Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH KEPERAWATAN KRITIS

“Proses keperawatan pada area keperawatan kritis, Isu End Of Life di keperawatan kritis
dan Aspek psikososial dari keperawatan”

Disusun oleh :

Bayu Ilham Gustian


P01720422

Dosen Pembimbing : Ns. Hendri Heryanto, M.Kep

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN BENGKULU
PRODI PROFESI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Alloh SWT, atas berkah dan
RahmatNya penulis telah menyelesaikan tugas mata kuliah Keperawatan Kritis
tepat pada waktunya. Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit
hambatan yang penulis hadapi. Namun penulis menyadari bahwa kelancaran
dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan
rekan-rekan kami, sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi bisa teratasi.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis merasa masih banyak kekurangan,
untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada rekan-rekan yang telah membantu dalam
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Besar harapan semoga makalah ini dapat
bermanfaat terutama bagi penulis dan profesi perawat pada umumnya.

Bengkulu, 20 Juli 2022

Penulis

i
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Dunia kesehatan khususnya keperawatan sekarang ini semakin berkembang.


Perawat adalah salah satu Profesi Kesehatan yang dilibatkan dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia. Oleh sebab itu perawat dituntut memiliki pengetahuan dan
keterampilan diberbagai bidang.

Perawat memiliki peran dan fungsi yang lebih luas dengan penekanan pada
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit atau pencegahan keadaan memburuk
pada pasien dengan memandang pasien atau klien secara komprehensif.

2. Tujuan Makalah
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami Proses
keperawatan, Isu End Of Life, Aspek psikososial dari keperawatan kritis.
Sehingga dalam beaktivitas perawat memahami dan memperhatikan batasan-
batasan tertentu sesuai dengan peran dan fungsi dalam perawatan pasien kritis.

i
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Proses Keperawatan Pada Area Keperawatan Kritis

1.1.1 Definisi
Proses Keperawatan adalah suatu metode yang sistematis dan
terorganisasi dalam pemberian asuhan keperawatan, yang difokuskan pada
reaksi dan respons unik individu pada suatu kelompok atau perorangan
terhadap gangguan kesehatan yang dialami, baik actual maupun potensial
(Deswani, 2011 ).
Menurut Setiadi (2011), pada dasarnya proses keperawatan adalah suatu
metode ilmiah yang sistematis dan terorganisir untuk memberikan asuhan
keperawatan kepada klien. Proses keperawatan adalah satu pendekatan untuk
pemecahan masalah yang memampukan perawat untuk mengatur dan
memberikan asuhan keperawatan ( Potter & Perry, 2005 ).

1.1.2 Tujuan Proses Keperawatan


Potter & Perry (2005) menjelaskan tujuan dari proses keperawatan adalah
mengidentifikasi kebutuhan perawatan kesehatan klien, menentukan prioritas,
memberikan intervensi keperawatan yang dirancang untuk memenuhi
kebutuhan klien, dan mengevaluasi keefektifan asuhan keperawatan dalam
mencapai hasil dan tujuan klien yang diharapkan. Muhlisin ( 2011 )
menjelaskan bahwa penerapan proses keperawatan dalam pemberian asuhan
keperawatan mempunyai beberapa tujuan, yaitu :
1 Sebagai standar pemberian asuhan keperawatan.
2 Mempraktekkan metode pemecahan masalah dalam praktek keperawatan.
3 Memperoleh metode yang baku, sistematis, dan rasional.
4 Memperoleh metode yang dapat digunakan dalam berbagai macam
situasi.
5 Memperoleh hasil asuhan keperawatan dengan kualitas tinggi.

i
1.1.3 Standar asuhan keperawatan intensif

Standar asuhan keperawatan intensif adalah acuan minimal asuhan


keperawatan yang harus diberikan oleh perawat di unit/intalasi perawatan intensif.
Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan praktek keperawatan intensif yang
diberikan pada pasien/keluarga. Asuhan keperawatan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang merupakan metode ilmiah dan
panduan dalam memeberikan asuhan keperawatan yang berkualitas guna
mengatasi masalah pasien. Langkah- langkah yang harus dilakukan meliputi
pengkajian, masalah/diagnose keperawatan, rencana tindakan dan evaluasi
(kemenkes, 2006)
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan pada pasien kritis merupakan tahap awal yang
sangat penting untuk menentukan rencana keperawatan berikutnya mengingat
kondisi pasien yang belum stabil. Ada beberapa model pengkajian yang
telah dikembangkan, antara lain model pengkajian dari the Nort Coast Area
Health Service yang mengelompokkan menurut sistim tubuh, Functional Health
Pattern yang dikembangkan oleh Lewis (2000), Pengkajian kritis yang
dikembangkan oleh Bemis (2001) dan model pengkajian lainnya.
Pengakajian awal di dalam keperawatan intensif sama dengan pengkajian
umumnya yaitu dengan pendekatan sistem yang meliputi aspek bio-psiko-sosio
kultural-spiritual, namun ketika klien yang dirawat telah menggunakan alat-alat
bantu mekanik seperti alat bantu napas, hemodialisa, pengkajian juga diarahkan
ke hal-hal yang lebih khusus yakni terkait dengan terapi dan dampak dari
penggunaan alat-alat tersebut (Kemenkes, 2006)
Pengkajian di ICCU meliputi pengkajian sebelum pasien datang, segera
setelah datang, segera setelah pasien datang, pengkajian lengkap dan
pengkajian berkelanjutan. (modul pelatihan intensif, 2015)
1. Pengkajian sebelum pasien datang (pre arrival)
a. Sebelum pasien akan dikirim, dilakukan pengkajian meliputi
identitas pasien, diagnose, tanda vital, alat bantu infasive yang
dipakai, modus ventilasi mekanik yang sedang dipakai bila pasien
mengunakan ventilator.

i
b. Tujuan pengkajian :
1) Untuk persiapan penerimaan pasien saat datang di ICCU.
2) Agar saat pasien datang di icu, semua peralatan yang

dibutuhkan tersedia dan siap digunakan.


