AutoRecovery Save of PG4092 - Proposal Penelitian - PG.C2.2021
AutoRecovery Save of PG4092 - Proposal Penelitian - PG.C2.2021
Semester II 2021/2022
Kelompok PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Clarissa Kurniawan (14318040)
Pembimbing
Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati
Kelompok PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Clarissa Kurniawan (14318040)
Catatan Pembimbing:
ii PG.C2.2021.12
SURAT PERNYATAAN
Surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan jika pernyataan dalam lembar
pernyataan ini di kemudian hari diketahui keliru, kami bersedia menerima sangsi sesuai
peraturan yang berlaku.
PG.C2.2021.12 iii
PG4092 PENELITIAN TEKNIK PANGAN II
ABSTRAK
Penelitian ini ditujukan untuk memformulasikan produk pangan vegan tinggi protein
berbahan dasar kacang-kacangan lokal Indonesia untuk menghasilkan tempe maupun
produk olahan lainnya, dalam rangka untuk mengurangi penggunaan dan
ketergantungan akan kacang kedelai impor serta meningkatkan ketahanan pangan
Indonesia. Kacang-kacangan lokal Indonesia yang dimanfaatkan dalam penelitian ini
antara lain kacang tunggak, kacang kedelai Indonesia, kacang tanah dan kacang hijau.
Proses fermentasi fasa padat dibantu dengan menggunakan kapang Rhizopus
oligosporus. Proses pembuatan tempe secara keseluruhan dilakukan dalam skala
rumahan dengan 16 kombinasi bahan baku kacang dalam perbandingan berat, termasuk
didalamnya tempe berbahan dasar kacang kedelai impor sebagai variabel kontrol.
Analisis setiap kombinasi akan dilakukan melalui uji sensori, organoleptik dan
pengukuran kadar nutrisi. Analisis nutrisi pada setiap formulasi adalah melalui uji kadar
protein, lemak, air dan abu. Hasil analisis menunjukkan bahwa tempe variasi 8,6 dan 5
paling berpotensi untuk menggantikan tempe kacang kedelai
iv PG.C2.2021.12
PG4092 FOOD ENGINEERING RESEARCH I
ABSTRACT
This research aimed to formulate high-protein vegan food products based on local
Indonesian beans to produce tempeh and other processed products, in order to reduce
the use and dependence on imported soybeans and improve Indonesia's food security.
Local Indonesian legumes utilized in this research include cowpeas, Indonesian
soybeans, peanuts, and mung beans. The solid phase fermentation process was assisted
by using the Rhizopus oligosporus mold. The overall process of making tempeh was
carried out on a home scale with 16 combinations of bean raw materials in weight
ratio, including imported soybean-based tempeh as a control variable. Analysis of each
combination will be carried out through sensory tests, organoleptic, and measurement
of nutrient content. Nutritional analysis of each formulation is through the test of
protein, fat, wate,r and ash content. The results of the analysis showed that tempeh
variations 8,, 6 and 5 have the most potential to replace soybean tempeh.
PG.C2.2021.12 v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul
”Pengembangan Produk Pangan Vegan Tinggi Protein Melalui Proses Fermentasi Fasa
Padat” dengan baik. Proposal penelitian ini ditulis untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pelaksanaan mata kuliah Penelitian Teknik Pangan 1 Program Studi
Teknik Pangan Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan ini, penulis hendak
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan,
nasihat, saran serta dukungan moral maupun material sehingga proposal penelitian ini
dapat ditulis dengan baik. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:
1. Ibu Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati selaku dosen yang telah
mendidik dan membimbing penulis selama penulisan proposal
penelitian.
2. Bapak Ronny Purwadi dan Ibu Dian Shofinita yang telah
memberikan pengajaran dalam mata kuliah Penelitian Teknik Pangan
2 Program Studi Teknik Pangan Institut Teknologi Bandung.
3. Segenap keluarga penulis yang telah memberikan dukungan doa dan
semangat selama penulisan proposal.
4. Teman-teman satu bimbingan penelitian dengan Ibu Dr. Made Tri
Ari Penia Kresnowati yang telah saling membantu dan berjuang
bersama- sama dalam penulisan proposal.
vi PG.C2.2021.12
DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan i
Surat Pernyataan ii
Abstrak iii
Abstract iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Ruang Lingkup 3
II Tinjauan Pustaka 4
2.1 Tempe dan Perkembangan Teknologinya di Indonesia 4
2.1.1 Tempe 4
2.1.2 Perkembangan Teknologi Pembuatan Tempe di Indonesia 6
2.2 Pangan Vegan Tinggi Protein 7
2.2.1 Produk Pangan Vegan 7
2.2.2 Potensi Kacang-kacangan Pengganti Kedelai Impor Sebagai Bahan
Baku Tempe 8
2.2.2.1 Kacang Kedelai Indonesia 8
2.2.2.2 Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) 10
2.2.2.3 Kacang Tanah 13
2.2.2.4 Kacang Hijau 14
2.3 Produksi Tempe Melalui Fermentasi Fasa Padat 17
2.3.1 Deskripsi Umum Fermentasi Fasa Padat 17
2.3.2 Fermentasi Fasa Padat dalam Produksi Tempe 17
PG.C2.2021.12 vii
2.3.3 Kapang Rhizopus 18
2.4 Kualitas Tempe yang Baik 19
2.4.1 Sifat Organoleptik Tempe 19
2.4.2 Syarat Mutu Tempe 20
2.5 Potensi Produk Turunan Tempe Tinggi Protein 21
2.5.1 Tepung kacang dan Tepung Tempe 22
2.5.2 Nugget Tempe 23
2.5.3 Patty Tempe 24
2.6 Pengujian Kadar Protein pada Tempe 24
2.6.1 Analisis Protein Langsung melalui Analisis Asam Amino 24
2.6.2 Analisis Protein Tidak Langsung 25
2.6.3 Deskripsi Statistik 26
III Metodologi Penelitian 27
3.1 Tahapan Penelitian 27
3.2 Alat dan Bahan 29
3.3 Prosedur Kerja 29
3.4 Variasi Percobaan 34
3.5 Jadwal Kerja 35
IV Analisis dan Pembahasan 36
4.1 Analisis Kadar Protein
4.2 Analisis Kadar Air
4.3 Analisis Kadar Abu
4.4 Analisis Kadar Lemak
4.5 Analisis Massa Tempe Jadi
4.6 Analisis Perbedaan Warna
4.7 Analisis TPA
4.8 Analisis Organoleptik
4.9 Analisis Keseluruhan Parameter
V Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
VI Daftar Pustaka 41
viii PG.C2.2021.12
Lampiran A Material Safety Data Sheet (MSDS)
Lampiran B Job Safety Analysis (JSA) 49
Lampiran C Working Instruction (WI) 50
Lampiran D Data Mentah
PG.C2.2021.12 ix
DAFTAR
TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram kedelai dan tempe 5
Tabel 2.2 Kacang-kacangan Lokal yang tumbuh di Indonesia 8
Tabel 2.3 Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100 gram 10
Tabel 2.4 Komposisi kimia biji kacang tunggak per 100 gram 11
Tabel 2.5 Komposisi kimia dan nilai uji organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai 12
Tabel 2.6 Komposisi kimia kacang tanah 14
Tabel 2.7 Kandungan gizi kacang hijau 16
Tabel 2.8 Syarat mutu tempe 21
Tabel 3.1 Alat dan bahan percobaan 29
Tabel 3.2 Variasi formulasi tempe 34
Tabel 3.3 Jadwal kerja 35
viii PG.C2.2021.12
PG.C2.2021.12 xi
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Tempe 4
Gambar 2.2 Proses Pembuatan Tempe Tradisional 6
Gambar 2.3 Kacang Kedelai 9
Gambar 2.4 Kacang Tunggak 11
Gambar 2.5 Kacang Tanah 13
Gambar 2.6 Kacang Hijau 15
Gambar 2.7 R. oligosporus pada Tempe 18
Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian 28
Gambar 3.3 Diagram alir pengukuran tekstur tempe 31
Gambar 3.4 Diagram alir uji Bradford 32
Gambar 3.5 Diagram alir pembuatan nugget tempe 33
x PG.C2.2021.12
BAB I
PENDAHULUAN
PG.C2.2021.12 1
dunia. Hingga 2017, diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pengrajin tempe di
Indonesia. Konsumsi tempe di Indonesia juga sangat tinggi, mencapai 7 kg per kapita
per tahunnya. (Soim, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017,
konsumsi rata-rata tempe per kapita setiap harinya adalah 0,138 kg (Hizni, dkk., 2017).
