Ada hubungan yang
Depresi dengan dengan kolerasi signifikan dengan
Kemampuan Aktivitas kemampuan interpretasi
Dasar Sehari-Hari aktivitas dasar korelasi negative
Pada Lansia sehari-hari antara tingkat
(Firmannulah, 2010) depresi dengan
kemampuan
aktivitas sehari-hari
pada lanjut usia.
8 Pengaruh Pemberian - Pemberian Deskriptif Penyuluhan
Penyuluhan Kesehatan penyuluhan dengan kesehatan dapat
terhadap Perubahan kesehatan pendekatan meningkatkan
Pengetahuan dan Sikap - Perubahan eksperimen pengetahuan lansia
tentang Activity of Daily pengetahuan korelasional tentang ADL
Living (ADL) pada lansia Activity of Daily
(Setyowati, 2009) Living
- Sikap Activity of
Daily Living
9 Pengaruh Pembelajaran - Pembelajaran Kuantitatif Pembelajaran
Terbimbing terhadap terbimbing praeksperimental terbimbing
Tingkat Kemandirian ADL - Kemandirian memiliki pengaruh
Lansia Activity of Daily yang signifikan
(Kusrumentahingtyas, Living (ADL) terhadap tingkat
2010) kemandirian ADL
lansia
10 Hubungan antara Tingkat - Tingkat depresi Studi korelasi Ada hubungan
Depresi dengan ketergantungan antara tingkatan
ketergantungan dalam Activity of depresi dengan
dalam activity of daily Daily Living ketergantungan
living (ADL) dalam Activity of
(ADL) pada Lansia Daily Living (ADL)
(Aprinia,
2006)
11 Hubungan antara Gaya Gaya hidup Quasi- Terdapat hubungan
Hidup dengan Tingkat Tingkat eksperimental antara gaya hidup
Ketergantungan ketergantungan dengan tingkat
dalam Aktivitas dalam aktifitas ketergantungan
Kehidupan kehidupan sehari- dalam aktivitas
Sehari-hari Lansia hari kehidupan sehari-
hari lansia
12 Hubungan Karateristik Karakteristik Studi korelasi Ada hubungan
Demografi dengan demografi antara karakteristik
Kemandirian dalam kemandirian demografi dengan
activity daily living (ADL) dalam activity kemandirian dalam
pada Lansia (Sawika, daily living (ADL) activity daily living
2005) (ADL)

Sementara itu penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah tentang pengaruh
senam lansia (lama waktu pelaksanaan, intensitas, dan frekuensi) terhadap
peningkatan kemandirian ADL lansia. Variabel penelitian adalah lama waktu
pelaksanaan, intensitas senam lansia, frekuensi senam lansia dan ADL lansia. Jenis
penelitian yang akan senam lansia, dilakukan yaitu kuantitatif pra-eksperimental.
1. Masalah.
Pengaruh senam lansia terhadap kemandirian ADL lansia belum dapat
dijelaskan
2. Rumusan Masalah:
a. Apakah ada pengaruh durasi pelaksanaan senam lansia terhadap
kemandirian ADL lansia?
b. Apakah ada pengaruh intensitas senam lansia terhadap kemandirian ADL
lansia?
c. Apakah ada pengaruh frekuensi senam lansia terhadap kemandirian ADL
lansia?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum: Menjelaskan pengaruh senam lansia terhadap kemandirian
ADL lansia.
b. Tujuan Khusus:
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap durasi senam lansia.
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap intensitas senam lansia.
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap frekuensi senam lansia.
4. Manfaat
a. Manfaat Teoretis.
Hasil penelitian dapat menjelaskan pengaruh kemandirian ADL pada lansia.
b. Manfaat Praktis.
Senam lansia diharapkan dapat dilakukan sebagai usaha promotif, preventif,
dan rehabilitatif bagi lansia dalam menghadapi kemunduran ADL seiring
bertambahnya usia.
5. Judul
Pengaruh senam terhadap peningkatan kemandirian activity daily living (ADL)
lansia atau peningkatan kemandirian lansia dalam ADL dengan senam.
6. Kerangka konseptual
DAFTAR PUSTAKA

Burns & Grove. (1999). The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B.
Saunders Co.

Nursalam. (2002). Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan. Jakarta:


Sagung Seto.

__________2008a. Proses dan Dokumentasi Keperawatan: Konsep dan Praktis. Edisi


2. Jakarta: Salemba Medika.

__________2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan


Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Polit, D.E & Hungler, BP (1999). Nursing Research. Principle and Method.
Philadelphia: J.B Lippincott.

Polit DF & Back, CT (2012). Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice 9th Philadelphia: JB. Lippincott.

Soeparto R Putra ST, Haryanto. (2000). Filsafat llmu Kedokteran. Surabaya:


GRAMIK & RSUD Dr. Soetomo Surabaya,

Sastroasmoro,S. dan S. Ismail. (1995). Dasar Dasar Metodologi Penelitian Klinis,


Jakarta: Binarupa Aksara
Bab 4

Kerangka Konsep dan


Hipotesis penelitian

MENYUSUSN KERANGKA KONSEP

Tahap penting dalam satu penelitian adalah menyusun kerangka konsep. Konsep
adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu
teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun
yang tidak diteliti). Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil
penemuan dengan teori.
Untuk memudahkan, suatu konsep dari suatu istilah dapat dicermati pada
batasan istilahnya. Misalnya, untuk memahami konsep keperawatan maka perlu
dicermati batasan keperawatan. Keperawatan merupakan ilmu yang mempelajari
sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang menurut Maslow adalah
FAKHA: Fisiologis, Aman, Kasih sayang, Harga diri, dan Aktualiasasi diri serta upaya
untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar tersebut sebagai respons sakit yang
dialami oleh klien. Konsep ilmu keperawatan selalu didasarkan pada kajian paradigma
tentang empat hal, yaitu manusia, sehat/sakit, lingkungan, dan keperawatan.

Penyusunan Kerangka Konseptual dalam Penelitian


Dasar Penyusunan Kerangka Konsep
Cara penyusunan kerangka konseptual penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Harus dibedakan pengertian kerangka konsep dan kerangka operasional.
a. Kerangka konsep: konsep yang dipakai sebagai landasan berpikir dalam
kegiatan ilmu.
b. Kerangka operasional (kerangka kerja): langkah-langkah dalam aktivitas
ilmiah, mulai dari penetapan populasi, sampel, dan seterusnya, yaitu kegiatan
sejak awal dilaksanakannya penelitian.
2. Mengumpulkan semua sumber dan menyeleksi penelitian yang telah
dipublikasikan, konsep, atau teori (melalui theoretical mapping).
3. Mengidentifikasi dan mendefinisikan semua variabel riset, mengategorikan ke
dalam kelompok (independent, dependent, intervening, confounding, control and
random variable).

Langkah Penyusunan
1. Seleksi dan definisikan konsep yang dimaksudkan
2. Identifikasikan teori yang digunakan sebagai dasar penelitian.
a. Peneliti ingin meneliti perilaku klien dalam perawatan, maka dapat dipilih
teori Lawrence W. Green, yang meliputi: predisposing, enabling, dan
reinforcing.
b. Pemenuhan kebutuhan pada perawatan diri: makan, minum, berpakaian,
eliminasi, mandi, maka ditetapkan teori yang dipilih adalah teori Orem
tentang defisit perawatan diri (self care deficit).
3. Gambarkan hubungan antarvariabel dengan garis berarah
a. Arah (Direction). Dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah.
b. Tempat (Position)
c. Tanda dan simbol (Sign & Symbol). Digaris putus-putus untuk yang
diteliti ( ); digaris jelas untuk variabel dalam kotak yang diteliti
( ); dan digaris putus-putus untuk variabel yang tidak diteliti (
)
d. Keterangan setiap tujuan penelitian
 Hubungan/Hipotesis (A_ _ _B)
 Pengaruh ( A B)
 Sebab akibat ( A B)
Contoh
Kerangka Konsep
Pengaruh Penerapan Teori Adaptasi terhadap Peningkatan Kinerja Perawat pada Klien
Anak dengan Asma Bronkial (Nursalam, 2003)
Peneliti perla menjelaskan tentang pengaruh penerapan teori adaptasi dalam
meningkatkan kinerja perawat anak dan meningkatkan sistem imunitas anak dengan
asma bronkial serta keterkaitan beberapa variable.

MENYUSUN HIPOTESIS PENELITIAN


Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan penelitian.
Menurut La Biondo-Wood dan Haber (2002) hipotesis adalah suatu pernyataan asumsi
tentang hubungan antara dua atau lebih variabel yang diharapkan bisa menjawab suatu
pertanyaan dalam penelitian. Setiap hipotesis terdiri atas suatu unit atau bagian dari
permasalahan.
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS

Gambar 4.1. kerangka konseptual pengaruh bladder-retention training terhadap perubahan


kemampuan dan enuresis pada anak usia sekolah (Walida, 2007)

Hipotesis disusun sebelum penelitian dilaksanakan karena hipotesis akan bisa


memberikan petunjuk pada tahap pengumpulan, analisis, dan interpretasi data. Uji
hipotesis artinya menyimpulkan suatu ilmu melalui suatu pengajuan dan pernyataan
secara ilmiah atau hubungan yang telah dilaksanakan penelitian sebelumnya.
Untuk mengetahui signifikansi (p) dari suatu hasil statistik (Hypothesis test),
maka kita dapat menentukan tingkat signifikansi: (p) 0,05 (1 kemungkinan untuk 20);
0,01 (1 untuk 100); dan 0,001 (1 untuk 1.000), Adapun yang sering digunakan adalah
signifikansi level 0,05. Dengan menentukan signifikansi ini maka kita dapat mentukan
apakah hipotesis akan diterima atau ditolak (ika p< 0.05) (Voelker & Orton, Adam
2011).

Syarat Hipotesis
1. Relevance Hipotesis harus relevan dengan fakta yang akan diteliti.
2. Testability: Memungkinkan untuk dilakukannya observasi dan bisa diukur
3. Compatibility: Hipotesis baru harus konsisten dengan hipotesis di lapangan
yang sama dan telah teruji kebenarannya, sehingga setiap hipotesis akan
membentuk suatu system
4. Predictive Artinya hipotesis yang baik mengandung daya ramal tentang apa
yang akan terjadi atau apa yang akan ditemukan.
5. Simplicity: Harus dinyatakan secara sederhana, mudah dipahami, dan mudah
dicapai.

Tujuan Hipotesis
1. Untuk menghubungkan antara teori dan kenyataan, dalam hal ini hipotesis
menggabungkan dua domain.
2. Sebagai suatu alat yang ampuh untuk pengembangan ilmu selama hipotesis
bisa menghasilkan suatu penemuan (discovery).
3. Sebagai suatu petunjuk dalam mengidentifikasi dengan menginterpretasi suatu
hasil.

Sumber Hipotesis
Hipotesis didapatkan dari suatu fenomena atau masalah yang nyata, analisis teori, d
mengulas literatur.
1. Pengalaman praktik. Diagnosis keperawatan bisa menjadi suatu dasar
pengembangan hipotesis. Misal hubungan teoretis yang diidentifikasi Orem
tahun 1985 dalam Polit & Back (2012) tentang teori perawatan diri dan
kurangnya kebersihan dalam melakukan perawatan luka sehubungan dengan
adanya nyeri pada sendi dan keterbatasan pergerakan/mobilitas. Pertama, kita
dapat menguji tentang efektivitas dari tindakan dalam mengurangi nyeri sendi
dan meningkatkan mobilitas dan dampak perawatan individual. Contoh
penulisan hipotesis meliputi: Klien artritis yang menggunakan pengobatan
relaksasi akan mengalami penurunan rasa nyeri dan membutuhkan waktu yang
relatif lebih sedikit dalam pengobatannya dibandingkan dengan klien
yang tidak mendapatkan terapi relaksasi.
2. Teori.
Hubungan yang digunakan dalam suatu teori dapat menjadi dasar penyusunan
hipotesis. Jika seorang peneliti tertarik melakukan pengujian terhadap suatu
pernyataan dalam teori, akan membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan praktik perawatan.
3. Kajian literature
Pada kajian literatur, peneliti menganalisis dan menyintesis hasil dari berbagai
penelitian. Hubungan yang diidentifikasi dari sintesis dalam suatu penemuan
sangat berguna untuk penyusunan hipotesis. Nursalam tahun 2007, meneliti
pengaruh pendakatan Asuhan keperawatan terhadap respons pasien terinfeksi
HIV and AIDS, hipotesis yang digunakan berdasarkan konsep teori
psikoneuroimunologi dan adaptasi.

Tipe Hipotesis
Perbedaan tipe hubungan dan jumlah variabel didentifika dalam hipotesis Penelit
mungkin mempunyai satu, tiga, atau lebih hipotesis, bergantung pada kompleknya
suatu penelitian.
1. Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengakuran statistk
dan interpretasi hasil statistik. Hipotesia nol dapat sederhana atau kompleks
dan bersifat sebab atau akibat. Misal pengaruh tr adagtasi terhadap perbuikan
kinerja perawat anak. Maka dalam H0 tidak adanya pengaruh penrapn teori
adaptas dalam asuhan keperawatan terhadap perbaikan kinerja perawat anak
2. Hipotesis alternatif (Ha/H) adalah hipotesis penelitian. Hipotesia ini
menyatakan adanya suatu hubungan. pengaruh, dan perbedaan antars dua stau
lebih variable. Hubungan, perbedaan, dan pengaruh tersebut daput sederhana
atau kompleks, dan bersifat sebab akibat Misalnya, ada pengaruh antara senam
nifas dan proses involusi pada bu pascasalin. Ada perbedaan tingkat kecemasan
antars klien laki-laki dan perempuan pada infark miokard akut (IMA)

KONSEP SELP-CARE
Teori keperawatan perawatan mandiri (self-care) dikemukakan oleh Dorothea E. Orem
pada tahun 1971 dan dikenal dengan teori defisit perawatan diri (self-care deficit
nursing theory SCDNT) (Delaune & Ladner, 2002). Teori SCDNT sebagai teori besar
yang mempunyai komponen teori yaitu teori self-care, teori self-care deficit, dan teori
Nursing System (Alligood & Tomey, 2006). Orem (1985) dalam Richardson (1992)
menyebutkan bahwa :
“Self care is the production of actions directed to self or to the environment in order
to regulate one's functioning in the interest of ones life, integrated functioning and
well-being"

Dari pernyataan di atas, self-care diartikan sebagai wujud perilaku seseorang


dalam menjaga kehidupan, kesehatan, perkembangan, dan kehidupan di sekitarnya
(Baker & Denyes, 2008). Self-care merupakan perilaku yang dipelajari dan merupakan
suatu tindakan sebagai respons atas suatu kebutuhan (DeLaune & Ladner, 2002). Pada
konsep self care, Orem menitikberatkan bahwa seseorang harus dapat bertanggung
jawab terhadap pelaksanaan self care untuk dirinya sendiri dan terlibat dalam
pengambilan keputusan untuk kesehatannya (Alligood & Tomey, 2006). Kebutuhan
seseorang untuk terlibat dalam perawatan diri dan mendapatkan perawatan disebut
sebagai therapeutic Self-Care Demand (Delaune & Ladner, 2002), Self-care
berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan individu, bergantung pada
kebiasaan seseorang, kepercayaan yang dimiliki dan budaya, termasuk biopsikososial-
spiritual (Becker, Gates, & Newsom, 2004; Larsen & Lubkin, 2009).
Self-care dalam konteks pasien dengan penyakit kronis merupakan hal yang
kompleks dan sangat dibutuhkan untuk keberhasilan manajemen serta kontrol dari
penyakit kronis tersebut (Larsen & Lubkin, 2009). Self-care dapat digunakan sebagai
teknik pemecahan masalah dalam kaitannya dengan kemampuan koping dan kondisi
tertekan akibat penyakit kanker. Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa
self-care meningkatkan kuailtas hidup dengan menurunkan nyeri, kecemasan, dan
keletihan; meningkatkan kepuasa pasien, serta menurunkan penggunaan tempat
pelayanan kesehatan dengan menurunkan jumlah kunjungan ke dokter, kunjungan
rumah, penggunaan obat, dan lama rawat inap di rumah sakit.

KONSEP SELP-CARE AGENCY


Self care agency adalah kemampuan atau kekuatan yang dimiliki oleh seorang individu
untuk mengidentifikasi, menetapkan, mengambil keputusan dan melaksanakan self
care (Alligood & Tomey, 2006; Taylor & Renpenning, 2011). Orem mengidentifikasi
sepuluh faktor dasar yang memengaruhi self care agency (basic conditioning factor)
yaitu usia, gender, tahap perkembangan, tingkat kesehatan, pola hidup, sistem
pelayanan kesehatan, sistem keluarga, dan lingkungan eksternal (Alligood & Tomey,
2006). Perawat harus bisa mengidentifikasi self-care therapeutic demand dan
perkembangan serta tingkat self care agency dari seorang individu karena self care
therapeutic demand dan self care agency berdampak self-care deficit pada seorang
individu (Gambar 2.3) (Richardson, 1992). Interaksi antara perawat dengan klien akan
dapat terjadi jika klien mengalami self-care deficit, di sinilah muncul suatu nursing
agency (DeLaune & Ladner, 2002).

Gambar 4.2. Konsep Self Care (Alligood & Tomey, 2006).

Self-care agency perlu ditingkatkan oleh individu karena pelaksanaan self-care


membutuhkan pembelajaran, pengetahuan, motivasi, dan keterampilan atau skill
(Taylor & Renpenning, 2011). Self-care agency mengacu pada kemampuan kompleks
dalam melaksanakan self-care. Contoh dari self-care agency antara lain pengetahuan
tentang jenis makanan, pengetahuan tentang menjaga jalan napas tetap bebas, dan
penggunaan sistem bantuan untuk bersihan jalan napas (Baker & Denyes, 2008).
Kesadaran akan kebutuhan mendapatkan pengetahuan dan kemampuan untuk mencari
pengetahuan akan memengaruhi tindakan yang diambil oleh seorang individu (Taylor
& Renpenning.2011).
Struktur Self-care agency (Gambar 2.4) terdiri atas tiga karakteristik manusia
yang saling berhubungan, namun berbeda secara hierarki yaitu: (1) foundational
capabilities and dispositions (kemampuan dasar), (2) power components (komponen
kekuatan), dan (3) capabilities to perform self-care operation (kemampuan
melaksanakan self-care) (Baker & Denyes, 2008; Meleis, 2011; Taylor & Renpenning,
2011).

Gambar 4.3. struktur Self-care agency (Taylor & Renpenning, 2011).

Foundational capabilities and disposition merupakan pondasi dari self-care


agency, sedangkan pengetahuan tentang conditioning factors serta komponen power
berasal dari berbagai keilmuan dan penelitian. Self-care operation merupakan proses
pelaksanaan self-care, terdiri atas 1) estimative operation yang merupakan kegiatan
identifikasi atau investigasi; 2) transitional operation yaitu proses penilaian dan
pengambilan keputusan dan 3) productive operation yaitu proses pelaksanaan self-
care, termasuk di dalamnya proses kognitif dan kemampuan psikomotor (Taylor &
Renpenning, 2011).
Contoh dari karakteristik kemampuan dasar yang dimaksud dalam struktur self-
care agency salah satunya adalah intelegensia seseorang, sedangkan contoh
karakteristik power adalah kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan dalam
melaksanakan self-care (Baker & Denyes, 2008). Orem menjelaskan bahwa tindakan
seseorang dipengaruhi oleh penilaian mereka tentang hal yang tepat untuk suatu situasi
dan keadaan. Seseorang yang melaksanakan tindakan harus mempunyai "sensory
knowledge" dan "awareness" tentang situasi tersebut sehingga mengacu pada
pengetahuan tersebut maka seseorang dapat mengambil keputusan untuk bertindak
(Meleis, 2011). Bagi orang yang menderita penyakit kronis, tindakan self-care
operation tercermin dalam aktivitas mereka dalam menaati terapi medis, dan gaya
hidup yang direkomendasikan, melaksanakan aktivitas sehari-hari yang disarankan,
melaksanakan tindakan pencegahan sesuai anjuran, menjalankan kegiatan ibadah yang
meningkatkan spiritualitas, serta melakukan kegiatan yang menyenangkan (Larsen &
Lubkin, 2009).

Pengukuran Self-Care Agency


Pengukuran terhadap komponen dari Self-Care Deficit Nursing Theory
(SCDNT) telah berkembang lebih dari dua puluh tahun. Pengukuran self-care agency
yang valid dan terpercaya merupakan hal yang vital bagi perkembangan SCDNT
sebagai salah satu teori keperawatan (Parker, 2001). Berbagai penelitian tentang self-
care agency dilakukan oleh para ahli keperawatan dengan menggunakan berbagai
instrumen. Beberapa di antaranya adalah Appraisal of Self-Care Agency (ASA) Scale,
Self-as-Carer Inventory (SCI), Denyes self-care agency instrument (DSCAI)
(Alligood & Tomey, 2006), The Exercise of Self-Care Agency (ESCA), The Perception
of Self-Care Agency Questionnaire, The Appraisal of Self-Care Agency Scale (ASA-
S), dan The Mental Health Self-Care Agency Scale (MH-SCA) (Sousa, Zauszniewski,
Zeller, & Neese, 2008; Taylor & Renpenning, 2011).
Denyes self-care agency instrument (DSCAI) dirancang untuk individu agar
dapat mengukur kekuatan dan keterbatasan yang dimiliki sehingga mampu mengambil
keputusan tentang hal yang harus dilakukan untuk memenuhi self-care-nya (Waltz,
Strickland, & Lenz, 2010). Instrumen ini dikembangkan oleh Denyes pada tahun 1988
dan pada awalnya digunakan untuk mengukur self-care agency pada populasi remaja
(Campbell & Soeken, 1999). Pada perkembangannya DSCAI digunakan untuk
mengukur self-care agency pada populasi orang dewasa, baik perempuan maupun laki-
laki, serta pada beberapa penyakit kronis seperti diabetes dan penyakit jantung koroner
(Sousa dkk., 2008). DSCAI terdiri atas 34 pertanyaan yang mengukur enam faktor
Foundational Capabilities and Disposition (FCD) dan tujuh komponen power.
Partisipan akan diminta untuk memilih di antara skala 0 (tidak sama sekali) sampai
100 (seluruhnya) atau memberi jawaban dengan persentase (Anderson, 2001).
Terdapat 6 kategori skala dalam DSCAI yaitu: ego strength, valuing of health, health
knowledge and decision making capability, energy, feelings, dan attention to health
(Denyes, 1990).

Contoh Kerangka Konsep Berbasis Self-Care (Orem) Self- Care Agency


(Kemandirian Orem) Penerapan pada Ibu Nifas dengan Menggunakan
Pendekatan Teori Self Care Model

Gambar 4.4. Kerangka konsep penelitian meningkatkan kemandirian ibu nifas dengan
menggunakan pendekatan teor self care model Orem (Mardiatun, 2012).

Berdasarkan teori keperawatan Self Care yang dikemukakan oleh Dorothea Orem,
pada dasarnya mempunyai kemampuan dalam merawat dirinya sendiri yang disebut
Self Care Agemcy. Self Care Agency dapat berubah setiap waktu yang dipengaruhi
oleh faktor predisposisi (predisposinggfactor) yang terdiri atas pengetahuan, sikap,
keyakinan pendidikan dan pekerjaan. Kedua, yaitu faktor pemungkin (enabling factor)
yang terdiri atas sarana prasarana dan jarak dengan pelayanan kesehatan. Ketiga, yaitu
faktor pendorong (reingiorcing factor) yang berupa peran dukungan keluarga dan
adanya aturan-aturan. Ketika terjadi defisit perawatan diri, peran perawat sebagai
Nursing Agency membantu untuk memaksimalkan kemampuan pelaksanaan
perawatan diri ibu post-partum melalui tindakan asuhan keperawatan mandiri perawat
berupa bantuan Supportive-Educative System dengan memberikan Guidance (Booklet)
and Teaching, untuk meningkatkan kemampuan atau kemandirian pelaksanaan
perawatan diri ibu (Self-Care Agency) terhadap kebutuhan perawatan diri ibu (Self-
Care Demand), seperti kemampuan memenuhi nutisi dan cairan, ambulasi, kebersihan
diri, perawatan perineum, perawatan payudara, miksi, dan defekasi.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. A. (2001). Understanding Homeless Adults by Testing the Theory of Self-
Care. Nursing Science Quarterly, 14(1), 59-67.

Alligood, M.R. and Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri: Mosby.

Baker. L. K., & Denyes, M. J. (2008). Predictors of Self-Care in Adolescents with


Cystic Fibrosis: A Test of Orem's Theories of Self-Care and Self-Care Deficit.
Journal of Pediatric Nursing, 23(1), 37-48.

Becker G., Gates, R. J., & Newsom E. (2004). Self-Care among Chronically Ill African
Americans: Culture, Health Disparities, and Health Insurance Status. American
Journal of Public Health, 94(12), 2066-2073.

Campbell, J. C., & Soeken, K. (1999). Forced Sex and Intimate Partner Violence:
Effects on Women's Health. Violence Against Women, 5(9), 1017-1035
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards and
practice. 2nd Ed. New York: Thomson Delmar Learning.

Denyes, M.J. (1980). Development of An Instrument to Measure Self-Care Agency in


Adolescents. Doctoral Dissertation, Wayne State University.

Larsen, P. D., & Lubkin, I. M. (2009). Chronic Illness: Impact and Intervention. 7th
Ed Sudbury: Jones and Bartlett Publishers.

Meleis, A.I. (2011). Theoretical Nursing: Development and Progress. 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Parker, M. E. (2001). Nursing Theories and Nursing Practice. Philadelphia: Davis


Company

Sousa V. D., Zauszniewski J. A., Zeller R. A., & Neese J. B. (2008). Factor Analysis
of The Appraisal of Self Care Agency Scale in American Adults with Diabetes
Mellitus. The Diabetes Educators, 34, 98-108
Taylor, s., & Renpenning, k. (2011). Self Care Science, Nursing Theory and Evidence
Based practice. New York: Springer Publishing Company, LLC

Waltz, C. F., Strickland, O. L., and Lenz, E. R. (2010). Measurement in Nursing and
Health Research, 4th ed. New York: Springer Publishing Company

KONSEP MODEL INTERAKSI MANUSIA (IMOGENE M. KING)

King mengidentifikasi kerangka kerja konseptual (conceptual framework) sebagai


sebuah kerangka kerja sistem terbuka, dan teori ini sebagai suatu pencapaian tujuan.
King mempunyai asumsi dasar terhadap kerangka kerja konseptualnya, bahwa
manusia seutuhnya (human being) sebagai sistem terbuka yang secara konsisten
berinteraksi dengan lingkungannya. Asumsi yang lain bahwa keperawatan berfokus
pada interaksi manusia dengan lingkungannya dan tujuan keperawatan adalah untuk
membantu individu dan kelompok dalam memelihara kesehatannya. Kerangka kerja
konseptual terdiri atas tiga sistem interaksi yang dikenal dengan Dynamic Interacting
Systems, meliputi: personal systems (individual), interpersonal systems (grup), dan
social systems (keluarga, sekolah, industri, organisasi sosial, sistem pelayanan
kesehatan, dan lain-lain).
Konsep Human Interaction Model ini dikembangkan pertama kali oleh Imogene
M. King pada tahun 1971 yang diawali dengan mengembangkan teori pencapaian
tujuan (Gheory of coal attainment). Teori pencapaian tujuan merupakan teori yang
bersifat terbuka dan dinamis, dengan sembilan konsep utama yang meliputi interaksi,
persepsi, komunikasi, transaksi, peran, stres, tumbuh kembang, waktu, dan ruang
(Alligood dan Tomey, 2006),
Asumsi dasar King tentang manusia seutuhnya (human being) meliputi sosial,
perasaan, rasional, reaksi, kontrol, tujuan, orientasi kegiatan dan orientasi pada waktu.
Dari kevakinannya tentang human being ini, King telah menderivat asumsi tersebut
lebih spesifik terhadap interaksi perawat-klien:
1. Persepsi dari perawat dan klien memengaruhi proses interaksi
2. Tujuan, kebutuhan-kebutuhan dan nilai dari perawat dan klien memengaruhi
proses interaksi
3. Individu mempunyai hak untuk mengetahui tentang dirinya sendiri.
4. Individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
dan hal tersebut memengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka serta
masyarakat.
5. Profesional kesehatan mempunyai tanggung jawab terhadap pertukaran
informasi sehingga membantu individu dalam membuat keputusan tentang
pelayanan kesehatannya.
6. Individu mempunyai hak untuk menerima atau menolak pelayanan kesehatan.
7. Tujuan dari profesional kesehatan dan tujuan dari penerima pelayanan
kesehatan dapat berbeda.
Human being mempunyai tiga dasar kebutuhan kesehatan yang fundamental:
1. Kebutuhan terhadap informasi kesehatan dan dapat dipergunakan pada saat
dibutuhkan.
2. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan bertujuan untuk pencegahan
penyakit.
3. Kebutuhan terhadap pelayanan kesehatan yang dibutuhkan ketika individu
tidak mampu untuk membantu dirinya sendiri.

