Anda di halaman 1dari 24

EDISI 0

Tidak membahas
Revolusi Agraria
maupun gejolak
masyarakat dunia
seperti yang Anda
harapkan. Hanya
petualangan kecil
dan buah khayal
manusia-manusia
lalu-lalang ditelan
belantara hidup yang
culas.

NOTHING
IS THING
KONTRIBUTORDANPUBLISHERNYAAREK–AREKPANDAANPRIGEN
PRAKATA

MULA
UCAP syukur pada Yang Terhormat Sang Maha Semesta akhirnya dapat
diteriakkan sekeras mungkin setelah zine ini selesai, dipaksa selesai
tentunya. Telah mengendap beberapa bulan secara sangat tidak
mengenakkan sebab yang menulis (jamak) dibelenggu kesibukan
duniawi dan kegiatan menguntungkan lainnya. Menguntungkan?
Eksistensi kerap menjadi bahan perbincangan pemuda—paling
tidak dengan dirinya sendiri—di sela-sela kesibukan atau kengangguran
yang menimpa secara besar-besaran. Eksistensi yang menjadi penyakit,
eksistensi yang merugikan orang lain, kehilangan eksistensi yang sangat
menyiksa (yang dalam arti lain merasa kehilangan eksistensi yakni
sebuah rupa kelicikan hati nan sangat eksis), jatuh cinta pada eksistensi
seseorang yang ternyata buah surreal belaka, atau bahkan gembar-
gembor ke semua telinga bahwa ia seorang anti-eksistensialis. Yang
pasti, “eksistensi” sangat begitu ngeksis di kalangan pembincang. Aku
berpikir maka aku eksis.
Zine sebagai perayaan kecil atas kebebasan dan eksistensi tentu
kami manfaatkan secara tidak seutuhnya dengan corat-coret atau ketak-
ketik atau barangkali nanti foto-foto yang jelas tidak begitu penting.
Bagaimanapun buruknya, semoga dapat menjaga kewarasan dan menjadi
bahan bacaan ringan di kala nganggur. Namanya RaTunti, dieja “ra
tunti” yang artinya tertulis. Hasil dari wawancara dan konsultasi sedikit
panjang dengan salah seorang perantau asal Bima, bahasa Mbojo
katanya. Tertulis? Ya, benar, tertulis, tidak ditulis sama sekali. Jemari
yang klathak-klathak menelusuri keyboard atau goras-gores di kertas ini
hanya sebagai penyalur dari apa yang sudah tertulis menjadi kejadian-
peristiwa dan tak sengaja tertangkap oleh indra.
RaTunti hadir sebagai luapan kemuakan yang tak kalah
menyedihkan dengan libido ataupun rasa lapar, sebagai hiburan, sebagai
bacaan kecil, sebagai sindiran bagi diri sendiri, dan sebagai sasana karya
usang. Semoga kita senantiasa dihantui gemuruh adrenalin (mungkin
barangkali nikotin) untuk lebih berani mengoyak-oyak tidur lelap
serigala dalam diri kita.

Bon Appetit!

RaTunti Edisi 0|2


Kelompok Penerbang Roket

BERSERAGAM BERLAGA JAGOAN


MAU JADI APA?!
SEPERTI TENTARA KAU MENYERANG
DAN AKHIRNYA CELAKA!
IMPIAN HARAPAN ORANG TUA
MUSNAH BEGITU SAJA!
NYAWA-NYAWA PENERUS
BANGSA
TIDAK ADA HARGANYA!
MATI… MUDA…!
Parapapa papa papa!
Papara para papa papa papa!
Papara para papa papa papa!
Papara para papa papa papa!
Paparapa!
RaTunti Edisi 0|3
LUAP

REKOMENDASI KAMPUS DI MALANG YANG COCOK


UNTUK MBAK WORO WIDOWATI

M
bak Woro adalah musisi
cover yang sedang naik
daun. Dia menghiasi
setiap jagat status whatsapp
muda-mudi patah hati masa kini.
Jika Didi Kempot adalah
Godfather of broken heart, Mbak
Woro mungkin bisa kita
nisbatkan sebagai brand
ambassador ditinggal milih
dalan liyane. Pasalnya saat kita
mendengar lagu Woro Widowati
kita tiba-tiba tatu dengan sendirinya sebab gagal sampek tuwek bersama,
akhirnya milih dalan liyane dengan tak ikhlasno.
Ternyata, Mbak Woro adalah seorang siswa Jurusan IPS di salah
satu SMA di Magelang. Awalnya saya mengira Mbak Woro adalah sista-
sista yang sudah matang diajak sampek tuwek bersama. Ternyata semua
salah, kalau ngak salah dia hanya siswi Jurusan IPS. Jurusan yang
biasanya terkenal dengan siswa yang gemar tawuran dengan siswi-siswi
binal yang jadi ratu sekolahan. Oke, lupakan kebinalan.
Mungkin setelah lulus sekolah Mbak Woro ingin melanjutkan
pendidikannya di bangku perkuliahan dan semoga saja tidak memilih
dalan liyane untuk sampek tuwek bersama orang lain. Saya
merekomendasikan kampus-kampus berkualitas di Kota Malang yang
cocok untuk Mbak Woro Widowati

Kampus Pertama, Universitas Brawijaya


Universitas Brawijaya (disingkat UB -red) adalah kampus yang
diganyang-ganyang merupakan kampus terbaik di Malang. Menurut saya
kampus yang terkenal dengan penghasil selebgram contohnya adalah
Rakri. Hehe, bukan itu. Mari kita lupakan Rakri, Mari Kita Ingat Munir.

