Anda di halaman 1dari 61

PROPOSAL

LITERATURE REVIEW
FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE DIAGNOSIS
UTAMA

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW
FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE DIAGNOSIS
UTAMA

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020

2
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW

FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE


DIAGNOSIS UTAMA

Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan


Program Studi Diploma 3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

Disusun dan diajukan oleh

SRI FAJRI MAHANI


NIM. 17.03.097

YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG MAKASSAR
PROGRAM STUDI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020

ii
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW

FAKTOR PENYEBAB KETIDAKTEPATAN KODE


DIAGNOSIS UTAMA

Disusun dan diajukan oleh


SRI FAJRI MAHANI
NIM. 17.03.097

Menyetujui
Tim pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Asriyanti, SKM,M. Kes Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep, M.Kep

Mengetahui,
Ketua Program Studi D3 Rekam
Medis dan Informasi Kesehatan

Syamsuddin, A.Md.PK, SKM, M.Kes

iii
iv
v
SURAT PERNYATAAN KARYA TULIS ILMIAH

Yang bertanda tangan dibawah ini saya:

Nama : Sri Fajri Mahani


NIM : 17.03.097

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Judul Karya Tulis Ilmiah ini


Sebagai berikut: LITERATURE REVIEW FAKTOR PENYEBAB
KETIDAKTEPATAN KODE DIAGNOSIS UTAMA
Merupakan Karya Tulis Ilmiah yang saya buat sendiri dan bukan
merupakan bagian dari Karya Tulis orang lain. Bilamana ternyata pernyataan ini
tidak benar, saya sanggup menerima sanksi akademik yang ditetapkan oelh
STIKES Panakukkang Makassar.

Makassar, 07 Desember 2020


Mengetahui, Yang membuat pernyataan
Ketua Prodi D3 Rekam Medis dan
Informasi Kesehatan
Materai
Rp. 6000,-

Syamsuddin, A.Md.PK. SKM. M.Kes Sri Fajri Mahani


NIK. 093.152.01.04.026 NIM. 17.03.097

vi
ABSTRAK
SRI FAJRI MAHANI : LITERATURE REVIEW FAKTOR PENYEBAB
KETIDAKTEPATAN KODE DIAGNOSIS UTAMA
PEMBIMBING : Asriyanti dan Muh. Zukri Malik (xiv + 48 halaman + 4 tabel + 1 gambar)

Latar belakang: Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama akan berdampak pada
kualitas kode diagnosis yang akan mempengaruhi keakuratan dan kekonsistensian kode diagnosis.
Kode diagnosis yang tidak tepat dan akurat dapat merugikan rumah sakit, oleh karena itu sangat
diperlukan evaluasi kode diagnosis terkhusus diagnosis utama. Tujuan: Untuk mengetahui faktor
yang menyebabkan ketidaktepatan dalam memberikan kode diagnosis utama. Metodologi:
Pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah google scholar untuk menemukan
jurnal sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi untuk kemudian dilakukan review. Hasil: Dari
beberapa jurnal yang dilakukan review ditemukan pengetahuan petugas coder dalam hal
pengkodean rata-rata tidak baik, tidak lengkapnya informasi penunjang medis masih sering terjadi,
penggunaan singkatan yang tidak sesuai dengan daftar singkatan rumah sakit, tulisan dokter yang
sulit dibaca, petugas coder yang belum memiliki banyak pengalaman dalam bekerja dan
ketersediaan SPO yang masih sulit untuk dipahami. Kesimpulan: berdasarkan hasil penelitian dari
tiga jurnal ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan ketidaktepatan kode diagnosis utama
yakni pengetahuan coder, ketidaklengkapan informasi penunjang medis, singkatan yang tidak
baku, tulisan dokter yang sulit dibaca, pengalaman kerja dan SPO kodefikasi yang tidak tersedia.

Kata kunci : faktor, ketidaktepatan kode, diagnosis utama

vii
ABSTRACT

SRI FAJRI MAHANI: LITERATURE REVIEW OF FACTORS CAUSES OF


INACCURACY OF MAIN DIAGNOSIS CODE
SUPERVISOR: Asriyanti and Muh. Zukri Malik (xiv + 48 pages + 4 tables + 1 image)

Background: Inaccuracy in determining the main diagnostic code will have an impact on the
quality of the diagnosis code which will affect the accuracy and consistency of the diagnosis code.
An incorrect and accurate diagnosis code can be detrimental to the hospital, therefore it is
necessary to evaluate the diagnosis code, especially the main diagnosis. Objective: To determine
the factors that cause inaccuracy in providing the main diagnosis code. Methodology: The search
for journals used in this study was google scholar to find journals that match the inclusion and
exclusion criteria for later review. Results: From several journals that were reviewed, it was found
that the knowledge of coder officers in terms of average coding was not good, incomplete medical
supporting information was still common, the use of abbreviations that did not match the list of
hospital abbreviations, doctors' writings that were difficult to read, coder officers who do not have
much experience in work and the availability of SPO is still difficult to understand. Conclusion:
based on the results of research from three journals, it was found that several factors caused the
inaccuracy of the main diagnosis code, namely coder knowledge, incomplete medical support
information, non-standard abbreviations, hard-to-read doctor's writings, work experience and
unavailable SPO codification.

Key words: factor, code imprecision, main diagnosis

viii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warohmatrullahi Wabarokatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala,

karena hanya dengan izin dan kuasa-Nya penulis dapat menyelesaikan

penyusunan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “Faktor Penyebab

Ketidaktepatan Kode Diagnosis Utama”. Sholawat dan salam tak lupa pula

penulis kirimkan kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wassallam.

Beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang telah membawa umatnya ke

alam yang terang menerang seperti ini. Penulis menyadari penyusunan karya

tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis

memohon masukan untuk kesempurnaan penulisan karya tulis ilmiah ini.

Penulisan karya tulis ilmiah ini sebagai salah satu persyaratan dalam

penyelesaian program studi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan di

STIKES Panakkukang Makassar.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua orang tua tercinta

Ayahanda Mulyadi Mahani dan Ibunda Kartin Liputo yang senantiasa

mendoakan serta memberikan bantuan baik secara moril maupun material.

Dan tak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. H. Sumardin Makka, SKM, M.Kes selaku Ketua Yayasan Perawat Sulawesi

Selatan (YPSS).

ix
2. Dr. Ns. Makkasau Plasay, M.Kes, M.EDN selaku Ketua Stikes Panakkukang

Makassar.

3. Syamsuddin, A.Md.PK, SKM, M.Kes selaku Ketua Program Studi D3

Rekam Medis dan Informasi Kesehatan STIKES Panakkukang Makassar.

4. Asriyanti, SKM, M.Kes selaku pembimbing I dalam penyusunan karya tulis

ilmiah ini.

5. Ns. Muh. Zukri Malik, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II dalam

penyusunan karya tulis ilmiah ini.

6. Arief Azhari Ilyas,S.St.MIK.,M.KM selaku penguji dalam ujian akhir

program, yang telah menguji dan memberikan masukan.

7. Seluruh staf dan dosen Prodi D3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan

STIKES Panakkukang Makassar yang telah memberikan arahan serta

bimbingan melalui proses pendidikan.

8. Seluruh keluarga yang telah memberikan bantuan serta semangat untuk

menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

9. Teman-teman RMIK B 2017 atas segala kebersamaan, semangat dan makna

hidup yang telah dilalui bersama.

10. Teman-teman dekat saya Adelya Mahmud, Friasti Fredrik, Hardianti B,

Nanis Hestiana, Nirwana, Nurul Fitri Amalia Lestaluhu, Yuliyana, Moh.

Faisal, Wahyudin, Mentari Aprilia Besi, Sri Rahma Amanda Sadingo,

x
Fika Apriyani Kuke, Dwi Sandra Moonti, Sitti Munsyirah Ayuba

yang selalu membantu dan memberikan semangat.

Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini masih jauh dari

kesempurnaan, karena itu kritik dan saran yang membangun sangat

diharapkan sehingga dapat bermanfaat baik untuk penulis sendiri maupun

pembaca. Sekian dan terimakasih.

Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Makassar, 07 Desember 2020

Penulis

xi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................i

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ii

HALAMAN PENGESAHAN............................................................................iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN......................................................iv

ABSTRAK..........................................................................................................v

ABSTRACT.........................................................................................................vi

KATA PENGANTAR.......................................................................................vii

DAFTAR ISI.......................................................................................................x

DAFTAR TABEL.............................................................................................xii

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................xiii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.......................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................3

C. Tujuan Penulisan..................................................................................3

D. Manfaat Penulisan................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Kodefikasi menurut ICD-10.....................................5

B. Tinjauan tentang Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis

Utama ....................................................................................10

BAB III METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian................................................................................20

xii
B. Pencarian literature

1. Kata Kunci (keywords)...............................................................20

2. Database Pencarian Literature....................................................20

3. Strategi Pencarian Literature......................................................21

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi..............................................................21

D. Sintesis Hasil Literature

1. Hasil Pencarian Literature..........................................................21

2. Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria......................................22

E. Ekstraksi Data....................................................................................24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil...................................................................................................25

B. Pembahasan........................................................................................29

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................39

B. Saran...................................................................................................39

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Strategi Pencarian Literature Review........................................................21

Tabel 2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi....................................................................21

Tabel 3 Ekstraksi Data Literature Review.............................................................24

Tabel 4 Karakteristik Data Literature....................................................................27

xiv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Diagram Alur Review Jurnal................................................................22

xv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang perekam medis

adalah mampu menetapkan kode penyakit dan tindakan medis dengan

lengkap, tepat dan akurat. Untuk menghasilkan data yang berkualitas salah

satunya adalah ketepatan dalam menentukan kode diagnosis utama (Sari dkk.,

2019).

Ketepatan kode juga memiliki peran sebagai dasar pembuatan statistik

rumah sakit untuk mengetahui trend penyakit dan sebab kematian. Ketepatan

kode diagnosis utama menjadi kunci utama dalam pengklaiman asuransi

khususnya bagi pasien dengan asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Ketidaktepatan dalam memberikan kode diagnosa utama akan memberikan

kerugian baik secara finansial maupun dalam pengambilan kebijakan (Loren

dkk., 2020).

Ketidaktepatan penentuan kode diagnosis utama pada pasien memiliki

pengaruh dalam kelancaran pelayanan kesehatan, seperti kesalahan prosedur

medis, proses klaim yang terhambat, pencatatan angka kesakitan yang tidak

tepat, perencanaan dan evaluasi pelayanan kesehatan yang terhambat.

Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama disebabkan oleh

beberapa unsur yakni unsur metode seperti ketersediaan Standar Prosedur

Operasional (SPO) tentang pengkodean, kemudian unsur sarana dan prasarana

1
2

seperti kualitas dokumen rekam medis yang disediakan rumah sakit dan

ketersediaan sarana pendukung dan sarana komunikasi, dan unsur sumber

daya manusia seperti tulisan dokter yang sulit dibaca, penggunaan singkatan

yang tidak baku, seorang koder yang belum memahami cara mengkode dan

kurangnya ketelitian dalam mengkode (Pertiwi, 2019).

Oleh karena itu, seorang koder harus mampu menetapkan kode penyakit

dan tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia

dan diakui secara internasional yaitu menggunakan International Statistical

Classification of Disease and Related Health Problem Tenth Revision (ICD-

10) berdasarkan jenis penyakit dan tindakan medis yang diberikan selama

proses pelayanan kesehatan (Ilmiah dkk., 2012). Penulisan diagnosis yang

tepat, lengkap dan spesifik, akan memudahkan penetuan rincian kode

[ CITATION Set13 \l 1033 ].

Tetapi, dalam hal ini masih sering ditemukan ketidaktepatan dalam

menentukan kode diagnosis utama. Hal ini dapat dilihat dari penelitian yang

dilakukan oleh Retno Dwi Astuti, Riyoko, Dewi Lena SK di RSUD Sukoharjo

tahun 2007 menemukan 41% kode yang tidak tepat dan 55% kode yang tepat.

Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Erlindai & Auliya Indriani di

Rumah Sakit Umum Imelda Pekerja Indonesia tahun 2018 menemukan 67.7%

kode yang tidak tepat dan 32.3% kode yang tepat.

Ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosis utama akan

berdampak pada kualitas kode diagnosis yang akan mempengaruhi keakuratan

dan kekonsistensian kode diagnosis. Kode diagnosis yang tidak tepat dan
3

akurat dapat merugikan rumah sakit, oleh karena itu sangat diperlukan

evaluasi kode diagnosis terkhusus diagnosis utama. Evaluasi kode diagnosis

dapat dilakukan dengan beberapa indikator meliputi, keakuratan (validity),

kelengkapan (completenees), konsistensi (reliability) dan ketepatan waktu

(timeliness) (Gemala Hatta dalam Maryati dkk., 2020).

Berdasarkan uraian diatas saya tertarik untuk melakukan penelitian

yang berjudul “Literature Review Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode

Diagnosis Utama”. Dalam penyusunan literature review ini menggunakan

metode PICO, penulis menemukan P = kode diagnosis utama, I = faktor

penyebab , dan O = ketidaktepatan kode diagnosis utama.

B. Rumusan Masalah

Apakah faktor yang menyebabkan terjadinya ketidaktepatan dalam

pengkodean diagnosis utama ?

C. Tujuan Penulisan

Diketahuinya faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam

memberikan kode diagnosis utama.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk Institusi

Hasil dari literature review ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai bahan dan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan

tentang rekam medis khususnya di bidang Klasifikasi Kodefikasi

Penyakit dan Masalah terkait Kesehatan serta Tindakan (KKPMT).


4

b. Untuk Penelitian

1) Dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dalam hal

pengkodean diagnosis utama.

2) Dapat menjadi pengalaman dalam penelitian dengan

menggunakan metode literature review.

2. Manfaat Praktis

Hasil dari literature review ini diharapkan dapat menjadi masukan

kepada tenaga rekam medis khususnya di bidang koding dalam

menentukan kode diagnosis utama.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Kodefikasi menurut ICD-10

1. Pengertian Kodefikasi

Menurut Budi dalam (Suryandari, 2016) Kodefikasi (coding)

adalah pemberian/penetapan kode dengan menggunakan huruf dan angka

atau kombinasi antara huruf dan angka yang mewakili komponen data.

Menurut World Health Organization (WHO), Coding (kodefikasi)

adalah proses pengklasifikasian data dan penentuan kode (sandi) nomor/

alfabet / alfanumerik untuk mewakilinya. ICD-10 menggunakan kode

kombinasi yaitu abjat dan angka (Alpha Numerik) (Suryandari, 2016)

Kodefikasi atau coding adalah salah satu kegiatan pengolahan data

rekam medis untuk memberikan kode dengan huruf atau dengan angka

atau kombinasi huruf dan angka yang mewakili komponen data

[CITATION Aep16 \l 1033 ].

2. Tujuan Kodefikasi

Kodefikasi penyakit oleh World Health Organization (WHO)

bertujuan untuk menyeragamkan nama dan golongan penyakit, cedera,

gejala, dan faktor yang memengaruhi kesehatan. Penetapan diagnosis

seorang pasien merupakan kewajiban, hak, dan tanggung jawab dokter

(tenaga medis) yang terkait tidak boleh diubah, oleh karena itu harus

5
6

didiagnosis sesuai dengan yang ada di dalam rekam medis (jurnal

kodefikasi, 2008).

3. Pengertian dan Fungsi ICD-10

International Classification of Diseases and Related Health

Problems – Tenth Revision (ICD-10) adalah pengelompokan penyakit

atau sebagai suatu sistem pengelompokan dari data morbiditas yang

ditetapkan sesuai dengan kriteria (WHO dalam Annavi, 2011). Salah satu

pedoman klasifikasi penyakit yang berlaku di dunia adalah ICD-10.

Fungsi ICD-10 menurut Kasim dalam (Annavi, 2011), penerapan

pengkodean ICD digunakan untuk:

a. Mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan

kesehatan.

b. Masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis.

c. Memudahkan proses penyimpanan dan pengambilan data terkait

diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan.

d. Bahan dasar dalam pengelompokan CBG (diagnostic-related

groups) untuk sistem penagihan pembayaran biaya pelayanan.

e. Pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas.

f. Tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi perencanaan

pelayanan medis

g. Menentukan bentuk pelayanan yang harus direncanakan dan

dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

h. Analisis pembiayaan pelayanan kesehatan.


7

4. Struktur ICD-10

Struktur ICD-10 terdiri atas 3 volume yaitu:

a. Volume 1, yang terdiri dari:

1) Pengantar

2) Pernyataan

3) Pusat-pusat kolaborasi WHO untuk klasifikasi penyakit

4) Laporan konferensi internasional yang menyetujui revisis ICD-

10.