3) Persiapan dokter spesialis terkait yang harus dihubungi.
4) Untuk dokumentasi dan data rumah sakit.

2. Pengkajian ICCU
a. Pengkajian segera (quick assessment)
1) Pengkajian segera setelah pasien tiba di ICCU meliputi
ABCDE yaitu Airway, breathing, circulation, drugs (obat-
obatan yang saat ini dipakai termasuk apakah alergi terhadap
obat atau makanan tertentu) dan equipment (adakah alat yang
terpasang pada pasien.
Perawat penerima pasien segera menilai dan melakukan kajian
kondisi pasien saat itu kemudian perawat melakukan serah
terima, hal-hal yang terkait dengan pasien dan mencatat pada
lembar observasi.
2) Ada beberapa model pengkajian keperawatan yang dapat
digunakan untuk mengkaji pasien. Barrett, Gretton dan Quinn
(2006) menjelaskan pengkajian primer pada pasien penyakit
jantung secara umum adalah sebagai berikut:
a) Airway
(1) Apakah jalan nafas paten?
(2) Apakah pasien diam, apakah suara nafas pasien bersih
atau tidak jernih?
(3) Apakah ada darah atau muntahan di sekitar mulut yang
berpotensi terjadi sumbatan jalan nafas?
(4) Apakah ada injuri pada hidung, mulut atau tenggorokan
yang berdampak pada cidera jalan nafas?
(5) Apakah wajah atau tenggorokan pasien kemerahan dan
bengkak yang mengindikasikan adanya infeksi atau

i
peradangan jalan nafas? Jika tanda-tanda tersbut positif
maka harus segera dilakukan upaya proteksi jalan
nafas.
(6) Apakah mulut dapat dibukan dengan aman? Jika ya
apakah ada sumbatan benda asing dan apakah dapat
dikeluarkan?
(7) Jika ada cairan pada jalan nafas apakah bisa disuction?
(8) Jika tidak apakah pasien dapat dimiringkan untuk
membantu mengeluarkan cairan pada mulut dan
hidung?
(9) Apakah jalan nafas dapat dibuka dengan manuver head-
tilt, chin-lift atau jaw thrust?
(10) Saat terbuka apakah jalan nafas dapat diamankan
dengan oropharyngeal atau nasopharyngeal airway atau
laryngeal mask airway?
b) Breathing
(1) Dengan Look, Listen dan Feel selama 10 detik,
apakah pasien bernafas? Jika tidak bernafas segera
cari bantuan dan mulai RJP

(2) Jika pasien bernafas, bagaimana rata-rata


kecepatannya disbanding sebelumnya?
(3) Jika anda tidak tahu, apakah pasien takipnea ekstrim (≥

40 kali / menit) atau bradipnea ≤ 6 kali / menit?


(4) Apakah suara nafas pasien gemuruh atau kasar?
(5) Apakah kulit pasien pucat?
(6) Apakah oksigen aliran tinggi perlu segera diberikan?
c) Circulation
(1) Apakah nadi teraba dengan palpasi nandi karotis 10
detik?
(2) Jika teraba bagaimana karakternya?
(3) Jika anda tidak tahu, apakan pasien takikasre
ekstrim (≥140 kali / menit atau bradikardia (≤40 kali
/ menit).
i
Apakah nadi teratur?
(4) Apakah tekanan darah pasien turun dengan signifkan?
(5) Jika tekanan darah tidak terukur apakah pasien
punya tanda yang
b. Pengkajian lengkap (comprehensive assessment)
Pengkajian riwayat kesehatan lalu, riwayat social, riwayat
psikososial dan spiritual serta pengkajian fisik dari sistem tubuh
(sistem neurologi, respirasi, kardiovaskuler, renal,
gartrointestinal, endokrin, hematologic dan immunologi serta
integument) dan pengkajian resiko jatuh menggunakan humty
dumty pada anak, skala morse pada dewasa dan geriatric pada
lansia. Pengkajian nyeri juga dapat dilakukan pada area kritis.
Hasil penelitian Prawesti, Ibrahim, Nursiswati (2016)
menyebutkan bahwa Behavioural pain scales (BPS) dan Critical
pain observation tools (CPOT) adalah alat penilaian nyeri yang
dapat digunakan dalam menilai rasa sakit dan meningkatkan
manajemen nyeri pada pasien kritis. CPOT lebih mudah
digunakan dan aplikatif karena memiliki defnisi operasional yang
jelas

c. Pengkajian berkelanjutan (on going assessment)


Kontinuitas monitoring kondisi pasien setiap 1-2 jam pada
saat kritis, selanjutnya sesuai kondisi pasien. Hal-hal yang
dikaji meliputi hemodinamik, balance cairan dan alat-alat yang
dipakai pada saat masuk icu .