RaTunti Edisi 0|4


LUAP

Jangan sampai Munir terlupakan. Munir aktivis HAM pernah berkuliah


di sini. Mahasiswa kampus ini selalu berada di garis terdepan ketika ada
demo-demo di Balai Kota Malang.
Hal ini cocok untuk Mbak Woro, sebab Mbak Woro akan
membawa massa yang cukup banyak untuk demo. Misalnya Mbak Woro
sebagai orator demo dan kaum tatu Mbak Woro semuanya datang. Mbak
Woro naik pagar Balai Kota Malang, sambil menyanyikan lagu khas
Mbak Woro yang sangat menyindir kelakuan anggota DPR Kota Malang,
yakni tatu.
Opo aku salah yen aku crito
Opo anane
Wong sing neng sandhingmu ben melu krungu
Piye tenane
“Ceritakno mbak ceritaknooooo,” ujar demonstran lain.
Lagipula butuh mahasiswa seperti Mbak Woro di Malang,
mahasiswa yang suaranya didengar banyak orang. Sehingga aspirasi
tersampaikan.

Kampus kedua, Universitas Negeri Malang


Kampus ini terkenal dengan gelar kampus pendidikan. Kampus
yang letaknya di depan MATOS (Malang Town Square). Mall yang
sangat terkenal di Malang. Hal ini cocok untuk Mbak Woro, misalnya
membeli peralatan bersolek atau tempat nongki-nongki syantik. Mbak
Woro tinggal nyabrang saja jika ingin mengisi kegabutan setelah
ngampus. Mahasiswa ngalam jeda kuliah ya ngemall. Makan di mall,
sholat di mall. Eh di masjidnya, masak sholat di depan both chatime.
Arep nyembah boba ta?
Alasan berikutnya adalah Mbak Woro dari profilnya sangat cocok
menjadi guru, apalagi menjadi guru sejarah. Mbak Woro sangat ahli
mengingatkan masa lalu saya. Hiks. Atau Mbak Woro mengambil
Jurusan Pendidikan Ekonomi. Kan, Mbak Woro nanti bisa mengajarkan
bagaimana mengatur pendapatan dari Youtube. Oh iya, kalau gak salah
di UM juga ada Jurusan Seni Musik. Cocok untuk Mbak Woro. Nanti
nyanyi di café-cafe Kota Malang.

RaTunti Edisi 0|5


LUAP

Alasan berikutnya adalah UM terkenal dengan mahasiswanya


daerah 3T (Terjauh, tertinggal, Trenggalek, Tulungagung). Pokok
daerah-daerah ‘kulonan’. Misal Ngawi, Madiun, Magetan, dll. Yang
mahasiswanya tampilannya modis-modis, cantik-cantik tapi giliran
ngomong pasti ada kata “peeeh…”, “trahee...”, “we”, “kae”, “jaaan.”
kantal. Mbak Woro cocok, sebab Mbak Woro akan menemukan sebuah
habit yang sesuai, yaitu Medok Empire.

Kampus Ketiga, Universitas Islam Malang


Universitas Islam Malang adalah kampus islam di bawah
naungan NU yang terkenal dengan aroma keislaman Aswaja. Sebelum
kuliah berdoa bersama, setelah kuliah berdoa bersama. Sambil ada yang
nyalur bagi berkatan juga. Haha. Kampus yang sangat NU cocok bagi
Mbak Woro yang ukhti seperti lagu Aisyah Istri Rosulullah.
Mbak Woro juga bisa menjadi kader badan-badan otonom NU
misalnya ikut IPPNU (Ikatan Pelajar Putri Nadhatul Ulama) atau ikut
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Nanti mendapat julukan
baru yaitu Rekanita Woro atau Sahabati Woro. Dan masih banyak Badan
Otonom NU yang lain. Pokok yang penting Mbak Woro tidak ikut
banser. Nanti Mbak Woro menjelma bapak-bapak kumisan yang kekar
berbaju doreng dan berkopyah. Jangan, Mbak, jangan!
Satu lagi yang membuat cocok. Mbak Woro mungkin akan
diorbitkan untuk menjadi vokalis grup albanjari. kayak gus Azmi.
Bayangkan saja Mbak Woro nanti mendapat gelar Ning, Ning Woro.
Lalu Ning Woro Featuring Gus Azmi menyanyikan lagu Cinta Dalam
Isthikharah x Dalan Liyane.
Alasan Mbak Woro lebih cocok di UNISMA dibanding UIN
Malang adalah Unisma tidak wajib Ma’had setahun. UIN wajib ma’had.
Kasian Mbak Woro nanti ngak bisa keluar malem kalo dalam ma’had.
Jadwal bikin kontennya terganggu Ro’an pondok. Ga enak juga kan.

Kampus Keempat, Universitas Muhammadiyah Malang


UMM atau Universitas Muhammadiyah Malang adalah salah satu
kampus swasta unggulan. Mungkin bukan salah satu. Tapi satu-satunya
kampus swasta yang beken yang pernah saya lihat. Kampus yang punya

RaTunti Edisi 0|6


LUAP

Helipad sendiri, ya, meskipun gak ada Jurusan penerbangan juga.


