Anda di halaman 1dari 4

Banjir 26 april 2019

Peristiwa banjir tanggal 27 April 2019 di wilayah Provinsi Bengkulu terjadi akibat
peningkatan curah hujan di Pos Hujan di Bajak pada tanggal 22, 23 dan 24 April 2019 terjadi
intensitas hujan 104, 121, dan 177 mm/hari. Intensitas curah hujan tinggi pada Pos Hujan
Tanjung Jaya tanggal 24 April 2019 sebesar 72 mm/hari dan tanggal 26 April 2019 mencapai
131 mm/hari. Pada Pos Hujan Baturaja intensitas curah hujan tinggi terjadi tanggal 24 April
2019 sebesar 108 mm/hari, dan tanggal 26 April 2019 sebesar 324 mm/hari. Kejadian ini
menunjukan bahwa intensitas curah hujan tinggi terjadi di wilayah pesisir Provinsi Bengkulu,
termasuk wilayah hilir Sungai Air Bangkahulu. Temuan ini sesuai dengan pernyataan
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), (2019) yang menyatakan banjir
Bengkulu terjadi akibat curah hujan tinggi dan pasang besar yang menyebabkan luapan air
laut atau rob.

Tinggi muka air Sungai Air Bangkahulu dibagian hulu menjelang kejadian banjir
tanggal 27 April 2019 telah mengalami peningkatan sejak tanggal 25 April 2019 dengan
tinggi 4,5 m, tanggal 26 April 2019 dengan tinggi 3,0 m, dan tanggal 27 April 2019 mencapai
tinggi 8,4 m. Sedangkan tinggi muka air dibagian hilir Sungai Air Bangkahulu menjelang
kejadian banjir tanggal 27 April 2019 mengalami peningkatan sejak tanggal 25 April 2019
dengan tinggi 5,9 m, tanggal 26 April 2019 dengan tinggi 4,4 m, dan tanggal 27 April 2019
mencapai tinggi 8,5 m.

Berdasarkan hasil perhitungan debit puncak Gunawan, (2017) menggunakan analisis


distribusi Gumbel tipe 1 yang menghasilkan debit puncak Sungai Air Bengkulu untuk
periode ulang 5 tahun sebesar 339,66 m3/detik, periode ulang 10 tahun sebesar 470,38
m3/detik, periode ulang 25 tahun 520,59 m3/detik, periode ulang 50 tahun sebesar 557,83
m3/detik dan periode ulang 100 tahun sebesar 594,79 m3/detik.

Faktor-faktor yang menjadi pendukung kerentanan bencana banjir di muara Sungai


Air Bangkahulu adalah ;

1. Morfologi palung sungai Air Bangkahulu bagian hilir berada lebih tinggi dari pada daerah
cekungan Lubuk Kambing dan sekitarnya, sehingga saat terjadi peningkatan debit sungai Air
Bangkahulu, mengakibatkan air mangalir menuju cekungan Lubuk Kambing.

2. Aliran drainase kota dari daerah Sukamerindu, Padang Jati dan sebagian Sawah Lebar
mengalir menuju Sungai Air Bangkahulu.

3. Daerah cekungan Lubuk Kambing telah menjadi tempat pertemuan saluran drainase Kota
dari Tanah Patah, Kebun Tebeng, dan Jembatan Kecil, dan aliran irigasi dari Danau Dendam
dan Merapi Ujung.

4. Muara sungai Air Bangkahulu mengalami kontak langsung dengan pasang laut dalam
bentuk pantai estuaria, pada saat pasang, air laut naik ke sungai dan masuk daerah backswam
seperti Rawamakmur dan Tanjung Agung yang menyebabkan aliran sungai Air Bangkahulu
tertahan.

