Anda di halaman 1dari 12

3

BAB II
TUJUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Umum

Jalan raya merupakan satu diantara sektor transportasi darat yang


merupakan urat nadi perhubungan baik di kota maupun di desa/daerah, sehingga
berbagai kegiatan manusia dapat berlangsung dengan lancar, mudah dan nyaman.
Dalam perancangan struktur jalan ada dua metoda utama pada pendekatan metoda
perancangan, yaitu:

a) Pendekatan metoda desain yang didasarkan pada beban kendaraan rencana,


yang akan menyebabkan tingkat kerusakan, yang dibatasi pada tingkat
kerusakan yang diijinkan. Indonesia memilih metoda ini untuk perancangan
perkerasan lentur.
b) Pendekatan metoda desain yang didasarkan pada jumlah repetisi kendaraan
standar, yang juga dibatasi sampai tingkat kerusakan yang diijinkan.
Indonesia memilih metoda pendekatan ini, dalam merancang perkerasan
kaku. Tebal lapis perkerasan tergantung pada besar beban lalu lintas yang
diterima jalan tersebut, karena itu dibutuhkan perhitungan tebal lapis
perkerasan yang cermat dan didukung dengan pelaksanaan yang baik pula.
Perencanaan tebal perkerasan merupakan dasar dalam menentukan tingkat
pelayanan sebuah jalan, baik perkerasan dengan menggunakan bahan
pengikat semen maupun bahan pengikat aspal.

2.2 Sejarah Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan dimulai bersamaan dengan sejarah manusia sendiri yang


berusaha mencari kebutuhan hidup dan berkomunikasi dengan sesama. Pada
awalnya jalan hanyalah berupa jejak manusia yang mencari kebutuhan hidup
ataupun sumber air.Setelah manusia mulai hidup berkelompok, jejak-jejak itu
berubah menjadi jalan setapak. Dengan mulai dipergunakannya hewan-hewan
4

sebagai alat transportasi, jalan mulai dibuat rata. Jalan yang diperkeras
pertamakali ditemukan di Mesopotamia berkaitan dengan ditemukannya roda
sekitar 3500 tahun sebelum masehi.

Konstruksi perkerasan jalan berkembang pesat pada zaman keemasan


Romawi. Pada saat itulah telah dimulai pembangunan jalan yang terdiri dari
beberapa jenis lapisan perkerasan. Perkembangan kontruksi perkerasan jalan
seakan terhenti dengan mundurnya kekuasaan Romawi sampai awal abad ke-18
dan saat itu beberapa ahli dari Prancis. Skotlandia menemukan sistem konstruksi
perkerasan jalan yang sebagian sampai saat ini masih umum digunakan di
Indonesia maupun di negara-negara lain di dunia.

John Louden Mac Adam (1756-1836), orang Skotlandia memperkenalkan


konstruksi perkerasan yang terdiri dari batu pecah atau batu kali, dengan pori-
pori atasnya ditutup dengan batu yang lebih halus dan jenis ini dinamakan
Perkerasan Macadam. Untuk lapisan kedap air, maka di atas lapisan macadam
diberi lapisan aus yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan ditaburi
pasir kasar.

Pierre Marie Jerome Tresagurt (1716-1796) dari Prancis mengembangkan


sistem lapisan batu pecah yang dilengkapi dengan drainase, kemiringan melintang
serta mulai menggunakan pondasi dengan batu.

Thomas Telford (1757-1834) dari Skotlandia membangun jalan mirip


dengan yang telah dilaksanakan Tresaguet. Konstruksi perkerasannya terdiri dari
batu pecah berukuran 15/20 sampai 25/30 yang disusun tegak. Batu-batu kecil
diletakkan di atasnya untuk menutup pori-pori yang ada dan memberikan
permukaan yang rata. Dan sistem ini terkenal dengan sistem Telford. Pada
umumnya jalan-jalan di Indonesia yang ada dibuat pada jaman dulu sebagian
besar merupakan sistem jalan Telford, walaupun di atasnya telah dibuat lapisan
aus dengan pengikat aspal.
5

2.3 Perkerasan Jalan

Konstruksi perkerasan adalah konstruksi yang terletak antara tanah dan roda
kendaraan yang berfungsi untuk menggurangi tegangan pada tanah dasar
(subgrade) sampai batas yang diijinkan. Fungsi perkerasan adalah :

1. Untuk memikul beban lalu lintas secara aman dan nyaman dan selama umur
rencana tidak terjadi kerusakan yang berarti
2. Sebagai pelindung tanah dasar terhadap erosi akibat air
3. Sebagai pelapis perantara untuk menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar.