Kampus ini terletak di dekatnya Terminal Landungsari. Patokannya
sudah jelas yaitu terminal. Semua orang Malang pasti tau. Kampus UMM
kan terkenal, dibanding yang di nomor tiga. Hehe.
Akhir-akhir ini kita tahu bahwa UMM membuka pendaftaran
bagi para influencer. Syaratnya Cuma gampang hanya seorang selebgram
tau selebtwit dengan followers 10K atau Youtuber dengan subscribers
5k. Kampus ini cocok untuk Mbak Woro dan Kekeyi. Mungkin Mbak
Woro bisa mengambil Jurusan Ahwal al-Syakhsiyyah di sini. Mbak Woro
juga dari style-nya cocok sebagai penghuni kampus ini. Ketika melihat
Mbak Woro rasanya adem kaya ubin masjid UMM. Sumpah adem men!
Mungkin itu saja kampus yang saya rekomendasaikan untuk
Mbak Woro. Kami para kating sudah menunggu Mbak Woro sebagai
maba untuk diospeki. Jika Mbak Woro menjadi maba, kita tunggu foto
Mbak Woro di banner-banner. Dengan pose pura-pura nugas seperti
biasanya. Enak kuliah di Malang, Mbak, nanti Mbak Woro bisa genda’an
di Jalan Ijen. (kadalisme)

RaTunti Edisi 0|7


TEMPERAMENTAL MUSIK

Eps. 13 Ciel Blue, Saku dan Hyodo

1/
Ciel Blue, langit Paris yang biru
Eiffel yang tinggi
Menusuk matahari
Tepat ke lambungnya

Manusia menjerit lewat lagu-lagu


Full moon..
Dan kita melihat beck si anjing
Yang hanya menggonggong
karena sengat tawon

Ke mana kita akan pergi


Ke lain dimensi?
Atau ke dalam diri, bahkan

2/
Di episode ketigabelas
Saku yang diam dan dingin
Menabuh drum
Dengan tongkat pertanyaan
Mengapa seluruh manusia
Dari zaman purba menari-nari dan berlagu-lagu
Serta mencipta syair-syair kepedihan di samping api unggun?
Di manakah dan dari manakah mereka menemukan api?
Sedang kita hanya ngun-ngun
Dan hanya sepi F O L L O W M E
Follow me / Baby, I won't let
Lalu kita pause film you leave if you believe in me
/ And I always set you free
Termenung dan from all those yesteryears /
Tenggelam lagi-lagi But you don't know how much /
I got believe in you
Pada sungai pertanyaan
Yang belum sempat kita I was staring at your shoulder
shivering / In such a coldest
Jawab sendiri summer breeze / Meanwhile I
wonder why we're here / Look
for the line between love and
Ketukan-ketukan friends / We'll be twisting
Bass ourselves again
Hi-hats I was standing at the corner
Kick on the street / Watching the
wheels are turning free /
Dan apalah itu semua Waiting to back up on my feet
Sama dengan detak jantung dada / Reading a line between night
and day / I'll be twisting
myself again

RaTunti Edisi 0|8


TEMPERAMENTAL MUSIK

Dan detik pada kenangan


Ke mana hidup dan di mana
engkau kekasih,
aku meracau lagi

3/
Tokyo
Kyoto
Nama-nama kota
Atau perpustakaan terbesar di Prancis
Melalang buana pikiran kita

Mencari-cari jawaban selama sekian tahun


Dalam ruang
Jua waktu

Boom!
Hyodo melayangkan tinju kiri
Gagah sebagai bahtera
Mengguyur basah
Padang sabana hati perempuan-perempuan yang mati
Yang meminta belas kasih
Di era pasca-modern, menjual diri dan gigit bibir ala-ala
Biar manis
Dan kantuk lagi setelah episode berhenti

4/bab terakhir Terinspirasi serial anime


berjudul BECK yang
Di mana hati mengisahkan seorang
Semayam di sunyi pelajar lugu hingga
Di mana cinta mencapai panggung rock
Semayam di hati terbesarnya beserta karya
Pertanyaan-pertanyaan yang luarbiasa. -red
Tak mau berhenti
Sisa belasan laga
Ciel blue; langit paris yang biru
Full moon..
Pelan
Pelan, menabrak
Kita bunuh diri
Tak jadi, lantas bangun lagi
Memburu tanya, menggapai jawaban
Ciel blue: oh langit Paris yang biru!
(jiji)

RaTunti Edisi 0|9


TEMPERAMENTAL MUSIK

Christabel Annora, Kota, dan Korona

Jam menunjukkan pukul 01.03.


Oh, betapa insomnia ini sungguh kurang ajar.
***
Rasanya sulit untuk diakui kalau belakangan ini kehidupan memang jadi
makin kejam.
Siang bikin sepaneng. Terduduk kaku di depan laptop, kuliah online
ditemani sakit punggung dan caffeine crash. Malam-malam seram. Lagi-
lagi terduduk kaku di tempat yang sama sejak pagi tadi, di depan laptop,
berkejaran dengan deadline.
Di hari yang lebih longgar, siang hari malah jadi loyo dan menyedihkan.
Dirundung cabin fever dan aneka kebingungan yang mengoyak. Malam
hari malah jadi suram. Terbaring di kasur, overthinking sendirian,
ditemani feed Youtube yang tak habis-habis, juga ratusan pesan dari
puluhan group chat yang tak terbaca.
Hari-hari di masa swakarantina berlangsung bergantian di dua titik
ekstrim. Antara sibuk sesibuk-sibuknya atau kosong sekosong-
kosongnya.
Ya. Memang semuanya terdengar seperti salah satu racauan pecundang
yang cuma jago mengeluh. Tapi... huffftttt. Saya sedang capek dan
sedang ingin mengeluh..
***
Malam ini saya sama sekali nggak bisa tidur. Persis seperti di atas, saya
hanya goler-goler di kasur. Menunggu kantuk ditemani cemas-cemas
gelisah akan tugas yang menumpuk.
Satu hal penting yang saya pahami benar di masa-masa jahanam ini
adalah: tidak bisa tidur adalah bencana. Menyakitkan rasanya ketika
memejamkan mata malah jadi perkusor pikiran-pikiran busuk untuk
datang beramai-ramai sementara kita sudah ingin stop, fast forward ke
hari selanjutnya.
Biasanya musik bisa membantu. Saya ambil hape dan alhamdulillah
langsung disuguhi rekomendasi Spotify yang sedang bagus-bagusnya.
Satu hal yang patut disyukuri. Di tengah pandemi sialan ini ternyata roda
industri musik masih berputar stabil menelurkan karya; Ed O'Brien,

