Anda di halaman 1dari 57

PROPOSAL

LITERATURE REVIEW
FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE
DIAGNOSIS UTAMA

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW
FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE
DIAGNOSIS UTAMA

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW

EVALUASI FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE


DIAGNOSIS UTAMA

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan


Program Studi Diploma 3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

Disusun dan diajukan oleh

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020

ii
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW

EVALUASI FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE


DIAGNOSIS UTAMA

Disusun dan diajukan oleh


SRI FAJRI MAHANI
NIM. 17.03.097

Menyetujui
Tim pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Asriyanti, SKM,M.Kes Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep,M.Kep

Mengetahui,
Ketua Program Studi D3 Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan

Syamsuddin, A.Md.PK. SKM. M.Kes

iii
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW

EVALUASI FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE


DIAGNOSIS UTAMA

Disusun dan diajukan oleh


SRI FAJRI MAHANI
NIM. 17.03.097

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal (tanggal,bulan,tahun)


Dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Menyetujui
Tim pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Asriyanti, SKM,M.Kes Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep,M.Kep

Ketua STIKES Panakkukang Pembimbing Ketua Program Studi D3


Makassar Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

Dr. Ns. Makkasau, M.Kes. M.EDN Syamsuddin, A.Md.PK. SKM. M.Kes

iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI

Karya Tulis Ilmiah ini telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji Ujian

Komprehensif Program Studi D3 Perekam Medis dan Informasi Kesehatan

STIKES Panakkukang Makassar, pada tanggal (tanggal,bulan,tahun)

Makassar, tanggal,bulan,tahun

Tim Penguji:

Penguji I : ( )

Penguji II : ( )

Penguji III : ( )

v
SURAT PERNYATAAN KARYA TULIS ILMIAH

Yang bertanda tangan dibawah ini saya:

Nama : Sri Fajri Mahani


NIM : 17.03.097

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Judul Karya Tulis Ilmiah ini Sebagai berikut:

……………………………………………………………………………………….
…………………………………………………………………………………………
….
………………………………………………………………………………………….
………………………………………………………………………………………….

Merupakan Karya Tulis Ilmiah yang kami buat sendiri dan bukan merupakan bagian
dari Karya Tulis orang lain. Bilamana ternyata pernyataan ini tidak benar, kami
sanggup menerima sanksi akademik yang ditetapkan oelh STIKES Panakukkang
Makassar.

Mengetahui Makassar,
Ketua Prodi D3 RMIK Yang membuat pernyataan

Materai
Rp. 6000,-

Syamsuddin, A.Md.PK. SKM. M.Kes Sri Fajri Mahani


NIK. 093.152.02.04.025 NIM. 17.03.097

vi
ABSTRAK
SRI FAJRI MAHANI : FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE
DIAGNOSIS UTAMA
PEMBIMBING : ASRIYANTI, SKM, M.Kes dan Ns. MUH. ZUKRI MALIK,
S.Kep, M.Kep

Latar belakang: Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama akan


berdampak pada kualitas kode diagnosis yang akan mempengaruhi keakuratan dan
kekonsistensian kode diagnosis. Kode diagnosis yang tidak tepat dan akurat dapat
merugikan rumah sakit, oleh karena itu sangat diperlukan evaluasi kode diagnosis
terkhusus diagnosis utama.
Tujuan: Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam
memberikan kode diagnosis utama
Metodologi: Pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah google
scholar untuk menemukan jurnal sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi untuk
kemudian dilakukan review.
Hasil: Dari beberapa jurnal yang dilakukan review ditemukan masih rendahnya
pengetahuan petugas coder dalam hal pengkodean, ketersediaan SPO yang masih
sulit untuk dipahami, penggunaan singkatan yang tidak sesuai dengan daftar
singkatan rumah sakit, belum memiliki banyak pengalaman dalam bekerja, tidak
lengkapnya informasi penunjang medis masih sering terjadi, tulisan dokter yang
sulit dibaca
Kesimpulan: berdasarkan hasil penelitian dari 4 jurnal ditemukan beberapa faktor
yang menyebabkan ketidaktepatan kode diagnosis utama yakni pengetahuan
coder,SPO kodefikasi yang sulit dipahami, singkatan yang tidak baku,
ketidaklengkapan informasi penunjang medis, tulisan dokter yang sulit dibaca dan
pengalaman kerja

vii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatrullahi Wabarokatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena

hanya dengan izin dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya

Tulis Ilmiah yang berjudul “Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis

Utama”. Sholawat dan salam tak lupa pula penulis kirimkan kepada Nabi

Muhammad Shollallahu Alaihi Wassallam. Beserta keluarganya dan sahabat-

sahabatnya yang telah membawa umatnya ke alam yang terang menerang seperti

ini. Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu penulis memohon masukan untuk kesempurnaan penulisan skripsi ini.

Penulisan karya tulis ilmiah ini sebagai salah satu persyaratan dalam

penyelesaian program studi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan di

STIKES Panakkukang Makassar.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta

Ayahanda Mulyadi Mahani dan Ibunda Kartin Liputo yang senantiasa mendoakan

serta memberikan bantuan baik secara moril maupun material. Dan tak lupa pula

penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. H. Sumardin Makka, SKM, M.Kes selaku ketua Yayasan Perawat Sulawesi

Selatan (YPSS).

2. Dr. Ns. Makkasau Plasay, M.Kes, M.EDM selaku ketua Stikes Panakkukang

Makassar.

viii
3. Syamsuddin, A.Md.PK, SKM, M.Kes selaku ketua Program Studi D3 Rekam

Medis dan Informasi Kesehatan STIKES Panakkukang Makassar.

4. Asriyanti, SKM, M.Kes selaku pembimbing I dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ini.

5. Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini.

6. Seluruh staf dan dosen Prodi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

STIKES Panakkukang Makassar yang telah memberikan arahan serta

bimbingan melalui proses pendidikan.

7. Seluruh keluarga dekat yang telah memberikan bantuan serta semangat.

8. Teman-teman RMIK B 2017 atas segala kebersamaan, semangat dan makna

hidup yang telah dilalui bersama.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari kesempurnaan,

karena itu kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan sehingga dapat

bermanfaat baik untuk penulis sendiri maupun pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Makassar, Agustus 2020

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................

HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN............................................................

ABSTRAK...............................................................................................................

ABSTRACT...............................................................................................................

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI............................................................................................................

DAFTAR TABEL....................................................................................................

DAFTAR GAMBAR...............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah............................................................................

B. Rumusan Masalah.....................................................................................

C. Tujuan Penulisan.......................................................................................

D. Manfaat Penulisan.....................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Pengetahuan Coder......................................................

B. Tinjauan tentang Standar Prosedur Operasional......................................

C. Kodefikasi menurut ICD-10....................................................................

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian.....................................................................................
B. Pencarian literature

1. Kata Kunci (keywords)......................................................................

2. Database Pencarian Literature...........................................................

3. Strategi Pencarian Literature.............................................................

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi...................................................................

D. Sintesis Hasil Literature

1. Hasil Pencarian Literature.................................................................

2. Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria............................................

E. Ekstraksi Data..........................................................................................

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil.........................................................................................................

B. Pembahasan..............................................................................................

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan................................................................................................

B. Saran..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................

DAFTAR RIWAYAT HIDUP................................................................................


DAFTAR TABEL

Tabel 1 Strategi Pencarian Literature Review........................................................29

Tabel 2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi....................................................................29

Tabel 3 Ekstraksi Data Literature Review.............................................................32

Tabel 4 Karakteristik Data Literature........................................................................


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram Alur Review Jurnal................................................................30


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam medis

adalah mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan medis dengan

lengkap, tepat dan akurat. Untuk menghasilkan data yang berkualitas salah

satunya adalah ketepatan dalam menentukan kode diagnosis utama (Sari et al.,

2019).

Ketepatan kode juga memiliki peran sebagai dasar pembuatan statistik

rumah sakit untuk mengetahui trend penyakit dan sebab kematian. Ketepatan

kode diagnosis utama menjadi kunci utama dalam pengklaiman asuransi

khususnya bagi pasien dengan asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketidaktepatan dalam memberikan kode diagnosa utama akan memberikan

kerugian baik secara finansial maupun dalam pengambilan kebijakan (Loren

dkk., 2020).

Ketidaktepatan penentuan kode diagnosis utama pada pasien memiliki

pengaruh dalam kelancaran pelayanan kesehatan, seperti kesalahan prosedur

medis, proses klaim yang terhambat, pencatatan angka kesakitan yang tidak

tepat, perencanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan yang terhambat.

Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama disebabkan oleh

beberapa unsur yakni unsur metode seperti ketersediaan Standar Prosedur

Operasional (SPO) tentang pengkodean, kemudian unsur sarana dan prasarana


seperti kualitas dokumen rekam medis yang disediakan rumah sakit dan

ketersediaan sarana pendukung dan sarana komunikasi, dan unsur sumber

daya manusia seperti tulisan dokter yang sulit dibaca, penggunaan singkatan

yang tidak baku, seorang koder yang belum memahami cara mengkode dan

kurangnya ketelitian dalam mengkode (Pertiwi, 2019).

Oleh karena itu, seorang koder harus mampu menetapkan kode penyakit

dan tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia

dan diakui secara internasional yaitu menggunakan International Statistical

Classification of Disease and Related Health Problem Tenth Revision (ICD-

10) berdasarkan jenis penyakit dan tindakan medis yang diberikan selama

proses pelayanan kesehatan (Ilmiah et al., 2012). Penulisan diagnosis yang

tepat, lengkap dan spesifik, akan memudahkan penetuan rincian kode

(Setianto, 2013).

Tetapi, dalam hal ini masih sering ditemukan ketidaktepatan dalam

menentukan kode diagnosis utama. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang

dilakukan oleh Retno Dwi Astuti, Riyoko, Dewi Lena SK di RSUD Sukoharjo

tahun 2007 menemukan 41% kode yang tidak tepat dan 55% kode yang tepat.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Erlindai & Auliya Indriani di

Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia tahun 2018 menemukan 67.7%

kode yang tidak tepat dan 32.3% kode yang tepat.

Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama akan

berdampak pada kualitas kode diagnosis yang akan mempengaruhi keakuratan

dan kekonsistensian kode diagnosis. Kode diagnosis yang tidak tepat dan
akurat dapat merugikan rumah sakit, oleh karena itu sangat diperlukan

evaluasi kode diagnosis terkhusus diagnosis utama. Evaluasi kode diagnosis

dapat dilakukan dengan beberapa indikator meliputi, keakuratan (validity),

kelengkapan (completenees), konsistensi (reliability) dan ketepatan waktu

(timeliness) (Gemala Hatta dalam Maryati dkk., 2020).

Berdasarkan uraian diatas saya tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Literature Review Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode

Diagnosis Utama”. Dalam penyusunan literature review ini menggunakan

metode PICO, penulis menemukan P = kode diagnosis utama, I = faktor

penyebab , dan O = ketidaktepatan kode diagnosis utama.

B. Rumusan Masalah

Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaktepatan dalam

pengkodean diagnosis utama ?

C. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam

memberikan kode diagnosis utama.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat pengetahuan koder dalam pengkodean diagnosis

utama

b. Mengetahui adanya Standar Prosedur Operasional (SPO) kodefikasi

di rumah sakit.
D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk Institusi

Hasil dari literature review ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan dan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

tentang rekam medis khususnya di bidang Klasifikasi Kodefikasi

Penyakit dan Masalah terkait Kesehatan serta Tindakan (KKPMT).

b. Untuk Penelitian

1) Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam hal

pengkodean diagnosis utama.

2) Dapat menjadi pengalaman dalam penelitian dengan

menggunakan metode literature review.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari literature review ini diharapkan dapat menjadi masukan

kepada tenaga rekam medis khususnya di bidang koding dalam

menentukan kode diagnosis utama.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Pengetahuan Coder

1. Pengertian Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) dalam Kusumawardhani (2016)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang dilakukan oleh manusia terhadap

suatu objek tertentu melalui proses pengindraan yang lebih dominan

terjadi melalui proses pengindraan penglihatan dengan mata dan

pendengaran dengan telinga. Menurut Efendi dan Makhfudli (2009)

dalam Eirene (2017) Pengetahuan atau kognitif merupakan dominan yang

sangat menentukan dalam membentuk kebiasaan atau tindakan seseorang

(overt behavior).

Menurut teori World Health Organization (WHO) dalam

(Notoatmodjo, 2007) salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan

oleh pengetahuan yang diperoleh dan pengalaman sendiri.

2. Tingkatan pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007) dalam Retnaningsih (2016)

pengetahuan tercakup dalam enam tingkatan yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu adalah proses mengingat kembali (recall) akan suatu

materi yang telah dipelajari. Tahu merupakan pengetahuan yang

tingkatannya paling rendah dan alat ukur yang dipakai yaitu kata
kerja seperti menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya (Retnaningsih, 2016).

b. Memahami (comprehension)

Memahami dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang telah diketahui

dan dapat menginterpretasikan materi dengan menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan objek yang telah dipelajari

(Retnaningsih, 2016).

c. Aplikasi (Application)

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada situasi atau suatu kondisi yang nyata.

d. Analisis (analysis)

Analisis dapat diartikan seagai sebuah kemampuan untuk

menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi

masih ada pada satu struktur organisasi dan masih berkaitan satu

sama lainnya yang kemudian dapat dinilai dan diukur dengan

penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya (Retnaningsih, 2016).

e. Sintesis (syntesis)

Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan

yang ada (Retnaningsih, 2016)


f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau objek yang didasari pada suatu kriteria

yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada (Retnaningsih, 2016).

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut

Mubarak dalam (Yeni, 2015) sebagai berikut:

a. Umur

Bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada

aspek psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar akan

mengalami perubahan baik dari aspek ukuran maupun dari aspek

proporsi yang mana hal ini terjadi akibat pematangan fungsi organ.

Sedangkan pada aspek psikologis (mental) terjadi perubahan dari segi

taraf berfikir seseorang yang semakin matang dan dewasa.

b. Tingkat Pendidikan

Menurut Soekanto dalam (Yeni, 2015) pendidikan berarti

bimbingan yang diberikan seseorang kepada orang lain terhadap

suatu hal agar mereka dapat memahami. Pendidikan merupakan

sebuah proses belajar dan proses pertumbuhan, perkembangan ke

arah yang lebih baik. Seseorang yang memiliki tingkat pendidikan

yang rendah, biasanya akan menghambat perkembangan sikap


seseorang terhadap penerimaan, informasi dan nilai – nilai yang baru

diperkenalkan.

c. Pekerjaan

Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi pengetahuan.

Ditinjau dari jenis pekerjaan yang sering berinteraksi dengan orang

lain lebih banyak pengetahuannya bila dibandingkan dengan orang

tanpa ada interaksi dengan orang lain. Menurut Wati dalam (Yeni,

2015) Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan

memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta

pengalaman belajar dalam bekerja akan dapat mengembangkan

kemampuan dalam mengambil keputusan yang merupakan

keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik.

d. Minat

Minat merupakan suatu kecenderungan atau keinginan yang

tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk mencoba

dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh pengetahuan

yang lebih mendalam (Yeni, 2015).

e. Pengalaman

Menurut (Yeni, 2015) pengalaman adalah suatu kejadian yang

pernah dialami seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

Pengalaman yang buruk seseorang akan cenderung dilupakan, namun

jika pengalamannya berkesan baik maka secara psikologis akan

membekas dalam emosi sehingga menimbulkan sikpa positif.


f. Sumber Informasi

Sumber informasi adalah data yang diproses kedalam suatu

bentuk yang mempunyai arti sebagai sipenerima dan mempunyai

nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu keputusan mendatang

Rudi Bertz dalam bukunya ”toxonomi of comunication” media

menyatakan secara gamblang bahwa informasi adalah apa yang

dipahami, sebagai contoh jika kita melihat dan mencium asap, kita

memperoleh informasi bahwa sesuatu sedang terbakar.

4. Pengetahuan koder

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam

medis adalah mampu untuk menetukan kode diagnosis penyakit. Oleh

karena itu, maka seorang koder harus memiliki pengetahuan tentang dasar

menentukan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 (Hidayat, 2016). Dasar

dalam menentukan kode diagnosis berdasarkan ICD-10 sebaga berikut:

a. Identifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan lihat di

buku ICD volume 3 (Alphabetical Index). Jika pernyataannya adalah

penyakit atau cedera atau lainnya diklasifikasikan dalam bab 1-19

dan 21 (Section I Volume 3). Jika pernyataannya adalah penyebab

luar atau cedera diklasifikasikan pada bab 20 (Section II Volume 3)

b. Tentukan Lead Term. Untuk penyakit dan cedera biasanya adalah

kata benda untuk kondisi patologis. Namum, beberapa kondisi

dijelaskan dalam kata sifat atau xxx dimasukkan dalam index

sebagai Lead Term.
c. Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk dibawah kata kunci.

d. Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci

(penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan indentasi

dibawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode) sampai

semua kata dalam diagnosis tercantum.

e. Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (“see” dan “see also”) yang

ditemukan dalam index

f. Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada volume 1. Untuk Kategori

3 karakter dengan.- (point dash) berarti ada karakter ke 4 yang harus

ditentukan pada Volume 1 karena tidak terdapat dalam Index

g. Baca setiap inclusion atau exclusion dibawah kode yang dipilih atau

dibawah bab atau dibawah blok atau dibawah judul kategori.

h. Tentukan Kode

Selain memiliki pengetahuan, koder juga memiliki tugas pokok dan

fungsi. Berikut adalah tugas pokok dan fungsi koding umum:

a. Menerima berkas rekam medis dari bagian assembling

b. Memberikan kode penyakit pasien dengan menggunakan ICD-10,

memberikan kode tindakan pada pasien dengan menggunakan ICD-9-

CM

c. Menyerahkan ke bagian filling setelah di lakukannya kode.

d. Jika pasien menggunakan jasa asuransi maka berkas rekam medis di

serahkan ke assembling dan jika sudah di kode akan di ambil oleh

petugas bagian asuransi atau bpjs.


Kompetensi perekam medis yaitu perekam medis diharuskan mampu

melakukan tugas dalam memberikan pelayanan rekam medis dan

informasi kesehatan yang bermutu tinggi dengan memperhatikan

kompetensi (Rustiyanto, 2009: 43) salah satunya adalah klasifikasi dan

kodefikasi penyakit, antara lain :

a. Menetukan nomor kode diagnosis sesuai petunjuk dan peraturan pada

buku ICD yang berlaku.

b. Mengumpulkan kode diagnosis pasien untuk memenuhi sistem

pengelolaan, penyimpanan data pelaporan dan kebutuhan analisis

sebab tunggal penyakit yang dikembangkan.

c. Mengklasifikasikan data kode diagnosis yang akurat bagi

kepentingan informasi morbiditas dan sistem pelaporan morbiditas

yang diharuskan.

d. Menyajikan informasi morbiditas dengan akurat dan tepat waktu bagi

kepentingan monitoring KLB epidemiologi dan lainnya.

e. Mengelola indeks penyakit dan tindakan guna kepentingan laporan

medis dan statistic derta permintaan informasi pasien secara cepat

dan terperinci.

f. Menjamin validitas data untuk registrasi penyakit.

g. Mengembangkan dan mengimplementasikan petunjuk standar koding

dan pendokumentasian.
B. Tinjauan Tentang Standar Prosedur Operasional (SPO) Kodefikasi

1. Pengertian dan Tujuan Standar Prosedur Operasional (SPO)

Menurut Tjipto Atmoko dalam Junita (2017), Standar Prosedur

Operasional merupakan suatu pedoman atau acuan untuk melaksanakan

tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian kinerja instansi

pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan

prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit

kerja yang bersangkutan.

2. Standar Prosedur Operasional (SPO) Kodefikasi

Sembilan langkah dasar dalam menentukan kode menurut Gemala

Hatta dalam (Agustine dan Pratiwi, 2017) sebagai berikut:

a. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode dengan ICD-10 Volume

3.

b. Lead term (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya

merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologis.

c. Baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di

bawah istilah yang akan dipilih pada ICD-10 Volume 3.

d. Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung “()” sesudah lead term

(kata yang terdapat di dalam tanda kurung merupakan modifier yang

tidak akan mempengaruhi kode).

e. Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross reference) dan

perintah see dan see also yang terdapat dalam indeks abjad.
f. Lihat daftar tabulasi (ICD-10 Volume 1) untuk mencari nomor kode

yang paling tepat.

g. Ikuti pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih atau

bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori, atau subkategori.

h. Tentukan kode yang dipilih.

i. Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode

untuk memastikan kesesuaiannya dengan pernyataan dokter tentang

diagnosis utama pada formulir rekam medis pasien guna menunjang

aspek legal rekam medis.

C. Kodefikasi menurut ICD-10

1. Pengertian Kodefikasi

Menurut Budi dalam (Suryandari, 2016) Kodefikasi (coding)

adalah pemberian/penetapan kode dengan menggunakan huruf dan angka

atau kombinasi antara huruf dan angka yang mewakili komponen data.

Menurut World Health Organization (WHO), Coding (kodefikasi)

adalah proses pengklasifikasian data dan penentuan kode (sandi) nomor/

alfabet/ alfanumerik untuk mewakilinya. ICD-10 menggunakan kode

kombinasi yaitu abjat dan angka (Alpha Numerik) (Suryandari, 2016)

Kodefikasi atau coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data

rekam medis untuk memberikan kode dengan huruf atau dengan angka

atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data (Hidayat,

2016).

2. Tujuan Kodefikasi
Kodefikasi penyakit oleh World Health Organization (WHO)

bertujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cedera,

gejala, dan faktor yang memengaruhi kesehatan. Penetapan diagnosis

seorang pasien merupakan kewajiban, hak, dan tanggung jawab dokter

(tenaga medis) yang terkait tidak boleh diubah, oleh karena itu harus

didiagnosis sesuai dengan yang ada di dalam rekam medis (jurnal

kodefikasi, 2008).

3. Pengertian dan Fungsi ICD-10

International Classification of Diseases and Related Health

Problems – Tenth Revision (ICD-10) adalah pengelompokan penyakit

atau sebagai suatu sistem pengelompokan dari data morbiditas yang

ditetapkan sesuai dengan kriteria (WHO dalam Annavi, 2011). Salah satu

pedoman klasifikasi penyakit yang berlaku di dunia adalah ICD-10.

Fungsi ICD-10 menurut Kasim dalam (Annavi, 2011), penerapan

pengkodean ICD digunakan untuk:

a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan

kesehatan.

b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis.

c. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait

diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan.

d. Bahan dasar dalam pengelompokan CBG (diagnostic-related

groups) untuk sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan.

e. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas.


f. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan

pelayanan medis

g. Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan

dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

h. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan.

4. Struktur ICD-10

Struktur ICD-10 terdiri atas 3 volume yaitu:

a. Volume 1, yang terdiri dari:

1) Pengantar

2) Pernyataan

3) Pusat-pusat kolaborasi WHO untuk klasifikasi penyakit

4) Laporan konferensi internasional yang menyetujui revisis ICD-

10.

5) Daftar kategori 3 karakter

6) Daftar tabulasi penyakit dan daftar kategori termasuk subkategori

empat karakter

7) Daftar morfologi neoplasma

8) Daftar tabulasi khusus morbiditas dan mortalitas

9) Definisi-definisi

10) Regulasi-regulasi nomenklatur.

b. Volume 2 adalah buku petunjuk penggunaan, berisi (Hatta, 2013):

1) Pengantar
2) Penjelasan tentang International Statistical Classification of

Diseases and Related Health Problems

3) Cara penggunaan ICD-10

4) Aturan dan petunjuk kodifikasi mortalitas dan morbiditas

5) Presentasi statistik

6) Riwayat perkembangan ICD.

c. Volume 3, terdiri dari:

1) Pengantar

2) Susunan indeks secara umum

3) Seksi I : indeks abjad penyakit, bentuk cedera

4) Seksi II : penyebab luar cedera

5) Seksi III : table obal dan zat kimia

6) Perbakan terhadap volume 1.

5. Diagnosis

Diagnosis adalah penetapan suatu keadaan yang menyimpang atau

keadaan normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu

pengetahuan. Setiap penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan

sebagai suatu keadaan abnormal / anomali / kelainan (Ardhana, 2010).

Diagnosis juga merupakan kata / phrasa yang digunakan oleh

dokter untuk menyebut suatu penyakit yang diterima oleh pasien, atau

keadaan yang menyebabkan seorang pasien memerlukan / mencari /

menerima asuhan medis (medical care). Diagnosis yang terekam dalam

lembar rekam medis, baik tunggal, kombinasi maupun serangkaian gejala


sangat penting artinya dalam proses pemberian layanan kesehatan dan

asuhan medis di rumah sakit. Karena hal inilah dikenal beberapa macam

diagnosis (Haines et al., 2019) yaitu :

a. Admitting Diagnosis Yaitu diagnosis seseorang (pasien) saat masuk

dirawat (admission).

b. Discharge Diagnosis Merupakan diagnosis yang diberikan setelah

selesainya episode perawatan atau diagnosis pada saat pasien pulang.

c. Diagnosis dalam Single-condition analysis of morbidity Pada kasus

ini, sampai sekarang belum ada aturan standar dalam penegakan

diagnosisnya. Hanya dalam ICD – 10 dikenal suatu aturan koding

morbiditas yang disebut Single-condition Analysis (Analisis kondisi

tunggal), yang mana pada pelaksanaan pemberian kode penyakit

hanya mengacu pada satu penyebab atau bisa disebut sebagai

penyebab utama morbiditas sebagai diagnosis yang akan dimasukan

kedalam tabulasi untuk selanjutnya diolah dan dianalis

Macam – macam diagnosis menurut WHO, sesuai dengan

rekomendasi dari ICD-10, WHO menetapkan kategori–kategori diagnosis

yang digunakan untuk memaparkan data morbiditas, khususnya di rumah

sakit, yaitu (Haines et al., 2019) :

a. Principal Diagnosis Merupakan diagnosis utama yang ditegakkan

setelah dikaji, yang terutama bertanggung jawab menyebabkan

admission pasien ke rumah sakit. WHO menetapkan batasan dari

principal diagnosis ini adalah sebagai berikut :


1) Ditentukan setelah selesai dikaji (determined after study).

2) Menjadi alasan (penyebab) (fakta) admission masuk rawat inap

(caused this particular admission).

3) Menjadi fakta arahan terapi / pengobatan / tindakan lain – lain

yang dilaksanakan (focus of treatment).

b. Other Diagnosis Diagnosis lain, selain principal diagnosis yang

menggambarkan suatu kondisi dimana pasien mendapatkan

pengobatan, atau dimana dokter mempertimbangkan kebutuhan-

kebutuhan untuk memasukkannya dalam pemeriksaan kesehatan

lebih lanjut.

c. Complication Suatu diagnosis tambahan (additional diagnosis) yang

menggambarkan suatu kondisi yang muncul setelah dimulainya

observasi dan perawatan di rumah sakit yang mempengaruhi

perjalanan penyakit pasien atau asuhan medis yang dibutuhkan.

Dalam kata lain, komplikasi menggambarkan suatu akibat yang tidak

diharapkan atau ‘misadventure’ dalam asuhan medis pasien rumah

sakit.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan penjabaran lebih lanjut dari desain

rangkuman hasil penelitian dengan jenis literature review untuk mencari

referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang akan

diangkat, dari 4 penelitian yang dilakukan review penelitian yang

menggunakan metode deskriptif dengan studi retrospektif sebanyak 1,

penelitian dengan pendekatan cross sectional sebanyak 1, dan penelitian

menggunakan metode observasi dengan pendekatan cros sectional dengan

jenis penelitian deskriptif analitik 2.

B. Pencarian Literature

Sumber data pada literature review adalah data sekunder, data utama

adalah artikel hasil penelitian, sehingga kualitas data yang ditentukan pada

pencarian literature.

1. Kata Kunci

Pencarian jurnal pada penelitian ini menggunakan kata kunci faktor

penyebab ketidaktepatan kode dan diagnosis utama.

2. Database Pencarian

Database pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah

google scholar.
3. Strategi Pencarian

Strategi pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Tabel 1
Strategi Pencarian Literature Review

DATABASE STRATEGI PENCARIAN JURNAL

Google Scholar Faktor Ketidaktepatan Kode AND Diagnosis


Utama

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi artinya syarat yang harus dipenuhi artikel tersebut agar

bisa dijadikan data untuk dilakukan literature review, sedangkan kriteria

eksklusi adalah indikator ketika itu ditemukan pada artikel tersebut maka

artikel itu tidak diambil dalam proses literature review. Adapun kriteria

inklusi dan kriteria eksklusi pada literature ini sebagai berikut.

Tabel 2
Kriteria Inklusi dan Eksklusi

INKLUSI EKSKLUSI

Artikel tahun 2015-2020 Artikel dibawah tahun 2015


Pengkodean Diagnosis Utama Pengkodean Diagnosis Sekunder
Adanya Standar Prosedur Operasional Pengkodean Diagnosis Tindakan
(SPO) Kodefikasi Medis
Pengetahuan coder Jurnal yang hanya menampilkan
abstrak atau tidak full text.
D. Sintesis Hasil literature

1. Hasil Pencarian Literature

Hasil pencarian jurnal di database ditemukan 15 jurnal sesuai

dengan kata kunci. Kemudian setelah difilter berdasarkan tahun

didapatkan 14 jurnal. Setelah difilter, kemudian dilakukan skrining

ditemukan ada 4 jurnal yang tidak bisa di unduh, 6 jurnal yang tidak

sesuai kriteria. maka yang tersisa 4 jurnal yang memenuhi kriteria dan 4

jurnal tersebut full text.

Pencarian jurnal di
Google Scholar sesuai
kata kunci (n=15)

Jurnal yang difilter


berdasarkan tahun
(n=14)

Tidak bisa diunduh


(n=4) Jurnal yang dimasukkan
dalam study literature
Tidak sesuai kriteria
(n=4)
(n=6)

Gambar 1 Diagram Alur Review Jurnal


2. Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria

a. Hubungan pengetahuan koder dengan keakuratan kode diagnosis

pasien rawat inap jaminan kesehatan masyarakat berdasarkan ICD-

10 di RSUD Simo Boyolali.

b. Evaluasi Tingkat Ketidaktepatan Pemberian Kode Diagnosis dan

faktor penyebab di rumah sakit x Jawa Timur

c. Faktor-faktor yang berpengaruh pada akurasi kode diagnosis di

puskesmas rawat jalan kota Malang

d. Hubungan pengetahuan coder dengan keakuratan kode diagnosis

pasien rawat jalan BPJS berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit

Nirmala Suri Sukoharjo


E. Ekstraksi Data

Tabel 3
Ekstraksi Data Literature Review

Judul, Nama Peneliti, Faktor yang menyebabkan ketidaktepatan


No. Desain Penelitian Populasi, sampel
Tahun kode diagnosis utama
1. Hubungan pengetahuan Metode analitik sampel yang digunakan 7 a. penulisan diagnosis yang tidak jelas,
koder dengan keakuratan dengan pendekatan responden dan 93 tidak lengkap atau tidak sesuai
kode diagnosis pasien cross sectional. Dokumen Rekam Medis dengan standar
rawat inap jaminan (DRM). Instrument yang b. kurangnya kesadaran petugas rekam
kesehatan masyarakat digunakan adalah medis (koder) untuk mengecek
berdasarkan ICD-10 di kuesioner, pedoman diagnosis dan mencocokkan pada
RSUD Simo Boyolali, wawancara, pedoman DRM.
Yeni Tri Utami, 2015. observasi, lembar
analisis keakuratan dan
ICD-10.
2. Evaluasi tingkat Deskriptif dengan Populasinya adalah a. Pengetahuan koder
ketidaktepatan studi retrospektif Berkas Rekam Medis b. Ketidaklengkapan informasi
pemberian kode (BRM) bulan Januari- penunjang medis
diagnosis dan faktor Maret tahun 2017 c. Ketidaksesuain penggunaan singkatan
penyebab di Rumah sebanyak 4280 dan dengan daftar singkatan Rumah Sakit
Sakit X Jawa Timur, sampel yang diambil d. Keterbacaan diagnosis
Nurmalinda Puspitasari sebanyak 634 BRM
dan Diah Retno rawat jalan dan rawat
Kusumawati, 2017. inap.
3. Faktor-faktor yang Pendekatan cross Populasinya adalah 5 a. Pengalaman kerja mengkode
berpengaruh pada sectional puskesmas. Masing- b. Tersedianya SPO kode diagnosis
akurasi kode diagnosis di masing puskesmas c. Pengetahuan tentang diagnosis kode
puskesmas rawat jalan dipilih 3 petugas koder. penyakit.
kota Malang, Endang Sri Jumlah sampel yang
Dewi Hastuti Suryandari diperoleh dari masing-
dan Mulyohadi Ali, masing puskesmas 36
2019. dokumen rekam medis
yang dikode oleh dokter,
dokter gigi dan perawat.
4. Hubungan pengetahuan Deskriptif Analitik Populasi coder yakni 6 Hasil penelitian menunjukkan ada
coder dengan keakuratan dengan pendekatan orang sedangkan untuk hubungan yang signifikan antara
kode diagnosis pasien cross sectional. dokumen 1830 dokumen pengetahuan coder dengan keakuratan
rawat jalan BPJS rekam medis rawat jalan. kode diagnosis pasien rawat jalan BPJS
berdasarkan ICD-10 di Sampel yang digunakan berdasarkan ICD-10 di Rumah Sakit
Rumah Sakit Nirmala 6 orang coder dan 95 Nirmala Suri.
Suri Sukoharjo, Widya dokumen rekam medis
Kurnianingsih, 2020. rawat jalan.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada bab ini penulis mendekripsikan beberapa sumber dari literature

review tentang faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis utama. Penulis

melakukan pencarian dan pengumpulan jurnal ilmiah pada periode 2015

sampai dengan tahun 2020.

Berdasarkan hasil pencarian jurnal, penulis memperoleh 4 jurnal yang

sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil pencarian tersebut berhubungan dengan

faktor penyebab ketidaktepatan dalam memberikan kode diagnosis utama.

Adapun hasil literature yang penulis dapatkan disajikan berdasarkan tabel

penyajian hasil pencarian literature sebagai berikut :