Perawat dalam posisinya, membantu: apa yang mereka ketahui, apa yang mereka
pikirkan, bagaimana mereka merasakan dan bagaimana mereka melakukan kegiatan
untuk memelihara kesehatannya.

Kerangka Konsep Imogene M. King (Fadilah, 2009)

King mengemukakan dalam kerangka konsepnya, hampir setiap konsep yang dimiliki
oleh perawat dapat digunakan dalam asuhan keperawatan.

UMPAN BALIK

PERSEPSI

PERAWAT PENILAIAN

AKSI
REAKSI INTERAKSI TRANSAKSI

PERSEPSI

PERAWAT PENILAIAN

AKSI

UMPAN BALIK

Gambar 4.5 Kerangka Konsep Imogene M. King

Berdasarkan kerangka kerja konseptual (Conceptual Framework) dan asumsi dasar


tentang human being, King menderivatnya menjadi teori Pencapaian Tujuan (Theory
of Goal Attainment). Elemen utama dari teori Pencapaian Tujuan adalah interpersonal
systems, di mana dua orang (perawat-klien) yang tidak saling mengenal berada
bersama-sama di organisasi pelayanan kesehatan untuk membantu dan dibantu dalam
mempertahankan status kesehatan sesuai dengan fungsi dan perannya. Dalam sistem
interpersonal perawat-klien berinteraksi dalam suatu area (space). Menurut King,
intensitas dari system interpersonal sangat menentukan dalam menetapkan dan
pencapaian tujuan keperawatan.
Dalam interaksi tersebut terjadi aktivitas-aktivitas yang dijelaskan sebagai sembilan
konsep utama, di mana konsep-konsep tersebut saling berhubungan dalam setiap
situasi praktik keperawatan, meliputi:
1. Interaksi, King mendefinisikan interaksi sebagai suatu proses dari persepsi dan
komunikasi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok,
individu dengan lingkungan yang dimanifestasikan sebagai perilaku verbal dan
nonverbal dalam mencapai tujuan.
2. Persepsi diartikan sebagai gambaran seseorang tentang realita, persepsi
berhubungan dengan pengalaman yang lalu, konsep diri, sosial ekonomi,
genetika, dan latar belakang pendidikan.
3. Komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian informasi dari
seseorang kepada orang lain secara langsung maupun tidak langsung.
4. Transaksi diartikan sebagai interaksi yang mempunyai maksud tertentu dalam
pencapaian tujuan. Transaksi yang dimaksud adalah pengamatan perilaku dari
interaksi manusia dengan lingkungannya.
5. Peran merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dari posisi
pekerjaannya dalam sistem sosial. Tolak ukurnya adalah hak dan kewajiban
sesuai dengan posisinya. Jika terjadi konflik dan kebingungan peran maka akan
mengurangi efektivitas pelayanan keperawatan.
6. Stres diartikan sebagai suatu keadaan dinamis yang terjadi akibat interaksi
manusia dengan lingkungannya. Stres melibatkan pertukaran energi dan
informasi antara manusia dengan lingkungannya untuk keseimbangan dan
mengontrol stresor.
7. Tumbuh kembang adalah perubahan yang kontinu dalam diri individu.
Tumbuh kembang mencakup sel, molekul, dan tingkat aktivitas perilaku yang
kondusif untuk membantu individu mencapai kematangan.
8. Waktu diartikan sebagai urutan dari kejadian/peristiwa ke masa yang akan
datang. Waktu adalah perputaran antara satu peristiwa dengan peristiwa yang
lain sebagai pengalaman yang unik dari setiap manusia.
9. Ruang adalah sebagai suatu hal yang ada di mana pun sama. Ruang adalah area
di mana teriadi interaksi antara perawat dengan klien (Fadilah, 2009).

Konsep Interaksi Manusia Imogene M. King

King mendefinisikan interaksi sebagai suatu proses dari persepsi dan komunikasi
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, individu dengan
lingkungan yang dimanifestasikan sebagai perilaku verbal dan nonverbal dalam
mencapai tujuan (Alligood dan Tomey, 2006). Di dalam arti kamus, interaksi berarti
sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh dua orang atau lebih di dalam
hubungan timbal balik (King, 2006).
Menurut king setiap individu adalah sistem personal (sistem terbuka). Untuk
system personal konsep yang relevan adalah persepsi, diri, pertumbuhan, dan
perkembangan, citra tubuh, dan waktu
1. Persepsi.
Persepsi adalah gambaran seseorang tentang objek, orang, dan kejadian-
kejadian. Persepsi berbeda dari satu orang ke orang lain dan hal ini tergantung
dengan pengalaman masa lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosi.
Karakteristik persepsi adalah universal atau dialami oleh semua, selektif untuk
semua orang, subjektif, atau personal.
2. Diri.
Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi benda-benda dan orang
lain.Diri adalah individu atau bila seseorang berkata "AKU”. Karakteristik diri
adalah individu yang dinamis, sistem terbuka, dan orientasi pada tujuan.
3. Pertumbuhan dan perkembangan.
Tumbuh kembang meliputi perubahan sel, molekul, dan perilaku manusia.
Perubahan ini biasanya terjadi dengan cara yang tertib dan dapat diprediksikan
walaupun individu itu bervariasi, serta dipengaruhi fungsi genetik, pengalaman
yang berarti dan memuaskan. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai
proses dii seluruh kehidupan seseorang di mana dia bergerak dari potensial
untuk mencapai aktualisasi diri.
4. Citra tubuh.
King mendefinisikan citra diri yaitu bagaimana orang merasakan tubuhnya dan
reaksi-reaksi lain untuk penampilannya.
5. Ruang.
Ruang adalah universal sebab semua orang punya konsep ruang; personal atau
subjektif yaitu bersifat individual; situasional, tergantung dengan hubungannya
dengan situasi, jarak, dan waktu; serta transaksional atau berdasarkan pada
persepsi individu terhadap situasi. Definisi secara operasional, ruang meliputi
ruang yang ada untuk semua arah, didefinisikan sebagai area fisik yang disebut
territory dan perilaku orang yang menempatinya.
6. Waktu.
King mendefisikan waktu sebagai lama antra satu kejadian dengan kejadian
yang satu lain merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara
satu kejadian dengan kejadian yang lain.
Sistem Interpersonal

King mengemukakan sistem interpersonal terbentuk oleh interaksi antara manusia


Interaksi antar dua orang disebut Dyad, tiga orang disebut Triad, dan empat orang
disebut Group. Konsep yang relevan dengan sistem interpersonal adalah interaksi,
komunikasi, transaksi, peran dan stres.
1. Interaksi.
Interaksi didefinisakan sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh dua
orang atau lebih di dalam hubungan timbal balik
2. Komunikasi.
King mendefinisikan komunikasi sebagai proses di mana informasi yang
diberikan dari satu orang ke orang lain, baik langsung maupun tidak langsung,
misalnya melalui telepon, televisi, atau tulisan kata. Ciri-ciri komunikasi adalah
verbal, nonverbal, situasional, perseptual, transaksional, tidak dapat diubah,
bergerak maju dalam waktu, personal, dan dinamis. Komunikasi dapat dilakukan
secara lisan maupun tertulis dalam menyampaikan ide-ide dari satu orang ke orang
lain. Aspek perilaku nonverbal yang sangat penting adalah sentuhan. Aspek lain
dari perilaku adalah jarak, postur, ekspresi wajah, penampilan fisik, dan gerakan
tubuh.
3. Transaksi.
Ciri-ciri transaksi adalah unik, karena setiap individu mempunyai realitas personal
berdasarkan persepsi mereka. Dimensi temporal-spasial, mereka mempunyai
pengalaman atau rangkaian-rangkaian kejadian dalam waktu.
4. Peran.
Peran melibatkan sesuatu yang timbal balik di mana seseorang pada suatu saat
sebagai pemberi dan di saat yang lain sebagai penerima ada tiga elemen utama
peran yaitu, peran berisi set perilaku yang diharapkan pada orang yang menduduki
posisi di sistem sosial, set prosedur atau aturan yang ditentukan oleh hak dan
kewajiban yang berhubungan dengan prosedur atau organisasi, dan hubungan
antara dua orang atau lebih berinteraksi untuk tujuan pada situasi khusus.
5. Stres.
Definisi stres menurut King adalah suatu keadaan yang dinamis di mana pun
manusia berinteraksi dengan lingkungannya untuk memelihara keseimbangan
pertumbuhan, perkembangan dan perbuatan yang melibatkan pertukaran energy
dan informasi antara seseorang dengan lingkungannya untuk mengatur stresor.
Stres adalah suatu yang dinamis sehubungan dengan sistem terbuka yang terus-
menerus terjadi pertukaran dengan lingkunagn, intensitasnya bervariasi, ada
dimensi yang temporal-spasial yang dipengaruhi oleh pengalaman lalu,
individual, personal, dan subjektif.
6. Sistem sosial.
King mendefinisikan sistem sosial sebagai sistem pembatas peran organisasi
sosisal, perilaku, dan praktik yang dikembangkan untuk memelihara nilai-nilai
dan mekanisme pengaturan antara praktk-praktik dan aturan yang relevan dengan
sistem sosial adalah organisasi, otoritas, kekuasaan, status, dan (George, 1995).
Konsep yang relevan dengan system social adalah organisasi, otoritas, kekuasaan,
status, dan pengambilan keputusan.
1) Organisasi.
Organisasi bercirikan struktur posisi yang berurutan dan aktivitas yang
berhubungan dengan pengaturan formal dan informal seseorang dan kelompok
untuk mencapai tujuan personal atau organisasi.
2) Otoritas.
King mendefinisikan otoritas atau wewenang, bahwa wewenang itu aktif,
proses transaksi yang timbal balik di mana latar belakang, persepsi, nilai-nilai
dari pemegang memengaruhi definisi, validasi, dan penerimaan posisi di dalam
organisasi berhubungan dengan wewenang.
3) Kekuasaan.
Kekuasaan adalah universal, situasional, atau bukan sumbangan personal,
esensial dalam organisasi, dibatasi oleh sumber-sumber dalam suatu situasi,
dinamis, dan orientasi pada tujuan.
4) Pembuatan keputusan.
Pembuatan atau pengambilan keputusan bercirikan untuk mengatur setiap
kehidupan dan pekerjaan, orang, universal, individual, personal, subjektif,
situasional, proses yang terus-menerus, dan berorientasi pada tujuan.
5) Status.
Status bercirikan situasional, posisi ketergantungan, dapat diubah. King
mendefinisikan status sebagai posisi seseorang di dalam kelompok atau
kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain di dalam organisasi dan
mengenali bahwa status berhubungan dengan hak-hak istimewa, tugas-tugas,
dan kewajiban.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R.& Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Their Work.6 ed.
Missouri: Mosby

George, J. B. 1995. Nursing Theories: A Base for Professional Nursing Practice.


Connecticut: Appleton and Lange.

King, IM. 2006. Part One: Imogene M. King's Theory of Goal Attainment. Dalam M.E
Parker, Nursing theories and nursing practice (2nd ed., Hlm. 235-243).
Philadelphia: FA. Davis.

FAMILY-CENTERED NURSING (FRIEDMAN, 2003)

Praktik keluarga sebagai pusat keperawatan (family-centered nursing) didasarkan pada


perspektif bahwa keluarga adalah unit dasar untuk perawatan individu dari anggota
keluarga dan dari unit yang lebih luas. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah
komunitas dan masyarakat, mempresentasikan perbedaan budaya, rasial, etnik, dan
sosioekonomi. Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor sosial,
ekonomi, politik, dan budaya ketika melakukan pengkajian, perencanaan,
implementasi, dan evaluasi perawatan pada anak serta keluarga (Hitchcock, Schubert,
Thomas, 1999).
Penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan pendekatan family-centered
nursing salah satunya menggunakan Friedman Model. Pengkajian dengan model ini
melihat keluarga sebagai subsistem dari masyarakat (Allender & Spradley, 2005).
Proses keperawatan keluarga meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan, intervensi,
implementasi, dan evaluasi.
Keluarga merupakan entry point dalam pemberian pelayanan kesehatan di
masyarakat, untuk menentukan risiko gangguan akibat pengaruh gaya hidup dan
lingkungan. Potensi dan keterlibatan keluarga menjadi makin besar, ketika salah satu
anggota keluarganya memerlukan bantuan terus menerus karena masalah
kesehatannya bersifat kronik, seperti misalnya pada penderita pascastroke. Praktik
keluarga sebagai pusat keperawatan (family-centered nursing), didasarkan pada
perspektif bahwa keluarga unit dasar untuk keperawatan individu dari anggota
keluarga. Keluarga adalah unit dasar dari sebuah komunitas dan masyarakat,
mempresentasikan perbedaan budaya, relasi, lingkungan, dan sosioekonomi.
Aplikasi dari teori ini termasuk mempertimbangkan faktor sosial, ekonomi,
lingkungan, tipe keluarga, dan budaya ketika melakukan pengkajian dan perencanaan,
implementasi dan evaluasi perawatan pada anak dan keluarga (Hitchcock, Schubert &
Thomas 1999; Friedman dkk, 2003). Penerapan asuhan keperawatan keluarga dengan
pendekatan family-centered nursing, salah satunya menggunakan pendekatan proses
keperawatan yang didasarkan pada Friedman model. Pengkajian dengan model ini,
melihat keluarga dengan subsistem dari masyarakat (Friedman dkk, 2003; Allender
dan Spradley 2005). Proses keperawatan keluarga dengan fokus pada keluarga sebagai
klien (Family-Centered Nursing), meliputi: pengkajian, diagnosis keperawatan,
intervensi, implementasi dan evaluasi.
(1) Asuhan keperawatan keluarga, difokuskan pada peningkatan kesehatan seluruh
anggota keluarga, melalui perbaikan dinamika hubugan internal keluarga,
struktur dan fungsi keluarga yang terdiri atas efeksi, sosialisasi, reproduksi,
ekonomi, dan perawatan kesehatan bagi anggota keluarga untuk dapat merawat
anggota keluarganya yang sakit dan bagi anggota keluarga yang lain agar tidak
tertular penyakit, serta adanya interdependensi antaranggota keluarga sebagai
suatu sistem, dan meningkatkan hubungan keluarga dengan lingkungannya
(Friedman dkk, 2003).
(2) Tujuan dari asuhan keperawatan keluarga memandirikan keluarga dalam
melakukan pemeliharaan kesehatan para anggotanya, untuk itu keluarga harus
melakukan 5 tugas kesehatan keluarga, di antaranya yaitu: mampu memutuskan
tindakan kesehatan yang tepat bagi keluarga, mampu merawat anggota keluarga
yang mengalami gangguan kesehatan, mampu mempertahankan suasana di
rumah yang sehat, atau memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan
anggota keluarga; mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di
sekitarnya bagi keluarga (Bailon dan Maglaya dalam Freeman, 1981). Keluarga
merupakan suatu sistem, di mana jika salah satu anggota keluarga bermasalah,
akan mempengaruh sistem anggota keluarga yang lain, begitupun sebaliknya
(Stanhope & Lancaster, 2004). Masalah individu dalam keluarga diselesaikan
melalui intervensi keluarga dengan keterlibatan aktif anggota keluarga lain.
Dengan demikian, melalui intervensi keluarga, yakini keluarga yang sehat, maka
akan membuat komunitas atau masyarakat menjadi sehat, karena keluarga
merupakan subsistem dari komunitas (Friedman dkk, 2003; Stanhope &
Lancaster, 2004).
(3) Ada beberapa alasan mengapa keluarga menjadi salah satu sentral dalam
perawatan yaitu: (1) keluarga sebagai sumber dalam perawatan kesehatan; (2)
masalah kesehatan individu akan berpengaruh pada anggota keluarga yang
lainnya; (3) keluarga merupakan tempat berlangsungnya komunikasi individu
sepanjang hayat, sekaligus menjadi harapan bagi setiap anggotanya; (4)
penemuan kasus-kasus suatu penyakit sering diawali dari keluarga; (5) anggota
keluarga lebih mudah menerima suatu informasi, jika informasi tersebut
didukung oleh anggota keluarga lainnya, dan (6) keluarga merupakan support
system bagi individu (Friedman dkk, 2003).
Pendekatan yang dilakukan dalam asuhan keperawatan keluarga adalah
proses keperawatan yang terdiri atas pengkajian individu dan keluarga,
perumusan diagnosis keperawatan, penyusunan rencana asuhan keperawatan,
pelaksanaan dan evaluasi dari tindakan yang telah dilaksanakan (Friedman dkk,
2003).
a. Pengkajian.
Adalah suatu tahapan di mana seorang perawat mendapatkan informasi secara
terus-menerus, terhadap anggota keluarga yang dibinanya.
b. Diagnosis keperawatan.
Data yang telah dikumpulkan pada tahap pengkajian, selanjutnya dianalisis,
sehingga dapat dirumuskan diagnosis keperawatannya. Rumusan diagnosis
keperawatan keluarga ada tiga jenis, yaitu diagnosis aktual, risiko, dan potensial.
Etiologi dalam diagnosis keperawatan keluarga didasarkan pada pelaksanaan lima
tugas kesehatan (Friedman dkk., 2003)
c. Perencanaan.
Perencanaan keperawatan keluarga terdiri atas, penetapan tujuan yang mencakup
tujuan umum dan tujuan khusus, dilengkapi dengan kriteria dan standar serta
rencana tindakan. Penetapan tujuan dan rencana tindakan dilakukan bersama
dengan keluarga, karena diyakini bahwa keluarga bertanggung jawab dalam
mengatur kehidupannya, dan perawat mambantu menyediakan informasi yang
relevan untuk memudahkan keluarga mengambi keputusan (Carey, dikutip dalam
Friedman dkk, 2003).
d. Implementasi.
Implementasi keperawatan dinyatakan untuk mengatasi masalah kesehatan dan
dituinkan nada lima tugas kesehatan keluarga dalam rangka menstimulasi
kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah kesehatannya. Di samping
itu menstimulasi keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat, memberi
kemampuan dan kepercayaan diri pada keluarga, dalam merawat anggota keluarga
yang sakit, serta membantu keluarga menemukan bagaimana cara membuat
lingkungan menjadi sehat, dan memotivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas
kesehatan yag tersedia (Bailon & Magalaya, dikutip dalam Freman 1981;
Friedman dkk, 2003)
e. Evaluasi.
Evaluasi pada asuhan keperawatan keluarga dilakukan untuk menilai tingkat
kognitif, afektif, dan psikomotor keluarga (Friedman dkk, 2003). Evaluasi perlu
pada setiap tindakan, untuk mengetahui apakah suatu tindakan keperawatan tidak
diperlukan lagi, menambah ketepatgunaan dari tindakan yang dilakukan dan
perlunya tindakan keperawatan lain untuk menyelesaikan masalah. Proses
evaluasi yang digunakan peneliti untuk menilai tingkat kemandirian keluarga,
berdasarkan kriteria keluarga mandiri dari Depkes RI (2006). Kriteria ini akan
dibahas lebih mandalam pada konsep kemandirian keluarga merawat anggota
keluarga yang menderita pascastroke.

Pengkajian terhadap keluarga Pengkajian anggota keluarga


Mengidentifikasi data sos-bud, data secara individu
lingkungan, struktur dan fungsi, mental, fisik, emosional, social, dan
stress keluarga, dan koping strategis spiritual

Identifikasi masalah – masalah


keluarga dan individu
Diagnosis Keperawatan

Rencana Keperawatan
Susunan tujuan, identifikasi sumber
daya, definisikan pendekatan
alternative, pilih inetervensi
keparwatan, susun prioritas

Intervensi; implementasi rencana

EVALUASI KEPERAWATAN

Gambar 4.6 Model dan Family-Centered Nursing (Friedman dkk, 2003)

Model integrasi self-care model dan Model dan Family-Centered Nursing model
Fokus pengkajian pada family centered nursing untuk mendapat informasi, sejauh
peran keluarga (caregiver) dalam merawat anggota keluarga pascastroke.
Pengkajian yang dilakukan adalah untuk melihat kemampuan keluarga dalam
melakukan terapi latihan/latihan mobilisasi pada anggota keluarga yang
pascastroke. Sementara fokus self- care ditujukan untuk mendapatkan informasi
sejauh mana peran keluarga (caregiver) mengetahui tanda dan gejala stroke, risiko
stroke, dampak stroke, cara pencegahan agar tidak terjadi serangan stroke ulang
dan kemampuan merawat anggota keluarga pascastroke dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (ADL).
Setelah dilakukan pengkajian terhadap anggota keluarga sebagai caregiver,
maka perawat akan menentukan ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan
fungsi kesehatan keluarga, dari hal tersebut perawat sebagai nursing agency akan
melakukan perencanaan dan berespons pada keluarga berupa: (1)
mempertahankan hubungan interpersonal (2) berespons pada pertanyaan keluarga
dan (3) koordinasi dan integrasi keperawatan dengan kegiatan sehari-hari.
Tahap selanjutnya perawat melakukan implementasi dengan cara edukasi
suportif. Pada tahap ini peran perawat adalah sebagai pendidik/trainer, dalam
meningkatkan kemampuan keluarga sebagai self care agency/ caregiver. Dengan
demikian, baik pasien, keluarga (caregiver), maupun perawat komunitas akan
bersama-sama menyelesaikan masalah kesehatan melalui pendekatan proses
keperawatan. Pada fase ini keluarga (caregiver) belajar melakukan tindakan
merawat anggota keluarga yang pascastroke yang diaplikasikan ke dalam kegiatan
sehari-hari.
Fase selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap kemampuan keluarga,
berdasarkan 5 (lima) tugas kesehatan keluarga yaitu: (1) mengenal masalah
kesehatan setiap anggota keluarganya; (2) mampu memutuskan tindakan
kesehatan yang tepat bagi keluarganya; (3) merawat anggota keluarganya yang
mengalami masalah kesehatan; (4) mempertahankan suasana rumah yang sehat
atau memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan keluarga; (5)
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya (Bailon dan Maglaya
dalam Freeman, 1981). Namun pada tahap evaluasi ini digunakan dengan
mengintegrasikan indikator keluarga mandiri yang dikeluarkan oleh Depkes tahun
2006, hal ini disebabkan oleh karena indikator tersebut tahap-tahapnya hamper
dengan 5 (lima) tugas kesehatan keluarga namun ditambah dengan menerima
petugas kesehatan, karena keluarga akan meningkat kemandiriannya dalam
mengenal masalah kesehatan anggota keluarga lainnya jika terlebih dahulu
menerima petugas kesehatan.
Integrasi dari kedua model ini merupakan suatu program yang
memberdayakan anggota keluarga melalui pendidikan kesehatan dan pelatihan
yang diberikan oleh perawat komunitas kepada anggota keluarga yang
bertanggung jawab dalam merawat anggota keluarganya yang pascastroke. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa keyakinan untuk melakukan perawatan rutin
timbul karena merasakan manfaat dari tindakan tersebut, sehingga keluarga
(caregiver) dengan anggota keluarga yang pascastroke dapat melaksanakan
perawatan diri secara teratur.
Fokus utama model integrasi self care dan family centered nursing adalah
caregiver dapat merawat anggota keluarganya yang pascastroke, melakukan
latihan untuk mobilisasi dan memotivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Model ini merupakan cara terbaik dalam upaya memandirikan keluarga merawat
anggota keluarga pascastroke di rumah.
Integrasi model self care dan family-centered nursing dalam meningkatkan
kemandirian keluarga merawat keluarga yang pascastroke dapat dijelaskan
sebagai berikut.

Family-Centered Nursing model


Pengkajian
Kemampuan melakukan latihan modelisasi

Self care model


Self care agency : Ketidakmampuan keluarga melaksanakan
 Pengetahuan fungsi kesehatan keluarga
tentang dampak
stroke
 Kemampuan
memotivasi Perencanaan
melakukan ADL
Conditioning factor
 Umur
 Jenis kelamin Nursing Agency
 Kepercayaan 1. Mempertahankan hubungan interpersonal
 Dukungan keluarga 2. Berespons pada pertanyaan kelaurga
3. Koordinasi dan integrasi keperawatan dengan
kegiatan seharo-hari
Nursing system
Implementasi

Dalam bentuk edukasi suportif

Trainer

Keluarga

Pasien

Evaluasi
1. Kemampuan keluarga untuk merawat dan
memotivasi untuk ADL
2. Kemampuan keluarga untuk melakukan
mobilisasi

Keluarga mandiri dalam merawat anggota


keluarga yang pascastroke

Gambar 4.7 Integrasi model self care dan family centered nursing (diadapsi dari Orem, 2001; Tomey
dan Alligood 2002, 2006; Friedman dkk, 2003)
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R. dan Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th Ed.
Missouri: Mosby

Allender, J. A., & Spradley, B. W. 2005. Community Health Nursing: Concept and
Practice. 6h Ed. Philadelphia: Lippincott
Freeman, R., & Heirinch, J. 1981. Community Nursing Practice. Philadelphia: W.B.
Saunders.

Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. 2003. Family Nursing: Research,
Theory and Practice (5th ed.). New Jersey: Prentice Hall.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Kegiatan Perawat Kesehatan Masyarakat


di Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina Pelayanan Medik

Hitchcock, J. E., Schubert, P. E., & Thomas, S. A. 1999. Community Health Nursing:
Caring in Action. Albany: Delmar.

Stanhope, M. & Lancaster, J. 2000. Community and Public Health Nursing, 5 Ed. St.
Louis: Mosby.