Kawasan daerah aliran sungai sesungguhnya menjadi lokasi, ruang, dan wilayah
tempat membangun kesejahteraan rakyat. Penduduk sebagai subjek, seharusnya bertindak
melakukan aktivitas pendukung yang saling mendukung penciptaan wilayah untuk
menghasilkan barang dan jasa bernilai tambah yang tinggi. Untuk mencapai aktivitas
penduduk di daerah aliran sungai yang potensial, perlu adanya kebijakan Pemerintah Daerah
untuk merencanakan, mengembangkan dan mengawasi pertumbuhannya. Strategi
pembangunan berbasis daerah aliran sungai lebih tepat dikembangkan dengan konsep Spatial
Decision Support Systems, (Sugumaran and DeGroote, 2011).
1. Kerentanan fisik
a. Morfologi palung sungai Air Bangkahulu bagian hilir lebih tinggi dari daerah
cekungan Lubuk Kambing dan sekitarnya,
b. Aliran drainase kota dari daerah Sukamerindu, Padang Jati dan sebagian Sawah
Lebar mengalir ke Sungai Air Bangkahulu,
c. Daerah cekungan Lubuk Kambing telah menjadi tempat pertemuan saluran
drainase Kota dari Tanah Patah, Kebun Tebeng, dan Jembatan Kecil, dan aliran
irigasi dari Danau Dendam dan Merapi Ujung, dan
d. muara sungai Air Bangkahulu mengalami kontak langsung dengan pasang laut
sehingga air laut naik ke sungai dan masuk daerah backswam seperti
Rawamakmur dan Tanjung Agung.
e. Wilayah hutan yang seharusnya tidak digunakan sebagai kawasan budidaya dan
kegiatan non-kehutanan, pada kenyataannya terjadi. “Perencanaan yang tidak
sesuai dengan pemanfaatan tata ruang menjadi faktor utama terjadinya bencana
ekologis tersebut. Kawasan hutan yang fungsinya sebagai wilayah lindung,
penyangga kehidupan kawasan hilir dan tengah, diperuntukan sebagai daerah
budidaya yang sangat jelas tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan hidup. Berdampak besar pada bentang alam di bagian tengah dan hilir.

2. Kerentanan social dan budaya


a. Kelompok rentan dalam masyarakat yaitu balita, ibu hamil, lansia dan
penyandang cacat fisik/mental.
b. Jumlah korban jiwa yang telah dikonfirmasi berjumlah 24 orang, terdiri dari 19
warga Bengkulu Tengah, 2 warga Kepahiang, dan 3 warga Kota Bengkulu. Selain
itu, masih terdapat 4 korban hilang, 2 korban luka berat, dan 2 korban luka ringan.
Sekitar 13.000 orang terdampak akibat bencana ini, serta 12.000 orang terpaksa
mengungsi.
c. Terdapat mata pencarian yang berisiko yaitu Berbagi proyek pertambangan dan
perumahan namun salah satu perusahaan tambang di Bengkulu, PT Bara Mega
Quantum (BMQ), telah membantah tudingan sebagai penyebab banjir, dengan
menyebutkan bahwa daerah tambangnya ditambang pihak lain secara ilegal dan
tanpa izin perusahaan.

3. Kerentanan organisasi / intistional


a. Pemerintah Provinsi Bengkulu menetapkan status tanggap darurat bencana bagi 9
kabupaten dan kota yaitu Kota Bengkulu, Kabupaten Kaur, Kabupaten Bengkulu
Selatan, Kabupaten Seluma, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Kepahiang,
Kabupaten Rejang Lebong, Kabupaten Lebong, dan Kabupaten Bengkulu Utara.
Pada awalnya, masa tanggap darurat ditetapkan selama tujuh hari, sejak 27 April
2019 hingga 4 Mei 2019. Namun, status tersebut akhirnya dicabut pada 3 Mei
2019, dan dialihkan ke status pemulihan.
b. Walhi Bengkulu meminta pemerintah untuk melakukan restorasi, menghentikan
pemberian izin serta pemanfaatan kawasan lindung di Bengkulu. Misalnya,
Pemerintah Kota Bengkulu yang selama ini ingin membangun waduk di bagian
hilir, idealnya berkoordinasi dengan Pemerintahan Kabupaten Bengkulu Tengah
untuk sama-sama memperbaiki dahulu kawasan hulu. Dengan begitu,
pembangunan waduk di hilir bermanfaat.

4. Kerentanan Ekonomi
a. Total kerugian dari bencana ini ditaksir sekitar Rp144 miliar
b. Dampak banjir dan tanah longsor juga menyasar hewan ternak di Bengkulu.
Tercatat sapi sebanyak 204 ekor mati, kerbau (4), kambing (150), domba (8),
ayam (440), dan itik (51). Selanjutnya, dampak bencana juga menerjang lahan
pertanian sebanyak 2648,06 hektare (ha), jagung seluas 221,59 Ha, kacang tanah
8,25 Ha, kacang hijau 3,25 Ha, dengan total kerusakan areal pertanian seluas
2.977,50 Ha dan 775 batang sawit terdampak.
5. Kerentanan
BPBD masih melakukan pendataan dampak bencana dan penanganan bencana.
Masyarakat dihimbau untuk tetap meningkatkan kewaspadaan mengingat potensi
hujan berintensitas tinggi masih dapat berpotensi terjadi di wilayah Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai