AJAR
METODOLOGI PENELITIAN
BUKU AJAR
METODOLOGI PENELITIAN
Tim Penyusun:
KATA PENGANTAR
BAB I KAJIAN ILMIAH: BERFIKIR LOGIS DAN ILMIAH
PENDAHULUAN
BERFIKIR LOGIS
KAJIAN TENTANG ILMU DAN METODE ILMIAH
Ilmu
Penggolongan ilmu
Syarat Ilmu
DAFTAR PUSTAKA
TREN PENELITIAN
KEPERAWATAN
Pada bab ini, penulis hanya akan memfokuskan bahasan pada kajian ilmiah
ilmu keperawatan dengan penekanan dalam pembahasan berpikir logis dan
ilmiah. Berpikir logis adalah berpikir lurus dan teratur terhadap suatu hal yang
diyakini dari suatu objek atau fenomena. Objek atau fenomena tersebut berupa
suatu pokok permasalahan yang dikaji untuk membedakan antara benar dan
salah. Berpikir ilmiah adalah cara berpikir dengan didasarkan pada pendekatan
ilmiah, yaitu melalui metode ilmiah yang merupakan alat/sarana penjelasan
dalam mempelajari prosedur tertentu untuk mendapatkan ilmu. Metode ilmiah
mempelajari cara identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan, hipotesis,
metode, hasil, dan kesimpulan yang berdasarkan atas kaidah ilmiah.
BERPIKIR LOGIS
Berpikir logis merupakan proses berpikir yang didasari oleh konsistensi
terhadap keyakinan-keyakinan yang didukung oleh argumen yang valid.
Pengertian lain dari berpikir logis adalah berpikir lurus, tepat, dan teratur sebagai
objek formal logika. Suatu pemikiran disebut lurus, tepat, dan teratur apabila
pemikiran itu sesuai dengan hukum, aturan, dan kaidah yang sudah ditetapkan
dalam logika. Mematuhi hukum, aturan, dan kaidah logika berguna untuk
menghindari pelbagai kesalahan dan penyimpangan (bias) dalam mencari
kebenaran ilmiah. Pada hakikatnya, pikiran manusia terdiri atas tiga unsur
berikut.
1. Pengertian (informasi tentang fakta)
2. Keputusan (pernyataan benar-tidak benar)
3. Kesimpulan (pembuktian-silogisme)
Dalam logika ilmiah, tiga unsur pikiran manusia tersebut harus dinyatakan
dalam kata (kalimat tulisan). Tiga pokok kegiatan akal budi manusia antara lain
sebagai berikut :
1. Menangkap sesuatu sebagaimana adanya, yang berarti menangkap sesuatu
tanpa mengakui atau memungkiri (pengertian atau pangkal pikir, disebut
juga premis)
2. Memberikan keputusan, yang berarti menghubungkan pengertian yang satu
dengan pengertian yang lain atau memungkiri hubungan tersebut.
3. Merundingkan, yang berarti menghubungkan keputusan satu dengan
keputusan yang lain sehingga sampai pada satu kesimpulan (pernyataan
baru yang diturunkan).
ILMU
Proses
ILMU
Produk Metode
PENGGOLONGAN ILMU
SYARAT ILMU
Terdapat beberapa persyaratan bahwa suatu pengetahuan dianggap sebagai ilmu:
1) Memenuhi Syarat sebagai Ilmu Pengetahuan Ilmiah
a. Logis: Dapat dinalar dan masuk akal.
Misalnya, pada ilmu keperawatan. Klien yang masuk rumah sakit
mengalami stress di samping keadaan sakitnya, klien harus
beradaptasi terhadap lingkungan baru (orang perawat, peraturan-
peraturan, dan lain-lain).
b. Empiris. Data dapat diamati dan diukur.
Misalnya, data tentang respons klien yang mengalami stres, dapat
diamati dan diukur dari ketidakmampaan klien untuk beradaptasi
terhadap stresnya. Secara psikologis (kognator), klien stres
mengalami gangguan afek dan emosi (cemas, marah-marah depresi,
dan menolak peraturan baru). Hal ini karena klien tidak mampu
beradaptasi terhadap lingkungan baru. Secara fisik (regulator),
kondisi klien dapat diukur dengan terdinya peningkatan tanda-tanda
vital klien dan peningkatan hormon-hormon stres (kortisol dan
katekolamin)
c. Diperoleh melalui metode ilmiah
Pendekatan yang diganakan berdasarkan langkah-langkah dalam
metode ilmiah penjelasam lehih luniut dagat dilihat dalam
pembahasan tentang metode sains).
TEORI ADAPTASI
Gambar 1.2. Science building blocks pada ilmu keperawatan (Teori Adaptasi)
Keterangan :
Teori adaptasi terdiri atas komponen-komponen ilmu, yaitu terbentuk dari
beberapa konsep:
1) Konsep stres akibat masuk rumah sakit (stres hospitalisasi)
2) Konsep koping (regulator dan kognator)
3) Konsep manusia
4) Konsep keperawatan
5) Konsep sakit
6) Konsep lingkungan
Adanya sekelompok pengetahuan yang dirangkai dengan penambahan
pernyataan lain sehingga terbentuk suatu informasi tentang hubungan
antarpengetahuan. Minimal pada penelitian ini akan menghasilkan suatu
proposisi-proposisi.
Stimulasi
Logika Respons
1. Stimulus
a) Masalah.
Fakta/empiris yang dapat diamati dan diukur berdasarkan hasil suatu
pengamatan yang cermat dan teliti.
b) Perumusan masalah penelitian
Masalah yang sudah ditemukan kemudian dirumuskan dalam suatu
masalah penelitian, perumusan masalah. Di dalam penelitian
dituliskan sebagai pertanyaan penelitian.
2. Logika
a. Kajian teoretis / konseptual
Misalnya dalam ilmu keperawatan, sakit pada manusia disebabkan
oleh ketidakmampuan manusia untuk beradaptasi yang melibatkan
unsur fisik, psikis, dan sosial yang merupakan perwujudan
terimplikasi adanya integrasi satu dengan yang lain. Objek utama
dalam ilmu keperawatan, yaitu:
1) Manusia (individu yang mendapatkan stimulus/asuhan
keperawatan),
2) konsep lingkungan,
3) konsep sehat, dan
4) keperawatan.
1) Stimulus/Asuhan Keperawatan
Stimulus yang diberikan perawat berupa intervensi/asuhan
keperawatan dalam meningkatkan respons adaptasi
berhubungan dengan empat mode respons adaptasi.
Kegiatan yang dilaksanakan meliputi:
a) Membantu memenuhi kebutuhan klien dengan gangguan
dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis dan
ketergantungan.
b) Memperlakukan klien secara manusiawi.
c) Melaksanakan komunikasi terapeutik.
d) Mengembangkan hubungan terapeutik
2) Konsep lingkungan
Lingkungan merupakan semua kondisi internal dan eksternal
yang memengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan dan
perilaku seseorang atau kelompok. Lingkungan internal adalah
keadaan proses mental dalam tubuh individu (berupa
pengalaman, kemampuan emosional, dan kepribadian) serta
proses pemicu stres biologis (sel maupun molekul) yang berasal
dari dalam tubuh individu. Lingkungan eksternal dapat berupa
keadaan/faktor fisik, kimiawi, ataupun psikologis yang diterima
individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman.
3) Konsep sehat
Sehat merupakan suatu keadaan dan proses dalam upaya
menjadikan dirinya terintegrasi secara keseluruhan, fisik,
mental, dan sosial. Integritas adaptasi individu dimanifestasikan
oleh kemampuan individu untuk memenuhi tujuan dalam
mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi. Sakit adalah
suatu keadaan ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu.
Kondisi sehat dan sakit dipersepsikan secara berbeda-beda oleh
individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi (koping)
bergantung dari latar belakang individu tersebut dalam
mengartikan dan mempersepsikan sehat/sakit, misalnya tingkat
pendidikan, pekerjaan, usia, budaya, dan lain-lain.
4) Keperawatan
Keperawatan adalah model pelayanan profesional dalam
memenuhi kebutuhan dasar yang diberikan kepada individu
baik sehat maupun sakit yang mengalami gangguan fisik, psikis,
sosial agar dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.
Bentuk pemenuhan kebutuhan dasar dapat berupa
meningkatkan kemampuan yang ada pada individu, mencegah,
memperbaiki, dan melakukan rehabilitasi dari suatu keadaan
yang dipersepsikan sakit oleh individu.
b. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah dugaan atau jawaban sementara terhadap suatu
pertanyaan atau tujuan penelitían. Syarat hipotesis yang baik adalah
sebagai berikut.
1) Berupa pernyataan.
2) Layak uji.
3) Berdasarkan teori konsep
4) Adanya hubungan antarvariabel (proposisi antara konsep
adaptasi dan kinerja).
d. Penyusunan penelitian
Nonekaperimental (bersifat observasi) dan eksperimental True-
eksperimental; quasi-eksperimentals; pre-eksperimental. Contoh
rancangan quasi-eksperimental; peran teori adaptasi terhadap perbaikan
kinerja perawat.
Perlakuan Kontrol
Penerapan
teori adaptasi Variabel independen
3. Respons
Respons dalam kajian ilmiah dapat digolongkan sebagai berikut.
a. Penyusunan instrumen penelitian (validitas dan reliabilitas).
b. Melakukan sampling (randomisasi) dan estimasi ukuran sampel.
c. Analisis data dan pengujian hipotesis (regresi).
d. Mengambil kesimpulan dan memberikan saran
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika limiu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alligood, MR, & Tomey, AM, 2006, Nursing 'Theorists and Their Work, 7h ed.
Missouri: Mosby.
Babbie, E. 1999. The Basics of Social Research. Belmont: Wadsworth Pub. Co.
Nursalam. 2002. Pendekatan Praktis Metodologi Riset Keperawatan, Jakarta: Sagung
Seto.
Nursalam & Kurniawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pasien Terinfeksi
HIV/AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan. Metodologi Penelitian limu Keperawatan.
Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Polit DF & Back, CT. 2012. Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9 ed. Philadelphia: JB. Lippincott.
Polit, D.E. dan B.P. Hungler. 1993. Essential of Nursing Research. Methods,
Appraisal, and Utilization. 3d ed. Philadelphia: J.B. Lippincott Co.
Putera, S.T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair.
Sastroasmoro, S. dan S. Ismail. 1995. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis.
Jakarta: Binarupa Aksara.
Soeparto, O., S.T. Putra, dan Haryanto. 2000. Filsafat Imu Kedokteran. Surabaya:
GRAMIK dan RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Bab 2
Kajian Ilmu Keperawatan
Filsafat ilmu merupakan telaah secara filsafat yang ingin menjawab pertanyaan
hakikat ilmu (Adib, 2011). Hakikat ilmu dapat dibedakan menjadi tiga; yaitu
ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Semua pengetahuan-ilmu (sains), seni,
atau pengetahuan apa saja- pada dasarnya mempunyai ketiga landasan tersebut.
Ketiga hakikat tersebut saling berkaitan, yang berbeda adalah materi
perwujudannya serta sejauh mana landasan-landasan ketiga hakikat ini
dikembangkan dan dilaksanakan.
Batas lingkup ilmu menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang
membedakan ilmu (sains) dari pengetahuan-pengetahuan lain. Dapat dikatakan
bahwa ilmu hanya membatasi hal-hal yang berbeda dalam batas pengalaman
karena fungsi ilmu dalam kehidupan (seperti memerangi penyakit) dan
menyusun indikator kebenaran karena telah teruji secara empiris. Ilmu juga
perlu bimbingan moral (agama) karena kebutaan moral dari ilmu dapat
membawa manusia ke jurang malapetaka.
Pada praktiknya, harus ada kejelasan batas disiplin ilmu, misalnya batas
disiplin ilmu antara perawat dan dokter. Tanpa kejelasan batas, maka pendekatan
multidisiplin tidak akan bersifat konstruktif tetapi berubah menjadi sengketa
kapling (Alligood & Tomey, 2012). Ciri khas yang paling menyol yaitu manusia
yang dilihat bukan hanya sebagai benda jasmani saja tetapi manusia secara
keseluruhan. Sementara itu manusia sebagai subjek penyelidikan ilmu
kemanusiaan dilihat dalam dua arti. Pertama dalam arti bahwa secara hakiki
manusia melampaui status objek benda-benda sekitarnya, kedua dalam arti
bahwa si penyelidik subjek berada pada taraf yang sama dengan objeknya. Arti
pertama agak berbau filsafat. Arti kedua secara khas berasal dari suatu uraian
empiris mengenai ilmu-ilmu kemanusiaan, jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu
lainnya.
Bagaimana dengan halnya makhluk hidup termasuk sendiri? Hal ini
terutama terjadi di tatanan klinik yang objeknya adalah manusia. Fenomena-
fenomena klinik yang kita amati adalah aspek fisik berupa gejala-gejala penyakit
dengan tingkat biomolekuler yang mendasarinya; aspek psikis; dan aspek sosial.
Ketiga aspek tersebut merupakan fokus kajian objek ilmu keperawatan, yang
mempunyai empat komponen, yaitu manusia sebagai makhluk yang unik;
keperawatan; konsep sehat-sakit; dan lingkungan yang memengaruhi keadaan
manusia.
Banyak pengertian yang membahas tentang ilmu keperawatan,
sebagaimana Nursalam (2008) menjabarkan tentang ilmu keperawatan
adalah"……..suatu ilmu yang mencakup ilmu-ilmu dasar, perilaku, biomedik,
sosial, dan ilmu keperawatan sendiri (dasar, anak, maternitas, medikal bedah,
jiwa, dan komunitas). Aplikasi ilmu keperawatan yang menggunakan
pendekatan dan metode penyelesaian masalah secara ilmiah ditujukan untuk
mempertahankan, menopang, memelihara, dan meningkatkan integritas seluruh
kebutuhan dasar manusia". Pengertian tersebut membawa dampak terhadap isi
kurikulum program pendidikan tinggi keperawatan. Institusi pendidikan tinggi
keperawatan sejauh ini belum mampu mengenalkan ilmu keperawatan secara
jelas kepada peserta didik. Dengan demikian, peserta didik mendapatkan
orientasi ilmu dasar yang hampir sama dengan yang diajarkan pada program
pendidikan kesehatan lain (kedokteran umum, dokter gigi, dan kesehatan
masyarakat). Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan peran perawat dalam
memberikan asuhan kesehatan kepada klien. Pertanyaan yang muncul adalah
apakah isi kurikulum ilmu-ilmu dasar yang diajarkan kepada mahasiswa
keperawatan sama yang diajarkan kepada mahasiswa kedokteran, kedokteran
gigi, dan kesehatan masyarakat. Hal ini perlu dipertanyakan mengingat: 1)
belum jelasnya perbedaan ilmu keperawatan dan kedokteran dan 2) dosen sering
mengajarkan materi yang sama dengan kedokteran kepada mahasiswa
keperawatan. Dengan perkataan lain, tidak adanya focus penekanan kompetensi
wajib yang dimiliki lulusan keperawatan (Nursalam, 2008b).
Tujuan ilmu keperawatan dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: 1) sebaga
dasar dalam praktik keperawatan; 2) komitmen dalam praktik keperawatan
terhadap pengembangan ilmu keperawatan; 3) sebagai dasar penyelesaian
masalah keperawat yang kompleks agar kebutuhan dasar klien terpenuhi; dan 4)
dapat diterimanya intervensi keperawatan secara ilmiah dan rasional oleh profesi
kesehatan lain serta masyarakat. Tujuan yang terakhir disebutkan akan dapat
diterima oleh masyarakat jika perawat mampu menjelaskan objek ilmu
keperawatan (Chitty, 1997).
Berdasarkan tujuan ilmu keperawatan tersebut, Chitty (1997)
menerjemahkan ilmu keperawatan sebagai suatu ilmu yang aplikasinya dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah sesuai dengan kaidah dan nilai-nilai
keperawatan. Chitty (1997) menekankan nilai-nilai ilmu keperawatan pada tiga
unsur utama, yaitu: holistik, humanistik, dan care dengan menekankan pada
upaya pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang sehat maupun sakit.
Pemenuhan kebutuhan manusia merupakan objek ilmu keperawatan yang
meliputi membantu meningkatkan, mencegah, dan mengembalikan fungsi
kesehatan yang terganggu akibat sakit yang diderita.
Peran utama professional perawat adalah memberikan asuhan keperawatan
kepada manusia (sebagai objek utama kajian filsafat ilmu keperawatan :
Ontologis) yang meliputi :
1. Memperhatikan individu dalam konteks sesuai kehidupan dan kebutuhan
klien.
2. Perawat menggunakan proses keperawatan untuk mengidentifikasi
masalah keperawatan, mulai dari pemeriksaan fisik, psikis, sosial, dan
spiritual.
3. Memberikan asuhan keperawatan kepada klien (klien, keluarga, dan
masyarakat) mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam disiplin biologi yang merupakan induk utama dari filsafat ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan, terdapat 4 doktrin biologi organisme yang
mencerminkan upaya para ahli biologi dalam mengatasi realitas biologi, yaitu
(1) doktrin pendekatan holistik; (2) doktrin teleologik; (3) doktrin kesejajaran
historis dalam perkembangan organisme; serta (4) doktrin otonomi (Soeparto
Putra, Haryanto, 2000). Doktrin pertama tampak pada pendekatan holistik
yang digunakan oleh ahli biologi dalam memersepsikan organisme. Artinya,
meskipun tubuh organisme tersusun dari komponen-komponen yang
mencerminkan tingkat agregasi bahan kimia pembentuknya dengan ciri-ciri
fisikokimia yang bervariasi, para ahli biologi memandang wujud organisme
sebagai yang terintegrasi. Doktrin kedua tampak pada sifat deskriptif
penjelasan biologi yang berorientasi tujuan. Penjelasan biologi yang
menekankan pentingnya hubungan antara struktur dengan fungsi dan penjelasan
pelestarian fungsi reproduksi, adaptasi, dan evolusi dalam organisme biologi
dipengaruhi oleh doktrin ini. Doktrin ketiga menegaskan
bahwa ciri-ciri perkembangan organisme menimbulkan permasalahan
metodologi khas dalam perkembangan teori biologi. Doktrin keempat
merupakan konsekuensi logis dari ketiga doktrin sebelumnya. Doktrin ini
menegaskan bahwa organisme harus diteliti tanpa prasangka, peranggapan, dan
bias yang tak disadari, sehingga informasi yang terhimpun memberikan realitas
apa adanya. Sistem biologi memperlihatkan ciri-ciri perwujudan dirinya sebagai
saatu totalitas (holistik). Dalam totalitas perwajudannya terimplikasi
adanya integrasi yaing engendalikan interelasi antara ciri satu dengan lainnya
(Soparmo,1984).
Keempat doknin tersebut mempunyai kesamaan dalam filsafat ilmu
keperawatan, yaitu terjadinya suata sakit pada manusia karena adanya
ketidakmampuan beradaptasi antara unsur fisik, psikis dan sosial karena unsur –
unsur tersebut merupakan perwujudan terimplikasi integrasi satu dengan yang
lain. Misalnya jika manusia mengalami nyeri dada (pada kasus infark miokard
akut) maka akan berdampak terhadap stress psikis karena ketakutan tehadap
kematian, dan terjadi ganggaan sosialisasi dengan individu lainnya.
Salama individu mampu menjaga integrasi antara unsur- unsur tersebut, maka
gejala sakit tidak akan tormanifestasikan dan individu akan bertahan.
Menurut Roy terdapat lima objek utama dalam ilma keperawatan, yaitu (1)
Manusia (individu yang medapatkan asuhan keparwatan) (2) Keperawatan: (3)
Konsep sehat: (4) konsep lingkungan; dan (5) Aplikasi : tindakan keparwatan.
(Nursalam & Kurniawan, 2007).
Integritas
Sosiologi
Regulator (system (mungsi peran) Residual
saraf otonom)
Zona
Maladaptif
ketergantungan
Gambar 2.1. Diagram model adaptasi dari Roy (dikutip oleh Nursalam, 2007)
MANUSIA
Roy menyatakan bahwa penerima jasa asuhan keperawatan adalah individu,
keluarga kelompok, komunitas, atau sosial. Masing-masing diperlakukan oleh
perawat sebagai system adaptasi yang holistik dan terbuka. Sistem terbuka
tersebut berdampak terhadap perubahan yang konstan terhadap informasi,
kejadian, dan energi antarsistem dan lingkungan.
Interaksi yang konstan antara individu dan lingkungan dicirikan oleh perubahan
internal dan eksternal. Dengan perubahan tersebut, individu harus
mempertahankan integritas dirinya yaitu beradaptasi secara kontinu
1. Input. Sistem adaptasi mempunyai input yang berasal dari internal
individu. Roy mengidentifikasi input sebagai suatu stimulus. Stimulus
merupakan suatu unit informasi, kejadian, atau energi yang berasal dari
lingkungan. Sejalan dengan adanya stimulus, tingkat adaptasi individu
direspons sebagai suatu input dalam sistem adaptasi. Tingkat adaptasi
tersebut bergantung dari stimulus yang didapat berdasarkan kemampuan
individu. Tingkat respons antara individu sangat unik dan bervariasi
bergantung pada pengalaman yang didapatkan sebelumnya, status
kesehatan individu, dan stresor yang diberikan.
2. Proses.
a. Roy menggunakan istilah mekanisme koping untuk menjelaskan
proses kontrol dari individu sebagai suatu sistem adaptasi.
Beberapa mekanisme koping dipengaruhi oleh faktor
kemampuan genetik, misalnya sel-sel darah putih masuk dalam
tubuh. Mekanisme lainnya adalah dengan penggunaan antiseptik
untuk mengobati luka. Roy menekankan ilmu keperawatan yang
unik untuk mengontrol mekanisme koping. Mekanisme tersebut
dinamakan regulator dan cognator.
b. Subsistem regulator mempunyai sistem komponen input, proses
internal, dan output.Stimulus input berasal dari dalam atau luar
individu. Perantara sistem regulator berupa kimiawi, saraf, atau
endokrin. Refleks otonomi sebagai respons neural berasal dari
batang otak dan korda spinalis, diartikan sebagai suatu perilaku
output dari sistem regulasi. Organ target (endoterin) dan jaringan
di bawah kontrol endokrin juga memproduksi perilaku output
regulator, yaitu terjadinya peningkatan Andreno Corticaltyroid
Hormone (ACTH) kemudian diikuti peningkatan kadar kortisol
darah.
