Anda di halaman 1dari 95

PG4092 PENELITIAN TEKNIK PANGAN II

Semester II  2021/2022

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN VEGAN TINGGI


PROTEIN MELALUI PROSES FERMENTASI FASA
PADAT

Kelompok PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Clarissa Kurniawan (14318040)

Pembimbing
Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

PROGRAM STUDI TEKNIK PANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Juli 2022
LEMBAR PENGESAHAN

PG4092 PENELITIAN TEKNIK PANGAN II


Semester II  2020/2021

PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN VEGAN TINGGI


PROTEIN MELALUI PROSES FERMENTASI FASA
PADAT

Kelompok PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Clarissa Kurniawan (14318040)

Catatan Pembimbing:

Bandung, Juli 2022


Disetujui Pembimbing

Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

ii PG.C2.2021.12
SURAT PERNYATAAN

PG4092 PENELITIAN TEKNIK PANGAN II


Semester II Tahun 2021/2022

Kami yang bertanda tangan di bawah ini:


Kelompok : PG.C2.1920.12
Nama (NIM) : Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Nama (NIM) : Clarissa Kurniawan (14318040)
dengan ini menyatakan bahwa laporan dengan judul:
PENGEMBANGAN PRODUK PANGAN VEGAN TINGGI PROTEIN
MELALUI PROSES FERMENTASI FASA PADAT
adalah hasil penelitian kami sendiri di mana seluruh pendapat dan materi dari sumber
lain telah dikutip melalui penulisan referensi yang sesuai. Publikasi yang dibuat
berdasarkan materi yang tercakup dalam dokumen penelitian ini hanya dapat dilakukan
dengan sepengetahuan dan seijin dosen pembimbing penelitian.

Surat pernyataan ini dibuat dengan sebenar-benarnya dan jika pernyataan dalam lembar
pernyataan ini di kemudian hari diketahui keliru, kami bersedia menerima sangsi sesuai
peraturan yang berlaku.

Bandung, 30 Juli 2022

Tanda tangan Tanda tangan

Farakhan Fauzi Pranata Clarissa Kurniawan

PG.C2.2021.12 iii
PG4092 PENELITIAN TEKNIK PANGAN II

Pengembangan Produk Pangan Vegan Tinggi Protein Melalui Proses


Fermentasi Fasa Padat
Kelompok PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020) dan Clarissa Kurniawan (14318040)
Pembimbing
Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

ABSTRAK

Penelitian ini ditujukan untuk memformulasikan produk pangan vegan tinggi protein
berbahan dasar kacang-kacangan lokal Indonesia untuk menghasilkan tempe maupun
produk olahan lainnya, dalam rangka untuk mengurangi penggunaan dan
ketergantungan akan kacang kedelai impor serta meningkatkan ketahanan pangan
Indonesia. Kacang-kacangan lokal Indonesia yang dimanfaatkan dalam penelitian ini
antara lain kacang tunggak, kacang kedelai Indonesia, kacang tanah dan kacang hijau.
Proses fermentasi fasa padat dibantu dengan menggunakan kapang Rhizopus
oligosporus. Proses pembuatan tempe secara keseluruhan dilakukan dalam skala
rumahan dengan 16 kombinasi bahan baku kacang dalam perbandingan berat, termasuk
didalamnya tempe berbahan dasar kacang kedelai impor sebagai variabel kontrol.
Analisis setiap kombinasi akan dilakukan melalui uji sensori, organoleptik dan
pengukuran kadar nutrisi. Analisis nutrisi pada setiap formulasi adalah melalui uji kadar
protein, lemak, air dan abu. Hasil analisis menunjukkan bahwa tempe variasi 8,6 dan 5
paling berpotensi untuk menggantikan tempe kacang kedelai

Kata kunci: Fermentasi, Kacang Lokal Indonesia, Tempe, Vegan.

iv PG.C2.2021.12
PG4092 FOOD ENGINEERING RESEARCH I

The Development of High Protein Vegan Food Products from Solid


Phase Fermentation
Group PG.C2.2021.12
Farakhan Fauzi Pranata (14318020) and Clarissa Kurniawan (14318040)
Advisor
Dr. Made Ari Penia Kresnowati

ABSTRACT

This research aimed to formulate high-protein vegan food products based on local
Indonesian beans to produce tempeh and other processed products, in order to reduce
the use and dependence on imported soybeans and improve Indonesia's food security.
Local Indonesian legumes utilized in this research include cowpeas, Indonesian
soybeans, peanuts, and mung beans. The solid phase fermentation process was assisted
by using the Rhizopus oligosporus mold. The overall process of making tempeh was
carried out on a home scale with 16 combinations of bean raw materials in weight
ratio, including imported soybean-based tempeh as a control variable. Analysis of each
combination will be carried out through sensory tests, organoleptic, and measurement
of nutrient content. Nutritional analysis of each formulation is through the test of
protein, fat, wate,r and ash content. The results of the analysis showed that tempeh
variations 8,, 6 and 5 have the most potential to replace soybean tempeh.

Keywords: Bradford, Fermentation, Indonesian Local Beans, Tempeh, Vegan.

PG.C2.2021.12 v
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmatNya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian yang berjudul
”Pengembangan Produk Pangan Vegan Tinggi Protein Melalui Proses Fermentasi Fasa
Padat” dengan baik. Proposal penelitian ini ditulis untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pelaksanaan mata kuliah Penelitian Teknik Pangan 1 Program Studi
Teknik Pangan Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan ini, penulis hendak
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bimbingan,
nasihat, saran serta dukungan moral maupun material sehingga proposal penelitian ini
dapat ditulis dengan baik. Ucapan terimakasih ini ditujukan kepada:
1. Ibu Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati selaku dosen yang telah
mendidik dan membimbing penulis selama penulisan proposal
penelitian.
2. Bapak Ronny Purwadi dan Ibu Dian Shofinita yang telah
memberikan pengajaran dalam mata kuliah Penelitian Teknik Pangan
2 Program Studi Teknik Pangan Institut Teknologi Bandung.
3. Segenap keluarga penulis yang telah memberikan dukungan doa dan
semangat selama penulisan proposal.
4. Teman-teman satu bimbingan penelitian dengan Ibu Dr. Made Tri
Ari Penia Kresnowati yang telah saling membantu dan berjuang
bersama- sama dalam penulisan proposal.

Kedua penulis menyadari bahwa terdapat kekurangan dalam proposal penelitian


ini. Oleh karena itu, penulis secara terbuka menerima saran dan masukan yang
membangun demi penelitian yang lebih baik. Demikian proposal penelitian ini kami
tulis, semoga dapat menjadi manfaat bagi kita semua.

Bandung, 30 Juli 2022

Farakhan Fauzi Pranata dan Clarissa Kurniawan

vi PG.C2.2021.12
DAFTAR ISI

Halaman
Lembar Pengesahan i
Surat Pernyataan ii
Abstrak iii
Abstract iv
Kata Pengantar v
Daftar Isi vi
Daftar Tabel ix
Daftar Gambar x
I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 3
1.4 Ruang Lingkup 3
II Tinjauan Pustaka 4
2.1 Tempe dan Perkembangan Teknologinya di Indonesia 4
2.1.1 Tempe 4
2.1.2 Perkembangan Teknologi Pembuatan Tempe di Indonesia 6
2.2 Pangan Vegan Tinggi Protein 7
2.2.1 Produk Pangan Vegan 7
2.2.2 Potensi Kacang-kacangan Pengganti Kedelai Impor Sebagai Bahan
Baku Tempe 8
2.2.2.1 Kacang Kedelai Indonesia 8
2.2.2.2 Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) 10
2.2.2.3 Kacang Tanah 13
2.2.2.4 Kacang Hijau 14
2.3 Produksi Tempe Melalui Fermentasi Fasa Padat 17
2.3.1 Deskripsi Umum Fermentasi Fasa Padat 17
2.3.2 Fermentasi Fasa Padat dalam Produksi Tempe 17

PG.C2.2021.12 vii
2.3.3 Kapang Rhizopus 18
2.4 Kualitas Tempe yang Baik 19
2.4.1 Sifat Organoleptik Tempe 19
2.4.2 Syarat Mutu Tempe 20
2.5 Potensi Produk Turunan Tempe Tinggi Protein 21
2.5.1 Tepung kacang dan Tepung Tempe 22
2.5.2 Nugget Tempe 23
2.5.3 Patty Tempe 24
2.6 Pengujian Kadar Protein pada Tempe 24
2.6.1 Analisis Protein Langsung melalui Analisis Asam Amino 24
2.6.2 Analisis Protein Tidak Langsung 25
2.6.3 Deskripsi Statistik 26
III Metodologi Penelitian 27
3.1 Tahapan Penelitian 27
3.2 Alat dan Bahan 29
3.3 Prosedur Kerja 29
3.4 Variasi Percobaan 34
3.5 Jadwal Kerja 35
IV Analisis dan Pembahasan 36
4.1 Analisis Kadar Protein
4.2 Analisis Kadar Air
4.3 Analisis Kadar Abu
4.4 Analisis Kadar Lemak
4.5 Analisis Massa Tempe Jadi
4.6 Analisis Perbedaan Warna
4.7 Analisis TPA
4.8 Analisis Organoleptik
4.9 Analisis Keseluruhan Parameter
V Kesimpulan dan Saran
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
VI Daftar Pustaka 41

viii PG.C2.2021.12
Lampiran A Material Safety Data Sheet (MSDS)
Lampiran B Job Safety Analysis (JSA) 49
Lampiran C Working Instruction (WI) 50
Lampiran D Data Mentah

PG.C2.2021.12 ix
DAFTAR
TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram kedelai dan tempe 5
Tabel 2.2 Kacang-kacangan Lokal yang tumbuh di Indonesia 8
Tabel 2.3 Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100 gram 10
Tabel 2.4 Komposisi kimia biji kacang tunggak per 100 gram 11
Tabel 2.5 Komposisi kimia dan nilai uji organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai 12
Tabel 2.6 Komposisi kimia kacang tanah 14
Tabel 2.7 Kandungan gizi kacang hijau 16
Tabel 2.8 Syarat mutu tempe 21
Tabel 3.1 Alat dan bahan percobaan 29
Tabel 3.2 Variasi formulasi tempe 34
Tabel 3.3 Jadwal kerja 35

viii PG.C2.2021.12
PG.C2.2021.12 xi
DAFTAR
GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Tempe 4
Gambar 2.2 Proses Pembuatan Tempe Tradisional 6
Gambar 2.3 Kacang Kedelai 9
Gambar 2.4 Kacang Tunggak 11
Gambar 2.5 Kacang Tanah 13
Gambar 2.6 Kacang Hijau 15
Gambar 2.7 R. oligosporus pada Tempe 18
Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian 28
Gambar 3.3 Diagram alir pengukuran tekstur tempe 31
Gambar 3.4 Diagram alir uji Bradford 32
Gambar 3.5 Diagram alir pembuatan nugget tempe 33

x PG.C2.2021.12
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Salah satu zat gizi yang harus dikonsumsi oleh setiap orang adalah protein.
Dalam Ilmu Gizi, protein adalah zat pembangun sel-sel tubuh, jadi protein memiliki
fungsi yang sangat penting bagi pertumbuhan manusia. Standar anjuran rata-rata
konsumsi protein berdasarkan hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke
X tahun 2012 dan sampai saat ini hasil tersebut masih menjadi rujukan sebesar 57
Gram/Kapita/hari, sedangkan tingkat ketersediaan sebesar 63 Gram/kapita/hari.
Berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas), rata-rata konsumsi
protein penduduk Indonesia tahun 2015 sudah melebihi anjuran (58,6 gram). Demikian
pula ketersediaan protein yang dirilis oleh Badan Ketahanan Pangan, Kementerian
Pertanian pada tahun 2014 sudah mencapai 87,04 gram/kapita/hari. Diperkirakan terus
meningkat seiring dengan upaya pemerintah memacu produksi pangan (Litbang, 2017).
Di Indonesia kedelai merupakan protein nabati yang juga komoditas pangan
yang strategis sehingga upaya untuk berswasembada tidak hanya bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustri dan
menghemat devisa serta mengurangi ketergantungan terhadap impor (Supadi, 2009).
Tingkat swasembada kedelai sampai saat ini belum tercapai karena jumlah kebutuhan
masih relatif lebih besar dibandingkan dengan jumlah produksi. Kualitas kedelai lokal
juga punya kelemahan untuk bahan baku tempe yaitu ukuran kecil atau tidak seragam
dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses
peragiannya pun lebih lama dan umur tanaman yang lebih singkat yaitu 2,5-3 bulan
dibandingkan kedelai impor yang mencapai 5-6 bulan.Hingga saat ini, Indonesia
merupakan negara pengimpor kedelai. Hal ini menyebabkan harga kedelai bersifat
sangat fluktuatif dan mempengaruhi banyak kehidupan para pengrajin kedelai. Hingga
2021, harga kedelai impor kian menaik menyebabkan aksi mogok operasi oleh para
pengrajin tempe di daerah Jabodetabek akibat harga kedelai yang per Januari 2021
mencapai Rp 10.000,- dari sebelumnya berkisar pada Rp 7.000,- (Kompas, 2021).
Faktanya, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil tempe terbesar di

PG.C2.2021.12 1
dunia. Hingga 2017, diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pengrajin tempe di
Indonesia. Konsumsi tempe di Indonesia juga sangat tinggi, mencapai 7 kg per kapita
per tahunnya. (Soim, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017,
konsumsi rata-rata tempe per kapita setiap harinya adalah 0,138 kg (Hizni, dkk., 2017).
Berdasarkan sejarah perkembangan tempe di Indonesia hingga saat ini, maka
terdapat urgensi untuk mensubstitusi kedelai menggunakan kacang lokal potensial
sebagai bahan baku tempe, Untuk mengatasi kekurangan bahan dasar pembuatan tahu
dan tempe perlu dicari alternatif pemanfaatan kacang-kacangan selain kedelai. Ada
beberapa jenis kacang-kacangan yang potensial untuk produksi tahu dan tempe yaitu
kacang tunggak (Vigna unguiculata), kacang gude (Cajanus cajan), dan kacang babi
(Vacia faba) (Litbang, 2008) agar Indonesia tidak lagi bergantung pada impor kedelai
dan meningkatkan kesejahteraan para pengrajin tempe nusantara.

1.2 Rumusan Masalah


Tempe merupakan salah satu makanan pokok masyarakat Indonesia yang
memiliki kandungan protein yang sangat tinggi sehingga sangat digemari. Kandungan
protein yang tinggi pada tempe menjadikan tempe makanan yang sangat potensial untuk
menjadi produk vegan. Terlebih, proses pembuatan tempe terbilang cukup mudah dan
menghasilkan nutrisi yang lebih tinggi dari kacang kedelai melalui proses fermentasi
fasa padat. Namun, sayangnya, sebagian besar tempe di Indonesia yang berbahan baku
kacang kedelai, masih diperoleh Indonesia dengan cara mengimpor. Hal ini dikarenakan
kualitas kedelai impor yang dinilai lebih baik karena menghasilkan kedelai denganf
ukuran yang lebih besar. Komoditas tempe Indonesia yang masih bergantung pada
impor menyebabkan harga tempe menjadi sangat fluktuatif dan sering merugikan
pengusaha tempe Indonesia.
Di sisi lain, Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan berbagai jenis
kacang-kacangan yang sangat berpotensi menjadi bahan baku pembuatan tempe.
Berbagai jenis kacang potensial yang memiliki kandungan nutrisi tinggi dan bersumber
dari Indonesia diantaranya adalah kacang tunggak, kacang tanah, serta kacang hijau.
Selain itu, Indonesia juga menghasilkan kacang jenis kedelai yang tentunya tetap dapat
dimanfaatkan. Berbagai penelitian telah berusaha untuk menghasilkan tempe berbahan

2 PG.C2.2021.12
dasar kacang-kacang tersebut dalam menghasilkan tempe. Namun, belum ada penelitian
yang berhasil menghasilkan inovasi tempe dengan kadar nutrisi yang sama dengan
tempe berbahan dasar 100% kacang kedelai impor. Selain itu, belum ada penelitian
yang mencoba untuk menghasilkan tempe dengan variasi antara kacang tunggak,
kacang kedelai Indonesia, kacang tanah serta kacang hijau secara bersamaan. Oleh
karena itu, dalam penelitian ini akan dianalisis mengenai potensi pemanfaatan kacang-
kacangan lokal sebagai alternatif pemenuhan asupan protein masyarakat dengan cara
mencari komposisi terbaik dari berbagai jenis kacang-kacangan untuk menghasilkan
produk tempe yang memiliki kadar nutrisi yang sama dengan tempe berbahan dasar
100% kedelai impor sebagai alternatif substitusi tempe yang tidak bergantung kepada
impor kedelai, terlebih menghasilkan tempe khas Indonesia yang dapat diekspor ke
mancanegara.

1.3 Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengevaluasi potensi produk tempe
berbahan dasar kacang-kacangan lokal. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah
merancang produk pangan turunan tempe berbahan dasar kacang-kacangan lokal
sebagai substitusi tempe yang tidak bergantung kepada impor kedelai.

1.4 Ruang Lingkup


Pada penelitian ini, bahan baku yang digunakan untuk pembuatan tempe melalui
fermentasi fasa padat adalah kacang tunggak, kacang hijau, kacang tanah serta kacang
kedelai yang berasal dari Indonesia. Proses fermentasi dibantu dengan menggunakan
kapang Rhizopus oligosporus dan Rhizopus orizae. Proses fermentasi fasa padat dan
pembuatan tempe secara keseluruhan dilakukan dalam skala rumahan.
Penentuan formulasi perbandingan kacang-kacangan terbaik sebagai bahan baku
tempe dilakukan dengan memvariasikan jenis kacang dan persentase penggunaan bahan
baku kacang jenis tertentu. Analisis nutrisi pada setiap variasi formulasi tempe yang
dihasilkan akan didasarkan pada kadar protein.

PG.C2.2021.12 3
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Tempe dan Perkembangan Teknologinya di Indonesia
2.1.1 Tempe
Tempe (Ejaan Bahasa Indonesia) atau yang disebut juga dengan tempeh
merupakan nama kolektif untuk produk pangan fermentasi biji, sereal ataupun produk
samping pengolahan makanan lainnya oleh fungi yangtelah dimasak dan bisa diiris.
Tempe merupakan salah satu makanan sehari-hari masyarakat Indonesia yang kaya
protein dan terbentuk oleh ikatan miselium jamur hidup yang sebagian besar merupakan
Rhizopus sp. (Nout dan Kiers, 2003). Bentuk fisik tempe terlampir pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tempe


(Wikipedia)
Bahan baku utama pembuatan tempe pada umumnya adalah kedelai. Kedelai
merupakan salah satu jenis biji-bijian yang memiliki kandungan protein lebih tinggi
dibanding lainnya. Hal ini menyebabkan tempe memiliki kadar protein yang tinggi (40-
50% basis kering). Kandungan zat gizi dalam 100 gram kedelai dan tempe terlampir
pada Tabel 2.1.

4 PG.C2.2021.12
Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi dalam 100 gram kedelai dan tempe (Depkes RI
Dir. Bin Gizi Masyarakat dan Puslitbang Gizi, 1991)
Zat Gizi Komposisi Zat Gizi 100 gram
Kedelai Tempe
Energi 381 kal 201 kal
Protein 40,4 g 20,8 g
Lemak 16,7 g 8,8 g
Hidrat Arang 24,9 g 13,5 g
Serat 3,2 g 1,4 g
Abu 5,5 g 1,6 g
Kalsium 222 mg 155 mg
Fosfor 682 mg 326 mg
Besi 10 mg 4 mg
Karotin 31 mkg 34 mkg
Vitamin A 0 SI 0 SI
Vitamin B 0,52 mg 0,19 mg
Vitamin C 0 mg 0 mg
Air 12,7 g 55,3 g

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi tempe adalah umur simpannya
yang relatif pendek. Hal ini diakibatkan oleh kadar air yang cukup tinggi pada tempe
serta berkembangbiaknya kapang pada tempe. Kedua faktor ini menyebabkan degradasi
protein pada tempe serta membentuk ammonia yang berbau busuk pada tempe, selain
itu umur tempe juga ditentukan oleh kebersihan biji kacang dan higienitas proses
produksi (Astawan, 2008).
Pemanfaatan tempe di masyarakat sebagian besar masih dijadikan lauk sehingga
untuk meningkatkan nilai manfaat pangan dan ekonomi, perlu dikembangkan produk
olahan tempe (Hizni, dkk., 2017). Tempe sendiri merupakan makanan bergizi tinggi,
mudah dicerna tubuh serta memiliki rasa yang lezat sehingga memenuhi permintaan
yang meningkat dari konsumen sebagai produk substitusi daging yang berkualitas.

PG.C2.2021.12 5
2.1.2 Perkembangan Teknologi Pembuatan Tempe di Indonesia
Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil tempe terbesar di dunia.
Hingga 2017, diperkirakan terdapat lebih dari 100.000 pengrajin tempe di Indonesia.
Konsumsi tempe di Indonesia juga sangat tinggi, mencapai 7 kg per kapita per
tahunnya. (Soim, 2017). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2017,
konsumsi rata-rata tempe per kapita setiap harinya adalah 0,138 kg (Hizni, dkk., 2017).
Pada sebagian besar pabrik tempe skala kecil di Indonesia, tempe diolah dengan
melakukan pengupasan biji kedelai dalam proses basah. Keuntungan dari proses ini
adalah tidak diperlukan peralatan kompleks dan biji tidak mendapatkan kerusakan
mekanikal yang signifikan. Proses pembuatan tempe terlampir dalam Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Proses Pembuatan Tempe Tradisional

6 PG.C2.2021.12
(Nout dan Kiers, 2003)

PG.C2.2021.12 7
Beberapa inovasi telah diciptakan dalam produksi tempe. Salah satu teknologi
yang telah dilakukan dalam pengolahannya adalah wet bean dehulling yang dilakukan
secara mekanik menggunakan impactor disk dan motor. Kulit pisang sebagai
pembungkus tempe juga sudah disubstitusi dengan menggunakan lembar berbahan
polythene sejak tahun 1960. Hal ini bertujuan untuk menciptakan lingkungan fermentasi
tempe yang berlangsung secara anaerob. Ragi yang digunakan berbasis tepung dan
penggunaan kedelai berganti haluan dari kedelai impor menjadi kedelai lokal. Tempe
juga tidak lagi dikupas secara manual, melainkan menggunakan mesin pengupas tempe
dan dandang untuk perebusan.
Dalam rangka memfasilitasi industrialisasi di Indonesia, pemerintah
menempatkan sebuah pabrik modern skala pilot untuk industri tempe yang berlokasi di
Cibitung, Jawa Barat. (Suharto, dkk., 1997). Selain itu pada 6 Juni 2012 atas hasil ide
bersama Kopti Bogor, Mercycorps dan FTI (Forum Tempe Indonesia), didirikan Rumah
Tempe Indonesia (RTI) yang merupakan unit usaha yang berlokasi di Bogor yang
bertujuan sebagai role model bagi pengrajin tempe untuk melakukan perubahan
produksi yang higienis dan ramah lingkungan.

2.2 Pangan Vegan Tinggi Protein


2.2.1 Produk Pangan Vegan
Produk pangan vegan adalah segala produk makanan yang tidak bersumber dari
bahan hewani termasuk diantaranya adalah telur, daging, susu, keju, dan madu. Produk
pangan vegan dikonsumsi oleh seseorang dengan sebutan vegan. Seorang vegan
mendapat nutrisi hanya dari bahan-bahan nabati seperti buah dan sayuran, kacang-
kacangan, dan beras. Produk pangan vegan harus memiliki kandungan nutrisi khususnya
protein yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan gizi seorang vegan. Menurut riset yang
dilakukan oleh Kieran Forde, terdapat kenaikan pencarian ‘vegan’ pada sebesar empat
kali lipat dari tahun 2012-2017, artinya pasar produk pangan vegan berpotensi untuk
menjadi populer dan laku secara komersial.

8 PG.C2.2021.12
2.2.2 Potensi Kacang-kacangan Pengganti Kedelai Impor Sebagai Bahan Baku
Tempe
Indonesia merupakan negara agraris yang kaya akan sumber daya alamnya,
terutama dalam bidang pertanian dan perkebunan. Hal ini menjadikan Indonesia negara
yang juga banyak ditumbuhi berbagai jenis kacang-kacangan. Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian (BB Pascapanen) telah melakukan penelitian untuk mencari
kemungkinan mengganti bahan dasar tahu dan tempe dengan jenis kacang-kacangan
lain selain kacang kedelai impor. Hal ini menyatakan potensi yang sangat besar dari
berbagai jenis kacang-kacangan Indonesia. Berbagai kacang-kacangan lokal yang
tumbuh di Indonesia beserta data produktivitasnya terlampir pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Kacang-kacangan Lokal yang tumbuh di Indonesia
(Haliza, dkk., 2016)

Nama Produktivitas
Referensi
Lokal Inggris Latin (ton/ha)
Kasim dan
Vigna
Kacang tunggak Cowpea 0,9-2,0 Djunainah
unguiculata
(1993)
Trustinah dan
Kacang komak Lablab bean Dolichos lablab 1,0-1,5
Kasno (2002)
Suharsono dan
Phaseolus
Kacang jogo String bean 2,0-3,0 Rahmianna
vulgaris L
(2002)
Marwoto dan
Bambarra Vigna
Kacang bogor 3,0-5,0 Suhartin
groundnu subterranea L
a (2002)
t
Kacang Adisarwanto
Faba bean Vicia faba 0,7-1,5
babi/faba (2002)
Radjit dan
Kacang gude Pigeon pea Cajanus cajan 0,7-2 Riwanodja
(2002)

2.2.2.1 Kacang Kedelai Indonesia


Kacang kedelai (Glycine Max (L.) Merr) merupakan salah satu komoditas
tanaman palawija penting di Indonesia sebagai sumber pangan yang bergizi. Kacang
PG.C2.2021.12 9
kedelai termasuk tanaman semusim yang banyak dibudidayakan di Indonesia.
Karakteristik tanaman kacang kedelai antaralain berupa semak rendah, tumbuh tegak
dengan tinggi 40-90cm, bercabang memiliki daun tunggal dan daun trifoliate, bulu pada
daun dan polong tidak terlalu padat dengan umur tanaman antara 72-90 hari (Adie dan
Krisnawati, 2007). Bentuk fisik kacang kedelai terlampir pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Kacang Kedelai


(Wikipedia)

Menurut Irwan (2006) biji kedelai dibagi menjadi dua bagian utama, yaitu kulit
biji dan janin (embrio). Pada kulit biji terdapat bagian yang disebut 8 pusar (hilum)
yang berwarna coklat, hitam atau putih. Biji kedelai tidak mengalami masa dormansi
sehingga setelah proses pembijian selesai, biji kedelai dapat langsung ditanam dan
mempunyai kadar air yang berkisar 12-13% (Irwan, 2006). Kacang kedelai memiliki
kandungan protein yang sangat tinggi. Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100
gram terlampir pada Tabel 2.3.

1 PG.C2.2021.12
0
Tabel 2.3 Komposisi kimia biji kacang kedelai per 100 gram (Suprapto, 2001)

Komposisi Kadar
Kalori 331 kalori
Protein 34,9 gram
Lemak 18,1 gram
Hidrat arang 34,8 gram
Kalsium 227 mg
Fosfor 585 mg
Zat Besi 8 mg
Vitamin A 110 SI
Vitamin B1 1,07 mg
Air 7,5 gram
2.2.2.2 Kacang Tunggak (Vigna unguiculata)
Kacang tunggak (Vigna unguiculata) merupakan salah satu kacang asal
Indonesia yang sangat berpotensi meggantikan tempe. Hal ini dikarenakan kandungan
protein kacang tunggak merupakan kedua tertinggi setelah kacang kedelai (sekitar
22,9%). Kacang ini juga mengandung lisin yang tinggi sebagai penyempurna protein.
Selain itu, asam amino penting lainnya dari protein kacang tunggak selain lisin adalah
asam aspartat dan glutamate (Chavan, dkk., 1989).
Kacang tunggak merupakan kacang yang sangat baik dan dapat dibudidayakan
hampir dimanapun. Kacang ini tumbuh secara liar di kebun warga serta memiliki sifat
toleran terhadap serangan, hama dan relatif sedikit penyakit sehingga mudah untuk
dibudidayakan bahkan pada tanah yang berbatu-batu maupun rendah unsur hara. (
Polnaya, 2008). Sejauh ini, pemanfaatan kacang tunggak hanya sebagai sayuran
tambahan. Penampakan fisik kacang tunggak terlampir pada Gambar 2.4.

10 PG.C2.2021.12
Gambar 2.4 Kacang Tunggak
(Healthline.com)

Dibandingkan dengan kacang kedelai pada umumnya, kacang tunggak memiliki


kadar lemak yang lebih rendah. Komposisi kimia biji kacang tunggak per 100 gram
terlampir pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Komposisi kimia biji kacang tunggak per 100 gram
(Winarto dan Kasno, 1998)

Komposisi Kadar
Kalor (kal) 339,1
Kadar air (g) 10
Kadar abu (g) 3,7
Protein (g) 22
Lemak (g) 1,4
Karbohidrat (g) 9,1
Serat (g) 3,7
Kalsium (mg) 77
Besi (mg) 449
Vitamin A (SI) 30
Vitamin B (mg) 0,92
Vitamin C (mg) 2

PG.C2.2021.12 11
Richana dan Damardjati (1999) dalam penelitiannya pernah menghasilkan
produk tempe berbahan dasar kacang tunggak-kedelai. Komposisi kimia dan nilai uji
organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai penelitian tersebut terlampir pada Tabel
2.5.

Tabel 2.5 Komposisi kimia dan nilai uji organoleptik tempe kacang tunggak-kedelai

(Richana dan Damardjati, 1999)

Proporsi kacang tunggak dan kedelai (w/w)


Komponen
100:0 75:25 50:50 25:75 0:100
Air (%) 64,42 62,63 61,36 59,87 56,46
Abu (%) 2,08 2,33 2,54 2,76 2,87
Protein (%) 20,52 27,08 32,53 36,03 38,08
Warna (Skor) 2 1,86 2,28 2,23 2,28
Kekompakan (skor) 2,28 2,43 2,43 2,57 2,57
Rasa (Skor) 2,43 2,71 2,1 2,57 2
Keterangan:
Kriteria warna dan rasa Kriteria kekompakan
1 = sangat suka 1 = sangat kompak
2 = suka 2 = kompak
3 = agak suka 3 = agak kompak
4 = tidak suka 4 = tidak kompak

12 PG.C2.2021.12
1. Kacang Tanah
Kacang tanah merupakan tanaman palawija dan termasuk salah satu jenis kacang
yang paling banyak di Indonesia. Sebagai tanaman pangan, kacang tanah berada pada
urutan ketiga setelah padi dan kedelai. Dalam komoditas kacang-kacangan, kacang
tanah berada pada urutan kedua setelah kedelai (Kasno dan Harnowo, 2015). Bentuk
fisik kacang tanah terlampir pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Kacang Tanah


(Wikipedia)

Menurut data dari Balitbangtan (2014), 10,6% dari kacang tanah produksi
Indonesia terbuang sebagai food loss maupun food waste. Padahal kacang tanah
memiliki kandungan lemak dan energi yang cukup tinggi bagi manusia. Komposisi
kimia kacang tanah terlampir pada Tabel 2.6.