RaTunti Edisi 0|10


TEMPERAMENTAL MUSIK

Sharon Van Etten, Laura Marling, Fiona Apple, Owen, Bon Iver, The
Strokes, dan sang dewa yang akhirnya turun gunung, Nine Inch Nails
(!!!). Tadinya saya mau langsung lari ke Laura Marling, lumayan buat
timang-timang tidur.
Tapi entah kenapa saya malah belok ke laman pianis Malang Christabel
Annora, memutar album Talking Days.
Yang nggak saya kira adalah ternyata kegelisahan saya malah menjadi-
jadi. Anjing sialan. Saya malah jadi kangen kuliah. Kangen Kota Malang.
Kangen gedung-gedung di kampus. Kangen teman-teman.
Bajingan. Saya malah jadi kangen apapun.
***
Saya jarang merasakan romantisme suatu tempat. Wabil khusus
merasakan romantisme Kota Malang.
Hampir semua waktu yang saya punya, saya habiskan untuk mengurung
diri di kamar kos, menjadi budak internet. Menggali-gali rekomendasi
Spotify, mencari berbagai channel Youtube keren, melihat-lihat kurasi
grafis bot Archillect, hampir semuanya remeh-temeh. Meskipun begitu,
saya nggak pernah merasa menyesal atau kelewatan suatu apapun. Saya
mencintai dengan sangat kegiatan saya sebagai pengabdi wifi kencang.
Sampai 30 menit tadi, ketika saya menyetel Talking Days, semuanya
ambyar. Dengan sangat terpukul, saya menyadari kalau saya melewatkan
satu hal besar yang sudah pasti akan menghantui saya sampai kapanpun.
Saya melewatkan hidup bahagia secara pol-polan, di Kota Malang.
***
Menilik beberapa tahun belakangan, kancah musik independen Kota
Malang sangat menarik untuk diamati dekat-dekat. Pendatang baru terus
bermunculan membawa semangat eksplorasi sedangkan para veteran
skena semakin kokoh memperkuat eksistensi.
Di lini pop punk kita sudah tak asing lagi mendengar SATCF, Remissa,
Begundal Lowok Waru, Brigade 07. Bergeser ke math rock/emocore ada
andalan saya, Beeswax, Much, Eitherway, Crimson Diary. Agak masuk
ke ranah mengawang-awang shoegaze/dream pop/ambient ada Intenna,
Closure, Monohero. Bahkan yang terdengar seperti orkes ketoprak jawa
pun turut diramaikan oleh Tani Maju dan Rumah Serem. Iksan Skuter
membuka jalan untuk folk rock a la Iwan Fals. Dan tak terhitung lagi
banyaknya nama-nama yang bermain di synth pop/RnB yang

RaTunti Edisi 0|11


TEMPERAMENTAL MUSIK

meramaikan playlist ratusan coffeeshop kekinian seperti Atlesta,


Coldiac, Marigold, Steffani BPM.
Christabel Annora adalah sebuah angin segar. Geliat kancah musik Kota
Malang yang begitu rancak dan variatif dari segi genre setahu saya belum
pernah menelurkan satu LP yang isinya dominan aransemen piano. Pada
2016, rilisnya Talking Days seakan menjadi anomali yang tidak seorang
pun menyangka-nyangka akan terjadi.
Dalam Talking Days, Christabel Annora menitikberatkan pada
kepiawaiannya memainkan piano serta penampilan vokalnya yang jernih
dan melodius. Porsi piano yang sangat tinggi di mix membuat bunyinya
menggelegar megah, mengiringi lirik-lirik yang dekat sekali dengan
pergulatan emosi sehari-hari. Penghayatan emosi dibangun pelan-pelan
dari awal menuju ledakan chorus yang luar biasa emosional di bagian
akhir.
Kontribusi yang melimpah-ruah juga diberikan beragam musisi tamu
yang berasal dari kolega sesama pegiat musik Malang; Oneding, Steffani
BPM, Iksan Skuter, Octavianus Triangga, Timotius Nugraha, dan vokalis
The Morning After, Bambang Iswanto, ikut membuat beberapa lagu
semakin kaya dan padat akan bunyi-bunyian manis. Secara tidak
langsung Talking Days menjadi showcase bagi talent-talent tersembunyi
dari seantero kota, membuatnya seperti titik temu para musisi dari
berbagai latar belakang.
Hal-hal tersebut membuat komposisi-komposisi di Talking Days
terdengar cantik, minimalis dan organik sekaligus dramatis, intens, dan
hangat.
Itu juga yang membuat saya jadi awut-awutan secara emosional malam
ini.
***
Saya bisa merasakan ciri khas suhu udara Kota Malang yang punya
sedikit waktu sejuk pagi hari sebelum berubah jadi panas yang ganas
dalam satu menit track pertama, “Early Reflections”.
Still a lot more to learn
Never go back to the darkness
Life is never easy
But don't be afraid