Banyak proses fisiologis yang dapat diartikan sebagai perilaku
subsistem regulator. Misalnya, regulator tentang respirasi. Pada
sistem respirasi akan terjadi peningkatan oksigen, yang
menginisiasi metabolisme agar dapat merangsang kemoreseptor
pada medula untuk meningkatkan laju pernapasan. Stimulasi
yang kuat pada pusat tersebut akan meningkatkan ventilasi lebih
dari 6-7 kali.
c. Contoh proses regulator tersebut terjadi ketika stimulus eksternal
divisualisasikan dan ditransfer melalui saraf mata menuju pusat
saraf otak dan bagian bawah pusat saraf otonomi. Saraf
simpatetik dari bagian ini mempunyai dampak yang bervariasi
pada viseral, termasuk peningkatan tekanan darah dan denyut
jantung
d. Stimulus terhadap subsistem kognator juga berasal dari faktor
internal dan eksternal. Perilaku output subsistem regulator dapat
menjadi umpan balik terhadap stimulus subsistem kognator.
Proses kontrol kognator berhubungan dengan fungsi otak yang
tinggi terhadap persepsi atau proses informasi, pengambilan
keputusan, dan emosi. Persepsi proses informasi juga
berhubungan dengan seleksi perhatian, kode, dan ingatan. Belajar
berhubungan dengan proses imitasi dan penguatan
(reinforcement). Penyelesaian masalah dan pengambilan
keputusan merupakan proses internal yang berhubungan dengan
keputusan dan khususnya emosi untuk mencari kesembuhan
dukungan yang efektif, dan kebersamaan.
e. Dalam mempertahankan integritas seseorang, kognator dan
regulator bekerja secara bersamaan. Sebagai suatu sistem
adaptasi, tingkat adaptasi seseorang dipengaruhi oleh
perkembangan individu dan penggunaan mekanisme koping.
Penggunaan mekanisme koping yang maksimal akan berdampak
baik terhadap tingkat adaptasi individu dan meningkatkan tingkat
rangsangan sehingga individu dapat merespons secara positif
3. Efector
Sistem adaptasi proses internal yang terjadi pada individu didefinisikan
Roy sebagai sistem efektor. Empat efektor atau model adaptasi tersebut
meliputi (1) fisiologis; (2) konsep diri; (3) fungsi peran; dan (4)
ketergantungan (interdepeden). Mekanisme regulator dan kognator
bekerja pada model adaptasi. Perilaku yang berhubungan dengan mode
adaptasi merupakan manifestasi dari tingkat adaptasi individu dan
mengakibatkan digunakannya mekanisme koping. Saat mengobservasi
perilaku seseorang dan menghubungkannya dengan model adaptasi,
perawat dapal mengidentifikasi adaptif atau ketidakefektifan respons
sehat dan sakit.
a. Fisiologis
Efektor secara fisiologis dapat dilihat dari beberapa hal berikut
Oksigenasi: menggambarkan pola penggunaan oksigen yang
berhubungan dengan respirasi dan sirkulasi.
Nutrisi: menggambarkan pola penggunaan nutrisi untuk
memperbaiki kondisi dan perkembangan tubuh klien.
Eliminasi: menggambarkan pola eliminasi.
Aktivitas dan istirahat: menggambarkan pola aktivitas,
latihan, istirahat, dan tidur
Integritas kulit: menggambarkan fungsi fisiologis kulit.
Rasa: menggambarkan fungsi sensori perseptual yang
berhubungan dengan pancaindra: penglihatan, penciuman,
perabaan, pengecapan, dan pendengaran.
Cairan dan elektrolit: menggambarkan pola fisiologis
penggunaan cairan dan elektrolit.
Fungsi neurologis: menggambarkan pola kontrol neurologis,
pengaturan, dan intelektual.
Fungsi endokrin: menggambarkan pola kontrol dan
pengaturan, termasuk respons stres dan sistem reproduksi.
2. Output
Perilaku seseorang berhubungan dengan metode adaptasi. Koping yang
tidak efektif berdampak terhadap respons sakit (maladaptif). Jika klien
masuk pada zona maladaptif maka klien mempunyai masalah
keperawatan (adaptasi).
KEPERAWATAN
KONSEP SEHAT-SAKIT
Roy mendefinisikan sehat sebagai suatu kontinum dari meninggal sampai dengan
tingkat tertinggi sehat. Dia menekankan bahwa sehat merupakan suatu keadaan dan
proses dalam upaya menjadikan dirinya terintegrasi secara keseluruhan, yaitu fisik,
mental, dan sosial.
Integritas adaptasi individu dimanifestasikan oleh kemampuan individu untuk
memenuhi tujuan mempertahankan pertumbuhan dan reproduksi.
Sakit adalah suatu kondisi ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
terhadap rangsangan yang berasal dari dalam dan luar individu. Kondisi sehat dan sakit
sangat relatif dipersepsikan oleh individu. Kemampuan seseorang dalam beradaptasi
(koping) bergantung pada latar belakang individu tersebut dalam mengartikan dan
mempersepsikan sehat-sakit, misalnya tingkat pendidikan, pekerjaan, usia, budaya,
dan lain-lain.
KONSEP LINGKUNGAN
Stimulus dari individu dan stimulus sekitarnya merupakan unsur penting dalam
lingkungan. Roy mendefinisikan lingkungan sebagai semua kondisi yang berasal dari
internal dan eksternal, yang memengaruhi dan berakibat terhadap perkembangan serta
perilaku seseorang dan kelompok. Lingkungan eksternal dapat berupa fisik, kimiawi,
ataupun psikologis yang diterima individu dan dipersepsikan sebagai suatu ancaman.
Sementara lingkungan internal adalah keadaan proses mental dalam tubuh individu
(berupa pengalaman, kemampuan emosional, kepribadian) dan proses stressor (sel
maupun molekul) yang berasal dari dalam tubuh individu. Manifestasi yang tampak
akan tercermin dari perilaku individu sebagai suatu respons. Pemahaman klien yang
baik tentang lingkungan akan membantu perawat meningkatkan adaptasi klien tersebut
dalam mengubah dan mengurangi risiko akibat dari lingkungan sekitarnya.
PROSES KEPERAWATAN
Model ilmu keperawatan dari adaptasi Roy memberikan pedoman kepada perawat
dalam mengembangkan asuhan keperawatan melalui proses keperawatan. Unsur
proses keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosis keperawatan, intervensi,
dan evaluasi seperti yang digambarkan berikut ini (Nursalam, 2008a)
Intervensi
Pengkajian
Diagnosis
Perencanaan
Pelaksanaan
Evaluasi
Gambar 2.2 Diagram hubungan antara tahap proses keperawatan (Nursalam, 2001).
1. Pengkajian
Pengkajian pertama meliputi pengumpulan data tentang perilaku klien sebagai
suatu system adaptif yang berhubungan dengan masing-masing model adaptasi:
fisiologis, konsep diri fungsi peran, dan ketergantungan. Oleh karena itu,
pengkajian pertama diartikan sebagai pengkajian perilaku, yaitu pengkajian klien
terhadap masing-masing model adaptasi sistematis dan holistik. Pelaksanaan
pengkajian dan pencatatan pada empat model adaptif tersebut akan memberikan
gambaran keadaan klien kepada tim kesehatan lainnya.
Setelah pengkajian pertama, perawat menganalisis pola perubahan perilaku
klien tentang ketidakefektifan respons atau respons adaptif yang memerlukan
dukungan perawat. Jika ditemukan ketidakefektifan respons (maladaptif), perawat
melaksanakan pengkajian tahap kedua. Pada tahap ini, perawat mengumpulkan
data tentang stimulus fokal, kontekstual, dan residual yang berdampak terhadap
klien. Proses ini bertujuan untuk mengklarifikasi penyebab dari masalah dan
mengidentifikasi faktor kontekstual dan residual yang sesuai. Menurut Martinez,
faktor yang memengaruhi respons adaptif meliputi genetik; jenis kelamin, tahap
perkembangan, obat-obatan, alkohol, merokok konsep diri, fungsi peran,
ketergantungan, dan pola interaksi sosial; mekanisme koping dan gaya; stres fisik
dan emosi; budaya; serta secara lingkungan fisik.
3. Interfensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu perencanaan dengan tujuan mengubah atau
memanipulasi stimulus fokal, kontekstual, dan residual. Pelaksanaannya juga
ditujukan kepada kemampuan klien dalam menggunakan koping secara luas, supaya
stimulus secara keseluruhan dapat terjadi pada klien.
Tujuan intervensi keperawatan adalah mencapai kondisi yang optimal dengan
menggunakan koping yang konstruktif. Tujuan jangka panjang harus dapat
menggambarkan penyelesaian masalah adaptif dan ketersediaan energi untuk
memenuhi kebutuhan tersebut (mempertahankan, pertumbuhan, dan reproduksi).
Tujuan jangka pendek mengidentifikasi harapan perilaku klien setelah manipulasi
stimulus fokal, kontekstual, dan residual.
Pengembangan kriteria standar intervensi keperawatan menurut adaptasi akan
digunakan oleh peneliti sebagai instrumen untuk mengukur kinerja perawat dalam
menerapkan teori adaptasi pada asuhan keperawatan anak.
4. Evaluasi
Penilaian terakhir proses keperawatan didasarkan pada tujuan keperawatan yang
ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
perubahan perilaku dari kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi
pada individu.
DAFTAR PUSTAKA
Adib, M. 2011. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alligood, MR, & Tomey. AM. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 7h ed. St.
Louis, Missouri: Mosby
Chitty, K.K. 1997. Professional Nursing. Concepts & Challenges. 2nd ed.
Philadelphia: W.B Saunders Company.
Nursalam & Kurniawati, ND. 2007. Asuhan Keperawatan Pasien Terinfeksi HIV/
AIDS. Jakarta: Salemba Medika.
Polit DF & Back, CT. 2012. Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9th ed. Philadelphia: JB. Lippincott.
Putera, S.T. 2010. Filsafat Ilmu Kedokteran. Surabaya: Pusat Penerbitan dan
Percetakan Unair.
Soeparmo HA. (1984) Struktur Keilmuan dan Teori Ilmu Pengetahuan Alam.
Surabaya: Airlangga University Press.
BAGIAN 2
MASALAH PENELITIAN DAN
KERANGKA KONSEP
MASALAH
Masalah penelitian merupakan langkah awal yang harus dipikirkan dan disusun
berdasarkan suatu fakta empiris di lapangan. Pada tahap awal pelaksanaan penelitian,
kegiatan yang perlu dilakukan adalah memahami konsep masalah berdasarkan kajian
kepustakaan yang dapat dipercaya. Kegiatan tersebut meliputi berpikir, membaca
teori, dan review dengan teman perlu memahami pelaksanaan deductive reasoning dan
memilih topik yang diminati dari hasil riset yang telah dilaksanakan orang lain.
TOPIK JUDUL
Fakta
Kesenjangan berdasar pada
MASALAH
konsep masalah (K.I)
Harapan
Konsep yang digunakan dalam
RUMUSAN paradigm penelitian/konsep paradigm
MASALAH penelitian/konsep paradigma (konsep I
dan II) sebagai sumber variable untuk
menjawab rumusan masalah.
TUJUAN
PENELITIAN
MANFAAT
Gambar 3.1. Bagan alur piker ilmiah sekonsep (Soeparto, Putra, Haryanto, 2000)
Masalah penelitian adalah suatu kondisi yang memerlukan pemecahan atau alternatif
Pemecahan. Baik burukya suatu penelitian sangat ditentukan oleh masalah penelitian
(Research problem) (Polit & Hungler, 1999). Masalah penelitian biasanya didapat dari
topic yang secara luas berhubungan dengan keperawatan. Mengingat dalam topik
sudah terdapat suatu masalah, maka dalam melakukan identinkasi masalah hendaknya
tidak keluar dari area masalah yang telah dicantumkan dalam topik. Masalah penelitian
diupayakan yang orisin, mempunyai kontribusi terhadap perkembangan ilmu, urgensi
dan baru.
MASALAH DAN
RUMUSAN MASALAH
Pengembangan kerangka
konseptual (Teori/ ilmu
keperawatan) : ROY, OREM,
KING, dll)
Gambar 3.2. Penentuan masalah riset keperawatan (Nursalam, 2002 & Nursalam,
2008)
Keterangan:
Alur perumusan masalah penelitian keperawatan tersebut berdasar pada masalah-
masalah keperawatan yang berasal dari diagnosis keperawatan, yang terdiri atas rumus
PES. P (problem adalah respons/masalah yang dirasakan oleh klien, baik fisik, psikis,
maupun sosio-spiritual. Dalam menentukan R merujuklah pada masalah keperawatan
yang dikemukakan oleh North American Nurses Diagnosis (NANDA), sebagai acuan
penentuan masalah keperawatan di dunia. E (Etiology) adalah penyebab dari masalah,
dapat berupa patofisiologi suatu penyakit, situasi lingkungan atau tempat tinggal. S
(Sign & Symptoms) adalah tanda dan gejala yang biasanya memberikan kontribusi
terhadap timbulnya masalah. Keterangan tersebut dapat dianalogikan, bahwa PES
dapat dipergunakan sebagai variabel dependen; E sebagai variabel independen; dan S
dapat berperan sebagai variabel independen, dependen, moderator, atau variabel
lainnya.
Masalah riset bisa didapatkan dari berbagai sumber. Akan tetapi pemilihan sumber
harus selektif, aktif, dan imajinatif dalam penggunaannya.
Praktik Keperawatan
Praktik keperawatan harus berdasarkan pada ilmu yang diperoleh dari suatu hasil
penelitian, karenapraktik tersebut sangat penting untuk mengetahui sumber
permasalahan (Polit & Back, 2012). Pormasalahan atau topik riset dapat diperoleh
dari observasi klinik (perilaku klien dan keluarga dalam situasi krisis dan bagaimana
perawat mengatasi masalah tersebut; review status klien: proses keperawatan; dan
prosedur atau tindakan perawatan yang mungkin menimbalkan masalah atau
pertanyaan dalam pelaksanaannya). Misalnya, prosodur apakah yang bisa diberikan
dalam perawatan mulut pada klien kanker mulut atau klien dengan pemasangan
endotrakeal? Tindakan efektif apa yang dilakukan untuk mengobati luka? Tindakan
keperawatan apa yang berhubungan dengan komunikasi klien dengan stroke? Apakah
dampak kunjungan rumah dan pelaksanaannya setelah klien pulang dari rumah sakit?
Beherana mahasiswa perawat dan perawat mengumpulkan suatu jurnal atau data
mengenai permasalahan yang berhubungan dengan pengalaman praktiknya (Burns &
Grove 1999) mereka mencatat pengalaman, ide, dan observasinya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan. Analisis dalam hal tersebut sering kali membantu
penyusunan suatu pola dalan memgidentifikasi peran perawat. Mengapa pemberian
asuhan keperawatan pada emosional dan spiritual klien lebih sedikit dibandingkan
dengan perawatan fisik? Apakah anggota keluarga perlu dilibatkan atau tidak dalam
pemberian asuhan keperawatan kepada klien?
Burns dan Grove (1999) mengemukakan lima pertanyaan yang perlu dijawab sebelum
merumuskan masalah penelitian: (1) Apa yang salah atau yang perlu diperhatikan pada
Situasi ini?; (2) Di mana letak kesenjangannya?: (3) Informasi apa yang dibutuhkan
untuk mencari masalah ini?; (4) Perlukah melakukan tindakan pelayanan di klinik?;
dan (5) Perubahan apa yang diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut?
Sementara menurut Polit dan Hungler (1993) pertanyaan yang perlu dijawab
sebelum merumuskan masalah penelitian: (1) Apakah pertanyaan penelitian ini
berhubungan dengan teori atau praktik? (Substansi); (2) Bagaimana pertanyaan akan
bisa dijawab? (Metodologis); (3) Apakah tersedia sarana dan prasarana yang memadai
(practical dimensions); dan (4) Dapatkah pertanyaan ini dijelaskan secara konsisten
yang berdasarkan pada isu etik? (Ethical Dimensions).
Riset keperawatan terutama ditujukan pada masalah-masalah keperawatan di
klinik dan komunitas atau keluarga (misalnya, sesuai 11 pola fungsi kesehatan dari
Gordon; 9 pola respons kesehatan dari NANDA; dan lain-lain); masalah keperawatan
pada bidang pendidikan; dan masalah pada sistem pelayanan kesehatan lain
(Nursalam, 2008).
Pertanyaan suatu penelitian adalah suatu pernyataan yang singkat, jelas, dan
interogatif, yang ditulis dalam bentuk saat sekarang dan melibatkan satu atau lebih
variabel. Pertanyaan penelitian berguna untuk menjelaskan suatu variabel, menguji
hubungan antarvariabel, dan menentukan perbedaan antara dua atau lebih kelompok
sehubungan dengan variabel tertentu.
Contoh:
1. Bagaimana peran orang tua dalam perawatan tali pusat pada bayi baru lahir?
(deskriptif)
2. Adakah hubungan antara variabel x dan variabel y? (crossectional ; asosiasi/
korelasi)
3. Adakah pengaruh pemberian terapi bermain pada anak prasekolah selama
masuk rumah sakit terhadap penerimaan selama tindakan invasif? (pengaruh
experiment)
a. Waktu
Suatu penelitian sering kali memerlukan waktu yang lebih lama dari yang
telah ditentukan, sehingga menjadi kendala bagi semua peneliti terutama
peneliti pemula untuk memperkirakan waktu yang diperlukan.
Pertimbangan perkiraan penentuan waktu dapat ditentukan oleh berbagai
faktor:
1) Tipe responden yang diperlukan
2) Jumlah dan kompleksnya variabel yang akan digunakan
3) Metode pengukuran variabel (apakah instrumen sudah tersedia
ataukah harus mengembangkan sendiri)
4) Metode pengumpulan data
5) Proses analisis data
b. Dana Perumusan masalah dan tujuan yang dipilih sangat dipengaruhi oleh
alokasi dana yang tersedia. Potensial sumber dana harus dipertimbangkan
pada saat penyusunan masalah atau tujuan. Untuk memperkirakan dana
yang diperlukan, beberapa pertanyaan berikut ini perlu dipertimbangkan:
1) Literatur: Apakah akan diperlukan komputer, fotokopi artikel, atau
pembelian buku?
2) Subjek: Apakah subjek/responden perlu diberi biaya dalam
partisipasinya?
3) Peralatan: Alat-alat apakah yang diperlukan untuk penelitian?
Apakah alat- alat tersebut bisa diperoleh dengan ataukah
disediakan oleh donatur? Apakah bisa menggunakan alat-alat yang
tersedia, ataukah perlu membangun/membuat sendiri? Berapakah
biaya untuk pengukuran instrumen?
4) Personel: Apakah asisten/konsultan perlu diberikan biaya
pengetikan dan analisis data? cara meminjam, menyewa, membeli,
5) Komputer: Apakah pemakaian komputer diperlukan saat
menganalisis data? Jika ya, berapa biaya yang diperlukan?
6) Transportasi: Berapa biaya transportasi untuk melakukan
penelitian dan menyajikan hasil?
7) Pendukung: Apakah akan diperlukan alat-alat seperti amplop,
prangko, pena, kertas, dan fotokopi? Apakah perlu biaya telepon
untuk jarak jauh (interlokal)?
c. Keahlian Peneliti
Permasalahan/topik dan tujuan penelitian harus diseleksi berdasarkan
kemampuan peneliti. Hal ini biasanya menuntut seorang peneliti untuk
memahami suatu proses penelitian baru kemudian melakukan penelitian
berdasarkan pengalamannya. Memilih permasalahan yang sulit dan
kompleks akan mengakibatkan frustrasi bagi peneliti pemula.
d. Ketersediaan responden
Dalam menentukan suatu tujuan penelitian, yang perlu dipertimbangkan
adalah tipe dan jumlah responden yang diperlukan. Sampel biasanya sulit
jika penelitian meliputi populasi yang unik dan jarang. Misalnya
quadriplegic yang hidup sendirian. Semakin spesifik suatu populasi,
semakin sulit mendapatkannya. Dana dan waktu yang tersedia akan
berakibat terhadap responden yang dipilih. Dengan keterbatasan waktu
dan dana, seorang peneliti perlu menentukan responden yang tersedia yang
tidak memerlukan biaya (upah).
g. Pertimbangan etika
penelitian harus etis, dalam arti hak responden dan yang lainnya
dilindungi. Jika suatu tujuan penelitian akan berakibat jelek terhadap hak
reponden, maka penelitian tersebut harus dievaluasi ulang dan mungkin
harus dihindari.
Masalah/Kajiian Masalah
Dari hasil studi yang dilakukan peneliti pada 15 orang mahasiswa reguler
Program Profesi Ners Fakultas Keperawatan pada tanggal 2-9 Maret 2013 dapat
diketahui bahwa dia dimensi kelelahan emosional: 26.7%% mahasiswa
mengalami kelelahan emosional ditingkat rendah: 40% menengah dan 33,3%
pada rentang berat. Dimensi yang kedua depersonalisasi S87% mahasiswa
mengalami depersonalisasi di tingkat rendah dan sekitar 13.3% di tingkat
menengah. Kemudian dimensi penurunan prestasi diri; 33,3% mengalami
penurunan prestasi diri di tingkat rendah; 46,7% menengah; dan 20% mengalami
penurunan prestasi diri tingkat berat. Hal ini didukung dengan data penelitian
sebelumnya oleh Irawati (2012) yang menyebutkan bahwa mahasiswa regular
angkatan genap 2011/2012 program profesi Ners Fakultas Keperawatan dari
jumlah 63 orang responden penelitian terdapat 61,9% mahasiswa mengalami
kelelahan emosional di level sedang. Sekitar 60,3% mengalami depersonalisasi
tingkat menengah dan 71,4 % mengalami penurunan prestasi level rendah.
Rumusan Masalah
1. Apakah ada hubungan antara sumber stres (stresor) personal terhadap
burnout syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi
Ners?
2. Apakah ada hubungan antara sumber stres (stresor) lingkungan terhadap
burnout sydrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi
Ners?
3. Apakah ada hubungan antara relational meaning terhadap Burnout
Syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi Ners?
4. Apakah ada hubungan antara Coping Strategy terhadap Burnout
Syndrome yang dialami oleh mahasiswa regular program Profesi Ners?
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Menganalisis hubungan antara sumber stres (stresor): personal dan lingkungan,
relational meaning dan coping strategy terhadap kejadian Burnout Syndrome
pada mahasiswa regular Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folkman dan konsep Maslach Burnout Inventory
Tujuan Khusus
1. Menganalisis hubungan sumber stes (stressor) personal dengan burnonud
syndrome
2. Menganalisis hubungan sumber stres (stresor) lingkungan dengan
burnout syndrome pada mahasiswa reguler Program Profesi Ners
berdasarkan Transactional Lararus & Folkman dan Konsep Maslach
Burnout Inventory.