3. Penetapan masalah/diagnose keperawatan


Setelah melakukan pengkajian data dikumpulkan dan
diintrepretasikan kemudian dinanalisa lalu ditetapkan
masalah/diagnose keperawatan berdasarkan data yang menyimpang
dari keadaan fisiologis. Kriteria hasil ditetapkan untuk mencapai
tujuan dari tindakan keperawatan yang diformulasikan berdasarkan
pada kebutuhan klien yang dapat diukur dan realistis (craven &
himle, 2000).
Contoh diagnose keperawatan yang sering muncul pada intensif care

i
adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif (RC : Sepsis)
b. Gangguan pertukaran gas : Airway-Obstruction (RC : Acidosis
(metabolic Respiratory)
c. Pola nafas tidak efektif (RC : Hypoxemia)
d. Gangguan perfusi jaringan (RC : Hypoxemia)
e. Nyeri Akut (RC : Syok Neurogenik)
f. gangguan intergritas kulit/jaringan (RC : Sepsis)
g. Resiko jatuh

4. Perencanaan
Perencanaan tindakan keperawatan dibuat apabila diagnose telah
diproritaskan. Langkah awal adalah :
a. Merumuskan tujuan :
1) berfokus pada pasien
2) jelas dan singkat
3) dapat diukur dan diobservasi
4) realistis
5) ada target waktu
6) melibatkan peran serta masyarakat
b. rencana tindakan :
1) tetapkan tehnik dan prosedur yang akan digunakan
2) mengarah pada tujuan yang akan dicapai
3) realistis
4) disusun berurutan da nada rasionalnya
c. kriteria hasil :
1) menggunakan kata kerja yang tepat
2) dapat dimodifikasi
3) spesifik
5. Implementasi Keperawatan
Semua kegiatan yang dilakukan dalam memberikan asuhan
keperawatan terhadap klien sesuai dengan rencana tindakan. Hal ini
penting untuk mendukung pencapaian tujuan. Tindakan keperawatan
dapat dalam bentuk observasi, tindakan prosedur tertentu, tindakan
kolaboratif dan pendidikan kesehatan dala tindakan perlu ada
pengawasan terus menerus terhadap kondisi klien termasuk evaluasi
perilaku.

6. Evaluasi
Evaluasi adalah langkah kelima dalam proses keperawatan dan
merupakan dasar pertimbangan yang sistematis untuk menilai
keberhasilan tindakan keperawatan dan sekaligus merupakan alat
i
untuk melakukan pengkajian ulang dalam upaya melakukan
modifikasi/revisi diagnose dan tindakan. Evaluasi dapat dilakukan
setiap akhir tindakan peberian asuhan yang disebut sebagai evaluasi
proses dan evaluasi hasil yang dilakukan untuk menilai keadaan
kesehatan klien selama dan pada akhir perawatan. Evaluasi dicatat
pada catatan perkembangan klien.

i
2.2 Isu End Of Life di keperawatan kritis

2.1.1 Definisi
End of Life merupakan salah satu tindakan yang membantu meningkatkan
kenyamanan seseorang yang mendekati akhir hidup (Ichykyo, 2016).
End of life bertujuan untuk membantu orang hidup dengan sebaik-baiknya dan
meninggal dengan bermartabat (Curie,2014).
End of life care adalah salah satu kegiatan yang membantu memberikan
dukungan psikososial dan spiritual (Putranto,2015).
Jadi dapat di simpulkan bahwa End of Life care merupakan tindakan
keperawatan yang memfokuskan kepada orang-orang yang telah berada di akhir
hidupnya, tindakan ini bertujuan untuk membuat orang hidup dengan sebaik-
baiknya selama sisa hidupnya dan meninggal dengan bermartabat.

2.1.2 ETIKA DALAM PERAWATAN END OF LIFE


Dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan masalah end of
life, terdapat beberapa prinsip etika yang harus ditekankan, yaitu :
1. Nonmaleficience
Yaitu memastikan pasien terhindar dari bahaya baik itu fisik maupun emosional.
2. Beneficience
Yaitu melakukakn sesuatu yang baik terhadap pasien dan menguntungkan
seperti mendengarkan keluhan pasien dengan penuh perhatian,
memperlakukan pasien seperti manusia seutuhnya, dan terus berusaha
meringankan beban pasien baik itu fisik, psikologis, sosial dan spiritual.
3. Autonomy
Yaitu pasien memiliki hak tentang pengambilan keputusan terkait
perawatan dengan menggunakan inform konsen yang menekankan terhadap
hak atas kerahasian, privasi, dan hak untuk menolak pengobatan.

2.1.3 PERAN PERAWAT DALAM END OF LIFE


1. Pembimbing spiritual pasien
Bimbingan spiritual yang di maksudkan adalah bimbingan rohani dengan
membacakan doa-doa sesuai dengan agama pasien. Menurut pendapat Kozier,
i
ddk. (2010), bahwa perawat memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa
kebutuhan spiritual pasien diberikan baik melalui intervensi langsung ataupun
dengan mengatur akses terhadap individu yang dapat memberikan perawatan
spiritual.
2. Komunikator
Peran sebagai komunikator dilakukan baik terhadap pasien, keluarga,
maupun terhadap dokter. Berkomunikasi dengan keluarga pasien yaitu untuk
menjelaskan kondisi pasien dan memberikan dukungan emosional. Dan salah
satu aspek penting dalam menyediakan dukungan untuk anggota keluarga dari
pasien menjelang ajal adalah dengan melibatkan penggunaan komunikasi
terapeutik yang dapat dilakukan dalam memfasilitasi ekspresi perasaan
mereka.
3. Fasilitator
Salah satu bentuk bentuk peran perawat sebagai fasilitator adalah
perawat memberikan waktu kunjungan yang lebih lama bagi keluarga pasien
sehingga pasien dan keluarganya memiliki lebih banyak waktu kebersamaan.
Penelitian menyebutkan bahwa menyedihkan apabila membiarkan pasien
meninggal dalam keadaan tanpa di damping oleh keluarga. Ketika pasien tidak
mempunyai keluarga dalam menghadapi akhir kehidupannya maka di situlah
perawat menunjukan perannya untuk mendampingi pasien.
4. Pemberi dukungan emosional pada keluarga pasien
Penelitian Wright, Bourbonnias, Bratjtman, Gagnon. (2011), menunjukann
bahwa kepuasan yang di dapatkan perawat saat merawat pasien dan keluarga
dalam perawatan akhir hidup adalah dengan hadir mendampingi keluarga dan
memberikan dukungan melewati fase tersebu