5) Daftar kategori 3 karakter

6) Daftar tabulasi penyakit dan daftar kategori termasuk subkategori

empat karakter

7) Daftar morfologi neoplasma

8) Daftar tabulasi khusus morbiditas dan mortalitas

9) Definisi-definisi

10) Regulasi-regulasi nomenklatur.

b. Volume 2 adalah buku petunjuk penggunaan, berisi (Hatta, 2013):

1) Pengantar

2) Penjelasan tentang International Statistical Classification of

Diseases and Related Health Problems

3) Cara penggunaan ICD-10

4) Aturan dan petunjuk kodifikasi mortalitas dan morbiditas

5) Presentasi statistik

6) Riwayat perkembangan ICD


8

c. Volume 3, terdiri dari:

1) Pengantar

2) Susunan indeks secara umum

3) Seksi I : indeks abjad penyakit, bentuk cedera

4) Seksi II : penyebab luar cedera

5) Seksi III : table obal dan zat kimia

6) Perbakan terhadap volume 1.

5. Diagnosis

Diagnosis adalah penetapan suatu keadaan yang menyimpang atau

keadaan normal melalui dasar pemikiran dan pertimbangan ilmu

pengetahuan. Setiap penyimpangan dari keadaan normal ini dikatakan

sebagai suatu keadaan abnormal / anomali / kelainan (Ardhana, 2010).

Diagnosis juga merupakan kata / phrasa yang digunakan oleh

dokter untuk menyebut suatu penyakit yang diterima oleh pasien, atau

keadaan yang menyebabkan seorang pasien memerlukan / mencari /

menerima asuhan medis (medical care). Diagnosis yang terekam dalam

lembar rekam medis, baik tunggal, kombinasi maupun serangkaian gejala

sangat penting artinya dalam proses pemberian layanan kesehatan dan

asuhan medis di rumah sakit. Karena hal inilah dikenal beberapa macam

diagnosis (Haines dkk., 2019) yaitu :

a. Admitting Diagnosis yaitu diagnosis seseorang (pasien) saat masuk

dirawat (admission).
9

b. Discharge Diagnosis merupakan diagnosis yang diberikan setelah

selesainya episode perawatan atau diagnosis pada saat pasien pulang.

c. Diagnosis dalam Single-condition analysis of morbidity, pada kasus

ini, sampai sekarang belum ada aturan standar dalam penegakan

diagnosisnya. Hanya dalam ICD – 10 dikenal suatu aturan koding

morbiditas yang disebut Single-condition Analysis (Analisis kondisi

tunggal), yang mana pada pelaksanaan pemberian kode penyakit

hanya mengacu pada satu penyebab atau bisa disebut sebagai

penyebab utama morbiditas sebagai diagnosis yang akan dimasukan

kedalam tabulasi untuk selanjutnya diolah dan dianalis

Macam – macam diagnosis menurut WHO, sesuai dengan

rekomendasi dari ICD-10, WHO menetapkan kategori–kategori diagnosis

yang digunakan untuk memaparkan data morbiditas, khususnya di rumah

sakit, yaitu (Haines dkk., 2019) :

a. Principal Diagnosis merupakan diagnosis utama yang ditegakkan

setelah dikaji, yang terutama bertanggung jawab menyebabkan

admission pasien ke rumah sakit. WHO menetapkan batasan dari

principal diagnosis ini adalah sebagai berikut :

1) Ditentukan setelah selesai dikaji (determined after study).

2) Menjadi alasan (penyebab) (fakta) admission masuk rawat inap

(caused this particular admission).

3) Menjadi fakta arahan terapi / pengobatan / tindakan lain – lain

yang dilaksanakan (focus of treatment).


10

b. Other Diagnosis, selain principal diagnosis yang menggambarkan

suatu kondisi dimana pasien mendapatkan pengobatan, atau dimana

dokter mempertimbangkan kebutuhan untuk memasukkannya dalam

pemeriksaan kesehatan lebih lanjut.

c. Complication, suatu diagnosis tambahan (additional diagnosis)

yang menggambarkan suatu kondisi yang muncul setelah

dimulainya observasi dan perawatan di rumah sakit yang

mempengaruhi perjalanan penyakit pasien atau asuhan medis yang

dibutuhkan. Dalam kata lain, komplikasi menggambarkan suatu

akibat yang tidak diharapkan atau ‘misadventure’ dalam asuhan

medis pasien rumah sakit.

B. Tinjauan tentang Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis

Utama

1. Faktor Pengetahuan

a. Pengertian Pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2010) dalam Kusumawardhani (2016)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang dilakukan oleh manusia

terhadap suatu objek tertentu melalui proses pengindraan yang lebih

dominan terjadi melalui proses pengindraan penglihatan dengan mata

dan pendengaran dengan telinga. Menurut Efendi dan Makhfudli

(2009) dalam Eirene (2017) Pengetahuan atau kognitif merupakan

dominan yang sangat menentukan dalam membentuk kebiasaan atau

tindakan seseorang (overt behavior).


11

Menurut teori World Health Organization (WHO) dalam

(Notoatmodjo, 2007) salah satu bentuk objek kesehatan dapat

dijabarkan oleh pengetahuan yang diperoleh dan pengalaman sendiri.

b. Tingkatan pengetahuan

Menurut Notoatmodjo (2007) dalam Retnaningsih (2016)

pengetahuan tercakup dalam enam tingkatan yaitu :

1) Tahu (know)

Tahu adalah proses mengingat kembali (recall) akan suatu

materi yang telah dipelajari. Tahu merupakan pengetahuan yang

tingkatannya paling rendah dan alat ukur yang dipakai yaitu kata

kerja seperti menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan,

menyatakan, dan sebagainya (Retnaningsih, 2016).

2) Memahami (comprehension)

Memahami dapat diartikan sebagai sebuah kemampuan

untuk menjelaskan secara benar tentang suatu objek yang telah

diketahui dan dapat menginterpretasikan materi dengan

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan objek yang

telah dipelajari (Retnaningsih, 2016).

3) Aplikasi (Application)

Aplikasi adalah kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau suatu kondisi yang nyata.
12

4) Analisis (analysis)

Analisis dapat diartikan seagai sebuah kemampuan untuk

menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi

masih ada pada satu struktur organisasi dan masih berkaitan satu

sama lainnya yang kemudian dapat dinilai dan diukur dengan

penggunaan kata kerja seperti dapat menggambarkan (membuat

bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan

sebagainya (Retnaningsih, 2016).

5) Sintesis (syntesis)

Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan

atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

keseluruhan yang ada (Retnaningsih, 2016).

6) Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan

penilaian terhadap suatu materi atau objek yang didasari pada

suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada (Retnaningsih, 2016).

c. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan menurut

Mubarak dalam [ CITATION Poc153 \l 1033 ] sebagai berikut:

1) Umur

Bertambahnya umur seseorang akan terjadi perubahan pada

aspek psikologis (mental). Pertumbuhan fisik secara garis besar


13

akan mengalami perubahan baik dari aspek ukuran maupun dari

aspek proporsi yang mana hal ini terjadi akibat pematangan

fungsi organ. Sedangkan pada aspek psikologis (mental) terjadi

perubahan dari segi taraf berfikir seseorang yang semakin

matang dan dewasa.

2) Tingkat Pendidikan

Menurut Soekanto dalam [ CITATION Poc153 \l 1033 ]

pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang kepada

orang lain terhadap suatu hal agar mereka dapat memahami.

Pendidikan merupakan sebuah proses belajar dan proses

pertumbuhan, perkembangan ke arah yang lebih baik. Seseorang

yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah, biasanya akan

menghambat perkembangan sikap seseorang terhadap

penerimaan, informasi dan nilai – nilai yang baru diperkenalkan.

3) Pekerjaan

Pekerjaan merupakan faktor yang mempengaruhi

pengetahuan. Ditinjau dari jenis pekerjaan yang sering

berinteraksi dengan orang lain lebih banyak pengetahuannya bila

dibandingkan dengan orang tanpa ada interaksi dengan orang

lain. Menurut Wati dalam [CITATION Yen15 \l 1033 ]

Pengalaman belajar dalam bekerja yang dikembangkan

memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta

pengalaman belajar dalam bekerja akan dapat mengembangkan


14

kemampuan dalam mengambil keputusan yang merupakan

keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik.

4) Minat

Minat merupakan suatu kecenderungan atau keinginan yang

tinggi terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk

mencoba dan menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh

pengetahuan yang lebih mendalam [ CITATION Poc153 \l

1033 ].

5) Pengalaman

Menurut [ CITATION Poc153 \l 1033 ] pengalaman

adalah suatu kejadian yang pernah dialami seseorang dalam

berinteraksi dengan lingkungannya. Pengalaman yang buruk

seseorang akan cenderung dilupakan, namun jika pengalamannya

berkesan baik maka secara psikologis akan membekas dalam

emosi sehingga menimbulkan sikap positif.

