Anda di halaman 1dari 41

Laporan Praktikum

FARMASI FISIKA
“STABILITAS OBAT”

Diajukan untuk Memenuhi Laporan Praktikum Farmasi Fisika

OLEH

NAMA : REZKY NUR AZIZ


NIM : 821420008
KELAS : A-S1 FARMASI 2020
KELOMPOK : II (DUA)
ASISTEN : INDAH RAHMASARI BOBIHU

LABORATORIUM TEKNOLOGI FARMASI


JURUSAN FARMASI
FAKULTAS OLAHRAGA KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2021
Lembar Pengesahan

FARMASI FISIKA
“STABILITAS OBAT”

OLEH

NAMA : REZKY NUR AZIZ


NIM : 821420008
KELAS : A-S1 FARMASI 2020
KELOMPOK : II (DUA)

Gorontalo, Oktober 2021


NILAI
Mengetahui
Asisten

INDAH RAHMASARI BOBIHU


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga dapat menyelesaikan laporan praktikum Farmasi Fisika yang berjudul
“Stabilitas Obat”.
Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang
telah memberikan tauladan terbaik bagi umatnya sehingga bisa meniru kegigihan
dan kesungguhan beliau dalam berjuang.
Ungkapan terima kasih kepada dosen penanggung jawab, kepada
koordinator laboratorium dan kepada asisten penanggung jawab yang telah
membimbing kami sehingga laporan ini dapat selesai dengan baik.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami memohon
kritik dan saran dari asisten agar laporan ini menjadi laporan yang lebih baik lagi.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Gorontalo, Oktober 2021

Rezky Nur Aziz

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.3 Maksud Percobaan 2
1.3 Tujuan Percobaan 2
1.3 Prinsip Percobaan 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Dasar Teori 3
2.2 Uraian Bahan 12
BAB III METODE PRAKTIKUM 11
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan 11
3.2 Alat dan Bahan 11
3.3 Cara Kerja 11
BAB IV HASIL PENGAMATAN 16
4.1 Tabel Hasil Pengamatan 16
4.2 Perhitungan 16
BAB V PEMBAHASAN 23
BAB VI PENUTUP 26
5.1 Kesimpulan 26
5.2 Saran 26
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Farmasi adalah profesi kesehatan yang meliputi seni dan ilmu pengetahuan
dari sumber alam atau sintetik menjadi material dan produk yang cocok dipakai
untuk mencegah dan mendiagnosa penyakit. Dengan kata lain, farmasi ini
merupakan profesi yang berkaitan dengan pembuatan dan distribusi dari produk
obat. Cabang ilmu farmasi yaitu mempelajari berbagai ilmu terapan, diantaranya
adalah biofarmasi, kimia farmasi dan farmasi fisika.
Farmasi Fisika merupakan suatu ilmu yang menggabungkan antara ilmu
Fisika dengan ilmu Farmasi. Ilmu Fisika mempelajari tentang sifat-sifat fisika
suatu zat baik berupa sifat molekul maupun tentang sifat turunan suatu zat.
Sedangkan ilmu Farmasi adalah ilmu tentang obat-obat yang mempelajari cara
membuat, memformulasi senyawa obat menjadi sebuah sediaan jadi yang dapat
beredar di pasaran. Gabungan kedua ilmu tersebut akan menghasilkan suatu
sediaan farmasi yang berstandar baik, berefek baik, dan mempunyai kestabilan
obat yang baik pula.
Obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang
digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan
patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pecegahan, penyembuhan, pemulihan,
peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk manusia. Obat sendiri memiliki
stabilitas obat yang berbeda-beda.
Stabilitas merupakan simbol kualitas yang penting untuk suatu produk obat
atau kosmetika. Stabilitas juga didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk
obat untuk bertahan dalam batas spesifikasi yg ditetapkan sepanjang periode
penyimpanan dan penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan
kemurnian produk tersebut khususnya kestabilan dari suatu sediaan obat.
Sediaan obat yg stabil adalah suatu sediaan yg masih berada dalam batas yg
dapat diterima selama periode penyimpanan dan penggunaan, dimana sifat dan
karakteristiknya sama dengan yang dimilikinya pada saat dibuat.

1
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan
sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yg dimilikinya pada saat dibuat
(identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas) dalam batasan yg ditetapkan sepanjang
periode penyimpanan dan penggunaan (shelf-life).
Dalam praktikum kali ini, akan dilakukan percobaan untuk mementukan
stabilitas obat dengan menggunakan sampel parasetamol dan etanol 96% sebagai
pelarut.
1.1 Maksud Percobaan
1. Menetapkan kestabilan paracetamol pada jenis pelarut alkohol 96% dan
pada suhu yaitu 30°C dan 60°C.
2. Melakukan perhitungan waktu lama penyimpanan suatu sediaan obat
melalui metode grafik, penentuan orde reaksi, perhitungan paruh waktu, dan
K pada suhu 25°C.
1.3 Tujuan Percobaan
1. Mengetahui dan memahami cara kestabilan obat pada jenis pelarut dan
suhu.
2. Mengetahui waktu lama penyimpanan suatu sediaan obat.
1.1 Prinsip Percobaan
Penentuan stabilitas dari paracetamol pada jenis pelarut dan suhu
berdasarkan nilai konstanta kecepatan (k) dan waktu paruh yang diporoleh dari
grafik yang hubungannya antara waktu dan konsentrasi dimana konsentrasi
paracetamol ditetapkan dengan metode pengenceran menggunakan jenis pelarut
alkohol 96%.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Dasar teori
2.1.1 Stabilitas Obat
Stabilitas suatu obat adalah suatu pengertian yang mencakup masalah kadar
obat yang berkhasiat. Batas kadar obat yang masih bersisa 90% tidak dapat lagi
disebut sub standar waktu diperlukan hingga tinggal 90% disebut umur obat
(Martin, Swarbrick, Cammarata, 1983).
Stabilitas dalam arti luas dapat didefinisikan sebagai ketahanan suatu
produk sesuai dengan batas-batas tertentu selama penyimpanan dan penggunaanya
atau umur simpan suatu produk dimana produk tersebut masih mempunyai sifat
dan karakteristik yang sama seperti pada waktu pembuatan. Banyak faktor yang
mempengaruhi stabilitas dari sediaan farmasi, antara lain stabilitas bahan aktif,
interaksi antara bahan aktif dengan bahan tambahan, proses pembuatan bentuk
sediaan, kemasan, cara pengemasan dan kondisi lingkungan yang dialami selama
pengiriman, penyimpanan, penanganan dan jarak waktu antara pembuatan dan
penggunaan (David B. Troy, Paul Beringer, 2006).
2.1.2 Jenis-jenis Stabilitas Obat
1. Stabilitas fisika
Ada beberapa pendekatan untuk kestabilan dari preparat-preparat farmasi
yang mengandung obat-obat yang cenderung mengurai dengan hidrolisis.
Barangkali paling nyata adalah reduksi atau eliminasi air dari sistem farmasi.
Bahkan bentuk-bentuk sediaan padat yang mengandung obat-obat labil air harus
dilindungi dari kelembaban atmosfer. Ini dapat dibantu dengan menggunakan
suatu penyalut pelindung tahan air menyelimuti tablet atau dengan menutup dan
menjaga obat dalam wadah tertutup kuat (Martin, 1983).
2. Stabilitas Kimia
Stabilitas kimia meliputi degradasi formulasi obat, kehilangan potensi
(bahan aktif), kehilangan bahan-bahan tambahan (pengawet, antioksidan, dan
lainnya). Stabilitas mikrobiologi meliputi perkembangbiakan mikroorganisme