i
2.1.4 PALLIATIVE CARE
Menurut WHO, palliative care merupakan pendekatan untuk meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berkaitan
dengan masalah yang mengancam jiwa, melalui pencegahan dan menghentikan
penderitaan dengan identifikasi dan penilaian dini, penangnanan nyeri dan
masalah lainnya, seperti fisik, psikologis, sosial dan spiritual (WHO, 2017).
Dalam menjalankan peran dan fungsi perawat dalam palliative care, perawat
harus menghargai hak-hak pasien dalam menentukan pilihan, memberikan
kenyamanan pasien dan pasien merasa bermartabat yang sudah tercermin
didalam rencana asuhan keperawatan. Hal- hal yang berkaitan dengan pasien
harus dikomunikasikan oleh perawat kepada pasien dan keluarga yang
merupakan standar asuhan keperawatan yang profesional.
Berdasarkan National Consensus Project For Quality Palliative Care
(NCP, 2013) pedoman praktek klinis untuk perawat palliative dalam
meningkatkan kualitas pelayanan palliative terdiri dari 8 domain, yaitu :

1.Structure and proses of care


2.Physical Aspect Of Care
3.Physical Aspect Of Care
4.Social Aspect Of Care
5.Spiritual, Religious, And Existential Aspect Of Care
6.Culture Aspect Of Care
7.Care Of The Patient At End of life
8.Ethical And Legal Aspect Of Care

Dalam palliative care juga di sebutkan ada perawatan kepada pasien


menjelang ajal pada point yang ketujuh yaitu Care Of The Patient At End of life
merupakan cara yang dilakukan untuk menggali lebih dalam tentang kesiapan
menghadapi kematian dan duka cita setelah kematian bagi keluarga yang
ditinggalkan (De Roo et al., 2013). Adapun panduan bagi perawat apaliatif sebagai
berikut:
a. Perawat hospice dan perawat palliative harus mampu mengenali tanda
dan gejala kematian pasien, keluarga dan komunitas ini harus
dikomunikasikan dan didokumentasikan.
i
b. Semua perawat harus mampu menjamin kenyamanan pada akhir kehidupan.
c. Semua perawat harus meninjau kembali ritual budaya, agama, dan
adat dalam menghadapi kematian pasien.
d. Semua perawat harus mampu memberikan dukungan pasca kematian pada
keluarga yang ditinggalkan.
e. Semua perawat harus mampu merawat jenazah sesuai dengan budaya, adat
dan agama pasien (Ferrell, 2015).
2.1.5 TEORI KEPERAWATAN PEACEFUL END OF LIFE
Konsep Mayor dari Teori ini ada 5 hal yang dapat menjadi panduan
dalam melakukan perawatan pada pasien terminal. Konsep itu adalah :
a. Terbebas dari Nyeri
Bebas dari penderitaan atau gejala disstres adalah hal yang utama
diinginkan pasien dalam pengalaman EOL (The Peaceful End Of Life).
b. Pengalaman Menyenangkan
Nyaman /perasaan menyenangkan didefinisikan secara inclusive oleh
Kolcaba, sebagai kebebasan dari ketidaknyamanan, keadaan tentram dan
damai, dan apapaun yang membuat hidup terasa menyenangkan.
c. Pengalaman martabat (harga diri) dan kehormatan
Di konsep ini memasukkan ide personal tentang nilai, sebagai ekspresi dari
prinsip
etik otonomi atau rasa hormat untuk orang, yang mana pada tahap ini
individu diperlakukan sebagai orang yang menerima hak otonomi, dan
mengurangi hak otonomi orang sebagai awal untuk proteksi.
d. Merasakan Damai
Damai adalah “perasaan yang tenang, harmonis, dan perasaan
puas, (bebas) dari kecemasan, kegelisahan, khawatir, dan
ketakutan”.
e. Kedekatan untuk kepentingan lainnya
Kedekatan adalah perasaan menghubungkan antara orang atau siapapun dia
dengan orang yang menerima pelayanan end of life. Ini melibatkan kedekatan
fisik dan emosi yang di ekspresikan dengan kehangatan, dan hubungan yang
dekat (intim).

i
2.1.6 LIMA TAHAPAN MENJELANG KEMATIAN
Elisabeth Kuebler-Ross dalam bukunya “On death and Dying” mengamati
bahwa kematian adalah suatu proses. Dalam proses itu, pasien cenderung
mengalami lima tahap pergolakan emosional tertentu, yang disingkat menjadi
DABDA: Denial, Anger, Bargaining, Depression, Acceptance. Perlu diingat
bahwa kelima tahap itu bukanlah suatu proses kronologis yang progresif karena
bisa terjadi kasus “overlapping” (berada di dua tahap sekaligus) atau “progresi
dan regresi” (maju dan mundur) atau stagnasi (jalan di tempat). Namun bila
dirawat dan dipersiapkan dengan baik, pasien bisa melewati kelimanya hingga
akhirnya menghembuskan nafasnya dengan tenang (acceptance).
Kelima tahap tersebut yaitu :
1. Denial & Shock (penyangkalan & Kaget).
2. Anger (Marah)
3. Bergaining (Barter/Tawar-menawar)
4. Depression (Sedih/Murung)
5. Acceptance (Penerimaan)

2.1.7 ISU END OF LIFE


1. Konsep Do Not Resusitation (DNR)
Do Not Resusitation atau jangan lakukan resusitasi merupakan suatu
tindakan dimana dokter menempatkan sebuah instruksi berupa informed
concent yang telah disetujui oleh pasien ataupun keluarga pasien di dalam
rekam medis lain untuk tidak melakukan resusitasi jantung paru (RJP) atau
Cardiopulmonary resucitation (CPR) pada pasien.
DNR diindikasikan jika seseorang dengan penyakit terminal atau kondisi
medis serius tidak akan menerima CPR ketika jantung atau nafasnya
terhenti.
American Heart Associaation (AHA) mengganti istilah DNR dengan
istilah DNAR (Do Not Attempt Resuscitate) yang artinya suatu perintah untuk
tidak mencoba usaha resusitasi jika memang tidak perlu dilakukan. Sedangkan
DNR mengisyaratkan bahwa resusitasi yang dilakukan akan berhasil jika kita

i
berusaha.