RaTunti Edisi 0|12


TEMPERAMENTAL MUSIK

The sun's still shining bright, brighter, and brighter everyday


The moon's more beautiful, every night, every night
Membenarkan seprei, menenggak air putih, menyalakan rokok, sambil
mengingat-ingat kapan terakhir kali jiwa ini merasa penuh. Menghisap
rokok. Melangkah gontai keluar kamar. Menghadap matahari yang sudah
buru-buru meninggi. Menghisap rokok lagi.
Saya bisa mengingat rutinitas pagi saya begitu gamblang di track kedua,
“Sunshine Talks”. Mandi. Siap-siap kuliah. Starter motor. Nyalakan
rokok. Mendongak ke langit. Hisap rokok pelan-pelan. Hembuskan
perlahan. Mensyukuri nikmat kesunyian yang begitu jumawa.
Birds in the sky, the marshmallow cloud, so cute
Greetings from the air to you
Inhaling perfect harmony of you
What a greeting in the morning
Track ketiga, “If These Walls Could Talk”, jadi salah satu track paling
memorable. Entah kenapa saya selalu membayangkan waktu motoran
pulang dari Taman Krida Budaya dulu.
What do you feel?
What do you get?
Screaming and hating
Until they’re crying
Melewati jembatan Soekarno Hatta. Mendongak ke atas. Melihat
gedung-gedung Universitas Brawijaya menjulang tinggi-tinggi.
Oh, please
I have seen enough
I’m dying to see
You smiling again
***
Sungguh saya masih bisa terus menghubung-hubungkan satu-persatu
lagu dengan kilas visual acak Kota Malang. Ada sesuatu dari gelegar

RaTunti Edisi 0|13


TEMPERAMENTAL MUSIK

sound piano-nya yang seakan-akan lekat sekali dengan sudut-sudut


ikonik kota.
Riuh-rendah trotoar Semeru Art Gallery dan emperan gedung-gedung
tinggi Jalan Semeru - Pasar Splendid dalam “Rindu Itu Keras Kepala”.
Kelebat Stasiun Kotabaru - Balai Kota yang kehujanan dalam rendisi
manis “Desember” milik Efek Rumah Kaca. Jalanan sekitar Tugu
Pesawat yang lengang di tengah malam dalam ‘Selfishness”. Rentetan
pohon-pohon rindang yang mengepung pintu gerbang Jalan Semarang
Universitas Negeri Malang dalam bonus track “Satu”. Pemandangan
orang-orang berjejalan pulang kerja di Jalan Veteran yang sumpek padat
merayap di jam lima sore dalam instrumentalia emosional closing track
“Inside Your Unconscious Mind”. Berputar ke track pertama dan terus
mengulangi kelebat-kelebat pemandangan kota yang perlahan terlelap.
Mendengar Talking Days menjadi sarana untuk menghadirkan imaji Kota
Malang dan menumpahkan semua penyesalan yang terkandung dalam
ingatan. Tentang mimpi yang seharusnya terbangun. Tentang cinta yang
seharusnya terukir. Tentang memori yang seharusnya terpatri. Tentang
semua yang harusnya terjadi. Tapi tidak terjadi.
Bagi saya mendengar Talking Days bagaikan bangun ke masa lalu,
berlatarkan lanskap Kota Malang yang diguyur hujan dari pagi, siang,
dan malam, di bulan Desember yang kelam. Melewati hari-hari sulit
bersama orang-orang terdekat, berbungkus-bungkus rokok, pendar
cahaya malam, sedikit alkohol, jatuh hati yang tak terelakkan, rona merah
di pipi.
Hell, yes. Saya rindu Kota Malang.
***
(Tino Hendrawan)

RaTunti Edisi 0|14


MOVIE CHRONIC

Ngobrolin Soal “Parasite”


KARENA film Parasite (2019)
arahan Bong Joon-ho baru
saja memenangkan kategori
paling bergengsi pada ajang
penghargaan Piala Oscar
2020, yakni Best Picture atau
Film Terbaik, saya jadi
pengen ngobrolin hal-hal yang
saya dapatkan setelah nonton
film ini.
(img src: https://www.imdb.com -red)

Jika dilihat secara gamblang, ia memiliki banyak uang,


keluarga Kim jelas menjadi semuanya bisa dibeli dengan uang,
parasit. Mereka seakan memeras bukan? Namun agaknya Nyonya
kekayaan keluarga Park dengan Park melupakan satu hal bahwa
memanfaatkan kepolosan atau uang tidak bisa membeli nyawa.
sebenarnya kecerobohan keluarga Dari sudut pandang saya
Park sendiri. Peristiwa ini sebenarnya masing-masing
mengingatkan saya pada salah satu
dialog yang diucapkan Chung- Parasit/pa·ra·sit/ n 1 benalu;
sook, yang kira-kira berbunyi pasilan; 2 organisme yang
begini, “Mereka baik karena hidup dan mengisap makanan
mereka kaya.”. Ya, ucapan dari organisme lain yang
tersebut cukup mendeskripsikan ditempelinya; 3 ki orang yang
sifat Nyonya Park yang gampang hidupnya menjadi beban
sekali “meng-iyakan” sesuatu (membebani) orang lain. (KBBI
seakan ia tidak perlu melindungi daring)
apapun, seakan ia tidak akan bisa
kehilangan apapun—tentu karena golongan, “Si Kaya” dan “Si