6) Sumber Informasi

Sumber informasi adalah data yang diproses kedalam suatu

bentuk yang mempunyai arti sebagai sipenerima dan mempunyai

nilai nyata dan terasa bagi keputusan saat itu keputusan

mendatang Rudi Bertz dalam bukunya ”toxonomi of

comunication” media menyatakan secara gamblang bahwa

informasi adalah apa yang dipahami, sebagai contoh jika kita


15

melihat dan mencium asap, kita memperoleh informasi bahwa

sesuatu sedang terbakar.

d. Pengetahuan koder

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang

perekam medis adalah mampu untuk menetukan kode diagnosis

penyakit. Oleh karena itu, maka seorang koder harus memiliki

pengetahuan tentang dasar menentukan kode diagnosis berdasarkan

ICD-10 [CITATION Aep16 \l 1033 ]. Dasar dalam menentukan kode

diagnosis berdasarkan ICD-10 sebaga berikut:

1) Identifikasi tipe pernyataan yang akan dikode dan lihat di

buku ICD volume 3 (Alphabetical Index). Jika pernyataannya

adalah penyakit atau cedera atau lainnya diklasifikasikan dalam

bab 1-19 dan 21 (Section I Volume 3). Jika pernyataannya adalah

penyebab luar atau cedera diklasifikasikan pada bab 20 (Section

II Volume 3)

2) Tentukan Lead Term. Untuk penyakit dan cedera biasanya adalah

kata benda untuk kondisi patologis. Namum, beberapa kondisi

dijelaskan dalam kata sifat atau xxx dimasukkan dalam index

sebagai Lead Term.

3) Baca dan ikuti semua catatan atau petunjuk dibawah kata kunci.

4) Baca setiap catatan dalam tanda kurung setelah kata kunci

(penjelasan ini tidak mempengaruhi kode) dan penjelasan


16

indentasi dibawah lead term (penjelasan ini mempengaruhi kode)

sampai semua kata dalam diagnosis tercantum.

5) Ikuti setiap petunjuk rujukan silang (“see” dan “see also”) yang

ditemukan dalam index

6) Cek ketepatan kode yang telah dipilih pada volume 1. Untuk

Kategori 3 karakter dengan.- (point dash) berarti ada karakter ke

4 yang harus ditentukan pada Volume 1 karena tidak terdapat

dalam Index

7) Baca setiap inclusion atau exclusion dibawah kode yang dipilih

atau dibawah bab atau dibawah blok atau dibawah judul kategori.

8) Tentukan Kode

Kompetensi perekam medis yaitu perekam medis diharuskan

mampu melakukan tugas dalam memberikan pelayanan rekam medis

dan informasi kesehatan yang bermutu tinggi dengan memperhatikan

kompetensi (Rustiyanto, 2009) salah satunya adalah klasifikasi dan

kodefikasi penyakit, antara lain :

1) Menetukan nomor kode diagnosis sesuai petunjuk dan peraturan

pada buku ICD yang berlaku.

2) Mengumpulkan kode diagnosis pasien untuk memenuhi sistem

pengelolaan, penyimpanan data pelaporan dan kebutuhan analisis

sebab tunggal penyakit yang dikembangkan.


17

3) Mengklasifikasikan data kode diagnosis yang akurat bagi

kepentingan informasi morbiditas dan sistem pelaporan

morbiditas yang diharuskan.

4) Menyajikan informasi morbiditas dengan akurat dan tepat waktu

bagi kepentingan monitoring KLB epidemiologi dan lainnya.

5) Mengelola indeks penyakit dan tindakan guna kepentingan

laporan medis dan statistik derta permintaan informasi pasien

secara cepat dan terperinci.

6) Menjamin validitas data untuk registrasi penyakit.

7) Mengembangkan dan mengimplementasikan petunjuk standar

koding dan pendokumentasian.

2. Faktor Standar Prosedur Operasional (SPO) Kodefikasi

a. Pengertian dan Tujuan Standar Prosedur Operasional (SPO)

Menurut Tjipto Atmoko dalam Junita (2017), Standar Prosedur

Operasional merupakan suatu pedoman atau acuan untuk

melaksanakan tugas pekerjaan sesuai denga fungsi dan alat penilaian

kinerja instansi pemerintah berdasarkan indikator-indikator teknis,

administratif dan prosedural sesuai tata kerja, prosedur kerja dan

sistem kerja pada unit kerja yang bersangkutan.

b. Standar Prosedur Operasional (SPO) Kodefikasi

Sembilan langkah dasar dalam menentukan kode menurut

Gemala Hatta dalam (Agustine dkk., 2017) sebagai berikut:


18

1) Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode dengan ICD-10

Volume 3.

2) Lead term (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya

merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologis.

3) Baca dengan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul di

bawah istilah yang akan dipilih pada ICD-10 Volume 3.

4) Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung “()” sesudah lead

term (kata yang terdapat di dalam tanda kurung merupakan

modifier yang tidak akan mempengaruhi kode).

5) Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross reference) dan

perintah see dan see also yang terdapat dalam indeks abjad.

6) Lihat daftar tabulasi (ICD-10 Volume 1) untuk mencari nomor

kode yang paling tepat.

7) Ikuti pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih

atau bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori, atau

subkategori.

8) Tentukan kode yang dipilih.

9) Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang

dikode untuk memastikan kesesuaiannya dengan pernyataan

dokter tentang diagnosis utama pada formulir rekam medis

pasien guna menunjang aspek legal rekam medis.

3. Faktor Pengalaman Kerja

a. Pengertian Pengalaman
19

Menurut Armstong dan Baron dalam (Putri, 2017) menyatakan

bahwa pengalaman kerja merupakan salah satu elemen personal

factor yang mempengaruhi kinerja petugas di perusahaan.

Menurut Fosterdalam Aristarini dalam (Situmeang, 2017) ada

beberapa indikator pengalaman kerja antara lain, yaitu :

1) Lama waktu / masa kerja, ukuran tentang lama waktu atau masa

kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas-

tugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.

2) Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki,

pengetahuan merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan

atau informasi lain yang dibutuhkan oleh petugas. Pengetahuan

juga mencakup kemampuan untuk memahami dan menerapkan

informasi pada tanggung jawab pekerjaan.

3) Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan, tingkat

penguasaan seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik

peralatan dan teknik pekerjaan.


BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Desain penelitian merupakan penjabaran lebih lanjut dari desain

rangkuman hasil penelitian dengan jenis literature review untuk mencari

referensi teori yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang akan

diangkat, dari empat penelitian yang dilakukan review penelitian yang

menggunakan metode deskriptif dengan studi retrospektif sebanyak 1,

penelitian dengan pendekatan cross sectional sebanyak 1, dan penelitian

menggunakan metode observasi dengan pendekatan cross sectional dengan

jenis penelitian deskriptif analitik 1.

B. Pencarian Literature

Sumber data pada literature review adalah data sekunder, data utama

adalah artikel hasil penelitian, sehingga kualitas data yang ditentukan pada

pencarian literature.

1. Kata Kunci

Pencarian jurnal pada penelitian ini menggunakan kata kunci faktor

penyebab ketidaktepatan kode dan diagnosis utama.

2. Database Pencarian

Database pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini

adalah google scholar.

20
21

3. Strategi Pencarian

Strategi pencarian jurnal yang digunakan pada penelitian ini adalah

sebagai berikut.

Tabel 1
Strategi Pencarian Literature Review

DATABASE STRATEGI PENCARIAN JURNAL


Google Scholar Faktor Ketidaktepatan Kode AND Diagnosis
Utama

C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria inklusi artinya syarat yang harus dipenuhi artikel tersebut

agar bisa dijadikan data untuk dilakukan literature review, sedangkan

kriteria eksklusi adalah indikator ketika itu ditemukan pada artikel tersebut

maka artikel itu tidak diambil dalam proses literature review. Adapun

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi pada literature ini sebagai berikut.

Tabel 2
Kriteria Inklusi dan Eksklusi

INKLUSI EKSKLUSI
Artikel tahun 2015-2020 Artikel dibawah tahun 2015
Faktor penyebab ketidaktepatan Pengkodean Diagnosis Sekunder
kode diagnosis utama
Jurnal yang full text. Jurnal yang hanya menampilkan
abstrak atau tidak full text.

D. Sintesis Hasil literature

1. Hasil Pencarian Literature

Hasil pencarian jurnal di database yang akan digunakan pada

literature ini ditemukan hasil 530 jurnal pada google scholar.

Kemudian setelah difilter berdasarkan tahun didapatkan 396 jurnal.


22

Ditemukan sebanyak 4 jurnal tidak bisa diunduh dan kemudian

dilakukan skrining berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi didapatkan

ada 3 jurnal. Maka yang digunakan pada penelitian literature ini

adalah sebanyak 3 jurnal yang memenuhi kriteria dan 3 jurnal tersebut

full text.

