Anda di halaman 1dari 11

KEABSAHAN SUMPAH DALAM SUATU PEMBUKTIAN

PADA HUKUM ACARA PERDATA


Adiva Amalia Kusuma Putri1 , Rara Nur Fantika 2 , Dinda Cantika 3 , Erinna Rahayu4
Program Studi Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
1
adivaamalia7@gmail.com
2
raranurfantika@gmail.com
3
dindacantika2012@gmail.com
4
erinnarahayu14@gmail.com

Abstrak

Pembuktian memiliki peran yang sangat besar serta untuk menentukan dkabulkan atau
tidaknya suatu tuntutan. Alat bukti juga telah ditetapkan dalam undang-undang yaitu
salah satunya adalah bukti berupa sumpah. Sumpah merupakan salah satu alat bukti
yang dibagi menjadi tiga macam yaitu sumpah suppletoir, sumpah decissoir serta
sumpah aestimatoir. Sumpah decissoir atau yang sering disebut sebagai sumpah
pemutus dalam undang-undang diperintahkan oleh salah satu pihak kepada pihak
lainnya yang menjadi lawan dalam setiap perkara, selanjutnya jika tidak ada upaya lain
yang dapat digunakan menjadi bukti terhadap tuntutan yang dilakukan maka
diperintahkan dalam penyumpahan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kajian
pustaka, yaitu menggunakan berbagai referensi yaitu berupa jurnal yang relevan dalam
menyusun pembahasan. Sehingga sangat jelas adanya kekuatan pembuktian yang
dilakukan dengan mengangkat sumpah sesuai dengan yang telah diberikan oleh undang-
undang, hla ini dkarenakan sumpah merupakan salah satu yang didasarkan atas
kepercayaan adanya tuhan. Sehingga barang siapa yang telah memberikan suatu
keterangan dimana keterangan tersebut sifatnya tidak benar terlebih berada diatas
sumpah, maka mereka yang telah melakukan sumpah tentunya akan menerima azab dari
tuhan. Hal ini sangat terbukti karena siapapun yang melakukan sumpah biasanya
memiliki kewajiban untuk berseru terhadap tuhan. Apabila seseorang yang telah
dbebani sumpah merupakan orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap tuhan
serta memiliki landasan iman yang kuat maka tentunya ia akan merasa takut terhadap
tuhan apabila mereka melakukan suatu hal yang tidak benar.
Kata kunci: Sumpah, pembuktian, Hukum

Abtract

Proof has a very big role and to determine whether or not a claim is granted. Evidence
has also been stipulated in the law, one of which is evidence in the form of an oath.
Oath is one of the evidences which is divided into 3 types, namely suppletoir oath,
decissoir oath and aestimatoir oath. The decissoir oath or what is often referred to as
the severing oath in the law is ordered by one party to the other party who is the
opponent in every case, then if there is no other effort that can be used as evidence
against the demands made, it is ordered in the oath. This study uses a literature review
method, which uses various references in the form of relevant journals in compiling the
discussion. So it is very clear that there is power of proof that is carried out by taking
an oath in accordance with what has been given by law, this is because the oath is one
that is based on the belief in the existence of God. So that whoever has given a
statement where the information is not true, especially on an oath, then those who have
taken an oath will certainly receive punishment from God. This is very evident because
anyone who takes an oath usually has an obligation to cry out against God. If someone
who has been burdened with an oath is a person who has faith in God and has a strong
foundation of faith, then of course he will feel afraid of God if they do something that is
not right.

Keywords: Oath, proof, Law

PENDAHULUAN

Perkara apapun yang penyelesaiannya dilakukan melaui badan peradilan, pidana


serta perdata dan juga tata usaha negara dalam menempuhkan pasti membutuhkan
adanya pembuktian. Pembuktian dilakukan sebagai jalan untuk meyakinkan para hakim
untuk membuktikan adanya kebenaran menurut para pihak yang melakukan perkara.
Hal ini dikarenakan pembuktian adalah salah satu kunci utama yang dilakukan oleh para
hakim ketika akan memberikan suatu keputusan terhadap suatu perkara.