3. Menganalisis hubungan relatiomal meaning dengan burnout syndrome
pada mahasiswa reguler Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folknar dan Konsep Maslach Burnout Inventory.
4. Menganalisis hubungan coping strategy dengan burnout syndromepada
mahasissa reguier Program Profesi Ners berdasarkan Transactional
Theory Lazarus & Folkmr dan Konsep Masiach Burnout Inventory.
LAMPIRAN
Rumusan Masalah : Masalah dan Pertanyaan Penelitian
Keperawatan
Pertanyaan penelitian
1. Faktor faktor apakah yang berhubungan
terhadap peran serta keluarga dalam
melakukan rehabilitasi pada klien
pascaserangan stroke di rumah?
2. Bagaimanakah peran keluarga dalam
pelaksanaan rehabilitasi pada klien stroke?
Contoh: Penelusuran Masalah/Topik Penelitian
Oleh: S-N-S
NIM. 131111161 (B14)
F-1
a. Empat puluh lima (45 %) lansia (< 65 thn) mengalami kemunduran ADL seiring
pertambahan usia.
b. Kemunduran ADL dan ketergantungan lansia pada orang lain menjadi pemicu
adanya gangguan psikologis dan faktor pencetus terjadinya depresi pada lansia
(Hawar 2007).
c. Dengan kondisi yang sehat, para lansia dapat melakukan aktivitas apa saja tanpa
meminta bantuan orang lain, atau sedikit mungkin tergantung kepada orang
(Sahartini, 2004)
d. Dengan menjaga kesehatan fisik, mental, spiritual, ekonomi, dan sosial, seseorang
dapat memilih masa tua vang lebih membahagiakan, terhindar dari masalah
kesehatan (Astusti, 2007)
e. Apabila ketergantungan tidak segera diatasi, maka akan menimbulkan beberapa
akibat seperti gangguan sistem tubuh, timbulnya penyakit, menurunnya Activity
of Daily Living (ADL). Penurunan Activity of Daily Living (ADL) disebabkan
oleh persendian yang kaku, pergerakan yang terbatas, waktu bereaksi yang
lambat, keseimbangan tubuh yang jelek, gangguan peredaran darah, keadaan yang
tidak stabil bila berjalan, gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran
(Setiabud dan Hardywinoto, 1999).
f. Permasalahan yang berkaitan dengan lansia antara lain, pengaruh proses menua
dapat menimbulkan masalah secara fisik karena semakin lanjut usia seseorang,
maka akan mengalami kemunduran terutama di bidang kemampuan fisik. Selain
kemunduran kemampuan fisik juga mengakibatkan penurunan pada peranan-
peranan sosialnya (Nugroho, 2000).
F-2
a. Olahraga usia lanjut perlu diberikan dengan berbagai patokan, antara lain beban
kerja ringan atau sedang, waktu relatif lama, bersifat aerobik dan atau kalistenik
tidak kompetitif atau bertanding (Bandiyah, 2009).
b. Senam lansia adalah senam dengan gerakan ringan, dilakukan secara
berkesinambungan, dan lazimnya disarankan untuk usia 40 tahun ke atas
(Ismawati, 2010).
c. Prinsip olahraga usia lanjut sama dengan prinsip olahraga pada umumnya, yang
membedakan adalah berkaitan dengan reaksi tubuh yang relatif lebih lamban.
Oleh karena itu, jangka waktu dan beban latihan harus disesuaikan (kusmana,
2002)
d. Faktor yang murni milik lanjut usia yang berperan besar terhadap terjadinya jatuh
adalah muskuloskeletal. Senam lansia ditujukan untuk penguatan, daya tahan, dan
kelenturan tulang dan sendi, sehingga sistem maskuloskeletal yang menurun dapat
diperbaiki. Selain itu senam lansia bermanfaat untulk memelihara kebugaran
jantung dan paru (Reuben, 1996).
SPIDER WEB
Spider web ADL pada Lansia
Keaslian Penulisan
Penelitian tentang Senam Lansia dan aktivitas kelhidupan sehari-hari (activity of daily
living-ADL) telah beberapa kali dilakukan, sebagaimana tercantum dalam tabel
berikut.
No Judul Karya Ilmiah & Variabel Jenis Penelitian Hasil
Penulis
1 Hubungan Senam Lansia - Senam lansia Kuantitatif Ada hubungan
dengan Kebugaran Lansia - Tanda vital signifikan antara
(Palestin, 2006) lansia senam lansia
dengan tingkat
kebugaran lansia
2 Pengaruh Senam Aerobik - Latihan senam Kuantitatif Senam aerobic
terhadap Peningkatan aerobic praeksperimental memiliki pengaruh
Kebugaran Wanita - Peningkatan yang signifikan
Menopause kebugaran pada peningkatan
(Hartini, 2007) kebugaran
(stabilisasi nadi, RR,
tekanan darah dan
manapouse
syndrome)
3 Pangaruh Senam Lansia - Senam lansia Observational Ada hubungan
terhadap Kebugaran - Kebugaran rancangan antara senam
Jasmani pada Lansia (stabilisasi nadi, analitik lansia dengan
(Rochman, 2009) RR, tekanan kebugaran jasmani
darah)
4 Manfaat Senam terhadap - Senam tera Kuantitatif Senam tera
Kebugaran Lansia - Kebugaran praeksperimental berpegaruh dalam
Kartinah, menstabilkan kadar
2008) immunoglobulin
5 Perbedaan Pengaruh - Senam otak Quasi Senam otak dan
Senam Otak dan Senam - Senam lansia eksperimen senam lansia
Lansia terhadap - Keseimbangan memberikan hasil
Keseimbangan pada yang positif
Orang Lanjut Usia terhadap
(Herawati, kesehatan lansia.
2008)
6 Hubungan antara - Karakteristik Interestial Karakteristik
Karakteristik Personal personal analitik personal memiliki
dengan Kemandirian - Kemandirian eksperimen hubungan yang
dalam activity of daily dalam activity of signifikan dengan
living (ADL) pada Lansia daily living kemandirian dalam
(Fathur,2007) activity of daily
living (ADL)
7 Hubungan antara Tingkat - Tingkat depresi Deskriptif analitik Ada hubungan yang
Depresi dengan dengan kolerasi signifikan dengan
Kemampuan Aktivitas kemampuan interpretasi
Dasar Sehari-Hari aktivitas dasar korelasi negative
Pada Lansia sehari-hari antara tingkat
(Firmannulah, 2010) depresi dengan
kemampuan
aktivitas sehari-hari
pada lanjut usia.
8 Pengaruh Pemberian - Pemberian Deskriptif Penyuluhan
Penyuluhan Kesehatan penyuluhan dengan kesehatan dapat
terhadap Perubahan kesehatan pendekatan meningkatkan
Pengetahuan dan Sikap - Perubahan eksperimen pengetahuan lansia
tentang Activity of Daily pengetahuan korelasional tentang ADL
Living (ADL) pada lansia Activity of Daily
(Setyowati, 2009) Living
- Sikap Activity of
Daily Living
9 Pengaruh Pembelajaran - Pembelajaran Kuantitatif Pembelajaran
Terbimbing terhadap terbimbing praeksperimental terbimbing
Tingkat Kemandirian ADL - Kemandirian memiliki pengaruh
Lansia Activity of Daily yang signifikan
(Kusrumentahingtyas, Living (ADL) terhadap tingkat
2010) kemandirian ADL
lansia
10 Hubungan antara Tingkat - Tingkat depresi Studi korelasi Ada hubungan
Depresi dengan ketergantungan antara tingkatan
ketergantungan dalam Activity of depresi dengan
dalam activity of daily Daily Living ketergantungan
living (ADL) dalam Activity of
(ADL) pada Lansia Daily Living (ADL)
(Aprinia,
2006)
11 Hubungan antara Gaya Gaya hidup Quasi- Terdapat hubungan
Hidup dengan Tingkat Tingkat eksperimental antara gaya hidup
Ketergantungan ketergantungan dengan tingkat
dalam Aktivitas dalam aktifitas ketergantungan
Kehidupan kehidupan sehari- dalam aktivitas
Sehari-hari Lansia hari kehidupan sehari-
hari lansia
12 Hubungan Karateristik Karakteristik Studi korelasi Ada hubungan
Demografi dengan demografi antara karakteristik
Kemandirian dalam kemandirian demografi dengan
activity daily living (ADL) dalam activity kemandirian dalam
pada Lansia (Sawika, daily living (ADL) activity daily living
2005) (ADL)
Sementara itu penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah tentang pengaruh
senam lansia (lama waktu pelaksanaan, intensitas, dan frekuensi) terhadap
peningkatan kemandirian ADL lansia. Variabel penelitian adalah lama waktu
pelaksanaan, intensitas senam lansia, frekuensi senam lansia dan ADL lansia. Jenis
penelitian yang akan senam lansia, dilakukan yaitu kuantitatif pra-eksperimental.
1. Masalah.
Pengaruh senam lansia terhadap kemandirian ADL lansia belum dapat
dijelaskan
2. Rumusan Masalah:
a. Apakah ada pengaruh durasi pelaksanaan senam lansia terhadap
kemandirian ADL lansia?
b. Apakah ada pengaruh intensitas senam lansia terhadap kemandirian ADL
lansia?
c. Apakah ada pengaruh frekuensi senam lansia terhadap kemandirian ADL
lansia?
3. Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum: Menjelaskan pengaruh senam lansia terhadap kemandirian
ADL lansia.
b. Tujuan Khusus:
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap durasi senam lansia.
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap intensitas senam lansia.
- Mengukur kemandirian ADL lansia terhadap frekuensi senam lansia.
4. Manfaat
a. Manfaat Teoretis.
Hasil penelitian dapat menjelaskan pengaruh kemandirian ADL pada lansia.
b. Manfaat Praktis.
Senam lansia diharapkan dapat dilakukan sebagai usaha promotif, preventif,
dan rehabilitatif bagi lansia dalam menghadapi kemunduran ADL seiring
bertambahnya usia.
5. Judul
Pengaruh senam terhadap peningkatan kemandirian activity daily living (ADL)
lansia atau peningkatan kemandirian lansia dalam ADL dengan senam.
6. Kerangka konseptual
DAFTAR PUSTAKA
Burns & Grove. (1999). The Practice of Nursing Research. Philadelphia: W.B.
Saunders Co.
Polit, D.E & Hungler, BP (1999). Nursing Research. Principle and Method.
Philadelphia: J.B Lippincott.
Polit DF & Back, CT (2012). Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice 9th Philadelphia: JB. Lippincott.
Tahap penting dalam satu penelitian adalah menyusun kerangka konsep. Konsep
adalah abstraksi dari suatu realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu
teori yang menjelaskan keterkaitan antarvariabel (baik variabel yang diteliti maupun
yang tidak diteliti). Kerangka konsep akan membantu peneliti menghubungkan hasil
penemuan dengan teori.
Untuk memudahkan, suatu konsep dari suatu istilah dapat dicermati pada
batasan istilahnya. Misalnya, untuk memahami konsep keperawatan maka perlu
dicermati batasan keperawatan. Keperawatan merupakan ilmu yang mempelajari
sebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar manusia yang menurut Maslow adalah
FAKHA: Fisiologis, Aman, Kasih sayang, Harga diri, dan Aktualiasasi diri serta upaya
untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar tersebut sebagai respons sakit yang
dialami oleh klien. Konsep ilmu keperawatan selalu didasarkan pada kajian paradigma
tentang empat hal, yaitu manusia, sehat/sakit, lingkungan, dan keperawatan.
Langkah Penyusunan
1. Seleksi dan definisikan konsep yang dimaksudkan
2. Identifikasikan teori yang digunakan sebagai dasar penelitian.
a. Peneliti ingin meneliti perilaku klien dalam perawatan, maka dapat dipilih
teori Lawrence W. Green, yang meliputi: predisposing, enabling, dan
reinforcing.
b. Pemenuhan kebutuhan pada perawatan diri: makan, minum, berpakaian,
eliminasi, mandi, maka ditetapkan teori yang dipilih adalah teori Orem
tentang defisit perawatan diri (self care deficit).
3. Gambarkan hubungan antarvariabel dengan garis berarah
a. Arah (Direction). Dari kiri ke kanan atau dari atas ke bawah.
b. Tempat (Position)
c. Tanda dan simbol (Sign & Symbol). Digaris putus-putus untuk yang
diteliti ( ); digaris jelas untuk variabel dalam kotak yang diteliti
( ); dan digaris putus-putus untuk variabel yang tidak diteliti (
)
d. Keterangan setiap tujuan penelitian
Hubungan/Hipotesis (A_ _ _B)
Pengaruh ( A B)
Sebab akibat ( A B)
Contoh
Kerangka Konsep
Pengaruh Penerapan Teori Adaptasi terhadap Peningkatan Kinerja Perawat pada Klien
Anak dengan Asma Bronkial (Nursalam, 2003)
Peneliti perla menjelaskan tentang pengaruh penerapan teori adaptasi dalam
meningkatkan kinerja perawat anak dan meningkatkan sistem imunitas anak dengan
asma bronkial serta keterkaitan beberapa variable.
Syarat Hipotesis
1. Relevance Hipotesis harus relevan dengan fakta yang akan diteliti.
2. Testability: Memungkinkan untuk dilakukannya observasi dan bisa diukur
3. Compatibility: Hipotesis baru harus konsisten dengan hipotesis di lapangan
yang sama dan telah teruji kebenarannya, sehingga setiap hipotesis akan
membentuk suatu system
4. Predictive Artinya hipotesis yang baik mengandung daya ramal tentang apa
yang akan terjadi atau apa yang akan ditemukan.
5. Simplicity: Harus dinyatakan secara sederhana, mudah dipahami, dan mudah
dicapai.
Tujuan Hipotesis
1. Untuk menghubungkan antara teori dan kenyataan, dalam hal ini hipotesis
menggabungkan dua domain.
2. Sebagai suatu alat yang ampuh untuk pengembangan ilmu selama hipotesis
bisa menghasilkan suatu penemuan (discovery).
3. Sebagai suatu petunjuk dalam mengidentifikasi dengan menginterpretasi suatu
hasil.
Sumber Hipotesis
Hipotesis didapatkan dari suatu fenomena atau masalah yang nyata, analisis teori, d
mengulas literatur.
1. Pengalaman praktik. Diagnosis keperawatan bisa menjadi suatu dasar
pengembangan hipotesis. Misal hubungan teoretis yang diidentifikasi Orem
tahun 1985 dalam Polit & Back (2012) tentang teori perawatan diri dan
kurangnya kebersihan dalam melakukan perawatan luka sehubungan dengan
adanya nyeri pada sendi dan keterbatasan pergerakan/mobilitas. Pertama, kita
dapat menguji tentang efektivitas dari tindakan dalam mengurangi nyeri sendi
dan meningkatkan mobilitas dan dampak perawatan individual. Contoh
penulisan hipotesis meliputi: Klien artritis yang menggunakan pengobatan
relaksasi akan mengalami penurunan rasa nyeri dan membutuhkan waktu yang
relatif lebih sedikit dalam pengobatannya dibandingkan dengan klien
yang tidak mendapatkan terapi relaksasi.
2. Teori.
Hubungan yang digunakan dalam suatu teori dapat menjadi dasar penyusunan
hipotesis. Jika seorang peneliti tertarik melakukan pengujian terhadap suatu
pernyataan dalam teori, akan membawa pengaruh yang besar terhadap
perkembangan praktik perawatan.
3. Kajian literature
Pada kajian literatur, peneliti menganalisis dan menyintesis hasil dari berbagai
penelitian. Hubungan yang diidentifikasi dari sintesis dalam suatu penemuan
sangat berguna untuk penyusunan hipotesis. Nursalam tahun 2007, meneliti
pengaruh pendakatan Asuhan keperawatan terhadap respons pasien terinfeksi
HIV and AIDS, hipotesis yang digunakan berdasarkan konsep teori
psikoneuroimunologi dan adaptasi.
Tipe Hipotesis
Perbedaan tipe hubungan dan jumlah variabel didentifika dalam hipotesis Penelit
mungkin mempunyai satu, tiga, atau lebih hipotesis, bergantung pada kompleknya
suatu penelitian.
1. Hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang digunakan untuk pengakuran statistk
dan interpretasi hasil statistik. Hipotesia nol dapat sederhana atau kompleks
dan bersifat sebab atau akibat. Misal pengaruh tr adagtasi terhadap perbuikan
kinerja perawat anak. Maka dalam H0 tidak adanya pengaruh penrapn teori
adaptas dalam asuhan keperawatan terhadap perbaikan kinerja perawat anak
2. Hipotesis alternatif (Ha/H) adalah hipotesis penelitian. Hipotesia ini
menyatakan adanya suatu hubungan. pengaruh, dan perbedaan antars dua stau
lebih variable. Hubungan, perbedaan, dan pengaruh tersebut daput sederhana
atau kompleks, dan bersifat sebab akibat Misalnya, ada pengaruh antara senam
nifas dan proses involusi pada bu pascasalin. Ada perbedaan tingkat kecemasan
antars klien laki-laki dan perempuan pada infark miokard akut (IMA)
KONSEP SELP-CARE
Teori keperawatan perawatan mandiri (self-care) dikemukakan oleh Dorothea E. Orem
pada tahun 1971 dan dikenal dengan teori defisit perawatan diri (self-care deficit
nursing theory SCDNT) (Delaune & Ladner, 2002). Teori SCDNT sebagai teori besar
yang mempunyai komponen teori yaitu teori self-care, teori self-care deficit, dan teori
Nursing System (Alligood & Tomey, 2006). Orem (1985) dalam Richardson (1992)
menyebutkan bahwa :
“Self care is the production of actions directed to self or to the environment in order
to regulate one's functioning in the interest of ones life, integrated functioning and
well-being"
Gambar 4.4. Kerangka konsep penelitian meningkatkan kemandirian ibu nifas dengan
menggunakan pendekatan teor self care model Orem (Mardiatun, 2012).
Berdasarkan teori keperawatan Self Care yang dikemukakan oleh Dorothea Orem,
pada dasarnya mempunyai kemampuan dalam merawat dirinya sendiri yang disebut
Self Care Agemcy. Self Care Agency dapat berubah setiap waktu yang dipengaruhi
oleh faktor predisposisi (predisposinggfactor) yang terdiri atas pengetahuan, sikap,
keyakinan pendidikan dan pekerjaan. Kedua, yaitu faktor pemungkin (enabling factor)
yang terdiri atas sarana prasarana dan jarak dengan pelayanan kesehatan. Ketiga, yaitu
faktor pendorong (reingiorcing factor) yang berupa peran dukungan keluarga dan
adanya aturan-aturan. Ketika terjadi defisit perawatan diri, peran perawat sebagai
Nursing Agency membantu untuk memaksimalkan kemampuan pelaksanaan
perawatan diri ibu post-partum melalui tindakan asuhan keperawatan mandiri perawat
berupa bantuan Supportive-Educative System dengan memberikan Guidance (Booklet)
and Teaching, untuk meningkatkan kemampuan atau kemandirian pelaksanaan
perawatan diri ibu (Self-Care Agency) terhadap kebutuhan perawatan diri ibu (Self-
Care Demand), seperti kemampuan memenuhi nutisi dan cairan, ambulasi, kebersihan
diri, perawatan perineum, perawatan payudara, miksi, dan defekasi.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, J. A. (2001). Understanding Homeless Adults by Testing the Theory of Self-
Care. Nursing Science Quarterly, 14(1), 59-67.
Alligood, M.R. and Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri: Mosby.
Becker G., Gates, R. J., & Newsom E. (2004). Self-Care among Chronically Ill African
Americans: Culture, Health Disparities, and Health Insurance Status. American
Journal of Public Health, 94(12), 2066-2073.
Campbell, J. C., & Soeken, K. (1999). Forced Sex and Intimate Partner Violence:
Effects on Women's Health. Violence Against Women, 5(9), 1017-1035
DeLaune, S. C., & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards and
practice. 2nd Ed. New York: Thomson Delmar Learning.
Larsen, P. D., & Lubkin, I. M. (2009). Chronic Illness: Impact and Intervention. 7th
Ed Sudbury: Jones and Bartlett Publishers.
Meleis, A.I. (2011). Theoretical Nursing: Development and Progress. 5th Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sousa V. D., Zauszniewski J. A., Zeller R. A., & Neese J. B. (2008). Factor Analysis
of The Appraisal of Self Care Agency Scale in American Adults with Diabetes
Mellitus. The Diabetes Educators, 34, 98-108
Taylor, s., & Renpenning, k. (2011). Self Care Science, Nursing Theory and Evidence
Based practice. New York: Springer Publishing Company, LLC
Waltz, C. F., Strickland, O. L., and Lenz, E. R. (2010). Measurement in Nursing and
Health Research, 4th ed. New York: Springer Publishing Company
Perawat dalam posisinya, membantu: apa yang mereka ketahui, apa yang mereka
pikirkan, bagaimana mereka merasakan dan bagaimana mereka melakukan kegiatan
untuk memelihara kesehatannya.
King mengemukakan dalam kerangka konsepnya, hampir setiap konsep yang dimiliki
oleh perawat dapat digunakan dalam asuhan keperawatan.
UMPAN BALIK
PERSEPSI
PERAWAT PENILAIAN
AKSI
REAKSI INTERAKSI TRANSAKSI
PERSEPSI
PERAWAT PENILAIAN
AKSI
UMPAN BALIK
King mendefinisikan interaksi sebagai suatu proses dari persepsi dan komunikasi
antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, individu dengan
lingkungan yang dimanifestasikan sebagai perilaku verbal dan nonverbal dalam
mencapai tujuan (Alligood dan Tomey, 2006). Di dalam arti kamus, interaksi berarti
sebagai tingkah laku yang dapat diobservasi oleh dua orang atau lebih di dalam
hubungan timbal balik (King, 2006).
Menurut king setiap individu adalah sistem personal (sistem terbuka). Untuk
system personal konsep yang relevan adalah persepsi, diri, pertumbuhan, dan
perkembangan, citra tubuh, dan waktu
1. Persepsi.
Persepsi adalah gambaran seseorang tentang objek, orang, dan kejadian-
kejadian. Persepsi berbeda dari satu orang ke orang lain dan hal ini tergantung
dengan pengalaman masa lalu, latar belakang, pengetahuan, dan status emosi.