Berdasarkan sejarah perkembangan tempe di Indonesia hingga saat ini, maka
terdapat urgensi untuk mensubstitusi kedelai menggunakan kacang lokal potensial
sebagai bahan baku tempe, Untuk mengatasi kekurangan bahan dasar pembuatan tahu
dan tempe perlu dicari alternatif pemanfaatan kacang-kacangan selain kedelai. Ada
beberapa jenis kacang-kacangan yang potensial untuk produksi tahu dan tempe yaitu
kacang tunggak (Vigna unguiculata), kacang gude (Cajanus cajan), dan kacang babi
(Vacia faba) (Litbang, 2008) agar Indonesia tidak lagi bergantung pada impor kedelai
dan meningkatkan kesejahteraan para pengrajin tempe nusantara.
2 PG.C2.2021.12
dasar kacang-kacang tersebut dalam menghasilkan tempe. Namun, belum ada penelitian
yang berhasil menghasilkan inovasi tempe dengan kadar nutrisi yang sama dengan
tempe berbahan dasar 100% kacang kedelai impor. Selain itu, belum ada penelitian
yang mencoba untuk menghasilkan tempe dengan variasi antara kacang tunggak,
kacang kedelai Indonesia, kacang tanah serta kacang hijau secara bersamaan. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai potensi pemanfaatan kacang-
kacangan lokal sebagai alternatif pemenuhan asupan protein masyarakat dengan cara
mencari komposisi terbaik dari berbagai jenis kacang-kacangan untuk menghasilkan
produk tempe yang memiliki kadar nutrisi yang sama dengan tempe berbahan dasar
100% kedelai impor sebagai alternatif substitusi tempe yang tidak bergantung kepada
impor kedelai, terlebih menghasilkan tempe khas Indonesia yang dapat diekspor ke
mancanegara.
1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi produk tempe
berbahan dasar kacang-kacangan lokal. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah
merancang produk pangan turunan tempe berbahan dasar kacang-kacangan lokal
sebagai substitusi tempe yang tidak bergantung kepada impor kedelai.
PG.C2.2021.12 3
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tempe dan Perkembangan Teknologinya di Indonesia
2.1.1 Tempe
Tempe (Ejaan Bahasa Indonesia) atau yang disebut juga dengan tempeh
merupakan nama kolektif untuk produk pangan fermentasi biji, sereal ataupun produk
samping pengolahan makanan lainnya oleh fungi yangtelah dimasak dan bisa diiris.
Tempe merupakan salah satu makanan sehari-hari masyarakat Indonesia yang kaya
protein dan terbentuk oleh ikatan miselium jamur hidup yang sebagian besar merupakan
Rhizopus sp. (Nout dan Kiers, 2003). Bentuk fisik tempe terlampir pada Gambar 2.1.
4 PG.C2.2021.12
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram kedelai dan tempe (Depkes RI
Dir. Bin Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi, 1991)
Zat Gizi Komposisi Zat Gizi 100 gram
Kedelai Tempe
Energi 381 kal 201 kal
Protein 40,4 g 20,8 g
Lemak 16,7 g 8,8 g
Hidrat Arang 24,9 g 13,5 g
Serat 3,2 g 1,4 g
Abu 5,5 g 1,6 g
Kalsium 222 mg 155 mg
Fosfor 682 mg 326 mg
Besi 10 mg 4 mg
Karotin 31 mkg 34 mkg
Vitamin A 0 SI 0 SI
Vitamin B 0,52 mg 0,19 mg
Vitamin C 0 mg 0 mg
Air 12,7 g 55,3 g
Salah satu permasalahan utama yang dihadapi tempe adalah umur simpannya
yang relatif pendek. Hal ini diakibatkan oleh kadar air yang cukup tinggi pada tempe
serta berkembangbiaknya kapang pada tempe. Kedua faktor ini menyebabkan degradasi
protein pada tempe serta membentuk ammonia yang berbau busuk pada tempe, selain
itu umur tempe juga ditentukan oleh kebersihan biji kacang dan higienitas proses
produksi (Astawan, 2008).
Pemanfaatan tempe di masyarakat sebagian besar masih dijadikan lauk sehingga
untuk meningkatkan nilai manfaat pangan dan ekonomi, perlu dikembangkan produk
olahan tempe (Hizni, dkk., 2017). Tempe sendiri merupakan makanan bergizi tinggi,
mudah dicerna tubuh serta memiliki rasa yang lezat sehingga memenuhi permintaan
yang meningkat dari konsumen sebagai produk substitusi daging yang berkualitas.
PG.C2.2021.12 5
2.1.2 Perkembangan Teknologi Pembuatan Tempe di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil tempe terbesar di dunia.
Hingga 2017, diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pengrajin tempe di Indonesia.
Konsumsi tempe di Indonesia juga sangat tinggi, mencapai 7 kg per kapita per
tahunnya. (Soim, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017,
konsumsi rata-rata tempe per kapita setiap harinya adalah 0,138 kg (Hizni, dkk., 2017).
Pada sebagian besar pabrik tempe skala kecil di Indonesia, tempe diolah dengan
melakukan pengupasan biji kedelai dalam proses basah. Keuntungan dari proses ini
adalah tidak diperlukan peralatan kompleks dan biji tidak mendapatkan kerusakan
mekanikal yang signifikan. Proses pembuatan tempe terlampir dalam Gambar 2.2.
6 PG.C2.2021.12
(Nout dan Kiers, 2003)
PG.C2.2021.12 7
Beberapa inovasi telah diciptakan dalam produksi tempe. Salah satu teknologi
yang telah dilakukan dalam pengolahannya adalah wet bean dehulling yang dilakukan
secara mekanik menggunakan impactor disk dan motor. Kulit pisang sebagai
pembungkus tempe juga sudah disubstitusi dengan menggunakan lembar berbahan
polythene sejak tahun 1960. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan fermentasi
tempe yang berlangsung secara anaerob. Ragi yang digunakan berbasis tepung dan
penggunaan kedelai berganti haluan dari kedelai impor menjadi kedelai lokal. Tempe
juga tidak lagi dikupas secara manual, melainkan menggunakan mesin pengupas tempe
dan dandang untuk perebusan.
Dalam rangka memfasilitasi industrialisasi di Indonesia, pemerintah
menempatkan sebuah pabrik modern skala pilot untuk industri tempe yang berlokasi di
Cibitung, Jawa Barat. (Suharto, dkk., 1997). Selain itu pada 6 Juni 2012 atas hasil ide
bersama Kopti Bogor, Mercycorps dan FTI (Forum Tempe Indonesia), didirikan Rumah
Tempe Indonesia (RTI) yang merupakan unit usaha yang berlokasi di Bogor yang
bertujuan sebagai role model bagi pengrajin tempe untuk melakukan perubahan
produksi yang higienis dan ramah lingkungan.
8 PG.C2.2021.12
2.2.2 Potensi Kacang-kacangan Pengganti Kedelai Impor Sebagai Bahan Baku
Tempe
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alamnya,
terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini menjadikan Indonesia negara
yang juga banyak ditumbuhi berbagai jenis kacang-kacangan. Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) telah melakukan penelitian untuk mencari
kemungkinan mengganti bahan dasar tahu dan tempe dengan jenis kacang-kacangan
lain selain kacang kedelai impor. Hal ini menyatakan potensi yang sangat besar dari
berbagai jenis kacang-kacangan Indonesia. Berbagai kacang-kacangan lokal yang
tumbuh di Indonesia beserta data produktivitasnya terlampir pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kacang-kacangan Lokal yang tumbuh di Indonesia
(Haliza, dkk., 2016)
Nama Produktivitas
Referensi
Lokal Inggris Latin (ton/ha)
Kasim dan
Vigna
Kacang tunggak Cowpea 0,9-2,0 Djunainah
unguiculata
(1993)
Trustinah dan
Kacang komak Lablab bean Dolichos lablab 1,0-1,5
Kasno (2002)
Suharsono dan
Phaseolus
Kacang jogo String bean 2,0-3,0 Rahmianna
vulgaris L
(2002)
Marwoto dan
Bambarra Vigna
Kacang bogor 3,0-5,0 Suhartin
groundnu subterranea L
a (2002)
t
Kacang Adisarwanto
Faba bean Vicia faba 0,7-1,5
babi/faba (2002)
Radjit dan
Kacang gude Pigeon pea Cajanus cajan 0,7-2 Riwanodja
(2002)
Menurut Irwan (2006) biji kedelai dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit
biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut 8 pusar (hilum)
yang berwarna coklat, hitam atau putih. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi
sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam dan
mempunyai kadar air yang berkisar 12-13% (Irwan, 2006). Kacang kedelai memiliki
kandungan protein yang sangat tinggi. Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100
gram terlampir pada Tabel 2.3.