Kemudian para hakim dilarang untuk memberikan keputusan tanpa adanya


undnag-undang yang dijadikan dasar dan juga perkara tidak dapat diputuskan tanpa
adanya bukti yang kuat. Sesuai dengan pasal HIR ‘hukum acara perdata”dimana di
dalamnya menjelaskan apabila terdapat keterangan saksi tanpa adanya bukti lain yang
mencukupi untuk membuktikan adanya suatu kebenaran. Sehingga pembuktian ini
merupakan salah satu bagian terpenting dalam melakukan pemeriksaan perkara.

Pembuktian memiliki peran yang sangat besar serta untuk menentukan


dkabulkan atau tidaknya suatu tuntutan. Dimana pihak yang memiliki peran dalam
mengajukan tuntutan atau yang sering disebut dengan “penggugat” yaitu yang
mengajukan berbagai bukti yang sempurna serta mengikat sehingga tuntutan tersebut
biasanya dikenal dengan istilah yaitu “gugatan” dimana selanjutnya akan dikabulkan
oleh pengadilan tempat tuntutan dilakukan.

Selanjutnya apabila penggugat tersebut tidak bisa membuktikan dalil-dalil dari


gugatan mereka, maka gugatan yang diajukan tersebut bisa saja ditolak. Begitupun
dengan yang tergugat, jika mereka tidak bisa menunjukkan bukti-bukti yang sah serta
yang mendukung bantahan tersebut, maka bantahan itu maka pengadilan tentunya akan

2
mengesampingkannya. Sehingga pada akhirnya yang menjadi tergugat dapat berada
pada pihak yang dinyatakan sebagai pihak yang kalah pada suatu perkara. Alat bukti
juga telah ditetapkan dalam undang-undang yaitu salah satunya adalah bukti berupa
sumpah. Sumpah merupakan salah satu alat bukti yang dibagi menjadi 3 macam yaitu
sumpah suppletoir, sumpah decissoir serta sumpah aestimatoir.

Sumpah decissoir atau yang sering disebut sebagai sumpah pemutus dalam
undang-undang diperintahkan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya yang menjadi
lawan dalam setiap perkara, selanjutnya jika tidak ada upaya lain yang dapat digunakan
menjadi bukti terhadap tuntutan yang dilakukan maka diperintahkan dalam
penyumpahan tersebut. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut maka dapat ditetapkan
jika sumpah decissoir atau sumpah pemutus bisa diperintahkan pada setiap tingkatan
perkara yang terjadi. Kemudian akan muncul pertanyaan tentang apakah sumpah ini
nantinya masih bisa diperintahkan sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung.

Kemudian nantinya juga akan timbul pertanyaan yaitu tentang bagaimana


pemeriksaan alat bukti pada wewenang judex factie, dimana Pengadilan Tinggi serta
Pengadilan Negeri hanya memiliki wewenang sebagai pemeriksa tentang hukumnya
saja. Berdasarkan undang-undang yang saat ini telah ditetapkan tentang ketentuan dan
juga penerapan dari sumpah decissoir atau sumpah pemutus tersebut yaitu sumpah ini d
dalamnya harus menyangkut tentang perbuatan yang dialami sendiri oleh orang yang
melakukan sumpah tersebut. Sehingga dapat dikatakan jika sumpah decissoir
mempunya syarat dan juga ketentuan tertentu yang berlaku (Sondakh, 2019).

Adanya syarat serta ketentuan tersebut dapat menimbulkan suatu permasalahan


bagi orang yang mengalaminya, apabila orang yang melakukan sumpah berhalangan
atau telah meninggal maka pengucapan sumpah tentunya tidak dapat dilakukan
walaupun dengan bantuan orang lain. Sehingga sumpah ini dapat dikatakan sebagai
penentu keputusan akhir dalam suatu perkara.

Namun, apabila salah satu pihak mengajukan bukti tetapi dalam bukti tersebut
belum memiliki kekuatan yang sempurna maka undang-undamg dapat memberikan
kewenangannya kepada para hakim agar dapat memerintahkan kepada pihak yang
melakukan sumpah agar dapat melengkapi atau menyempurnakan bukti yang
sebelumnya telah mereka ajukan.

TINJAUAN PUSTAKA

1. Pengertian Sumpah
Sumpah berasal dari kata “alyamin yang memiliki makna yaitu tangan kanan dan
kekuatan. Sehingga sumpah didefinisikan sebagai suatu bentuk ucapan ataupun
keterangan yang disebut dengan memnggunakan nama tuhan yang sesuai dengan
keyakinan orang-orang yang melakukan sumpah tersebut (Putri, 2015).