3
pada sediaan non steril, sterilisasi, dan perubahan fektivitas pengawet (Jenkins,
1957).
3. Stailitas mikrobiologi
Stabilitas mikrobiologi meliputi perkembangbiakan mikroorganisme pada
sediaan non steril, sterilisasi, dan perubahan efektivitas pengawet (Jenkins, 1957).
2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Obat
Kestabilan dari suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam
membuat formulasi suatu sediaan farmasi. Hal itu penting mengingat sediaannya
biasanya diproduksi dalam jumlah yang besar dan juga memerlukan waktu yang
lama untuk sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan
dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan
hasil urai dari zat tersebut bersifat toksik sehingga dapat membahaykan jiwa
pasien. Oleh karena itu, perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi
kestabilan suatu zat hingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat
tersebut optimum (Depkes RI, 2004).
Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan antara lain:
a. PH
PH adalah suatu ukuran keasaman suatu air (larutan). Pengertian pH dalam
aplikasinya berbeda-beda. Didalam sistem yang sering digunakan (NBS sistem,
NBS = National Bureau of Standards), pH digambarkan dalam persamaan pH = -
log aH, dimana pH adalah aktivitas ion hidrogen dalam suatu larutan. Laju reaksi
dalam larutan berair sangat mudah dipengaruhi oleh adanya pH sebagai
akibatadanya proses katalisis. Untuk mengetahui pengaruh pH maka faktor-faktor
lainnya yang berpengaruh sepertisuhu, kekuatan ionik dan komposisi pelarut
harus dibuat tetap (Connors et al, 1986).
b. Jenis pelarut
Penggantian air sebagian atau seluruhnya dengan pelarut yang konstanta
dielektriknya lebih rendah, umumnya menyebabkan kecepatan hidrolisis
menurunsecara berarti. Contoh pelarut bukan air adalah : etanol, glikol, glukosa,
larutanmanitol, dan amida tersubstitusi (Lachman, et al., 1986).

4
c. Kompleksasi
Laju hidrolisis dapat dipengaruhi oleh pembentukan kompleks dengan
duacara, yaitu oleh efek sterik atau polar (Lachman, et al., 1986).
d. Surfaktan
Menurut Lachman, et al. (1986), Keberadaan surfaktan akan meningkatkan
stabilitas secara bermakna bahan surfaktan nonionik, kationik dan anionik dapat
menstabilkan obat terhadap katalis basa
e. Modifikasi Struktur Kimia
Sejumlah laporan kepustakaan menunjukkan bahan substituen tertentuyang
ditambahkan pada rantai alkil atauasil dari ester alifatik atau aromatik atau pada
inti benzen dari ester aromatik menyebabkan penurunan laju hidrolisis (Lachman,
et al.,2008).
f. Garam dan Ester
Teknik lain yang digunakan untuk meningkatkan stabilitas obat-obatan yang
terurai melalui hidrolisis adalahdengan mengurangi kelarutannya melalui
pembentukan garam atau esternya yang sukar larut. Biasanya hanyapada bagian
obat larut mengalami peruraian hidrolisis (Lachman, et al., 1986).
Faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi kestabilan suatu zat antara
lain: panas, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme, dan bahan-bahan
tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat. Sebagai contoh, senyawa-
senyawa ester merupakan zat yang mudah terhidrolisis dengan adanya lembab
sedangkan vitamin C sangat mudah sekali mengalami oksidasi. Pada umumnya,
penentuan kestabilan suatu obat zat padat dapat dilakukan melalui perhitungan
kinetika kimia.Cara ini tidak memerlukan waktu lama sehingga cukup praktis
digunakan dalam bidang farmasi (Fitrah, 2012).
Pada umumnya penentuan kestabilan suatu zat dapat dilakukan melalui
perhitungan kinetika kimia. Cara ini tidak memerlukan waktu lama sehingga
cukup praktis digunakan dalam bidang farmasi. Hal-hal penting diperhatikan
dalam penentuan kestabilan suatu obat secara kinetika kimia adalah (Martin,
Swarbrick, Cammarata, 1983).