PG.C2.2021.12 13
Tabel 2.6 Komposisi kimia kacang tanah
(ilmupengetahuanumum.com, 2021)

Jenis nutrisi Kandungan AKG (%)


Kalori (Energi) 570 kcal 29%
Karbohidrat 21 g 12%
Air 4,26 g -
Protein 25 g 46%
Gula 0g 0%
Serat 9g 22%
Lemak 48 g 165%
Vitamin A 0g 0%
Vitamin C 0g 0%
Vitamin D 0g 0%
Vitamin E 6,6 mg 44%
Vitamin K 1,9 µg 1,50%
Vitamin B1
0,6 mg 52%
(Thiamine)
Vitamin B2
0,3 mg 25%
(Riboflavin)
Vitamin B3 (Niacin) 12,9 mg 86%
Vitamin B6 0,3 mg 23%
Vitamin B9 (Folat) 246 µg 62%
Kalsium 62 mg 6%
Zat besi 2 mg 15%
Magnesium 184 mg 52%
Fosfor 336 mg 48%
Kalium 332 mg 7%
Natrium 18 mg 1%
Seng 3,3 mg 35%

2. Kacang Hijau
Kacang hijau (Vigna Radiata) merupakan salah satu jenis kacang-kacangan yang
tumbuh dengan baik di Indonesia. Kacang hijau adalah tanaman pangan semusim yang
berumur pendek (60 hari) berupa semak yang tumbuh tegak (Purwono dan Hartanto,

14 PG.C2.2021.12
2012) sehingga proses regenerasi cepat berlangsung dan tersedia melimpah di
Indonesia. Tinggi tanaman kacang hijau berkisar 25-130 cm. Tanaman ini disebut juga
mungbean, green gram atau golden gram (Prahartama, 2017). Bentuk fisik kacang hijau
terlampir pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Kacang Hijau


(Wikipedia)

Buah kacang hijau berbentuk polong dengan panjang sekitar 5-16 cm dengan
setiap polongnya berisi 10-15 biji kacang hijau. Biji kacang hijau berbentuk bulat dan
lebih kecil dibandingkan dengan biji kacangtanah maupun kacang kedelai dengan bobot
sekitar 0,5-0,8 mg dan berwarna kuning atau hijau serta coklat atau kehitaman, memiliki
kilap yang kusam yang sering diasosiasikan sebagai sisa-sisa dinding polong, memiliki
bakal tunas pipih dan putih (Prahartama, 2017). Kandungan gizi kacang hijau per 100
gram terlampir pada Tabel 2.7.

PG.C2.2021.12 15
Tabel 2.7 Kandungan gizi kacang hijau
(ilmupengetahuanumum.com, 2021)

AKG
Jenis nutrisi Kandungan
(%)
Kalori (Energi) 347 kcal -
Karbohidrat 62,62 g -
Air 9,05 g -
Protein 23, 86 g -
Gula 6,6 g -
Serat 16,3 g -
Lemak 1,15 g -
Vitamin A 114 IU 4%
Vitamin C 4,8 mg 6%
Vitamin D 0 µg -
Vitamin E 0,51 mg 3%
Vitamin K 9µg 9%
Vitamin B1
0,621 mg 54%
(Thiamine)
Vitamin B2
0,233 mg 19%
(Riboflavin)
Vitamin B3 (Niacin) 2,251 mg 15%
Vitamin B6 1,91 mg 38%
Vitamin B9 (Folat) 625 µg 156%
Kalsium 132 mg 13%
Zat besi 6,74 mg 52%
Magnesium 189 mg 53%
Fosfor 367 mg 52%
Kalium 1,246 mg 27%
Natrium 15 mg 1%
Seng 2,68 mg 28%

16 PG.C2.2021.12
b. Produksi Tempe Melalui Fermentasi Fasa Padat
i. Deskripsi Umum Fermentasi Fasa Padat
Fermentasi fasa padat biasa disebut juga sebagai fermentasi media padat.
Fermentasi ini merupakan jenis aktivitas bioproses yang berlangsung dalam material
ataupun substrat yang tidak larut, namun mengandung air yang cukup untuk proses
perkembangbiakan kultur. Prinsip dasar dari fermentasi fasa padat adalah pertumbuhan
mikroba pada substrat padat basah dengan kadar air rendah atau berada di dalam pori
tanpa adanya pergerakan air (Archana dan Satyanarayana, 1997; Prabhakar, dkk., 2005)
dengan kadar air yang cukup bagi substrat untuk mendukung pertumbuhan dan
metabolisme mikroba yang berperan dalam proses fermentasi (Singhania, dkk., 2008).

ii. Fermentasi Fasa Padat dalam Produksi Tempe


Pembuatan tempe dilakukan melalui proses fermentasi fasa padat. Fermentasi
pada pembuatan tempe dilakukan dengan bantuan aktivitas sporangiospora fungal yang
umumnya berasal dari genus R. microsporus dengan varietas microsporus, oligosporus,
rhizopodifermis dan chinensis (Nout dan Rombout, 1990). Proses fermentasi pada
tempe ditujukan untuk menghilangkan bau langu pada kacang kedelai yang
disebabkan oleh aktivitas dari enzim lipoksigenase. Fermentasi kedelai menjadi tempe
akan meningkatkan kandungan fosfor. Hal ini disebabkan oleh hasil kerja enzim
fitase yang dihasilkan kapang Rhizopus oligosporus yang mampu menghidrolisis asam
fitat menjadi inositol dan fosfat yang bebas. Jenis kapang yang terlibat dalam fermentasi
tempe tidak memproduksi toksin, bahkan mampu melindungi tempe dari aflatoksin.
Tempe mengandung senyawa antibakteri yang diproduksi oleh kapang tempe selama
proses fermentasi (Cahyadi, 2007). Proses produksi dan komposisi mikrobial dari
tempe ditentukan oleh faktor ekologikal seperti asidifikasi oleh bakteri asam laktat
pada saat proses perendaman, efek lethal pada saat proses pemasakan, kontaminasi
akibat perlakuan pada saat pendinginan, komposisi dan vitalitas inokulum, perpindahan
massa dan panas pada saat fermentasi, kondisi inkubasi, dan kondisi pada saat produk
disimpan (temperatur, pH, kelembapan). Tempe dibuat dengan cara fermentasi, yaitu
dengan menumbuhkan kapang pada kacang matang yang telah dibersihkan kulitnya.
Proses inkubasi dalam fermentasi dilakukan pada suhu 25o-37oC selama 36 hingga
48 jam dengan kelembaban relatif
PG.C2.2021.12 17
terbaik pada 70-80 % (Hui, 2004). Proses fermentasi terjadi selama periode inkubasi
dan menyebabkan perubahan komponen-komponen dalam biji kacang yang digunakan.
Persyaratan tempat yang dipergunakan untuk inkubasi kedelai adalah kelembaban,
kebutuhan oksigen dan suhu yang sesuai dengan pertumbuhan jamur (Hidayat, dkk.,
2006).
Proses fermentasi dianjurkan pada kondisi suhu yang lebih tinggi, sekitar 31-
37ºC oleh karena kadar vitamin B12 akan lebih tinggi pada suhu tersebut dibandingkan
pada suhu yang lebih rendah (25ºC). Kontrol suhu yang baik diperlukan apabila
fermentasi dilakukan pada temperatur sedang dan tinggi, karena pada temperatur
tersebut masa hidup kapang lebih pendek (Hui, 2004). Tempe mengalami peningkatan
pH seiring dengan bertambahnya waktu fermentasi. Hal ini dikarenakan, terbentuknya
senyawa amonia yang memberikan sifat basa. Hasil dari fermentasi selama 2 X 24 jam
ditandai dengan tertutupinya permukaan kedelai oleh hifa atau miselium kapang
(Kurniawan, 2012).

iii. Kapang Rhizopus


Rhizopus merupakan kapang yang digunakan dalam proses fermentasi
pembentukkan tempe. Kapang ini banyak terdapat di alam dan mampu memproduksi
enzim lipaseuntuk merombak lemak media (Aunstrop, 1979). Kapang ini mampu
memproduksi asam lemak omega-3 rantai panjang, khususnya asam lemak linoleat
(Yuniati dan Affandi, 2012).
R. oligosporus dapat tumbuh optimum pada suhu 30-35oC dan memiliki ciri-ciri
hifa yang berbentuk benang putih hingga kelabu hitam tanpa bersekat, dilengkapi
dengan rhizoid dan sporangiospora (Susilowati dan Shanti, 2001). Bentuk fisik R.
oligosporus pada tempe terlampir pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 R. oligosporus pada Tempe


(Fineartamerica.com)
18 PG.C2.2021.12
c. Kualitas Tempe yang Baik
Uji organoleptik merupakan uji yang dilakukan dalam rangka menyesuaikan
sifat organoleptik untuk menguji kelayakan tempe. Dalam melakukan uji organoleptik,
perlu diperhatikan beberapa sifat organoleptik pada tempe.
i. Sifat Organoleptik Tempe
a. Warna
Warna merupakan tampilan dari tempe dan dapat diamati dengan indera
penglihatan. Warna dapat digunakan sebagai salah satu indikator penentuan
mutu dan juga indikator kematangan (Winarno, 1997).
b. Aroma
Dalam pengujian indrawi, bau lebih kompleks dari pada rasa. Bau atau
aroma akan mempercepat timbulnya rangsangan kelenjar air liur. Aroma adalah
rangsangan yang dihasilkan oleh tempe yang diketahui dengan indera pembau.
Indera pembau adalah instrumen yang paling banyak berperan mengetahui
aroma terhadap makanan. Dalam industri makanan pengujian terhadap bau
tergolong sangat penting karena dengan cepat dapat memberikan hasil terhadap
penilaian kualitas suatu produk. (Kartika, 1998).
c. Rasa
Rasa adalah rangsangan yang dihasilkan oleh tempe setelah dimakan
yang dirasakan oleh indera pengecap. Instrumen yang paling berperan
mengetahui rasa suatu bahan pangan adalah indera pengecap atau lidah. Dalam
pengawasan mutu makanan, rasa termasuk komponen yang sangat penting untuk
menentukan penerimaan konsumen. Meskipun rasa dapat dijadikan standar
dalam penilaian mutu, disisi lain rasa adalah suatu elemen yang nilainya sangat
relatif dan subjektif (Winarno, 1997).
d. Tekstur
Tekstur adalah sifat kekompakan dari tempe yang dirasakan dengan
menggunakan indera peraba. Stabilitas emulsi merupakan faktor yang
menentukan mutu tempe yang dihasilkan. Emulsi tempe yang stabil akan
menghasilkan tekstur lunak atau kompak dan sifat irisan halus. Tekstur yang
kompak pada tempe akan membuat produk tersebut lebih enak.

PG.C2.2021.12 19
Berdasarkan sifat organoleptik pada tempe yang harus diperhatikan, terdapat
ciri- ciri kualitas tempe yang baik. Menurut Kasmidjo (1990), syarat mutu secara fisik
dari tempe yang baik adalah yang memiliki ciri sebagai berikut:
a. Warna putih diantara kacang
Warna putih pada tempe disebabkan adanya miselia kapang yang tumbuh
pada permukaan biji kedelai.
b. Tekstur tempe kompak
Kekompakan tekstur tempe disebabkan oleh miselia – miselia kapang yang
menghubungkan antara biji-biji kacang. Kompak atau tidaknya tekstur tempe dapat
diketahui dengan melihat tingkat kelebatan miselia yang tumbuh pada permukaan
tempe. Apabila miselia tampak lebat, hal ini menunjukkan bahwa tekstur tempe
telah membentuk massa yang kompak, begitu juga sebaliknya.
c. Memiliki aroma dan rasa khas tempe
Aroma dan rasa yang khas pada dapat timbul karena disebabkan terjadinya
degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses
fermentasi.

Astawan (2004) menyimpukan bahwa tempe dengan kualitas yang baik


mempunyai ciri-ciri berwarna putih bersih yang merata pada permukaannya, memiliki
struktur homogen yang kompak, serta berbau, berasa, dan beraroma khas tempe.

ii. Syarat Mutu Tempe


Tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu yang telah ditetapkan oleh
pemerintah. Badan Standardisasi Nasional (BSN) telah menerbitkan standar tempe,
yakni: SNI 3144:2009, Tempe Kedelai. SNI ini merupakan revisi dari SNI 01–3144–
1998, Tempe kedele. Berdasarkan hal tersebut, syarat mutu tempe terlampir pada Tabel
2.8.

20 PG.C2.2021.12
Tabel 2.8 Syarat mutu tempe
(Badan Standardisasi Nasional, 2012)
No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan
1.1 Bau - Normal, khas
1.2 Warna - Normal
1.3 Rasa - Normal
2. Kadar air (b/b) % Maks. 65
3. Kadar abu (b//b) % Maks. 1,6
4. Kadar lemak (b/b) % Min. 10
5. Kadar protein (N x 6,25) (b/b) % Min. 16
6. Kadar serat kasar (b/b) Maks. 2,5
7. Cemaran logam
7.1 Kadmium (Cd) Mg/kg Maks. 0,2
7.2 Timbal (Pb) Mg/kg Maks. 0,25
7.3 Timah (Sn) Mg/kg Maks. 40
7.4 Merkuri (Hg) Mg/kg Maks. 0,03
8. Cemaran arsen (As) Mg/kg Maks. 0,25
9. Cemaran mikroba
9.1 Bakteri coliform APM/g Maks. 10
9.2 Salmonella sp. - Negatif

2.5.1 Potensi Produk Turunan Tempe Tinggi Protein


Produk turunan kacang-kacangan memiliki kadar protein yang tinggi. Namun,
terdapat beberapa produk yang memiliki bentuk tidak beraturan sehingga kurang
menarik minat masyarakat untuk dikonsumsi, padahal dari segi nutrisi memiliki
kandungan protein yang tinggi. Produk seperti ini memiliki nilai jual yang menjadi jauh
lebih rendah oleh karena bentuk atau penampilan fisik yang kurang menarik sehingga
untuk meningkatkan nilai jual, produk seperti harus diolah lebih lanjut dan dapat
dijadikan produk pangan umum lainnya, seperti tepung tempe, patty tempe dan nugget
tempe.
PG.C2.2021.12 21
2.5.1 Tepung kacang dan Tepung Tempe
Tepung merupakan salah satu bahan pangan berbentuk butiran. Tepung
dihasilkan dengan cara penggilingan ataupun penepungan dari bahan pangan tertentu.
Oleh karena itu, tepung memiliki kadar air yang rendah, menyebabkan umur simpan
tepung menjadi lama karena mengurangi aktivitas air pada bahan pangan. Tepung
dibuat dengan kadar air sangat rendah sekitar 2-10% (Subagio, 2006). Tepung juga
dikategorikan sebagai salah satu bentuk alternatif produk setengah jadi yang dianjutkan
karena memiliki umur simpan yang lebih lama dari kebanyakan produk pangan, mudah
dicampur, dibentuk dan lebih cepat dimasak ataupun diolah. Cara yang paling umum
dilakukan untuk menurunkan kadar air adalah dengan pengeringan, baik dengan
penjemuran atau dengan alat pengering biasa (Nurani dan Yuwono, 2014).
Pengolahan bahan pangan menjadi tepung merupakan salah satu metode yang
dianjurkan untuk meningkatkan nilai ekonomi dari bahan pangan yang rendah. Pada
umumya, tepung sering diproduksi dari umbi dengan kandungan gizi tinggi. Oleh
karena itu, pemanfaatan kacang-kacangan yang memiliki nilai jual rendah akibat bentuk
yang kurang baik dan tidak sempurna untuk diolah menjadi tepung tempe merupakan
salah satu alternatif yang baik untuk meningkatkan nilai jual dari kacang-kacangan
tersebut. Selain menambah nilai jual, pengolahan kacang-kacangan tersebut menjadi
tepung akan meningkatkan umur simpan kacang. Tepung tempe kemudian dapat
dimanfaatkan dalam pengolahan berbagai macam produk pangan maupun camilan
bergizi tinggi.
Salah satu produk tepung kacang adalah tepung tempe. Tepung tempe dibuat
karena memiliki banyak manfaat yaitu sebagai bahan makanan tambahan yang dapat
meningkatkan nilai gizi suatu makanan, mudah disimpan, ataupun diolah menjadi
makanan cepat saji. Tepung tempe merupakan produk industri generasi kedua yang
sebenarnya sudah banyak dilakukan untuk substitusi tepung lainnya, yaitu substitusi
pada bubur bayi, minuman, bumbu masak instan, bahan pengikat pada baso sapi, biskuit
dll. Pembuatan tepung dapat dilakukan melalui beberapa proses yaitu pemotongan dan
pengukusan selama 10 menit, pengukusan ini dilakukan untuk menghilangkan rasa getir
yang dihasilkan tepung tempe, dilanjutkan dengan pengeringan matahari kemudian
pengeringan oven pada temperatur 60oC selama satu jam. Tempe yang sudah
dikeringkan kemudian dihaluskan dengan alat pengecil ukuran kemudian disaring

22 PG.C2.2021.12
dengan ayakan 60

PG.C2.2021.12 23
mesh sehingga didapatkan tepung tempe (Albertine, dkk., 2008).