2. Sumpah Sebagai Alat Bukti Dalam Pengadilan

Pada lingkungan peradilan baik perkara maupun perdata, istilah sumpah dikenal
sebagai alat bukti yang berlaku dalam lingkungan peradilan. Alat bukti yang ada di
dalam lingkungan peradilan yaitu berupa saksi, surat, pengakuan serta sumpah. Sumpah
merupakan alat bukti terakhir yang digunakan dalam peradilan ketika akan membuat
suatu keputusan dan biasanya digunakan oleh orang yang berprakara serta atas adanya
perintah dari hakim ataupun perintah dari pihak lainnya.

Menurut Sudikno Martokusumo, sumpah merupakan salah satu bentuk


pernyataan yang khidmat dimana biasanya dberikan ataupun diucapkan ketika
memberikan suatu keterangan dengan memngingat maha kuasa tuhan serta mereka yang
bersumpah percaya kepada tuhan siapa yang akan memberi keterangan atau janji dan
juga memberitahukan akan kebenaran (Sondakh, 2019).

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka, yaitu menggunakan berbagai


referensi yaitu berupa jurnal yang relevan dalam menyusun pembahasan.

PEMBAHASAN

Sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam undang-undang dimana


dijelaskan bahwa tidak ada satupun yang menetapkan tentang bagaimana kekuatan
menggunakan bukti sumpah. Hal ini tentunya berdasarkan dengan isi pasal 156 ayat 3

4
yaitu barang siapa disuruh bersumpah, tetapi tidak mau bersumpah sendiri atau menolak
sumpah itu kepada lawannya, ataupun barang siapa yang menyuruh bersumpah tetapi
sumpah itu dikembalikan kepadanya dan ia menolak sumpah tersebut maka tentunya
dialah yang dianggap kalah.

Sehingga berdasarkan ketentuan yang telah dilakukan tersebut bisa disimpulkan


bahwa jika sumpah memiliki makna yaitu mempunyai kekuatan untuk membuktikan
sesuatu secara sempurna. Hal ini dikarenakan apabila salah satu pihak diperintahkan
untuk melakukan sumpah, serta pihak tersebut melakukannya maka bantahan yang
dilakukan dapat dibuktikan secara sempurna oleh pihak pengadilan, kemudian tentunya
pihak pengadilan juga bisa memberi keputusan terhadap suatu perkara yang sedang
ditanganinya. Sehingga pihak yang telah melakukan sumpah tersebut dapat dikatakan
menang dan juga sebaliknya apabila pihak yang dituntut untuk melakukan sumpah tidak
mau melakukannya, maka pihak tersebut dianggap kalah oleh pengadilan dan pihak
yang telah memberikan sumpah dinyatakan sebagai pemenang dalam suatu perkara.

Sesuai dengan pasal 183 ayat 3 HIR yaitu sebesar apapun nilai kekuatan
terhadap pembuktian dari sumpah, yaitu apabila salah satu pihak ada yang telah
melakukan sumpah maka pihak lawan dinyatakan kalah dalam suatu perkara yang
dilakukan. Namun, apabila pihak tersebut telah melakukan sumpah, pihak lainnya juga
masih dapat melakukan pembuktian apakah sumpah tersebut benar ataukah palsu.
Sehingga dengan kata lain yaitu tidak memungkinkan untuk dapat dilakukan
pembuktian adanya perlawanan sehingga apabila pengadilan belum menjatuhkan suatu
keputusan terhadap suatu perkara, apabila salah satu pihak telah melakukan sumpah
maka keputusan yang berasal dari pengadilan terhadap perkara tersebut hanya
merupakan suatu formalitas saja hal ini dilakukan bertujuan untuk memenuhi proses
acara karena sebelum adanya keputusan dari pengadilan kedua belah pihak telah
mengetahui siapa yang akan menang serta siapa yang akan kalah di dalam suatu perkara
tersebut.