TEORI CULTURE CARE DARI LEININGER CARE

(TRANSCULTURAL SUNRISE)

Teori ini berorientasi pada sistem, yaitu pembentukan sistem pelayanan kesehatan
dengan berbasis budaya individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Target utama
adalah pelembagaan yang permanen untuk penanganan klien dengan masalah alkohol.
Teori ini mengatakan pelayanan keperawatan kepada klien, perlu memperhatikan
nilai-nilai budaya dan konteks sehat sakit. Menurut Leininger, setiap orang dari masing
masing budaya mengetahui dan dapat mendefinisikan cara-cara sesuai pengalaman
dan persepsi mereka terhadap dunia keperawatan dan dapat menghubungkan
pengalaman dan persepsi mereka terhadap keyakinan sehat secara umum dan
praktiknya. Maka, teori ini dikembangkan dari konteks budaya. Kultur yang dimaksud
adalah pembelajaran, pertukaran dan transmisi nilai-nilai, keyakinan keyakinan,
norma-norma dan praktik hidup dari suatu kelompok khusus yang menjadi petunjuk
berpikir, mengambil keputusan, dan tindakan-tindakan dalam pola pola tertentu.
Menurut Madeleine M. Leininger dan Marilyn R. Mc.Farland (2006), dalam
tulisan memberi nama model dar toori Culture Care "Sunrise model" Model ini
mempunyai 4 level pandangan, level pertama, lebih abstrak, bagaimana pandangan
dunia dan level system sosial, mengenal dunia di luar budaya, suatu suprasistem,
dalam sistem umum. Level dua, menyediakan pengetahuan tentang individu, keluarga,
kelompok, dan institusi pada sistem pelayanan kesehatan. Pada level ini unsur budaya
mulai tampak jelas, khususnya budaya tertentu, ekspresi dan hubungannya dengan
pelayanan kesehatan yang sudah ada. Level tiga, fokus pada sistem adat istiadat,
tradisi, yang ada di masyarakat, system pelayanan profesional, medis, dan
keperawatan. Informasi pada level ini menunjukkan karakteristik tiap sistem termasuk
kekhususan masing-masing, kesamaan, dan perbedaan pelayanan berdasarkan budaya
profesi yang bervariasi dan pelayanan universal. Level empat, ada pengambilan
keputusan keperawatan dan tindakan-tindakan, melibatkan kultur penyediaan atau
mempertahankan pelayanan, kultur pelayanan akomodasi/negosiasi dan kultur
pelayanan dipola kembali atau restrukturisasi.
Empat konsep utama dari teori Leininger adalah kemanusiaan, kesehatan,
masyarakat/lingkungan dankeperawatan. Manusia dipercaya memberikan pelayanan
kepada manusia dan mampu memperhatikan kebutuhan, kesejahteraan, dan ketahanan
kepada orang lain. Pelayanan kemanusiaan bersifat universal, terhadap semua kultur,
bertahan dalam kultur yang bervariasi, mampu memberikan pelayanan bersifat
universal dalam berbagai cara, terhadap kultur yang berbeda, kebutuhan, dan kondisi.
Fokusnya pada individu, kelompok kepada institusi kesehatan untuk mengembangkan
kebijakan dan praktik keperawatan universal. Sehat atau status sejahtera menurut
kultur tertentu, nilai dan praktik yang merefleksikan kemampuan individu-individu
atau kelompok untuk menampilkan peran sehari-hari dalam cara yang memuaskan
kultur. Sehat dalam pengertian lintas budaya, didefinisikan oleh kultur masing-masing
sesuai cara, refleksi, nilai dan praktik khusus.
Sehat dikatakan bersifat universal dan beragam. Masyarakat/lingkungan,
menyangkut pandangan dunia, struktur sosial, dan konteks lingkungan. Lingkungan
sebagai total kejadian, situasi atau pengalaman, dengan berfokus pada kelompok
khusus dan pola tindakan, berpikir, dan keputusan sebagai hasil dari pembelajaran,
sharing, dan pemindahan nilai, keyakinan, norma dan praktik hidup sehari-hari.
Keperawatan, adalah suatu fenomena yang perlu dijelaskan. Leininger
mengasumpsikan keperawatan sebagai profesi yang turut menentukan keharmonisan
kultur dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berbeda budaya.
Ada tiga tipe tindakan keperawatan yang diangkat Leininger yaitu berdasarkan
budaya dengan demikian akan harmonis dengan kebutuhan dan nilai-nilai klien.
Mempertahankan budaya lokal, memperhatikan cara-cara atau negosiasi budaya lokal,
dan melakukan restruktur atau membuat pola baru sesuai budaya lokal. Melalui tiga
tindakan ini akan menurunkan stres kultur dan potensial konflik antar klien dan
petugas kesehatan (Goerge, Yulia B, 1990).
Transkultural nursing dalam model sunrise, dikenalkan oleh Leininger tahun
1978 (Alligood & Tomey, 2006). Leininger seorang perawat pendidik dan senang
mempelajari keperawatan dengan antropologi. Teorinya sangat cocok dipakai di
keperawatan komunitas. Perawat penting menyadari pengetahuan lintas budaya dan
kebutuhannya. Budaya bukan hanya pedoman hidup bagi seseorang tetapi untuk
menghubungkan seseorang dengan orang lain, sehingga dapat mengetahui kebutuhan
atau keinginan orang tersebut. Latar belakang budaya seseorang perlu dipelajari untuk
mengetahui keyakinan nilai dan perilaku dalam bertransaksi satu sama lain.
Dalam keperawatan seseorang dengan gangguan jiwa dan masalah emosional
sering menjadi kompleks permasalahannya karena perbedaan budaya. Jika budaya
perawat dan pasien berbeda, dapat memperberat sakit/masalah kesehatan jiwa
seseorang. Sering ditemukan perilaku tertentu pada suatu budaya dianggap harus
dihukum atau sakit, sementara dalam budaya lain orang bisa bertoleransi terhadap
perilaku tersebut. Maka untuk menangani masalah kesehatan jiwa, perawat penting
mengenal budaya pasien dan keluarga (Mery Ann, 1998).
Asumsi dasar dari teori Leininger, pertama, perawatan kepada manusia
merupakan fenomena universal, tetapi ekspresi, proses dan polanya bervariasi pada
setiap kultur. Kedua, tindakan keperawatan dan proses penting untuk kelahiran
manusia, perkembangan, pertumbuhan dan survival, serta untuk kematian yang damai.
Ketiga, Caring adalah esensi dan dimensi unik dari intelektual dan praktis profesi
keperawatan. Keempat, caring meliputi dimensi biofisikal,, kultural, psikologi, sosial,
dan lingkungan. Maka perlu memberikan perawatan holistik kepada masyarakat.
Kelima, tindakan keperawatan bersifat lintas budaya sehingga perawat perlu mampu
mengidentifikasi dan membina hubungan perawat-klien interkultur dan data sistem.
Keenam, perilaku dalam perawatan, tujuan, dan fungsi yang bervariasi dengan struktur
budaya dan nilai khusus dari orang dengan beda kultur. Ketujuh, praktik mandiri atau
praktik lain bervariasi pada budaya yang berbeda dan sistem pelayanan yang berbeda.
Kedelapan, mengidentifikasi universal dan non universal tradisi dan perilaku
profesional, keyakinan dan praktik penting untuk pengembangan pengetahuan
keperawatan. Kesembilan, perawatan syarat berbagai kultur, dan butuh pengetahuan
dasar tentang budaya dan keterampilan yang ampuh. Kesepuluh, tidak bisa ada
pengobatan tanpa keperawatan, tetapi juga tidak ada keperawatan tanpa pengobatan
(Marriner Ann, 1998).
Penerapan kerangka konsep berbasis Transcultural nursing (Sabina, 2013).

______________DIAGRAM________________

Gambar 4.9. Kerangka Konsep (Sabina, 2013).

Penjelasan kerangka konsep teoretis. Teori utama dalam penelitian ini


dikembangkan dari sunrise model dari Leninger, (2004). Model ini mengambarkan
dimensi-dimensi dari teori Culture Care, dengan karakteristik keanekaragaman dan
kesemestaan/keseluruhan. Dimensi struktur sosial budaya dalam suatu masyarakat,
saling memengaruhi sehingga terbentuk pola dan praktik hidup di masyarakat.
Pelayanan kesehatan yang ada melayani kebutuhan masyarakat akan dikembangkan
sesuai masalah kesehatan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, selain
mengukur model sunrise dari Leninger yang ada dalam masyarakat, akan diukur pula
pelayanan kesehatan yang ada dalam masyarakat tersebut.
Pelayanan kesehatan yang diukur sehubungan dengan teori ini adalah public
health model dari Caplan. Model ini menyebutkan tentang tiga tingkat pencegahan
dalam pelayanan kesehatan di masyarakat, khusus untuk masalah kesehatan jiwa.
Caplan berasumpsi bahwa masalah kesehatan jiwa di masyarakat dapat dicegah
terjadinya. Pencegahan yang disebutkan dalam model ini meliputi pencegahan primer,
sekunder dan tersier. Ketiga tingkat pencegahan ini mempunyai tujuan yang berbeda-
beda. Pencegahan primer bertujuan mengintervensi potensial masalah kesehatan
melalui promosi kesehatan dan perlindungan khusus. Pencegahan sekunder bertujuan
mengintervensi masalah kesehatan aktual melalui diagnosis dini dan terapi tepat
waktu. Pencegahan tersier bertujuan mengintervensi keterbatasan dan
ketidakmampuan akibat penyakit kronis dan rehabilitasi, melalui rehabilitasi
keterbatasan dan mencegah komplikasi. Terhadap peminum alkohol 'miras akan
diukur pencegahan primer.
Pelayanan pencegahan ini intervensinya ditujukan pada individu, keluarga,
kelompok, sekolah dan komunitas. Khusus untuk pelayanan pencegahan tingkat
primer, intervensinya dapat dilakukan oleh profesi keperawatan, yang jumlah
tenaganya paling banyak pada unit pelayanan kesehatan masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. dan Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri: Mosby

Marriner Ann. 1998. Nursing Theorist and Their Work. Fourth Ed. St Louis Missouri:
Mosby
Sabina. 2013. Pengenibangan Model Perilaku Minum Moke pada Masyarakat Sikka,
NTT. Disertasi Prodi Doktor. FKM Unair. Tidak dipublikasikan.

HEALTH PROMOTION MODEL (HPM)


Model Promosi Kesehatan adalah suatu cara untuk menggambarkan interaksi manusia
dengan lingkungan fisik dan interpersonalnya dalam berbagai dimensi. Health
Promotion Model atau model promosi kesehatan pertama kali dikembangkan oleh
Nola J. Pender pada tahun 1987. HPM lahir dari penelitian tentang 7 faktor persepsi
kognitif dan 5 faktor modifikasi tingkah laku yang memengaruhi dan meramalkan
tentang perilaku kesehatan. Model ini menggabungkan dua teori yaitu dari teori Nilai
Pengharapan (Expectancy-Value) dan Teori Pembelajaran Sosial (Social Cognitive
Theory) dalam perspektif keperawatan manusia dilihat sebagai fungsi yang holistik.
Adapun secara singkat, elemen dari teori ini adalah sebagai berikut.

Pengembangan Teori Dasar Model Promosi Kesehatan (Pender, 2006)

Revisi Model Promosi Kesehatan (HPM) tahun 2006, terdapat beberapa variabel
HPM, yaitu: (1) sikap yang berhubungan dengan aktivitas, (2) komitmen pada rencana
tindakan, dan (3) adanya kebutuhan yang mendesak.

Kerangka konsep teori

______________DIAGRAM________________

Gambar 4.10 Model Promosi Kesehatan yang telah direvisi (Pender, N. 2006. Helath
promotion in nursing practice. 5th ed. New Jersey; Practice Hall).

Penjelasan tentang variabel dari HPM dapat diuraikan di bawah ini (Alligood &
Tomey 2006).
1. Karakteristik dan pengalaman individu.
Setiap manusia mempunyai karakteristik yang unik dan pengalaman yang dapat
memengaruhi tindakannya. Karakteristik individu atau lebih fleksibel sebagai
variabel karena lebih relevan pada perilaku kesehatan utama atau sasaran populasi
utama.
a. Perilaku sehelumnya Perilaku terdahulu mempunyai efek langsung dan tidak
langsung pada perilaku promosi kesehatan yang dipilih, membentuk suatu efek
langsung menjadi kebiasaan perilaku dahulu, sehingga predisposisi dari
perílaku yang dipilih dengan sedikit memerhatikan pilihannya itu. Kebiasaan
muncul pada setiap perilaku dan menjadi pengulangan perilaku. Sesuai dengan
teori sosial kognitif perilaku dahulu mempunyai pengaruh tidak langsung pada
perilaku promosi kesehatan melalui persepsi terhadap self-efficacy,
keuntungan, rintangan, dan pengaruh aktivitas. Perilaku nyata berkaitan
dengan feedback adalah sumber pemanfaatan yang terbesar atau skill.
Keuntungan dari pengalaman dari perilaku yang diambil disebut sebagai hasil
yang diharapkan. Jika hasilnya memuaskan maka akan menjadi pengulangan
perilaku dan jika gagal menjadi pelajaran untuk masa depan. Setiap insiden
perilaku juga disertai oleh emosi atau pengaruh sikap positif atau negatif
sebelum, selama, dan sesudah perilaku dilakukan menjadi pedoman untuk
selanjutnya. Perilaku sebelum ini menjadi kognitif dan menjadi spesifik.
Perawat membantu klien dengan melihat riwayat perilaku positif dengan
berfokus pada pemanfaatan perilaku, mengajar klien bagaimana bertindak dan
menimbulkan potensi dan sikap yang positif melalui pengalaman yang sukses
dan feedback positif.
b. Faktor personal
1) Biologi-usia, indeks massa tubuh, status pubertas, status menopause,
kapasitas aerobik, kekuatan, ketangkasan, atau keseimbangan.
2) Psikologi-self esteem, motivasi diri, dan status kesehatan.
3) Sosiokultural - suku, etnis, akulturasi, pendidikan, dan status
sosioekonomi.

2. Kognitif perilaku spesifik dan sikap


a. Manfaat tindakan
Manfaat tindakan secara langsung memotivasi perilaku dan tidak langsung
dapat menentukan rencana kegiatan untuk mencapai manfaat sebagai hasil.
Manfaat tadi menjadi gambaran mental positif atau penguatan (reinforcement)
positif bagi perilaku. Menurut teori nilai ekspektasi motivasi penting untuk
mewujudkan hasil seseorang dari pengalaman dahulu melalui pelajaran
observasi dari perilaku orang lain. Individu cenderung menghabiskan waktu
dan hartanya dalam beraktivitas untuk mendapat hasil yang positif.
Keuntungan dari penampilan perilaku bias intrinsik atauekstrinsik. Manfaat
intrinsic antara lain bertambahnya kesadaran dan berkurang rasa kelelahan.
Penghargaan ekstrinsik dapat berupa keuangan atau interaksi positif. Manfaat
ekstrinsik perilaku kesehatan menjadi motivasi yang tinggi di mana manfaat
intrinsik lebih memotivasi untuk berlangsungnya perilaku sehat. Manfaat
penting yang paling diharapkan dan secara tempo berhubungan dengan
potensi. Kepercayaan tentang manfaat atau hasil positif dari harapan.
b. Hambatan tindakan
Misalnya: ketidaksediaan, tidak cukup, mahal, sukar, atau waktu yang terpakai
dari suatu kegiatan utama. Rintangan sering dipandang sebagai blok rintangan
dan biaya yang dipakai. Hilangnya kepuasan dari perilaku tidak sehat seperti
merokok, makan tinggi lemak juga disebut rintangan. Biasanya muncul motif-
motif yang dihindari/dibatasi dalam hubungan dengan perilaku yang diambil.
Kesiapan melakukan rendah dan rintangan tinggi, tindakan tidak terjadi.
Rintangan adalah sikap yang langsung menghalangi kegiatan melalui
pengurangan komitmen rencana kegiatan.
c. Self efficacy
Menurut Bandura: kemampuan seseorang untuk mengorganisasi dan
melaksanakan tindakan utama menyangkut bukan hanya skill yang dimiliki
seseorang, tetapi keputusan yang diambil seseorang dari keahlian yang dia
miliki. Keputusan efficacy seseorang diketahui dari hasil yang diharapkan
yaitu kemampuan seseorang menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu di mana
hasil yang diharapkan adalah suatu keputusan dengan konsekuensi keuntungan
biaya misalnya: perilaku yang dihasilkan. Skill dan kompetensi memotivasi
individu untuk melakukan tindakan secara unggul. Perasaan berhasil dan ahli
dalam perbuatan akan mendorong seseorang untuk melaksanakan perilaku
yang diinginkan lebih sering daripada rasa tidak layak/tidak terampil.
Pengetahuan seseorang tentang efficacy diri didasarkan pada empat tipe info:
1) Feed back eksternal yang diberi orang lain. Pencapaian hasil dari
perilaku dan evaluasi yang sesuai dengan standar diri (self-efficacy).
2) Pengalaman orang lain dan evaluasi diri dan feedback dari mereka.
3) Ajakan orang lain.
4) Status psikologis: kecemasan, ketakutan, ketenangan dari orang yang
menilai kompetensi mereka.
Self-efficacy dipengaruhi oleh aktivitas yang berhubungan dengan:
Pengaruh positif, persepsi efficacy lebih besar. Kenyataannya hubungan ini
berlawanan dengan persepsi efficacy terbesar, bertambahnya pengaruh positif.
Efficacy diri memengaruhi rintangan bertindak, efficacy tinggi-persepsi barrier
yang rendah. Efficacy diri memotivasi perilaku promosi kesehatan secara oleh
harapan efficacy dan tidak langsung oleh hambatan dan ditentukan level
komitmen dan rencana kegiatan.

d. Sikap yang berhubungan dengan aktivitas


1) Emosi yang timbul pada kegiatan itu
2) Tindakan diri
3) Lingkungan di mana
Pengaruh terhadap perilaku menunjukkan suatu reaksi emosional langsung
dapat positif atau negatif, lucu, menyenangkan, menjijikkan, tidak
menyenangkan. Perilaku yang memberi pengaruh positif sering diulangi.
Sementara perilaku yang berpengaruh negatif dibatasi atau dikurangi.
Berdasarkan teori kognitif social ada hubungan antara efficacy diri dan
pengaruh aktivitas. Mc avley dan Courney menemukan bahwa respons afek
positif selama latihan signifikan menjadi prediksi dari efficacy pascalatihan.
Respons emosional dan status fisiologis selama perilaku sebagai sumber dari
informasi efficacy. Sikap pengaruh aktivitas diajukan sebagai memengaruhi
perilaku kesehatan secara langsung atau tidak langsung melalui efficacy diri
dan komitmen pada rencana kegiatan.

e. Pengaruh interpersonal
Pengaruh interpersonal adalah kognisi tentang perilaku, kepercayaan, orang
lain. Sumber utama interpersonal adalah keluarga (familiy at sibling peer)
kelompok dan pemberi pengaruh pelayanan kesehatan. Pengaruh interpersonal
terdiri atas norma (harapan orang lain), dukungan sosial (instrumental dan
dorongan emosional), serta model (belajar dari pengalaman orang lain).
Norma sosial menjadi standar untuk performance individu. Model yang
digambarkan menjadi strategi penting untuk perubahan perilaku dalam teori
kognitif sosial misalnya adanya tekanan sosial atau desakan untuk komitmen
pada rencana kegiatan. Individu sensitif pada harapan contoh dan pujian orang
lain. Motivasi yang cukup menjadi cara yang konsisten yang memengaruhi
seperti orang yang dipuji dan dikuatkan secara sosial.
f. Pengaruh situasional
Persepsi personal dan kognisi dari situasi dapat memfasilitasi atau menghalangi
perilaku misalnya pilihan yang tersedia, karakteristik permintaan dan ciri-ciri
lingkungan estetik seperti situasi/lingkungan yang cocok, aman, tentram
daripada yang tidak aman dan terancam. Situasi dapat memengaruhi perilaku
dengan mengubah lingkungan misalnya "no smoking". Pengaruh situasional
dapat menjadi kunci untuk pengembangan strategi efektif yang baru untuk
memfasilitasi dan mempertahankan perilaku promosi kesehatan dalam
populasi.

3. Komitmen rencana tindakan


Proses kognitif yang mendasari:
a. Komitmen untuk melaksanakan tindakan spesifik sesuai waktu dan tempat
dengan orang-orang tertentu atau sendiri dengan mengabaikan persaingan.
b. Identifikasi strategi tertentu untuk mendapatkan, melaksanakan, atau
penguatan terhadap perilaku.

Rencana kegiatan dikembangkan oleh perawat dan klien dengan pelaksanaan


yang sukses. Misalnya strategi dengan kontrak yang disetujui bersama-sama di
mana satu kelompok menyadari bahwa kelompok lain akan memberi penghargaan
nyata atau penguatan jika komitmen itu didukung. Komitmen sendiri tanpa
strategi yang berhubungan sering menghasilkan tujuan baik tetapi gagal dalam
membentuk suatu nilai perilaku kesehatan.

4. Kebutuhan yang mendesak

Kebutuhan mendesak (pilihan menjadi perilaku alternatif yang mendesak masuk


ke dalam kesadaran sehingga tindakan yang mungkin dilakukan segera sebelum
kejadian terjadi (suatu rencana perilaku promosi kesehatan). Perilaku alternatif ini
menjadikan individu dalam kontrol rendah karena lingkungan tak terduga seperti
kerja atau tanggung jawab merawat keluarga. Kegagalan merespons permintaan
berakibat tidak menguntungkan bagi diri atau orang lain. Pilihan permintaan
sebagai perilaku alternatif dengan penguatan di mana individu mempunyai level
kontrol yang tinggi. Misalnya memilih makanan tinggi lemak daripada rendah
lemak karena pilihan rasa, bau/selera. Permintaan yang mendesak berbeda dari
hambatan di mana individu seharusnya melaksanakan suatu alternatif perilaku
berdasarkan permintaan eksternal yang tidak disangka atau hasil yang tidak
sesuai. Dibedakan karena kurang waktu, karena tuntutan itu mendorong
berdasarkan hierarki sehingga keluar dari rencana tindakan kesehatan yang positif.
Beberapa individu cenderung sesuai perkembangan secara biologis lebih mudah
dipengaruhi selama tindakan dari pada orang lain. Hambatan pilihan copating
menghendaki latihan dari regulasi diri dan kemampuan control. Komitmen yang
kuat terhadap rencana tindakan sangat dibutuhkan.

5. Hasil perilaku
Perilaku promosi kesehatan adalah tindakan akhir atau hasil tindakan. Perilaku ini
akhirnya secara langsung ditujukan pada pencapaian hasil kesehatan positif untuk
klien. Perilaku promosi kesehatan terutama sekali terintegrasi dalam gaya hidup
sehat yang menyerap pada pada semua aspek kehidupan seharusnya
mengakibatkan peningkatan kesehatan, peningkatan kemampuan fungsional dan
kualitas hidup yang lebih baik pada semua tingkat perkembangan.

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri Mosby.

Marriner Ann. 1998. Nursing Theorist and Their Work. Fourth Ed. St Louis Missouri
Mosby-Year Book.

Pender. N.L Carolyn., Mary Aan. 2010. Health Promotion in Nursing Practice. Fourth
Ed Micingan: Prentice Hall.
PRECEDE-PROCEED MODEL
Perilaku Kesehatan Berdasarkan Teori Lawrence W. Green
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor luar lingkungan (nonbehavior causes). Untuk
mewujudkan suatu perilaku kesehatan, diperlukan pengelolaan manajemen program
melalui tahap pengkajian, perencanaan, intervensi sampai dengan penilaian dan
evaluasi. Proses pelaksanaannya Lawrence W. Green menggambarkan dalam bagan
berikut ini.

______________DIAGRAM________________
Gambar 4.11 Precede-Proceed Model (Green LW & Kreuter MW, 1991)

Selanjutnya dalam program promosi kesehatan dikenal adanya model pengkajian dan
penindaklanjutan (Precede-Proceed model) yang diadaptasi dari konsep Lawrence
Green. Model ini mengkaji masalah perilaku manusia dan faktor-faktor yang
memengaruhinya, serta cara menindaklanjutinya dengan berusaha mengubah,
memelihara, atau meningkatkan perilaku tersebut ke arah yang lebih positif. Proses
pengkajian atau pada tahap precede dan proses penindaklanjutan pada tahap proceed.
Dengan demikian suatu program untuk memperbaiki perilaku kesehatan adalah
penerapan keempat proses pada umumnya ke dalam model pengkajian dan
penindaklanjutan.
1. Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang
pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat sejahtera.
Semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi. kualitas hidup ini salah
satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan
seseorang maka kualitas hidup juga semakin tinggi.
2. Derajat kesehatan adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang kesehatan,
dengan adanya derajat kesehatan akan tergambarkan masalah kesehatan yang
sedang dihadapi. Pengaruh yang paling besar terhadap derajat kesehatan
seseorang adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.
3. Faktor lingkungan adalah faktor fisik, biologis, dan sosial budaya yang
langsung/tidak memengaruhi derajat kesehatan.
4. Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya
aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor
perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan gaya hidup
merupakan pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan
karena jenis pekerjaannya mengikuti tren yang berlaku dalam kelompok
sebayanya, ataupun hanya untuk meniru dari tokoh idolanya.

Dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku
tertentu. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.

______________BAGAN________________

Gambar 4.12 Faktor yang memperngaruhi perilaku kesehatan


(Green LW & Kreuter MW, 1991)

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor internal yang


ada pada diri individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat yang mempermudah
individu untuk berperilaku yang terwujud dalam pengetahuan, sikap,
kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
2. Faktor-faktor pendukung (enabling factors) yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
kesehatan.
3. Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) merupakan faktor yang menguatkan
perilaku, yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan, teman
sebaya, orang tua, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

Ketiga faktor penyebab tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor penyuluhan dan faktor
kebijakan, peraturan serta organisasi. Semua faktor faktor tersebut merupakan
ruang lingkup promosi kesehatan.
Faktor lingkungan adalah segala faktor baik fisik, biologis, maupun sosial
budaya yang langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi derajat kesehatan.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang
atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,sikap, dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku.

KUALITAS HIDUP (QUALITY OF LIFE)

Kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk
mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi secara individu mengenai
tujuan, harapan, standar, dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang
dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut
berada (Adam, 2006). Kualitas hidup (quality of life) digunakan dalam bidang
pelayanan kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan
kemampuan untuk memenuhi tuntutan kegiatan dalam kehidupan secara normal dan
dampak sakit dapat berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan
(Brooks & Anderson, 2007).
Pembahasan kualitas hidup menjadi semakin penting bagi dunia kesehatan
terkait kompleksitas hubungan biaya dan nilai dari pelayanan perawatan kesehatan
yang didapatkan. Institusi pemberi pelayanan kesehatan diharapkan dapat membuat
kebijakan ekonomi sebagai perantara yang menghubungkan antara kebutuhan dengan
perawatan kesehatan (Brooks & Anderson, 2007).
Kualitas hidup yang menggambarkan kelompok pasien atau daerah juga
relevan di dalam penilaian kebutuhan kesehatan populasi. Indikator kesehatan secara
konvensional tidak memasukkan analisis mengenai keadaan yang tidak sehat atau
distorsi oleh permintaan klinis dan faktor persediaan. Evaluasi efektivitas dan
penilaian kebutuhan kesehatan sering diperlukan memotong area program dan
perawatan yang luas, terkait dengan alokasi sumber daya (Brooks & Anderson, 2007).
Kualitas hidup memiliki maksud sebagai usaha untuk membawa penilaian
memperoleh kesehatan. Berdasarkan klinis, kualitas hidup telah meniadi pokok
bahasan sehubungan dengan penggunaan instrumen terkait keadaan kesehatan yang
mengukur kepuasan pasien dan manfaat fisiologis. Suatu konsep total kesehatan
manusia menggabungkan keduanya yakni faktor fisik dan mental.
Kualitas instrument kehidupan sepeti usaha pengaturan untuk meningkatkan
pada pengukuran klinis sederhana yang sulit untuk mencerminkan kualitas kehidupan,
akibat yang merugikan dari perawatan kesehatan yang didapatkan, gaya hidup pasien
tertentu yang mungkin perlu penyesuaian dan pembatasan terkait dengan kondisi
kesehatan yang ada.
Kualitas hidup terkait kesehatan yang terdahulu, memiliki konsep untuk
mengetahui situasi individu secara aktual yang dihubungkan dengan harapan individu
tersebut mengenai kesehatannya. Pemakaian konsep yang terdahulu, memiliki variasi
hasil jawaban yang tinggi, dan bersifat reaktif terhadap pengaruh eksternal terhadap
lama menderita penyakit dan dukungan sekitar (Beaudoin & Edgar, 2003).
Kualitas hidup dengan konsep yang saat ini digunakan secara umum,
merupakan analisis dari hasil kuesioner yang dilakukan pada pasien, yang bersifat
multidimensi dan mencakup keadaan secara fisik, sosial, emosional, kognitif,
hubungan dengan peran atau pekerjaan yang dijalani, dan aspek spiritual yang
dikaitkan dengan variasi gejala penyakit, terapi yang didapatkan, beserta dampak serta
kondisi medis, dan dampak secara finansial (John et al., 2004).

Quality of Life (QoL)

Penilaian kualitas hidup WHOQOL-100 dikembangkan oleh WHOQOL Group


bersama lima belas pusat kajian (field centres) internasional, secara bersamaan, dalam
upaya mengembangkan penilaian kualitas hidup yang akan berlaku secara lintas
budaya.
Prakarsa WHO untuk mengembangkan penilaian kualitas hidup muncul karena
beberapa alasan.
a. Dalam beberapa tahun terakhir telah terjadi perluasan fokus pada pengukuran
kesehatan, di luar indikator kesehatan tradisional seperti mortalitas dan
morbiditas serta utuk memasukkan ukuran dampak penyakit dan gangguan
pada aktivitas dan perilaku sehari-hari. Hal ini memberikan ukuran dampak
penyakit, tidak menilai kualitas hidup semata, yang telah tepat digambarkan
sebagai "pengukuran yang hilang dalam kesehatan”.
b. Sebagian besar upaya dari status kesehatan ini telah dikembangkan di Amerika
Utara dan Inggris, dan penjabaran langkah-langkah tersebut yang digunakan
dalam situasi lain banyak menyita waktu dan tidak sesuai karena sejumlah
alasan.
c. Model kedokteran yang semakin mekanistik yang hanya peduli dengan
pemberantasan penyakit dan gejalanya, memperkuat perlunya pengenalan
unsur humanistik ke perawatan kesehatan. Dengan memperbaiki pengkajian
kualitas hidup dalam perawatan kesehatan, perhatian difokuskan pada aspek
kesehatan, dan intervensi yang dihasilkan akan meningkatkan perhatian pada
aspek kesejahteraan pasien.