5
1.       Kecepatan Disolusi
2.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan reaksi
3.      Tingkat reaksi dan cara penentuan
Ada beberapa pendekatan untuk kestabilan dari preparat-preparat farmasi
yang mengandung obat-obat yang cenderung mengurai dengan hidrolisis.
Barangkali paling nyata adalah reduksi atau eliminasi air dari sistem farmasi.
Bahkan bentuk-bentuk sediaan padat yang mengandung obat-obat labil air harus
dilindungi dari kelembaban atmosfer. Ini dapat dibantu dengan menggunakan
suatu penyalut pelindung tahan air menyelimuti tablet atau dengan menutup dan
menjaga obat dalam wadah tertutup kuat (Martin et al, 1993).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi
penguraian dari beberapa larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam
(H+) atau basa (OHˉ) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat
reaksi tanpa ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi dari hasil reaksi (Martin et al,
1993).
Penguraian bahan berkhasiat pada bentuk sediaan farmasi terjadi melalui
berbagai jalur, yaitu hidrolisis, oksidasidan reduksi, rasemisasi, dekarboksilasi,
pemecahan cincin dan fotolisis, yang paling sering dijumpai adalah hidrolisis dan
oksidasi-reduksi (Lachman, Lieberman, Kanig, 2008).
Suatu obat kestabilannya dapat dipengaruhi juga oleh pH, dimana reaksi
penguraian dari larutan obat dapat dipercepat dengan penambahan asam (H+) atau
basa (OH-) dengan menggunakan katalisator yang dapat mempercepat reaksi tanpa
ikut bereaksi dan tidak mempengaruhi hasil dari reaksi (Ansel, 1989).
Stabilitas fisik dan kimia bahan obat baik dan trsendiri dengan bahan–bahan
dari formulasi yang merupakan kriteria paling penting untuk menentukan suatu
stabilitas kimia dan farmasi serta mempersatukannya sebelum memformulasikan
menjadi bentuk-bentuk sediaan (Ansel, 1989).
Untuk obat-obat tertentu 1 bentuk kristal atau polimorf mungkin lebih stabil
dari pada lainnya, hal ini penting supaya obat dipastikan murni sebelum
diprakarsai percobaan uji stabilitasnya dan suatu ketidakmurnian mungkin
merupakan katalisator pada kerusakan obat atau mungkin menjadikan dirinya

6
tidak akan stabil dalam mengubah penampilan fisik bahan obat Kestabilan suatu
sediaan farmasi dapat dievaluasi dengan test stabilitas dipercepat dengan
mengamati perubahan kosentrasi pada suhu yang tinggi (Lachman et al, 2008 ;
Parrot, 1968).
Perbedaan bahan obat karena susunan kimianya masing-masing
memasukkan pengaruhnya dalam sistem biologi. Beberapa bulan dihubungkan
dengan lainnya secara kimiawi dan memasukkan pengaruh yang sama. Modifikasi
bahan obat yang ada secara kimia dapat menghasilkan senyawa baru dengan
kelebihan-kelebihan terapeutiknya dibandingkan dengan senyawa-senyawa yang
paten. Jadi suatu ciri senyawa mungkin diolah secara sintesis dari suatu susunan
aktifitas dasar farmakologi untuk mendapatkan bahan-bahan obat yang lebih baik
dalam satu kelompok senyawa .senyawa-senyawa yang mempunyai kelebihan
menyebabkan ketidak aktifan obat melalui penguraian obat, atau melalui
hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik dan kimia yang kurang
diinginkan dari obat tersebut.terhadap lainnya akan didahulukan pengembangan &
pemakaian (Ansel, 1989).
2.1.4 Orde Reaksi
Beberapa prinsip dan proses laju yang berkaitan dimaksudkan dalam rantai
peristiwa ini (Martin, 1993) :
1. Kestabilan dan tak tercakup proses laju umumnya adalah suatu yang
2. Disolusi, disini yang diperhatikan terutama kecepatan berubahnya obat
dalam bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular.
3. Proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi beberapa proses berkaitan dengan
laju absorbsi obat ke dalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh dan laju
pengeluaran obat setelah proses distribusi dengan berbagai faktor, seperti
metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh lemak, dan melalui jalur-
jalur penglepasan.
4. Kerja obat pada tingkat molekular obat dapat dibuat dalam bentuk yang
tepat dengan menganggap timbulnya respon dari obat merupakan suatu
proses laju.

7
Beberapa prinsip dan proses laju yang berkaitan dimaksudkan dalam rantai
peristiwa ini :
1. Kestabilan dan tak tercakup proses laju umumnya adalah suatu yang
menyebabkan ketidak aktifan obat melalui penguraian obat, atau melalui
hilangnya khasiat obat karena perubahan bentuk fisik dan kimia yang
kurang diinginkan dari obat tersebut.
2. Disolusi, disini yang diperhatikan terutama kecepatan berubahnya obat
dalam bentuk sediaan padat menjadi bentuk larutan molekular.
3. Proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi beberapa proses berkaitan dengan
laju absorbsi obat ke dalam tubuh, laju distribusi obat dalam tubuh dan laju
pengeluaran obat setelah proses distribusi dengan berbagai faktor, seperti
metabolisme, penyimpanan dalam organ tubuh lemak, dan melalui jalur-
jalur penglepasan.
4. Kerja obat pada tingkat molekular obat dapat dibuat dalam bentuk yang
tepat dengan menganggap timbulnya respon dari obat merupakan suatu
proses laju.
Konstanta K yang ada dalam hukum laju yang digabung dengan reaksi
elementer, disebut konstanta laju spesifik untuk reaksi itu. Setiap perubahan
dalam kondisi reaksi seperti temperatur, pelarut atau sedikit perubahan dari suatu
komponen yang terlibat dalam reaksi akan menyebabkan hukum laju reaksi
mempunyai harga yang berbeda untuk konstanta laju spesifik. Secara eksperimen,
suatu perubahan konstanta laju spesifik berhubungan terhadap perubahan dalam
kemiringan garis yang diberikan oleh persamaan laju. Variasi dalam konstanta
spesifik merupakan kebermaknaan yang fisik yang penting, karena perubahan
dalam konstanta ini menggambarkan suatu perubahan pada tingkat molekul
sebagai akibat variasi dalam kondisireaksi (Martin,1983) .
Konstanta laju yang didapat dari reaksi-reaksi yang mengandung sejumlah
langkah molekularita yang berbeda merupakan fungsi konstanta laju spesifik
untuk berbagai bentuk langkah. Setiap perubahan dalam sifat-sifat dari suatu
langkah yang disebabkan modifikasi pada kondisi reaksi itu atau pada sifat-sifat
dari molekul yang terlibat dalam langkah-langkah ini, akan menyebabkan