1 PG.C2.2021.12
0
Tabel 2.3 Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100 gram (Suprapto, 2001)
Komposisi Kadar
Kalori 331 kalori
Protein 34,9 gram
Lemak 18,1 gram
Hidrat arang 34,8 gram
Kalsium 227 mg
Fosfor 585 mg
Zat Besi 8 mg
Vitamin A 110 SI
Vitamin B1 1,07 mg
Air 7,5 gram
2.2.2.2 Kacang Tunggak (Vigna unguiculata)
Kacang tunggak (Vigna unguiculata) merupakan salah satu kacang asal
Indonesia yang sangat berpotensi meggantikan tempe. Hal ini dikarenakan kandungan
protein kacang tunggak merupakan kedua tertinggi setelah kacang kedelai (sekitar
22,9%). Kacang ini juga mengandung lisin yang tinggi sebagai penyempurna protein.
Selain itu, asam amino penting lainnya dari protein kacang tunggak selain lisin adalah
asam aspartat dan glutamate (Chavan, dkk., 1989).
Kacang tunggak merupakan kacang yang sangat baik dan dapat dibudidayakan
hampir dimanapun. Kacang ini tumbuh secara liar di kebun warga serta memiliki sifat
toleran terhadap serangan, hama dan relatif sedikit penyakit sehingga mudah untuk
dibudidayakan bahkan pada tanah yang berbatu-batu maupun rendah unsur hara. (
Polnaya, 2008). Sejauh ini, pemanfaatan kacang tunggak hanya sebagai sayuran
tambahan. Penampakan fisik kacang tunggak terlampir pada Gambar 2.4.
10 PG.C2.2021.12
Gambar 2.4 Kacang Tunggak
(Healthline.com)
Tabel 2.4 Komposisi kimia biji kacang tunggak per 100 gram
(Winarto dan Kasno, 1998)
Komposisi Kadar
Kalor (kal) 339,1
Kadar air (g) 10
Kadar abu (g) 3,7
Protein (g) 22
Lemak (g) 1,4
Karbohidrat (g) 9,1
Serat (g) 3,7
Kalsium (mg) 77
Besi (mg) 449
Vitamin A (SI) 30
Vitamin B (mg) 0,92
Vitamin C (mg) 2
PG.C2.2021.12 11
Richana dan Damardjati (1999) dalam penelitiannya pernah menghasilkan
produk tempe berbahan dasar kacang tunggak-kedelai. Komposisi kimia dan nilai uji
organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai penelitian tersebut terlampir pada Tabel
2.5.
Tabel 2.5 Komposisi kimia dan nilai uji organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai
12 PG.C2.2021.12
1. Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan tanaman palawija dan termasuk salah satu jenis kacang
yang paling banyak di Indonesia. Sebagai tanaman pangan, kacang tanah berada pada
urutan ketiga setelah padi dan kedelai. Dalam komoditas kacang-kacangan, kacang
tanah berada pada urutan kedua setelah kedelai (Kasno dan Harnowo, 2015). Bentuk
fisik kacang tanah terlampir pada Gambar 2.5.
Menurut data dari Balitbangtan (2014), 10,6% dari kacang tanah produksi
Indonesia terbuang sebagai food loss maupun food waste. Padahal kacang tanah
memiliki kandungan lemak dan energi yang cukup tinggi bagi manusia. Komposisi
kimia kacang tanah terlampir pada Tabel 2.6.
PG.C2.2021.12 13
Tabel 2.6 Komposisi kimia kacang tanah
(ilmupengetahuanumum.com, 2021)
2. Kacang Hijau
Kacang hijau (Vigna Radiata) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang
tumbuh dengan baik di Indonesia. Kacang hijau adalah tanaman pangan semusim yang
berumur pendek (60 hari) berupa semak yang tumbuh tegak (Purwono dan Hartanto,
14 PG.C2.2021.12
2012) sehingga proses regenerasi cepat berlangsung dan tersedia melimpah di
Indonesia. Tinggi tanaman kacang hijau berkisar 25-130 cm. Tanaman ini disebut juga
mungbean, green gram atau golden gram (Prahartama, 2017). Bentuk fisik kacang hijau
terlampir pada Gambar 2.6.
Buah kacang hijau berbentuk polong dengan panjang sekitar 5-16 cm dengan
setiap polongnya berisi 10-15 biji kacang hijau. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan
lebih kecil dibandingkan dengan biji kacangtanah maupun kacang kedelai dengan bobot
sekitar 0,5-0,8 mg dan berwarna kuning atau hijau serta coklat atau kehitaman, memiliki
kilap yang kusam yang sering diasosiasikan sebagai sisa-sisa dinding polong, memiliki
bakal tunas pipih dan putih (Prahartama, 2017). Kandungan gizi kacang hijau per 100
gram terlampir pada Tabel 2.7.
PG.C2.2021.12 15
Tabel 2.7 Kandungan gizi kacang hijau
(ilmupengetahuanumum.com, 2021)
AKG
Jenis nutrisi Kandungan
(%)
Kalori (Energi) 347 kcal -
Karbohidrat 62,62 g -
Air 9,05 g -
Protein 23, 86 g -
Gula 6,6 g -
Serat 16,3 g -
Lemak 1,15 g -
Vitamin A 114 IU 4%
Vitamin C 4,8 mg 6%
Vitamin D 0 µg -
Vitamin E 0,51 mg 3%
Vitamin K 9µg 9%
Vitamin B1
0,621 mg 54%
(Thiamine)
Vitamin B2
0,233 mg 19%
(Riboflavin)
Vitamin B3 (Niacin) 2,251 mg 15%
Vitamin B6 1,91 mg 38%
Vitamin B9 (Folat) 625 µg 156%
Kalsium 132 mg 13%
Zat besi 6,74 mg 52%
Magnesium 189 mg 53%
Fosfor 367 mg 52%
Kalium 1,246 mg 27%
Natrium 15 mg 1%
Seng 2,68 mg 28%
16 PG.C2.2021.12
b. Produksi Tempe Melalui Fermentasi Fasa Padat
i. Deskripsi Umum Fermentasi Fasa Padat
Fermentasi fasa padat biasa disebut juga sebagai fermentasi media padat.
Fermentasi ini merupakan jenis aktivitas bioproses yang berlangsung dalam material
ataupun substrat yang tidak larut, namun mengandung air yang cukup untuk proses
perkembangbiakan kultur. Prinsip dasar dari fermentasi fasa padat adalah pertumbuhan
mikroba pada substrat padat basah dengan kadar air rendah atau berada di dalam pori
tanpa adanya pergerakan air (Archana dan Satyanarayana, 1997; Prabhakar, dkk., 2005)
dengan kadar air yang cukup bagi substrat untuk mendukung pertumbuhan dan
metabolisme mikroba yang berperan dalam proses fermentasi (Singhania, dkk., 2008).
PG.C2.2021.12 19
Berdasarkan sifat organoleptik pada tempe yang harus diperhatikan, terdapat
ciri- ciri kualitas tempe yang baik. Menurut Kasmidjo (1990), syarat mutu secara fisik
dari tempe yang baik adalah yang memiliki ciri sebagai berikut:
a. Warna putih diantara kacang
Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh
pada permukaan biji kedelai.
b. Tekstur tempe kompak
Kekompakan tekstur tempe disebabkan oleh miselia – miselia kapang yang
menghubungkan antara biji-biji kacang. Kompak atau tidaknya tekstur tempe dapat
diketahui dengan melihat tingkat kelebatan miselia yang tumbuh pada permukaan
tempe. Apabila miselia tampak lebat, hal ini menunjukkan bahwa tekstur tempe
telah membentuk massa yang kompak, begitu juga sebaliknya.
c. Memiliki aroma dan rasa khas tempe
Aroma dan rasa yang khas pada dapat timbul karena disebabkan terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses
fermentasi.
20 PG.C2.2021.12
Tabel 2.8 Syarat mutu tempe
(Badan Standardisasi Nasional, 2012)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas
1.2 Warna - Normal
1.3 Rasa - Normal
2. Kadar air (b/b) % Maks. 65
3. Kadar abu (b//b) % Maks. 1,6
4. Kadar lemak (b/b) % Min. 10
5. Kadar protein (N x 6,25) (b/b) % Min. 16
6. Kadar serat kasar (b/b) Maks. 2,5
7. Cemaran logam
7.1 Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,2
7.2 Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 0,25
7.3 Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40
7.4 Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,03
8. Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0,25
9. Cemaran mikroba
9.1 Bakteri coliform APM/g Maks. 10
9.2 Salmonella sp. - Negatif
22 PG.C2.2021.12
dengan ayakan 60
PG.C2.2021.12 23
mesh sehingga didapatkan tepung tempe (Albertine, dkk., 2008).