Sehingga sangat jelas adanya kekuatan pembuktian yang dilakukan dengan


mengangkat sumpah sesuai dengan yang telah diberikan oleh undang-undang, hla ini
dkarenakan sumpah merupakan salah satu yang didasarkan atas kepercayaan adanya
tuhan. Sehingga barang siapa yang telah memberikan suatu keterangan dimana
keterangan tersebut sifatnya tidak benar terlebih berada diatas sumpah, maka mereka
yang telah melakukan sumpah tentunya akan menerima azab dari tuhan. Hal ini sangat
terbukti karena siapapun yang melakukan sumpah biasanya memiliki kewajiban untuk
berseru terhadap tuhan (Agung, 2021).

Apabila seseorang yang telah dbebani sumpah merupakan orang-orang yang


memiliki kepercayaan terhadap tuhan serta memiliki landasan iman yang kuat maka
tentunya ia akan merasa takut terhadap tuhan apabila mereka melakukan suatu hal yang
tidak benar. Sehingga dapat dikatakan jika sumpah merupakan cara yang digunakan
untuk memutuskan perkara dan juga merupakan alat terakhir yang sifatnya berbahaya.
Hal ini dkarenakan orang-orang yang melakukan sumpah palsu maka akan menerima
balasan yang setimpal.

1. Sumpah Menjadi Bukti di Pengadilan


Pada suatu lingkungan pengadilan baik itu perkara atauppun perdata, sumpah
sering dikenal sebagai salah satu alat yang akan digunakan sebagai bukti yang berlaku
di dalam lingkungan pengadilan. Hal ini dikarenakan sumpah merupakan alat bukti
terakhir yang dapat digunakan untuk memutuskan suatu perkara yang terjad ketika
perkara tersebut tidak memiliki bukti-bukti yang lengkap serta akurat (Sondakh, 2019).
Alat bukti berupa sumpah yaitu merupakan bentuk adanya keterangan yang
berdasarkan atas nama tuhan sebagai penguatnya, hal ini bertujuan agar:
a) Agar orang yang melakukan sumpah dengan cara memberikan suatu pernyataan
maupun keterangan tersebut takut akan adanya murka tuhan ketika mereka
berdusta saat melakukan sumpah.
b) Orang yang bersumpah akan memberikan keterangan yang sebenarnya karena
takut akan murka dan juga hukuman dari tuhan apabila mereka menerangkan
tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi.
Sehingga terdapat kebenaran apabila mereka yang melakukan sumpah takut akan
murka dan juga hukuman dari tuhan, hal ini tentunya disebabkan oleh iman dari
seseorang. Namun, pada saat akan melakukan sumpah yang masih terdapat berbagai
kebohongan di dalamnya biasanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak jujur ketika
mereka dituntut untuk bersumpah.

6
Sebagaimana yang dketahui jika kebohongan merupakan salah satu bagian dari
kehidupan yang sebagian tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Terutama
bagi orang-orang yang tidak percaya akan adanya tuhan sehingga mereka selalu
mengira jika kebohohan merupakan hal yang sudah biasa dilakukan dalam kehidupan.
Sehingga tentunya berdasarkan teori serta praktik, sumpah belum sepenuhnya dapat
menjamin seseorang melakukan kebohongan atau kebenaran dan tentunya sumpah juga
belum dapat menjamin sebagai alat bukti.
2. Macam-macam Sumpah
Sumpah dibagi menjadi beberapa macam yaitu sebagai berikut:
a) Sumpah Pelengkap
Berdasarkan pasal 155 HIR sumpah pelengkap biasanya disebut juga sebagai
sumpah tambahan. Dalam pasal tersebut juga dijelaskan pihak yang mengankat sumpah
terlebih dahulu harus dperintahkan oleh hakim serta harus memiliki bukti permulaan hal
ini dilakukan agar ketika sumpah akan dilaksanakan maka bukti permulaan tersebut
dapat menjadi lengkap dan sempurna. Ketika akan melakukan sumpah hakim memiliki
kewenangan serta hakim tidak memiliki kewajiban untuk membebankan suatu
kelengkapan tersebut. Apabila salah satu pihak telah melaksanakan sumpah tambahan
yang berprakara maka pihak yang diperiksa tersebut akan selesai.
Agar hakim dapat memerintahkan salah satu pihak untuk melakukan sumpah
maka tentunya harus ada bukti permulaan terlebih dahulu, sehingga sumpah akan
dilakukan sebagai bukti pelengkapnya agar bukti dapat lebih sempurna. Dalam hal ini
haim memiliki kewenangan namun bukan kewajiban untuk memberikan beban suatu
bukti pelengkap agar dapat memenuhi sumpah tersebut (Yudistira, 2018).
Sesuai dengan pasal 1943 KUH perdata yaitu dikemukakan bahwa sumpah
pelengkap ini merupakan sumpah yang harus dipertimbangkan oleh hakim hal ini
dikarenakan jabatan hakim kepada salah satu pihak yang berprakara tersebut serta tidak
dibenarkan adanya pengembalian sumpah terhadap pihak lawan yang sebelumnya telah
diberikan sumpah. Tetapi kepada pihak yang telah ditunjuk oleh hakim untuk
melakukan sumpah pelengkap ini.
Namun, sumpah pelengkap ini juga dapat melakukan penolakan tetapi pihak
yang melakukan penolakan belum sepenuhnya dianggap kalah dalam prakara ini, karena
apabila terdapat pembuktian lain yang lengkap maka penggunaan sumpah tidak akan
diperlukan lagi, sehingga dapat disimpulkan bahwa sumpah pelengkap ini dapat
dilakukan apabila salah satu pihak sebelumnya telah memiliki bukti permulaan terlebih
dahulu dan bukti lainnya belum mencukupi.
b) Sumpah Pemutus