8
perubahan harga konstanta laju keseluruhan. Pada saat variasi dalam konstanta
laju keseluruhan dapat digunakan untuk memberikan informasi yang berguna
mengenai suatu reaksi, segala sesuatu yang mempengaruhi konstanta laju spesifik
akan mempengaruhi laju yang lainnya, maka sulit untuk memberikan arti variasi
dalam konstanta laju keseluruhan untuk reaksi ini (Martin,1983).
2.1.5 Metode Menentukan Orde Reaksi
Orde reaksi dapat ditentukan dengan beberapa metode, diantaranya (Martin,
1983) :
1. Metode subsititusi
Data yang terkumpul dari hasil pengamatan jalannya suatu reaksi
disubstitusikan ke dalam bentuk integral dari persamaan berbagai orde reaksi. jika
persamaan itu menghasilkan harga K yang tetap konstan dalam batas-batas variasi
percobaan, maka reaksi dianggap berjalan sesuai dengan orde tersebut.
2. Metode grafik
Plot data dalam bentuk grafik dapat digunakan untuk mengetahui orde
reaksi tersebut. Jika konsentrasi di plot terhadap t dan didapat garis lurus, reaksi
adalah orde nol. Reaksi dikatakan orde pertama bila log (a-x) terhadap t
menghasilkan garis lurus. Suatu reaksi orde kedua akan memberikan garis lurus
bila 1/ (a-x) diplot terhadap t (jika konsentrasi mula-mula sama). Jika plot 1 /(a-x)²
terhadap t menghasilkan garis lurus dengan seluruh reaktan sama konsentrasi
mula-mulanya, reaksi adalah orde ketiga.
3. Metode waktu paruh
Dalam reaksi orde nol, waktu paruh sebanding dengan konsentrasi awal, a.
Waktu paruh reaksi orde pertama tidak bergantung pada a; waktu paruh untuk
reaksi orde kedua, dimana a = b  sebanding dengan 1/a dari dalam reaksi orde
ketiga, dimana a = b = c, sebanding dengan 1/a². Umumnya berhubungan antar
hasil di atas memperlihatkan waktu paruh suatu reaksi dengan konsentrasi seluruh
reaktan sama.
2.1.6 Parasetamol
Paracetamol (asetaminofen) merupakan obat analgetik non narkotik dengan
cara kerja menghambat sintesis prostaglandin terutama di Sistem Syaraf Pusat

9
(SSP). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara baik dalam bentuk
sediaan tunggal sebagai analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain
dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. Parasetamol
adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan
sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995).
Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik,
tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta
peradangan lambung. Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang
tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang
melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna.
Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala,
mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011).
2.1.7 Spektrofotometer UV-Vis
Pada spektrofotometri ini yang digunakan sebagai sumber sinar atau energi
adalah cahaya tampak (visible). Cahaya visble termasuk spektrum
elektromagnetik yang dapat ditangkap oleh mata manusia. Panjang gelombang
sinar tampak adalah 380-750 nm. Sehingga semua sinar yang didapat berwarna
putih, merah, biru, hijau, apapun itu, selama ia dapat dilihat oleh mata. Maka sinar
tersebut termasuk dalam sinar tampak (visible). Sumber sinar tampak yang
umumnya dipakai pada spektrovisible adalah lampu Tungsten. Tungsten yang
dikenal juga dengan nama Wolform merupakan unsur kimia dengan simbol W
dan nomor atom 74. Tungsten memiliki titik didih yang tinggi (22-34 oC)
dibanding logam lainnya. Karena sifat inilah maka ia digunakan sebagai sumber
lampu. Sampel yang dapat dianalisa dengan metode ini hanya sample yang
memiliki warna. Hal ini menjadi kelemahan tersendiri dari metode
spektrofotometri visible. Oleh karena itu, untuk sampel yang tidak memiliki
warna harus terlebih dahulu dibuat berwarna dengan menggunakan reagen
spesifik yang akan menghasilkan senyawa berwarna. Reagen yang digunakan
harus benar-benar spesifik hanya bereaksi dengan analat yang akan dianalisa.
Selain itu juga produk senyawa berwarna yang dihasilkan harus benar-benar
stabil.

10
Berbeda dengan spektrofotometri visible, pada spektrofotometri UV
berdasarkan interaksi sampel dengan sinar UV. Sinar UV memiliki panjang
gelombang 190-380 nm. Sebagai sumber sinar dapat digunakan lampu deuterium.
Deuterium disebut juga heavy hidrogen. Dia merupakan isotop hidrogen yang
stabil yang terdapat berlimpah dilaut dan daratan. Inti atom deuterium mempunyai
satu proton dan satu neutron, sementara hidrogen hanya memiliki satu proton dan
tidak memiliki neutron. Nama deuterium diambil dari bahasa Yunani, deuteras
yang berarti dua, mengacu pada intinya yang memiliki 2 partikel. Karena sinar
UV tidak dapat dideteksi dengan mata kita maka senyawa yang dapat menyerap
sinar ini terkadang merupakan senyawa yang tidak memiliki warna, bening dan
transparan. Oleh karena itu, sampel tidak berwarna tidak perlu dibuat berwarna
dengan penambahan reagen tertentu. Bahkan sampel dapat langsung dianalisa
meskipun tanpa preparasi. Namun perlu diingat, sampel keruh tetap harus dibuat
jernih dengan filtrasi atau sentifungi. Prinsip dasar pada spektrofotometri adalah
sampel harus jernih dan larut sempurna. Tidak ada partikel koloid/ suspensi.
Pada spektrofotometer UV-Vis, warna yang diserap oleh suatu senyawa atau
unsur adalah warna komplementer dari warna yang teramati. Hal tersebut dapat
diketahui dari larutan berwarna yang memiliki serapan maksimum pada warna
komplementernya. Namun apabila larutan berwarna dilewati radiasi atau cahaya
putih, maka radiasi tersebut pada panjang gelombang tertentu, akan secara selektif
sedangkan radiasi yang tidak diserap akan diteruskan (Day dan Underwood,
1986).
Prinsip kerja Prinsip kerja dalam spektrofotometri UV sinar tampak yaitu
menggunakan sumber cahaya dari sinar UV dan sinar tampak dengan pengaturan
berkas cahaya menggunakan monokromator. Berkas sinar selanjutnya masuk ke
dalam sampel, sinar yang tidak diserap dan disebar oleh sampel akan masuk ke
detektor dan akan diolah sehingga muncul nilai absorbansi pada layar (Fessenden,
1997).