Tabel 4
Karakteristik Data Literature
Nama
No Nama Penulis Metode (Desain, Sumber
Jurnal, Judul Hasil Penelitian
. (Tahun) Populasi Variabel) Database
Vol,No
1. Yeni Tri Jurnal Hubungan Metode analitik Hasil penelitian menunjukan adanya Google
Utami (2015) Ilmiah Pengetahuan dengan pendekatan hubungan antara pengetahuan coder Shcolar
Rekam Coder dengan cross sectional, dengan keakuratan kode diagnosis
Medis dan Keakuratan populasi dalam pasien rawat inap jamkesmas
Informasi Kode Diagnosis penelitian ini berdasarkan ICD-10 di RSUD Simo
Kesehatan, Pasien Rawat adalah 7 orang Boyolali.
Vol.5, No.1, Inap Jaminan coder dan 1284
Hal: 13-25, Kesehatan dokumen rekam
Februari Masyarakat medis pasien rawat
2015 Berdasarkan inap jamkesmas
ICD-10 Di tahun 2013.
RSUD Simo
Boyolali
2. Nurmalinda Jurnal Evaluasi Deskriptif dengan Hasil penelitian menunjukkan bahwa Google
Puspitasari Manajemen Tingkat studi retrospektif , kode yang tepat terdapat 61%, kode
dan Diah Kesehatan, Ketidaktepatan Populasinya yang tepat sebagian 6%, dan kode Shcolar
Retno Vol.3, No.1, Pemberian seluruh berkas yang tidak tepat 33%. Faktor-faktor
Kusumawati Hal: 27-38, Kode Diagnosis rekam medis bulan penyebab meliputi:
(2017) Oktober dan faktor Januari-Maret 2017 a. Pengetahuan coder,
2017 penyebab di sebanyak 4280 b. Ketidaklengkapan informasi
rumah sakit x dan sampel yang penunjang medis,
Jawa Timur diambil sebanyak c. Ketidaksesuaian penggunaan
634 berkas rekam singkatan dengan daftar
medis. singkatan rumah sakit,
d. Keterbacaan diagnosis.
3. Endang Sri Jurnal Faktor-faktor Pendekatan cross Hasilnya penelitian menunjukkan Google
Dewi Hastuti Kedokteran yang sectional, keakuratan kodefikasi diagnosis Shcolar
Suryandari
Brawijaya, berpengaruh populasinya adalah penyakit di 5 puskesmas rawat jalan
dan
Mulyohadi Vol.30, pada akurasi 5 puskesmas yang Kota Malang dipengaruhi oleh :
Ali (2019) No.3, Hal: kode diagnosis masing-masing a. Pengetahuan
228-234, di puskesmas puskesmas dipilih b. Pengalaman kerja
Februari rawat jalan kota 3 petugas koder. c. SPO
2019 Malang Sampelnya
masing-masing
puskesmas ada 36
dokumen rekam
medis yang dikode.
4. Widya Jurnal Hubungan Deskriptif Analitik Hasil penelitian menunjukkan ada Google
Kurnianingsih Manajemen pengetahuan dengan pendekatan hubungan yang signifikan antara Scholar
(2020)
Informasi coder dengan cross sectional, pengetahuan coder dengan
dan keakuratan kode Populasi coder keakuratan kode diagnosis pasien
Administrasi diagnosis pasien yakni 6 orang rawat jalan BPJS berdasarkan ICD-
Kesehatan rawat jalan sedangkan untuk 10 di Rumah Sakit Nirmala Suri.
(JMIAK) BPJS dokumen 1830
Vol.03, berdasarkan dokumen rekam
No.01, Hal: ICD-10 di medis rawat jalan.
18-24, Juni Rumah Sakit Sampel yang
2020 Nirmala Suri digunakan 6 orang
Sukoharjo coder dan 95
dokumen rekam
medis rawat jalan.
Berdasarkan pada tabel diatas, menurut penelitian dari Yeni Tri

Utami tahun 2015 dan Widya Kurnianingsih tahun 2020, menemukan hasil

penelitian yang sama yaitu adanya hubungan antara pengetahuan coder

dengan keakuratan kode diagnosis pasien.

Menurut dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmalinda

Puspitasari dan Diah Retno Kusumawati tahun 2017 ditemukan beberapa

faktor ketidaktepatan kode diagnosis yakni pengetahuan coder,

ketidaklengkapan informasi penunjang medis, ketidaksesuaian

penggunaan singkatan dengan daftar singkatan rumah sakit dan

keterbacaan diagnosis.

Hasil penelitian dari Endang Sri Dewi Hastuti Suryandari dan

Mulyohadi Ali tahun 2019 menemukan penyebab dari ketidaktepatan kode

diagnosis yaitu pengetahuan petugas tentang kodefikasi penyakit,

pengalaman kerja di bidang koding, dan ketersedian SPO.

B. Pembahasan

1. Tingkat pengetahuan coder dalam pengkodean diagnosis utama

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam

medis adalah mampu untuk menetukan kode diagnosis penyakit. Oleh

karena itu, seorang coder harus mampu menentukan kode diagnosis

dengan memiliki pengetahuan tentang dasar menentukan kode diagnosis

berdasarkan ICD-10 (Hidayat, 2016). Pengetahuan seseorang salah

satunya dipengaruhi oleh faktor pendidikan.


Menurut Soekanto dalam (Yeni, 2015) pendidikan adalah suatu

bimbingan atau pengajaran yang diberikan seseorang kepada orang lain

terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami. Jika seseorang tingkat

pendidikannya rendah, akan menghambat perkembangan sikap seseorang

terhadap penerimaan informasi dan nilai – nilai yang baru diperkenalkan.

Berdasarkan dari hasil penelitian Yeni Tri Utami tahun 2015 dan

Widya Kurnianingsih tahun 2020 menunjukkan bahwa adanya hubungan

pengetahuan coder dengan ketidaktepatan kode diagnosis. Menurut

penelitian Yeni Tri Utami ada tiga tingkat pengetahuan coder yaitu cukup

28,6%, kurang baik 28,6% dan tidak baik 42,8%. Sedangkan menurut

penelitian Widya Kuryaningsih ada tiga tingkat pengetahuan coder yaitu

cukup 33,3%, kurang baik 50,0% dan tidak baik 16,7%. Ketiga tingkatan

tersebut disebabkan oleh faktor pendidikan yang bukan berasal dari

lulusan D3 Rekam Medis dan belum pernah melakukan pelatihan tentang

koding. Ketidaktepatan kode akan memberikan dampak terhadap

besarnya klaim yang akan dibayarkan.

Menurut Health Insurance Association of America (HIAA) Klaim

adalah proses pengumpulan bukti fakta yang berhubungan dengan

kejadian sakit ataupun cidera, melakukan perbandingan polis dan

menentukan manfaat yang dapat dibayarkan kepada tertanggung atau

pihak penagih (Pratami, 2015). Salah satu persyaratan yang harus

dilengkapi dalam proses klaim adalah penulisan kode diagnosis yang

lengkap, jelas dan akurat.


Menurut Hatta (2008) Kode yang dihasilkan harus akurat dan tepat

sesuai diagnosis, karena jika kode yang dihasilkan tidak tepat maka akan

mempengaruhi proses klaim (Pratami, 2015). Jika proses klaim terhambat

maka akan membawa dampak besar terhadap pendapatan rumah sakit.

Penulisan kode yang tidak tepat juga akan berpengaruh pada kualitas data

yang dihasilkan.

Menurut penelitian Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno

Kusumawati tahun 2017 ditemukan beberapa faktor ketidaktepatan kode

diagnosis yakni pengetahuan coder, ketidaklengkapan informasi

penunjang medis, ketidaksesuaian penggunaan singkatan dengan daftar

singkatan rumah sakit dan keterbacaan diagnosis. Tingkat ketidaktepatan

kode diagnosis didapat sebanyak 305 BRM (61%) yang tepat, 31 BRM

(6%) yang tepat sebagian, dan 168 BRM (33%) yang tidak tepat. Pada

penelitian ini ditemukan kriteria penilaian pengetahuan, beberapa petugas

coder yang merupakan lulusan SMA masih sulit untuk memahami

penggunaan ICD-10 dan pengetahuan tentang terminologi medis yang

masih rendah sehingga akan menyebabkan ketidaktepatan kode diagnosis.

penelitian Sudra dkk., (2016) membuktikan adanya pengaruh yang

signifikan antara pengetahuan petugas tentang terminologi medis dalam

penulisan diagnosis terhadap keakuratan kode diagnosis.

Selain pengetahuan, penggunaan singkatan yang tidak sesuai

dengan daftar singkatan rumah sakit dan keterbacaan diagnosis

merupakan faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis. Hal ini akan


membuat petugas coder sulit untuk menentukan kode diagnosis yang

tepat. Menurut Hatta (2011) dalam Sudra dkk. (2016) penulisan diagnosis

yang dibuat oleh dokter wajib menggunakan bahasa terminologi medis

dan memakai huruf balok agar dapat dibaca dengan mudah dan jelas.