Tujuan digunakan lapis perkerasan pada pembuatan suatu jalan adalah


karena kondisi tanah dasar yang kurang baik sehingga tidak mampu secara
langsung menahan beban roda yang ditimbulkan oleh berat kendaraan diatasnya.
Konstruksi perkerasan terdiri dari lapisan-lapisan yang diletakkan di atas tanah
dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi sebagai penerima
beban lalu lintas dan menyebarkannya ke lapisan bawahnya

2.3.1 Jenis Konstruksi Perkerasan Jalan

Berdasarkan bahan pengikatnya konstruksi perkerasan jalan dapat


dibedakan atas :

a. Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement ), yaitu perkerasan yang


menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke
tanah dasar
6

Lapisan permukaan

Lapisan pondasi atas

Lapisan pondasi bawah

Tanah dasar

Gambar 2.3.1. Susunan lapis perkerasan lentur

b. Konstruksi perkerasan kaku (rigid pavement )

yaitu perkerasan yang menggunakan semen (portland cement ) sebagai


bahan pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas
tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas di pikul
oleh pelat beton

Lapisan pelat beton

Tulangan

Lapisan pondasi bawah

Tanah dasar

Gambar 2.3.1 Susunan lapis perkerasan kaku


7

c. Konstruksi perkerasan komposit (composite pavement ),

yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur


dapat berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku
diatas perkerasan lentur.

2.2.1
2.2.2
2.4 Kekuatan Agregat Terhadap Tumbukan

Pengujian kekuatan agregat terhadap tumbukan adalah proses dasar pada


pembuatan agregat dimana seberapa besar kehancuran agregat setelah tumbukan (Agregat
Impact Value). Biasanya beban tumbukan ini dikombinasikan dengan beban tekanan
(Crushing) baik arah lateral maupun axial. Di lapangan beban tumbukan didapat
dariproses pemadatan jalan dan beban tumbukan dari beban lalu lintas. Dengan demikian
pengujian kekuatan agregat terhadap tumbukan sangat penting dilakukan sebagai bahan
analisa perencanaan tebal perkerasan .

Nilai agregat impact value (AIV) adalah persentase perbandingan antara agregat
yang hancur dengan jumlah sampel yang ada. Agregat yang hancur dinyatakan dengan
jumlah agregat yang lolos saringan 2,36 mm. menurut british standart agregat
yang  mempunyai nilai AIV 30 % dikatakan tidak normal dan nilai AIV yang besar dari
ini menunjukkan jumlah agregat yang hancur cukup banyak, berarti sampel yang diuji
memiliki kekuatan yang rendah.

Umumnya batuan beku Igneourus Rock memiliki kekuatan cukup besar


dibanding jenis lainnya. Beberapa nilai AIV hasil pengujian yang dilakukan oleh Ramsay
di Skotlandia (Collat :1985) pada table 2.4.a

No Jenis Batuan Nilai AIV Variasi

1 Basalt 11 10 – 13

2 Andesite 13 11 – 16

3 Daesite 12
8

4 Porphyry 13 12 – 14

4 Felsite 13 12 – 15

5 Dolarite 13 10 – 17

6 Tesehenite 22

7 Granite 19 17 – 21

8 Limestone 17 15 – 20

9 Grey Woeke 9

10 Marble 19 16 – 21

11 Pasalmatic 14 14 - 15

Pengembangan uji terhadap tumbukan untuk variasi diameter agregat lain adalah
pada tabel 2.4.b

Tertahan Saringan
No Lolos Saringan (mm)
Saringan (mm) Pemisah (mm)

1 14,0 10,0 2,36

2 20,0 20,0 5,0

3 10,0 14,0 3,35

4 6,3 1,4

5 5,0 4,18

6 3,35

7 3,36

Rumus yang digunakan untuk menghitung kekuatan agregat terhadap tumbukan adalah :

AIV =  AB x 100% ................. ( 2.4.a )

Dimana :       A = berat awal benda uji (gr)


9

                      B = Berat benda uji lolos  saringan 2,36 mm (gr)

2.5 Titik Lembek Aspal (Softening Point with Ring and Ball Test)

Aspal adalah material termoplastis yang secara bertahap mencair sesuai dengan
pertambahan suhu dan berlaku sebaliknya pada pengurangan suhu. Namun perilaku
material aspal tersebut terhadap suhu atau prinsipnya membentuk suatu spektrum /
beragam. Tergantung dari komposisi unsur-unsur penyusunannya.