Tahap Do Not Resusitation (DNR)


Sebelum menulsi form DNR, dokter harus mendiskusikannya dengan
pasien atau keluarga ataupun seseorang yang berperan penting dalam
pengambilan keputusan. Dan semua yang didiskusikan harus di
dokumentasikan dalam rekam medic.
a. Mengisi form DNR.
b. Di tandatangani oleh pasien atau oleh pembuat keputusan yang dipercaya
oleh pasien jika pasien tidak dapat membuat atau berkomunikasi kepada
petugas kesehatan.
c. Dan juga di tandatangani oleh dokter yang menegaskan bahwa pasien akan
diakui secara hukum keputusan perawatan kesehatannya ketika telah
memberikan persetujuan instruksi DNR.
Peran Perawat dan Pelaksana DNR
a. Membantu dokter dalam memutuskan DNR sesuai dengan hasil
pemeriksaan kondisi pasien.
b. Memberikan informasi bersama dengan dokter mengenai kondisi pasien
dan rencara diagnose DNR.
c. Perawat sebagai Care Giver yaitu perawat harus tetap memberikan
perawatan pada pasien DNR tidak bebeda dengan pasien lain pada
umumnya.

d. Perawat sebagai Pendukung dan Advokasi pasien dapat bertindak sebagai


penghubung dan juru bicara atas nama pasien atau keluarga kepada tim
medis.
e. Perawat sebagai Pemberi Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang
keputusan yang mereka ambil.

Dilema Etik
Di Indonesia, kebijakan DNR sudah lama di terapkan namun masih
menjadi dilemma bagi tenaga medis termasuk perawat. Sesuai dengan
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.519/MenKes/Per/Iii?2011 tentang
“Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Anestesiologi dan Terapi Intensif di
RS”, disebutkan didalamnya bahwa prosedur pemberian atau penghentian
i
bantuan hidup ditetapkan berdasarkan klasifikasi setiap pasien di ICU yaitu
semua bantuan kecuali RJP, dilakukan pada pasien dengan fungsi otak yang
tetap ada tetapi mengalami kegagalan jantung, paru atau organ lain, atau
dalam tingkat akhir penyakit yang tidak dapat disembuhkan.

Keputusan DNR dapat menimbulkan dilema psikis pada perawat di


karenakan timbulnya penolakan dari hati nurani perawat terhadap label DNR
dan kondisi dilemma itu sendiri.

2. Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu
berarti baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati, maka dari itu dalam
mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian,
akan tetapi untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang
menghadapi kematiannya.
Indonesia memang belum mengatur secara spesifik dan tegas mengenai
masalah euthanasia dan hal ini masih menjadi perdebatan pada beberapa
kalangan yang menyetujui tentang euthanasia dan pihak yang tidak setuju
tentang hal tersebut. Pihak yang menyetujui tindakan euthanasia beralasan
bahwa setiap manusia memiliki hak untuk hidup dan hak untuk mengakhiri
hidupnya dengan segera dan hal ini dilakukan dengan alasan yang cukup
mendukung, yaitu alasan kemanusiaan.
Dengan keadaan pasien yang tidak lagi memungkinkan untuk sembuh atau
bahkan hidup, maka ia dapat melakukan permohonan untuk segera diakhiri
hidupnya. Sementara sebagian pihak yang tidak memperbolehkan euthanasia
beralasan bahwa setiap manusia tidak memiliki hak untuk mengakhiri hidupnya
karena masalah hidup dan mati adalah kekuasaan mutlak Tuhan yang tidak bisa
diganggu gugat oleh manusia. Secara umum, argumen pihak anti euthanasia
adalah kita harus mendukung seseorang untuk hidup, bukan menciptakan
struktur yang mengizinkan mereka untuk mati.
a. Bentuk Euthanasia
Terdapat juga pendapat dari Dr. R. Soeprono, yang membagi euthanasia empat
bentuk :

i
i. Euthanasia sukarela (Voluntary euthanasia).
Pasien meminta, memberi ijin atau persetujuan untuk menghentikan
atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup.
ii. Euthanasia terpaksa (Invulunturv eulfzunusiu)
Membiarkan pasien mati tanpa sepengetahuan si pasien sebelumnya dengan cara
menghentikan atau meniadakan perawatan yang memperpanjang hidup
iii. Mercy Killing sukarela (Volunturi Mercy Killing)
Dengan sepengetahuan dan persetujuan pasien diambil tindakan yang
menyebabkan kematian.
iv. Mercy Killing terpaksa (Involunlari A1ercv Killing)
Tindakan sengaja di ambil tanpa sepengetahuan si pasien untuk mempercepat
kematian.
a. Jenis Euthanasia
Euthanasia dikelompokkan dalam dua kelompok yaitu:
i. Euthanasia aktif, adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup pasien yang dilakukan secara medis.
ii. Euthanasia pasif, adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup pasien.