11
2.2 Uraian Bahan
2.2.1 Alkohol (Dirjen POM, 1979; Rowe et al, 2009)
Nama Resmi : AETHANOLUM
Nama Lain : Etanol, Alkohol, Ethyl alcohol, Ethyl hydroxide.
Nama Kimia : Etanol
Rumus struktur :  

Rumus Molekul : C2H5OH.


Berat Molekul : 46,07 g/mol.
Pemerian : Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan 
mudah bergerak; bau khas; rasa panas. Mudah
terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak
berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P
dandalam eter P.
Khasiat : Sebagai antimikroba (membunuh mikrobakterium
desinfektan (membasmi kuman penyakit).
Kegunaan : Pensteril alat laboratorium, pelarut, dan penstabil.
Peyimpanan               : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari
cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala api.

12
2.2.2 Paracetamol (Dirjen POM, 1979)
Nama Resmi : Acetaminophenum
Nama Lain : Asetaminofen, parasetamol
Rumus Struktur :

Rumus Molekul : C8H9NO2


Berat Molekul : 194,19 g/mol
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih; tidak berbau;
rasa pahit
Kelarutan : Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol,
dalam 13 bagian aseton, dalam 40 bagian gliserol
dan dalam 9 bagian propilenglikol.
Khasiat : Analgetik (penghilang nyeri), antipiretik (penurun
suhu tubuh)
Kegunaan : Sebagai zat aktif
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari
cahaya.

13
BAB III
METODE PRAKTIKUM
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Praktikum Farmasi Fisika percobaan Stabilitas Obat dilaksanakan pada hari
Rabu, 20 Oktober 2021 pukul 13.00-selesai. Tempat pelaksanaan praktikum yaitu
bertempat di Laboratorium Teknologi Farmasi, Jurusan Farmasi, Fakultas
Olahraga dan Kesehatan, Universitas Gorontalo.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Batang pengaduk, gelas ukur, lap kasar, lap halus, lumpang alu, neraca
analitik, oven, pipet tetes, sudip, spektrofotometer UV-Vis, dan vial.
3.2.2 Bahan
Alkohol 70%, alkohol 96%, aluminium foil, kertas perkamen, label
penanda, paracetamol 0,01 g,dan tisu.
3.2 Cara kerja
3.3.1 Pembuatan Larutan Induk
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat dengan alkohol 70%
3. Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 1000 ppm
4. Dilarutkan 0.01 g paracetamol dalam 10 mL alkohol 96%
3.3.2 Pembuatan Larutan Stok
1. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dibuat larutan stok dengan konsentrasi 100 ppm
4. Diambil 1 mL dari larutan induk, ad 10 mL alkohol 96%
3.3.3 Pembuatan Larutan Standar
1. Untuk konsentrasi 10 ppm
Diambil 1 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
2. Untuk konsentrasi 20 ppm
Diambil 2 mL dari larutan stok, ad sebanyak 10 mL dengan alkohol 96%

14
3. Untuk konsentrasi 30 ppm
Diambil 3 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
4. Untuk konsentrasi 40 ppm
Diambil 4 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
3.3.4 Perhitungan Nilai Absorbansi Paracetamol Murni
1. Disiapkan alat dan bahan
2. Dibersihkan alat menggunakan alkohol 70%
3. Dimasukan larutan standar yang berkonsentrasi 10 ppm kedalam
spektrofotometer UV-Vis, untuk dihitung nilai absorbansinya
4. Dicatat hasil yang didapat
5. Diulang langkah 2,3,4 untuk larutan standar dengan konsentrasi 20 ppm,
30 ppm, dan 40 ppm
6. Diambil larutan paracetamol yang nilai absorbansinya tinggi
3.3.5 Perhitungan dengan nilai absorbansi
1. Diambil larutan paracetamol yang memiliki nilai absorbansi tinggi
2. Dibagi kedalam 2 vial dengan larutan yang sama
3. Dimasukan kedalam oven dengan suhu 30oC dan 60 oC
4. Dikeluarkan larutan dari oven pada menit ke 10 dan 20
5. Dihitung nilai absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer UV-
Vis

15
BAB IV
HASIL PENGAMATAN
4.1 Hasil Pengamatan
4.1.1 Tabel Hasil Pengamatan
NO Konsentrasi (ppm) Absorbansi (nm)
1. 10 0,357
2. 20 0,460
3. 30 0,532
4. 40 0,690
4.1.2 Kurva Baku Paracetamol

KURVA BAKU
0.690000000
0.8 000002
0.6 f(x) =0.46 0.532
0.0107100000000001 x + 0.241999999999999
Absorbansi


0.357 = 0.975495277904162 absorbansi
0.4
Linear (absorbansi)
0.2

0
5 10 15 20 25 30 35 40 45
Konsentrasi (ppm)

4.2 Perhitungan
4.2.1 Data
Waktu
(menit) Suhu 30o Suhu 60o
10 0,602 0,710
20 0,683 0,792
4.2.2 Pengenceran Bertingkat
1. 1000 ppm ke 100 ppm
m1 . v1 = m2.v2
1000. v1 = 100.10 mL
1000
v1 =
1000