Percobaan ini di lakukan karena pelembekan bahan asapal dan ter, tidak terjado
secara lansung dan tiba tiba pada suhu tertentu, tetapi bahan gradual seiring penambahan
suhu.oleh sebab itu setiap prosedur yang di pergunakan diadopsi untuk menentukan titik
lembek aspal dan ter, hendaknya mengikuti sifat dasar tersebut artinya penambahan suhu
pada percobaan hendaknya berlansung secara gradual dalam jenjang yang halus.

Dalam percobaan ini titik lembek ditujukan dengan suhu pada bola baja edngan
berat tertentu mendesak  turun suatu lapisan aspal atau ter yang tertahan dalam cincin
dengan ukuran tertentu sehingga plat tersebut menyentuh plat dasar yang terletak pada
tinggi tertentu sebagai kecepatan pemanasan.

Titik lembek menjadi suatu batasan dalam penggolongan aspal dan ter. Titik
lembek haruslah diperhatikan dalam membangun kontruksi jalan. Titik lembek
hendaknya lebih tinggi dari suhu permukaaan jalan . titik lembek aspal dan ter adalah 30 °
C - 200° C  yang artinya masih ada nilai titik lembek yang hamper sama dengan suhu
permukaan jalan. Pada umumnya cara ini diatasi dengan menguakkan filler terhadap
campuran aspal.

Metoda ring and ball pada umumnya di terapkan pada aspal dan ter ini. Dapat
mengukur titik lembek bahan semi solit sampain solit. Titik lembek  adalah  besar besar
suhu dimana aspal mencapai derajat kelembekan (mulai leleh) dibawah  kondisi spsic tes,
berdasarkan tesau sparatus yang ada bahwa pengujian titik lembek di pengaruhi banyak
faktor.Spesifikasi bina marga tentang titik lembek untuk aspal keras pen 40 (Ringg and
ball) adalah 51°C (minimum) dan 63 °C (maksimum), sedangkan pen 60 adalah min
48°C  dan max 58°C
10

Titik lembek adalah besarnya suhu dimana aspal mencapai derajat kelembekan
(mulai meleleh) dibawah kondisi spesifikasi dari es :

1. Berat bola isi


2. Jarak antara ring dan doser plat besi
3. Besarnya suhu pemanas

Menurut SK SNI 06 – 2434 – 1991, titik lembek aspal dan ter berkisar antara 46º
- 54ºc. Dalam pengujian titik lembek ini diharapkan titik lembek hendaknya lebioh tinggi
dari suhu permikaan jalan sehingga tidak terjadi pelelehan aspal akibat temperatur
permukaan jalan, untuk itu dilakukan usaha untuk mempertinggi titik lembek antara lain
dengan menggunakan filler terhadap campuarn beraspal.

Faktor – faktor yang mempengaruhi pengujian titik lembek antara lain adalah :

1. Kualitas dan jenis cairan penghantar.


2.  Berat bola besi.
3. Jarak antara Ring dengan aspal plat besi.
4. Besarnya suhu pemanasan.
Aplikasi dari nilai titik lembek antara lain dapat digunakan sebagai :

1. Bersama – sama dengan nilai Penetrasi digunakan untuk menentukan PI (Penetration


Index) yang merupakan tingkat kepekatan aspal terhadap temperatur.
2. Menentukan modulus bahan aspal dengan menggunakan nomogram Van Der Poel.
3.  Menentukan sifat kelelahan dari lapisan aspal dan agregat.

2.6 Penetrasi Aspal (Penetration of Bituminous)

Aspal addalah material termoplastis yang mencair apabila di panaskan dan akan
membeku/mengental apabila didinginkan, namun demikian prinsip material tersebut
terhadap suhu prinsipnya membentuk sautu sprektum/beragam tergantung komposisi
unsur unsur penyusunnya.

Dari sudut pandang rekayasa, ragam dari komposisi unsur aspal biasanya tidak
ditnjau lebih lanjut, untuk menggambarkan karakteristik ragam respon aspal tersebut
diperkenalkan beberapa parameter, salah satunya adalah Pen (penetrasi). Nilai ini
menggambarkan kekerasan asapl pada suhu standar  yaitu 25° C , yang diambila dari
11

pengukur kedalaman  penetrasi jarum standar (5 gr/100 gr) dalam rentang waktu standar
(5 detik)

BRITISH standar membagi nialai penetrasi tersebut menjadi 10 macam , dengan


rentang nialai penetrasi 15 s/d 40 , Sedangkan AASTHO  mendefinisikan nilai pen  40 –
50 sebagai nialai pen untuk material sebagai bahan bitumen terlembek/terlunak.