Pada pasal 1943 KUH Perdata sumpah diartikan sebagai suatu pelengkap
dimana perintahnya berasal dari hakim karena memiliki jabatan sebagai salah satu pihak
yang akan membuktikan suatu kebenaran kepada yang berprakara. Namun, bukan
sumpah yang menjadi suatu pemutus prakara tetapi pemutus prakara berasal dari
putusan hakim (Yudistira, 2018). Apabila sumpah pemutus telah diucapkan maka hakim
memiliki kewajiban untuk mengakhiri proses dari suatu prakara yang sedang
ditanganinya dan hakim juga harus mengikuti alternatif berikut ini:

 Jika pihak yang diperintahkan oleh pihak lawannya melakukan pengucapan


sumpah, maka pihak yang memerintah diangap kalah oleh hakim.
 Apabila pihak lawan tidak mau mengucapkan sumpah atau menolaknya maka
pihak yang menolak akan diputuskan oleh hakim sebagai pihak yang kalah.
c) Sumpah Penaksir
Sumpah penaksir merupakan sumpah yang diperintahkan oleh hakim kepada
para penggugat yang digunakan sebagai salah satu cara dalam menentukan jumlah uang
sebagai ganti rugi. Sumpah ini dilakukan karena saat ini banyak sekali uang ganti rugi
yang simpang sehingga dengan adanya sumpah ini dapat dipastikannya pembuktian
terhadap ganti rugi yang akan dilakukan.
Sumpah ini biasanya dilakukan oleh hakim hanya pada perkara tentang gugatan
ganti rugi saja. Sebelum hakim memberikan ketetapan terhadap penggugat mula-mula
penggugat haruslah bisa membuktikan jika mereka memiliki hak atas ganti rugi tersebut
atau sesuatu yang mereka tuntut dalam perkara itu (Mehdiantara, 2013).
3. Keabsahan Alat Bukti Elektronik Berdasarkan UU ITE
UU ITE merupakan di negara Indonesia mulai diatur dalam UU no 11 tahun
2008 yang saat ini lebih dikenal dengan UU no 9 tahun 2016 dimana di dalamnya berisi
tentang informasi dan juga transaksi elektronik. Penggunaan alat bukti elektronik
merupakan salah satu bentuk penggunaan bukti yang sah, hal ini disebabkan dengan
menggunakan bukti elektronik berbagai perkara dapat lebih mudah diselesaikan