Prakarsa WHO untuk mengembangkan pengkajian kualitas hidup timbul dari


kebutuhan akan ukuran internasional terhadap kualitas hidup dan komitmen yang
sebenar- benarnya untuk promosi terus-menerus dari pendekatan holistik terhadap
kesehatan dan perawatan kesehatan.

a. Pengertian Quality of Life yang selanjutnua disebur QoL didefinisikan sebagai


berikut

“Quality of line is defined as individuals pereptions of their position in life in


the context of the culture and value system in which they live and relation to
their goals, epectations, standards, and concerns"

Kualitas hidup didefinisikan sebagai persepsi individu mengenai posisi mereka


dalam kehidugan dalam konteks budaya dan sistem nilai di mana mereka hidup
dan dalam kaitannya dengan tujuan, harapan standar, dan perhatian mereka.
Definisi ini mencerminkan pandangan bahwa kualitas hidup mengacu pada
evaluasi subjektif yang tertanam dalam konteks budaya, sosial, dan lingkungan.
Oleh karena definisi kualitas hidup terfokus pada kualitas hidup yang "diterima”
responden, deinisi ini tidak diharapkan untuk menyediakan cara untuk mengukur
gejala, penyakit atau kondisi dengan pola terperinci, melainkan efek dari
penyakit dan intervensi kesehatan terhadap kualitas hidup. Dengan demikian,
kualitas hidup tidak dapat disamakan hanya dengan istilah status kesehatan, gaya
hidup, kepuasan hidup, kondisi mental, atau kesejahteraan. Pengakuan sifat
multidimensi kualitas hidup tercermin dalam struktur WHOQOL-100.
b. Usulan penggunaan WH0QOL-100 dan WHOQOL-BREF.
Perlu diantisipasi bahwa penilaian WHOQOL akan digunakan dalam cara yang
berskala luas. Cara-cara tersebut akan digunakan dengan dengan skala cukup
besar dalam uji klinis, dalam menetapkan nilai di berbagai bidang, dan alam
mempertimbangkan perubahan kualitas hidup selama intervensi. Penilaian
WHOQOL juga diharapkan akan menjadi nilai di mana prognosis penyakit
cenderung hanya melibatkan pengurangan atau pemulihan parsial, dana di mana
perawatan mungkin lebih pariatif daripada kuratif.
Untuk penelitian epidemiologi, penilaian WHOQOL akan memungkinkan
data terperinci mengenai kualitas hidup dikumpulkan pada populasi tertentu,
memfasilitasi pemahaman akan penyakit, dan mengembangkan metode
pengobatan. Penelitian epidemiologi internasional yang akan diaktifkan oleh
instrument seperti WHOQOL-100 dan WHOQOL-BREF memungkinkan untuk
melakukan penelitian multi-field centers tentang kualitas hidup, dan
membandingkan hasil yang diperoleh dari field centers yang berbeda. Penelitian
tersebut memiliki manfaat penting, yang memungkinkan pengajuan pertanyaan
yang tidak bias digunakan dalam penelitian situs tunggal (single site) (Sartorius
dan Helmchen, 1981). Sebagai contoh, studi banding dalam dua atau lebih
negara pada hubungan antara penyediaan layanan kesehatan dan kualitas hidup
memerlukan penilaian yang menghasilkan skor lintas-budaya yang sebanding.
Kadang-kadang akumulasi kasus pada studi kualitas hidup, terutama ketika
mempelajari gangguan yang langka terjadi, dibantu dengan mengumpulkan data
dalam beberapa setting. Studi kolaboratif multi-field centers juga dapat
menyediakan ulangan berganda secara simultan dari temuan yang didapat, yang
memperkuat keyakinan diterimanya temuan tersebut.
Dalam praktik klinis, penilaian WHOQOL akan membantu dokter dalam
membuat penilaian mengenai daerah-daerah di mana pasien adalah yang paling
terpengaruh oleh penyakit, dan dalam membuat keputusan pengobatan di
beberapa negara berkembang di mana sumber daya untuk perawatan kesehatan
mungkin terbatas, pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup,
misalnya melalui paliasi, yang dapat menjadi efektif dan murah. Bersama
dengan langkah-langkah lain, WHOQOL-BREF akan memungkinkan para
profesional kesehatan untuk menilai perubahan kualitas hidup selama
pengobatan.
Perlu juga diantisipasi bahwa di masa depan WHOQOL-100 dan
WHOQOL-BREF akan terbukti berguna dalam penelitian kebijakan kesehatan
dan akan membuat sebuah aspek penting dari audit rutin kesehatan dan
pelayanan sosial. Oleh karena instrumen dikembangkan secara lintas-budaya,
penyedia layanan kesehatan, pemerintah dan anggota legislatif di negara-negara
di mana tidak ada kualitas hidup yang dilakukan, bisa memastikan bahwa data
yang dihasilkan oleh kerja yang melibatkan pengkajian WHOQOL akan benar-
benar sensitif bagi setting mereka.
c. Pengukuran Qol.
The WHOQOL-BREF menghasilkan kualitas profil hidup adalah mungkin
untuk menurunkan empat skor domain. Keempat skor domain menunjukkan
sebuah persepsi individu tentang kualitas kehidupan di setiap domain tertentu.
Domain skor berskalakan ke arah yang positif (yaitu skor yang lebih tinggi
menunjukkkan hidup lebih tinggi). Biasamya seperti cakupan indeks antara 0
(mati) dan 1 (kesehatan sempurna).
Semua skala dan faktor tunggal diukur dalam rentang skor 0-100. Nilai
skala yang tinggi mewakili tingkat respons yang lebih tinggi. Jadi nilai tinggi
untuk mewakil skala fungsional tinggi atau tingkat kesehatan yang lebih baik;
nilai yang tinggi untuk status kesehatan umum atau QoL menunjukkan Qol yang
tinggi; tetapi nilai tinggi untuk skala gejala menunjukkan tingginya
simtomatologi atau masalah. Dengan menggunakan teknik Tem Trade Off (TTO)
di mana 0 menunjukkan kematian dan 100 menunjukkan lebih buruk dari mati.
Rating scale (RS) mengukur QoL dengan cara yang sangat mudah, KS
menanyakan QoL, secara langsung sebagai sebuah titik dari 0 yang berhubungan
dengan kematian. Dan kurang dari 100, yang berhubungan dengan kesehatan
yang sempurna. Gambar 2.4 di bawah ini mengindikasikan sebuah contoh dari
RS yang menggunakan termometer. Metode ini mudah dimengerti dan sudah
digunakan secara luas.
d. Domain QoL menurut WHOQOL-BREF
Menurut WHO (1996), ada empat domain yang dijadikan parameter untuk
mengetahui kualitas hidup. Setiap domain dijabarkan dalam beberapa aspek,
yaitu:
1. Domain kesehatan fisik, yang dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai
berikut.
a) Kegiatan kehidupan sehari-hari
b) Ketergantungan pada bahan obat dan bantuan medis
c) Energi dan kelelahan
d) Mobilitas
e) Rasa sakit dan ketidaknyamanan
f) Tidur dan istirahat
g) Kapasitas kerja
2. Domain psikologis, yang dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai
berikut.
a) Bentuk dan tampilan tubuh
b) Perasaan negative
c) Perasaan positif
d) Penghargaan diri
e) Spiritualitas agama atau keyakinan pribadi
f) Berpikir, belajar, memori dan konsentrasi
3. Domain hubungan sosial, yang dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai
berikut.
a) Hubungan pibadi
b) Dukungan social
c) Aktivitas seksual
4. Domain lingkungan, yang dijabarkan dalam beberapa aspek, sebagai
berikut.
a) Sumber daya keuangan
b) Kebebasan, keamanan, dan kenyamanan fisik
c) Kesehatan dan kepedulian sosial: aksesbilitas dan kualitas
d) Lingkungan rumah
e) Peluang untuk memperoleh informasi dan keterampilan baru
f) Partisipasi dan kesempatan untuk rekreasi dan keterampilan baru
g) Lingkungan fisik (polusi atau kebisingan atau lalu lintas atau
iklim)
h) Transportasi

Nilai kualitas hidup penderita TB dapat dinilai berdasarkan domain dan aspek
dan WHOQOL, dengan memperhatikan sign and simptom dari penyakit TBC
sehingga bias didapat gambaran kualitas hidup dari penderita TBC.
DAFTAR PUSTAKA

Beaudoin, L. E., Edgar, L. 2003. Their Importance to Nurses' Quality of Work Life.
Nursing Economics, May-June, hlm. 106-113.

Brooks, B. A., Anderson, B. 2007. Assesing The Nursing Quality of Work Life.
Nursing Administration Quarterly, hlm. 152-157.

Green LW. & Kreuter MW. 1991. Health Promotion Planning. An educational and
Environmental Approach. 2nd. Ed. Mountain View: Mayfield Publishing Co

TEORI PERILAKU TERENCANA (THEORY OF PLANNED


BEHAVIOR)

Theory of Planned Behavior (TPB) atau teori perilaku terencana merupakan


pengembangan lebih lanjut dari Theory of Reasoned Action (TRA). Ajzen (1988)
menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu perceived behavioral
control (PBC). Penambahan satu faktor ini dalam upaya memahami keterbatasan yang
dimiliki individu dalam rangka melakukan perilaku tertentu.

Sejarah Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

TRA dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) memberikan bukti ilmiah bahwa
intensi untuk melakukan suatu tingkah laku dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: sikap
terhadap perilaku (attitude toward behavior) dan norma subjektif (subjective norms).
Penelitian di bidang sosial telah banyak membuktikan bahwa TRA ini adalah teori
yang cukup memadai untuk memprediksi tingkah laku. Namun setelah beberapa tahun,
Ajzen melakukan metaanalisis terhadap TRA. Hasil yang didapatkan dari metaanalisis
tersebut adalah TRA hanya berlaku bagi tingkah laku yang berada di bawah kontrol
penuh individu, dan tidak sesuai untuk menjelaskan tingkah laku yang tidak
sepenuhnya di bawah control individu, karena ada faktor yang dapat menghambat atau
mempermudah/memfasilitasi realisasi intensi ke dalam tingkah laku. Berdasarkan
analisis ini, lalu Ajzen pada tahun 1988 menambahkan perceived behavioral control
(PBC) sebagai satu faktor anteseden bagi intensi yang berkaitan dengan kontrol
individu. Dengan penambahan satu faktor ini kemudian mengubah TRA menjadi
Theory of Planned Behavior, yang selanjutnya disebut sebagai TPB.

Penjelasan lain bahwa TRA dan TPB berfokus pada konstruksi teoretis yang
berkaitan dengan faktor intensi individu sebagai penentu dari kemungkinan melakukan
perilaku tertentu. Baik TRA maupun TPB menganggap prediktor terbaik perilaku
adalah niat terhadap perilaku, yang pada gilirannya ditentukan oleh sikap terhadap
perilaku dan persepsi sosial normatif mengenai itu (perceived behavioral control). TPB
merupakan perluasan dari TRA dengan menambah konstruksi perceived behavioral
control.
Theory of Planned Behavior (TPB) menyampaikan bahwa perilaku yang
ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi/ niat untuk berperilaku.
Sementara munculnya niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor penentu yaitu:
1) Behavioral Beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku
(beliefs strength) dan evaluasi atas hasil tersebut (outcome evaluation);
2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain
(normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (motivation
to comply); dan
3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung
atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan
persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat
perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada
saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari
lingkungan.
Bagan Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)

Behaviour
Beliefs
Attitude toward
Behaviour
Evaluation of
behavioural outcome

Normative
Beliefs
Subjective norm Behavioral
Behavioral
intention
Motivation to
comply

Control
beliefs
Perceived Behaviour
Control
Perceived

Gambar 4.13 Teori perilaku terencana (National Cancer Institute, 2006)

Behavioral Behavioral
Background factors
beliefs beliefs
Personal
General, attitudes
Personality
Values, emotional
intelligence
Normative Subjective intention Behaviour
Social beliefs norm
Age, gender, race,
ethnicity, income,
religion

Information
Experience, Control Control
knowledge, beliefs beliefs
media exposure

Gambar 4.14 Peran Faktor-faktor latar belakang pada teori Planned behaviour
(Ajzen, 2005)

Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau
negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived
social pressure) atau norma subjektif (subjective norm) dan control beliefs
menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol perilaku yang dipersepsikan
(Ajzen, 2002).
Bagan di atas dapat menjelaskan empat hal yang berkaitan dengan perilaku manusia,
yaitu:
1) Hubungan yang langsung antara tingkah laku dan intensi. Hal ini dapat berarti
bahwa intensi merupakan faktor terdekat yang dapat memprediksi munculnya
tingkah laku yang akan ditampilkan individu
2) Intensi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sikap individu terhadap tingkah laku
yang dimaksud (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective nornm),
dan persepsi terhadap kontrol yang dimiliki (perceived behavioral control).
3) Masing-masing faktor yang memengaruhi intensi di atas (sikap, norma subjektif
dan PBC) dipengaruhi oleh anteseden lainnya, yaitu heliefs. Sikap dipengaruhi
oleh behavioral beliefs, norma subjektif dipengaruhi oleh normative beliefs, dan
PBC dipengaruhi oleh beliefs tentarng kontrol yang dimiliki yang disebut control
beliefs. Baik sikap, norma subjektif, dan PBC merupakan fungsi perkalian dari
masing-masing beliefs dengan faktor lainnya yang mendukung.
4) PBC merupakan ciri khas teori ini dibandingkan dengan TRA.
Pada bagan di atas dapat dilihat bahwa ada dua cara yang menghubungkan
tingkah laku dengan PBC Cara pertama diwakili oleh garis penuh yang
menghubungkan PBC dengan tingkah laku secara tidak langsung melalui
perantara intensi. Cara kedua adalah hubungan secara langsung antara PBC
dengan tingkah laku yang digambarkan dengan garis putus putus, tapa melalui
intensi (Ajzen, 2005).

Variabel Lain yang Memengaruhi Intensi

Menurut Ajzen, 2005 dalam Ramadhani, 2009 bahwa variabel lain yang memengaruhi
intensi selain beberapa faktor utama tersebut (sikap terhadap perilaku, norma subjektif
dan PBC), yaitu variabel yang memengaruhi atau berhubungan dengan belief.
Beberapa variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Faktor personal. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu,
sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan
yang dimilikinya.
2. Faktor social. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis,
pendidikan, penghasilan, dan agama.
1) Usia
Secara fisiologi, pertumbuhan dan perkembangan seseorang
dapat digambarkan dengan penambahan usia. Dengan penambahan usia
diharapkan terjadi peningkatan kemampuan motorik sesuai dengan
tumbuh kembangnya. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan
seseorang pada titik tertentu akan mengalami kemunduran akibat faktor
degeneratif. Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun,
dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun,
dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun.
Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.
Usia yang lebih tua umumnya lebih bertanggung jawab dan lebih teliti
dibanding usia yang lebih muda. Hal ini terjadi kemungkinan karena
yang lebih muda kurang berpengalaman.
Menurut umur/usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan
atau maturitas seseorang. Kedewasaan adalah tingkat kedewasaan teknis
dalam menjalankan tugas-tugas, maupun kedewasaan psikologis. Ajzen
(2005) menyampaikan bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai
motivasi kerja relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua,
karena pekerja yang lebih muda belum berdasar pada landasan realitas,
sehingga pekerja muda lebih sering mengalami kekecewaan dalam
bekerja. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kinerja dan kepuasan
kerja, semakin lanjut usia seseorang maka semakin meningkat pula
kedewasaan teknisnya, serta kedewasaan psikologisnya yang akan
menunjukkan kematangan jiwanya. Usia semakin lanjut akan
meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan,
mengendalikan emosi, berpikir rasional, dan toleransi terhadap
pandangan orang lain sehingga berpengaruh juga terhadap peningkatan
motivasinya.
2) Jenis kelamin.
Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau permbagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-
laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini:
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi
sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim
dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui.
3) Pendidikan. Ajzen (2006) menyebutkan bahwa latar belakang
pendidikan seseoran akan memengaruhi kemampuan pemenuhan
kebutuhannya sesuai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang
berbeda-beda yang pada akhirnya memengaruhi motivasi kerja
seseorang. Dengan kata lain bahwa pekerja yang mempunyai latar
belakang pendidikan tinggi akan mewujudkan motivasi kerja yang
berbeda dengan pekerja yang berlatar belakang pendidikan rendah. Latar
belakang pendidikan memengaruhi motivasi kerja seseorang. Pekerja
yang berpendidikan tinggi memiliki motivasi yang lebih baik karena
telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan
dengan pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah. Notoatmodjo
(1992) menyebutkan bahwa dengan pendidikan seseorang akan dapat
meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat
keputusan dalam bertindak.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas atau
kinerja perawat adalah pendidikan formal perawat. Pendidikan
memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan
tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan
memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitar kita untuk kelancaran
tugas. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi produktivitas kerja,
pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang pada
akhirnya akan semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan
pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pendidikan keperawatan di Indonesia mengacu kepada Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan
demikian, jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup
pendidikan vokasi, akademik dan profesi.
(1) Pendidikan vokasi adalah jenis pendidikan diploma sesuai
jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
(2) Pendidikan akademik adalah jenis pendidikan tinggi program
sarjana dan pascasarjana yang diarahkan, terutama pada penguasaan
disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan khusus.
Sementara jenjang pendidikan keperawatan mencakup program
pendidikan: diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktoral.

3. Faktor informasi
Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan paparan media.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari "tahu" dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yaitu: indra penglihatan. pendengaran, penciuman,
perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
pendidikan, pengalaman orang lain, media massa, maupun lingkungan.
Variabel-variabel dalam background factor ini memengaruhi belief dan
pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku.

Keberadaan faktor tambahan ini memang masih menjadi pertanyaan empiris mengenai
seberapa jauh pengaruhnya terhadap belief, intensi, dan tingkah laku. Namun, faktor
ini pada dasarnya tidak menjadi bagian dari TPB yang dikemukakan oleh Ajzen,
melainkan hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan lebih dalam determinan
tingkah laku manusia.

Intensi
Ajzen (1988, 1991) mengungkapkan bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat
keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang
akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Hartono (2007) mendefinisikan
intensi (niat) sebagai keinginan untuk melakukan perilaku. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa, seseorang berperilaku karena faktor keinginan, kesengajaan atau
karena memang sudah direncanakan. Niat berperilaku (behavioral intention) masih
merupakan suatu keinginan atau rencana. Dalam hal ini, niat belum merupakan
perilaku, sedangkan perilaku (behavior) adalah tindakan nyata yang dilakukan.
Intensi merupakan faktor motivasional yang memiliki pengaruh pada perilaku,
sehingga orang dapat mengharapkan orang lain berbuat sesuatu berdasarkan intensinya
(Ajzen; 1988, 1991). Pada umumnya, intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan
perilaku, sehingga dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. Menurut Fishbein dan
Ajzen (1975), intensi diukur dengan sebuah prosedur yang menempatkan subjek di
dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan suatu hubungan antara dirinya dengan
tindakan.
Menurut Theory of Planned Behavior, intensi memiliki tiga determinan, yaitu:
sikap, norma, sudjektif, dan kendala-perilaku-yang-dipersepsikan (Ajzen, 1988).
Untuk melihat besar/bobot pengaruh masing-masing determinan digunakan
perhitungan analisis multiple regresi, dengan persamaan sebagai berikut:

B ~ I = (Ab)W1 + (SN) W2 + (PBC) W3

Keterangan: B = behavior = perilaku


I = intention = intensi melakukan perilaku B
Ab = attitudes = sikap terhadap perilaku B
SN = subjective norms = norma subjektif
PBC = perceived behavior control = kendali perilaku yang
dipersepsikan
W123 = weight = bobot pengaruh

Keakuratan intensi dalam memprediksi tingkah laku tentu bukan tanpa syarat, karena
ternyata ditemukan pada beberapa studi bahwa intensi tidak selalu menghasilkan
tingkah laku yang dimaksud. Pernyataan ini juga diperkuat oleh pernyataan Ajzen
(2005). Menurutnya, walaupun banyak ahli yang sudah membuktikan hubungan yang
kuat antara intensi dan tingkah laku, namun pada beberapa kali hasil studi ditemukan
pula hubungan yang lemah antara keduanya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi
kemampuan intensi dalam memprediksi tingkah laku yaitu:
1. Kesesuaian antara intensi dan tingkah laku. Pengukuran intensi harus disesuaikan
dengan perilakunya dalam hal konteks dan waktunya.
2. Stabilitas intensi. Faktor kedua adalah ketidakstabilan intensi seseorang. Hal ini
bisa terjadi jika terdapat jarak/jangka waktu yang cukup panjang antara
pengukuran intensi dan dengan pengamatan tingkah laku. Setelah dilakukan
pengukuran intensi, sangat mungkin ditemui hal-hal/kejadian yang dapat
mencampuri atau mengubah intensi seseorang untuk berubah, sehingga pada
tingkah laku awal yang ditampilkannya tidak sesuai dengan intensi awal. Semakin
panjang interval waktunya, maka semakin besar kemungkinan intensi akan
berubah.
3. Literal inconsistency.
Pengukuran intensi dan tingkah laku sudah sesuai (compatible) dan jarak waktu
antara pengukuran intense dan tingkah laku singkat, namun kemungkinan terjadi
ketidaksesuaian antara intense dengan tingkah laku yang ditampilkannya masih
ada. Penjelasan literal inconsistency ini adalah individu terkadang tidak konsisten
dalam mengaplikasikan tingkah lakunya sesuai dengan intense yang sudah
dinyatakan sebelumnya. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa alasan, di
antaranya individu tersebut merasa lupa akan apa yang pernah mereka ucapkan.
Maka untuk mengantisipasi hal ini dapat dilakukan strategi implementation
intention, yaitu dengan meminta individu untuk memerinci bagaimana intensi
tersebut akan diimplementasikan dalam tingkah laku. Perincian mencakup kapan,
di mana, dan bagaimana tingkah laku akan dilakukan.
4. Base rate.
Base rate adalah tingkat kemungkinan sebuah tingkah laku akan dilakukan oleh
orang. Tingkah laku dengan base rate yang tinggi adalah tingkah laku yang
dilakukan oleh hamper semua orang, misalnya mandi dan makan. Sementara
tingkah laku dengan base rate rendah adalah tingkah laku yang hampir tidak
dilakukan oleh kebanyakan orang, misal bunuh diri. Intensi dapat memprediksi
perilaku aktualnya dengan baik jika perilaku tersebut memiliki tingkat base rate
yang sedang, missal pendokumentasian asuhan keperawatan.

Pengukuran intensi dapat digolongkan ke dalam pengukuran belief. Sebagaimana


pengukuran belief, pengukuran intensi terdiri atas dua hal, yaitu pengukuran isi
(content) dan kekuatan (strength). Isi dari intensi diwakili oleh jenis tingkah laku yang
akan diukur, sedangkan kekuatan responsnya dilihat dari rating jawaban yang
diberikan responden pada pilihan skala yang tersedia. Contoh pilihan sekalanya adalah
mungkin-tidak mungkin dan setuju tidak setuju.

Sikap

Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan besarnya perasaan positif atau negatif
terhadap suatu objek (favorable) atau negatif (unfavorable) terhadap suatu objek,
orang, institusi, atau kegiatan. Eagly dan Chaiken (1993) dalam Aiken (2002)
mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi suatu entitas dalam derajat suka dan tidak suka. Sikap dipandang sebagai
sesuatu yang afektif atau evaluatif.
Konsep sentral yang menentukan sikap adalah keyakinan (belief). Menurut
Fishbein dan Ajzen (1975), keyakinan merepresentasikan pengetahuan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu objek, di mana keyakinan menghubungkan suatu objek
dengan beberapa atribut. Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedur yang
menempatkan seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan objek
dengan atribut terkait.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap seseorang terhadap suatu objek sikap
dapat diestimasikan dengan menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap atribut
yang diasosiasikan pada objek sikap (belief evaluation) dengan probabilitas
subjektifnya bahwa suatu objek memiliki atau tidak memiliki atribut tersebut
(behavioral belief). Atau dengan kata lain, dalam teori perilaku terencana sikap yang
dimiliki seseorang terhadap suatu tingkah laku dilandasi oleh keyakinan seseorang
terhadap konsekuensi (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku tersebut
dilakukan (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku (outcoma evaluation) dan
kekuatan terhadap keyakinan tersebut (belief strength). Keyakinan (belief) adalah
pernyataan subjektif seseorang yang menyangkut aspek-aspek yang dapat dibedakan
tentang dunianya, yang sesuai dengan pemahaman tentang diri dan lingkungannnya
(Ajzen, 2005).
Dikaitkan dengan sikap, keyakinan mempunyai tingkatan atau kekuatan yang
berbeda-beda. Kekuatan ini berbeda-beda pada setiap orang dan kuat lemahnya
keyakinan ditentukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap tingkat keseringan
suatu objek memiliki atribut tertentu (Fishbein &Ajzen, 1975). Sebagai salah satu
komponen dalam rumusan intensi, sikap terdiri atas keyakinan dan evaluasi keyakinan
(Fishbein & Ajzen, 1975 dalam Ismail & Zain, 2008), seperti rumus berikut ini.

AB = Σb1 e1

Keterangan:
AB = Sikap terhadap perilaku tertentu
b1 = Keyakinan (belief) terhadap perilaku tersebut yang mengarah pada
konsekuensi i
e1 = Evaluasi seseorang terhadap outcome i (outcome evaluation)

Berdasarkan rumus di atas, sikap terhadap perilaku tertentu (AB) didapatkan dari
penjumlahan hasil kali antara kekuatan belief terhadap outcome yang dihasilkan (b1)
dengan evaluasi terhadap outcome (e1). Dengan kata lain, seseorang yang percaya
bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan sebuah outcome yang positif, maka ia
akan memiliki sikap yang positif. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang memiliki
keyakinan bahwa dengan melakukan suatu tingkah laku akan menghasilkan outcome
yang negatif, maka seseorang tersebut juga akan memiliki sikap yang negatif terhadap
perilaku tersebut.
Pengukuran sikap tidak bisa didapatkan melalui pengamatan langsung,
melainkan harus melalui pengukuran respons. Pengukuran sikap ini didapatkan dari
interaksi antara belief content-outcome evaluation dan belief strength. Belief
seseorang mengenai suatu objek atau tindakan dapat dimunculkan dalam format
respons bebas dengan cara meminta subjek untuk menuliskan karakteristik, kualitas
dan atribut dari objek atau konsekuensi tingkah laku tertentu. Fishbein & Ajzen
menyebutnya dengan proses elisitasi. Elisitasi digunakan untuk menentukan
keyakinan utama (salient belief) yang akan digunakan dalam penyusunan alat ukur
atau instrumen.

Norma Subjektif

Norma subjektif merupakan kepercayaan seseorang mengenai persetujuan orang lain


terhadap suatu tindakan (Ajzen, 1988), atau persepsi individu tentang apakah orang
lain akan mendukung atau tidak terwujudnya tindakan tersebut. Norma subjektif
adalah pihak-pihak yang dianggap berperan dalam perilaku seseorang dan memiliki
harapan pada orang tersebut, dan sejauh mana keinginan untuk memenuhi harapan
tersebut. Jadi, dengan kata lain bahwa norma subjektif adalah produk dari persepsi
individu tentang keyakinan yang dimiliki orang lain. Orang lain tersebut disebut
rujukan (referent), dan dapat merupakan orang tua, sahabat, atau orang yang dianggap
ahli atau penting. Terdapat dua faktor yang memengaruhi norma berpikir ia harus atau
harus tidak melakukan suatu perilaku dan motivation to comply yaitu motivasi
individu untuk memenuhi norma dari rujukan tersebut.
Rumusan norma subjektif pada intensi perilaku tertentu, dirumuskan sebagai
berikut (Fishbein & Ajzen, 1975):

SN= Σ b1 m1
Keterangan:
SN = Norma Subjektif
b1 = Normative belief
m1 = Motivasi untuk mengikuti anjuran (motivation to comply)
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa norma subjektif adalah persepsi
seseorang terhadap orang-orang yang dianggap penting bagi dirinya untuk
berperilaku atau tidak berperilaku tertentu, dan sejauhmana sescorang ingin mematuhi
anjuran orang-orang tersebut. Norma subjektif secara umum dapat ditentukan oleh
harapan spesifik yang dipersepsikan seseorang, yang merupakan referensi (anjuran)
dari orang-orang yang di sekitarnya dan oleh motivasi untuk mengikuti referensi atau
anjuran tersebut.
Berdasarkan rumus di atas, norma subjektif (SN) didapatkan dari hasil
penjumlahan hasil kali normative belief tentang tingkah laku i (b 1) dan dengan
motivation to comply/motivasi untuk mengikutinya (m 1). Dengan kata lain, bahwa
seseorang yang yang memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok yang cukup
berpengaruh terhadapnya (referent) akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku
tersebut, maka hal ini akan menjadi tekanan sosial untuk seseorang tersebut
melakukannya. Sebaliknya, jika seseorang percaya bahwa orang lain yang
berpengaruh padanya tidak mendukung tingkah laku tersebut, maka hal ini
menyebabkan ia memiliki norma subjektif untuk tidak melakukannya.
Pengukuran norma subjektif sesuai dengan antesedennya, yaitu berdasarkan
dua skala : normative belief dan motivation to comply. Maka pengukurannya juga
diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian keduanya. Norma subjektif sama halnya
dengan sikap, tentang pihak-pihak yang mendukung atau tidak mendukung didapatkan
dari hasil elisitasi untuk menentukan keyakinan utamanya.