Penetrasi sangat sensitive terhadap suhu, pengukuran di atas suhu kamar


menghasilkan nilai yang berbeda variasi suhu terhadap nilai penetrasi dapat disusun
sedemikian rupa hingga dihasilakan nila grafik antara suhu dan penetrasi. Penetrasi index
dapat ditentukan dari grafik tersebut.

Nilai penetrasi dinyatakan sebagai rata rata sekurang kurangnya dari 3 pembacaan
Berdasarkan SNI 06 – 2456 – 1991 nilai penetrasi dinyatakan sebagai rata-rata sekurang-
kurangnya dari tiga pembacaan dengan ketentuan bahwa hasil pembacaan tidak
melampaui ketentuan dibawah ini :

Tabel 2.6 nilai toleransi penetrasi

No Hasil penetrasi 0 -49 50 -149 150 -179 200

1 Nilai toleransi 2 4 6 8

Nilai penetrasi diukur dinyatakan dalam nilai yang merupakan kelipatan 0,1
mm    nilai penetrasi menentukan kekerasan aspal maikin tinggi nilai penetrasi makin
lunak aspal tersebut begitu sebaliknya.

Pembagian kekerasan dan kekenyalan aspal


1. Aspal pen 40/50       : Bila jarum penetrasi benda pada range (40 – 59)
2. Aspal pen 60/70       : Bila jarum penetrasi benda pada range (60 – 79)
3. Aspal pen 85/100     : Bila jarum penetrasi benda pada range (85 – 100)
4. Aspal pen 120/150   : Bila jarum penetrasi benda pada range (120 – 150)
5. Aspal pen 200/300   : Bila jarum penetrasi benda pada range (200– 300)

Aspal yang penetrasinya rendah di guanaknauntk sarah panas dan lalulintas


dengan  volume tinggi, sedangkan aspal dengan penetrasi tinggi digunakan untuk daerah
bercuaca dingin dan lalu lintas rendah.
12

Hubungan pepnetrasi dengan pelaksanaan dilapangan adalah unutuk mengetahui:


1. Lokasi kontruksi jalan
2. Jenis kontrksi yang dilaksanakan
3. Suhu perkerasan , iklim kepadatan lalau lintas

2.7 Pengujian Dinamic Cone Penetrometer (DCP)

Pengujian dengan alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP) ini pada dasarnya
sama dengan cone penetrometer (CP) yaitu sama-sama mencari nilai CBR dari suatu
lapisan tanah langsung di lapangan. Hanya saja pada alat Cone Penetrometer dilengakapi
dengan poving ring dan arloji pembacaan, sedangkan pada alat Dynamic Cone
Penetrometer adalah melalui ukuran(satuan) dengan menggunakan mistar. Percobaan
dengan alat cone penetrometer digunakan untuk mengetahui CBR tanah asli.
Sedangkan percobaan alat dengan DCP ini hanya untuk mendapat kekuatan tanah
timbunan pada pembuatan badan jalan, alat ini dipakai pada pekerjaan tanah karena
mudah dipindahkan ke semua titik yang diperlukan tetapi letak lapisan yang diperiksa
tidak sedalam pemeriksaan tanah dengan alat sondir.Hasil yang diperoleh pada
percobaan ini dapat dihubungkan dengan nilai CBR (perbandingan antara beban
penetrasi suatu lapisan tanah atau perkerasan terhadap beban standart dengan kedalaman
dan kecepatan penetrasi yang sama)

Kekuatan tanah dasar memegang peranan penting dalam mendukung suatu


konstruksi seperti; jalan, bangunan gedung , jembatan dan sebagainya. Khusus untuk
perencanaan jalan raya kekuatan tanah dasar ditandai dengan meningkatnya nilai
California Bearing Ratio (CBR) dari tanah tersebut. Untuk mendapatkan nilai CBR dari
tanah dasar tersebut dapat digunakan alat Dinamic Cone Penetration (DCP), yaitu alat
yang digunakan untuk mengevaluasi nilai California Bearing Ratio (CBR) pada pekerjaan
konstruksi jalan.