24 PG.C2.2021.12
2.5.3 Patty Tempe
Tempe berhasil digunakan sebagai substitut patty hamburger sebagian (20%)
untuk mengurangi sineresis pada saat pemanasan dan mengurangi pengerasan pada saat
penyimpanan didalam kulkas, sebagai perbandingan, substitusi 10% tepung gandum
pada cupcake dapat mengurangi oksidasi lemak pengerasan saat disimpan didalam
kulkas. Makanan buatan lain seperti kudapan tempe, sandwich tempe (Hermana, dkk.,
1990), sosis tempe dan susu tempe (Sudarmadji, dkk., 1997) dan campuran kering
berbasis tepung tempe (tepung tempe ditambahkan sekitar 11-17%) untuk chapatti,
bubur, sup dan laddoo (Vaidehi, dkk., 1996). Walaupun akseptabilitas untuk makanan
tersebut secara umum cukup baik, Penelitian menunjukkan akseptabilitas kudapan
tempe pada masyarakat di Afrika Barat cukup marginal, hal ini dikarenakan masyarakat
disana lebih suka makanan fermentasi dengan rasa asam (Egounlety, 2002).
PG.C2.2021.12 25
natrium atau
26 PG.C2.2021.12
lithium disiapkan untuk separasi asam amino dengan IEC. Eluen yang berasal dari
kolom pertukaran ion bergerak melewati koil teflon yang ditempatkan didalam air
mendidih atau alat pemanas lainnya. Sebelum memasuki kolom, eluen yang berupa
EDTA dicampur dengan reagen ninhidrin tereduksi yang dilarutkan didalam buffer
asetat membentuk dye complex. Absorpsi ditentukan menggunakan fotometer aliran
yang terhubung pada grafik didalam rekorder atau komputer. Daerah dibawah puncak
berkorespondensi terhadap asam amino yang ada didalam sampel. Evaluasi dapat
dilakukan secara manual otomatis menggunakan integrator atau komputer. Analisis ini
memungkinkan untuk mengkuantifikasi jumlah asam amino sedikitnya 1 nano-mol
asam amino dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Singh, 2013).
28 PG.C2.2021.12
BAB III
RENCANA PENELITIAN
PG.C2.2021.12 29
Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian
30 PG.C2.2021.12
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian pengembangan produk pangan
vegan berkualitas tinggi disajikan dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan bahan percobaan
Alat Bahan
Baskom Kacang kedelai impor
Saringan Kacang kedelai Indonesia
Dandang Kacang tunggak
Kipas angin Kacang hijau
Sutil Kacang tanah
Tampah Daun pisang/polimer
Kompor Garam
Plastik R. oligosporus
Kulkas Telur
Tepung roti
Minyak
PG.C2.2021.12 31
kemudian disaring dan direbus selama 25-30 menit, dibuang air rebusannya, lalu
didinginkan hingga temperatur ruang (25oC). Pendinginan pada kacang bertujuan untuk
mendinginkan sebelum kacang diberi ragi. Sambil menunggu kacang dingin, kacang
juga dibersihkan dari kotoran yang mungkin masih ada. Kotoran yang biasanya terdapat
dalam kacang adalah kerikil, ranting, dan kontaminan fisik lain. Kacang kemudian
diinokulasi dengan Rhizopus sp. dan diinkubasi dengan kemasannya yaitu plastik
bening selama 2-3 hari pada temperatur 25oC. Produk sejenis tempe segar kemudian
didapatkan. Diagram pembuatan produk sejenis tempe dapat dilihat pada gambar 3.2
berikut.
32 PG.C2.2021.12
Gambar 3.2 Diagram alir prosedur pembuatan tempe
PG.C2.2021.12 33
Setelah tempe terbentuk, akan dilakukan uji sensori dan organoleptik. Uji
sensori berupa tekstur dilakukan menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA) untuk
mendapatkan data hardness (kekerasan tekstur roti), springiness (kemampuan tempe
unntuk kembali ke bentuk semula), dan cohesiveness (kelengketan tempe pada bagian
dalam mulut saat mengunyah). Pengukuran warna tempe dilakukan dengan
menggunakan aplikasi Color Grab. Uji organoleptik dilakukan kepada 3 panelis untuk
mendapatkan data tingkat kesukaan akan warna, tekstur, dan aroma tempe yang
dihasilkan. Diagram alir pengukuran tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer
34 PG.C2.2021.12
Gambar 3.3 Diagram alir uji Bradford
PG.C2.2021.12 35
3.4 Variasi Percobaan
Berdasarkan kandungan protein, availability, harga, parameter fermentasi (rasio
inokulasi, temperatur dan waktu, efek akhir mikrobial, sifat kimia dan kualitas sensori,
maka variasi formulasi tempe yang akan diujikan berdasarkan rasio berat terlampir pada
Tabel 3.2 Adapun berat adonan dalam setiap variasi adalah 240 gram.
Tabel 3.2 Variasi formulasi tempe
36 PG.C2.2021.12
3.5 Jadwal Kerja
Tabel 3.3 Jadwal kerja
PG.C2.2021.12 37
BAB IV
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka telah dilakukan pembuatan tempe
dengan 15 variasi ditambah 1 variasi kontrol. Variasi kontrol merupakan tempe berbahan baku
100% kacang kedelai impor .Pada pembahasan ini variasi akan disebut dalam bentuk
perbandingan massa (kacang tunggak: kacang kedelai: kacang tanah: kacang hijau). Adapun daftar
15 variasi tempe yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Variasi Formulasi Tempe
38 PG.C2.2021.12
Pada hasil penelitian yang dilampirkan, akan digunakan tempe replikas 1 isebagai tolok
ukur analisis penelitian oleh karena tempe replikasi 2 (duplo) mengalami banyak kegagalan.
Adapun kegagalan tempe replikasi 2 disebabkan oleh beberapa faktor: fermentasi tempe dimulai
dengan kondisi kacang yang belum sepenuhnya kering, proses pencampuran ragi yang tidak rata,
proses fermentasi dilakukan saat kacang dalam kondisi masih belum terkelupas kulit arinya,
perendaman menggunakan wadah yang sempit serta tempat fermentasi yang tidak rata. Namun
begitu, pada beberapa analisis, akan turut dilampirkan hasil data proksimat tempe replikasi 2
sebagai salah satu pembanding.
Pengujian data proksimat (air, protein, lemak, dan abu) dilakukan menggukan alat
Proximate NIR dengan data awal dilandaskan pada 5 buah sampel tempe yang beredar di sekitar
Kota Bandung.
25
20
15
Kadar protein(%))
10
0
A B C D E al po
r u h ak
pe pe pe pe pe ok hi
ja na g
m m m m m ai
L
iI
m g ta ng
Te Te Te Te Te l a an g tu
de de
l c c an ng
Ke
Ke Ka Ka ca
Ka
Gambar 4.1 Nilai kadar protein berbagai variasi tempe sampel dan kacang
PG.C2.2021.12 39
22.0
14.0
12.0
10.0
8.0
l
ro i1 i2 i3 i4 i5 i6 i7 i8 i9 10 11 12 13 14 15
ont rias rias rias rias rias rias rias rias rias asi asi asi asi asi asi
K Va Va i i i i i i
Va Va Va Va Va Va Va Var Var Var Var Var Var
Min. protein
Gambar 4.2 Nilai kadar protein variasi tempe 1-15
Protein merupakan makronutrien yang diperlukan untuk membangun massa otot, protein
biasanya ditemukan pada produk hewani, namun juga ditemukan pada produk nabati seperti
kacang-kacangan dan polong-polongan. Analisis protein dilakukan menggunakan metode
Kjeldahl terhadap tempe sampel (tempe A-E) dan kacang-kacangan didapatkan dari berbagai pasar
yang berbeda di sekitar Kota Bandung. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semua tempe sampel
memenuhi standar protein SNI (16% per 100 gram). Kadar protein terbesar dimiliki oleh tempe A
(21,63%), hal ini dikarenakan hasil pascapanen kedelai dengan kualitas yang baik dan proses
fermentasi dengan parameter yang optimal. Jenis kacang yang memiliki protein tertinggi adalah
kacang kedelai, adapun selisih protein kacang kedelai impor dengan lokal adalah 0,2%.