8
contohnya ketika terjadi kasus pembunuhan dan ditempat terjadinya kasus tersebut
terdapat rekaman CCTV yang bisa menjadi barang bukti akurat. Hal ini disebabkan
CCTV merupakan salah satu alat bukti yang sah serta di dalamnya tidak terdapat adanya
penyadapan.
4. Pembuktian Penerapan Alat-alat Bukti Elektronik
Saat ini perkembangan teknologi menjadi semakin maju sehingga dengan
adanya kemajuan ini menjadi salah satu sarana yang dapat dilakukan untuk memberikan
suatu pembuktian kepada pengadilan. Adanya pembuktian menggunakan alat bukti
elektronik telah diatur dalam hukum yang berlaku di Indonesia saat ini. hal ini
dikarenakan pembuktian merupakan salah satu sarana yang dapat menentukan suatu
proses perkara selama masih dalam tahap persidangan. Sebagaimana yang dketahui jika
seluruh pihak yang akan melakukan pembuktian haruslah menggunakan alat-alat bukti
yang sah sesuai dengan yang telah diatur dalam perundang-undangan.
5. Kendala Pembuktian Alat-alat Bukti Elektronik
Pembuktian yang dilakukan menggunakan alat bukti elektronik tentunya di
dalamnya masih terdapat beberapa kendala dalam penerapannya yaitu: (a). alat bukti
elektronik saat ini masih belum diatur dalam hukum acara, (b).terdapat kendala pada
tata cara dalam memperlihatkan bukti-bukti elektronik. Sehingga saat ini sangat
diperlukan adanya hukum acara agar alat bukti elektronik dapat diterapkan secara tegas.
6. Replik
Replik merupakan salah satu bentuk jawaban dari tergugat terhadap suatu
perkara. Sehingga ketika perkara terjad maka replik haruslah sesuai dengan jawaban
daripada tergugat baik segi kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga ketika replik terjadi
bisa saja terjadi kemungkinan yaitu berupa adanya peluang yang terbuka untuk
penggugat agar mereka dapat mengajukan rereplik.
7. Duplik

Duplik merupakan salah satu bentuk jawaban dari penggugat karena adanya
replik yang diajukan oleh penggugat, dalam mengajukan duplik dapat dilakukan dengan
cara tertulis maupun secara lisan karena duplik dilakukan dengan tujuan agar dapat
membantu meneguhkan jawaban dimana terdapat penolakan di dalamnya terhadap suatu
gugatan yang berasal dari pihak penggugat tersebut.
KESIMPULAN

Perkara apapun yang penyelesaiannya dilakukan melaui badan peradilan, pidana


serta perdata dan juga tata usaha negara dalam menempuhkan pasti membutuhkan
adanya pembuktian. Pembuktian memiliki peran yang sangat besar serta untuk
menentukan dkabulkan atau tidaknya suatu tuntutan. Alat bukti juga telah ditetapkan
dalam undang-undang yaitu salah satunya adalah bukti berupa sumpah. Sumpah
merupakan salah satu alat bukti yang dibagi menjadi 3 macam yaitu sumpah suppletoir,
sumpah decissoir serta sumpah aestimatoir. Apabila seseorang yang telah dbebani
sumpah merupakan orang-orang yang memiliki kepercayaan terhadap tuhan serta
memiliki landasan iman yang kuat maka tentunya ia akan merasa takut terhadap tuhan
apabila mereka melakukan suatu hal yang tidak benar. Sehingga dapat dikatakan jika
sumpah merupakan cara yang digunakan untuk memutuskan perkara dan juga
merupakan alat terakhir yang sifatnya berbahaya. Hal ini dkarenakan orang-orang yang
melakukan sumpah palsu maka akan menerima balasan yang setimpal.

DAFTAR PUSTAKA

Agung. (2021). Keabsahan Alat Bukti Elektronik dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia. Jurnal Hakim Militer Utama.

Mehdiantara. (2013). Tinjauan Yuridis Tentang Penerapan Sumpah Pemutu Sebagai


Alat Bukti Dalam Penyelesaian Perkara Perdata. Jurnal Ilmu Hukum Legal
Opinion. 2(1): 1-8.

Putri. (2015). Kekuatan Hukum Pembuktian Tandatangan pada Dokumen Elektronik


Sebagai Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata. Jurnal Hukum FAkultas Hukum
Udayana.

Sondakh. (2019). Kekuatan Bukti Sumpah dalam Praktek Peradilan Perdata. Lex
Privatum. 7(1): 83-89.

Yudistira. (2018). Kekuatan Surat Elektronik Sebagai Alat Bukti dalam Persidangan
Ditinjau dari Hukum Acara Pidana. Jurnal Hukum.

10

Anda mungkin juga menyukai