Identifikasi jurnal di google


scholar n=15

Jurnal setelah difilter


berdasarkan tahun n=14

Jurnal setelah dilakukan


skrining berdasarkan kriteria
n=7

Jurnal yang digunakan


Jurnal yang tidak bisa diunduh
dalam Penelitian
n=4
Literature n=3

Gambar 1 Diagram Alur Review Jurnal


2. Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria

a. Hubungan pengetahuan koder dengan keakuratan kode diagnosis

pasien rawat inap jaminan kesehatan masyarakat berdasarkan ICD-

10 di RSUD Simo Boyolali.


23

b. Evaluasi Tingkat Ketidaktepatan Pemberian Kode Diagnosis dan

faktor penyebab di rumah sakit x Jawa Timur

c. Faktor-faktor yang berpengaruh pada akurasi kode diagnosis di

puskesmas rawat jalan kota Malang.


E. Ekstraksi Data

Tabel 3
Ekstraksi Data Literature Review
Faktor yang menyebabkan ketidaktepatan kode
No. Judul, Nama Peneliti, Tahun Desain Penelitian Populasi, sampel
diagnosis utama
1. Hubungan pengetahuan coder Metode analitik sampel yang digunakan 7 Ada tiga tingkatan pengetahuan coder dalam
dengan keakuratan kode dengan pendekatan responden dan 93 Dokumen penelitian tersebut yaitu cukup, kurang baik dan
diagnosis pasien rawat inap cross sectional. Rekam Medis (DRM). tidak baik.
jaminan kesehatan masyarakat Instrument yang digunakan
berdasarkan ICD-10 di RSUD adalah kuesioner, pedoman
Simo Boyolali, Yeni Tri wawancara, pedoman
Utami, 2015. observasi, lembar analisis
keakuratan dan ICD-10.
2. Evaluasi tingkat Deskriptif dengan Populasinya adalah Berkas a. Pengetahuan coder
ketidaktepatan pemberian studi retrospektif Rekam Medis (BRM) bulan b. Ketidaklengkapan informasi penunjang medis
kode diagnosis dan faktor Januari-Maret tahun 2017 c. Ketidaksesuain penggunaan singkatan dengan
penyebab di Rumah Sakit X sebanyak 4.280 dan sampel daftar singkatan Rumah Sakit
Jawa Timur, Nurmalinda yang diambil sebanyak 634 d. Keterbacaan diagnosis
Puspitasari dan Diah Retno BRM rawat jalan dan rawat
Kusumawati, 2017. inap.

3. Faktor-faktor yang Pendekatan cross Populasinya adalah 5 a. Pengalaman kerja mengkode


berpengaruh pada akurasi sectional puskesmas. Masing-masing b. Pengetahuan tentang diagnosis kode
kode diagnosis di puskesmas puskesmas dipilih 3 petugas penyakit.
rawat jalan kota Malang, koder. Jumlah sampel yang
Endang Sri DHS dan diperoleh dari masing-masing
Mulyohadi Ali, 2019. puskesmas 36 dokumen
rekam medis yang dikode
oleh dokter, dokter gigi dan
perawat.

24 24
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

Pada bab ini penulis mendekripsikan beberapa sumber dari literature

review tentang faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis utama.

Penulis melakukan pencarian dan pengumpulan jurnal ilmiah pada periode

2015 sampai dengan tahun 2020.

Berdasarkan hasil pencarian jurnal, penulis memperoleh tiga jurnal

yang sesuai dengan kriteria inklusi. Hasil pencarian tersebut berhubungan

dengan faktor penyebab ketidaktepatan dalam memberikan kode diagnosis

utama. Adapun hasil literature yang penulis dapatkan disajikan berdasarkan

tabel penyajian sebagai berikut :

25
Tabel 4
Karakteristik Data Literature
Nama Penulis Nama Jurnal, Metode (Desain, Sumber
No. Judul Hasil Penelitian
(Tahun) Vol,No Populasi Variabel) Database
1. Yeni Tri Utami Jurnal Ilmiah Hubungan Metode analitik Faktor penyebab ketidaktepatan pengkodean Google
(2015) Rekam Medis Pengetahuan dengan pendekatan diagnosis utama dalam penelitian tersebut Scholar
dan Informasi Coder dengan cross sectional, adalah pengetahuan coder. Pengetahuan coder
Kesehatan, Keakuratan populasi dalam terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
Vol.5, No.1, Kode Diagnosis penelitian ini adalah a. Tingkat pengetahuan cukup sejumlah 2
Hal: 13-25, Pasien Rawat 7 orang coder dan responden (28,6%)
Februari 2015 Inap Jaminan 1.284 dokumen b. Tingkat pengetahuan kurang baik sejumlah
Kesehatan rekam medis pasien 2 responden (28,6%)
Masyarakat rawat inap c. tingkat pengetahuan tidak baik sejumlah 3
Berdasarkan jamkesmas tahun responden (42,8 %).
ICD-10 Di 2013.
RSUD Simo
Boyolali
2. Nurmalinda Jurnal Evaluasi Deskriptif dengan Faktor-faktor penyebab ketidaktepatan kode
Puspitasari dan Manajemen Tingkat studi retrospektif , meliputi:
Diah Retno Kesehatan, Ketidaktepatan Populasinya seluruh a. Pengetahuan coder, sebanyak 3 coder atau Google
Kusumawati Vol.3, No.1, Pemberian Kode berkas rekam medis 25% memiliki tingkat pengetahuan cukup Shcolar
(2017) Hal: 27-38, Diagnosis dan bulan Januari-Maret baik, sebanyak 7 coder atau 58% memiliki
Oktober 2017 faktor penyebab 2017 sebanyak 4280 tingkat pengetahuan kurang baik dalam
di rumah sakit x dan sampel yang pengkodean dan sebanyak 2 coder atau
Jawa Timur diambil sebanyak 634 17% memiliki tingkat pengetahuan yang
berkas rekam medis. baik.
b. Ketidaklengkapan informasi penunjang
medis, sebanyak 5% informasi
pemeriksaan penunjang medis pada BRM
tidak lengkap, sebanyak 59% BRM yang
tidak membutuhkan informasi penunjang
26
medis dan sebanyak 36% informasi

26
27

Nama Penulis Nama Jurnal, Metode (Desain, Sumber


No. Judul Hasil Penelitian
(Tahun) Vol,No Populasi Variabel) Database
penunjang medis pada BRM sudah lengkap.
c. Ketidaksesuaian penggunaan singkatan
dengan daftar singkatan rumah sakit,
sebanyak 174 BRM (27%) yang
menggunakan singkatan tidak sesuai
dengan daftar singkatan rumah sakit,
penggunaan singkatan yang sudah sesuai
dengan daftar singkatan sebanyak 144
BRM (23%) dan sebanyak 316 BRM (50%)
tidak menggunakan singkatan.
Keterbacaan diagnosis, sebanyak 214 BRM
(34%) yang diagnosisnya tidak dapat
terbaca dan sebanyak 420 BRM (66%)
diagnosisnya dapat terbaca.
3. Endang Sri Jurnal Faktor-faktor Pendekatan cross Hasil penelitian menemukan faktor-faktor yang Google
DHS dan Kedokteran yang sectional, mempengaruhi kode meliputi : Shcolar
Mulyohadi Ali Brawijaya, berpengaruh populasinya adalah 5 a. Pengetahuan, sebanyak 8 orang coder atau
(2019) Vol.30, No.3, pada akurasi puskesmas yang 53,3% memiliki skor pengetahuan dibawah
Hal: 228-234, kode diagnosis masing-masing 60 dan sebanyak 7 orang coder atau 46,7%
Februari 2019 di puskesmas puskesmas dipilih 3 memiliki skor pengetahuan diatas 60.
rawat jalan kota petugas koder. b. Pengalaman kerja, sebanyak 7 orang coder
Malang Sampelnya masing- atau 46,7% pengalaman kerjanya di bidang
masing puskesmas kodefikasi kurang dari tiga tahun dan
ada 36 dokumen sebanyak 8 orang coder atau 53,3%
rekam medis yang pengalaman kerjanya lebih dari tiga tahun.
dikode. c. SPO kodefikasi diagnosis, sebanyak 9
puskesmas (60%) belum memiliki SPO
kodefikasi dan sebanyak 6 puskesmas
(40%) sudah terdapat SPO kodefikasi.
27
Berdasarkan pada tabel diatas, menurut penelitian dari Yeni Tri Utami

tahun 2015 ditemukan faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis utama

adalah pengetahuan coder yang minim. Pengetahuan coder terbagi menjadi

tiga tingkatan yaitu cukup, kurang baik dan tidak baik. Pengetahuan yang

cukup sebanyak 2 responden (28,6%), pengetahuan kurang baik sebanyak 2

responden (28,6%) dan pengetahuannya yang tidak baik sebanyak 3 responden

(42,8 %).

