Tidak membahas
Revolusi Agraria
maupun gejolak
masyarakat dunia
seperti yang Anda
harapkan. Hanya
petualangan kecil
dan buah khayal
manusia-manusia
lalu-lalang ditelan
belantara hidup yang
culas.
NOTHING
IS THING
KONTRIBUTORDANPUBLISHERNYAAREK–AREKPANDAANPRIGEN
PRAKATA
MULA
UCAP syukur pada Yang Terhormat Sang Maha Semesta akhirnya dapat
diteriakkan sekeras mungkin setelah zine ini selesai, dipaksa selesai
tentunya. Telah mengendap beberapa bulan secara sangat tidak
mengenakkan sebab yang menulis (jamak) dibelenggu kesibukan
duniawi dan kegiatan menguntungkan lainnya. Menguntungkan?
Eksistensi kerap menjadi bahan perbincangan pemuda—paling
tidak dengan dirinya sendiri—di sela-sela kesibukan atau kengangguran
yang menimpa secara besar-besaran. Eksistensi yang menjadi penyakit,
eksistensi yang merugikan orang lain, kehilangan eksistensi yang sangat
menyiksa (yang dalam arti lain merasa kehilangan eksistensi yakni
sebuah rupa kelicikan hati nan sangat eksis), jatuh cinta pada eksistensi
seseorang yang ternyata buah surreal belaka, atau bahkan gembar-
gembor ke semua telinga bahwa ia seorang anti-eksistensialis. Yang
pasti, “eksistensi” sangat begitu ngeksis di kalangan pembincang. Aku
berpikir maka aku eksis.
Zine sebagai perayaan kecil atas kebebasan dan eksistensi tentu
kami manfaatkan secara tidak seutuhnya dengan corat-coret atau ketak-
ketik atau barangkali nanti foto-foto yang jelas tidak begitu penting.
Bagaimanapun buruknya, semoga dapat menjaga kewarasan dan menjadi
bahan bacaan ringan di kala nganggur. Namanya RaTunti, dieja “ra
tunti” yang artinya tertulis. Hasil dari wawancara dan konsultasi sedikit
panjang dengan salah seorang perantau asal Bima, bahasa Mbojo
katanya. Tertulis? Ya, benar, tertulis, tidak ditulis sama sekali. Jemari
yang klathak-klathak menelusuri keyboard atau goras-gores di kertas ini
hanya sebagai penyalur dari apa yang sudah tertulis menjadi kejadian-
peristiwa dan tak sengaja tertangkap oleh indra.
RaTunti hadir sebagai luapan kemuakan yang tak kalah
menyedihkan dengan libido ataupun rasa lapar, sebagai hiburan, sebagai
bacaan kecil, sebagai sindiran bagi diri sendiri, dan sebagai sasana karya
usang. Semoga kita senantiasa dihantui gemuruh adrenalin (mungkin
barangkali nikotin) untuk lebih berani mengoyak-oyak tidur lelap
serigala dalam diri kita.
Bon Appetit!
M
bak Woro adalah musisi
cover yang sedang naik
daun. Dia menghiasi
setiap jagat status whatsapp
muda-mudi patah hati masa kini.
Jika Didi Kempot adalah
Godfather of broken heart, Mbak
Woro mungkin bisa kita
nisbatkan sebagai brand
ambassador ditinggal milih
dalan liyane. Pasalnya saat kita
mendengar lagu Woro Widowati
kita tiba-tiba tatu dengan sendirinya sebab gagal sampek tuwek bersama,
akhirnya milih dalan liyane dengan tak ikhlasno.
Ternyata, Mbak Woro adalah seorang siswa Jurusan IPS di salah
satu SMA di Magelang. Awalnya saya mengira Mbak Woro adalah sista-
sista yang sudah matang diajak sampek tuwek bersama. Ternyata semua
salah, kalau ngak salah dia hanya siswi Jurusan IPS. Jurusan yang
biasanya terkenal dengan siswa yang gemar tawuran dengan siswi-siswi
binal yang jadi ratu sekolahan. Oke, lupakan kebinalan.
Mungkin setelah lulus sekolah Mbak Woro ingin melanjutkan
pendidikannya di bangku perkuliahan dan semoga saja tidak memilih
dalan liyane untuk sampek tuwek bersama orang lain. Saya
merekomendasikan kampus-kampus berkualitas di Kota Malang yang
cocok untuk Mbak Woro Widowati
1/
Ciel Blue, langit Paris yang biru
Eiffel yang tinggi
Menusuk matahari
Tepat ke lambungnya
2/
Di episode ketigabelas
Saku yang diam dan dingin
Menabuh drum
Dengan tongkat pertanyaan
Mengapa seluruh manusia
Dari zaman purba menari-nari dan berlagu-lagu
Serta mencipta syair-syair kepedihan di samping api unggun?
Di manakah dan dari manakah mereka menemukan api?