RaTunti Edisi 0|15


MOVIE CHRONIC

Miskin”, yang ditonjolkan dalam memiliki rencana untuk


film ini, memiliki parasit sendiri- keluarganya. Hal tersebut
sendiri, yaitu sifat buruk, sifat mengindikasikan bahwa mereka
yang hidup di dalam pemikiran minim usaha untuk mengubah
dan mengisap hal-hal baik dari nasib namun berkemauan tinggi.
manusia. Parasit yang Andai kata keluarga Kim bekerja
menggerogoti pemikiran “Si dengan tekun dan jujur lama-
Miskin” adalah rasa malas. kelamaan nasibnya besar
Mereka memiliki obsesi namun kemungkinan bisa berubah.
tanpa aksi, obsesi untuk memiliki Sedangkan parasit pada “Si
uang, rumah yang besar, mobil Kaya” adalah sifat sombong.
mahal atau properti lain digadang- Mereka terlalu menganggap diri
gadang adalah simbol kekayaan mereka eksklusif sampai mereka
namun mereka melupakan fakta lupa bahwa mereka adalah
bahwa untuk manusia biasa— manusia biasa, bahwa mereka
bukan keturunan konglomerat harus membumi, harus rendah hati.
dsb.—hal tersebut hanya bisa Hal ini ditunjukkan dengan
didapatkan dengan kerja keras, adengan Pak Park yang sedang
dikumpulkan perlahan-lahan membicarakan aroma tubuh Ki-
sedikit demi sedikit hingga taek yang seperti stasiun bawah
menjadi bukit. tanah, juga saat di dalam mobil,
Pada awal film diceritakan Nyonya Park tanpa sungkan
bahwa orang tua Ki-woo masih menutup hidungnya lalu membuka
dalam kondisi yang sehat walafiat jendela mobil, juga adegan saat
namun tidak bekerja. Keluarga Ki-taek dan Pak Park mengenakan
tersebut menerima pekerjaan kostum indian dalam acara ulang
freelance untuk melipat kotak tahun putranya. Ki-Taek yang
Pizza. Sang ayah terobsesi untuk sepertinya memiliki banyak
cepat menyelesaikan pekerjaan pikiran di kepala terlihat tidak
tersebut dengan melihat tutorial di fokus, wajahnya memerah—
Youtube sampai-sampai namun Pak Park melihat itu seperti
melanggar aturan lipatan yang keengganan Ki-Taek untuk
sudah dibuat. Melalui beberapa melaksanakan permintaannya
dialog juga disebutkan bahwa Ki- sehingga ia malah membahas
taek (Sang Kepala Keluarga) tidak upah, menghitungnya sebagai

RaTunti Edisi 0|16


MOVIE CHRONIC

lembur. Adegan lainnya adalah


ketika tragedi pertumpahan darah
terjadi, di tengah kepanikan
Jessica, keluarga Kim dan tamu
lainnya, Pak Park sama sekali tidak
mau menolong Jessica yang
sedang kritis berdarah-darah, ia
malah ngotot meminta kunci mobil
dan berniat untuk kabur, namun
kunci tersebut terjatuh lalu
tertimpa mayat suami mantan
asisten rumah tangga keluarga
Park, Pak Park terlihat jijik sekali
dengan mayat tersebut.
Pada akhir film, setelah
kehilangan banyak hal, akhirnya (src: https://news.artnet.com -red)
Ki-woo berhasil mengenyahkan
Parasite yang menggerogoti Miskin” yang memang seakan
pikirannya—dia membuat sudah mengakar di masyarakat,
rencana, rencana paling dasar kita semua rasanya memiliki
seperti fondasi untuk parasit yang menggerogoti
menyelamatkan nasib ayahnya dan pemikiran dan menghisap jiwa
keluarganya. Ia membuang batu positif dari raga ini. Hidup kita
yang awalnya dianggap jimat ke bukan soal rencana muluk-
dalam sungai dan ternyata batu muluk—benar kata Ki-taek,
tersebut mirip serpihan fondasi sebaiknya kita hidup berdasarkan
rumah yang hancur—sama seperti kenyataan yang ada sekarang,
serpihan lain yang sudah ada di namun bukan berarti jalan di
sungai tempat ia membuangnya. tempat, melainkan membuat
Jangan-jangan dari awal memang rencana tentang langkah
itu hanyalah batu biasa—bukan selanjutnya yang akan kita ambil,
batu ajaib yang serta merta bisa sebuah langkah paling dasar yang
membuat pemiliknya jadi berduit. begitu dekat dengan realita. (kala)
Terlepas dari ironi tentang
gap antara “Si Kaya” dan “Si