b. Dasar hokum dilakukannya Euthanasia


Ada beberapa pasal yang berkaitan atau dapat menjelaskandasar hokum
dilakaukannya euthanasia bagi orang atau keluarga yang mengajukan untuk
dilakukan euthanasia:
a. Pasal 340 KUHP
Barang siapa yang dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan
(moord), dengan hukuman mati atau pejara selama-lamanya seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.

b. Pasal 359
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang, dihukum
penjara selamalamanya lima tahun atau kurungan selamalamanya satu tahun.
i
c. Pasal 345
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain untuk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi
bunuh diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun penjara.
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya
dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan
pasien atau korban itu sendiri dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja
melakukan pembiaran terhadap pasien/ korban sebagaimana secara eksplisit
diatur dalam Pasal 344 dan 304 KUHP.
a. Pasal 344 KUHP secara tegas menyatakan : (Moeljatno, 2005 : 116)
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana
penjara paling lama dua belas
tahun”
b. Pasal 304 KUHP dinyatakan: “Barang siapa dengan sengaja menempatkan
atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum
yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi
kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

3.1 Aspek psikososial dari keperawatan kritis

3.1.1 ICU as a stressfull envirotmnet


Menurut Kep MenKes RI Nomor 1778/MENKES/SK/XII/2010 tentang
Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Intensive Care Unit (ICU), yang dimaksud
dengan ICU adalah sebagai berikut:

”suatu bagian dari rumah sakit yang mandiri atau sebuah instalasi di bawah
direktur pelayanan yang mempunyai perlengkapan dan staf yang khusus yang di
tujukan untuk observasi, perawatan dan terapi pasien-pasien yang menderita
penyakit, cedera atau penyulit-penyulit yang mengancam nyawa atau potensial
mengancam nyawa Peralatan yang digukana di ruangan ICU sangat komplek
dan canggih”.
i
Secara garis besar alat - alat dalam ruangan ICU terdiri dari dua kelompok
yaitu alat-alat pemantau (monitor) seperti: ECG, EEG, monitor tekanan
intravaskuler dan intrakranial, komputer cardiac output, oksimeter nadi, monitor
faal paru, bedside dan monitor sentral, analiser karbondioksida, fungsi
serebral/monitor, monitor temperatur, analisa kimia darah, analisa gas dan
elektrolit, radiologi (X-ray viewers, portable X-ray machine, Image intensifier),
alat-alat respirasi (ventilator, humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway
control equipment), dan alat-alat pembantu termasuk alat bantu nafas (ventilator,
humidifiers, terapi oksigen, alat intubasi (airway control equipment), resusitator
otomatik), hemodialisa dan berbagai alat lainnya termasuk defebrilator.

Ruang ICU sudah ada sejak tahun 1950 yang pada awalnya ruangan ini
dirancang untuk merawat pasien dengan kondisi yang tidak stabil. Akan tetapi
dengan meningkatnya kebutuhan akan peralatan dan ruangan yang dibutuhkan
oleh pasien – pasien yang dirawat di ruangan tersebut, maka ruangan ICU
menjadi semakin komplek yang menyebabkan ruangan ini penuh stress
(Jastremski, 2000)

Peralatan yang begitu beragam dan kompleks ditambah dengan


ketergantungan pasien yang sangat tinggi terhadap perawat dan dokter, dimana
setiap perubahan yang terjadi pada pasien harus di analisa secara cermat untuk
mendapat tindakan yang tepat dan cepat, menyebabkan adanya keterbatasan
ruang gerak pelayanan termasuk kunjungan keluarga. Pembatasan kunjungan
keluarga ini juga sebenarnya dilematis. Disatu sisi kunjungan keluarga sangat
dibutuhkan oleh pasien sebagai dukungan emosional, disisi lain kunjungan
keluarga bisa mempengaruhi pekerjaan perawat dan dokter yang harus bekerja
secara serius menangani pasiennya.

Hingga saat ini sudah banyak yang membicarakan bahwa ruang ICU
merupakan tempat atau ruangan yang penuh stres (stressful place) tidak hanya
bagi pasien yang dirawat tetapi juga bagi keluarga dan perawat ICU berkaitan
dengan berbagai macam prosedur yang dilakukan di ruang ICU, peralatan yang
ada di ruang ICU, keadaan penyakit, suasana lingkungan di ICU dan kecemasan
akan ancaman kematian (Jastremski, 2000).

i
Sebuah penelitian tentang persepsi pasien dan perawat tentang stressor di
ICU yang dilakukan oleh Cornock (1998) di Amerika serikat dengan
menggunakan sample 71 perawat dan 71 pasien dengan menggunakan the ICU
Environmental Stressor Scale menemukan bahwa baik erawat maupun pasien
mempersepsikan ruang ICU sebagai ruangan yang stressfull (penuh stres).
Beberapa faktor lingkungan ICU yang menjadi stressor menurut pasien adalah
adanya slang dihidung dan dimulut, tempat tidur yang tidak nyaman,
keterbatasan gerak karena banyaknya alat yang dipasang di tubuh mereka, sulit
tidur, tidak mampu berkomunikasi, mendengar pembicaraan orang (perawat dan
dokter), kurangnya kunjungan, lampu yang terang dan hidup terus menerus,
kebisingan yang tidak familiar dan tidak biasa didengarnya. Disamping hal – hal
diatas, perawat menambahkan beberapa stressor seperti alarm dari monitor,
mesin - mesin yang canggih dan asing, ada laki laki dan perempuan dalam satu
ruangan, dan tidak ada privacy. Cornock (1998) menyimpukan perlu dipikirkan
bagaimana mengatasi lingkungan ICU yang tidak bersahabat tersebut.