Pengujian cara dinamis ini dikembangkan oleh TRL (Transport and Road
Research Laboratory), Crowthorne, Inggris dan mulai diperkenalkan di Indonesia sejak
tahun 1985 / 1986. Pengujian ini dimaksudkan untuk menentukan nilai CBR (California
Bearing Ratio) tanah dasar, timbunan, dan atau suatu sistem perkerasan. Pengujian ini
akan memberikan data kekuatan tanah sampai kedalaman kurang lebih 1 m di bawah
permukaan lapisan tanah yang ada atau permukaan tanah dasar. Pengujian ini dilakukan
13

dengan mencatat data masuknya konus yang tertentu dimensi dan sudutnya, ke dalam
tanah untuk setiap pukulan dari palu/hammer yang berat dan tinggi jatuh tertentu pula.

Pengujian dilaksanakan dengan mencatat jumlah pukulan (blow) dan penetrasi dari
konus (kerucut logam) yang tertanam pada tanah/lapisan pondasi karena pengaruh
penumbuk kemudian dengan menggunakan grafik dan rumus, pembacaan penetrometer
diubah menjadi pembacaan yang setara dengan nilai CBR

2.8 Uji Kepadatan Di Lapangan (Sand Cone)


Sand cone test adalah pemeriksaan kepadatan tanah di lapangan dengan
menggunakan pasir Ottawa sebagai parameter kepadatan tanah yang mempunyai
sifat kering, bersih, keras, tidak memiliki bahan pengikat sehingga dapat mengalir
bebas. Pasir Ottawa yang digunakan adalah lolos saringan no.10 dan tertahan di
saringan no.200. Metode ini hanya terbatas untuk lapisan atas tanah yaitu antara
10 – 15 cm. Sand cone adalah untuk pemeriksaan kepadatan tanah di lapangan
pada lapisan tanah atau lapisan perkerasan yang telah dipadatkan. Pengujian yang
diuraikan hanya berlaku terbatas pada ukuran butiran tanah dan batuan tidak lebih
dari 5 cm diameternya.Yang dimaksud dengan kepadatan lapangan adalah berat
kering per satuan isi.  
Pemadatan dapat dikatakan sebagai proses pengeluaran udara dari pori-
pori tanah dengan salah satu cara mekanis. Cara mekanis yang digunakan di
lapangan biasanya dengan menggilas, sedangkan dilaboratorim dengan cara
menumbuk atau memukul. Daya pemadatan ini tergantung pada kadar air,
meskipun digunakan energi yang sama, nilai kepadatan yang akan diperoleh akan
berbeda-beda. Pada kadar air yang cukup rendah tanah sukar dipadatkan,
sedangkan pada kadar air yanag cukup tinggi nilai kepadatannya akan menurun,
sampai suatu kadar air tinggi sekali sehingga air tidak dapat dikeluarkan dengan
pemadatan.  
Pada pemadatan dengan kadar air yanag berbeda-beda akan didapat nilai
kepadatan yang berbeda pula. Sehingga kadar air tertentu akan didapat keadaan
yang paling padat (angka pori yang paling rendah). Kadar air dimana tanah
14

mencapai keadaan yang paling padat disebut kadat air optimum. Untuk
menentukan kadar air optimum ini biasanya dibuat grafik hubungan antara kadar
air dan berat isi kering. Berat isi kering ini digunakan untuk menentukan kadar air
optimium dimana mencapai keadaan paling padat, dapat dilakukan percobaan
pemadatan di lapanga dan percobaan pemadatan di laboratorium.Dengan nilai
kadar air yang optimum yang didapat dari percobaan ini, maka kita dapat
memadatkan tanah sehingga tanah tersebut akan mempunyai:
a)      Kekuatan yang lebih besar
b)      Kompresibilitas dan daya rembesan yang lebih kecil
c)      Ketahanan yang relatif lebih besar terhadap pengaruh air
Dalam pengujian sand cone ini, diperlukan hubungan antara Kadar air dan
kepadatan dari suatu contoh tanah yang diperiksa. Kadar air tanah adalah
konsentrasi air dalam tanah yang biasanya dinyatakan dengan berat kering. Kadar
air dinyatakan dalam persen, dimana terjadi transisi dari keadaan padat ke dalam
keadaan semi padat didefinisikan sebagai batas susut. Kadar air dimana transisi
dari keadaan semi padat ke dalam keadaan plastis terjadi dinamakan batas plastis,
dan dari keadaan plastis ke keadaan cair dinamakan batas cair. Batas- batas ini
dikenal juga sebagai batas-batas atterberg.

Anda mungkin juga menyukai