RaTunti Edisi 0|17


LUAP

380C

U
capan puji Tuhan menggelora sepanjang pagi sebab kota sempat
dilanda hujan beberapa menit, yang sudah sangat lama dinanti
namun tidak mungkin dijemput, seperti seorang suami yang
minggat dengan mbak-mbak berkaus cingkrang tetapi tetap isbal.
Mungkin Malaikat yang disebut-sebut bertugas menyirami bumi ini
lama-kelamaan telinganya kacau sebab dirasani di tiap jengkal tanah tiap
detik oleh orang, semut, akar, aspal, kadal, dan bisa lebih parah lagi
dirasani rumah ibadah yang kian sepi gegara panas.
Ya, sebelum Sang Malaikat meng-attack balik dengan gelegar
aliran elektron dan payung raksasa di langit (entah kenapa tiba-tiba
berkelebat bmth payung berair mata) cuaca di kota pesisir sekaligus kota
pahlawan sekaligus kota tahu tek, lontong balap, jancok, aktivis
nggembel, purel, serta arek embongan ini benar-benar bajingan. Tak ada
pagi yang menyejukkan hingga mentari terangkat perlahan membawa
angin segar meracuni paru-paru dengan indah dan mengucap selamat
beraktivitas, tak ada. Yang ada hanya setengah jam golar-goler di atas
kasur dan tiba-tiba 380C saja. Saking panasnya ini, sampai hari-hari
seluruh pekerja dan pengangguran benar-benar terkunci di bawah
bayangan gedung, pohon, rombong bakso atau mie ayam, orang gemuk,
dan payung ibu-ibu penjual es tebu.
Hanya kucing penyakitan mental, maniak mancing berjubah
ninja, dan mas-mas indiehome pemasang kabel yang terang-terangan
menantang matahari kota pada penghujung kemarau panjang ini.
Fatamorgana dan panas pantulan aspal yang meluncur menembus buff
amat-sangat mengganggu kenyamanan pengendara motor, mengingatnya
saja amat tidak mengenakkan. Sekitar dua minggu ke belakang, sudah
berapa puluh motor kawan yang bocor alus tanpa sebab yang jelas.
Menurut insting korelatif ala-ala engineer, sepertinya gelombang panas
aspal adalah salah satu yang harus bertanggung jawab pada rejeki
nomplok tukang tambal ban ini.
Sungguh, rasa dongkol gegara cuaca panas tak semudah dongkol-
dongkol lain yang sekejap membengkak lalu meletus disambut halayak.
Ya, dongkol bab RUU cilaka tinggal konsol dan propaganda tipis-tipis
sudah eksis, dongkol pada Awkarin tinggal bikin akun bodong penjual
buah plum dan ramaikan linimasa, dongkol pada anak tetangga yang
kencing sembarangan tinggal putar ringtone kuntilanak keras-keras,
dongkol pada distribusi kalor di udara yang buruk?
Sepertinya akan sangat banyak yang bisa disalahkan, termasuk
diri sendiri. Berapa jumlah kipas aneh yang dipasang di luar ruangan
yang ternyata adalah saluran buangan udara panas dari AC? Berapa juta
rim kertas sudah kita habiskan buat skripsi, membungkus susu formula
adik, mengusap kuah soto di dagu pacar, cebok, lpj-an acara kampus tak

RaTunti Edisi 0|18


LUAP

berguna dan super merepotkan, yang artinya berapa hektar hutan sudah
kita babat (mengingat pernah terjadi perburuan berang-berang karena
keberingasannya menggerogoti hutan)? Semenit saja sudah berapa puluh
knalpot sembarangan menyemprot racun dalam satu ruas gang?
Deodoran, lemari es, kentut mamalia, trafo (beberapa waktu lalu
diajari tentang efisiensi energi dengan tidak mengubah energi yang
dibutuhkan menjadi bias seperti kalor), asap rokok, hingga kebocoran
sulfur di puncak-puncak gunung telah mempercepat sesuatu yang
memang seharusnya terjadi namun tidak sekarang ini, simulasi
mahsyar(pemanasan global). Tak ada yang paling tidak bertanggung
jawab di antara kita. Semua berhak dipanggang di dasar neraka sebab ini,
kecuali beberapa insan yang ditendang jauh dari peradaban dan tidak
pernah kentut meski dipaksa sarapan setengah kilo ketela rambat.
Gerakan hemat energi, plastic less, reboisasi, paper less, dan eco-
eco yang lain (yah, meskipun sering digunakan untuk pemasaran produk
saja) sepertinya belum begitu ampuh membendung kerusakan
dikarenakan sisi lain kita yang sadar lingkungan tak sebesar sisi lain kita
yang, bukan tak sadar lingkungan, sih, hanya saja lebih fokus pada hal
lain serta betapa tidak terbiasanya kita melakukan hal tak penting.
Manusia pada kisaran usia dua dasawarsa secara umum akan
membuang puntung rokok, sisa permen karet, batang sempol, dan kertas
kuis dengan lingkaran merah bertuliskan ‘E’ pada tempat yang telah
disediakan. Itu saat baik-baik saja dan tidak tergesa. Bila panik, alam
bawah sadar dipenuhi jadwal-jadwal mencekik daripada rasa hormat
pada alam semesta hingga main lempar saja puntung rokok ke selokan,
karena tidak terbiasa.
Tidak semua manusia memiliki kesempatan baik untuk menanam
sejuta pohon, menolak sekian miliar rupiah demi menjaga hutan, atau
menemukan formula pengurai sampah plastik, pun kesibukan masing-
masing tak kalah membunuh dibandingkan acara sekarat massal ini.
Setidaknya terlihat keren dengan turut campur mencintai lingkungan,
sudah cukup baik untuk jadi alasan..(jlmprg)