3.1.2 Caring pada pasien kritis

a. Perawat harus mengatasi dulu masalahnya sendiri


Sebelum mampu mengatasi stress pada pasien yang dirawat, seorang
perawat ICU harus mampu mengatasi stressnya sendiri. Perawat yang bertugas di
ruang ICU mempunyai stress yang lebih tinggi daripada perawat yang bertugas di
ruangan lain. Menurut hasil penelitian pakar ICU dari Texas Amerika Serikat, Barr
dan Bush (1998), ada 4 faktor yang dapat mendukung perawat untuk mengatasi
stressnya.
Pertama adalah dukungan dari teman, atasan dan keluarga. Seorang perawat
ICU akan merasa berarti kalau mendapatkan pujian dari temannya atau atasannya.
Pujian - pujian kecil setiap hari bisa menyemangati teman atau kolega. Seperti
misalnya “wah, kamu melakukannya dengan baik hari ini”. Atau “tadi kamu
berkomunikasi dengan baik dengan keluarga”. Dengan saling mendukung tentunya
sesama perawat ICU akan merasa tidak sungkan untuk saling meminta dan
menerima advice (Barr & Bush,1998).

i
Kedua adalah adanya perawat yang menjadi model. Seorang perawat
senior tentu bisa menjadi model bagi perawat lainnya. Seorang role model
mempunyai sikap yang baik terhadap pekerjaannya dan pasiennya. Mereka
biasanya mempunyai sikap kind, emphatic and thoughtful tentang pasien dan orang
lain disekitarnya. Ketika dia punya masalah dia tidak memperlihatkannya kepada
temanya dan juga pasiennya
Ketiga adalah melihat perkembangan pasien yang positif dan interaksi yang
positif dengan pasien dan keluarga. Seorang perawat mengatakan bahwa sebaiknya
keluarga lebih sering berkunjung sehingga kita lebih bisa memahami kebutuhan
pasien. Mengizinkan seorang istri untuk melakukan perawatan mulut bagi
suaminya merupakan suatu contoh bagaimana caranya melibatkan keluarga dalam
merawat pasien dan memberikan waktu mereka untuk bersama yang membuat
mereka merasa spesial. Mengizinkan keluarga untuk menyentuh pasien dan bicara
singkat dengan pasien. Menjelaskan keadaan pasien, prosedur dan peraturan rumah
sakit kepada keluarga.
Keempat adalah perawat ICU harus mendapatkan saleri yang pantas sesuai
dengan tanggung jawabnya. Jika penghasilannya kecil maka performance mereka
menjadi menurun.
b. Upaya untuk mengatasi masalah psikososial pasien kritis
Setelah perawat mampu mengatasi stressnya sendiri, baru dia bisa
berupaya mengatasi stress pasien dan keluarga. Berikut adalah beberapa tindakan
yang bisa dilakukan oleh perawat untuk menurunkan stress pada pasien di ruang
ICU. 3.2.1.
c. Modifikasi lingkungan
Pertama adalah merubah lingkungan ICU. Lingkungan ICU sebaiknya
senantiasa dimodifikasi supaya lebih fleksibel walaupun menggunakan banyak
sekali peralatan dengan teknologi canggih, serta meningkatkan lingkungan yang
lebih mendukung kepada proses recovery (penyembuhan pasien) (Jastremski,
2000).
Konsep pelayanan yang berfokus pada pasien memungkinkan untuk
mempromosikan the universal room. Ketersediaan alat yang portable dan lebih
kecil meningkatkan keinginan untuk mendekatkan pelayanan pada pasien
daripada pasien yg datang ke tempat pelayanan. Kemungkinan untuk membuat

i
work statiun kecil (decentralization of nursing activities) untuk tiap pasien akan
mengurangi stress bagi pasien (Jastremski, 2000).
Peralatan yang super canggih seperti remote monitoring untuk semua
pasien melalui monitor pada semua tempat tidur pasien yang bisa dimonitor lewat
TV. Jadi perawat bisa memonitor pasien Bed 1 walau sedang berada dekat pasien
Bed 2 (Jastremski, 2000).
Disamping menggunakan tekhnologi canggih seperti diatas untuk efisiensi
dan efektifitas pelayanan kepada pasien, lingkungan yang menyembuhkan
(healing environtment) juga perlu diciptakan. Fleksibilitas dari lingkungan tempat
tidur (bedside environtment) bisa dimaksimalkan ketika semua lingkungan yang
terkontrol disedikan di ruangan pasien.

3.1.3. Terapi musik


Disamping modifikasi lingkungan seperti diuraikan diatas, cara lain untuk
menurunkan stress pada pasien yang dirawat di ICU adalah terapi musik. Tujuan
therapy musik adalah menurunkan stress, nyeri, kecemasan dan isolasi. Beberapa
penelitian telah meneliti efek musik pada physiology pasien yang sedang dirawat dan
menemukan bahwa terapi musik dapat menurunkan heart rate, komplikasi jantung
dan meningkatkan suhu ferifer pada pasien AMI. Juga ditemukan bahwa terapi musik
dapat menurunkan stress pasien (Jastremski, 2000; Harvey, 1998; White, 1999).
Musik yang digunakan bisa berupa suara air, suara hujan, suara angin atau
suara alam (Jastremski,1998). Masing - masing pasien diberikan headset untuk
mendengarkannya. Pengurangan cahaya di malam hari juga akan mengurangi stressor
bagi pasien. 3.2.3.
3.1.4 Melibatkan kelurga dan memfasilitasi keluarga dalam perawatan pasien kritis
Lingkungan ICU harus mampu mengakomodasi kebutuhan pasien dan
keluarganya (Jastremski, 2000). Pasien tentunya sangat mengharapkan dukungan
emosional dari keluarganya (Olsen, Dysvik & Hansen, 2009) karenanya jam besuk
harus lebih fleksibel. Selama ini jam bezuk hanya 2 kali sehari. Hal ini perlu
dimodifikasi terutama untuk seseorang yang sangat berarti bagi pasien. Disamping
itu keluarga perlu diberikan ruangan tunggu yang nyaman dengan fasilitas kamar
mandi, TV dan internet connection (Hamilton, 1999).