16
v1 = 1 mL ad 10 mL etanol 96%
2. 100 ppm ke 10 ppm
m1 . v1 = m2.v2
100 . v1 = 10.10 mL
10 0
v1 =
10 0
v1 = 1 mL ad 10 mL etanol 96%
3. 100 ppm ke 20 ppm
m1 . v1 = m2.v2
100 . v1 = 20.10 mL
200
v1 =
10 0
v1 = 2 mL ad 10 mL etanol 96%
4. 100 ppm ke 30 ppm
m1 . v1 = m2.v2
100 . v1 = 30.10 mL
300
v1 =
10 0
v1 = 3 mL ad 10 mL etanol 96%
5. 100 ppm ke 40 ppm
m1 . v1 = m2.v2
100 . v1 = 40.10 mL
4 00
v1 =
10 0
v1 = 4 mL ad 10 mL etanol 96%
4.2.3 Konsentrasi Paracetamol + Suhu
1. Waktu suhu 30o C
a. Untuk waktu 10 menit
y = bx + a
0,602 = 0,010x + 0,242
0,602 + 0,242
x =
0,010

17
x ¿ 36
b. Untuk waktu 20 menit
y = bx + a
0,683 = 0,010x + 0,242
0,6 83 + 0,242
x =
0,010
x ¿ 44,1
2. Waktu suhu 60o C
a. Untuk waktu 10 menit
y = bx + a
0,710 = 0,010x + 0,242
0, 710 + 0,242
x =
0,010
x ¿ 46,8
b. Untuk waktu 20 menit
y = bx + a
0,792 = 0,010x + 0,242
0, 792 + 0,242
x =
0,010
x ¿ 55
Data pengamatan
Waktu
(menit) Suhu 30o Suhu 60o
10 36 41,8
20 44,1 55
4.2.4 Perhitungan Koefisien korelasi
1. Untuk suhu 30o C
Waktu Konsentrasi
(Menit) (C) Log C 1/log C
10 36 1,55 0,64
30 44,1 1,64 0,60
2. Untuk suhu 60o C

18
Waktu Konsentrasi
(Menit) (C) Log C 1/log C
10 46,8 1,67 0,59
30 55 1,74 0,57
4.2.5 Penentuan Orde Reaksi
1. Suhu 30o C
Orde Regresi Hasil
A 22,9
0 B 0,81
R 1
A 1,4682
1 B 8,81 x10−3
R 1
A 0,6278
2 B 2,4 x10−3
R -1

Orde Suhu 30o Suhu 60o


0 1 1
1 1 1
2 -1 -1
2. Suhu 60o C
Orde Regresi Hasil
A 38,6
0 B 0,82
R 1
A 1,6
1 B 0,007
R 1
A 0,61

19
2 B -0,002
R -1
4.2.6 Perhitungan Nilai Mutlak
Suhu B K
30 0,81 0,81
60 0,82 0,82
4.2.7 Perhitungan nilai K kepada suhu 25o C dan usia simpan
1. Untuk Suhu 30oC
T = 30 + 273 K Untuk nilai 1/T (x)
1 1
= 303 K x = = = 3,3 x 10-2
T 303
2. Untuk Suhu 60oC
T = 60 + 273 K Untuk nilai 1/T (x)
1 1
= 333 K x = = = 3,003 x 10-3
T 333
3. Untuk Suhu 25oC
T = 30 + 273 K Untuk nilai 1/T (x)
1 1
= 298 K x = = = 3,355 x 10-3
T 298
Data Pengamatan
Suhu (C) Suhu (K) 1 K Log k
T(x)
30 303 3,3 x 10
−2
0,81 -8,09
06 333 3,003 x 10−3 0,82 -0,086
25 298 3,355 x 10
−3
1,096 0,039
4.2.8 Perhitungan untuk 25o pada orde 1 dan 2
log k = log A- ∈ A
= 2,303 T
y =bx+a
y = log k

20
Untuk mendapatkan nilai K pada suhu 25o.maka regrasi antara x dengan log
k didapatkan nilai
a= -0,866
b = -2,46,511
r = -0,725
y=bx+a
y = -246,511 (0,00335) + 0,866
7 = 0,040
k = anti log y
k = anti log 0,040
k = 1,096
4.2.9 Perhitungan waktu paruh
1000
1. Orde 0 = T 1/2 =
k
1000
=
1,096
= 912,40
0,693
2. Orde 1 = T 1/2 =
k
0, 693
=
1,096
= 0,63
1
3. Orde 2 = T 1/2 =
C0 . k
1
=
1000 . 10 9 6
1
=
1.096
= 9,12.10-4

4.2.10 Waktu lama penyimpanan

21
0,105
T 90 =
k
0,105
=
1096
= 0,095
1 C0
T 90 = x
9 k
1 1000
= x
9 1096
1000
=
9.8 64
= 101,37

22
BAB V
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan tentang stabilitas obat.
Stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu produk obat untuk bertahan
dalam batas spesifikasi yg ditetapkan sepanjang periode penyimpanan dan
penggunaan untuk menjamin identitas, kekuatan, kualitas, dan kemurnian produk
tersebut khususnya kestabilan dari suatu sediaan obat (Martin, Swarbrick,
Cammarata, 1983).
Stabilitas obat adalah kemampuan suatu produk untuk mempertahankan
sifat dan karakteristiknya agar sama dengan yg dimilikinya pada saat dibuat
(identitas, kekuatan, kemurnian, kualitas) dalam batasan yg ditetapkan sepanjang
periode penyimpanan dan penggunaan (shelf-life).
Percobaan dilakukan dengan tujuan agar mahasiswa mengetahui dan
memahami cara kestabilan obat pada jenis pelarut dan suhu serta untuk
mengetahui waktu lama penyimpanan suatu sediaan obat.
Langkah pertama, menyiapkan alat dan bahan. Selanjutnya dibersihkan alat
menggunakan alkohol 70% dengan menggunakan tisu, dimana alkohol 70%
bersifat sebagai desinfektan yang bertujuan untuk menghambat pertumbuhan
mikroorganisme (Tjay, 2007).
Dilakukan pembuatan larutan induk. Larutan induk merupakan cairan sisa
hasil dari kristalisasi dan tersisa setelah zat yang mudah atau teratur mengkristal
dihilangkan (Merriam, 2020). Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 1000 ppm.
Tujuan dibuat larutan induk karena, larutan induk adalah larutan baku kimia yang
dibuat dengan kadar tinggi dan akan digunakan untuk membuat larutan baku
ataupun larutan stok dengan kadar lebih rendah (Zulkainan, 2014). Dilarutkan
0,01 g parasetamol ke dalam 10 mL alkohol 96%. Digunakan sampel parasetamol,
karena sediaannya dianggap stabil dan mudah didapatkan. Digunakan alkohol
96%, karena parasetamol kelarutannya mudah larut dalam etanol (Tietjen, 2004;
Dirjen POM, 1995).
Langkah selanjutnya dilakukan pembuatan larutan stok, larutan stok adalah
larutan yang berisi satu atau lebih komponen media yang konsenrasinya lebih