2.5.2 Nugget Tempe


Nugget merupakan salah satu produk olahan yang terbentuk atas bongkahan
komponen pangan tertentu. Di pasaran, nugget biasa hadir sebagai produk olahan
restructured meat yang memanfaatkan potongan daging yang relatif lebih kecil dan
tidak beraturan, kemudian dilekatkan kembali menjadi lebih besar menjadi suatu produk
olahan (Purnomo dan Amertaningtyas, 2000). Keuntungan dari produk nugget adalah
dapat memakai komponen bahan pangan kualitas rendah atau yang berbentuk kurang
menarik sehingga dapat menambah nilai dari produk pangan tersebut dengan harga yang
lebih murah.
Tempe segar memiliki umur yang relatif singkat yaitu satu sampai dua hari jika
disimpan pada suhu ruang, setelah itu kualitas produk tempe akan menurun dan tempe
akan rusak. Salah satu alternatif untuk solusi permasalahan ini adalah mengolah tempe
menjadi nugget. Data survei yang dilakukan oleh perusahaan swasta pada tahun 2010
menunjukkan pertumbuhan konsumsi nugget dan sosis yang cukup baik yaitu sebesar
16,72% per tahun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astawan dkk. (2014) yang
bertujuan menentukan formula dan varietas kedelai terbaik dalam pembuatan nuget
tempe. Dalam penelitian ini digunakan empat varietas kedelai, yaitu: varietas GMO
Regular US Soybean Grade No.1 (dengan kode A) dan Identity-Preserved (IP) non-
GMO Food Grade (dengan kode B, H, dan G2). Nuget yang paling disukai panelis
adalah yang terbuat dari kedelai varietas B dengan formula 73 persen tempe; tapioka,
terigu, dan sagu, masing-masing 4 persen; 8 persen putih telur; dan 7 persen campuran
bumbu (berdasarkan 100 g campuran bahan). Keempat jenis nuget memiliki komposisi
49,8 - 50,7% air, 3,4 - 4,0% abu, 26,3 - 29,2% protein, 30,3 - 36,2% lemak, dan 30,9 -
39,3% karbohidrat. Daya cerna protein nuget tempe secara in vitro berkisar 82,1 -
83,7%.
Bila dibandingkan dengan syarat mutu kadar air yang ada pada SNI Nugget
Ayam (BSN, 2002) yang mensyaratkan kadar air maksimal 60 (%bb), maka keempat
sampel nugget tempe memenuhi persyaratan. Kadar protein nugget tempe yang
dihasilkan juga memenuhi syarat SNI Nugget Ayam yaitu minimal kadar protein 12 (%
bb).

24 PG.C2.2021.12
2.5.3 Patty Tempe
Tempe berhasil digunakan sebagai substitut patty hamburger sebagian (20%)
untuk mengurangi sineresis pada saat pemanasan dan mengurangi pengerasan pada saat
penyimpanan didalam kulkas, sebagai perbandingan, substitusi 10% tepung gandum
pada cupcake dapat mengurangi oksidasi lemak pengerasan saat disimpan didalam
kulkas. Makanan buatan lain seperti kudapan tempe, sandwich tempe (Hermana, dkk.,
1990), sosis tempe dan susu tempe (Sudarmadji, dkk., 1997) dan campuran kering
berbasis tepung tempe (tepung tempe ditambahkan sekitar 11-17%) untuk chapatti,
bubur, sup dan laddoo (Vaidehi, dkk., 1996). Walaupun akseptabilitas untuk makanan
tersebut secara umum cukup baik, Penelitian menunjukkan akseptabilitas kudapan
tempe pada masyarakat di Afrika Barat cukup marginal, hal ini dikarenakan masyarakat
disana lebih suka makanan fermentasi dengan rasa asam (Egounlety, 2002).

2.6 Pengujian Kadar Protein pada Tempe


Dalam rangka menguji kualitas nutrisi dari tempe sebagai produk fermentasi
fasa padat, akan dilakukan analisis kadar protein pada tempe. Terdapat 2 buah metode
analisa protein, yaitu analisis protein secara langsung dan tidak langsung.
2.6.1 Analisis Protein Langsung melalui Analisis Asam Amino
Persiapan sampel untuk analisis total asam amino dilakukan seperti yang
dijelaskan oleh Mæhre dkk. (2018). Untuk sampel bahan baku, sekitar 200 mg sampel
tempe serta sekitar 50 mg sampel tepung, dilarutkan dalam 0,7 mL H2O suling dan 0,5
mL 20 mM norleusin (standar internal). Untuk sampel ekstrak protein, ekstrak 500 µL
dicampur dengan norleusin 50 µL 20 mM. Selanjutnya, untuk semua sampel, asam
klorida pekat (HCl, 12 M) ditambahkan, hingga konsentrasi akhir 6 M. Campuran
sampel dibilas dengan gas nitrogen selama 15 detik untuk meminimalkan oksidasi,
sebelum hidrolisis pada 110 ° C untuk 24 jam menurut Moore dan Stein . Setelah
hidrolisis, 100 µL alikuot dari hidrolisat diuapkan di bawah gas nitrogen sampai benar-
benar kering dan dilarutkan kembali ke konsentrasi yang sesuai dalam buffer litium
sitrat pada pH 2.2. Semua asam amino dianalisis menggunakan kromatograf pertukaran
ion (IEC), tergantung pada asam amino yang terkandung didalam sampel, buffer

PG.C2.2021.12 25
natrium atau

26 PG.C2.2021.12
lithium disiapkan untuk separasi asam amino dengan IEC. Eluen yang berasal dari
kolom pertukaran ion bergerak melewati koil teflon yang ditempatkan didalam air
mendidih atau alat pemanas lainnya. Sebelum memasuki kolom, eluen yang berupa
EDTA dicampur dengan reagen ninhidrin tereduksi yang dilarutkan didalam buffer
asetat membentuk dye complex. Absorpsi ditentukan menggunakan fotometer aliran
yang terhubung pada grafik didalam rekorder atau komputer. Daerah dibawah puncak
berkorespondensi terhadap asam amino yang ada didalam sampel. Evaluasi dapat
dilakukan secara manual otomatis menggunakan integrator atau komputer. Analisis ini
memungkinkan untuk mengkuantifikasi jumlah asam amino sedikitnya 1 nano-mol
asam amino dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Singh, 2013).

2.6.2 Analisis Protein Tidak Langsung


Analisis protein tidak langsung terbagi menjadi beberapa metode, diantaranya:
a. Metode Kjeldahl
Metode Kjeldahl dilakukan sesuai dengan metode 981.10 dari AOAC
International. Sekitar 1 g bahan baku dihidrolisis dengan 15 mL asam sulfat pekat
(H2SO4) yang mengandung dua tablet katalis tembaga dalam blok panas (digestor
Kjeltec system 2020, Tecator Inc., Herndon, VA, USA) pada suhu 420°C selama 2
jam. Setelah pendinginan, H2O ditambahkan ke hidrolisat sebelum netralisasi dan
titrasi. Jumlah nitrogen total dalam bahan mentah dikalikan dengan faktor konversi
tradisional sebesar 6,25 h dan faktor konversi spesifik spesies untuk menentukan
kandungan protein total (Maehre, dkk., 2018).
b. Metode Modified Lowry
Pengukuran protein modified lowry dilakukan sesuai dengan metode yang
dijelaskan oleh Hartree. Pengujian dilakukan dengan mengencerkan ekstrak menjadi
1 mL dengan H2O dan menambahkan 0,9 mL larutan A (2 g L − 1 kalium natrium
tartrat (KNaC4H4O6 · 4H2O) dan 100 g L − 1 natrium karbonat (Na 2CO3) dalam 0,5
M NaOH ) sebelum inkubasi selama 10 menit pada suhu 50 ° C. Setelah itu, sampel
didinginkan hingga suhu kamar, ditambahkan 1 mL larutan B (0,2 g L − 1
KNaC4H4O6 · 4H2O dan 0,1 g L − 1 tembaga sulfat pentahidrat (CuSO4 · 5H2O)
dalam 0,1 M NaOH) dan dibiarkan selama 10 min. Akhirnya, 3 mL larutan C
(pereaksi
PG.C2.2021.12 27
Folin-Ciocalteu fenol dalam H2O (1:16 v / v)) ditambahkan sebelum inkubasi
selama 10 menit pada suhu 50 ° C. Kurva standar dibuat dari albumin serum sapi
(BSA; 0, 0,0625, 0,125, 0,25, 0,5 dan 1 g L-1) dan absorbansi terbaca pada 650 nm
(Maehre,
dkk., 2018).
c. Metode Bradford
Uji Bradford dilakukan sesuai dengan metode yang dijelaskan oleh Bradford.
Secara singkat, 100 mg Coomassie Brilliant Blue G-250 dilarutkan dalam 50 mL
ethanol 95% (C2H5OH). Setelah itu, 100 mL 85% asam fosfat (H 3PO4) ditambahkan
dengan hati-hati sambil diaduk, sebelum H2O ditambahkan ke volume total 1 L.
Larutan disaring dan disimpan pada suhu 4 ° C. Untuk pengukuran, ekstrak 100 µL
dan 5 mL larutan Bradford dicampur dan diinkubasi selama 5 menit. Kurva standar
dibuat dari BSA (0, 0,0625, 0,125, 0,25, 0,5 dan 1 g L-1) dan absorbansi terbaca
pada
595 nm (Maehre, dkk., 2018).

2.6.3 Deskripsi Statistik


Semua hasil disajikan sebagai mean aritmatika dari 5 paralel ± standar deviasi
(SD). Paket statistik untuk ilmu sosial 23 (SPSS Inc., Chicago, IL, USA) digunakan
untuk melakukan analisis statistik. Uji Shapiro-Wilk untuk normalitas dan uji Levene
untuk homogenitas varian dilakukan dan untuk sampel yang kembali berdistribusi
normal, dilakukan analisis varian satu arah (ANOVA). Untuk distribusi non-normal, uji
Mann- Whitney U non-parametrik digunakan. Untuk evaluasi statistik, tes post-hoc T3
Tukey dan Dunnett dijalankan untuk varian yang sama dan tidak sama, masing-masing.
Hasil akan dianggap berbeda secara signifikan pada p <0,05 (Maehre, dkk., 2018).

28 PG.C2.2021.12
BAB III
RENCANA PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian


Tahap yang pertama dilakukan adalah penyortiran kacang-kacangan yang
potensial di Indonesia, yaitu jenis kacang-kacangan dengan tingkat ketersediaan tinggi,
harga yang ekonomis dan kandungan protein tinggi melalui studi literatur dan uji
anding. Setelah itu, akan dibuat formulasi campuran kacang-kacangan lokal berdasarkan
rasio berat dengan total berat 240 gram setiap variasi. Kacang-kacangan ini kemudian
diolah secara tradisional menggunakan metode wet bean dehulling dan didapatkan
berupa produk olahan segar sejenis tempe. Percobaan dilakukan dengan 16 variasi
kacang, termasuk tempe dari 100% kacang kedelai impor sebagai variabel kontrol. Dari
15 produk olahan sejenis tempe tersebut, akan dilakukan uji sensori, uji organoleptik
dan uji protein. 3 variasi dengan kandungan protein tertinggi dan sesuai standar SNI
akan diolah lebih lanjut menjadi nugget tempe. Pada nugget tempe yang dihasilkan akan
dilakukan kembali uji sensori dan uji organoleptik dengan target produk sesuai dengan
SNI. Diagram alir tahapan penelitian terlihat pada gambar 3.1.

PG.C2.2021.12 29
Gambar 3.1 Diagram alir tahapan penelitian

30 PG.C2.2021.12
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian pengembangan produk pangan
vegan berkualitas tinggi disajikan dalam tabel 3.1.
Tabel 3.1 Alat dan bahan percobaan

Alat Bahan
Baskom Kacang kedelai impor
Saringan Kacang kedelai Indonesia
Dandang Kacang tunggak
Kipas angin Kacang hijau
Sutil Kacang tanah
Tampah Daun pisang/polimer
Kompor Garam
Plastik R. oligosporus
Kulkas Telur
Tepung roti
Minyak

3.3 Prosedur Kerja


Percobaan dimulai dengan menyiapkan kacang-kacangan dengan rasio berat
tertentu dengan total berat adalah 240 gram setiap variasi. Kacang kemudian direndam
selama 30-90 menit. Tahap ini bertujuan agar kacang dapat menyerap air sebanyak
mungkin, sehingga membuatnya lebih lunak dan memudahkan proses fermentasi
(acidification) di tahap awal. Perebusan yang ideal dalam pembuatan tempe dilakukan
sebanyak 2 kali dengan tujuan akhir memaksimalkan jumlah isoflavon tempe. Jika tanpa
perebusan di tahap awal, maka dibutuhkan waktu perendaman yang lebih lama, dan
akan muncul bau asam (Herman dan Karmini 1999). Kacang harus dikupas agar asam
laktat bisa masuk lebih mudah ke dalam biji kacang dan miselium tumbuh selama
fermentasi (Herman dan Karmini 1999). Pengupasan kacang dalam skala kecil bisa
dilakukan dengan menggunakan kaki, namun jika kacang (misalnya kacang kedelai)
dalam jumlah besar, akan digunakan mesin mengupas. Kacang kemudian direndam
kembali selama 1 hari untuk menghilangkan kotoran yang mungkin masih menempel
pada kacang. Kacang

PG.C2.2021.12 31
kemudian disaring dan direbus selama 25-30 menit, dibuang air rebusannya, lalu
didinginkan hingga temperatur ruang (25oC). Pendinginan pada kacang bertujuan untuk
mendinginkan sebelum kacang diberi ragi. Sambil menunggu kacang dingin, kacang
juga dibersihkan dari kotoran yang mungkin masih ada. Kotoran yang biasanya terdapat
dalam kacang adalah kerikil, ranting, dan kontaminan fisik lain. Kacang kemudian
diinokulasi dengan Rhizopus sp. dan diinkubasi dengan kemasannya yaitu plastik
bening selama 2-3 hari pada temperatur 25oC. Produk sejenis tempe segar kemudian
didapatkan. Diagram pembuatan produk sejenis tempe dapat dilihat pada gambar 3.2
berikut.