Data kadar protein Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Data Protein Tempe replikasi 1 dan 2
40 PG.C2.2021.12
Variasi 1 19,32 20,24
Variasi 2 19,41 19,43
Variasi 3 18,54 18,96
Variasi 4 18,89 19,7
Variasi 5 19,33 19,52
Variasi 6 19,13 20,26
Variasi 7 18,15 20,76
Variasi 8 19,17 19,18
Variasi 9 18,75 18,84
Tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa perbedaan kandungan protein berbagai variasi tempe yang
telah dibuat oleh kedua praktikan tidak berbeda secara signifikan, semua variasi tempe masuk ke
dalam standar protein tempe SNI.
4.2. Analisis Kadar Air
Kedelai 13
PG.C2.2021.12 41
Impor
Kacang
hijau 9,05
Kacang
tanah 6,8
Kacang
tunggak 10,8
Gambar 4.3 Nilai kadar air berbagai variasi tempe sampel dan kacang
66.0
65.0
64.0
63.0
62.0
61.0
Kadar air(%)
59.0
58.0
57.0
l 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5
ntro asi asi asi asi asi asi asi asi asi si 1 si 1 si 1 si 1 si 1 si 1
i i i i i i i i i
Ko Var Var Var Var Var Var Var Var Var aria aria aria aria aria aria
V V V V V V
Jumlah kadar air menentukan karakteristik dari sebuah produk pangan, hal ini termasuk
karakteristik fisik (Bentuk, warna, dll.) tekstur, rasa, berat yang berdampak pada harga produk dan
juga faktor lain yang mempengaruhi umur simpan produk, kesegaran, kualitas, dan juga ketahanan
terhadap kontaminasi bakteri. Kadar air dianalisis menggunakan metode gravimetri, kadar air
standar untuk tempe menurut SNI adalah maks 65%. Dapat dilihat pada Tabel 4.3 bahwa semua
tempe sampel dan kacang memenuhi standar SNI. Kacang kedelai dan koro memiliki kadar air
relatif lebih tinggi terhadap kacang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa kacang kedelai memiliki
absorbansi air yang baik dan juga tekstur yang lebih lunak.
Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa tempe yang memiliki kadar air terbesar adalah tempe
variasi 9, hal ini dikarenakan tempe tersebut tidak memiliki komponen kacang tanah dimana
kacang ini memiliki kadar air yang sedikit. Hal ini menujukkan bahwa tempe yang memiliki kadar
air besar cenderung didominasi oleh komposisi kacang yang memiliki kadar air yang besar pula
42 PG.C2.2021.12
dan sebaliknya.
Data kadar air Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.4.
Tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa perbedaan kandungan air berbagai variasi tempe
yang telah dibuat oleh kedua praktikan tidak berbeda secara signifikan, semua variasi tempe
masuk ke dalam standar kandungan air tempe SNI.
PG.C2.2021.12 43
4.3. Analisis Kadar Abu
Tabel 4.5 Nilai kadar abu berbagai variasi tempe sampel dan kacang
9 8.48
7.85
8 7.47
7.05
7 6.57 6.63 6.45
6.25 6.08 6.26 6.2
5.94 5.9
6 5.48 5.47 5.66
5
Kadar abu(%)
4
Maks.abu
3
0
l 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5
ntro asi asi asi asi asi asi asi asi asi si 1 si 1 si 1 si 1 si 1 si 1
o ri ri ri ri ri ri ri ri ri ia ia ia ia ia ia
K Va Va Va Va Va Va Va Va Va ar ar ar ar ar ar
V V V V V V
Variasi
44 PG.C2.2021.12
Gambar 4.5 Abu salah satu variasi tempe
Kadar abu menunjukkan jumlah mineral yang terdapat dalam sebuah produk pangan,
jumlah mineral menunjukkan properti fisiokimia dari produk pangan dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode gravimetri
yaitu membakar semua kandungan organik dan menimbang sisa kandungan inorganiknya. Dapat
dilihat pada tabel 4.5 semua tempe sampel memiliki kadar abu diatas standar SNI (1,5%). Hasil
kadar abu tempe tidak konsisten walaupun memiliki komposisi yang sama, hal ini menunjukkan
kesalahan praktikan dalam menganalisis yaitu penggerusan tempe yang tidak homogen, furnace
yang temperaturnya tidak merata dan porselen yang ukurannya tidak sama sehingga memiliki
margin error yang besar. Begitu pula dengan nilai kadar abu kacang, dapat dilihat kacang tanah
memiliki kadar abu yang sangat tinggi (39%), hal ini dikarenakan furnace gagal membakar materi
organik yang berada dalam kacang ini.
Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa variasi tempe yang memiliki kadar abu yang paling
besar adalah variasi 9 (8,48%), padahal variasi ini tidak memiliki komponen kacang tanah yang
memiliki kadar abu paling tinggi diantara kacang-kacangan yang lain. Oleh karena itu, penulis
menyimpulkan kadar abu tempe tidak dipengaruhi komponen kadar abu kacang-kacangannya.
Data kadar abu Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Data Kadar Abu Tempe replikasi 1 dan 2
Tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi yang tidak masuk ke dalam
rentang data nilai abu yang telah dikalibrasi (ditandai dengan warna merah). Hal ini menunjukkan
data kalibrasi yang diperoleh tidak tepat dikarenakan kesalahan praktikan. Kadar abu seluruh
variasi tempe yang dubuat kedua praktikan tidak ada yang mencapai standar SNI, hal ini bisa
dikarenakan pengujian NIR di hari yang berbeda ketika tempe selesai difermentasi.
Lemak merupakan salah satu makronutrien penting bagi tubuh. Pengujian kadar lemak
dilakukan pada 5 buah tempe sampel yang dibeli di sekitar kota Bandung dan pada bahan baku
kacang-kacangan yang akan digunakan dalam penelitian. Analisis kadar lemak dilakukan dengan
menggunakan metode esktraksi Soxhlet dengan menggunakan pelarut heksana. Standar SNI kadar
lemak untuk tempe adalah 10% (b/b). Nilai kadar lemak berbagai variasi tempe sampel dan
kacang yang turut direpresentasikan pada Tabel 4.7.
46 PG.C2.2021.12
Tabel 4.7 Kadar Lemak Tempe Sampel dan Kacang-kacangan
Berdasarkan hasil pengujian kadar lemak, terlihat bahwa hanya tempe sampel A dan C
yang sesuai dengan standar SNI. Hal ini menunjukkan kualitas tempe di sekitar kota Bandung
yang tidak terlalu baik. Sedangkan untuk kadar lemak dari berbagai kacang-kacangan, didapati
kandungan lemak yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan data literatur pada Bab 2.
14
12 11.64
11.01
10.62 10.29
9.77
10 9.27 9.43 9.67
9.05 8.97
8.02 7.8 7.87 8.01
8
6.55
Lemak (%)
6 5.51
0
l
ro i 1 i 2 i 3 i 4 i 5 i 6 i 7 i 8 i 9 10 11 12 13 14 15
ont rias rias rias rias rias rias rias rias rias asi asi asi asi asi asi
K Va Va Va Va Va Va Va Va Va ari ari ari ari ari ari
V V V V V V
Min. lemak
PG.C2.2021.12 47
Kadar lemak pada tempe variasi percobaan diperoleh melalui analisis menggunakan alat NIR.
Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa hanya 4 buah variasi tempe yang melewati
standar kadar lemak SNI 10%, yaitu variasi 3, variasi 1, variasi 11 dan variasi 15. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengujian kadar lemak yang tidak dilakukan segera
setelah proses fermentasi selesai sehingga terjadi oksidasi lemak akibat kontak terlalu lama di
udara terbuka. Adapun faktor komposisi kacang-kacangan yang digunakan untuk membuat tempe
juga berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Variasi 5 dengan kadar lemak tertinggi
merupakan variasi tempe berbahan dasar 50% kacang kedelai lokal dan 50% kacang tanah, 2 jenis
kacang dengan kadar lemak tertinggi.
Data kadar lemak Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.8.
Variasi 13 9,43 11
48 PG.C2.2021.12
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi tempe yang dibuat kedua praktikan
yang tidak masuk kedalam rentang data yang telah terkalibrasi, hal ini disebabkan oleh data
kalibrasi yang didapatkan kurang akurat. Terdapat empat variasi tempe yang standar SNI oleh
replikan 1 dan sembilan tempe oleh replikan 2. Hal ini disebabkan oleh praktikan mengerjakan di
rumah masing-masing dimana faktor seperti perbedaan temperatur, tekanan, kelembapan dan
cahaya dapat mempengaruhi proses fermentasi tempe sehingga hasil akhir pun akan berbeda.
Pembuatan tempe eksperimen dilakukan dalam tiga batch dengan batch pertama dimulai
dari tempe variasi 1-5 ditambah kontrol. Semua variasi dmulai dari basis massa yang sama yaitu
200 gram. Dapat dilihat bahwa pengurangan massa cenderung konsisten pada seluruh variasi
tempe, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang tidak signifikan dalam mempengaruhi
massa tempe, pengurangan massa yang konsisten lebih ditentukan oleh perlakuan awal kacang-
kacangan dan parameter suhu, cahaya, dan kelembapan pada saat proses fermentasi dimulai.
