Islam bukan agama miskin seperti pemikiran sebagian orang, juga bukan
agama kaya seperti harapan sebagian orang. Islam milik muslimin, kaya
dan miskin, kemiskinan tidak menjadikan seorang muslim bertaqwa,
kaya tidak berarti sombong dan congkak. Sebagian muslimin menyangka
ajaran Islam yang benar meninggalkan dunia dengan segala isinya dan
mengasingkan diri (uzlah) dari kehidupan dunia fokus beribadah seorang
diri. Sahabat Rasulullah Saw serta salafussalih tidak demikian, mereka
hidup normal, Islam dibutuhkan oleh orang kaya dan miskin. Siapa yang
mengatakan ummat Islam miskin? Islam dipegang oleh ummat yang kaya
seperti Abu Bakar, Usman bin Affan dan Abdurrahman, Allah Swt
menjadikan para pedagang sebagai penda’i, jika bukan karena kekayaan
Abu Bakar niscaya Bilal bin Rabbah tetap disiksa dengan batu di
Makkah. Jika bukan karena kekayaan Usman bin Affan sahabi Attasyi
tetap menunggu minuman dari Yahudi pemilik sumur “Raumah”. Jika
bukan kekayaan Ibnu Badis niscaya ia tidak akan mampu melahirkan
generasi tangguh yang memerdekakan Aljazair.
Demi Allah ummat muslim tidak akan bangkit tanpa kekayaan, ummat
muslim memerlukan generasi-generasi kaya akan menafkahi jalan
dakwah, harta merupakan kekuatan yang sangat diperlukan saat ini!
Sebelum mendalami kisah beliau lebih lanjut, saya akan menceritakan
kisah yang akan memberikan pemahaman ekonomi Islam. Diriwayatkan
bahwa seorang pedagang yang kembali perniagaannya, sahabatnya
bertanya kenapa ia kembali kemudian beliau menjawab: “Wahai
saudaraku, saya melihat merpati buta sendirian di tengah jalan. Saya
bertanya dalam hati: “Bagaimana ia bertahan hidup? Kemudian seekor
merpati datang membawa makanan kepadanya, “tiada Tuhan selain
Allah!” Sesungguhnya Sang Pemberi rezeki merpati buta mampu
memberi saya rezeki tanpa berusaha panting tulang, saya memutuskan
pulang membawa dagangan menjumpai istri dan anak-anak saya."
Sahabatnya memperhatikannya seksama lalu meletakkan tangan di
bahunya: “Maha suci Allah wahai saudaraku, jangan seperti merpati buta
menunggu makanan, jadilah merpati kuat yang membawa makanan
kepadanya!" Abdurrahman bin Auf seorang muslim kaya raya dalam
sejarah Islam, dijamin masuk syurga.
Jika satu produk dagang laku dengan keuntungan Rp100, dan satu produk
lainnya melalui kredit dengan keuntungan Rp1 juta. Pebisnis sebaiknya
memilih keuntungan kecil secara tunai, daripada keuntungan Rp1 juta
dengan cara dicicil. Seperti Abdurrahman bin Auf yang dikenal memiliki
kecepatan dalam likuiditas. Sebab, perputaran uang penting untuk
menjadikannya kembali sebagai modal untuk penambahan produk
dagang berikutnya. Risiko harus menjadi faktor yang perlu
dipertimbangkan bagi pebisnis untuk menghindari kerugian yang lebih
besar pada transaksi kredit. Sebab, dalam bisnis perputaran keuntungan
sebagai modal perlu diperhatikan. Salah satunya juga untuk menghindari
hutang dalam modal usaha.
Integritas sendiri berarti mutu atau potensi yang bisa ditonjolkan seperti
kewibawaan atau kejujuran. Abdurrahman bin Auf seperti diketahui pada
masa awal hijrah ke Madinah tidak memiliki apa pun kecuali pakaiannya.
Kemudian, ia mengajak kerjasama dengan salah satu pemilik barang
untuk mencarikannya pembeli dengan membawa produk dagangnya
terlebih dahulu dan memberikan uang ketika sudah laku terjual. Dalam
kurun waktu satu bulan, Abdurrahman bin Auf mampu membuka kios di
pasar. Hingga bisnisnya berlanjut ke bisnis properti. Ia melakukan
kerjasama dengan pemilik lahan untuk membangun sebuah pasar baru,
dengan perjanjian modal yang berasal darinya.Ini sistem kerjasama bagi
hasil. Saat pasar selesai di bangun pun mereka tidak menetapkan biaya
sewa kios, melainkan pedagang boleh membayar seikhlasnya. Integritas
inilah yang membuat Abdurrahman bin Auf mendapatkan kesuksesan
bisnisnya.
4. Orientasi Pasar
Keputusannya dalam berbisnis, ia selalu mencoba memahami
terlebih dahulu apa yang menjadi kebutuhan dan keinginan dari
konsumen. Kejelian dalam melihat peluang inilah yang pada
akhirnya ia memutuskan untuk membangung sebuah pasar baru.Di
mana pasar lama pada saat itu dalam kondisi kumuh yang
menimbulkan ketidaknyamanan. Melihat adanya peluang ini ia
memutuskan untuk membuat sebuah pasar lama. Terbukti, pasar
baru yang dibangunnya ini ramai oleh calon pedagang yang akan
menempati lapaknya.
Prinsip ini yang menjadi pegangan teguh bagi Abdurrahman bin Auf
dalam berbisnis. Saat itu ia memutuskan untuk membeli seluruh kurma
busuk yang ada di Madinah.Kaum Muslim saat itu sedang berjihad
dengan ikut serta dalam Perang Tabuk. Namun, dengan kejadian perang
itu, mereka terlambat untuk memanen kurma di kebun mereka.
Abdurrahman bin Auf yang melihat kondisi memutuskan untuk membeli
semua kurma busuk yang terlambat di panen di Madinah. Tujuannya
untuk meringankan beban kerugian para petani kurma umat Muslim.
Beberapa waktu kemudian datang utusan dari Yaman yang mencari
kurma busuk sebagai bahan obat-obatan. Hingga terjadi kesepakan
Abdurrahman bin Auf dengan utusan tersebut, di mana kurma busuk
yang dibeli Abdurrahman bin Auf dengan harga normal sebelumnya,
dibayar oleh utusan Yaman tersebut dengan harga 10 kali lipat. Inilah
cara Allah memberikan pertolongannya kepada Abdurrahman bin Auf
yang juga menolong umat Muslim Madinah kala itu. Mencari keridhoan
Allah, keuntungan langsung didapatkan dengan berlipat ganda.
6. Barang Berkualitas
Kisah ini tentunya tidak hanya menjadi sejarah kesuksesan pribadi yang
turut meluaskan maslahat dari usahanya ke masyarakat luas. Semangat
yang sama juga diusung Global Wakaf, khususnya melalui
program Warung Wakaf. Program wakaf ini juga berikhtiar
membangkitkan perekonomian umat dengan pengelolaan bisnis ritel
modern. Manfaat dari hasil pengelolaan Warung Wakaf yang diperoleh,
sebagian diberikan kepada pengelola Warung Wakaf dan masyarakat
yang membutuhkan. Tidak hanya itu, dalam jangka panjang, hasil
pengelolaan Warung Wakaf juga mampu menyokong pembangunan
Warung Wakaf lainnya. Dengan demikian, ekonomi umat terus
bertumbuh menguasai pasar.
6.https://news.act.id/berita/abdurrahman-bin-auf-dan-penguasaan-pasar-
untuk-umat