32 PG.C2.2021.12
Gambar 3.2 Diagram alir prosedur pembuatan tempe

PG.C2.2021.12 33
Setelah tempe terbentuk, akan dilakukan uji sensori dan organoleptik. Uji
sensori berupa tekstur dilakukan menggunakan Texture Profile Analyzer (TPA) untuk
mendapatkan data hardness (kekerasan tekstur roti), springiness (kemampuan tempe
unntuk kembali ke bentuk semula), dan cohesiveness (kelengketan tempe pada bagian
dalam mulut saat mengunyah). Pengukuran warna tempe dilakukan dengan
menggunakan aplikasi Color Grab. Uji organoleptik dilakukan kepada 3 panelis untuk
mendapatkan data tingkat kesukaan akan warna, tekstur, dan aroma tempe yang
dihasilkan. Diagram alir pengukuran tekstur menggunakan Texture Profile Analyzer

terlihat pada gambar 3.3.

Gambar 3.2 Diagram alir pengukuran tekstur tempe


Selanjutnya kadar protein pada setiap variasi tempe diukur menggunakan
metode Bradford. Uji Bradford adalah suatu uji untuk mengukur konsentrasi protein
total secara kolorimetri dalam suatu larutan (Bradford, 1976). Uji Bradford melibatkan
pewarna Coomassie Brilliant Blue (CBB) yang berikatan dengan protein dalam suatu
larutan yang bersifat asam sehingga memberikan warna (kebiruan). Gambar 3.4
menunjukkan diagram alir uji Bradford.

34 PG.C2.2021.12
Gambar 3.3 Diagram alir uji Bradford

PG.C2.2021.12 35
3.4 Variasi Percobaan
Berdasarkan kandungan protein, availability, harga, parameter fermentasi (rasio
inokulasi, temperatur dan waktu, efek akhir mikrobial, sifat kimia dan kualitas sensori,
maka variasi formulasi tempe yang akan diujikan berdasarkan rasio berat terlampir pada
Tabel 3.2 Adapun berat adonan dalam setiap variasi adalah 240 gram.
Tabel 3.2 Variasi formulasi tempe

Variasi Kacang Kacang Kacang Tanah Kacang Hijau


Tunggak Kedelai Lokal
1 1 1 1 1
2 1 1
3 1 1
4 1 1
5 1 1
6 1 1
7 1 1
8 1 1 1
9 1 1 1
10 1 1 1
11 1 1 1
12 2 1 1 1
13 1 2 1 1
14 1 1 2 1
15 1 1 1 2
Variabel Kontrol Kacang Kedelai Impor 100%

36 PG.C2.2021.12
3.5 Jadwal Kerja
Tabel 3.3 Jadwal kerja

No. Rencana Waktu Kegiatan


Kegiatan Minggu ke-
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
1. Persiapan alat
dan bahan
2. Pembuatan
tempe dan
nugget tempe
variasi 1-16
3. Analisis
kandungan
Protein
4. Analisis sesuai
SNI
5. Pengolahan
data dan
penulisan
laporan

PG.C2.2021.12 37
BAB IV

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka telah dilakukan pembuatan tempe
dengan 15 variasi ditambah 1 variasi kontrol. Variasi kontrol merupakan tempe berbahan baku
100% kacang kedelai impor .Pada pembahasan ini variasi akan disebut dalam bentuk
perbandingan massa (kacang tunggak: kacang kedelai: kacang tanah: kacang hijau). Adapun daftar
15 variasi tempe yang digunakan pada penelitian ini terdapat pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Variasi Formulasi Tempe

Variasi Kacang Kacang Kacang Tanah Kacang Hijau


Tunggak Kedelai Lokal
1 1 1 1 1
2 1 1
3 1 1
4 1 1
5 1 1
6 1 1
7 1 1
8 1 1 1
9 1 1 1
10 1 1 1
11 1 1 1
12 2 1 1 1
13 1 2 1 1
14 1 1 2 1
15 1 1 1 2
Variabel Kontrol Kacang Kedelai Impor 100%

38 PG.C2.2021.12
Pada hasil penelitian yang dilampirkan, akan digunakan tempe replikas 1 isebagai tolok
ukur analisis penelitian oleh karena tempe replikasi 2 (duplo) mengalami banyak kegagalan.
Adapun kegagalan tempe replikasi 2 disebabkan oleh beberapa faktor: fermentasi tempe dimulai
dengan kondisi kacang yang belum sepenuhnya kering, proses pencampuran ragi yang tidak rata,
proses fermentasi dilakukan saat kacang dalam kondisi masih belum terkelupas kulit arinya,
perendaman menggunakan wadah yang sempit serta tempat fermentasi yang tidak rata. Namun
begitu, pada beberapa analisis, akan turut dilampirkan hasil data proksimat tempe replikasi 2
sebagai salah satu pembanding.
Pengujian data proksimat (air, protein, lemak, dan abu) dilakukan menggukan alat
Proximate NIR dengan data awal dilandaskan pada 5 buah sampel tempe yang beredar di sekitar
Kota Bandung.

4.1. Analisis Kadar Protein

25

20

15
Kadar protein(%))

10

0
A B C D E al po
r u h ak
pe pe pe pe pe ok hi
ja na g
m m m m m ai
L
iI
m g ta ng
Te Te Te Te Te l a an g tu
de de
l c c an ng
Ke
Ke Ka Ka ca
Ka

Gambar 4.1 Nilai kadar protein berbagai variasi tempe sampel dan kacang

PG.C2.2021.12 39
22.0

20.0 19.6 19.3 19.4 19.7 19.5


19.3 19.1 19.2 18.8 19.0 19.6 18.8 19.2
18.5 18.9 18.2
18.0

Protein (%) 16.0

14.0

12.0

10.0

8.0
l
ro i1 i2 i3 i4 i5 i6 i7 i8 i9 10 11 12 13 14 15
ont rias rias rias rias rias rias rias rias rias asi asi asi asi asi asi
K Va Va i i i i i i
Va Va Va Va Va Va Va Var Var Var Var Var Var

Min. protein
Gambar 4.2 Nilai kadar protein variasi tempe 1-15
Protein merupakan makronutrien yang diperlukan untuk membangun massa otot, protein
biasanya ditemukan pada produk hewani, namun juga ditemukan pada produk nabati seperti
kacang-kacangan dan polong-polongan. Analisis protein dilakukan menggunakan metode
Kjeldahl terhadap tempe sampel (tempe A-E) dan kacang-kacangan didapatkan dari berbagai pasar
yang berbeda di sekitar Kota Bandung. Dari Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa semua tempe sampel
memenuhi standar protein SNI (16% per 100 gram). Kadar protein terbesar dimiliki oleh tempe A
(21,63%), hal ini dikarenakan hasil pascapanen kedelai dengan kualitas yang baik dan proses
fermentasi dengan parameter yang optimal. Jenis kacang yang memiliki protein tertinggi adalah
kacang kedelai, adapun selisih protein kacang kedelai impor dengan lokal adalah 0,2%.

Tempe eksperimen variasi 1-15 dibuat menggunakan kacang-kacangan yang ditemukan di


pasar, menggunakan berat kering kacang sebesar 200 gram dan difermentasi selama 48 jam. Nilai
protein diambil menggunakan alat Proximate NIR. Dari Gambar 4.2 diketahui bahwa kadar protein
tertinggi dimiliki oleh variasi 13 (19,68%) diikuti variasi 11 dan kontrol (19,57%). Kedua variasi
tempe tersebut (selain kontrol) memiliki kedelai didalamnya. Sementara, variasi tempe yang
didalamnya tidak ada kacang kedelai cenderung memiliki protein rendah.

Data kadar protein Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2. Data Protein Tempe replikasi 1 dan 2

Protein (%) Replikasi 1 Replikasi 2


Kontrol 19,57

40 PG.C2.2021.12
Variasi 1 19,32 20,24
Variasi 2 19,41 19,43
Variasi 3 18,54 18,96
Variasi 4 18,89 19,7
Variasi 5 19,33 19,52
Variasi 6 19,13 20,26
Variasi 7 18,15 20,76
Variasi 8 19,17 19,18
Variasi 9 18,75 18,84

Variasi 10 18,98 19,03

Variasi 11 19,57 18,61

Variasi 12 18,78 19,24

Variasi 13 19,68 19,47

Variasi 14 19,46 19,58

Variasi 15 19,21 19,88


*warna merah menunjukkan nilai yang terlalu tinggi/rendah
dari hasil pengujian pada NIR.

Tabel 4.2 diatas menunjukkan bahwa perbedaan kandungan protein berbagai variasi tempe yang
telah dibuat oleh kedua praktikan tidak berbeda secara signifikan, semua variasi tempe masuk ke
dalam standar protein tempe SNI.
4.2. Analisis Kadar Air

Tabel 4.3. Data kadar air tempe sampel dan kacang


Air
Sampel (%)
Tempe A 59,11
Tempe B 62,07
Tempe C 60,82
Tempe D 61,58
Tempe E 60,07
Kedelai
Lokal 11

Kedelai 13
PG.C2.2021.12 41
Impor
Kacang
hijau 9,05
Kacang
tanah 6,8
Kacang
tunggak 10,8

Gambar 4.3 Nilai kadar air berbagai variasi tempe sampel dan kacang
66.0

65.0

64.0

63.0

62.0
61.0
Kadar air(%)

61.0 60.6 60.7 60.760.5 60.7


60.4 60.4 60.360.5 60.3
Maks. air
60.1 59.9 59.9 59.960.0
60.0

59.0

58.0

57.0
l 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5
ntro asi asi asi asi asi asi asi asi asi si 1 si 1 si 1 si 1 si 1 si 1
i i i i i i i i i
Ko Var Var Var Var Var Var Var Var Var aria aria aria aria aria aria
V V V V V V

Gambar 4.3 Nilai kadar air variasi Replikasi 1 1-15

Jumlah kadar air menentukan karakteristik dari sebuah produk pangan, hal ini termasuk
karakteristik fisik (Bentuk, warna, dll.) tekstur, rasa, berat yang berdampak pada harga produk dan
juga faktor lain yang mempengaruhi umur simpan produk, kesegaran, kualitas, dan juga ketahanan
terhadap kontaminasi bakteri. Kadar air dianalisis menggunakan metode gravimetri, kadar air
standar untuk tempe menurut SNI adalah maks 65%. Dapat dilihat pada Tabel 4.3 bahwa semua
tempe sampel dan kacang memenuhi standar SNI. Kacang kedelai dan koro memiliki kadar air
relatif lebih tinggi terhadap kacang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa kacang kedelai memiliki
absorbansi air yang baik dan juga tekstur yang lebih lunak.

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa tempe yang memiliki kadar air terbesar adalah tempe
variasi 9, hal ini dikarenakan tempe tersebut tidak memiliki komponen kacang tanah dimana
kacang ini memiliki kadar air yang sedikit. Hal ini menujukkan bahwa tempe yang memiliki kadar
air besar cenderung didominasi oleh komposisi kacang yang memiliki kadar air yang besar pula
42 PG.C2.2021.12
dan sebaliknya.

Data kadar air Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4. Data Kadar Air Tempe replikasi 1 dan 2

Air (%) Replikasi 1 Replikasi 2


Kontrol 60,63
Variasi 1 60,06 60,2
Variasi 2 60,37 60,32
Variasi 3 59,92 60,02
Variasi 4 60,42 60,87
Variasi 5 59,9 60,1
Variasi 6 60,73 60,21
Variasi 7 60,3 59,92
Variasi 8 60,48 60,07
Variasi 9 61,02 61,11

Variasi 10 59,92 60,25

Variasi 11 60,03 60,37

Variasi 12 60,69 59,96

Variasi 13 60,49 59,99

Variasi 14 60,34 60,03

Variasi 15 60,65 60,21

Tabel 4.4 diatas menunjukkan bahwa perbedaan kandungan air berbagai variasi tempe
yang telah dibuat oleh kedua praktikan tidak berbeda secara signifikan, semua variasi tempe
masuk ke dalam standar kandungan air tempe SNI.

PG.C2.2021.12 43
4.3. Analisis Kadar Abu

Tabel 4.5 Nilai kadar abu berbagai variasi tempe sampel dan kacang

Sampel Abu (%)


Tempe A 4,77
Tempe B 7,27
Tempe C 4,56
Tempe D 5,54
Tempe E 5,53

Kedelai Lokal 9,54

Kedelai Impor 4,23

Kacang hijau 2,81

Kacang tanah 39,43

Kacang tunggak 3,74

9 8.48
7.85
8 7.47
7.05
7 6.57 6.63 6.45
6.25 6.08 6.26 6.2
5.94 5.9
6 5.48 5.47 5.66

5
Kadar abu(%)

4
Maks.abu
3

0
l 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 1 2 3 4 5
ntro asi asi asi asi asi asi asi asi asi si 1 si 1 si 1 si 1 si 1 si 1
o ri ri ri ri ri ri ri ri ri ia ia ia ia ia ia
K Va Va Va Va Va Va Va Va Va ar ar ar ar ar ar
V V V V V V

Variasi

Gambar 4.4 Nilai kadar abu variasi tempe 1-15

44 PG.C2.2021.12
Gambar 4.5 Abu salah satu variasi tempe
Kadar abu menunjukkan jumlah mineral yang terdapat dalam sebuah produk pangan,
jumlah mineral menunjukkan properti fisiokimia dari produk pangan dan menghambat
pertumbuhan mikroorganisme. Analisis kadar abu dilakukan menggunakan metode gravimetri
yaitu membakar semua kandungan organik dan menimbang sisa kandungan inorganiknya. Dapat
dilihat pada tabel 4.5 semua tempe sampel memiliki kadar abu diatas standar SNI (1,5%). Hasil
kadar abu tempe tidak konsisten walaupun memiliki komposisi yang sama, hal ini menunjukkan
kesalahan praktikan dalam menganalisis yaitu penggerusan tempe yang tidak homogen, furnace
yang temperaturnya tidak merata dan porselen yang ukurannya tidak sama sehingga memiliki
margin error yang besar. Begitu pula dengan nilai kadar abu kacang, dapat dilihat kacang tanah
memiliki kadar abu yang sangat tinggi (39%), hal ini dikarenakan furnace gagal membakar materi
organik yang berada dalam kacang ini.

Dari Gambar 4.4 dapat dilihat bahwa variasi tempe yang memiliki kadar abu yang paling
besar adalah variasi 9 (8,48%), padahal variasi ini tidak memiliki komponen kacang tanah yang
memiliki kadar abu paling tinggi diantara kacang-kacangan yang lain. Oleh karena itu, penulis
menyimpulkan kadar abu tempe tidak dipengaruhi komponen kadar abu kacang-kacangannya.

Data kadar abu Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.6.
Tabel 4.6. Data Kadar Abu Tempe replikasi 1 dan 2

Abu (%) Replikasi 1 Replikasi 2


Kontrol 6,25
Variasi 1 6,08 5,51
Variasi 2 6,26 6,26
PG.C2.2021.12 45
Variasi 3 5,48 6,22
Variasi 4 6,2 6,65
Variasi 5 5,47 5,83
Variasi 6 7,47 5,43
Variasi 7 7,85 4,58
Variasi 8 6,57 6,28
Variasi 9 8,48 8,49

Variasi 10 7,05 7,22

Variasi 11 5,66 7,85

Variasi 12 6,63 6,92

Variasi 13 5,94 6,14

Variasi 14 5,9 5,86

Variasi 15 6,45 6,03


*warna merah menunjukkan nilai yang terlalu ti
nggi/rendah dari hasil pengujian pada NIR.

Tabel 4.6 diatas menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi yang tidak masuk ke dalam
rentang data nilai abu yang telah dikalibrasi (ditandai dengan warna merah). Hal ini menunjukkan
data kalibrasi yang diperoleh tidak tepat dikarenakan kesalahan praktikan. Kadar abu seluruh
variasi tempe yang dubuat kedua praktikan tidak ada yang mencapai standar SNI, hal ini bisa
dikarenakan pengujian NIR di hari yang berbeda ketika tempe selesai difermentasi.

4.4. Analisis Kadar Lemak

Lemak merupakan salah satu makronutrien penting bagi tubuh. Pengujian kadar lemak
dilakukan pada 5 buah tempe sampel yang dibeli di sekitar kota Bandung dan pada bahan baku
kacang-kacangan yang akan digunakan dalam penelitian. Analisis kadar lemak dilakukan dengan
menggunakan metode esktraksi Soxhlet dengan menggunakan pelarut heksana. Standar SNI kadar
lemak untuk tempe adalah 10% (b/b). Nilai kadar lemak berbagai variasi tempe sampel dan
kacang yang turut direpresentasikan pada Tabel 4.7.

46 PG.C2.2021.12
Tabel 4.7 Kadar Lemak Tempe Sampel dan Kacang-kacangan

No Jenis Kadar Lemak (%)


1 Tempe A 12
2 Tempe B 7,5
3 Tempe C 11
4 Tempe D 6
5 Tempe E 4,75
6 Kedelai Lokal 16,2
7 Kedelai Impor 18,8
8 Kacang Hijau 5,2
9 Kacang Tanah 49,2
Kacang Tungg
10 ak 6,4

Berdasarkan hasil pengujian kadar lemak, terlihat bahwa hanya tempe sampel A dan C
yang sesuai dengan standar SNI. Hal ini menunjukkan kualitas tempe di sekitar kota Bandung
yang tidak terlalu baik. Sedangkan untuk kadar lemak dari berbagai kacang-kacangan, didapati
kandungan lemak yang cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan data literatur pada Bab 2.

14

12 11.64
11.01
10.62 10.29
9.77
10 9.27 9.43 9.67
9.05 8.97
8.02 7.8 7.87 8.01
8
6.55
Lemak (%)

6 5.51

0
l
ro i 1 i 2 i 3 i 4 i 5 i 6 i 7 i 8 i 9 10 11 12 13 14 15
ont rias rias rias rias rias rias rias rias rias asi asi asi asi asi asi
K Va Va Va Va Va Va Va Va Va ari ari ari ari ari ari
V V V V V V

Min. lemak

Gambar 4.6 Nilai kadar lemak variasi tempe 1-15


Data kadar lemak tempe variasi 1-15 serta tempe kontrol ditunjukkan oleh Gambar 4.6.

PG.C2.2021.12 47
Kadar lemak pada tempe variasi percobaan diperoleh melalui analisis menggunakan alat NIR.
Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa hanya 4 buah variasi tempe yang melewati
standar kadar lemak SNI 10%, yaitu variasi 3, variasi 1, variasi 11 dan variasi 15. Hal ini dapat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengujian kadar lemak yang tidak dilakukan segera
setelah proses fermentasi selesai sehingga terjadi oksidasi lemak akibat kontak terlalu lama di
udara terbuka. Adapun faktor komposisi kacang-kacangan yang digunakan untuk membuat tempe
juga berpengaruh terhadap hasil yang diperoleh. Variasi 5 dengan kadar lemak tertinggi
merupakan variasi tempe berbahan dasar 50% kacang kedelai lokal dan 50% kacang tanah, 2 jenis
kacang dengan kadar lemak tertinggi.

Data kadar lemak Tempe replikasi 1 dan 2 terdapat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Data Kadar Lemak Tempe replikasi 1 dan 2

Lemak (%) Replikasi 1 Replikasi 2


Kontrol 9,05
Variasi 1 10,62 11,97
Variasi 2 9,27 9,19
Variasi 3 10,29 10,03
Variasi 4 8,02 8,78
Variasi 5 11,64 10,78
Variasi 6 7,8 11,84
Variasi 7 7,87 14,83
Variasi 8 8,97 10,11
Variasi 9 5,51 5,73

Variasi 10 9,77 9,43

Variasi 11 11,01 7,98

Variasi 12 6,55 10,62

Variasi 13 9,43 11

Variasi 14 9,67 11,64

Variasi 15 8,01 11,65


*warna merah menunjukkan nilai yang terlalu tinggi
/rendah dari hasil pengujian pada NIR.

48 PG.C2.2021.12
Tabel 4.8 menunjukkan bahwa terdapat banyak variasi tempe yang dibuat kedua praktikan
yang tidak masuk kedalam rentang data yang telah terkalibrasi, hal ini disebabkan oleh data
kalibrasi yang didapatkan kurang akurat. Terdapat empat variasi tempe yang standar SNI oleh
replikan 1 dan sembilan tempe oleh replikan 2. Hal ini disebabkan oleh praktikan mengerjakan di
rumah masing-masing dimana faktor seperti perbedaan temperatur, tekanan, kelembapan dan
cahaya dapat mempengaruhi proses fermentasi tempe sehingga hasil akhir pun akan berbeda.

4.5. Analisis Massa Tempe Jadi

Gambar 4.7 Rata-rata pengurangan massa tempe dalam gram

Pembuatan tempe eksperimen dilakukan dalam tiga batch dengan batch pertama dimulai
dari tempe variasi 1-5 ditambah kontrol. Semua variasi dmulai dari basis massa yang sama yaitu
200 gram. Dapat dilihat bahwa pengurangan massa cenderung konsisten pada seluruh variasi
tempe, hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang tidak signifikan dalam mempengaruhi
massa tempe, pengurangan massa yang konsisten lebih ditentukan oleh perlakuan awal kacang-
kacangan dan parameter suhu, cahaya, dan kelembapan pada saat proses fermentasi dimulai.
Grafik dapat dilihat pada gambar 4.7 diatas

PG.C2.2021.12 49
4.6. Analisis Perbedaan Warna

Gambar 4.8 Nilai delta E tempe eksperimen dibandingkan dengan control

Warna memegang peranan krusial dalam menentukan kualitas dari produk pangan teruma
rasa dan persepsi orang yang akan mengkonsumsinya. Pada penelitian ini kami menganalisis
perbedaan warna tempe kontrol dengan variasi yang lain menggunakan aplikasi ColorGrab yang
dinyatakan dalam deltaE, deltaE menunjukkan seberapa besar perbandingan warna menurut mata
telanjang, nilai deltaE kecil menunjukkan perbedaan warna yang tidak signifikan dan sebaliknya.
Dari gambar 4.8 dapat disimpulkan bahwa tempe variasi 8 memiliki warna yang tidak jauh
berbeda dibanding kontrol diikuti variasi 13 dan 15. Variasi 8 tidak memiliki komponen kacang
hijau sementara variasi 15 memiliki 2/5 kacang hijau dari komponen kacang lain. Hal ini
menyatakan bahwa pigmen kacang tidak berpengaruh signifikan terhadap warna kapang pada saat
tempe selesai difermentasi.

50 PG.C2.2021.12
4.7. Analisis TPA
Analisis mengunakan TPA (Texture Profile Analyzer) digunakan untuk menganalisis
tekstur dari setiap variasi tempe yang dibuat. Pada penelitian ini, dilakukan analisis TPA untuk
mengukur hardness, cohesiveness dan gumminess dari tempe yang telah dibuat. Data hasil
pengukuran hardness menggunakan TPA terdapat pada tabel 4.9.

Tabel 4.9. Hardness Tempe

Hardness (N) Replikasi 1 Replikasi 2 Sampel


Variasi 1 39,069 5,429 39,284
Variasi 2 20,580 20,902 40,798
Variasi 3 22,756 4,013 35,816
Variasi 4 10,647 2,395
Variasi 5 39,542 5,780
Variasi 6 74,659 17,801
Variasi 7 52,903 11,723
Variasi 8 69,671 73,330
Variasi 9 72,999 55,607
Variasi 10 40,156 47,978
Variasi 11 62,803 91,143
Variasi 12 62,803 59,654
Variasi 13 59,030 12,188
Variasi 14 78,896 25,495
Variasi 15 62,383 13,517
Kontrol 30,542 0,000

PG.C2.2021.12 51
Berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa tingkat kekerasan tempe pada umunnya berada
pada rentang 30-40 N. Namun, dari hasil percobaan, hanya beberapa jenis variasi tempe yang
memenuhi kriteria. Hal ini disebabkan oleh perbedaan jenis kacang-kacangan yang digunakan.
Selain hardness, data pengukuran cohesiveness dan gumminess berturut-turut ditunjukkan pada
Tabel 4.10 dan 4.11.

Tabel 4.10. Cohesiveness Tempe

Cohesiveness Replikasi 1 Replikasi 2 Sampel


Variasi 1 0,757 0,498 0,751
Variasi 2 0,750 0,718 0,729
Variasi 3 0,696 0,565 0,724
Variasi 4 0,564 0,636
Variasi 5 0,729 0,618
Variasi 6 0,740 0,641
Variasi 7 0,625 0,535
Variasi 8 0,748 0,791
Variasi 9 0,710 0,662
Variasi 10 0,683 0,691
Variasi 11 0,718 0,736
Variasi 12 0,774 0,780
Variasi 13 0,748 0,672
Variasi 14 0,774 0,707
Variasi 15 0,745 0,755

52 PG.C2.2021.12
Tabel 4.11 Gummines Tempe

Gumminess Replikasi 1 Replikasi 2 Sampel


Variasi 1 29,567 2,704 29,497
Variasi 2 15,426 15,003 29,755
Variasi 3 15,845 2,267 25,933
Variasi 4 6,006 1,524
Variasi 5 28,820 3,571
Variasi 6 55,226 11,406
Variasi 7 33,045 6,270
Variasi 8 52,144 58,038
Variasi 9 51,793 36,826
Variasi 10 27,435 33,158
Variasi 11 45,089 67,111
Variasi 12 48,640 46,560
Variasi 13 44,133 8,188
Variasi 14 61,076 18,015
Variasi 15 46,454 10,205
Kontrol 40,209

PG.C2.2021.12 53
Berdasarkan hasil TPA, terlihat bahwa data pada tempe buatan Ahan lebih menunjukkan
hasil yang homogen dibandingkan Clarissa. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa sebab, seperti
Replikasi 2 yang terhitung sebagai kegagalan pada variasi 1-7, dan 13-15 oleh karena tidak
terbentuk struktur tempe. Hal ini juga yang menyebabkan tingkat hardness pada Replikasi 1 yang
lebih kompak dan berstruktur kokoh. Data pada TPA menujukkan struktur tempe saat dikunyah
yang dihitung menggunakan “two bite test”. Namun, data TPA tidak menentukan tingkat
penerimaan tempe sebelum diuji berdasarkan analisa organoleptik.

4.8. Analisis Organoleptik


Uji organoleptik dilakukan untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap
tempe eksperimen, uji ini meliputi kesukaan terhadap warna, tekstur, aroma, rasa dan keseluruhan.
Objek analisis merupakan tempe eksperimen yang telah digoreng kemudian diberikan kepada dua
puluh panelis tidak terlatih. Dari gambar 4.9 hasil menunjukkan bahwa tempe kontrol tetap
memiliki tingkat penerimaan terbesar diikuti variasi 5 dan 8. uji ini menunjukkan bahwa panelis
cenderung menyukai variasi tempe dengan komponen kacang kedelai dan tanah sementara tidak
menyukai variasi tempe dengan komponen kacang tunggak dan hijau.

54 PG.C2.2021.12
Gambar 4.9 Nilai organoleptik tempe 1-15 dengan kontrol

PG.C2.2021.12 55
Data hasil analisis organoleptik terlampir pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12. Data Organoleptik Berdasarkan Tingkat Penerimaan Tertinggi


Nilai Akhi 4.9.
Variasi Warna Tekstur Aroma Rasa Overall r Analisis
Kontrol 89,6 78 84,8 84,8 86 25,46
Variasi 5 84,8 85,8 84,8 82,8 84,8 25,39
Variasi 8 91,4 80 82,8 78 82 24,81
Variasi 9 68,6 82,8 78 86,6 80 23,8
Variasi 11 88,6 79,2 76,6 73 79,2 23,79
Variasi 6 75,2 78 82 80 79 23,66
Variasi 3 85,8 65,8 81 70,4 77,2 22,87
Variasi 13 73 78,2 75,6 74 75,6 22,6
Variasi 14 72,2 75,6 75,6 74 75,6 22,43
Variasi 1 81 71,4 70,4 68,6 69,6 21,53
Variasi 15 63,4 67,8 73 70,4 71,4 20,87
Variasi 10 72,4 62,8 67,6 67,6 68,6 20,38
Variasi 7 65,8 58 71,4 64,8 66,6 19,66
Variasi 2 48,6 74,2 64,8 65,8 65,8 19,25
Variasi 12 59,2 63,4 58,2 60 56,6 17,7
Variasi 4 37,2 52,4 64,8 72,4 60 17,34
Keseluruhan Parameter
Berdasarkan semua data yang telah diperoleh, dilakukan analisis yang mencakup
keseluruhan parameter yang menjadi inti dari penelitian. Adapun parameter yang dipilih adalah
harga, kadar protein, serta hasil pengujian organoleptik. Fokus dari penelitian ini adalah untuk
mencari potensi tempe terbaik yang mampu bersaing di pasaran dan dapat mengurangi kebutuhan
tempe berbahan baku kedelai impor yang diganti dengan bahan baku kacang-kacangan yang
melimpah di Indonesia. Oleh karena itu, diberikan pembobotan parameter meliputi kadar protein
sebesar 50%, tingkat penerimaan masyarakat melalui uji organoleptik sebesar 30% serta faktor
keterjangkauan harga dengan tolok ukur harga kedelai impor dengan pembobotan 20%. Untuk
setiap faktor pengujian, digunakan sampel tempe buatan Ahan sebagai tolok ukur hasil percobaan.

56 PG.C2.2021.12
Berdasarkan faktor harga bahan baku kacang yang digunakan untuk mendapatkan 200
gram tempe mentah jadi yang dibandingkan dengan harga tempe kedelai impor, data urutan
keterjangkauan harga bahan baku untuk setiap variasi dan harga bahan baku kacang berturut-turut
terdapat pada Tabel 4.13 dan Tabel 4.14
Tabel 4.13 Data Nilai Tempe Berdasarkan Harga
Variasi Harga (20%)
Kontrol 100,00
Variasi 6 59,10
Variasi 10 55,42
Variasi 9 55,30
Variasi 8 53,18
Variasi 7 49,80
Variasi 1 48,85
Variasi 13 45,24
Variasi 5 44,67
Variasi 2 42,02
Variasi 3 41,93
Variasi 4 41,55
Variasi 15 40,65
Variasi 11 39,72
Variasi 14 33,91
Variasi 12 33,20

PG.C2.2021.12 57
Tabel 4.14. Harga Bahan Baku Kacang

Jenis Kacang Harga bahan baku (kg)

Kacang kedelai impor Rp 17.000,-

Kacang kedelai lokal Rp 23.500,-

Kacang hijau Rp 25.000,-

Kacang tanah Rp 30.000,-

Kacang tunggak Rp 35.000,-

58 PG.C2.2021.12
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa berbagai variasi kacang yang digunakan untuk
membuat tempe, masih memberikan nilai yang cukup jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan
harga kedelai impor. Namun begitu, nilai yang diatas 50 menunjukkan adanya potensi untuk
dikembangkan lebih lanjut. Selain itu perbedaan bobot harga juga dapat dikurangi dengan
pengurangan jumlah bahan baku kacang yang digunakan sehingga membentuk struktur tempe
yang tidak terlalu padat dengan kacang-kacangan dan lebih didominasi oleh kapang. Hal ini
berpotensi untuk diteliti lebih lanjut melihat tingkat kekerasan tempe yang dibuat Ahan jauh lebih
keras daripada tempe kontrol atau tempe pada umumnya yang beredar di pasaran sesuai dengan
data pada subbab 4.7. Di sisi lain, harga bahan baku kacang dapat bervariasi dan cenderung lebih
murah apabila dibeli dengan kapasitas yang lebih besar sehingga bukannya tidak mungkin mampu
bersaing dengan harga kedelai impor.

Berdasarkan kadar protein yang bertolok ukur pada tempe kontrol berbahan baku kedelai
impor, urutan data kandungan protein yang telah dikalikan pembobotan sebesar 50% terhadap
nilai akhir terdapat pada Tabel 4.15.

Tabel 4.15 Data Nilai Tempe Berdasarkan Kadar Protein

  Protein (50%)
Variasi 13 100
Kontrol 99,44106
Variasi 11 99,44106
Variasi 14 98,88211
Variasi 2 98,62805
Variasi 5 98,22154
Variasi 1 98,17073
Variasi 15 97,61179
Variasi 8 97,40854
PG.C2.2021.12 59
Variasi 6 97,20528
Variasi 10 96,44309
Variasi 4 95,98577
Variasi 12 95,42683
Variasi 9 95,27439
Variasi 3 94,20732
Variasi 7 92,22561

60 PG.C2.2021.12
Berdasarkan tabel urutan nilai tempe berdasarkan kadar protein, terlihat bahwa tempe
variasi 13 memiliki kadar protein tertinggi, yang melampaui kadar protein berbahan baku 100%
kacang kedelai impor. Namun begitu, berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa kadar protein
yang dimiliki oleh masing-masing variasi memiliki nilai yang hampir sama dengan rata-rata di
angka 97,2. Hal ini dapat menunjukkan bahwa bahan baku tempe tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kadar protein pada tempe. Namun begitu, apabila ditinjau dari kadar protein
pada bahan baku yang terlampir pada subbab 4.1., terlihat bahwa kadar protein dari bahan baku
kacang-kacangan non-kedelai yang awalnya jauh lebih rendah dibandingkan dengan kacang
kedelai, mampu menghasilkan tempe dengan kandungan protein yang menyamai kedelai berbahan
baku kedelai murni. Hal ini menunjukkan adanya potensi besar dari kacang-kacangan lokal
Indonesia untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai substitusi tempe kedelai impor.

Berdasarkan hasil uji organoleptik pada Subbab 4.8 dan setelah data diolah dengan
pembobotan 30% untuk hasil uji organoleptik, maka diperoleh nilai akhir setiap variasi tempe
yang diproduksi pada penelitian ini seperti terlampir pada Gambar 4.10.

Gambar 4.10 Diagram nilai tempe secara kesuluruhan

PG.C2.2021.12 61
Adapun nilai keseluruhan yang diperoleh terdapat pada Tabel 4.16.

Tabel 4.16. Nilai Pembobotan Tempe Setiap Variasi

Harga Protein Organoleptik


  (20%) (50%) (30%) Nilai Akhir
Kontrol 100 99,44105691 25,46 95,1805285
Variasi 8 53,18205164 97,40853659 24,81 84,1506786
Variasi 6 59,09516912 97,20528455 23,66 84,0816761
Variasi 5 44,67048103 98,22154472 25,39 83,4348686
Variasi 9 55,30346897 95,27439024 23,8 82,4978889
Variasi 13 45,23556735 100 22,6 81,6471135
Variasi 11 39,71574207 99,44105691 23,79 81,4536769
Variasi 1 48,85377605 98,17073171 21,53 80,3861211
Variasi 10 55,41781451 96,44308943 20,38 79,6851076
Variasi 14 33,90822829 98,88211382 22,43 78,6527026
Variasi 3 41,93261284 94,20731707 22,87 78,3601811
Variasi 15 40,64574196 97,61178862 20,87 77,8050427
Variasi 2 42,01745578 98,62804878 19,25 76,9675156
Variasi 7 49,7979798 92,22560976 19,66 75,7324008
Variasi 4 41,55271726 95,98577236 17,34 73,6434296
Variasi 12 33,20499899 95,42682927 17,7 72,0544144

62 PG.C2.2021.12
Berdasarkan data pada tabel, terlihat bahwa variasi dengan nilai keseluruhan terbaik adalah
variasi 8, 6, dan 5; dimana faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya perbedaan nilai yang
cukup signifikan dari variasi kontrol adalah faktor harga. Namun, apabila ditinjau dari sisi protein
dan penerimaan masyarakat, terdapat berbagai variasi potensial yang dapat dikembangkan. Dari
sisi protein, variasi 13, 11 dan 14 memiliki kadar protein yang tinggi sehingga berpotensi untuk
diolah lebih lanjut dalam rangka meningkatkan nilai penerimaan masyarakat, seperti dengan
dibuat menjadi produk turunan tempe berupa patty ataupun nugget tempe pada penelitian lebih
lanjut.
Di sisi lain, apabila hasil dibandingkan dengan data uji organoleptik, tempe variasi 5, 6,
dan 8 termasuk dalam 5 nilai tertinggi penerimaan konsumen dari segi organoleptik, yang
menunjukkan bahwa tempe variasi 5, 6, dan 8 layak untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai
potensi terbesar substitusi tempe kedelai impor di Indonesia yang bebahan dasarkan kacang-
kacangan lokal Indonesia.

PG.C2.2021.12 63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa kesimpulan yang dapat diambil,
yaitu:
- Variasi tempe 5, 6, dan 8 berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut dalam rangka untuk
mensubstitusi ketergantungan kebutuhan tempe masyarakat Indonesia terhadap kedelai impor;
terutama dengan banyaknya tempe lokal yang beredar di pasaran yang tidak sesuai denga standar
SNI.
- Variasi tempe 11, 13, dan 14 berpotensi lebih lanjut untuk dibuat produk turunan seperti nugget
tempe oleh karena memiliki kadar protein yang sangat tinggi.

5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang dapat diterapkan untuk
penelitian selanjutnya, yaitu:
- Pembuatan tempe duplo setiap batch dilakukan pada tempat yang sama.
- Setiap pembuatan 5 variasi dan pengujian organoleptik lebih baik dibarengi dengan
adanya tempe kontrol sebagai benchmark.
- Penggorengan tempe untuk uji organoleptik dilakukan dengan massa, waktu serta kadar
api yang sama.
- Pastikan kacang-kacangan telah sepenuhnya kering sebelum memulai proses fermentasi.
- Pengujian terhadap kadar gizi tempe dilakukan pada hari yang sama setelah proses
fermentasi selesai.
- Pelaksanaan percobaan pendahukuan untuk menguji lemak dengan metode soxhlet,
sebaiknya dilakukan dengan menggunakan 2-3 alat soxhlet sekaligus untuk efisiensi
waktu.
- Pembuatan tempe dilakukan dengan menggunakan air keran biasa daripada menggunakan
air aqua murni.
- Memastikan semua kacang telah lepas kulitnya sebelum dilakukan fermentasi untuk
membuat tempe.
- Perendaman kacang dilakukan pada wadah yang lebih lebar secara horizontal dan bukan
vertikal agar memberikan ruang ekstra pada kacang untuk menyerap air yang membantu
pelepasan kulit ari.
64 PG.C2.2021.12
- Melakukan variasi percobaan pembuatan tempe dari masing-masing jenis kacang dengan
komposisi 100% murni untuk perbandingan.
- Menggunakan hairdryer untuk mengeringkan kacang untuk efisiensi waktu.
- Variasi tempe yang memiliki standar lemak di bawah SNI dapat dipasarkan kepada
konsumen yang ingin mendapat sumber protein tinggi namun rendah lemak

PG.C2.2021.12 65
DAFTAR PUSTAKA

" Info Aktual " Alternatif Kacang-kacangan Non Kedelai untuk Tahu dan Tempe .
Badan Litbang Pertanian. (2008, June 2).
https://www.litbang.pertanian.go.id/info- aktual/597/.

" Info Aktual " Indonesia Menuju Swasembada Protein Hewani . Badan Litbang
Pertanian. (2017, February 22). https://www.litbang.pertanian.go.id/info-
aktual/2826/.

Abdul Muttalib, S., Apriyanditra, W., Yulianti, I., Hasmi, R., dan Umas Hartono, M.
(2017). RANCANG BANGUN MESIN PENCAMPUR KEDELAI DENGAN
KAPANG (RAGI TEMPE) PADA INDUSTRI RUMAHAN DI DAERAH
KOTA
MATARAM. Jurnal Ilmiah Rekayasa Pertanian Dan Biosistem, 5(1), 316– 320.

Adie, M. M., dan Krisnawati, A. (2007). Biologi tanaman kedelai. Dalam, 45-73.

Albertine, A, A. Darda, R. Inaryani, BN.Kusuma, dan M.Arsyad. 2008.Tepung Tempe


sebagai Sumber Protein Nabati yang Ekonomis.
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/33708

Astawan, Made. 2004. Tetap Sehat dengan Produk Makanan Olahan. Solo: Tiga
Serangkai.

Astawan M. 2008. Sehat dengan tempe, panduan lengkap menjaga kesehatan dengan
tempe. Jakarta: Dian Rakyat.

Astawan M, Adiningsih NR, Palupi NS. 2014. Evaluasi kualitas nugget tempe dari
berbagai varietas kedelai. Pangan: Med Kom Informasi 23:244-255

Aunstrop, K. 1979. Production, isolation and economic of extracellular enzymes in: LE.
Wingard, E.K. Katair and Goldstein (Eds. Applied Biochemistry Bioengineering
Enzymes Technology Academic Press, New York).

66 PG.C2.2021.12
Archana, A., dan Satyanarayana, T. (1997). Xylanase production by thermophilic
Bacillus licheniformis A99 in solid-state fermentation. Enzyme and Microbial
Technology, 21(1), 12-17.

Artikel Kandungan Gizi Kacang Hijau dan manfaat Kacang Hijau bagi Kesehatan.
https://ilmupengetahuanumum.com/kandungan-gizi-kacang-hijau-manfaat-
kacang-hijau-bagi-kesehatan/. Diakses pada 17 Mei 2021.

PG.C2.2021.12 67
Artikel Kandungan Gizi Kacang Tanah dan manfaat Kacang Tanah bagi Kesehatan.
https://ilmupengetahuanumum.com/kandungan-gizi-kacang-tanah-dan-manfaat-
kacang-tanah-bagi-kesehatan/. Diakses pada 17 Mei 2021.

Badan Standarisasi Nasional. (2012). Tempe: Persembahan Indonesia untuk


Dunia.Jakarta : Author.

Balitbangtan, 2014. Hasil Kajian dan Identifikasi Dampak Erupsi Gunung Sinabung
pada Sektor Pertanian.www.litbang.deptan.go.id.

De Reu, J.C., Zwietering, M.H., Rombouts, F.M. and Nout, M.J.R. (1993) Temperature
control in solid substrate fermentation through discontinuous rotation. Applied
Microbiology and Biotechnology 40, 261– 265

Egounlety, M. (2002) Sensory evaluation and nutritive value of tempe snacks in West
Africa. International Journal of Food Properties 5, 247.

Forde, K. (2020, July 09). Vegan revolution: Four Vegan TRENDS affecting
Agribusiness. Retrieved May 16, 2021, from https://farrellymitchell.com/vegan-
trends-agriculture-investments-and-production/

Haliza, W., Purwani, E. Y., dan Thahir, R. (2016). Pemanfaatan kacang-kacangan lokal
sebagai substitusi bahan baku tempe dan tahu. Buletin Teknologi Pasca
Panen, 3(1), 1-8.

Han, B.Z., Kiers, J.L. and Nout, M.J.R. (1999) Solid-substrate fermentation of soybeans
with Rhizopus spp.: comparison of discontinuous rotation with stationary bed
fermentation. Journal of Bioscience and Bioengineering 88, 205–209.

Herman dan Karmini, M., 1999. The Development of Tempe Technology. In J.


Agranoff, ed. The Complete Handbook of Tempe. Singapura: The American
Soybean Association, pp. 80–92.

Hermana, H., Mahmud, M. K. M. S., and Karyadi, D. (ed.) (1990) Second Asian
Symposium on Nonsalted Soybean Fermentation. Bogor, Indonesia: Nutrition
Research and Development Centre.

Hidayat, N., M.C. Padaga dan S. Suhartini, 2006.Mikrobiologi Industri.Penerbit


Andi.Yogyakarta.

Hizni, A., Sholichin, S., dan Samuel, S. (2017). TEMPE STICK:“TASTY AND
HEALTHY SNACK “. Actual Research Science Academic, 2(1), 29-35.

68 PG.C2.2021.12
Hui, Y. H., Meunier-Goddik, L., Josephsen, J., Nip, W. K., dan Stanfield, P. S. (Eds.).
(2004). Handbook of food and beverage fermentation technology (Vol. 134). CRC
Press.

KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA TEPUNG TEMPE KECAMBAH KEDELAI.


(2016). Jurnal Gizi Dan Pangan, 11(1).

Kartika, B., Hastuti, P., dan Supartono, W. (1988). Pedoman uji inderawi bahan pangan.
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan biokimia pengolahan serta


pemanfaatannya. PAU Pangan dan Gizi, UGM, Yogyakarta.

Kasno, A., dan Harnowo, D. (2015). Karakteristik varietas unggul kacang tanah dan
adopsinya oleh petani. Iptek tanaman pangan, 9(1).
Kasno, A., dan Winarto, A. (1998). Kacang Tunggak. Monograf Balitbang, 3, 1-19.

Kiers, J.L., Nout, M.J.R. (2003) Tempe fermentation, innovation and functionality:
update to the third millenium. Journal of Applied Microbiology, 98, 789-805.

Kurniawan, A. (2012). Sistem Kendali Suhu Dan Kelembaban Untuk Optimasi Proses
Pembuatan Tempe Berbasis Mikrokontroler. Univ. Pembang. Nas.“Veteran” Jawa
Timur.

Mæhre, H. K., Dalheim, L., Edvinsen, G. K., Elvevoll, E. O., dan Jensen, I. J. (2018).
Protein Determination-Method Matters. Foods (Basel, Switzerland), 7(1), 5.
https://doi.org/10.3390/foods7010005

Manurukchinakorn, S. and Fujio, Y. (1997a) Development of method for measuring the


degree of maceration of soybean fermented with Rhizopus. Journal of the Faculty
of Agriculture Kyushu University 41, 223–230.

Mubarok, Z. R. (2019). PENGARUH PENAMBAHAN ASAM SITRAT PADA


PROSES PEREBUSAN DAN PERENDAMAN KEDELAI UNTUK
MEMPERCEPAT PROSES FERMENTASI TEMPE. Jurnal Ilmiah Teknik Kimia,
3(1).

Nurani, S., dan Yuwono, S. S. (2014). Utilization of taro flour (Xanthosoma


sagittifolium) as cookies’s raw material (Study of flour proportion and margarine
addition). J. Pangan dan Agrondustri, 2(2), 50-58.

Penaloza, W., Davey, C.L., Hedger, J.N. and Kell, D.B. (1991) Stimulation by
potassium ions of the growth of Rhizopus oligosporus during liquid- and solid-
substrate fermentations. World Journal of Microbiology dan Biotechnology 7,
260–268.
PG.C2.2021.12 69
Polnaya F. 2008. Eksplorasi dan karakterisasi plasma nutfah kacang tunggak (Vigna
unguiculata, L. Walp.) di pulau Lakor. Jurnal Budidaya Pertanian 4(2):115-121.

Prabhakar, A., Krishnaiah, K., Janaun, J., dan Bono, A. (2005). An overview of
engineering aspects of solid state fermentation. Malaysian Journal of
Microbiology, 1(2), 10-16.

Prahartama, N. B. (2017). PENGARUH BUBUK DAUN GAMAL (GLIRICIDIA


SEPIUM) TERHADAP CALLOSOBRUCHUS CHINENSIS L. PADA
PENYIMPANAN BENIH KACANG HIJAU (Doctoral dissertation, Universitas
Mecu Buana Yogyakarta).

Purnomo, H., dan Amertaningtyas, D. (2000). Chicken nuggets preparation using


different tapioca concentration and heating time. In Prosiding Seminar Nasional
Industri Pangan, Surabaya (Indonesia), 10-11 Oct 2000. Perhimpunan Ahli
Teknologi Pangan Indonesia.

Puslitbang Gizi. 1991, Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI, Dir. Bin. Gizi
Masyarakat dan Puslitbang Gizi.

Richana, N., dan Damardjati, D. J. (1999). Physico-chemical characteristics of cowpea


seeds (Vigna unguiculata (L) Walp) and it use" tempe'. Penelitian Pertanian
(Indonesia).

Singh, C.; Sharma, C.S.; Kamble, P.R. Amino acid analysis using ion-exchange
chromatography: A review. Int. J. Pharm. 2013, 69–75

Singhania, R. R., Soccol, C. R., dan Pandey, A. (2008). Application of tropical agro-
industrial residues as substrate for solid-state fermentation processes. In Current
developments in solid-state fermentation (pp. 412-442). Springer, New York, NY.

Soeharto, I. (1997). Manajemen Proyek, Dari Konseptual Sampai Operasional.Jakarta:


Erlangga.

Soim, Ahmad. 2017. Tempe. (Posting 12 Agustus 2013). bpk.pertanian.go.id.


Perencanaan Badan Ketahanan Pangan Provinsi Sumatera Selatan.

Subagio, A. (2006). Characterization of hyacinth bean (Lablab purpureus (L.) sweet)


seeds from Indonesia and their protein isolate. Food chemistry, 95(1), 65-70.

Sudarmadji, S., Suparmo, S., and Raharjo, S. (ed.) (1997) Proceedings, International
Tempe Symposium. Den Pasar, Bali, Indonesia: Indonesian Tempe Foundation,
Jakarta, Indonesia.

70 PG.C2.2021.12
Susilowati, Ari dan Shanti Listyawati. 2001. Keanekaragaman Jenis Mikroorganisme
Kontaminasi Kultur in vitro di Sub-Lab Biologi Laboratorium MIPA Pusat UNS.
Jurnal Biodiversitas. 2 (1) : 110-114.

Supadi. (2009). DAMPAK IMPOR KEDELAI BERKELANJUTAN TERHADAP


KETAHANAN PANGAN. Analisis Kebijakan Pertanian, 7(1), 87-100.

Tarigan, E. B. (2018). BEBERAPA KOMPONEN FISIKOKIMIA KAKAO


FERMENTASI DAN NON FERMENTASI. JURNAL AGROINDUSTRI
HALAL, 3(1).

Vaidehi, M.P., Sumangala, S.G. and Vijayakumari, J. (1996) Tempe-based ready-to-


prepare food mixes of high nutritional value. Journal of Food Science and Technology,
India 33, 506–509.

Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Wisnu Cahyadi. 2007. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Yuniati, H., dan Affandi, E. (2012). Fermentasi Cair Ampas Kelapa Sawit dan Kapang
Rhizopus oligosporus untuk Menghasilkan Asam Lemak Omega-3. Indonesian
Bulletin of Health Research, 40(2), 20649.

PG.C2.2021.12 71
LAMPIRAN A

MATERIAL SAFETY DATA SHEET (MSDS)

Judul Penelitian : Pengembangan Produk Pangan Vegan Tinggi Protein melalui


Proses Fermentasi Fasa Padat

Nama Mahasiswa : Farakhan Fauzi Pranata (14318020)

Clarissa Kurniawan (14318040)

Dosen Pembimbing : Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

No. Nama Rumus Kimia Sifat Fisik dan Bahaya &


Bahan Kimia Penanggulangan

1 Asam sulfat H2SO4 1. Berwujud Kontak mata: Iritasi.


cairan higroskopis
Bilas dengan air yang
2. Tak berwarna banyak/pancuran air,
segera panggil dokter.
3. Tak berbau
Kontak kulit: Iritasi
4. Titik didih
pada kulit sensitif.
337oC
Cuci dengan sabun
5. Terlarut penuh
dan bilas dengan air
di dalam air
berlimpah.

Tertelan: beri air


minum pada korban,
hindari muntah,
segera panggil dokter.

72 PG.C2.2021.12
Terhirup: dalam dosis
tinggi dapat memberi
efek tertentu pada
sistem pernapasan.
Cari udara segar.

2 Natrium KNaC4H4O6·4H2O 1. Massa molar Kontak mata: iritasi


Kalium 282,1 g/mol mata serius.
Tartarat
2. Titik didih Buka kelopak mata
220oC dan bilas mata dengan
air melimpah selama
3. Kelarutan dalam
15 menit.
air 630 g/L (20oC)

Kontak kulit: Cuci


dengan sabun dan
bilas dengan air
selama 15 menit.
Lepaskan pakaian
yang terkontaminasi.

Tertelan: Segera beri


korban minum air
putih (dua gelas
paling banyak).
Periksakan ke dokter.

Terhirup: Hirup udara


segar. Jika nafas
berhenti: berikan

42 PG.C2.2021.12
nafas buatan dari
mulut ke mulut atau
secara mekanik.
Berikan masker
oksigen jika mungkin.
Segera hubungi
dokter.
1. Berwujud Kontak mata: Bilas
3 Natrium Na2CO3
padatan mata dengan air
karbonat
2. Berwarna melimpah selama 15
putih menit.
3. Tidak berbau
4. Densitas 2,54 Kontak kulit: Cuci

g/cm3 dengan sabun dan

5. Titik lebur 852oC bilas dengan air


(anhidrat) melimpah. Lepaskan

6. Tidak larut baju dan sepatu

dalam ethanol dan yang terkontaminasi

aseton kecuali tersangkut


pada kulit.

Tertelan: beri air


minum kepada korban
(paling banyak dua
gelas). Konsultasi
kepada dokter jika
merasa tidak sehat.

4 Natrium NaOH 1. Berwujud kristal Kontak mata: Iritasi


Hidroksida buram mata. Bilas mata(juga
2. Berwarna di bawah kelopak
putih mata) dengan air

PG.C2.2021.12 43
3. Tidak berbau melimpah selama 15
4. Densitas 2,13 menit.
g/cm3
5. Titik didih 1388o
Kontak kulit: Iritasi
C
kulit. Cuci dengan
6. Larut
sabun dan bilas
dalam gliserol
dengan air melimpah.
Lepaskan baju dan
sepatu yang
terkontaminasi kecuali
tersangkut pada kulit.

Tertelan: Beracun,
mual, muntah. Bilas
mulut. Segera cari
bantuan medis.
Terhirup: Dapat
mengiritasi saluran
pernapasan. Hindari
sumber aroma dan
cari udara segar.
1. Berwujud Kontak mata: Iritasi
5 Tembaga CuSO4 · 5H2O
serbuk mata (mata merah).
Sulfat
2. Massa molar Bilas mata (juga di
Pentahidrat
249,7 g/mol bawah kelopak
3. Berwarna biru mata) dengan air
4. Densitas 2,284 melimpah selama 15
g/cm 3
menit.
5. Titik lebur
150oC
Kontak kulit atau
6. Kelarutan dalam
rambut: Iritasi kulit.

44 PG.C2.2021.12
air 316 g/L (0oC) Lepaskan baju dan
sepatu yang
terkontaminasi, bilas
kulit dengan air atau
pancuran.

Tertelan: Dapat
mempengaruhi sistem
saraf sentral, iritasi
gastrointestinal, mual,
muntah, dan diare.
Jangan paksa
dimuntahkan. Kumur-
kumur dengan air.
Apabila sadar, minum
air setengah liter.
Apabila tak sadar,
jangan berikan apapun
ke dalam mulut.

Terhirup serius:
Batuk. Bawa menjauh
dari bahan dan
menuju udara segar,
jagakenyamanan
untuk bernapas

6 Etanol C2H5OH 1. Berwujud cair Kontak mata: bilas


dengan air yang
2. Tidak berwarna
banyak. Hubungi
3. Berbau
dokter mata. Lepaskan
seperti alkohol

PG.C2.2021.12 45
4. Titik lebur: - lensa kontak.
117oC
5. Titik didih: 780C
Kontak kulit:
(pada1013 hPa)
Tanggalkan segera
6. Massa
semua pakaian yang
molekular: 46,07
terkontaminasi.
g/mol
Bilaslah kulit dengan
7. Densitas: 0,7893
air/ pancuran air.
g/cm3pada 200C
Periksakanke dokter.
8. Larut dalam
air
Tertelan: Toksisitas
9. Mudah
oral akut (mual,
terbakar
muntah). Segera beri
korban minum air
putih (dua gelas paling
banyak). Periksakan
ke dokter.

Terhirup serius:
Toksisitas kulit akut
(iritasi mukosa).
Hirup udara segar.Jika
napas terhenti:
berikan napas buatan
mulut ke mulut atau
secara mekanik.
Berikan masker
oksigen jika
mungkin. Segera
hubungi dokter.

46 PG.C2.2021.12
1. Berwujud cair Kontak mata: Iritasi
7 Asam H3PO4
2. Tak berwarna mata serius. Bilas
fosfat
3. Tidak berbau mata (juga di bawah
4. Titik beku: -21 C kelopak mata) dengan
o

(1013 hPa) air melimpah selama


5. Titik didih: 15 menit.
158 C (1013hPa)
o

6. Densitas: 1,885
Kontak kulit atau
g/cm3 (T=200C)
rambut: Iritasi kulit.
7. Massa
Lepaskan baju dan
molekul: 97,99
sepatu yang
g/mol
terkontaminasi, bilas
kulit dengan air atau
pancuran.

Tertelan: Beracun,
mual, muntah. Bilas
mulut. Segera cari
bantuan medis.

Terhirup serius: Batuk.


Bawa menjauh dari
bahan dan menuju
udara segar, jaga
kenyamanan untuk
bernapas

PG.C2.2021.12 47
Bandung, 30 Juli 2022

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Gedung, Dosen Pembimbing,

Dr. Jenny Rizkiana Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

48 PG.C2.2021.12
LAMPIRAN B
JOB SAFETY ANALYSIS (JSA)

Kecelakaan yang Mungkin Terjadi Penanggulangan


Alat pecah Segera bersihkan serpihan kaca dan tumpahan
bahan dengan lap kering, lalu buang serpihan
kaca ke tempat sampah.
Bahan kimia tumpah Gunakan sarung tangan dan bersihkan bahan
kimia yang tumpah dengan menggunakan lap
kering.
Hubungan arus pendek akibat listrik Usahakan untuk memutus hubungan arus
yang kontak dengan air listrik pada alat.

Terpeleset akibat genangan air yang Pastikan semua selang terpasang dengan
diakibatkan kebocoran selang dan/atau baik dan benar, serta perhatikan setiap
kelalaian praktikkan. prosedur yang dilakukan. Segera bersihkan
genangan air.

Perlengkapan Keselamatan Kerja

Sarung tangan Jaslab Masker Goggle

Bandung, 30 Juli 2022

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Gedung, Dosen Pembimbing,

Dr. Jenny Rizkiana Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

PG.C2.1920.07 49
LAMPIRAN C
WORKING INSTRUCTION (WI)

Judul Penelitian : Pengembangan Produk Pangan Vegan


Tinggi Protein melalui Proses Fermentasi Fasa Padat
Nama Mahasiswa : Farakhan Fauzi Pranata (14318020)
Clarissa Kurniawan (14318040)
Dosen Pembimbing : Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

C.1. Penggunaan Alat TPA (Texture Profile Analyzer)

1. Nyalakan instrumen dengan menekan tombol on pada bagian sudut kiri bawah alat
2. Nyalakan komputer dan buka piranti lunak exponent, tutup help screen
3. Kalibrasi instrumen dengan cara memasang probe yang diinginkan dalam eksperimen
kemudian lakukan kalibrasi
4. Klik tab T.A. pada panel atas, pada menu kalibrasi klik Calibrate force, ikuti instruksinya
dan klik next
5. Masukkan nilai massa kalibrasi dalam satuan gram, kemudian tempatkan pemberat pada
pelat kalibrasi
6. Klik next dan tunggu kalibrasi sampai selesai
7. Saat sudah selesai, klik finish dan ambil kembali pemberat
8. Klik tab T.A., pada menu kalibrasi pilih calibrate height, layar kalibrasi tinggi probe
akan muncul, probe akan diturunkan sampai menyentuh pelat dan kemudian kembali naik
9. Untuk menyetel pengaturan texture analyzer, klik tab T.A. dan pilih T.A. settings, pada
layar settings, klik library dan pilih T.A. sequence yang tepat untuk eksperimen.
10. Taruh sampel di dalam pelat kemudian klik tab T.A. pada komputer, klik run a test,
namai tes dan pilih direktori folder dimana hasil tes akan disimpan, klik start test dan
instrumen akan berjalan
11. Setelah tes selesai, hasil berupa grafik akan muncul pada layar. Untuk perhitungan
cepat klik tab process data kemudian pilih quick calculation
12. Centang perhitungan yang diinginkan dan hasil akan muncul secara otomatis
13. Setelah eksperimen selesai, bersihkan pelat dan matikan instrumen beserta komputer.

50 PG.C2.1920.07
C.2. Analisis Kadar Protein Tempe
1. Persiapan rangkaian alat HPLC
a) Alat HPLC disiapkan
b) Detektor UV dan pompa dinyalakan
c) Komputer dinyalakan dan program HPLC dijalankan hingga siap digunakan
d) Tombol ”Run Sample” dipilih dan file proyek baru dibuat pada program HPLC
e) Jenis HPLC yang digunakan dipilih
f) Tombol ”Advion must express” > ”Operate” ditekan
g) Detektor UV disambungkan dengan kolom HPLC
2. Penentuan waktu retensi zat murni komponen
a) Sampel uji dibuat dengan mencampurkan 200 mg larutan uji ke dalam 2 mL
diklorometana/asetonitril/metanol sebagai fasa gerak
b) Sampel uji kemudian diinjeksikan sebanyak 20 µL ke dalam kolom HPLC untuk
dianalisis selama 30 menit
c) Hasil pembacaan pada HPLC dicatat
3. Shut-down rangkaian alat HPLC
a) Detektor UV, lampu UV, pompa, dan aliran fasa gerak dimatikan
b) Tekanan kolom HPLC yang terbaca pada indikator dipastikan bernilai nol

Bandung, 30 Juli 2022

Ketua Satuan Tugas Keselamatan Gedung, Dosen Pembimbing,

Dr. Jenny Rizkiana Dr. Made Tri Ari Penia Kresnowati

PG.C2.1920.07 51

Anda mungkin juga menyukai