Grafik dapat dilihat pada gambar 4.7 diatas
PG.C2.2021.12 49
4.6. Analisis Perbedaan Warna
Warna memegang peranan krusial dalam menentukan kualitas dari produk pangan teruma
rasa dan persepsi orang yang akan mengkonsumsinya. Pada penelitian ini kami menganalisis
perbedaan warna tempe kontrol dengan variasi yang lain menggunakan aplikasi ColorGrab yang
dinyatakan dalam deltaE, deltaE menunjukkan seberapa besar perbandingan warna menurut mata
telanjang, nilai deltaE kecil menunjukkan perbedaan warna yang tidak signifikan dan sebaliknya.
Dari gambar 4.8 dapat disimpulkan bahwa tempe variasi 8 memiliki warna yang tidak jauh
berbeda dibanding kontrol diikuti variasi 13 dan 15. Variasi 8 tidak memiliki komponen kacang
hijau sementara variasi 15 memiliki 2/5 kacang hijau dari komponen kacang lain. Hal ini
menyatakan bahwa pigmen kacang tidak berpengaruh signifikan terhadap warna kapang pada saat
tempe selesai difermentasi.
50 PG.C2.2021.12
4.7. Analisis TPA
Analisis mengunakan TPA (Texture Profile Analyzer) digunakan untuk menganalisis
tekstur dari setiap variasi tempe yang dibuat. Pada penelitian ini, dilakukan analisis TPA untuk
mengukur hardness, cohesiveness dan gumminess dari tempe yang telah dibuat. Data hasil
pengukuran hardness menggunakan TPA terdapat pada tabel 4.9.
PG.C2.2021.12 51
Berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa tingkat kekerasan tempe pada umunnya berada
pada rentang 30-40 N. Namun, dari hasil percobaan, hanya beberapa jenis variasi tempe yang
memenuhi kriteria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis kacang-kacangan yang digunakan.
Selain hardness, data pengukuran cohesiveness dan gumminess berturut-turut ditunjukkan pada
Tabel 4.10 dan 4.11.
52 PG.C2.2021.12
Tabel 4.11 Gummines Tempe
PG.C2.2021.12 53
Berdasarkan hasil TPA, terlihat bahwa data pada tempe buatan Ahan lebih menunjukkan
hasil yang homogen dibandingkan Clarissa. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, seperti
Replikasi 2 yang terhitung sebagai kegagalan pada variasi 1-7, dan 13-15 oleh karena tidak
terbentuk struktur tempe. Hal ini juga yang menyebabkan tingkat hardness pada Replikasi 1 yang
lebih kompak dan berstruktur kokoh. Data pada TPA menujukkan struktur tempe saat dikunyah
yang dihitung menggunakan “two bite test”. Namun, data TPA tidak menentukan tingkat
penerimaan tempe sebelum diuji berdasarkan analisa organoleptik.
54 PG.C2.2021.12
Gambar 4.9 Nilai organoleptik tempe 1-15 dengan kontrol
PG.C2.2021.12 55
Data hasil analisis organoleptik terlampir pada Tabel 4.12.
56 PG.C2.2021.12
Berdasarkan faktor harga bahan baku kacang yang digunakan untuk mendapatkan 200
gram tempe mentah jadi yang dibandingkan dengan harga tempe kedelai impor, data urutan
keterjangkauan harga bahan baku untuk setiap variasi dan harga bahan baku kacang berturut-turut
terdapat pada Tabel 4.13 dan Tabel 4.14
Tabel 4.13 Data Nilai Tempe Berdasarkan Harga
Variasi Harga (20%)
Kontrol 100,00
Variasi 6 59,10
Variasi 10 55,42
Variasi 9 55,30
Variasi 8 53,18
Variasi 7 49,80
Variasi 1 48,85
Variasi 13 45,24
Variasi 5 44,67
Variasi 2 42,02
Variasi 3 41,93
Variasi 4 41,55
Variasi 15 40,65
Variasi 11 39,72
Variasi 14 33,91
Variasi 12 33,20
PG.C2.2021.12 57
Tabel 4.14. Harga Bahan Baku Kacang
58 PG.C2.2021.12
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa berbagai variasi kacang yang digunakan untuk
membuat tempe, masih memberikan nilai yang cukup jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan
harga kedelai impor. Namun begitu, nilai yang diatas 50 menunjukkan adanya potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut. Selain itu perbedaan bobot harga juga dapat dikurangi dengan
pengurangan jumlah bahan baku kacang yang digunakan sehingga membentuk struktur tempe
yang tidak terlalu padat dengan kacang-kacangan dan lebih didominasi oleh kapang. Hal ini
berpotensi untuk diteliti lebih lanjut melihat tingkat kekerasan tempe yang dibuat Ahan jauh lebih
keras daripada tempe kontrol atau tempe pada umumnya yang beredar di pasaran sesuai dengan
data pada subbab 4.7. Di sisi lain, harga bahan baku kacang dapat bervariasi dan cenderung lebih
murah apabila dibeli dengan kapasitas yang lebih besar sehingga bukannya tidak mungkin mampu
bersaing dengan harga kedelai impor.
Berdasarkan kadar protein yang bertolok ukur pada tempe kontrol berbahan baku kedelai
impor, urutan data kandungan protein yang telah dikalikan pembobotan sebesar 50% terhadap
nilai akhir terdapat pada Tabel 4.15.
Protein (50%)
Variasi 13 100
Kontrol 99,44106
Variasi 11 99,44106
Variasi 14 98,88211
Variasi 2 98,62805
Variasi 5 98,22154
Variasi 1 98,17073
Variasi 15 97,61179
Variasi 8 97,40854
PG.C2.2021.12 59
Variasi 6 97,20528
Variasi 10 96,44309
Variasi 4 95,98577
Variasi 12 95,42683
Variasi 9 95,27439
Variasi 3 94,20732
Variasi 7 92,22561
60 PG.C2.2021.12
Berdasarkan tabel urutan nilai tempe berdasarkan kadar protein, terlihat bahwa tempe
variasi 13 memiliki kadar protein tertinggi, yang melampaui kadar protein berbahan baku 100%
kacang kedelai impor. Namun begitu, berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa kadar protein
yang dimiliki oleh masing-masing variasi memiliki nilai yang hampir sama dengan rata-rata di
angka 97,2. Hal ini dapat menunjukkan bahwa bahan baku tempe tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kadar protein pada tempe. Namun begitu, apabila ditinjau dari kadar protein
pada bahan baku yang terlampir pada subbab 4.1., terlihat bahwa kadar protein dari bahan baku
kacang-kacangan non-kedelai yang awalnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kacang
kedelai, mampu menghasilkan tempe dengan kandungan protein yang menyamai kedelai berbahan
baku kedelai murni. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar dari kacang-kacangan lokal
Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai substitusi tempe kedelai impor.
Berdasarkan hasil uji organoleptik pada Subbab 4.8 dan setelah data diolah dengan
pembobotan 30% untuk hasil uji organoleptik, maka diperoleh nilai akhir setiap variasi tempe
yang diproduksi pada penelitian ini seperti terlampir pada Gambar 4.10.
PG.C2.2021.12 61
Adapun nilai keseluruhan yang diperoleh terdapat pada Tabel 4.16.
62 PG.C2.2021.12
Berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa variasi dengan nilai keseluruhan terbaik adalah
variasi 8, 6, dan 5; dimana faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai yang
cukup signifikan dari variasi kontrol adalah faktor harga. Namun, apabila ditinjau dari sisi protein
dan penerimaan masyarakat, terdapat berbagai variasi potensial yang dapat dikembangkan. Dari
sisi protein, variasi 13, 11 dan 14 memiliki kadar protein yang tinggi sehingga berpotensi untuk
diolah lebih lanjut dalam rangka meningkatkan nilai penerimaan masyarakat, seperti dengan
dibuat menjadi produk turunan tempe berupa patty ataupun nugget tempe pada penelitian lebih
lanjut.
Di sisi lain, apabila hasil dibandingkan dengan data uji organoleptik, tempe variasi 5, 6,
dan 8 termasuk dalam 5 nilai tertinggi penerimaan konsumen dari segi organoleptik, yang
menunjukkan bahwa tempe variasi 5, 6, dan 8 layak untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai
potensi terbesar substitusi tempe kedelai impor di Indonesia yang bebahan dasarkan kacang-
kacangan lokal Indonesia.