Perceived Behavioral Control (PBC)

Kendali-perilaku-yang-dipersepsikan (perceived behavior control) merupakan


persepsi terhadap mudah atau sulitnya sebuah perilaku dapat dilaksanakan. Variabel
ini diasumsikan merefleksikan pengalaman masa lalu, dan mengantisipasi halangan
yang mungkin terjadi (Ajzen, 1988). Atau perceived behavioral control adalah persepsi
seseorang tentang kemudahan atau kesulitan untuk berperilaku tertentu.
Terdapat dua asumsi mengenai kendali-perilaku-yang-dipersepsikan. Pertama,
kendali-perilaku-yang-dipersepsikan diasumsikan memiliki pengaruh motivasional
terhadap intensi. Individu yang meyakini bahwa ia tidak memiliki kesempatan untuk
berperilaku, tidak akan memiliki intensi yang kuat, meskipun ia bersikap positif dan
didukung oleh rujukan (orang-orang di sekitarnya) (Ajzen 1988). Kedua, kendali-
perilaku- yang-dipersepsikan memiliki kemungkinan untuk memengaruhi perilaku
secara langsung, tanpa melalui intensi, karena ia merupakan substitusi parsial dari
pengukuran terhadap kendali aktual (Ajzen, 1988).
Perceived behavioral control sama dengan kedua faktor sebelumnya yaitu
dipengaruhi juga oleh keyakinan. Keyakinan (belief) yang dimaksud adalah tentang
ada/hadir dan tidaknya faktor yang menghambat atau mendukung performa tingkah
laku (control belief). Berikut adalah rumus yang menghubungakan antara perceived
behavioral control dan control belief

PBC = Σ c1 p1

Keterangan:
PBC = Perceived Behavioral Control
c1 = Control belief
p1 = Power belief

Kendali perilaku yang dipersepsikan/PBC didapat dengan menjumlahkan hasil


kali antara keyakinan mengenai mudah atau sulitnya suatu perilaku dilakukan (control
belief) dan kekuatan faktor i dalam dalam memfasilitasi atau menghambat tingkah laku
(power belief). Dengan kata lain, semakin besar persepsi seseorang mengenai
kesempatan dan sumber daya yang dimiliki (faktor pendukung), serta semakin kecil
persepsi tentarng hambatan yang dimiliki, maka semakin besar perceived behavioral
control yang dimiliki seseorang.
Pengukuran perceived behavioral control yang dapat dilakukan hanyalah
mengukur persepsi individu yang bersangkutan terhadap kontrol yang ia miliki
terhadap beberapa faktor penghambat atau pendukung tersebut. Beberapa faktor yang
dipersepsi sebagai penghambat atau pendorong tersebut didapatkan dari proses
elisitasi untuk mendapatkan keyakinan utama.

DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 1988. From Intentions to Actions, Attitudes, Personality and Behavior.
London: Open University Press, England.

Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes. Academic Press, University of Massachusetts

Ajzen, I. 2002. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological


Considerations. September (Direvisi pada Januari 2006).

Ajzen, I. 2005. Attitude, Personality, and Behavior. Buckingham: Open University


Press, Milton Keynes.

Ajzen, I. 2006. Constructing a TPB Questionnaire: Conceptual and Methodological


Considerations. Revisi.

Fishbein, M & Ajzen, I. 1975. Belief, Attitude, Intention, and Behavior: An


Introduction to Theory & Research. Massachusetts: Addison-Wesley Publishing
Company

Fishbein, M & Ajzen, I. 2010 Predicting and Changing Behavior: The reasoned action
approach. New York: Psychology Press
SELF REGULATION MODEL

Penyakit kanker terutama stadium lanjut berdampak berat pada aspek psikologis,
sosial, fisik, ekonomi, dan kultural individu. Seseorang dengan diagnosis kanker
cenderung berusaha beradaptasi semampu mereka, namun tidak jarang mereka tidak
mempunyai cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mengambil keputusan dan
bertindak sesuai yang seharusnya. Sebuah penelitian di Korea Selatan mengungkapkan
bahwa ketika pasien kanker serviks membutuhkan informasi tentang penyakitnya,
maka perilaku mencari informasi akan meningkat. Leventhal berpendapat bahwa
berbagai informasi diperlukan untuk memengaruhi sikap dan tindakan terhadap
ancaman kesehatan maupun keberlangsungan hidup seseorang. Berdasarkan salah satu
model dari Self-Regulatory yang terkait dengan ancaman kesehatan yaitu Common
Sense Model, adanya stimulus kesehatan seperti informasi tentang penyakit tertentu
akan memunculkan respons emosional bagi pasien dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesadaran (awareness) akan penyakit tersebut. Hal ini terbukti hasil
penelitian AV Sri S (2012) tentang kemandirian dan regulasi pada pasien stroke.
Self-regulation adalah kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengubah
perilakunya (Baumeister). Istilah self-regulation secara luas digunakan untuk
menjelaskan usaha perubahan pemikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan yang
dilakukan oleh individu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Self-regulation
memandang individu sebagai agen yang aktif dan pengambil keputusan karena kedua
hal tersebut merupakan aspek penting dari adaptasi manusia terhadap kehidupan. Self-
regulation muncul ketika seseorang memotivasi dan memandu tindakan mereka secara
proaktif sesuai dengan harapan yang mereka miliki. Setelah seseorang mencapai
tujuan atau harapan yang mereka inginkan maka orang dengan self-efficacy tinggi
akan meningkatkan tujuan yang lebih besar. Self-efficacy dalam konteks self-care
agency merupakan komponen dasar atau foundational capability and dispositions.

Gambar 4.15 model self-regulation (Ogden, 2007)


Model self-regulation sebenarnya mengacu pada proses pemecahan masalah.
Pemecahan masalah kesehatan pada dasarnya tidak berbeda dengan pemecahan
masalah yang lain. Dalam model self-regulation terdapat proses interpretasi masalah,
koping, dan appraisal atau penilaian keberhasilan koping (Ogden, 2007).
Stimulus atau ancaman kesehatan akan dipersepsikan oleh seseorang dalam
tahap interpretasi, ancaman ini kemudian akan menimbulkan respons emosional antara
lain ketakutan, cemas, dan depresi. Tahapan selanjutnya dalam proses self-regulation
adalah koping. yaitu saat seseorang berusaha menghadapi masalah sesuai dengan
kemampuannya. Tahapan yang terakhir adalah appraisal, yaitu saat seseorang menilai
apakah koping yia lakukan berhasil (Ogden, 2007). Dalam tahap interpretasi terdapat
proses representasi dari ancaman. Proses representasi ini terdiri atas lima domain
penting yaitu identity, cause, timeline, consequences, dan controllability. Domain
identity melibatkan nilai atau kepercayaan seseorang akan ancaman kesehatan atau
perjalanan penyakit yang akan dihadapi. Domain cause adalah faktor individu atau
lingkungan yang menyebabkan seseorang mengalami ancaman kesehatan, sedangkan
domain timeline adalah waktu saat ancaman itu datang atau lama penyakit itu akan
berlangsung. Domain keempat adalah consequences mengacu pada beberapa hal yang
akan terjadi karena penyakit yang dialami, dan domain controllability adalah beberapa
hal yang dapat menjadi solusi atau penanganan penvakit yang diderita (Alligood &
Tomey, 2006), Serangkaian representasi kognitif dari suatu stimulus masalah akan
memberikan arti dari masalah tersebut, dan menyebabkan seseorang mengembangkan
serta mempertimbangkan strategi koping yang sesuai untuk masalah tersebut (Ogden.
2007)

DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th Ed.
Missouri Mosby.
Ave S S & Nursalam. 2012. "Peningkatan Self Care Agency Pasien dengan Stroke
Iskemik setelah Penerapan Self Care Regulation Model". Jurnal Ners. Vol. 7.
No. 1, hlm. 13-24

Ogden, J. 2007. Health Psychology 4h Ed. England: Open University


TEORI MODEL PENCEGAHAN PRIMER (CAPLAN, 2001)

Model ini dikembangkan oleh Gerald Caplan, yang membicarakan tentang tiga level
intervensi pencegahan pada klien dengan gangguan emosional dan sakit jiwa. Model
Caplan ini lebih diperuntukkan untuk psikiatri komunitas/masyarakat dan pelayanan
kesehatan jiwa yang berhubungan dengan masyarakat, pusat pelayanan pengobatan
dasar di komunitas seperti puskesmas, pendekatan tim multidisiplin, perawatan
berlanjut melalui pencegahan, perlindungan, dan pengobatan, dan menghindari rawat
inap di rumah sakit. Tiga level intervensi pencegahan psikiatri meliputi, pencegahan
primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer, bertujuan: (1) mengurangi kasus baru melalui identifikasi
kelompok risiko tinggi, situasi stres, kejadian stres dalam kehidupan yang berpotensi
sakit jiwa; (2) pendidikan kepada komunitas dengan memanfaatkan strategi koping
untuk mengatasi stres atau cara mengatasi dan memecahkan masalah; (3) menguatkan
kemampuan individu dengan menurunkan stres, tekanan, cemas, yang bisa
menyebabkan sakit jiwa. Komponen dalam pencegahan primer adalah promosi
kesehatan dan perlindungan khusus.
Karakteristik pencegahan primer adalah promosi kesehatan untuk membangun
adaptasi menggunakan sumber-sumber koping menjaga kesehatan mental seseorang.
Perhatikan total populasi, khususnya berfokus melayani kelompok risiko tinggi. Alat
utama untuk pencegahan primer adalah pendidikan dan perubahan sosial; pemanfaatan
agen-agen di masyarakat yang menjaga kesejahteraan masyarakat, seperti penyembuh
tradisional, tenaga sukarela, dan lain-lain; serta membekali diri dengan sumber-sumber
personal dan lingkungan terutama strategi koping. Efektifkan hubungan interpersonal,
tingkatkan tugas-tugas yang sesuai kelompok umur, kembangkan kemampuan control
dalam kelompok. Peroleh kepuasan terhadap diri sendiri dan keberadaannya,
pendidikan kesehatan, motivasi untuk melakukan aktivitas untuk mengurangi stres,
bekali diri dengan dukungan psikososial. Tingkatkan pola hidup sehat, pertahankan
standar hidup yang tinggi dan implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam
hal pencegahan.
Komponen perlindungan khusus dalam pencegahan primer dengan cara
mengembangkan kompetensi sosial, ajarkan teknik pencegahan dan kontrol masalah
sosial, hindari kejadian dari kondisi sosial yang patologis, tingkatkan kontrol diri dan
kemampuan pengambilan keputusan sosial. Memberdayakan sistem asuhan yang ada,
kembangkan interaksi dan pola perilaku; kembangkan partisipasi sebagai warga,
tingkatkan kontrol dan buat keputusan-keputusan kritis dalam hidup. mengefektifkan
strategi koping untuk menangani situasi stres. Hindari stres dengan cara mengenali
stres dan hilangkan atau modifikasi. Tangani kelompok berisiko untuk menghindari
atau atasi stres dengan strategi koping. Melakukan manajemen stres, dan beri
dukungan sosial dan emosional untuk menolong orang dalam situasi stres.
Komponen dalam pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan penemuan
kasus serta program skrining. Pencegahan untuk diagnosis dini dan penemuan kasus
berupa memberi pendidikan kepada masyarakat tentang manifestasi dini sakit jiwa;
memberi motivasi kepada pemimpin masyarakat, LSM, dan swasta lainnya di
masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengidentifikasi orang yang sakit jiwa;
mengadakan lokakarya, pelatihan atau program kampanye kepada kelompok-
kelompok tentang pentingnya identifikasi dini kasus jiwa untuk skrining dan
pengobatan sejak periode awal sakit. Program skrining massal sakit jiwa menggunakan
kuesioner dalam bahasa lokal untuk mengidentifikasi sakit jiwa.
Pencegahan tersier, meliputi rehabilitasi ketidakmampuan maupun
keterbatasan dan mencegah komplikasi. Komponen dalam pencegahan tertier adalah
mengurangi prevalensi gejala sisa atau ketidakmampuan. Mengurangi lama rawat inap
di RS-Jiwa, mencegah keretakan keluarga. Membuat klien berguna bagi diri sendiri
secara fisik, mental, sosial, kerja, ekonomi. Mendidik keluarga dan masyarakat agar
mengobati klien secara individual. Meningkatkan motivasi klien untuk kontrol dan
mendapatkan terapi (termasuk terapi keria). Ruiuk klien ke agen kesehatan jiwa
profesional. Pasien dibekali untuk mampu merawat diri sehari-hari dan merencanakan
aktivitas harian. Sosialisasi penanganan pasien sakit jiwa kronis di masyarakat.
Gunakan sumber yang ada dalam keluarga dan masyarakat (Neeraja, 2009).
Table 2.3 Level pencegahan menurut Model Kesehatan Masyarakat (Public Health Model)
Pencegahan Primer
(Dengan menatalaksana masalah kesehatan potensial melalui
promosi kesehatan dan perlindungan khusus)
Pencegahan Sekunder
(Dengan menatalaksana masalah
Tindakan – tindakan
kesehatan aktual: diagnosis dini dan
pencegahan
pengobatan tepat waktu)
Pencegahan Tersier
(Dengan menatalaksana keterbatasan/ketidakmampuan akibat
penyakit kronis dan rehabilitasi: rehabilitasi keterbatasan dan
ketidakmampuan serta mencegah komplikasi)

Sumber: Neeraja, KP 2009, hlm. 95.


Melihat semua uraian di atas, Public Health Model dari Caplan untuk pencegahan psikiatri lebih
berhubungan dengan keluarga dan masyarakat, intervensi-intervensi untuk klien pada tiga level
pencegahan, meminta perawat sebagai tenaga kesehatan utama.

PENGEMBANGAN MUTU PELAYANAN/PRODUKTIVITAS KOPELMAN)

Menurut Kopelman (1986) faktior penentu organisasi yakni kepemimpinan dan system
imbalan berpengaruh ke kinerja individu atau organisasi melalui motivasi, sedangkan
faktor penentu organisasi lainnya, yakni pendidikan, berpengaruh ke kinerja individu
atau organisasi melalai variabel pengetahaun, keterampilan, atau kemampuan.
Kemampuan dibangun oleh pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja.
1. Karakteristik Organisasional (Organizational characteristics).
a. Sistem imbalan (reward system)
Pemberian penghangaan merupakan suatu pernyataan yang menjelaskan apa
yang dinginkan rumah sakit dalam jangka panjang untuk mengembangkan dan
menerapkan kebijakan, praktik, dan proses pemberian penghargaan yang
mendukung pencapaian tujuan dan memennhi kebutuhan (Brown. 2001).
Penghargaun diarkan sehugai suatu stimalus terhadap perbaikan kinerja
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Lingkungan

Karakteristik organisasi

1. system imbalan
2. penetapan tujuan MBO
3. seleksi
4. pelatihan dan
pengembangan
5. kepemimpinan
6. struktur organisasi

Karakteristik
Individu (perawat)

1. Pengetahuan Efektivitas
2. Keahlian Perilaku kerja Kinerja
organisasi
3. Kemampuan
4. Motivasi Kepuasan pasien &
5. Budi pekerti MAKP Caring & ASKEP
perawat
6. Nilai dan norma

Karakteristik Pekerjaan

1. Kinerja objektif
2. Umpan balik
3. Koreksi
4. Desain pekerjaan
5. Jadwal kerja

Gambar 4.16 Faktor penentu produktivitas dalam organisasi (Kopelman, 1986)

b. Penetapan tujuan (goal seting MBO).


Visi adaiah pernyataan tentang tujuan organisassi yang diekspresikan dalam
produk dan pelayanan yang ditawarkan. kebutuhan yang dapat ditanggulangi,
kelompok masyarakat yang dilayani, nilla-nilai yang diperoieh serta aspirasi
dan cita-cta masa depan. Tenaga keperawatan sebagai perpanjangan tangan
dari rumah sakit dalam menerjemahkan visi dan misi. Untuk itu perlu
memahami dan menerapkan visi dan misi organisasi dalam memberikan
pelayanan keperawatan.
c. Seleksi
Seleksi tenaga harus didasarkan pada prinsip tepat orang, di tempat yang tepat
dan waktu yang tepat (the right man, on the right place and on the right time).
d. Pelatihan dan pengembangan (training and development).
Pelatihan (training) adalah proses pendidikan jangka pendek dengan
menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisasi dalam pembelajaran
kepada tenaga keperawatan.
e. Kepemimpinan (leadership).
Pengertian kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni memengaruhi orang lain
agar mau bekerja sama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk
membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan
kelompok.
f. Struktur dan budaya organisasi (organization structure dan culture)
Struktur organisasi menggambarkan dengan jelas pemisahan kegiatan
pekerjaan antara yang satu dengan yang lain dan bagaimana hubungan aktivitas
dan fungsi dibatasi. Dalam struktur organisasi yang baik harus menjelaskan
hubungan wewenang siapa melapor kepada siapa.

2. Karakteristik Individu (perawat)


a. Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dapat diartikan sebagai actionable
information atau informasi yang dapat ditindaklanjuti atau informasi yang
dapat digunakan sebagai dasar untuk bertindak, untuk mengambil
keputusan, dan untuk menempuh arah atau strategi tertentu.
b. Keahlian (skill). Kopelman (2006) mendefinisikan keahlian sebagai
kapasitas yang dibutuhkan dalam melaksanakan beberapa tugas. Hard skilla
merupakan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, dan keterampilan
teknis yang berhubungan dengan bidang ilmunya.
c. Kemampuan (ability). Kemampuan seorang untuk melakukan sesuatu, ada
banyak aspek yang dapat dinilai dari variabel kemampuan, di antaranya
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor (Perry and Potter, 2003).
Perawat perlu terus mengembangkan diri melalui uji kompetensi,
pendidikan formal, dan nonformal
d. Motivasi. Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya (Muhith &
Nursalam, 2013). Tiga elemen utama dalam motivasi ini adalah intensitas,
arah, dan ketekunan. Perawat perlu memupuk motivasi yang tinggi sebagai
bentuk pengabdian dan altruisme pada kebutuhan pasien untuk
kesembuhan.
e. Budi pekerti (attitudes). Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Struktur sikap
terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu kognitif, afektif, dan
konatif.
f. Nilai dan norma (value & Norm). Nilai sebagai suatu sistem merupakan
salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Nilai
berperan sebagai pedoman menentukan kehidupan setiap manusia. Norma
adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, moral, religi,
dan sosial. Perawat perlu memerhatikan aspek nilai dan norma dalam
melayani pasien.

3. Karakteristik Pekerjaan
a. Kinerja objektif (objective performance).
Tujuan dari manajemen kinerja adalah (Armstrong & Baron, 2005;
Wibisono, 2006); mengatur kinerja, mengetahui seberapa efektif dan efisien
suatu kinerja organisasi, membantu pembentukan keputusan organisasi
yang berkaitan dengan kinerja organisasi, kinerja tiap bagian dalam
organisasi, dan kinerja individual, meningkatkan kemampuan organisasi,
dan mendorong karyawan agar bekerja sesuai prosedur, dengan semangat,
dan produktif sehingga hasil kerja optimal.
b. Umpan balik (feedback).
Umpan balik adalah hal yang penting dalam perbaikan kinerja perawat.
c. Koreksi.
Koreksi atau membetulkan (memperbaiki) kesalahan merupakan salah satu
tugas pemimpin (Nursalam, 2013).
d. Desain pekerjaan (job design).
Desain pekerjaan adalah fungsi penetapan kegiatan kerja seorang atau
sekelompok karyawan secara organisasional. Tujuannya untuk mengatur
penugasan kerja supaya dapat memenuhi kebutuhan organisasi.
e. Jadwal kerja (work schedule).
Dalam proses berjalan suatu organisasi dapat eksis dibidangnya, perlu
pengaturan waktu yang efektif sehingga memeperoleh hasil sesuai tujuan
yang diharapkan.

DAFTAR PUSTAKA

Kopelman R.E., 1986. Managing Productivity in Organizations. New York: Mc Graw-


Hill Book Company

Muhith A & Nursalam. 2012. "Mutu Asuhan Keperawatan Berdasarkan Analisis


kinerja Perawat dan Kepuasan Perawat dan Pasien." Jurnal Ners. Vol 7. No. 1.
Hlm. 49-58.

Nursalam. 2012. Development Model of Quality in Nursing Care. International


Nursing Conference. Mei. FKP Unair. Surabaya. Mei 2012.

MODEL MAKP (METODE ASUHAN KEPERAWATAN


PROFESIONAL) DAN ATAU MPKP

Model Asuhan Keperawatan Profesional adalah suatu sistem (struktur, proses dan
nilai-nilai) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan
keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut
(Nursalam, 2011). Pada MAKP memungkinkan pelayanan keperawatan yang
menyeluruh; mendukung pelaksanaan proses keperawatan; dan memungkinkan
komunikasi antartim sehingga konflik mudah diatasi dan memberi kepuasan kepada
anggota tim dan pelanggan. Jenis MAKP yang diterapkan sangat bergantung dari visi
misi rumah sakit, dapat diterapkannya proses keperawatan, memperhatikan kepuasan
perawat dan pasien, serta komunikasi dan kolaborasi yang jelas antar-petugas
kesehatan. Jenis yang digunakan untuk rawat inap dan jalan; MAKP tim, primer,
moduler MAKP rawat darurat adalah MAKP kasus.

KEPUASAN PERAWAT
Kinerja bentuknya dapat berupa kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan bagaimana
perawat memberikan jasa pengobatan terutama keperawatan pada waktu
penyembuhan yang relatif cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien, dan
kenyamanan yang diberikan dengan memperhatikan kebersihan, keramahan, dan
kelengkapan peralatan rumah sakit.

Model Kesenjangan (The Expectancy-Disconfirmation


Model) (Woodruff & Gardial, 2002)

Woodruff dan Gardial (2002) mendefinisikan kepuasan sebagai model kesenjangan


antara harapan (standar kinerja yang seharusnya) dengan kinerja aktual yang diterima
pelanggan. Standar perbandingan (comparison standard) ialah standar yang digunakan
untuk menilai ada tidaknya kesenjangan antara apa yang dirasakan pasien dengan
standard yang ditetapkan. Standar dapat berasal dari:

Kestidak esuaian
yang ditunjukkan

Kinerja yang Outcome


Merasa puas
Ditampilkan kepuasan
Standard
Perbandingan

Gambar 4.17 teori kepuasan pelanggan Woodruff dan Gardial (2002)

a. Harapan pasien, bagaimana pasien mengharapkan produk atau jasa seharusnya dia
terima.
b. Pesaing, pasien mengadopsi standar kinerja pesaing rumah sakit untuk kategori
produk atau jasa yang sama sebagai standar perbandingan.
c. Kategori produk atau jasa lain.
d. Janji promosi dari rumah sakit.
e. Nilai jasa pelayanan kesehatan yang berlaku.

Kepuasan perawat lebih dipengaruhi penerapan standar asuhan keperawatan dapat


dilaksanakan dan adanya dukungan organisasi (fasilitas, gaji, promosi, dan kesesuaian
jenis pekerjaan). Nilai yang dirasakan perawat pada penerapan standar asuhan
keperawatan dalam pengkajian, diagnosis, dan perencanaan adalah tinggi (100% dapat
dilaksanakan dengan baik), sedangan untuk implementasi serta evaluasi belum bisa
dilaksanakan 100 %.
Dukungan organisasi dirasakan oleh perawat sampai sebatas cukup puas. Perawat
masih perlu di tingkatkan kemampuan melaksanakan standar asuhan keperawatan
melalui peningkatan kompetensi (knowledge and skill). Demikian pula dukungan
organisasi yang kondusif dan fasilitatif agar perawat dapat menerapkan standar asuhan
keperawatan secara penuh. Mutu kinerja profesional perawat dapat dilakukan dengan
memberikan pelatihan baik on atau off the training tentang komunikasi terapeutik yang
benar; yaitu komunikasi yang menghasilkan kepuasan semua pihak yang terlibat (win-
win solution bagi dokter, perawat, pasien).

Theory of Servqual

Tinjauan mengenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa besar
kesenjangan (gap) antara persepsi pelanggan atas kenyataan pelayanan yang
diterima.dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan yang harus diterima.
Kelima kesenjangan (gap) tersebut disajikan dalam skema grand theory Parasuraman,
Zeithaml, dan Berry (1985) dan diuraikan berikut ini :

DIAGRAM

Gambar 4.18 Model kesenjangan terintegritas dari harapan layanan


(Parasuraman, Zeithaml, Berry, 1985)
Grand teori yang dikembangkan oleh Parasuraman, Zeithaml, dan Berry dalam
Muninjaya (2011), penyampaian jasa oleh pihak penyedia jasa bisa terancam gagal
kalau berbagai kesenjangan dibiarkan berkembang tanpa ada intervensi untuk
mencegahnya, atau tidak ada upaya khusus untuk mengurangi dampak buruknya.
Penjelasan mengenai kelima kesenjangan tersebut yaitu:
1. Kesenjangan antara harapan pengguna jasa dan persepsi manajemen.
Manajemen institusi pelayanan kesehatan belum mampu secara tepat
mengidentifikasi dan memahami harapan (ekspektasi) para pengguna jasa
pelayanan kesehatan.
2. Kesenjangan antara persepsi manajemen dan spesifikasi kualitas jasa.
Kesenjangan akan terjadi jika pemahaman manajemen RS (puskesmas) tentang
harapan pengguna jasa pelayanan kesehatan tidak diterjemahkan menjadi aksi
nyata yang spesifik. Misalnya, standar prosedur pelayanan atau pelaksanaan
penyampaian jasa belum dikemas sesuai dengan harapan pengguna jasa yang
semakin menuntut pelayanan yang bermutu (cepat, ramah, tepat, dan biaya
terjangkau).
3. Kesenjangan antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya.
Standar pelayanan dan cara penyampaian jasa sudah tersusun dengan baik, tetapi
spesifikasi kualitas jasa dan penyampaiannya muncul kesenjangan karena staf
pelaksana pelayanan di garis depan (front line staff) seperti perawat, bidan, dan
dokter umum di sebuah rumah sakit belum mendapat pelatihan khusus tentang
teknik penyampaian jasa pelayanan tersebut. Akibatnya jasa pelayanan
kesehatan yang ditawarkan kepada pasien tidak sesuai dengan standard yang
sudah ditetapkan oleh komite medik rumah sakit tersebut.
4. Kesenjangan antara penyampaian jasa dan harapan pihak eksternal.
Harapan pengguna jasa sangat dipengaruhi oleh cara staf dan manajemen rumah
sakit berkomunikasi dengan masyarakat calon pengguna jasanya. Cara seperti
ini akan memunculkan kesenjangan. Harapan pengguna jasa pelayanan
kesehatan yang sudah mulai terbentuk melalui pemasaran tidak dapat terpenuhi
karena pelayanan teknis medis dan kelengkapan mutu pelayanan berbeda dengan
ekspektasi mereka.
5. Kesenjangan antara jasa yang diterima pengguna dan yang diharapkan
Kesenjangan ini terjadi jika konsumen mengukur kinerja institusi pelayanan
kesehatan dengan cara yang berbeda, termasuk persepsi pengguna yang berbeda
terhadap kualitas jasa pelayanan kesehatan yang diharapkan.

Menurut Parasuraman (2001:162) bahwa konsep kualitas layanan yang


diharapkan dan dirasakan ditentukan oleh kualitas layanan. Kualitas layanan tersebut
terdiri atas daya tanggap, jaminan, bukti fisik, empati, dan keandalan. Selain itu
pelayanan yang diharapkan sangat dipengaruhi oleh berbagai persepsi komunikasi dari
mulut ke mulut, kebutulhan pribadi, pengalaman masa lalu dan komunikas eksternal,
persepsi inilah yang memengaruhi pelayanan yang diharapkan (Ep = Expectation) dan
pelayanan yang dirasakan (Pp = Perception) yang membentuk adanya konsep kualitas
layanan. Lebih jelasnya dapat ditunjukkan pada gambar di
bawah ini.