Sedang kita hanya ngun-ngun
Dan hanya sepi F O L L O W M E
Follow me / Baby, I won't let
Lalu kita pause film you leave if you believe in me
/ And I always set you free
Termenung dan from all those yesteryears /
Tenggelam lagi-lagi But you don't know how much /
I got believe in you
Pada sungai pertanyaan
Yang belum sempat kita I was staring at your shoulder
shivering / In such a coldest
Jawab sendiri summer breeze / Meanwhile I
wonder why we're here / Look
for the line between love and
Ketukan-ketukan friends / We'll be twisting
Bass ourselves again
Hi-hats I was standing at the corner
Kick on the street / Watching the
wheels are turning free /
Dan apalah itu semua Waiting to back up on my feet
Sama dengan detak jantung dada / Reading a line between night
and day / I'll be twisting
myself again
3/
Tokyo
Kyoto
Nama-nama kota
Atau perpustakaan terbesar di Prancis
Melalang buana pikiran kita
Boom!
Hyodo melayangkan tinju kiri
Gagah sebagai bahtera
Mengguyur basah
Padang sabana hati perempuan-perempuan yang mati
Yang meminta belas kasih
Di era pasca-modern, menjual diri dan gigit bibir ala-ala
Biar manis
Dan kantuk lagi setelah episode berhenti
Sharon Van Etten, Laura Marling, Fiona Apple, Owen, Bon Iver, The
Strokes, dan sang dewa yang akhirnya turun gunung, Nine Inch Nails
(!!!). Tadinya saya mau langsung lari ke Laura Marling, lumayan buat
timang-timang tidur.
Tapi entah kenapa saya malah belok ke laman pianis Malang Christabel
Annora, memutar album Talking Days.
Yang nggak saya kira adalah ternyata kegelisahan saya malah menjadi-
jadi. Anjing sialan. Saya malah jadi kangen kuliah. Kangen Kota Malang.
Kangen gedung-gedung di kampus. Kangen teman-teman.
Bajingan. Saya malah jadi kangen apapun.
***
Saya jarang merasakan romantisme suatu tempat. Wabil khusus
merasakan romantisme Kota Malang.
Hampir semua waktu yang saya punya, saya habiskan untuk mengurung
diri di kamar kos, menjadi budak internet. Menggali-gali rekomendasi
Spotify, mencari berbagai channel Youtube keren, melihat-lihat kurasi
grafis bot Archillect, hampir semuanya remeh-temeh. Meskipun begitu,
saya nggak pernah merasa menyesal atau kelewatan suatu apapun. Saya
mencintai dengan sangat kegiatan saya sebagai pengabdi wifi kencang.
Sampai 30 menit tadi, ketika saya menyetel Talking Days, semuanya
ambyar. Dengan sangat terpukul, saya menyadari kalau saya melewatkan
satu hal besar yang sudah pasti akan menghantui saya sampai kapanpun.
Saya melewatkan hidup bahagia secara pol-polan, di Kota Malang.
***
Menilik beberapa tahun belakangan, kancah musik independen Kota
Malang sangat menarik untuk diamati dekat-dekat. Pendatang baru terus
bermunculan membawa semangat eksplorasi sedangkan para veteran
skena semakin kokoh memperkuat eksistensi.
Di lini pop punk kita sudah tak asing lagi mendengar SATCF, Remissa,
Begundal Lowok Waru, Brigade 07. Bergeser ke math rock/emocore ada
andalan saya, Beeswax, Much, Eitherway, Crimson Diary. Agak masuk
ke ranah mengawang-awang shoegaze/dream pop/ambient ada Intenna,
Closure, Monohero. Bahkan yang terdengar seperti orkes ketoprak jawa
pun turut diramaikan oleh Tani Maju dan Rumah Serem. Iksan Skuter
membuka jalan untuk folk rock a la Iwan Fals. Dan tak terhitung lagi
banyaknya nama-nama yang bermain di synth pop/RnB yang
380C
U
capan puji Tuhan menggelora sepanjang pagi sebab kota sempat
dilanda hujan beberapa menit, yang sudah sangat lama dinanti
namun tidak mungkin dijemput, seperti seorang suami yang
minggat dengan mbak-mbak berkaus cingkrang tetapi tetap isbal.
Mungkin Malaikat yang disebut-sebut bertugas menyirami bumi ini
lama-kelamaan telinganya kacau sebab dirasani di tiap jengkal tanah tiap
detik oleh orang, semut, akar, aspal, kadal, dan bisa lebih parah lagi
dirasani rumah ibadah yang kian sepi gegara panas.
Ya, sebelum Sang Malaikat meng-attack balik dengan gelegar
aliran elektron dan payung raksasa di langit (entah kenapa tiba-tiba
berkelebat bmth payung berair mata) cuaca di kota pesisir sekaligus kota
pahlawan sekaligus kota tahu tek, lontong balap, jancok, aktivis
nggembel, purel, serta arek embongan ini benar-benar bajingan. Tak ada
pagi yang menyejukkan hingga mentari terangkat perlahan membawa
angin segar meracuni paru-paru dengan indah dan mengucap selamat
beraktivitas, tak ada. Yang ada hanya setengah jam golar-goler di atas
kasur dan tiba-tiba 380C saja. Saking panasnya ini, sampai hari-hari
seluruh pekerja dan pengangguran benar-benar terkunci di bawah
bayangan gedung, pohon, rombong bakso atau mie ayam, orang gemuk,
dan payung ibu-ibu penjual es tebu.