Karakteristik persepsi adalah universal atau dialami oleh semua, selektif untuk
semua orang, subjektif, atau personal.
2. Diri.
Diri adalah bagian dalam diri seseorang yang berisi benda-benda dan orang
lain.Diri adalah individu atau bila seseorang berkata "AKU”. Karakteristik diri
adalah individu yang dinamis, sistem terbuka, dan orientasi pada tujuan.
3. Pertumbuhan dan perkembangan.
Tumbuh kembang meliputi perubahan sel, molekul, dan perilaku manusia.
Perubahan ini biasanya terjadi dengan cara yang tertib dan dapat diprediksikan
walaupun individu itu bervariasi, serta dipengaruhi fungsi genetik, pengalaman
yang berarti dan memuaskan. Tumbuh kembang dapat didefinisikan sebagai
proses dii seluruh kehidupan seseorang di mana dia bergerak dari potensial
untuk mencapai aktualisasi diri.
4. Citra tubuh.
King mendefinisikan citra diri yaitu bagaimana orang merasakan tubuhnya dan
reaksi-reaksi lain untuk penampilannya.
5. Ruang.
Ruang adalah universal sebab semua orang punya konsep ruang; personal atau
subjektif yaitu bersifat individual; situasional, tergantung dengan hubungannya
dengan situasi, jarak, dan waktu; serta transaksional atau berdasarkan pada
persepsi individu terhadap situasi. Definisi secara operasional, ruang meliputi
ruang yang ada untuk semua arah, didefinisikan sebagai area fisik yang disebut
territory dan perilaku orang yang menempatinya.
6. Waktu.
King mendefisikan waktu sebagai lama antra satu kejadian dengan kejadian
yang satu lain merupakan pengalaman unik setiap orang dan hubungan antara
satu kejadian dengan kejadian yang lain.
Sistem Interpersonal
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R.& Tomey, A. M. (2006). Nursing Theorists and Their Work.6 ed.
Missouri: Mosby
King, IM. 2006. Part One: Imogene M. King's Theory of Goal Attainment. Dalam M.E
Parker, Nursing theories and nursing practice (2nd ed., Hlm. 235-243).
Philadelphia: FA. Davis.
Rencana Keperawatan
Susunan tujuan, identifikasi sumber
daya, definisikan pendekatan
alternative, pilih inetervensi
keparwatan, susun prioritas
EVALUASI KEPERAWATAN
Model integrasi self-care model dan Model dan Family-Centered Nursing model
Fokus pengkajian pada family centered nursing untuk mendapat informasi, sejauh
peran keluarga (caregiver) dalam merawat anggota keluarga pascastroke.
Pengkajian yang dilakukan adalah untuk melihat kemampuan keluarga dalam
melakukan terapi latihan/latihan mobilisasi pada anggota keluarga yang
pascastroke. Sementara fokus self- care ditujukan untuk mendapatkan informasi
sejauh mana peran keluarga (caregiver) mengetahui tanda dan gejala stroke, risiko
stroke, dampak stroke, cara pencegahan agar tidak terjadi serangan stroke ulang
dan kemampuan merawat anggota keluarga pascastroke dalam melakukan
aktivitas sehari-hari (ADL).
Setelah dilakukan pengkajian terhadap anggota keluarga sebagai caregiver,
maka perawat akan menentukan ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan
fungsi kesehatan keluarga, dari hal tersebut perawat sebagai nursing agency akan
melakukan perencanaan dan berespons pada keluarga berupa: (1)
mempertahankan hubungan interpersonal (2) berespons pada pertanyaan keluarga
dan (3) koordinasi dan integrasi keperawatan dengan kegiatan sehari-hari.
Tahap selanjutnya perawat melakukan implementasi dengan cara edukasi
suportif. Pada tahap ini peran perawat adalah sebagai pendidik/trainer, dalam
meningkatkan kemampuan keluarga sebagai self care agency/ caregiver. Dengan
demikian, baik pasien, keluarga (caregiver), maupun perawat komunitas akan
bersama-sama menyelesaikan masalah kesehatan melalui pendekatan proses
keperawatan. Pada fase ini keluarga (caregiver) belajar melakukan tindakan
merawat anggota keluarga yang pascastroke yang diaplikasikan ke dalam kegiatan
sehari-hari.
Fase selanjutnya adalah melakukan evaluasi terhadap kemampuan keluarga,
berdasarkan 5 (lima) tugas kesehatan keluarga yaitu: (1) mengenal masalah
kesehatan setiap anggota keluarganya; (2) mampu memutuskan tindakan
kesehatan yang tepat bagi keluarganya; (3) merawat anggota keluarganya yang
mengalami masalah kesehatan; (4) mempertahankan suasana rumah yang sehat
atau memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan keluarga; (5)
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan di sekitarnya (Bailon dan Maglaya
dalam Freeman, 1981). Namun pada tahap evaluasi ini digunakan dengan
mengintegrasikan indikator keluarga mandiri yang dikeluarkan oleh Depkes tahun
2006, hal ini disebabkan oleh karena indikator tersebut tahap-tahapnya hamper
dengan 5 (lima) tugas kesehatan keluarga namun ditambah dengan menerima
petugas kesehatan, karena keluarga akan meningkat kemandiriannya dalam
mengenal masalah kesehatan anggota keluarga lainnya jika terlebih dahulu
menerima petugas kesehatan.
Integrasi dari kedua model ini merupakan suatu program yang
memberdayakan anggota keluarga melalui pendidikan kesehatan dan pelatihan
yang diberikan oleh perawat komunitas kepada anggota keluarga yang
bertanggung jawab dalam merawat anggota keluarganya yang pascastroke. Hal ini
dilakukan dengan asumsi bahwa keyakinan untuk melakukan perawatan rutin
timbul karena merasakan manfaat dari tindakan tersebut, sehingga keluarga
(caregiver) dengan anggota keluarga yang pascastroke dapat melaksanakan
perawatan diri secara teratur.
Fokus utama model integrasi self care dan family centered nursing adalah
caregiver dapat merawat anggota keluarganya yang pascastroke, melakukan
latihan untuk mobilisasi dan memotivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Model ini merupakan cara terbaik dalam upaya memandirikan keluarga merawat
anggota keluarga pascastroke di rumah.
Integrasi model self care dan family-centered nursing dalam meningkatkan
kemandirian keluarga merawat keluarga yang pascastroke dapat dijelaskan
sebagai berikut.
Trainer
Keluarga
Pasien
Evaluasi
1. Kemampuan keluarga untuk merawat dan
memotivasi untuk ADL
2. Kemampuan keluarga untuk melakukan
mobilisasi
Gambar 4.7 Integrasi model self care dan family centered nursing (diadapsi dari Orem, 2001; Tomey
dan Alligood 2002, 2006; Friedman dkk, 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. dan Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th Ed.
Missouri: Mosby
Allender, J. A., & Spradley, B. W. 2005. Community Health Nursing: Concept and
Practice. 6h Ed. Philadelphia: Lippincott
Freeman, R., & Heirinch, J. 1981. Community Nursing Practice. Philadelphia: W.B.
Saunders.
Friedman, M. M., Bowden, V. R., & Jones, E. G. 2003. Family Nursing: Research,
Theory and Practice (5th ed.). New Jersey: Prentice Hall.
Hitchcock, J. E., Schubert, P. E., & Thomas, S. A. 1999. Community Health Nursing:
Caring in Action. Albany: Delmar.
Stanhope, M. & Lancaster, J. 2000. Community and Public Health Nursing, 5 Ed. St.
Louis: Mosby.
(TRANSCULTURAL SUNRISE)
Teori ini berorientasi pada sistem, yaitu pembentukan sistem pelayanan kesehatan
dengan berbasis budaya individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat. Target utama
adalah pelembagaan yang permanen untuk penanganan klien dengan masalah alkohol.
Teori ini mengatakan pelayanan keperawatan kepada klien, perlu memperhatikan
nilai-nilai budaya dan konteks sehat sakit. Menurut Leininger, setiap orang dari masing
masing budaya mengetahui dan dapat mendefinisikan cara-cara sesuai pengalaman
dan persepsi mereka terhadap dunia keperawatan dan dapat menghubungkan
pengalaman dan persepsi mereka terhadap keyakinan sehat secara umum dan
praktiknya. Maka, teori ini dikembangkan dari konteks budaya. Kultur yang dimaksud
adalah pembelajaran, pertukaran dan transmisi nilai-nilai, keyakinan keyakinan,
norma-norma dan praktik hidup dari suatu kelompok khusus yang menjadi petunjuk
berpikir, mengambil keputusan, dan tindakan-tindakan dalam pola pola tertentu.
Menurut Madeleine M. Leininger dan Marilyn R. Mc.Farland (2006), dalam
tulisan memberi nama model dar toori Culture Care "Sunrise model" Model ini
mempunyai 4 level pandangan, level pertama, lebih abstrak, bagaimana pandangan
dunia dan level system sosial, mengenal dunia di luar budaya, suatu suprasistem,
dalam sistem umum. Level dua, menyediakan pengetahuan tentang individu, keluarga,
kelompok, dan institusi pada sistem pelayanan kesehatan. Pada level ini unsur budaya
mulai tampak jelas, khususnya budaya tertentu, ekspresi dan hubungannya dengan
pelayanan kesehatan yang sudah ada. Level tiga, fokus pada sistem adat istiadat,
tradisi, yang ada di masyarakat, system pelayanan profesional, medis, dan
keperawatan. Informasi pada level ini menunjukkan karakteristik tiap sistem termasuk
kekhususan masing-masing, kesamaan, dan perbedaan pelayanan berdasarkan budaya
profesi yang bervariasi dan pelayanan universal. Level empat, ada pengambilan
keputusan keperawatan dan tindakan-tindakan, melibatkan kultur penyediaan atau
mempertahankan pelayanan, kultur pelayanan akomodasi/negosiasi dan kultur
pelayanan dipola kembali atau restrukturisasi.
Empat konsep utama dari teori Leininger adalah kemanusiaan, kesehatan,
masyarakat/lingkungan dankeperawatan. Manusia dipercaya memberikan pelayanan
kepada manusia dan mampu memperhatikan kebutuhan, kesejahteraan, dan ketahanan
kepada orang lain. Pelayanan kemanusiaan bersifat universal, terhadap semua kultur,
bertahan dalam kultur yang bervariasi, mampu memberikan pelayanan bersifat
universal dalam berbagai cara, terhadap kultur yang berbeda, kebutuhan, dan kondisi.
Fokusnya pada individu, kelompok kepada institusi kesehatan untuk mengembangkan
kebijakan dan praktik keperawatan universal. Sehat atau status sejahtera menurut
kultur tertentu, nilai dan praktik yang merefleksikan kemampuan individu-individu
atau kelompok untuk menampilkan peran sehari-hari dalam cara yang memuaskan
kultur. Sehat dalam pengertian lintas budaya, didefinisikan oleh kultur masing-masing
sesuai cara, refleksi, nilai dan praktik khusus.
Sehat dikatakan bersifat universal dan beragam. Masyarakat/lingkungan,
menyangkut pandangan dunia, struktur sosial, dan konteks lingkungan. Lingkungan
sebagai total kejadian, situasi atau pengalaman, dengan berfokus pada kelompok
khusus dan pola tindakan, berpikir, dan keputusan sebagai hasil dari pembelajaran,
sharing, dan pemindahan nilai, keyakinan, norma dan praktik hidup sehari-hari.
Keperawatan, adalah suatu fenomena yang perlu dijelaskan. Leininger
mengasumpsikan keperawatan sebagai profesi yang turut menentukan keharmonisan
kultur dalam pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang berbeda budaya.
Ada tiga tipe tindakan keperawatan yang diangkat Leininger yaitu berdasarkan
budaya dengan demikian akan harmonis dengan kebutuhan dan nilai-nilai klien.
Mempertahankan budaya lokal, memperhatikan cara-cara atau negosiasi budaya lokal,
dan melakukan restruktur atau membuat pola baru sesuai budaya lokal. Melalui tiga
tindakan ini akan menurunkan stres kultur dan potensial konflik antar klien dan
petugas kesehatan (Goerge, Yulia B, 1990).
Transkultural nursing dalam model sunrise, dikenalkan oleh Leininger tahun
1978 (Alligood & Tomey, 2006). Leininger seorang perawat pendidik dan senang
mempelajari keperawatan dengan antropologi. Teorinya sangat cocok dipakai di
keperawatan komunitas. Perawat penting menyadari pengetahuan lintas budaya dan
kebutuhannya. Budaya bukan hanya pedoman hidup bagi seseorang tetapi untuk
menghubungkan seseorang dengan orang lain, sehingga dapat mengetahui kebutuhan
atau keinginan orang tersebut. Latar belakang budaya seseorang perlu dipelajari untuk
mengetahui keyakinan nilai dan perilaku dalam bertransaksi satu sama lain.
Dalam keperawatan seseorang dengan gangguan jiwa dan masalah emosional
sering menjadi kompleks permasalahannya karena perbedaan budaya. Jika budaya
perawat dan pasien berbeda, dapat memperberat sakit/masalah kesehatan jiwa
seseorang. Sering ditemukan perilaku tertentu pada suatu budaya dianggap harus
dihukum atau sakit, sementara dalam budaya lain orang bisa bertoleransi terhadap
perilaku tersebut. Maka untuk menangani masalah kesehatan jiwa, perawat penting
mengenal budaya pasien dan keluarga (Mery Ann, 1998).
Asumsi dasar dari teori Leininger, pertama, perawatan kepada manusia
merupakan fenomena universal, tetapi ekspresi, proses dan polanya bervariasi pada
setiap kultur. Kedua, tindakan keperawatan dan proses penting untuk kelahiran
manusia, perkembangan, pertumbuhan dan survival, serta untuk kematian yang damai.
Ketiga, Caring adalah esensi dan dimensi unik dari intelektual dan praktis profesi
keperawatan. Keempat, caring meliputi dimensi biofisikal,, kultural, psikologi, sosial,
dan lingkungan. Maka perlu memberikan perawatan holistik kepada masyarakat.
Kelima, tindakan keperawatan bersifat lintas budaya sehingga perawat perlu mampu
mengidentifikasi dan membina hubungan perawat-klien interkultur dan data sistem.
Keenam, perilaku dalam perawatan, tujuan, dan fungsi yang bervariasi dengan struktur
budaya dan nilai khusus dari orang dengan beda kultur. Ketujuh, praktik mandiri atau
praktik lain bervariasi pada budaya yang berbeda dan sistem pelayanan yang berbeda.
Kedelapan, mengidentifikasi universal dan non universal tradisi dan perilaku
profesional, keyakinan dan praktik penting untuk pengembangan pengetahuan
keperawatan. Kesembilan, perawatan syarat berbagai kultur, dan butuh pengetahuan
dasar tentang budaya dan keterampilan yang ampuh. Kesepuluh, tidak bisa ada
pengobatan tanpa keperawatan, tetapi juga tidak ada keperawatan tanpa pengobatan
(Marriner Ann, 1998).
Penerapan kerangka konsep berbasis Transcultural nursing (Sabina, 2013).
______________DIAGRAM________________
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. dan Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri: Mosby
Marriner Ann. 1998. Nursing Theorist and Their Work. Fourth Ed. St Louis Missouri:
Mosby
Sabina. 2013. Pengenibangan Model Perilaku Minum Moke pada Masyarakat Sikka,
NTT. Disertasi Prodi Doktor. FKM Unair. Tidak dipublikasikan.
Revisi Model Promosi Kesehatan (HPM) tahun 2006, terdapat beberapa variabel
HPM, yaitu: (1) sikap yang berhubungan dengan aktivitas, (2) komitmen pada rencana
tindakan, dan (3) adanya kebutuhan yang mendesak.
______________DIAGRAM________________
Gambar 4.10 Model Promosi Kesehatan yang telah direvisi (Pender, N. 2006. Helath
promotion in nursing practice. 5th ed. New Jersey; Practice Hall).
Penjelasan tentang variabel dari HPM dapat diuraikan di bawah ini (Alligood &
Tomey 2006).
1. Karakteristik dan pengalaman individu.
Setiap manusia mempunyai karakteristik yang unik dan pengalaman yang dapat
memengaruhi tindakannya. Karakteristik individu atau lebih fleksibel sebagai
variabel karena lebih relevan pada perilaku kesehatan utama atau sasaran populasi
utama.
a. Perilaku sehelumnya Perilaku terdahulu mempunyai efek langsung dan tidak
langsung pada perilaku promosi kesehatan yang dipilih, membentuk suatu efek
langsung menjadi kebiasaan perilaku dahulu, sehingga predisposisi dari
perílaku yang dipilih dengan sedikit memerhatikan pilihannya itu. Kebiasaan
muncul pada setiap perilaku dan menjadi pengulangan perilaku. Sesuai dengan
teori sosial kognitif perilaku dahulu mempunyai pengaruh tidak langsung pada
perilaku promosi kesehatan melalui persepsi terhadap self-efficacy,
keuntungan, rintangan, dan pengaruh aktivitas. Perilaku nyata berkaitan
dengan feedback adalah sumber pemanfaatan yang terbesar atau skill.
Keuntungan dari pengalaman dari perilaku yang diambil disebut sebagai hasil
yang diharapkan. Jika hasilnya memuaskan maka akan menjadi pengulangan
perilaku dan jika gagal menjadi pelajaran untuk masa depan. Setiap insiden
perilaku juga disertai oleh emosi atau pengaruh sikap positif atau negatif
sebelum, selama, dan sesudah perilaku dilakukan menjadi pedoman untuk
selanjutnya. Perilaku sebelum ini menjadi kognitif dan menjadi spesifik.
Perawat membantu klien dengan melihat riwayat perilaku positif dengan
berfokus pada pemanfaatan perilaku, mengajar klien bagaimana bertindak dan
menimbulkan potensi dan sikap yang positif melalui pengalaman yang sukses
dan feedback positif.
b. Faktor personal
1) Biologi-usia, indeks massa tubuh, status pubertas, status menopause,
kapasitas aerobik, kekuatan, ketangkasan, atau keseimbangan.
2) Psikologi-self esteem, motivasi diri, dan status kesehatan.
3) Sosiokultural - suku, etnis, akulturasi, pendidikan, dan status
sosioekonomi.
e. Pengaruh interpersonal
Pengaruh interpersonal adalah kognisi tentang perilaku, kepercayaan, orang
lain. Sumber utama interpersonal adalah keluarga (familiy at sibling peer)
kelompok dan pemberi pengaruh pelayanan kesehatan. Pengaruh interpersonal
terdiri atas norma (harapan orang lain), dukungan sosial (instrumental dan
dorongan emosional), serta model (belajar dari pengalaman orang lain).
Norma sosial menjadi standar untuk performance individu. Model yang
digambarkan menjadi strategi penting untuk perubahan perilaku dalam teori
kognitif sosial misalnya adanya tekanan sosial atau desakan untuk komitmen
pada rencana kegiatan. Individu sensitif pada harapan contoh dan pujian orang
lain. Motivasi yang cukup menjadi cara yang konsisten yang memengaruhi
seperti orang yang dipuji dan dikuatkan secara sosial.
f. Pengaruh situasional
Persepsi personal dan kognisi dari situasi dapat memfasilitasi atau menghalangi
perilaku misalnya pilihan yang tersedia, karakteristik permintaan dan ciri-ciri
lingkungan estetik seperti situasi/lingkungan yang cocok, aman, tentram
daripada yang tidak aman dan terancam. Situasi dapat memengaruhi perilaku
dengan mengubah lingkungan misalnya "no smoking". Pengaruh situasional
dapat menjadi kunci untuk pengembangan strategi efektif yang baru untuk
memfasilitasi dan mempertahankan perilaku promosi kesehatan dalam
populasi.
5. Hasil perilaku
Perilaku promosi kesehatan adalah tindakan akhir atau hasil tindakan. Perilaku ini
akhirnya secara langsung ditujukan pada pencapaian hasil kesehatan positif untuk
klien. Perilaku promosi kesehatan terutama sekali terintegrasi dalam gaya hidup
sehat yang menyerap pada pada semua aspek kehidupan seharusnya
mengakibatkan peningkatan kesehatan, peningkatan kemampuan fungsional dan
kualitas hidup yang lebih baik pada semua tingkat perkembangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th ed.
Missouri Mosby.
Marriner Ann. 1998. Nursing Theorist and Their Work. Fourth Ed. St Louis Missouri
Mosby-Year Book.
Pender. N.L Carolyn., Mary Aan. 2010. Health Promotion in Nursing Practice. Fourth
Ed Micingan: Prentice Hall.
PRECEDE-PROCEED MODEL
Perilaku Kesehatan Berdasarkan Teori Lawrence W. Green
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan.
Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu faktor
perilaku (behavior causes) dan faktor luar lingkungan (nonbehavior causes). Untuk
mewujudkan suatu perilaku kesehatan, diperlukan pengelolaan manajemen program
melalui tahap pengkajian, perencanaan, intervensi sampai dengan penilaian dan
evaluasi. Proses pelaksanaannya Lawrence W. Green menggambarkan dalam bagan
berikut ini.
______________DIAGRAM________________
Gambar 4.11 Precede-Proceed Model (Green LW & Kreuter MW, 1991)
Selanjutnya dalam program promosi kesehatan dikenal adanya model pengkajian dan
penindaklanjutan (Precede-Proceed model) yang diadaptasi dari konsep Lawrence
Green. Model ini mengkaji masalah perilaku manusia dan faktor-faktor yang
memengaruhinya, serta cara menindaklanjutinya dengan berusaha mengubah,
memelihara, atau meningkatkan perilaku tersebut ke arah yang lebih positif. Proses
pengkajian atau pada tahap precede dan proses penindaklanjutan pada tahap proceed.
Dengan demikian suatu program untuk memperbaiki perilaku kesehatan adalah
penerapan keempat proses pada umumnya ke dalam model pengkajian dan
penindaklanjutan.
1. Kualitas hidup adalah sasaran utama yang ingin dicapai di bidang
pembangunan sehingga kualitas hidup ini sejalan dengan tingkat sejahtera.
Semakin sejahtera maka kualitas hidup semakin tinggi. kualitas hidup ini salah
satunya dipengaruhi oleh derajat kesehatan. Semakin tinggi derajat kesehatan
seseorang maka kualitas hidup juga semakin tinggi.
2. Derajat kesehatan adalah sesuatu yang ingin dicapai dalam bidang kesehatan,
dengan adanya derajat kesehatan akan tergambarkan masalah kesehatan yang
sedang dihadapi. Pengaruh yang paling besar terhadap derajat kesehatan
seseorang adalah faktor perilaku dan faktor lingkungan.