PG.C2.2021.12 63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil,
yaitu:
- Variasi tempe 5, 6, dan 8 berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka untuk
mensubstitusi ketergantungan kebutuhan tempe masyarakat Indonesia terhadap kedelai impor;
terutama dengan banyaknya tempe lokal yang beredar di pasaran yang tidak sesuai denga standar
SNI.
- Variasi tempe 11, 13, dan 14 berpotensi lebih lanjut untuk dibuat produk turunan seperti nugget
tempe oleh karena memiliki kadar protein yang sangat tinggi.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat diterapkan untuk
penelitian selanjutnya, yaitu:
- Pembuatan tempe duplo setiap batch dilakukan pada tempat yang sama.
- Setiap pembuatan 5 variasi dan pengujian organoleptik lebih baik dibarengi dengan
adanya tempe kontrol sebagai benchmark.
- Penggorengan tempe untuk uji organoleptik dilakukan dengan massa, waktu serta kadar
api yang sama.
- Pastikan kacang-kacangan telah sepenuhnya kering sebelum memulai proses fermentasi.
- Pengujian terhadap kadar gizi tempe dilakukan pada hari yang sama setelah proses
fermentasi selesai.
- Pelaksanaan percobaan pendahukuan untuk menguji lemak dengan metode soxhlet,
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan 2-3 alat soxhlet sekaligus untuk efisiensi
waktu.
- Pembuatan tempe dilakukan dengan menggunakan air keran biasa daripada menggunakan
air aqua murni.
- Memastikan semua kacang telah lepas kulitnya sebelum dilakukan fermentasi untuk
membuat tempe.
- Perendaman kacang dilakukan pada wadah yang lebih lebar secara horizontal dan bukan
vertikal agar memberikan ruang ekstra pada kacang untuk menyerap air yang membantu
pelepasan kulit ari.
64 PG.C2.2021.12
- Melakukan variasi percobaan pembuatan tempe dari masing-masing jenis kacang dengan
komposisi 100% murni untuk perbandingan.
- Menggunakan hairdryer untuk mengeringkan kacang untuk efisiensi waktu.
- Variasi tempe yang memiliki standar lemak di bawah SNI dapat dipasarkan kepada
konsumen yang ingin mendapat sumber protein tinggi namun rendah lemak
PG.C2.2021.12 65
DAFTAR PUSTAKA
" Info Aktual " Alternatif Kacang-kacangan Non Kedelai untuk Tahu dan Tempe .
Badan Litbang Pertanian. (2008, June 2).
https://www.litbang.pertanian.go.id/info- aktual/597/.
" Info Aktual " Indonesia Menuju Swasembada Protein Hewani . Badan Litbang
Pertanian. (2017, February 22). https://www.litbang.pertanian.go.id/info-
aktual/2826/.
Abdul Muttalib, S., Apriyanditra, W., Yulianti, I., Hasmi, R., dan Umas Hartono, M.
(2017). RANCANG BANGUN MESIN PENCAMPUR KEDELAI DENGAN
KAPANG (RAGI TEMPE) PADA INDUSTRI RUMAHAN DI DAERAH
KOTA
MATARAM. Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian Dan Biosistem, 5(1), 316– 320.
Adie, M. M., dan Krisnawati, A. (2007). Biologi tanaman kedelai. Dalam, 45-73.
Astawan, Made. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Solo: Tiga
Serangkai.
Astawan M. 2008. Sehat dengan tempe, panduan lengkap menjaga kesehatan dengan
tempe. Jakarta: Dian Rakyat.
Astawan M, Adiningsih NR, Palupi NS. 2014. Evaluasi kualitas nugget tempe dari
berbagai varietas kedelai. Pangan: Med Kom Informasi 23:244-255
Aunstrop, K. 1979. Production, isolation and economic of extracellular enzymes in: LE.
Wingard, E.K. Katair and Goldstein (Eds. Applied Biochemistry Bioengineering
Enzymes Technology Academic Press, New York).
66 PG.C2.2021.12
Archana, A., dan Satyanarayana, T. (1997). Xylanase production by thermophilic
Bacillus licheniformis A99 in solid-state fermentation. Enzyme and Microbial
Technology, 21(1), 12-17.
Artikel Kandungan Gizi Kacang Hijau dan manfaat Kacang Hijau bagi Kesehatan.
https://ilmupengetahuanumum.com/kandungan-gizi-kacang-hijau-manfaat-
kacang-hijau-bagi-kesehatan/. Diakses pada 17 Mei 2021.
PG.C2.2021.12 67
Artikel Kandungan Gizi Kacang Tanah dan manfaat Kacang Tanah bagi Kesehatan.
https://ilmupengetahuanumum.com/kandungan-gizi-kacang-tanah-dan-manfaat-
kacang-tanah-bagi-kesehatan/. Diakses pada 17 Mei 2021.
Balitbangtan, 2014. Hasil Kajian dan Identifikasi Dampak Erupsi Gunung Sinabung
pada Sektor Pertanian.www.litbang.deptan.go.id.
De Reu, J.C., Zwietering, M.H., Rombouts, F.M. and Nout, M.J.R. (1993) Temperature
control in solid substrate fermentation through discontinuous rotation. Applied
Microbiology and Biotechnology 40, 261– 265
Egounlety, M. (2002) Sensory evaluation and nutritive value of tempe snacks in West
Africa. International Journal of Food Properties 5, 247.
Forde, K. (2020, July 09). Vegan revolution: Four Vegan TRENDS affecting
Agribusiness. Retrieved May 16, 2021, from https://farrellymitchell.com/vegan-
trends-agriculture-investments-and-production/
Haliza, W., Purwani, E. Y., dan Thahir, R. (2016). Pemanfaatan kacang-kacangan lokal
sebagai substitusi bahan baku tempe dan tahu. Buletin Teknologi Pasca
Panen, 3(1), 1-8.
Han, B.Z., Kiers, J.L. and Nout, M.J.R. (1999) Solid-substrate fermentation of soybeans
with Rhizopus spp.: comparison of discontinuous rotation with stationary bed
fermentation. Journal of Bioscience and Bioengineering 88, 205–209.
Hermana, H., Mahmud, M. K. M. S., and Karyadi, D. (ed.) (1990) Second Asian
Symposium on Nonsalted Soybean Fermentation. Bogor, Indonesia: Nutrition
Research and Development Centre.
Hizni, A., Sholichin, S., dan Samuel, S. (2017). TEMPE STICK:“TASTY AND
HEALTHY SNACK “. Actual Research Science Academic, 2(1), 29-35.
68 PG.C2.2021.12
Hui, Y. H., Meunier-Goddik, L., Josephsen, J., Nip, W. K., dan Stanfield, P. S. (Eds.).
(2004). Handbook of food and beverage fermentation technology (Vol. 134). CRC
Press.
Kartika, B., Hastuti, P., dan Supartono, W. (1988). Pedoman uji inderawi bahan pangan.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Kasno, A., dan Harnowo, D. (2015). Karakteristik varietas unggul kacang tanah dan
adopsinya oleh petani. Iptek tanaman pangan, 9(1).
Kasno, A., dan Winarto, A. (1998). Kacang Tunggak. Monograf Balitbang, 3, 1-19.
Kiers, J.L., Nout, M.J.R. (2003) Tempe fermentation, innovation and functionality:
update to the third millenium. Journal of Applied Microbiology, 98, 789-805.
Kurniawan, A. (2012). Sistem Kendali Suhu Dan Kelembaban Untuk Optimasi Proses
Pembuatan Tempe Berbasis Mikrokontroler. Univ. Pembang. Nas.“Veteran” Jawa
Timur.
Mæhre, H. K., Dalheim, L., Edvinsen, G. K., Elvevoll, E. O., dan Jensen, I. J. (2018).
Protein Determination-Method Matters. Foods (Basel, Switzerland), 7(1), 5.
https://doi.org/10.3390/foods7010005
Penaloza, W., Davey, C.L., Hedger, J.N. and Kell, D.B. (1991) Stimulation by
potassium ions of the growth of Rhizopus oligosporus during liquid- and solid-
substrate fermentations. World Journal of Microbiology dan Biotechnology 7,
260–268.
PG.C2.2021.12 69
Polnaya F. 2008. Eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah kacang tunggak (Vigna
unguiculata, L. Walp.) di pulau Lakor. Jurnal Budidaya Pertanian 4(2):115-121.
Prabhakar, A., Krishnaiah, K., Janaun, J., dan Bono, A. (2005). An overview of
engineering aspects of solid state fermentation. Malaysian Journal of
Microbiology, 1(2), 10-16.
Puslitbang Gizi. 1991, Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI, Dir. Bin. Gizi
Masyarakat dan Puslitbang Gizi.