i
pasien di ruang ICU di Australia menemukan bahwa komunikasi perawat di
ruang ICU masih sangat kurang meskipun mereka mempunyai pengetahuan yang
sangat tinggi tentang komunikasi terapeutik. Hal ini juga dialami oleh teman dekat
penulis ketika anaknya di rawat di ICU. Dia merasa perawat ICU di rumah sakit K
tersebut sangat ttdak mempertimbangkan perasaan dia dan pasien ketika
berkomunikasi. Sangat tidak supportive dan cenderung apathy. Penelitian lain oleh
McCabe (2002) di Ireland dengan pendekatan phenomenology juga menunjukkan
hal yang sama. Akan tetapi, perawat bisa melakukan komunikasi yang baik dan
efektif dengan pasien ketika perawat menggunakan pendekatan person-centered
care.
Person-centred care adalah istilah yang digunakan dalam pelayanan
kesehatan untuk menggambarkan pendekatan pilosofis untuk a particular mode of
care (model tertentu dalam keperawatan). Konsep utama dari person-centred care
adalah sebuah komitmen untuk menemukan kebutuhan pelayanan keperawatan
individu dalam konteks pengalaman sakit, kepercayaan pribadi, budaya, situasi
keluarga, gaya hidup dan kemampuan untuk memahami apa yang sedang dirasakan
oleh pasien. Pendekatan ini membutuhkan perawat untuk pindah dari sekedar hanya
memenuhi kebutuhan kesehatan pasien kepada kemampuan untuk memahami dan
responsif terhadap the inner world of the individual – their personal world of
experiences and what this means to them (Hasnain, et al., 2011; Clift, 2012).

i
BAB III
PENUTUP

1.1 Kesimpulan
1. Asuhan keperawatan intensif adalah kegiatan prkatek keperawatan intensif yang
diberikan pada pasien/keluarga. Asuhan keperawatan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan yang merupakan metode ilmiah dan
panduan dalam memeberikan asuhan keperawatan yang berkualitas guna mengatasi
masalah pasien. Langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi pengkajian,
masalah/diagnose keperawatan, rencana tindakan dan evaluasi (kemenkes, 2006)
2. Pengkajian di icu meliputi pengkajian sebelum pasien datang, segera setelah datang,
segera setelah pasien datang, pengkajian lengkap dan pengkajian berkelanjutan

2.2 Saran

1. Perawat harus memahami bagaimana konsep proses asuhan


keperawatan di area kritis
2. Perawat harus memiliki kemampuan untuk melakukan layanan
asuhan keperawatan di area kritis.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes Ri. 2006. Standar pelayanan keperawatan di icu. Direktorat keperawatan dan
keteknisian medic dirjen pelayanan medik. Jakarta

Kemenkes. 2015. Modul pelatihan icu dasar. Jakarta

Permenkes RI. 2015. Standar peayanan keperawatan di rumah sakit khusus. Jakarta
Herdian, Fitra. 2016. Proses Keperawatan Pasien Kritis. Fakultas unpad. Diakses pada
https://www.researchgate.net/publication tanggal 5 Agustus 2019
Dr.dr. C. H. Soejono, S.-K. (2015). Pedoman Penerapan Paliatif Dan Akhir
Kehidupan (End Of Life/EOL).

Dyer. (2015). What are End of Life and End of Life Care? Health Disease and

Conditions. Euggune, M., Ibrahim, K., & Agustina, H. R. (2014, April). Persepsi

Perawat Neurosurgical
Critical Care Unit terhadap Perawatan Pasien Menjelang Ajal. Akademi
Keperawatan Bethesda, 2.

Fitria, C. N. (2010, Februari). PALLIATIVE CARE PADA PENDERTITA


PENYAKIT TERMINAL. 7.

Friedenberg, A., Levy, M., Ross, S., & Evans, L. (2011). Barriers to end of life care
in the Itensive Care Unit: Perceptions Vary by Level of training, dicipline,
and institution. Journal of Paliative Medicine, 4.

Hutagalung, S. (2019). Isu End of Life Keperawatan Kritis.

Kozier, B., Erb, G., Berman, A., & Snyder, a. S. (2010). Buku Ajar Fundamental
Keperawatan. In E. Wahyuningsih, D. yulianti, Y. Yuningsih, & d. A.
Lusyana, Buku ajar fundamental keperawatan : Konsep, proses dan praktik
(Vol. 2). New Jersey: EGC.

Pradjonggo, T. S. (2016, Juni). Suntik Mati (Euthanasia) Ditinjau dari Asoek Hukum
Pidana dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, 56-63.

Prakoso, D., & Nirwanto D, A. (n.d.). Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum

Pidana. Ruland, C., & Moore, S. (n.d.). Nursing Theory Peacful End Of Life.

TEXAS: TexasUniversity Health Sciences Center School Of Nursing.

26
Barr W.J. & Bush H.A.(1998). Four factors of nurse caring in the ICU. Dimensions of
Critical Care Nursing, 17(4), 214-223

Cornock M (1998). Stress and the intensive care patient: Perceptions of patients and
nurses. Jounal of Advand Nursing, 27,18.

Davis-Martin S (1994). Perceived needs of families of long-term critical care patients:


A brief report. Heart Lung, 23, 515

Dyson M. (1996). Modern critical care unit design: Nursing implications in modern
critical care unit design. Nursing Critical Care 1,194,

27

Anda mungkin juga menyukai