DIAGRAM
Gambar 4.19 Penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan (Parasuraman, 2001)

Parasuraman (2001:165) menyatakan bahwa konsep kualitas layanan adala suatu


pengertian yang kompleks tentang mutu, tentang memuaskan atau tidak memuaskan.
Konsep kualitas layanan dikatakan bermutu apabila pelayanan yang diharapkan lebih
kecil daripada pelayanan yang dirasakan (bermutu). Dikatakan konsep kualitas
layanan memenuhi harapan, apabila pelayanan yang diharapkan sama dengan yang
dirasakan (memuaskan). Demikian pula dikatakan persepsi tidak memenuhi harapan
apabila pelayanan yang diharapkan lebih besar daripada pelayanan yang dirasakan
(tidak bermutu).
Konsep kualitas layanan dari yang diharapkan seperti dikemukakan di atas,
ditentukan oleh empat faktor, yang saling terkait dalam memberikan suatu persepsi
yang jelas dari harapan pelanggan dalam mendapatkan pelayanan. Keempat factor
tersebut adalah:
1) Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication, WOM), faktor
ini sangat menentukan dalam pembentukan harapan pelanggan atas suatu
jasa/pelayanan. Pemilihan untuk mengonsumsi suatu jasa/pelayanan yang
bermutu dalam banyak kasus dipengaruhi oleh informasi dari mulut ke mulut
yang diperoleh dari pelanggan yang telah mengonsumsi jasa tersebut
sebelumnya.
Promosi merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan suatu program
pemasaran. Betapapun berkualitasnya suatu produk ataupun jasa, bila konsumen
belum pernah mendengarnya dan tidak yakin bahwa produk tersebut dapat
berguna, maka konsumen tidak akan pernah membeli produk tersebut. Salah satu
alat promosi yang paling ampuh adalah dengan sistem dari mulut ke mulut
(Word of Mouth) (Trarintya, 2011).
Harrison-Walker dalam Brown dkk., (2005) menyatakan bahwa WOM
merupakan sebuah komunikasi informal di antara seorang pembicara yang tidak
komersiil dengan orang yang menerima informasi mengenai sebuah merek,
produk perusahaan, atau jasa. WOM dapat diartikan sebagai aktivitas
komunikasi dalam pemasaran yang mengindikasikan seberapa mungkin
konsumen akan bercerita kepada orang lain tentang pengalamannya dalam
proses pembelian atau mengonsumsi suatu produk atau jasa. Pengalaman
konsumen tersebut dapat berupa pengalaman positif atau pengalaman negatif.
Seperti yang dinyatakan Davidow (2003):

"Bahwa sebenarnya hubungan dari mulut ke mulut berbentuk U, di mana


apabila seseorang puas maka ia akan menyebarkan berita positif dari mulut ke
mulut, tapi apabila mengeluh tidak puas maka ia akan menyebarkan berita
negatif dari mulut ke mulut__That word of mouth is actually an U shaped
relationship, where satisfied complainers spread positive word of mouth valance,
and dissatisfied complainers spread negative word of mouth valance."

Pengalaman yang kurang memuaskan pada konsumen dapat memunculkan


berbagai respons kepada perusahaan. Perusahaan dapat menanggapi respons
tersebut dengan berbagai cara yang dinamis. Peluang meningkatnya aktivitas
WOM tersebut dapat memberikan pengaruh yang hebat.
Menurut Setyawati (2009) dalam usaha WOM, memuaskan konsumen
adalah hal yang sangat wajib. Dalam sebuah studi oleh US Office of Consumer
Affairs (Lembaga Konsumen Amerika Serikat) menunjukkan bahwa WOM
memberikan efek yang signifikan terhadap penilaian konsumen/pelanggan.
Dalam studi tersebut bshwa secara rsta-rata, suatu pelanggan tidak puas akan
mengakibatkan sembilan calon pelanggan lain merasakan ketidakpuasan.
Sementara satu pelanggan yang puas hanya akan mengabarkan kepada lima
calon pelanggan lain.
2) Kebutuhan pribadi (personal need), yaitu harapan pelanggan bervariasi
bergantung pada karakteristik dan keadaan individu yang memengaruhi
kebutuhan pribadinya
3) Pengalaman masa lalu (past experience), yaitu pengalaman pelanggan
merasakan suatu pelayanan jasa tertentu di masa lalu yang memengaruhi tingkat
harapannya untuk memperoleh pelayanan jasa yang sama di masa kini dan yang
akan datang
4) Komunikasi eksternal (company's external communication) yaitu komunikasi
eksternal yang digunakan oleh organisasi jasa sebagai pemberi pelayanan
melalui berbagai bentuk upaya promosi juga memegang peranan dalam
pembentukan harapan pelanggan

Berdasarkan pengertian di atas, terdapat tiga tingkat konsep kualitas layanan yaitu:
1) Bermutu (quality surprise), bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi
pelayanan yang diharapkan pelanggan.
2) Memuaskan (satisfactory quality), bila kenyataan pelayanan yang diterima
sama dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan.
3) Tidak bermutu (unacceptable quality), bila ternyata kenyataan pelayanan yang
diterima lebih rendah dari yang diharapkan pelanggan.

Panasuraman (2001:26) mengemukakan konsep kualitas layanan yang berkaitan


dengan kepuasan ditentukan oleh lima unsur yang biasa dikenal dengan istilah kualitas
layanan "RATER (responsiveness, assurance, tangible, empathy dan reliability).
Konsep kualitas layanan RATER intinya adalah membentuk sikap dan perilaku dari
pengembang pelayanan untuk memberikan bentuk pelayanan yang kuat dan mendasar
agar mendapat penilaian sesuai dengan kualitas layanan yang diterima.
Inti dari konsep kualitas layanan adalah menunjukkan segala bentuk aktualisasi
kegiatan pelayanan yang memuaskan orang-orang yang menerima pelayanan sesuai
dengan daya tanggap (responsiveness), menumbuhkan adanya jaminan (assurance),
menunjukkan bukti fisik (tangible) yang dapat dilihatnya, menurut empati (empathy)
dari orang-orang yang memberikan pelayanan sesuai dengan keandalannya
(reliability) menjalankan tugas pelayanan yang diberikan secara konsekuen untuk
memuaskan perima pelayanan.
Berdasarkan inti dari konsep kualitas layanan "RATER", kebanyakan
organisasi kerja yang menjadikan konsep ini sebagai acuan dalam menerapkan
aktualisasi layanan dalam organisasi kerjanya, dalam memecahkan berbagai bentuk
kesenjangan (gap) atas berbagai pelayanan yang diberikan oleh pegawai dalam
memenuhi tuntutan pelayanan masyarakat. Aktualisasi konsep "RATER juga
diterapkan dalam penerapan kualitas layanan pegawai baik pegawai pemerintah
maupun nonpemerintah dalam meningkatkan prestasi kerjanya.

Lebih jelasnya dapat diuraikan mengenai bentuk-bentuk aplikasi kualitas


layanan dengan menerapkan konsep "RATER" yang dikemukakan oleh Parasuraman
(2001:32) sebagai berikut.
1. Daya tanggap (responsiveness).
Setiap pegawai dalam memberikan bentuk-bentuk pelayanan, mengutamakan
aspek pelayanan yang sangat memengaruhi perilaku orang yang mendapat
pelayanan, sehingga diperlukan kemampuan daya tanggap dari pegawai untuk
melayani masyarakat sesuai dengan tingkat penyerapan, pengertian,
ketidaksesuaian atas berbagai hal bentuk pelayanan yang tidak diketahuinya. Hal
ini memerlukan adanya penjelasan yang bijaksana, mendetail, membina,
mengarahkan dan membujuk agar menyikapi segala bentuk-bentuk prosedur dan
mekanisme kerja yang berlaku dalam suatu organisasi, sehingga bentuk
pelayanan mendapat respons positif (Parasuraman, 2001:52).
Tuntutan pelayanan yang menyikapi berbagai keluhan dari bentuk-bentuk
pelayanan yang diberikan menjadi suatu nilai positif dari daya tanggap pemberi
pelayanan dan yang menerima pelayanan. Seyogyanya pihak yang memberikan
pelayanan apabila menemukan orang yang dilayani kurang mengerti atas
berbagai syarat prosedur atau mekanisme, maka perlu diberikan suatu pengertian
dan pemahaman yang jelas secara bijaksana, berwibawa dan memberikan
berbagai alternatifkemudahan untuk mengikuti syarat pelayanan yang benar,
sehingga kesan dari orang yang mendapat pelayanan memahami atau tanggap
terhadap keinginan orang yang dilayani.
Pada prinsipnya, inti dari bentuk pelayanan yang diterapkan dalam suatu
instansi atau aktivitas pelayanan kerja yaitu memberikan pelayanan sesuai
dengan tingkat ketanggapan atas permasalahan pelayanan yang diberikan.
Kurangnya ketanggapan tersebut dari orang yang menerima pelayanan, karena
bentuk pelayanan tersebut baru dihadapi pertama kali, sehingga memerlukan
banyak informasi mengenai syarat dan prosedur pelayanan yang cepat, mudah
dan lancar, sehingga pihak pegawai atau pemberi pelayanan seyogyanya
menuntun orang yang dilayani sesuai dengan penjelasan penjelasan yang
mendetail, singkat dan jelas yang tidak menimbulkan berbagai pertanyaan atau
hal-hal yang menimbulkan keluh kesah dari orang yang mendapat pelayanan.
Apabila hal ini dilakukan dengan baik, berarti pegawai tersebut memiliki
kemampuan daya tanggap terhadap pelayanan yang diberikan yang menjadi
penyebab terjadinya pelayanan yang optimal sesuai dengan tingkat kecepatan,
kemudahan dan kelancaran dari suatu pelayanan yang ditangani oleh pegawai
(Parasuraman, 2001:63)
Suatu organisasi sangat menyadari pentingnya kualitas layanan daya
tanggap atas pelayanan yang diberikan. Setiap orang yang mendapat pelayanan
sangat membutuhkan penjelasan atas pelayanan yang diberikan agar pelayanan
tersebut jelas dan dimengerti. Untuk mewujudkan dan merealisasikan hal
tersebut, maka kualitas layanan daya tanggap mempunyai peranan penting atas
pemenuhan berbagai penjelasan dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat.
Apabila pelayanan daya tanggap diberikan dengan baik atas penjelasan yang
bijaksana, penjelasan yang mendetail, penjelasan yang membina, penjelasan
yang mengarahkan dan yang bersifat membujuk, apabila hal tersebut secara jelas
dimengerti oleh individu yang mendapat pelayanan, maka secara langsung
pelayanan daya tanggap dianggap berhasil, dan ini menjadi suatu bentuk
keberhasilan prestasi kerja. Margaretha (2003:163) kualitas layanan daya
tanggap adalah suatu bentuk pelayanan dalam memberikan penjelasan. agar
orang yang diberi pelayanan tanggap dan menanggapi pelayanan yang diterima,
sehingga diperlukan adanya unsur kualitas layanan daya tanggap sebagai
berikut.
a. Memberikan penjelasan secara bijaksana sesuai dengan bentuk-bentuk
pelayanan yang dihadapinya. Penjelasan bijaksana tersebut mengantar
individu yang mendapat pelayanan mampu mengerti dan menyetujui
segala bentuk pelayanan yang diterima.
b. Memberikan penjelasan yang mendetail yaitu bentuk penjelasan yang
substantif dengan persoalan pelayanan yang dihadapi, yang bersifat jelas,
transparan, singkat dan dapat dipertanggungjawabkan.
c. Memberikan pembinaan atas bentuk-bentuk pelayanan yang dianggap
masih kurang atau belum sesuai dengan syarat-syarat atau prosedur
pelayanan yang ditunjukkan.
d. Mengarahkan setiap bentuk pelayanan dari individu yang dilayani untuk
menyiapkan, melaksanakan dan mengikuti berbagai ketentuan pelayanan
yang harus dipenuhi.
e. Membujuk orang yang dilayani apabila menghadapi permasalahan yang
dianggap bertentangan, berlawanan atau tidak sesuai dengan prosedur
dan ketentman vang berlaku

Uraian-uraian di atas menjadi suatu interpretasi yang banyak dikembangk dalam suatu
organisasi kerja yang memberikan kualitas layanan yang sesuai dengan daya tanggap
atas berbagai pelayanan yang ditunjukkan. Inti dari pelayanan daya tanggap dalam
suatu organisasi berupa pemberian berbagai penjelasan dengan bijaksana, mendetail,
membina, mengarahkan dan membujuk. Apabila hal ini dapat diimplementasikan
dengan baik, dengan sendirinya kualitas layanan daya tanggap akan menjadi cermin
prestasi kerja pegawai yang ditunjukkan dalam pelayanannya.

2. Jaminan (Assurance)
Setiap bentuk pelayanan memerlukan adanya kepastian atas pelayanan yang
diberikan. Bentuk kepastian dari suatu pelayanan sangat ditentukan oleh jaminan
dari pegawai yang memberikan pelayanan, sehingga orang yang menerima
pelayanan merasa puas dan yakin bahwa segala bentuk urusan pelayanan yang
dilakukan atas tuntas dan selesai sesuai dengan kecepatan, ketepatan,
kemudahan, kelancaran dan kualitas layanan yang diberikan (Parasuraman,
2001:69).
Jaminan atas pelayanan yang diberikan oleh pegawai sangat ditentukan
oleh performance atau kinerja pelayanan, sehingga diyakini bahwa pegawai
tersebut mampu memberikan pelayanan yang andal, mandiri dan profesional
yang berdampak pada kepuasan pelayanan yang diterima. Selain dari
performance tersebut, jaminan dari suatu pelayanan juga ditentukan dari adanya
komitmen organisasi yang kuat, yang menganjurkan agar setiap pegawai
memberikan pelayanan secara serius dan sungguh-sungguh untuk memuaskan
orang yang dilayani. Bentuk jaminan yang lain yaitu jaminan terhadap pegawai
yang memiliki perilaku kepribadian (personality behavior) yang baik dalam
memberikan pelayanan, tentu akan berbeda pegawai yang memiliki watak atau
karakter yang kurang baik dan yang kurang baik dalam memberikan pelayanan
(Margaretha, 2003: 201).
Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu
kepada kepuasan pelayanan yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen
organisasi yang menunjukkan pemberian pelayanan yang baik, dan perilaku dari
pegawai dalam memberikan pelayanan, sehingga dampak yang ditimbulkan dari
segala aktivitas pelayanan tersebut diyakini oleh orang-orang yang menerima
pelayanan, akan dilayani dengan baik sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan
yang dapat diyakini sesuai dengan kepastian pelayanan.
Melihat kenyataan kebanyakan organisasi modern dewasa ini
diperhadapkan oleh adanya berbagai bentuk penjaminan yang dapat meyakinkan
atas berbagai bentuk pelayanan yang dapat diberikan oleh suatu organisasi sesuai
dengan prestasi kerja yang ditunjukkannya. Suatu organisasi sangat
membutuhkan adanya kepercayaan memberikan pelayanan kepada orang-orang
yang dilayaninya. Untuk memperoleh suatu pelayanan yang meyakinkan, maka
setiap pegawai berupaya untuk menunjukkan kualitas layanan yang meyakinkan
sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang memuaskan yang diberikan,
bentuk-bentuk pelayanan yang sesuai dengan komitmen organisasi yang
ditunjukkan dan memberikan kepastian pelayanan sesuai dengan perilaku yang
ditunjukkan. Margaretha (2003:215) suatu organisasi kerja sangat memerlukan
adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi
tersebut mampu memberikan kualitas layanan yang dapat dijamin sesuai dengan:
a. Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu setiap pegawai akan
memberikan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar, dan berkualitas.
Hal tersebut menjadi bentuk konkret yang memuaskan penerima layanan.
b. Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan bentuk-
bentuk integritas, etos, dan budaya kerja yang sesuai dengan aplikasi dari
visi dan misi suatu organisasi dalam memberikan pelayanan.
c. Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan perilaku
yang ditunjukkan, agar orang yang mendapat pelayanan yakin sesuai
dengan perilaku yang dilihatnya.

Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan
kualitas layanan asuransi (meyakinkan) kepada setiap orang yang diberi
pelayanan sesuai dengan bentuk bentuk kepuasan pelayanan yang dapat
diberikan, memberikan pelayanan yang sesuai dengan komitmen kerja yang
ditunjukkan dengan perilaku yang menarik, meyakinkan dan dapat dipercaya,
sehingga segala bentuk kualitas layanan yang ditunjukkan dapat dipercaya dan
menjadi aktualisasi pencerminan prestasi kerja yang dapat dicapai atas
pelayanan kerja.

3. Bukti fisik (tangible)


Pengertian bukti fisik dalam kualitas layanan adalah bentuk aktualisasi nyata
secara fisik dapat terlihat atau digunakan oleh pegawai sesuai dengan
penggunaan dan pemanfaatannya yang dapat dirasakan membantu pelayanan
yang, diterima oleh orang yang menginginkan pelayanan, sehingga puas atas
pelayanan yang dirasakan, yang sekaligus menunjukkan prestasi kerja atas
pemberian pelayanan yang diberikan (Parasuraman, 2001:32).
Berarti dalam memberikan pelayanan, setiap orang yang menginginkan
pelayanan dupat merasakan pentingnya bukti fisik yang ditunjukkan oleh
pengembang pelayanan, sehimgga pelayanan yang diberikan memberikan
kepuasan. Bentuk pelayanan bukti fisik biasanya berupa sarana dan prasarana
pelayanan yang tersedia, tekmologi pelayanan yang digunakan, kinerja pemberi
pelayanan yang sesuai dengan karakteristik pelayanan yang diberikan dalam
menunjukkan prestasi kerja yang dapat diberikan dalam bentuk pelayanan fisik
yang dapat dilihat. Bentuk-bentuk pelayanan fisik yang ditunjukkan sebagai
kualitas layanan dalam rangka meningkatkan prestasi kerja, merupakan salah
satu pertimbangan dalam manajemen organisasi
Arisutha (2005:49) menyatakan prestasi kerja yang ditunjukkan oleh
individu sumber daya manusia, menjadi penilaian dalam mengaplikasikan
aktivitas kerja yang dapat dinilai dari bentuk pelayanan fisik yang ditunjukkan.
Biasanya bentuk pelayanan fisik tersebut berupa kemampuan menggunakan dan
memanfaatkan segala fasilitas alat dan perlengkapan di dalam memberikan
pelayanan, sesuai dengan kemampuan penguasaan teknologi yang ditunjukkan
secara fisik dan bentuk tampilan dari pemberi pelayanan sesuai dengan perilaku
yang ditunjukkan. Dalam banyak organisasi, kualitas layanan fisik terkadang
menjadi hal penting dan utama, karena orang yang mendapat pelayanan dapat
menilai dan merasakan kondisi fisik yang dilihat secara langsung dari pemberi
pelayanan baik menggunakan, mengoperasikan dan menyikapi kondisi fisik
suatu pelayanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suatu organisasi modern
dan maju, pertimbangan dari para pengembang pelayanan, senantiasa
mengutamakan bentuk kualitas kondisi fisik yang dapat memberikan apresiasi
terhadap orang yang memberi pelayanan.
Narsalam (2011) menyatakan bahwa kualitas layanan berupa kondisi fisik
merupakan bentuk kualitas layanan nyata yang memberikan adanya apresiasi
dan membentuk citra positif bagi setiap individu yang dilayaninya dan menjadi
suatu penilaian dalam menentukan kemampuan dari pengembang pelayanan
tersebut memanfaatkan segala kemampuannya untuk dilihat secara fisik, baik
dalam menggunakan alat dan perlengkapan pelayanan, kemampuan
menginovasi dan mengadopsi teknologi, dan menunjukkan suatu tampilan
kinerja yang cakap, berwibawa, dan memiliki integritas yang tinggi sebagai
suatu wujud dari prestasi kerja yang ditunjukkan kepada orang yang mendapat
pelayanan.
Selanjutnya, tinjauan Gibson, Ivancevich, Donnelly (2003) melihat
dinamika dunia kerja dewasa ini mengedepankan pemenuhan kebutuhan
pelayanan masyarakat. Dengan demikian, identifikasi kualitas layanan fisik
mempunyai peranan penting dalam memperlihatkan kondisi-kondisi fisik
pelayanan tersebut. Identifikasi kualitas layanan fisik (tangible) dapat tercermin
dari aplikasi lingkungan kerja berupa:
a. Kemampuan menunjukkan prestasi kerja pelayanan dalam menggunakan
alat dan perlengkapan kerja secara efisien dan efektif.
b. Kemampuan menunjukkan penguasaan teknologi dalam berbagai akses
data dan inventarisasi otomasi kerja sesuai dengan dinamika dan
perkembangan dunia kerja yang dihadapinya.
c. Kemampuan menunjukkan integritas diri sesuai dengan penampilan yang
menunjukkan kecakapan, kewibawaan, dan dedikasi kerja.

Uraian ini secara umum memberikan suatu indikator yang jelas bahwa
kualitas layanan sangat ditentukan menurut kondisi fisik pelayanan, yang inti
pelayanannya yaitu kemampuan dalam menggunakan alat dan perlengkapan
kerja yang dapat dilihat secara fisik, mampu menunjukkan kemampuan secara
fisik dalam berbagai penguasaan teknologi kerja dan menunjukkan penampilan
yang sesuai dengan kecakapan, kewibawaan, dan dedikasi kerja.

4. Empati (Empathy)
Setiap kegiatan atau aktivitas pelayanan memerlukan adanya pemahaman dan
pengertian dalam kebersamaan asumsi atau kepentingan terhadap suatu hal yang
berkaitan dengan pelayanan. Pelayanan akan berjalan dengan lancar dan
berkualitas apabila setiap pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
memiliki adanya rasa empati (empathy) dalam menyelesaikan atau mengurus
atau memiliki komitmen yang sama terhadap pelayanan (Parasuraman, 2001:40)
Empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan,
simpatik, pengertian, dan keterlibatan pihak pihak yang berkepentingan dengan
pelayanan untuk mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai
dengan tingkat pengertian dan pemahaman dari masing masing pihak tersebut.
Pihak yang memberi pelayanan harus memiliki empati memahami masalah dari
pihak yang ingin dilayani. Pihak yang dilayani seyogyanya memahami
keterbatasan dan kemampuan orang yang melayani, sehingga keterpaduan antara
pihak yang melayani dan mendapat pelayanan memiliki perasaan yang sama.
Artinya setiap bentuk pelayanan yang diberikan kepada orang yang
dilayani memerlukan adanya empati terhadap berbagai masalah yang dihadapi
orang yang membutuhkan pelayanan. Pihak yang menginginkan pelayanan
membutuhkan adanya rasa kepedulian atas segala bentuk pengurusan pelayanan,
dengan merasakan dan memahami kebutuhan tuntutan pelayanan yang cepat,
mengerti berbagai bentuk perubahan pelayanan yang menyebabkan adanya
keluh kesah dari bentuk pelayanan yang harus dihindari, sehingga pelayanan
tersebut berjalan sesuai dengan aktivitas yang diinginkan oleh pemberi
pelayanan dan yang membutuhkan pelayanan.
Berarti empati dalam suatu organisasi kerja menjadi sangat penting dalam
memberikan suatu kualitas layanan sesuai prestasi kerja yang ditunjukkan oleh
seorang pegawai. Empati tersebut mempunyai inti yaitu mampu memahami
orang yang dilayani dengan penuh perhatian, keseriusan, simpatik, pengertian,
dan adanya keterlibatan dalam berbagai permasalahan yang dihadapi orang yang
dilayani. Margaretha (2003:78) bahwa suatu bentuk kualitas layanan dari empati
orang-orang pemberi pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus
diwujudkan dalam lima hal, yaitu:
a. Mampu memberikan perhatian terhadap berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan, sehingga yang dilayani merasa menjadi orang yang penting.
b. Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang
diberikan, sehingga yang dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi
pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan.
c. Mampu menunjukan rasa simpati atas pelayanan yang diberikan, sehingga
yang dilayani merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan.
d. Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang
diungkapkan, sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi
bentuk- bentuk pelayanan yang dirasakan.
e. Mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan pelayanan atas
berbagai hal yang dilakukan, sehingga yang dilayani menjadi tertolong
menghadapi berbagai bentuk kesulitan pelayanan. Bentuk-bentuk
pelayanan ini menjadi suatu yang banyak dikembangkan oleh para
pengembang organisasi, khususnya bagi pengembang pelayanan modern,
yang bertujuan memberikan kualitas layanan yang sesuai dengan dimensi
empati atas berbagai bentuk-bentuk permasalahan pelayanan yang
dihadapi oleh yang membutuhkan pelayanan, sehingga dengan dimensi
empati ini, seorang pegawai menunjukkan kualitas layanan sesuai dengan
prestasi kerja yang ditunjukkan.

5. Keandalan (Reliability)
Setiap pelayanan memerlukan bentuk pelayanan yang andal, artinya dalam
memberikan pelayanan, setiap pegawai diharapkan memiliki kemampuan dalam
pengetahuan, keahlian, kemandirian, penguasaan, dan profesionalisme keria
vang tinggi, sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk
pelayanan yang memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang berlebihan atas
pelayanan yang diterima oleh masyarakat (Parasuraman, 2001:48).
Tuntutan keandal an pegawai dalam memberikan pelayanan yang cepat,
tepat, mudah dan lancar menjadi syarat penilaian bagi orang yang dilayani dalam
memperlihatkan aktualisasi kerja pegawai dalam memahami lingkup dan uraian
kerja yang menjadi perhatian dan fokus dari seuap pegawai dalam memberikan
pelayanannya.
Inti pelayanan keandalan adalah setiap pegawai memiliki kemampuan
yang andal, mengetahui mengenai seluk-beluk prosedur kerja, mekanisme
keriva, memperbaiki berbagai kekurangan atau penyimpangan yang tidak sesuai
dengan prosedur kerja serta mampu menunjukkan, mengarahkan, dan
memberikan arahan yang benar kepada setiap bentuk pelayanan yang belum
dimengerti oleh masyarakat. Keandalan memberi dampak positif atas pelayanan
tersebut yaitu pegawai memahami, menguasai, andal, mandiri dan profesional
atas uraian kerja yang ditekuninya (Parasuraman, 2001:101).
Kaitan dimensi pelayanan keandalan (reliability) merupakan suatu yang
sangat penting dalam dinamika kerja suatu organisasi. Keandalan merupakan
bentuk ciri khas atau karakteristik dari pegawai yang memiliki prestasi kerja
tinggi. Keandalan dalam pemberian pelayanan dapat terlihat dari keandalan
memberikan pelayanan sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki,
keandalan dalam terampil menguasai bidang kerja yang diterapkan, keandalan
dalam penguasaan bidang kerja sesuai pengalaman kerja yang ditunjukkan, dan
keandalan menggunakan teknologi kerja.
Sunyoto (2004:16) keandalan dari suatu individu organisasi dalam
memberikan pelayanan sangat diperlukan untuk menghadapi gerak dinamika
kerja yang terus bergulir menuntut kualitas layanan yang tinggi sesuai keandalan
individu pegawai.
Keandalan dari seorang pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari:
1) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat
pengetahuan terhadap uraian kerjanya.
2) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan
tingkat keterampilan kerja yang dimilikinya dalam menjalankan aktivitas
pelayanan yang efisien dan efektif.
3) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman
kerja yang dimilikinya, sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat
dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan berkualitas sesuai
pengalamannya.
4) Keandalan dalam mengaplikasikan penguasaan teknologi untuk
memperoleh pelayanan yang akurat dan memuaskan sesuai hasil output
penggunaan teknologi yang ditunjukkan.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa kualitas


layanan dari keandalan dalam suatu organisasi dapat ditunjukkan keandalan
pemberi pelayanan sesuai dengan bentuk-bentuk karakteristik yang dimiliki oleh
pegawai tersebut, sesuai dengan keberadaan organisasi tersebut. Seorang
pegawai dapat andal apabila tingkat pengetahuannya digunakan dengan baik
dalam memberikan pelayanan yang andal, kemampuan keterampilan yang
dimilikinya diterapkan sesuai dengan penguasaan bakat yang terampil,
pengalaman kerja mendukung setiap pegawai untuk melaksanakan aktivitas
kerjanya secara andal dan penggunaan teknologi menjadi syarat dari setiap
pegawai yang andal untuk melakukan berbagai bentuk kreasi kerja untuk
memecahkan berbagai permasalahan kerja yang dihadapinya secara andal.

DAFTAR PUSTAKA

Armstrong & Baron. 2005. Productivity in Organitation. London: Philadelphia.

Asad, M. 2003. Pisikologi Industri. Yogyakarta: Liberty. Hlm 45-64.

Azwar, S. 2000. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Bina Rupa
Aksara. hlm 287-321.