RaTunti Edisi 0|19


LUAP
TAK ADA SUMUR DI LADANG
Begini keadaannya, kau sedang kehilangan seluruh gairah serta cahaya
harimu dan hatimu amat gersang entah oleh perhatian-perhatian yang
sentimentil atau seberkas sinar suci Sang Maha Raja, tak tahu, pokoknya
isi kepalamu sedang begitu busuk, lapuk. Lalu karena kebingungan dan
kebiasaan manusia adalah berbagi rasa gelisah kepada manusia gelisah
yang lain, kau coba keluar mencari-cari dan mencuri-curi kesegaran.
Yang kau temukan di luar:
1. Seorang penjual sate tewas di rumahnya setelah beberapa hari
menderita sebab dikeroyok secara tidak jelas oleh sekelompok
pemuda yang diketahui sedang mabuk. Tiba-tiba saja sebuah
genggaman menyasar perut si bapak yang satenya terkenal legit
dan cocok untuk anak kos ini. Karena seumur hidup ia lebih
mengenal jenis bambu yang paling tidak membahayakan mulut
pelanggan daripada cara berkelit di hadapan preman, pak tua
tumbang. Tetap saja, ia tewas menyisakan anak bini.
2. Motor Honda lawas melaju tenang begitu saja dengan sepasang
lelaki-perempuan di atasnya. Si lelaki sekira 25 tahunan dan
perempuannya lebih muda (kita anggap saja sebagai adik). Wajah
pucat, rambut berantakan, mulut menganga, dan fokus mata tak
jelas, sangat menggambarkan seorang kakak sedang
menenangkan adiknya yang gila. Ditambah tangan si kakak yang
sesekali menunjuk sesuatu di kanan kirinya seperti mengajari
anak lima tahun mengeja lalu diikuti tertawaan adiknya yang
lebih terdengar mengiris.
3. Dua buah mobil polisi mentereng parkir depan kontrakan
kawanmu. Dengan desas-desus si kawanmu itu tadi ditangkap
dengan cara yang buruk sebab sudah sekian bulan menjadi
pengedar obat haram. Lalu kau ingat beberapa bulan lalu
kawanmu itu ditinggal mati ayahnya, dipangkas tenaganya di
kampus, ibu dan dua orang adiknya menunggu nasi di sarang, dan
tentu saja kau tak lupa bagaimana ia putus asa pada semua orang
yang tak pernah memberinya solusi, malah sibuk membanding-
bandingkan kesusahan masing-masing.
4. Kawan lamamu, perempuan, memilih menikah, dengan alasan tak
kuasa menahan getirnya hidup susah sendirian pada umurnya
yang terbilang belia. Alih-alih kehangatan yang diterima tiap
bangun tidur, ratapan demi ratapan perlahan menyulapnya
menjadi kehampaan yang berjalan kaki. Terlebih tatkala anaknya
lahir dan setia menjerit-jerit tiap malam, yang sempat hampir ia
bekap dengan bantal. Atau mertuanya yang menyuplai tuntutan-
tuntutan dan nyaris dicekiknya. Sebuah pilihan—entah itu salah

RaTunti Edisi 0|20


LUAP

atau memang yang paling benar—telah mengubahnya menjadi


nestapa teramat pajang.
Untungnya segera kau sadari betapa dibuat-buat seluruh penderitaanmu
dan lekas saja kau beranjak menemani mereka orang-orang bernasib
malang. Dengan cara apapun dan tentu saja pengorbanan rumit yang kau
tanggung seorang diri. (jlmprg)

RaTunti Edisi 0|21


POETIC FRAME

Kita Menunggu dan Hanya Barangkali Menunggu

Barangkali kau mempersilakanku untuk mengira-ngira di pagi yang


manakah nanti kita akan saling bicara perihal kejujuran dan
keterusterangan mengenai hal-hal yang rumit dan pelik. Akankah kita
dapat melampauinya atau bahkan hanya aku sendiri yang akan berjalan
kian jauh tanpa berharap kau berkata: akhirnya kau kembali setelah
sekian lama rinduku menjelma angin topan. Dan hanya itulah yang dapat
aku
bayangkan, Kekasihku.

Dalam mantra-mantra yang kau


berikan seperti: aku kangen padamu, aku rindu padamu,
aku mencoba mencintaimu, tunggu aku. Barangkali dalam
itu cinta dapat benar-benar tumbuh meskipun tak dalam
realitas yang kita bangun.
Barangkali dalam kecepatan waktu, kau benar-benar menetapkan aku
sebagai satu-satunya cerita yang akan kaugubah jadi segala hal.
Barangkali kau akan mengucap ini dan tak menyerah pada alam bawah
sadarmu: bahwa aku benar-benar mencintaimu, mari kita redakan hujan
lebat ini, Kekasihku. Tetapi barangkali adalah kata yang memang hanya
barangkali, sebagai pengandaian, sebagai mimpi-mimpi ketika nanti aku
tak lagi bisa jalan dan menulis puisi-puisi. Maka waktu itulah, segala
keadaan membeku dan aku jadi batu yang menerima derasnya arus
sungai, jadi batu yang dipoles jadi cincin pengikatmu. Terbanglah,
Kekasih, sebagai burung yang terbebaskan. Kekasih, barangkali dan
memang hanya barangkali, cinta adalah kekuasaan dalam diri yang tak
pernah kudapat. (jiji)

RaTunti Edisi 0|22


POETIC FRAME

RaTunti Edisi 0|23


Mother died today. Or perhaps yesterday, I don’t know. I received a
telegram from the old people’s home: “Mother deceased. Funeral
tomorrow. Very sincerely yours.” That doesn’t mean anything. It might
have been yesterday. Mother died today. Or perhaps yesterday, I don’t
know. I received a telegram from the old people’s home: “Mother
deceased. Funeral tomorrow. Very sincerely yours.”
That doesn’t mean anything. It might have been
yesterday. Mother died today. Or perhaps
yesterday, I don’t know. I received a telegram
from the old people’s home: “Mother deceased.
Funeral to orrow. Very sincerely yours. doesn’t
mean. It might have been yesterday. Mother
died perhaps yesterday, I don’t know. I re-
legra from the old peopl e’s home:
. Fun ral tomorrow. Very
m n anything. It might
have been
yes-
ter-
day.

Mother
died
today.
Or
perhaps yester-
day, I don’t know.
I received a telegram from
the old people’s home: “Mother
deceased. Funeral to- morrow.
Very sincerely yours. ” That doesn’t
mean anything. It might have been
yesterday. Mother died today. Or perhaps yesterday,
I don’t know. I received a telegram from the old
people’s home: “Mother deceased. Funeral tomorrow.
Very sincerely yours.” That doesn’t mean anything. It
might have been yesterday. Mother died today. Or
perhaps yesterday, I don’t know. I received a
telegram from the old people’s home: “Mother
deceased. Funeral tomorrow. Very sincerely
yours.” That doesn’t mean anything. (Albert Camus: The
Strangers. Ilustrasi terinspirasi lagu Tiga Titik Hitam oleh Burgerkill)

Anda mungkin juga menyukai