3. Faktor lingkungan adalah faktor fisik, biologis, dan sosial budaya yang
langsung/tidak memengaruhi derajat kesehatan.
4. Faktor perilaku dan gaya hidup adalah suatu faktor yang timbul karena adanya
aksi dan reaksi seseorang atau organisme terhadap lingkungannya. Faktor
perilaku akan terjadi apabila ada rangsangan, sedangkan gaya hidup
merupakan pola kebiasaan seseorang atau sekelompok orang yang dilakukan
karena jenis pekerjaannya mengikuti tren yang berlaku dalam kelompok
sebayanya, ataupun hanya untuk meniru dari tokoh idolanya.
Dengan demikian suatu rangsangan tertentu akan menghasilkan reaksi atau perilaku
tertentu. Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor.
______________BAGAN________________
Ketiga faktor penyebab tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor penyuluhan dan faktor
kebijakan, peraturan serta organisasi. Semua faktor faktor tersebut merupakan
ruang lingkup promosi kesehatan.
Faktor lingkungan adalah segala faktor baik fisik, biologis, maupun sosial
budaya yang langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi derajat kesehatan.
Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan
ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang
atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas,sikap, dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
memperkuat terbentuknya perilaku.
Kualitas hidup (quality of life) merupakan konsep analisis kemampuan individu untuk
mendapatkan hidup yang normal terkait dengan persepsi secara individu mengenai
tujuan, harapan, standar, dan perhatian secara spesifik terhadap kehidupan yang
dialami dengan dipengaruhi oleh nilai dan budaya pada lingkungan individu tersebut
berada (Adam, 2006). Kualitas hidup (quality of life) digunakan dalam bidang
pelayanan kesehatan untuk menganalisis emosional seseorang, faktor sosial, dan
kemampuan untuk memenuhi tuntutan kegiatan dalam kehidupan secara normal dan
dampak sakit dapat berpotensi untuk menurunkan kualitas hidup terkait kesehatan
(Brooks & Anderson, 2007).
Pembahasan kualitas hidup menjadi semakin penting bagi dunia kesehatan
terkait kompleksitas hubungan biaya dan nilai dari pelayanan perawatan kesehatan
yang didapatkan. Institusi pemberi pelayanan kesehatan diharapkan dapat membuat
kebijakan ekonomi sebagai perantara yang menghubungkan antara kebutuhan dengan
perawatan kesehatan (Brooks & Anderson, 2007).
Kualitas hidup yang menggambarkan kelompok pasien atau daerah juga
relevan di dalam penilaian kebutuhan kesehatan populasi. Indikator kesehatan secara
konvensional tidak memasukkan analisis mengenai keadaan yang tidak sehat atau
distorsi oleh permintaan klinis dan faktor persediaan. Evaluasi efektivitas dan
penilaian kebutuhan kesehatan sering diperlukan memotong area program dan
perawatan yang luas, terkait dengan alokasi sumber daya (Brooks & Anderson, 2007).
Kualitas hidup memiliki maksud sebagai usaha untuk membawa penilaian
memperoleh kesehatan. Berdasarkan klinis, kualitas hidup telah meniadi pokok
bahasan sehubungan dengan penggunaan instrumen terkait keadaan kesehatan yang
mengukur kepuasan pasien dan manfaat fisiologis. Suatu konsep total kesehatan
manusia menggabungkan keduanya yakni faktor fisik dan mental.
Kualitas instrument kehidupan sepeti usaha pengaturan untuk meningkatkan
pada pengukuran klinis sederhana yang sulit untuk mencerminkan kualitas kehidupan,
akibat yang merugikan dari perawatan kesehatan yang didapatkan, gaya hidup pasien
tertentu yang mungkin perlu penyesuaian dan pembatasan terkait dengan kondisi
kesehatan yang ada.
Kualitas hidup terkait kesehatan yang terdahulu, memiliki konsep untuk
mengetahui situasi individu secara aktual yang dihubungkan dengan harapan individu
tersebut mengenai kesehatannya. Pemakaian konsep yang terdahulu, memiliki variasi
hasil jawaban yang tinggi, dan bersifat reaktif terhadap pengaruh eksternal terhadap
lama menderita penyakit dan dukungan sekitar (Beaudoin & Edgar, 2003).
Kualitas hidup dengan konsep yang saat ini digunakan secara umum,
merupakan analisis dari hasil kuesioner yang dilakukan pada pasien, yang bersifat
multidimensi dan mencakup keadaan secara fisik, sosial, emosional, kognitif,
hubungan dengan peran atau pekerjaan yang dijalani, dan aspek spiritual yang
dikaitkan dengan variasi gejala penyakit, terapi yang didapatkan, beserta dampak serta
kondisi medis, dan dampak secara finansial (John et al., 2004).
Nilai kualitas hidup penderita TB dapat dinilai berdasarkan domain dan aspek
dan WHOQOL, dengan memperhatikan sign and simptom dari penyakit TBC
sehingga bias didapat gambaran kualitas hidup dari penderita TBC.
DAFTAR PUSTAKA
Beaudoin, L. E., Edgar, L. 2003. Their Importance to Nurses' Quality of Work Life.
Nursing Economics, May-June, hlm. 106-113.
Brooks, B. A., Anderson, B. 2007. Assesing The Nursing Quality of Work Life.
Nursing Administration Quarterly, hlm. 152-157.
Green LW. & Kreuter MW. 1991. Health Promotion Planning. An educational and
Environmental Approach. 2nd. Ed. Mountain View: Mayfield Publishing Co
TRA dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) memberikan bukti ilmiah bahwa
intensi untuk melakukan suatu tingkah laku dipengaruhi oleh dua faktor yaitu: sikap
terhadap perilaku (attitude toward behavior) dan norma subjektif (subjective norms).
Penelitian di bidang sosial telah banyak membuktikan bahwa TRA ini adalah teori
yang cukup memadai untuk memprediksi tingkah laku. Namun setelah beberapa tahun,
Ajzen melakukan metaanalisis terhadap TRA. Hasil yang didapatkan dari metaanalisis
tersebut adalah TRA hanya berlaku bagi tingkah laku yang berada di bawah kontrol
penuh individu, dan tidak sesuai untuk menjelaskan tingkah laku yang tidak
sepenuhnya di bawah control individu, karena ada faktor yang dapat menghambat atau
mempermudah/memfasilitasi realisasi intensi ke dalam tingkah laku. Berdasarkan
analisis ini, lalu Ajzen pada tahun 1988 menambahkan perceived behavioral control
(PBC) sebagai satu faktor anteseden bagi intensi yang berkaitan dengan kontrol
individu. Dengan penambahan satu faktor ini kemudian mengubah TRA menjadi
Theory of Planned Behavior, yang selanjutnya disebut sebagai TPB.
Penjelasan lain bahwa TRA dan TPB berfokus pada konstruksi teoretis yang
berkaitan dengan faktor intensi individu sebagai penentu dari kemungkinan melakukan
perilaku tertentu. Baik TRA maupun TPB menganggap prediktor terbaik perilaku
adalah niat terhadap perilaku, yang pada gilirannya ditentukan oleh sikap terhadap
perilaku dan persepsi sosial normatif mengenai itu (perceived behavioral control). TPB
merupakan perluasan dari TRA dengan menambah konstruksi perceived behavioral
control.
Theory of Planned Behavior (TPB) menyampaikan bahwa perilaku yang
ditampilkan oleh individu timbul karena adanya intensi/ niat untuk berperilaku.
Sementara munculnya niat berperilaku ditentukan oleh tiga faktor penentu yaitu:
1) Behavioral Beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku
(beliefs strength) dan evaluasi atas hasil tersebut (outcome evaluation);
2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain
(normative beliefs) dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (motivation
to comply); dan
3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung
atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan
persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat
perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada
saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari
lingkungan.
Bagan Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior)
Behaviour
Beliefs
Attitude toward
Behaviour
Evaluation of
behavioural outcome
Normative
Beliefs
Subjective norm Behavioral
Behavioral
intention
Motivation to
comply
Control
beliefs
Perceived Behaviour
Control
Perceived
Behavioral Behavioral
Background factors
beliefs beliefs
Personal
General, attitudes
Personality
Values, emotional
intelligence
Normative Subjective intention Behaviour
Social beliefs norm
Age, gender, race,
ethnicity, income,
religion
Information
Experience, Control Control
knowledge, beliefs beliefs
media exposure
Gambar 4.14 Peran Faktor-faktor latar belakang pada teori Planned behaviour
(Ajzen, 2005)
Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau
negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived
social pressure) atau norma subjektif (subjective norm) dan control beliefs
menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol perilaku yang dipersepsikan
(Ajzen, 2002).
Bagan di atas dapat menjelaskan empat hal yang berkaitan dengan perilaku manusia,
yaitu:
1) Hubungan yang langsung antara tingkah laku dan intensi. Hal ini dapat berarti
bahwa intensi merupakan faktor terdekat yang dapat memprediksi munculnya
tingkah laku yang akan ditampilkan individu
2) Intensi dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu sikap individu terhadap tingkah laku
yang dimaksud (attitude toward behavior), norma subjektif (subjective nornm),
dan persepsi terhadap kontrol yang dimiliki (perceived behavioral control).
3) Masing-masing faktor yang memengaruhi intensi di atas (sikap, norma subjektif
dan PBC) dipengaruhi oleh anteseden lainnya, yaitu heliefs. Sikap dipengaruhi
oleh behavioral beliefs, norma subjektif dipengaruhi oleh normative beliefs, dan
PBC dipengaruhi oleh beliefs tentarng kontrol yang dimiliki yang disebut control
beliefs. Baik sikap, norma subjektif, dan PBC merupakan fungsi perkalian dari
masing-masing beliefs dengan faktor lainnya yang mendukung.
4) PBC merupakan ciri khas teori ini dibandingkan dengan TRA.
Pada bagan di atas dapat dilihat bahwa ada dua cara yang menghubungkan
tingkah laku dengan PBC Cara pertama diwakili oleh garis penuh yang
menghubungkan PBC dengan tingkah laku secara tidak langsung melalui
perantara intensi. Cara kedua adalah hubungan secara langsung antara PBC
dengan tingkah laku yang digambarkan dengan garis putus putus, tapa melalui
intensi (Ajzen, 2005).
Menurut Ajzen, 2005 dalam Ramadhani, 2009 bahwa variabel lain yang memengaruhi
intensi selain beberapa faktor utama tersebut (sikap terhadap perilaku, norma subjektif
dan PBC), yaitu variabel yang memengaruhi atau berhubungan dengan belief.
Beberapa variabel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
1. Faktor personal. Faktor personal adalah sikap umum seseorang terhadap sesuatu,
sifat kepribadian (personality traits), nilai hidup (values), emosi, dan kecerdasan
yang dimilikinya.
2. Faktor social. Faktor sosial antara lain adalah usia, jenis kelamin (gender), etnis,
pendidikan, penghasilan, dan agama.
1) Usia
Secara fisiologi, pertumbuhan dan perkembangan seseorang
dapat digambarkan dengan penambahan usia. Dengan penambahan usia
diharapkan terjadi peningkatan kemampuan motorik sesuai dengan
tumbuh kembangnya. Akan tetapi pertumbuhan dan perkembangan
seseorang pada titik tertentu akan mengalami kemunduran akibat faktor
degeneratif. Umur adalah rentang kehidupan yang diukur dengan tahun,
dikatakan masa awal dewasa adalah usia 18 tahun sampai 40 tahun,
dewasa madya adalah 41 sampai 60 tahun, dewasa lanjut > 60 tahun.
Umur adalah lamanya hidup dalam tahun yang dihitung sejak dilahirkan.
Usia yang lebih tua umumnya lebih bertanggung jawab dan lebih teliti
dibanding usia yang lebih muda. Hal ini terjadi kemungkinan karena
yang lebih muda kurang berpengalaman.
Menurut umur/usia berkaitan erat dengan tingkat kedewasaan
atau maturitas seseorang. Kedewasaan adalah tingkat kedewasaan teknis
dalam menjalankan tugas-tugas, maupun kedewasaan psikologis. Ajzen
(2005) menyampaikan bahwa pekerja usia 20-30 tahun mempunyai
motivasi kerja relatif lebih rendah dibandingkan pekerja yang lebih tua,
karena pekerja yang lebih muda belum berdasar pada landasan realitas,
sehingga pekerja muda lebih sering mengalami kekecewaan dalam
bekerja. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya kinerja dan kepuasan
kerja, semakin lanjut usia seseorang maka semakin meningkat pula
kedewasaan teknisnya, serta kedewasaan psikologisnya yang akan
menunjukkan kematangan jiwanya. Usia semakin lanjut akan
meningkatkan pula kemampuan seseorang dalam mengambil keputusan,
mengendalikan emosi, berpikir rasional, dan toleransi terhadap
pandangan orang lain sehingga berpengaruh juga terhadap peningkatan
motivasinya.
2) Jenis kelamin.
Pengertian jenis kelamin merupakan penyifatan atau permbagian dua
jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat
pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis kelamin laki-
laki adalah manusia yang memiliki atau bersifat seperti daftar berikut ini:
laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakun, dan memproduksi
sperma. Sementara perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim
dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan
mempunyai alat menyusui.
3) Pendidikan. Ajzen (2006) menyebutkan bahwa latar belakang
pendidikan seseoran akan memengaruhi kemampuan pemenuhan
kebutuhannya sesuai dengan tingkat pemenuhan kebutuhan yang
berbeda-beda yang pada akhirnya memengaruhi motivasi kerja
seseorang. Dengan kata lain bahwa pekerja yang mempunyai latar
belakang pendidikan tinggi akan mewujudkan motivasi kerja yang
berbeda dengan pekerja yang berlatar belakang pendidikan rendah. Latar
belakang pendidikan memengaruhi motivasi kerja seseorang. Pekerja
yang berpendidikan tinggi memiliki motivasi yang lebih baik karena
telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas dibandingkan
dengan pekerja yang memiliki pendidikan yang rendah. Notoatmodjo
(1992) menyebutkan bahwa dengan pendidikan seseorang akan dapat
meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat
keputusan dalam bertindak.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan produktivitas atau
kinerja perawat adalah pendidikan formal perawat. Pendidikan
memberikan pengetahuan bukan saja yang langsung dengan pelaksanaan
tugas, tetapi juga landasan untuk mengembangkan diri serta kemampuan
memanfaatkan semua sarana yang ada di sekitar kita untuk kelancaran
tugas. Semakin tinggi pendidikan semakin tinggi produktivitas kerja,
pendidikan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
diperlukan untuk pengembangan diri. Semakin tinggi tingkat pendidikan,
teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas yang pada
akhirnya akan semakin mudah mereka menerima serta mengembangkan
pengetahuan dan teknologi, sehingga akan meningkatkan produktivitas
yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Pendidikan keperawatan di Indonesia mengacu kepada Undang-
Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan
demikian, jenis pendidikan keperawatan di Indonesia mencakup
pendidikan vokasi, akademik dan profesi.
(1) Pendidikan vokasi adalah jenis pendidikan diploma sesuai
jenjangnya untuk memiliki keahlian ilmu terapan keperawatan yang
diakui oleh pemerintah Republik Indonesia.
(2) Pendidikan akademik adalah jenis pendidikan tinggi program
sarjana dan pascasarjana yang diarahkan, terutama pada penguasaan
disiplin ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah program
sarjana yang mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan
dengan persyaratan khusus.
Sementara jenjang pendidikan keperawatan mencakup program
pendidikan: diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktoral.
3. Faktor informasi
Faktor informasi adalah pengalaman, pengetahuan, dan paparan media.
Pengetahuan adalah merupakan hasil dari "tahu" dan ini terjadi setelah orang
melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi
melalui pancaindra manusia, yaitu: indra penglihatan. pendengaran, penciuman,
perasa, dan peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui
pendidikan, pengalaman orang lain, media massa, maupun lingkungan.
Variabel-variabel dalam background factor ini memengaruhi belief dan
pada akhirnya berpengaruh juga pada intensi dan tingkah laku.
Keberadaan faktor tambahan ini memang masih menjadi pertanyaan empiris mengenai
seberapa jauh pengaruhnya terhadap belief, intensi, dan tingkah laku. Namun, faktor
ini pada dasarnya tidak menjadi bagian dari TPB yang dikemukakan oleh Ajzen,
melainkan hanya sebagai pelengkap untuk menjelaskan lebih dalam determinan
tingkah laku manusia.
Intensi
Ajzen (1988, 1991) mengungkapkan bahwa intensi merupakan indikasi seberapa kuat
keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar usaha yang
akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Hartono (2007) mendefinisikan
intensi (niat) sebagai keinginan untuk melakukan perilaku. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa, seseorang berperilaku karena faktor keinginan, kesengajaan atau
karena memang sudah direncanakan. Niat berperilaku (behavioral intention) masih
merupakan suatu keinginan atau rencana. Dalam hal ini, niat belum merupakan
perilaku, sedangkan perilaku (behavior) adalah tindakan nyata yang dilakukan.
Intensi merupakan faktor motivasional yang memiliki pengaruh pada perilaku,
sehingga orang dapat mengharapkan orang lain berbuat sesuatu berdasarkan intensinya
(Ajzen; 1988, 1991). Pada umumnya, intensi memiliki korelasi yang tinggi dengan
perilaku, sehingga dapat digunakan untuk meramalkan perilaku. Menurut Fishbein dan
Ajzen (1975), intensi diukur dengan sebuah prosedur yang menempatkan subjek di
dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan suatu hubungan antara dirinya dengan
tindakan.
Menurut Theory of Planned Behavior, intensi memiliki tiga determinan, yaitu:
sikap, norma, sudjektif, dan kendala-perilaku-yang-dipersepsikan (Ajzen, 1988).
Untuk melihat besar/bobot pengaruh masing-masing determinan digunakan
perhitungan analisis multiple regresi, dengan persamaan sebagai berikut:
Keakuratan intensi dalam memprediksi tingkah laku tentu bukan tanpa syarat, karena
ternyata ditemukan pada beberapa studi bahwa intensi tidak selalu menghasilkan
tingkah laku yang dimaksud. Pernyataan ini juga diperkuat oleh pernyataan Ajzen
(2005). Menurutnya, walaupun banyak ahli yang sudah membuktikan hubungan yang
kuat antara intensi dan tingkah laku, namun pada beberapa kali hasil studi ditemukan
pula hubungan yang lemah antara keduanya. Ada beberapa faktor yang memengaruhi
kemampuan intensi dalam memprediksi tingkah laku yaitu:
1. Kesesuaian antara intensi dan tingkah laku. Pengukuran intensi harus disesuaikan
dengan perilakunya dalam hal konteks dan waktunya.
2. Stabilitas intensi. Faktor kedua adalah ketidakstabilan intensi seseorang. Hal ini
bisa terjadi jika terdapat jarak/jangka waktu yang cukup panjang antara
pengukuran intensi dan dengan pengamatan tingkah laku. Setelah dilakukan
pengukuran intensi, sangat mungkin ditemui hal-hal/kejadian yang dapat
mencampuri atau mengubah intensi seseorang untuk berubah, sehingga pada
tingkah laku awal yang ditampilkannya tidak sesuai dengan intensi awal. Semakin
panjang interval waktunya, maka semakin besar kemungkinan intensi akan
berubah.
3. Literal inconsistency.
Pengukuran intensi dan tingkah laku sudah sesuai (compatible) dan jarak waktu
antara pengukuran intense dan tingkah laku singkat, namun kemungkinan terjadi
ketidaksesuaian antara intense dengan tingkah laku yang ditampilkannya masih
ada. Penjelasan literal inconsistency ini adalah individu terkadang tidak konsisten
dalam mengaplikasikan tingkah lakunya sesuai dengan intense yang sudah
dinyatakan sebelumnya. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa alasan, di
antaranya individu tersebut merasa lupa akan apa yang pernah mereka ucapkan.
Maka untuk mengantisipasi hal ini dapat dilakukan strategi implementation
intention, yaitu dengan meminta individu untuk memerinci bagaimana intensi
tersebut akan diimplementasikan dalam tingkah laku. Perincian mencakup kapan,
di mana, dan bagaimana tingkah laku akan dilakukan.
4. Base rate.
Base rate adalah tingkat kemungkinan sebuah tingkah laku akan dilakukan oleh
orang. Tingkah laku dengan base rate yang tinggi adalah tingkah laku yang
dilakukan oleh hamper semua orang, misalnya mandi dan makan. Sementara
tingkah laku dengan base rate rendah adalah tingkah laku yang hampir tidak
dilakukan oleh kebanyakan orang, misal bunuh diri. Intensi dapat memprediksi
perilaku aktualnya dengan baik jika perilaku tersebut memiliki tingkat base rate
yang sedang, missal pendokumentasian asuhan keperawatan.
Sikap
Menurut Ajzen (2005) sikap merupakan besarnya perasaan positif atau negatif
terhadap suatu objek (favorable) atau negatif (unfavorable) terhadap suatu objek,
orang, institusi, atau kegiatan. Eagly dan Chaiken (1993) dalam Aiken (2002)
mendefinisikan sikap sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi suatu entitas dalam derajat suka dan tidak suka. Sikap dipandang sebagai
sesuatu yang afektif atau evaluatif.
Konsep sentral yang menentukan sikap adalah keyakinan (belief). Menurut
Fishbein dan Ajzen (1975), keyakinan merepresentasikan pengetahuan yang dimiliki
seseorang terhadap suatu objek, di mana keyakinan menghubungkan suatu objek
dengan beberapa atribut. Kekuatan hubungan ini diukur dengan prosedur yang
menempatkan seseorang dalam dimensi probabilitas subjektif yang melibatkan objek
dengan atribut terkait.
Menurut Fishbein dan Ajzen (1975), sikap seseorang terhadap suatu objek sikap
dapat diestimasikan dengan menjumlahkan hasil kali antara evaluasi terhadap atribut
yang diasosiasikan pada objek sikap (belief evaluation) dengan probabilitas
subjektifnya bahwa suatu objek memiliki atau tidak memiliki atribut tersebut
(behavioral belief). Atau dengan kata lain, dalam teori perilaku terencana sikap yang
dimiliki seseorang terhadap suatu tingkah laku dilandasi oleh keyakinan seseorang
terhadap konsekuensi (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku tersebut
dilakukan (outcome) yang akan dihasilkan jika tingkah laku (outcoma evaluation) dan
kekuatan terhadap keyakinan tersebut (belief strength). Keyakinan (belief) adalah
pernyataan subjektif seseorang yang menyangkut aspek-aspek yang dapat dibedakan
tentang dunianya, yang sesuai dengan pemahaman tentang diri dan lingkungannnya
(Ajzen, 2005).
Dikaitkan dengan sikap, keyakinan mempunyai tingkatan atau kekuatan yang
berbeda-beda. Kekuatan ini berbeda-beda pada setiap orang dan kuat lemahnya
keyakinan ditentukan berdasarkan persepsi seseorang terhadap tingkat keseringan
suatu objek memiliki atribut tertentu (Fishbein &Ajzen, 1975). Sebagai salah satu
komponen dalam rumusan intensi, sikap terdiri atas keyakinan dan evaluasi keyakinan
(Fishbein & Ajzen, 1975 dalam Ismail & Zain, 2008), seperti rumus berikut ini.
AB = Σb1 e1
Keterangan:
AB = Sikap terhadap perilaku tertentu
b1 = Keyakinan (belief) terhadap perilaku tersebut yang mengarah pada
konsekuensi i
e1 = Evaluasi seseorang terhadap outcome i (outcome evaluation)
Berdasarkan rumus di atas, sikap terhadap perilaku tertentu (AB) didapatkan dari
penjumlahan hasil kali antara kekuatan belief terhadap outcome yang dihasilkan (b1)
dengan evaluasi terhadap outcome (e1). Dengan kata lain, seseorang yang percaya
bahwa sebuah tingkah laku dapat menghasilkan sebuah outcome yang positif, maka ia
akan memiliki sikap yang positif. Begitu juga sebaliknya, jika seseorang memiliki
keyakinan bahwa dengan melakukan suatu tingkah laku akan menghasilkan outcome
yang negatif, maka seseorang tersebut juga akan memiliki sikap yang negatif terhadap
perilaku tersebut.
Pengukuran sikap tidak bisa didapatkan melalui pengamatan langsung,
melainkan harus melalui pengukuran respons. Pengukuran sikap ini didapatkan dari
interaksi antara belief content-outcome evaluation dan belief strength. Belief
seseorang mengenai suatu objek atau tindakan dapat dimunculkan dalam format
respons bebas dengan cara meminta subjek untuk menuliskan karakteristik, kualitas
dan atribut dari objek atau konsekuensi tingkah laku tertentu. Fishbein & Ajzen
menyebutnya dengan proses elisitasi. Elisitasi digunakan untuk menentukan
keyakinan utama (salient belief) yang akan digunakan dalam penyusunan alat ukur
atau instrumen.
Norma Subjektif
SN= Σ b1 m1
Keterangan:
SN = Norma Subjektif
b1 = Normative belief
m1 = Motivasi untuk mengikuti anjuran (motivation to comply)
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat dikatakan bahwa norma subjektif adalah persepsi
seseorang terhadap orang-orang yang dianggap penting bagi dirinya untuk
berperilaku atau tidak berperilaku tertentu, dan sejauhmana sescorang ingin mematuhi
anjuran orang-orang tersebut. Norma subjektif secara umum dapat ditentukan oleh
harapan spesifik yang dipersepsikan seseorang, yang merupakan referensi (anjuran)
dari orang-orang yang di sekitarnya dan oleh motivasi untuk mengikuti referensi atau
anjuran tersebut.
Berdasarkan rumus di atas, norma subjektif (SN) didapatkan dari hasil
penjumlahan hasil kali normative belief tentang tingkah laku i (b 1) dan dengan
motivation to comply/motivasi untuk mengikutinya (m 1). Dengan kata lain, bahwa
seseorang yang yang memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok yang cukup
berpengaruh terhadapnya (referent) akan mendukung ia untuk melakukan tingkah laku
tersebut, maka hal ini akan menjadi tekanan sosial untuk seseorang tersebut
melakukannya. Sebaliknya, jika seseorang percaya bahwa orang lain yang
berpengaruh padanya tidak mendukung tingkah laku tersebut, maka hal ini
menyebabkan ia memiliki norma subjektif untuk tidak melakukannya.
Pengukuran norma subjektif sesuai dengan antesedennya, yaitu berdasarkan
dua skala : normative belief dan motivation to comply. Maka pengukurannya juga
diperoleh dari penjumlahan hasil perkalian keduanya. Norma subjektif sama halnya
dengan sikap, tentang pihak-pihak yang mendukung atau tidak mendukung didapatkan
dari hasil elisitasi untuk menentukan keyakinan utamanya.
PBC = Σ c1 p1
Keterangan:
PBC = Perceived Behavioral Control
c1 = Control belief
p1 = Power belief
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 1988. From Intentions to Actions, Attitudes, Personality and Behavior.
London: Open University Press, England.
Ajzen, I. 1991. The Theory of Planned Behavior. Organizational Behavior and Human
Decision Processes. Academic Press, University of Massachusetts
Fishbein, M & Ajzen, I. 2010 Predicting and Changing Behavior: The reasoned action
approach. New York: Psychology Press
SELF REGULATION MODEL
Penyakit kanker terutama stadium lanjut berdampak berat pada aspek psikologis,
sosial, fisik, ekonomi, dan kultural individu. Seseorang dengan diagnosis kanker
cenderung berusaha beradaptasi semampu mereka, namun tidak jarang mereka tidak
mempunyai cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mengambil keputusan dan
bertindak sesuai yang seharusnya. Sebuah penelitian di Korea Selatan mengungkapkan
bahwa ketika pasien kanker serviks membutuhkan informasi tentang penyakitnya,
maka perilaku mencari informasi akan meningkat. Leventhal berpendapat bahwa
berbagai informasi diperlukan untuk memengaruhi sikap dan tindakan terhadap
ancaman kesehatan maupun keberlangsungan hidup seseorang. Berdasarkan salah satu
model dari Self-Regulatory yang terkait dengan ancaman kesehatan yaitu Common
Sense Model, adanya stimulus kesehatan seperti informasi tentang penyakit tertentu
akan memunculkan respons emosional bagi pasien dan pada akhirnya akan
meningkatkan kesadaran (awareness) akan penyakit tersebut. Hal ini terbukti hasil
penelitian AV Sri S (2012) tentang kemandirian dan regulasi pada pasien stroke.
Self-regulation adalah kapasitas atau kemampuan seseorang untuk mengubah
perilakunya (Baumeister). Istilah self-regulation secara luas digunakan untuk
menjelaskan usaha perubahan pemikiran, perasaan, keinginan, dan tindakan yang
dilakukan oleh individu untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Self-regulation
memandang individu sebagai agen yang aktif dan pengambil keputusan karena kedua
hal tersebut merupakan aspek penting dari adaptasi manusia terhadap kehidupan. Self-
regulation muncul ketika seseorang memotivasi dan memandu tindakan mereka secara
proaktif sesuai dengan harapan yang mereka miliki. Setelah seseorang mencapai
tujuan atau harapan yang mereka inginkan maka orang dengan self-efficacy tinggi
akan meningkatkan tujuan yang lebih besar. Self-efficacy dalam konteks self-care
agency merupakan komponen dasar atau foundational capability and dispositions.
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6th Ed.
Missouri Mosby.
Ave S S & Nursalam. 2012. "Peningkatan Self Care Agency Pasien dengan Stroke
Iskemik setelah Penerapan Self Care Regulation Model". Jurnal Ners. Vol. 7.
No. 1, hlm. 13-24
Model ini dikembangkan oleh Gerald Caplan, yang membicarakan tentang tiga level
intervensi pencegahan pada klien dengan gangguan emosional dan sakit jiwa. Model
Caplan ini lebih diperuntukkan untuk psikiatri komunitas/masyarakat dan pelayanan
kesehatan jiwa yang berhubungan dengan masyarakat, pusat pelayanan pengobatan
dasar di komunitas seperti puskesmas, pendekatan tim multidisiplin, perawatan
berlanjut melalui pencegahan, perlindungan, dan pengobatan, dan menghindari rawat
inap di rumah sakit. Tiga level intervensi pencegahan psikiatri meliputi, pencegahan
primer, sekunder, dan tersier.
Pencegahan primer, bertujuan: (1) mengurangi kasus baru melalui identifikasi
kelompok risiko tinggi, situasi stres, kejadian stres dalam kehidupan yang berpotensi
sakit jiwa; (2) pendidikan kepada komunitas dengan memanfaatkan strategi koping
untuk mengatasi stres atau cara mengatasi dan memecahkan masalah; (3) menguatkan
kemampuan individu dengan menurunkan stres, tekanan, cemas, yang bisa
menyebabkan sakit jiwa. Komponen dalam pencegahan primer adalah promosi
kesehatan dan perlindungan khusus.
Karakteristik pencegahan primer adalah promosi kesehatan untuk membangun
adaptasi menggunakan sumber-sumber koping menjaga kesehatan mental seseorang.
Perhatikan total populasi, khususnya berfokus melayani kelompok risiko tinggi. Alat
utama untuk pencegahan primer adalah pendidikan dan perubahan sosial; pemanfaatan
agen-agen di masyarakat yang menjaga kesejahteraan masyarakat, seperti penyembuh
tradisional, tenaga sukarela, dan lain-lain; serta membekali diri dengan sumber-sumber
personal dan lingkungan terutama strategi koping. Efektifkan hubungan interpersonal,
tingkatkan tugas-tugas yang sesuai kelompok umur, kembangkan kemampuan control
dalam kelompok. Peroleh kepuasan terhadap diri sendiri dan keberadaannya,
pendidikan kesehatan, motivasi untuk melakukan aktivitas untuk mengurangi stres,
bekali diri dengan dukungan psikososial. Tingkatkan pola hidup sehat, pertahankan
standar hidup yang tinggi dan implementasi kebijakan Kementerian Kesehatan dalam
hal pencegahan.
Komponen perlindungan khusus dalam pencegahan primer dengan cara
mengembangkan kompetensi sosial, ajarkan teknik pencegahan dan kontrol masalah
sosial, hindari kejadian dari kondisi sosial yang patologis, tingkatkan kontrol diri dan
kemampuan pengambilan keputusan sosial. Memberdayakan sistem asuhan yang ada,
kembangkan interaksi dan pola perilaku; kembangkan partisipasi sebagai warga,
tingkatkan kontrol dan buat keputusan-keputusan kritis dalam hidup. mengefektifkan
strategi koping untuk menangani situasi stres. Hindari stres dengan cara mengenali
stres dan hilangkan atau modifikasi. Tangani kelompok berisiko untuk menghindari
atau atasi stres dengan strategi koping. Melakukan manajemen stres, dan beri
dukungan sosial dan emosional untuk menolong orang dalam situasi stres.
Komponen dalam pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan penemuan
kasus serta program skrining. Pencegahan untuk diagnosis dini dan penemuan kasus
berupa memberi pendidikan kepada masyarakat tentang manifestasi dini sakit jiwa;
memberi motivasi kepada pemimpin masyarakat, LSM, dan swasta lainnya di
masyarakat untuk terlibat aktif dalam mengidentifikasi orang yang sakit jiwa;
mengadakan lokakarya, pelatihan atau program kampanye kepada kelompok-
kelompok tentang pentingnya identifikasi dini kasus jiwa untuk skrining dan
pengobatan sejak periode awal sakit. Program skrining massal sakit jiwa menggunakan
kuesioner dalam bahasa lokal untuk mengidentifikasi sakit jiwa.
Pencegahan tersier, meliputi rehabilitasi ketidakmampuan maupun
keterbatasan dan mencegah komplikasi. Komponen dalam pencegahan tertier adalah
mengurangi prevalensi gejala sisa atau ketidakmampuan. Mengurangi lama rawat inap
di RS-Jiwa, mencegah keretakan keluarga. Membuat klien berguna bagi diri sendiri
secara fisik, mental, sosial, kerja, ekonomi. Mendidik keluarga dan masyarakat agar
mengobati klien secara individual. Meningkatkan motivasi klien untuk kontrol dan
mendapatkan terapi (termasuk terapi keria). Ruiuk klien ke agen kesehatan jiwa
profesional. Pasien dibekali untuk mampu merawat diri sehari-hari dan merencanakan
aktivitas harian. Sosialisasi penanganan pasien sakit jiwa kronis di masyarakat.
Gunakan sumber yang ada dalam keluarga dan masyarakat (Neeraja, 2009).
Table 2.3 Level pencegahan menurut Model Kesehatan Masyarakat (Public Health Model)
Pencegahan Primer
(Dengan menatalaksana masalah kesehatan potensial melalui
promosi kesehatan dan perlindungan khusus)
Pencegahan Sekunder
(Dengan menatalaksana masalah
Tindakan – tindakan
kesehatan aktual: diagnosis dini dan
pencegahan
pengobatan tepat waktu)
Pencegahan Tersier
(Dengan menatalaksana keterbatasan/ketidakmampuan akibat
penyakit kronis dan rehabilitasi: rehabilitasi keterbatasan dan
ketidakmampuan serta mencegah komplikasi)
Menurut Kopelman (1986) faktior penentu organisasi yakni kepemimpinan dan system
imbalan berpengaruh ke kinerja individu atau organisasi melalui motivasi, sedangkan
faktor penentu organisasi lainnya, yakni pendidikan, berpengaruh ke kinerja individu
atau organisasi melalai variabel pengetahaun, keterampilan, atau kemampuan.
Kemampuan dibangun oleh pengetahuan dan keterampilan tenaga kerja.
1. Karakteristik Organisasional (Organizational characteristics).
a. Sistem imbalan (reward system)
Pemberian penghangaan merupakan suatu pernyataan yang menjelaskan apa
yang dinginkan rumah sakit dalam jangka panjang untuk mengembangkan dan
menerapkan kebijakan, praktik, dan proses pemberian penghargaan yang
mendukung pencapaian tujuan dan memennhi kebutuhan (Brown. 2001).
Penghargaun diarkan sehugai suatu stimalus terhadap perbaikan kinerja
perawat dalam memberikan asuhan keperawatan.
Lingkungan
Karakteristik organisasi
1. system imbalan
2. penetapan tujuan MBO
3. seleksi
4. pelatihan dan
pengembangan
5. kepemimpinan
6. struktur organisasi
Karakteristik
Individu (perawat)
1. Pengetahuan Efektivitas
2. Keahlian Perilaku kerja Kinerja
organisasi
3. Kemampuan
4. Motivasi Kepuasan pasien &
5. Budi pekerti MAKP Caring & ASKEP
perawat
6. Nilai dan norma
Karakteristik Pekerjaan
1. Kinerja objektif
2. Umpan balik
3. Koreksi
4. Desain pekerjaan
5. Jadwal kerja
3. Karakteristik Pekerjaan
a. Kinerja objektif (objective performance).
Tujuan dari manajemen kinerja adalah (Armstrong & Baron, 2005;
Wibisono, 2006); mengatur kinerja, mengetahui seberapa efektif dan efisien
suatu kinerja organisasi, membantu pembentukan keputusan organisasi
yang berkaitan dengan kinerja organisasi, kinerja tiap bagian dalam
organisasi, dan kinerja individual, meningkatkan kemampuan organisasi,
dan mendorong karyawan agar bekerja sesuai prosedur, dengan semangat,
dan produktif sehingga hasil kerja optimal.
b. Umpan balik (feedback).
Umpan balik adalah hal yang penting dalam perbaikan kinerja perawat.
c. Koreksi.
Koreksi atau membetulkan (memperbaiki) kesalahan merupakan salah satu
tugas pemimpin (Nursalam, 2013).
d. Desain pekerjaan (job design).
Desain pekerjaan adalah fungsi penetapan kegiatan kerja seorang atau
sekelompok karyawan secara organisasional. Tujuannya untuk mengatur
penugasan kerja supaya dapat memenuhi kebutuhan organisasi.
e. Jadwal kerja (work schedule).
Dalam proses berjalan suatu organisasi dapat eksis dibidangnya, perlu
pengaturan waktu yang efektif sehingga memeperoleh hasil sesuai tujuan
yang diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Model Asuhan Keperawatan Profesional adalah suatu sistem (struktur, proses dan
nilai-nilai) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan
keperawatan termasuk lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut
(Nursalam, 2011). Pada MAKP memungkinkan pelayanan keperawatan yang
menyeluruh; mendukung pelaksanaan proses keperawatan; dan memungkinkan
komunikasi antartim sehingga konflik mudah diatasi dan memberi kepuasan kepada
anggota tim dan pelanggan. Jenis MAKP yang diterapkan sangat bergantung dari visi
misi rumah sakit, dapat diterapkannya proses keperawatan, memperhatikan kepuasan
perawat dan pasien, serta komunikasi dan kolaborasi yang jelas antar-petugas
kesehatan. Jenis yang digunakan untuk rawat inap dan jalan; MAKP tim, primer,
moduler MAKP rawat darurat adalah MAKP kasus.
KEPUASAN PERAWAT
Kinerja bentuknya dapat berupa kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan bagaimana
perawat memberikan jasa pengobatan terutama keperawatan pada waktu
penyembuhan yang relatif cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien, dan
kenyamanan yang diberikan dengan memperhatikan kebersihan, keramahan, dan
kelengkapan peralatan rumah sakit.
Kestidak esuaian
yang ditunjukkan
a. Harapan pasien, bagaimana pasien mengharapkan produk atau jasa seharusnya dia
terima.
b. Pesaing, pasien mengadopsi standar kinerja pesaing rumah sakit untuk kategori
produk atau jasa yang sama sebagai standar perbandingan.
c. Kategori produk atau jasa lain.
d. Janji promosi dari rumah sakit.
e. Nilai jasa pelayanan kesehatan yang berlaku.
Theory of Servqual
Tinjauan mengenai konsep kualitas layanan sangat ditentukan oleh berapa besar
kesenjangan (gap) antara persepsi pelanggan atas kenyataan pelayanan yang
diterima.dibandingkan dengan harapan pelanggan atas pelayanan yang harus diterima.
Kelima kesenjangan (gap) tersebut disajikan dalam skema grand theory Parasuraman,
Zeithaml, dan Berry (1985) dan diuraikan berikut ini :
DIAGRAM
DIAGRAM
Gambar 4.19 Penilaian pelanggan terhadap kualitas layanan (Parasuraman, 2001)
Berdasarkan pengertian di atas, terdapat tiga tingkat konsep kualitas layanan yaitu:
1) Bermutu (quality surprise), bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi
pelayanan yang diharapkan pelanggan.
2) Memuaskan (satisfactory quality), bila kenyataan pelayanan yang diterima
sama dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan.
3) Tidak bermutu (unacceptable quality), bila ternyata kenyataan pelayanan yang
diterima lebih rendah dari yang diharapkan pelanggan.
Uraian-uraian di atas menjadi suatu interpretasi yang banyak dikembangk dalam suatu
organisasi kerja yang memberikan kualitas layanan yang sesuai dengan daya tanggap
atas berbagai pelayanan yang ditunjukkan. Inti dari pelayanan daya tanggap dalam
suatu organisasi berupa pemberian berbagai penjelasan dengan bijaksana, mendetail,
membina, mengarahkan dan membujuk. Apabila hal ini dapat diimplementasikan
dengan baik, dengan sendirinya kualitas layanan daya tanggap akan menjadi cermin
prestasi kerja pegawai yang ditunjukkan dalam pelayanannya.
2. Jaminan (Assurance)
Setiap bentuk pelayanan memerlukan adanya kepastian atas pelayanan yang
diberikan. Bentuk kepastian dari suatu pelayanan sangat ditentukan oleh jaminan
dari pegawai yang memberikan pelayanan, sehingga orang yang menerima
pelayanan merasa puas dan yakin bahwa segala bentuk urusan pelayanan yang
dilakukan atas tuntas dan selesai sesuai dengan kecepatan, ketepatan,
kemudahan, kelancaran dan kualitas layanan yang diberikan (Parasuraman,
2001:69).
Jaminan atas pelayanan yang diberikan oleh pegawai sangat ditentukan
oleh performance atau kinerja pelayanan, sehingga diyakini bahwa pegawai
tersebut mampu memberikan pelayanan yang andal, mandiri dan profesional
yang berdampak pada kepuasan pelayanan yang diterima. Selain dari
performance tersebut, jaminan dari suatu pelayanan juga ditentukan dari adanya
komitmen organisasi yang kuat, yang menganjurkan agar setiap pegawai
memberikan pelayanan secara serius dan sungguh-sungguh untuk memuaskan
orang yang dilayani. Bentuk jaminan yang lain yaitu jaminan terhadap pegawai
yang memiliki perilaku kepribadian (personality behavior) yang baik dalam
memberikan pelayanan, tentu akan berbeda pegawai yang memiliki watak atau
karakter yang kurang baik dan yang kurang baik dalam memberikan pelayanan
(Margaretha, 2003: 201).
Inti dari bentuk pelayanan yang meyakinkan pada dasarnya bertumpu
kepada kepuasan pelayanan yang ditunjukkan oleh setiap pegawai, komitmen
organisasi yang menunjukkan pemberian pelayanan yang baik, dan perilaku dari
pegawai dalam memberikan pelayanan, sehingga dampak yang ditimbulkan dari
segala aktivitas pelayanan tersebut diyakini oleh orang-orang yang menerima
pelayanan, akan dilayani dengan baik sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan
yang dapat diyakini sesuai dengan kepastian pelayanan.
Melihat kenyataan kebanyakan organisasi modern dewasa ini
diperhadapkan oleh adanya berbagai bentuk penjaminan yang dapat meyakinkan
atas berbagai bentuk pelayanan yang dapat diberikan oleh suatu organisasi sesuai
dengan prestasi kerja yang ditunjukkannya. Suatu organisasi sangat
membutuhkan adanya kepercayaan memberikan pelayanan kepada orang-orang
yang dilayaninya. Untuk memperoleh suatu pelayanan yang meyakinkan, maka
setiap pegawai berupaya untuk menunjukkan kualitas layanan yang meyakinkan
sesuai dengan bentuk-bentuk pelayanan yang memuaskan yang diberikan,
bentuk-bentuk pelayanan yang sesuai dengan komitmen organisasi yang
ditunjukkan dan memberikan kepastian pelayanan sesuai dengan perilaku yang
ditunjukkan. Margaretha (2003:215) suatu organisasi kerja sangat memerlukan
adanya kepercayaan yang diyakini sesuai dengan kenyataan bahwa organisasi
tersebut mampu memberikan kualitas layanan yang dapat dijamin sesuai dengan:
a. Mampu memberikan kepuasan dalam pelayanan yaitu setiap pegawai akan
memberikan pelayanan yang cepat, tepat, mudah, lancar, dan berkualitas.
Hal tersebut menjadi bentuk konkret yang memuaskan penerima layanan.
b. Mampu menunjukkan komitmen kerja yang tinggi sesuai dengan bentuk-
bentuk integritas, etos, dan budaya kerja yang sesuai dengan aplikasi dari
visi dan misi suatu organisasi dalam memberikan pelayanan.
c. Mampu memberikan kepastian atas pelayanan sesuai dengan perilaku
yang ditunjukkan, agar orang yang mendapat pelayanan yakin sesuai
dengan perilaku yang dilihatnya.
Uraian ini menjadi suatu penilaian bagi suatu organisasi dalam menunjukkan
kualitas layanan asuransi (meyakinkan) kepada setiap orang yang diberi
pelayanan sesuai dengan bentuk bentuk kepuasan pelayanan yang dapat
diberikan, memberikan pelayanan yang sesuai dengan komitmen kerja yang
ditunjukkan dengan perilaku yang menarik, meyakinkan dan dapat dipercaya,
sehingga segala bentuk kualitas layanan yang ditunjukkan dapat dipercaya dan
menjadi aktualisasi pencerminan prestasi kerja yang dapat dicapai atas
pelayanan kerja.
Uraian ini secara umum memberikan suatu indikator yang jelas bahwa
kualitas layanan sangat ditentukan menurut kondisi fisik pelayanan, yang inti
pelayanannya yaitu kemampuan dalam menggunakan alat dan perlengkapan
kerja yang dapat dilihat secara fisik, mampu menunjukkan kemampuan secara
fisik dalam berbagai penguasaan teknologi kerja dan menunjukkan penampilan
yang sesuai dengan kecakapan, kewibawaan, dan dedikasi kerja.
4. Empati (Empathy)
Setiap kegiatan atau aktivitas pelayanan memerlukan adanya pemahaman dan
pengertian dalam kebersamaan asumsi atau kepentingan terhadap suatu hal yang
berkaitan dengan pelayanan. Pelayanan akan berjalan dengan lancar dan
berkualitas apabila setiap pihak yang berkepentingan dengan pelayanan
memiliki adanya rasa empati (empathy) dalam menyelesaikan atau mengurus
atau memiliki komitmen yang sama terhadap pelayanan (Parasuraman, 2001:40)
Empati dalam suatu pelayanan adalah adanya suatu perhatian, keseriusan,
simpatik, pengertian, dan keterlibatan pihak pihak yang berkepentingan dengan
pelayanan untuk mengembangkan dan melakukan aktivitas pelayanan sesuai
dengan tingkat pengertian dan pemahaman dari masing masing pihak tersebut.
Pihak yang memberi pelayanan harus memiliki empati memahami masalah dari
pihak yang ingin dilayani. Pihak yang dilayani seyogyanya memahami
keterbatasan dan kemampuan orang yang melayani, sehingga keterpaduan antara
pihak yang melayani dan mendapat pelayanan memiliki perasaan yang sama.
Artinya setiap bentuk pelayanan yang diberikan kepada orang yang
dilayani memerlukan adanya empati terhadap berbagai masalah yang dihadapi
orang yang membutuhkan pelayanan. Pihak yang menginginkan pelayanan
membutuhkan adanya rasa kepedulian atas segala bentuk pengurusan pelayanan,
dengan merasakan dan memahami kebutuhan tuntutan pelayanan yang cepat,
mengerti berbagai bentuk perubahan pelayanan yang menyebabkan adanya
keluh kesah dari bentuk pelayanan yang harus dihindari, sehingga pelayanan
tersebut berjalan sesuai dengan aktivitas yang diinginkan oleh pemberi
pelayanan dan yang membutuhkan pelayanan.
Berarti empati dalam suatu organisasi kerja menjadi sangat penting dalam
memberikan suatu kualitas layanan sesuai prestasi kerja yang ditunjukkan oleh
seorang pegawai. Empati tersebut mempunyai inti yaitu mampu memahami
orang yang dilayani dengan penuh perhatian, keseriusan, simpatik, pengertian,
dan adanya keterlibatan dalam berbagai permasalahan yang dihadapi orang yang
dilayani. Margaretha (2003:78) bahwa suatu bentuk kualitas layanan dari empati
orang-orang pemberi pelayanan terhadap yang mendapatkan pelayanan harus
diwujudkan dalam lima hal, yaitu:
a. Mampu memberikan perhatian terhadap berbagai bentuk pelayanan yang
diberikan, sehingga yang dilayani merasa menjadi orang yang penting.
b. Mampu memberikan keseriusan atas aktivitas kerja pelayanan yang
diberikan, sehingga yang dilayani mempunyai kesan bahwa pemberi
pelayanan menyikapi pelayanan yang diinginkan.
c. Mampu menunjukan rasa simpati atas pelayanan yang diberikan, sehingga
yang dilayani merasa memiliki wibawa atas pelayanan yang dilakukan.
d. Mampu menunjukkan pengertian yang mendalam atas berbagai hal yang
diungkapkan, sehingga yang dilayani menjadi lega dalam menghadapi
bentuk- bentuk pelayanan yang dirasakan.
e. Mampu menunjukkan keterlibatannya dalam memberikan pelayanan atas
berbagai hal yang dilakukan, sehingga yang dilayani menjadi tertolong
menghadapi berbagai bentuk kesulitan pelayanan. Bentuk-bentuk
pelayanan ini menjadi suatu yang banyak dikembangkan oleh para
pengembang organisasi, khususnya bagi pengembang pelayanan modern,
yang bertujuan memberikan kualitas layanan yang sesuai dengan dimensi
empati atas berbagai bentuk-bentuk permasalahan pelayanan yang
dihadapi oleh yang membutuhkan pelayanan, sehingga dengan dimensi
empati ini, seorang pegawai menunjukkan kualitas layanan sesuai dengan
prestasi kerja yang ditunjukkan.
5. Keandalan (Reliability)
Setiap pelayanan memerlukan bentuk pelayanan yang andal, artinya dalam
memberikan pelayanan, setiap pegawai diharapkan memiliki kemampuan dalam
pengetahuan, keahlian, kemandirian, penguasaan, dan profesionalisme keria
vang tinggi, sehingga aktivitas kerja yang dikerjakan menghasilkan bentuk
pelayanan yang memuaskan, tanpa ada keluhan dan kesan yang berlebihan atas
pelayanan yang diterima oleh masyarakat (Parasuraman, 2001:48).
Tuntutan keandal an pegawai dalam memberikan pelayanan yang cepat,
tepat, mudah dan lancar menjadi syarat penilaian bagi orang yang dilayani dalam
memperlihatkan aktualisasi kerja pegawai dalam memahami lingkup dan uraian
kerja yang menjadi perhatian dan fokus dari seuap pegawai dalam memberikan
pelayanannya.
Inti pelayanan keandalan adalah setiap pegawai memiliki kemampuan
yang andal, mengetahui mengenai seluk-beluk prosedur kerja, mekanisme
keriva, memperbaiki berbagai kekurangan atau penyimpangan yang tidak sesuai
dengan prosedur kerja serta mampu menunjukkan, mengarahkan, dan
memberikan arahan yang benar kepada setiap bentuk pelayanan yang belum
dimengerti oleh masyarakat. Keandalan memberi dampak positif atas pelayanan
tersebut yaitu pegawai memahami, menguasai, andal, mandiri dan profesional
atas uraian kerja yang ditekuninya (Parasuraman, 2001:101).
Kaitan dimensi pelayanan keandalan (reliability) merupakan suatu yang
sangat penting dalam dinamika kerja suatu organisasi. Keandalan merupakan
bentuk ciri khas atau karakteristik dari pegawai yang memiliki prestasi kerja
tinggi. Keandalan dalam pemberian pelayanan dapat terlihat dari keandalan
memberikan pelayanan sesuai dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki,
keandalan dalam terampil menguasai bidang kerja yang diterapkan, keandalan
dalam penguasaan bidang kerja sesuai pengalaman kerja yang ditunjukkan, dan
keandalan menggunakan teknologi kerja.
Sunyoto (2004:16) keandalan dari suatu individu organisasi dalam
memberikan pelayanan sangat diperlukan untuk menghadapi gerak dinamika
kerja yang terus bergulir menuntut kualitas layanan yang tinggi sesuai keandalan
individu pegawai.
Keandalan dari seorang pegawai yang berprestasi, dapat dilihat dari:
1) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat
pengetahuan terhadap uraian kerjanya.
2) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang terampil sesuai dengan
tingkat keterampilan kerja yang dimilikinya dalam menjalankan aktivitas
pelayanan yang efisien dan efektif.
3) Keandalan dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan pengalaman
kerja yang dimilikinya, sehingga penguasaan tentang uraian kerja dapat
dilakukan secara cepat, tepat, mudah dan berkualitas sesuai
pengalamannya.
4) Keandalan dalam mengaplikasikan penguasaan teknologi untuk
memperoleh pelayanan yang akurat dan memuaskan sesuai hasil output
penggunaan teknologi yang ditunjukkan.
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2000. Pengantar Administrasi Kesehatan. Edisi ke-3. Jakarta: Bina Rupa
Aksara. hlm 287-321.
Gibson. I.L I.M Ivancevich, JH. Donnelly, Ir. 2003. Organisasi, Perilaku, Struktur
Proses, Jakarta: Bina Rupa Aksara. Hlm 119-275
Gordon. 2004. Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Bina Rupa Aksara.
Hlm 119-275
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Hlm 36-54.
Perry dan Potter. 2003. Pocket And Giude Basic Skill and Procedure. 3rd edition.
Missouri Mosby.
Kelompok variabel individu terdiri atas variabel kemampuan dan keterampilan, latar
belakang pribadi dan demografis. Menurut (Gibson, James L., Ivancevich, John M.,
dan Donelly JR, James H., 1997) dalam Ilyas (2002) variabel kemampuan dan
keterampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja
individu.
Kelompok variabel psikologis terdiri atas variabel persepsi, sikap, kepribadian,
belajar, dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial,
pengalaman kerja sebelumnya, dan variabel demografis. Kelompok variabel
organisasi menurut (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donelly JR, James
H., 1997) terdiri atas variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan
desain pekerjaan.
Indikator Kinerja
Ada beberapa pengertian tentang indikator yang disampaikan oleh para pakar yaitu:
(1) indikator adalah pengukuran tidak langsung suatu peristiwa atau kondisi, (2)
indicator adalah variabel yang mengindikasikan atau menunjukkan satu
kecenderungan situasi, yang dapat dipergunakan untuk mengukur perubahan, (3)
indikator adalah variabel untuk mengukur suatu perubahan batk langsung maupun
tidak langsung.
Karakteristik suatu indikator antara lain: (1) benar (valid): artinya indikator
dapat pakai untuk mengukur aspek yang akan dinilai, (2) dapat dipercaya (reliable):
mampu menunjukkan hasil yang sama pada saat yang berulang kali, untuk waktu
sekarang maupun yang akan datang. (3) peka (sensitive): cukup peka untuk mengukur
sehingga jumlahnya tidak perlu banyak, (4) spesifik (specific) memberikan gambaran
prubahan ukuran yang jelas dan tidak tumpang tindih, (5) relevan: sesuai dengan aspek
kegiatan yang akan diukur dan kritikal.
Untuk mengukur tingkat hasil suatu kegiatan digunakan indikator sebagai alat
atau petunjuk untuk mengukur prestasi suatu pelaksanaan kegiatan. Monitoring
dilakukan terhadap indikator kunci guna dapat mengetahui penyimpangan atau
prestasi yang dicapai. Dengan demikian setiap individu akan dapat menilai tingkat
prestasinya sendiri (self assessment).
Team Work
Kelompok kerja adalah kelompok atau dua atau lebih yang berinteraksi dalam berbagi
informasi dan saling bergantung untuk mencapai tujuan. Kinerja kelompok hanya
merupakan jumlah kinerja sumbangan individual dari tiap kelompok (Wahjono, TSI,
2010)
Team work dapat didefinisikan sebagai kumpulan individu yang bekerjasama
untuk mencapai suatu tujuan. Kumpulan individu tersebut memiliki aturan dan
mekanisme kerja yang jelas serta saling tergantung antara satu dengan yang lain. Tim
kerja (team work) menghasilkan sinergi yang positif melalui usaha yang terkoordinasi
(Robbiens, 2002), Team work merupakan sarana yang sangat baik dalam
menggabungkan berbagai talenta dan dapat memberikan solusi inovatif suatu
pendekatan yang lebih baik, selain itu kompetensi anggota tim yang beraneka ragam
juga merupakan nilai tambah yang membuat team work lebih menguntungkan bahkan
jika dibandingkan dengan seorang individu yang sangat ahli. Sebuah team work, ada
dua hal yang perlu diingat yaitu (1) adanya tugas (task), dan masalah yang
berhubungan dengan pelaksanaan pekerjaan, (2) proses yang terjadi di dalam team
work.
Secara umum perkembangan suatu tim dapat dibagi dalam 5 tahap (Robbins, 2002)
1) Tahap pembentukan (forming stage), adalah tahapan di mana para anggota setuju
untuk bergabung dalam suatu tim. Karena kelompok baru dibentuk maka setiap
orang membawa nilai, pendapat, dan cara kerja sendiri. Konflik sangat jarang
terjadi, setiap orang masih sungkan, malu, bahkan ada anggota yang merasa
gugup. Kelompok cenderung belum dapat memilih pemimpin.
2) Tahap timbulnya konflik (storming stage), adalah tahapan di mana kekacauan
mulai timbul di dalam tim. Pemimpin yang telah dipilih sering kali
dipertanyakan kemampuannya dan anggota kelompok tidak ragu untuk
mengganti pemimpin yang dinilai tidak mampu. Pertentangan terjadi karena
masalah pribadi, semua bersikeras dengan pendapat sendiri, komunikasi yang
terjadi sangat sedikit karena setiap orang tidak mau lagi menjadi pendengar dan
sebagian lagi tidak berbicara secara terbuka.
3) Tahap normalisasi (norming stage), adalah tahapan di mana individu yang ada
dalam tim mulai merasakan manfaat bekerja sama dan berjuang agar tim tetap
solid. Oleh karena semangat kerja sama sudah mulai timbul, setiap anggota
mulai merasa bebas untuk mengungkapkan perasaan dan pendapatnya kepada
seluruh anggota tim. Selain itu semua orang mulai mau menjadi pendengar yang
baik. Mekanisme kerja dan aturan main ditetapkan dan ditaati seluruh anggota.
4) Tahap keempat adalah berkinerja (performing stage), tahapan di mana tim sudah
berhasil membangun sistem yang memungkinkan untuk dapat bekerja secara
produktif dan efisien.
5) Tahap pembubaran (adjourning stage), tahap ini untuk kelompok kerja yang
kerjanya tidak permanen, misalnya tim, komisi, atau panita.
Efektivitas
Gambar 4.21 Sebab efektivitas (Gibson, James L., Ivancevich, John M., dan Donelly
JR, James H.,, 1997)
Dalam suatu team work yang terdiri atas berbagai macam individu dari latar belakang
berbeda, dengan keahlian yang berbeda maka diperlukan suatu kerja sama yang baik
dan kompak (solid) agar tujuan organisasi dapat tercapai. Suatu kelompok dikatakan
sebagai team work dan menghasilkan suatu hasil yang optimal (kinerja tim yang
efektif) sangat dipengaruhi oleh peran individu.
Agar kinerja tim efektif, sebuah tim membutuhkan tiga jenis keterampilan yang
berbeda. Tim memerlukan individu dengan keahlian teknis, individu dengan
keterampilan memecahkan masalah dan membuat keputusan, serta individu yang
terampil dalam mendengurkan, memberikan umpan balik, menyelesaikan konfik, dan
mempunyai keteramglan intierpersonal lain yang baik
Tim yang paling efektif bukan tim yang sangat kecil (di bawah 4 atau 5), bukan
pula tim yang sangat besar (lebih dari 12 orang). Tim yang sangat kecil mungkin tidak
mempunyai keragaman pandangan, dan tim yang lebih dari 12 orang akan kesulitan
untuk berbuat banyak
Tim yang terbentuk dari individu fleksibel memiliki anggota yang dapat
melengkapi tugas satu sama lain. Ini jelas merupakan nilai tambah bagi suatu tim,
karena fleksibilitas sangat memperbaiki kemampuan adaptis tim dan membuat tim
tidak tergantung hanya pada satu anggota saja.
Empat faktor yang menyebabkan suatu team work dapat bekerja dengan efektif
meliputi :
1. Penetapan tujuan (goal setting): suatu kelompok kerja akan dapat secara efektif
menghasilkan suatu tujuan apabila memiliki goal setting atau tujuan tim yang
sama;
2. Komitmen: seberapa besar setiap komponen kelompok memiliki komitmen;
3. Peran yang efektif (effective role): setiap anggota kelompok harus memiliki peran
tersendiri dan dituntut untuk sinergis dalam melakukan usaha:
4. Kepemimpinan (leadership): komponen penting suatu kelompok akan menjadi
efektif banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan.
Menurut Kazemak dalamn Stott K., dan Walker A., 1995 dalam Rochmah TN, 2006
menyebutkan kriteria tim yang efektif adalah sebagai berikut.
1. Mempunyai tujuan organisasi yang dapat dimengerti dan disetujui oleh semua
anggota tim.
2. Konflik yang ada harus bersifat membangun.
3. Setiap anggota diharapkan terlibat secara aktif dalam proses kepemimpinan.
4. Kemampuan individu dihargai.
5. Komunikasi bersifat terbuka dan semua anggota tim dapat ikut berpartisipasi
secara aktif
6. Semua anggota tim mendukung kebijakan dan prosedur organisasi.
7. Masalah yang ada diselesaíkan secara baik berdasarkan proses pengambilan
keputusan yang tepat.
8. Adanya dukungan terhadap semua kreatifitas yang sifatnya membangun
9. Melakukan proses evaluasi secara berkala untuk mengetahui kinerja individu
anggota tim dan kinerja tim secara keseluruhan; setiap anggota tim mengerti
akan peranan, tanggung jawab dan batasan wewenang yang diberikan oleh
organisasi. Penilaian semangat kerja melalui kinerja.
Semangat Kerja
Semangat kerja (morale) adalah perasaan seorang individu terhadap pekerjaan dan
organisasinya. Mengukur semangat kerja berarti mengukur sikap atau perilaku yang
cenderung kualitatif berupa indikasi. Misalnya, indikasi turunnya semangat kerja dapat
dilihat dari tolak ukur yang ditampilkan sebagai berikut.
a. Turunnya produktivitas kerja atau kinerja
b. Tingkat absensi yang tinggi
c. Labour turnover yang tinggi
d. Tingkat kerusakan bahan yang tinggi
e. Kegelisahan di setiap unit kerja
f. Pihak karyawan sering menuntut
g. Pemogokan
Ukuran-ukuran
Prestasi kerja
Berdasarkan pendapat di atas, diperlukan adanya suatu ukuran standar yang ditetapkan
terlebih dahulu untuk membandingkan apakah prestasi kerja telah sesuai
dengan keinginan yang diharapkan, sekaligus untuk melihat besarnya penyimpangan
yang terjadi dengan membandingkan antara hasil kerja pekerja ukuran standarnya.
Penilaian prestasi kerja atau kinerja banyak bergantung pada bagaimana
sumber daya manusia dipandang dan diperlakukan di dalam organisasi. Jika organisasi
percaya bahwa orang tidak bekerja kecuali jika mereka diawasi dan dikendalikan
dengan ketat, ia cenderung mempunyai cara penilaian dalam bentuk laporan rahasia.
Dalam program Quality of Work Life penilaian cenderung terbuka dan apa
adanya (fair) untuk menggugah pekerja menggali lebih dalam potensi yang ada pada
dirimya untuk berkembang dan berprestasi lebih baik secara fair. Dengan penilaian
dan pemberian reward & consequencies yang sesuai dengan kenerja diharapkan akan
mendorong pekerja untuk bekerja lebih bersemangat dan bersedia mengeluarkan
segala kreativitas dan inovasi yang dimiliki.
Jika organisasi percaya bahwa setiap individu mempunyai potensi dan kekuatan serta
beranggapan bahwa kemampuan manusia dapat dipertajam dalam suatu iklim yang
sehat, maka dari itu organisasi akan mempunyai sistem penilaian yang berusaha
mengenali, mempertajam, mengembangkan, dan memanfaatkan potensi serta
kemampuan karyawannya.
DAFTAR PUSTAKA
Gibson, James L, John M. Ivancevich, dan James H., Donnely, 1996. Organisasi dan
Manajemen. Jakarta: Erlangga.
Herzberg F, 1977. One more time: how do you Motivate employee? The Manajement
Process, Edisi 2. New York: Macmillan.
Robbins S.P, 2002. Organizational Behavior, 10th ed. Oct 16., Prentice Hall
International Inc., San Diago State University
Siagia, S.P, 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara Jakarta.
Pada tahun 1961 bukunya The Achieving Society, David McClelland mengaraikan
tentang teorinya. Dia mengusulkan bahwa kebutuhan individu diperoleh dari waktu ke
waktu dan dibentuk oleh pengalaman hidup seseorang, Dia menggambarkan tiga jenis
kebutuhan motivasi. Dalam sebuah Teori Motivasi McClelland (Alligood & Tomey,
2006) mengemukakan adanya tiga macam kebutuhan manusia yaitu:
1. Kebutuhan untuk berprestasi (need for achievement). Kebutuhan untuk
berprestasi yang merupakan refleksi dari dorongan akan tanggung jawab untuk
pemecahan masalah. Untuk mengungkap kebutuhan akan prestasi. Ini dapat
diungkap dengan teknik proyeksi. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang
mempunyai Need for Achievement tinggi akan mempunyai kinerja yang lebih
baik daripada orang yang mempunyai Need for Achievement rendah. Dengan
demikian dapat dikemukakan bahwa untuk memprediksi bagaimana kinerja
seseorang dapat dengan jalan mengetahui Need for Achievement (kebutuhan akan
prestasinya),. Teori McClelland ini penting karena ia berpendapat bahwa motif
prestasi dapat diajarkan. Hal ini dapat dicapai dengan belajar. Menurut
McClelland, setiap orang memiliki motif prestasi samnpai batas tertentu. Namun,
ada yang terus menerus lebih berorientasi prestasi daripada yang lain. Kebanyakan
orang akan menempatkan lebih banyak upaya ke dalam pekerjaan mereka jika
mereka ditantang untuk berbuat lebih baik, Ciri orang yang memiliki kebutuhan
prestasi yang tinggi (Siagian, 2002) adalah sebagai berikut:
Berusaha melakukan sesuatu dengan cara-cara baru dan kreatif
Mencari umpan balik tentang perbuatannya.