Oleh karena itu pentingnya penulisan diagnosis sesuai dengan bahasa

terminologi agar mudah dibaca.

Kelengkapan hasil penunjang medis juga mempengaruhi ketepatan

kode diagnosis karena dapat dijadikan sebagai informasi pendukung

apabila diagnosis yang ditetapkan oleh tenaga medis kurang jelas atau

tidak lengkap. Menurut Abdelhak (2001) dalam Puspitasari (2017),

pengkodean harus dilaksanakan secara berurutan agar tidak terjadi

kesalahan dalam melakukannya. Sebelum melakukan proses pengkodean,

petugas rekam medis harus memeriksa kelengkapan lembar rekam medis

dan kelengkapan catatan dokter,terutama catatan tentang diagnosis yang

tertulis pada lembar ringkasan masuk dan keluar dan sudah terdapat tanda

tangan dokter.

Hasil penelitian dari Endang Sri Dewi Hastuti Suryandari dan

Mulyohadi Ali tahun 2019 ditemukan salah satu penyebab dari

ketidaktepatan kode diagnosis yaitu pengetahuan petugas tentang

kodefikasi penyakit. Hasil penelitian menunjukkan tingkat pengetahuan

petugas kesehatan di puskesmas tentang pengkodean penyakit yang masih

rendah. Hasil penelitian lain menunjukkan 80% responden tidak

mengetahui kamus kedokteran, ICD 9 dan ICD 10 untuk sarana yang


digunakan untuk pengkodean, 100% responden tidak pernah mengikuti

pelatihan kodefikasi. Selama ini petugas coder di puskesmas hanya

mengandalkan lembaran kode yang diberikan oleh BPJS karena berkaitan

dengan klaim yang diajukan ke BPJS, selain itu mereka juga

menggunakan cara lain untuk pencarian kode diagnosis yaitu lewat

internet karena lebih mudah dan cepat.

Pengalaman kerja di bidang kodefikasi diagnosis juga berhubungan

dengan ketepatan kode diagnosis. penelitian Yuniati dan Maryati dkk.

membuktikan bahwa pengalaman kerja di bidang kodefikasi diagnosis

lebih dari lima tahun berpengaruh terhadap kualitas kode diagnosis.

Semakin lama petugas bekerja dalam bidang kodefikasi diagnosis

penyakit semakin terampil dan kompeten petugas tersebut dalam

mengkode dan hasil kode diagnosisnya akan semakin akurat.

Berdasarkan hasil penelitian dari 4 jurnal yang dilakukan review

dapat disimpulkan bahwa ketidaktepatan kode diagnosis masih rendah.

Selain faktor pengetahuan coder tentang koding yang masih minim,

ketidaklengkapan informasi penunjang medis, keterbacaan diagnosis,

penggunaan singkatan yang tidak sesuai dan pengalaman kerja juga

menjadi faktor terjadinya ketidaktepatan dalam memberikan kode

diagnosis. Hal ini sangat perlu diperhatikan, jika dibiarkan begitu saja

akan dapat merugikan pihak rumah sakit atau puskesmas karena besarnya

klaim yang akan dibayarkan tergantung dari kode diagnosis yang diinput

kedalam aplikasi INA-CBGs.


2. Standar Prosedur Operasional (SPO) kodefikasi

Menurut Tjipto Atmoko dalam Junita (2017), Standar Prosedur

Operasional merupakan suatu pedoman atau acuan untuk melaksanakan

tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian kinerja instansi

pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis, administratif dan

prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan sistem kerja pada unit

kerja yang bersangkutan.

Dalam menentukan kode diagnosis, coder juga membutuhkan

petunjuk atau uraian tugas yang harus dilaksanakan agar pekerjaan itu

dapat diselesaikan dengan baik dan menghasilkan kualitas kode yang

baik pula. Keberadaan SPO juga memiliki fungsi untuk berbagai hal,

seperti menjadikan tugas seluruh pegawai yang ada menjadi

lancar, SPO bisa dijadikan dasar hukum apabila terjadi hal-hal di

luar koridor perusahaan, bisa digunakan sebagai alat untuk

melacak masalah yang ada, dan masih banyak lagi.

Berdasarkan dari penelitian Endang Sri Dewi Hastuti Suryandari

dan Mulyohadi Ali (2019) didapatkan bahwa ketersediaan SPO kodefikasi

memiliki pengaruh terhadap ketepatan kode. Hasil penelitian ini

menunjukan bahwa pengkodean belum menghasilkan kualitas kode yang

baik karena SPO kodefikasi belum terlaksana denga baik.


Hatta (2012) dalam bukunya berjudul Pedoman Manajemen

Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan yang dikutip dari Ali

dkk. (2019) menjelaskan sembilan Langkah Dasar Dalam Menentukan

Kode diagnosa. Sembilan Langkah Dasar ini merupakan pedoman bagi

petugas koding didalam melakukan proses kodefikasi penyakit.

SOP koding merupakan suatu tahapan instruksi atau perintah kerja

tentang langkah-langkah dalam memberi kode pada diagnosa pasien yang

tertulis dan harus diikuti demi mencapai keseragaman dalam menjalankan

kodefikasi diagnosa pasien. Selain itu dengan adanya SOP koding akan

mengurangi terjadinya kesalahan dalam kegiatan kodefikasi diagnosa

pasien karena segala instruksi dan perintah kerja sudah tersusun dan

tertulis dengan jelas sehingga dapat mempengaruhi akurasi koding.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis literature review dari 4 penelitian dapat

disimpulkan bahwa masih terdapat ketidaktepatan kode diagnosis.

ketidaktepatan kode diagnosis disebabkan oleh beberapa

1. pengetahuan coder yang minim tentang kodefikasi karena sebagian

petugas coder bukan lulusan D3 Rekam Medis.

2. Ketersediaan SPO kodefikasi tetapi masih sulit dipahami sehingga belum

bias terlaksana dengan baik.

3. Pengalaman kerja yang kurang dari lima tahun mempengaruhi ketepatan

kode diagnosis.

4. Ketidaklengkapan informasi penunjang medis.

5. Ketidaksesuaian penggunaan singkatan dengan daftar singkatan rumah

sakit.

6. Keterbacaan diagnosis.

B. Saran
1. Sebaiknya perlu diadakan pelatihan-pelatihan tentang koding agar dapat

menambah wawasan atau meningkatkan pengetahuan petugas coder dan

melatih keterampilan dalam mengkode.


2. Perlu diadakan evaluasi terhadap SPO kodefikasi untuk melacak masalah

yang ada agar bisa memudahkan petugas coder untuk menyelesaikan

pekerjaannya.

3. Sebaiknya petugas melengkapi atau melampirkan lembar hasil

pemeriksaan penunjang pada BRM jika dilakukan pemeriksaan penunjang

kepada pasien agar memudahkan petugas coder dalam mentukan kode

diagnosis yang tepat.

4. Sebaiknya dokter yang menulis diagnosa dengan singkatan harus

berdasarkan daftar singkatan yang ada di rumah sakit tersebut agar

petugas coder mudah untuk memberikan kode diagnosa.

5. Disarankan untuk para dokter dapat menuliskan diagnosis tersebut dengan

jelas agar petugas coder dapat membacanya.


DAFTAR PUSTAKA

Agustine, D. M., & Pratiwi, R. D. (2017). Hubungan Ketepatan Terminologi

Medis dengan Keakuratan Kode Diagnosis Rawat Jalan oleh Petugas

Kesehatan di Puskesmas Bambanglipuro Bantul. Jurnal Kesehatan

Vokasional, 2(1), 113. https://doi.org/10.22146/jkesvo.30315

Ali, M., Kesehatan, J., Politeknik, T., Kementerian, K., Malang, K., Farmakologi,

L., Kedokteran, F., Brawijaya, U., & Test, E. (2019). Faktor-faktor yang

Berpengaruh pada Akurasi Kode diagnosis di Puskesmas Rawat Jalan Kota

Malang Factors that Influence the Accuracy of Codefication in Outpatient

Primary Health Cares in Malang. 30(3), 228–234.

Annavi, N. (2011). Berdasarkan Kebutuhan Medik Sesuai Dengan Standar

Pelayanan Medik. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, 6–24.

eprints.ums.ac.id

Ardhana, W. (2010). Materi Kuliah Ortodonsia II Diagnosis Ortodontik. 44–62.

Eirene. (2017). Pengaruh Edukasi dengan Metode Peer Group terhadap

Pengetahuan dan Sikap anak SD tentang Personal Hygiene. Journal of

Chemical Information and Modeli, 53(9), 1689–1699.

Haines, G. (2019). Journal of Chemical Information and Modeling. Journal of

Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. eprints.dinus.ac.id

Ilmiah, D. K., Akhir, T., Studi, P., Masyarakat, K., Kesehatan, F., Dian, U.,

Semarang, N., Systems, S., & Udinus, P. S. I. (2012). Dokumen Karya

Ilmiah | Tugas Akhir | Program Studi Kesehatan Masyarakat - S1 | Fakultas


Kesehatan | Universitas Dian Nuswantoro Semarang | 2012. 5–6.

Junita, T. D. (2017). PERANAN SOP PADA ORGANISASI PEMERINTAHAN

KOTA SURABAYA DALAM PENINGKATAN KEPUASAN

PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT(Studi Di Bagian Umum dan

Protokol Pemerintahan Kota Surabaya). JPAP: Jurnal Penelitian

Administrasi Publik, 3(2), 858–863. https://doi.org/10.30996/jpap.v3i2.1266

jurnal kodefikasi. (2008). tinjauan pustaka rekam medis tentang kodefikasi. 269.

eprints.dinus.ac.id

Kusumawardhani, I. (2016). Journal About Knowledge. 4(2), 2–3.

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/239/

Loren, E. R., Wijayanti, R. A., Studi, P., Medis, R., Kesehatan, J., & Jember, P.

N. (2020). J-REMI : Jurnal Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan Analisis

Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis Penyakit Diabetes

Mellitus di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya J-REMI : Jurnal Rekam

Medik Dan Informasi Kesehatan. 1(3), 129–140.

Maryati, W., Murti, B., & Indarto, D. (2016). Factors Affecting the Quality of

Diagnosis Coding and Medical Record at Dr. Moewardi Hospital, Surakarta.

Journal of Health Policy and Management, 01(02), 61–70.

https://doi.org/10.26911/thejhpm.2016.01.02.01

Maryati, W., Rahayuningrum, I. O., & Sari, N. P. (2020). Dampak Beban Kerja

Coder Yang Tinggi Terhadap Ketidakakuratan Kode Diagnosis. Jurnal

Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 8(1), 49.

https://doi.org/10.33560/jmiki.v8i1.252
Pertiwi, J. (2019). Systematic review: Faktor Yang Mempengaruhi Akurasi

Koding Diagnosis di Rumah Sakit. Smiknas, 41–50.

https://ojs.udb.ac.id/index.php/smiknas/article/view/692

Pratami, S. L. S. (2015). Hubungan Ketepatan Pemberian Kode Diagnosa Dan

Tindakan Terhadap Persetujuan Klaim Bpjs. Hubungan Ketepatan

Pemberian Kode Diagnosa Dan Tindakan Terhadap Persetujuan Klaim

Bpjs, 3, 1–9.

Puspitasari, N. (2017). Evaluasi Tingkat Ketidaktepatan Pemberian Kode

Diagnosis Dan Faktor Penyebab Di Rumah Sakit X Jawa Timur. Jurnal

Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo, 3(2), 158.

https://doi.org/10.29241/jmk.v3i1.77

Retnaningsih, R. (2016). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Alat

Pelindung Telinga Dengan Penggunaannya Pada Pekerja Di Pt. X. Journal of

Industrial Hygiene and Occupational Health, 1(1), 67.

https://doi.org/10.21111/jihoh.v1i1.607

Sari, T. P., Trisna, W. V., & Trisna, W. V. (2019). Analisis Pengetahuan Petugas

Rekam Medis Tentang Terminologi Medis dI RSUD Petala Bumi Provinsi

Riau. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 7(1), 64.

https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i1.206

Sudra, R. I., Pujihastuti, A., & Sugiarsi, S. (2016). Pengaruh Penulisan Dianosis

Dan Pengetahuan Petugas Rekam Medis Tentang Terminologi Medis

Terhadap Keakuratan Kode Diagnosis. Jurnal Manajemen Informasi

Kesehatan Indonesia, 4(1), 67–72. https://doi.org/10.33560/jmiki.v4i1.99


Suryandari, dr. E. S. D. H. (2016). Analisis Faktor-faktor Keakuratan Kode

Diagnosis Penyakit di Puskesmas Kota Malang. World Health Statistics

Quarterly, 41(1), 32–36.

Yuniati, D. I. (2017). Analisis Hasil Koding yang Dihasilkan oleh Coder di

Rumah Sakit Pemerintah X di Kota Semarang Tahun 2012. Jurnal Ekonomi

Kesehatan Indonesia, 1(4), 167–174. https://doi.org/10.7454/eki.v1i4.1791

Ulfa, H. M., octaria, h., & sari, t. p. (2017). Analisis Ketepatan Kode Diagnosa

Penyakit Antara Rumah Sakit dan BPJS Menggunakan ICD-10 Untuk

Penagihan Klaim di Rumah Sakit Kelas C Sekota Pekanbaru Tahun 2016.

Jurnal INOHIM, Volume 5 Nomor 2, Desember 2017, 119-124.

Yeni, P. S. (2015). faktor yang berhubungan dengan pengetahuan penggunaan


obat generik pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas padang panyang
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Sri Fajri Mahani, dilahirkan di Gorontalo,

Kecamatan Limboto, Kabupaten

Gorontalo, Provinsi Gorontalo pada

tanggal 11 September 1999 dari pasangan

Mulyadi Mahani dan Kartin Liputo yang

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, kakak bernama

Mohamad Sahrul Mahani dan adik bernama Syawal Mahani.

Pengalaman menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar SDN 1 Pentadio

Timur selama enam tahun pada tahun 2005-2011, kemudian melanjutkan

pendidikan ketingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Widyakrama

tiga tahun, dimulai pada tahun 2011-2014, setelah itu melanjutkan pendidikan

ketingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Limboto selama tiga tahun

dimulai pada tahun 2014-2017 dan melanjutkan pendidikan perguruan tinggi

tepatnya di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Panakkukang Makassar

jurusan Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK) selama tiga tahun.

Anda mungkin juga menyukai