23
sigap daripada konsentrasi komponen tersebut dalam formulasi media yang akan
dibuat (Yusnita, 2003). Dibuat larutan stok dengan konsentrasi 100 ppm, diambil
1 mL dari larutan induk dan dicukupkan sebanyak 10 mL dengan etanol 96%.
Tujuan pembuatan larutan stok adalah untuk menghindari penimbangan yang
berulang-ulang setiap kali membuat media (Lieberman, 1994).
Tahap selanjutnya, dilakukan pembuatan larutan sampel yaitu dengan
konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, dan 40 ppm. Larutan sampel adalah larutan
yang akan di uji kadarnya (Yusnita, 2003). Diambil masing-masing 1 mL, 2 mL, 3
mL dan 4 mL dari larutan stok dan dicukupkan 10 mL dengan etanol 96%. Teknik
ini disebut pengenceran. Pengenceran dilakukan untuk mengurangi kepekatan
larutan, karena konsentrasi larutan yang dapat terbaca pada spektrofotometri UV-
Vis adalah 1 ppm sampai 10 ppm (Tortora, 2010; Pecsok, 1976).
Langkah selanjutnya yaitu dilakukan perhitungan nilai absorban
parasetamol. Dimasukkan larutan standar yang berkonsentrasi 10 ppm ke dalam
spektofotometri UV-Vis, untuk dihitung nilai absorbansinya dan dicatat hasil yang
didapatkan. Kemudian dilakukan hal yang sama pada larutan sampel dengan
konsentrasi 20 ppm, 30 ppm, dan 40 ppm. Selanjutnya diambil larutan
parasetamol yang nilai absorbansinya tinggi. Tujuan digunakan nilai absorban
tertinggi karena digunakan untuk mengukur kadar zat yang diperiksa
(Sastrohamidjojo, 2001). nilai absorbansi yang baik pada rentang 0,2 - 0,8 akan
tetapi rentang 2-3 masih memberikan hasil yang baik (Tortora, 2010).
Langkah terakhir, vial yang berisi larutan sampel dimasukkan ke dalam
oven bersuhu 300C dan 600C selama 10 menit dan 20 menit. Diukur kembali nilai
absorbansi dengan menggunakan alat spektrofotometer Uv-Vis.
Berdasarkan percobaan, didapatkan hasil yaitu pada suhu 300C pada waktu
10 menit sebesar 36 dan 20 menit 44,1. Sedangkan pada suhu 600C pada waktu 10
menit sebesar 46,8 dan 20 menit sebesar 55.
Adapun hasil untuk waktu paruh dan waktu lama penyimpanan parasetamol
pada suhu 250C orde reaksi 1 selama 0,63 menit dan 0,095. Sedangkan pada orde
reaksi 2 waktu paruh dan waktu lama penyimpanan didapatkan hasil 9,12.10-4 dan
101,37 menit.

24
Kemungkinan kesalahan yaitu adanya ketidaktelitian praktikan saat
pemindahan larutan sampel sehingga mengakibatkan berkurangnya larutan.

25
BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Ketetapan kestabilan paracetamol dengan menggunakan jenis pelarut
alkohol 96% pada suhu 30oC dan 60oC pada waktu 10 menit sebesar 36 dan
20 menit sebesar 44,1 pada suhu 60 oC dan pada waktu 10 menit sebesar
46,8 Sedangkan 20 menit sebesar 55.
2. Tingkat atau orde reaksi suatu larutan paracetamol yaitu hasil untuk waktu
paruh suhu 25oC dengan waktu lama penyimpanan pada orde reaksi 1
selama 0,63 menit dan 0,095 menit. Pada orde reaksi 2 waktu waktu paruh
dan waktu lama penyimpanan didapatkan 9,12.10-4 menit dan 101,37 menit.
6.2 Saran
6.2.1 Saran Untuk Jurusan
Agar kiranya pihak jurusan dapat menigkatkan fasilitas-fasilitas dalam
laboratorium maupun diluar laboratorium untuk menunjang proses pembelajaran
mahasiswa.
6.2.2 Saran Untuk Laboratorium
Agar kiranya dapat melengkapi alat-alat yang diperlukan untuk praktikum
didalam laboratorium.
6.2.3 Saran Untuk Asisten
Asisiten hendaknya lebih sabar lagi dalam membimbing dan mengayomi
praktikan agar dapat menjalin hubungan yang baik dengan praktikan dan juga
praktikum dapat berjalan dengan baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M, 1987, Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek, Penerbit University Press.

Ansel, 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Terjemahan: Farida Ibrahim,


Edisi 4,UI Press: Jakarta, 212-217.

Connors, K.A., Amidon, G.L., dan Stella, V.J., 1986, Chemical Stability of
Pharmaceuticals A Handbook for Pharmacist, 2nd Ed, 264-273, John Wiley
and Sons, New York.

David B. Troy, Paul Beringer, 2006. Remington’s Pharmaceutical Science, 21th


ed, Lippincott Williams & Wilkins.

Day, R A, dan Underwood, A L., 1986. Analsis Kimia Kuantitatif Edisi Keenam,
Erlangga, Jakarta.

Depkes RI, 2004, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004


Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, Jakarta.

Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI.

Dirjen POM.1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Departemen Kesehatan RI:


Jakarta. 