Singh, C.; Sharma, C.S.; Kamble, P.R. Amino acid analysis using ion-exchange
chromatography: A review. Int. J. Pharm. 2013, 69–75
Singhania, R. R., Soccol, C. R., dan Pandey, A. (2008). Application of tropical agro-
industrial residues as substrate for solid-state fermentation processes. In Current
developments in solid-state fermentation (pp. 412-442). Springer, New York, NY.
Sudarmadji, S., Suparmo, S., and Raharjo, S. (ed.) (1997) Proceedings, International
Tempe Symposium. Den Pasar, Bali, Indonesia: Indonesian Tempe Foundation,
Jakarta, Indonesia.
70 PG.C2.2021.12
Susilowati, Ari dan Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme
Kontaminasi Kultur in vitro di Sub-Lab Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS.
Jurnal Biodiversitas. 2 (1) : 110-114.
Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wisnu Cahyadi. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Yuniati, H., dan Affandi, E. (2012). Fermentasi Cair Ampas Kelapa Sawit dan Kapang
Rhizopus oligosporus untuk Menghasilkan Asam Lemak Omega-3. Indonesian
Bulletin of Health Research, 40(2), 20649.
PG.C2.2021.12 71
LAMPIRAN A
72 PG.C2.2021.12
Terhirup: dalam dosis
tinggi dapat memberi
efek tertentu pada
sistem pernapasan.
Cari udara segar.
42 PG.C2.2021.12
nafas buatan dari
mulut ke mulut atau
secara mekanik.
Berikan masker
oksigen jika mungkin.
Segera hubungi
dokter.
1. Berwujud Kontak mata: Bilas
3 Natrium Na2CO3
padatan mata dengan air
karbonat
2. Berwarna melimpah selama 15
putih menit.
3. Tidak berbau
4. Densitas 2,54 Kontak kulit: Cuci
PG.C2.2021.12 43
3. Tidak berbau melimpah selama 15
4. Densitas 2,13 menit.
g/cm3
5. Titik didih 1388o
Kontak kulit: Iritasi
C
kulit. Cuci dengan
6. Larut
sabun dan bilas
dalam gliserol
dengan air melimpah.
Lepaskan baju dan
sepatu yang
terkontaminasi kecuali
tersangkut pada kulit.
Tertelan: Beracun,
mual, muntah. Bilas
mulut. Segera cari
bantuan medis.
Terhirup: Dapat
mengiritasi saluran
pernapasan. Hindari
sumber aroma dan
cari udara segar.
1. Berwujud Kontak mata: Iritasi
5 Tembaga CuSO4 · 5H2O
serbuk mata (mata merah).
Sulfat
2. Massa molar Bilas mata (juga di
Pentahidrat
249,7 g/mol bawah kelopak
3. Berwarna biru mata) dengan air
4. Densitas 2,284 melimpah selama 15
g/cm 3
menit.
5. Titik lebur
150oC
Kontak kulit atau
6. Kelarutan dalam
rambut: Iritasi kulit.
44 PG.C2.2021.12
air 316 g/L (0oC) Lepaskan baju dan
sepatu yang
terkontaminasi, bilas
kulit dengan air atau
pancuran.
Tertelan: Dapat
mempengaruhi sistem
saraf sentral, iritasi
gastrointestinal, mual,
muntah, dan diare.
Jangan paksa
dimuntahkan. Kumur-
kumur dengan air.
Apabila sadar, minum
air setengah liter.
Apabila tak sadar,
jangan berikan apapun
ke dalam mulut.
Terhirup serius:
Batuk. Bawa menjauh
dari bahan dan
menuju udara segar,
jagakenyamanan
untuk bernapas
PG.C2.2021.12 45
4. Titik lebur: - lensa kontak.
117oC
5. Titik didih: 780C
Kontak kulit:
(pada1013 hPa)
Tanggalkan segera
6. Massa
semua pakaian yang
molekular: 46,07
terkontaminasi.
g/mol
Bilaslah kulit dengan
7. Densitas: 0,7893
air/ pancuran air.
g/cm3pada 200C
Periksakanke dokter.
8. Larut dalam
air
Tertelan: Toksisitas
9. Mudah
oral akut (mual,
terbakar
muntah). Segera beri
korban minum air
putih (dua gelas paling
banyak). Periksakan
ke dokter.
Terhirup serius:
Toksisitas kulit akut
(iritasi mukosa).
Hirup udara segar.Jika
napas terhenti:
berikan napas buatan
mulut ke mulut atau
secara mekanik.
Berikan masker
oksigen jika
mungkin. Segera
hubungi dokter.
46 PG.C2.2021.12
1. Berwujud cair Kontak mata: Iritasi
7 Asam H3PO4
2. Tak berwarna mata serius. Bilas
fosfat
3. Tidak berbau mata (juga di bawah
4. Titik beku: -21 C kelopak mata) dengan
o
6. Densitas: 1,885
Kontak kulit atau
g/cm3 (T=200C)
rambut: Iritasi kulit.
7. Massa
Lepaskan baju dan
molekul: 97,99
sepatu yang
g/mol
terkontaminasi, bilas
kulit dengan air atau
pancuran.
Tertelan: Beracun,
mual, muntah. Bilas
mulut. Segera cari
bantuan medis.
PG.C2.2021.12 47
Bandung, 30 Juli 2022
48 PG.C2.2021.12
LAMPIRAN B
JOB SAFETY ANALYSIS (JSA)
Terpeleset akibat genangan air yang Pastikan semua selang terpasang dengan
diakibatkan kebocoran selang dan/atau baik dan benar, serta perhatikan setiap
kelalaian praktikkan. prosedur yang dilakukan. Segera bersihkan
genangan air.
PG.C2.1920.07 49
LAMPIRAN C
WORKING INSTRUCTION (WI)
1. Nyalakan instrumen dengan menekan tombol on pada bagian sudut kiri bawah alat
2. Nyalakan komputer dan buka piranti lunak exponent, tutup help screen
3. Kalibrasi instrumen dengan cara memasang probe yang diinginkan dalam eksperimen
kemudian lakukan kalibrasi
4. Klik tab T.A. pada panel atas, pada menu kalibrasi klik Calibrate force, ikuti instruksinya
dan klik next
5. Masukkan nilai massa kalibrasi dalam satuan gram, kemudian tempatkan pemberat pada
pelat kalibrasi
6. Klik next dan tunggu kalibrasi sampai selesai
7. Saat sudah selesai, klik finish dan ambil kembali pemberat
8. Klik tab T.A., pada menu kalibrasi pilih calibrate height, layar kalibrasi tinggi probe
akan muncul, probe akan diturunkan sampai menyentuh pelat dan kemudian kembali naik
9. Untuk menyetel pengaturan texture analyzer, klik tab T.A. dan pilih T.A. settings, pada
layar settings, klik library dan pilih T.A. sequence yang tepat untuk eksperimen.
10. Taruh sampel di dalam pelat kemudian klik tab T.A. pada komputer, klik run a test,
namai tes dan pilih direktori folder dimana hasil tes akan disimpan, klik start test dan
instrumen akan berjalan
11. Setelah tes selesai, hasil berupa grafik akan muncul pada layar. Untuk perhitungan
cepat klik tab process data kemudian pilih quick calculation
12. Centang perhitungan yang diinginkan dan hasil akan muncul secara otomatis
13. Setelah eksperimen selesai, bersihkan pelat dan matikan instrumen beserta komputer.
50 PG.C2.1920.07
C.2. Analisis Kadar Protein Tempe
1. Persiapan rangkaian alat HPLC
a) Alat HPLC disiapkan
b) Detektor UV dan pompa dinyalakan
c) Komputer dinyalakan dan program HPLC dijalankan hingga siap digunakan
d) Tombol ”Run Sample” dipilih dan file proyek baru dibuat pada program HPLC
e) Jenis HPLC yang digunakan dipilih
f) Tombol ”Advion must express” > ”Operate” ditekan
g) Detektor UV disambungkan dengan kolom HPLC
2. Penentuan waktu retensi zat murni komponen
a) Sampel uji dibuat dengan mencampurkan 200 mg larutan uji ke dalam 2 mL
diklorometana/asetonitril/metanol sebagai fasa gerak
b) Sampel uji kemudian diinjeksikan sebanyak 20 µL ke dalam kolom HPLC untuk
dianalisis selama 30 menit
c) Hasil pembacaan pada HPLC dicatat
3. Shut-down rangkaian alat HPLC
a) Detektor UV, lampu UV, pompa, dan aliran fasa gerak dimatikan
b) Tekanan kolom HPLC yang terbaca pada indikator dipastikan bernilai nol
PG.C2.1920.07 51