Menurut penelitian dari Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno

Kusumawati tahun 2017 ditemukan bahwa faktor penyebab ketidaktepatan

pengkodean adalah pengetahuan coder yakni sebanyak 3 coder atau 25%

memiliki tingkat pengetahuan cukup baik, sebanyak 7 coder atau 58%

memiliki tingkat pengetahuan kurang baik dalam pengkodean dan sebanyak 2

coder atau 17% memiliki tingkat pengetahuan yang baik. Selanjutnya, untuk

infomasi pemeriksaan penunjang medis yang tidak lengkap yakni sebanyak

5%, BRM yang tidak membutuhkan informasi penunjang medis sebanyak

59% dan informasi penunjang medis pada BRM yang sudah lengkap sebanyak

36%. Penggunaan singkatan yang tidak sesuai dengan daftar singkatan rumah

sakit sebanyak 174 BRM (27%), penggunaan singkatan yang sudah sesuai

dengan daftar singkatan rumah sakit sebanyak 144 BRM (23%) dan sebanyak

316 BRM (50%) tidak menggunakan singkatan. Diagnosis yang tidak dapat

dibaca yakni sebanyak 214 BRM (34%) dan sebanyak 420 BRM (66%)

diagnosisnya dapat terbaca.

28
29

Penelitian Endang Sri Dewi Hastuti Suryandari dan Mulyohadi Ali

tahun 2019 ditemukan faktor-faktor penyebab ketidaktepatan kode adalah

pengetahuan coder dibawah skor 60 yakni sebanyak 8 orang coder atau 53,3%

dan sebanyak 7 orang coder atau 46,7% memiliki skor pengetahuan diatas 60.

pengalaman kerja kodefikasi yang kurang dari tiga tahun yakni sebanyak 7

orang coder atau 46,7% dan sebanyak 8 orang coder atau 53,3% pengalaman

kerjanya lebih dari tiga tahun. Terdapat 9 puskesmas atau 60% yang belum

memiliki SPO kodefikasi dan sebanyak 6 puskesmas atau 40% sudah memiliki

SPO kodefikasi.

B. Pembahasan

Dari hasil review terhadap tiga jurnal pada google sholar, ditemukan

faktor-faktor penyebab ketidaktepatan kode diagnosis utama sebagai berikut:

1. Pengetahuan Coder

Menurut Notoatmodjo (2010) dalam Kusumawardhani (2016)

Pengetahuan adalah hasil dari tahu yang dilakukan oleh manusia

terhadap suatu objek tertentu melalui proses pengindraan yang lebih

dominan terjadi melalui proses pengindraan penglihatan dengan mata

dan pendengaran dengan telinga.

Penelitian Yeni Tri Utami pada tahun 2015 ditemukan faktor

penyebab ketidaktepatan kode diagnosis utama yaitu pengetahuan coder

yang belum baik. Dalam penelitian tersebut terdapat tiga tingkatan

pengetahuan yaitu sebanyak 2 orang responden (28,6%) memiliki

pengetahuan yang cukup dikarenakan responden dilihat dari segi


30

pendidikan dari D3 Rekam Medis dan belum pernah melakukan

pelatihan, akan tetapi responden ini memiliki tanggung jawab yang

besar sebagai kepala rekam medis sehingga memiliki pengetahuan yang

cukup berkaitan dengan koding dengan menggunakan ICD-10 dan

ketentuan-ketentuannya. sebanyak 2 orang responden (28,6%) memiliki

pengetahuan yang kurang baik hal ini dilihat dari pengetahuan tata cara

penggunaan ICD-10 dan ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya dan

pendidikannya dari D3 non rekam medis. Sebanyak 3 orang responden

(42,8%) yang memiliki pengetahuan yang tidak baik karena ketiga

responden tersebut jika dilihat dari segi pendidikan merupakan lulusan

dari SMA dan dilihat dari pernah atau tidaknya pelatihan mengenai

koding dengan menggunakan ICD-10, belum pernah melakukan

pelatihan secara resmi tetapi hanya secara autodidak dan mereka

melakukan pengkodean diagnosis hanya berdasarkan buku pintar dan

tidak langsung melihat pada ICD-10 sehingga menyebabkan

pengetahuan mereka mengenai tata cara menggunakan ICD-10 dan

ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya tidak baik.

Menurut penelitian Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno

Kusumawati pada tahun 2017 didapatkan salah satu faktor penyebab

ketidaktepatan kode diagnosis utama yaitu pengetahuan. Dalam penelitian

tersebut ditemukan sebanyak 3 orang coder (25%) memiliki tingkat

pengetahuan cukup baik dan sebanyak 7 orang coder (58%) memiliki

tingkat pengetahuan kurang baik dalam pengkodean. Berdasarkan hasil


31

penilaian tingkat pengetahuan 10 coder memiliki tingkat pengetahuan

cukup baik dan kurang baik yaitu dengan latar belakang pendidikan SMA.

Dari tiga penelitian diatas menunjukkan tingkat pengetahuan coder

termasuk dalam kategori tidak baik. Hal ini disebabkan latar belakang

pendidikan coder yang bukan dari D3 Rekam Medis. Hal ini tidak sesuai

dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

HK.01.07/MENKES/312/2020 yang menyatakan bahwa salah satu

kompetensi perekam medis yang berkaitan dengan penelitian tersebut dan

harus dikuasai adalah Klasifikasi dan Kodefikasi Penyakit, Masalah-

masalah yang berkaitan dengan Kesehatan dan Tindakan Medis

(KKPMT), yang menunjukkan pentingnya kemampuan ini bagi seorang

ahli madya perekam medis (Puspitasari, 2017).

Menurut penelitian Endang Sri DHS dan Mulyohadi Ali pada

tahun 2019 ditemukan faktor-faktor penyebab ketidaktepatan kode salah

satunya adalah pengetahuan coder yang berada dibawah skor 60 yakni

sebanyak 8 orang coder atau 53,3%. Dalam penelitian tersebut

pengetahuan coder tentang kodefikasi diagnosis merupakan faktor yang

mempunyai hubungan terkuat yang menyebabkan ketidaktepatan kode

diagnosis. Ketidaktepatan kode diagnosis dapat menyebabkan kerugian

terhadap rumah sakit diantaranya berdampak pada perhitungan biaya

pelayanan rumah sakit yang sekarang menggunakan sistem INA-CBGs,

menghambat proses pengklaiman, kesalahan dalam memberikan prosedur

medis dan pencatatan angka kesakitan yang tidak tepat. Sesuai dengan
32

pedoman Depkes RI dan update WHO yang menyebutkan salah satu

penyebab ketidaktepatan kode diagnosis adalah petugas coder yang

bertanggungjawab dalam memberikan kode diagnosis yang ditulis oleh

dokter (Ali dkk., 2019).

Menurut saya, pengetahuan tentang kodefikasi penyakit

merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap coder. Berdasarkan dari

hasil penelitian beberapa jurnal faktor yang menyebabkan ketidaktepatan

kode adalah kurangnya pengetahuan coder tentang pengkodean yang

benar seperti penentuan karakter ke-5, tata cara penggunaan ICD-10,

pengetahuan tentang terminologi medis dan kurangnya pelatihan tentang

pengkodean terutama untuk coder yang berlatar belakang pendidikan

SMA dan D3 non rekam medis. Pengetahuan dan pemahaman yang baik

dapat menjadi penunjang untuk meningkatkan kualitas kode. Untuk

memperoleh pengetahuan baik harus didukung oleh faktor pendidikan,

selain itu perlu adanya pelatihan-pelatihan resmi tentang koding yang juga

dapat menunjang seseorang untuk mendapatkan pengetahuan yang baik.

2. Ketidaklengkapan Informasi Penunjang Medis

Menurut penelitian Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno

Kusumawati pada tahun 2017 didapatkan faktor penyebab

ketidaktepatan kode diagnosis utama salah satunya yaitu

ketidaklengkapan informasi penunjang medis. Hasil penelitian

ditemukan sebanyak 32 BRM (5%) infomasi pemeriksaan penunjang

medisnya tidak lengkap diantaranya 7 BRM (2%) rawat jalan dan 25


33

BRM (9%) rawat inap. Hasil pemeriksaan penunjang yang tidak lengkap

adalah hasil pemeriksaan USG atau hasil pemeriksaan laboratorium

tidak tertempel pada BRM. Kelengkapan hasil pemeriksaan penunjang

dapat dijadikan sebagai informasi untuk menetukan kode diagnosis yang

tepat.

Menurut Abdelhak dalam (Puspitasari, 2017) pengkodean harus

dilaksanakan secara berurutan agar tidak terjadi kesalahan dalam

menentukan kode. Sebelum melakukan proses pengkodean, petugas

rekam medis harus memeriksa kelengkapan lembar rekam medis dan

kelengkapan catatan dokter, terutama catatan tentang diagnosis yang

tertulis pada lembar ringkasan masuk dan keluar dan sudah terdapat

tanda tangan dokter.

Informasi pemeriksaan penunjang medis yang lengkap dapat

mempermudah coder dalam menentukan kode diagnosis yang tepat

karena dalam pengkodean, perlu untuk coder memeriksa terlebih dahulu

kelengkapan lembaran BRM dan memeriksa kelengkapan catatan pada

BRM sebelum mengkode.

3. Ketidaksesuaian Penggunaan Singkatan dengan Daftar Singkatan

Rumah Sakit

Penelitian Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno Kusumawati

pada tahun 2017 ditemukan 174 BRM (27%) yang menggunakan

singkatan tidak sesuai dengan daftar singkatan yang dibakukan rumah

sakit dengan rincian 11 BRM (3%) rawat jalan dan 163 BRM (59%)
34

rawat inap. Pengunaan singkatan dalam penulisan diagnosis pada berkas

rekam medis dapat mempengaruhi coder dalam menentukkan kode,

sehingga perlunya untuk menggunakan singkatan sesuai dengan daftar

singkatan yang telah dibakukan oleh rumah sakit.

Berdasarkan Instrumen Akreditasi Rumah Sakit Standar Akreditasi

Versi 2012 Bab 6 Manajemen Komunikasi dan Informasi (MKI),

dijelaskan pada Standar MKI.13 bahwa standarisasi terminologi,

definisi, vocabullary (kosa kata) dan penamaan (nomenklatur)

memfasilitasi pembandingan antara data dan informasi di dalam

maupun antar rumah sakit. Keseragaman penggunaan kode diagnosa dan

kode prosedur/tindakan mendukung pengumpulan dan analisis data.

Singkatan dan simbol juga distandarisasi dan termasuk daftar “yang

tidak boleh digunakan“. Standarisasi tersebut konsisten dengan standar

lokal dan nasional yang berlaku (Sutoto dkk., 2012).

Penggunaan singkatan yang tidak sesuai disebabkan karena

kurangnya singkatan yang biasa digunakan oleh dokter dalam daftar

singkatan. Oleh karena itu perlu ditambahkan untuk menyeragamkan

pemahaman pengkodean agar dapat mempermudah coder menetukan

kode.

4. Keterbacaan Diagnosis

Penelitian Nurmalinda Puspitasari dan Diah Retno Kusumawati

pada tahun 2017 ditemukan 214 BRM (34%) yang diagnosisnya tidak

dapat terbaca. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik


35

Indonesia Nomor 129/MENKES/SK/II/2008 pasal 2 ayat (1) rekam

medis harus dibuat secara tertulis, lengkap dan jelas atau secara

elektronik. Pasal 3 menyebutkan salah satu isi rekam medis adalah

diagnosis. Oleh karena itu wajib untuk dokter atau tenaga medis lainnya

untuk mengisi berkas rekam medis dengan lengkap dan jelas terutama

diagnosis pasien.

Tulisan diagnosis yang ditulis oleh dokter atau tenaga medis

lainnya yang tidak dapat dibaca dapat menjadi salah satu penyebab

ketidaktepatan kode. Menurut Suyitno dalam (Maimun dkk., 2018),

peran dokter dalam pengkodean yakni :

a. Menulis diagnosis utama selengkap mungkin sesuai dengan

convention ICD-10;

b. Menuliskan diagnosis sekunder (diagnosis tambahan), komplikasi

dan penyulit (jika ada);

c. Menuliskan prosedur tindakan;

d. Memastikan berkas rekam medis pasien ketika pulang lengkap;

e. Pastikan resume lengkap ketika pulang.

Jika terdapat hal yang kurang jelas, coder berhak untuk

menanyakan atau berkomunikasi dengan dokter atau tenaga medis

lainnya yang bersangkutan. Untuk mendapatkan kualitas kode yang

baik tergantung dari kelengkapan diagnosis, jelasnya tulisan dokter dan

petugas coder yang memahami pengkodean dengan baik.


36

5. Pengalaman Kerja

Menurut penelitian Endang Sri DHS dan Mulyohadi Ali pada

tahun 2019 menemukan sebanyak 7 orang coder atau 46,7%

pengalamannya bekerja dibidang kodefikasi kurang dari tiga tahun.

Seperti yang dikemukakan Fosterdalam Aristarini dalam (Romauli

Situmeang, 2017) ada beberapa indikator pengalaman kerja antara lain,

yaitu :

a. Lama waktu / masa kerja, ukuran tentang lama waktu atau masa

kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugas-tugas

suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik.

b. Tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, pengetahuan

merujuk pada konsep, prinsip, prosedur, kebijakan atau informasi

lain yang dibutuhkan oleh petugas. Pengetahuan juga mencakup

kemampuan untuk memahami dan menerapkan informasi pada

tanggung jawab pekerjaan.

c. Penguasaan terhadap pekerjaan dan peralatan, tingkat penguasaan

seseorang dalam pelaksanaan aspek-aspek teknik peralatan dan

teknik pekerjaan.

Pengalaman kerja dapat menjadi salah satu tolak ukur dari

ketepatan kode diagnosis. pada penelitian tersebut ditemukan

pengalaman kerja tenaga dokter, tenaga medis lainnya yang bertugas

sebagai petugas coder di puskesmas selama lebih dari tiga tahun

berdampak pada kualitas kode yang dihasilkan. Semakin lama bekerja


37

dalam bidang kodefikasi maka semakin kompeten pula dalam

menentukkan kode diagnosis yang akurat dan tepat.

6. SPO Kodefikasi Diagnosis

Menurut penelitian Endang Sri DHS dan Mulyohadi Ali pada

tahun 2019 ditemukan sebanyak 60% puskesmas belum memiliki SPO

kodefikasi diagnosis. Adanya SPO kodefikasi dapat mengurangi

ketidaktepatan kode diagnosis atau dapat mengurangi kesalahan dalam

hal pengkodean karena SPO itu sendiri berisi tentang arahan atau

petunjuk dalam melakukan pekerjaan. Hatta dalam (Ali dkk., 2019),

yang menjelaskan dalam bukunya tentang sembilan langkah dasar

menetukan kode diagnosis yang menjadi pedoman (SPO) untuk coder

dalam proses kodefikasi diagnosis.

SPO di rumah sakit merupakan alat pengendalian layanan yang

diberikan kepada pasien dalam hal layanan kesehatan dan pelayanan

administrasi. Tujuan SPO adalah untuk menciptakan komitmen

pekerjaan dalam mewujudkan good governance sebagai alat penilaian

kinerja yang bersifat internal dan eksternal (Nazvia dkk., 2014).

Dari penelitian diatas ditemukan beberapa puskesmas tidak

menyediakan SPO kodefikasi. Hal ini dapat mempengaruhi ketepatan

dalam pengkodean karena tidak adanya arahan atau petunjuk yang

terstandarisasi yang harus dijalankan oleh petugas coder atau tenaga

medis yang bertugas dalam pengkodean. Apalagi petugas coder yang

bertugas sebagai coder bukan lulusan D3 Rekam Medis. fungsi adanya


38

SPO dapat menjadikan tugas seluruh petugas yang ada menjadi lancar,

SPO bisa dijadikan dasar hukum apabila terjadi hal-hal di luar koridor

perusahaan, bisa digunakan sebagai alat untuk melacak masalah yang ada,

dan masih banyak lagi.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis literature review dari tiga penelitian
ditemukan faktor-faktor yang menyebabkan ketidaktepatan kode diagnosis
utama yakni :
1. Pengetahuan coder yang minim tentang kodefikasi karena sebagian

petugas coder bukan merupakan lulusan D3 Rekam Medis dan kurang

adanya pelatihan resmi tentang koding.

2. Tidak lengkapnya informasi pemeriksaan penunjang medis yang dapat

mempersulit coder menetukan kode yang tepat.

3. Tidak sesuainya penggunaan singkatan diagnosis dengan daftar

singkatan diagnosis yang telah dibakukan rumah sakit.

4. Tulisan diagnosis yang ditulis oleh dokter atau tenaga medis lainnya

yang sulit dibaca.

5. Pengalaman kerja yang kurang dari tiga tahun mempengaruhi ketepatan

kode diagnosis.

6. Tidak tersedianya SPO kodefikasi yang bertujuan untuk mempermudah

petugas dalam melakukan pekerjaannya.