Brown, D. 2001. Reward Strategies: Dari Intent to Impact. http://www.amazon.co.uk


Reward-Strategies-Intent-Dunca-Brown/dp/0852929056

Gibson. I.L I.M Ivancevich, JH. Donnelly, Ir. 2003. Organisasi, Perilaku, Struktur
Proses, Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hlm 119-275

Gordon. 2004. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Hlm 119-275

Kopelman, R.E, 1986. Managing Productivity in Organizations. New York: McGraw-


Hill

McCaffery, I. Heerey, M & Bose, K. P 2003. Refining Performance Improvement


Tools and Methods lessons and Challenges, www.ispt.org

Muhith, A. 2012. “Pengembangan model mutu asuhan keperawatan berdasarkan


analisis kinerja perawal dan kepuasan perawat serta pasien di RS Kabupaten
Gresik" Disertasi tidak dipublikasakan. Program Pasca Sarjana. Universitas
Airlangga.

Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hlm 36-54.

Nursalam. 2011. Manajemen Keperawatan Aplikasi dalam Praktik Keerawatan


Profesional Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.

Parasuraman A, Zeithamal V, Berry L. 1985. "A conceptual model of service quality


and its impact for future research." Journal of Marketing (Musim Gugur). Hlm.
41-50.

Perry dan Potter. 2003. Pocket And Giude Basic Skill and Procedure. 3rd edition.
Missouri Mosby.

Ruky, A.S. 2006. Sistem Manajemen Kinerja. Perfomence Management System


Panduan Praktis Untuk Merancang dan Meraih Kinerja Prima. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Sudarsono. 2006. Praktik Keperawatan Profesional. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada.

Woodruff dan Gardial. 2002. Practical-people Oriented Prespective. Canada:


McGraw Hill. Hlm. 36-45.

KONSEP KINERJA &TEAM WORK


Definisi Kinerja

Kinerja dalam organisasi diartikan sebagai keberhasilan menyelesaikan tugas atau


memenuhi target yang ditetapkan. Definisi kinerja (Irawan, 2003), adalah keluaran
yang dihasilkan oleh fungsi atau indikator suatu pekerjaan atau suatu profesi dalam
waktu tertentu. Kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan
tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Kinerja bila dikaitkan dengan kata benda adalah terjemahan dari kata
performance maka pengertian performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai olehseseorang atau kelompok orang dalam suatu perusahaan sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab individu atau kelompok dalam upaya pencapaian
tujuan perusahaan secara legal, tidak melanggar hukum serta tidak bertentangan
dengan moral dan etika (Irawan, 2003).
Kinerja mengandung dua komponen penting yaitu: (1) kompetensi berarti
individu atau organisasi memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan tingkat
kinerjanya, (2) produktivitas yaitu kompetensi tersebut dapat diterjemahkan ke dalam
tindakan atau kegiatan yang tepat untuk mencapai hasil kinerja (outcome). Penentuan
kinerja sangat diperlukan agar suatu lembaga atau individu dapat mengetahui apakah
mereka telah berhasil dalam mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa kineria adalah
prestasi kerja atau hasil kerja (output) baik kualitas maupun kuantitas yang dicapai
selama periode waktu tertentu dalam menjalankan tugas kerjanya sesuai dengan
tanggung jawah yang diberikan kepadanya.
Prestasi atau kinerja individu memberikan kontribusi pada prestasi dan kinerja
kelompok dalam memberikan kontribusi pada kinerja organisasi. Kinerja individu
adalah dasar dari kinerja organisasi (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan
Donelly JR, James H., 1997). Kinerja yang tidak efektif dari tiap tingkatan merupakan
tanda bagi manajemen untuk segera melakukan perbaikan.

Faktor yang Memengaruhi Kinerja


Menurut (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donelly JR, James H.,
1997) ada tiga faktor yang berpengaruh terhadap kinerja yaitu faktor individu, faktor
psikologis, dan faktor organisasi, seperti tampak dalam Gambar 4.9 berikut.
Gambar 4.20 Diagram skematis teori perilaku dan kinerja (Gibson, James
L.,Ivancevich, John M., dan Donelly JR, James H., 1997)

Kelompok variabel individu terdiri atas variabel kemampuan dan keterampilan, latar
belakang pribadi dan demografis. Menurut (Gibson, James L., Ivancevich, John M.,
dan Donelly JR, James H., 1997) dalam Ilyas (2002) variabel kemampuan dan
keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja
individu.
Kelompok variabel psikologis terdiri atas variabel persepsi, sikap, kepribadian,
belajar, dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,
pengalaman kerja sebelumnya, dan variabel demografis. Kelompok variabel
organisasi menurut (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donelly JR, James
H., 1997) terdiri atas variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan
desain pekerjaan.

Indikator Kinerja
Ada beberapa pengertian tentang indikator yang disampaikan oleh para pakar yaitu:
(1) indikator adalah pengukuran tidak langsung suatu peristiwa atau kondisi, (2)
indicator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu
kecenderungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur perubahan, (3)
indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan batk langsung maupun
tidak langsung.
Karakteristik suatu indikator antara lain: (1) benar (valid): artinya indikator
dapat pakai untuk mengukur aspek yang akan dinilai, (2) dapat dipercaya (reliable):
mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulang kali, untuk waktu
sekarang maupun yang akan datang. (3) peka (sensitive): cukup peka untuk mengukur
sehingga jumlahnya tidak perlu banyak, (4) spesifik (specific) memberikan gambaran
prubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih, (5) relevan: sesuai dengan aspek
kegiatan yang akan diukur dan kritikal.
Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan indikator sebagai alat
atau petunjuk untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan. Monitoring
dilakukan terhadap indikator kunci guna dapat mengetahui penyimpangan atau
prestasi yang dicapai. Dengan demikian setiap individu akan dapat menilai tingkat
prestasinya sendiri (self assessment).

Team Work

Pengertian Team Work

Kelompok kerja adalah kelompok atau dua atau lebih yang berinteraksi dalam berbagi
informasi dan saling bergantung untuk mencapai tujuan. Kinerja kelompok hanya
merupakan jumlah kinerja sumbangan individual dari tiap kelompok (Wahjono, TSI,
2010)
Team work dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang bekerjasama
untuk mencapai suatu tujuan. Kumpulan individu tersebut memiliki aturan dan
mekanisme kerja yang jelas serta saling tergantung antara satu dengan yang lain. Tim
kerja (team work) menghasilkan sinergi yang positif melalui usaha yang terkoordinasi
(Robbiens, 2002), Team work merupakan sarana yang sangat baik dalam
menggabungkan berbagai talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu
pendekatan yang lebih baik, selain itu kompetensi anggota tim yang beraneka ragam
juga merupakan nilai tambah yang membuat team work lebih menguntungkan bahkan
jika dibandingkan dengan seorang individu yang sangat ahli. Sebuah team work, ada
dua hal yang perlu diingat yaitu (1) adanya tugas (task), dan masalah yang
berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan, (2) proses yang terjadi di dalam team
work.

Siklus Hidup sebuah Tim

Secara umum perkembangan suatu tim dapat dibagi dalam 5 tahap (Robbins, 2002)
1) Tahap pembentukan (forming stage), adalah tahapan di mana para anggota setuju
untuk bergabung dalam suatu tim. Karena kelompok baru dibentuk maka setiap
orang membawa nilai, pendapat, dan cara kerja sendiri. Konflik sangat jarang
terjadi, setiap orang masih sungkan, malu, bahkan ada anggota yang merasa
gugup. Kelompok cenderung belum dapat memilih pemimpin.
2) Tahap timbulnya konflik (storming stage), adalah tahapan di mana kekacauan
mulai timbul di dalam tim. Pemimpin yang telah dipilih sering kali
dipertanyakan kemampuannya dan anggota kelompok tidak ragu untuk
mengganti pemimpin yang dinilai tidak mampu. Pertentangan terjadi karena
masalah pribadi, semua bersikeras dengan pendapat sendiri, komunikasi yang
terjadi sangat sedikit karena setiap orang tidak mau lagi menjadi pendengar dan
sebagian lagi tidak berbicara secara terbuka.
3) Tahap normalisasi (norming stage), adalah tahapan di mana individu yang ada
dalam tim mulai merasakan manfaat bekerja sama dan berjuang agar tim tetap
solid. Oleh karena semangat kerja sama sudah mulai timbul, setiap anggota
mulai merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatnya kepada
seluruh anggota tim. Selain itu semua orang mulai mau menjadi pendengar yang
baik. Mekanisme kerja dan aturan main ditetapkan dan ditaati seluruh anggota.
4) Tahap keempat adalah berkinerja (performing stage), tahapan di mana tim sudah
berhasil membangun sistem yang memungkinkan untuk dapat bekerja secara
produktif dan efisien.
5) Tahap pembubaran (adjourning stage), tahap ini untuk kelompok kerja yang
kerjanya tidak permanen, misalnya tim, komisi, atau panita.

Perilaku Individu dalam Tim


Tim atau kelompok kerja memiliki beberapa faktor yang membentuk perilaku anggota
sehingga dapat menjelaskan dan meramalkan perilaku individu dalam tim dan kinerja
tim. Faktor tersebut meliputi peran, norma, status, ukuran tim, dan tingkat kekohesifan
tim atau kelompok (Robbins, 2002).
1. Peran. Setiap anggota tim mempunyai peran yang berkaitan yang terdiri atas
perilaku yang diharapkan (role expectation) dari peran tersebut. Perilaku yang
diharapkan ini umumnya disepakati oleh seluruh angggota tim. Ketika peran
yang dimainkan oleh anggota tim menyimpang dari peran yang diharapkan,
maka akan timbul reaksi negatif dalam kinerja atau kepuasan anggota atau
bahkan memutuskan meninggalkan tim/kelompok.
2. Norma. Norma adalah sebuah standar perilaku yang dapat diterima dalam sebuah
tim yang dianut oleh semua anggota tim. Norma mempunyai karakteristik
penting bagi anggota tim, apa yang boleh dilakukan dan apa yang dilarang.
3. Status. Status adalah sebuah posisi atau pangkat yang didefinisikan secara sosial
yang diberikan kepada tim atau kelompok oleh orang lain. Status adalah faktor
penting dalam memahami perilaku karena merupakan sebuah motivator
signifikan yang memiliki konsekuensi perilaku yang besar ketika individu
menerimanya. Interaksi antar-anggota tim dipengaruhi oleh status, ketika terjadi
ketidaksetaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan yang dapat
menghasilkan berbagai jenis perilaku korektif.
4. Ukuran tim. Ukuran tim atau kelompok yang lebih kecil cenderung lebih cepat
dalam menyelesaikan tugas dan anggota tim berkinerja lebih baik dibanding
kelompok yang besar. Bila kelompok terlalu besar akan terjadi suatu kemalasan
sosial (social loafing) yaitu kecenderungan para individu untuk melakukan usaha
yang kurang optimal ketika bekerja secara kolektif dibanding ketika bekerja
individual.
5. Kekohesifan. Suatu tingkat di mana anggota tim atau kelompok saling tertarik
satu sama lain dan termotivasi untuk tinggal di dalam kelompok tersebut,
memiliki kedekatan atau kesamaan dalam sikap, perilaku, dan prestasi yang
hamper sama. Kedekatan ini disebut juga kekompakan. Kelompok atau tim yang
sangat kohesif terdiri atas individu yang mempunyai motivasi untuk bersama,
maka dapat diharapkan kinerja kelompok efektif. Tim atau kelompok sangat
kohesif dengan tujuan yang sejalan dengan organisasi maka tim akan berperilaku
yang positif dan mempunyai kinerja yang efektif.

Efektivitas

Efektivitas individu akan menentukan efektivitas kelompok dan efektivitas kelompok


menentukan efektivitas organisasi (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan
Donelly JR, James H., 1997). Efektivitas individu dipengaruhi oleh kemampuan,
keterampilan, pengetahuan, sikap, motivasi, dan stres. Efektivitas kelompok
disebabkan oleh keterpaduan, kepemimpinan, struktur, status, peran, dan norma yang
berlaku. Sementara efektivitas organisasi dipengaruhi oleh lingkungan, teknologi,
pilihan startegi, struktur, proses, dan kultur organisasi. Hubungan ketiga efektivitas
tersebut digambarkan dalam Gambar 2.5 berikut.

Efektivitas Efektivitas Efektivitas


Individual Kelompok Organisasi

Factor penyebab : Factor penyebab : Factor penyebab :

1. Kemampuan 1. Keterpaduan 1. Lingkungan


2. Keterampilan 2. Kepemimpinan 2. Teknologi
3. Pengetahuan 3. Struktur 3. Pilihan strategi
4. Sikap 4. Status 4. Struktur
5. Motivasi 5. Peran 5. Proses
6. Stress 6. Norma - norma 6. Kultur

Gambar 4.21 Sebab efektivitas (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donelly
JR, James H.,, 1997)

Dalam suatu team work yang terdiri atas berbagai macam individu dari latar belakang
berbeda, dengan keahlian yang berbeda maka diperlukan suatu kerja sama yang baik
dan kompak (solid) agar tujuan organisasi dapat tercapai. Suatu kelompok dikatakan
sebagai team work dan menghasilkan suatu hasil yang optimal (kinerja tim yang
efektif) sangat dipengaruhi oleh peran individu.
Agar kinerja tim efektif, sebuah tim membutuhkan tiga jenis keterampilan yang
berbeda. Tim memerlukan individu dengan keahlian teknis, individu dengan
keterampilan memecahkan masalah dan membuat keputusan, serta individu yang
terampil dalam mendengurkan, memberikan umpan balik, menyelesaikan konfik, dan
mempunyai keteramglan intierpersonal lain yang baik
Tim yang paling efektif bukan tim yang sangat kecil (di bawah 4 atau 5), bukan
pula tim yang sangat besar (lebih dari 12 orang). Tim yang sangat kecil mungkin tidak
mempunyai keragaman pandangan, dan tim yang lebih dari 12 orang akan kesulitan
untuk berbuat banyak
Tim yang terbentuk dari individu fleksibel memiliki anggota yang dapat
melengkapi tugas satu sama lain. Ini jelas merupakan nilai tambah bagi suatu tim,
karena fleksibilitas sangat memperbaiki kemampuan adaptis tim dan membuat tim
tidak tergantung hanya pada satu anggota saja.
Empat faktor yang menyebabkan suatu team work dapat bekerja dengan efektif
meliputi :
1. Penetapan tujuan (goal setting): suatu kelompok kerja akan dapat secara efektif
menghasilkan suatu tujuan apabila memiliki goal setting atau tujuan tim yang
sama;
2. Komitmen: seberapa besar setiap komponen kelompok memiliki komitmen;
3. Peran yang efektif (effective role): setiap anggota kelompok harus memiliki peran
tersendiri dan dituntut untuk sinergis dalam melakukan usaha:
4. Kepemimpinan (leadership): komponen penting suatu kelompok akan menjadi
efektif banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan.

Menurut Kazemak dalamn Stott K., dan Walker A., 1995 dalam Rochmah TN, 2006
menyebutkan kriteria tim yang efektif adalah sebagai berikut.
1. Mempunyai tujuan organisasi yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua
anggota tim.
2. Konflik yang ada harus bersifat membangun.
3. Setiap anggota diharapkan terlibat secara aktif dalam proses kepemimpinan.
4. Kemampuan individu dihargai.
5. Komunikasi bersifat terbuka dan semua anggota tim dapat ikut berpartisipasi
secara aktif
6. Semua anggota tim mendukung kebijakan dan prosedur organisasi.
7. Masalah yang ada diselesaíkan secara baik berdasarkan proses pengambilan
keputusan yang tepat.
8. Adanya dukungan terhadap semua kreatifitas yang sifatnya membangun
9. Melakukan proses evaluasi secara berkala untuk mengetahui kinerja individu
anggota tim dan kinerja tim secara keseluruhan; setiap anggota tim mengerti
akan peranan, tanggung jawab dan batasan wewenang yang diberikan oleh
organisasi. Penilaian semangat kerja melalui kinerja.

Semangat Kerja

Semangat kerja (morale) adalah perasaan seorang individu terhadap pekerjaan dan
organisasinya. Mengukur semangat kerja berarti mengukur sikap atau perilaku yang
cenderung kualitatif berupa indikasi. Misalnya, indikasi turunnya semangat kerja dapat
dilihat dari tolak ukur yang ditampilkan sebagai berikut.
a. Turunnya produktivitas kerja atau kinerja
b. Tingkat absensi yang tinggi
c. Labour turnover yang tinggi
d. Tingkat kerusakan bahan yang tinggi
e. Kegelisahan di setiap unit kerja
f. Pihak karyawan sering menuntut
g. Pemogokan

Semangat kerja merupakan daya dorong bagi seseorang untuk berkinerja,


sehingga dapat juga dikatakan bahwa kinerja merupakan turunan langsung dari
semangat kerja Hal ini dikarenakan naik-turunnya kinerja tidak terlepas dari
naikturunnya semangat kerja. Dengan demikian penilaian semangat kerja dapat juga
dilakukan melalui penilaian kinerja.
Sistem penilaian kinerja dalam suatu organisasi mencakup beberapa elemen.
Elemen pokok sistem penilaian kinerja mencakup kriteria yang ada hubungannya
dengan pelaksanaan kerja, ukuran-ukuran kriteria, dan pemberian umpan balik kepada
pekerja dan manajer personalia. Meskipun manajer personalia merancang sistem
penilaian kinerja, tetapi yang melakukan penilaian kinerja pada umumnya adalah
atasan langsung pekerja yang bersangkutan.
Di dalam sistem penilaian, di samping faktor penilai, ukuran-ukuran penilaian
ikut menentukan objektivitas penilaian. Ukuran-ukuran tersebut tentunya yang
diandalkan, sehingga secara keseluruhan dapat membentuk suatu sistem penilaian
yang seobjektif mungkin. Untuk mencapai objektivitas penilaian tersebut, sistem
penilaian harus mempunyai hubungan dengan pekerjaan (job-related), praktis, dan
mempunyai standard pelaksanaan kerja menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang
dapat diandalkan.
Secara ringkas eleman-eleman pokok sistem penilaian kinerja dapat
digambarkan seperti dalam Gambar 4..21 berikut ini.

Prestasi kerja Penilaian Prestasi Umpan balik


pekerja kerja Bagi pekerja

Ukuran-ukuran
Prestasi kerja

Kriteria yang ada hubungannya


Dengan pelaksanaan prestasi kerja

Catatan – catatan Catatan-catatan


Tentang pekerja Tentang pekerja

Gambar 4.22 Elemen-elemen pokok sistem penilaian kinerja (Handoko, 2011)

Menurut (Handoko, 2001) guna mengetahui kinerja pekerja diperlukan kegiatan-


kegiatan khusus, yaitu:
1. Identifikasi dimensi kerja yang mencakup semua unsur yang akan dievaluasi
dalam pekerjaan masing-masing pekerja dalam suatu organisasi.
2. Penetapan standar kerja, penilaian prestasi kerja (performance appraisal) adalah
suatu proses melalui di mana organisasi-organisasi mengevaluasi atau menilai
prestasi kerja pekerjanya.

Selanjutnya (Dharma, Agus, 1992) mengemukakan bahwa standar dalam penilaian


prestasi kerja mencakup:
1. Kuantitas/jumlah yang harus diselesaikan.
2. Kualitas/mutu yang dihasilkan.
3. Ketepatan waktu kerja/sesuai tidaknya dengan waktu yang direncanakan.

Pengukuran kuantitatif melibatkan perhitungan output dari proses atau pelaksanaan


kegiatan. Hal ini berkaitan dengan jumlah output yang dihasilkan. Pengukuran
ketepatan waktu merupakan jenis khusus dari pengukuran kuantitatif yang
menentukan ketepatan waktu dari suatu kejadian.
Pengukuran kualitatif output mencerminkan pengukuran tingkat kepuasan
yaitu seberapa baik penyelesaian pekerjaan yang telah dilaksanakan, sering juga
dinyatakan dalam indikasi. Namun apabila diperlukan pengukuran kualitatif dapat
juga dikuantitatifkan misalnya dengan cara mengukur frekuensi terjadinya indikasi
tertentu per satuan waktu tertentu atau per siklus.
John H. Bernardi dan Joyce E. Russel (1995) mengemukakan 6 kriteria primer
dapat digunakan untuk mengukur kinerja pekerja, yaitu sebagai berikut.
a. Quality, merupakan tingkat sejauh mana proses atau hasil pelaksanaan kegiatan
yang mendekati kesempurnaan atau mendekati tujuan yang diharapkan.
b. Quantity, merupakan jumlah yang dihasilkan, misalnya jumlah rupiah, jumlah
unit, jumlah siklus kegiatan yang diselesaikan.
c. Timeliness, merupakan lamanya kegiatan diselesaikan pada waktu yang
dikehendaki, dengan memperhatikan jumlah output lain serta waktu yang
tersedia untuk kegiatan yang lain.
d. Cost effectiveness, besarnya penggunaan sumber daya organisasi guna mencapai
hasil yang maksimal atau pengurangan kerugian dari setiap unit penggunaan
sumber daya.
e. Need for supervision, kemampuan seseorang pekerja untuk melaksanakan suatu
fungsi pekerjaan tanpa memerlukan pengawasan seorang supervisor untuk
mencegah tindakan yang kurang diinginkan.
f. Interpersonal impact, kemampuan seseorang pegawai untuk memelihara harga
diri, nama baik dan kemampuan bekerjasama di antara rekan kerja dan bawahan.

Sedangkan menurut (Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu, 2001) bahwa pengukuran


kinerja dapat dilakukan melalui:
a. Ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas yaitu kesanggupan karyawan
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.
b. Penyelesaian pekerjaan melebihi target yaitu apabila karyawan menyelesaikan
pekerjaan melebihi target yang ditentukan oleh organisasi
c. Bekerja tanpa kesalahan yaitu tidak berbuat kesalahan terhadap pekerjaan
merupakan tuntutan bagi setiap karyawan.

Berdasarkan pendapat di atas, diperlukan adanya suatu ukuran standar yang ditetapkan
terlebih dahulu untuk membandingkan apakah prestasi kerja telah sesuai
dengan keinginan yang diharapkan, sekaligus untuk melihat besarnya penyimpangan
yang terjadi dengan membandingkan antara hasil kerja pekerja ukuran standarnya.
Penilaian prestasi kerja atau kinerja banyak bergantung pada bagaimana
sumber daya manusia dipandang dan diperlakukan di dalam organisasi. Jika organisasi
percaya bahwa orang tidak bekerja kecuali jika mereka diawasi dan dikendalikan
dengan ketat, ia cenderung mempunyai cara penilaian dalam bentuk laporan rahasia.
Dalam program Quality of Work Life penilaian cenderung terbuka dan apa
adanya (fair) untuk menggugah pekerja menggali lebih dalam potensi yang ada pada
dirimya untuk berkembang dan berprestasi lebih baik secara fair. Dengan penilaian
dan pemberian reward & consequencies yang sesuai dengan kenerja diharapkan akan
mendorong pekerja untuk bekerja lebih bersemangat dan bersedia mengeluarkan
segala kreativitas dan inovasi yang dimiliki.
Jika organisasi percaya bahwa setiap individu mempunyai potensi dan kekuatan serta
beranggapan bahwa kemampuan manusia dapat dipertajam dalam suatu iklim yang
sehat, maka dari itu organisasi akan mempunyai sistem penilaian yang berusaha
mengenali, mempertajam, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi serta
kemampuan karyawannya.

DAFTAR PUSTAKA

Gibson, James L, John M. Ivancevich, dan James H., Donnely, 1996. Organisasi dan
Manajemen. Jakarta: Erlangga.

Handoko, 2001. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Jogjakarta:


BPFE. Press

Herzberg F, 1977. One more time: how do you Motivate employee? The Manajement
Process, Edisi 2. New York: Macmillan.

Irawan H., 2003. Indonesian Customer Satisfaction. Jakarta: PT Gramedia.

Robbins S.P, 2002. Organizational Behavior, 10th ed. Oct 16., Prentice Hall
International Inc., San Diago State University

Siagia, S.P, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara Jakarta.

TEORI MOTIVASI MCCLELLAND

Pada tahun 1961 bukunya The Achieving Society, David McClelland mengaraikan
tentang teorinya. Dia mengusulkan bahwa kebutuhan individu diperoleh dari waktu ke
waktu dan dibentuk oleh pengalaman hidup seseorang, Dia menggambarkan tiga jenis
kebutuhan motivasi. Dalam sebuah Teori Motivasi McClelland (Alligood & Tomey,
2006) mengemukakan adanya tiga macam kebutuhan manusia yaitu:
1. Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Kebutuhan untuk
berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk
pemecahan masalah. Untuk mengungkap kebutuhan akan prestasi. Ini dapat
diungkap dengan teknik proyeksi. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang
mempunyai Need for Achievement tinggi akan mempunyai kinerja yang lebih
baik daripada orang yang mempunyai Need for Achievement rendah. Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa untuk memprediksi bagaimana kinerja
seseorang dapat dengan jalan mengetahui Need for Achievement (kebutuhan akan
prestasinya),. Teori McClelland ini penting karena ia berpendapat bahwa motif
prestasi dapat diajarkan. Hal ini dapat dicapai dengan belajar. Menurut
McClelland, setiap orang memiliki motif prestasi samnpai batas tertentu. Namun,
ada yang terus menerus lebih berorientasi prestasi daripada yang lain. Kebanyakan
orang akan menempatkan lebih banyak upaya ke dalam pekerjaan mereka jika
mereka ditantang untuk berbuat lebih baik, Ciri orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi (Siagian, 2002) adalah sebagai berikut:
 Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif
 Mencari umpan balik tentang perbuatannya.
 Memilih risiko yang sedang di dalam perbuatannya.
 Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya

Masyarakat dengan keinginan berprestasi yang tinggi cenderung untuk


menghindari situasi yang berisiko terlalu rendah maupun yang berisiko sangat
tinggi. Situasi dengan risiko yang sangat kecil menjadikan prestasi yang dicapai
akan terasa kurang murni, karena sedikitnya tantangan. Sementara situasi dengan
risiko yang terlalu tinggi juga dihindari dengan memperhatikan pertimbangan
hasil yang dihasilkan dengan usaha yang dilakukan. Pada umumnya mereka lebih
suka pada pekerjaan yang memiliki peluang atau kemungkinan sukses yang
moderat, peluangnya 50-50. Motivasi ini membutuhkan umpan balik untuk
memonitor kemajuan dari hasil atau prestasi yang mereka capai. Ibu yang
memiliki kebutuhan prestasi tinggi dalam melengkapi status imunisasi anak, akan
berusaha mengimunisasikan anaknya sesual jadwal imunisasi yang ada dan
menunjukkan partisipasinya mengikuti program yang ada di masyarakat. Oleh
karena ibu tidak menginginkan anaknya terkena penyakit menular akibat tidak
diimunisasi. Dengan demikian, kinerja yang ditunjukkan oleh ibu yang memiliki
motivasi tinggi berbeda dengan ibu yang memiliki motivasi yang rendah.
2. Kebutuhan untuk untuk berafiliasi (need for affiliation)
Afiliasi menunjukkan bahwa seseorang mempunyai kebutuhan berhubungan
dengan orang lain. Kebutuhan untuk berafiliasi merupakan dorongan untuk
berinteraksi dengan orang lain, berada bersama orang lain, tidak mau melakukan
sesuatu yang merugikan orang lain. Seseorang yang kuat akan kebutuhan
berafiliasi, akan selalu mencari orang lain, dan juga mempertahankan akan
hubungan yang telah dibina dengan orang lain tersebut. Sebaliknya, apabila
kebutuhan akan berafiliasi ini rendah, maka seseorang akan segan mencari
hubungan dengan orang lain, dan hubungan yang telah terjadi tidak dibina secara
baik agar tetap dapat bertahan.
Ciri orang yang memiliki kebutuhan afiliasi yang tinggi (Siagian, 1999)
adalah sebagai berikut:
 Lebih memperhatikan segi hubungan pribadi yang ada dalam pekerjaan
daripada tugas yang ada dalam pekerjaan tersebut.
 Melakukan pekerjaan lebih efektif apabila bekerjasama dengan orang lain
dalam suasana yang lebih kooperatif.
 Mencari persetujuan atau kesepakatan dari orang lain.
 Lebih suka dengan orang lain daripada sendirian.
 Selalu berusaha menghindari konflik

Mereka yang memiliki motif yang besar untuk bersahabat sang hubungan
yang harmonis dengan orang lain dan sangat ingin merasa diterima oleh orang
lain. Mereka akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan system norma dan
nilai dari lingkungan mereka berada. Mereka akan memilih pekerjaan yang
memberikan hasil positif yang signifikan dalam hubungan antar pribadi. Mereka
akan sangat senang menjadi bagian dari suatu kelompok dan sangat
mnegutamakan interaksi social. Ibu yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi akan
selalu berusaha mematuhi norma dan nilai yang ada di lingkungannya untuk
mengimunisasikan anaknya secara lengkap. Oleh karena ingin membangun
interaksi yang baik dengan masyarakat sekitar dan berusaha mencegah konflik
akibat tidak mengikuti yang ada atau program yang ada di masyarakat.