Hanya kucing penyakitan mental, maniak mancing berjubah
ninja, dan mas-mas indiehome pemasang kabel yang terang-terangan
menantang matahari kota pada penghujung kemarau panjang ini.
Fatamorgana dan panas pantulan aspal yang meluncur menembus buff
amat-sangat mengganggu kenyamanan pengendara motor, mengingatnya
saja amat tidak mengenakkan. Sekitar dua minggu ke belakang, sudah
berapa puluh motor kawan yang bocor alus tanpa sebab yang jelas.
Menurut insting korelatif ala-ala engineer, sepertinya gelombang panas
aspal adalah salah satu yang harus bertanggung jawab pada rejeki
nomplok tukang tambal ban ini.
Sungguh, rasa dongkol gegara cuaca panas tak semudah dongkol-
dongkol lain yang sekejap membengkak lalu meletus disambut halayak.
Ya, dongkol bab RUU cilaka tinggal konsol dan propaganda tipis-tipis
sudah eksis, dongkol pada Awkarin tinggal bikin akun bodong penjual
buah plum dan ramaikan linimasa, dongkol pada anak tetangga yang
kencing sembarangan tinggal putar ringtone kuntilanak keras-keras,
dongkol pada distribusi kalor di udara yang buruk?
Sepertinya akan sangat banyak yang bisa disalahkan, termasuk
diri sendiri. Berapa jumlah kipas aneh yang dipasang di luar ruangan
yang ternyata adalah saluran buangan udara panas dari AC? Berapa juta
rim kertas sudah kita habiskan buat skripsi, membungkus susu formula
adik, mengusap kuah soto di dagu pacar, cebok, lpj-an acara kampus tak
berguna dan super merepotkan, yang artinya berapa hektar hutan sudah
kita babat (mengingat pernah terjadi perburuan berang-berang karena
keberingasannya menggerogoti hutan)? Semenit saja sudah berapa puluh
knalpot sembarangan menyemprot racun dalam satu ruas gang?
Deodoran, lemari es, kentut mamalia, trafo (beberapa waktu lalu
diajari tentang efisiensi energi dengan tidak mengubah energi yang
dibutuhkan menjadi bias seperti kalor), asap rokok, hingga kebocoran
sulfur di puncak-puncak gunung telah mempercepat sesuatu yang
memang seharusnya terjadi namun tidak sekarang ini, simulasi
mahsyar(pemanasan global). Tak ada yang paling tidak bertanggung
jawab di antara kita. Semua berhak dipanggang di dasar neraka sebab ini,
kecuali beberapa insan yang ditendang jauh dari peradaban dan tidak
pernah kentut meski dipaksa sarapan setengah kilo ketela rambat.
Gerakan hemat energi, plastic less, reboisasi, paper less, dan eco-
eco yang lain (yah, meskipun sering digunakan untuk pemasaran produk
saja) sepertinya belum begitu ampuh membendung kerusakan
dikarenakan sisi lain kita yang sadar lingkungan tak sebesar sisi lain kita
yang, bukan tak sadar lingkungan, sih, hanya saja lebih fokus pada hal
lain serta betapa tidak terbiasanya kita melakukan hal tak penting.
Manusia pada kisaran usia dua dasawarsa secara umum akan
membuang puntung rokok, sisa permen karet, batang sempol, dan kertas
kuis dengan lingkaran merah bertuliskan ‘E’ pada tempat yang telah
disediakan. Itu saat baik-baik saja dan tidak tergesa. Bila panik, alam
bawah sadar dipenuhi jadwal-jadwal mencekik daripada rasa hormat
pada alam semesta hingga main lempar saja puntung rokok ke selokan,
karena tidak terbiasa.
Tidak semua manusia memiliki kesempatan baik untuk menanam
sejuta pohon, menolak sekian miliar rupiah demi menjaga hutan, atau
menemukan formula pengurai sampah plastik, pun kesibukan masing-
masing tak kalah membunuh dibandingkan acara sekarat massal ini.
Setidaknya terlihat keren dengan turut campur mencintai lingkungan,
sudah cukup baik untuk jadi alasan..(jlmprg)
Mother
died
today.
Or
perhaps yester-
day, I don’t know.
I received a telegram from
the old people’s home: “Mother
deceased. Funeral to- morrow.
Very sincerely yours. ” That doesn’t
mean anything. It might have been
yesterday. Mother died today. Or perhaps yesterday,
I don’t know. I received a telegram from the old
people’s home: “Mother deceased. Funeral tomorrow.
Very sincerely yours.” That doesn’t mean anything. It
might have been yesterday. Mother died today. Or
perhaps yesterday, I don’t know. I received a
telegram from the old people’s home: “Mother
deceased. Funeral tomorrow. Very sincerely
yours.” That doesn’t mean anything. (Albert Camus: The
Strangers. Ilustrasi terinspirasi lagu Tiga Titik Hitam oleh Burgerkill)