B. Saran
1. Sebaiknya perlu diadakan pelatihan-pelatihan tentang koding agar dapat

menambah wawasan atau meningkatkan pengetahuan petugas coder dan

melatih keterampilan dalam mengkode.

39
40

2. Sebaiknya petugas melengkapi atau melampirkan lembar hasil

pemeriksaan penunjang pada BRM jika dilakukan pemeriksaan

penunjang kepada pasien agar memudahkan petugas coder dalam

mentukan kode diagnosis yang tepat.

3. Sebaiknya dokter yang menulis diagnosa dengan singkatan harus

berdasarkan daftar singkatan yang ada di rumah sakit tersebut agar

petugas coder mudah untuk memberikan kode diagnosis.

4. Disarankan untuk para dokter dapat menuliskan diagnosis tersebut

dengan jelas agar petugas coder dapat membacanya.

5. Perlu diadakan evaluasi terhadap SPO kodefikasi untuk melacak

masalah yang ada agar bisa memudahkan petugas coder untuk

menyelesaikan pekerjaannya.
DAFTAR PUSTAKA

Agustine, D. M., & Pratiwi, R. D. (2017). Hubungan Ketepatan Terminologi

Medis dengan Keakuratan Kode Diagnosis Rawat Jalan oleh Petugas

Kesehatan di Puskesmas Bambanglipuro Bantul. Jurnal Kesehatan

Vokasional, 2(1), 113. https://doi.org/10.22146/jkesvo.30315

Ali, M., Kesehatan, J., Politeknik, T., Kementerian, K., Malang, K., Farmakologi,

L., Kedokteran, F., Brawijaya, U., & Test, E. (2019). Faktor-faktor yang

Berpengaruh pada Akurasi Kode diagnosis di Puskesmas Rawat Jalan Kota

Malang Factors that Influence the Accuracy of Codefication in Outpatient

Primary Health Cares in Malang. 30(3), 228–234.

Annavi, N. (2011). Berdasarkan Kebutuhan Medik Sesuai Dengan Standar

Pelayanan Medik. Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit, 6–24.

eprints.ums.ac.id

Ardhana, W. (2010). Materi Kuliah Ortodonsia II Diagnosis Ortodontik. 44–62.

Eirene. (2017). Pengaruh Edukasi dengan Metode Peer Group terhadap

Pengetahuan dan Sikap anak SD tentang Personal Hygiene. Journal of

Chemical Information and Modeli, 53(9), 1689–1699.

Haines, G. (2019). Journal of Chemical Information and Modeling. Journal of

Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699. eprints.dinus.ac.id

Ilmiah, D. K., Akhir, T., Studi, P., Masyarakat, K., Kesehatan, F., Dian, U.,

Semarang, N., Systems, S., & Udinus, P. S. I. (2012). Dokumen Karya

Ilmiah | Tugas Akhir | Program Studi Kesehatan Masyarakat - S1 | Fakultas

Kesehatan | Universitas Dian Nuswantoro Semarang | 2012. 5–6.

41
42

Junita, T. D. (2017). PERANAN SOP PADA ORGANISASI PEMERINTAHAN

KOTA SURABAYA DALAM PENINGKATAN KEPUASAN

PELAYANAN KEPADA MASYARAKAT(Studi Di Bagian Umum dan

Protokol Pemerintahan Kota Surabaya). JPAP: Jurnal Penelitian

Administrasi Publik, 3(2), 858–863. https://doi.org/10.30996/jpap.v3i2.1266

jurnal kodefikasi. (2008). tinjauan pustaka rekam medis tentang kodefikasi. 269.

eprints.dinus.ac.id

Kusumawardhani, I. (2016). Journal About Knowledge. 4(2), 2–3.

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/239/

Loren, E. R., Wijayanti, R. A., Studi, P., Medis, R., Kesehatan, J., & Jember, P.

N. (2020). J-REMI : Jurnal Rekam Medik Dan Informasi Kesehatan Analisis

Faktor Penyebab Ketidaktepatan Kode Diagnosis Penyakit Diabetes

Mellitus di Rumah Sakit Umum Haji Surabaya J-REMI : Jurnal Rekam

Medik Dan Informasi Kesehatan. 1(3), 129–140.

Maimun, N., Natassa, J., Trisna, W. V., & Supriatin, Y. (2018). Pengaruh

Kompetensi Coder terhadap Keakuratan dan Ketepatan Pengkodean

Menggunakan ICD 10 di Rumah Sakit X Pekanbaru Tahun 2016.

KESMARS: Jurnal Kesehatan Masyarakat, Manajemen Dan Administrasi

Rumah Sakit, 1(1), 31–43. https://doi.org/10.31539/kesmars.v1i1.158

Maryati, W., Rahayuningrum, I. O., & Sari, N. P. (2020). Dampak Beban Kerja

Coder Yang Tinggi Terhadap Ketidakakuratan Kode Diagnosis. Jurnal

Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 8(1), 49.

https://doi.org/10.33560/jmiki.v8i1.252
43

Muthia Amanta Dwi Putri. (2017). Employe’s Performance in PT. Jasaraharja

Putera Pekanbaru Branch. JOM Fekom, 4(1).

Pertiwi, J. (2019). Systematic review: Faktor Yang Mempengaruhi Akurasi

Koding Diagnosis di Rumah Sakit. Smiknas, 41–50.

https://ojs.udb.ac.id/index.php/smiknas/article/view/692

Puspitasari, N. (2017). Evaluasi Tingkat Ketidaktepatan Pemberian Kode

Diagnosis Dan Faktor Penyebab Di Rumah Sakit X Jawa Timur. Jurnal

Manajemen Kesehatan Yayasan RS.Dr. Soetomo, 3(2), 158.

https://doi.org/10.29241/jmk.v3i1.77

Retnaningsih, R. (2016). Hubungan Pengetahuan Dan Sikap Tentang Alat

Pelindung Telinga Dengan Penggunaannya Pada Pekerja Di Pt. X. Journal of

Industrial Hygiene and Occupational Health, 1(1), 67.

https://doi.org/10.21111/jihoh.v1i1.607

Romauli Situmeang, R. (2017). Pengaruh Pengawasan Dan Pengalaman Kerja

Terhadap Kinerja Karyawan Pada Pt. Mitra Karya Anugrah. Ajie, 2(2), 148–

160. https://doi.org/10.20885/ajie.vol2.iss2.art6

Sari, T. P., Trisna, W. V., & Trisna, W. V. (2019). Analisis Pengetahuan Petugas

Rekam Medis Tentang Terminologi Medis dI RSUD Petala Bumi Provinsi

Riau. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia, 7(1), 64.

https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i1.206

Suryandari, dr. E. S. D. H. (2016). Analisis Faktor-faktor Keakuratan Kode

Diagnosis Penyakit di Puskesmas Kota Malang. World Health Statistics

Quarterly, 41(1), 32–36.


44

Sutoto, Atmodjo, D., Luwiharsih, Lumenta, N. A., Reksoprodjo, M.,

Martoatmodjo, K., Amatyah, M., & Saleh, J. T. (2012). Instrumen Akreditasi

Rumah Sakit Standar Akreditasi Versi 2012 (Accreditation Instrument

Hospital Accreditation Standard Version 2012). 1, 1–350.

Ulfa, H. M., octaria, h., & sari, t. p. (2017). Analisis Ketepatan Kode Diagnosa

Penyakit Antara Rumah Sakit dan BPJS Menggunakan ICD-10 Untuk

Penagihan Klaim di Rumah Sakit Kelas C Sekota Pekanbaru Tahun 2016.

Jurnal INOHIM, Volume 5 Nomor 2, Desember 2017, 119-124.

Yeni, P. S. (2015). faktor yang berhubungan dengan pengetahuan penggunaan


obat generik pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas padang panyang
RIWAYAT HIDUP PENULIS

Sri Fajri Mahani, dilahirkan di Gorontalo,

Kecamatan Limboto, Kabupaten

Gorontalo, Provinsi Gorontalo pada

tanggal 11 September 1999 dari pasangan

Mulyadi Mahani dan Kartin Liputo yang

merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, kakak bernama

Mohamad Sahrul Mahani dan adik bernama Syawal Mahani.

Pengalaman menempuh pendidikan mulai dari Sekolah Dasar SDN 1 Pentadio

Timur selama enam tahun pada tahun 2005-2011, kemudian melanjutkan

pendidikan ketingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri Widyakrama

tiga tahun, dimulai pada tahun 2011-2014, setelah itu melanjutkan pendidikan

ketingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Limboto selama tiga tahun

dimulai pada tahun 2014-2017 dan melanjutkan pendidikan perguruan tinggi

tepatnya di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Panakkukang Makassar

jurusan Rekam Medis dan Informasi Kesehatan (RMIK) selama tiga tahun.

45

Anda mungkin juga menyukai