Fessenden, Ralp J dan Joan S. Fessenden. 1997. Kimia Organik, Jilid 2, Edisi Ke-
3, terjemahan. Aloysius Hadyana Putjaatmaka, Jakarta: Erlangga.

Fitrah dan Erliza Hambali. 2012. Aplikasi Asap Cair Pada Lateks. Jurnal Pasti. 9
(1), 28–34.

Jenkins. 1957. Scoville’s The Art Of Compounding.9th Edition. London: The


Blankiston Division MC Graw Hiill Book Company. Pp : 257.

Katzung, B.G., dan Trevor, A.J., 1994, Buku Bantu Farmakologi, diterjemahkan
oleh Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi FK UNSRI, Penerbit EGC,
Jakarta.

Lachman L., Herbert, A. L. & Joseph, L. K., 2008, Teori dan Praktek Industri.


Farmasi Edisi III, 1119-1120, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.

Lachman, L., & Lieberman, H. A. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri,
Edisi Kedua.Jakarta : UI Press.
Libernam, A., Lachman,L dan Schwartz, J.B 1986. Dosis Farmasi Membentuk
Tablet. Volume 2. 3 rd Edition. Marcel Dekker Inc. New York.

Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press.

Martin, Alfred, James Swarbrick., dan Arthur Cammarata. 1983. Farmasi Fisik;
Dasar-Dasar Farmasi Fisik Dalam Ilmu Farmasetika Edisi Ketiga, Jilid
2.Jakarta :UI Press.

Maslarska, V., & Tencheva, J. 2013. Development Of Analytical Method For


Determination Of Lisinopril Tablets Using RP-HPLC Method. International
Journal of Pharma and Bio Sciences , 4 (4), 163-167.

Merriam, Sharan & Robin S. Grenier. 2020. Qualitative Research in Practice:


Examples for Discussion and Analysis. Amerika: Jossey-bass.

Parrot,N. 1968. Pharmaceutical Technology. Burgers Publishing Company,


Minneapolis, 250-255.

Pescok R. L, L.Donald Shields, Thomas Cairns, Ian G. Mc. William. 1976.


Modern Methods of Chemical Analysis, Second Ed. New York.

Rowe et al, 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients. The Pharmaceutical


Press. London.

Tietjen, L. Dkk (2004). Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan


Kesehatan dengan Sumber Daya Terbatas. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirahardjo bekerjasama dengan JPKKR/POGI dan JHPIEGO.

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja K. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan dan
Efek- Efek Sampingnya. 6th ed. Jakarta: Gramedia; 2007. 32.

Tortora GJ. 2010. Principles of Anatomy and Physiology. Edisi ke-12. Hoboken,
NJ: John Wiley & Sons.

Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta : UGM Press.

Wilmana, P.F., 1995. Analgesik-Antipiretik, Analgesik-Antiinflamasi Nonsteroid


dan Obat Piral, dalam Ganiswara, S.G., Setiabudy, R., Suyatna, F, D.,
Purwantyastuti, Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, Bagian
Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia, Jakarta, 207-
220.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien.


Jakarta : Agromedia Pustaka.
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1 :Alat dan Bahan

1. Alat
NAMA GAMBAR FUNGSI

Untuk mengaduk dan


Batang Pengaduk
mencapurkan larutan

Digunakan untuk melarutkan


Gelas Kimia
sampel

Untuk mengukur volume


Gelas Ukur cairan/larutan yang akan
digunakan

Sebagai alas pada saat


Lap Halus
menggunakan alat

Sebagai alas pada saat


Lap Kasar menggunakan alat
Sebagai wadah untuk menggerus
Lumpang dan alu
sampel

Neraca analitik Untuk menimbang sampel

Oven Untuk menaikkan suhu sampel

Untukmemindahkancairandengan
Pipet tetes
volume kecil

Spektrofotometer Untuk mengukur serapan


UV-Vis absorban suatu sampel

Digunakan untuk
Sudip
mengambilbahanberbentukserbuk
Vial Sebaai wadah untuk larutan

2. Bahan

GAMBAR FUNGSI
NAMA

Alkohol 70% Untuk sterilisasi alat.

Alkohol 96% Sebagai pelarut

Digunakan untuk menutup


bahan yang akan
Aluminium Foil
digunakan agar tidak
menguap

Sebagai alas pada saat


Kertas perkamen
menimbang zat aktif
Digunakan untuk
Label
menandai vial

Paracetamol Sebagai sampel

Tisu Untuk membersihkan alat


Lampiran 2: Diagram Alir

1. Larutan Induk

Paracetamol

Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

Dibersihkan alat dengan alkohol 70%

Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 1000 ppm

Dilarutkan 0,01 g paracetamol dalam 100 mL alkohol 96%

2. Larutan Stok

Larutan Induk

Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan

Dibersihkan alat dengan alkohol 70%

Dibuat larutan induk dengan konsentrasi 100 ppm

Diambil 1 mL dari larutan induk, ad 10 mL alkohol 96%


3. Larutan Sampel

Larutan Stok

Diambil 1 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%


Diambil 2 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
Diambil 3 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
Diambil 4 mL dari larutan stok, ad 10 mL dengan alkohol 96%
Lampiran 3: Skema Kerja
1. Larutan Induk

Disiapkan alat Dibersihkan Dibuat larutan


dan bahan alat induk dengan
yang akan menggunakan konsentrasi
alkohol 70% 1000 ppm
digunakan

Dilarutkan
0,01 g
paracetamol
dalam 10 mL
alkohol 96%
2. Larutan Stok

Disiapkan alat Dibersihkan Dibuat larutan


dan bahan alat induk dengan
yang akan menggunakan konsentrasi
digunakan alkohol 70% 100 ppm

Diambil 1 mL
dari larutan
induk, ad 10
mL alkohol
96%

3. Larutan Sampel
Diambil 1 mL Diambil 2 mL Diambil 3 mL
dari larutan darilarutan darilarutan
stok, ad 10 mL stok, ad 10 mL stok, ad 10 mL
dengan denganalkohol denganalkohol
alkohol 96% 96% 96%

Diambil 4 mL
darilarutan
stok, ad 10 mL
denganalkohol
96%

Anda mungkin juga menyukai