3. Kebutuhan untuk berkuasa (need for power)


Kebutuhan untuk kekuasaan yang merupakan refleksi dari dorongan untuk
mencapai otoritas untuk memiliki pengaruh terhadap orang lain. Dalam interaksi
sosial seseorang akan mempunyai kebutuhan untuk berkuasa (power). Orang yang
mempunyai kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi akan melakukan kontrol,
mengendalikan, atau memerintah orang lain, dan ini merupakan salah satu indikasi
atau salah satu menifestasi dari kebutuhan kekuasaan tersebut. Ciri orang yang
memiliki kebutuhan berkuasa yang tinggi (Siagian, 2002) adalah sebagai berikut.
 Menyukai pekerjaan di mana mereka menjadi pemimpin.
 Sangat aktif dalam menentukan arah kegiatan dari sebuah organisasi di
manapun dia berada.
 Mengumpulkan barang-barang atau menjadi anggota suatu perkumpulan
yang dapat mencerminkan prestise.
 Sangat peka terhadap struktur pengaruh antarpribadi dari kelompok atau
organisasi.

Seseorang dengan motif kekuasaaan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Kekuasaan pribadi (personal power): mereka yang mempunyai motif
kekuasaan pribadi yang tinggi cenderung untuk memerintah secara langsung,
dan bahkan cenderung memaksakan kehendaknya.
2. Kekuasaan institusional (institutional power): mereka yang mempunyai motif
kekuasaan institusional yang tinggi, atau sering disebut motif kekuasaan sosial
(social power motive), cenderung untuk mengorganisasikan usaha dari rekan-
rekannya untuk mencapai tujuan bersama.
Ibu yang memiliki kebutuhan berkuasa yang tinggi akan berusaha melengkapi
status imunisasi anaknya, karena orang tua memiliki pengaruh dan kontrol terhadap
anaknya. Jika orang tua saja melakukan imunisasi secara lengkap maka anak juga
harus mendapatkan imunisasi secara lengkap.

BURNOUT SYNDROME TEORI MASLACH

Konsep Dasar Burnout Syndrome


Pengertian Burnout Syndrome
Burnout syndrome adalah keadaan lelah atau frustasi yang disebabkan oleh
terhalangnya pencapaian harapan (Freundenberger, 1974). Pines dan Aronson melihat
bahwa burnout syndrome merupakan kelelahan secara fisik, emosi, dan mental karena
berada dalam situasi yang menuntut emosional mengemukakan bahwa burnout
syndrome sebagai suatu perubahan sikap dan perilaku dalam bentuk reaksi menarik
diri secara psikologis dari pekerjaan. Burnout syndrome adalah suatu kondisi
psikologis pada seseorang yang tidak berhasil mengatasi stres kerja sehingga
menyebabkan stres berkepanjangan dan mengakibatkan beberapa gejala seperti
kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mental, dan rendahnya penghargaan
terhadap diri sendiri.

FAKTOR PERSONAL
1. Kepribadian
2. Harapan
3. Demografi
BURNOUT SYNDROME

4. focus control
5. tingkat efisiensi
Maslach Burnout Inventory (MBI)
1. Kelelahan emosional
2. Depersonalisasi/ sinisme
3. Prestasi pribadi
(Maslach 2004)
FAKTOR LINGKUNGAN
1. Beban kerja
2. Penghargaan

3. control
4. kepemimpinan
5. keadilan
6. nilai
Diukur
--------- Tidal diukur

Gambar 423 Faktor-faktor yang memengaruhi Burnout Syndrome (Masiach,


2001)

Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan dalam upaya untuk
menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima adalah yang
ditulis oleh Maslach, di mana burnout syndrome ditandai dengan tiga dimensi yaitu
kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri (Pouncet, 2007).
Dampak yang paling terlihat dari kelelahan adalah menurunnya kinerja dan kualitas
pelayanan Individu yang mengalami burnout syndrome akan kehilangan makna dari
pekerjaan yang dikerjakannya karena respons yang berkepanjangan dari kelelahan
emosional, fisik, dan mental yang mereka alami. Akibatnya, mereka tidak dapat
memenuhi tuntutan pekerjaan dan akhirnya memutuskan untuk tidak hadir,
menggunakan banyak cuti sakit atau bahkan meninggalkan pekerjaannya (Felton,
1998; Maslach, 2001; Poncet, 2008).
Burnout syndrome lebih sering terjadi pada kategori profesi tertentu yang
menuntut interaksi dengan orang lain seperti guru, profesi di bidang kesehatan, pekerja
sosial, polisi. dan hakim. Selain bekerja dengan masyarakat, individu yang bekerja
dalam lingkungan lain yang melibatkan tanggung jawab berbahaya, presisi pada
kinerja tugas, konsekuensi berat, sif kerja atau tugas dan tanggung jawab yang tidak
disukai, berada pada risiko yang berbeda untuk berkembangnya kelelahan (Felton,
1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).
Penelitian telah menunjukan bahwa perawat yang bekerja di rumah sakit
berada pada risiko tertinggi kelelahan. Beberapa alasan menjadi poin utama dalam
perkembangan sindrom ini, seperti tuntutan pasien, kemungkinan bahaya dalam
asuhan keperawatan. beban kerja yang berat atau tekanan saat harus memberikan
banyak perawatan bagi banyak pasien saat sif kerja, kurangnya rasa hormat dari pasien,
ketidaksukaan dan dominasi dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, kurangnya
kejelasan peran, serta dukungan dari lingkungan kerja. Faktor lain yang sangat terkait
dengan pengembangan burnout syndrome adalah jenis kepribadian yang
mencerminkan kapasitas individu untuk tetap bertahan pada pekerjaannya (Felton,
1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).
Burnout syndrome telah dinyatakan menjadi bahaya profesi yang sangat erat
hubungannya dengan individu dan institusi tempat bekerja (Fraudenberg, 1974).
Burnout syndrome didefinisikan sebagai jumlah energi psikologis dan fisik, bertambah
atau berkurangnya kelelahan bergantung pada beberapa faktor stress pribadi dan juga
stress organisasi (Maslach, 2003). Dari dua kalimat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
burnout syndrome merupakan sebuah hal yang negatif dari interaksi antara orang lain
dan lingkungan kerjanya.
Kelelahan emosional dinanggap sebagai elemen inti dari kelelahan yang
mengakibatkan depersonalisasi terhadap pekerjaan dan juga pada rekan
kerja.Depersonalisasi yang dialami oleh seseorang dapat memengaruhi kualitas
pelayanan yang diberikan pada pasien, sehingga bisa menurunkan prestasi diri (Leiter,
Harvie &Frizzel, 1998; Leiter & Maslach, 2004).

Etiologi
Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor personal dan atau
faktor lingkungan. Faktor personal diantaranya kepribadian, harapan, demografi,
control fokus dan tingkat efisiensi. Faktor lingkungan yang berperan di antaranya
adalah beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadilan, dan nilai (Cavus,
2010).
Terlepas dari beberapa faktor tersebut di atas, ada beberapa faktor yang
dianggap mempunyai hubungan yang signifikan yaitu status perkawinan, lamanya
pekerjaan, dukungan sosial, struktur keluarga, tanggung jawab, kejelasan stabilitas
emosional, dan kelelahan.

Dimensi
Sudah dijelaskan di atas, bahwa burnout syndrome tidak hanya terkait dengan factor
tunggal, melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang
ada. Burnout syndrome pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan
emosional yang meningkat, depersonalisasi dan penurunan prestasi diri (Pouncet,
2007).
1. Kelelahan emosional
Kelelahan emosional merupakan sisi yang mengekspresikan kelelahan fisik dan
emosional yang dialami sebagai dasar dan dimulainya burnout syndrome.
Kelelahan emosional, sebagian besar berhubungan dengan stress pekerjaan
(Akcamete, Kaner & Sucuoglu, 2001; Yildmm, 1996). Hasil dari kelelahan
emosional yang dialami oleh seseorang, orang tersebut tidak responsif terhadap
orang-orang yang mereka layani, dan juga merasa bahwa pekerjaannya sebagai
penyiksaan karena ia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak mampu menanggung
hari-hari berikutnya dan selalu merasa tegang (Leiter & Maslach, 1988; Ergin,
1995; Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001; Cimen & Ergin, 2001)
2. Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukan perilaku keras/kasar,
perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Hal ini terkait dengan
kenyataan bahwa beberapa orang menunjukan perilaku seperti kehilangan tujuan
bekerja dan kehilangan antusiasme sebagai akibat dari semakin menjauh dari
dirinya sendiri dan pekerjaannya, menjadi acuh tak acuh terhadap orang yang
dilayani, menunjukan reaksi negatif dan bermusuhan.

3. Rendahnya prestasi diri


Rendahnya prestasi diri menjadi dimensi evalusi diri dari burnout syndrome,
timbul fakta bahwa orang mulai melihat dirinya sebagai seseorang yang tidak
berhasil. Dengan kata lain, seseorang cenderung mengevaluasi dirinya sendiri
sebagai hal yang negative (Maslach, 2003). Orang yang mengalami
kecenderungan ini berpikir bahwa mereka tidak membuat kemajuan dalam
pekerjaan mereka, sebaliknya mereka berpikir bahwa mereka jatuh ke belakang,
pekerjaan mereka tidak berhasil dan tidak memberikan kontribusi pada
perubahan lingkungan mereka (Leiter & Maslach, 1998; Singh et al., 1994).

Burnout syndrome adalah situasi yang sangat sulit dihindari. Namun, tingkat
keparahan burnout syndrome dapat dikurangi dengan aplikasi pribadi maupun
perubahan aplikasi pada organisasi tempat melaksanakan tugas. Pada tingkat
organisasi dilakukan dengan pernyataan tugas yang jelas, partisipasi pemula untuk
program orientasi dan on the job training, perencanaan personal yang efisien dalam
hubungannya dengan departemen, pertemuan tim regular dengan saran dan kritik,
akses ke dukungan sosial dan lingkungan partisipatif dapat membantu dalam
mencegah burnout syndrome (Kacmaz 2005; Schulz, Greenley & Brown, 1995; Lundy
& Muda, 1994, Poulin & Wlter, 1993). Pada tingkat pribadi dengan cara mendorong
karyawan untuk mengambil tujuan yang lebih realistis, sehingga membantu mereka
untuk menurunkan ekspektasi diri agar dapat membantu dalam menurunkan burnout
syndrome.
Burnout syndrome adalah respons terhadap adanya stresor (misalnya beban
kerja) yang ditempatkan pada karyawan. Hal ini dibedakan menjadi bentuk lain dari
stres karena merupakan satu set respons ke tingkat tinggi tuntutan pekerjaan yang
kronis, meliputi kewajiban pribadi dan tanggung jawab yang sangat penting. Oleh
karena karakteristik dari profesi kesehatan seperti kecenderungan untuk fokus pada
masalah, kurangnya umpan balik positif, tingkat stres emosional, dan kemungkinan
merasakan perubahan sikap terhadap beberapa orang tempat bekerja, profesi kesehatan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami burnout syndrome (Maslach & Jackson,
1982). Tiga dimensi Maslach yang didefinisikan dari burnout syndrome sering
digunakan untuk tujuan penelitian.
1. Kelelahan emosional: ditandai dengan kelelahan dan perasaan bahwa sumber daya
emosional telah habis digunakan.
2. Depersonalisasi: ditandai bahwa intervensi kepada klien yang dirasa hanya
sebagai objek saja, bukan sebagai orang yang harus benar-benar diperhatikan.
Adanya sinisme terhadap rekan kerja, klien bahkan dengan organisasi tempat
bekerja.
3. Penurunan prestasi diri: ditandai dengan kecenderungan untuk mengevaluasi diri
sendiri secara negatif. Mencakup pengalaman penurunan kompetensi kerja dan
prestasi dalam pekerjaan/interaksi dengan orang/kurangnya kemajuan.

Bukti empiris menunjukan bahwa burnout syndrome dapat menimbulkan dampak


negatif di berbagai tingkatan termasuk tingkat individu, organisasi, dan pelayanan.
Pada tingkat individu, burnout syndrome dapat mengakibatkan berbagai masalah
kesehatan fisik dan mental negatif (Maslach & Jackson, 1982). Konsekuensi
emosional termasuk konflik dan kerusakan perkawinan hubungan keluarga dan sosial
(Jackson et al., 1986). Pada tingkat organisasi, dapat menyebabkan penurunan
komitmen organisasi (Leiter dan Maslach 1988) dan kepuasan kerja (Burke et al,
1984). Pada perawat dapat terjadi tingginya angka turnover dan ketidakhadiran
(Courage dan Williams, 1987; Stechmiller, 1990), kecenderungan untuk menarik diri
dari pasien dan beristirahat panjang termasuk kinerja secara keseluruhan yang
menurun dalam kualitas dan kuantitas kinerja. Dengan demikian, organisasi dapat
mengalami pemborosan sumber daya dan penurunan produktivitas. Pada tingkat
pelayanan, penelitian menunjukan bahwa burnout syndrome dapat mengarah ke
penurunan kualitas perawatan atau pelayanan dari pasien (Maslach dan Jackson,
1981). Pelayanan pelanggan yang buruk dapat menyebabkan pelangan tidak puas dan
mengakibatkan turunnya kemampuan untuk mempertahankan pelanggan.

MBI (Maslach Burnout Inventory) merupakan instrument yang terdiri atas 22 item
yang digunakan untuk mengukur frekuensi dari tiga aspek burnout syndrome,
kelelahan emosional, depersonalisasi dan yang terakhir adalah penurunan prestasi diri.
Burnout syndrome tercermin pada skor yang lebih tinggi pada kelelahan emosional
dan subscale depersonalisasi dan skor rendah pada prestasi subscale pribadi.
Dari perumusan kepribadian di atas disimpulkan bahwa kepribadian berubah,
berkembang terus sesuai dengan cara penyesuaian terhadap lingkungan sehingga dapat
dikatakan bahwa kepribadian merupakan suatu hasil dari fungsi keturunan dan
lingkungan. Setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan juga akan diikuti dengan
berubahnya kepribadian.
Dalam usaha mengerti seseorang, mengerti kepribadiannya perlu kita
mengikuti lingkungan manakah yang berperan pada proses perkembangan dan masa
hidupnya. Pertama kalinya dipakai oleh Achille Guillard dalam karangannya berjudul
"Elements de Statistique Humaine on Demographic Compares" pada tahun 1885.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, RL & Leiter, MP. 1998. Contemporary Organizational Realities and


Professional Efficacy: Downsizing, Reorganization and Transition. Dalam T.
Cox, P. Dewe, dan M. Leiter (ed). Coping and Health in Organizations.
Washington, DC: Taylor and Francis.

Cavus.2010. "The Impacts of Structural and Psychological Empowerment on


Burnout”. A Research on Staff Nurses in Turkish State Hospitals. Canadian
Social Science. Hlm. 63-72

Freudenberger, J. 1974. Staff Burnout, Journal of Social Issues. Hlm. 159-165

Maslach, C, Jackson, S & Leiter, M. 2003. Maslach Burnout Inventory Manual.


California: CPP.

Maslach, C. 1982. Understanding Burnout: Definition Issues in Analysing a Complex


Phenomenon. Dalam W. S. Pain Job Stres Burnout. Beverly Hills: Sage
Publication.

Maslach, C.2001,"Job Burnout". Annual Review of Psychology diakses 14 November


2003, findarticles.com.

Maslach, C. 2004 Different Perspectives on Job Burnout. Contemporary Psychology.


APA Review of Books. Him. 168-170.

CONTOH KERANGKA KONSEPTUAL BERBASIS INTEGRASI


MODEL (LAWRENCE GREEN)
Gambar bagan

Gambar 4.24 Kerangka konseptual motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi
dasar pada anak berbasis integrasi model Lawrence Green dan
McClelleand (Eka Irawati, 2012)

Menurut Teori Lawrence Green, ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan
seseorang. Perilaku seorang ibu dalam memberikan imunisasi pada anaknya
berdasarkan pendekatan Teori Lawrence green dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain:
factor predisposisi (predisposing factors) yaitu: sikap, keyakinan, pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma. Sementara faktor pendukung (enabling factors) yaitu:
adanya sarana kesehatan, terjangkaunya sarana kesehatan, peraturan kesehatan, dan
keterampilan terkait kesehatan. Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu: keluarga,
guru, sebaya, petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan pengambil keputusan. Faktor
predisposisi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap motivasi ibu
melengkapi status imunisasi dasar pada anak. Banyak ibu yang tidak bersedia untuk
mengimunisasikan anaknya dengan alasan yang sangat sederhana yaitu ibu-ibu sibuk
dengan urusan rumah tangga dan ketakutan ibu akan efek samping dari pemberian
imunisasi yang disertai pengetahuan ibu yang rendah tentang imunisasi (Ayubi, D,
2009). Imunisasi yang diberikan pada anak mencakup 5 imunisasi dasar yang harus
diberikan, yaitu: imunisasi BCG, DPT, campak, polio, dan hepatitis. Tujuan dari
imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2005). Berdasarkan pendekatan
integrasi model Lawrance Green dan McClelleand diperoleh suatu kesimpulan
mengenai motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak. Ini dapat
dilihat dari angka cakupan imunisasi dasar. Jika angka cakupan imunisasi dasar pada
anak tinggi berarti motivasi ibu baik. Tapi jika angka cakupan imunisasi dasar pada
anak rendah berarti motivasi ibu buruk dalam melengkapi status imunisasi dasar pada
anak.

Hipotesis:
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: pengetahuan terhadap motivasi ibu
dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak.
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: kepercayaan terhadap motivasi ibu
dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak.
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: sikap terhadap motivasi ibu dalam
melengkapi status imunisasi dasar pada anak
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: nilai dan norma (kebudayaan)
terhadap motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi dasar pada
anak

DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6h ed.
Missouri Mosby

Ayubi, D., (2009), Kontribusi Pengetahuan Ibu Terhadap Status Imunisasi Anak di
Tujuh Provinsi di Indonesia. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Profil Kesehatan Indonesia 2005


Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Eka Irawati. 2012. Burnout syndrome pada mahasiswa profesi berdasarkan analisis
factor person dan faktor lingkungan dari teori maslach. Skripisi. FKp. Unair

Nursalam. 2011. Manajemen Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika

Siagia, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

STRESS, APPRAISAL, AND COPING STRATEGY IN


TRANSACTIONAL THEORY (LAZARUS &FOLKMAN, 1984)
Konsep dari stres berkembang dari definisi fisiologis terhadap stress sebagai konsep
umum yang paling banyak diterima (Selye, 1956).

Gambar bagan

Gambar 4.25 Stres, appraisal and coping strategy in transactional theory (Lazarus &
Folkman, 1984)

Setiap individu pasti akan mengalami stimulus atau peristiwa dalam hidupnya. Setiap
bagi individu. Stimulus ini kemudian disebut sebagai antecedents of stresor. Lazarus
& Folkman (1984) mengklasifikasikan stresor ke dalam dua domain yakni personal
stresor (komitmen dan kepercayaan) dan environmental stresor (setiap aspek di luar
personal yang dapat menjadi ancaman bagi kondisi personal seseorang). Dalam
penilaian awal (primary appraisal), individu akan menentukan makna dari peristiwa
yang dialaminya. Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu
peristiwa yang dialami oleh individu, apakah peristiwa tersebut dipersepsikan positif,
netral ataukah negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari
kemungkinan adanya persepsi bahaya (harm), ancaman (threat), atau tantangan
(challenge). Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang
terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang
didapat dari peritiwa yang terjadi. Challenge adalah tantangan akan kesanggupan
untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Pentingnya
primary appraisal digambarkan dalam sebuah studi klasik mengenai stres oleh
Lazarus. Primary appraisal memiliki tiga komponen yakni:
1) Goal relevance: yakni penilaian yang mengacu kepada tujuan yang dimiliki
seseorang. yakni bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan
personalnya.
2) Goal congruence or incongruence. Yakni penilaian yang mengacu pada apakah
hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan
keinginan individu atau tidak, apakah hal tersebut menghalangi atau
memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya maka
disebut Goal Incongruence. Apabila hal tersebut memfasilitasinya disebut Goal
Congruence.
3) Type of ego involvement: yakni penilaian yang mengacu kepada berbagai
macam aspek dari identitas ego atau komitmn seseorang.

Jika individu merasa adanya ancaman dari suatu peristiwa tersebut tetapi situasi
tersebut tidak dirasa merugikan, maka akan berlanjut ke penilaian kedua (secondary
appraisal) yang merupakan penilaian kemampuan individu dalam melakukan koping
Individu yang merasakan adanya ancaman dalam penilaian kedua, tergantung
bagaimana individu tersebut melakukan koping. Secondary appraisal memiliki tiga
komponen:
1) Blame and credit: yakni penilaian siapa yang bertanggung jawab atas situasi
yang menekan yang terjadi atas diri individu.
2) Coping potential: yakni penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi
situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
3) Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu
mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik ataukah lebih
buruk.

Pengalaman subjektif atas stres merupakan keseimbangan antara primary dan


secondary appraisal. Ketika bahaya dan ancaman yang ada cukup besar sedangkan
kemampuan untuk mengadakan koping tidak memadai, maka stres yang besar akan
dirasakan oleh seorang individu. Sebaliknya, ketika kemampuan koping besar, stres
dapat diminimalkan.
Coping strategy terdiri atas PFC (Problem Focused Coping) yakni strategi yang
digunakan untuk mengatasi situasi yang menimbulkan stres dan EFC (Emotion
Focused Coping) yakni strategi untuk mengatasi emosi negatif yang menyertai. Jika
individu memiliki mekanisme koping yang cukup baik maka individu tersebut akan
terbebas dari stres. Sebaliknya, apabila mekanisme koping yang dimiliki dirasa
kurang, maka individu tersebut akan mengalami stres.
DAFTAR PUSTAKA

Lazarus, RS. 1996. Psychological Stres and the Coping Process. New York: McGraw
Hill.

Lazarus, RS Folkman, S. 1984. Stres, Appraisal and Coping. New York: Springer.

Lazarus & Taylor. 1991. Emotion and Adaptation. London: Oxford University Press.

Lazarus, R. S., & Folkman, S. 1987. "Transactional theory and research on emotions
and coping." European Journal of Personality.Vol.1. Hlm. 141-170.

Lazarus, RS & Folkman S. 1988. Ways of Coping Questionnaire. Consulting


Psychologist, Inc.

MATERNAL ROLE ATTAINMENT DAN BECOMING MOTHER


(MERCER)
Gambar bagan

Gambar 4.26 Model of maternal role attainment

Dimodifikasi dari Mercer, R. T 1991. Maternal role Models and


consequences. Paper dipresentasikan pada International Research
Conference yang disponsori oleh the Council of Nurse
Researchers and the American Nurses Association, Los Angeles,
CA. Hak cipta Ramona T. Mercer, 1991. Catatan: Gambar ini
telah dimodifikasi melalui komunikasi personal dengan R. T.
Mercer, Kata eksosistem telah diubah menjadi mesosistem agar
lebih konsisten dengan sumber awalnya Bronfenbrener pada 4
Januari 2000.

Pencapaian Peran Ibu: Mercer's Original Model Maternal Role Attainment yang
dikemukakan oleh Mercer merupakan sekumpulan siklus mikrosistem, mesosistem,
dan makrosistem. Model ini dikembangkan oleh Mercer sejalan pengertian yang
dikemukakan Bronfenbrenners, yaitu:
1. Mikrosistem adalah lingkungan segera di mana peran pencapaian ibu terjadi.
Komponen mikrosistem ini antara lain fungsi keluarga, hubungan ibu-ayah,
dukungan sosial, status ekonomi, kepercayaan keluarga, dan stress bayi baru
lahir yang dipandang sebagai individu yang melekat dalam sistem keluarga.
Keluarga dipandang sebagai sistem semi tertutup yang memelihara batasan dan
pengawasan yang lebih antarperubahan dengan sistem keluarga dan sistem
lainnya. Gambar 2.1 Mikrosistem dalam model pencapaian peran ibu (Aligood
& Tomey, 2006).
2. Mesosistem meliputi, memengaruhi dan berinteraksi dengan individu di
mikrosistem. Mesosistem mencakup perawatan sehari-hari, sekolah, tempat
kerja, tempat ibadah, dan lingkungan yang umum berada dalam masyarakat.
3. Makrosistem adalah budaya pada lingkungan individu. Makrosistem terdiri atas
sosial, politik. Lingkungan pelayanan kesehatan dan kebijakan sistem kesehatan
yang berdampak pada pencapaian peran ibu.

Maternal Role Attainment adalah proses yang mengikuti empat tahap penguasaan
peran, yaitu sebagai berikut.
1. Antisipatori: tahapan antisipatori dimulai selama kehamilan mencakup data
sosial. psikologi, penyesuaian selama hamil, harapan ibu terhadap peran, belajar
untuk berperan, hubungan dengan janin dalam uterus, dan mulai memainkan
peran.
2. Formal: tahapan ini dimuai dari kelahiran bayi yang mencakup proses
pembelajaran dan pengambilan peran menjadi ibu. Peran perilaku menjadi
petunjuk formal, harapan konsesual yang lain dalam sistem sosial ibu.
3. Informal merupakan tahap dimulainya perkembangan ibu dengan jalan atau cara
khusus yang berhubungan dengan peran yang tidak terbawa dari sistem sosial.
Wanita membuat peran barunya dalam keberadaan kehidupannya yang
berdasarkan pengalaman masa lalu dan tujuan ke depan
4. Personal atau identitas peran yang terjadi adalah internalisasi wanita terhadap
perannya. Pengalaman wanita yang dirasakan harmonis, percaya diri,
kemampuan dalam menampilkan perannya dan pencapaian peran ibu.

Becoming a Mother: Model Revisi


Pada tahun 2003, Mercer merevisi model maternal role attainment menjadi becoming
mother. Pada model ini ditempatkan interaksi antara ibu, bayi, dan ayah sebagai sentral
interaksi yang tinggal dalam satu lingkungan.

Gambar bagan

Gambar 4.27 Becoming a mother: a Revised Model (Dari R. T. Mercer,


personal communication, September 3, 2003; Tomey, MA &
Alligood, 2006)

Dalam model ini dijelaskan variabel lingkungan keluarga dan teman meliputi
dukungan sosial, nilai dari keluarga, budaya, fungsi keluarga dan stresor. Lingkungan
komunitas meliputi perawatan sehari-hari, tempat kerja, sekolah, rumah sakit, fasilitas
rekreasi dan pusat kebudayaan. ILingkungan yang lebih besar dipengaruhi oleh hokum
yang berhubungan dengan perempuan dan anak-anak, termasuk ilmu tentang bayi baru
lahir, kesehatan reproduksi, budaya terapan dan program perawatan kesehatan
nasional. Perawat berperan besar membantu bayi lahir menjalani masa transisi dengan
aman dan membantu ibu dan orang terdekat untuk menjalani masa transisi menjadi
orang tua (Boback, 1995).

DAFTAR PUSTAKA
Alligood, MR, & Tomey, AM. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 7th Ed.
Missouri Mosby. Hlm. 605-619.
MODEL STRUCTURE OF CARING (SWANSON, 1993)

Model Stucture of Caring (Swanson, 1993) berkaitan dengan perilaku filosofis


perawat, yaitu selalu memberikan informasi, memahami, menyampaikan pesan,
melakukan tindakan terapeutik, serta selalu mengharapkan hasil akhir yang baik,
seperti yang digambarkan pada Gambar 4.28. (Dari Swanson, K. M. [1993]. Nursing
as informed caring for well-being of others. Image: The Journal of Nursing
Scholarship, 25 [4], 352-357.)

Gambar bagan
Gambar 4.28 Model structure of caring (Swanson, 1993)

DAFTAR PUSTAKA

Nursalam. (2008), Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian lImu Keperawatan.


Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta:
Salemba Medika

LoBiondo-Wood, G., dan Haber, J. (2002). Nursing Research: Methods, Critical


Appraisal, and Utilization. 5th ed. St. Louis: Mosby

Polit DF & Back, CT. (2012). Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9th Ed. Philadelphia: JB. Lippincott.

Voelker, D. H, & Orton, P. Z, & Adams, S. (2011). Cliff Quick Statistics Quick Review
2nd ed. New York: Wiley Publications, Inc.

Anda mungkin juga menyukai