Memilih risiko yang sedang di dalam perbuatannya.
Mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatannya
Mereka yang memiliki motif yang besar untuk bersahabat sang hubungan
yang harmonis dengan orang lain dan sangat ingin merasa diterima oleh orang
lain. Mereka akan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan system norma dan
nilai dari lingkungan mereka berada. Mereka akan memilih pekerjaan yang
memberikan hasil positif yang signifikan dalam hubungan antar pribadi. Mereka
akan sangat senang menjadi bagian dari suatu kelompok dan sangat
mnegutamakan interaksi social. Ibu yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi akan
selalu berusaha mematuhi norma dan nilai yang ada di lingkungannya untuk
mengimunisasikan anaknya secara lengkap. Oleh karena ingin membangun
interaksi yang baik dengan masyarakat sekitar dan berusaha mencegah konflik
akibat tidak mengikuti yang ada atau program yang ada di masyarakat.
Seseorang dengan motif kekuasaaan dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu:
1. Kekuasaan pribadi (personal power): mereka yang mempunyai motif
kekuasaan pribadi yang tinggi cenderung untuk memerintah secara langsung,
dan bahkan cenderung memaksakan kehendaknya.
2. Kekuasaan institusional (institutional power): mereka yang mempunyai motif
kekuasaan institusional yang tinggi, atau sering disebut motif kekuasaan sosial
(social power motive), cenderung untuk mengorganisasikan usaha dari rekan-
rekannya untuk mencapai tujuan bersama.
Ibu yang memiliki kebutuhan berkuasa yang tinggi akan berusaha melengkapi
status imunisasi anaknya, karena orang tua memiliki pengaruh dan kontrol terhadap
anaknya. Jika orang tua saja melakukan imunisasi secara lengkap maka anak juga
harus mendapatkan imunisasi secara lengkap.
FAKTOR PERSONAL
1. Kepribadian
2. Harapan
3. Demografi
BURNOUT SYNDROME
4. focus control
5. tingkat efisiensi
Maslach Burnout Inventory (MBI)
1. Kelelahan emosional
2. Depersonalisasi/ sinisme
3. Prestasi pribadi
(Maslach 2004)
FAKTOR LINGKUNGAN
1. Beban kerja
2. Penghargaan
3. control
4. kepemimpinan
5. keadilan
6. nilai
Diukur
--------- Tidal diukur
Selama dekade terakhir, beberapa istilah telah diusulkan dalam upaya untuk
menjelaskan burnout syndrome, dan definisi yang paling dapat diterima adalah yang
ditulis oleh Maslach, di mana burnout syndrome ditandai dengan tiga dimensi yaitu
kelelahan emosional, depersonalisasi, dan menurunnya prestasi diri (Pouncet, 2007).
Dampak yang paling terlihat dari kelelahan adalah menurunnya kinerja dan kualitas
pelayanan Individu yang mengalami burnout syndrome akan kehilangan makna dari
pekerjaan yang dikerjakannya karena respons yang berkepanjangan dari kelelahan
emosional, fisik, dan mental yang mereka alami. Akibatnya, mereka tidak dapat
memenuhi tuntutan pekerjaan dan akhirnya memutuskan untuk tidak hadir,
menggunakan banyak cuti sakit atau bahkan meninggalkan pekerjaannya (Felton,
1998; Maslach, 2001; Poncet, 2008).
Burnout syndrome lebih sering terjadi pada kategori profesi tertentu yang
menuntut interaksi dengan orang lain seperti guru, profesi di bidang kesehatan, pekerja
sosial, polisi. dan hakim. Selain bekerja dengan masyarakat, individu yang bekerja
dalam lingkungan lain yang melibatkan tanggung jawab berbahaya, presisi pada
kinerja tugas, konsekuensi berat, sif kerja atau tugas dan tanggung jawab yang tidak
disukai, berada pada risiko yang berbeda untuk berkembangnya kelelahan (Felton,
1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).
Penelitian telah menunjukan bahwa perawat yang bekerja di rumah sakit
berada pada risiko tertinggi kelelahan. Beberapa alasan menjadi poin utama dalam
perkembangan sindrom ini, seperti tuntutan pasien, kemungkinan bahaya dalam
asuhan keperawatan. beban kerja yang berat atau tekanan saat harus memberikan
banyak perawatan bagi banyak pasien saat sif kerja, kurangnya rasa hormat dari pasien,
ketidaksukaan dan dominasi dokter dalam sistem pelayanan kesehatan, kurangnya
kejelasan peran, serta dukungan dari lingkungan kerja. Faktor lain yang sangat terkait
dengan pengembangan burnout syndrome adalah jenis kepribadian yang
mencerminkan kapasitas individu untuk tetap bertahan pada pekerjaannya (Felton,
1998; Poncet, 2008; Bakker, 2000).
Burnout syndrome telah dinyatakan menjadi bahaya profesi yang sangat erat
hubungannya dengan individu dan institusi tempat bekerja (Fraudenberg, 1974).
Burnout syndrome didefinisikan sebagai jumlah energi psikologis dan fisik, bertambah
atau berkurangnya kelelahan bergantung pada beberapa faktor stress pribadi dan juga
stress organisasi (Maslach, 2003). Dari dua kalimat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
burnout syndrome merupakan sebuah hal yang negatif dari interaksi antara orang lain
dan lingkungan kerjanya.
Kelelahan emosional dinanggap sebagai elemen inti dari kelelahan yang
mengakibatkan depersonalisasi terhadap pekerjaan dan juga pada rekan
kerja.Depersonalisasi yang dialami oleh seseorang dapat memengaruhi kualitas
pelayanan yang diberikan pada pasien, sehingga bisa menurunkan prestasi diri (Leiter,
Harvie &Frizzel, 1998; Leiter & Maslach, 2004).
Etiologi
Penyebab terjadinya kelelahan dapat diklasifikasikan menjadi faktor personal dan atau
faktor lingkungan. Faktor personal diantaranya kepribadian, harapan, demografi,
control fokus dan tingkat efisiensi. Faktor lingkungan yang berperan di antaranya
adalah beban kerja, penghargaan, kontrol, kepemilikan, keadilan, dan nilai (Cavus,
2010).
Terlepas dari beberapa faktor tersebut di atas, ada beberapa faktor yang
dianggap mempunyai hubungan yang signifikan yaitu status perkawinan, lamanya
pekerjaan, dukungan sosial, struktur keluarga, tanggung jawab, kejelasan stabilitas
emosional, dan kelelahan.
Dimensi
Sudah dijelaskan di atas, bahwa burnout syndrome tidak hanya terkait dengan factor
tunggal, melainkan muncul sebagai hasil dari interaksi antara beberapa faktor yang
ada. Burnout syndrome pada seseorang muncul sebagai akibat dari kelelahan
emosional yang meningkat, depersonalisasi dan penurunan prestasi diri (Pouncet,
2007).
1. Kelelahan emosional
Kelelahan emosional merupakan sisi yang mengekspresikan kelelahan fisik dan
emosional yang dialami sebagai dasar dan dimulainya burnout syndrome.
Kelelahan emosional, sebagian besar berhubungan dengan stress pekerjaan
(Akcamete, Kaner & Sucuoglu, 2001; Yildmm, 1996). Hasil dari kelelahan
emosional yang dialami oleh seseorang, orang tersebut tidak responsif terhadap
orang-orang yang mereka layani, dan juga merasa bahwa pekerjaannya sebagai
penyiksaan karena ia berpikir bahwa dirinya sendiri tidak mampu menanggung
hari-hari berikutnya dan selalu merasa tegang (Leiter & Maslach, 1988; Ergin,
1995; Maslach, Schaufeli & Leiter, 2001; Cimen & Ergin, 2001)
2. Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan sikap yang menunjukan perilaku keras/kasar,
perilaku negatif dan acuh tak acuh terhadap orang lain. Hal ini terkait dengan
kenyataan bahwa beberapa orang menunjukan perilaku seperti kehilangan tujuan
bekerja dan kehilangan antusiasme sebagai akibat dari semakin menjauh dari
dirinya sendiri dan pekerjaannya, menjadi acuh tak acuh terhadap orang yang
dilayani, menunjukan reaksi negatif dan bermusuhan.
Burnout syndrome adalah situasi yang sangat sulit dihindari. Namun, tingkat
keparahan burnout syndrome dapat dikurangi dengan aplikasi pribadi maupun
perubahan aplikasi pada organisasi tempat melaksanakan tugas. Pada tingkat
organisasi dilakukan dengan pernyataan tugas yang jelas, partisipasi pemula untuk
program orientasi dan on the job training, perencanaan personal yang efisien dalam
hubungannya dengan departemen, pertemuan tim regular dengan saran dan kritik,
akses ke dukungan sosial dan lingkungan partisipatif dapat membantu dalam
mencegah burnout syndrome (Kacmaz 2005; Schulz, Greenley & Brown, 1995; Lundy
& Muda, 1994, Poulin & Wlter, 1993). Pada tingkat pribadi dengan cara mendorong
karyawan untuk mengambil tujuan yang lebih realistis, sehingga membantu mereka
untuk menurunkan ekspektasi diri agar dapat membantu dalam menurunkan burnout
syndrome.
Burnout syndrome adalah respons terhadap adanya stresor (misalnya beban
kerja) yang ditempatkan pada karyawan. Hal ini dibedakan menjadi bentuk lain dari
stres karena merupakan satu set respons ke tingkat tinggi tuntutan pekerjaan yang
kronis, meliputi kewajiban pribadi dan tanggung jawab yang sangat penting. Oleh
karena karakteristik dari profesi kesehatan seperti kecenderungan untuk fokus pada
masalah, kurangnya umpan balik positif, tingkat stres emosional, dan kemungkinan
merasakan perubahan sikap terhadap beberapa orang tempat bekerja, profesi kesehatan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami burnout syndrome (Maslach & Jackson,
1982). Tiga dimensi Maslach yang didefinisikan dari burnout syndrome sering
digunakan untuk tujuan penelitian.
1. Kelelahan emosional: ditandai dengan kelelahan dan perasaan bahwa sumber daya
emosional telah habis digunakan.
2. Depersonalisasi: ditandai bahwa intervensi kepada klien yang dirasa hanya
sebagai objek saja, bukan sebagai orang yang harus benar-benar diperhatikan.
Adanya sinisme terhadap rekan kerja, klien bahkan dengan organisasi tempat
bekerja.
3. Penurunan prestasi diri: ditandai dengan kecenderungan untuk mengevaluasi diri
sendiri secara negatif. Mencakup pengalaman penurunan kompetensi kerja dan
prestasi dalam pekerjaan/interaksi dengan orang/kurangnya kemajuan.
MBI (Maslach Burnout Inventory) merupakan instrument yang terdiri atas 22 item
yang digunakan untuk mengukur frekuensi dari tiga aspek burnout syndrome,
kelelahan emosional, depersonalisasi dan yang terakhir adalah penurunan prestasi diri.
Burnout syndrome tercermin pada skor yang lebih tinggi pada kelelahan emosional
dan subscale depersonalisasi dan skor rendah pada prestasi subscale pribadi.
Dari perumusan kepribadian di atas disimpulkan bahwa kepribadian berubah,
berkembang terus sesuai dengan cara penyesuaian terhadap lingkungan sehingga dapat
dikatakan bahwa kepribadian merupakan suatu hasil dari fungsi keturunan dan
lingkungan. Setiap perubahan yang terjadi pada lingkungan juga akan diikuti dengan
berubahnya kepribadian.
Dalam usaha mengerti seseorang, mengerti kepribadiannya perlu kita
mengikuti lingkungan manakah yang berperan pada proses perkembangan dan masa
hidupnya. Pertama kalinya dipakai oleh Achille Guillard dalam karangannya berjudul
"Elements de Statistique Humaine on Demographic Compares" pada tahun 1885.
DAFTAR PUSTAKA
Gambar 4.24 Kerangka konseptual motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi
dasar pada anak berbasis integrasi model Lawrence Green dan
McClelleand (Eka Irawati, 2012)
Menurut Teori Lawrence Green, ada tiga faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan
seseorang. Perilaku seorang ibu dalam memberikan imunisasi pada anaknya
berdasarkan pendekatan Teori Lawrence green dipengaruhi oleh 3 faktor, antara lain:
factor predisposisi (predisposing factors) yaitu: sikap, keyakinan, pengetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma. Sementara faktor pendukung (enabling factors) yaitu:
adanya sarana kesehatan, terjangkaunya sarana kesehatan, peraturan kesehatan, dan
keterampilan terkait kesehatan. Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu: keluarga,
guru, sebaya, petugas kesehatan, tokoh masyarakat, dan pengambil keputusan. Faktor
predisposisi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap motivasi ibu
melengkapi status imunisasi dasar pada anak. Banyak ibu yang tidak bersedia untuk
mengimunisasikan anaknya dengan alasan yang sangat sederhana yaitu ibu-ibu sibuk
dengan urusan rumah tangga dan ketakutan ibu akan efek samping dari pemberian
imunisasi yang disertai pengetahuan ibu yang rendah tentang imunisasi (Ayubi, D,
2009). Imunisasi yang diberikan pada anak mencakup 5 imunisasi dasar yang harus
diberikan, yaitu: imunisasi BCG, DPT, campak, polio, dan hepatitis. Tujuan dari
imunisasi dasar adalah tercapainya kekebalan penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi (PD3I) pada masyarakat (Depkes RI, 2005). Berdasarkan pendekatan
integrasi model Lawrance Green dan McClelleand diperoleh suatu kesimpulan
mengenai motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak. Ini dapat
dilihat dari angka cakupan imunisasi dasar. Jika angka cakupan imunisasi dasar pada
anak tinggi berarti motivasi ibu baik. Tapi jika angka cakupan imunisasi dasar pada
anak rendah berarti motivasi ibu buruk dalam melengkapi status imunisasi dasar pada
anak.
Hipotesis:
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: pengetahuan terhadap motivasi ibu
dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak.
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: kepercayaan terhadap motivasi ibu
dalam melengkapi status imunisasi dasar pada anak.
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: sikap terhadap motivasi ibu dalam
melengkapi status imunisasi dasar pada anak
H1 : Ada pengaruh faktor predisposisi: nilai dan norma (kebudayaan)
terhadap motivasi ibu dalam melengkapi status imunisasi dasar pada
anak
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, M.R. & Tomey, A. M. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 6h ed.
Missouri Mosby
Ayubi, D., (2009), Kontribusi Pengetahuan Ibu Terhadap Status Imunisasi Anak di
Tujuh Provinsi di Indonesia. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan
Eka Irawati. 2012. Burnout syndrome pada mahasiswa profesi berdasarkan analisis
factor person dan faktor lingkungan dari teori maslach. Skripisi. FKp. Unair
Siagia, S.P. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Gambar bagan
Gambar 4.25 Stres, appraisal and coping strategy in transactional theory (Lazarus &
Folkman, 1984)
Setiap individu pasti akan mengalami stimulus atau peristiwa dalam hidupnya. Setiap
bagi individu. Stimulus ini kemudian disebut sebagai antecedents of stresor. Lazarus
& Folkman (1984) mengklasifikasikan stresor ke dalam dua domain yakni personal
stresor (komitmen dan kepercayaan) dan environmental stresor (setiap aspek di luar
personal yang dapat menjadi ancaman bagi kondisi personal seseorang). Dalam
penilaian awal (primary appraisal), individu akan menentukan makna dari peristiwa
yang dialaminya. Primary appraisal merupakan proses penentuan makna dari suatu
peristiwa yang dialami oleh individu, apakah peristiwa tersebut dipersepsikan positif,
netral ataukah negatif oleh individu. Peristiwa yang dinilai negatif kemudian dicari
kemungkinan adanya persepsi bahaya (harm), ancaman (threat), atau tantangan
(challenge). Harm adalah penilaian mengenai bahaya yang didapat dari peristiwa yang
terjadi. Threat adalah penilaian mengenai kemungkinan buruk atau ancaman yang
didapat dari peritiwa yang terjadi. Challenge adalah tantangan akan kesanggupan
untuk mengatasi dan mendapatkan keuntungan dari peristiwa yang terjadi. Pentingnya
primary appraisal digambarkan dalam sebuah studi klasik mengenai stres oleh
Lazarus. Primary appraisal memiliki tiga komponen yakni:
1) Goal relevance: yakni penilaian yang mengacu kepada tujuan yang dimiliki
seseorang. yakni bagaimana hubungan peristiwa yang terjadi dengan tujuan
personalnya.
2) Goal congruence or incongruence. Yakni penilaian yang mengacu pada apakah
hubungan antara peristiwa di lingkungan dan individu tersebut konsisten dengan
keinginan individu atau tidak, apakah hal tersebut menghalangi atau
memfasilitasi tujuan personalnya. Jika hal tersebut menghalanginya maka
disebut Goal Incongruence. Apabila hal tersebut memfasilitasinya disebut Goal
Congruence.
3) Type of ego involvement: yakni penilaian yang mengacu kepada berbagai
macam aspek dari identitas ego atau komitmn seseorang.
Jika individu merasa adanya ancaman dari suatu peristiwa tersebut tetapi situasi
tersebut tidak dirasa merugikan, maka akan berlanjut ke penilaian kedua (secondary
appraisal) yang merupakan penilaian kemampuan individu dalam melakukan koping
Individu yang merasakan adanya ancaman dalam penilaian kedua, tergantung
bagaimana individu tersebut melakukan koping. Secondary appraisal memiliki tiga
komponen:
1) Blame and credit: yakni penilaian siapa yang bertanggung jawab atas situasi
yang menekan yang terjadi atas diri individu.
2) Coping potential: yakni penilaian mengenai bagaimana individu dapat mengatasi
situasi menekan atau mengaktualisasi komitmen pribadinya.
3) Future expectancy: penilaian mengenai apakah untuk alasan tertentu individu
mungkin berubah secara psikologis untuk menjadi lebih baik ataukah lebih
buruk.
Lazarus, RS. 1996. Psychological Stres and the Coping Process. New York: McGraw
Hill.
Lazarus, RS Folkman, S. 1984. Stres, Appraisal and Coping. New York: Springer.
Lazarus & Taylor. 1991. Emotion and Adaptation. London: Oxford University Press.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. 1987. "Transactional theory and research on emotions
and coping." European Journal of Personality.Vol.1. Hlm. 141-170.
Pencapaian Peran Ibu: Mercer's Original Model Maternal Role Attainment yang
dikemukakan oleh Mercer merupakan sekumpulan siklus mikrosistem, mesosistem,
dan makrosistem. Model ini dikembangkan oleh Mercer sejalan pengertian yang
dikemukakan Bronfenbrenners, yaitu:
1. Mikrosistem adalah lingkungan segera di mana peran pencapaian ibu terjadi.
Komponen mikrosistem ini antara lain fungsi keluarga, hubungan ibu-ayah,
dukungan sosial, status ekonomi, kepercayaan keluarga, dan stress bayi baru
lahir yang dipandang sebagai individu yang melekat dalam sistem keluarga.
Keluarga dipandang sebagai sistem semi tertutup yang memelihara batasan dan
pengawasan yang lebih antarperubahan dengan sistem keluarga dan sistem
lainnya. Gambar 2.1 Mikrosistem dalam model pencapaian peran ibu (Aligood
& Tomey, 2006).
2. Mesosistem meliputi, memengaruhi dan berinteraksi dengan individu di
mikrosistem. Mesosistem mencakup perawatan sehari-hari, sekolah, tempat
kerja, tempat ibadah, dan lingkungan yang umum berada dalam masyarakat.
3. Makrosistem adalah budaya pada lingkungan individu. Makrosistem terdiri atas
sosial, politik. Lingkungan pelayanan kesehatan dan kebijakan sistem kesehatan
yang berdampak pada pencapaian peran ibu.
Maternal Role Attainment adalah proses yang mengikuti empat tahap penguasaan
peran, yaitu sebagai berikut.
1. Antisipatori: tahapan antisipatori dimulai selama kehamilan mencakup data
sosial. psikologi, penyesuaian selama hamil, harapan ibu terhadap peran, belajar
untuk berperan, hubungan dengan janin dalam uterus, dan mulai memainkan
peran.
2. Formal: tahapan ini dimuai dari kelahiran bayi yang mencakup proses
pembelajaran dan pengambilan peran menjadi ibu. Peran perilaku menjadi
petunjuk formal, harapan konsesual yang lain dalam sistem sosial ibu.
3. Informal merupakan tahap dimulainya perkembangan ibu dengan jalan atau cara
khusus yang berhubungan dengan peran yang tidak terbawa dari sistem sosial.
Wanita membuat peran barunya dalam keberadaan kehidupannya yang
berdasarkan pengalaman masa lalu dan tujuan ke depan
4. Personal atau identitas peran yang terjadi adalah internalisasi wanita terhadap
perannya. Pengalaman wanita yang dirasakan harmonis, percaya diri,
kemampuan dalam menampilkan perannya dan pencapaian peran ibu.
Gambar bagan
Dalam model ini dijelaskan variabel lingkungan keluarga dan teman meliputi
dukungan sosial, nilai dari keluarga, budaya, fungsi keluarga dan stresor. Lingkungan
komunitas meliputi perawatan sehari-hari, tempat kerja, sekolah, rumah sakit, fasilitas
rekreasi dan pusat kebudayaan. ILingkungan yang lebih besar dipengaruhi oleh hokum
yang berhubungan dengan perempuan dan anak-anak, termasuk ilmu tentang bayi baru
lahir, kesehatan reproduksi, budaya terapan dan program perawatan kesehatan
nasional. Perawat berperan besar membantu bayi lahir menjalani masa transisi dengan
aman dan membantu ibu dan orang terdekat untuk menjalani masa transisi menjadi
orang tua (Boback, 1995).
DAFTAR PUSTAKA
Alligood, MR, & Tomey, AM. 2006. Nursing Theorists and Their Work. 7th Ed.
Missouri Mosby. Hlm. 605-619.
MODEL STRUCTURE OF CARING (SWANSON, 1993)
Gambar bagan
Gambar 4.28 Model structure of caring (Swanson, 1993)
DAFTAR PUSTAKA
Polit DF & Back, CT. (2012). Nursing Research. Generating and Assessing Evidence
for Nursing Practice. 9th Ed. Philadelphia: JB. Lippincott.
Voelker, D. H, & Orton, P. Z, & Adams, S. (2011). Cliff Quick Statistics Quick Review
2nd ed. New York: Wiley Publications, Inc.